BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Penelitian Sampai dengan saat ini masalah kemiskinan masih menjadi persoalan yang belum tertuntaskan bagi negara berkembang seperti Indonesia. Masyarakat yang berpenghasilan rendah (MBR) dapat juga dikatakan sebagai masyarakat miskin atau kurang mampu. Secara sederhana jika dilihat dari sudut pandang kebutuhan dasar, seseorang akan disebut miskin jika tidak mampu memenuhi kebutuhan dasarnya seperti pangan, sandang dan papan secara layak (manusiawi). VIVAnews pada tanggal 8 Desember 20101 memberitakan bahwa Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat data kemiskinan di Indonesia masih cukup besar dan tidak merata. Dari 31,02 penduduk yang hidup miskin, sebagian besarnya (55,83%) menetap di Pulau Jawa. Tercatat dari 33 provinsi, ada 17 yang memiliki tingkat kemiskinan di bawah rata-‐rata nasional. Termasuk diantaranya Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu ditemukan juga indeks kedalaman kemiskinan yang masih tinggi di beberapa daerah, diantaranya Kota Yogyakarta dengan indeks 4,74. Indeks kedalaman kemiskinan adalah indikator yang mengukur kesenjangan pengeluaran rata-‐rata penduduk miskin terhadap garis kemiskinan nasional. Bank Dunia dalam suatu Dissemination Paper-‐nya tentang “Kota-‐kota Dalam Transisi: Tinjauan Sektor Perkotaan Pada Era Desentralisasi di Indonesia”2, antara lain mengemukakan tentang kondisi kemiskinan perkotaan di Indonesia. Hal ini 1 2
http://m.news.viva.co.id diakses tanggal 12 Mei 2013 www.bappenas.go.id, diakses tanggal 30 Juli 2011
1
dapat disimpulkan pertama-‐tama bahwa hak masyarakat miskin perkotaan terhadap tanah, rumah, infrastruktur dan pelayanan dasar, kesempatan kerja dan mendapatkan pinjaman, pemberdayaan dan partisipasi, rasa aman dan keadilan sangatlah terbatas sekali dalam kehidupan mereka sehari-‐hari. Jika dijabarkan lebih lanjut maka dapat diuraikan sebagai berikut: (1) Kepemilikan dan akses terhadap tanah yang sulit dan sangat terbatas. Penataan tanah perkotaan yang tidak jelas dan harga tanah yang tinggi mengakibatkan masyarakat miskin perkotaan tak mampu menjangkaunya. Apalagi ditambah dengan sistem hak atas tanah yang kompleks dari hak milik hingga hak guna sementara, serta biaya mendapatkan sertifikat tanah yang relatif tinggi. Kesemuanya berakibat masyarakat miskin pada umumnya tinggal di tempat yang ilegal atau pada lahan milik negara atau lainnya; (2) Rumah berfungsi ganda serta kepemilikannya sangat berisiko dan kebanyakannya ilegal. Perumahan bagi masyarakat miskin, khususnya di perkotaan, bukan hanya sebagai tempat berlindung tetapi juga merupakan aset, tempat berusaha/bekerja dan sumber berpijak untuk memperoleh penghasilan, sehingga mengakibatkan daerah tersebut menjadi tidak aman, yang berisiko tinggi terhadap kesehatan, keselamatan dan keamanan mereka; (3) Tingkat pendidikan keluarga sangat rendah dan ketergantungan hidup keluarga yang besar. Meskipun tingkat pendidikan mereka sangat rendah, namun rumah tangga perkotaan rata-‐rata berpendidikan relatif lebih baik dibandingkan dengan rumah tangga perdesaan, disamping itu terdapat perbedaan yang tajam dalam tingkat pendidikan antara keluarga kaya dengan keluarga miskin perkotaan; (4) Kondisi lingkungan buruk yang berisiko penyakit dan akses/tingkat kesehatan yang sangat rendah. Secara umum, masyarakat perkotaan
2
memiliki akses yang relatif lebih besar untuk mendapatkan fasilitas kesehatan. Namun tingkat kesehatan mereka belum tentu lebih baik karena terdapatnya gizi yang buruk, tekanan lingkungan sanitasi yang buruk, dan perilaku hidup yang tidak sehat; (5) Status pekerjaan tidak menentu dan bekerja seadanya sebisa mungkin serta tingkat pengangguran yang tinggi. Bahwa pengangguran di daerah perkotaan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di daerah perdesaan. Dan tingkat penganggurannya cenderung meningkat untuk kaum miskin (dan non miskin) dengan peningkatan yang berhubungan dengan kondisi dan fasilitas permukiman buruk yang tidak menguntungkan; (6) Sangat terbatasnya akses ke fasilitas dasar perkotaan. Kaum miskin perkotaan sangat kurang tercukupi kebutuhannya atas pelayanan kebutuhan dasar mereka seperti air bersih, sanitasi, saluran air dan jalan akses. Kondisi ini terjadi antara lain karena kurangnya bantuan dan penanganan pemerintah, baik berupa pemeliharaan maupun investasi baru atas infrastruktur lingkungan yang diperlukan masyarakat setempat. Landasan untuk mengatasi kurangnya fasilitas perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah atau kurang mampu ada beberapa, diantaranya adalah Amandemen Undang-‐Undang Dasar 1945 pasal 28 H ayat (1) mengamanatkan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Selanjutnya, menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Azasi Manusia pada pasal 40 dinyatakan bahwa setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Dengan demikian, setiap orang (kaya maupun miskin, tak terkecuali) berhak bertempat
3
tinggal yang layak dan terjangkau di dalam lingkungan permukiman yang baik, sehat, aman, harmonis dan berkelanjutan. Sejalan dengan semangat demokrasi dan desentralisasi, pemerintah perlu lebih berperan (bahkan berkewajiban) dalam menyediakan dan memfasilitasi perumahan dan permukiman bagi masyarakat, terutama masyarakat berpenghasilan rendah atau kurang mampu. Sebagai gambaran, Kota Yogyakarta memiliki tingkat kepadatan penduduk tertinggi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dimana pada tahun 2010 tercatat mencapai rata-‐rata 11.941 penduduk setiap satu kilometer persegi3, dengan jumlah warga miskin sekitar 15,24% dari total jumlah penduduknya atau sebanyak 20.456 keluarga4. Seperti pada umumnya masyarakat perkotaan dengan tingkat ekonomi yang rendah, biasanya mereka juga memiliki tingkat pendidikan yang rendah yang mana hal itu kemudian mengakibatkan ketrampilan yang dimiliki terbatas pula sehingga pengalaman pekerjaan pun tidak banyak. Keterbatasan perekonomian dan pendidikan menyebabkan mereka hanya dapat bekerja di lapangan pekerjaan sektor informal sesuai dengan keahlian yang mereka miliki, sehingga kesempatan untuk mendapatkan penghasilan yang relatif besar pun juga terbatas. Salah satu masalah yang dihadapi oleh masyarakat perkotaan dengan tingkat ekonomi yang rendah tersebut adalah kemampuan untuk memiliki tempat tinggal, yang mana fungsi paling sederhana dari tempat tinggal adalah sebagai tempat bernaung dan memberikan rasa aman. Keterbatasan perekonomian menyebabkan mereka hanya mempunyai sedikit pilihan untuk mengusahakan tempat untuk bernaung. Pilihan terburuk adalah di sepanjang bantaran sungai atau pinggiran rel kereta api. Keterbatasan sarana 3 4
http://ads3.kompasads.com, diakses tanggal 9 Mei 2011 http://www.radarjogja.go.id, diakses tanggal 9 Mei 2011
4
prasarana di tempat itu mengakibatkan rumah-‐rumah yang ada menjadi tidak layak huni karena dalam keadaan yang kumuh dan tidak sehat. Lingkungan sekitarnya juga akan terpengaruh menjadi tidak nyaman dan tidak indah. Berdasarkan sebuah laporan, lokasi permukiman sangat kumuh terkonsentrasi di bantaran Sungai Code seperti di Kecamatan Gondokusuman, Danurejan, Jetis, Gondomanan, Mergangsan dan Pakualaman5. Salah satu tempat di Kota Yogyakarta yang dihuni oleh mayoritas masyarakat berpenghasilan rendah adalah daerah Juminahan di Kelurahan Tegalpanggung Kecamatan Danurejan, dimana daerah tersebut berada di pinggiran Sungai Code dan terletak di tengah-‐tengah kota dekat dengan titik-‐titik strategis Kota Yogyakarta, dan kebanyakan warganya adalah dalam keadaan kurang mampu dengan pekerjaan dalam bidang informal atau bahkan serabutan. Keadaan sampai dengan tahun 2013, kepadatan penduduk di Kecamatan Danurejan sebesar 17.058 jiwa setiap satu kilometer persegi melebihi kepadatan penduduk keseluruhan Kota Yogyakarta yang sebesar 12.390 jiwa setiap satu kilometer persegi6. Daerah Juminahan menunjukkan ciri umum wilayah perkotaan yaitu tingkat kepadatan dan heterogenitas penduduk yang tinggi. Meskipun berada pada permukiman yang sangat padat, masyarakat enggan untuk pindah dengan alasan karena matapencahariannya berada di sekitar pusat kota. Hal tersebut membuat Pemerintah Pusat melalui Pemerintah Kota Yogyakarta melakukan upaya terhadap permukiman kumuh dengan meningkatkan penyediaan hunian yang layak dan terjangkau bagi masyarakat yang kurang mampu serta meningkatkan aksesibilitas mereka terhadap hunian layak dan terjangkau. 5 6
Bappeda Provinsi DIY tahun 2010 Kota Yogyakarta Dalam Angka Tahun 2014, BPS DIY
5
Berkaitan dengan semakin sempitnya ketersediaan lahan kota, yang mana pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal (rumah) tidak mungkin lagi dalam bentuk horizontal maka pemerintah Kota Yogyakarta perlu mengadakannya dengan sistem vertikal (rumah susun). Salah satu upaya intervensi pemerintah dalam penyediaan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah adalah pembangunan rumah susun sederhana sewa (rusunawa). Bappeda Kota Yogyakarta (2009) menetapkan bahwa program pembangunan rusunawa ini bertujuan untuk mengisi kebutuhan perumahan masyarakat berpenghasilan rendah, mengurangi masalah transportasi, efisiensi dan efektivitas ruang kota, menciptakan lingkungan yang sehat dan layak, menekan biaya investasi sarana prasarana, serta meningkatan kualitas lingkungan permukiman. Kemudian dengan mengadopsi dari Undang-‐ Undang Nomor 16 Tahun 1985 tentang Rumah Susun dan Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1988 tentang Rumah Susun, ditetapkan oleh pemerintah daerah melalui Peraturan Walikota Yogyakarta Nomor 44 Tahun 2009 tentang Pengelolaan Rumah Susun Sederhana Sewa Milik Pemerintah Kota Yogyakarta, di dalam Pasal 3 tujuan dari pembangunan rusunawa di Kota Yogyakarta adalah: a. Memenuhi kebutuhan perumahan yang layak bagi rakyat, terutama golongan masyarakat yang berpenghasilan rendah dan menjamin kepastian hukum pemanfaatannya; b. Meningkatkan daya guna dan hasil guna tanah di daerah perkotaan dengan memperhatikan kelestarian sumber daya alam dan menciptakan lingkungan permukiman yang lengkap, serasi dan seimbang;
6
c. Memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya yang berguna bagi kehidupan masyarakat dengan tetap mengutamakan ketentuan huruf a. Sedangkan di dalam Pasal 4 disebutkan sasaran pembangunan rusunawa adalah memberikan fasilitas rumah dengan sistem sewa untuk: a. Masyarakat berpenghasilan rendah yang berdomisili di daerah administrasi Kota Yogyakarta, diutamakan masyarakat yang berada di wilayah sekitar pinggiran sungai maupun tempat-‐tempat yang berkaitan dengan penataan lingkungan permukiman; b. Masyarakat yang tempat tinggalnya direlokasi untuk pembangunan rumah susun atau pembangunan sarana prasarana fisik yang lain; c. Masyarakat berpenghasilan rendah sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah: 1. Pendapatan keluarga tiap bulan sebesar 1 (satu) sampai dengan 2 (dua) kali UMP; 2. Belum memiliki rumah tinggal yang tetap. Jadi yang berhak menempati rusunawa tersebut adalah masyarakat berpenghasilan rendah atau kurang mampu yaitu masyarakat yang belum mendapat kesempatan memiliki rumah yang dibangun Perumnas (meskipun melalui skema kredit kepemilikan rumah (KPR) karena persyaratan bank tidak terpenuhi) atau membangun sendiri tempat tinggalnya, dan masyarakat yang baru berumahtangga dan belum mampu membeli rumah. Sampai saat ini Kota Yogyakarta memiliki 3 rusunawa yaitu Rusunawa Cokrodirjan (Kecamatan Danurejan, Kampung Suryatmajan); Rusunawa Juminahan yang dinamakan Rusunawa Grha Bina Harapan (Kecamatan Danurejan, Kampung
7
Juminahan) dan Rusunawa Jogoyudan (Kecamatan Jetis, Kampung Gowongan). Tapi Pemerintah Kota Yogyakarta hanya mengelola Cokrodirjan dan Juminahan saja, sementara Jogoyudan dikelola oleh Pemerintah Provinsi DIY. Pada akhir tahun 2008 Rusunawa Grha Bina Harapan di daerah Juminahan Kelurahan Tegalpanggung selesai dibangun dengan menggunakan dana APBN sebesar 7 milyar rupiah7. Pembangunan Rusunawa Grha Bina Harapan merupakan proyek rumah susun kedua yang dibangun oleh pemerintah untuk mengatasi persoalan padatnya penduduk di bantaran Sungai Code. Proyek pertama adalah Rusunawa Cokrodirjan yang dibangun pada 2003 dengan 72 penghuni. Namun bangunan itu belum dapat langsung ditempati karena masih menunggu serah terima dari Pemerintah Pusat ke Pemerintah Daerah. Ketika sudah diterimakan, rusunawa belum juga dapat ditempati karena mengalami kerusakan di beberapa bagian akibat dari berbulan-‐bulan “menganggur”, sehingga kemudian baru dapat benar-‐benar ditempati sekitar pertengahan tahun 2010 yaitu di bulan April. Pendaftaran sebagai penghuni diadakan pada bulan Desember tahun 2009. Harapan awal Pemerintah Kota Yogyakarta dari pelaksanaan kebijakan pembangunan Rusunawa Grha Bina Harapan di Kecamatan Danurejan adalah mewujudkan kondisi lingkungan permukiman Kota Yogyakarta ke depan diupayakan berbentuk perkampungan susun sewa yang berfungsi tidak sekedar tempat tinggal namun juga tempat produksi dan berkarya serta berinteraksi. Keterbatasan lahan kota saat ini tidak cukup memberikan ruang bagi upaya pemenuhan permukiman horizontal layak huni. Konsep kebijakan pembangunan rumah susun di Kota 7
http://www.tempointeraktif.com
8
Yogyakarta berprinsip menata lingkungan permukiman tanpa menggusur namun layak dan terjangkau, untuk menghilangkan kesan padat dan kumuh di pinggir sungai dan mengentaskan penduduk dari kekumuhan. 1.2. Perumusan Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan secara singkat di atas, maka dapat dirumuskan suatu pertanyaan penelitian ini yakni: Seberapa jauh capaian (efektivitas) yang didapat/dicapai dari pembangunan Rusunawa Grha Bina Harapan tersebut dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat berpenghasilan rendah akan rumah yang layak? 1.3. Tujuan Penelitian Selanjutnya dari rumusan pertanyaan yang ada, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: a. Cakupan yang dihasilkan dari pembangunan Rusunawa Grha Bina Harapan bagi masyarakat berpenghasilan rendah di daerah Juminahan Kecamatan Danurejan. b. Target yang dicapai dari pembangunan Rusunawa Grha Bina Harapan dengan cara mengukur efektivitas implementasi program melalui pendapat/respon para penghuni dan kondisi rusunawa.
9
1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat: a. Suatu wacana bagi masyarakat dalam memahami dan menilai seberapa jauh pembangunan rusunawa sebagai bentuk pelaksanaan kebijakan pemerintah yang membantu masyarakat berpenghasilan rendah untuk mendapatkan hunian layak dan terjangkau. b. Bagi lingkungan pemerintah kota untuk dapat menghayati lebih jauh permasalahan aktual dalam pelaksanaan pembangunan rusunawa agar dapat lebih terfokus pada upaya pembangunan yang akan datang. c. Pengkayaan khasanah keilmuan yang dapat dipergunakan sebagai bahan dalam penelitian kebijakan yang lebih lanjut dalam hal masyarakat berpenghasilan rendah. 1.5. Ruang Lingkup Penelitian a.
Ruang Lingkup Wilayah Rusunawa yang menjadi obyek penelitian ini bernama Grha Bina Harapan yang terletak di tengah Kota Yogyakarta, tepatnya di daerah Juminahan, Kelurahan Tegalpanggung, Kecamatan Danurejan.
b.
Ruang Lingkup Substansial Penelitian ini secara substansi berusaha mencari informasi dari kehidupan dan pendapat penghuni juga dari badan pengelola dan instansi terkait mengenai rusunawa yang ditempatinya sehingga peneliti dapat melihat sejauhmana tujuan pembangunan rusunawa dapat tercapai.
10
c.
Ruang Lingkup Temporal Rusunawa Grha Bina Harapan dibangun pada akhir tahun 2008 dan baru ditempati pada pertengahan tahun 2010 yaitu bulan April. Periode pertama penghunian berakhir pada bulan April 2013 dan periode kedua akan berakhir pada bulan April 2016. Amatan penelitian memiliki lingkup waktu antara tahun 2010 – 2013.
d.
Ruang Lingkup Materi Identifikasi efektivitas pembangunan rusunawa merupakan lingkup materi yang akan dibahas dalam penelitian ini. Identifikasi yang dilakukan akan menghasilkan variabel yang kemudian dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif deduktif, yang mana metode ini digunakan untuk menganalisa sejauh mana kebijakan ini mencapai tujuan dan sasaran yang diinginkan.
1.6. Keaslian Penelitian Menurut pengetahuan peneliti, ada banyak penelitian mengenai efektivitas maupun mengenai rumah susun. Namun ada beberapa yang menjadi acuan penelitian ini, tentunya dengan pendekatan yang berbeda.
11
Tabel 1.1. Daftar Keaslian Penelitian Judul Penelitian Efektivitas Implementasi Program Rumah Susun Sederhana Sewa (Rusunawa) Dalam Rangka Urban Renewal Kasus Rusunawa Cokrodirjan Yogyakarta
Efektivitas Pembangunan Rumah Susun Sewa (Rusunawa) Dalam Penanganan Lingkungan Permukiman Kumuh: Studi Kasus Rusunawa Gemawang, Rusunawa Jogoyudan dan Rusunawa Cokrodirjan Persepsi Masyarakat Terhadap Eksistensi Rusunawa Grha Bina Harapan Tegalpanggung
Nama Peneliti Muhammad Yusfaryan Disaputra, Perencanaan Wilayah dan Kota 2007
Fokus Penelitian Menilai efektivitas implementasi program rusunawa dalam rangka peremajaan kota (urban renewal) dan faktor yang mempengaruhi
Temuan Implementasi program rusunawa dalam rangka peremajaan kota (urban renewal) cukup efektif. Faktor yang mempengaruhi: kejelasan dan konsistensi tujuan, partisipasi masyarakat, ketersediaan sumberdaya, kondisi sosial ekonomi politik, struktur birokrasi, komunikasi dan koordinasi, aparat/badan pelaksana serta dukungan publik dan politik Meta Grizanda Mengetahui Pembangunan rusunawa cukup Meizy Rosadi, efektivitas efektif dalam penanganan Magister pembangunan lingkungan kumuh, yaitu baru Perencanaan rusunawa dalam dalam peningkatan kualitas secara Kota dan penanganan fisik belum secara ekonomi dan Daerah 2010 lingkungan kumuh sosial
Hasti Cahyaning Titi, Perencanaan Wilayah dan Kota 2011
Mengidentifikasi keragaman persepsi masyarakat sekitar terhadap kehadiran rusunawa dan faktor-‐faktor yang mempengaruhinya
Masyarakat lokal memberikan persepsi positif pada aspek fisik rusunawa, dimana rusunawa dapat mengurangi kesan kumuh di kawasan perkotaan. Kemudian persepsi negatif terdapat pada aspek sosial dan ekonomi, dimana adanya rusunawa tidak menciptakan hubungan sosial antara penghuni dengan masyarakat lokal, serta tidak memberi peluang usaha bagi masyarakat lokal. Persepsi tersebut dipengaruhi oleh faktor keterbukaan, keberlanjutan, dan kesetaraan
12
Lanjutan tabel 1.1. Judul Penelitian Kinerja Pelayanan Rumah Susun Sederhana Sewa Grha Bina Harapan Yogyakarta
Nama Peneliti Anandia Ayu Setiawati, Magister Administrasi Publik 2013
Fokus Penelitian Menilai kinerja pelayanan pengelola rusunawa
Temuan Dinilai dari aspek tangibles, reliability, responsivitas, assurance dan emphaty, pelayanan yang diberikan oleh Badan Pengelola rusunawa sudah cukup baik
Penelitian yang dilakukan saat ini memiliki fokus penelitian yang berbeda dengan penelitian-‐penelitian di atas, yang lebih spesifik menelaah efektivitas pembangunan rusunawa. Dengan demikian penelitian ini menunjukkan keasliannya. 1.7. Sistematika Penulisan Laporan penelitian ini disusun dengan urutan sistematika sebagai berikut: Bab 1 PENDAHULUAN Menguraikan latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, ruang lingkup penelitian, keaslian penelitian dan sistematika penulisan. Bab 2 KAJIAN PUSTAKA Mengutarakan kajian pustaka tentang rusunawa, kemiskinan kota, implementasi kebijakan pembangunan, efektivitas dan kerangka teori yang digunakan dalam menganalisa substansi penelitian. Bab 3 METODE KERJA PENELITIAN Membicarakan metode kerja penelitian yang deduktif kualitatif deskriptif yang menunjukkan cara kerja analisis implementasi kebijakan pembangunan Rusunawa Grha Bina Harapan di Juminahan seberapa efektif hasilnya.
13
Bab 4 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Menunjukkan gambaran umum daerah penelitian Kampung Juminahan Kelurahan Tegalpanggung Kecamatan Danurejan Kota Yogyakarta, hasil amatan lapangan obyek penelitian Rusunawa Grha Bina Harapan, hasil wawancara terhadap responden dalam hal implementasi kebijakan pembangunan rusunawa tersebut. Bab 5 EFEKTIVITAS PEMBANGUNAN RUSUNAWA GRHA BINA HARAPAN DI KECAMATAN DANUREJAN KOTA YOGYAKARTA Mendiskusikan tata laku penelitiannya yang kemudian memformulasikan seperti apa hasil efektivitasnya. Lalu diakhiri dengan diskusi/dialog teoritis empiris menunjukkan seberapa besar cakupan teoritis pembangunan rusunawa dapat terimplementasikan pada empiris lapangan. Bab 6 KESIMPULAN DAN SARAN Membahas kesimpulan hasil penelitian tentang seberapa besar cakupan rusunawa dapat terlaksana, seberapa besar targeting implementasi kebijakan dapat terwujud dengan melakukan penghitungan efektivitas pembangunan rusunawa. Dilengkapi dengan saran penelitian maupun pengelolaan rusunawa yang perlu ditindaklanjuti di masa depan.
14