BAB 1 PENDAHULUAN
Pada bab ini akan dijelaskan secara rinci mengenai latar belakang penulisan tesis tentang analisis penerapan komponen kebijakan makroprudensial Bank Indonesia. Selanjutnya disusun beberapa pertanyaan dan tujuan penelitian sebagai jawaban atas permasalahan dalam penelitian.
1.1
Latar Belakang Istilah "makroprudensial" pertama kali digunakan pada akhir tahun 1970
dalam dokumen yang tidak dipublikasikan oleh Cooke Committee (pendiri Basel Committee on Banking Supervision) dan Bank of England (Clemment, 2010: 2). Terdapat beberapa definisi mengenai kebijakan makroprudensial. Menurut versi Working Group G-20 (2010: 4), kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk meningkatkan ketahanan sistem keuangan dan untuk mitigasi risiko sistemik yang timbul akibat keterkaitan antar institusi dan kecenderungan institusi keuangan untuk mengikuti siklus ekonomi (procyclical) sehingga memperbesar risiko sistemik. Versi lain dipaparkan oleh International Monetary Fund (IMF) (2011: 3) bahwa kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang memiliki tujuan utama untuk memelihara stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan melalui pembatasan peningkatan risiko sistemik. Kemudian menurut Galati dan Richhild (2011: 4), kebijakan makroprudensial adalah kebijakan yang ditujukan untuk membatasi risiko dan biaya krisis sistemik. Bank of England (2009: 3) juga 1
mendefinisikan kebijakan makroprudensial sebagai kebijakan yang ditujukan untuk memelihara kestabilan intermediasi keuangan (misalnya jasa-jasa pembayaran, intermediasi kredit, dan penjaminan atas risiko) terhadap perekonomian. Krisis yang terjadi di Amerika Serikat pada bulan September 2008 yang kemudian menular ke berbagai negara di dunia menunjukkan bahwa ketidakstabilan di sektor keuangan berdampak serius pada sektor riil (Agung, 2010: 2). Krisis keuangan yang didorong oleh penggelembungan kredit berubah menjadi krisis global dan telah menyebabkan aktivitas perekonomian turun drastis. Claessens et al., (2012: 9) dan Hahm et al., (2011: 15) berargumen bahwa ada 3 pelajaran penting dari krisis finansial. Pertama adalah dampak dari perkembangan di sektor keuangan ke sektor riil ternyata lebih besar dibandingkan perkiraan semula. Kedua adalah biaya dari penyelamatan krisis sangat besar. Ketiga adalah stabilitas harga dan output ternyata tidak menjamin kestabilan finansial. Oleh karena itu, disusun suatu kerangka kebijakan guna menanggulangi ketidakstabilan sistem keuangan yaitu kebijakan makroprudensial. Pelaksanaan kebijakan makroprudensial diikuti oleh beberapa prinsip. Pertama, kebijakan makroprudensial adalah sebuah kebijakan pelengkap, tidak menggantikan kebijakan moneter (Beau et al., 2012: 10; Hallet et al., 2011: 326; Hanson et al., 2005: 420). Kedua, ukuran kebijakan makroprudensial harus memiliki target yang jelas, misalnya untuk membatasi arus masuk modal jangka pendek dan membatasi kredit kepada sektor properti (Bank of England, 2009: 11; Unsal, 2011: 17). Ketiga, Kebijakan makroprudensial harus dilaksanakan secara
2
efektif (Agung, 2010: 19; Nicolo dan Lev, 2012: 8). Keempat, komunikasi kebijakan makroprudensial harus jelas (Bole et al., 2014: 11; Galati dan Richhild, 2011: 9; Working Group G-30, 2010; 12). Kebijakan makroprudensial dimaksudkan untuk menjawab dua dimensi dari risiko sistemik (Agung, 2010: 11; Galati dan Richhild, 2011: 7-8; Gauthier et al., 2012: 506; IMF, 2011: 13), yaitu dimensi time series dan dimensi cross section. Dimensi time series yaitu kebijakan makroprudensial ditujukan untuk menekan risiko terjadinya prosiklikalitas yang berlebihan dalam sistem keuangan. Dalam konteks ini, kebijakan makroprudensial harus didesain sedemikian rupa sehingga mampu menghilangkan atau paling tidak memitigasi prosiklikalitas. Prinsipnya adalah mendorong institusi keuangan untuk mempersiapkan penyangga yang cukup di saat perekonomian sedang baik dan menggunakan penyangga tersebut ketika perekonomian sedang memburuk. Kemudian dimensi cross-section, yang menggeser fokus dari regulasi prudensial yang diterapkan pada individual lembaga keuangan menuju pada regulasi sistem secara keseluruhan (Moreno, 2011: 21). Sejarah krisis keuangan menunjukkan bahwa sebagian besar dari krisis keuangan yang terjadi di dunia bukanlah akibat dari masalah individual bank yang kemudian menular secara keseluruh sistem keuangan. Sebaliknya, krisis-krisis besar
yang
terjadi
merupakan
akibat
dari
pembongkaran
terhadap
ketidakseimbangan keuangan makro yang dilakukan secara bersamaan oleh sebagian besar pelaku sistem keuangan (Angelini et a., 2012: 64; Lima et al., 2012: 23 dan Suh, 2012: 19). Oleh sebab itu, pandangan yang lebih holistik
3
terhadap sistem keuangan dan hubungannya dengan perekonomian makro dari berbagai sisi sangat diperlukan. Pada dasarnya instrumen makroprudensial ditujukan untuk (Bruno dan Hyun, 2013: 9; Nijathaworn, 2009: 23; Lim et al., 2011: 12) pertama, prosiklikalitas yang merupakan perilaku sistem keuangan yang mendorong perekonomian
tumbuh
lebih
cepat
ketika
ekspansi
dan
memperlemah
perekonomian ketika siklus kontraksi dan kedua, common exposure yang mana instrumen digunakan sebagai aturan kehati-hatian pada masing-masing institusi (perbankan). Penggunaan instrumen makroprudensial sebenarnya bukan hal yang baru. Hanya saja, instrumen tersebut mengalami lebih banyak penyesuaian pasca krisis global tahun 2008. Negara-negara sedang berkembang menggunakan instrumen makroprudensial lebih luas dibandingkan negara-negara maju (Antipa et al., 2011: 29; Galati dan Richhild, 2011: 25, dan Tovar et al., 2012: 17). Beberapa negara menggunakan instrumen yang bervariasi. Penggunaan instrumen tersebut tergantung pada tingkat perkembangan ekonomi dan keuangan, rezim nilai tukar, dan daya tahan terhadap guncangan keuangan (Unsal, 2011: 14). Berdasarkan argumen Angelini et al., (2012: 20) dan Tovar et al., (2012: 27) instrumen makroprudensial digunakan untuk memitigasi tiga kategori dalam risiko sistemik, yaitu risiko-risiko yang ditimbulkan akibat pertumbuhan kredit yang terlalu kuat, risiko likuiditas, dan risiko akibat arus modal masuk yang deras. Beberapa instrumen kebijakan makroprudensial yang selama ini telah dilakukan oleh Bank Indonesia antara lain Month Holding Period (MHP), Posisi
4
Devisa Neto (PDN), Giro Wajib Minimum (GWM) primer, dan GWM+LDR (Loan to Deposit Ratio). Month Holding Period (MHP) merupakan kebijakan yang mewajibkan pembeli Sertifikat Bank Indonesia (SBI) baik di pasar primer maupun di pasar sekunder
menahan kepemilikan SBI-nya selama periode waktu yang telah
ditentukan yaitu 1 bulan (OMHP) dan 6 bulan (SMHP) sejak tanggal pembelian, sebelum dapat mentransaksikannya kepada pihak lain. Kebijakan MHP bertujuan untuk mengurangi volatilitas aliran dana di SBI dan meningkatkan efektivitas pengelolaan moneter. Kebijakan ini diharapkan dapat meminimalkan dampak negatif aliran modal asing yang bersifat spekulatif atau bersifat jangka pendek terhadap stabilitas moneter dan sistem keuangan serta dapat mendorong transaksi lainnya di pasar uang. Kebijakan OMHP berlaku sejak Juni 2010 dan kebijakan SMHP berlaku sejak Mei 2011.1 Grafik 1.1 Pergerakan Portofolio (Juta US$) dan Nilai Tukar Rupiah terhadap US$ Rp/USD
Milyar USD
14,000.000 12,000.000
Jan-12
Oct-11
Jul-11
Apr-11
Jan-11
Oct-10
Jul-10
Apr-10
Jan-10
Oct-09
Jul-09
Apr-09
10,000.000 Jan-09
3000 2000 1000 0 -1000 -2000 -3000 -4000 -5000 -6000 -7000
8,000.000 6,000.000 4,000.000 2,000.000 0.000
SBN
SBI
Stock
1
Nilai Tukar
Penjelasan tentang month holding period berdasarkan Peraturan Bank Indonesia. Nomor: 12/ 11 /PBI/2010 Tentang Operasi Moneter
5
Sumber: Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, Bank Indonesia (2012) (diolah)
Grafik 1.1 menunjukkan bahwa setelah diberlakukannya kebijakan MHP, nilai tukar rupiah cenderung mengalami penurunan dan relatif stabil di level yang rendah. Namun demikian, terlihat nilai tukar cenderung stabil setelah diberlakukan kebijakan OMHP, tetapi kembali mengalami tren kenaikan setelah diberlakukan kebijakan SMHP. Terlihat bahwa kebijakan OMHP tidak banyak berdampak terhadap kepemilikan asing di SBI. Kebijakan SMHP lebih berdampak terhadap porsi kepemilikan asing di SBI yang terlihat mengalami penurunan tajam. Kebijakan SMHP ternyata juga mempengaruhi porsi kepemilikan asing di SBN (Surat Berharga Negara) yang semula cenderung meningkat, tetapi sejak diberlakukannya kebijakan SMHP relatif stabil bahkan cenderung menurun. Posisi Devisa Neto (PDN) adalah angka yang merupakan penjumlahan dari nilai absolut untuk jumlah dari selisih bersih aktiva dan pasiva dalam neraca untuk setiap valuta asing ditambah dengan selisih bersih tagihan dan kewajiban baik yang merupakan komitmen maupun kontinjensi dalam rekening administratif untuk setiap valuta asing, yang semuanya dinyatakan dalam rupiah. Instrumen makroprudensial ini bertujuan untuk melakukan pendalaman pasar valuta asing domestik dan memberikan ruang gerak yang memadai bagi perbankan dalam pengelolaan eksposur valuta asingnya dengan tetap berpegang pada prinsip kehatian-hatian. Penyempurnaan ketentuan PDN ditujukan untuk meningkatkan kedalaman pasar keuangan dalam negeri, memelihara stabilitas nilai tukar rupiah, dengan tetap memperhatikan aspek prudensial bank. Penyempurnaan ketentuan PDN tersebut diharapkan dapat memberikan informasi yang lebih baik mengenai
6
potensi
resiko
yang
ada
sehingga
dapat
diketahui
lebih
dini
dan
diminimalisasikan. Pembatasan PDN pada neraca maksimal sebesar 20% dari modal dihapuskan dan PDN keseluruhan tetap maksimal 20% dari modal. Bank wajib mengelola dan memelihara PDN pada akhir hari kerja dengan ketentuan bahwa secara keseluruhan paling tinggi 20% dari modal.2 Sementara itu, ketentuan PDN yang berlaku setiap saat dilonggarkan menjadi 30 menit. Selain wajib mengelola dan memelihara PDN pada akhir hari kerja, bank wajib mengelola dan memelihara PDN paling tinggi 20% dari modal setiap 30 menit yang terhitung sejak sistem perbendaharaan bank dibuka sampai dengan sistem perbendaharaan bank ditutup. Kebijakan PDN ini berlaku efektif sejak Januari 2011. Berdasarakan Grafik 1.1 menunjukkan bahwa sebelum diberlaukannya kebijakan PDN nilai tukar mengalami tren peningkatan yang tajam. Namun, semenjak diberlakukannya kebijakan PDN, nilai tukar cenderung stabil, sedikit mengalami penurunan, tetapi kembali mengalami tren kenaikan. Giro Wajib Minimum (GWM) adalah simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia yang besarnya ditetapkan oleh Bank Indonesia sebesar persentase tertentu dari Dana Pihak Ketiga (DPK). Salah satu kebijakan makroprudensial yang umum digunakan untuk mengelola risiko likuiditas adalah menggunakan instrumen GWM. Sebagaimana dikutip dari studi Galati dan Richhild (2011: 26), instrumen makroprudensial tersebut saat ini digunakan terutama untuk membatasi penawaran kredit terhadap sektor tertentu guna mengurangi pertumbuhan kredit 2
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 5/13/PBI/2003 Tentang Posisi Devisa Neto Bank Umum kemudian disempurnakan menjadi Peraturan Bank Indonesia No.12/10 /PBI/2010 Tentang Perubahan Ketiga atas Peraturan Bank Indonesia. Nomor 5/13/PBI/2003.
7
yang berlebihan. Selain itu, instrumen GWM juga digunakan terutama di negaranegara berkembang untuk mencegah ketidakseimbangan domestik akibat aliran masuk modal asing yang sangat besar dan berfluktuasi. Kebijakan GWM Primer ini diumumkan tanggal 3 September 2010 dan berlaku efektif sejak 2 November 2010. Berdasarkan kebijakan ini, pengenaan GWM Primer ditetapkan sebesar 8% dari DPK. Lebih lanjut, ketentuan ini mengatur bahwa pemenuhan tambahan GWM Primer dalam Rupiah sebesar 3% dari DPK akan diberikan jasa giro sebesar 2,5%. Sementara itu, jasa giro tidak diberikan pada bank yang rasio GWM Primernya di bawah 8%.3 Grafik 1.2 Posisi Operasi Pasar Terbuka dan Operasi Moneter (Miliar Rupiah) Milyar Rupiah
600,000 500,000 400,000 300,000 200,000 100,000
Operasi Moneter
Jan-12
Nov-11
Sep-11
Jul-11
May-11
Mar-11
Jan-11
Nov-10
Sep-10
Jul-10
May-10
Mar-10
Jan-10
Nov-09
Sep-09
Jul-09
May-09
Mar-09
Jan-09
-
Operasi Pasar terbuka
Sumber: Statistik Ekonomi dan Moneter Indonesia, Bank Indonesia (2012) (diolah)
Grafik 1.2 menunjukkan bahwa aliran masuk modal asing (capital inflow) ke Indonesia sangat besar. Hal ini terkait dengan kondisi pasar keuangan global yang masih belum pulih sehingga investor global memilih menepatkan dananya di 3
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 12/19/PBI/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing
8
pasar negara berkembang. Kondisi tersebut terlihat dari semakin tingginya posisi operasi pasar terbuka dan operasi moneter yang diterapkan Bank Indonesia (BI). Hal ini dapat menimbulkan tekanan apresiasi nilai tukar. Oleh karenanya, BI dalam kondisi tersebut melakukan kebijakan sterilisasi valuta asing (valas) untuk mengurangi tekanan terhadap nilai tukar. Namun di sisi lain, hal ini akan menyebabkan bertambahnya ekses likuiditas di perbankan. Di tengah terbatasnya ruang kebijakan suku bunga, BI menerapkan kebijakan GWM Primer untuk menyerap kondisi ekses likuiditas tersebut. Dengan mengenakan rasio 8% dari Dana Pihak Ketiga (DPK) Rupiah, kebijakan GWM Primer dipandang cukup mampu untuk menyerap ekses likuiditas. GWM + LDR (Loan to Deposit Ratio) merupakan simpanan minimum yang wajib dipelihara oleh bank dalam bentuk saldo rekening giro pada Bank Indonesia sebesar persentase dari DPK yang dihitung berdasarkan selisih antara LDR yang dimiliki oleh bank dengan LDR target (Peraturan Bank Indonesia, 2010). Melengkapi kebijakan makroprudensial yang telah dikeluarkan, pada bulan Maret 2011 BI kembali mengeluarkan ketentuan GWM yang dikaitkan dengan LDR (GWM+LDR). Maksud dari kebijakan GWM+LDR adalah untuk mendorong fungsi intermediasi perbankan secara optimal dengan didasarkan atas prinsip keseimbangan antara pencapaian tujuan moneter dan stabilitas sistem keuangan serta mendorong perbankan melakukan fungsi intermediasinya dalam hal ini kredit. Kebijakan ini diharapkan dapat mendorong peningkatan kredit perbankan terutama pada bank-bank yang masih memiliki LDR yang relatif rendah. Di awal penerapannya, BI memperkirakan dampaknya terhadap bank akan bersifat
9
kontraktif. Namun, peningkatan fungsi intermediasi perbankan tersebut tidak hanya akan membantu ekspansi neraca bank, tapi juga meningkatkan akses pembiayaan bagi sektor riil sebagai penggerak roda perekonomian. Sementara itu, dari aspek makroprudensial, ketentuan GWM+LDR merupakan upaya untuk mengendalikan risiko yang muncul akibat perilaku bank yang prosiklikal dalam pemberian kredit kepada sektor swasta. Dengan demikian, kesinambungan pertumbuhan perekonomian ke depan dapat terus dijaga.4 Mekanisme pelaksanaan dari ketentuan GWM+LDR adalah mendorong perbankan untuk menjaga LDR pada level optimal dikisaran 78% - 100%. GWM yang dikenakan atas suatu bank dibuat bervariasi sesuai aktivitas intermediasi bank itu. Bank yang dapat mencapai kisaran LDR tersebut tidak dikenakan kewajiban untuk menambah GWM. Bank dengan LDR lebih rendah dari batas bawah target LDR dikenai disinsentif berupa tambahan GWM sebesar 0,1 dari DPK rupiah untuk setiap 1 persen kekurangan LDR. Untuk bank dengan LDR lebih tinggi dari batas atas target LDR dan memiliki capital adequacy ratio (CAR) lebih kecil dari 14 persen dikenai disinsentif berupa tambahan GWM sebesar 0,2 dari DPK rupiah untuk setiap 1 persen kelebihan LDR. Untuk bank dengan LDR lebih dari batas atas target LDR tetapi memiliki CAR 14% atau lebih tidak kena tambahan GWM.
4
Penjelasan tentang GWM + LDR ini berdasarkan Peraturan Bank Indonesia Nomor 15/7/PBI/2013 Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia Nomor 12/19/Pbi/2010 Tentang Giro Wajib Minimum Bank Umum Pada Bank Indonesia Dalam Rupiah Dan Valuta Asing
10
Grafik 1.3 Posisi Kredit Bank Umum (Miliar Rupiah) Kredit (Milyar Rupiah) 1200 1000 800 600 400 200
Jan-12
Nov-11
Sep-11
Jul-11
May-11
Mar-11
Jan-11
Nov-10
Sep-10
Jul-10
May-10
Mar-10
Jan-10
Nov-09
Sep-09
Jul-09
May-09
Mar-09
Jan-09
0
Sumber: Statistik Perbankan Indonesia, Bank Indonesia (2012) (diolah)
Grafik 1.3 menunjukkan bahwa dalam kaitannya dengan kredit bank, BI mengeluarkan kebijakan GWM LDR ketika kondisi pertumbuhan kredit sedang booming yang ditandai dengan pertumbuhan di atas 20% secara year on year (yoy) dan terus terakselerasi. Setelah dikeluarkannya kebijakan GWM LDR, sebagaimana telah diperkirakan sebelumnya dampak kebijakan ini bersifat kontraktif di awal. Hal ini terlihat dari penurunan pertumbuhan kredit dalam 3 bulan setelah implementasi kebijakan GWM LDR. Kemudian pada bulan-bulan berikutnya, pertumbuhan kredit kembali normal dan bahkan terus meningkat. Meskipun
berdasarkan
grafik
tersebut,
hasilnya
menunjukkan
bahwa
implementasi GWM LDR terkait dengan penurunan pertumbuhan kredit, namun hal ini bisa juga dikarenakan oleh sinkronisasi antara kebijakan pengetatan GWM LDR dengan kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate).
11
Berdasarkan penelitian Hahm et al., (2009) tentang efektifitas penggunaan instrumen kebijakan makroprudensial di Korea Selatan menunjukkan bahwa kebijakan Loan to Value (LTV), LDR, dan GWM sebagai instrumen makroprudensial sangat efektif untuk mengurangi siklus kredit. Berbeda dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bustamante et al., (2012) yang mana efektifitas penggunaan instrumen makroprudensial di Kolombia menunjukkan bahwa kebijakan LTV kurang efektif diterapkan. Hal ini karena naiknya harga rumah yang digunakan sebagai agunan pinjaman. Dampaknya adalah secara ratarata dapat menurunkan rasio LTV dan akan menurunkan suku bunga pinjaman. Peneliti lain yaitu Tovar et al., (2012) dalam penelitiannya di Brazil, Kolombia, dan Peru menunjukkan bahwa penggunaan instrumen makroprudensial berupa GWM efektif diterapkan di Brazil dan Peru, sedangkan di Kolumbia tidak. Kemudian Lim et al., (2011) mengevaluasi efektifitas penggunaan instrumen makroprudensial dalam mengurangi risiko sistemik di 49 negara. Mereka berargumen bahwa sebagian besar instrumen (LTV dan GWM) efektif dalam mengurangi prosiklikalitas, tetapi efektivitasnya sangat tergantung pada guncangan di sektor finansial.
1.2
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan uraian latar belakang, maka pada penelitian ini akan dibatasi
oleh pertanyaan penelitian sebagai berikut: a. bagaimana pergerakan sasaran instrumen kebijakan makroprudensial sebelum dan setelah kebijakan tersebut diimplementasikan?,
12
b. bagaimana efektifitas instrumen kebijakan makroprudensial (month holding period, posisi devisa neto, giro wajib minimum, dan giro wajib minimum+ loan to deposit ratio) yang telah diterapkan di Indonesia?.
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan penelitian, maka dapat diketahui bahwa penelitian
ini bertujuan untuk: a.
menganalisis pergerakan sasaran instrumen kebijakan makroprudensial sebelum dan setelah kebijakan tersebut diimplementasikan.
b.
menganalisis efektifitas instrumen kebijakan makroprudensial (month holding period, posisi devisa neto, giro wajib minimum, dan giro wajib minimum+ loan to deposit ratio) yang telah diterapkan di Indonesia.
1.4
Manfaat Penelitian
1. Penelitian ini diharapkan berguna untuk memahami lebih baik komponen kebijakan makroprudensial di Indonesia. Penggunaan data panel jenis bank diharapkan memperkaya penelitian kebijakan makroprudensial di Indonesia. 2. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan dalam penyusunan kebijakan makroprudensial oleh Bank Indonesia. Kebijakan efektif jika komponen kebijakan makroprudensial secara signifikan mempengaruhi sasarannya. 3. Penelitian ini diharapkan dapat menunjukkan keterbatasan kebijakan makroprudensial yang diterapkan Bank Indonesia karena kebijakan ini masih berinteraksi dengan kebijakan moneter dan kebijakan mikroprudensial.
13
1.5
Sistematika Penulisan Tesis ini disampaikan dalam beberapa bagian dengan sistematika penyajian
sebagai berikut: Bab I:
Menguraikan pendahuluan, yang memuat latar belakang, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian dan manfaat penelitian.
Bab II: Merupakan survei literatur, yang menelusuri teori yang relevan dengan topik penelitian. Selain itu juga diidentifikasi studi empiris yang telah dilakukan sebelumnya mengenai topik yang sama. Bab III: Membahas metodologi penelitian mencakup jenis dan sumber data, serta metode estimasi. Bab IV: Membahas hasil estimasi dari data dan kesimpulan yang dapat diambil berdasarkan hasil pengolahan data. Bab V: Membahas kesimpulan penelitian dan implikasi kebijakan berdasarkan hasil yang diperoleh penelitian.
14