BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Masa remaja merupakan masa transisi dari segi biologi, psikologi, sosial dan ekonomi. Remaja akan mengalami transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa. Pada tahap remaja ini pula individu akan memiliki ketertarikan terhadap seks. Steinberg (2011) lebih lanjut mengungkapkan bahwa individu yang beranjak remaja akan menjadi lebih bijaksana, mampu mengambil keputusan sendiri, lebih mandiri, dan lebih fokus pada masa depannya. Individu yang memasuki masa kuliah rata-rata berusia 18-21 tahun dan termasuk dalam tahap perkembangan remaja akhir (Steinberg, 2011). Pada tahap perkembangan ini, remaja sudah seharusnya menjalankan tugas perkembangannya yaitu menjalin relasi atau hubungan dengan lawan jenisnya. Individu dalam rentang usia ini akan memiliki kecenderungan untuk melakukan hubungan seksual apabila individu tersebut sudah atau sedang menjalin hubungan heteroseksual dengan lawan jenis. Fenomena perilaku seksual di kalangan remaja yang berujung pada pernikahan dini dan kehamilan di luar nikah sudah semakin marak dan memprihatinkan. Survey Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) pada tahun 2012 melakukan survey mengenai perilaku seksual pranikah pada remaja dan menemukan fakta bahwa sebanyak 8,3% remaja laki-laki dan 1% remaja perempuan telah melakukan hubungan seks pranikah. Remaja yang melakukan hubungan seksual ini paling banyak berusia 20-24 tahun. Pada survey yang sama, ditemukan pula hampir 80% responden pernah melakukan berpegangan tangan, 48,2% remaja laki-laki dan 29,4% remaja perempuan pernah berciuman, serta 29,5% remaja lakilaki dan 6,2% remaja perempuan pernah saling merangsang (bkkbn.go.id). 1
2
Kementrian Kesehatan pernah merilis sebuah temuan mengenai perilaku seks bebas remaja di empat kota besar di Indonesia, yaitu Jakarta Pusat, Medan, Bandung, dan Surabaya. Penelitian tersebut mengungkapkan fakta bahwa 35,9% remaja memiliki teman yang sudah pernah melakukan hubungan seksual sebelum nikah. Hal ini tentunya sangat mengkhawatirkan karena jumlah remaja di Indonesia mencapai 26,7% dari total penduduk. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) pada tahun 2010 melakukan sebuah survei perilaku seksual remaja di Jabodetabek dan mendapatkan hasil sebanyak 51% remaja di Jabodetabek sudah pernah melakukan hubungan seksual pranikah. Pada tahun 2013, BKKBN kembali melakukan sebuah survei dan menghasilkan sebanyak 20,9% remaja Indonesia hamil di luar nikah (republika.co.id). Pada tahun 2011, DKT Indonesia melakukan sebuah Survei Perilaku Seks 2011 dan ditemukan hasil bahwa rata-rata remaja mulai berhubungan seks pertama kalinya pada usia 19 tahun dengan mayoritas merupakan mahasiswa. Survei ini dilakukan di daerah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi (Jabodetabek), Bandung, Yogyakarta, Surabaya dan Bali terhadap 663 responden pria dan wanita berusia 15-25 tahun (republika.com). Survei Kesehatan
Reproduksi
Remaja
Indonesia
(SKRRI)
di
tahun
2002-2003
juga
mengungkapkan bahwa sebanyak 34,7% remaja perempuan dan 30,9% remaja laki-laki sudah melakukan hubungan seksual di usia 14-19 tahun dan sebanyak 34,7% remaja perempuan dan 30,9% remaja laki-laki melakukan hubungan seksual pada usia 20-24 tahun. Temuan ini seakan-akan mengungkapkan fakta bahwa fenomena seks bebas di kalangan mahasiswa benar-benar terjadi, tidak terkecuali di kota Yogyakarta. Hal ini seharusnya tidak perlu terjadi di Indonesia, terutama di dunia pendidikan. Mahasiswa sebagai agen perubahan, sebagai penerus bangsa, dan sebagai individu yang akan menjadi pemimpin bangsa kelak seharusnya mempunyai nilai moral yang baik dan sesuai dengan nilai dan norma yang dianut di Inonesia.
3
Perilaku seksual sendiri memiliki pengertian segala tingkah laku yang didorong oleh hasrat seksual, baik dengan lawan jenis maupun sesama jenis (Sarwono, 2002). Perilaku seksual juga tidak dapat dipisahkan dari adanya daya tarik dan hasrat atau dorongan (Strong, 2005). Pengertian lain mengenai perilaku seksual yaitu segala bentuk kegiatan dan aktivitas yang dapat menyalurkan dorongan seksual remaja dalam hubungannya dengan lawan jenis dan dilakukan oleh ramaja sebelum menikah, dengan perilaku seksual yang paling rendah yaitu mencuri pandang ke arah bagian sensual pasangan sampai dengan perilaku seksual yang paling tinggi yaitu bersenggama (You, 2010). Tingkah laku seksual remaja biasanya bersifat progresif (Santrock, 2003). Biasanya diawali dengan necking (berciuman sampai ke daerah dada), kemudian petting (saling menempelkan alat kelamin) lalu hubungan intim, atau pada beberapa kasus seks oral meningkat pada beberapa tahun belakangan. Adapun bentuk-bentuk perilaku seksual Strong, DeVault, Sayad, dan Yarber (2005) meliputi touching, kissing, oral and anal sex. Santrock dan Irawati (dalam Mutiara, Komariah, dan Karwati, 2012) perilaku seksual terdiri dari berpegangan tangan, berpelukan, necking, meraba bagian tubuh yang sensitif, petting, oral seks, dan sexual intercourse. Perilaku seksual mahasiswa ini tidak terlepas dari keadaan lingkungan tempat tinggal mahasiswa sendiri. Mahasiswa yang datang ke Yogyakarta untuk kuliah berasal dari berbagai macam daerah di Nusantara, baik dari Yogyakarta sendiri maupun dari daerah luar Yogyakarta bahkan luar pulau Jawa. Tidak semua mahasiswa yang kuliah di Yogyakarta tinggal bersama orangtua, ada yang memilih kos dan kontrak sebagai tempat tinggalnya, asrama dan adapula yang tinggal bersama kerabat atau saudara. Tempat tinggal untuk bagi mahasiswa yang berasal dari luar daerah Yogyakarta beragam jenis dan bentuknya, seperti kost, rumah kontrakan, dan asrama. Mahasiswa yang tinggal di tempat kos atau kontrak memerlukan adaptasi atau penyesuaian tempat tinggal. Mahasiswa dituntut untuk bisa mandiri dan harus bisa mengatur hidupnya sendiri dikarenakan jauh dari orangtua.
4
Mahasiswa yang tinggal berjauhan dengan orangtua, dia akan merasakan kebebasan. Pada situasi ini kontrol orangtua kepada anaknya sebagai bentuk pencegahan perilaku seksual mahasiswa yang semakin marak terjadi sangatlah diperlukan. Hal ini sama seperti yang diungkapkan oleh Sarwono (2002) yang mengatakan bahwa terdapat faktor-faktor yang menyebabkan mahasiswa melakukan perilaku seksual, antara lain perubahan hormonal, penundaan usia perkawinan, larangan untuk melakukan hubungan seks sebelum menikah, kurangnya informasi tentang seks, orangtua dan pergaulan bebas. Orangtua yang tinggal bersama dengan anaknya dapat melakukan kontrol langsung terhadap aktivitas anaknya. Orangtua dapat mengarahkan dan membimbing aktivitas anaknya dan apabila anaknya melakukan suatu kesalahan, orangtua dapat langsung menegur dan memberikan peringatan kepadanya. Keadaan seperti ini diharapkan dapat membuat mahasiswa lebih bisa mengendalikan perilakunya, termasuk perilaku seksualnya karena adanya kontrol dan pengawasan langsung yang dilakukan orang tua. Kondisi seperti akan berbeda jika orangtua dan anak tidak tinggal bersamaan dalam satu rumah. Orangtua hanya dapat melakukan kontrol kepada anaknya melalui media perantara, seperti handphone atau gadget lainnya. Akan tetapi anggapan bahwa mahasiswa yang tinggal bersama orangtua cenderung dapat mengontrol perilaku seksualnya masih sebatas dugaan semata, diperlukan penelitian lebih lanjut untuk membuktikannya. Keadaan kos-kosan maupun kontrakan di kalangan mahasiswa beragam jenisnya, ada yang dijaga ketat oleh pemiliknya adapula yang tidak dijaga oleh pemiliknya. Kondisi kos atau kontrakan rumah yang tidak dijaga dan diawasi oleh pemiliknya menyebabkan penghuninya bebas melakukan segala aktivitas, tidak terpungkiri melakukan perilaku seksual. Kondisi kos bebas seperti semakin banyak jumlahnya dan hal ini nampaknya semakin diminati oleh sebagian mahasiswa. Salah satu pemilik kos di salah satu daerah di Kota Yoyakarta mengungkapkan bahwa saat ini banyak mahasiswa yang mencari kos bebas.
5
Rumah kos yang memiliki peraturan ketat jarang diminati mahasiswa. Hal ini yang menjadi alasan pemilik kos tersebut memilih untuk membebaskan setiap penghuni kos melakukan apa saja di tempat kos miliknya (krjogja.com). Mutiara, et al. (2012) melakukan penelitian mengenai gambaran perilaku seksual dengan orientasi heteroseksual mahasiswa kos di Kecamatan Jatinangor dan ditemukan hasil bahwa 100 orang mahasiswa yang menjadi subjek penelitian seluruhnya pernah melakukan perilaku seksual dalam bentuk tertentu. Sebanyak 100 orang yang melakukan perilaku seksual terdapat 100% telah melakukan perilaku berpegangan tangan, 90% berpelukan, 82% necking, 56% meraba bagian tubuh yang sensitif, 52% petting, 33% oral seks, dan 34% sexsual intercourse. Dorongan-dorongan untuk melakukan hubungan seksual tidak hanya berasal dari faktor eksternal, seperti kontrol orangtua serta lingkungan tempat tinggal, adapula faktor internal. Faktor internal adalah contohnya kontrol diri. Kontrol diri berkaitan dengan cara individu mengendalikan emosi ataupun dorongan yang ada dalam dirinya sendiri. Kontrol diri yang baik dapat mengurangi perilaku yang negatif. Kontrol diri ternyata berpengaruh terhadap perilaku seksual mahasiswa (Miladiyani, 2008; Vazsonyi dan Jenkins, 2010). Seseorang dengan kontrol diri yang lemah dapat mengendalikan dorongan seksualnya apabila tinggal di dalam lingkungan yang baik, bergaul dengan orang yang baik, ada peraturan yang tegas dalam indekosan maupun masyarakat, dan berusaha menghayati pesan serta aturan dari orangtua yang menginginkannya belajar dan berhasil dalam menggapai citacita. Vazsonyi dan Jenkins (2010) juga mengungkapkan bahwa religiusitas juga berpengaruh terhadap perilaku seksual remaja, di mana remaja dengan kontrol diri dan tingkat religiusitas yang baik memiliki kecenderungan untuk melakukan penundaan dalam hal melakukan hubungan seksual ataupun oral sex sebelum mereka menikah. Kontrol diri terhadap perilaku seksual penting dimiliki oleh mahasiswa agar dapat terhindar dari konsekuensi-konsekuensi
6
atau dampak negatif yang ditimbulkan, seperti kehamilan di luar nikah dan penyakitpenyakit yang disebabkan karena aktivitas seksual. Berdasarkan uraian tersebut, permasalahan terkait perilaku seksual di kalangan mahasiswa perlu diperhatikan lebih serius oleh berbagai pihak. Sesungguhnya fenomena seperti ini sudah bukan hal yang baru lagi, tetapi fenomena ini semakin dilakukan secara terang-terangan oleh kebanyakan mahasiswa. Mahasiswa melakukan perilaku seksual pranikah dilatarbelakangi oleh banyak faktor, baik faktor internal maupun eksternal, baik faktor yang berasal dari individu sendiri maupun faktor yang berasal dari luar individu tersebut, seperti lingkungan. Kedua faktor tersebut tentunya saling mempengaruhi satu sama lain. Hal ini yang menggugah peneliti untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai keterlibatan faktor internal dan faktor eksternal dalam fenomena perilaku seksual mahasiswa. B. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara kontrol diri dalam perilaku seksual dengan perilaku seksual pada mahasiswa serta mengetahui perbedaan korelasinya antara mahasiswa yang tinggal bersama orangtua dengan mahasiswa yang tinggal di kos. C. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan beberapa manfaat antara lain: 1. Teoritis Memberikan informasi dan pengetahuan di bidang psikologi terkait dengan perilaku seksual mahasiswa.
7
2. Praktis a. Memberikan informasi kepada semua pihak mengenai gambaran perilaku seksual mahasiswa sekarang. b. Hasil penelitian dapat digunakan untuk tindakan preventif agar perilaku seksual remaja tidak menjadi semakin parah. c. Hasil penelitian dapat digunakan sebagai bahan untuk pemerintah dalam merencanakan sebuah program yang bertujuan untuk memberikan solusi pencegahan dan penanganan masalah perilaku seksual mahasiswa di Indonesia pada umumnya dan di Yogyakarta pada khususnya.