BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Dalam kehidupan sehari-hari, setiap anggota masyarakat senantiasa berusaha menjaga keharmonisan hubungan antarsesama anggota masyarakat lainnya dalam suatu sistem sosial. Terwujudnya keharmonisan sebuah hubungan dapat dipengaruhi oleh cara seseorang berkomunikasi dengan orang lainnya. Salah satu hal yang biasa dilakukan untuk menjaga keharmonisan tersebut adalah dengan memuji. Memberikan pujian kepada mitra tutur dapat menghadirkan perasaan yang menyenangkan sehingga dapat memperlihatkan perasaan bersahabat dan membina solidaritas. Masyarakat modern yang sangat rawan dengan stress memerlukan kata-kata yang menghangatkan hati untuk saling mendukung dan memberikan bantuan secara rohani untuk keseimbangan kehidupan. Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 2008:1112) mendefinisikan memuji adalah melahirkan kekaguman dan penghargaan kepada sesuatu (yang dianggap baik, indah, gagah berani dsb). Memuji berasal dari kata puji yaitu pengakuan rasa kekaguman dan penghargaan yang tulus akan kebaikan (keunggulan) sesuatu. Kata-kata pujian adalah kata-kata yang dituturkan sebagai tanda senang, rasa hormat, rasa takjub, dengan istilah-istilah atau penamaan tertentu yang sangat menyenangkan dan membanggakan. Arimi (1998:227) menggolongkan memuji sebagai basa-basi polar. Basa-basi polar merupakan
1
2
wujud basa-basi yang tuturannya berlawanan dengan realitas. Pujian yang sesuai dengan persepsi mitra tutur merupakan sesuatu yang menyenangkan dan dapat membangkitkan solidaritas. Sebagai contoh, pujian “baju Anda bagus” yang dikatakan oleh penutur kepada seseorang yang baru ditemui di sebuah pesta dapat ditafsirkan sebagai bentuk pujian yang memang murni sebagai sebuah pengakuan dan rasa kagum akan baju yang dikenakan. Namun, tuturan ini juga dapat ditafsirkan sebagai bentuk basa-basi yang bertujuan untuk membina dan mempertahankan hubungan sosial. Setiap masyarakat memiliki cara tertentu dalam memuji bergantung kepada budaya dan adat istiadatnya. Setiap anggota masyarakat tutur terikat oleh nilai-nilai sosial dan nilai-nilai budaya masyarakatnya, termasuk nilai-nilai ketika menggunakan bahasa. Nilai selalu terkait dengan apa yang baik (boleh) dan yang tidak baik (tidak diizinkan), dan ini diwujudkan dalam kaidah yang dipatuhi oleh anggota masyarakat (Sumarsono, 2012:5). Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat berbudaya Timur yang memiliki kebiasaan dan adat yang berbeda dengan masyarakat Barat. Masyarakat Indonesia adalah masyarakat kolektif ‘the collectivist’ sedangkan masyarakat Barat termasuk dalam kelompok masyarakat individualis ‘the individualist’ (Hofstede, 2010:97). Masyarakat kolektif lebih mementingkan hubungan harmonis, rasa malu, dan citra diri sedangkan masyarakat individualis lebih mementingkan kepentingan pribadi serta aktualisasi diri (Hofstede, 2010:99-100). Perbedaan kebudayaan dapat memberikan implikasi terhadap norma-norma kesopanan berbahasa memuji dan merespon pujian.
3
Teori tentang kesopanan berbahasa diutarakan oleh Brown&Levinson (1987) dan Leech (1983). Kedua teori ini mempunyai pangkal tolak yang sama: kedua-duanya menjawab pertanyaan mengapa “Prinsip Kerjasama” Grice di dalam komunikasi yang nyata atau sebenarnya sering dilanggar orang. Jawaban ringkas pertanyaan itu ialah karena di dalam berkomunikasi kebutuhan penutur bukanlah untuk menyampaikan informasi saja melainkan menjaga atau memelihara hubungan sosial penutur-mitra tutur (Gunarwan, 1992:84). Teori Brown dan Levinson (1987) berkaitan dengan konsep ‘muka’ sedangkan teori Leech (1983) terkait dengan prinsip kesopanan yang meliputi maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Memuji merupakan tindak bahasa yang menerapkan prinsip kesopanan berbahasa. Memuji merupakan salah satu contoh tuturan yang sejalan dengan maksim penerimaan. Dalam budaya masyarakat Indonesia, merespon pujian biasa dilakukan dengan cara merendahkan hati. Dalam kebiasaan hidup sehari-hari penutur-penutur bahasa Indonesia seringkali merendah-rendahkan hatinya dalam berbicara (Arimi, 1998:72). Dalam penelitian ini, memuji dan merespon pujian, sebagai salah satu tindak bahasa atau perilaku berinteraksi merupakan kajian yang dibahas dengan pendekatan sosiolinguistik dan pragmatik (sosiopragmatik). Kajian ini diterapkan pada tuturan memuji dan merespon pujian di lingkungan kampus yaitu yang dituturkan oleh mahasiswa dan pada tuturan di acara hiburan
4
(lomba menyanyi dan talkshow) di televisi. Penelitian ini akan membahas bagaimana hubungan pujian dan respon pujian dengan variasi sosial (variabel sosiopragmatik) sebagai salah satu bentuk dari realisasi kesopanan berbahasa. Variabel sosial akan menyebabkan perbedaan pada realisasi tindak memuji dan merespon pujian berbeda, misalnya dalam sebuah konteks tertentu berikut ini. (1)
A
: Ternyata kamu, P. Dari tadi aku perhatiin dari belakang. Gamismu bagus banget! Beli di mana? P : Ah, nggak Mbak! Biasa aja. (tersenyum). Beli di Malioboro. Ayo kita kapan-kapan belanja bareng sama mbak W juga! Konteks: Di mushola FIB UGM. P sedang wudlu. Di belakangnya ada A yang memperhatikan baju gamis yang dikenakan P. A kaget ternyata yang ia perhatikan adalah P, teman dari W yang belum begitu akrab dengannya. Ia lalu memuji gamis yang dikenakan P. P merespon dengan mengatakan bahwa bajunya biasa-biasa saja dan menawarkan untuk berbelanja bersama.
Contoh (1), tuturan disampaikan oleh penutur dan mitra tutur yang sama usianya, dalam situasi informal, dan belum begitu akrab. Pujian yang diberikan kepada mitra tutur adalah pujian yang dituturkan secara langsung. Penutur memberikan pujian untuk memulai sebuah percakapan dengan orang yang belum begitu akrab dengannya, yaitu teman dari temannya. Sebaliknya, respon pujian yang diberikan oleh mitra tutur adalah dengan menolak pujian tersebut serta melakukan pengalihan dengan cara menceritakan kisah dari baju tersebut yaitu ia membelinya di Malioboro. Realisasi yang berbeda terlihat pada kondisi dan latar belakang antara penutur dan mitra tutur yang berbeda. (2) R D Konteks:
: Wah, ternyata pijatanmu sangat enak! : Iya lah!
5
Di kampus FIB UGM, di bangku taman, dua orang sahabat karib sedang duduk santai. D memijat R yang sedang tidak enak badan. R lebih tua dari D. R memuji pijatan D. D merespon pujian dengan menerima pujian tersebut. Contoh (2) menjelaskan bahwa usia yang berbeda, hubungan penutur dan mitra tutur yang akrab dan situasi yang informal akan menghasilkan tuturan pujian yang berbeda dengan dengan data sebelumnya. Penutur memuji dengan menggunakan tipe yang sama dengan contoh (1) yaitu memuji secara langsung menggunakan interjeksi. Penutur memuji karena mendapatkan keuntungan dari apa yang dilakukan oleh mitra tutur, yaitu mendapatkan pijatan. Respon pujian pada data tersebut adalah dengan menerima pujian atau menyetujui pujian.
1.2 Rumusan Masalah Rumusan masalah penelitian ini sebagai berikut. a. Bagaimana realisasi strategi kesopanan berbahasa memuji dalam bahasa Indonesia di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan di televisi? b. Bagaimana realisasi strategi kesopanan berbahasa merespon pujian dalam bahasa Indonesia di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan di televisi? c. Apa saja dan bagaimana variabel sosial memengaruhi realisasi strategi memuji dan merespon pujian dalam bahasa Indonesia di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan di televisi?
6
1.3 Tujuan Penelitian Berkaitan dengan rumusan masalah di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan realisasi strategi kesopanan berbahasa memuji dalam bahasa Indonesia di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan di televisi. b. Mendeskripsikan realisasi strategi kesopanan berbahasa merespon pujian dalam bahasa Indonesia di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan di televisi. c. Menjelaskan dan mendeskripsikan variabel sosial yang memengaruhi realisasi strategi memuji dan merespon pujian dalam bahasa Indonesia di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan di televisi.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoritis Penelitian ini bermanfaat secara teoritis untuk memberikan khasanah baru dalam kajian ilmu sosiopragmatik, khususnya tentang memuji dan merespon pujian sebagai tindak tutur berbahasa. Penelitian ini juga dapat bermanfaat bagi peneliti yang berencana membahas topik yang sama. 1.4.2 Manfaat Praktis Penelitian ini berisi tentang realisasi strategi kesopanan berbahasa dalam memuji dan merespon pujian yang dihubungkan dengan variasi sosial. Penelitian ini dapat memberikan gambaran mengenai bentuk komunikasi masyarakat bahasa Indonesia, khususnya dalam bentuk tuturan memuji dan merespon pujian yang
7
dituturkan oleh penutur yang berada di lingkungan mahasiswa dan acara hiburan televisi dihubungkan dengan konteks sosial budaya. Pemilihan bentuk tuturan yang dihubungkan dengan budaya masyarakat Indonesia dapat memberikan manfaat kepada masyarakat dalam mengungkapkan tuturan memuji dan merespon pujian. Di samping itu, diharapkan penelitian ini dapat bermanfaat secara praktis sebagai masukan bagi pengajar bahasa Indonesia sehingga dapat melakukan pengajaran bahasa dengan pendekatan yang lebih komunikatif.
1.5 Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai pujian (compliment) pernah dilakukan oleh beberapa peneliti
di luar negeri yaitu, Valdes dan Pino (1981), Holmes (1986), Rose
(2001), Dus (2001), Golato (2002), Cheng (2011), Guo, Zhou dan Chow (2012), dan di Indonesia yaitu Arimi (1998), Mukminatien dan Patriana (2005), dan Muhammad Ridha D.S (2009). Valdes dan Pino (1981), Dus (2001), Golato (2002), dan Cheng (2011) meneliti mengenai respon pujian dengan membandingkan dua bahasa. Valdes dan Pino (1981) melakukan penelitian mengenai respon pujian yang terdapat dalam komunikasi antara penutur bilingual Meksiko dan Amerika. Golato (2002) meneliti pujian dengan judul “German Compliment Responses”. Penelitian ini membandingkan respon pujian yang dilakukan oleh penutur bahasa Jerman dan penutur bahasa Inggris-Amerika. Dus (2001) meneliti pujian mahasiswa Inggris dan Spanyol sedangkan Cheng (2011) meneliti tentang respon pujian yang
8
diproduksi oleh penutur bahasa Inggris dan penutur asli bahasa Cina yang berbahasa Inggris. Rose (2001) melakukan penelitian dengan objek kajian film. Penelitian berjudul “Compliment and Compliment Responses in film: Implication for Pragmatics Researsh and Language Teaching” ingin mengetahui bagaimana film merepresentasikan komunikasi manusia dalam kenyataan. Penelitian ini mengambil data dari pujian dan respon pujian yang berasal dari 40 film Amerika. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa di film merepresentasikan tuturan yang terdapat dalam kehidupan nyata. Kajian difokuskan dengan menggunakan pisau bedah teori sosiopragmatik. Holmes (1986) meneliti tentang pujian dan respon pujian di New Zealand. Penelitian ini melihat fungsi, tindak tutur, prinsip kesopanan berbahasa, dan perbedaan budaya (cross-cultural) dalam kebiasaan memuji. Penelitian tersebut menggunakan data sebanyak 500 tuturan pujian yang dianalisis dengan menggunakan teori sintaksis dan karakteristik bentuk leksikal pujian serta fungsi dari kategori pujian dan respon pujian di masyarakat New Zealand. Penelitian ini juga melibatkan adanya hubungan status sosial antara penutur dan mitra tutur dalam memuji dan merespon pujian. Data penelitian dikumpulkan dari siswa di New Zealand. Pemuji pada umumnya adalah orang pakeha dewasa di New Zealand dan yang menjadi fokus penelitian adalah aturan dalam memuji pada kelompok ini. Holmes menggunakan metode kualitatif dan kuantitatif. Pembahasan mengenai pujian diidentifikasi dengan menggunakan struktur kalimat. Konstruksi kalimat diidentifikasi berdasarkan kelas kata yang
9
membentuknya. Penelitian ini menemukan frekuensi kemunculan kategori adjektif pujian yang dianalisis secara kuantitatif. Kemunculan adjektif pujian yang paling banyak berturut-turut adalah nice, good, lovely, beautifull, great, neat, wonderfull, delicious, pretty, new, smart, gorgeous, not bad, clever, bright, brilliant, excellent, fantastic, fine, cute, classy, cool, and impressive. Penelitian membandingkan kemunculan kata sifat like dan love yang terdapat 90% dari data New Zealand dan 86% dari data Amerika. Selanjutnya, pembahasan mengenai respon pujian menghasilkan tiga kategori atau tipe respon pujian, yaitu accept (menerima), reject (menolak), dan deflect/evade (mengalihkan). Guo, Zhou dan Chow (2012) melakukan penelitian dengan judul “A Variationist Study of Compliment Responses in Chinese”. Penelitian ini menerapkan kajian sosiolinguistik dan pragmatik dengan korpus data sebanyak 1190 data tuturan natural pada komunitas tutur di Shanghai. Terdapat beberapa strategi merespon pujian yang dilakukan oleh komunitas tutur di Shanghai dengan adanya perubahan konsep kesopanan berbahasa. Respon pujian dihubungkan dengan variasi sosial mulai dari gender, usia, status sosial, pendidikan, kelas sosial, jarak sosial, dan adanya penggunaan bahasa Inggris. Penelitian berkaitan dengan pujian di Indonesia pernah dilakukan oleh Muhammad Ridha D.S (2009) dalam tesisnya yang berjudul “Makian dan Pujian dalam Ragam ‘Amiyyah Mesir”. Penelitian ini memanfaatkan teori sintaksis dan morfologi untuk menguraikan bentuk-bentuk makian dan pujian. Adapun untuk meneliti referensi makian dan pujian menggunakan teori metafora, sementara fungsi makian dan pujian memanfaatkan teori sosiolinguistik. Hasil penelitian
10
menunjukkan bahwa bentuk pujian meliputi bentuk kata, frasa, klausa, dan kalimat. Referensi pujian berupa kategori binatang, gelar dan panggilan, bendabenda, keadaan orang, profesi, kekerabatan, aktivitas, etnik dan bangsa serta bagian tubuh sedangkan fungsi pujian adalah untuk mengungkapkan rasa senang, rasa kagum, rasa intim dan keakraban, rasa sayang, rasa suka dan ungkapan rasa hormat. Penelitian selanjutnya yang menyentuh kajian pujian dalam penelitiannya adalah tesis yang berjudul “Basa-Basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia” yang ditulis oleh Sailal Arimi (1998). Penelitian Arimi berbeda dengan penelitian sebelumnya yang lebih memfokuskan pada kajian morfologi, sintaksis dan sosiolinguistik. Penelitian Arimi mengangkat sebuah kajian linguistik yang berorientasi sosial budaya masyarakat Indonesia yaitu tindak basa-basi. Penelitian ini hanya menjelaskan secara singkat mengenai pujian yang termasuk pada kategori basa-basi. Penelitian mengenai respon pujian dilakukan oleh Mukminatien dan Patriana (2005) dengan judul “Respon Pujian dalam Bahasa Indonesia oleh Dwibahasawan Indonesia-Inggris” yang dimuat dalam jurnal Bahasa dan Seni pada tahun 2005. Penelitian ini merupakan penelitian sosiopragmatik yang membahas bagaimana respon pujian oleh dwibahasawan Inggris-Indonesia. Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa
dwibahasawan
Indonesia-Inggris
telah
menunjukkan gejala menuju bikultural. Respon pujian yang diucapkan telah bervariasi, tidak hanya yang bertipe menolak pujian (disagreement type), tetapi juga yang menerima pujian dengan jenis komentar lanjutan yang berbeda-beda.
11
Dengan kata lain dwibahasawan tersebut dapat dikatakan tidak lagi monokultural tetapi bikultural. Dari berbagai penelitian di atas, dapat dirangkum bahwa penelitian mengenai pujian dan respon pujian memiliki tujuan dan metode penelitian yang beragam. Beberapa penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui respon pujian pada penelitian Valdes dan Pino (1981), Rose (2001), Dus (2001), Golato (2002), Cheng (2011), dan Guo, Zhou dan Chow (2012). Penelitian dengan pendekatan kualitatif dilakukan oleh Holmes (1986), Arimi (1998), Mukminatien dan Patriana (2005), dan Muhammad Ridha D.S (2009). Metode pengumpulan data yang digunakan dalam beberapa penelitian di atas juga beragam. Metode pengumpulan data dengan menggunakan tuturan natural digunakan dalam penelitian Holmes (1998), Guo, Zhou dan Chow (2012), Ridha (2009), dan Mukminatien dan Patriana (2005). Pengumpulan data dengan mengambil data film dilakukan oleh Rose (2001) dan Arimi (1998) sedangkan Dus (2001) dan Golato (2002) menggunakan metode pengumpulan data dengan DCT (Discourse Completion Task) serta Cheng (2011) mengumpulkan data menggunakan role-play task. Beberapa penelitian di atas, khususnya penelitian Holmes (1986), Rose (2001), dan
Mukminatien dan Patriana (2005) relevan dan berguna untuk
penelitian mengenai pujian dalam bahasa Indonesia yang akan dilakukan. Beberapa metode dari penelitian di atas dapat digunakan pada penelitian ini dengan mengambil beberapa kelebihan dari masing-masing penelitian. Dengan
12
demikian, penelitian mengenai pujian dalam bahasa Indonesia berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya.
1.6 Landasan Teori 1.6.1 Teori Tindak Tutur Tindak tutur dapat dikelompokkan dalam berbagai jenis tindak tutur. Beberapa ahli yang mengklasifikasikan tindak tutur antara lain Austin (1962) dan Searle (1969) merumuskan tindak-tindak bahasa dari sudut pembicara dapat diklasifikasikan menjadi tiga tindakan, yaitu: (1) tindak bahasa lokusi, yakni mengatakan sesuatu dalam arti berkata. Tindak tutur lokusi adalah tindak tutur untuk menyatakan sesuatu. Dalam tindak tutur ini dihasilkan serangkaian bunyi bahasa yang berarti sesuatu. Lokusi semata-mata tindak mengucapkan sesuatu dengan kata-kata, (2) tindak bahasa ilokusi, yakni tindak bahasa yang diidentifikasikan dengan kalimat pelaku yang eksplisit. Tindak tutur ilokusi merupakan tindak tutur yang mengandung maksud dan daya tuturan. Tindak ilokusi tidak mudah diidentifikasi, karena tindak ilokusi berkaitan dengan siapa bertutur kepada siapa, kapan dan di mana tindak tutur itu dilakukan dan sebagainya. Tindak ilokusi ini merupakan bagian yang penting dalam memahami tindak tutur, (3) tindak tutur perlokusi, tindak bahasa yang dilakukan sebagai akibat atau efek dari sesuatu ucapan orang lain. Terdapat lima jenis tindak tindak tutur yaitu a) tindak representatif yang terdiri dari tindak menyatakan, menuntut, mengakui, melaporkan, menunjukkan, menyebutkan, memberikan, kesaksian, berspekulasi, dan sebagainya, b) direktif
13
yaitu tindak tutur yang dilakukan oleh penuturnya dengan maksud agar lawan tutur melakukan tindakan yang disebutkan oleh ujaran itu seperti tuturan memaksa, mengajak, meminta, menyuruh, menagih, mendesak, memohon, menyarankan, memerintah, memberikan aba-aba atau menantang, c) ekspresif yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu seperti memuji, mengucapkan terima kasih,
mengkritik,
mengeluh,
menyalahkan,
mengucapkan selamat,
dan
menyanjung, d) komisif adalah tindak tutur yang mengikat penuturnya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam tuturannya seperti berjanji, bersumpah, mengancam, menyatakan kesanggupan, e) deklaratif merupakan tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya untuk menciptakan hal yang baru seperti tuturan dengan maksud mengesahkan, memutuskan, membatalkan, melarang,
mengizinkan,
mengabulkan,
mengangkat,
menggolongkan,
mengampuni, dan memaafkan. Menurut Leech (1993:19) tindak tutur terikat oleh situasi tutur yang mencakupi (1) penutur dan mitra tutur, (2) konteks tuturan, (3) tujuan tuturan, (4) tindak tutur sebagai tindakan atau aktivitas dan (5) tuturan sebagai hasil tindakan bertutur. a. Penutur dan Mitra tutur Penutur adalah orang yang bertutur, sedangkan mitra tutur adalah orang yang menjadi sasaran atau kawan tutur. Peran penutur dan mitra tutur dilakukan secara silih berganti, penutur pada tahap tutur berikutnya dapat menjadi mitra tutur, begitu pula sebaliknya sehingga terwujud interaksi
14
dalam komunikasi. Konsep tersebut juga mencakup penulis dan pembaca apabila tuturan tersebut dikomunikasikan dalam bentuk tulisan. Aspekaspek yang terkait dengan penutur dan mitra tutur tersebut antara lain aspek usia, latar belakang sosial, jenis kelamin, tingkat pendidikan, dan tingkat keakraban. Aspek-aspek tersebut memengaruhi daya tangkap mitra tutur, produksi tuturan serta pengungkapan maksud. Penutur dan mitra tutur dapat saling memahami maksud tuturan apabila keduanya mengetahui aspek-aspek tersebut. b.
Konteks tuturan Konteks tuturan mencakupi aspek fisik atau sosial yang relevan dengan tuturan yang bersangkutan. Konteks yang berupa bagian ekspresi yang dapat mendukung kejelasan maksud disebut ko-teks. Sementara itu, konteks yang berupa situasi yang berhubungan dengan suatu kejadian disebut konteks. Pada hakikatnya konteks dalam pragmatik merupakan semua latar belakang pengetahuan (background knowledge) yang dipahami bersama antara penutur dengan mitra tutur.
c.
Tujuan tuturan Tujuan tuturan adalah apa yang ingin dicapai penutur dengan melakukan tindakan bertutur. Semua tuturan memiliki tujuan, hal tersebut memiliki arti bahwa tidak ada yang tidak mengungkapkan suatu tujuan. Bentukbentuk tuturan yang diutarakan oleh penutur selalu dilatarbelakangi oleh maksud dan tujuan tertentu. Dalam hubungan tersebut, bantuk tuturan
15
yang bermacam-macam dapat digunakan untuk menyatakan satu maksud dan sebaliknya satu tuturan dapat menyatakan berbagai macam maksud. d.
Tindak tutur sebagai tindakan atau aktivitas Tuturan sebagai tindakan atau aktivitas memiliki maksud bahwa tindak tutur merupakan sebuah tindakan. Menuturkan sebuah tuturan dapat dilihat sebagai melakukan tindakan. Tuturan dapat dikatakan sebagai sebuah tindakan atau aktivitas karena dalam peristiwa tutur, tuturan dapat menimbulkan efek sebagaimana tindakan yang dilakukan oleh tangan atau bagian tubuh yang dapat menyakiti orang lain atau mengekspresikan tindakan.
e.
Tuturan sebagai hasil tindakan bertutur Tuturan merupakan hasil dari suatu tindakan. Tindakan manusia ada dua, yaitu tindakan verbal dan tindakan nonverbal. Karena tercipta melalui tindakan verbal, tuturan tersebut merupakan produk tindak verbal yang merupakan tindakan mengekspresikan kata-kata atau bahasa. Berbagai jenis tindak tutur tersebut memiliki fungsi-fungsi tertentu jika
dikaitkan dengan kesopanan berbahasa. Leech (1993:162) menjelaskan bahwa adanya berbagai ragam fungsi pragmatik akibat adanya perbedaan situasi tuturan. Pada tingkatan umum, fungsi-fungsi ilokusi dapat diklasifikasikan menjadi empat jenis, sesuai dengan hubungan fungsi-fungsi tersebut dengan tujuan-tujuan sosial berupa pemeliharaan perilaku yang sopan dan terhormat. Fungsi tersebut adalah a) kompetitif (competitive) yaitu tujuan ilokusi bersaing dengan tujuan sosial; misalnya memerintah, meminta, menuntut, dan mengemis, b) menyenangkan
16
(convivial) yaitu tujuan ilokusi sejalan dengan tujuan sosial, misalnya menawarkan, mengajak/mengundang, menyapa, mengucapkan terima kasih, mengucapkan selamat, c) bekerjasama (collaborative) yaitu tujuan ilokusi tidak menghiraukan tujuan sosial; misalnya menyatakan, melapor, mengumumkan, mengajarkan, d) bertentangan (conflictive) yaitu tujuan ilokusi bertentangan dengan tujuan sosial, misalnya mengancam, menuduh, menyumpahi, dan memarahi. 1.6.2 Prinsip Kesopanan Prinsip kesopanan memiliki peranan untuk menjaga keseimbangan sosial dan keramahan hubungan dalam suatu pertuturan. Menurut Leech (1993:206) prinsip kesopanan terbagi atas berbagai maksim, yaitu maksim kebijaksanaan (tact maxim), maksim kemurahan (generosity maxim), maksim penerimaan (approbation maxim), maksim kerendahan hati (modesty maxim), maksim kecocokan (agreement maxim), dan maksim kesimpatian (sympathy maxim). Prinsip kesopanan berhubungan dengan dua peserta percakapan, yakni diri sendiri (self) dan orang lain (other) Leech (1993:206). Diri sendiri secara konvensional adalah penutur, dan orang lain adalah lawan tutur. Maksim kesopanan terdiri dari beberapa macam, yaitu: I. Maksim kebijaksanaan a. Minimalkan kerugian terhadap orang lain, atau b. Maksimalkan keuntungan bagi orang lain I. Maksim kemurahan a. Minimalkan keuntungan diri sendiri, atau
17
b. Maksimalkan kerugian diri sendiri II. Maksim penerimaan a. Minimalkan ketidakhormatan terhadap orang lain, atau b. Maksimalkan rasa hormat terhadap orang lain III. Maksim kerendahan hati a. Maksimalkan ketidakhormatan terhadap diri sendiri, atau b. Minimalkan rasa hormat terhadap diri sendiri IV. Maksim kecocokan a. Maksimalkan kesetujuan antara diri sendiri dengan orang lain, atau b. Minimalkan ketidaksetujuan antara diri sendiri dengan orang lain V. Maksim kesimpatian a. Maksimalkan rasa simpati antara diri sendiri dengan orang lain, atau b. Minimalkan rasa antipati antara diri sendiri dengan orang lain.
1.6.3 Teori Strategi Kesopanan Berbahasa Teori strategi kesopanan berbahasa merupakan konsep yang ditawarkan oleh Brown dan Levinson (dalam Yule 1996:60). Teori ini menjelaskan tentang konsep face ‘muka’ dalam penggunaan bahasa untuk komunikasi. Sebagai sebuah istilah, muka merupakan wujud pribadi seseorang dalam masyarakat. Muka mengacu pada makna sosial dan emosional itu sendiri yang setiap orang memiliki dan mengharapkan orang lain untuk mengetahui. Kesopanan dalam suatu interaksi
18
dapat didefinisikan sebagai alat yang digunakan untuk menunjukkan kesadaran tentang muka orang lain. Terdapat dua muka dalam proses komunikasi, yaitu ‘muka negatif’ dan ‘muka positif’. ‘Muka negatif’ adalah keinginan individu agar setiap keinginannya tidak dihalangi oleh pihak lain, sedangkan ‘muka positif’ adalah keinginan setiap penutur agar dia dapat diterima atau disenangi oleh pihak lain. Dalam prinsip ini juga dijelaskan bahwa pada beberapa tuturan yang ‘tidak menyenangkan’ yang disebut Face Theatening Acts “Tindakan yang mengancam muka” dan disingkat menjadi FTA, yaitu tindakan yang mengancam muka positif lawan tutur, dan tindakan yang mengancam negatif lawan tutur. Selain terdapat tindakan mengancam muka, penutur juga dapat mengatakan sesuatu untuk mengurangi kemungkinan ancaman itu. Tindakan tersebut disebut sebagai tindakan ‘penyelamatan muka’. Tindakan penyelamatan muka yang diwujudkan pada wajah negatif seseorang akan cenderung menunjukkan rasa hormat, menekankan kepentingan minat dan waktu orang lain, dan bahkan termasuk permintaan maaf atas pemaksaan atau penyelaan. Tindakan semacam ini juga disebut ‘kesopanan negatif’. Tindakan penyelamatan muka yang berkenaan dengan ‘muka positif’ seseorang akan cenderung memperlihatkan rasa kesetiakawanan, menegaskan bahwa kedua penutur menginginkan sesuatu yang sama, dan mereka memiliki suatu tujuan yang sama. Tindakan semacam ini disebut juga ‘kesopanan positif’ (Yule, 1996:107). Penutur yang menyadari bahwa tuturannya akan kurang menyenangkan mitra tutur, mempunyai pilihan tertentu sebelum membuat tuturan tersebut.
19
Pertama, penutur mau tidak mau melakukan tindakan yang mengancam muka mitra tutur tersebut. Kalau tidak mau, berarti penutur akan memenuhi keinginan lawan tutur sepenuhnya, sehingga tidak ada pelanggaran muka mitra tutur. Seandainya penutur memutuskan untuk melakukan tindakan yang mengancam muka mitra tutur, misalnya menolak keinginannya, maka penutur dihadapkan pada pilihan melakukan tindakan itu dengan tuturan off record atau dengan tuturan secara on record (Yule, 1996:65-66).
1.6.4 Teori Kalimat Kalimat ialah satuan gramatikal yang dibatasi oleh adanya jeda panjang yang disertai nada akhir turun atau naik (Ramlan, 1987:27), sedangkan menurut Chaer (2009:44) kalimat didefinisikan sebagai satuan sintaksis yang disusun dari konstituen dasar, yang biasa berupa klausa, dilengkapi dengan konjungsi bila diperlukan disertai dengan intonasi final. Ahli linguistik membedakan kalimat berdasarkan beberapa sudut pandang. Ramlan (1987), Parera (1993) dan Chaer (2009) menjelaskan bahwa tata bahasa tradisional telah membedakan 4 macam tipe kalimat berdasarkan fungsinya seperti pernyataan atau berita, tanya, seru, dan perintah. Selain itu, mereka membedakan kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk bertingkat. Sedangkan dalam kajian linguistik modern kalimat dikelompokkan berdasarkan distribusi dan komposisi. (Parera, 1993:7). Terdapat berbagai jenis berdasarkan fungsinya, yaitu: a. Kalimat berita (deklaratif), yakni kalimat yang berisi penyataan belaka.
20
b. Kalimat tanya (interogatif), yakni kalimat yang berisi pertanyaan, yang perlu diberi jawaban atau jawaban ya atau tidak. c. Kalimat perintah (imperatif), yakni kalimat yang berisi perintah dan perlu diberi reaksi berupa tindakan. d. Kalimat seruan (eksklamatif), yakni kalimat yang menyatakan ungkapan perasaan. Berdasarkan bentuknya, kalimat dapat dibedakan menjadi kalimat tunggal dan kalimat majemuk. Kalimat tunggal dapat dipahami sebagai kalimat yang terdiri atas satu klausa bebas, sedangkan kalimat majemuk adalah kalimat yang terdiri atas beberapa klausa bebas (Moeliono, 1988:267). Ramlan (1987:30) membagi kalimat menjadi kalimat berklausa dan kalimat tak berklausa. Kalimat berklausa adalah kalimat yang terdiri dari satuan yang berupa klausa. Klausa adalah satuan gramatik yang terdiri dari subyek dan predikat, disertai objek, pelengkap, dan keterangan atau tidak. Kalimat tak berklausa ialah kalimat yang tidak terdiri dari klausa.
1.6.5 Memuji dan Merespon Pujian Pujian berarti pernyataan memuji (KBBI). Pujian berbeda dengan penilaian. Penilaian tidak berarti pujian, tetapi pujian termasuk penilaian. Penilaian berkaitan dengan pernyataan evaluasi kualitatif terhadap sesuatu. Penilaian bisa menunjukkan hasil yang positif atau negatif, sedangkan pujian bertalian dengan penyataan positif terhadap sesuatu atau seseorang. Dalam norma bahasa masyarakat pujian merupakan kata-kata yang dipandang baik bagi penutur dan
21
mitra tutur dan bertujuan untuk menciptakan solidaritas dan harmonisasi. Pujian dalam tindak tutur menduduki fungsi sebagai tindak tutur ekspresif, yaitu tindak tutur yang dimaksudkan penuturnya agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi tentang hal yang disebutkan di dalam tuturan itu. Dalam komunikasi sehari-hari, manusia tidak hanya melakukan tindak memuji, tetapi ada kalanya mereka diminta untuk merespon sebuah pujian. Merespon pujian tidak semudah memberikan pujian kepada orang lain. Beberapa penelitian telah menemukan formula dalam merespon pujian. Guo, Zhou, dan Chow (2012) menjelaskan bahwa terdapat beberapa respon pujian, yaitu: Agreement
Praise upgrade Agreement Return Explanation Reassignment Invitation Questioning Smilling Non Response
Non- Agreement
Request Downgrade Disagreement
Acceptance category
Indirection category
Non-Acceptance category
Guo, Zhou, dan Chow (2012) menjelaskan bahwa merespon pujian dapat dilakukan dengan berbagai strategi, yaitu dengan menyetujui dan tidak menyetujui pujian. Menyetujui dan tidak menyetujui pujian dibagi menjadi tiga kategori, yaitu kategori menerima pujian, kategori tidak langsung, dan kategori menolak pujian. Menerima pujian dibagi menjadi tiga kategori yaitu mengucapkan terima kasih, menyetujui, dan mengembalikan pujian kepada pemuji. Kategori tidak langsung
22
dibagi menjadi beberapa strategi yaitu menjelaskan, menegaskan kembali, menawarkan, bertanya, tersenyum, dan tidak memberikan respon. Kategori menolak pujian dilakukan dengan beberapa strategi, yaitu meminta, menolak, merendahkan diri, dan tidak setuju.
1.6.6 Teori SPEAKING Hymes Variasi bahasa merupakan pembahasan dalam kajian sosiolinguistik. Variasi bahasa dalam dilihat dari dua pandangan. Pertama, variasi bahasa dapat dilihat sebagai akibat adanya keragaman sosial penutur bahasa itu dan keragaman fungsi bahasa itu. Kedua, variasi bahasa itu sudah ada untuk memenuhi fungsinya sebagai alat interaksi dalam kegiatan masyarakat yang beraneka ragam (Chaer dan Agustina, 2010:62). Variasi bahasa dapat dilihat dari berbagai jenis, yaitu variasi bahasa dari segi penutur, variasi bahasa dari segi pemakaian, variasi bahasa dari segi keformalan, dan variasi bahasa dari segi sarana. Dalam komunikasi, sebuah peristiwa tutur memenuhi delapan komponen. Hymes (1974:52-62) membuat akronim SPEAKING, yaitu setting/scene, participants, ends, acts of sequences, key, instrumentalies, norms, dan genres. 1. Setting and scene. Setting berkenaan dengan waktu dan tempat tutur berlangsung, sedangkan scene mengacu pada situasi tempat dan waktu, atau situasi psikologis pembicaraan. Waktu, tempat, dan situasi tutur yang berbeda menyebabkan penggunaan variasi bahasa yang berbeda. 2. Participant adalah pihak-pihak yang terlibat dalam pertuturan, yaitu pembicara dan pendengar, penyapa dan pesapa, atau pengirim dan penerima. Status sosial partisipan sangat menentukan ragam bahasa yang digunakan.
23
3. Ends, merujuk pada maksud dan tujuan pertuturan. 4. Act sequence, mengacu pada bentuk ujaran dan isi ujaran. Bentuk ujaran berkaitan dengan kata-kata yang digunakan, bagaimana penggunaannya, dan hubungan antara apa yang dikatakan dengan topik pembicaraan. 5. Key, mengacu pada nada, cara, dan semangat ujaran tersebut disampaikan; dengan senang hati, dengan serius, dengan singkat, atau dengan mengejek. 6. Instrumentalies, mengacu pada jalur/saluran bahasa yang digunakan, seperti saluran lisan, tulis, telegram, atau telepon. 7. Norms, mengacu pada norma atau aturan dalam berinteraksi. Dalam hal ini norma dikaitkan dengan norma kebahasaan yang dianut masyarakat bahasa. 8. Genre, mengacu pada jenis bentuk penyampaiannya, seperti narasi, puisi, pepatah, dialog dan sebagainya.
1.7 Metode Penelitian Penelitian
ini
merupakan
penelitian
sosiopragmatik.
Penelitian
sosiopragmatik memandang bagaimana bahasa digunakan dalam konteks sosial budaya masyarakat tertentu. Jenis penelitian berupa penelitian deskriptif kualitatif. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang memusatkan penelitian pada pemecahan suatu masalah. Penelitian deskriptif dipilih karena data yang diperoleh akan dideskripsikan dengan kata-kata. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tuturan memuji dan respon terhadap pujian yang dihubungkan dengan konteks budaya masyarakat tutur yaitu masyarakat tutur bahasa di lingkungan mahasiswa
24
dan acara hiburan di televisi. Metode penelitian dibagi menjadi tiga, yaitu metode pengumpulan data, metode analisis data, dan metode penyajian analisis data. Metode pengumpulan data dalam penelitian ini adalah teknik simak, teknik rekam, dan teknik catat. Data yang diperoleh berupa data tuturan. Data tuturan dibagi menjadi dua, yaitu data tuturan natural yaitu data tuturan yang diambil dari kehidupan sehari-hari di lingkungan mahasiwa dan data rekaman yaitu data tuturan yang diambil pada rekaman film dan Reality Show. Peneliti mengambil data tuturan natural dengan teknik simak, rekam dan catat. Peneliti mengambil tuturan natural dari lingkungan mahasiswa yang biasa peneliti berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari, yaitu di kampus, kos, masjid, dan tempat makan (kantin atau warung), dan gedung pertunjukan. Pada langkah selanjutnya, tuturan yang diperkirakan mengandung tuturan memuji dan merespon pujian dicatat kemudian ditranskipsikan. Pengambilan data rekaman diperoleh dari sumber data film dan video Reality Show. Peneliti mengumpulkan film dan video Reality Show yang berpotensi mengandung banyak tuturan memuji dan respon pujian. Film dan video Reality Show disimak kemudian dilakukan teknik catat dan transkipsi. Film yang peneliti analisis yaitu film Indonesia berjudul 3 Cinta 2 Dunia 1 Cinta, Habibie Ainun, Love, Sang Pemimpi, dan Perahu Kertas sedangkan reality show yang menjadi sumber penelitian adalah Hitam Putih, Showimah, X-Factor, Little Miss Selebritis, Indonesian Idol. Pertimbangan pemilihan sumber data rekaman dari film dan reality show karena data pada film akan menggambarkan kehidupan sehari-hari yang mengandung tuturan memuji dan merespon pujian yang mungkin
25
tidak ditemukan pada data natural sedangkan untuk rekaman reality show dibagi menjadi dua jenis yaitu berupa acara talkshow dan ajang perlombaan yang diperoleh dengan cara mengunduh di Youtube. Untuk acara talkshow dipilih Hitam Putih dan Showimah karena kedua acara ini biasa mendatangkan bintang tamu sehingga berpotensi memunculkan tuturan memuji dan merespon pujian, sedangkan ajang perlombaan seperti X-Factor, Little Miss Selebritis, dan Indonesian Idol
karena acara-acara tersebut terdapat sesi komentar dari juri
sehingga berpotensi besar memunculkan tuturan memuji pada saat mengomentari penampilan para peserta. Data yang berasal dari rekaman acara reality show diambil secara random dari beberapa episode penayangan yang diunggah di Youtube, yaitu episode 12 dan 14 November 2013 pada talkshow Hitam Putih, episode Audisi Fatin X Factor, episode 9-12 Gala Show X-Factor, episode Titi Rajo Bintang talkshow Showimah, 1 episode Idola Cilik, episode Final Little Miss Indonesia, dan 1 episode Husen Indonesian Idol. Analisis data pujian dan respon pujian dalam bahasa Indonesia dikumpulkan dan dikelompokan dalam korpus data. Korpus data yang telah dikelompokkan kemudian dianalisis secara kontekstual. Korpus data dibagi menjadi dua, yaitu korpus data tuturan memuji dan korpus data tuturan merespon pujian. Selanjutnya, dilakukan klasifikasi berdasarkan masing-masing korpus data. Korpus data berupa pujian dikasifikasikan berdasarkan tipe-tipe penutur dalam memuji. Demikian pula dengan respon pujian diklasifikasikan berdasarkan tipe tuturannya, misalnya merespon pujian dengan menerima pujian atau menolak pujian dan sebagainya. Setelah dilakukan mengklasifikasian terhadap data,
26
selanjutnya dilakukan analisis secara kontekstual. Tahap analisis selanjutnya adalah menemukan variabel sosial yang memengaruhi pemilihan tuturan memuji dan respon pujian. Variabel sosial yang berpengaruh akan dideskripsikan secara sosiopragmatik dengan teori yang SPEAKING Hymes. Penyajian analisis data dilakukan dengan bentuk narasi. Penyajian ke dalam bentuk narasi dibagi dua jenis, yaitu formal dan informal (Sudaryanto, 1993:145). Penyajian hasil analisis ini dilakukan secara informal karena penyajian analisis data dengan memakai kata-kata biasa yang mudah dimengerti dan dipahami. Pada penyajian data, penamaan penutur dan mitra tutur untuk data yang diambil pada tuturan natural menggunakan inisial. Hal tersebut dilakukan untuk menjaga privasi dari penutur dan mitra tutur sebagai objek penelitian ini sedangkan data yang diambil dari film dan reality show menggunakan nama yang sebenarnya, tidak menggunakan inisial.
1.7 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian tesis ini dilakukan dengan membagi pembahasan menjadi lima bab yaitu: Bab 1 Pendahuluan Bab ini merupakan dasar dari adanya penelitian ini. Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian.
27
Bab 2 Realisasi Strategi Kesopanan Berbahasa Memuji dalam Bahasa Indonesia di Lingkungan Mahasiswa dan Acara Hiburan Televisi Bab ini akan membahas secara lengkap mengenai strategi kesopanan berbahasa memuji dalam bahasa Indonesia di lingkungan kampus dan acara hiburan di televisi. Bab ini dibagi menjadi tiga subbab, yaitu jenis kalimat, strategi memuji, dan interpretasi kesopanan berbahasa memuji. Bab 3 Realisasi Strategi Kesopanan Berbahasa Merespon Pujian dalam Bahasa Indonesia di Lingkungan Mahasiswa dan Acara Hiburan Televisi Bab ini akan membahas secara lengkap mengenai realisasi strategi kesopanan berbahasa dalam merespon pujian dibagi menjadi tiga subbab, yaitu jenis kalimat, strategi merespon pujian, dan intepretasi strategi kesopanan berbahasa merespon pujian. Bab 4 Variabel-variabel Sosial yang Memengaruhi Pemilihan Tuturan Memuji dan Merespon Pujian Bab ini akan membahas secara lengkap mengenai variabel sosial yang memengaruhi pemilihan strategi memuji dan merespon pujian yang ditinjau dari teori SPEAKING Hymes. Bab 5 Kesimpulan dan Saran Bab ini akan berisi mengenai kesimpulan dan hasil penelitian dan saran yang dapat disampaikan kepada peneliti lanjutan berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.