BAB 1 PENDAHULUAN
I.1 LATAR BELAKANG MASALAH Proses perkembangan terhadap wacana tentang Pemilihan Kepala Daerah terus mengalami perkembangan dari sejak tahun 1945 hingga saat ini. Hal ini terbukti dengan keluarnya berbagai produk hukum diantaranya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1948, Penetapan Presiden Nomor 6 Tahun 1959, Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1965, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 dan diperbaharui dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan diperbaharui lagi dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 1. Reformasi telah membawa perubahan dalam Pemilihan Kepala Daerah dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Otonomi Daerah. Undangundang tersebut merupakan bagian dari paket liberalisasi politik yang dilakukan pemerintahan Presiden B.J. Habibie, yang terkesan dibuat terburu-buru disaat isu desentralisasi begitu meluas dan menjadi wacana publik. Trauma terhadap pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah masa Orde Baru, yang ditandai dengan intervensi pusat secara berlebihan, menjadi semangat pembuat Undang-Undang. Ihwal epala daerah diatur dalam Pasal 34 sampai Pasal 40 Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 yang secara tegas memuat ketentuan-ketentuan mengenai tugas, fungsi dan kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam pelaksaan Pemilihan Kepala Daerah. Ketentuan lebih rinci tentang Pemilihan Kepala Daerah tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 151/2000 tentang
1
Joko J. Prihatmoko, Pemilihan Kepala Daerah Langsung, Jakarta :LP3M, 2005. hal, 19.
Universitas Sumatera Utara
tata cara pemilihan, pengesahan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah. Kepala daerah dipilih oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Sebagaimana tertuang dalam Pasal 34 Ayat (1) yang menyebutkan bahwa : “Pengisian jabatan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui pemilihan secara bersama.” Selanjutnya pada ayat (2) dikatakan: “Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah ditetapkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah melalui tahapan pencalonan dan pemilihan.”
Berdasarkan PP No. 151 Tahun 2000, tahapan-tahapan itu terdiri dari (1) pendaftaran bakal calon; (2) penyaringan bakal calon; (3) penetapan pasanan calon; (4) rapat paripurna khusus; (5)
pengiriman berkas pengiriman; (6) pelantikan. Semua
tahapan itu dirancang agar Kepala Daerah terpilih adalah benar-benar seorang pemimpin yang mumpuni, yaitu memnuhi kualifikasi administrasif yang disyaratkan, mengenal dan dikenal oleh masyarakat daerah, memiliki kompetensidan kapabilitas memimpin daerah serta visi, misi dan strategi membangun daerah 2. Kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 22 Tahun 1999 sangat sentral. Tafsir dari bunyi Pasal 34 tersebut adalah bahwa siapapun yang memperoleh suara mayoritas secara otomatis akan mendapatkan posisi sebagai Kepala Daerah. Pemerintah pusat bertugas hanya mengesahkan hasil yang telah diputuskan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Hal itu dipertegas Pasal 40 yang berbunyi “Pasangan Calon Kepala Daerah dan Calon Wakil Kepala Daerah yang memperoleh
2
Ibid
Universitas Sumatera Utara
suara terbanyak pada pemilihan,…, ditetapkan sebagai Kepala Daerah dan Wakil Kepala daerah oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan disahkan oleh Presiden 3.” Ketentuan persyaratan Kepala daerah diatur sedemikian rupa (Pasal 33) dan tetap membuka kemungkinan penilaian politis oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah karena mekansme pemilihan melalui
fraksi (alat partai). Dibandingkan dengan persyartan
dalam Undang-undang Nomor 4 Tahun 1975, persyaratan dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 lebih sederhana dan terukur. Sedangkan masa jabatan ditetapkan 5 tahun. Dalam Pasal 41 dikatakan: “Kepala Daerah mempunyai masa jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali hanya untuk masa jabatan 4.”
Adapun ketentuan mengenai pemberhentian terdapat dalam Pasal 49 sampai Pasal 54.
Pada prinsipnya,
kewenangan Dewan
Perwakilan Rakyat
Daerah untuk
memberhentikan Kepala Daerah sangat besar. Pada tingkat alas an pemberhentian yang paling banyak mendapat sorotan adalah butir g Pasal 49 berbunyi :” mengalami krisis kepercayaan publik yang luas akibat kasus yang melibatkan tanggung jawabnya, dan keterangan atas kasus itu ditolak oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.” Pada tingkat lain, terkait pertanggungjawaban yang tertuang dalam Pasal 46 ayat (1) sampai (3) . Pada ayat (3) disebutkan: “Bagi kepala daerah yang pertnggungjawavabannya ditolak untuk kedua kalinya, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dapat mengusulkan pemberhentiannya kepada Presiden 5.” Pemilihan Kepala daerah secara langsung adalah salah satu mekanisme baru dalam proses politik di Indonesia. Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah)
3
Ibid,hlm. 69 Ibid, hlm. 68 5 Loc. Ctl.hlm 69 4
Universitas Sumatera Utara
langsung merupakan salah satu bentuk dinamika demokratisasi lokal di Indonesia. Konsep yang ditawarkan Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) langsung adalah sebuah mekanisme yang melibatkan masyarakat secara langsung dalam memilih kepala daerahnya 6. Dipilihnya sistem Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) secara langsung menandai popularitas paradigma demokrasi parsitipatoris dan sekaligus surutnya popularitas paradigma demokrasi representasi (demokrasi perwakilan) atau pemenangan para penganjur demokrasi masa terhadap demokrasi elit. Artinya, Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) langsung melengkapi pembaharuan sistem politik kontemporer hasil reformasi politik dan hukum ketatanegaraan. Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, baik Gubernur dan Wakil Gubernur maupun Bupati/Walikota dan Wakil Bupati/ Walikota, secara langsung oleh rakyat merupakan perwujudan pengembalian hak-hak dasar rakyat dalam memilih pemimpin di daerah. Dengan demikian masyarakat memiliki kesempatan dan kedaulatan untuk menentukan pemimpin daerah secara langsung, bebas dan rahasia tanpa intervensi (otonom, seperti mereka memilih lembaga eksekutif maupun wakil-wakilnya dalam lembaga legislatif). Dasar hukum pelaksaaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara langsung ( Pemilihan Kepala Daerah )langsung adalah Undang-Undang No.32/2004 tentang pemerintah daerah. Adapun petunjuk pelaksanannya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.6/2005 tentang tata cara pemilihan, pengesahan, pengangkatan, dan pemberhentian Kepala Daerah. Oleh sebab itu, dapat dikatakan bahwa Undang-Undang No.32/2004 merupakan produk perundangan pertama dalam sejarah 6
Ibid, hlm. 98
Universitas Sumatera Utara
politik Indonesia yang mengatur Pemilihan Kepala Daerah (Pemilihan Kepala Daerah) langsung. Pemilihan Kepala Daerah yang merupakan pemilihan langsung baru untuk pertama kali diselenggarakan di Kabupaten Karo dalam pemilihan bupati periode 20052010. Perubahan sistem Pemilihan Kepala Daerah secara langsung ini memungkinkan masyarakat untuk menentukan siapa figur yang akan memimpin di daerahnya. Dengan Pemilihan Langsung ini masyarakat akan mempunyai preferensi terhadap calon-calon yang diusung partai politik. Preferensi itu sendiri dapat diartikan…………………. Masyarakat itu sendiri tidak dapat melepaskan faktor etnisitas di dalam menentukan/ melihat preferensi terhadap calon-calon Kepala Daerah yang bersaing di dalam Pemilihan Kepala Daerah secara Langsung tersebut. Dengan demikian perilaku politik ada kaitannya dengan etnisitas. Ada tiga hal yang melatarbelakangi pemilihan pokok penelitian atau pengkajian ini: Pertama, Perilaku politik dari sesuatu masyarakat dipengaruhi dan mempunyai hubungan dengan etnisitas/kesukubangsaan, karena etnisitas itu menjadi salah satu unsur pembentuk perilaku politk, selain masih ada faktor-faktor yang lain, seperti pengaruh luar melalui difusi dan akulturasi, pendidikan, perubahan sosial dan lain-lain. Namun bagi bangsa Indonesia faktor etnisitas itu dalam kehidupan politik sampai sekarang masih menjadi salah satu yang termasuk terpenting. Kesadaran akan etnisitas masih cukup besar dan berpengaruh dalam kehidupan individu atau perorangan maupun dalam kehidupan kelompok atau masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
Kedua, Pemilihan Kepala Daerah secara langsung baru untuk pertama kalinya diselenggarakan di Berastagi. Sebelumnya sebagaimana halnya di seluruh Indonesia, kepala Daerah tidak dipilih secara langsung. Hal tersebut menarik untuk diteliti untuk mengetahui kesiapan masyarakat di dalam melaksanakan demokrasi langsung. Ketiga, Pemilihan perilaku etnis Batak Toba didasarkan pada pertanyaan bagaimanakah berlakunya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik dalam Pemilihan kepalan daerah langsung yang calonnya semua dari golongan etnis lain. Salah satu perwujudan dari etnistas dapat ditemukan sebagai budaya politik. Di Indonesia sesuai dengan kemajemukan sukubangsa terdapat budaya politik dari kehidupan politik yang beraneka ragam, Maka dapat dilihat bahwa setiap etnis maupun daerah mempunyai ciri-ciri atau corak khas tertentu yang membedakan antara satu dengan yang lainnya. Dan setiap etnis yang ada di Indonesia tersebut mempunyai pola dan sistem budaya masing-masing yang mempengaruhi struktur dan sistem masyarakat dan politiknya sebagaimana yang dapat dlihat dari contoh-contoh berikut 7 1. Sistem kemasyarakatan suku Nias: Pada masa sebelum kedatangan orang Belanda (1669), orang Nias terpecah-pecah menjadi beberapa kesatuan setempat yang disebut ori (negeri). Tiap ori merupakan gabungan dari beberpa banua (desa), dan tiap banua diperintah oleh seorang salawa (Kepala Desa). Pada jaman Belanda, semua ori di seluruh Nias dan pulau-pulau sekitarnya dipersatukan menjadi Afdeeling Nias dibawah seseorang asisstent resident. Para tuhenori masih dipertahankan oleh Belanda untuk mengurusi ori-ori. Sejak jaman kemerdekaan Afdeeling Nias dijadikan salah satu kabupaten dari Propinsi Sumatra Utara. Kabupaten Nias, pada masa ini
7
Koentjaraningrat (ed.), Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan [1971] 1982 h. 48-50, 58-63, 110-112, 337-339 dan 250-254.
Universitas Sumatera Utara
terdiri dari 13 kecamatan, yang masing-masing dipimpin oleh seorang asisstent wedana. Tiap kecamatan terdiri dari beberapa banua (desa) yang masing-masing diketuai oleh seorang salawa. 2. Sistem Kemasyarakatan Suku Mentawai: Pada masyarakat Mentawai Lama ada seorang tokoh yang disebut rimata adalah terutama memelihara bangunan uma memelihara benda-benda keramat dalam uma, mengorganisasi, mengatur, dan memimpin upacara-upacara serta aktivitas-aktivitas sosial yang bersangkut paut dengan kesatuan uma. Dalam pekerjaannya, seorang rimata dibantu oleh dua orang pembantu. Dengan berkurangnya aktivitas kehidupan sosial yang berpusat kepada uma, maka uma bukan lagi berfungsi sebagai pusat keramat, dan demikian fungsi rimata sebagai tokoh keramat dalam masyarakat menjadi hilang. Sejakk tahun 1954 tidak ada lagi rimata di Pagai dan Sipora. Pada masa sekarang kesatuan administratif terkecil dalam masyarakat pedesaan di Mentawai adalah rukun tetangga, yang kirakira sama dengan apa yang dulu merupakan kesatuan uma dengan rumah-rumah disekelilingnya dibawah seorang rimata. Sekarang hanya ada seorang kepala RT. Sejumlah RT tergabung menjadi satu kampung di bawah seorang kepala kampung, sedangkan sejumlah kampung-kampung merupakan satu kecamatan. Seluruh Mentawai merupakan satu daerah dibawah seorang Kepala Nagari, yang pangkatnya sama dengan bupati. 3. Sistem kemasyarakatan suku Batak Karo: Kepemimpinan di bidang pemerintahan dipegang oleh salah seorang turunan tertua merga taneh. Kepala Kuta disebut pengulu, kepala urung disebut raja urung atau sibayak untuk bagian kerajaan. Kedudukan-kedudukan tersebut merupakan turun-temurun dan yang berhak ialah
Universitas Sumatera Utara
anak laki-laki tertua (sintua) atau bungsu (singuda). Anak laki-laki yang lain (sintengah) tidak mempunyai hak menggantikan jabatan pimpinan, kecuali kedua anak laki-laki itu tidak ada lagi atau tidak mampu. Selain daripada menjalankan pemerintahan sehari-hari kepala dalam pemerintahan itu juga melakukan tugas peradilan, yaitu penghulu mengetuai sidang di bale kuta dan raja urung mengetuai bale urung. Pengadilan tertinggi ialah bale raja berempat yang merupakan sidang dari kelima sibayak yang ada di tanah Karo. Kepemimpinan dalam bidang pemerintahan ini terdapat pada zaman sebelum tahun 1946. 4. Sistem kemasyarakatan Suku Jawa: secara administratif, suatu desa di Jawa disebut kelurahan atau dikepalai oleh seorang lurah. Sekelompok dari 15 sampai 25 desa merupakan suatu kesatuan administratif yang disebut kecamatan dan dikepalai oleh seorang pegawai pamong praja yang disebut camat. Di dalam melaksanakan tugasnya sehari-hari kepala desa dengan pembantu-pembantunya yang semuanya disebut pamong desa, mempunya dua tugas pokok, ialah tugas kesejahteraan desa dan tugas dari penduduk desa sendiri, dengan ketentuan-ketentuan bagi calon yang dipilih dan memilih. Dengan adanya peraturan daerah yang berlaku atau yang disahkan untuk misalnya Yogyakarta dan sekitarnya, dalam tiap-tiap kelurahan dibentuk Dewan Perwakilan Rakyat Kelurahan, yakni suatu badan yang merupakan wakil dari rakyat untuk rakyat. Organisasi pemerintahan tersebut yang sekaligus menjadi badan pimpinan mencakup dari rakyat desa, mewajibkan lurah untuk mengangkat pembantu-pembantu. Adapun pembantu-pembantu itu adalah (1) carik, yang bertindak sebagai pembantu umum dan penulis desa, (2) sosial yang memelihara kesejahteraan penduduk baik rohani maupun jasmani, (3) Kemakmuran, yang
Universitas Sumatera Utara
memepunyai kewajiban memperbesar produksi pertanian, (4) Keamanan, yang bertanggung jawab atas ketentraman lehir dan batin penduduk desa, (5) Kaum, yakni yang mengurus soal-soal nikah, talak, dan rujuk, dan kegiatan-kegiatan keagamaan, juga soal-soal kalo ada kematian. 5. Sistem kemasyarakatan suku Minangkabau: Kecuali kelompok-kelompok kekerabatan seperti paruik, kampueng dan suku, masyarakat Minangkabau tidak mengenal organisasi-organisasi masyarakat yang bersifat adat yang lain. Demikian instruksiinstruksi dan aturan pemerintah, soal administratif masyarakat pedesaan, seringkali disalurkan kepada penduduk desa melalui penghulu suku atau penghulu andiko. Sebuah suku disamping mempunyai seorang penghulu suku, juga mempunyai seorang dubalang atau manti. Dubalang bertugas menjaga keamanan sebuah suku, sedangkan manti berhubungan dengan tugas-tugas keamanan. Adapun kampueng tidak perlu kita perhatikan benar, karena tidak seluruh daerah di Minangkabau mempunyai pembagian kampueng sebagai kesatuan yang lebih kecil daripada suku. Dari contoh yang terdapat dalam kehidupan suku-sukubangsa di Indonesia di atas dapat disimpulkan adanya kemajemukan atau keragaman struktur dan sistem kemasyarakatan dan politik. Struktur dan sistem kemasyarakatan dan politik itu merupakan dua bentuk perwujudan etnisitas yang dalam skripsi ini menunjukkan masingmasing sukubangsa mempunyai sistem politik sendiri yang akan mempengaruhi perilaku politiknya. Kalau diperhatikan lebih mendalam dan lebih seksama lagi kenyataan kehidupan politik suku-sukubangsa itu berkaitan pula dengan jenis dan intensitas pengaruh yang diserapnya. Ada yang menyerap pengaruh Hindu atau Islam atau Barat yang tinggi
Universitas Sumatera Utara
intensitasnya, ada yang kurang atau sangat sedikit dan ada pula yang tidak memperoleh pengaruh luar sama sekali. Kehidupan politik Jawa, misalnya, mendapat pengaruh Hindu dan Islam yang sangat intensif, Bali pengaruh Hindu yang intensif, Aceh, Melayu dan Minangkabau pengaruh Islam yang intensif, sejumlah sukubangsa di Papua, terutama yang masih terisolir, tidak mendapat pengaruh luar. Etnisitas merupakan faktor penting dalam perilaku pemilihan umum di Indonesia. Kelompok etnis mempunyai peranan besar dalam membentuk sikap, persepsi, dan orientasi seseorang. Adanya rasa kesukuan atau kedaerahan mempengaruhi dukungan seseorang terhadap partai politik. Etnis dapat mempengaruhi loyalitas seseorang terhadap partai tertentu. Di Indonesia secara relatif terdapat kesetiaan etnis (Ethnic loyalty) yang relatif tinggi dan bahwa partai politik Indonesia dipengaruhi oleh etnisitas. 8 Kesetiaan etnis di Indonesia masih tampak signifikan dan pengabaian faktor etnis dapat menimbulkan kesalahpahaman mengenai politik di Indonesia. Maka dapat dikatakan hal diatas menunjukkan adanya pengaruh etnisitas terhadap perilaku politik seseorang. Kajian berupa penelitian mengenai perilaku politik etnis pernah dilakukan oleh Profesor.R.Willian Liddle. 9 Dimana Liddle melakukan penelitian tentang tingkah laku politik di sebuah daerah di Sumatera Utara yaitu Kabupaten Simalungun dan Pematang Siantar sebagai kota utamanya. Dalam penelitian ini Liddle mencoba mengaitkan analisa makronya tentang tingkah laku politik lokal dengan apa yang kelihatan makro di tingkat nasional.
8
Leo Suryadinata, Penduduk Indonesia, Etnis dan Agama dalam Era Perubahan Politik, Jakarta:LP3ES, 2003, hal.182 9 R.William liddle, Partisipasi dan Partai Politik di Indonesia Pada Awal Orde Baru, Jakarta:PT.Pustaka Utama Gtafiti, 1992, hal.22-81
Universitas Sumatera Utara
Di Kabupaten Simalungun dan Kota Pematang Siantar Liddle menemukan hubungan-hubungan antara partai lokal dengan kelompok Agama, budaya, etnis. Dimana pada waktu itu rakyat Indonesia sangat mendambakan partai-partai yang akan mewakili kepentingan mereka yang bersifat primordial. Dari hasil penelitiannya Liddle mengetahui bahwa proses perkembangan Simalungun dan Kota Pematang Siantar menjadi daerah dan kota perkebunan sejak zaman colonial Belanda telah turut membedakannya dari sebagian besar daerah atau kota lain di Indonesia. Perbedaan etnis diikuti pula oleh perbedaan agama yang mereka peluk serta lapangan pekerjaan yang menjadi sumber mata pencaharian mereka sehari-hari. Semua perbedaan diatas yaitu perbedaan etnis, agama, pekerjaan, menjurus pula pada perbedaan organisasi sosial atau partai politik yang mereka pilih atau ikuti10. Dan Liddle menyimpulkan bahwa primordialisme dan partai di Indonesia bagaikan zat dan sifatnya. Yang pertama merupakan kenyataan-kenyataan sosial budaya, dan yang kedua adalah ekspresi alamiahnya di bidang politik. Kenyatan-kenyataan yang ditemukan menimbulkan pertanyaan bagaimana hubungan ataupun pengaruh etnisitas, khususnya struktur masyarakat dan politiknya kepada perilaku politik dari masyarakat sukubangsa itu dalam kehidupan politik sekarang yang dalam skripsi ini dipusatkan pada pemilihan kepala daerah. Pertanyaan itu sangat relevan mengingat politik aliran 11 masih menyatakan dirinya dalam perilaku atau tindakan politik di Indonesia. Dan politik aliran itu masih terwujud dalam adanya organisasi atau partai politik sektarian. Hal ini dapat kita lihat pada kecenderungan pada
10
Alfian, Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia, Jakarta:PT.Gramedia Pustaka Umum, 1992), hal 201. 11 Clifford Geertz, The History of An Indonesian Town.
Universitas Sumatera Utara
pemilihan partai terhadap suatu etnis tertentu, dimanasalah satu contohnya etnis suku Karo mempunyai kecenderungan terhadap partai PDI- Perjuangan. Apa yang dikemukakan diatas berlaku pula dalam perilaku politik individu atau perorangan. Perilaku politik perorangan dipengaruhi oleh lingkungan sosial, budaya dan politiknya, malah dapat juga ditemukan pengaruh lingkungan ekonomi. Oleh karena itu pemahaman mengenai lingkungan-lingkungan itu diperlukan dalam upaya memahami perilaku politik perseorangan. i.2. PERUMUSAN MASALAH Sesuai dengan uraian yang terdapat dalam latar belakang, maka permasalahan dari skripsi ini ialah: 1. Bagaimanakah pengaruh etnisitas dalam menentukan pilihan seseorang di dalam Pemilihan. 2. Berkaitan dengan permasalahan (1) adalah permasalahan “bagaimanakah pengaruh etnisitas Batak Toba di Berastagi dalam menentukan pilihan dalam pemilihan kepala daerah pada tahun 2005 yang lalu. i.3. RUANG LINGKUP PENELTIAN. Adapun yang dijadikan ruang lingkup penelitian oleh penulis adalah sebagai berikut: 1. Penelitian hanya dilakukan pada etnis Batak Toba yang telah berhak memilih dalam Pemilihan Kepala Daerah secara langsung Kabupaten Karo 2004 yang telah berusia 17 tahun ke atas atau yang sudah menikah. 2. Organisasi dan partai politik yang dimasuki oleh orang Batak Toba di Kabupaten Karo. 3. Peranan pemuka pembentukan pendapat
Universitas Sumatera Utara
I.4. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN. I.4.1 Tujuan Penelitian. 1. Mengeksplorasi seberapa besar suara pemilih etnis batak Toba terhadap PILKADA kabupaten Karo tahun 2005. 2. Untuk menjelaskan secara umum perilaku politik dari etnis Batak Toba dalam kaitannya dengan pilihan calon bupatinya pada Pilkada Karo tahun 2005. I.4.2 Manfaat Penelitian. 1. Bagi penulis, memperkaya khasanah ilmu pengetahuan tentang politik, terutama dalam menganalisis perkembangan politik yang ada dalam masyarakat. 2. Bagi akademis dapat dijadikan sebagai pengembangan teori dalam ilmu politik dan prilaku pemilih. 3. Bagi lembaga-lembaga pemerintahan daerah
khususnya lembaga yang berkaitan
dengan Pemilihan Umum dapat dijadikan bahan referensi dalam memahami perilaku politik dalam Pemilihan Umum I.5. KERANGKA TEORITIS. Setiap penelitian memerlukan kejelasan titik tolak atau landasan berpikir dalam memecahkan atau menyoroti masalahnya “. 12 Kejelasan atau landasan berpikir itu disebut teori. Teori diperlukan karena menjadi penuntun dalam menentukan bahan-bahan yang diperlukan dan yang dikumpulkan melalui penelitian. Selain daripada itu teori juga berfungsi sebagai alat analisis terhadap bahan-bahan yang diperoleh melalui penelitian. Teori adalah serangkaian konsep, definisi dan preposisi untuk menerangkan suatu fenomena sosial secara sistematis dengan cara merumuskan hubungan antar konsep 13.
12 13
Hadari Nawawi, Metode Penelitian Sosial, Yogyakarta, Gajah Mada University Press, 2001, hal 39. Masri Singarimbun dan sofian effendi, Metode Penelitian Survei, Jakarta, LP3ES, 1989, hal 37
Universitas Sumatera Utara
I.5.1. Etnis etnis dapat dipahami melalui pengertian dari etnis tersebut secara umum. Menurut Em Zul Fajri dalam Kamus Lengkap Bahasa Indonesia bahwa etnis berkenaan dengan kelompok sosial dalam sistem sosial atau kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Sedangkan menurut Ariyuno suyono dalam Kamus Antropologi Pressindo Jakarta, tahun 1985, bahwa etnis adalah hal yang mempunyai kebudayaan tersendiri. Kelompok etnis adalah suatu kesatuan budaya dan territorial yang tersusun rapi dan dapat digambarkan ke dalam suatu peta etnografi. Setiap kelompok memiliki batas-batas yang jelas untuk memisahkan antara satu kelompok etnis dengan etnis lainnya. Menurut koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga 14. Sukubangsa yang sering pula disebut etnik atau golongan etnik mempunyai tanda-tanda atau ciri-ciri karakteristiknya. Ciri-ciri tersebut terdiri dari: 15 1. Setiap sukubangsa yang ada di Indonesia mempunyai wilayah sendiri. Hak memiliki itu diperoleh dari
para pendahulu yang dianggap sebagai pemilik pertama atau
terdahulu. Selain mereka tiadalah yang berhak. Wilayah yang dimiliki itu penting
14
Koentjaraningrat, loc.cit Payung Bangun, Sistem Sosial Budaya Indonesia. Jakarta: Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UKI, 1998, hal 63 15
Universitas Sumatera Utara
sekali oleh karena merupakan “jaminan” keabsahan dan kebenaran keanggotaan sukubangsa 2. Sukubangsa mempunyai struktur politik sendiri berupa tata pemerintahan
dan
pengaturan kekuasaan yang ada. Suku bangsa-suku bangsa mempunyai sistem hirarki kekeuasaan yang telah terumus sejak lama dan diikuti sebagai sesuatu yang “suci”; mempunyai pembagian wilayah kekuasaan atau pemerintahan dari yang terkecil hingga yang terluas; mempunyai peraturan untuk setiap kehidupan yang tertuang dan terkumpul sebagai norma dan kebiasaan ( adat ). 3. Adanya bahasa sendiri yang menjadi alat komunikasi dalam interaksi. Bahasa tersebut selain mempunyai fungsi sebagai alat komunikasi dalam interaksi sekaligus juga ditanggapi sebagai indentitas sukubangsa. Bahasa sukubangsa hingga sekarang masih dipakai dalam interaksi antara anggota sukubangsa, khususnya di dalam acara dan upacara kesukubangsaan, seperti upacara perkawinan, kematian, dan lain-lain, di tempat-tempat umum tertentu, seperti pasar setempat, warung-warung dan lain-lain. 4. Sukubangsa mempunyai seni sendiri, seperti seni tari dan lagu lengkap dengan alatalatnya, susastra lisan atau tulisan berupa cerita rakyatatau yang lain, mempunyai seni ragam hias (ornamentasi) dengan pola khas sendiri dan lain-lain. 5. Sukubangsa mempunyai seni dan teknologi arsitektur serta penataan pemukiman. Berbagai bentuk rumah dan bangunan lain dapat ditemukan menunjukkan kekhasan arsitektur masing-masing sukubangsa. 6. Sukubangsa mempunyai sistem filsafat sendiri yang menjadi landasan pandangan, sikap dan tindakan. Filsafat tersebut terdapat sebagai kandungan kebudayaannya dan banyak yang merupakan nilai yang menjadi pokok orientasi mereka.
Universitas Sumatera Utara
7. Sukubangsa mempunyai sistem religi (kepercayaan, agama) sendiri Etnisitas secara substansial bukan sesuatu yang ada dengan sendirinya tetapi keberadaannya terjadi secara bertahap. Etnisitas adalah sebuah proses kesadaran yang kemudian membedakan kelompok kita dengan mereka. Basis sebuah etnisitas adalah berupa aspek kesamaan dan kemiripan dari berbagai unsur kebudayaan yang dimiliki, seperti misalnya ada kesamaan strukutur sosial, bahasa, upacara adat, akar keturunan, dan sebagainya. Berbagai ciri kesamaan tersebut, dalam kehidupan sehari-hari tidak begitu berperan dan dianggap biasa. Namun, dalam situasi tertentu, kesadaran laten ini bisa mengental dan mengedepan. Dalam kaitan itu, etnisitas menjadi persyaratan utama bagi munculnya strategi politik dalam membedakan “kita” dengan “mereka”. 16 Etnisitas mempunyai tiga dimensi yang berbeda yaitu horizontal, vertical, dan intensitas datau kedalamannya. Dalam dimensi horizontal, etnisitas bisa menjadi strategi untuk memperoleh keuntungan politik dan ekonomi. Dan sebagai pembatas sosial yang membedakan kita dengan mereka. Kemudian sebagai kreativitas kultural. Dalam dimensi Horizontalnya, etnisitas tidak mengandung hirarki antar etnis, atau memiliki pandangan merendahkan etnis lain. Etnisitas sekedar digunakn sebagai alat untuk melegitimasi tuntutan perolehan sumber daya yang semakin langka atau digunakan untuk memperkukuh posisi dalam persaingan dengan individu lain. Dalam dimensi vertikal etnisitas diwarnai predikat negatif seperti rendah diri, terbelakang, sempit, dan sejenisnya. Sedangkan dimensi berikutnya menunjuk pada kedalamannya. Intensitas dari ketegangan kepentingan nasional sentralistik dan etnik-regionalistik akan mengamnil dua bentuk yang belawanan yaitu perpecahan antar etnik dan kekeyaaan kultural. 17
16 17
Ivan.A.Hadar. “Etnisitas dan Negara Bangsa”. Kompas, 29 mei 2000. Ivan.A.Hadar. ibid.
Universitas Sumatera Utara
Ada dua pendekatan terhadap identitas etnik yaitu pendekatan objektif (structural) dan pendekatan subjektif (fenomenalogis). Perspektif objektif melihat sebuah kelompok etnik sebagai kelompok yang bisa dibedakan dari kelompok-kelompok lainnya berdasarkan ciri-ciri budayanya seperti bahasa, agama, atau asal-usul kebangsaan. Sedangkan perspektif subjektif merumuskan etnisitas sebagai suatu proses dalam mana orang-orang mengalami atau merasakan diri mereka sebagai bagian dari suatu kelompok etnik dan diidentifikasi denikian oleh orang-orang lain. Dan memusatkan perhatiannya pada keterikatan dan rasa memiliki. 18 Menguatnya identitas kesukuan mempunyai berbagai konsekuensi. Dua jenis konsekuensi antara lain pertama, adalah menjauhkan diri atau bahkan keluar dari tatanan negara bangsa dan kedua adalah berusaha mendudukkan orang sesuku dalam pemerintahan negara-bangsa, hal ini dapat kita lihat dalam realitas kehidupan sehari-hari di dalam jajaran pemerintahan dari pusat hingga ke daerah dimana para pejabat lebih senang mendudukkan orang di sekitarnya dalah orang yang seetnis atau sedaerah dengannya. I.5.2. Pendekatan-pendekatan perilaku Politik Menurut Dennis Kavanagh, 19 untuk menganalisis perilaku pemilih
dapat
digunakan lima pendekatan, yaitu: 1. Pendekatan Struktural, kita dapat melihat kegiatan pemilih ketika memilih partai sebagai produk dari konteks struktur struktur yang luas, seperti struktur sosial masyarakat, sistem kepartaian, sisitem Pemilu dan program-program yang ditonjolkan
18
Deddy Mulyana, Komunikasi Antar Budaya, (Bandung: PT.Reaja Rosdakarya, 1998), hal.152
19
Muhammad Asfar, Beberapa Pendekatan Dalam Memahami Perilaku Memilih, Jurnal Ilmu Politik edisi no. 16, Jakarta, PT.Gramedia Pustaka Utama, 1996, hal 47-48.
Universitas Sumatera Utara
partai-partai peserta Pemilu. Dalam model ini, tingkah laku seseorang termasuk di dalam penentuan pilihan ditentukan perngelompokan sosial, agama, bahasa, dan etnis/suku. 2. Pendekatan Sosiologis cenderung menempatkan kegiatan memilih dalam kaitannya dengan konteks sosial. Pilihan seseorang dalam Pemilu dipengaruhi latar belakang demografi dan sosial ekonomi, afiliasi etnik, jenis kelamin, tempat tinggal ( kotadesa), pekerjaan, pendidikan, kelas, pendapatan dan agama. Model ini melihat bahwa masyarakat sebagai suatu kesatuan kelompok yang bersifat vertical dari tingkat yang terbawah hingga yang teratas. Pendekatan sosiologis ini memandang bahwa faktorfaktor sosial ekonomi, afiliasi etnik, tradisi keluarga, jenis kelamin, pekerjaan, dan tempat tinggal merupakan faktor-faktor dominan yang mempengaruhi perilaku memilih dalam pemilihan umum. Status sosial ekonomi yang biasanya didukung oleh faktor pendidikan, penghasilan, dan pekerjaan memiliki keterkaitan dengan dengan salah satu organisasi politik yang ada. Maka dapat dilihat bahwa pendekatan ini menganggap bahwa faktor sosiologis yang paling berperan dalam menentukan prefensi partai politik seseorang di dalam pemilu. Sehingga dapat dikatakan bahwa faktor primordialisme turut mempengaruhi orientasi politik seseorang yang berdampak pada perilaku politiknya. 3. Pendekatan ekologis relevan apabila dalam daerah pemilihan terdapat perbedaan karakteristik pemilih yang didasarkan pada unit teritorial. Kelompok masyarakat penganut agama, buruh, kelas menengah, suku bangsa, yang bertempat tinggal di daerah tertentu dapat mempengaruhi komposisi pemilih tehadap pilihan mereka. Hal
Universitas Sumatera Utara
ini dapat diamati dengan adanya perubahan komposisi penduduk yang tinggal di satu unit territorial dapat dijadikan penjelasan atas perubahan hasil Pemilihan Umum. 4. Pendekatan Psikologi Sosial menyatakan tingkah laku pemilih akan dipengaruhi oleh interaksi antara faktor internal dan eksternal. Misalnya sistem kepercayaan, agama, dan pengalaman hidup seseorang. Menurut pendekatan ini, para pemilih menentukan pilihan karena pengaruh kekuatan psikologis yang berkembang dalam dirinya sebagai produk dari sosialisasi. Pendekatan ini menjelaskan bahwa sikap seseorang sebagai refeleksi dari kepribadian seseorang merupakan variabel yang menentukan di dalam perilaku politiknya. Konsep yang digunakan adalah konsep psikologi sosial terutama konsep sikap dan sosialisasi. Salah satu konsep psikologi sosial yang digunakan untuk menjelaskan perilaku untuk memilih pada pemilihan umum berupa identifikasi partai. Konsep ini merujuk pada persepsi pemilih atas partai-partai yang ada atau keterikatan emosional pemilih terhadap partai tertentu. Partai yang secara emosional dirasakan sangat dekat dengannya merupakan partai yang selalu dipilih tanpa dipengaruhi oleh faktor-faktor lain. 5. Pendekatan Pilihan Rasional, model ini sebenarnya lanjutan dari pendekatan psikologi sosial yang ingin melihat kegiatan perilaku memilih sebagai produk hitungan untung atau rugi. Namun pertimbangannya bukan ongkos memilih, melainkan suara yang terkumpul dapat mempengaruhi hasilnya. Pertimbangan itu sering digunakan para pemilih yang mencalonkan diri agar dapat dipilih menjadi calon terpilih. Bagi mayoritas pemilih, pertimbangan untung rugi digunakan untuk membuat keputusan terhadap partai yang dipilih, termasuk memutuskan bagaimana seseorang harus memilih atau tidak memilih. Disini faktor pendidikan dan kesadaran pemilih akan
Universitas Sumatera Utara
menentukan sekali. Penganut model ini sering mencoba meramalkan tindakan manusia berdasarkan asumsi sederhana, yakni setiap orang berusaha keras mencapai apa yang dinamakan self interest. I.5.3. Pemilihan Umum Suatu proses dan kegiatan memilih itu disederhanakan penyebutannya menjadi pemilihan. Dalam hal pemilihan itu semua rakyat harus ikut, tanpa dibeda-bedakan, maka dipakailah sebutan pemilihan umum, disingkat dengan pemilu. 20 Maka pemilu berarti rakyat melakukan kegiatan memilih orang atau sekelompok orang menjadi pemimpin rakyat atau pemimpin negara. Di negara-negara yang demokratis pemilihan merupakan alat untuk memberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta mempengaruhi kebijaksanaan pemerintah dan sistem politik yang berlaku. Dengan hal itu pula, pemilihan tetaplah merupakan bentuk partisipasi politik rakyat. Pemilihan umum adalah mekanisme pergantian kepemimpinan nasional yang secara demokratis melibatkan seluruh masyarakat di suatu negara. Begitu bermaknanya pemilihan umum bagi semua orang, maka pemilihan umum yang menjadi indikator demokratisnya
suatu
negara.
Untuk
menjaga
kelangsungan
penyelenggaraan
pemerintahan yang dibentuk melalui mekanisme pemilihan umum, maka keterlibatan masyarakat sangat dibutuhkan sebagai energi demokrasi itu sendiri. 21 Pemilihan umum dengan makna demokrasinya adalah tempat berkompetisinya partai politik yang secara umum dapat menjadi tempat pembelajaran bagi elit dan komponen bangsa lainnya. Selain
20
Donald Parulian, Menggugat PEMILU, Jakarta, PT. Penebar Swadaya, 1997, hal. 4. Doni Hendrik, Perilaku Memilih Etnis Cina dalam Pemilu tahun 1999 di Kota Padang, Jurnal Analisa Politik Vol. 1, Padang, 2003, hal. 52. 21
Universitas Sumatera Utara
itu, pemilihan umum juga terkait dengan peran serta masyarakat dalam memberikan dukungan suara kepada kandidat dan partai politik yang ada. 22 I.5.4 Pemilihan Kepala Daerah Pemilihan Kepala Daerah secara langsung yang diawali setelah diberlakukannya Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 merupakan langkah maju bagi proses demokratisasi lokal di Indonesia. Melalui pelaksanaan otonomi daerah sebagai media untuk menyebarkan sistem demokrasi yang semakin disempurnakan, termasuk melalui Pemilihan Kepala Daerah secara langsung diharapkan memacu tumbuhnya kekuatan yang pro demokrasi di daerah. Artinya melalui Pemilihan Kepala Daerah yang secara langsung ini, akan lahir aktor-aktor demokrasi di daerah, yang kemudian diharapkan mampu melakukan gerakan-gerakan baru bagi perubahan. I.5.4.1. Dasar Hukum dan Eksistensi Pemilihan Kepala Daerah Perubahan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden dari sistem perwakilan ke sistem pemilihan langsung merupakan suatu kemajuan signifikan bagi perkembangan demokrasi di Indonesia yang sedang menjalani masa transisi demokrasi ini. Perubahan tersebut telah sepatutnya diikuti oleh perubahan yang sama pada sistem politik lokal. Pemilihan Kepala Daerah merupakan momen politik yang telah diadakan serentak semenjak bulan Juni 2005 sebagai ekses dari pemilihan presiden langsung untuk alasan penegakan demokrasi lokal di daerah. Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati pengganti UndangUndang No. 22 Tahun 1999 dan telah disahkan oleh presiden menjadi Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah. Sebagian isi Undang-Undang ini ( pasal 22
Doni Hendrik, Ibid., Hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
56 sampai dengan pasal 119 ) berisi prosedur dan mekanisme pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah secara langsung oleh rakyat. Dalam pembuatan Undang-Undang ini, tidak merujuk kepada pasal 22E Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu yang digunakan sebagai rujukan utama adalah pasal 18, pasal 18A dan pasal 18B Undang-Undang Dasar 1945 mengenai pemerintahan daerah, karena menyangkut pemerintahan daerah, maka yang dijadikan rujukan adalah pasal yang mengatakan kepala daerah dipilih secara demokratik, karena itu di dalam Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 ini, pemilihan kepala daerah tidak dikategorikan sebagai pemilu. Maka lebih lanjut mekanisme pemilihan, pengesahan, pengangkatan dan pemberhentian kepala daerah dan wakil kepala daerah diatur kembali di dalam sebuah peraturan pemerintah yaitu Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005. Pelaksana dari pemilihan kepala daerah langsung ini menurut Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 diberikan kewenangan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah, tidak saja merencanakan, melaksanakan dan mengendalikan penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tetapi juga diberi kewenangan menyusun semua tata cara yang berkaitan dengan tahap persiapan dan pelaksanaan dengan berpedoman kepada Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, akan tetapi pemberian wewenang kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah sama sekali tidak sedikit pun dikaitkan dengan Komisi Pemilihan Umum Pusat yang menjadi induk Komisi Pemilihan Umum Daerah tersebut seperti yang terdapat di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2003. 23
23
Ramlan Surbakti, Pemilihan Kepala Daerah Secara Langsung Oleh Rakyat Merupakan bagian Dari Pemilihan Umum, dalam http://www.kpu.go.id/wacana/, kamis 21 juni 2007
Universitas Sumatera Utara
I.5.4.2 Perangkat Regulasi dan Kelembagaan Pemilihan Kepala Daerah Keseriusan pemerintah dalam menangani Pemilihan Kepala Daerah tercermin dari perangkat regulasi dan kelembagaan. Tercatat sederet kebijakan yang dikeluarkan pemerintah untuk memuluskan pelaksanaan, 24 seperti : 1. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No. 3 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah. 2. Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 3. Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2005 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan, Pengangkatan, dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah. 4. Instruksi Presiden No. 7 Tahun 2005 tentang Dukungan Pemerintah Daerah Untuk Kelancaran Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah I.5.4.3. Sistem Pemilihan Kepala Daerah Pada hakekatnya pemilihan umum merupakan cara dan sarana yang tersedia bagi rakyat untuk menentukan wakil-wakilnya yang akan duduk di lembaga pemerintahan guna menjalankan kedaulatan rakyat, maka dengan sendirinya terdapat berbagai sistem pemilihan umum. Perbedaan sistem pemilihan umum ini banyak tergantung pada dimensi dan pandangan yang ditujukan terhadap rakyat. Pertama, apakah rakyat dipandang sebagai individu yang bebas untuk menentukan pilihannya dan sekaligus dapat mencalonkan dirinya sebagai calon wakil rakyat. Kedua, apakah rakyat hanya dipandang sebagai
24
Syamsul H. Tubani, Pilkada Bima 2005; Era Baru Demokratisasi Lokal di Indonesia, Jawa Timur, Bina Swagiri-Fitra Tuban, 2005, hal. ix.
Universitas Sumatera Utara
anggota kelompok yang sama sekali tidak berhak untuk menentukan siapa wakilnya yang akan duduk dalam lembaga pemerintahan dan ia tidak berhak mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Dari perbedaan dimensi dan pandangan diatas, maka sistem pemilihan umum dapat dibedakan menjadi 25 Sistem Pemilihan Mechanis dan Sistem Pemilihan Organis. Pandangan Mechanis menempatkan rakyat sebagai suatu massa individu-individu yang sama sebagai kesatuan otonom dan memandang masyarakat sebagai kompleks hubungan yang bersifat kontraktuil. Berbeda dengan pandangan organis yang menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan geneologis, fungsi tertentu, lapisan sosial dan lembagalembaga sosial. Berdasarkan sistem pemilihan mechanis, dapat dilaksanakan dengan dua cara, 26 yakni Sistem Perwakilan Distrik/Mayoritas/Single Member Constituencies dan Sistem Perwakilan Proporsional. Karakter utama dari sistem distrik dimana wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan atau daerah-daerah pemilihan yang jumlahnya sama dengan jumlah kursi yang diperebutkan di badan perwakilan rakyat yang dikehendaki. Dalam sistem proporsional tidak ada pembagian wilayah pemilihan, karena pemilihan bersifat nasional. Dalam sistem perwakilan proporsional ini dikenal dua sistem yakni hare system dan list system. Dalam hare system atau single transferable vote pemilih diberi kesmpatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik pemilihan yang bersangkutan. Berbeda dengan list system pemilih diminta memilih diantara daftar 25
Arifin Rahman, Sistem Politik Indonesia;Dalam Perspektif Struktural Fungsional, Surabaya, SIC, 1998, hal. 195. 26 Arifin Rahman, Ibid., Hal. 196.
Universitas Sumatera Utara
calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilihan umum. Berbeda dengan sistem pemilihan presiden dimana yang digunakan adalah model second round past the post dengan batas minimal perolehan suara 50 % plus satu untuk meraih kursi, jika tak ada calon dengan jumlah suara tersebut pada putaran pertama, digelar putaran kedua terhadap dua calon teratas dengan konsekuensi biaya menjadi sangat besar ;model penetapan kepala daerah terpilih yaitu dari sistem first past the post dengan batas minimal perolehan suara 25 %. Sesuai dengan pasal 95 ayat 2 Peraturan Pemerintah No. 6 Tahun 2005, bahwa apabila tidak terpenuhi lebih dari 50 % dari jumlah suara sah, maka pasangan calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah yang memperoleh suara sah lebih dari 25 % dari seluruh jumlah suara sah, maka pasangan calon yang memperoleh suara tersebar ditetapkan sebagai Calon Terpilih. 27 Dan prinsip yang dipakai dalam Pemilihan Kepala Daerah adalah prinsip Voluntary Voting, dimana massa pemilih menggunakan hak pilihnya secara sukarela. I.5.4.4 Tata Kelola Pemilihan Kepala Daerah Tata kelola (governance) Pemilihan Kepala Daerah menyangkut berbagai aspek yang menentukan keberhasilan Pemilihan Kepala Daerah yaitu aspek kesiapan masyarakat pemilih, ketrampilan petugas lapangan, pendanaan, dan peraturan pemilihan. Good Pilkada Governance adalah Pemilihan Kepala Daerah yang dilaksanakan secara demokratik, dengan memberi peluang kepada para calon kepala daerah untuk berkompetisi secara jujur dan adil. Pemilihan Kepala Daerah harus bebas dari segala
27
KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten Karo 2005, Kabanjahe, KPU Kab. Karo, 2006, hal. 24.
Universitas Sumatera Utara
bentuk kecurangan yang melibatkan penyelenggara pemilihan, mulai dari proses pencalonan, kampanye, sampai dengan pemungutan dan penghitungan suara. 28 Pemilihan Kepala Daerah berupaya menghasilkan kepala daerah yang lebih baik, lebih berkualitas, dan memiliki akseptabilitas politik yang tinggi serta derajat legitimasi yang kuat, karena kepala daerah terpilih mendapat mandat langsung dari rakyat. Penerimaan yang cukup luas dari masyarakat terhadap kepala daerah terpilih sesuai dengan prinsip mayoritas perlu agar kontroversi yang terjadi dalam pemilihan dapat dihindari. Pada gilirannya, pemilihan kepala daerah secara langsung akan menghasilkan Pemerintah Daerah yang lebih efektif dan efisien, karena legitimasi eksekutif menjadi cukup kuat, tidak gampang digoyang oleh legislatif. Good Pemilihan Kepala Daerah governance setidaknya akan menghasilkan enam manfaat penting. 29 1. Sebagai solusi terbaik atas segala kelemahan proses maupun hasil pemilihan kepala daerah secara tidak langsung lewat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sebagimana diatur di dalam Undang-Undang Otonomi Daerah No. 22 Tahun 1999. Pemilihan Kepala Daerah menjadi kebutuhan mendesak guna menutupi segala kelemahan dalam pemilihan Kepala Daerah pada masa lalu. Pemilihan Kepala Daerah bermanfaat untuk memperdalam dan memperkuat demokrasi lokal, baik pada lingkungan pemerintahan maupun lingkungan kemasyarakatan (civil society). 2. Pemilihan Kepala Daerah akan menjadi penyeimbang arogansi lembaga Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selama ini seringkali mengklaim dirinya sebagai satu-satunya institusi pemegang mandat rakyat yang representatif. Dengan Pemilihan
28 29
Syamsul H. Tubani Op.cit., hal. x-xi. Op.cit., hal. xiii-xiv
Universitas Sumatera Utara
Kepala Daerah akan memposisikan Kepala Daerah juga sebagai pemegang langsung mandat rakyat, yaitu untuk memerintah (eksekutif). 3. Pemilihan Kepala Daerah akan menghasilkan kepala pemerintahan daerah memiliki legitimasi dan justifikasi yang kuat di mata rakyat. Kepala Daerah hasil Pemilihan Kepala Daerah memiliki akuntabilitas publik langsung kepada masyarakat daerah selaku konstituennya, bukan seperti yang selama ini berlangsung yaitu kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dengan begitu, manuver politik para anggota dewan akan berkurang, termasuk segala perilaku bad politics-nya. 4. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan Kepala Daerah yang lebih bermutu, karena pemilihan langsung berpeluang mendorong majunya calon dan menangnya calon Kepala Daerah yang kredibel dan akseptabel di mata masyarakat daerah, menguatkan derajat legitimasi dan posisi politik Kepala Daerah sebagai konsekuensi dari sistem pemilihan secara langsung oleh masyarakat. 5. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi menghasilkan pemerintahan suatu daerah yang lebih stabil, produktif dan efektif. Tidak gampang digoyah oleh ulah politisi lokal, terhindar dari campur tangan berlebihan atau intervensi pemerintah pusat, tidak mudah dilanda krisis kepercayaan publik, dan berpeluang melayani masyarakat secara lebih baik. 6. Pemilihan Kepala Daerah berpotensi mengurangi praktek politik uang (money politics) yang merajalela dalam proses pemilihan Kepala Daerah tidak langsung I.5.4.5.Proses Pengajuan Bakal Calon Kepala Daerah Kabupaten Karo 2005 Berdasarkan Peraturan Pemerintah No.6 Tahun 2005 tentang Pemilihan, Pengesahan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah,
Universitas Sumatera Utara
bahwa partai politik atau gabungan partai politik dalam mengusulkan pasangan calon harus menggunakan ketentuan memperoleh sekurang-kurangnya 15% dari jumlah kursi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kabupaten Karo hasil Pemilihan Umum 2004 yaitu 15 :100 x 35 = 5,25 yang dibulatkan menjadi 6 kursi, atau sekurang-kurangnya 15% dari perolehan jumlah suara sah dalam Pemilihan Umum 2004 atau 23.244 suara sah30. Pendaftaran Calon Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Kabupaten Karo Tahun 2005dilaksanakan mulai dari 25 s/d 31 Juli 2005 dengan komposisi pasangan calon yang mendaftar ke Komisi Pemilihan Umum Karo sebagai berikut TABEL 1 DAFTAR PASANGAN CALON BUPATI/WAKIL BUPATI KABUPATEN KARO Nama Pasangan Calon Kepala
Jumlah Akumulasi Kursi
Daerah dan Wakil Kepala
di Dewan Perwakilan
Daerah
Rakyat Daerah (DEWAN
Partai Pengusul
PERWAKILAN RAKYAT DAERAH) Karo/ Perolehan Suara Sah DJIDIN SEBAYANG dan Drs.
6 Kursi
PPDK, PDS, dan Partai PIB
6 Kursi
Partai Golkar
24.983 Suara sah atau
PBB, PPP, P. Demokrat,
HERMAN PERANGIN-ANGIN MM LAYARI SINUKABAN dan SURYAWATI Br SEBAYANG Drs. DAULAT DANIEL
30 30
KPU Kab. Karo, Proses Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah Secara Langsung di Kabupaten Karo, 2005, hlm. 1.
Universitas Sumatera Utara
SINULINGGA dan
16,12%
PKPI, P.PDI, PKPB, PKB,
Ir. NELSON SITEPU
PKS
Ir. ARIES EKLESIA SEBAYANG
26.161 Suara sah atau
PNI-M, P Merdeka, PBSD,
dan BADIKENITA SITEPU
16,88%
PNBK, P. PNUI, PSI, PPD,
SE.M.Si KENA UKUR SURBAKTI dan
P.PELOPOR,PBR 11 Kursi
PDI Perjuangan
6 Kursi
P. Patriot Pancasila dan PAN
SITI AMINAH Br PERANGINANGIN SINAR PERANGIN-ANGIN dan SURYA PERANGIN-ANGIN, SH
Sumber: KPU Kabupaten Karo Setelah seluruh berkas pasangan calon kembali diserahkan ke Komisi Pemilihan Umum Karo oleh para calon, Komisi Pemilihan Umum Karo kembali meneliti berkas , dan ternyata ada 1 orang calon Wakil Kepala Daerah tidak memenuhi syarat atas nama : Badikenita Br Sitepu SE, M,Si yang kemudian digantikan oleh Dr. Supredo Kembaren SpB. Pengundian nomor urut Calon Bupati dan Wakil Bupati dilakukan pada tanggal 31 agustus 2005. Hasil undian pasangan nomor urut calon adalah sebagai berikut:
31
1.
Drs. Daulat Daniel Sinulingga dan Ir. Nelson Sitepu.
2.
Djidin Sebayang SH dan Drs. Herman perangin-angin.
3.
Kena Ukur Surbakti dan Siti Aminah Perangin-angin SE.
4.
Sinar Perangin-angin dan Surya Perangin-angin SH.
5.
Ir. Aries Eklesia Sebayang dan Dr. Supredo Kembaren, SpB.
6.
Layari Sinukaban dan Suryawaty Br Sebayang 31.
Ibid, hal. 9
Universitas Sumatera Utara
Adapun program-program yang ditawarkan calon-calon tersebut kepada masyrakat adalah sebagai berikut: 1 Drs. Daulat Daniel Sinulingga dan Ir. Nelson Sitepu: 1. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana pendidikan. 2. Meningkatkan kualitas sumberdaya manusia pendidikan. 3. Pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan. 4. Meningkatkan kuantitas dan kualitas sarana dan prasarana serta mutu pelayanan kesehatan masyarakat. 5. Meningkatkan ketersediaan obat dalam jumlah yang cukup dalam setiap waktu. 6. Meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih dan sanitasi dasar. 7. Meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kebersihan lingkungan. 8. Menggali menggunakan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumber daya alam secara optimal yang berwawasan lingkungan. 9. Membentuk tim asistensi penggunaan teknologi tepat guna sektor pertanian dan industri berbasis pertanian. 10. Membentuk kerjasama dengan propinsi di luar propinsin SumateraUtara dan sesama pemerintahan Kabupaten/ Kota dalam berbagai bidang dan sector seperti: Tenaga kerja, pendidikan dan pelatihan, teknologi, perdagangan, kesehatan, pariwisata, kesehatan dan lain-lain yang diperlukan. 11. Membentuk kerjasama dalam rangka menyukseskan roda perekonomian dengan para pelaku usaha seperti: Kadin, PHRI, ASITA, BANK, Lembaga Keuangan non bank dalam upaya menumbuhkan suasana yang kondusif bagi perkembangan dunia usaha dan menarik minat investor ke daerah.
Universitas Sumatera Utara
12. Membentuk kerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga-lembaga penelitian untuk meningkatkan IPTEK. 13. Meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja jamsostek, Astek, dan hak-hak normative pekerja agar dipenuhi perusahaan. 14. Peningkatan pengelolaan kualitas sarana dan prasarana pasar tradisional. 15. Meningkatkan kualitas jalan kabupaten menuju sentral produksi dan peningkatan serta mengmbangkan jalan usaha tani. 16. Bekerjasama dengan aparat keamanan meningkatkan sistem Kamtibmas dalam rangka pemberantasan penyakit masyarakat. 17.
Meningkatkan
pengawasan
terhadap
pelaksanaan
pemerintahan
dan
pembangunan untuk mengeliminir terjadinya penyimpangan terhadap peraturan dan perundang-undangan yang berlaku/ KKN. 18.Memasukkan budaya Karo dalam kurikulum muatan local pada pendidikan dasar, dan pendidikan prasekolah. 2. Djidin Sebayang SH dan Drs. Herman perangin-angin. 1. Meningkatkan kualitas pegajar tingkat dasar dan menengah 2. Menigkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai 3. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perilaku hidup sehat 4. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sarana dan prasarana yang memadai 5. meningkatkan peranan koperasi, UKM dan pelaku usaha ekonomi perorangan untuk menunjang perekonomian masyarakat 6. Mengembangkan pemahaman terhadap sistem hidup yang demokratis
Universitas Sumatera Utara
7. Memperbanyak dan mengintensifkan penggunaan alat atau mekanisme pertanian 8. hmelestarikan nilai-nilai budaya karo dengan tidak menutup diri terhadap budaya luar
yang bersifat positif.
9. Meningkatkan peran serta masyarakat, tokoh agama, rohaniawan dalam pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan 10. Meningkatkan peranan kelompok tani 11. Pengolahan obyek kepariwisataan 12. Pembukaan obyek kepariwisataan untuk memperbanyak kedatangan turis 13. Melestarikan hutan lindung 14. Menanggulangi semakin luasnya lahan kritis 15. meningkatkan peranan koperasi 16. meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan teknologi dan hasil pertanian 17. meningkatkan
peran
serta
tokoh
agama
dan
rohaniawan
dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan 18. mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan lingkungan 3. Kena Ukur Surbakti dan Siti Aminah Perangin-angin SE 1. Meningkatkan kualitas pegajar tingkat dasar dan menengah 2. Menigkatkan sarana dan prasarana pendidikan yang belum memadai 3. Meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai perilaku hidup sehat
Universitas Sumatera Utara
4. Meningkatkan mutu pelayanan kesehatan melalui sarana dan prasarana yang memadai 5. meningkatkan peranan koperasi, UKM dan pelaku usaha ekonomi perorangan untuk menunjang perekonomian masyarakat 6. Mengembangkan pemahaman terhadap sistem hidup yang demokratis 7. Memperbanyak dan mengintensifkan penggunaan alat atau mekanisme pertanian 8. melestarikan nilai-nilai budaya karo dengan tidak menutup diri terhadap budaya luar yang bersifat positif. 9. Meningkatkan peran serta masyarakat, tokoh agama, rohaniawan dalam pemerintahan, pembangunan kemasyarakatan 10. Meningkatkan peranan kelompok tani 11. Pengolahan obyek kepariwisataan 12. Pembukaan obyek kepariwisataan untuk memperbanyak kedatangan turis 13. Melestarikan hutan lindung 14. Menanggulangi semakin luasnya lahan kritis 15. meningkatkan peranan koperasi 16. meningkatkan peran serta masyarakat dalam pengelolaan teknologi dan hasil pertanian 17. meningkatkan
peran
serta
tokoh
agama
dan
rohaniawan
dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan 18. mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan lingkungan .
Universitas Sumatera Utara
4.Sinar Perangin-angin dan Surya Perangin-angin SH. 1. meningkatkan pengelolaan pasar tradisional 2. meningkakan pelayanan dan perlindungan sosial terhadap masyarakat penyandang keterbatasan sosial 3. membuka lapangan kerja baru bagi masyarakat 4. meningkatkan keterampilan kerja masyarakat 5. melakukan penyaringan terhadap kemajuan dan pengaruh dari luar terhadap budaya karo 6. membuka peluang kerjasama dalam meningkatkan kualitas tenaga medis dan para medis 7. meningkatkan penggunaan kompensasi BBM 8. meningkatkan mutu pendidikan dasar dan menengah 9. meningkatkan peluang melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi di luar daerah bahkan di luar negeri. 10. mencipakan suasana kondusif dalam kehidupan kenegaraan dan partisipasi masyarakat dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan sesuai dengan prinsip-prinsip good governance 11. meningkatkan fasilitas UKM oleh pelaku perbankan 12. meningkatkan arus kelancaran transportasi barang regional, nasional dan internasional 13. meningkatkan promosi pariwisatan dengan investor sing 14. memberantas jalur peyalahgunaan narkoba 15. menberantas peredaran obat palsu yang ada ditengah masyarakat
Universitas Sumatera Utara
16. membuka lapangan kerja baru bagi pencari kerja 17. melaksanakan pengawasan terhadap pengaruh luar yang datang dari luar yang sifatnya negatif 18. meningkatkan pemahaman terhadap budaya karo 19. menciptakan iklim persaingan yang kompetitif terhadap daerah lain 5.Ir. Aries Eklesia Sebayang dan Dr. Supredo Kembaren, SpB.n 1. meningkatkan kualitas sumber daya manusia pendidikan 2. pemberdayaan masyarakat dalam bidang kesehatan 3. meningkatkan kualitas sarana dan prasarana serta mutu pelayanan kesehatan 4. memberantas penyakit menular 5. meningkatkan ketersediaan obat dalam jumlah yang cukup dalam setiap waktu 6. meningkatkan kualitas dan kuantitas air bersih dan sanitasi dasar 7. meningkatkan kualitas sarana dan prasarana kebersihan lingkungan 8. menggali dan menggunakan teknologi tepat guna dalam pemanfaatan sumber daya alam secara optimal yang berwawasan lingkungan 9. membentuk tim penggunaan teknologi tepat guna sektor pertanian dan industri berbasis pertanian 10. membentuk kerjasama dengan pemerintah di luar provinsi Sumut dalam berbagai sektor seperti tenaga kerja, pendidikan dan latihan, teknologi dan perdagangan, kesehatan, pariwisata 11. membentuk kerjasama dalam rangka mensukseskan roda perekonomian dengan para pelaku usaha
Universitas Sumatera Utara
12. membentuk kerjasama dengan perguruan tinggi, lembaga penelitian untuk meningkatkan IPTEk 13. membentuk kerjasama dengan LSM, Organisasi kemasyarkatan dalam rangka meningkatkan pendidikan politik dan pemahaman terhadap nilai-nilai demokrasi serta wawasan kebangsaan 14. bekerjasama dengan aparat terkait untuk penuntasan masalah pestisida palsu, pupuk palsu dan obat-obatan palsu 15. memberdayakan tokoh agama dan rohaniawan sebagai mediator, perumus, aspirasi masyarakat dan penyebarluasan kebijakan pemerintah 16. menyelenggarakan latihan dan keterampilan kepada angkatan kerja untuk menjawab tuntutan peluang kerja, termasuk penyuluhan tentang peluang lapangan kerja 6. Layari Sinukaban dan Suryawaty Br Sebayang. 1. meningkatkan pelaksanaan keselamatan kerja jamsostek, astek, dan hak-hak normatif pekerja 2. mendorong dan mengembangkan usaha penginapan milik masyarakat di sektor objek wisata 3. mencegah perambahan hutan dan penebangan liar dalam kawasan hutan serta peningkatan pengelolaan koperasi menurut asas dan prinsip perkoperasian terutama asas open managemen 4. meningkatkan sumber daya manusia masyarakat 5. meningkatkan kualitas SDM pengelolaan koperasi 6. meningkatkan pengelolaan kualitas sarana dan prasarana pasar tradisional
Universitas Sumatera Utara
7. meningkatkan kualits jalan menuju sentral produsi dan peningkatan serta mengembangkan jalan usaha tani 8. meningkatkan sarana dan prasarana serta pelayanan terhadap penyandang keterbatasn sosial 9. meningkatkan kerjasama dengan aparat kamanan dalam sistem kamtibmas dalam rangka pemberantasan penyakit masyarakat. 10. meningkatkan dan mengembangkan kualitas dan kuantitas sarana, prasarana kepariwisataan 11. meningkatkan kualitas dan kuantitas SDM pengelolaan pariwisata 12. meningkatkan kesadaran budaya wisata kepada masyarakat terutama masyarakat di sekitar obyek wisata 13. meningkatkan promosi pariwisata 14. membuat sebuah forum lembaga karo untuk wadah berkomunikasi 15. memasukkan budaya karo dalam kurikulum muatan lokal pada pendidikan dasar dan pendidikan prasekolah 16. meningkatkan
pengawasan
pembangunan untuk
terhadap
pelaksanaan
pemerintahan
dan
mengeliminir terjadinya penyimpangan terhadap
peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. 17. mengembangkan secara optimal sumber daya kepariwisataan berwawasan lingkungan 18. melestarikan dan merehabilitasi lahan kritis
Universitas Sumatera Utara
I.6. KERANGKA KONSEP Konsep adalah abstarksi mengenai suatu fenomena yang dirumuskan atas dasar generalisasi dari sejumlah karakteristik kejadian, keadaan, kelompok atau individu tertentu. 32 Maka defenisi konsep yang dipergunakan penulis yaitu: I.6.1. Etnis Etnisitas mempunyai kata dasar etnik yang berarti atau yang dalam Bahasa Indonesia disebut juga sukubangsa. Jadi merupakan bagian dari satu bangsa. Bila demikian etnisitas berarti yang berhubungan atau yang mempunyai kaitan dengan etnik atau sukubangsa atau kesukubangsaan. Menurut koentjaraningrat, konsep yang tercakup dalam istilah etnis adalah suatu golongan manusia yang terikat oleh kesadaran dan identitas akan kesatuan kebudayaan, sedangkan kesadaran dan identitas seringkali (tetapi tidak selalu) dikuatkan oleh kesatuan bahasa juga 33. I.6.2. . Pemilihan Kepala Daerah Merupakan suatu tahapan proses pemilihan langsung secara prosedural oleh rakyat untuk mengaktualisasi hak-hak politiknya atau dengan kata lain untuk memilih pemimpin eksekutif daerah tanpa harus direduksi oleh kepentingan-kepentingan elite politik atau tanpa keterlibatan dan intervensi Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sehingga pada akhirnya melahirkan peningkatan kualitas tanggungjawab pemerintah daerah pada warganya.
32 33
Masri Singarimbun, Metode Penelitian Survai, Jakarta: LP3ES, 1989, hal 34 Koentjaraningrat, loc.cit
Universitas Sumatera Utara
I.6.3. Perilaku Politik. Perilaku politik ialah segala perilaku yang berkaitan dengan proses politik 34 sebagaimana yang dapat dilihat dalam kampanye pemilihan umum, dalam penentuan dukungan yang diberikan dalam pemilihan, dalam pilihan keanggotaan organisasi atau partai politik dan lain-lain sebagainya. Pembentukan perilaku politik dipengaruhi oleh 35:
1. Lingkungan sosial politik tak langsung, seperti sistem politik, ekonomi, sistem budaya dan media massa. 2. Lingkungan sosial politik langsung yang mempengaruhi dan membentuk kepribadian aktor politik seperti keluarga, agama, sekolah dan kelompok pergaulan. 3. Struktur kepribadian yang tercermin dalam sikap individu. 4. Sosial politik langsung yang berupa situasi, yaitu keadaan yang mempengaruhi aktor secara langsung ketika akan melakukan suatu kegiatan, seperti cuaca, keadaan keluarga, suasana kelompok dan ancaman dengan segala bentuk.
Pembentukan perilaku politik berlangsung dalam:
1. Organisasi dan Partai Politik 2. Lembaga-lembaga non-formal yang terdapat dalam masyarakat 3. Lembaga Pendidikan
34 35
Ramlam surbakti, Memahami Ilmu Politik, ( Jakarta: Gramedia Widiasarana Indonesia 1992 ) hal.15. Sudjino Sastroatmodjo, Op.cit., hal 16.
Universitas Sumatera Utara
I.6.4. Perilaku Memilih Perilaku memilih berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungannya dengan proses Pemilihan Umum. Menurut Plano, perilaku memilih adalah salah satu bentuk perilaku politik yang tebuka. Huntington dan Nelson menyebutkan sebagai electoral activity, yakni termasuk pemberian suara (voting), bantuan kampanye, bekerja dalam suatu pemilihan, menarik masuk atas nama calon, atau tindakan lain yang direncanakan untuk mempengaruhi proses Pemilihan Umum. I.7. Defenisi Operasional Defenisi operasional adalah unsur penelitian yang memberitahukan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. Dengan kata lain, defenisi operasional adalah semacam petunjuk pelaksanaan bagaimana caranya mengukur suatu variabel. 36 1. Etnis Batak Toba dengan indikator sebagai berikut: •
Memiliki marga yang termasuk dalam marga suku Batak Toba.
•
Menganut sistem patrilineal dalam sistem kekerabatannya.
2. Preferensi calon bupati dengan indikator sebagai berikut: •
Calon bupati tersebut terdaftar sebagai peserta pada Pemilihan Kepala Daerah kabupaten Karo 2005.
3. Pemilihan Kepala Daerah dengan indikator sebagai berikut: •
Pemilihan Kepala Daerah yang bertujuan untuk memilih bupati.
•
Pemilihan Kepala Daerah dimana masyarakata dapat memilih secara langsung nama calon bupati yang diinginkan sesuai dengan daftar calon yang tersedia.
36
Masri Singarimbun, op.cit., hal.46.
Universitas Sumatera Utara
4. Perilaku Memilih •
Berkaitan dengan tingkah laku individu dalam hubungan dengan proses Pemilihan kepala daerah
•
Berkaitan dengan proses pemberian suara untuk memilih wakil rakyat dalam Pemilihan Kepala Daerah.
I.8. METODOLOGI PENELITIAN I.8.1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian eksploratif. Dengan demikian akan melakukan penelitian dalam rangka penjajakan. I.8.2. Populasi dan Sampel Penelitian. Populasi adalah keseluruhan objek penelitian yang terdiri dari manusia, bendabenda, tumbuh-tumbuhan, gejala-gejala, nilai test atau peristiwa-peristiwa sebagai sumber data yang memiliki karakteristik tertentu di dalam suatu penelitian. Sedangkan sampel adalah sebagian dari populasi untuk mewakili seluruh populasi. 37 Populasi 760 orang, yaitu masyarakat etnis Batak Toba yang bertempat tinggal di desa Rumah Berastagi yang terdaftar sebagai pemilih dalam Pemilihan Kepala Daerah. Alasan memilih pemilihan etnis Batak Toba sebagai populasi karena skripsi ini akan meneliti perilaku politik dari golongan etnis minoritas di dalam kegiatan politik yang diselenggarakan di dalam masyarakat yang mayoritas homogen. Pertanyaan selanjutnya ialah faktor apa yang menentukan pilihan oleh masyarakat etnis minoritas didalam lingkungan yang mayoritas homogen. Hal ini berlatarbelakang pada pasangan-
37
Hadari Nawawi, Metode Peneltian Bidang Sosial, Yogyakarta: Gajah Mada University Press,1995, Hal.40.
Universitas Sumatera Utara
pasangan calon bupati/ wakil bupati yang kesemuanya berasal dari etnis mayoritas yang homogen. Dari populasi ditentukan sebanyak 88 ortang sebagai sampel dengan cara menggunakan teknik pengambilan sampel Taro Yamane yang menggunakan rumus sebagai berikut: N n= N.d2 + 1
n
= jumlah sampel
N
= jumlah populasi
d
= presisi, ditetapkan 10 % dengan derajat kepercayaan 90 % Maka dengan rumus diatas sampel dalam penelitian ini dicapai sebagai berikut:
760 n= 760 (0,12
760 n= 7,6 + 1
Universitas Sumatera Utara
760 n= 8,6
n = 88,37 I.8.3. Lokasi Penelitian. Lokasi penelitian adalah Rumah Berastagi salah satu desa yang termasuk Berastagi. Pemilihan desa tersebut didasarkan pada pertimbangan : 1. Di Berastagi masyarakat etnis Batak Toba sudah mempunyai sejarah yang lama menurut informasi yang saya peroleh dari sejumlah orangtua, bahwa perkampungan yang mayoritas penduduknya dari etnis Batak Toba sudah ada sejak jaman kolonial Belanda. Sedangkan di tempat-tempat lain di luar Berastagi tidak ada perkampungan yang seperti itu. 2. Dibandingkan dengan desa-desa di tempat lain yang termasuk di dalam kabupaten Karo, desa Rumah Berastagi adalah yang jumlah pemilih dari etnis Batak Toba yang paling banyak. I.8.4. Teknik Pengambilan Sampel Dalam penelitian ini digunakan teknik Purposive Sampling yaitu terdapatnya kriteria-kriteria yang perlu dilakukan ataupun dibuat batasan-batasan berdasarkan tujuantujuan tertentu sehingga sesuai dengan sumber daya yang tersedia namun tetap mencapai jumlah sampel yang ditetapkan.
Universitas Sumatera Utara
Kriteria-kriteria ataupun batasan-batasan yang yang dimaksud pada Purposive Sampling disini adalah bahwa sampel-sampel yang dikumpulkan adalah etnis Batak Toba yang merupakan penduduk desa Rumah Berastagi dan terdaftar sebagai pemilih pada Pemilihan Kepala Daerah kabupaten Karo. I.8.5. Teknik Pengumpulan Data Untuk memperoleh data atau informasi, keterangan-keterangan atau fakta-fakta yang diperlukan, maka penulis menggunakan teknik pengumpulan data sebagai berikut : 1. Data Primer : yaitu penelitian lapangan (field research), yaitu pengumpulan data dengan terjun langsung ke lokasi penelitian, dengan cara : a. Kuesioner/angket, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan menyebarkan angket/kuesioner yang berisi daftar pertanyaan kepada responden. b. Wawancara, yaitu suatu cara pengumpulan data dengan dialog langsung dengan responden yang berhubungan dengan objek penelitian guna melengkapi data yang kurang jelas pada kuesioner/angket. 2. Data Sekunder : yaitu penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu mempelajari buku-buku, peraturan-peraturan, laporan-laporan serta bahan-bahan lain yang berhubungan dengan penelitian. I.8.6. Teknik Analisa Data Adapun teknik analisa data yang digunakan penulis dalam penelitian ini adalah menggunakan jenis analisa data kualitatif, dimana jenis analisa data seperti ini banyak dipergunakan dalam jenis penelitian Deskriptif, yaitu: suatu metode yang lebih didasarkan kepada pemberian gambaran yang terperinci yang
mengutamakan
penghayatan dan berusaha memahami suatu peristiwa dalam situasi tertentu menurut
Universitas Sumatera Utara
pandangan peneliti38. Kemudian data yang ada dikelompokkan dan disajikan dalam bentuk tabel-tabel dan uraian. Jadi penulis hanya menganalisa dengan cara menggambarkan dta yang diperoleh dengan mengadakan atau memberi interpretasi.
38
Hadari Nawawi, Op. Cit, hal 40
Universitas Sumatera Utara
1.9. SISTEMATIKA PENULISAN BAB I
: PENDAHULUAN Bab ini akan menguraikan latar belakang masalah, pokok permasalahan yang akan dibahas, tujuan mengapa diadakan penelitian ini dan metode penelitian serta kerangka teori yang akan menjadi landasan pembahasan masalah.
BAB II
: DESKRIPSI LOKASI PENELITIAN Bab ini akan memberikan gambaran secara umum tentang sejarah singkat lokasi penelitian yang dalam hal ini adalah Desa Rumah Brastagi, Kec. Brastagi, Kab. Karo.
BAB III
: HASIL DAN ANALISIS PENELITIAN Bab ini akan memuat hasil dan analisis hasil dari penelitian yang berhubungan dengan faktor-faktor yang mempengaruhi partisipasi politik di Desa Rumah brastagi, Kec. Brastagi, Kab. Karo.
BAB IV
: PENUTUP Bab ini merupakan bab terakhir dari penulisan skripsi ini, yang berisi kesimpulan yang diperoleh dari hasil-hasil pembahasan pada bab-bab sebelumnya, serta berisi saran-saran yang mungkin berguna bagi penulis secara khusus dan berguna bagi lembaga-lembaga yang terkait secara umum.
Universitas Sumatera Utara