BAB 1 PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Organisasi saat ini dihadapkan dengan berbagai perubahan lingkungan, seperti teknologi, sosial, ekonomi, perundangan, perilaku konsumen, serta globalisasi. Sebagai contoh, pada awal tahun 1990 masih banyak pimpinan organisasi yang memajang Encyclopedia Britannica pada rak-rak buku ruang kerjanya. Pada masa itu, memajang ensiklopedi tersebut seakan-akan meningkatkan status pemiliknya, Namun,
saat
ini
berapa
banyak
pemimpin
organisasi
masih
memajangnya? Seiring dengan perubahan lingkungan, Encyclopedia Britannica tersungkur dengan hadirnya Microsoft yang menghadirkan ensiklopedi dalam bentuk CD, yang dikenal dengan nama Encarta yang mampu menampung lebih dari 62.000 artikel yang dilengkapi dengan berbagai gambar dan ilustrasi menarik serta harga yang lebih terjangkau (Dunamis, 2013). Seiring berjalannya waktu, eksistensi Encarta tidak selama Encylopedia Britannica. Encarta hanya mampu bertahan sekitar 16 tahun (1993-2009), kemudian tergantikan oleh Wikipedia, sebuah situs referensi online tanpa bayar dan tersaji dalam berbagai bahasa. New York Times edisi Maret 2009 melaporkan bahwa Microsoft berencana menarik Encarta dari pasaran dan menutup situs onlinenya (Dunamis, 2013). Berdasar peristiwa tersebut, perubahan lingkungan yang terjadi adalah perilaku konsumen di mana saat ini mereka ingin serba cepat dalam
1
2
mengakses informasi dan hal terebut merupakan tantangan yang harus dihadapi oleh organisasi. Tantangan perubahan lingkungan juga terjadi pada teknologi. Sebagai contoh, Nokia sebagai salah satu merk dari telepon seluler yang hanya berjaya sampai tahun 2008. Pada tahun 2007, iPhone diluncurkan, kemudian pengguna gadget mulai beralih dari Nokia ke iPhone, pasar Nokia pun mulai menyusut. Kemudian sekitar tahun 2010 munculah Blackberry dengan mengusung BBM yang mengalihkan pengguna gadget untuk menggunakan merk telepon seluler tersebut. Setelah itu, muncullah Android dari Google, dukungan terhadap ponsel tersebut semakin meluas saat ini karena produk tersebut yang semula hanya mengarah pada segmen high end, saat ini masuk juga dalam segmen menengah dan low end. Kekalahan Nokia dalam bersaing dengan telepon seluler lain mengakibatkan kinerja bisnisnya memburuk dan harus mengurangi ribuan karyawan dalam upaya menyelamatkan bisnisnya (Dunamis, 2013). Berdasar perubahan
dua
lingkungan
peristiwa terus
tersebut,
bergerak
dapat
dikatakan
bahwa
secara dinamis, mengikuti
perubahan zaman dan apabila tidak mampu mengikutinya maka akan tergilas dengan pesaing lain yang lebih responsif terhadap perubahan. Oleh karena itu, beberapa peneliti (Argyris, 1991; Senge 1990) dan praktisi (De Geus, 1998; Kapp, 1999) telah merekomendasikan bahwa organisasi harus terus belajar dalam meningkatkan performansi mereka, salah satunya menjadikan diri sebagai organisasi pembelajar. Dengan membentuk diri sebagai organisasi pembelajar, maka organisasi akan
3
menolak stabilitas dengan cara terus-menerus melakukan evaluasi diri dan eksperimentasi. Apabila perusahaan tidak melakukan tindakan belajar, maka secara tidak langsung perusahaan akan kehilangan pengetahuan dan akan mengarah pada pola kesalahan yang berulang, kekurangan produktivitas, dan kurangnya kinerja yang berkesinambungan (Martins & Martins, 2011). Senge (1990) mengemukakan bahwa organisasi pembelajar adalah
organisasi
yang
memiliki
keahlian
dalam
menciptakan,
mengambil, mentransfer pengetahuan dan memodifikasi perilakunya serta untuk merefleksikan pengetahuan dan pengalaman barunya. Berdasar definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa kunci utama dari penerapan
organisasi
pembelajar
adalah
pengetahuan.
Menurut
Davenport (1998), pengetahuan adalah campuran dari pengalaman, nilai, informasi, konseptual, dan pencerahan ahli yang menyediakan kerangka kerja dalam mengevaluasi dan menerima pengalaman dan informasi baru. Pada organisasi, penerapan pengetahuan tidak hanya terekam dalam dokumen, tetapi juga terletak pada rutinitas, proses, praktek, dan norma organisasi. Sedangkan Alavi & Leidner (2001) mengemukakan bahwa pengetahuan adalah informasi yang diproses dari benak individu Selanjutnya, Nonaka dan Takeuchi (1995) pernah menyatakan bahwa salah satu sumber keunggulan kompetititf yang langgeng adalah pengetahuan. Penerapan penegtahuan pada hal yang telah diketahui akan meningkatkan produktivitas, sedangkan penerapan pengetahuan pada
hal
yang
baru
akan
menghasilkan
inovasi.
Dikarenakan
pengetahuan telah menjadi sesuatu yang sangat menentukan bagi
4
kelangsungan
organisasi,
maka
pembentukan
organisasi
sebagai
organisasi pembelajar menjadi sangat penting di mana pengetahuan dapat di peroleh, diolah dan di manfaatkan secara tepat oleh para anggota organisasi (Garvin, 1993). Kemudian, Leitch, Harrison, Burgoyne, dan Blantern (1996) pun mengemukakan bahwa dengan menjadikan diri sebagai organisasi pembelajar, maka organisasi tersebut akan adaptif dalam mendorong individu, tim, dan organisasi untuk memuaskan perubahan kebutuhan pelanggan, memahami dinamika persaingan, dan mendorong berpikir sistem. Para pakar organisasi pembelajar pun mengemukakan bahwa bahwa menjadikan diri sebagai organisasi pembelajar adalah suatu kesempatan bagi organisasi tidak hanya mendapatkan keunggulan bersaing secara berkelanjutan dalam bisnis dan lingkungan tidak stabil, tetapi juga untuk terus maju lebih cepat dari para pesaing (De Geus, 1998; Garvin, 2008; Senge, 1990; Sudharatna & Li, 2004). Penelitian pembelajar
lainnya
dapat
juga
memberikan
menunjukkan
bahwa
manfaat
perbaikan
bagi
organisasi secara
berkelanjutan, pengembangan kreativitas, inovasi, komunitas belajar, serta peningkatan kepuasan karyawan. Organisasi pembelajar dapat berjalan secara efektif jika didukung oleh faktor-faktor tertentu, baik itu faktor eksternal maupun internal. Iklim keterbukaan dan saling percaya merupakan
syarat
terjadinya
proses
belajar
kelompok
yang
memungkinkan adanya komunikasi baik intra kelompok kerja maupun antar kelompok kerja di dalam organisasi (Marquardt & Reynold, 1994).
5
Rumah sakit merupakan salah satu organisasi belajar dimana banyak menawarkan
kesempatan
belajar bagi para anggotanya.
Pembelajaran dalam organisasi di rumah sakit ditekankan pada peningkatan kualitas pelayanan konsumen (Feijter, Grave, Muijtjens, Scherpbier, & Koopmans, 2012). Saat ini konsumen bukanlah penerima produk yang pasif, suara konsumen saat ini bisa jauh lebih terbuka dibanding dengan sebelumnya, jika konsumen tidak puas dengan pelayanan yang diberikan oleh rumah sakit, mereka dapat mengajukan complain terhadap rumah sakit, bahkan pada era kemajuan teknologi dan informasi saat ini pasien bisa mengadukan keluhan mereka melalui media, baik cetak maupun elektronik atau situs jejaring sosial atas ketidakpuasan terhadap pelayanan rumah sakit, jika kondisi tersebut tidak diperhatikan maka rumah sakit akan mengalami kerugian, diantaranya citra rumah sakit akan menurun, sulit dipercaya kembali oleh konsumer, dan akan beralih ke rumah sakit lain. Oleh karena itu, pengelolaan pengetahuan dalam memberikan pelayanan yang berkualitas hingga saat ini masih terus ditingkatkan dan dipelajari oleh rumah sakit, salah satunya menjadikan diri sebagai organisasi pembelajar. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa penerapan organisasi pembelajar di dalam organisasi rumah sakit dalam meningkatkan kualitas pelayanan dan mempertahankan eksistensinya di tengah persaingan antar rumah sakit terbentuk melalui suatu program, sistem, atau strategi yang mereka ciptakan sendiri. Pertama adalah penerapan organisasi pembelajar di Canadian Hospital dijalankan melalui program Continuous Quality Improvement (CQI) dalam upaya peningkatan kualitas organisasi.
6
CQI
membawa
perubahan
yang
positif
terhadap
transformasi
kepemimpinan, strategi, struktur, dan budaya organisasi. CQI juga membawa dampak bagi para pekerja untuk membentuk kerja sama secara lebih dekat. Program CQI mengajak karyawan untuk berani membagi ide-ide baru dan bekerja sama baik dalam kegiatan formal maupun informal (Le Brasseur, Whissel, & Ojha, 2002). Kedua adalah penerapan organisasi pembelajar pada Kwong Wah Hospital
dalam
upaya
mempertahankan
eksistensinya
ditengah
persaingan yang semakin ketat antar rumah sakit di Hongkong. Kwong Wah Hospital telah menerapkan tiga strategi diantaranya structural management transformation yang memiliki peran dalam pembentukan manajemen yang efektif, yaitu melakukan perubahan pada struktur organisasi disesuaikan dengan perubahan zaman yang membawa dampak mempermudah hubungan komunikasi antara anggota rumah sakit dengan pasien dalam peningkatan kualitas pelayanan. Kedua melalui
people-oriented
transformation
strategies
yang
berfungsi
mengatur bagaimana top management memiliki komunikasi yang baik terhadap bawahannya. Ketiga melalui strategi transformation organization culture yang menekankan pada bagaimana informasi yang disediakan dapat secara aktif membantu
karyawan
dalam
mengembangkan
kemampuan pekerjaan mereka (Ho, 1999). Selanjutnya, penerapan organisasi pembelajar di rumah sakit swasta dan pemerintah di Amerika. Beberapa peneliti melakukan sebuah program intervensi yang dinamakan SafetyMinutes pada para perawat di beberapa rumah sakit swasta dan pemerintah di Amerika. SafetyMinutes
7
adalah kurikulum pembelajaran yang dibentuk berdasar beberapa kasus dalam menyelamatkan korban kecelakaan, program SafetyMinutes menekankan pada forum diskusi. Berdasar hasil intervensi tersebut, terbukti bahwa program SafetyMinutes sangat berguna bagi para perawat untuk belajar bekerja sama antar rekan kerja dan membentuk system thinking (Eisnloh, Rende, & Patterson, 2002). Berdasar hasil beberapa
penelitian
tersebut, maka
dapat
disimpulkan bahwa program, strategi, atau pun intervensi yang dibentuk oleh rumah sakit sebagai perwujudan dari penerapan organisasi pembelajar disesuaikan dengan kebutuhan rumah sakit tersebut, tetapi tetap berfokus pada tujuan utama, yaitu transfer pengetahuan antar anggota organisasi demi meningkatkan performa organisasi dan keahlian para anggota. Selanjutnya, tidak dapat dipungkiri bahwa tidak hanya rumah sakit di negara lain saja yang menerapkan organisasi pembelajar, begitu juga rumah sakit di Indonesia. Era globalisasi saat ini membuat persaingan antar rumah sakit semakin ketat baik rumah sakit yang berada di kota-kota besar maupun di kota-kota kecil di Indonesia. Persaingan terjadi karena setiap rumah sakit ingin memberikan pelayanan yang berkualitas dan bermutu dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. RS Panti Rahayu adalah salah satu rumah sakit yang berlokasi di Purwodadi, Jawa Tengah dan merupakan rumah sakit yang juga didirikan oleh YAKKUM ( Yayasan Kristen untuk Kesehatan Umum) selain rumah sakit Bethesda di Yogyakarta, Panti Waluyo di Solo, dan Panti Wilasa di Semarang. Berdasar hasil wawancara awal oleh kepala HRD rumah sakit
8
Panti rahayu. Sejarah pendirian rumah sakit tersebut berawal dari Balai Pengobatan yang berlokasi di Jl. Kartini no 10, Purwodadi. Kemudian, pada 11 Februari 1967, balai pengobatan tersebut berganti nama menjadi “BP/BKIA Panti Rahayu” dan diresmikan oleh dr. Gunawan Nugroho melalui Komisi teknis setempat. Namun, masyarakat kala itu lebih mengenal rumah sakit Panti Rahayu dengan sebutan “RS YAKKUM” dan sebutan tersebut tetap menjadi “Brand Generic” hingga saat ini. Pada awalnya, rumah sakit Panti Rahayu berdiri di Jl. Kartini 10 dan hanya memiliki 4 kamar tidur. Dalam upaya mengoptimalkan pelayanan kepada masyarakat, pada tahun 1978 Panti Rahayu berpindah ke Jl. Let. Jend Suprapto no. 40 (pusat kota) dan memiliki 20 tempat tidur dan pada tahun 1979 bertambah menjadi 25 tempat tidur. Kemudian tahun 1984 bertambah menjadi 65 tempat tidur (RS TIPE D). Tahun 1986 berubah menjadi RS tipe C dengan 100 tempat tidur. Tahun 1994, kapasitas meningkat lagi menjadi 125 tempat tidur, dan tahun 2008 bertumbuh menjadi 175 tempat tidur. Selanjutnya, seiring dengan tuntutan global, maka RS Panti Rahayu Yakkum, Purwodadi berusaha memenuhi standard yang telah ditetapkan pemerintah dengan mengikuti Akreditasi Pelayanan dan tahun 2008 dinyatakan lulus oleh Komite Akreditasi Rumah Sakit (KARS) untuk 12 Pelayanan, dan untuk menjaga mutu serta kualitas pelayanan, RS Panti Rahayu mengadopsi Sistem Manajemen Mutu dengan Standard International yaitu ISO 9001-2000 QSC Number 00581 oleh Sucofindo. Pada tahun 2013 ini Panti Rahayu menjadi pionir untuk mengikuti sistem akreditasi terbaru dari KARS.
9
Selain rumah sakit Panti Rahayu sendiri, terdapat tiga rumah sakit lain yang lokasinya tidak jauh dari rumah sakit Panti Rahayu,yaitu RSUD dr. Soedjati, rumah sakit Permata Bunda, dan rumah sakit Islam Purwodadi. Jarak antar rumah sakit hanya 2-3 km. Ketiga rumah sakit tersebut juga memiliki pelayanan yang cukup baik, mereka senantiasa berorientasi pada kepuasan pelanggan, teknologi kesehatan pun selalu dikembangkan, dan para tenaga medis yang bekerja juga adalah orangorang
yang
professional.
Namun,
dalam
meningkatkan
kualitas
pelayanan, pembelajaran organisasi di setiap rumah sakit memiliki karakteristik tersendiri. Rumah sakit Panti Rahayu mengembangkan program basic value, di mana setiap anggota rumah sakit sebelum memulai pekerjaan, melakukan renungan terlebih dahulu untuk mereflesikan kekurangankekurangan apa saja yang harus diperbaiki dan anggota lain pun memberikan solusi mengenai cara untuk memperbaikinya. Kemudian pada RSUD dr. Soedjati, pembelajaran dalam organisasi dilakukan melalui program “ Bersemi” dan “Simpatik” di mana sikap cepat tanggap terhadap keluhan dan situasi pasien serta keakuratan pemeriksaan diperhatikan oleh para anggota rumah sakit. Sedangkan pada rumah sakit Permata Bunda, pembelajaran dalam organisasi dikembangkan melalui sistem kepemimpinan visioner, di mana peran pemimpin memiliki andil yang sangat besar dalam membentuk pandangan para anggota yang sebelumnya dangkal menjadi lebih mendalam demi menuju masa depan perusahaan yang sukses. Sedangkan rumah sakit Islam Purwodadi, merupakan rumah sakit yang
10
baru saja didirikan pada tahun 2011 dan masih berstatus rumah sakit tipe D, dengan fasilitas 50 tempat tidur, namun rumah sakit tersebut telah menjadikan dirinya sebagai organisasi pembelajar dimana berhasil menangkap peluang yaitu membuka instalasi obsgyn dan bedah tulang yang belum dimiliki oleh rumah sakit lain di Purwodadi, sehingga masyarakat untuk melakukan bedah tulang tidak harus ke Solo. Berdasar kondisi tersebut, tidak
heran muncul persaingan antar rumah sakit di Purwodadi dalam menarik perhatian masyarakat agar dapat mempercayakan perawatan kesehatan di salah satu rumah sakit tersebut. Perubahan lingkungan tidak hanya disebabkan oleh pertumbuhan rumah sakit-rumah sakit baru di kota Purwodadi, tetapi juga kebutuhan masyarakat di Purwodadi yang semakin beraneka ragam terhadap pelayanan kesehatan sehingga membuat rumah sakit harus terus menciptakan strategi-staretgi baru dalam mengakomodir kebutuhan mereka. Berdasar hasil observasi, rumah sakit Panti Rahayu masih menjadi
rumah
sakit
yang
paling
dipercaya
oleh
masyarakat
dibandingkan tiga rumah sakit lain hal ini terlihat dari banyaknya pasien yang datang untuk berobat jalan maupun rawat inap dibandingkan dengan tiga rumah sakit lain di Purwodadi. Berdasar wawancara awal pula kepada kepala laboratorium rumah sakit panti Rahayu, kunci utama keberhasilan rumah sakit terletak pada peran serta manajemen rumah sakit dalam membangun sarana dan prasarana baik fisik maupun non fisik. Salah satu usaha dalam pembangunan non fisik adalah memperhatikan kualitas sumber daya manusia dalam upaya mencapai tujuan organisasi karena SDM yang
11
berkualitas menentukan arah dan dan tujuan organisasi. Di samping itu, pihak manajemen rumah sakit selalu berusaha untuk peka terhadap perubahan tuntutan masyarakat dan lingkungan yang bersifat dinamis. Secara lebih lanjut, selain pertumbuhan rumah sakit- rumah sakit baru yang ada di kota Purwodadi dan beragamnya kebutuhan masyarakat akan kesehatan, perubahan lingkungan juga dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah yang kerap berubah-ubah terkait dengan peningkatan mutu pelayanan kesehatan, seperti regulasi tentang BPJS, regulasi tentang tenaga kesehatan, dan regulasi izin praktek dokter. Kebijakan-kebijakan tersebut membuat rumah sakit Panti Rahayu untuk senantiasa memonitoring mutu pelayanan kesehatan yang mereka berikan sehingga segala perubahan regulasi kesehatan yang ditetapkan oleh pemerintah, rumah sakit mampu memenuhinya atau dengan kata lain, rumah sakit berupaya untuk seiring sejalan dalam memenuhi perubahan kebijakan-kebijakan tersebut. Berdasarkan hasil observasi awal tersebut, maka peneliti tertarik untuk melakukan analisis lebih lanjut mengenai penerapan organisasi pembelajar di rumah sakit Panti Rahayu dalam mempertahankan eksistensinya di tengah perubahan lingkungan yang senantiasa bersifat dinamis. Selain itu dari penelitian ini diharapkan menjadi masukan yang penting
bagi
organisasi
lain
untuk
meningkatkan
lingkungan
pembelajaran yang mendukung dan aktivitas pembelajaran yang nanti tentunya dapat menjadi keunggulan kompetitif yang berkelanjutan bagi organisasi.
12
B. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana penerapan organisasi pembelajar di rumah sakit Panti Rahayu dalam upaya mempertahankan eksistensi organisasinya dalam menghadapi perubahan lingkungan yang terjadi di Purwodadi, Jawa Tengah?”
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengeksplorasi penerapan organisasi pembelajar di rumah sakit Panti Rahayu dalam upaya mempertahankan
eksistensinya
dalam
menghadapi
perubahan
lingkungan yang terjadi di daerah Purwodadi, Jawa Tengah.
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoritis maupun praktis. 1. Manfaat Teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memperkaya wacana di bidang psikologi Industri dan Organisasi, khususnya mengenai organisasi
pembelajar
dalam
upaya
untuk
mempertahankan
eksistensi suatu organisasi di tengah perubahan lingkungan yang bisa terjadi setiap saat. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan dan solusi bagi organisasi untuk mengembangkan dan memperbaiki penerapan pembelajaran di organisasinya.
13
E. Perbedaan dengan Penelitian Sebelumnya Isu-isu penelitian mengenai organisasi pembelajar (organizational learning) memang sudah banyak diteliti, baik dengan menggunakan metode kualitatif maupun kuantitatif. Berikut ini adalah beberapa penelitian sebelumnya yang membahas mengenai isu-isu dari organisasi pembelajar. Pertama adalah penelitian yang dilakukan oleh Gould (2000) mengenai penerapan organisasi pembelajar di sebuah organisasi sosial (lembaga perlindungan anak) dengan tujuan untuk mengidentifikasikan bagaimana
para
praktisi
dan
manajer
mengkonseptualisasikan
pembelajaran dalam organisasi mereka. Hasil dari penelitian tersebut adalah konseptualisasi pembelajaran di organisasi sosial diciptakan melalui beberapa kegiatan, seperti supervision, learning logs, shadowing, coaching, inter team meetings,dan point working. Dari kegiatan-kegiatan tersebut maka akan membentuk tiga aspek, yaitu membentuk konstruksi pengetahuan dari pengalaman, evaluasi dari setiap tindakan, dan terakhir membentuk organizational memory, yaitu tahap mengidentifikasikan dalam menempatkan suatu keahlian pada tempatnya, sehingga belajar tidak hanya di fokuskan melalui pengalaman. Kedua adalah penelitian yang dilakukan oleh Mets dan Torokoff (2007) yang mengemukakan bahwa organisasi pembelajar dihubungkan dengan perilaku para individu di sebuah organisasi dan kemampuan organisasi untuk merespon perubahan pada lingkungan secara lebih efektif. Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengidentifikasikan
14
ciri-ciri organisasi pembelajar dan untuk mengevaluasi bentuk organisasi pembelajar di perusahaan Estonian. Kuesionair dibagikan kepada 137 manajer (pemilik usaha, anggota dewan, para manajer, manajer menengah, dan spesialis). Hasil penelitian tersebut adalah persepsi organisasi pembelajar dihasilkan melalui lingkungan internal dan pembelajaran (internal environment and learning), berbagi nilai-nilai (shared values), serta vision dan goals (merujuk pada disonansi dalam persepsi hubungan antar pribadi dan tujuan umum perusahaan). Ketiga adalah penelitian yang dilakukan oleh Gumus, Borkowski, Deckard dan Martel (2011) mengenai partisipasi healthcare manager dalam kegiatan pengembangan profesional (professional development). Metode penelitian yang digunakan adalah sebuah survei eksploratory yang ditujukan kepada tiga asosiasi profesional melalui email. Hasil penelitian
tersebut
adalah
healthcare
manager
dan
healthcare
organizational mendukung dan menghargai pengembangan pribadi dan profesional di organisasi. Keempat adalah penelitian yang dilakukan oleh Bahadori dan Nejati (2011) mengenai faktor-faktor pengembangan SDM dikalangan healthcare senior managers dan pimpinan. Metode penelitian yang digunakan adalah descriptive dan analytical yang diperoleh melalui sebuah penelitian cross-sectional pada akhir 2009. Sample yang digunakan berjumlah 157 orang dari para healthcare senior managers dan pimpinan dalam pembelajaran organisasi. Data diperoleh melalui kuesionair dan dianalisis dengan SPSS. Hasil dari penelitian tersebut adalah faktor-faktor dalam pengembangan SDM bagi healthcare senior
15
managers dan pimpinan meliputi ideologi, inovasi, perilaku, keahlian persepsi,
keahlian
teknik,
keahlian
sosial,
keahlian
pengambilan
keputusan, kemampuan fisik, kemampuan spiritual, kemampuan mental, motivasi, sikap, team work, komunikasi, intelegensi, pembelajaran, pengetahuan secara teknis, dan pengetahuan general/ dasar. Kelima adalah penelitian yang dilakukan oleh Panagiotakopoulus (2011)
mengenai
hubungan
kegagalan
dalam
mendanai
dan
menyediakan pelatihan staff dapat mempengaruhi persaingan posisi usaha kecil, baik di pasar domestik maupun internasional. Mengingat perusahaan kecil memiliki kepentingan dalam pembangunan ekonomi nasional. Tujuan dari penelitian ini adalah mengeksplorasi persepsi pemilik perusahaan kecil terhadap dampak pelatihan karyawan, guna melihat daya saing perusahaan kecil di negara Yunani. Penelitian dilakukan dengan metode kualitatif dengan subjek penelitian 34 pemilik perusahaan kecil dan 9 perusahaan mikro. Hasil dari penelitian tersebut adalah semua pemilik perusahaan kecil menganggap pelatihan karyawan penting untuk keberhasilan perusahaan kecil. sebagian besar dari pemilik usaha kecil (38 dari 43) sangat mempertanyakan penerapan dan kegunaan dari kursus pelatihan terstruktur (pelatihan formal) bagi organisasi mereka, mereka sangat tertarik untuk menggunakan pelatihan metode on-the-job (pelatihan dan pembelajaran informal) dimana karyawan bisa mengamati, meniru dan belajar dari orang lain secara fleksibel untuk mengembangkan diri dan meningkatkan kinerja perusahaan. Pelatihan formal dianggap sebagai pemborosan uang dan waktu karena terlalu teoritis, mahal dan tidak
16
disesuaikan dengan kebutuhan spesifik mereka. on-the-job training dianggap membantu karyawan untuk mengurangi kesalahan dalam proses produksi, yang pada gilirannya memungkinkan organisasi untuk mengurangi biaya produksi. Berdasarkan penelitian-penelitian sebelumnya, maka dapat di simpulkan bahwa secara tidak langsung organisasi dalam berbagai bidang mulai memperhatikan pentingnya suatu organisasi menjadikan dirinya sebagai organisasi pembelajar, terutama bagi para pemimpin organisasi yang memiliki peran yang dominan dalam mempertahankan eksistensi orgnisasi ditengah persaingan global saat ini. Banyak kegiatan yang mereka terapkan dalam mengkonseptualisasikan pembelajaran di organisasi mereka. Oleh karena itu, pembahasan mengenai organisasi pembelajar pada penelitian ini akan di fokuskan pada penerapan organisasi pembelajar oleh sebuah organisasi bidang kesehatan, yaitu rumah sakit. Meskipun telah banyak ditemukan penelitian yang sama mengenai topik tersebut, tetapi peneliti tertarik untuk melihat dari konteks negara sendiri, yaitu Indonesia, dengan mengambil setting rumah sakit di daerah kota kecil di Jawa Tengah.