BAB 1 Pendahuluan 1.1.Latar Belakang Nigeria saat ini adalah negara pengekspor minyak bumi terbesar di Afrika dan urutan kelima terbesar di dunia.1 Penghasilan Nigeria dari sektor minyak meningkat drastis ketika oil boom pada tahun 1970-1980 dan pada tahun 2003 minyak tetap menjadi pendapatan terbesar Nigeria yang mencapai 70% dari total pendapatan negara.2 Minyak yang ditambang di Delta Niger mampu memberikan keuntungan yang besar bagi Pemerintah Nigeria, tapi kondisi di Delta Niger tidak ikut terangkat dengan adanya penambangan minyak. Macetnya pembangunan di daerah Delta Niger dan korupsi di pemerintahan tingkat lokal dan negara bagian.
3
Kondisi ini memunculkan kelompok-kelompok perlawanan yang juga ingin
merasakan keuntungan dari minyak. Namun, cara yang dipakai oleh kelompok-kelompok perlawanan ini ada yang dengan mengangkat senjata, seperti yang dilakukan oleh Movement for the Emancipation of the Niger Delta (MEND). 4 Hal ini membuat pemerintah perlu melakukan suatu langkah drastis untuk mengurangi dampak dari konflik di Delta Niger. Pada Juni 2009 dilakukan suatu langkah drastis oleh Presiden Umaru Yar’adua untuk memberlakukan Presidential Amnesty Programme (yang dalam skripsi ini akan disebut dengan Program Amnesti yang ditujukan kepada seluruh kelompok perlawanan di Delta Niger. 5 Meskipun nama dari program tersebut hanya menyebutkan amnesti, sebenarnya Pemerintah Nigeria mencoba menggabungkan amnesti dan DDR menjadi satu kebijakan dengan nama Program Amnesti. Presiden Umaru Yar’Adua memberlakukan Program Amnesti
setelah
usaha-usaha
sebelumnya
seperti
pembentukan
badan
pelaksana
pembangunan, seperti Niger Delta Development Board (NDDB), Niger Delta Development Commission (NDDC) dan Oil Mineral Producing Area Development Commission (OMPADEC), pembentukan kementerian yang khusus menangani Delta Niger yaitu Ministry 1
CIA, The World Factbook: Nigeria (online),
,diakses tanggal 14 November 2013. 2 Ikelegbe, A., “The Economy of Conflict of in the Oil Rich Niger Delta Region of Nigeria”, dalam Nordic Journal of African Studies, vol. 14, no. 2, 2005, hal. 208 3 Agbiboa, D. E. dan Maiangwa, B., “Corruption in the Underdevelopment of the Niger Delta in Nigeria”, dalam The Journal of Pan African Studies, vol. 5, no. 8, Desember 2012, h. 118. 4 Von Kemedi, D., Fuelling the Violence: Non-State Armed Actors (Militia, Cults, and Gangs) in the Niger Delta, Our Niger Delta, Port Harcourt, 2006, h. 1-2. 5 Idonor, D., Yar’adua Grants Militants Unconditional Amnesty Frees Henry Okah, Vanguard (online), 25 Juni 2009, , diakses tanggal 5 Februari 2014.
1
of Niger Delta Affairs (MNDA), pengerahan militer, dan bahkan pemberian amnesti oleh presiden sebelumnya, Olusegun Obasanjo, tidak mampu menurunkan intensitas konflik di Delta Niger. Yang membedakan Program Amnesti Presiden Yar’adua dengan Presiden Obasanjo adalah Program Amnesti Presiden Yar’adua terintegrasi dengan upaya disarmament, demobilization, and reintegration (DDR). Para militan yang ingin mendapatkan amnesti diharuskan mengumpulkan senjata dan menghentikan perlawanan terhadap pemerintah terlebih dahulu. Upaya untuk mengumpulkan senjata dan menghentikan perlawanan para militan ini merupakan ciri dari fase disarmament dan demobilization dalam DDR. Selain itu partisipan Program Amnesti secara otomatis juga mengikuti programprogram lanjutan yang diberikan oleh pemerintah. Program-program lanjutan tersebut seperti pemberian uang bulanan dan pelatihan kejuruan yang merupakan fase reintegration dalam DDR. Program Amnesti masih dilanjutkan setelah Presiden Umaru Yar’adua meninggal pada Mei 2010 karena sakit dan digantikan oleh Goodluck Jonathan yang memenangkan pemilihan umum setelahnya.6 Program Amnesti menjadi salah satu pencapaian penting bagi rezim singkat Presiden Umaru Yar’adua karena mampu mengurangi jumlah militan di Delta Niger sebanyak 26.358 orang dengan mengikuti Program Amnesti meskipun tidak diketahui secara pasti berapa keseluruhan militan di Delta Niger, megurangi jumlah persenjataan yang beredar di Delta Niger, dan menurunnya intensitas konflik mampu meningkatkan produksi minyak.7 Program Amnesti yang diberlakukan oleh pemerintah Nigeria ini tidak hanya berhenti pada tindakan amnesti saja, tapi juga mereintegrasikan para partisipan ke masyarakat sehingga Program Amnesti dijalankan bersamaan dengan upaya disarmament, demobilization, and reintegration bagi anggota kelompok perlawanan di Delta Niger yang mendaftar dalam Program Amnesti ini. Partisipan Program Amnesti diharuskan menyerahkan persenjataannya sebelum diberi pengampunan dan menjalani program pelatihan sebagai langkah untuk merehabilitasi dan mereintegrasikan partisipan ke masyarakat.8 Program rehabilitasi dan reintegrasi masyarakat akan membutuhkan tenaga, waktu, dan biaya yang banyak. Apalagi program tersebut ditujukan kepada 26.358 partisipan sehingga dibutuhkan komitmen dan kinerja yang optimal dari Pemerintah Nigeria sebagai pelaku utama dalam menjalankan Program Amnesti. 6
BBC, Niger Delta Militant Backs Nigeria’s Goodluck Jonathan (online), 17 Mei 2010, , diakses tangga l 5 Februari 2014. 7 Oluwaniyi, O. O., “Post-Amnesty Programme in the Niger Delta: Challenges and Prospects”, dalam Conflict Trends, vol. 4, 2011, h. 50-51. 8 Ujah, E., Ex-militants Abandon Guns for Training, Vanguard (online), 3 Juli 2010, , diakses tanggal 25 Februari 2014.
2
Program Amnesti oleh Pemerintah Nigeria menjadi upaya resolusi konflik antara Pemerintah Nigeria dengan kelompok-kelompok perlawanan. Namun, MEND masih melakukan perlawanan, bahkan setelah Program Amnesti ini dilaksanakan. Bahkan MEND melakukan penyerangan terhadap kapal milik perusahaan minyak Agip dan menyandera dua awaknya baru-baru ini di awal tahun 2014. 9 Kontak senjata yang masih berlangsung mengindikasikan bahwa konflik belum berakhir di Delta Niger meskipun Pemerintah Nigeria telah memberlakukan Program Amnesti. Kontestasi untuk memperebutkan minyak masih berlanjut antara kelompok perlawanan dengan pemerintah padahal Program Amnesti diimplementasikan agar para partisipan tidak kembali mengangkat senjata. Perkembangan terakhir menyebutkan bahwa Program Amnesti akan dihentikan pada tahun 2015.10
1.2.Pertanyaan Penelitian Skripsi ini akan meneliti mengenai Program Amnesti dan implementasinya di Delta Niger pada tahun 2009 hingga 2014 yang melalui rezim Presiden Yar’adua dan dilanjutkan oleh Presiden Jonathan. Dengan demikian, pertanyaan penelitian dalam skripsi ini adalah: “Apakah Presidential Amnesty Programme pada tahun 2009 hingga 2014 berhasil mewujudkan perdamaian di Delta Niger?”
1.3.Argumen Utama Dengan dicanangkannya Program Amnesti pada tahun 2009 oleh Presiden Umaru Yar’adua, konflik di Delta Niger memasuki perkembangan baru. Program Amnesti diberlakukan sebagai salah satu alternatif untuk menyelesaikan konflik karena solusi-solusi lain yang pernah dilakukan pemerintah dinilai gagal untuk menghentikan konflik di Delta Niger. Keunggulan Program Amnesti ini adalah Pemerintah Nigeria tidak hanya memberikan pengampunan terhadap tindakan perlawanan yang dilakukan militan, tetapi amnesti terintegrasi dengan program DDR bagi para militan yang terdaftar, seperti pemberian uang bulanan dan pelatihan. Hasilnya adalah Program Amnesti, sempat memberikan hasil positif 9
James, S., Nigeria: MEND - We Attacked, Abducted Agip Personnel, All Africa (online), 28 Januari 2014, , diakses tanggal 8 Maret 2014. 10 Edu, C., FG Plans to End Amnesty Programme in 2015, This Day Live (online), 20 Juni 2013, , diakses tanggal 5 Februari 2014.
3
dengan menurunkan intensitas konflik dan meningkatkan produksi minyak yang menjadi sektor penting bagi pemasukan negara. Namun, Program Amnesti harus dihadapkan pada kenyataan bahwa kelompok pemberontak terus melanjutkan perlawanan bersenjata meskipun Program Amnesti telah diberlakukan. Padahal, tujuan dari Program Amnesti adalah menghentikan perlawanan yang dilakukan para militan. Dengan demikian, Program Amnesti dinyatakan gagal mencapai perdamaian di Delta Niger.
1.4.Kerangka Konseptual Amnesti Skripsi ini bertujuan untuk melihat Program Amnesti yang diimplementasikan di Delta Niger yang sedang dilanda konflik. Sehingga penting untuk menjelaskan mengenai definisi amnesti dan tujuan penggunaannya dalam konflik sebagai pijakan awal untuk memahami pengimplementasian Program Amnesti di Delta Niger. Definisi amnesti menurut Black’s Law Dictionary adalah: “A sovereign act of oblivion for past acts, granted by a government to all persons (or to certain persons) who have been guilty of crime or delict, generally political
offenses,—treason,
sedition,
rebellion,—and
often
conditioned upon their return to obedience and duty within a prescribed time.”11 Dari definisi tersebut dapat disimpulkan secara umum bahwa amnesti adalah upaya pengampunan seseorang yang sebenarnya bersalah. Definisi tersebut juga menyebutkan bahwa amnesti diberikan oleh pemerintah kepada, umumnya, pihak yang melakukan kejahatan politik, seperti gerakan pemberontakan atau perlawanan. Amnesti juga digunakan sebagai salah satu cara untuk menangani konflik, terutama konflik antara pemerintah suatu negara dengan kelompok perlawanan yang ada di negara tersebut. Amnesti dalam konteks penanganan konflik adalah penghapusan tuntutan hukum mengenai tindakan-tindakan yang berhubungan dengan perlawanan terhadap pemerintah. Cakupan pemberian amnesti dapat dibatasi oleh pemerintah, baik membatasi penerima amnesti atau pelanggaran yang diamnesti. Amnesti dilakukan sebagai cara pemerintah 11
Black, H.C., Black’s Law Dictionary, 5th ed, West Publishing Co., St. Paul, 1968, h. 108.
4
membujuk kelompok perlawanan agar mau menurunkan senjata dengan iming-iming penghapusan tuntutan hukum. Amnesti yang diberikan oleh pemerintah ketika konflik masih belangsung bertindak sebagai strategi kontra-pemberontakan dalam menghadapi konflik.12 Penerima amnesti tidak selalu seluruh anggota suatu kelompok perlawanan. Meskipun amnesti telah dilangsungkan, konflik masih dapat muncul dari kombatan-kombatan yang tidak mengikuti amnesti. Hal ini dikarenakan belum ada perjanjian damai yang mengikat para pihak yang berkonflik yang secara jelas menentukan akhir dari konflik yang sedang berlangsung. Amnesti biasanya diberikan dengan tenggat waktu agar para kombatan yang menjadi target dari amnesti ini dapat dengan cepat tergabung dalam daftar amnesti. Ketika tenggat waktunya habis, pemerintah dapat menuntut kembali para kombatan sesuai dengan hukum yang berlaku. Namun, pemerintah juga memiliki pilihan untuk memperpanjang masa amnesti bagi kombatan yang belum terdaftar. Upaya resolusi konflik melalui amnesti akan menemui kesulitan dalam menciptakan perdamaian jika amnesti baru diupayakan ketika konflik sudah berada dalam fase konfrontasi bersenjata.13 Dalam fase konflik yang sudah parah, tingkat kepercayaan masing-masing pihak akan berada di titik yang terendah. Amnesti yang diberikan ketika konflik berada pada fase ini selain sebagai upaya resolusi konflik, sekaligus upaya untuk membangun kepercayaan antara pihak yang berkonflik. Amnesti tidak akan langsung diikuti oleh semua militan karena amnesti dianggap sebagai perubahan pendekatan yang drastis, dari konfrontasi bersenjata yang secara drastis berbelok kepada pendekatan yang lebih damai, sehingga menimbulkan keraguan pada militan. 14 Kepercayaan akan dibangun dengan pondasi yang berasal dari tindakan selanjutnya setelah amnesti diberikan.
Disarmament, Demobilization, Reintegration (DDR) DDR memiliki tiga unsur. Yang pertama yaitu disarmament yang berarti pengumpulan dan pengontrolan senjata atau alat-alat bertempur lainnya yang dimiliki kombatan atau warga sipil, terutama yang terlibat dalam konflik, yang membutuhkan 12
Mallinder, L., The Role of Amnesty in Conflict Transformation, Queen University, Belfast, 11 Maret 2009, h. 16-17. 13 Sango, T.J., Amnesty: A Yard Stick towards Resolution of Internal Conflict, Institute for Peace and Conflict Resolution, Abuja, 2009, h. 3-5. 14 Sango, T.J., h. 5.
5
manajemen tertentu.15Disarmament berupaya untuk mengurangi kapabilitas kombatan dalam melakukan perlawanan bersenjata dan sebagai langkah awal untuk menciptakan kestabilan dalam daerah yang terkena konflik. Hal ini dikarenakan jumlah senjata yang ada di dalam daerah berkonflik akan lebih terkontrol sehingga mengurangi kemungkinan terjadinya tindakan kekerasan bersenjata. Dalam konflik yang terjadi dalam negeri, persenjataan yang telah dilucuti akan diserahkan kepada pemerintah. Demobilization memiliki arti menarik kembali pasukan bersenjata yang sedang aktif di suatu daerah konflik. 16 Tujuannya adalah untuk mengurangi, atau membubarkan, kombatan yang terlibat di dalam konflik. Demobilization ditujukan kepada seluruh militan yang terlibat di dalam konflik suatu daerah. Tidak hanya para militan, pasukan bersenjata pemerintah juga menjadi target dari demobilization. Namun, tidak semua pasukan bersenjata ditarik kembali karena daerah konflik masih memerlukan pasukan pengamanan. Hal ini penting untuk menciptakan confidence building dan mengurangi kecurigaan dari masingmasing pihak yang berkonflik yang dapat muncul dari banyaknya kombatan yang ada di daerah berkonflik. Reintegration berarti proses bagaimana para mantan kombatan memperoleh kembali status sebagai warga sipil sehingga mereka memiliki pekerjaan sebagai seorang warga sipil dan pendapatan.17Reintegration tidak hanya ditujukan kepada para mantan kombatan, tetapi juga kepada orang-orang yang kembali dari pengungsian. Dengan demikian, reintegration adalah proses restrukturisasi sosial dan ekonomi setalah terjadinya konflik. Reintegration adalah proses yang sulit dan membutuhkan komitmen besar dari pemerintah karena memerlukan perbaikan struktur sosial dan ekonomi yang ada di masyarakat. Terlebih lagi proses ini harus mampu membuat para mantan kombatan kembali tergabung dalam masyarakat sipil dan tidak kembali untuk mengangkat senjata kembali.
Hubungan antara amnesti dengan DDR Pemberian amnesti memiliki hubungan dengan upaya DDR yang dilakukan untuk mendukung proses perdamaian dalam suatu konflik. Mark Freeman menyebutkan bahwa 15
Gleichman, C., et.al.,Disarmament, Demobilisation and Reintegration: A Practical Field and Classroom Guide, Druckerei Hassmüller Graphische Betriebe GmbH & Co. KG, Frakfurt, 2004, h. 29. 16 Gleichman, h. 45. 17 Gleichman, h. 65.
6
paling tidak ada empat jenis amnesti yang dapat diimplementasikan bersamaan dengan program DDR:18 1. Amnesti yang didesain sebagai bagian dari proses DDR yang memberikan cakupan pengampunan yang luas sehingga dapat mendukung proses pelucutan senjata dan demobilisasi. 2. Amnesti yang didesain sebagai bagian dari proses DDR yang memberikan cakupan pengampunan yang sempit sehingga malah berpotensi untuk mempersulit proses pelucutan senjata dan demobilisasi. 3. Amnesti yang tidak didesain sebagai bagian dari DDR yang memberikan cakupan pengampunan yang luas sehingga dapat mendukung proses pelucutan senjata dan demobilisasi. 4. Amnesti yang tidak didesain sebagai bagian dari DDR yang memberikan cakupan pengampunan yang sempit sehingga mempersulit proses pelucutan senjata dan demobilisasi Dalam kasus Program Amnesti untuk militan di Delta Niger, amnesti yang diberikan secara terbuka kepada para militan di Delta Niger ini didesain sebagai bagian dari proses DDR. Hal ini terlihat dari bagaimana Pemerintah Nigeria menggabungkan pemberian pengampunan atas tindakan perlawanan yang dilakukan militan kepada pemerintah dengan upaya pelucutan senjata milik partisipan, demobilisasi dengan mengumpulkan para partisipan di kamp pelatihan, dan pemberian latihan lebih lanjut dengan mengirimkan para partisipan untuk belajar di universitas atau suatu lembaga tertentu. Amnesti digunakan bertujuan untuk menarik para militan agar mau menyerah dan berpartisipasi dengan program DDR karena para militan tidak akan mendapat tuntutan hukum dari pemerintah setelah meletakkan senjatanya.19 Partisipan Program Amnesti akan diperlakukan layaknya warga sipil biasa yang tidak melakukan pelanggaran hukum yang sedang menjalani program pelatihan dari pemerintah. Dengan demikian, Program Amnesti Pemerintah Nigeria dimasukkan ke dalam kriteria amnesti yang didesain sebagai bagian dari proses DDR dan memberikan cakupan pengampunan yang luas untuk mendukung proses pelucutan senjata dan demobilisasi. 18
Freeman, M., Research Brief: Amnesties and DDR Programs, International Center for Transitional Justice, Februari 2010, h. 2. 19 Office of the Special Adviser on Africa, Transitional Justice and Disarmament, Demobilization, and Reintegration in Africa, PBB, Juni 2007, h. 6.
7
Perdamaian Galtung membagi konsep perdamaian menjadi dua. Konsep perdamaian negatif adalah perdamaian yang didapat dari hilangnya kekerasan langsung yang dilakukan secara kolektif.20 Kekerasan kolektif diartikan sebagai kekerasan yang dilakukan sekelompok orang yang menyebabkan hilangnya perdamaian. Kekerasan kolektif adalah kekerasan yang terorganisir dan berbeda dengan kekerasan yang dilakukan individu yang dampaknya tidak terlalu signifikan terhadap perdamaian di lingkungannya. Galtung menjelaskan bahwa perdamaian negatif dapat dicapai dengan cara apapun asalkan kekerasan yang dilakukan secara langsung dapat hilang. Dapat dengan cara menghancurkan pihak lain sehingga tidak ada lawan untuk konflik, memaksa pihak lain untuk tunduk dengan hukum-hukum tertentu, atau cara-cara lain selama tidak terjadi kekerasan langsung yang dilakukan secara kolektif.21 Sedangkan perdamaian positif adalah perdamaian yang berbasis pada terciptanya kooperasi, terutama kooperasi antara pihak-pihak yang berkonflik untuk menciptakan suasana yang damai. 22 Galtung mengatakan bahwa perdamaian positif dapat dicapai jika terbentuk suatu
hubungan
positif
antara
masing-masing
kelompok
masyarakat.
23
Galtung
menambahkan bahwa terdapat sepuluh nilai yang dapat digunakan untuk mencapai perdamaian postif, yaitu adanya kooperasi, terbebas dari rasa takut, kemudahan dalam memenuhi kebutuhan hidup, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan, tidak adanya eksploitasi, persamaan derajat, keadilan, kemerdekaan dalam bertindak, pluralisme, dan dinamisme.24 Charles Webel memberikan definisi tambahan berkaitan dengan perdamaian positif dan negatif. Perdamaian positif disebut juga oleh Webel sebagai perdamaian yang kuat yang berarti kondisi yang memiliki keadilan sosial yang kuat, kebebasan, dan kekerasan yang relatif kecil di kehidupan sosial.25 Sedangkan perdamaian negatif disebut juga perdamaian yang lemah atau rentan. Perdamaian lemah berarti hilangnya perang atau kekerasan kolektif,
20
Galtung, J., Theories of Peace: A Synthetic Approach to Peace Thinking, International Peace Research Institute, Oslo, 1967, h. 12. 21 Galtung, h. 17. 22 Galtung, h.12. 23 Galtung, h. 14 24 Galtung, h. 14. 25 Webel, C., “Introduction: Toward A Philosophy and Metapsychology of Peace”, dalam Webel, C. dan Galtung, J. (ed.), Handbook of Peace and Conflict Studies, Routledge, New York, 2007, h. 11.
8
tetapi ketidakadilan masih terjadi, permasalahan sosial, perselisihan personal, dan ketidakpuasan.26 Berhubungan dengan perdamaian negatif dan postif, Dietrich Fischer menambahkan terdapat delapan komponen yang diperlukan untuk mewujudkan perdamaian. Delapan komponen ini berguna untuk menciptakan perdamaian dengan menggabungkan esensi dari perdamaian positif dan negatif. Hal ini penting untuk dilakukan untuk menghilangkan kekerasan yang muncul akibat konflik serta membangun kondisi yang dapat mencegah terjadinya konflik kembali. Tabel 1.1. Delapan Komponen Perdamaian27 Perdamaian Negatif Kelangsungan hidup:
Hilangnya kekerasan
hilangnya kekerasan
langsung, gencatan senjata,
langsung karena kekuatan
pelucutan senjata,
militer.
pencegahan terorisme.
hilangnya kekerasan
Bantuan kemanusiaan dan
struktural karena kekuasaan
pengangkatan kemiskinan
ekonomi.
kekerasan struktural karena kekuasaan politik
Kooperasi dan pencegahan kekerasan, bina damai, transformasi konflik, rekonsiliasi, dan rekonstruksi. Membangun perekonomian
Pembangunan ekonomi:
Kemerdekaan: hilangnya
Perdamaian Positif
pada tingkat lokal, nasional, dan global yang dapat memenuhi kebutuhan dasar masing-masing individu.
Terbebas dari ketertindasan, okupasi, dan kediktatoran.
Tata kelola pemerintahan yang baik dan penegakan hak asasi manusia.
Menghilangkan prasangka Budaya perdamaian:
berdasarkan identitas,
Promosi budaya perdamaian,
hilangnya budaya kekerasan
mengilangkan pemujaan
membangun komunikasi dan
karena kekuasaan
terhadap perang dan
dialog, jurnalisme
kebudayaan
kekerasan di media, literatur,
perdamaian.
film, dan lainnya.
26
Webel, h. 11. Fischer, D., “Peace as a Self-Regulating Process”, dalam Webel, C. dan Galtung, J. (ed.), Handbook of Peace and Conflict Studies, Routledge, New York, 2007, h. 188.
27
9
Lalu perdamaian apakah yang ingin dicapai dari Program Amnesti di Delta Niger? Delta Niger sudah cukup lama mengalami konflik dan sudah saatnya konflik diselesaikan karena membawa dampak buruk terhadap kondisi keamanan dan produksi minyak di Delta Niger. Banyak masalah di Delta Niger yang menjadi pemicu dari konflik ini. Namun, urgensi dari Program Amnesti bukanlah untuk menyelesaikan seluruh permasalahan itu. Program Amnesti di Delta Niger adalah program yang menghapuskan kesalahan yang dilakukan militan atas militansi yang dilakukan di Delta Niger. Tidak berhenti sampai di situ, Program Amnesti juga memberikan program DDR kepada partisipannya seperti pelatihan dan pemberian uang bulanan. Yang terlihat dari upaya ini adalah Pemerintah Nigeria berupaya agar para partisipan Program Amnesti dapat hidup mandiri dengan kondisi ekonomi yang terjamin setelah meletakkan senjata dan mengikuti Program Amnesti. Hal ini identik dengan upaya untuk menciptakan perdamaian positif, terutama dari definisi yang diberikan Galtung. Namun, perlu diingat bahwa Program Amnesti ditujukan kepada para militan Delta Niger agar tidak kembali mengangkat senjata yang berarti tujuan dari Program Amnesti adalah mengurangi kekuatan militan Delta Niger melalui amnesti dan DDR. Dengan demikian, Program Amnesti sebenarnya bertujuan untuk mencapai perdamaian negatif dengan mengurangi perlawanan dari militan Delta Niger. Konsep perdamaian negatifakan digunakan untuk melihat seberapa jauh capaian Program Amnesti dalam menciptakan perdamaian di Delta Niger.
1.5.Metodologi Penelitian Permasalahan yang dikaji dalam skripsi ini adalah mengenai keberhasilan Program Amnesti dalam menciptakan perdamaian di Delta Niger. Dalam mengkaji isu ini, peneliti akan menggunakan metode penelitian kualitatif. Data-data yang dikumpulkan berasal dari sumber-sumber sekunder seperti buku, jurnal, dan sumber-sumber internet seperti artikel dan berita dari situs internet mengenai isu konflik di Delta Niger. Data-data tersebut akan diseleksi sesuai keterkaitannya mengenai isu-isu Program Amnesti oleh Pemerintah Nigeria kepada para militan di Delta Niger. Data yang telah terseleksi akan digunakan sebagai landasan informasi dalam menulis skripsi. Dari data-data ini akan digunakan sebagai acuan untuk menganalisis keberhasilan dari Program Amnesti.
10
1.6.Sistematika Penulisan Skripsi ini akan disusun menjadi empat bab. Bab 1 adalah bab pendahuluan yang berisi latar belakang, pertanyaan penelitian, argumen utama, kerangka konseptual, metode penelitian, serta sistematika penulisan. Bab 2 berisi mengenai gambaran singkat mengenai konflik di Delta Niger, pendorong konflik, dan contoh upaya-upaya perdamaian sebelum Program Amnesti diberlakukan. Dalam bab ini akan diuraikan juga proses pengambilan kebijakan Program Amnesti yang dilakukan pemerintah Umaru Yar’adua dan Goodluck Jonathan. Bab 3 akan berisi analisis mengenai implementasi Program Amnesti dari tahun 2009 hingga 2014. Dalam bab ini akan dijelaskan mengenai mengenai paket Program Amnesti. Kemudian dilanjutkan dengan menganalisis dampak dari Program Amnesti dan apakah Program Amnesti berhasil mencapai perdamaian di Delta Niger. Bab terakhir dalam skripsi ini adalah bab 4 yang berisi penarikan kesimpulan dari keseluruhan isi skripsi
11