Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
BAB 1 Melacak Tindakan Para-Agen Berdemokrasi
Disertasi ini membahas tentang praksis demokrasi dalam konteks kontestasi pemilihan Kepala Daerah. Pola kontestasi sebenarnya tergantung pada sistem politiknya. Sistem pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, yang dihajatkan berpola demokratis, mengalami pasang surut seiring bergantinya rezim. Hal itu terjadi karena sistem pemilihan cenderung tergantung pada apa kehendak rezim yang berkuasa, dan didukung oleh para elit yang berpartisipasi di dalam perhelatannya. Kendati demikian, perhatian disertasi ini bukan hanya pada aspek struktural
yang
mengerangkai
sistem
pemilihan
Kepala
Daerah.
Penyelenggaraan pemilihan Kepala Daerah, sebagai implementasi dari sistem demokrasi yang dianut oleh Negara, lebih banyak diposisikan hanya sebagai latar; karena fokus penelitian adalah pada perilaku para elit dan kontestan, apakah mereka sudah mampu menunjukkan ‘kultur politik demokratis’ sebagaimana dibayangkan oleh penganjur ajaran demokrasi. Dengan demikian, aspek yang ingin dicermati dalam penelitian ini adalah perilaku yang diperagakan oleh para-agen dan aktor yang terlibat dalam kontestasi, dalam konteks tindakan politik agensial, sebagai dampak dari berlakunya sistem. Selain hal itu, juga ingin dicermati pula bagaimana “respon” masyarakat terhadap sistem pemilihan Kepala Daerah yang menghendaki keterlibatan mereka sebagai pemilih. 1. Wacana Demokrasi dan Proses Demokratisasi Wacana pentingnya membahas isu demokratisasi hampir selalu berkaitan dengan persoalan bagaimana praksis demokrasi menjadi lebih baik. Secara makro, demokratisasi bisa menyangkut isu tentang perubahan sistem Praksis Demokrasi yang Rumpang 1
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
politik nasional. Namun, kualitas demokrasi di suatu negeri dipercaya sangat ditentukan oleh bagaimana dinamika politik yang terjadi di tingkat lokal ⎯ yang niscaya melibatkan relasi antara kelompok elit dan massa. Elit, sebagai aktor, merupakan penentu dinamika kehidupan politik di ranah lokal. Sungguh pun demikian, keberadaan elit sangat mungkin tidak signifikan manakala dia tidak mampu menghimpun kekuatan massa pendukung yang fanatik. Massa, sebagai personifikasi rakyat yang memiliki kebebasan untuk memilih, adalah kekuatan yang tersembunyi, dan hanya orang-orang tertentu yang mampu membangkitkannya menjadi sebuah kekuatan sosial yang nyata. Adanya pengerahan massa ⎯ oleh para aktor yang sedang terlibat sebuah kontestasi politik ⎯ adalah salah satu ciri demokrasi; dan pada sisi lain, kemampuan aktor untuk mengerahkan massa pendukungnya menjadikan politik demokratis selalu riuh, dan kadangkala memicu konflik sosial. Karena itulah demokratisasi, sebagai instrumen politik, selalu membutuhkan kerangka acuan normatif untuk menjadikannya bermartabat. Secara generik, demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan yang didasarkan atas kedaulatan rakyat. Rakyat adalah pemegang hak kedaulatan atas negara, dan untuk mengaktualisasikan hal itu sebagai sebuah budaya politik dibutuhkan proses demokratisasi ⎯ antara lain bisa merujuk pada model-model demokrasi politik tertentu yang paling sesuai dengan kondisi sosial yang tersedia dan kondusif untuk maksud tersebut. 1 Sungguhpun demikian, bagaimana konstruksi riil peran rakyat dalam menunjukkan hak kedaulatannya sebenarnya tergantung pada kata sifat yang dilekatkan pada istilah demokrasi itu sendiri,2 sehingga model demokrasi tentu saja bermacam ragam. Dengan kata lain, wacana demokrasi sebenarnya hanya sebuah
1
Sebagai perbandingan lihat argumen Georg Sorensen, 2008. Democracy and Democratization: Processes and Prospects in a Changing World. (Westview Press. Colorado). Lihat juga David Held, 2006. Models of Democracy. (Polity Press Ltd, Cambridge). Bandingkan dengan Robert A. Dahl, 1989. Democracy and Its Critics. (Yale University Press). 2 Lihat John S. Dryzek, 2004. “Democratic Political Theory”, dalam G.F. Gaus dan C. Kukathas (eds), Handbook of Political Theory. (SAGE Publications, London). Dryzek bahkan mencatat ada 54 kata sifat yang dapat dilekatkan pada istilah “demokrasi” dan menjadikan kategori demokrasi itu demikian luas dan beragam jumlahnya.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 2
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
metafora dari pentingnya peran rakyat dalam tatanan bernegara,3 sedangkan bagaimana praksis demokrasi dengan segala implikasinya perlu dilihat kasus per kasus dan tergantung pada kondisi-kondisi obyektif yang mendukungnya.4 Jika prinsip dasar demokrasi adalah memuliakan kaidah-kaidah nilai yang mengutamakan kesetaraan dan kebebasan, dan adanya jaminan keadilan karena setiap orang setara ketika berada di bawah hukum, dan hal itu hidup dalam tatanan bernegara, maka salah satu tipe ideal negara demokrasi barangkali adalah Amerika Serikat masa kini.5 Suka atau tidak, wacana tentang model demokrasi modern yang merujuk pada standar Amerika Serikat itu juga mewarnai pemikiran konseptual serta praksis demokrasi politik di Indonesia,6 bahkan sejak awal republik ini berdiri. 7 Obsesi tentang model negara demokratis ‘serupa dengan Amerika Serikat’ itu tampaknya semakin terpateri dalam benak para elite “pro-demokrasi” yang membayangkan masa depan Republik Indonesia pasca Orde Baru.8 Para perancang perubahan politik itu kemudian melihat urgensi tersedianya aturan-aturan perundangan yang dibutuhkan untuk mereformasi politik di republik ini. Ada asumsi, dalam kondisi transisi menuju demokrasi, payung hukum adalah syarat utama untuk tegaknya aturan main dan terciptanya proses demokratisasi yang baik. Dengan adanya aturan hukum itulah rakyat dimungkinkan untuk terlibat aktif dalam 3
Lihat Roland Axtmann, 2007. Democracy: Problem and Perspectives. (Edinburgh University Press, Edinburgh), terutama Bab 5. 4 Lihat Frank Cunningham, 2002. Theory of Democracy: A Critical Introduction. (Routledge, London). 5 Lihat Leonardo Morlino, 2002. What is a “Good” Democracy? Theory and Empirical Analysis. (Makalah pada Conference on “The European Union, Nations State, and the Quality of Democracy, Lesson from Southern Europe”: October 31-November 2, 2002. University of California, Berkeley). Lihat juga Leonardo Morlino dan G. Palombella, 2010. Rule of Law and Democracy: Inquiries into–Internal and External Issues. (Brill, Leiden-Boston). 6 Lihat Taufik Abdullah, 2009. Indonesia Toward Democracy. (ISEAS Publishing, Institute of Southeast Asian Penelitianes, Singapore). 7 Lihat Yudi Latif, 2011. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila. (PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta). 8 Pada tahun 2000 International IDEA melalui Forum untuk Reformasi Demokratis telah menawarkan sejumlah rekomendasi untuk demokratisasi Indonesia dengan merujuk pada negara-negara demokratis yang lebih maju (lihat IDEA, 2000. Penilaian Demokrasi di Indonesia, [terutama pada Bab “Institusionalisme dan Aturan Hukum”], halaman 53-60). Meskipun tidak semua rekomendasi lembaga tersebut diikuti dengan seksama, namun tampaknya kerangka besar rekomendasi IDEA itu akhirnya diadopsi dalam sejumlah kebijakan politik rezim pasca Orde Baru. Misalnya bagaimana caranya menjamin hak rakyat untuk memilih pemerintahannya melalui pemilihan umum yang periodik yang bebas dan adil, sebagai hak demokratis paling dasar (halaman 58).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 3
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
proses mempengaruhi keputusan-keputusan publik (public policy) ⎯ sebagaimana yang terjadi di negara-negara Barat yang telah matang politik demokrasinya. Untuk mencapai kondisi dimaksud, maka secara struktural ia dimulai dari partisipasi politik dalam pemilihan umum, karena orde demokrasi menghendaki hak kedaulatan rakyat diformulasikan seperti itu.9 Dengan preferensi reformasi politik demokratis semacam itu lahirlah sejumlah Undang-Undang,
10
yang mengerangkakan liberalisme sebagai
ideologi untuk mengatur tertib sosial dan kaidah berpolitik di ranah publik di Indonesia.11 Dengan mengacu pada preferensi politik semacam itu pula sejak tahun 2005 di Indonesia dikondisikan sebuah prosedur demokratis yang baru untuk mengganti dan mengisi jabatan Kepala Daerah, yang populer dengan sebutan ‘Pilkada’, dan kemudian bertransformasi menjadi istilah ‘Pilkada Langsung’. 12 Dalam skenarionya dibayangkan bahwa warga masyarakat membutuhkan Pilkada yang mestinya melibatkan mereka dalam proses politiknya. Melalui Pilkada Langsung itu penduduk di suatu daerah dapat dengan bebas merdeka mendukung seseorang untuk menjadi Kepala Daerah, sesuai dengan aspirasinya yang beragam, dan mestinya dengan rasionalitasnya 9
Lihat dan bandingkan dengan misalnya Afan Gaffar, 1999. Politik Indonesia: Transisi Menuju Demokrasi. (Pustaka Pelajar, Yogyakarta). Bandingkan dengan Saiful Muzani dkk, 2011. Kuasa Rakyat: Analisis tentang Perilaku Memilih dalam Pemilihan Legislatif dan Presiden Indonesia Pasca-Orde Baru. (Mizan Publika, Jakarta). 10 Pada awal “reformasi politik” tahun 1999, lahir paket undang-undang tentang kepolitikan yang antara lain menyangkut Undang-Undang tentang Pemerintah Daerah; UU tentang Partai Politik; dan UU tentang Pemilu. Semua UU itu praktis tidak pernah berstatus mapan untuk jangka panjang karena selalu mengalami revisi dan pergantian redaksional sesuai dengan tuntutan kelompok penekan dan kelompok kepentingan yang ada di lingkaran kekuasaan; sehingga dari titik itu ia menjustifikasi belum selesainya proses demokratisasi di Indonesia. 11 Dalam prosesnya, warna liberalisme itu menjadi sempurna dalam sistem kepolitikan di Indonesia ketika Mahkamah Konstitusi menetapkan bahwa syarat kemenangan seseorang kandidat dalam Pemilu [legislatif] tahun 2009 adalah “suara terbanyak”, dan bukan didasarkan pada pilihan konstituen atas partai politik dari para kandidat, sebagaimana yang berlaku sebelumnya. Dengan sistem “suara terbanyak” itu hak individu dimuliakan, dan itulah pencirian sejati dari demokrasi liberal sebagaimana yang berlaku dalam kultur Barat seperti di Amerika Serikat. 12 Pilkada adalah singkatan dari ‘pemilihan kepala daerah’. Ada proses transformasi akronim ‘pemilihan kepala daerah’ itu di ranah publik, mulai dari Pilkada, Pemilukada dan kemudian Pilkada Langsung; dan semua akronim itu sebenarnya tidak ada dalam teks Undang-Undang. Saya lebih memilih akronim Pilkada Langsung. Istilah Pilkada Langsung merujuk pada praktik pemilihan kepala daerah di Indonesia yang melibatkan rakyat di suatu daerah secara langsung dalam proses pemungutan suara, sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah pasal 56 ayat (1).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 4
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
masing-masing. Dalam kaitan itu setiap aktor yang menjadi kandidat dalam kontestasi politik lalu dituntut membuat komitmen politik, sebagai tafsir lain dari pentingnya ‘kontrak sosial’, untuk memperjuangkan aspirasi rakyat ⎯ yang isu pokoknya biasanya tidak jauh dari persoalan kesejahteraan rakyat dan rasa keadilan sosial. Komitmen politik itu dibuat dan disampaikan di masa kampanye oleh kandidat dalam bentuk visi dan misi program kebijakan, yang biasanya berorientasi pada janji-janji perbaikan kesejahteraan rakyat, dan komitmen politik itu [dibayangkan] dapat ditagih di kemudian hari ketika sang kandidat sudah terpilih sebagai penguasa.13 Pembayangan yang mengandaikan dapat dijalankannya skenario semacam itu kiranya dapat diidentifikasi sebagai pengharapan (intended) demokratisasi ⎯ sebuah istilah yang merujuk pada teori Merton tentang setiap perubahan yang direkayasa selalu berpotensi untuk mengalami disfungsi, karena adanya hal-hal yang nyata (manifest) dan ada pula hal-hal yang tersembunyi (latent) dalam setiap fungsi perubahan sosial. 14 Ketika dalam realitasnya kemudian perubahan tersebut mengalami disfungsi, sebagai akibat dari konsekuensi yang tidak terantisipasi, maka hal itu boleh jadi menjadi sesuatu yang tidak diharapkan (unintended).15 Sejak diberlakukannya skema Pilkada Langsung tahun 2005, penelitian tentang penyelenggaraannya telah banyak dilakukan.16 Ada kubu optimistik, 13
Secara konseptual, sebenarnya tidak ada hubungan antara prosedur Pemilu (dan Pilkada) sebagai ajang kontestasi politik demokratis dengan upaya memberikan kesejahteraan bagi rakyat; karena prinsip pemilu adalah [sekadar] bagaimana rakyat pemilik suara dapat terlibat sebagai pemilih dan yang bersangkutan dapat memberikan dukungan suaranya secara bebas dengan tujuan, antara lain, dapat diupayakannya pergantian rezim (lihat misalnya Charles Derber, 2004. Regime Change Begins at Home. [Berrett-Koehler Publishers, Inc. San Fransisco, California], halaman 59). Bahwasanya perbaikan kesejahteraan rakyat bisa tercapai pasca pelaksanaan Pemilu atau Pilkada Langsung sebenarnya adalah hal lain. Tetapi dalam tafsir politik di Indonesia, diam-diam ada tuntutan bahwa produk sebuah Pemilu (dan terutama Pilkada Langsung) seharusnya dikaitkan dengan persoalan perbaikan kesejahteraan rakyat (lihat UU Nomor 32/2004 pasal 27); dan saya ingin berpendapat, hal itu merupakan pencirian unik yang tidak boleh diabaikan untuk memahami demokratisasi di Indonesia. 14 Lihat Robert K. Merton, 1996. On Social Structure and Science. (The University of Chicago Press, Chicago). Lihat juga R.K. Merton,1968. Social Theory and Social Structure. (Free Press, New York); dan R.K. Merton, 1967. On Theoretical Sociology. (The Free Press, New York). 15 Lihat Merton, 1996, halaman 11-21; dan Merton, 1968, halaman 126. 16 Salah satu sumber yang sangat bagus sebagai rujukan awal untuk penelitian tentang Pilkada Langsung di Indonesia adalah kumpulan analisis yang dirangkum oleh Erb dan Sulistiyanto, meliputi 15 buah hasil penelitian tentang berbagai hal yang relevan dengan isu aktual Pilkada Langsung (Lihat Maribeth Erb and Priyambudi Sulistiyanto (eds), 2009. Deepening Democracy in Indonesia?: Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). ISEAS Publishing, Singapore).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 5
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
yang bersikeras bahwa Pilkada Langsung adalah solusi politik yang demokratis. Lebih dari itu, kubu ini juga sangat yakin bahwa penyelenggaraan Pilkada Langsung selama ini dinilai sebagai cerita sukses.17 Namun ada juga kubu pesimistik, yang menilai bahwa Pilkada Langsung yang berlangsung selama ini justru menandai rendahnya kualitas demokrasi di negeri ini. Kubu pesimistik melihat gejala yang bersifat laten, berupa kerumpangan politik yang menyertai penyelenggaraan Pilkada Langsung, seakan-akan menegasikan maksud ingin diaktualisasikannya ajaran demokrasi dalam kontestasi politik di ranah lokal. Bagi kalangan yang skeptis, adanya praktik politik yang seolaholah ‘mengingkari’ ide demokrasi dan proses demokratisasi tersebut adalah indikasi bahwa Pilkada Langsung bukanlah model yang tepat untuk mengejawantahkan ide demokrasi untuk Indonesia. Kerumpangan dalam pelembagaan kontestasi ini merupakan pertanda bahwa rakyat Indonesia tidak bisa, atau tidak siap, atau tidak mau berdemokrasi, sebagaimana dituntut oleh para penganjur sistem demokrasi liberal. Oleh karena itu, bagi kalangan ini, yang menjadi pokok persoalan sebetulnya bukanlah watak dasar rakyat Indonesia,
melainkan
kompatibilitas
model
demokrasi
yang
hendak
diwujudkan.18 Sistem Pilkada Langsung dianggap gagal dalam mewujudkan praktik politik demokratis di Indonesia. Argumentasi kubu pesimistik ini dapat diidentifikasi sebagai hal yang tidak diharapkan (unintended) dalam proses demokratisasi. Penelitian disertasi ini tidak bermaksud untuk ikut memperuncing kontroversi yang terjadi. Masing-masing kubu punya pijakan dan titik kebutaan dalam menjelaskan demokratisasi di negeri ini. Sebaliknya, penelitian ini bermaksud mencermati sumber-sumber kejanggalan di balik kelangsungan proses demokratisasi itu sendiri. Kepentingan penelitian ini bukanlah mencari 17
Di antara yang masuk dalam kubu ini antara lain adalah Liddle, yang berargumen bahwa demokrasi akan semakin terbangun dari pemenuhan aspirasi umum masyarakat seperti layanan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan. Dalam menganalisis kontestasi politik di Indonesia dia mengedepankan perspektif mengenai pentingnya peran pemimpin dalam transisi demokrasi Indonesia (Lihat William Liddle, 2012. Memperbaiki Mutu Demokrasi di Indonesia: Sebuah Perdebatan. [Yayasan Paramadina, Jakarta]). 18 Lihat misalnya Hadiz, yang cenderung pesimistis dengan praktik demokrasi politik di Indonesia pasca Orde Baru (Vedi R. Hadiz, 2010. Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia. [Standford University Press, Standford, California]).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 6
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
siapa yang keliru, melainkan mendudukkan permasalahan pada proporsinya.19 Hanya saja, titik masuk dalam perdebatan ini adalah seperti kubu skeptis, yang menganggap hal-hal yang mengganggu atau menghambat proses demokratisasi ⎯ yakni adanya fenomena kerumpangan politik dalam praksis demokrasi ⎯ adalah sesuatu hal sebenarnya tidak diharapkan (unintended). Selama ini menggejalanya fenomena kerumpangan politik telah banyak ditunjukkan. Caranya khas, yakni menganalisis perilaku kelompok elit yang ambil bagian dalam proses Pilkada. Salah satu gejala kerumpangan yang dimaksud dikenal publik sebagai adanya politics),
yang
makna
esensialnya
praktik ‘politik uang’ (money
adalah
suatu
perbuatan
yang
menggambarkan ‘kecurangan politik’. Perbincangan tentang gejala ini biasanya bersifat stigmatis. Pengamat atau komentator berpegang pada seperangkat norma tertentu, lalu mengkontraskan norma tersebut dengan praktik yang berlangsung; dan atas dasar ditemukannya kesenjangan yang mencolok lalu mereka menghakimi para elit dan aktor politik politik sebagai orang yang banal (berpikir dangkal), dan dituduh mengakibatkan kerumpangan politik. Titik berangkat penelitian ini bukanlah untuk membela atau melindungi aktor-aktor yang mempraktikkan perilaku banal, melainkan untuk mencari jalan keluar dari situasi yang tidak kondusif bagi proses demokratisasi yang diusung di negeri ini. Di balik gejala kerumpangan, ada indikasi telah terjadi salah kaprah dalam menafsirkan substansi politik demokratis dan kompleksitas proses demokratisasi. Kalaulah kandidat Kepala Daerah melakukan tindakan politik yang menyalahi aturan main, pastilah ada rasionalitas tersendiri: mengapa tindakan itu dilakukannya. Pada saat yang sama, para pemilih dinilai tidak memahami makna demokrasi. Kalaulah benar mereka memang tidak paham soal demokrasi, pertanyaannya: siapa yang (mestinya) bertanggung jawab 19
Kontroversi itu apabila ditelusuri pada latar belakangnya, lebih pada perbedaan sudut pandang dalam menilai efektivitas model politik representatif. Merujuk pada konseptualisasi klasik Pitkin, ada yang hanya terbatas pemahamannya pada pengertian formal yang mencakup dimensi otorisasi dan akuntabilitas; dan ada pula yang ingin memaknainya dari konseptualisasi alternatif yang antara lain melihat pentingnya menilai outcomes dari sistem representatif tersebut bagi kelompok yang direpresentasikan (Lihat Hanna F. Pitkin, (1967), 1972. The Concept of Representation. [University of California Press, Berkeley]).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 7
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
untuk memberikan pemahaman tentang demokratisasi kepada kelompok pemilih itu? Dalam konteks ini, ada kecenderungan simplifikasi yang berlebihan terhadap demokrasi dan demokratisasi. Simplifikasi itu muncul karena agaknya Pilkada Langsung hanya dipahami sebagai proses pengisian jabatan publik. Padahal, pada sisi lain, (mestinya) ia merupakan bagian dari proses panjang dalam membiasakan berpikir dan bertindak (bagi setiap warganegara)
secara
demokratis
⎯
sebagai
konsekuensi
dari
diimplementasikannya ajaran demokrasi. Terlepas dari cara pandang skeptis tersebut, dapat dicatat bahwa demokratisasi berlangsung di atas asumsi bahwa rakyat adalah pemegang hak kedaulatan atas negara ⎯ meskipun fondasi asumsi semacam itu boleh jadi sangat rapuh. Realitas politik yang ada cenderung memperagakan bahwa sebagian besar rakyat sebenarnya dibawah hegemoni (‘dikuasai’ barangkali istilah yang lebih tepat) oleh elit, justru karena sifat alamiah elit itu sendiri. Elit betul betul ‘berfungsi’ sebagai elit manakala menggunakan kekuasaannya untuk mendominasi mayoritas. Padahal, dalam ajaran demokrasi dituntut untuk bisa menjawab pertanyaan: bagaimana mewujudkan situasi dimana rakyat betul-betul berdaulat. Implikasi dari ajaran demokrasi itu adalah, rakyat tidak mungkin mau menggadaikan suaranya, ataupun menjualnya dengan harga murah, meskipun pada saat yang sama elit tetap menjalankan fungsi alamiahnya sebagai dominator tatanan setempat. Realitas aktual pada saat ini memang menunjukkan adanya kejanggalan, bahwa di satu sisi rakyat sebagai konstituen dibutuhkan kehadirannya untuk melegitimasi kontestasi politik, tetapi di sisi lain (nampaknya) ikut menurunkan kualitas demokrasi yang hendak ditawarkan untuk negeri ini. Sekali lagi, hal ini merupakan indikasi dari tidak berfungsinya skenario demokratisasi sebagaimana yang diharapkan. 2. Kerumpangan Politik: Potret Buram Demokratisasi Melalui Pilkada Langsung Istilah ‘rumpang’ sebenarnya tidak ada padanannya dalam leksikon politik. Tetapi kondisi ‘rumpang’ dalam konteks demokrasi dan politik demokratis dapat dirujuk pada gejala yang diidentifikasikan Huntington Praksis Demokrasi yang Rumpang 8
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
sebagai ‘pembusukan politik’ (political decay), yakni suatu kondisi yang menggambarkan melemahnya kemampuan institusi-institusi politik yang ada untuk mengelola aksi dari faksi-faksi politik yang bertarung berebut kekuasaan, sehingga yang terjadi kemudian adalah konflik-konflik anarkis dan kekacauan politik. 20 Saya mendefinisikan frasa ‘rumpang’ di sini dalam konteks fenomena politik tersebut. Karena arti kata ‘decay’ dalam bahasa Indonesia lebih dikenal sebagai ‘lesi’, yaitu istilah kedokteran untuk merujuk pada keadaan jaringan yang abnormal pada tubuh ⎯ yang disebabkan oleh proses beberapa penyakit seperti infeksi dan masalah metabolisme. Decay juga dikenal sebagai istilah lama untuk karies ⎯ seperti misalnya pembusukan gigi botol bayi (baby bottle tooth decay). Penelitian ini
tidak bermaksud menutupi kenyataan bahwa Pilkada
Langsung dalam praktiknya cenderung “rumpang” ⎯ yakni suatu kondisi yang diwarnai kasus-kasus konflik dan tindak kekerasan politik, sehingga menunjukkan gejala demokrasi yang sakit ⎯ dan oleh karenanya tidak bisa serta merta dapat diharapkan sebagai instrumen dalam mendemokratisasikan Indonesia. Pilkada Langsung yang rumpang menampilkan kontestasi politik yang tidak sehat, jika ditinjau dari perspektif standar demokrasi liberal. Pemberlakuan standar inilah yang menjadikan praksis politik yang berlangsung dapat dikategorikan 'berkualitas rendah'. Maraknya kasus praktik politik uang adalah mengisyaratkan kerumpangan bersifat sistemik, dan menghasilkan skeptisisme. Dalam liputan skeptisisme ini mencuat penilaian bahwa demokrasi di Indonesia dilanda defisit.21 Dari ungkapan ini terungkap pula bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam gagasan demokrasi bukan hanya teraktualisasikan secara tak sempurna, melainkan cenderung ditanggalkan oleh para-pihak yang mestinya mengamalkan ajaran politik demokratis. 20 Lihat Samuel Huntington, 1965. “Political Development and Political Decay.” World Politics,
17, pp.386-430. Istilah “defisit demokrasi” ini merujuk pada konsep yang dimaksudkan Luckman et.al., untuk menyebutkan adanya “krisis legitimasi” karena persoalan kehampaan peran warga negara dan kurangnya akuntabilitas vertikal yang diperankan oleh pemerintah dalam dinamika politik demokratis (Lihat R. Luckman, et.al., 2000. ‘Democratic Institutions and Politics in Contexts of Inequality, Poverty, and Conflict: A Conceptual Framework’, IDS Working Paper 104, Institute of Development Penelitianes, Brighton). Karena itu saya cenderung menggunakan istilah ini untuk menunjukkan sisi lain dari akibat Pilkada Langsung yang secara substansial tidak demokratis.
21
Praksis Demokrasi yang Rumpang 9
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Sebagai ilustrasi, pada tahun 2010 dari 244 Pilkada Langsung yang diselenggarakan di 33 Provinsi di Indonesia, 230 di antaranya (94,26%) diketahui publik berujung pada sengketa. 22 Sengketa politik itu diketahui melibatkan praktik saling-mencurangi di antara kandidat Kepala Daerah yang bertarung, dan kadangkala bahkan berujung pada insiden kekerasan.23 Untuk menyelesaikan sengketa yang menyangkut ihwal kontestasi Pilkada Langsung itu para-pihak biasanya menempuh jalur hukum melalui Mahkamah Konstitusi.24 Pihak-pihak yang bersengketa di Mahkamah Konstitusi itu tidak selalu puas dengan putusan lembaga tersebut; dan tidak jarang berusaha menempuh jalur lain yang dianggap mungkin dan dapat memuaskan hatinya ⎯ meskipun menurut aturan perundangan, keputusan Mahkamah Konstitusi itu final dan mengikat.25 Artinya, penyelenggaraan Pilkada Langsung terbebani 22
Sebanyak 244 daerah yang menyelenggarakan Pilkada Langsung tahun 2010 itu sama dengan 38% jumlah kabupaten/kota/provinsi di seluruh Indonesia. Padahal pada tahun 2005 sampai tahun 2008, sengketa yang masuk ke pengadilan hanya berjumlah 169 kasus (74,78%) dari 226 daerah yang menyelenggarakan Pilkada Langsung. Tren angka prosentase sengketa Pilkada Langsung yang masuk ke Mahkamah Konstitusi pada tahun 2011, 2012 dan 2013 cenderung tidak menurun secara signifikan dibandingkan tahun 2010. Tahun 2011 sebanyak 67 daerah melaksanakan Pilkada Langsung, dan sebanyak 54 daerah (80,59%) di antaranya dipersengketakan ke MK. Tahun 2012 sebanyak 77 daerah melaksanakan Pilkada Langsung, dan sebanyak 59 daerah (76,62%) di antaranya dipersengketakan ke MK. Tahun 2013 sebanyak 152 daerah melaksanakan Pilkada Langsung, dan sebanyak 113 daerah (74,34%) di antaranya dipersengketakan ke MK (Sumber: Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia). 23 Meskipun kejadian kekerasan dalam Pilkada Langsung itu sifatnya sporadis, tetapi kasusnya cenderung meningkat tahun 2010 dibanding tahun 2005-2008. Pada tahun 2010 tercatat 20 kasus kekerasan Pilkada Langsung di Indonesia. Padahal fenomena ini pada dasarnya bisa dicegah dengan tata kelola pemilu yang baik (Lihat Laporan International Crisis Group, 2010. Indonesia: Mencegah Kekerasan dalam Pemilu Kepala Daerah. Asia Report no.197. 8 Desember 2010). 24 Kecurangan politik itu dalam istilah hukum dikategorikan sebagai tindakan “pelanggaran” atas aturan perundang-undangan. Dalam konteks Pilkada Langsung, pelanggaran dimaksud dikelompokkan dalam 3 jenis pelanggaran, yakni: (1) pelanggaran dalam proses yang tidak berpengaruh terhadap hasil suara Pilkada Langsung, (2) pelanggaran dalam proses Pilkada Langsung yang berpengaruh terhadap hasil Pilkada Langsung, dan (3) pelanggaran terkait persyaratan menjadi calon yang bersifat prinsip dan dapat diukur. Menurut Widjojanto, sejak tahun 2009, putusan MK (Mahkamah Konstitusi) atas “pelanggaran” Pilkada Langsung lebih mendasarkan dan menggunakan pendekatan substantial justice yang mempersoalkan electoral process. Mahkamah Konstitusi secara tegas menjustifikasi bahwa dirinya mempunyai kewenangan untuk mempersoalkan judicial process untuk memastikan kualitas, bukan sekadar kuantitas pemilu, dengan menyatakan secara materiil telah terjadi pelanggaran ketentuan Pilkada Langsung yang berpengaruh pada perolehan suara. (Lihat Bambang Widjojanto, 2009. Penelitian Putusan MK tentang Pemilu dan Pilkada Langsung. (Kemitraan, Jakarta), halaman 6-7). 25 Beberapa kontenstan yang tidak puas terbukti masih berusaha untuk menempuh jalur lain, untuk mencari keadilan, misalnya melalui lembaga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 10
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
masalah integritas. Integritas, dalam kasus adanya sengketa-sengketa politik tersebut, selain menyangkut moral personal, juga terkait dengan kemampuan menerapkan kaidah demokrasi secara kelembagaan. Hal ini menunjukkan adanya gejala
defisit demokrasi; yang dalam perspektif tertentu bisa
dikategorikan sebagai adanya gejala “banalitas politik”.26 Sejatinya, istilah ‘banalitas’ memang biasanya digunakan dalam filsafat sosial
untuk
menjelaskan
kedangkalan
pemahaman
seseorang
dalam
mencermati atau menilai sesuatu entitas. Sebagai akibatnya ia dapat mengubah persepsi seseorang tentang entitas tersebut. Atau bahkan memicu tindakan seseorang sesuai dengan persepsi yang dibangun dari hasil pemahamannya tersebut. Dengan demikian, ‘banalitas’ itu sebenarnya hanya istilah, dan untuk maksud yang sama bisa saja digunakan sebutan lain.27 Oleh karena itu istilah ini akan lebih bermakna apabila dilihat konteksnya. Sejak digunakan oleh Hannah Arendt dalam “Eichmann in Jerusalem: a Report on the Banality of Evil” (1963), istilah banalitas mulai sering digunakan dalam analisis politik ⎯ meskipun dengan sebutan lain.28 Dalam 26
Saya menggunakan istilah “banalitas” karena terinspirasi oleh tulisan Arendt yang menilai perilaku Eichmann, seorang penjahat perang yang dihukum gantung oleh pengadilan di Yerusalem dengan tuduhan sebagai pelaku genosida, adalah refleksi dari banalitas. Dalam laporan Arendt tersebut, Eichmann digambarkan tidak menunjukkan rasa bersalah atas tindakannya yang dianggap orang-orang sebagai kejahatan. Dia seolah-olah pergi ke tiang gantungan dengan penuh kehormatan dan kebanggaan. Bahkan dengan konyol menolak kap hitam untuk menutup kepalanya. Semua tindakan itu, menurut Arendt, adalah suatu refleksi berpikir yang sembrono dan menggelikan, walau tidak identik dengan kebodohan (lihat Hannah Arendt, (1963), 2006. Eichmann in Jerusalem: a Report on the Banality of Evil. [Penguin Group, Inc. New York], halaman 118-9 dan 134-5). Namun perlu dicatat, meskipun diketahui sebagai orang yang pertama kali menggunakan istilah banalitas dalam konteks politik, Arendt tidak pernah menyebut dan mendefinisikan “banalitas politik” dalam pengertian kedangkalan berperilaku karena subyek salah kaprah dalam memaknai hakikat politik sebagai relasi kekuasaan. Hal itu perlu digarisbawahi, karena saya hanya sebatas menggunakan istilah banalitas dalam arti “kedangkalan subyek memaknai suatu substansi” ⎯ dalam hal ini demokrasi ⎯ dan tentu saja berbeda konteksnya dengan apa yang dimaksud Arendt dalam Eichmann in Jerusalem tersebut. 27 Walter Benjamin misalnya, menggunakan istilah “reification” untuk menggambarkan gejala banalitas dalam dunia fashion, karena sifat perubahan yang terjadi hanya sekadar pengulangan pola, dan sifatnya klise, atau boleh jadi bahkan ‘hampa makna’ (Walter Benjamin, 1999. The Arcades Projects. [Bellknap Press, Cambridge], halaman 71). 28 Lihat misalnya Rosemary O’Kane, 2004. Paths to Democracy: Revolution and Totalitarianism. (Routledge, London); dan Sheldon S. Wolin, 2010. Democracy Incorporated: Managed Democracy and the Specter of Inverted Totalitarianism (Princeton University Press, Princeton). Lihat juga Bridget Anderson et.al. (eds), 2013. The Social, Political and Historical Contours of Deportation. (Springer, New York).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 11
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
perkembangan kemudian, istilah tersebut juga digunakan untuk menjelaskan praksis demokrasi yang tidak sejalan dengan gagasan besar demokratisasi. Hal itu misalnya dilakukan oleh Spencer ketika mencoba mendeskripsikan dalam perspektif antropologi politik bagaimana hubungan demokrasi dengan munculnya konflik identitas yang terjadi dalam kampanye pemilihan umum di Sri Langka tahun 1980-an.29 Atau kritik Boggs tentang kecenderungan gejala politik luar negeri Amerika Serikat yang terjebak ilusi perang melawan kediktatoran dan politik kekerasan; yang pada sisi lain justru menggambarkan Amerika Serikat bagai negara fasis itu sendiri.30 Atau gejala banalitas dalam konteks pemaknaan nilai-nilai religiusitas dan tema-tema konsumerisme, karena faktanya, agama seringkali menjadi tempat untuk melarikan diri dari kehidupan yang terikat dengan aspek material.31 Banalitas, ketika diwujudkan dalam suatu tindakan politik, boleh jadi menggambarkan tindakan-tindakan yang tercela dan busuk. Oleh karena itu kejahatan politik bisa dijustifikasi oleh kehadiran banalitas politik, namun demikian, banalitas politik bukanlah kejahatan politik itu sendiri. Banalitas politik itu barangkali lebih tepat apabila diposisikan sebagai faktor pendukung kondisional, dan kejahatan politik adalah akibatnya. Karena itu banalitas politik sebenarnya bisa saja diposisikan sebagai variabel antara (intervening variable) dari sebuah tindakan politik busuk, kecurangan politik, atau faktor apa saja yang berpengaruh pada kualitas demokrasi politik. Sebagai suatu prakondisi kejadian, banalitas politik itu dapat mengerangkai suatu tindakan politik yang sebenarnya jahat atau busuk menjadi seolah-olah ada pembenarnya sehingga menjadi masuk akal untuk dilakukan. Dengan kata lain, masalah etika, atau lebih tepatnya masalah moral, adalah isu utama dalam banalitas politik. Masalahnya, moral politik acapkali 29
Lihat Jonathan Spencer, 2007. Anthropology, Politics, and the State: Democracy and Violence in South Asia. (Cambridge Unversity Press). Bandingkan dengan kumpulan tulisan yang disunting oleh Andoni Alonso dan Pedro J. Oiarzabal (eds), 2010. Diaspora in the New Media Age: Identity, Politics, and Community. (University of Nevada Press, Reno & Las Vegas), yang membahas kekuatan simbol untuk menunjukkan identitas suatu etnis tertentu, misalnya Basque, dalam memperjuangkan eksistensi mereka. 30 Lihat Carl E. Boggs, 2011. Phantom Democracy: Corporate Interests and Political Power in America. (Palgrave Macmillan, New York). 31 Lihat Sarah Banet-Weiser, 2012. The Politics of Ambivalence in Brand Culture. (New York University Press, New York).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 12
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
hanya dianggap sebagai persoalan filosofis, karena secara empirik sulit diukur indikator dan validitasnya. Faktanya, berbagai sistem moral mustahil dapat diperbandingkan dan dievaluasi secara diferensial. Meminjam refleksi Bauman,32 kebutuhan yang dilayani oleh masing-masing sistem lahir di dalam masyarakat tempat sistem bersarang; dan yang penting, pada setiap masyarakat harus ada satu sistem moral, bukan substansi norma-norma moral masyarakat tertentu yang kebetulan diberlakukan untuk mempertahankan kesatuannya. Bila moralitas dianggap sebagai konsekuensi bermasyarakat, atau produk masyarakat, maka perilaku moral menjadi sinonim dari penyesuaian sosial (social conformity) dan ketaatan pada norma-norma yang dijalankan oleh mayoritas.
33
Karena kesadaran demikian mendorong Bauman untuk
berargumen bahwa “faktor-faktor yang bertanggung
jawab atas kehadiran
kapasitas moral harus dicari di dalam yang sosial, atau dalam konteks sosial, tetapi pemunculan perilaku bermoral bukanlah akibat dari kehadiran agensi yang merupakan konteks kemasyarakatan.”34 Banalitas
politik
yang
menyangkut
implementasi
gagasan
demokratisasi politik, dalam berbagai levelnya, sebenarnya merupakan sebuah pertunjukan para aktor yang tak mudah diverifikasi, divalidasi dan dikonfirmasikan apa dan mengapa mereka sampai melakukan tindakannya yang bersifat banal. Meminjam istilah Jean-Luc Marion, ia berkaitan dengan intuisi yang ada di benak para pelaku, dan ekses dari fenomena itu baru bisa ditangkap ketika sudah sampai ke taraf jenuh.35 Namun demikian, banalitas politik bukan tidak mungkin untuk ditengarai sejak masih berupa gejala (symptom); ibarat menengarai pengaruh mariyuana terhadap perilaku para penggunanya. 36 Paling tidak, indikasi dari banalitas politik itu bisa dilihat dalam perspektif apakah prinsip-prinsip dasar dari demokrasi (seperti
32
Lihat Zigmunt Bauman, 1989. Modernity and the Holocaust. (Polity Press, Cambridge), halaman 172. 33 Bauman, 1989, halaman 175. 34 Bauman, 1989, halaman 178-9. 35 Jean-Luc Marion, 2008. The Visible and the Revealed. (Terjemahan Christina M. Gschwandtner. Fordham University Press), halaman 29. 36 Lihat David Matza, 2010. Becoming Deviant. (Transaction Publishers, New Brunswick, New Jersey), halaman 64.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 13
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
keterbukaan dan perlakuan yang sama di mata hukum) telah dilanggar secara sistematis (atau tidak) dalam kontestasi politik.37 Dengan asumsi bahwa setiap aktor selalu terikat dengan strukturnya, maka tindakan sosial seseorang (aktor) di ranah publik seharusnya selalu disesuaikan dengan kondisi aktual yang memungkinkan tindakan tersebut berada dalam posisi aman secara ontologis. Hal itu berlaku juga pada tindakan politik. Namun, karena sesuatu hal, kadangkala tindakan politik bisa saja menyimpang alias tidak sesuai dengan norma atau etika politik yang ada. Penyimpangan perilaku itu boleh jadi tidak dikehendaki, bahkan oleh pelakunya sendiri, namun ia menjadi pilihan rasional untuk mengamankan sebuah peluang politik. Ada persoalan moral politik di sini,38 karena meskipun yang bersangkutan mengetahui kaidah-kaidah sosial namun dia belum tentu selalu mampu mengaplikasikannya sebagai modal moral politik. Hadirnya dilema antara pilihan rasional untuk mengabaikan kaidah-kaidah sosial dan adanya beban moral untuk berperilaku sesuai norma sosial itulah ciri banalitas suatu tindakan sosial. Pada dasarnya perilaku politik adalah tindakan sosial seseorang (aktor) di ranah politik. Karena sesuatu hal, kadangkala perilaku tersebut cenderung menyimpang alias tidak sesuai dengan norma atau etika politik yang ada. Moral politik yang berkaitan dengan kebaikan-kebaikan kontestasi, seperti kejujuran, keterbukaan, dan keadilan ⎯ betapapun sulit mengukurnya ⎯ adalah idealisasi yang bisa dipahami oleh setiap orang warga masyarakat, tetapi boleh jadi tidak bisa dilaksanakan oleh setiap individu. Mengapa 37
Saya melihat relevansi hal itu dengan analisis Keenan, tentang betapa pentingnya prinsipprinsip demokrasi itu ditegakkan dalam sebuah pergantian rezim dan dinamika kekuasaan politik yang menghajatkan keterbukaan, keadilan dan ketertiban sosial (Lihat Alan Keenan, 2003. Democracy in Question: Democratic Openness in a Time of Political Closure. (Standford University Press, California), halaman 76). Lihat juga Seyla Benhabib, 2010. Politics in Dark Times. (Cambridge Univesity Press, Cambridge), halaman 61. 38 Deskripsi tentang moral politik itu saya merujuk pada Kane, bahwa kriterianya memang tidak jelas. Dalam tulisan Kane, “…. Moral capital is less concerned with the ethical dimensions of decision-making than (to repeat) with the part played in political contest by people’s moral perceptions of political actors, causes, institutions and organizations.” (John Kane, 2003. The Politics of Moral Capital. [Cambridge University Press, Cambridge], halaman 4). Tetapi, bahwasanya moral politik itu penting dimiliki oleh politisi atau pemimpin publik, tidak bisa dibantah, karena ketika politik dipahami sebagai kekuasaan, maka tanpa moral menyebabkan kekuasaan pada pemimpin itu dapat menjadi sumber masalah bagi publik (Kane, 2003, halaman 8-10 dan 22-25).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 14
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
idealisasi tersebut tidak bisa dilaksanakan, hal itu patut dicurigai karena individu yang bersangkutan telah terperangkap banalitas politik. Oleh karena itu konsep banal dan definisi banalitas politik sebaiknya dipahami dalam konteks bagaimana tindakan politik yang diperagakan oleh para pelaku yang bermain di panggung politik. Pendekatan kontekstual semacam itulah yang dilakukan Billig ketika mencoba memaknai banalitas yang berkaitan dengan identitas kebangsaan.39 Dalam pandangan Billig, sebuah rezim sangat mungkin mengalami waham dalam memahami kekuasaan politik yang dimilikinya. Penguasa rezim itu dengan sekehendak hati menafsirkan ‘kebenaran’
dari
hegemoni
politik
yang
dibangunnya,
dan
bahkan
‘menyalahgunakan’ tafsir atas identitas kebangsaan, untuk kepentingan politiknya. Hal itu misalnya dilakukan oleh Margareth Thatcher (Perdana Menteri Inggeris) kala konflik Malvinas. Dengan cara serupa juga dilakukan oleh Presiden Bush ketika melibatkan Amerika Serikat dalam Perang Teluk.40 Karena itu Billig cenderung sepakat dengan Arendt, dan mendeskripsikan banalitas (dalam konteks politik) sebagai suatu kesalahkaprahan (dalam memaknai kekuasaan) yang telah “merasuk” dalam memori kehidupan seharihari masyarakat, dan karena itu kehadirannya kemudian seolah-olah tidak membahayakan.41 Dengan demikian, definisi banalitas dalam konteks penelitian ini adalah “salah kaprah” yang dilakukan oleh subyek dalam memahami arti kekuasaan (power), baik menyangkut cara memperolehnya maupun dalam hal cara memanfaatkannya.42 Salah kaprah adalah istilah yang biasa digunakan untuk menunjukkan suatu penilaian yang dianggap benar, tapi sesungguhnya keliru; dan tindakan yang dilakukan berdasarkan penilaian tersebut oleh pelakunya 39
Michael Billig, 2005. Banal Nationalism. (SAGE Publications Ltd. London and New Delhi). Lihat Billig, 2005, halaman 89-91. 41 Lihat Billig, 2005, halaman 7. 42 Konsepsi “power” (kekuasaan politik) di sini merujuk pada pandangan struktural dalam deskripsi Isaac (lihat Jeffrey Isaac, “Conceptions of Power”, dalam Mary Hawkesworth and Maurice Kogan (eds), 1992. Encyclopedia of Government and Politics. [Routledge, London and New York], halaman 56). Kendati demikian, pemahaman saya tentang “power” ini juga dipengaruhi oleh Lukes, yang menjelaskan “power” dalam tiga dimensi, dan definisinya bisa beragam tergantung konteksnya (lihat Steven Lukes, (1974) 2005. Power: A Radical View. (Palgrave, Macmillan, New York). Dalam konteks politik Pilkada Langsung, menurut saya pola kekuasaan yang tergambar lebih mencirikan adanya dimensi skenario besar berdasarkan agenda setting tertentu untuk mewujudkan konstruksi ide besar tentang demokrasi. 40
Praksis Demokrasi yang Rumpang 15
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
diyakini sebagai tindakan yang tidak melanggar norma. Dibalik penggunaan istilah ini ada kesadaran akan kerancuan tentang bagaimana kekuasaan itu diperoleh atau dipergunakan. Gejala itu muncul boleh jadi juga karena rasionalisasi yang dipaksakan, atau sekadar karena kesembronoan belaka. Pilkada Langsung, sebagai kontestasi demokratis berciri lokal, sifat banalitasnya tentu saja lebih banyak dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang bersifat lokal pula. 3. Kerumpangan dan Banalitas Politik: Tawaran Penjelasan dari Kepustakaan Praktik-praktik kontestasi dalam Pilkada Langsung diasumsikan banyak dipengaruhi oleh tindakan banal dalam menafsirkan makna berkekuasaan. Banalitas dimaksud bukan hanya melibatkan para kandidat atau kontestan, tetapi juga elit partai politik pendukungnya, dan dalam kasus tertentu juga lembaga penyelenggara kontestasi politik tersebut. Sebagai imbasnya kemudian, kelompok pemilih pun boleh jadi ikut-ikutan menjadi salah kaprah dalam menilai Pilkada Langsung (hanya) sebagai sekadar sarana untuk menunjukkan adanya demokratisasi politik. Banalitas politik yang berorientasi pada kesalahkaprahan rupanya telah menjangkau keseluruhan proses Pilkada Langsung. Sarman,43 mengindikasikan sekurang-kurangnya ada tujuh momen terperagakannya banalitas politik dalam Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan. Pertama, saat pra-kualifikasi bakalkandidat. Kedua, ketika bakal-kandidat diproses menjadi kandidat di KPUD. Ketiga, pada masa kampanye politik antar kandidat. Keempat ketika menjelang hari pemungutan suara. Kelima, saat pemungutan suara. Keenam, ketika perhitungan suara dilakukan. Ketujuh, setelah perhitungan suara usai dan kandidat pemenang akan ditetapkan KPUD. Namun, jika difokuskan pada peran aktor yang bertarung dalam kontestasi, momen banalitas politik itu terutama terjadi dan diperagakan secara kasat mata pada tahapan prakualifikasi, tahapan penetapan kandidat, dan tahapan pelaksanaan Pilkada. 43
Mukhtar Sarman, 2010. Pemilukada-Kada: Waham Seputar Pilkada Kalsel 2010. (Pusat Penelitian Kebijakan dan Pembangunan Daerah Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 16
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Momen banalitas dalam Pilkada Langsung tersebut akan dielaborasi lebih lanjut nanti pada bab-bab selanjutnya. Dalam telaah-telaah populer, yang sering dipersalahkan sebagai pihak yang terperangkap kesalahkaprahan itu adalah kalangan elit. Per definisi, kelompok elit adalah mereka yang menempati posisi teratas masyarakat dalam struktur kekuasaan dan kekayaan. Mereka adalah orang-orang yang menjalankan kekuasaan, pengaruh, dan kontrol sumberdaya yang ada dalam organisasi pemerintahan dan masyarakat. Mereka mampu memaksakan pada masyarakat secara keseluruhan penjelasan dan pembenaran atas kekuasaan mereka terhadap sistem dominasi politik dan ekonomi. 44 Dalam penelitian Scott,45 elit digambarkan mampu mengembangkan hal itu melalui strukturasi kekuasaan untuk menjamin kelestarian hubungan dominasinya. Mereka biasanya menyatu menjadi unit kecil yang melakukan dominasi melalui perantaraan kekuasaan, dan membuat semua keputusan penting dalam mengalokasikan nilai-nilai tentang politik dalam arti kekuasaan. Oleh karena itu, dalam kepustakaan ilmu politik dikenal elit yang berasal dari kalangan politik, dan ada pula elit yang berasal dari kalangan ekonomi;46 tetapi keduaduanya sama memiliki akses kekuasaan istimewa yang kadangkala berimbas pada tindakan salah kaprah menggunakan posisinya itu untuk menjarah sumberdaya yang semula dirancang untuk kepentingan publik. Penyalahgunaan kekuasaan itu biasa diidenfikasi sebagai korupsi; sebab, korupsi cenderung muncul ketika sebuah organisasi atau pejabat publik memiliki kekuasaan monopoli atas barang dan jasa, dan memiliki kekuatan diskresi untuk memutuskan siapa yang menerimanya.47 Banalitas dalam konteks politik diyakini berwatak sistemik, ditandai oleh bekerjanya struktur kekuasaan yang monopolistik, serta perilaku yang 44
Lihat Martin Marger, 1987. Elites and Masses: An Introduction to Political Sociology. (Wadsworth Publishing Company, Belmonf, California), halaman 78. 45 James Scott, 2007. “Power, Domination and Stratification: Towards a Conceptual Synthesis”. Sociologia, 55:25-39. 46 Lihat Barbara Geddes, 2007. “What Causes Democratization?” dalam Charles Boix dan Susan C. Stokes (Eds), 2007. The Oxford Handbook of Comparative Politics. (Oxford University Press, Oxford), halaman 321. Lihat juga Charles Boix, 2003. Democracy and Redistribution. (Cambridge University Press, Cambridge). 47 Lihat Robert Klitgaard, 1991. Controlling Corruption. (University of California Press, Berkeley), halaman 75.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 17
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
koruptif, dan keterkaitan antara keduanya tidak dipedulikan. Hal ini dibahas secara mendalam oleh Scott.48 James Scott secara tegas menyatakan bahwa korupsi sering merupakan bagian integral dari sistem politik, namun cenderung kita abaikan. Kehadirannya tidak dipahami sebagai bahaya besar bagi pengelolaan nasib publik. Memang korupsi yang terjadi di lingkungan lembaga politik itu menjadi pelatuk yang memicu ketidakpercayaan publik atas kinerja lembaga. Korupsi kemudian dipandang sebagai penyakit dari tubuh politik, yang dalam ungkapan Friedrich dianggap sebagai “disintegrasi sistem kepercayaan yang di atasnya sistem politik tertentu bersandar.”49 Pandangan ini jauh lebih luas dari sekadar melihat korupsi sebagai isu ekonomi yang melibatkan ketidakpantasan individu. Friedrich mencatat bahwa gagasan ini lebih luas dari sejarah korupsi yang telah berkembang menjadi pengertian ‘korupsi modern’ ⎯ yang berarti penyalahgunaan kekuasaan publik untuk kepentingan pribadi. Tak kunjung teratasinya kejanggalan-kejanggalan seperti tersebut di atas menjadikan praksis politik Pilkada Langsung bermuara pada apa yang oleh Huntington disebut sebagai gejala “pembusukan politik” (political decay),50 dan pokok masalah itu menjadi penting untuk ditelaah dalam kaitan fenomena anomali demokrasi politik. Pembusukan politik ini ditandai oleh melemahnya kemampuan institusi-institusi politik yang ada untuk mengelola aksi dari faksifaksi yang bertarung berebut kekuasaan. Perkembangan politik memiliki logika sendiri, yang terkait dengan dimensi sosial ekonomi, tetapi berbeda dari logika ekonomi dan sosial. Pembusukan politik terjadi ketika dimensi sosial ekonomi tercampur ke dalam wilayah politik, dan mobilisasi kelompok-kelompok sosial baru ⎯ yang mendapatkan kekuasaan ⎯ tidak bisa diakomodasi dalam sistem politik yang ada. Tatanan politik muncul sebagai akibat dari pencapaian beberapa keseimbangan antara kekuatan-kekuatan yang bersaing dalam suatu 48
Lihat James Scott, “Handling Historical Comparasions Cross Nationality in Comparative Political Corruption,” dalam Arnold Heidenheimer, M. Johnston and V.T. LeVine (eds), 1989, Political Corruption: A Handbooks. (Transaction Publishers, New Brunswick), halaman 129. 49 Friedrich, 1989. '”Corruption concepts in historical perspective”, dalam A. Heidenheimer, M. Johnston and V.T. LeVine (eds), Political Corruption: A Handbook, (Transaction Publishers, New Brunswick), halaman 17-21. 50 Lihat Samuel Huntington, 1968. Political Order in Changing Societies. (Yale University Press).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 18
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
masyarakat. Tapi seiring waktu, perubahan terjadi secara internal dan eksternal dimana para aktor yang membentuk keseimbangan asli berkembang atau menghilang, dan lalu muncul aktor-aktor baru dengan perannya sendirisendiri. 51 Akibatnya, keseimbangan yang sebelumnya ada tidak memegang peran, dan hasil pembusukan politik mengundang aktor baru yang datang dengan seperangkat aturan baru dan institusi untuk memulihkan ketertiban. Hal ini dibuktikan dari fakta adanya ketidakstabilan negara-negara yang baru merdeka pada negara-negara berkembang selama tahun 1950-an dan 1960-an. Salah satu hal yang ditengarai Huntington sebagai faktor sebab munculnya gejala pembusukan politik itu adalah korupsi di lembaga-lembaga politik.52 Korupsi itu memang menyebabkan tidak cukup berfungsinya pranata kelembagaan politik untuk mengatur tertib sosial dalam relasi kekuasaan, namun korupsi tidak terisolasi dari disfungsi kelembagaan tersebut.53 Banalitas politik berlangsung ketika elit politik dan kontestan menyikapi kontestasi politik menurut versi dan kepentingan mereka sendiri. Mereka boleh jadi merasa tidak terbebani untuk menjaga standar perilaku dan tindakan agar sesuai norma yang mendukung mekanisme Pilkada Langsung yang sehat dan berintegritas.54 Hal itu sampai terjadi, barangkali, disebabkan 51
Dalam kasus Indonesia, hal itu sedikit banyak tergambar dari perubahan haluan dan ‘politik lama’ yang tersentralisasi dan terkontrol kepada ‘politik baru’ yang terdesentralisasi dan egaliter, setidaknya pada tahun-tahun pertama reformasi politik yang dimulai tahun 1998. Namun setelah ‘bulan madu’ reformasi yang sebentar, ditengarai kemudian muncul pertumbuhan pesat para broker politik dan local strongmen di level daerah (Sebagai perbandingan lihat Louren Stuart Ryter, 2004. Youth, gangs, and the state in Indonesia. UMI Microform ProQuest LLC, USA). Lihat juga Richard Robison, & Vedi R. Hadiz, 2004. Reorganizing Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. (RoutledgeCurzon, London and New York). 52 Huntington, 1968, halaman 4. Dalam kasus Indonesia, analisis yang dimuat dalam seri monografi yang disunting oleh Aspinall dan Fealy, nampaknya membenarkan asumsi tentang fenomena tersebut (lihat Edward Aspinall dan Greg Fealy (eds), 2010. Soeharto’s new order and its legacy: essays in honour of Harold Crouch. (ANU E Press, Canberra, Australia). 53 Hal serupa terjadi dalam kasus Bolivia, sebagaimana dilaporkan oleh Daniel W. Gingerich, 2007. “Corruption and Political Decay: A Causal Analysis based on the Bolivian Case.” (Postdoctoral Research Associate Center for the Study of Democratic Politics. Princeton University, April 30, 2007). 54 Tentang konsep Pilkada Langsung yang berintegritas, saya merujuk pada definisi yang dibuat oleh Global Commission on Elections, Democracy and Security. Bahwa pemilu yang berintegritas adalah pemilu yang didasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi universal yang menekankan kesetaraan hak pilih dan politik yang tercermin dalam standar dan perjanjian internasional, dan profesional, tidak memihak, dan transparan dalam persiapan dan administrasi seluruh siklus pemilu (Lihat Kofi Annan, 2012. Deepening Democracy: A Strategy
Praksis Demokrasi yang Rumpang 19
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
karena mereka menilai politik berintegritas ini tidak realistis untuk diwujudkan. Dalam konteks inilah politik uang menjadi keniscayaan. Gejala politik uang diakui telah menjadi elemen yang menentukan dalam praktik politik di Indonesia selama era transisi demokrasi.55 Praktik ini, sebagaimana disampaikan Aspinall, lazim digunakan di beberapa negara Asia Tenggara ⎯ terutama Indonesia, Malaysia dan Filipina. Namun menurut Aspinall istilah 'politik uang' itu tidak tepat, kecuali apabila ia dikaitkan dengan dua istilah penting ilmu politik, yakni patronase dan klintelisme.56 Terlepas dari persoalan akurasi peristilahan, pendapat Aspinall tersebut nampaknya setara dengan gejala yang dalam penelitian ini disebut kerumpangan dan banalitas politik yang diasumsikan memicu hal-hal yang tidak diharapkan dalam praksis demokrasi. Pokok masalah yang penting untuk digarisbawahi disini adalah bahwa banalitas menyangkut keterkaitan antar berbagai hal. Dalam telaah Kitschelt dan Wilkinson,57 patronase dan klientelisme dipakai dalam konteks pemberian barang atau bantuan lainnya yang dipertukarkan dalam hubungan politik. Merujuk pada penelitian di Afrika, India, Amerika Latin dan Jepang, lebih jauh Kitschelt dan Wilkinson memberikan gambaran tentang karakter patronase dalam hubungan partai dan pemilih. Dalam banyak sistem politik hubungan konstituen dan politisi banyak didasarkan pada bujukan materi yang langsung ditargetkan untuk kelompok kecil warga yang politisi tahu menjadi sangat responsif terhadap sisi pembayaran dan bersedia untuk menyerahkan suara for Improving the Integrity of Elections Worldwide. International Institute for Democracy and Electoral Assistance, Geneva). 55 Lihat Edward Aspinall, 2005. Opposing Suharto: Compromise, Resistance, and Regime Change in Indonesia. (Stanford University Press, California), halaman 270. 56 Edward Aspinall, 2013. “Money Politics: Patronase and Clientelisme in Southeast Asia,” dalam William Case (ed), Handbook of Democracy in Southeast Asia. (Routledge, London). Lihat juga Edward Aspinall, R. Jeffrey and A.J. Regan (eds), 2013. Diminishing Conflicts in Asia dan the Pasific. (Routlegde, London and New York). Aspinall sendiri mendefinisikan patronase sebagai “sumberdaya yang berasal dari sumber-sember publik dan disalurkan untuk kepentingan partikularistik”, dan klientelisme mengacu pada “hubungan personalistik kekuasaan”. Secara konseptual istilah patronase dan klientelisme itu adalah dua konsep yang berbeda, tetapi mereka sering erat terkait dalam praktiknya, dalam kasus bila suatu hari seseorang pemilih menerima pembayaran tunai dari para politisi (Aspinall, 2013). 57 Herbert Kitschelt and Steven Wilkinson, 2007. “Citizen-politician Lingkages: An Introduction”, dalam Herbert Kitschelt and Steven Wilkinson (eds), Patron, Client and Policies: Pattern of Democratic Accountability and Political Competition. (Cambridge University Press).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 20
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
mereka untuk harga yang tepat. Kenyataan di lapangan menunjukkan akuntabilitas klientelistik merupakan transaksi atau pertukaran langsung suara warga negara dengan imbalan pembayaran tunai, atau janji berupa akses terhadap pekerjaan, barang dan jasa.58 Kitschelt dan Wilkinson menunjukkan masalah utama yang cenderung dilematis dari klientelisme dan patronase berupa kompensasi yang dapat dinikmati kedua pihak ⎯ politisi mungkin tidak ingin menindaklanjuti janji-janji mereka untuk memberikan layanan publik setelah mereka terpilih, dan pemilih mungkin tidak ingin memilih politisi yang menjadi kandidat karena telah menerima layanan tersebut. Diduga karena dialektika politik seperti itu, klientelisme biasanya cenderung menurun seturut dengan berbagai alasan penurunan kemiskinan yang membuat orang (kontestan) lebih mahal untuk membeli dukungan publik (rakyat pemilih).59 Memang politik klientelistik di banyak tempat mampu meningkatkan dukungan suara pemilih. Hal itu dibuktikan juga oleh Wantchekon dalam penelitiannya di Benin, Afrika Barat, dan secara signifikan berkorelasi negatif dengan pendapatan, pendidikan dan kualitas perumahan serta ukuran populasi masyarakat.60 Dengan kata lain, teori klientelisme tidak lain adalah ‘politik pelindung’ yang diformulasikan dalam bentuk transfer pendapatan atau barang publik yang disalurkan oleh politisi untuk mengikat kelanjutan dukungan pemilih; dan hal itu dimaknai di Indonesia sebagai ‘politik uang’. Padahal politik uang secara formal biasa didefinisikan sebagai “pembelian suara” (vote buying).61 Banalitas politik terkait erat dengan konteks perpolitikan untuk mendapatkan dukungan politik. Para kontestan merespon konteks tertentu, dan ia tidak dengan serta merta dimengerti orang-orang yang tidak terlibat dalam transaksi. Sehubungan dengan maraknya praktik politik uang, hal yang lebih esensial sebetulnya bukan uangnya, melainkan ikatan transaksional yang
58
Lihat Herbert Kitschelt and Steven Wilkinson (eds), 2007, halaman 2. Lihat Herbert Kitschelt and Steven Wilkinson (eds), 2007, halaman 15-6. 60 Lihat Leonard Wantchekon, 2003. “Clientelism and Voting Behavior: Evidence from a Field Experiment in Benin,” World Politics, 55(3), 399-422. 61 John Girling, 1997. Corruption, Capitalism and Democracy. (Routledge, London), halaman 70 dan 72. 59
Praksis Demokrasi yang Rumpang 21
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
terjalin. Oleh karenanya, Aspinall dan Mietzner,62 menjelaskan bahwa istilah 'politik uang' di Indonesia sebetulnya tidak selalu relevan dengan definisi formal yang ada ⎯ apalagi dalam konteks istilah ‘pembelian suara’. Transaksi yang berlangsung bisa diungkapkan dalam bentuk pemberian sumbangan [uang] maupun bantuan [barang] kepada kelompok konstituen yang berada di kawasan miskin. Bagi kelompok pemilih, hal itu dianggap bukti bahwa partai politik atau kandidat yang melakukannya ada perhatian terhadap mereka dan [boleh jadi] karena itu jadi alasan layak dipilih dalam Pemilu. Karena pola semacam itu, dalam pandangan Palmer,63 politik uang di Indonesia adalah bagian yang sah (legitimate) dari kampanye politik; dan politik uang semacam itu juga tidak pernah menjadi sebab digagalkannya kemenangan partai politik atau seseorang kandidat dalam Pemilu [atau Pilkada Langsung]. Lekatnya praktik politik uang itu terkait dengan preferensi kultural masyarakat tentang “politik jasa baik”. Hal ini ditunjukkan dalam penelitian Braithwaite dan Dunn ketika mengamati konflik pemilihan gubernur Maluku dan Maluku Utara.64 Sebelumnya hal yang sama dilaporkan dalam penelitian yang dilakukan oleh Hadiz, dengan mengambil kasus pemilihan 22 bupati dan walikota di Sumatera Utara.65 Banalitas politik melibatkan pembagian peran dari berbagai pihak yang terkait dalam transaksi. Untuk kelangsungan politik uang, telah berkembang spesialisasi peran 'donatur'. Dengan memfokuskan pada pentingnya peran donatur dalam menghimpun “dana politik” yang dibutuhkan untuk memenangi kontestasi Pilkada, Mietzner menunjukkan bahwa dalam kasus pemilihan Gubernur di Sulawesi Selatan (2007) dan Jawa Barat (2008) melibatkan sejumlah donatur. Upaya menghimpun dana politik tak bisa dihindari karena fakta di lapangan menunjukkan betapa besar biaya yang dikeluarkan oleh para 62
Edward Aspinall & Marcus Mietzner (eds), 2010. Problem of Democratisation in Indonesia. (ISEAS Publishing, Singapore). 63 Blair Palmer, 2010. “Services Rendered: Peace, Patronage and Post-conflict Elections in Aceh”, dalam Aspinall & Mietzner, 2010, halaman 301-2. 64 John Braithwaite & Leah Dunn, 2010. “Maluku and North Maluku”, dalam John Braithwaite et.al., 2010. Anomie and Violence: Non-truth and Reconciliation in Indonesia Peacebuilding. (ANU E Press, Canberra, Australia). 65 Vedi Hadiz, 2005. “Reorganizing Political Power in Indonesia: A reconsideration of so-called democratic transitions”, dalam Mariberth Erb et.al. (eds), Regionalism in Post-Suharto Indonesia. (RoutledgeCurzon [Taylor & Francis Group], London and New York).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 22
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
kandidat untuk mendapatkan dukungan suara publik.66 Penelitian semacam itu dapat menunjukkan sebab musabab mengapa politik uang ⎯ dengan beragam jenis dan modusnya ⎯ bisa terjadi, dan hadir dalam dinamika politik di Indonesia. Tetapi, analisis semacam itu tidak menjelaskan struktur yang tersembunyi di balik praktik politik uang, dan bagaimana lintasan sejarah (trajectory) yang berkaitan dengan tradisi politik lokal. Misalnya, politik uang itu bisa saja berkaitan dengan pola patronase yang spesifik berlaku pada suatu komunitas dan sistem nilai tertentu ⎯ karena tidak semua orang bisa memanfaatkan secara maksimal nilai positif politik uang untuk memenangkan kontestasi politik. Atau, bisa saja praktik ‘politik uang’ itu tidak berlaku pada komunitas-komunitas tertentu, karena misalnya berkaitan dengan adanya adat istiadat yang bersifat lokal. Praktik politik uang dianggap sebagai bentuk penyimpangan dari norma politik demokratis, dan hal itu boleh jadi dilakukan oleh para elit dan aktor kandidat untuk memenangkan kontestasi politik yang melibatkan dirinya. Masalahnya, setiap penyimpangan dari norma politik itu apabila mereka lakukan secara sadar sebagai hal yang terhindarkan, sebenarnya merefleksikan bahwa mereka terjebak dalam banalitas politik. Artikulasi makna politik demokratis seolah-olah hilang ditengah-tengah rumitnya proses demokratisasi. Tentu saja ada rasionalisasi dan justifikasi yang membenarkan tindakan tersebut.
Dalam
konteks
ini,
persoalannya
bukanlah
bentuk-bentuk
penyimpangan norma apa saja yang terjadi dan dianggap tidak pantas untuk dilakukan, melainkan mengapa hal itu tidak terelakkan. Dalam praksisnya, banalitas ini seakan-akan menjadi bagian tak terpisahkan dari kontestasi politik yang dipersyaratkan dalam desain demokrasi liberal.
4. Permasalahan Dalam rangka merumuskan secara spesifik pertanyaan penelitian, ada beberapa catatan kritis yang menjadi dasar pijakan proposisi penelitian. 66
Lihat Marcus Mietzner, 2011. ”Funding pilkada: illegal campaign financing in Indonesia’s local elections”, dalam Edward Aspinall dan Gerry van Klinken (eds), The State and Illegality in Indonesia. (KITLV Press, Leiden, The Netherlands).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 23
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Pertama, dalam penyelenggaraan Pilkada Langsung, komitmen moral politik para kontestan sangatlah longgar. Bahkan, komitmen moral politik ini seolah-olah hanya urusan personal para elit dan aktor politik, dan tidak ada hubungannya dengan aspek sosial. Padahal, demokrasi dan demokratisasi adalah persoalan publik dan kepublikan. Gejala ini agaknya diterima sebagai bentuk
salah
kaprah,
dan
oleh
karenanya
tidak
banyak
yang
mempersoalkannya lebih lanjut. Kesalahkaprahan itu boleh jadi juga terdapat di kalangan para ilmuwan yang menekuni teori dan teorisasi demokrasi di Indonesia ⎯ ketika misalnya mereka ikut serta merumuskan aturan main berkontestasi politik secara demokratis dari perspektif serupa. Kedua, banalitas politik terutama menyangkut moralitas kolektif. Manakala hal itu diabaikan, maka kerusakan sistem politik menjadi hal yang sistemik dan bersifat laten. Kerusakan sistem itu biasa terefleksikan dalam citarasa ‘normalnya’ tindakan-tindakan yang menyimpang dari ajaran demokrasi. Tersebab karena itu, demokratisasi akhirnya tidaklah menjanjikan untuk terciptanya praksis politik demokratis. Ketiga, isu sentral dari persoalan banalitas di balik penyelenggaraan Pilkada Langsung adalah ketidaksiapan menjalankan kontestasi politik secara jujur dan akuntabel. Pada saat yang sama, kontestasi ini dipahami hanya sebagai urusan para elit. Kontestasi politik dibayangkan sebagai panggung kekuasaan yang mempergelarkan adu kuasa di antara para elit dalam rangka sirkulasi kekuasaan. Demokratisasi tidak diukur dari kedalaman dan kecanggihan sistem untuk mengekspresikan kedaulatan rakyat. Ide tentang 'rakyat'
sendiri
telah
tereduksi
menjadi
kelompok
pemilih.
Dibalik
menggejalanya hal tersebut, rakyat pemilih sebagai pemilik kedaulatan tidak pernah dianggap sebagai subyek yang punya akses kekuasaan terhadap proses demokratisasi. Oleh karena itu, telaah tentang demokrasi kiranya perlu dilakukan dengan menekuni bagaimana komitmen moral bisa dirajut, dan demokrasi diperlakukan sebagai ikhtiar untuk pelembagaan kontestasi. Jika gejala banalitas politik merupakan hal pokok yang mendasari terjadinya hal-hal yang tidak diharapkan (unintended) dalam praksis demokrasi politik, maka Praksis Demokrasi yang Rumpang 24
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
pertanyaannya kemudian adalah: mengapa gejala banalitas politik justru semakin marak terperagakan dalam kontestasi politik Pilkada Langsung yang diskenariokan sehat dan berintegritas? Dalam sistem Pilkada Langsung diasumsikan peran partisipasi politik rakyat amatlah penting dan menentukan nasib kontestan yang bertarung dalam Pilkada. Adalah sebuah kelaziman apabila para kontestan berdaya upaya meraih simpati masyarakat pemilih dengan berbagai cara, baik melalui cara yang dibolehkan oleh norma sosial dan aturan main kontestasi, ataupun caracara di luar itu. Cara-cara di luar norma sosial dan aturan main kontestasi misalnya adalah penggunaan uang untuk mendapatkan simpati publik, entah dalam rangka menyuap pemilih ataupun untuk membeli dukungan politik ⎯ yang biasa disebut sebagai praktik ‘politik uang’. Praktik politik uang itu dari sudut pandang norma sosial (dan agama) barangkali bukanlah perbuatan terpuji, untuk tidak mengatakannya sebagai perbuatan tercela. Oleh karena itu sesungguhnya ia merupakan sebuah anomali, apabila praktik politik uang tersebut terjadi pada lingkungan masyarakat yang agamis. Jika dalam masyarakat yang agamis praktik politik uang itu bisa terjadi, meskipun hanya dalam lingkungan komunitas tertentu, maka patut dipertanyakan: mengapa dalam masyarakat yang agamis praktik politik uang itu bisa diterima sebagai tindakan yang dianggap tidak menyalahi norma sosial? 5. Arti Penting Penelitian Penelitian disertasi ini memiliki arti penting untuk menunjukkan urgensi menteorisasikan kembali konsep demokrasi dengan mengungkap gejala ‘salah kaprah’ yang biasa terjadi. Pada saat yang sama, penelitian ini juga penting karena mencoba untuk sensitif dengan konteks lokal Indonesia. Kalaulah demokrasi dijabarkan secara prosedural sebagai kontestasi, maka para pelaku yang terlibat niscaya mengacu pada norma dan nilai lokal untuk bertindak. Dengan kata lain, ketika praksis berdemokrasi berlangsung, definisi yang berlaku boleh jadi bukan definisinya para konseptor demokrasi, melainkan definisinya para pelaku di lapangan. Diasumsikan, nilai-nilai sosial yang berlaku atau mengerangkai tindakan politik para pelaku, tidak berubah Praksis Demokrasi yang Rumpang 25
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
begitu saja hanya karena ada prosedur berkontestasi yang diberlakukan secara top down berdasarkan perintah rezim yang menjadi pemangku kekuasaan. Penelitian disertasi ini berusaha untuk keluar dari pandangan stigmatis yang tidak kontributif bagi pengembangan demokrasi maupun pemikiran tentang demokrasi. Sebagaimana dijanjikan dalam paparan di atas, penelitian ini hendak mencermati perilaku dan tindakan para aktor yang terlibat kontestasi Pilkada Langsung dalam konteks status dirinya sebagai bagian dari masyarakatnya. Diasumsikan, para-agen dan aktor sebagai manusia otonom, tidak dapat lari dari ketegangan dialektis ⎯ karena saling mempengaruhi ⎯ antara otonominya sebagai individu dan acuan ‘heteronom’-nya, yaitu etika kultural yang mengatur keberadaannya dalam lingkungan masyarakat.67 Nilainilai kultural itu dipercaya senantiasa mengikat eksistensi diri seseorang sebagai bagian dari masyarakatnya. Di sisi lain, penelitian ini penting karena hendak keluar dari kecenderungan analisis yang normatif. Hal ini dilakukan dengan mencoba untuk secara seksama memetakan situasi yang dihadapi para aktor. Kendati Pilkada Langsung adalah kontestasi politik di ranah lokal, namun tidak berarti ia eksklusif, atau hanya menyangkut kiprah dan kepentingan para elit politik di daerah setempat saja. Sejatinya dinamika Pilkada Langsung itu merupakan “peniruan” (mimesis) dari pergulatan politik para elit di tingkat nasional. Hal itu telah banyak didiskusikan dalam penelitian yang membahas tentang praktik 67
Tentang definisi manusia otonom yang senantiasa menghadapi sebuah realitas heteronom, yakni etika yang berlaku dalam masyarakatnya, saya merujuk pada tafsir Frans Magnis-Suseno tentang filsafat sosial Sutan Takdir Alisjahbana, bahwa nilai-nilai yang mempengaruhi keberadaan manusia merupakan kekuatan-kekuatan integratif manusia, masyarakat dan budaya (Lihat Frans Magnis-Suseno, 2005. Pijar-Pijar Filsafat. Penerbit Kasius, Yogyakarta). Sutan Takdir Alisjahbana menjelaskan bahwa kemampuan untuk menilai mengandaikan sekaligus merealisasikan kebebasan manusia. Karena itu, Sutan Takdir Alisjahbana menegaskan pentingnya manusia bersedia menanggung kesalahan yang dilakukannya sendiri, sebagai bukti bahwa dia adalah manusia otonom yang berkehendak bebas, walau harus diakui bahwa ada unsur “heteronom”-nya, yakni realitas alami, sosial dan kultural yang di dalamnya manusia hidup (Sutan Takdir Alisjahbana, 1991. Philosophy for the Future of Humanity. Universitas Nasional, Jakarta. Lihat juga Sutan Takdir Alisjahbana, 1966. Essay of A New Anthropology, Values As Integrating Forces in Personality, Society, and Culture. University of Malaya Press, Kuala Lumpur). Pemikiran Sutan Takdir Alisjahbana diketahui banyak dipengaruhi oleh filsafat Immanuel Kant. Sekadar catatan, pembasan teoritis tentang manusia otonom dalam konteks heteronomi, yang merupakan salah satu inti teori moral Immanuel Kant, bisa dilihat lebih lanjut dalam Andrews Reath, 2006. Agency and Autonomy in Kant’s Moral Theory: Selected Essays. (Oxford University Press, Oxford).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 26
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
demokrasi yang gagal dilaksanakan secara ideal oleh para-pihak. 68 Juga disajikan dalam sejumlah penelitian yang membahas patologi demokrasi menyangkut perilaku elit dan aktor yang terlibat dalam kontestasi politik. 69 Akan tetapi, dalam sejumlah penelitian tersebut aspek kultural jarang disentuh, kalau tidak diabaikan sama sekali, sebagai faktor determinan yang mempengaruhi tindakan politik para aktor. Penelitian disertasi ini justru hendak melacak sampai sejauh mana nilai-nilai kultural ⎯ yang mestinya tak bisa dipisahkan dari kekuatan nilai-nilai struktural ⎯ berperan penting dalam mempengaruhi tindakan para pelaku yang terlibat kontestasi politik. Selain akan menambah khasanah metodologi ilmu politik, pada aspek itulah diharapkan kontribusi penting dari penelitian ini. Dengan kata lain, penelitian ini ingin menunjukkan bahwa perspektif kultural bukan hanya ada, namun juga memiliki kekuatan tersendiri. Dalam kontestasi politik, segala bentuk anomali politik demokratis diartikan sebagai pengingkaran para pelaku atas kaidah normatif yang menyertai kontestasi. Dalam konteks itu, ada semacam asumsi yang seolah-olah berlaku umum bahwa apabila aturan yang melandasi prosedur kontestasi diubah, maka niscaya semua pihak akan manut mengikuti perubahan tersebut. Penelitian disertasi ini mencoba memahami kontestasi politik dari perspektif yang lain, yakni di luar ranah kekuasaan para aktor yang terlibat (beyond actor). Hal itu dimungkinkan dilakukan apabila dinamika politik lokal dilihat dari perspektif kebiasaan yang membentuk kultur politik setempat. Dalam kaitan itu saya cenderung sepakat dengan para Indonesianis dan ahli sejarah Indonesia, yang berpendapat bahwa untuk dapat memahami dinamika politik di Indonesia, pendekatan perhatian sebaiknya ditujukan pada aspek kultural masyarakatnya; 68
Lihat misalnya Titi Anggraini (ed), 2011. Menata Kembali Pengaturan Pilkada Langsung. (Perludem, Jakarta); dan bandingkan dengan penelitian yang dilakukan oleh Lingkaran Survei Indonesia (2014), “Pilkada oleh DPRD Dinilai Publik Sebagai Pengkhianatan Partai”. (Lingkaran Survei Indonesia, Jakarta). Lihat Juga Pheni Chalid (ed), 2005. Pilkada Langsung: Demokratisasi Daerah dan Mitos Good Governance. (Partnership, Jakarta). 69 Lihat misalnya kumpulan penelitian yang dihimpun oleh Erb dan Sulistiyanto (Maribeth Erb & Priyambudi Sulistiyanto (eds), 2009. Deepening Democracy in Indonesia?: Direct Elections for Local Leaders (Pilkada). ISEAS Publishing, Singapore). Bandingkan dengan laporan penelitian lapang di berbagai daerah di Indonesia yang disunting oleh Aspinall dan Sukmajati (Edward Aspinall dan Mada Sukmajati (eds), 2015. Politik Uang di Indonesia: Patronase dan Klientelisme pada Pemilu Legislatif 2014. PolGov Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 27
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
karena medan kulturallah yang menjadi dasar dari seluruh percaturan politik yang tercipta di negeri ini.70 Karena itu nilai-nilai kultural mestinya diposisikan sebagai faktor yang memiliki kekuatan untuk mengatur perilaku manusia, termasuk elit politik dan aktor kandidat, yang terlibat dalam kontestasi Pilkada Langsung. Dalam upaya menjelaskan fenomena demokrasi lokal, penelitian ini melengkapi diri dengan telaahan tentang bagaimana sebuah norma atau nilai bisa diakui dan dapat mengatur tatanan sosial masyarakat. Kecurangan politik dan praktik politik uang yang melibatkan para kontestan (dan mungkin juga sebagian anggota masyarakat) tidak mungkin terpraktikkan begitu saja seakanakan berada di ruang hampa. Meskipun aktor punya pilihan bebas untuk bertindak, tetapi sesungguhnya tindakannya itu akan diperagakan apabila ia aman secara ontologis ⎯ dalam arti secara substansial dianggap benar dan tindakan itu sesuai dengan nilai yang berlaku dalam masyarakat. Pertimbangan rasa aman secara ontologis itu terlepas dari persoalan apakah tindakan yang dilakukan aktor tersebut merupakan hasil dari interpretasinya atas nilai sosial yang ada, atau didasarkan pada rasionalitas tindakan belaka. Penelitian yang mencoba untuk melihat demokrasi dari kaca mata lokal ini penting untuk dilakukan mengingat selama ini ada kecenderungan pemahaman bahwa demokratisasi adalah pemberlakuan skema nasional di daerah, bukan sebaliknya; dan diasumsikan demokrasi di level nasional adalah hulu dari praktik riil di daerah-daerah. Kendati demikian, untuk menganalisis kasus Pilkada Langsung di suatu daerah itu, patut kiranya diperhatikan kronologi dan lintasan sejarah makro yang mewarnai kebijakan tentang sistem pemilihan Kepala Daerah di Indonesia, baik menyangkut peran rezim yang berkuasa menciptakan sistem politik, maupun produk-produk politik dari rezim itu sendiri. Alasannya, dinamika politik lokal niscaya tidak bisa dipisahkan dari dinamika politik nasional. Oleh karena itu, sebelum mengkaji dinamika Pilkada Langsung di suatu daerah, seyogyanya perlu didiskusikan terlebih dahulu aspek
makro
yang
relevan
⎯
menyangkut
produk
hukum
yang
70
Lihat Claire Holt (ed), 2007. Culture and Politics in Indonesia. (Equinox Publishing, JakartaKuala Lumpur).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 28
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
melatarbelakangi skenario sistem pemilihan Kepala Daerah yang jadi acuan aturan main berkontestasi. Produk hukum dimaksud bukan hanya yang berlaku aktual sekarang, tetapi juga produk hukum yang telah diamandemen namun masih berpengaruh terhadap dinamika politik lokal. Dengan kata lain, penelitian ini sebenarnya dimulai dengan memperhatikan aspek perubahan struktural. Telaah tentang hal itu akan dielaborasi lebih lanjut pada Bab 2.
6. Kerangka Analisis: Demokratisasi Sebagai Proses Morfogenesis Penelitian ini mencoba mencermati kerumpangan dan banalitas politik dalam perspektif keilmuan yang disebut ‘kekeliruan epistemik’ (epistemic fallacy).
71
Kekeliruan
epistemik
itu
terjadi
karena
seseorang
mencampuradukkan apa yang dia ketahui tentang obyek yang diamati dengan fakta yang dia bayangkan mestinya ada, yang dijelaskan sesuai dengan persepsi orang itu tentang obyek tersebut. Hal itu dapat menyebabkan siapapun subyeknya terperangkap dalam simplifikasi berlebihan dan mereduksi gejala “apa yang ada” menjadi “apa yang dianggap ada” ⎯ padahal mestinya tidak perlu demikian. 72 Untuk melacak jejak kerumpangan dan banalitas politik dalam konteks berdemokrasi sebagaimana dicanangkan sebagai isu sentral penelitian ini, setidaknya ada dua pintu telaah yang bisa jadi pilihan, yaitu realis dan hermeneutis. Realis cenderung lebih peduli dengan penjelasan kausal dibandingkan
dengan
pemahaman
hermeneutis.
73
Karena
pertimbangan, penelitian ini melakukan telaah ala realis.
sejumlah
Realis percaya
71
Kekeliruan epistemik sejatinya merujuk pada suatu ilusi, bahwa proposisi tentang apa yang ada dapat direduksi ke dalam proposisi tentang pengetahuan kita mengenai apa yang ada. Bhaskar menulis, “……Behind this state of affairs there ran a strong anthropocentric current in classical and subsequent philosophy, which sought to rephrase questions about the world as questions about the nature or behaviour of men.” (Roy Bhaskar, 1975. A Realist Theory of Science. (Routledge, Milton Park, Abingdon, Oxon), halaman 44) 72 Dalam ungkapan Bhaskar, “Apa yang dibutuhkan adalah sebuah teori yang tidak saling menghapuskan rujukan atau mengabaikan karakter sosial yang dihasilkan dari penilaian tentang hal itu” (What is needed is a theory which neither elides the referent nor neglects the socially produced character of judgements about it”). (Roy Bhaskar, 1993, Dialectic: The Pulse of Freedom. [Routlegde, London], halaman 217). 73 Hermeneutika adalah salah satu jenis filsafat yang mempelajari tentang interpretasi makna (Lihat misalnya Thomas M. Seebohm, 2004. Hermeneutics: Method and Methodology. Kluwer Academic Publishers, The Netherlands). Hermeneutis cenderung menjustikasi suatu fakta empiris dengan menafsirkan fakta yang teramati tersebut sesuai dengan teori.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 29
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
bahwa fakta empiris dianggap penting sebagai dasar untuk analisis konstruktif, namun ia juga diposisikan mampu menafsirkan realitas sebagaimana adanya. Karena itu fakta tidak harus dipertentangkan (atau disesuaikan) dengan teori, tetapi teori dituntut mampu menjelaskan realitas yang tersembunyi di balik fakta sesuai dengan kenyataannya. Merujuk pada Sayer, realisme mengakui bahwa dunia ini hanya dapat dikenal dengan deskripsi tertentu, dan wacana yang tersedia, meskipun tidak harus mengikutinya; karena realisme sesungguhnya terikat dengan filsafat falibilisme, yang mengakui bahwa tidak ada suatu keterangan atau penjelasan yang lebih baik dari yang lain.74 Realis berpendapat bahwa ada tiga tingkatan orang yang terlibat dengan kekuasaan dan sifat agensialnya, yakni alamiah, praktis, dan sosial. Dari ketiga tingkatan itu, tingkatan praktis merupakan pusat terpenting
karena semua
pengetahuan tentang alam dan sosial disaring melalui praktik. Karena itu setiap individu
memprioritaskan
kepeduliannya
atas
identitas
uniknya,
dan
bagaimana mereka mengembangkan identitas sosialnya, serta bagaimana dia mengelola dampak dari tindakannya itu. Dalam konteks praksis berdemokrasi di ranah lokal, hal itu dapat dilihat pada aspek praktis yang melatarbelakangi perilaku kandidat yang berupaya keras mendapatkan simpati publik, misalnya melalui tindakan politik pencitraan, karena dia mengetahui (dan mungkin juga menyadari) bahwa simpati publik tidak akan pernah muncul secara tiba-tiba tanpa sebab-musabab yang rasional. Sebagaimana
diperlihatkan
nanti,
penelitian
ini
menggunakan
pendekatan tersebut untuk memahami masyarakat, meskipun dengan istilah yang berbeda sesuai tingkat analisisnya. Pendekatan realis mempertahankan batas yang jelas antara ontologi dan epistemologi, tidak seperti konstruksionis dan positivis. Positivis dikritik karena mereduksi realitas untuk apa yang dapat diamati, sedangkan untuk konstruksionis dikritik karena hanya membatasi 74
Perlu dicatat, Sayer memahami adanya pandangan yang agak berbeda antara kelompok dan realisme-kritis dalam memaknai diskursus tentang ‘dunia-kehidupan’, tetapi dia cenderung tidak ingin mempertentangkannya. (Lihat Andrew Sayer, 2000. Realism and Social Science. (Routledge, London), halaman 2). Saya cenderung mengikuti Sayer, karena diskursus tentang ‘realitas dunia-kehidupan’ bisa terjebak pada perdebatan filsafati yang tidak berkesudahan. Dan karena itu, dalam penelitian ini saya menggunakan perspektif realis dan realis-kritis secara bergantian, sesuai dengan konteksnya.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 30
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
realitas dari apa yang dapat kita ketahui. Mereka mendekati masalah dari posisi yang berlawanan. Untuk keluar dari tradisi penelitian yang normatif, dan pada saat yang sama stigmatis, penelitian ini mencoba untuk memahami demokratisasi sebagai fenomena sosial terpola oleh urutan kejadian. Bahwa dari waktu ke waktu, berlangsung perubahan sosial; dan di balik berbagai perubahan yang berlangsung diyakini ada sejumlah hal yang tetap. Begitu juga halnya dengan gejala demokratisasi. Dalam proses demokratisasi, ada sejumlah hal yang berubah atau hendak diubah, namun tidak semuanya berubah hanya karena ada sejumlah orang menginginkan ataupun memperjuangkan perubahan. Ada konteks tertentu yang membuat sejumlah hal tidak ikut berubah. Atas nama demokrasi, ada agenda untuk mempolakan pengisian jabatan atas dasar adu banyak pendukung ⎯ seperti halnya kontestasi Pilkada Langsung ⎯ dan akibat dari pemberlakuan pola baru ini ada sejumlah hal yang kemudian menjadi fakta diharapkan (intended) maupun yang tidak diharapkan (unintended). Untuk menganalisis proses perubahan yang terjadi, termasuk adanya gejala defisit demokrasi sebagai implikasi dari kerumpangan politik, penelitian ini menggunakan pendekatan morfogenesis yang dikembangkan Archer. 75 Metode analisis tersebut kiranya membantu penelitian ini untuk mencari penjelasan mengapa para-agen dan aktor yang terlibat dalam kontestasi politik melakukan tindakan-tindakan politik, yang mengisyaratkan adanya banalitas dalam praksis berdemokrasi. Dipilihnya metodologi morfogenesis ala Archer, terutama dengan pertimbangan model analisisnya lebih kompatibel untuk menjelaskan perubahan sosial yang terjadi karena proses rekayasa sosial, seperti halnya demokratisasi politik. Apalagi dalam model Archer, ada perhatian khusus terhadap kekuatan nilai-nilai kultural sebagai faktor penting 75
Sebatas pelacakan saya atas hasil penelitian yang telah dipublikasikan, pendekatan ini belum pernah digunakan untuk mengkaji isu politik di Indonesia. Saya mencoba melakukan ‘ijtihad akademis’ menggunakan pendekatan morfonegesis itu untuk penelitian isu politik dengan asumsi bahwa, metodologi ini dapat membantu saya untuk memahami apa hubungan antara pikiran, tindakan dan realitas yang diperagakan dalam tindakan politik para elit. Karena realisme sosial berpegang pada pandangan bahwa proyek penelitian empiris adalah untuk menyelidiki fenomena sosial dalam rangka untuk menemukan proses kausal yang mendasarinya.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 31
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
dalam proses perubahan sosial, yang dalam proses demokratisasi diasumsikan merupakan faktor terpenting yang harus dicermati.76 6.1. Pendekatan Morfogenesis Pendekatan morfogenesis (morphogenetic approach) pada dasarnya merujuk pada pendapat Walter Buckley, 77 yang menjelaskan bahwa ada semacam proses ‘umpan balik’ yang dinamis dalam setiap perubahan sistem sosial, yang kemudian berpengaruh terhadap perilaku manusia. Perilaku tingkat individual, apakah suatu perilaku akan diulangi atau diubah, akan dipengaruhi oleh tipe umpan balik yang diterima. Luas dan tipe umpan-balik yang diterima akan mempengaruhi apakah seseorang individu itu mempertahankan suatu pola perilaku tertentu saja yang diarahkan ke suatu tujuan tertentu, atau mengembangkan perilaku-perilaku yang diarahkan ke pelbagai macam tujuan yang bertambah banyak. Pada umumnya, umpan-balik positif akan memperkuat suatu perilaku yang bersangkutan. Umpan-balik itu akan memperbesar kemungkinan bahwa perilaku itu akan terulang kembali. Siklus umpan-balik positif yang disebut proses morfogenesis ini berguna untuk menganalisis tipe-tipe perubahan sosial. Sebaliknya, umpan-balik negatif (deviation-counteracting) diasumsikan dapat merangsang perubahan perilaku. Umpan-balik negatif ini, yang disebut proses morfostasis (morphostatic), cenderung menjaga atau mempertahankan suatu bentuk atau sistem tertentu, atau keadaan.78 Konsep morfostasis ini berguna untuk memahami bagaimana sebuah perilaku menyimpang menggiatkan pelbagai jenis kontrol sosial guna mencegah pola penyimpangan untuk berlanjut terus. Sebagaimana Buckley, Archer menggunakan istilah kebalikan dari morfogenesis sebagai morfostasis. Akhiran “stasis” dalam bahasa Yunani berarti “masih berdiri” dan menunjukkan situasi tidak aktif karena keseimbangan tetap antara dua kekuatan yang bertentangan. Sementara 76
Lihat lebih lanjut penjelasan pada Bab 1 sub-bab 6.2. disertasi ini. Walter Frederick Buckley, 1967. Sociology and Modern System Theory. (Prentice Hall, Inc. New Jersey). Lihat juga Kenneth D. Bailey, 1994. Sociology and the New Systems Theory: Toward a Theoritical Syntesis. (State University of New York Press. Albany), terutama halaman 14-15, dan halaman 154-155. 78 Buckley, 1967, halaman 58-59. 77
Praksis Demokrasi yang Rumpang 32
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
morfogenesis menunjukkan “proses-proses yang cenderung untuk menguraikan atau mengubah yang dibentuk oleh sistem atau struktur atau negara”.79 Archer mempertahankan proposisi ini, tetapi menambahkan adanya “genesis”, yakni pengakuan bahwasanya struktur sosial terbentuk dari dan dibentuk oleh agen ⎯ dan dengan demikian ia adalah produk dari hubungan manusia. Dalam penjelasan ini elemen “morfo” (morpho) mengakui bahwa masyarakat tidak memiliki bentuk atau rujukan keadaan sebelumnya.80 Dengan pendekatan ini, pencarian sebab-musabab dari munculnya kerumpangan ataupun banalitas politik dilakukan dengan memahami hubungan dialektis struktur dan agensi. Dibalik dialektika ini diyakini terjadi perubahanperubahan kultural. Kerumpangan dan banalitas yang merupakan pertanda terjadinya anomali dalam praksis demokrasi itu adalah bagian dari dialektika tersebut, sebagai proses pengendapan kultural dari perubahan sehari-hari. Akumulasi umpan-balik positif maupun negatif diasumsikan akan bermuara pada pertumbuhan atau pengembangan struktural. Dalam konteks demokrasi dan proses demokratisasi, dialektika morfogenesis itu sangat mungkin pula terjadi ketika suatu sistem (politik) yang baru diintrodusir dan mengalami proses internalisasi. Dalam proses internalisasi itu ia dapat diterima (oleh masyarakat politik) sebagai suatu perubahan yang positif. Tetapi dalam perspektif morfogenesis, perubahan struktural itu diasumsikan tidak mungkin dapat dilepaskan dari perubahan kultural yang (mestinya) menyertainya. Pendekatan morfogenesis telah dipakai Archer untuk memahami perubahan sosial. 81 Diasumsikan, proses demokratisasi pun menghasilkan perubahan sosial, dan karena itu ia bisa dipahami dengan pendekatan 79
Lihat Margareth Archer, 1996. Culture and Agency: The Place of Culture in Social Theory. (Cambridge University Press, Cambridge), halaman 339-340. 80 Lihat Margareth Archer, 1995. Realist Social Theory: The Morphogenetic Approach. (Cambridge University Press, Cambridge), halaman 5 dan 166. 81 Archer mulai menggunakan pendekatan morfogenesis guna memahami struktur sejak tulisannya pada tahun 1976 (Social Origins of Educational System), ketika dia menganalisis siapa yang paling mendapatkan keuntungan dari akses pendidikan; dan penggunaan pendekatan morfogenesis ini semakin jelas dalam Culture and Agency (1988) dan Realist Social Theory (1995). (Lihat Margareth Archer, 2007. “The Trajectory of the Morphogenetic Approach: An Account in the First-Person”, [SOCIOLOGIA, PROBLEMAS E PRĀTICAS, Nomor 54, 2007], halaman 35-47).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 33
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
morfogenesis. Proposisi yang diadopsi dalam telaah morfogenesis ini adalah bahwa dalam perubahan sosial, termasuk juga demokratisasi, ada proses-proses yang memiliki efek mengurai atau mengubah, dimana penguraian atau pengubahannya dikerangkai oleh sistem. Konsep morfogenesis dan morfostasis itu dapat digunakan untuk melakukan telaah pada tingkat mikro maupun pada tingkat makro. 82 Pada tingkat makro, perubahan yang diamati adalah perubahan struktural yang menyangkut sistem politik yang berlaku nasional; yang pada gilirannya akan berpengaruh pada perubahan di tingkat mikro, yakni perubahan perilaku paraagen dan aktor politik yang merupakan bagian dari agensi politik. Dengan menggunakan konsep morfogenesis ini kiranya dapat membantu penelitian dalam rangka menelaah apa yang disebut sebagai ‘penyimpangan’ berupa kerumpangan dan banalitas politik. Dengan kata lain, mestinya akan dapat ditelaah secara lebih seksama, apakah “penyimpangan” itu bersifat memperkuat (untuk yang positif), atau justru menghambat (untuk yang negatif) kelangsungan demokrasi sebagai suatu sistem sosial. Merujuk pada Archer, dengan pendekatan morfogenesisnya, penelitian ini mengandaikan adanya hubungan antara struktur dengan agensi, dan sebagai jembatannya adalah kultur.83 Archer berargumen bahwa struktur dan kultur itu paralel satu dengan lainnya dan keduanya saling mempengaruhi ketika seorang peneliti ingin membangun kerangka analisis guna menjelaskan akibat-akibat yang terjadi dalam kehidupan sosial yang senantiasa berubah. Struktur dan kultur adalah pusat kehidupan sosial yang sebenarnya relatif otonom. Dalam kaitan itu Archer memahami struktur sebagai hal yang berkaitan dengan kepentingan material; sedangkan kultur menyangkut gagasan, kepercayaan, nilai-nilai, dan ideologi. Meskipun pada dasarnya masing-masing elemen itu 82
Konsep makro-mikro dalam konteks proses morfogenesis ini saya merujuk pada Sibeon yang berpendapat bahwa, makro dan mikro adalah tingkat yang berbeda dan relatif otonom dalam proses sosial. Analisis makro adalah penelitian skala besar dalam ukuran ruang-waktu yang menyangkut eksistensi aktor dan kondisi-kondisi sosial penting, termasuk jaringan sistem sosial yang besar. (Roger Sibeon, 2004. Rethinking Social Theory, halaman 54). Karena itu yang dimaksud “makro” disini lebih bermakna sebagai perihal yang menyangkut segala hal yang berkaitan dengan dapat dijalankannya sebuah sistem yang melibatkan banyak eksponen masyarakat. 83 Archer, 1996, halaman xi.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 34
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
otonom, namun bisa terjadi antara gagasan dan kepentingan material itu saling mempengaruhi. Dengan mengacu pada kaidah tersebut, persoalan struktur dalam penelitian demokratisasi ini merujuk pada aturan perundang-undangan yang mengatur tatakelola dan aturan main berkontestasi. Sedangkan fenomena kultural yang dibahas adalah nilai-nilai atau norma sosial yang mengikat para aktor dan elit dalam berperilaku dan ditampilkan dalam tindakan politik mereka. Mengingat dalam morfogenesis pemahaman tentang struktur menyangkut persoalan bagaimana mewujudkan ontologi realis sosial dalam berdemokrasi, 84 maka penting sekali untuk dicermati bagaimana tindakan politik para-agen dan aktor dalam berkontestasi sebagai hasil elaborasi dari pemahaman mereka terhadap nilai-nilai demokrasi dan bagaimana norma atau nilai-nilai kultural yang mengikat dirinya sebagai bagian dari anggota masyarakatnya. Secara konseptual bisa dipahami bahwa, dunia sosial dibangun dari antara lain, ‘struktur-struktur’ dan ‘agen-agen’ yang memiliki strata yang berbeda. Oleh karena itu, penelitian demokratisasi (mestinya) akan sensitif terhadap cara kerja dan apa yang diperagakan oleh elit dalam berpolitik. Tidak ada pertanyaan untuk mengurangi entitas yang satu dari lainnya atau menghilangkan keduanya, dan banyak alasan untuk menjelajahi interaksi di antara mereka. 85 Di sisi lain, karena struktur/kultur dan agensi merupakan entitas yang berbeda ⎯ masing-masing dengan sifat dan kekuatan sendirisendiri ⎯ metodologi yang digunakan untuk memeriksa mereka harus memungkinkan peneliti untuk mempelajari interaksi keduanya. Dengan kata lain, ada jurang antara ontologi realis dengan praksis teorisasi sosial, dan siklus morfogenesis diasumsikan dapat menutupinya.86 Dalam konteks kontestasi Pilkada Langsung, entitas struktur itu adalah aturan perundang-undangan yang mengatur tentang aturan main berkontestasi, 84
Ontologi realis sosial didasarkan pada pandangan bertingkat atas realitas sosial dimana masyarakat dan orang-orang memiliki kekuatan nilai-nilai (emergent properties and powers) yang tereduksi satu sama lain. Reduksi yang tidak dapat dilakukan melalui definisi berarti strata yang berbeda sifat dan kekuatan yang dimiliki masing-masing membenarkan diferensiasi strata. (Lihat Archer, 1995, halaman 13). 85 Archer, 1995,halaman 62. 86 Lihat Archer, 1995, halaman 135.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 35
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
baik yang diciptakan oleh Pemerintah maupun oleh KPU sebagai lembaga penyelenggara. Ia menatakelola bagaimana aturan main (mestinya) diterapkan. Namun, apakah aturan main tersebut bisa diterapkan, sesungguhnya tergantung pada lingkungan sosial masyarakat, misalnya berkaitan dengan nilai-nilai atau adat setempat. 87 Tersebab karena itulah entitas struktur biasanya dipahami sebagai bagian tak terpisahkan dari entitas kultural. Entitas kultural dalam konteks kontestasi politik dapat dibaca dari tindakan individu aktor dan elit yang terlibat dalam kontestasi, dan anggota masyarakat yang berperan sebagai pemberi suara. Sedangkan entitas agensial dapat dilihat dari kinerja lembaga yang memfasilitasi terselenggaranya kontestasi, atau partai politik yang terlibat sebagai pengusung seseorang kandidat. Masing-masing entitas itu jelas punya otonomi sendiri-sendiri yang terpisah satu sama lain, namun bukan mustahil dapat saling mempengaruhi. Misalnya, sejauh mana aturan main kontestasi berlaku efektif biasanya ditentukan oleh bagaimana entitas kultural dan entitas agensial. Akan tetapi, aturan main yang diskenariokan bisa dilaksanakan itu boleh jadi tidak bisa sepenuhnya dilaksanakan oleh entitas agensial. Pada titik itulah, mestinya, pendekatan morfogenesis bisa digunakan untuk menjelaskan sebab-musabab mengapa hal itu sampai terjadi. Sebagai sebuah proses, morfogenesis itu merujuk pada pertukaran rumit yang menghasilkan siklus perubahan dalam sistem yang sudah ada, yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu ‘elaborasi’ (baca: pengembangan atau perubahan baru).88 Sebagaimana diperlihatkan dalam bab-bab yang disajikan dalam penelitian ini, kerumitan dalam pertukaran ini terlihat dalam tindakan politik yang diambil oleh para-agen dan aktor agar sesuai dengan norma atau nilai-nilai yang menjadi preferensi masyarakat tentang karakteristik seseorang 87
Sistem Pilkada Langsung dengan pola mencoblos kertas suara dinilai satu suara pendukung, praktis tidak bisa diterapkan pada masyarakat tribal seperti yang ada pada komunitas suku di Papua. Karena itu, pada contoh kasus yang eksklusif seperti di Papua, diberlakukan sistem ‘noken’ ⎯ arti sebenarnya adalah tas masyarakat asli Papua yang terbuat dari ‘benang’ yang berasal dari akar kayu. Warga masyarakat cukup berdiri di depan noken kosong yang digantung sesuai jumlah kandidat yang ikut kontestasi, dan dianggap telah memberikan hak suaranya. Cara pemberian suara seperti itu dianggap sah, walaupun sebenarnya secara teknis berbeda dengan pola pemilihan langsung di berbagai daerah lainnya di Indonesia. 88 Archer menulis, “…. As a process ‘morphogenesis’ refers to the complex interchanges that produce change in a System’s given form, structure or state (‘morphogenesis’ is the reverse), the end-product being termed “Elaboration”. (Archer, 1996, halaman xxiv).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 36
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
yang dianggap “baik” dan pantas didukung dalam kontestasi politik. Misalnya preferensi masyarakat tentang kedermawanan atau kesalehan sosial. Para kontestan seringkali seperti ‘dipaksa’ untuk menunjukkan bahwa dirinya adalah orang yang dermawan dan atau orang yang saleh ⎯ meskipun hanya dalam bentuk politik pencitraan ⎯ supaya berkenan di hati masyarakat, dan akhirnya mendapatkan simpati publik. Itulah sebabnya, suatu realitas sosial mengandung premis tentang prinsip analisis dualisme, dimana penjelasan yang menunjukkan suatu hal dalam masyarakat tidak serta merta dapat menjelaskan bagaimana bagian-bagian yang menyertai terjadinya perubahan tersebut. Hal itu terjadi karena kultur dan masyarakat serta struktur dan agensi sebenarnya saling mempengaruhi.89 Pelacakan terhadap sebab-musabah terjadinya kerumpangan dan banalitas politik dalam penelitian ini juga dilakukan dengan analisis dualisme, yakni dengan menggunakan logika adanya pemisahan struktur dan agensi. Dasarnya adalah bahwa, ada hubungan logis di antara ide-ide tempat agen dalam situasi khas yang memberikan kondisi pengambilan keputusan strategis mereka.90 Dalam konteks demokratisasi, ada kaitan logis antara ide-ide kunci seperti keadilan dan prinsip kejujuran dengan rasionalisasi tindakan politik yang harus diambil oleh aktor sesuai dengan situasi aktual yang ada. Misalnya situasi ketika semua kontestan seakan-akan ‘dipaksa’ untuk mempraktikkan politik transaksional, apakah tetap mengindahkan prinsip kejujuran tetapi harus menanggung risiko kalah bersaing, atau mengabaikan begitu saja prinsip kejujuran itu demi meraih kemenangan dalam kontestasi yang diwarnai praktik politik transaksional di segala lini. Upaya agensial untuk menghadapi situasi ini mungkin saja dari waktu ke waktu menunjukkan perubahan permanen ke dalam sistem. Diasumsikan, analisis dualisme ini memungkinkan penelitian ini 89
Archer, 1995, halaman 15. Archer mengakui bahwa konsep analisis dualisme berasal dari David Lockwood (1964), sosiolog Inggris, yang diacunya dalam penggunaan untuk membedakan antara "integrasi sosial" dan "integrasi sistem" ketika menjelaskan struktur dan agensi. Integrasi sosial digunakan Lockwood untuk menjelaskan tentang sejauh mana hubungan antara kelompok orang yang berada dalam kondisi tertib atau penuh konflik, sedangkan integrasi sistem adalah sejauh mana hubungan antara ‘bagian’ dari struktur sosial yang tertib atau penuh konflik. Intinya adalah untuk memungkinkan teorisasi tentang interaksi yang antara keduanya. Archer mengambil langkah lebih jauh dengan menerapkan perbedaan ini ke ranah kultural (Lihat Archer, 1996; dan Archer, 1995, halaman 67).
90
Praksis Demokrasi yang Rumpang 37
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
melacak bagaimana dua tingkat praktis dan sosial saling mempengaruhi dari waktu ke waktu ⎯ sebagai pencirian analisis realisme kritis.91 Dalam upaya melacak akar kerumpangan dan banalitas dalam politik demokratis, penelitian ini diharapkan dapat menemukan penjelasan tentang mengapa suatu perubahan struktural, berupa berubahnya sistem, tidak serta-merta menyebabkan perubahan kultural. Sebagai contoh, sistem Pilkada Langsung yang diskenariokan akan memberikan dampak perubahan pada perilaku para kontestan, boleh jadi tidak mencapai sasaran perubahan yang diidamkankan lantaran:
(a)
para
kontestan
tidak
memahami
(dan
mampu
mengimplementasikan) makna demokrasi sebagai cara berkontestasi yang jujur dan berkeadilan; atau (b) kontestasi yang melibatkan para-aktor ambisius dan oportunis tidak didukung oleh lembaga penyelenggara yang berintegritas, yang bekerja hanya atas dasar memenuhi syarat formal sesuai dengan bunyi teks undang-undang; atau (c) sistem yang diberlakukan untuk menatakelola kontestasi politik (ternyata) teralienasi dari sistem kultural yang berlaku aktual, sehingga masyarakat (sebagai pemanfaat sistem) merasa tidak dilibatkan dalam proses (dan dinamika) kontestasi; dan seterusnya. Sungguh demikian, penelitian ini tidak akan berpijak pada sebuah teori demokrasi tertentu sebagai acuan kebenaran satu-satunya. Misalnya, karena fakta sosial yang dapat diperoleh di lapangan tidak sesuai dengan kaidah demokrasi (liberal), maka dapat disimpulkan bahwa masyarakat politik di Indonesia tidak dapat mempraktikkan sistem politik demokratis ⎯ sekalipun sistem dimaksud adalah demokrasi berciri liberal, apapun alasannya. Atau sebagai contoh lain, politik uang tak terelakkan dalam kontestasi Pilkada Langsung karena para kontestan tidak ingin kalah dalam kontestasi politik yang diikutinya, lalu hal itu dianggap sebagai fakta bahwa para elit dan kontestan tidak punya etika politik demokratis. Atau misalnya tidak ada kontestan yang ‘bermain politik’ secara jujur, lantaran takut dicurangi oleh 91
Archer dikenal sebagai pengusung mainstream realisme kritis. Realisme kritis menganggap dirinya jawaban atas kekurangan ontologis positivisme dan kesulitan epistemologis postmodernisme. Archer menulis, "Realisme kritis mengklaim dapat menggabungkan dan mendamaikan realisme ontologis, epistemologis relativisme dan menghakimi rasionalitas" (Margareth Archer et.al, 1998. Critical Realism: Essential Readings. (Routledge, London and New York). Halaman xi)
Praksis Demokrasi yang Rumpang 38
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
lawan politiknya, sehingga yang terjadi kemudian adalah perilaku politik saling mencurangi. Dan lain-lain, yang menunjukkan klaim sebuah logika teoritis tertentu. Realisme kritis, seperti ditegaskan Bhaskar, tidak mengklaim teori substantif tertentu, dan karena itu ia kompatibel dengan berbagai teori substantif.92 Dengan menjadikan morfogenesis sebagai ‘alat analisis’ (tools of analysis), penelitian ini akan menilai bagaimana perilaku para elit dan aktor yang terlibat dalam suatu kontestasi politik seperti Pilkada Langsung sebagai salah satu langkah sentral yang ditempuh dalam rangka demokratisasi. Yang hendak dinilai tidak hanya apakah mereka memahami perubahan yang terjadi dengan umpan balik yang positif atau negatif, melainkan juga bagaimana struktur dan kultur menyebabkan munculnya kekeliruan epistemologi. Skenario kontestasi Pilkada Langsung, yang didasarkan pada signifikansi aturan
perundang-undangan,
diasumsikan
merupakan
struktur
yang
mengerangkai tindakan para-pihak yang terlibat dalam kontestasi politik tersebut. Kendati demikian, struktur yang dibangun dalam skenario Pilkada Langsung belum tentu terefleksikan dalam tindakan para-agen yang terlibat dalam kontestasi politik yang dibayangkan merujuk pada prinsip-prinsip demokrasi. Perihal itulah yang menjadi fokus amatan untuk membuktikan validitas pendekatan morfogenesis dalam penelitian ini. 6.2. Model Morfogenesis Archer 92
Filosofi Bhaskar berusaha mendamaikan ontological realism (percaya pada realitas yang ada secara independen nyata), epistemological relativism (urutan nonhirarkis atas teori-teori pengetahuan), dan judgemental rationality (pemahaman bahwa kita bisa memberi “alasan bagus” atas mengapa kita memilih beberapa perhitungan atas sesuatu realitas dan mengapa tidak pada yang lain). Argumen kuncinya adalah penjelasan empiricist-positivist dalam filsafat ilmu, yang memprioritaskan epistemologi empirisis (yakni, observasi perseptual) sebagai basis bagi pandangan mereka tentang science, telah mereduksi “realitas dunia” menjadi “realitas empirik”, sehingga bisa diobservasi. Reduksi atas “apa yang ada” menjadi “apa yang dianggap ada” ini adalah problematik, karena mengabaikan fakta bahwa praktik eksperimental pengetahuan sebenarnya justru beranggapan bahwa obyek penjelasan ilmiah harus ada ⎯ tidak hanya “secara perseptual” ‘bagi kita’, tetapi juga secara ontologis (“benar-benar”) pada level realitas lebih dalam yang tidak bisa diobservasi. (Lihat Roy Bhaskar, (1975) 2008. A Realist Theory of Science. [Routledge, Milton Park, Abingdon, Oxon], terutama halaman 13). Dan Archer dalam berbagai tulisannya tampaknya terperangaruh dengan filsafat realisme Bhaskar tersebut.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 39
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Archer merumuskan model analisis morfogenesis mengikuti kerangka relasi struktur dan agensi. Archer bukanlah satu-satunya ilmuwan sosial yang mencoba memahami fenomena sosial dari perspektif itu ⎯ karena ada beberapa nama lainnya yang juga menggunakan relasi struktur dan agensi sebagai fondasi untuk menganalisis fenomena sosial menyangkut tindakan dan kesadaran individu dalam kaitan interaksi sosial yang dibangunnya.93 Tetapi yang agak jelas terlibat dalam perbedaan diskursus relasi struktur dan agensi dengan Archer adalah Giddens dan Bourdieu.94 Agak berbeda dengan Giddens dan Bourdieu, Archer bersikukuh bahwa masalah struktur dan agensi adalah masalah fundamental dalam teori yang mencoba menjelaskan tindakan sosial (social practice). Menurut Archer, untuk dapat memahami masalahnya dengan cermat, harus dipisahkan antara interaksi sosial dengan tindakan dan interaksi yang memproduksinya. Artinya, antara struktur dan agensi itu mesti dilihat sebagai relasi ‘dualisme’, bukan hubungan ‘dualitas’ ⎯ sebagaimana Giddens menganalisis relasi struktur dan agensi. Giddens berpendapat bahwa struktur dan agensi adalah dua hal yang berbeda namun mereka merupakan satu kesatuan (dualitas), seperti mata uang koin, dimana kita tidak dapat mempelajarinya secara terpisah satu sama lain. Manusia melalui aktivitasnya dapat menciptakan kesadaran sekaligus kondisi terstruktur sehingga aktivitas semua orang dapat berlangsung. Tidak mungkin terjadi agensi tanpa struktur, demikian pula sebaliknya, tidak akan tercipta struktur yang saling tergantung jika tidak diciptakan individu. Struktur bukanlah realitas yang berada di luar pelaku, namun ia adalah aturan dan sumberdaya yang mewujud pada saat diaktifkan oleh pelaku dalam praktik sosial.95 93
Lihat Andrew Edgar and Peter Sedgwick (eds), 1999. Key Concepts in Cultural Theory. (Routledge, London and New York). Lihat juga Nigel Rapport and Joanna Overing, 2000. Social and Cultural Anthropology: The Key Concepts. (Routledge, London and New York). 94 Lihat ulasan tentang substansi gagasan seputar diskursus struktur dan agensi yang ditulis secara cukup komprehensif oleh Barner dengan membandingkan berbagai aliran pemikiran dan konteksnya. (Barry Barner, 2003. “The Macro/Micro Problem and the Problem of Structure and Agency”, dalam George Ritzer & Barry Smart, 2003. Handbook of Social Theory. SAGE Publications, London and New Delhi). 95 Lihat Anthony Giddens, 1976 (1993). New Rules of Sociological Method. (Stanford University Press, California), halaman 109; dan Anthony Giddens, 1984. The Constitution of Society. (Polity Press, Cambridge), halaman 19.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 40
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Archer juga tidak begitu sependapat dengan Bourdieu, yang mengandaikan manusia dapat memahami dan mengkonstruk dunia mereka, tanpa memperhatikan bagaimana persepsi dan konstruk yang terbangun tadi sekaligus juga merupakan penghalang. Menurut Bourdieu, manusia adalah makhluk sosial yang aktif mengembangkan struktur-struktur untuk mendukung kehidupan
rutin
mereka.
Dalam
kaitan
itulah
Bourdieu
kemudian
mengembangkan konsep “habitus”, sebagai teori pokok dalam menjelaskan relasi antara yang subyektif pada diri individual dengan yang obyektif pada tataran masyarakat. Dalam pandangan Bourdieu, struktur obyektif yang disebut habitus itu merupakan produk dari praktik historis yang terus menerus direproduksi dan diubah oleh praktik historis yang prinsip produksinya merupakan produk dari struktur yang direproduksi. 96 Bahkan Bourdieu memberikan deskripsi yang tegas bahwa, struktur dan agensi yang mengerangkakan sebuah tindakan bukanlah hasil dari hubungan yang monolitik atau dikhotomistik, melainkan sebuah
hubungan
yang
memungkinkan
munculnya
proses
dialektik
transformatif. Aktivitas seorang agen ditempatkan pada lingkungan sosial (social field) dimana modal-modal sosial, kultural, dan ekonomi menentukan segala
perubahan
dari
peran-peran,
hubungan-hubungan
sosial
dan
pengharapan-pengharapan yang melekat pada tindakan tersebut. Sedangkan habitus, sebagai norma sosial, bentuk-bentuknya terus berlangsung sebagai alat negosiasi bagi agen untuk beraktivitas di ranah sosial, dan ia juga menentukan bagaimana
peran-peran,
hubungan-hubungan
sosial
dan
pengharapan-
97
pengharapan diinternalisasi. Sedangkan dalam pandangan Archer, interaksi sosial dari para-agen dibentuk dari saling pengaruh antara struktur dan agensi. Selama proses interaksi sosial terjadi, agen tidak membangun struktur-struktur baru, melainkan sekadar melakukan transformasi atau mereproduksi struktur yang sudah ada.98
96
Lihat Pierre Bourdieu, 1977. Outline of a Theory of Practice. (Cambridge University Press, Cambridge), halaman 83. 97 Lihat Pierre Bourdieu, 1990. The Logic of Practice. (Polity Press, Cambridge), halaman 52. 98 Lihat Archer, 1995, halaman 192.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 41
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Archer menjelaskan bahwa morfogenesis bekerja dengan analisis dualisme untuk menunjukkan batas interaksi pengkondisian struktural dan elaborasi struktural secara terus menerus, sesuai dengan urutan pokok masalahnya.
Namun
untuk
menjelaskan
proses
yang
terjadi,
harus
mempertimbangkan kekuatan nilai-nilai struktural (structural emergent properties ⎯ SEPs)
dan kekuatan nilai-nilai kultural (cultural emergent
properties ⎯ CEPs) berhubungan dengan kekuatan nilai-nilai yang mengikat orang-orang dalam eksistensinya sebagai warga masyarakat (people’s emergent properties ⎯ PEPs). Sesuatu yang baru muncul dalam kaitan kultural ditandai dengan hubungan internal yang logis.99 Dalam konteks politik, kekuatan nilainilai struktural itu bisa dipadankan dengan aturan perundang-undangan yang mempunyai kekuatan untuk mengatur antar hubungan para-pihak agar tercipta kondisi yang kondusif untuk sebuah kontestasi politik yang akuntabel. Sedangkan kekuatan nilai-nilai kultural bisa dipadankan dengan norma sosial yang menyebutkan kejujuran dan keberanian memikul tanggung jawab sosial sebagai hal yang terpuji apabila melekat pada perilaku seseorang individu; dan oleh karena itu individu dimaksud boleh jadi dianggap oleh warga masyarakat lainnya sebagai orang yang layak didukung sebagai calon pemimpin. Analisis dualisme memberikan peran kepada kultur sebagai sistem gagasan dapat sangat atau kurang terintegrasi, dan bahwa setiap kemungkinan ini dapat hidup berdampingan dengan kondisi masyarakat yang sarat konflik atau sangat terintegrasi. Situasi ini dapat membawa kita untuk memahami bagaimana perbedaan derajat integrasi pada satu hubungan antarmuka dengan tingkat integrasi pada yang lain. Kedua belah pihak memiliki kekuatan kausal otonom. Dengan memisahkan mereka maka kita dapat mempelajari interaksi di antara mereka. Sebagaimana diisyaratkan Archer, kita tidak menganggap orang bertindak seperti yang mereka lakukan karena ide-ide yang mereka pegang seolah-olah ditentukan atau dipaksa oleh Sistem Kultural untuk menghasilkan pola interaksi ⎯ karena diasumsikan antara integasi Sistem Kultural (Cultural System) dan integrasi Sosial Kultural (Social Cultural) harus 99
Archer, 1995, halaman 179.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 42
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
dibedakan.100 Sebaliknya, ada hubungan logis antara gagasan kultural yang membuat logika situasional tertentu
membentuk konteks tindakan agen.
Logika situasional dieksplorasi kemudian ⎯ karena hukum atau prinsip kontradiksi menegaskan bahwa tidak ada yang dapat menjadi “p” dan sekaligus “bukan p”.101 Dengan kata lain analisis dualisme berdiri sebagai premis bahwa sistem sosial kultural mempengaruhi interaksi sosial dan sebaliknya, dan bahwa bagian konstitutif dari interaksi ini berakibat pada perubahan sosial atau stabilitas. Dalam kontestasi politik, seseorang aktor bisa saja beralibi macammacam untuk menunjukkan bahwa dia ”bukan p”. Tetapi jelas tidaklah logis apabila dia mengaku “bukan p” tetapi sekaligus dapat menjadi “p”. Ilustrasi sederhana tentang fenomena itu adalah, seorang aktor (kandidat) tidak mungkin mengaku ‘bukan pelaku praktik politik uang’ sementara di waktu yang sama dia sendiri adalah “pelaku”-nya. Kecuali dia berdusta. Kecuali dia menganggap orang lain tolol, dan mau dibodohinya. Mengikuti
Bhaskar,
102
Archer
berargumentasi
bahwa
dalam
menjelaskan pola hubungan saling mempengaruhi antara struktur sosial dan agensi manusia ada kebutuhan untuk menengahi konsep, yang oleh Bhaskar disebut sistem “posisi-tindakan” (position-practice). Tetapi Archer lebih luas mendefinisikan sistem posisi-tindakan ini sebagai "konteks sosial”, dimana orang menemukan dirinya dalam posisi peran kultural. Menurut Archer ada variasi independen antara kekuatan yang muncul dari ‘bagian struktur sosial’, seperti halnya kekuatan nilai-nilai struktural, kekuatan nilai-nilai kultural, dan ‘orang-orang dalam bagian agensi’, yakni kekuatan nilai-nilai yang mengikat orang-orang dalam eksistensinya sebagai warga masyarakat pada tingkatan yang berbeda. Archer menyebut perbedaan itu dalam istilah “posisi, peran dan kelembagaan”.103 Tanpa hal itu mustahil untuk mengurai “fakta menjengkelkan 100
Archer, 1996, halaman xvii. Archer, 1995, halaman 179-180; Archer, 1996, halaman 109 dan 136. 102 Bhaskar menunjukkan suatu sistem mediasi yang disebutnya sebagai sistem "PosisiTindakan" dimana posisi itu merujuk pada tempat, fungsi, aturan, tugas, hak menduduki/menyediakan/ diasumsikan/diperankan oleh orang-orang dan dilakukan dengan mengacu pada kegiatan yang melibatkan mereka dalam konsekuensi dari posisi yang mereka tempati. (Roy Bhaskar, (1979) 1998. The Possibility of Naturalism. A Philosophical Critique of the Contemporary Human Science. [Routledge, London], halaman 41). 103 Lihat Archer, 1995, halaman 185-190. 101
Praksis Demokrasi yang Rumpang 43
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
dalam masyarakat” (vexatious fact of society), penamaan yang dapat kita berikan untuk sejumlah aktivitas manusia yang tidak dapat kita terima begitu saja. Kalau tidak dibedakan antara nilai-nilai baru yang menjadi bagian dari masyarakat, maka tidak mungkin dapat diketahui secara tegas dimana posisi masing-masing dalam proses saling mempengaruhi.
104
Dalam praksis
demokrasi politik, seseorang kandidat bisa saja menggali potensi dukungan konstituennya dengan mengklaim telah berbuat banyak dan bermanfaat kepada komunitas atau kelompok konstituen tertentu. Tetapi struktur sosial akan mengadili aktor yang terlibat dalam kontestasi sesuai dengan ‘posisi dan perannya’ yang sejati (genuine), dan hari penghakiman akan tiba pada saat tanggal pemungutan suara. Historisitas interaksi sosial dan analisis dualisme memberikan dua proposisi dimana model morfogenesis berada, “bahwa tindakan yang ada sebelum-kejadian terjadi harus diubah strukturnya; dan bahwa elaborasi struktural merupakan tindakan setelah-kejadian terjadi”. 105 Kekuatan kausal struktur dan agensi dapat dialihkan, ditangguhkan, dimodifikasi, dan ditingkatkan oleh agen dengan struktur yang lain. Pengaruh mereka relatif sama. Perbedaan antara mereka adalah dalam modus operasi, yakni struktur selalu dimediasi oleh agensi sementara agen selalu menjadi mediatornya.106 Dukungan publik terhadap seseorang kandidat yang bertarung dalam kontestasi politik pada dasarnya tidaklah muncul tiba-tiba. Publik niscaya menyimak terlebih dahulu apa rekam jejak sang kandidat. Tidak mungkin seseorang kandidat yang tidak punya rekam jejak apa-apa akan memperoleh simpati ⎯ sebagai prasyarat adanya dukungan. Tetapi di sinilah kemudian munculnya kekuatan sumberdaya material (terutama pemilikan kekayaan finansial) yang dimiliki oleh kandidat untuk memanipulasi keadaan. Dengan kekuatan sumberdayanya itu seseorang aktor mungkin (karena tidak selalu) dapat mengubah struktur yang menjadi prakondisi dari peristiwa yang terjadi 104
Lihat Margareth Archer, 2000, Being Human: The Problem of Agency. (Cambridge University Press). Halaman 306-307. 105 Archer menulis, “…that structure necessarily pre-dates the action(s) which transform it; and that structural elaboration necessarily post-dates those actions” (Archer 1995, halaman 76). 106 Archer, 1995, halaman 196.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 44
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
sebelum-kejadian terjadi. Inilah yang dapat menjelaskan fakta empiris mengapa praktik politik uang dipilih oleh aktor (kandidat) tertentu, walaupun tindakan itu tidak selalu efektif untuk mengubah peta kekuatan politik. Dengan menggunakan kerangka kerja morfogenesis memungkinkan seorang peneliti untuk mengukur bagaimana dan mengapa sesuatu hal sampai mengalami perubahan (dielaborasi) atau tetap pada posisi yang sama (direproduksi). Yang penting, peneliti tersebut dapat menguji saling pengaruh antara dua level yang menjadi bagian dari perubahan yang terjadi di waktu yang lampau. Karena itu Archer merumuskan tiga fase morfogenesis yang diasumsikan terjadi terus menerus, yakni: pengkondisian struktural/kultural menuju interaksi sosial/sosiokultural dan akhirnya sampai pada perubahan struktural/kultural sebagai elaborasinya (Gambar 1.1). Archer yakin bahwa metodologi semacam itu dapat diandalkan untuk memisahkan dialektika saling pengaruh (interplay) antara struktur dan agensi serta antara kultural dan agensi yang terjadi secara terus menerus.
Structural/Cultural Conditioning T1
Social/Cultural Interaction T2
T3 Structural/Cultural Elaboration T4
Gambar 1.1. Siklus Dasar Morfogenesis dengan Tiga Fase (Diadaptasi dari Archer, 1995:193). Seperti terlukis pada Gambar 1.1, pendekatan morfogenesis mendukung pandangan bahwa struktur itu tidak menentukan agensi; karena ia ditentukan oleh kemauan agen-agen manusia yang melakukan tindakan. Selama proses pengkondisian struktural, struktur-struktur yang ada berada dalam posisi nyata Praksis Demokrasi yang Rumpang 45
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
sesuai dengan waktunya (T1) dimunculkan dan menghasilkan manfaat penting dari tindakan-tindakan yang dilakukan oleh para-agen. Interaksi sosial paraagen dibentuk dari saling pengaruh antara struktur dan agensi. Selama proses interaksi sosial terjadi, agen tidak membangun struktur-struktur baru, melainkan sekadar melakukan transformasi atau mereproduksi struktur yang sudah ada. Dari waktu itu (T2) menuju waktu berikutnya (T3), saling pengaruh antara struktur dan agensi menghasilkan transformasi atau reproduksi strukturstruktur. Dalam kaitan itu kita bisa mengamati bagaimana hasil dari proses transformasi atau reproduksi itu pada T4. Dengan demikian ada sejumlah akibat yang dapat dianggap mempengaruhi karakter struktur-struktur lama; dan ia berkaitan dengan kehadiran nilai-nilai baru yang diidentifikasikan Archer sebagai “sesuatu yang baru muncul” (emergent properties).
107
Archer
memisahkan entitas kultur dan struktur sebagai persoalan yang berbeda, dan karena itu penting untuk dipahami bahwa satu unsur (dari trilogi struktur, kultur, dan agensi), ketika misalnya mengalami kerusakan, diasumsikan tidak menentukan posisi unsur lainnya.108 Dalam praksis demokrasi politik, hal itu barangkali dapat diilustrasikan dari tidak berfungsinya sistem politik demokratis bukan menjadi sebab kultur demokrasi absen dalam kontestasi politik yang melibatkan agensi politik. Mengikuti kerangka pikir Archer, kultur dan struktur diyakini sebagai pusat kehidupan sosial, dan konsepsi teoritis serta kerangka analisis yang sama dapat digunakan untuk menyelidiki
keduanya. Menurut Archer, kekuatan
nilai-nilai kultural dan kekuatan nilai-nilai struktural bekerja secara identik
107
Emergent properties adalah sebuah penyebutan aktual yang sifatnya filosofis untuk karakter menyimpang yang dimaknai sebagai entitas (hakikat atau substansi) dari suatu nilai baru yang lebih fundamental dan sebelumnya tidak mendapatkan perhatian. Sebagai contoh misalnya, kadang-kadang dikatakan bahwa kesadaran adalah sebuah “emergent property” dari kecerdasan otak manusia. (Lihat Timothy O’Cornor & Hong Yu Wong, 2012. “Emergent Properties”, dalam Edward N. Zalta (ed), The Stanford Encyclopedia of Philosophy. [Spring 2012 edition]). 108 Dengan merujuk pada kehadiran eksklusif “emergent properties” pada struktur, pendekatan morfogenesis Archer sebenarnya tidak serupa dengan teori strukturasi yang dikembangkan Giddens. Dalam hal itu Archer menulis, “….. this methodology requires an examination of the emergent properties of structure, culture and agency which means dealing with three different kinds of cycles each of which has relative autonomy and yet interacts with the others.” (Lihat Archer, 1995, halaman 192-3).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 46
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
sebagai mekanisme mediasi, meskipun ada perbedaan substantif mereka.109 Kekuatan nilai-nilai struktural (SEPs) terutama tergantung pada sumberdaya fisik dan material manusia. Hubungan material sering disahkan dan dipelihara oleh ide-ide dari sistem kultural, namun mereka juga dapat dipertahankan melalui paksaan. Archer menjelaskan SEPs sebagai “distribusi (kekuasaan), peran (agen dan aktor), struktur kelembagaan, dan sistem sosial”.110 Dari aspek morfonegesis struktural, hubungan dalam SEPs itu bisa memberikan kemungkinan pola baru yang berbeda-beda, tergantung logika situasionalnya. Bila ada hubungan yang diperlukan dan secara internal bersifat komplementer dengan struktur sistemik, maka ada kemungkinan dari lembaga-lembaga yang ada saling memperkuat, saling memanggil satu sama lain, dan saling bekerja sama.111 Dalam konteks praksis demokrasi politik, hal itu bisa terjadi misalnya untuk mengatasi hambatan struktural dalam bentuk adanya larangan untuk melakukan politik transaksional, para-agen atau aktor yang berkepentingan dapat menyiasatinya dengan menggunakan simbol-simbol kultural yang telah melembaga dalam masyarakat agar hambatan tersebut bisa diatasi tanpa melanggar aturan formal yang ada. Hal serupa terjadi dalam kondisi SEPs yang tidak tergantung sama lain, dan kekuatannya tidak terkait secara internal, atau malah bertentangan. Logika situasional yang mungkin muncul adalah eliminasi dan oportunisme. Hal ini dimungkinkan karena masyarakat adalah sistem terbuka dan dengan demikian terbuka terhadap pengaruh eksternal. Kekuatan-kekuatan nilai struktural menciptakan kepentingan baru dan sarana material baru untuk memenuhi kepentingan mereka. Perlu dicatat bahwa dalam hubungan antara SEPs itu tidak semua agen dapat terlibat, tetapi mungkin beberapa agen akan terlibat. Hal ini penting karena hasil akhir (genesis atau stasis) akan dipengaruhi oleh agen yang memiliki kepentingan pribadi, atau berapa banyak sumberdaya (termasuk akses ke sumberdaya material) yang mereka miliki, dan berbagai aliansi yang muncul dari kondisi tersebut.112 109
Archer, 1995, halaman 229. Archer, 1995, halaman 176. 111 Archer, 1995, halaman 220. 112 Lihat Archer, 1995, halaman 226-227. 110
Praksis Demokrasi yang Rumpang 47
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Praksis siklus morfonegesis itu dapat dijelaskan sebagai berikut: pada waktu tertentu (T1) struktur materi harus ada sebelum agen terlibat dalam kegiatan untuk mengubah atau mempertahankannya. Pada saat yang sama agen juga mewarisi seperangkat doktrin, teori, dan keyakinan yang menentukan apa yang berdampak pada mereka. Namun orang-orang tidak selalu sama dalam
menyadari kemungkinan-kemungkinan kendala yang
muncul dari tindakan mereka. Untungnya orang ⎯ melalui kapasitas refleksif dan pemantauan-sendiri (self-monitoring) ⎯ biasanya menemukan alasanalasan (terkait dengan kepentingan dan isu-isu kekuasaan) untuk bertindak dengan cara tertentu dalam menghadapi kemungkinan munculnya kendala struktural/kultural,
yang
oleh
Archer
disebut
“derajat
kebebasan
interpretatif”.113 Akan tetapi perlu dicatat bahwa dalam semua sistem sosial atau agensi yang ditentukan oleh kelompok orang tertentu ⎯ yang disebut “corporate agents” ⎯ memberikan kondisi bahwa pengaruh mereka lebih kuat daripada yang lainnya, sehingga proses perubahan yang terjadi cenderung menyebabkan terjadinya genesis.114 Hal ini dapat menjelaskan mengapa elit partai politik di Indonesia memegang peranan penting dalam perubahan, dan menentukan apakah sistem itu direproduksi atau dielaborasi. Elit partai berkepentingan terhadap perubahan situasi yang menguntungkan dirinya dan kelompoknya ⎯ yang secara teoritis diidentifikasikan sebagai gejala oligarkhi partai. Mereka bisa saja bekerjasama, atau bahkan berkolaborasi, demi mengamankan peluangnya mengambil keuntungan dari situasi dan kondisi yang berubah. Dengan kata lain, agensi dikondisikan oleh kultur dan struktur (di T1), tapi karena agensi sendiri memiliki sifat dan kekuatan yang mengikat orangorang dalam eksistensinya sebagai warga masyarakat (PEPs), maka tindakan orang-orang itu dapat menghasilkan elaborasi dalam tatanan struktural dan kultural pula (di T4). Kepentingan tertentu dalam bagian ini adalah kenyataan bahwa dalam prosesnya agensi itu sendiri bisa diubah. Dalam konteks sistem Pilkada, hal itu terjadi ketika agensi penyelenggara (KPUD) diberi peran 113
Archer, 1995, halaman 209. Archer,1995, halaman 191.
114
Praksis Demokrasi yang Rumpang 48
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
khusus untuk menunjukkan independensinya. Jadi munculnya identitas sosial terkait erat dengan sifat yang muncul dari struktur sosial dan kultural dimana ia beroperasi. Atau dalam istilah Archer, munculnya “diri sosial” kita adalah sesuatu yang terjadi pada antar-muka “struktur dan agensi”. Oleh karena itu hubungannya tentu relasional, sehingga sifat independen kekuasaan harus diberikan kepada “struktur dan para-agen”.115 Archer berpendapat bahwa orang tidak membuat ulang (instantiate) struktur dalam setiap contoh interaksi, melainkan hanya mereproduksi atau mengubah apa yang sudah ada. Artinya, agen mempertahankan atau mengubah sesuatu yang temporal sebelum suatu kegiatan ada.116 Inilah sebabnya mengapa historisitas interaksi sosial perlu diperhatikan ketika kita menjelajahi perubahan sosial. Dengan demikian dari perspektif morfogenesis, politik demokratis dapat dilihat sebagai sebuah sistem makna, dimana seseorang aktor memahami rasionalitas berkekuasaan di ranah publik sebagai peluang memanfaatkan dukungan orang banyak sedemikian rupa untuk mendukung kepentingannya meraih kekuasaan. Namun seperti diargumentasikan oleh Archer, kita tidak dalam posisi bebas menentukan identitas posisi kita, 117 namun bukan berarti tidak bisa merekayasa perubahan status. Contohnya, dengan siasat politik, bisa saja seseorang aktor ‘menciptakan’ status untuk dirinya, dan dengan status tersebut boleh jadi memperlancar ambisinya meraih kekuasaan. Hal itu secara empiris dapat diilustrasikan pada kasus kandidat yang semula ‘bukan siapa-siapa’ tetapi kemudian sangat diperhitungkan pada saat kontestasi politik berlangsung, karena yang bersangkutan pandai menciptakan peluang dan memposisikan diri dalam momen yang tepat. Dalam pemahaman Archer, setiap subyek manusia itu, saat memulai hidup dijerat oleh struktur masyarakatnya dan nilai-nilai kulturalnya. Hal itu terjadi begitu saja, tanpa disadari, dan tak dapat diubah. Seseorang menjadi bagian dari sistem sosiokulturalnya sebagai konsekuensi dari kelahirannya, dan itulah yang dimaksudkan Archer sebagai “primary agents” atau “orang sebagai manusia pribadi”. Dan inilah yang diidentifikasikan Archer sebagai awal posisi 115
Lihat Archer, 2000, halaman 255. Archer, 1995, halaman 71 dan 168. 117 Lihat Archer, 2000, halaman 10. 116
Praksis Demokrasi yang Rumpang 49
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
(T1) dalam siklus morfogenesis. Sedangkan yang dimaksud dengan “corporate agents” adalah mereka (agen-agen) yang dapat menunjukkan kemampuan kuasanya sebagai anggota masyarakat yang berpengaruh karena identitas sosial mereka. Archer berargumen bahwa ihwal yang turut menentukan posisi corporate agents itu termasuk juga kesadaran diri individual, kelompokkelompok kepentingan, gerakan sosial, dan perkumpulan-perkumpulan. 118 Karena itu istilah ‘corporate agents’ itu barangkali cukup bermakna apabila diterjemahkan sebagai orang-orang yang eksis di ranah publik sesuai dengan status pekerjaannya, dan punya “kuasa” dengan status pekerjaannya itu, misalnya pegawai pemerintah, karyawan perusahaan, atau bahkan aparatur keamanan seperti tentara dan polisi. Dalam analogi semacam itulah mestinya dapat dipahami bagaimana peran aktor, dan para-agen yang punya status sosial, dalam skenario perubahan struktur yang mungkin terjadi di ranah publik. Dalam dunia politik, kelompok konstituen adalah “primary agents” yang mendapatkan hak politik untuk memilih para aktor (kandidat) yang difasilitasi oleh para elit (“corporate agents”) yang menguasai partai politik ⎯ dalam arti ‘agensi’ ⎯ untuk bertarung dalam kontestasi politik. Dalam kerangka perubahan sistem politik, para elit dan aktor itulah yang paling berperan dalam perubahan, karena mendapatkan status sosial untuk fungsi sosial tersebut. Dengan demikian, siklus morfogenesis yang ditampilkan sebagai sebuah proses perubahan, dapat menjelaskan bagaimana dinamika sebuah realitas. Intinya adalah, penting sekali untuk memahami nilai-nilai baru apa saja yang muncul dalam struktur, kultur dan perilaku para-agen. Dalam kaitan itu boleh jadi struktur merupakan komponen utama dari perubahan yang dimediasi oleh para-agen sehingga perubahan itu terjadi; dan yang terpenting, kultur mestinya dapat merefleksikan kondisi-kondisi yang memungkinkan perubahan itu terjadi.
6.3. Asumsi-asumsi Teoritis Mengikuti pembayangan Archer, signifikansi pendekatan morfogenesis itu
membutuhkan
sejumlah
asumsi
teoritis
yang
mesti
dipenuhi.
118
Archer, 2000, halaman 265.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 50
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Diargumentasikan bahwa struktur itu ada karena adanya tindakan-tindakan yang dilakukan oleh agen. Tindakan-tindakan yang dilakukan oleh itu dapat mempengaruhi perubahan karakter pada struktur yang lama ⎯ dinyatakan sebagai hubungan internal dan penting antara beragam obyek sosial, yakni kekuatan-kekuatan yang menciptakan struktur tersebut. Namun, obyek dimaksud juga memiliki hubungan eksternal dan tidak pasti, yang berarti bahwa eksistensinya tidak tergantung pada hubungan-hubungan tersebut. Karena itu, dibutuhkan konsep-konsep yang dapat menjembatani dan menjelaskan: (1) bagaimana struktur mempengaruhi agen, dan (2) bagaimana agen pada gilirannya memberikan reaksi untuk mereproduksi atau mengubah struktur. Karakter-karakter struktural baru sebenarnya dapat menggunakan pengaruh-pengaruh struktural yang diperantarai oleh orang-orang yang memahami situasi atau konteksnya, dalam pengertian bahwa mereka dapat memberikan tanggapan atas situasi yang mereka hadapi. Dengan kata lain, pemanfaatan kekuasaan-kekuasaan struktural itu tergantung pada sambutan mereka dan bagaimana manfaatnya bagi mereka yang tergabung dalam kekuasaan tersebut. Karena karakter struktural baru itu pada mulanya tergantung sumberdaya material, ia selanjutnya diikuti oleh perubahan pada komponen-komponen struktural lainnya seperti teori-teori, kepercayaankepercayaan, nilai-nilai atau hubungan-hubungan di antaranya. Hubunganhubungan antara komponen itu dalam siklus morfogenesis dirumuskan sebagai “nilai-nilai kultural baru” (cultural emergent properties). Karena itu struktur dapat didekati dengan cara yang sama ketika menganalisis kultur. Kultur memiliki sasaran yang nyata dan sifat-sifatnya juga merujuk pada dunia gagasan, kepercayaan, dan teori-teori. Komponen-komponennya sebenarnya tergantung pada orang-orang yang mengaku tahu, bersetuju, atau menggunakan hak-hak mereka.119 Seperti halnya struktur, kultur juga dibedakan dari agensi dan digambarkan sebagai produk dari hasil interaksi dengan agen-agen. Perbedaan ini dibuat didasarkan pada fakta adanya logika hubungan antara komponen-komponen kultur, sebagai faktor yang menyebabkan terjadinya 119
Archer, 1995, halaman 181.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 51
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
hubungan antar agen tersebut.120 Hubungan sebab musabab itu sebenarnya tidak pasti, karena mereka mungkin berhubungan, tetapi bisa juga tidak, tergantung
pada
bagaimana
hubungan
internal
yang
terjadi
apakah
menganggap penting (atau tidak) perubahan-perubahan nilai-nilai kultural yang ada. Dalam hal ini nilai kultural sebenarnya merujuk pada hubungan logika antara komponen-komponennya tatkala interaksi sosiokultural merujuk pada hubungan saling mempengaruhi antara agen-agen yang melakukan tindakan. Barangkali tidak langsung, namun dampak perubahan struktural dan kultural itu dimediasi oleh para-agen. Itulah sebabnya agen dipandang sebagai pihak yang bertanggung jawab atas terjadinya kejadian yang mengubah struktur, dan tidak sekadar dalam peran mediasi. Namun, mediasi itu pun penting atas terjadinya morfogenesis (atau morfostasis), karena di situlah sebenarnya lokasi yang menunjukkan adanya hubungan antara struktur dan agensi. Persoalannya kemudian adalah, bagaimana caranya mengaplikasikan pendekatan morfogenesis yang berkaitan dengan peran agen ⎯ dalam hubungan agensial ⎯ sebagai mediator perubahan dalam masyarakat politik.121 Persoalan tersebut menjadi penting, karena pendekatan morfogenesis ingin diaplikasikan untuk menganalisis obyek penelitian politik, yakni praksis demokrasi di ranah lokal. Dalam penelitian politik data yang dibutuhkan untuk menganalisis fenomenanya adalah bukti-bukti yang berkaitan “fakta sosial” 120
Archer, 1995, halaman 179. Agensi pada umumnya merujuk pada tingkat mikro atau aktor manusia individual. Namun sebenarnya konsep agensi ini dapat merujuk kepada kolektivitas (makro). Pada level makro, aktor manusia diasumsikan dapat merefleksikan ‘tindakan kolektif’ dalam tindakannya. Sebaliknya, struktur yang berada di level makro, juga dapat merefleksikan kondisi mikro. Dengan melihat struktur, kita bisa memahami bagaimana tindakan individual dalam masyarakat atau kelompok masyarakat tertentu (lihat George Ritzer, 2011. Sosiological Theory, halaman 224-5). Oleh karena itu, hendaknya dibedakan antara agensi individual (individual agency), yang merupakan sebutan lain dari agensi manusia (human agency) dengan agensi politik (political agency). Agensi politik mungkin berpotensi dilaksanakan oleh eksponen lain selain individu manusia ⎯ yang dalam pemahaman Archer, bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok agen (Archer, 1995. Realist Social Theory: The Morphogenetic Approach, halaman 257-8). Oleh karena itu, dalam ranah politik dapat dibayangkan agensi antara lain melekat pada ‘masyarakat politik’ (civil society), yang mencakup elit dan politisi, atau bisa dimaknai pula sebagai kelembagaan-kelembagaan yang berkaitan dengan eksistensi anggota masyarakat tertentu dalam relasi kekuasaan yang melibatkan mereka. (Lihat dan bandingkan dengan Kay Lehman Schlozman, et.al., 2012. The Unheavenly Chorus: Unequal Political Voice and Broken Promise of American Democracy, halaman 297. Lihat dan bandingkan juga dengan Lea Ypi, 2012. Global Justice and Avant-Garde Political Agency, halaman 2-5).
121
Praksis Demokrasi yang Rumpang 52
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
yang terjadi dalam masyarakat politik. Dalam kaitan itu aktivitas agensial tidak terbatas hanya pada agensi manusia (human agency) sebagai individu, tetapi juga dalam lingkup agensi politik (political agency),
122
yang dalam
pemahaman Archer bisa dilakukan oleh kelompok-kelompok agen. 123 Saya menyadari bahwa pendekatan morfogenesis Archer cenderung unik dan spesifik peruntukannya untuk analisis sosial. Namun saya ingin mengikuti pendapat Elder-Vass, bahwa upaya mengaplikasikan pendekatan tersebut untuk obyek penelitian lain menjadi mungkin apabila kita mengadakan perubahan kecil dalam hal perspektif analisis dengan cara meninggalkan agenda teoritis yang utuh.124 Dengan mengadaptasi model morfogenesis Archer (Gambar 1.1), dalam penelitian ini diajukan asumsi-asumsi teoritis sebagai berikut: 1) Bahwa penerapan sistem politik demokratis mestinya didukung oleh proses penyiapan kondisi kultural, selain dibutuhkannya rekayasa struktural berupa perubahan aturan perundang-undangan yang lebih canggih dan kompatibel dengan situasi mutakhir; 125 122
Per definisi, agensi politik adalah lembaga yang eksistensinya berkaitan dengan kepemilikan “kekuatan untuk membawa perubahan yang efektif dalam kehidupan kolektif” (Elder-Vass, 2010. The Causal Power of Social Structures. (Cambridge University Press). Halaman 88). 123 Lihat Archer, 1995, halaman 257-8. 124 Kita tidak perlu mengubah klaim bahwa agen konstitutif terhadap struktur; dalam pengertian bahwa ia adalah kompatibel sempurna dengan ontologi emergentis untuk berpendapat bahwa struktur terdiri dari agen-agen, sehingga agen sebagai bagian yang inheren dalam struktur dan agen memiliki struktur berdasarkan pengetahuan mereka. Dalam konteks itu, pengetahuan memiliki peran sentral dalam interaksi struktur dan agensi dalam mengimplementasikan, mereproduksi, dan mengubah struktur sosial (Lihat Elder-Vass, 2010, halaman 108-112). 125 Secara konvensional dipahami bahwa faktor-faktor sosial yang mempengaruhi perilaku manusia dikenal sebagai struktur sosial. Tetapi bagi kalangan fungsionalis, seperti Archer, struktur lebih cenderung didefinisikan sebagai gagasan yang diterima begitu saja. Aturanaturan yang dirumuskan dan diberi ekspresi verbal sebagai kanon hukum, aturan-aturan birokratis, aturan-aturan permainan dan sebagainya merupakan kodifikasi interpretasi atas aturan-aturan, bukannya aturan-aturan itu sendiri. Sehingga Lopez dan Scott, misalnya, menggambarkan struktur sosial sebagai ‘pengertian penting yang sulit dipahami’ (Lihat Jose Lopez and John Scott, 2000. Social Structure, halaman 1). Lagipula, dipandang dari sudut praktik demokrasi politik, struktur sosial itu tidak bisa dipisahkan dengan struktur ekonomi dan politik (Lihat David A. Crocker, 2008. Ethics of Global Development: Agency, Capability, and Deliberative Democracy, halaman 77-8). Oleh karena itu, saya ingin berpendapat bahwa aturan main yang telah diakui, disepakati, dan dijadikan acuan berperilaku bagi masyarakat politik dapat dikategorikan sebagai salah satu kodifikasi interpretasi struktur. Secara formal, salah satu sumber aturan main itu bisa berasal dari Undang-Undang bentukan rezim yang
Praksis Demokrasi yang Rumpang 53
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
2) Bahwa struktur kontestasi politik yang merupakan panduan aturan main kontestasi, mestinya memberikan pengaruh kausal pada interaksi sosial yang dilakukan para-agen (dan aktor); 3) Bahwa interaksi sosial yang terjadi di antara para-agen (dan aktor) dapat mengembangkan lebih lanjut komposisi struktur kontestasi politik menjadi lebih baik. Meskipun asumsi teoritis di atas tidak dimaksudkan sebagai dasar untuk hipotesis penelitian, namun jikalau sekiranya asumsi teoritis itu bisa teraktualisasi dalam hubungan struktur-agensi, maka niscaya skenario kontestasi politik Pilkada Langsung akan bisa terwujud sebagaimana diharapkan (intended). Dengan mengoperasionalkan pendekatan morfogenesis itu (mestinya) dapat ditelusuri sebab musabab yang menjadi isu besar penelitian ini, dan jawaban atas pertanyaan penelitian dapat dijelaskan. 6.4. Penjelasan Alternatif Penelitian disertasi ini dilakukan di bawah asumsi bahwa, ada hal-hal yang tersembunyi di balik kasus-kasus kerumpangan dan banalitas politik yang diperagakan oleh kelompok elit. Hal yang tersembunyi itu boleh jadi agak sulit terlacak dalam penelitian yang bersifat etik (etic approach) berbasis pada ”uji teori”. Keterbatasan itu secara teoritis bisa diatasi apabila penelitian tentang kerumpangan politik yang merefleksikan banalitas politik itu selain dilakukan dengan pendekatan etik juga secara emik (emic approach).126 Dalam konteks penelitian ini, sekurang-kurangnya ada lima perkara yang mestinya dapat dijelaskan secara emik. Pertama, mengapa rakyat pemilik suara seolah-olah “tidak siap” untuk berdemokrasi ⎯ yang ditunjukkan antara lain ketika mereka cenderung gampang tersulut konflik horisontal lantaran perbedaan pendapat yang dipicu pilihan politik, sementara nilai-nilai demokrasi itu sebenarnya memuliakan perbedaan pendapat. Kedua, mengapa rakyat di lapis bawah berkuasa, terlepas dari persoalan apakah rezim dimaksud berkecenderungan memuliakan nilai-nilai demokrasi atau malah anti-demokrasi. 126 Pendekatan etik dan emik dikenal dalam penelitian antropologi budaya, dan kadangkala dua pendekatan itu digabungkan karena masing-masing punya kelebihan dan kekurangannya (Lihat misalnya Conrad Kottak, 2009. Mirror for Humanity. [McGraw-Hill, New York], halaman 53).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 54
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
seringkali jadi korban perseteruan antar-kelompok dalam kasus kontestasi politik, padahal perseteruan itu terutama dipicu oleh para elit yang bertengkar dan bersikukuh dengan kepentingannya masing-masing. Ketiga, mengapa aktor kandidat cenderung mengakomodir tindakan melanggar aturan main demi menghindari kekalahan dalam kontestasi politik, seakan-akan ia menjadi satusatunya pilihan rasional bagi aktor yang ingin menang dalam sebuah kontestasi politik. Keempat, mengapa para elit lokal dan tokoh masyarakat di daerah tertentu seperti tidak merasa terganggu dengan kondisi laten berupa kerumpangan politik demokratis, yang sebenarnya menegasikan maksud baik diskenariokannya demokratisasi di ranah lokal melalui mekanisme Pilkada Langsung. Kelima, mengapa partai politik tidak mampu memberikan kontribusi peran yang signifikan atas hadirnya pola kontestasi politik yang beradab, yang diukur dari perannya mencegah konflik horisontal sebagai akibat dari adanya praktik saling-mencurangi di antara para kontestan dalam proses kontestasi politik. Dalam perspektif demokrasi lokal, kelima perkara itu mestinya dapat dijelaskan secara akademis. Melalui penelitian ini, jawaban atas pertanyaan tersebut ingin dijelaskan berdasarkan fakta empiris yang telah terkonstruksi secara obyektif. Oleh karena itu penelitian ini ingin menunjukkan sisi lain bahwa kelompok elit dan aktor politik tidaklah mungkin melakukan suatu tindakan yang menyimpang dari norma sosial, atau bertentangan dengan preferensi masyarakat yang diharapkan dukungannya. Bahwasanya aktor bisa terperangkap banalitas dalam memahami preferensi masyarakat adalah satu hal. Bahwa ada kemungkinan aktor cenderung memanipulasi preferensi masyarakat untuk kepentingan politiknya adalah satu hal yang lain lagi. Hal yang dianggap penting untuk digarisbawahi adalah, mestinya ada aspek struktural yang mengerangkai tindakan para aktor, sehingga tindakan politiknya yang ‘paling menyimpang dari norma sekalipun’ adalah suatu keniscayaan belaka.127 Oleh karena itu diyakini bahwa, kalaulah kerumpangan 127
Dari pendekatan strukturalis kita dapat memahami relevansi dari perdebatan politik ala Marx ini. Sebagai contoh, strukturalis Marxis berpendapat bahwa tindakan manusia dan pilihannya ditentukan oleh kelas. Masyarakat terdiri dari suprastruktur, dan apa yang bisa kita sebut masyarakat sipil mencakup hal-hal seperti pendidikan, seni dan budaya dan substruktur
Praksis Demokrasi yang Rumpang 55
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
politik terjadi, yang dipicu oleh tindakan kelompok elit, seperti misalnya merebaknya praktik politik uang dalam kontestasi Pilkada Langsung, niscaya hal itu didasarkan pada justifikasi struktur nilai yang berlaku; walaupun pada titik itu barangkali preferensi nilai yang dipahami oleh si pelaku berbeda dari pemaknaan normatif. Di sisi lain, kalau praktik politik uang dilakukan oleh banyak orang, apalagi dilakukan sebagai bagian dari kehidupan dan kulturalnya, maka bagi para pelakunya tindakan tersebut niscaya dianggap sesuatu hal yang benar adanya. Artinya, perlu cara baru untuk mendudukkan persoalan, dan menyikapinya sedemikian rupa, sehingga rasionalitas para aktor yang melakukan praktik tersebut bisa dimengerti. Juga perlu dipertanyakan lebih jauh, karena alasan atau pertimbangan apa sajakah sehingga para aktor yang terlibat dalam proses demokratisasi ⎯ bukan hanya calon Kepala Daerah saja, melainkan juga para pemilih dan eksponen lain ⎯ cenderung akomodatif terhadap hal itu. Pasalnya, berbagai norma yang biasanya ditabukan oleh pengusung skenario demokrasi ternyata sesuatu hal manifes dalam kehidupan masyarakat. Para pengusung skenario demokrasi menyebutkan adanya banyak ‘kecurangan politik’, termasuk didalamnya praktik ‘politik uang’, untuk meraih kemenangan dalam suatu kontestasi politik adalah bukti dari hal itu. Sampai di sini bisa dikatakan bahwa pemberlakuan aturan normatif yang disediakan ternyata tidak mudah dipraktikkan. Namun kalau kita memposisikan diri sebagai warga masyarakat yang terikat pada nilai-nilai setempat dan standar kepantangan yang berlaku, tindakan yang dikatakan menyimpang itu boleh jadi juga masuk akal (make sense). Di sinilah ditemukan adanya dua lapis banalitas. yang merupakan bahan dan basis ekonomi. Marx berpendapat bahwa substruktur mendefinisikan superstruktur; yang menjelaskan pandangan strukturalis pada deterministik masyarakat dan budaya. Kedua tingkat masyarakat ini, menurut Marx, dikendalikan oleh kelas penguasa. Orang membuat sejarah mereka sendiri, tetapi tidak dalam keadaan yang mereka pilih sendiri. Marcuse, misalnya, berpendapat bahwa kita tidak hidup dalam masyarakat bebas, tapi terikat pada satu dimensional tertentu. Tidak ada kebebasan, hanya reproduksi pandangan dari kelas penguasa (lihat Herbert Marcuse, 2007. One-Dimensional Man. (Routledge, London and New York). Lihat juga Herbert Marcuse and Douglas Kellner, 1998. The New Left and the 1960s: Collected Papers of Herbert Marcuse. (Routledge, New York), terutama halaman 63 dan 169).
Praksis Demokrasi yang Rumpang 56
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Pertama, banalitas praktis. Dalam hal ini para elit politik, atau seseorang kandidat [dan siapa pun, tanpa kecuali], bisa saja terjebak pada ‘banalitas politik’. Karena ketidakjelasan aturan, khususnya ambivalensi antara ketentuan elektoral dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat, para kandidat terstruktur untuk mengambil solusi pragmatis. Karena kemenangan dalam kontestasi politik adalah nilai tertinggi yang mereka usung, maka kepatuhan pada aturan main sejauh apapun hendak dipatuhi tetap berada dalam urutan kedua. Untuk apa seseorang patuh pada aturan main, kalau yang kontestan lainnya tidak patuh, dan pilihan idealis untuk bermain politik sesuai ketentuan normatif itu akhirnya justru menghantarkan pada kekalahan. Sungguh pun demikian, banalitas politik secara umum dapat dicermati sebagai tindakan elit politik yang cenderung abai pada aturan main politik normatif; atau tindakan memanipulasi aturan main seolah-olah mengutamakan nilai-nilai sosial yang adiluhung padahal justru sebaliknya; dan atau suatu tindakan yang memberikan kesan seolah-olah menunjukkan kemuliaan politik yang bermartabat padahal sebenarnya tidak. Kedua, banalitas teoritis. Manakala Pilkada Langsung dibayangkan sebagai sebuah skenario demokratisasi di ranah lokal, maka pilihan pragmatis tersebut di atas sejauh ini tidak terantisipasi. Dalam kesulitan mengantisipasi ini lalu tersirat pemahaman bahwa di Indonesia sedang berlangsung suatu ‘anomali’. Ada banyak sinyalemen yang menunjukkan bahwa pelembagaan demokratisasi melalui Pilkada Langsung justru diikuti dengan stigmatisasi terhadap Pilkada Langsung itu sendiri. Anomali dimaksud tidak bisa diukur sebagai sebuah realitas sosial yang ajeg, karena ia menyangkut berbagai macam latar kepentingan yang spesifik namun abstrak, seperti misalnya ambisi berkuasa. Sinyalemen tentang terjadinya banalitas biasanya berangkat dari telaah yang berfokus pada aktor. Sedangkan pilihan para aktor pada dasarnya terkondisikan oleh tatanan struktural yang ada, yang didukung oleh kultur yang manifes dan diakui oleh masyarakat. Ada struktur yang membuka kesempatan (opportunity structure) yang mengerangkai pilihan-pilihan dan cara aktor untuk terlibat dalam kontestasi politik. Ada norma yang dibungkus dengan Praksis Demokrasi yang Rumpang 57
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
kultur yang memberikan ‘perlindungan’ bagi segenap anggota masyarakat, termasuk aktor politik, untuk berperilaku. Karena itu saya mengambil sikap, penelitian ini tidaklah memadai kalau mengesampingkan dimensi struktural dan analisis kultural yang membingkai proses demokratisasi di Indonesia. Khusus menyangkut praktik politik uang, dalam penelitian ini tidak ingin dipersoalkan lagi, karena ia sudah terperi: mengapa ia ada dan alasan mengapa ia dipraktikkan oleh para pihak. Banyak penelitian lain sudah menjelaskan hal itu, sehingga dianggap tidak perlu lagi untuk dicari penjelasan ilmiahnya. Yang ingin dicermati secara seksama dalam penelitian ini adalah mengapa praktik politik uang itu dapat diterima (atau lebih tepatnya barangkali “dipraktikkan”) dalam lingkungan masyarakat yang religius, padahal di sisi lain praktik tersebut mungkin bertentangan dengan kaidah-kaidah normatif. Untuk menguji tesis itu secara empiris, dalam penelitian ini dianggap perlu untuk melihat kasus bagaimana praktik politik uang di lingkungan masyarakat yang diketahui memuliakan norma dan nilai-nilai agama dalam interaksi sosial warga masyarakatnya. 7. Metode Penelitian 7.1. Pendekatan Penelitian untuk disertasi ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan realis, karena saya sepaham dengan Archer, bahwa ada banyak hal yang tidak sah secara teoritis sebelum ditentukan kebenarannya berdasarkan penyelidikan empiris. Pendekatan realis mengasumsikan sistem terbuka dan model generatif sebab-akibat dimana hasil dari aktivasi mekanisme — dalam penelitian ini adalah sistem Pilkada Langsung — selalu tergantung pada konteks yang spesifik. Suatu kebijakan selalu bekerja melalui persepsi dan pilihan aktor, dan apakah orang merespon dengan tepat tergantung pada banyak situasi yang mungkin bervariasi dalam (dan di antara) konteks tertentu. Oleh karena itu, bertentangan dengan tampilan standar penelitian evaluasi — yang biasanya menekankan aspek pentingnya aplikasi mekanik dari alat-alat standar untuk menguji relevansi pengetahuan dan fenomena kongkrit yang
Praksis Demokrasi yang Rumpang 58
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
sedang dipelajari dari penelitian sebelumnya128 — pendekatan realis ini lebih menekankan pentingnya upaya memahami subyek dalam konteks pengetahuan ilmiah sebagai hal yang krusial ditambah dengan aplikasi-aplikasi penelitian tertentu.129 Asumsi sistem terbuka yang dianut dalam pendekatan realis ini mengacu pada pemikiran Bhaskar tentang realisme transendental, 130 yang mencoba menggambarkan pertautan antara dunia alam dan sosial, yang kemudian dijadikan payung untuk memahami realisme kritis. Konsep sistem terbuka adalah kebalikan dari sistem tertutup. Dalam sistem tertutup, hukum universal dipahami sebagai adanya “......rangkaian peristiwa yang cenderung konstan”.131 Namun, penelitian ilmu sosial diyakini berlangsung dalam sistem terbuka dimana sebagian besar peristiwa tidak bisa diprediksi secara deduktif. Peristiwa (sosial) terjadi karena pengaruh berbagai sebab, sehingga tidak dapat, atau sekurang-kurangnya sulit, untuk memprediksi akibat yang muncul (exante) dari mekanisme yang sebenarnya terjadi. Dalam sejumlah peristiwa 128
Bandingkan dengan Ray Pawson & Nick Tilly, 1997. Realistic Evaluation. (Sage Publications Ltd, London), terutama halaman 56-7, yang menjelaskan penelitian evaluasi dalam perspektif pendekatan realis dengan rumus: keteraturan = mekanisme+konteks. Keteraturan adalah sasaran yang ingin dicapai, yang diukur dari upaya yang dilakukan untuk memperkenalkan ide-ide yang tepat (mekanisme) untuk kelompok sasaran yang terperangkap dalam kondisi sosial dan budaya yang sesuai (konteks). Dalam hal itu keseimbangan mekanisme, konteks dan keteraturan untuk mempertahankan tatanan sosial sesungguhnya rentan terhadap perubahan yang menyebabkan terjadinya pembentukan (kembali) tatanan sosial yang baru. Hal itu bisa terjadi karena, dalam sistem sosial diyakini bahwa orang-orang membuat sejarah meskipun tidak dalam kondisi yang mereka pilih sendiri. Artinya, orang-orang sering menyadari pilihan saluran kegiatan mereka, dan menyadari kekuatan sosial yang lebih luas dapat membatasi kesempatan mereka. Kesadaran ini akan menghasilkan, paling tidak pada beberapa orang tertentu, keinginan untuk mengubah pola (halaman 72). 129 Lihat Andrew Sayer, 2000. Realisme and Social Science, halaman 23. 130 Realisme transendental mencoba menetapkan posisi bahwa dalam rangka untuk mengambil tempat dalam penelitian ilmiah, obyek penyelidikan harus merupakan fenomena yang nyata, yang dimanipulasi dengan mekanisme internal yang diaktualisasikan untuk menghasilkan temuan tertentu. Hal itu berlawanan dengan klaim para ilmuwan empiris, bahwa semua ilmuwan dapat mengamati hubungan antara sebab dan akibat, dan memaksakan makna. Sementara empirisme, dan umumnya posivitisme, menemukan hubungan sebab akibat di tingkat kejadian. Realisme kritis menempatkan mereka pada tingkat mekanisme generatif, dengan alasan bahwa hubungan kausal yang tereduksi ke konjungsi empiris yang menyebabkan terjadinya hubungan konstan antara peristiwa yang tidak mencukupi untuk membangun hubungan kausal (lihat Margareth Archer, R. Bhaskar, A. Collier, T. Lawson & A. Norrie, 1998. Critical Realism: Essential Readings. (Routledge, London). Lihat juga Roy Bhaskar, 2008. A Realist Theory of Science. (Routledge, London). 131 Bhaskar, 2008, halaman 14.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 59
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
“....mesti dianggap sebagai sederet kejadian (“conjunctures”).132 Dengan kata lain, setiap peristiwa tidak dapat dilaporkan sebagai (adanya) korelasi antara variabel independen atau yang setara dengan variabel independen, atau diidentifikasikan sebagai sederet peristiwa atomistik yang konstan. Mereka dianalisis sebagai kecenderungan dari hal-hal, dimana peristiwa-peristiwa tidak selalu dapat direalisasikan menurut aturan hukum yang semestinya.133 Metodologi morfogenesis dapat diposisikan dalam koridor pendekatan realis karena ia bekerja dengan analisis dualisme untuk menunjukkan batas interaksi pengkondisian struktural dan elaborasi struktural secara terus menerus, sesuai dengan urutan pokok masalahnya. Argumen dasar analisis dualisme adalah bahwa, ada hubungan logis di antara ide-ide tempat agen dalam situasi khas yang memberikan kondisi pengambilan keputusan strategis mereka. Upaya agensial untuk menghadapi situasi ini mungkin dari waktu ke waktu menunjukkan perubahan permanen ke dalam sistem. Analisis dualisme ini memungkinkan analis sosial untuk melacak bagaimana dua tingkat saling mempengaruhi dari waktu ke waktu. Pendekatan morfogenesis bertujuan untuk mengumpulkan faktor struktur, kultural dan agensi di bawah payung konseptual yang sama dan melengkapi ilmuwan sosial dengan alat analisis yang cocok untuk bergulat dengan mereka semua. Keberanian teoritis tersebut adalah karakteristik dari tubuh-pikiran yang dikenal sebagai teori sistem umum, di mana model morfogenesis dikembangkan. kerangka
analitis
yang
134
Pendekatan morfogenesis merupakan
memberikan
pedoman
untuk
memilih
dan
mengembangkan konsep-konsep teoritis dan metode investigasi. Dengan demikian, pendekatan morfogenesis adalah pertama dan terutama dimaksudkan sebagai alat praktis untuk mengarahkan dan mengembangkan pengetahuan kita tentang masyarakat.135 132
Bhaskar, 2008, halaman 119. Hal itu juga berarti, “….. kriteria untuk pilihan teori, dengan prinsip tersebut, (harus) punya kemampuan menjelaskan secara eksklusif, daripada prediktif”. (Lihat William Outhwaite, 1983. Toward a Realist Perspective, dalam G. Morgan, Beyond Method: Strategy for Social Reserch. (Sage Publications, Beverly Hills), halaman 325). 134 Lihat Archer 1996, halaman 274. 135 Archer 1995, halaman 5-6. 133
Praksis Demokrasi yang Rumpang 60
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Secara teknis, pendekatan realis untuk memahami gejala banalitas politik yang diduga menjadi sebab munculnya hal yang tidak diharapkan dalam praksis demokrasi politik ini dirancang menggunakan metode campuran (mixed methods),
136
berbasis pada metode penelitian non-reaktif 137
⎯ yang
mengandalkan data dokumen tertulis dan arsip.138 Dari perspektif penelitian realis, metode campuran itu serupa dengan yang dibayangkan kelompok realis empirik
sebagai
“metode
triangulasi”
⎯
yang
secara
metodologis
dimaksudkan untuk memperdalam dan memperluas pemahaman [peneliti] atas obyek penelitian. 139 Dalam metode ini, fakta empiris dianggap penting sebagai dasar untuk analisis konstruktif, dan ia juga sekaligus diposisikan mampu menafsirkan realitas sebagaimana adanya. Karena itu fakta tidak mesti dipertentangkan (atau disesuaikan) dengan teori, tetapi teori dituntut harus mampu menjelaskan realitas yang tersembunyi di balik fakta sesuai dengan kenyataannya. 7.2. Kasus Penelitian Sebagai obyek pengamatan, penelitian ini mengambil kasus Pilkada Langsung Provinsi Kalimantan Selatan yang dilaksanakan pada tahun 2005 dan 2010, khususnya dalam rangka pemilihan Gubernur.140 Pelaksanaan Pilkada campuran (mixed methods) adalah campuran antara metode kualitatif dan kuantitatif, atau sebaliknya (Bryman, 2001. Social Research Methods. Halaman 20). Tetapi bisa juga dipahami sebagai suatu metode yang merujuk pada penelitian multi-strategi, yang merupakan implikasi dari aplikasi sejumlah strategi penelitian yang berhubungan dengan sejumlah pertanyaan penelitian dan desain penelitian yang kompleks (Lihat Julia Brannen, 1992. Mixing Methods: Qualitative and Quantitative Research. Ashgate Publishing Limited, Aldershop). Sebagai perbandingan lihat John Creswell, 2009. Research Design, Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approach. Sage Publications Inc., London). 137 Lihat Abbas Tashakkori & Charles Teddlie (eds), 2010. Handbook of Mixed Methods in Social and Behavioral Research. [Edisi Bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Pustaka Pelajar, Yogyakarta], halaman 571-598). 138 Dalam konteks Pilkada Langsung, dokumen tertulis dan arsip itu diperoleh dari lembaga penyelenggara (KPUD) dan lembaga-lembaga pemerintah lainnya. Tetapi untuk mendukung analisis emik, yang menggambarkan fenomena sosial aktual, saya lebih banyak mengandalkan berita yang dimuat dalam berbagai surat kabar lokal dan nasional yang telah terkonfirmasi dengan sumber berita lainnya. 139 Lihat Wendy Olsen, 2004. “Methodological Triangulation and Realist Research: An Indian Exemplar”, dalam B. Carter and Caroline New (eds). Realism and Empirical Research. (Routledge [Taylor & Francis], London). 140 Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan (tahun 2005 dan 2010) sebenarnya meliputi pemilihan Gubernur dan sekaligus pemilihan Kepala Daerah di 5 Kabupaten dan 2 Kota. 136 Metode
Praksis Demokrasi yang Rumpang 61
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Langsung Kalimantan Selatan itu diambil sebagai kasus penelitian karena empat alasan obyektif. Pertama, Kalimantan Selatan adalah termasuk kelompok daerah yang pertama kali melaksanakan Pilkada Langsung di Indonesia pada tahun 2005,141 sehingga KPUD setempat tidak punya referensi tentang bagaimana menyelenggarakan sebuah Pilkada Langsung yang efektif. Demikian pula dengan masyarakat yang dilibatkan sebagai kelompok pemilih, mereka boleh jadi awam dengan sistem pemilihan Kepala Daerah itu. Dalam kondisi seperti itu, menarik untuk dikaji, bagaimana Kalimantan Selatan bisa melaksanakan Pilkada Langsung dengan cukup baik, yang diukur dari minimnya catatan pelanggaran dan sengketa yang terjadi ketika itu. Kedua, Pilkada Langsung di Kalimantan Selatan, terutama pada tahun 2010, cukup kaya dengan kasus-kasus yang menggambarkan sejumlah kontroversi kontestasi, termasuk kasus-kasus ‘pelanggaran’ aturan main Pilkada Langsung. Kasus pelanggaran Pilkada Langsung tersebut patut untuk dikaji, mengapa ia marak terjadi; dan mengapa fenomena itu tidak muncul ke permukaan pada tahun 2005. Ketiga, dalam pengamatan saya selama pelaksanaan Pilkada Langsung, baik penyelenggaraan tahun 2005 maupun tahun 2010, masyarakat yang tinggal di Kalimantan Selatan sebenarnya punya kecenderungan tidak begitu hirau dengan gagasan demokrasi politik, tetapi mereka tetap antusias untuk berpartisipasi dalam perhelatan politik semacam Pilkada Langsung. Di satu sisi, cukup banyak fakta sosial yang bisa ditangkap bahwa partisipasi politik kelompok masyarakat itu sebenarnya ‘ikut-ikutan’ belaka karena berbagai alasan yang sifatnya rasional. Di sisi lain, salah satu faktor yang mendorong keterlibatan kalangan masyarakat awam dalam perhelatan Pilkada Langsung itu karena adanya peran Tuan Guru ⎯ sebagai pemimpin spiritual tradisional. Meskipun dinamika politik pemilihan Gubernur tidak bisa dipisahkan dengan dinamika politik dalam rangka memilih Bupati dan Walikota di 7 Kabupaten/Kota, tetapi fokus analisis dalam penelitian ini hanya dibatasi pada ihwal yang relevan dengan kontestasi politik pemilihan Gubernur saja. 141 Di Indonesia, daerah pertama menyelenggarakan Pilkada Langsung adalah Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur, yakni pada tanggal 1 Juni 2005. Menurut jadwal yang disusun KPU, semula Pilkada Langsung Kalimantan Selatan direncanakan dilaksanakan tanggal 5 Juni 2005, tetapi kemudian ditunda atas permintaan KPUD menjadi tanggal 30 Juni 2005 karena alasan teknis persiapan penyelenggaraan.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 62
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Seperti salah satu pokok permasalahan dalam penelitian ini, adalah isu menarik untuk mengetahui bagaimana respon masyarakat yang agamis ⎯ dalam hal ini komunitas etnis Banjar di Kalimantan Selatan ⎯ terhadap sistem pemilihan Kepala Daerah yang dalam beberapa hal cenderung terpraktikkan dengan kondisi rumpang. Keempat, dalam perkembangan mutakhir, terutama pada Pilkada Langsung tahun 2010, ada kemunculan entitas baru yang diam-diam hadir berperan penting dalam Pilkada Langsung Kalimantan Selatan, yaitu seseorang yang berperilaku bagai patron bagi kontestan, tetapi bukan dalam kaidah hubungan diadik patron-klien konvensional. Entitas itu adalah para pengusaha batubara yang kaya raya, dan dalam penelitian ini identifikasikan sebagai “bohir politik” ⎯ karena dia menjadi penyandang dana bagi kandidat tertentu. Dua fenomena terakhir itu, yakni peran Tuan Guru dan keterlibatan bohir politik, kiranya perlu penjelasan akademis, karena belum terjelaskan dari sejumlah penelitian yang telah dipublikasikan. Kasus Pilkada Langsung Kalimantan Selatan itu tentu saja tidak dimaksudkan untuk dijadikan generalisasi isu Pilkada Langsung di Indonesia. Namun, ada tiga hal yang kiranya patut menjadi alasan mengapa kasus Pilkada Langsung Kalimantan Selatan itu mestinya dapat dijadikan sebagai ‘contoh Indonesia’. Pertama, aturan main untuk Pilkada Langsung Kalimantan Selatan berlaku sama untuk seluruh Indonesia, dengan lembaga penyelenggara (KPUD) yang juga tidak berbeda sistem organisasinya karena konsiderasi hukumnya sama. Kedua, penduduk yang bermukim di Kalimantan Selatan dan terlibat sebagai kelompok pemilih dalam Pilkada Langsung adalah bagai ‘miniatur Indonesia’ yang pluralis, baik dalam hal kelompok etnis yang beragam jumlahnya (meskipun didominasi etnis Banjar dan Jawa), atau bermacam agama yang dipeluk warga masyarakatnya (meskipun didominasi Islam). Ketiga, secara empirik, dinamika politik lokal di Kalimantan Selatan sebenarnya merupakan ‘bagian dari’ dinamika politik nasional yang tak pernah sepi dari konflik laten dan adanya persekongkolan para elite politik untuk meraih kekuasaan. Friksi dan faksi politik di tingkat nasional niscaya memberikan imbas terhadap dinamika politik lokal, meskipun tidak harus Praksis Demokrasi yang Rumpang 63
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
sebaliknya. Bahkan ketika konflik politik terjadi di ranah lokal, resolusi konfliknya hampir selalu diselesaikan oleh pihak-pihak yang memegang otoritas di tingkat Pusat. 8. Struktur Analisis Analisis penelitian ini dimulai dengan menyajikan sejarah perubahan sistem pemilihan Kepala Daerah, sebagai bagian dari dinamika perubahan demokrasi politik di Indonesia. Analisis Bab 2 ini memfokuskan perhatian pada kekuatan nilai-nilai struktural sebagai proses pengkondisian struktural yang mendasari proses interaksi para aktor dengan agensi politik dalam pergelaran kontestasi politik. Bab 2 ini juga merupakan gambaran adanya perubahan struktural dilihat dari analisis morfogenesis. Bab 3 adalah penjelasan tentang dinamika politik di ranah lokal, yang senantiasa tidak bisa dipisahkan dari karakter kultural yang menjadi penanda masyarakat setempat, baik menyangkut sentimen kedaerahan maupun wahamwaham politik yang menyertainya. Pada bab ini juga disajikan kasus yang pernah terjadi, dan spesifik berciri lokal, sehubungan dengan adanya relasi diametral antara elit dan massa. Dari perspektif analisis morfogenesis, Bab 3 ini merupakan titik awal pengkondisian kultural dalam konteks demokratisasi, jikalau skema morfogenesis berlangsung sebagaimana yang diharapkan. Bab 4 menggambarkan dinamika sosial politik yang terjadi pada penyelenggaraan Pilkada Langsung Kalimantan Selatan tahun 2005. Analisis yang dimuat pada Bab 4 itu menyangkut realitas sosial yang berkaitan dengan penilaian kandidat atas potensi dukungan politik yang mungkin akan diterimanya dari kelompok masyarakat. Karena itu, analisis pada bab ini lebih banyak menyangkut perihal bagaimana aktor mendayagunakan sumberdaya kekuatan nilai-nilai kultural yang dipahaminya, sebagai logika tindakan aktor yang dihasilkan dari adanya pemahaman hubungan logis antara gagasan kultural yang membuat logika situasional tertentu. Bab 4 ini diharapkan dapat menjelaskan bagaimana interaksi sosial dan kultural sebagai proses morfogenesis, dengan contoh bagaimana kontestan memahami kekuatan nilainilai kulturalyang dapat dimanfaatkan untuk tujuan politiknya. Praksis Demokrasi yang Rumpang 64
Bab 1. Melacak Praksis Banal dalam Berdemokrasi
Bab 5 formatnya agak mengulang isu di Bab 4, tetapi dengan kasus Pilkada Langsung Kalimantan Selatan tahun 2010. Pada bab ini juga dianalisis bagaimana para aktor kandidat menyikapi potensi kekuatan nilai-nilai kultural dalam konteks mencari dukungan publik. Tetapi berbeda dengan Pilkada Langsung tahun 2005, para aktor kandidat dipercaya lebih rasional dalam menyikapi peluang dan tantangan politik yang dihadapinya, sebagai keputusan strategis yang diambil dari kondisi aktual yang ada. Pada Bab ini diasumsikan dapat terjelaskan bagaimana elaborasi kultural dan struktural sebagai hal yang diharapkan, atau malah berimplikasi pada hal-hal yang tidak diharapkan. Sedangkan pada Bab 6 adalah bagian diskusi untuk menjelaskan aspek teoritis dinamika politik demokratis dalam kaitan struktur kontestasi dan faktor-faktor dominan yang mempengaruhinya. Dalam diskusi tersebut juga dibahas bagaimana para-pihak menerima dan menyikapi perubahan sistem dalam konteks redistribusi sumberdaya. Tetapi aspek terpenting dari diskusi pada bab ini adalah, bagaimana hasil penelitian yang ditelaah dari perspektif morfogenesis dapat menjelaskan mengapa pelembagaan kontestasi yang (seharusnya) berpijak pada prinsip-prinsip demokrasi ternyata tidak terwujud sebagaimana yang diharapkan. Pada bab ini akan ditujukkan variabel-variabel struktural apa yang sebenarnya tidak berubah. Dan sebagai Bab Penutup adalah Bab 7, yang terdiri dari sub-bab Kesimpulan dan Pertanggungjawaban Studi. Pertanggungjawaban Studi dianggap penting disampaikan dalam Bab Penutup, karena ia merupakan pernyataan subyektif dari peneliti tentang apa kegunaan dari penelitian ini.
Praksis Demokrasi yang Rumpang 65