BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Keberhasilan pemberantasan kecurangan bergantung pada tiga proses yaitu
preventif, detektif dan investigatif. Proses preventif merupakan proses utama dalam memberantas kecurangan (Tuanakotta, 2014). Salah satu cara adalah adanya pelaporan kecurangan. Menurut Hwang et al. (2008) pelaporan kecurangan adalah cara terbaik yang dapat digunakan untuk mencegah dan menghalangi kecurangan. Association of Certified Fraud Examiners (2014) menunjukkan bahwa kecurangan paling banyak terdeteksi melalui aduan. Price Waterhouse Coopers (2014) juga mengungkapkan bahwa aduan (tip-off) atau pelaporan kecurangan merupakan metoda yang paling banyak dan efektif mendeteksi kecurangan. Contohnya adalah terungkapnya kasus Enron melalui laporan Sherron Watskin dan Worldcom melalui laporan Cynthia Cooper. Kedua kasus besar tersebut membuktikan bahwa pelaporan kecurangan mampu mengungkap kecurangan yang terjadi pada perusahaan. Selain di Amerika, pelaporan kecurangan juga terbukti membantu mengungkap kecurangan pada perusahaan-perusahaan di Indonesia, seperti kasus Bank Lippo dan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Pada kasus pertama yaitu Bank Lippo, Lin Che Wei seorang analisis pasar modal mengungkapkan analisisnya pada media massa terkait rekayasa yang dilakukan oleh kelompok usaha Lippo
untuk membeli Bank Lippo dengan harga murah. Lin Che Wei mengungkapkan bahwa laporan ganda Bank Lippo pada September 2002 hanyalah sebagian kecil dari rekayasa yang dilakukan oleh kelompok usaha Lippo (Bachtiar, 2012). Berdasarkan pemeriksaan Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) pada kasus tersebut, Direksi Bank Lippo dinyatakan bersalah karena kurang berhati-hati dalam menyatakan laporan keuangan yang belum diaudit sebagai laporan keuangan telah diaudit (Bapepam, 2003). Kasus kedua ialah PT KAI. Hekinus Manao pada Juli 2006 mengungkapkan pada publik bahwa telah terjadi manipulasi pada laporan keuangan PT KAI pada tahun 2005. Menurut Hekinus, PT KAI pada tahun 2005 mengalami kerugian namun pada laporan keuangan 2005 mencatatkan keuntungan sebesar Rp 6,9 miliar (Bachtiar, 2012). Hal tersebut terjadi karena beberapa pos masih dinyatakan sebagai aset yang seharusnya dinyatakan sebagai biaya (Bachtiar, 2012). Beberapa kasus di atas menunjukkan keberhasilan pelaporan kecurangan dalam mendeteksi kecurangan yang terjadi pada perusahaan. Oleh sebab itu, perusahaan seharusnya mempertimbangkan untuk menerapkan sistem pelaporan kecurangan (whistleblowing system) untuk mencegah dan mendeteksi kecurangan. Salah satu faktor keberhasilan dari sistem pelaporan kecurangan ialah adanya pelapor, karena pelapor kecurangan merupakan elemen dalam pelaporan kecurangan (Near dan Miceli, 1985). Diantara pihak-pihak yang berpotensi menjadi pelapor, karyawan merupakan sumber informan terbanyak terkait
pelaporan kecurangan (ACFE, 2014). Salah satu karyawan yang paling berpotensi menjadi pelapor kecurangan ialah auditor internal. Menurut Xu dan Zeigenfuss (2008), tugas utama dari auditor internal yaitu melakukan assurance activity secara independen dan objektif bagi organisasi. Terkait dengan tugasnya tersebut, auditor internal kemungkinan besar menemukan perilaku manajer atau karyawan yang tidak sesuai dengan standar profesi (Xu dan Zeigenfuss, 2008). Auditor internal dapat mengungkapkan informasi tersebut baik kepada pihak di dalam maupun di luar perusahaan. Dengan kata lain, auditor internal memiliki potensi yang besar untuk menjadi pelapor kecurangan. Pelapor (auditor internal maupun pihak lain) mempertimbangkan berbagai faktor internal maupun eksternal sebelum mengungkapkan kecurangan yang mereka temukan, karena tidak dapat dipungkiri bahwa pelaporan kecurangan akan memberikan dampak positif maupun negatif bagi pelapor. Menurut Gundlach et al. (2003) penalaran moral dan retaliasi merupakan dua faktor yang mempunyai peran signifikan dalam proses pelaporan kecurangan. Penalaran moral menurut Welton et al. (1994) menyangkut proses yang diikuti individu dalam pengambilan keputusan yang melibatkan isu etika. Kohlberg (1981, 1984) dalam Welton et al. (1994) mengembangkan teori perkembangan moral dalam tiga level dengan dua tahapan pada setiap levelnya. Sedangkan retaliasi adalah tindakan tidak menyenangkan yang diterima pelapor pelanggaran sebagai respon langsung atas pelaporan pelanggaran yang
melaporkan kesalahan baik secara internal maupun eksternal (Reigh et al., 2008). Retaliasi menunjukkan biaya dari pelaporan kecurangan (Kaplan et al., 2012). Beberapa penelitian terkait dampak penalaran moral dan retaliasi terhadap pelaporan kecurangan telah dilakukan. Penelitian Arnold dan Ponemon (1991) membuktikan bahwa tingkat penalaran moral auditor internal mempengaruhi persepsi mereka mengenai pelaporan kecurangan. Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa persepsi auditor terkait dengan pelaporan kecurangan dipengaruhi oleh retaliasi manajemen terkait penalti daripada afiliasi. Penelitian Liyanarachchi dan Newdick (2009) menunjukkan bahwa tingkat penalaran moral dan kekuatan retaliasi berdampak pada kecenderungan pelaporan kecurangan. Selain itu, penelitian Kaplan et al. (2012) mengindikasikan bahwa niat pelaporan kecurangan melalui jalur teridentifikasi secara signifikan lebih rendah ketika pelapor kecurangan sebelumnya mengalami retaliasi dibandingkan ketika pelapor kecurangan sebelumnya tidak mengalami retaliasi. Retaliasi akan menjadi biaya bagi pelapor akibat dari pelaporan kecurangan. Oleh karena itu retaliasi akan mengarahkan pengambilan keputusan seseorang terkait pelaporan kecurangan. Selain hal itu, penalaran moral akan menentukan penilaian moral seseorang atas suatu isu etika (Velasquez, 2012). Di sisi yang lain, proses pengambilan keputusan pelaporan kecurangan melibatkan isu etika. Sehingga penalaran moral akan mengarahkan seseorang dalam pelaporan kecurangan. Oleh sebab itu, penting untuk mengetahui pengaruh retaliasi dan penalaran moral terhadap pelaporan kecurangan.
Berdasarkan penjabaran di atas, peneliti tertarik untuk meneliti pengaruh penalaran moral dan retaliasi terhadap kecenderungan pelaporan kecurangan. Penelitian dilakukan dengan metoda eksperimen, karena dengan metoda tersebut dapat dilakukan manipulasi terhadap varibel independen dan dapat mengukur dampaknya terhadap variabel dependen (Nahartyo, 2013). Mahasiswa akuntansi strata 1 yang telah mengambil mata kuliah pengauditan dilibatkan sebagai penyulih auditor internal, karena mahasiswa tersebut memiliki pemahaman yang memadai terkait dengan akuntansi dan isu audit yang diperoleh selama perkuliahan (Liyanarachchi dan Newdick, 2009). Penelitian ini mengadopsi penelitian yang dilakukan oleh Liyanarachchi dan Newdick pada tahun 2009. Namun pada penelitian ini menambahkan cek manipulasi dalam instrumen penelitian. Hal tersebut dilakukan agar dapat mengetahui bahwa partisipan memahami instrumen penelitian dengan baik. Penelitian dilakukan karena masih terdapat perbedaan hasil penelitian terkait retaliasi dan penalaran moral. Sehingga penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan bukti terkait dengan dampak retaliasi dan penalaran moral terhadap pelaporan kecurangan khususnya di Indonesia. Penelitian ini mengangkat
judul
“Pengaruh
Penalaran
Moral
dan
Kecenderungan Pelaporan Kecurangan oleh Auditor Internal”.
Retaliasi
terhadap
1.2.
Pertanyaan Penelitian Berdasarkan pemaparan pada latar belakang, maka pertanyaan penelitian
dari penelitian ini: a) Apakah auditor internal yang memiliki tingkat penalaran moral tinggi lebih akan cenderung mengungkapkan kecurangan daripada auditor internal yang memiliki tingkat penalaran moral rendah? b) Apakah auditor internal yang menghadapi retaliasi lemah lebih akan cenderung mengungkapkan kecurangan daripada auditor internal yang menghadapi retaliasi kuat? c) Apakah kekuatan retaliasi mempengaruhi secara signifikan terhadap hubungan penalaran moral dan kecenderungan auditor internal melaporkan kecurangan?
1.3.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan secara empiris bahwa tingkat
penalaran moral dan kekuatan retaliasi berdampak pada pelaporan kecurangan.
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari penelitian ini diantaranya:
1.4.1. Manfaat Praktis a. Menjadi bahan pertimbangan bagi perusahaan dalam menyusun kebijakan pelaporan kecurangan terutama mengenai perlindungan terhadap pelapor. b. Sebagai desain pelatihan karyawan terkait dengan pelaporan kecurangan.
1.4.2. Manfaat Akademis a. Untuk menjadi tambahan bukti empiris pada topik penelitian pelaporan kecurangan. b. Menjadi tambahan pengetahuan terkait disiplin akuntansi. Selain itu juga dapat menjadi tambahan literatur terkait pelaporan kecurangan laporan keuangan.
1.5.
Sistematika Penulisan Gambaran secara umum pada setiap bab dari penelitian ini sebagai berikut:
a) BAB 1 Pendahuluan Pada bab satu menjelaskan mengenai latar belakang penelitian, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian serta sistematika penulisan. b) BAB 2 Landasan Teori Bab dua menjabarkan tentang teori yang melandasi penelitian ini. Teori retaliasi, penalaran moral, auditor internal dan pelaporan kecurangan dijelaskan pada bab ini. Bab ini juga menerangkan kerangka pemikiran dan perumusan hipotesis. c) BAB 3 Metoda Penelitian Bab tiga mendeskripsikan model penelitian, prosedur penelitian, partisipan, instrumen penelitian, definisi operasional dan pengukuran serta uji yang digunakan dalam penelitian.
d) BAB 4 Hasil dan Pembahasan Bab empat berisi analisis hasil serta pembahasan hasil penelitian. Kebenaran atas hipotesis penelitian berdasarkan hasil penelitian juga dijelaskan pada bab ini. Bab ini juga berisi implikasi dari hasil penelitian. e) BAB 5 Penutup Bab lima menjelaskan mengenai kesimpulan yang dapat diambil dari penelitian yang dilakukan. Bab ini juga memaparkan keterbatasan dan saran-saran yang relevan terkait penelitian yang dilakukan.