Category : HUKUM
ARTIKEL TENTANG HUKUM PIDANA Author : Eko Riyadi, S.H.,M.H 26 November 2016 Tags : diktat
Comments 97 View
BAB IPENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum adalah sebuah aturan mendasar dalam kehidupan masyarakat yang dengan hukum itulah terciptanya kedamaian ketentraman dalam kehidupan bermasyarakat. Terciptanya keharmonisan dalam tatanan masyarakat sosial juga tidak terlepas dengan adanya hukum yang mengatur. Dalam hukum dikenal dengan istilah perbuatan pidana. Perbuatan pidana merupakan suatu istilah yang mengandung suatu pengertian dasar dalam ilmu hukum pidana, Perbuatan pidana (tindak pidana/delik) dapat terjadi kapan saja dan dimana saja. Berbagai bentuk tindak kejahatan terus berkembang baik modus maupun skalanya, seiring berkembangnya suatu masyarakat dan daerah seiring juga perkembangan sektor perekonomian demikian pula semakin padatnya populasi penduduk maka perbenturan berbagai kepentingan dan urusan diantara komunitas tidak dapat dihindari. Berbagai motif tindak pidana dilatarbelakangi berbagai kepentingan baik individu maupun kelompok. Tindak pidana (delik), Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, diberi batasan sebagai berikut ; “Perbuatan yang dapat dikenakan hukuman karena merupakan pelanggaran terhadap undang-undang; tindak pidana”. .Dalam teori yang diajarkan dalam ilmu hukum pidana latar belakang orang melakukan tindak pidana/delik dapat dipengaruhi dari dalam diri pelaku yang disebut indeterminisme maupun dari luar diri pelaku yang disebut determinisme. Dalam makalah ini akan membahas mengenai cara merumuskan perbuatan pidana, jenis-jenis dalam tindak pindana serta subjek tindak pidana itu sendiri.
B. Rumusan Masalah Bagaimana cara merumuskan perbuatan pidana? Sebutkan jenis-jenis tindak pidana ? Siapa saja subjek tindak pidana ? C. TUJUAN Untuk memahami cara merumuskan perbuatan pidana; Untuk mengetahui jenis-jenis tindak pidana; Untuk mengetahui subjek tindak pidana. BAB II PEMBAHASAN A. Pengertian Pidana Istilah Pidana berasal dari bahasa hindu jawa yang artinya Hukuman, nestapa atau sedih hati; dalam bahasa belanda disebut straf. Dipidana artinya dihukum, kepidanan artinya segala sesuatu yang bersifat tidak baik, jahat; pemidanaan artinya penghukuman. Jadi Hukum Pidana sebagai terjemahan dari bahasa belanda strafrechtadalah semua aturan yang mempunyai perintah dan larangan yang memakai sanksi (ancaman) hukuman bagi mereka yang melanggarnya[1]. Sedangkan menurut Prof. Moeljatno, S.H Hukum Pidana adalah bagian daripada keseluruhan Hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan dasar-dasar dan aturan-aturan untuk: Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana sebagaimana yang telah diancamkan. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar larangan tersebut[2]. Hukum pidana tidak lahir dengan sendirinya atau dengan kata lain hukum pidana tidak lahir dari norma hukum itu sendiri, tetapi telah ada pada norma lain seperti norma agama, adat dan kesusilaan. Lahirnya hukum pidana adalah untuk menguatkan norma-norma tersebut. Hukum Pidana di Indonesia itu sendiri secara umum dapat dibagi menjadi dua yaitu: Hukum pidana materiil yaitu semua ketentuan dan peraturan yang menunjukkan tentang tindakan-tindakan yang mana adalah merupakan tindakan-tindakan yang dapat dihukum, siapakah orangnya yang dapat dipertanggungjawabkan ter-hadap tindakan-tindakan tersebut dan hukuman yang bagai-mana yang dapat dijatuhkan terhadap orang tersebut, disebut juga dengan hukum pidana yang abstrak. Hukum Pidana Formil merupakan sejumlah peraturan yang mengandung cara-cara Negara mempergunakan haknya untuk mengadili serta memberikan putusan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindakan pidana, atau dengan kata lain adalah caranya hukum pidana yang bersifat abstrak itu harus diberlakukan secara konkrit. Biasanya orang menyebut jenis hukum pidana ini sebagai hukum acara pidana. Hukum pidana di Indonesia masih berpegang pada hukum pidanan buatan belanda, terutama yang disebut WetBoek Van Strafrecht (WvS) yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mulai berlaku sejak 1 januari 1918 dan dengan UU RI no. 1 tahun 1946 berlaku di Negara Republik Indonesia. Departemen Kehakiman mulai sejak tahun 1966 telah menggarap naskah rencana UUH pidana yang baru, namun sampai sekarang belum juga selesai hukum pidana nasional itu. Dengan demikian sementara ini kita masih berpegang pada humum pidana yang asas-asanya berbau hukum Kolonia. B. Sejarah Hukum Pidana di Indonesia a. Masa Sebelum Kedatangan Penjajah
Sebelum kedatangan bangsa Eropa bangsa Indonesia telah memberlakukan Hukum Pidana, pada masa itu atau tepatnya pada masa kerajaan nusantara banyak kerajaan yang sudah mempunyai perangkat aturan hukum. Aturan tersebut tertuang dalam hukum adat yang berlaku didalam masyarakat dan juga keputusan para raja ataupun dengan kitab hukum yang dibuat oleh para ahli hukum. Tidak dipungkiri lagi bahwaadagium ubi societas ibi ius sangatlah tepat. Karena dimanapun manusia hidup, selama terdapat komunitas dan kelompok maka akan ada hukum. Hukum pidana yang berlaku dahulu kala berbeda dengan hukum pidana modern. Hukum pada zaman dahulu kala belum memegang teguh prinsip kodifikasi. Aturan hukum lahir melalui proses interaksi dalam masyarakat. dan Hukum pidana adat berkembang sangat pesat dalam masyarakat. Jadi pada masa itu bangsa Indonesia telah memberlakukan hukum Pidana Adat, Hukum pidana adat yang mayoritas tidak tertulis ini bersifat lokal, dalam arti hanya diberlakukan di wilayah adat tertentu. Hukum adat tidak mengenal adanya pemisahan yang tajam antara hukum pidana dengan hukum perdata (privaat). Pemisahan yang tegas antara hukum perdata yang bersifat privat dan hukum pidana yang bersifat publik bersumber dari sistem Eropa yang kemudian berkembang di Indonesia. Dalam ketentuannya, persoalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat adat ditentukan oleh aturan-aturan yang diwariskan secara turuntemurun dan bercampur menjadi satu. Di beberapa wilayah tertentu, hukum adat sangat kental dengan agama yang dijadikan agama resmi atau secara mayoritas dianut oleh masyarakatnya. Sebagai contoh, hukum pidana adat Aceh, Palembang, dan Ujung Pandang yang sangat kental dengan nilai-nilai hukum Islamnya.Begitu juga hukum pidana adat Bali yang sangat terpengaruh oleh ajaran ajaran Hindu. Di samping hukum pidana adat mengalami persentuhan dengan agama yang dipeluk oleh mayoritas penduduk, karakteristik lainnya adalah bahwa pada umumnya hukum pidana adat tidak berwujud dalam sebuah peraturan yang tertulis. Aturan-aturan mengenai hukum pidana ini dijaga secara turun-temurun melalui cerita, perbincangan, dan kadang-kadang pelaksanaan hukum pidana di wilayah yang bersangkutan. Namun, di beberapa wilayah adat di Nusantara, hukum adat yang terjaga ini telah diwujudkan dalam bentuk tulisan, sehingga dapat dibaca oleh khalayak umum. Sebagai contoh dikenal adanya Kitab Kuntara Raja Niti yang berisi hukum adat Lampung, Simbur Tjahaja yang berisi hukum pidana adat Sumatera Selatan, dan Kitab Adigama yang berisi hukum pidana adat Bali. b. Masa Sesudah Kedatangan Penjajahan Belanda 1. Masa penjajahan Pada masa periodisasi ini sangatlah panjang, mencapai lebih dari empat abad. Indonesia mengalami penjajahan sejak pertama kali kedatangan bangsa Portugis, Spanyol, kemudian selama tiga setengah abad dibawah kendali Belanda. Indonesia juga pernah mengalami pemerintahan dibawah kerajaan Inggris dan kekaisaran Jepang. Selama beberapa kali pergantian pemegang kekuasaan atas nusantara juga membuat perubahan besar dan signifikan. Pola pikir hukum barat yang sekuler dan realis menciptakan konsep peraturan hukum baku yang tertulis. Pada masa ini perkembangan pemikiran rasional sedang berkembang dengan sangat pesat. Segala peraturan adat yang tidak tertulis dianggap tidak ada dan digantikan dengan peraturan-peraturan tertulis. Tercatat beberapa peraturan yang dibuat oleh pemerintah kolonial Belanda seperti statuta Batavia (statute van batavia). 2. Masa KUHP 1915 – Sekarang Selama lebih dari seratus tahun sejak KUHP Belanda diberlakukan, KUHP terhadap dua golongan warganegara yang berbeda tetap diberlakukan di Hindia Belanda. Hingga pada akhirnya dibentuklah KUHP yang berlaku bagi semua golongan sejak 1915. KUHP tersebut menjadi sumber hukum pidana sampai dengan saat ini. Pembentukan KUHP nasional ini sebenarnya bukan merupakan aturan hukum yang menjadi karya agung bangsa. Sebab KUHP yang berlaku saat ini merupakan sebuah turunan dari Nederland Strafwetboek (KUHP Belanda). Sudah menjadi konskwensi ketika berlaku asas konkordansi terhadap peraturan perundang-undangan. KUHP yang berlaku di negeri Belanda sendiri merupakan turunan dari code penal perancis. Code penal menjadi inspirasi pembentukan peraturan pidana di Belanda. Hal ini dikarenakan Belanda berdasarkan perjalanan sejarah merupakan wilayah yang berada dalam kekuasaan kekaisaran perancis. C. Sumber - Sumber Hukum Pidana
1. Sumber hukum tertulis dan terkodifikasi a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) KUHP ini mempunyai nama asli Wetboek van Strafrecht voor Nederlandsch Indie (WvSNI) yang diberlakukan di Indonesia pertama kali dengan Koninklijk Besluit (Titah Raja) Nomor 3315 Oktober 1915 dan mulai diberlakukan sejak tanggal 1 Januari 1918. WvSNI merupakan turunan dari WvS negeri Belanda yang dibuat pada tahun 1881 dan diberlakukan di negara Belanda pada tahun 1886. Walaupun WvSNI notabene turunan dari WvS Belanda, namun pemerintah kolonial pada saat itu menerapkan asas konkordansi (penyesuaian) bagi pemberlakuan WvS di negara jajahannya. Beberapa pasal dihapuskan dan disesuaikan dengan kondisi dan misi kolonialisme Belanda atas wilayah Indonesia. WvSNI berubah menjadi KUHP dan berlaku untuk seluruh wilayah Indonesia berdasarkan Undang-undang Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana dan dipertegas dengan Undang-undang Nomor 73 tahun 1958 (LN nomor 127 tahun 1958) tentang Peraturan Hukum Pidana untuk Seluruh Wilayah Republik Indonesia. b. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. Undang-undang Nomor 8 tahun 1981 atau biasa disebut dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).Peraturan yang menjadi dasar bagi pelaksanaan hukum acara pidana dalam lingkungan peradilan umum sebelum undang-undang ini berlaku adalah "Reglemen Indonesia yang dibaharui atau yang terkenal dengan nama "Het Herziene Inlandsch Reglement" atau H.I.R. (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44), yang berdasarkan Pasal 6 ayat (1) Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951, seberapa mungkin harus diambil sebagai pedoman tentang acara perkara pidana sipil oleh semua pengadilan dan kejaksaan negeri dalam wilayah Republik Indonesia, kecuali atas beberapa perubahan dan tambahannya. Dengan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 itu dimaksudkan untuk mengadakan unifikasi hukum acara pidana, yang sebelumnya terdiri dari hukum acara pidana bagi landraad dan hukum acara pidana bagi raad van justitie. Adanya dua macam hukum acara pidana itu, merupakan akibat semata dari perbedaan peradilan bagi golongan penduduk Bumiputera dan peradilan bagi golongan bangsa Eropa di Jaman Hindia Belanda yang masih tetap dipertahankan, walaupun Reglemen Indonesia yang lama (Staatsblad Tahun 1848 Nomor 16) telah diperbaharui dengan Reglemen Indonesia yang dibaharui (R.I.B.), karena tujuan dari pembaharuan itu bukanlah dimaksudkan untuk mencapai satu kesatuan hukum acara pidana, tetapi justeru ingin meningkatkan hukum acara pidana bagi raad van justitie. Meskipun Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 telah menetapkan bahwa hanya ada satu hukum acara pidana yang berlaku untuk seluruh Indonesia, yaitu R.I.B, akan tetapi ketentuan yang tercantum di dalamnya ternyata belum memberikan jaminan dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, perlindungan terhadap harkat dan martabat manusia sebagaimana wajarnya dimiliki oleh suatu negara hukum. Khususnya mengenai bantuan hukum di dalam pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum tidak diatur dalam R.I.B., sedangkan mengenai hak pemberian ganti kerugian juga tidak terdapat ketentuannya. Oleh karena itu demi pembangunan dalam bidang hukum dan sehubungan dengan hal sebagaimana telah dijelaskan di muka, maka "Het Herziene Inlandsch Reglement" (Staatsblad Tahun 1941 Nomor 44) berhubungan dengan dan Undang-undang Nomor 1 Drt. Tahun 1951 (Lembaran Negara Tahun 1951 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 81) serta semua peraturan pelaksanaannya dan ketentuan yang diatur dalam peraturan perundang-undangan lainnya, sepanjang hal itu mengenai hukum acara pidana, perlu dicabut karena tidak sesuai dengan cita-cita hukum nasional dan diganti dengan undang-undang hukum acara pidana baru yang mempunyai ciri kondifikatif dan unifikatif berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. 2. Sumber hukum tertulis dan tidak terkodifikasi Sumber hukum ini juga biasa disebut hukum pidana khusus, yaitu hukum pidana yang mengatur golongangolongan tertentu atau terkait dengan jenis-jenis tindak pidana tertentu. Sumber hukum pidana khusus di Indonesia ini di antaranya KUHP Militer, dan beberapa perundang-undangan antara lain: a. Undang-undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika b. Undang-undang Nomor 5 tahun 1997 tentang Psikotropika c. Undang-undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 3. Ketentuan Pidana dalamPeraturan perundang-undangan non-pidana Contoh UU non pidana yang memuat sanksi Pidana: a. UU Lingkungan
b. UU Pers c. UU PendidikanNasional d. UU Perbankan e. UU Pajak f. UU PartaiPolitik g. UU pemilu h. UU Merek i. UU Kepabeana j. UU PasarModal Pidana D. Asas-Asas Hukum Pidana Asas hukum pidana adalah pikiran dasar yang umum sifatnya atau merupakan latar belakang dari peraturanperaturan yang konkrit pada hukum pidana. Asas Legalitas, tidak ada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam Peraturan Perundang-Undangan yang telah ada sebelum perbuatan itu dilakukan (Pasal 1 Ayat (1) KUHP) Jika sesudah perbuatan dilakukan ada perubahan dalam Peraturan Perundang-Undangan, maka yang dipakai adalah aturan yang paling ringan sanksinya bagi terdakwa (Pasal 1 Ayat (2) KUHP). Asas Tiada Pidana Tanpa Kesalahan, Untuk menjatuhkan pidana kepada orang yang telah melakukan tindak pidana, harus dilakukan bilamana ada unsur kesalahan pada diri orang tersebut. Asas teritorial, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku atas semua peristiwa pidana yang terjadi di daerah yang menjadi wilayah teritorial Negara Kesatuan Republik Indonesia, termasuk pula kapal berbendera Indonesia, pesawat terbang Indonesia, dan gedung kedutaan dan konsul Indonesia di negara asing. Asas nasionalitas aktif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua WNI yang melakukan tindak pidana dimana pun ia berada Asas nasionalitas pasif, artinya ketentuan hukum pidana Indonesia berlaku bagi semua tindak pidana yang merugikan kepentingan negara Inonesia E. Macam Hukuman Tindak Pidana Mengenai hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap seseorang yang telah bersalah melanggar ketentuanketentuan dalam undang-undang hukum pidana, dalam Pasal 10 KUHP ditentukan macam-macam hukuman yang dapat dijatuhkan, yaitu sebagai berikut : Hukuman-hukuman Pokok: Hukuman mati, tentang hukuman mati ini terdapat negara-negara yang telah menghapuskan bentuknya hukuman ini, seperti Belanda, tetapi di Indonesia sendiri hukuman mati ini kadang masih di berlakukan untuk beberapa hukuman walaupun masih banyaknya pro-kontra terhadap hukuman ini. Hukuman penjara, hukuman penjara sendiri dibedakan kedalam hukuman penjara seumur hidup dan penjara sementara.Hukuman penjara sementara minimal 1 tahun dan maksimal 20 tahun. Terpidana wajib tinggal dalam penjara selama masa hukuman dan wajib melakukan pekerjaan yang ada di dalam maupun di luar penjara dan terpidana tidak mempunyai Hak Vistol. Hukuman kurungan, hukuman ini kondisinya tidak seberat hukuman penjara dan dijatuhkan karena kejahatankejahatan ringan atau pelanggaran. Biasanya terhukum dapat memilih antara hukuman kurungan atau hukuman denda. Bedanya hukuman kurungan dengan hukuman penjara adalah pada hukuman kurungan terpidana tidak dapat ditahan diluar tempat daerah tinggalnya kalau ia tidak mau sedangkan pada hukuman penjara dapat dipenjarakan dimana saja, pekerjaan paksa yang dibebankan kepada terpidana penjara lebih berat dibandingkan dengan pekerjaan yang harus dilakukan oleh terpidana kurungan dan terpidana kurungan mempunyai Hak Vistol (hak untuk memperbaiki nasib) sedangkan pada hukuman penjara tidak demikian. Hukuman denda, Dalam hal ini terpidana boleh memilih sendiri antara denda dengan kurungan. Maksimum kurungan pengganti denda adalah 6 Bulan. Hukuman tutupan, hukuman ini dijatuhkan berdasarkan alasanasalan politik terhadap orang-orang yang telah melakukan kejahatan yang diancam dengan hukuman penjara oleh KUHP. untuk melihat KUHP silahkan klik disini. Hukuman tambahan tidak dapat dijatuhkan secara tersendiri melainkan harus disertakan pada hukuman pokok, hukuman tambah an tersebut antara lain :
Pencabutan hak-hak tertentu. Penyitaan barang-barang tertentu Pengumuman keputusan hakim reff : here