BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Menurut WHO (2013) penyakit infeksi oleh parasit yang terdapat di daerah tropis antara lain adalah malaria dan filariasis merupakan masalah kesehatan masyarakat di seluruh dunia. Diperkirakan kejadian malaria telah terjadi 300-500 juta kasus klinis secara global setiap tahun (Rietveld, 2013). Penyakit malaria yang berbahaya adalah malaria cerebral yang disebabkan oleh Plasmodium falciparum dan merupakan salah satu penyakit yang dapat menyebabkan kematian terutama pada kelompok beresiko tinggi seperti bayi, anak balita, dan ibu hamil. Kasus filariasis di Indonesia tahun 2009 dilaporkan sebanyak 11.914 kasus (Tri, 2010). Penyakit ini disebabkan oleh cacing Filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi dan Brugia timori (WHO, 2014). Nyamuk Anopheles sp. merupakan nyamuk yang bertanggungjawab sebagai vektor penyakit malaria, filariasis, chikungunya dan ONNV (O'Nyong Nyong Virus). Vektor adalah golongan Arthropoda atau Invertebrata yang dapat memindahkan penyakit dari satu sumber atau reservoir ke hospes potensial (Tri, 2008). Hanya spesies nyamuk Anopheles tertentu yang mampu menularkan penyakit malaria. Terdapat lebih dari 400 spesies Anopheles di dunia tetapi hanya sekitar 67 spesies yang terbukti mengandung sporozoit Plasmodium dan dapat menularkan malaria. Di Indonesia telah ditemukan 24 spesies Anopheles yang menjadi vektor malaria (Kris, 2013). Filariasis juga penyakit yang disebarkan oleh
1
2
vektor nyamuk Anopheles sp.. Parasit tersebut tersebar di seluruh kepulauan Indonesia oleh berbagai spesies nyamuk yang termasuk dalam genus Aedes, Anopheles, Culex, Mansonia, Coquilettidia dan Armigeres. Spesies Anopheles lebih banyak bertanggungjawab terhadap penularan filariasis Wuchereria bancrofti dan Brugia malayi di wilayah pedesaan (Hendra, 2009). Anopheles sp. memilih tempat perindukan (breeding place) ditempat berair dihampir semua jenis air yang berbeda-beda tergantung spesies. Di beberapa tempat breeding place tersebut mempunyai tingkat salinitas yang berbeda-beda, menurut Soekirno, dkk (1983) dalam tulisan Bustam (2012) berkisar antara 12-18 % serta didukung oleh pengamatan dari Sundararaman (1957) dalam Budasih (1993) menyatakan bahwa Anopheles sundaicus dapat berkembang dengan baik pada salinitas antara 4-30 % sedangkan referensi lain dari Majematang (2013) menyatakan bahwa perkembangan Anopheles sundaicus optimal pada kadar salinitas 4-30%,
Anopheles vagus pada kadar 0%, dan Anopheles subpictus,
Anopheles barbirosis, Anopheles anullaris pada air payau atau daerah pantai. Salinitas yang sesuai dan optimum untuk perkembangan larva di pulau Jawa adalah berkisar pada 15-20 %. Kemampuan nyamuk Anopheles sp. untuk berkembangbiak dihampir semua jenis air menyebabkan peningkatan potensi perkembangan dan penyebaran nyamuk Anopheles sp. serta dengan ditunjang oleh faktor-faktor lain seperti migrasi dan resistensi vektor terhadap insektisida semakin membuat kontrol terhadap penyakit-penyakit yang disebarkan oleh vektor ini lebih sulit dan mahal (Rietveld, 2013).
3
Menurut hasil penelitian Widiarti (2005), nyamuk Anopheles sp dari Kabupaten Banyuwangi, Pacitan, Trenggalek, dan Jember telah resisten terhadap insektisida sebesar masing-masing 31,25%, 12,5%, 45,25% dan 15,25%. Uji silang menggunakan standart WHO impregnated paper Anopheles sp. dari Kabupaten Pacitan resisten terhadap insektisida Bendiokarb 0,1% (kematian sebesar 66%) dan Malathion 0,5% (kematian sebesar 28%). Anopheles sp. di Kabupaten Pacitan, Jember dan Trenggalek telah resisten terhadap insektisida Permethrin (kematian sebesar 73,0%). Resistensi terhadap insektisida dapat berlangsung pada saat nyamuk berada pada stadium larva maupun dewasa sehingga seharusnya dikembangkan insektisida yang berhubungan dengan karakteristik biologi Anopheles yaitu dengan cara memprovokasi lingkungan hidup nyamuk, salah satunya dengan salinitas air. Salinitas air yang tidak sesuai dengan kondisi fisiologis larva akan menyebabkan kegagalan dari sistem osmoregulasi dari tubuh larva. Bustam (2012) menyatakan bahwa salinitas air sangat berpengaruh terhadap ada tidaknya Anopheles di suatu daerah. Adanya danau, genangan air, persawahan, kolam ataupun parit pada suatu daerah dapat menjadi tempat perindukan nyamuk, sehingga meningkatkan kemungkinan timbulnya penularan penyakit yang disebarkan oleh Anopheles sp.. Perkembangan nyamuk Anopheles sp. sangat dipengaruhi lingkungan breeding place-nya. Kondisi yang sesuai seperti pH, suhu, oksigen, makanan dan salinitas akan mempercepat proses perkembang biakan nyamuk. Jika dalam program pemberantasan tidak memperhatikan lingkungan tersebut, maka akan mempercepat terjadinya resistensi nyamuk terhadap insektisida yang digunakan.
4
Berdasarkan latar belakang di atas, akan dilakukan penelitian dengan judul: Pengaruh medium dengan tingkat salinitas yang berbeda terhadap perkembangan larva nyamuk Anopheles sp..
1.2 Rumusan Masalah “Apakah air dengan kadar salinitas yang berbeda dapat menghambat kehidupan larva nyamuk Anopheles sp.?” 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Umum Mengetahui pengaruh perbedaan salinitas air dalam menghambat perkembangan larva nyamuk Anopheles sp. 1.3.2
Khusus Mengetahui: 1. Persentase mortalitas larva nyamuk Anopheles sp. pada perbedaan salinitas air. 2. Kadar salinitas air yang diperlukan untuk membunuh 50% larva Anopheles sp. (LC 50) dan kadar salinitas untuk membunuh 90% larva Anopheles sp. (LC90).. 3. Kekuatan
dan
arah
hubungan
antara
salinitas
dengan
perkembangan larva Anopheles sp. 1.4 Manfaat Penelitian Akademisi: 1. Sebagai referensi awal untuk penelitian lanjutan tentang perkembangan nyamuk Anopheles sp. dalam berbagai medium pembiakan.
5
2. Sebagai alternatif lain untuk pemberantasan larva nyamuk Anopheles sp.. Masyarakat: Memberikan pengetahuan bahwa pada persentase kadar salinitas tertentu dapat membunuh larva nyamuk Anopheles sp..