ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
Ayu Zakya Lestari 1060840002791
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 2010 M/ 1431 H
ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008) SKRIPSI Diajukan Kepada Fakultas Ekonomi dan Bisnis Untuk Memenuhi Syarat-syarat Guna Meraih Gelar Sarjana Ekonomi
Oleh : Ayu Zakya Lestari Nim: 106084002791
Di Bawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D.
Fahmi Wibawa, SE. MBA.
Nip: 195605052000121001
JURUSAN ILMU EKONOMI DAN STUDI PEMBANGUNAN FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVESRITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1431 H/ 2010 M
Hari ini, Tanggal 23 Bulan Juli
Tahun 2010 telah dilakukan Ujian
Komprehensif atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791, dengan
judul
skripsi:
MEMPENGARUHI
“ANALISIS
PERTUMBUHAN
FAKTOR-FAKTOR EKONOMI
YANG
REGIONAL
DI
PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 23 Juli 2010
Tim Penguji Komprehensif
Drs. Lukman, M.Si.
Utami Baroroh, M.Si.
Ketua
Sekretaris
Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Penguji Ahli
Hari ini, Tanggal 6 Bulan September Tahun 2010 telah dilakukan Ujian Sidang Skripsi atas nama Ayu Zakya Lestari dengan Nim: 106084002791, dengan judul skripsi: “ANALISIS FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PERTUMBUHAN EKONOMI REGIONAL DI PROPINSI JAWA BARAT (PERIODE 1995-2008)”. Memperhatikan hasil dan kemampuan keilmuan mahasiswa tersebut selama ujian berlangsung, maka skripsi ini sudah dapat diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 6 September 2010
Tim Penguji Skripsi
Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. Ketua
Prof. Dr. Abdul Hamid, MS. Penguji Ahli
Fahmi Wibawa, SE, MBA. Sekretaris
Utami Baroroh, M.Si. Penguji II
SURAT PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama
: Ayu Zakya Lestari
NIM
: 106084002791
Jurusan
: Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan
Dengan ini menyatakan bahwa Skripsi saya yang berjudul “Analisis Faktorfaktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)” adalah hasil karya saya sendiri yang merupakan hasil penelitian, pengolahan dan analisis saya serta bukan merupakan replika maupun saduran dari hasil karya atau penelitian orang lain. Apabila terbukti skripsi ini plagiat atau replika maka skripsi ini dianggap gugur dan harus melakukan penelitian ulang untuk menyusun skripsi baru dan kelulusan serta gelarnya dibatalkan. Demikian pernyataan ini dibuat dengan segala akibat yang timbul di kemudian hari menjadi tanggung jawab saya.
Jakarta, 15 September 2010
Ayu Zakya Lestari
DAFTAR RIWAYAT HIDUP I. IDENTITAS PRIBADI 1. Nama
: Ayu Zakya Lestari
2. Tempat & Tgl Lahir
: Jakarta, 8 November 1988
3. Alamat
: Jl. Bratasena VI BC 4/16 Reni Jaya
4. Telepon
: 0856 934 63634/ 021 741 0140
II. PENDIDIKAN 1. SD
: SD Muhammadiyah 12 Pamulang
2. SMP
: SMP Negeri 2 Ciputat
3. SMA
: SMA Negeri 46 Jakarta
III. PENGALAMAN ORGANISASI 1. Anggota Div. Seni dan Budaya BEMJ IESP Tahun 2007 2. Sekretaris II BEMJ IESP Tahun 2008 3. Ketua SEIS Dance (Saman Ekonomi dan Ilmu Sosial) Tahun 2008 4. Ketua Propesa Jurusan IESP FEIS Tahun 2008 5. Sekretaris I BEMJ IESP Tahun 2009 6. Bendahara II HMI Komisariat Fak. Ekonomi dan Bisnis Tahun 2010
IV. LATAR BELAKANG KELUARGA 1. Ayah
: Drs. A. Rahim Mahmud
2. Tempat & Tgl Lahir
: Sumbawa Besar, 19 November 1958
3. Alamat
: Reni Jaya, Pamulang
4. Telepon
: 021 741 0140
5. Ibu
: Nur Indah
6. Tempat & Tgl Lahir
: Surabaya, 7 November 1962
7. Alamat
: Reni Jaya, Pamulang
8. Telepon
: 021 741 0140
9. Anak Ke
: Dua dari Tiga Bersaudara
i
ABSTRACT The aim of this research is to know the effects of local government budget from the revenue side, which is local income, number of population and human capital ratio, by adding variable dummy as a regional autonomy policy to regional economic growth in province of West Java. The samples are choosen on the basis of purposive sampling method which is using cluster sampling technique. There are 3 regions which are being researched; Bandung, Cianjur, and Sukabumi. The data are collected from 1995 to 2008. This research is using analysis on panel data estimation which combines time series analysis and cross-section analysis. The panel data estimation technique is utilized on the case of West Java data, covering three classified periods, namely all period, period before, recent and after regional autonomy. The data which are being used for this research is secondary data, with constant data based on year 1993, and other data available from regions or town. The main source of data comes from Statistic Bureau of Indonesia and West Java. The study results show that all independent variables in the model can explain the variation of dependent variable, which is regional economic growth in province of West Java for 96,15%. So, throughout the research period, there are policy changes which give the effect on regional economic growth. It can be seen from dummy variabel of regional autonomy that influences regional economic growth for significant t-value on up to 95%. Then, about local income variable which do not give effect, but the other variables; number of population gives effect and negative for 7,61% and human capital ratio which gives positive effect for 1,95% on regional economic growth.
Keyword: Economic Growth, Local Income, Number of Population, Human Capital Ratio, Regional Autonomy Policy.
ii
ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh anggaran pemerintah daerah dari sisi penerimaan yaitu pendapatan asli daerah, jumlah penduduk dan tingkat pendidikan, dengan menambahkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Penentuan sampel dilakukan dengan metode purposive sampling dengan menggunakan teknik cluster sampling. Dalam penentuan sampel terdapat 3 kota/ kabupaten yang diteliti, yakni kabupaten Bandung, kabupaten Cianjur, dan kota Sukabumi. Data yang dihimpun dari tahun 1995-2008. Metode analisis yang digunakan adalah metode data panel yang menggabungkan antara analisis time series dan cross section. Teknik estimasi data panel juga membagi data kedalam tiga periode waktu, yaitu periode keseluruhan, periode sebelum otonomi daerah, dan periode otonomi daerah. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder berupa data atas dasar harga konstan tahun 1993 dan berupa data level pada tingkat kabupaten/ kota. Sumber data utama berasal dari publikasi Biro Pusat Statistik (BPS). Hasil penelitian menunjukkan bahwa variabel-variabel bebas dalam model mampu menjelaskan variasi dari variabel tergantung, yakni pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat sebesar 96,15%. Jadi, selama periode penelitian adanya shock berupa perubahan kebijakan yakni kebijakan otonomi daerah memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini dapat dilihat dari variabel dummy kebijakan otonomi daerah yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional berupa nilai t-hitung yang signifikan pada tingkat keyakinan 95% . Lalu variabel PAD yang tidak berpengaruh signifikan. Namun tidak dengan variabel jumlah penduduk yang berpengaruh signifikan namun bernilai negatif yaitu sebesar 7,61% dan tingkat pendidikan yang berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional sebesar 1,95%.
Kata kunci: Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, Jumlah Penduduk, Kebijakan Otonomi Daerah.
iii
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan atas kehadirat Allah SWT karena atas limpahan rahmat dan karunia-Nya penulis mampu menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul
“Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi
Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 19952008)”. Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah kepada Baginda Rasululllah SAW beserta kepada para sahabat dan seluruh pengikut Beliau yang insya Allah tetap istiqomah hingga akhir zaman kelak, Amin. Dengan selesainya penyusunan dan penulisan skripsi ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah membantu penulis. Adapun ungkapan
terima kasih ini penulis
tujukan kepada: 1. Bapak A. Rahim dan Ibu Nur Indah, sumber inspirasi, motivasi, dan ambisi penulis dalam hidup. Terima kasih untuk pengajaran dan penghargaan yang sudah dan selalu diberikan. Semoga suatu saat, semua keringat, darah dan airmata mama dan papa dapat ayu balas jauh lebih besar, amin. 2. Bapak Prof. Dr. Abdul Hamid, MS selaku Dekan FEB. 3. Bapak Drs. Lukman, M.Si. selaku Ketua Jurusan IESP. 4. Bapak Pheni Chalid, SF, MA, Ph.D. selaku Dosen Pembimbing I atas kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis. 5. Bapak Fahmi Wibawa, SE, MBA. Selaku Dosen Pembimbing II atas kesediaan waktu, tenaga, dan pikirannya membimbing penulis. 6. Seluruh Dosen FEB atas ilmunya yang bermanfaat, semoga dapat menjadi amalan di akhirat kelak, esp for: Ibu Ami yang cantik dan sabar untuk curhat, konsultasi, revisi skripsi.. Ibu Rahmawati yang cantik dan pintar, terima kasih untuk pertanyaan kapan skripsi saya akan selesai. Ibu Isna yang baik hatinya. Ibu Fitri untuk revisi seminar yang luar biasa dan Ibu Lili yang begitu baik dan murah hati untuk memudahkan saya dalam mengurus nilai dll.
iv
7. Keluarga kecil mba gita, bang aip, dan baby kai.. Hope one day, i’ll find my lil fam like yours.. Adinda Meutia Rizqina, adik kecilku tersayang.. Terima kasih untuk teh lemon hangat dan vanilla lattenya.. 8. My 2nd fam..Mel.Ryn.Nul.Tot.El.Dam..terima kasih untuk 4 tahun yang luar biasa dan begitu indah, menangis dan tertawa bersama kamu semua adalah anugerah yang luar biasa.. 9. GLOSHE “gitayutitanisavibunskali” terima kasih untuk doa, dukungan, dan kebersamaan yang begitu hangat.. 10. Teman-teman kkn 78, esp boy+adit.. terima kasih untuk 30 hari yang indah dan begitu bermakna.. 11. Sahabat terbaik sepanjang masa, Ihda Maulidah.. Teman kecilku lidya, prima, nuning, prima, erna, nova.. 12. Bapak dan Ibu Akademik FEIS, Bu Siska, Pak Rahmat, Pak Udin, Pak Sugeng, Bu Yulia 13. Teman-teman IESP A 2006, SEIS Dance (keep on dancing girls!), HMI KAFEIS (Yakusa!), Rimbassa, Sodara2ku (kaka kembar, lala, mba put). 14. Teman seperjuangan, Upi Lutfiah..untuk rasa optimis yang luarbiasa.
Dan untuk semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, terima kasih yang terdalam untuk bantuan, dukungan, dan doanya. Semoga keberkahan dan kesuksesan selalu menyertai kita semua. Amin. Akhirnya, semoga bantuan, doa, dan semangat yang diberikan dapat menjadi amalan bagi semua pihak yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan penulisan serta penyusunan skripsi ini.
Jakarta, Agustus 2010
Ayu Zakya Lestari Penulis
v
DAFTAR ISI DAFTAR RIWAYAT HIDUP ........................................................
i
ABSTRACT ......................................................................................
ii
ABSTRAK ........................................................................................
iii
KATA PENGANTAR .....................................................................
iv
DAFTAR ISI ……………………………………………………….
vi
DAFTAR TABEL ............................................................................
ix
DAFTAR GAMBAR .......................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................
xi
PENDAHULUAN ……………………...........……......
1
A. Latar Belakang Masalah ………………………….....
1
B. Perumusan Masalah ……………………………….....
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ………………………
8
TINJAUAN PUSTAKA ..........……...………….….......
10
A. Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia……..
10
BAB I
BAB II
1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru.. 12 2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi.. 17 3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah ......................................................................
19
B. Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah…........
23
C. Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah….............
26
D. Hakikat Pertumbuhan Ekonomi ……………….…......
36
E. Teori-teori Pertumbuhan Ekonomi …………..…….....
38
1. Teori Pendapatan Asli Daerah ….................……....
38
2. Teori Jumlah Penduduk ...........................................
41
3. Teori Tingkat Pendidikan ........................................
42
F. Penelitian Terdahulu ………………………………....
45
G. Kerangka Pemikiran ……………………………….....
61
vi
BAB III
H. Hipotesis Penelitian ………………………………......
64
METODOLOGI PENELITIAN …………….…….......
67
A. Ruang Lingkup Penelitian ……………………………. 67 B. Metode Penentuan Sampel ………………………….... 67 C. Metode Pengumpulan Data …………………............... 68 1. Sumber Data ………………………….................… 68 2. Metode Pengumpulan Data ……………….……….
69
D. Metode Analisis Data ………………………………… 69 1. Metode Data Panel .......................…………………
69
2. Estimasi Model Data Panel ......................................
71
3. Pemilihan Metode Estimasi dengan Data Panel ......
73
4. Metode Dummy Variabel ………………………..... 76 5. Model Empiris .......................................................... 77 6. Pengujian Hipotesis ……………………………….. 78 E. Operasional Variabel Penelitian …………………….... 82
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................
84
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian .............................
84
1. Kabupaten Bandung ................................................
84
2. Kabupaten Cianjur ...................................................
86
3. Kota Sukabumi ........................................................
88
B. Penemuan dan Pembahasan ..........................................
91
1. Analisa Deskriptif ....................................................
91
a. Analisa Deskriptif Produk Domestik Regional Bruto ...................................................................
91
b. Analisa Deskriptif PAD .....................................
93
c. Analisa Deskriptif Jumlah Penduduk.................
94
d. Analisa Deskriptif Tingkat Pendidikan ..............
96
2. Estimasi Model Data Panel .....................................
97
a. Pendekatan Pooled Least Square ........................
97
b. Pendekatan Fixed Effect Model ........................
97
vii
c. PLS vs FEM ........................................................
98
d. Pendekatan Random Effect Model ....................
99
3. Pengujian Hipotesis .................................................
100
a. Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) .....
100
1. Uji t ...............................................................
101
2. Uji F ..............................................................
104
3. Keofisien Determinasi ...................................
105
4. Interpretasi Hasil Analisis .............................
106
b. Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) .. 113 c. Periode Otonomi Daerah (2001-2008) ................
115
d. Pengaruh Variabel-variabel Independen terhadap Variabel Dependen ............................... 118
BAB V
PENUTUP ........................................................................
121
A. Kesimpulan .................................................................... 121 B. Implikasi ......................................................................... 123 DAFTAR PUSTAKA ….............…………………..........................
125
LAMPIRAN ....................................................................................... 129
viii
DAFTAR TABEL Nomor
Keterangan
Halaman
2.1
Struktur APBD Propinsi/ Kota/ Kabupaten Pendekatan Kinerja
33
2.2
Penelitian Terdahulu
54
3.1
Perbedaan Fixed Effect Model dan Random Effect Model
73
3.2
Operasional Variabel Penelitian
83
4.1
Regresi Data Panel: Pooled Least Square
97
4.2
Regresi Data Panel: Fixed Effect Model
98
4.3
F- Restricted
98
4.4
Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel Terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008)
101
4.5
Interpretasi Koefisien Fixed Effect Model
106
4.6
Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel Terhadap Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000)
4.7
Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel Terhadap Periode Otonomi Daerah (2001-2008)
4.8
113
115
Arah Hubungan Variabel-variabel Kebijakan Desentralisasi Fiskal dengan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Barat
118
n Estimasi Data P anel dengan Dummy Variabel terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008)
ix
DAFTAR GAMBAR Nomor
Keterangan
Halaman
1.1
Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008
5
2.1
Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008)
28
2.2
Bagan Kerangka Pemikiran
63
3.1
t-Statistik
79
3.2
F-Statistik
81
4.1
Pertumbuhan Ekonomi di Jawa Barat Tahun 1995-2008
92
4.2
Pendapatan Asli Daerah di Jawa Barat Tahun 1995-2008
94
4.3
Jumlah Penduduk di Jawa Barat Tahun 1995-2008
95
4.4
Tingkat Pendidikan di Jawa Barat Tahun 1995-2008
96
4.5
F-Restricted
99
4.6
Hasil Uji t-Statistik
102
4.7
Hasil Uji F-Statistik
105
x
DAFTAR LAMPIRAN
Nomor
Keterangan
Halaman
1.
Data Observasi
129
2.
Output Pooled Least Square
131
3.
Output Fixed Effect Model Periode Keseluruhan (1995-2008)`132
4.
Output Fixed Effect Model Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000)`
5.
133
Output Fixed Effect Model Periode Otonomi Daerah (2001-2008)`
134
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Pertumbuhan
ekonomi
berarti
perkembangan
kegiatan
dalam
perekonomian yang menyebabkan barang dan jasa yang diproduksi dalam masyarakat bertambah dan kemakmuran masyarakat meningkat. Masalah pertumbuhan ekonomi dapat dipandang sebagai masalah makroekonomi dalam jangka panjang. Dari satu periode ke periode lainnya kemampuan suatu negara untuk menghasilkan barang dan jasa akan meningkat. Kemampuan yang meningkat ini disebabkan oleh faktor-faktor produksi yang mengalami peningkatan dalam jumlah dan kualitasnya. Perkembangan kemampuan dalam memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi sering kali lebih besar dari pertambahan produksi yang sebenarnya. Dengan demikian perkembangan ekonomi lebih lambat dari potensinya. Pertumbuhan ekonomi mencerminkan kegiatan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat bernilai positif dan dapat pula bernilai negatif. Jika pada suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan positif, berarti kegiatan ekonomi pada periode tersebut mengalami peningkatan. Sedangkan jika pada
1
suatu periode perekonomian mengalami pertumbuhan negatif, berarti kegiatan ekonomi pada periode tersebut mengalami penurunan. Pertumbuhan ekonomi merupakan kunci dari tujuan ekonomi makro. Hal ini didasari oleh tiga alasan. Pertama, penduduk selalu bertambah. Bertambahnya jumlah penduduk ini berarti angkatan kerja juga selalu bertambah. Pertumbuhan ekonomi akan mampu menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi yang mampu diciptakan lebih kecil daripada pertumbuhan angkatan kerja, hal ini mendorong terjadinya pengangguran. Kedua, selama keinginan dan kebutuhan selalu tidak terbatas, perekonomian harus selalu mampu memproduksi lebih banyak barang dan jasa untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan tersebut. Ketiga, usaha menciptakan pemerataan ekonomi (economic stability) melalui redistribusi pendapatan (income redistribution) akan lebih mudah dicapai dalam periode pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah yang dilaksanakan di Indonesia berdasarkan UU No.32/ 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33/ 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah sebagai revisi dari UU No.22/ 1999 dan UU No.25/ 1999, disadari bahwa kemampuan setiap daerah dalam melaksanakan fungsi otonomi guna peningkatan pertumbuhan ekonomi daerahnya tidak sama. Hal ini disambut baik bagi daerah yang memiliki sumber penerimaan potensial, namun bagi daerah yang memiliki kemampuan keuangan yang jauh dari memadai, maka mereka mengalami kesulitan dalam pembiayaan pelaksanaan otonomi daerahnya. 2
UU No.32/ 2004 merupakan dasar hukum pendelegasian kekuasaan tertentu kepada pemerintah daerah dan membentuk proses politik daerah. Penyerahan fungsi, personil, dan aset dilakukan dari pemerintah pusat kepada pemerintah propinsi, kabupaten, dan kota. Sedangkan UU No.33/ 2004 mendorong desentralisasi dengan memberikan sumber daya fiskal kepada pemerintah daerah, termasuk dalam hal penetapan besarnya tarif pajak dan retribusi daerah. Hal ini bertujuan untuk mendukung tanggung jawab yang dilimpahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Adapun pelaksanaan otonomi daerah harus diimbangi dengan sejauh mana, instrumen atau kemampuan daerah saat ini mampu memberikan nuansa pengolahan keuangan yang lebih adil, rasional, transparan, partisipatif, dan akuntabel sebagaimana yang diamanatkan oleh kedua undang-undang otonomi daerah tersebut. Kebijakan otonomi daerah baru dijalankan pada 1 Januari 2001 berdasarkan UU No.25/ 1999 yang disempurnakan dengan UU No.33/ 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Pada waktu ini, Indonesia memasuki babak baru dalam pengelolaan pemerintahan dan pembangunan. Dalam hal pengelolaan pembangunan dan keuangan, daerah memiliki kewenangan untuk membuat kebijakan di bidang keuangan dan pengelolaan anggaran di sisi penerimaan dan pengeluaran. Pada sisi penerimaan, daerah kota/ kabupaten mendapat keleluasaan untuk menggali sumber-sumber penerimaan yang potensial di daerah, tidak lagi sepenuhnya ditentukan oleh pemerintah pusat. Sedangkan di sisi pengeluaran, 3
daerah sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan penggunaan dana perimbangan yang diterimanya sesuai dengan kebutuhan daerah. Propinsi Jawa Barat selama lebih dari tiga dekade telah mengalami perkembangan perekonomian yang cukup pesat. PDRB propinsi Jawa Barat pada tahun 2003 mencapai Rp.231.764 milyar (US$ 27.26 Billion) menyumbang 14-15 persen dari total PDB nasional, merupakan angka tertinggi bagi sebuah propinsi. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia, PDRB per kapita Jawa Barat adalah Rp. 5.476.034 (US$644.24) termasuk minyak dan gas. Pertumbuhan ekonomi tahun 2003 adalah 4,21 persen termasuk minyak dan gas, bahkan lebih baik dari PDB Indonesia secara keseluruhan (http://id.wikipedia.org/wiki/Jawa_Barat). Dengan adanya kebijakan otonomi daerah telah memberikan peluang bagi propinsi Jawa Barat untuk memiliki kemandirian guna membangun daerahnya. Kemandirian tersebut berpijak pada [1] prinsip demokrasi, [2] partisipasi dan peran serta masyarakat, [3] pemerataan keadilan, serta [4] memperhatikan
potensi
dan
keanekaragaman
daerah
dalam
upaya
mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya lokal. Perkembangan pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat selama 14 tahun terakhir dapat dilihat pada Gambar 1.1 yang menerangkan bahwa pertumbuhan ekonomi propinsi Jawa Barat mengalami perubahan yang fluktuatif dari tahun ke tahun.
4
Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah kembali.
Gambar 1.1. Perkembangan Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 (Dalam Persentase) Perkembangan
pertumbuhan
ekonomi
propinsi
Jawa
Barat
menunjukkan perkembangan yang positif dari tahun 1995-2008. Namun, pada tahun 1998 menunjukkan pertumbuhan ekonomi yaitu minus 17,77 persen, hal ini disebabkan oleh krisis ekonomi dan krisis moneter yang terjadi pada pertengahan tahun 1997 di Indonesia yang kemudian mengakibatkan krisis multidimensi sehingga membawa dampak pada pertumbuhan ekonomi yang negatif di propinsi Jawa Barat. Namun, pada tahun 2000-2008 pertumbuhan ekonomi dapat kembali pulih, meskipun tidak sebaik tahun-tahun sebelumnya. Selama periode sebelum otonomi daerah yaitu tahun 1995-2000, ratarata pertumbuhan ekonomi adalah 0,12 persen, sedangkan pada periode otonomi daerah di tahun 2001-2008, pertumbuhan ekonomi meningkat menjadi 5,21 persen. Hal ini menggambarkan perbaikan yang cukup drastis sebagai dampak dari adanya kebijakan otonomi daerah yang sudah mulai diterapkan di Indonesia sejak tahun 2001.
5
Berkaitan dengan kebijakan otonomi daerah, terdapat indikator utama penentu perkembangan pertumbuhan ekonomi di suatu daerah yakni anggaran pemerintah daerah yang dilihat dari sisi penerimaan, yaitu pendapatan asli daerah (PAD). PAD merupakan salah satu ukuran potensi fiskal daerah, dan sebagai sumber penerimaan yang penting guna peningkatan pertumbuhan ekonomi. Seiring dengan kebijakan otonomi daerah, pemerintah daerah semakin gencar untuk meningkatkan PAD-nya masing-masing dengan berbagai macam cara, salah satu caranya adalah dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber penerimaan yang sudah ada, ataupun menggali sumber-sumber baru. Sebagai propinsi dengan jumlah penduduk terbanyak di Indonesia yang disebabkan oleh tingginya pertumbuhan penduduk alami maupun karena migrasi masuk, Jawa Barat memiliki pertumbuhan ekonomi yang cukup baik, namun hal ini belum dibarengi dengan penyerapan tenaga kerja yang dilihat dari jumlah pengangguran yang masih mengalami kenaikan. Sehingga perlu dilakukan penanggulangan terhadap jumlah penduduk yang besar dengan cara penyediaan lapangan kerja yang memadai atau peningkatan kualitas sumber daya manusia untuk mengisi pasar kerja guna mengurangi jumlah pengangguran yang akan berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan sebagai propinsi yang memiliki perguruan tinggi yang cukup banyak baik swasta maupun negeri, tingkat pendidikan di propinsi Jawa Barat juga memiliki peranan penting terhadap pertumbuhan ekonominya. Pembangunan bidang pendidikan telah dilaksanakan dengan menitikberatkan 6
pada upaya peningkatan kuantitas dan kualitas sarana serta prasarana pendidikan, peningkatan partisipasi anak usia sekolah, pengembangan pendidikan luar sekolah, pengembangan sekolah alternatif, serta peningkatan jumlah dan pemerataan distribusi tenaga pendidik. Namun aksesibilitas masyarakat terhadap pendidikan masih rendah, angka putus sekolah masih cukup tinggi, kualitas dan relevansi serta tata kelola pendidikan belum sesuai dengan kebutuhan dan tuntutan daya saing. Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis tertarik untuk melakukan penelitian
tentang
pertumbuhan
ekonomi
dan
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya di propinsi Jawa Barat. Adapun judul dalam penelitian ini adalah “Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Regional di Propinsi Jawa Barat (Periode 1995-2008)”.
B. Perumusan Masalah Dengan berlakunya kebijakan otonomi daerah di propinsi Jawa Barat diharapkan dapat memberikan dampak positif bagi kemandirian daerah dalam mengelola dan mengalokasikan sumber pendanaannya. Hal ini sangat diharapkan sehingga dapat tercapai tujuan utama dari kebijakan tersebut yaitu mendorong pertumbuhan ekonomi suatu daerah kearah yang lebih baik. Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini masalah yang akan dibahas dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Apakah pendapatan asli daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat? 7
2. Apakah jumlah penduduk mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat? 3. Apakah tingkat pendidikan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat? 4. Apakah kebijakan otonomi daerah mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat? 5. Apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian Adapun penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara pendapatan asli daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 2. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara jumlah penduduk terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 3. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara tingkat pendidikan terhadap
pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa
Barat. 4. Mengetahui apakah ada pengaruh yang signifikan antara kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 8
5. Mengetahui apakah pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
2. Manfaat Penelitian Sedangkan hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk dijadikan pertimbangan oleh decision maker (pengambil kebijakan) baik di tingkat propinsi maupun tingkat kabupaten/ kota dalam pengambilan keputusan yang terkait yakni mengenai faktor-faktor apa saja yang berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Adapun bagi penulis sendiri manfaat yang dapat diambil adalah dapat menambah wawasan dan pengetahuan mengenai faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan Kebijakan Ekonomi di Indonesia Dalam mengamati sejarah perkembangan ekonomi di Indonesia, terutama konsep kebijakan yang berkaitan dengan pengelolaan pemerintahan daerah, sejak lahirnya orde baru sampai saat sekarang ini, kita perlu memperhatikan pokok-pokok pemikiran yang mendasari pola perkembangan ekonomi yang terjadi pada masing-masing era tersebut. Pada dasarnya setiap pemerintahan di dunia, termasuk di Indonesia bertujuan mengembangkan perekonomiannya demi tercapainya peningkatan taraf hidup masyarakat banyak. Taraf hidup yang lebih baik dicerminkan oleh dua indikator utama, yaitu growth dan equity. Pertumbuhan ekonomi (economic growth) merupakan perhatian utama masyarakat perekonomian dunia. Para ekonom dan politisi di semua negara, baik negara kaya maupun miskin, yang menganut sistem kapitalis, sosialis, maupun campuran, semuanya sangat mendambakan dan menomorsatukan pertumbuhan ekonomi. Evaluasi akhir tahun dari pemerintahan dalam sebuah negara selalu memunculkan data-data statistik yang berkaitan dengan pertumbuhan Gross National Product (GNP). Indikator keberhasilan program pembangunan di negara berkembang sering dinilai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Bahkan, baik buruknya kinerja
10
dan kualitas kebijakan pemerintah di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan yang dihasilkan. Sedangkan equity merupakan indikator efektivitas dari sebuah kebijakan pemerintah di masa tersebut, yang artinya bahwa pencapaian dari tujuan kebijakan tersebut berhasil atau tidak dapat dinikmati oleh semua komponen bangsa tanpa ada yang terdistorsi. Namun demikian, dua hal tersebut tidak mudah untuk diraih secara bersamaan karena pencapaian pertumbuhan tidak secara otomatis diikuti oleh pencapaian tujuan keadilan, ataupun sebaliknya. Bahkan seringkali dijumpai antara kedua tujuan tersebut memiliki ―trade off‖ yang artinya apabila sebuah kebijakan bertujuan untuk mencapai pertumbuhan, maka mau tidak mau tujuan keadilan tersebut harus dikorbankan; dan sebaliknya apabila tujuan keadilan atau distribusi yang merata ingin dicapai terlebih dahulu, maka tujuan pertumbuhan harus dikorbankan. Penganut teori pertumbuhan mengatakan bahwa dengan mengutamakan pertumbuhan ekonomi, maka secara otomatis akan terjadi trickledown effect sehingga kelompok miskin atau golongan berpendapatan rendah akan mendapatkan cipratan penghasilan dari golongan yang berpendapatan tinggi, baik melalui sistem donasi, sistem perpajakan progressif, serta sistem subsidi bagi kelompok miskin. Sebaliknya, penganut teori keadilan menghendaki adanya pemerataan pendapatan terlebih dahulu agar semua kebutuhan dasar penduduk dapat terpenuhi secara adil dan merata, sehingga tidak akan terjadi kecemburuan sosial 11
dan kesenjangan ekonomi. Dengan demikian semua orang akan memiliki semangat membangun bersama guna mencapai taraf hidup yang lebih tinggi ataupun tingkat perekonomian yang lebih baik. Diantara kedua kelompok penganut teori pertumbuhan dan keadilan tersebut, terdapat kelompok yang mengambil jalan tengah dengan menghendaki tercapainya kedua tujuan tersebut secara sekaligus. Adapun tujuannya adalah terciptanya perbaikan taraf hidup yang berkeadilan (growth with equity). Dengan pendekatan ini, pada umumnya laju pertumbuhan ekonomi menjadi lebih rendah (lambat), tetapi dapat dibarengi dengan keadilan atau pemerataan penghasilan dan kesempatan yang lebih baik bagi masyarakat secara keseluruhan. Di Indonesia, arah dan tujuan sebuah kebijakan bergerak sesuai dengan tuntutan zaman yang berkembang pada suatu era pemerintahan. Sehingga selain mengaburkan mazhab kebijakan yang dibuat, konsep kebijakan juga cenderung prematur dan memerlukan penyempurnaan di tengah jalan. Sekilas penulis ingin membahas perkembangan kebijakan selama era orde baru sampai dengan era otonomi daerah.
1. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Orde Baru (1968-1998) Orde baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde baru menggantikan orde lama yang merujuk kepada era pemerintahan Presiden Soekarno. Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. 12
Selain itu, kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Pada tahun 1968, MPR secara resmi melantik Soeharto untuk masa jabatan lima tahun sebagai presiden, dan kemudian dilantik kembali secara berturut-turut pada tahun 1973, 1978, 1983, 1988, 1993, dan 1998. Selama
masa
pemerintahannya,
kebijakan-kebijakan
dan
pengeksploitasian sumber daya alam secara besar-besaran menghasilkan pertumbuhan ekonomi yang besar namun tidak merata di Indonesia. Pada masa awal orde baru, kemajuan pembangunan ekonomi dapat dilihat dari pendapatan perkapita, pertanian, pembangunan infrastruktur, dan lain-lain. Saat permulaan orde baru, program pemerintah berorientasi pada usaha penyelamatan ekonomi nasional terutama pada usaha mengendalikan tingkat inflasi, penyelamatan keuangan negara dan pengamanan kebutuhan pokok rakyat. Tindakan pemerintah ini dilakukan karena adanya kenaikan harga pada awal tahun 1966 yang menunjukkan tingkat inflasi kurang lebih 650 persen setahun. Hal itu menjadi penyebab kurang lancarnya program pembangunan yang telah direncanakan pemerintah. Setelah itu dikeluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang pembaruan kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu kabinet AMPERA membuat kebijakan yang mengacu pada Tap MPRS tersebut yakni sebagai berikut: 1) Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan
kemacetan,
seperti:
rendahnya
penerimaan
negara,
tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran negara, terlalu banyak dan tidak 13
produktifnya ekspansi kredit bank serta terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri. 2) Debirokratisasi untuk memperlancar kegiatan perekonomian. 3) Berorientasi pada kepentingan produsen kecil. Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara-cara yaitu sebagai berikut: 1) Mengadakan operasi pajak 2) Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang 3) Dalam
era
orde
baru,
pembangunan
dilandaskan
pada
trilogi
pembangunan, yaitu stabilitas, pertumbuhan, dan pemerataan. Untuk itu pemerintah melakukan ―Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang‖ (25-30 tahun) secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita. 1) Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974) Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan, sandang, perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani. Pelita I lebih menitikberatkan pada sektor pertanian. Adapun keberhasilan dalam Pelita I yaitu sebagai berikut: a. Produksi beras mengalami kenaikan rata-rata 4persen setahun b. Banyak berdiri industri pupuk, semen, dan tekstil c. Perbaikan jalan raya d. Banyak dibangun pusat-pusat tenaga listrik e. Semakin majunya sektor pendidikan 14
2) Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979) Sasaran yang hendak dicapai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, menyejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7 persen setahun serta perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikan produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang direhabilitasi dan di bangun. 3) Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984) Pelita III lebih menekankan pada ―Trilogi Pembangunan‖. Asasasas pemerataan dituangkan dalam berbagai langkah kegiatan pemerataan, seperti pemerataan pembagian kerja, kesempatan kerja, memperoleh keadilan, pemenuhan kebutuhan sandang, pangan, dan perumahan, dan lain-lain. 4) Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989) Pada Pelita IV lebih dititikberatkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV adalah swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasilnya Indonesia berhasil swasembada beras. Selain itu juga dilakukan program KB dan rumah untuk keluarga. 5) Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994) Pada Pelita V ini lebih menitikberatkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan 15
produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor. Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang tahap kedua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI. 6) Pelita VI (1 April 1994 - 31 Maret 1999) Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke arah yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak. Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit diatasi pada akhir tahun 1997. Hal ini berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan. Kondisi ekonomi menjadi kian terpuruk ditambah dengan kkn yang merajalela. Pembangunan yang dilakukan hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat karena cenderung terpusat dan tidak merata.
Meskipun
perekonomian
Indonesia
meningkat,
tapi
secara
fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh. Terjadi kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, dan antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan 16
(marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan. Pembangunan tidak merata tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997. Namun pembangunan ekonomi pada masa orde baru merupakan pondasi bagi pembangunan ekonomi selanjutnya. Adapun kelebihan sistem pemerintahan orde baru antara lain: [1] perkembangan GDP per kapita Indonesia yang pada tahun 1968 hanya US$70 dan pada 1996 telah mencapai lebih dari US$1.000, [2] sukses transmigrasi, [3] sukses KB, dan [4] sukses memerangi buta huruf. Sedangkan kekurangan sistem pemerintahan orde baru yaitu: [1] maraknya korupsi, kolusi, dan nepotisme, [2] pembangunan Indonesia yang tidak merata, [3] bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si miskin), [4] kritik dibungkam dan oposisi diharamkan, [5] kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel.
2. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Reformasi (1998-Sekarang) Pada pertengahan 1997, Indonesia diserang krisis keuangan dan ekonomi yang juga dibarengi kemarau terburuk dalam 50 tahun terakhir, serta harga minyak, gas dan komoditas ekspor lainnya yang semakin jatuh. 17
Rupiah jatuh, inflasi meningkat tajam, dan perpindahan modal (capital flight) dipercepat. Para demonstran yang pada awalnya dipimpin para mahasiswa meminta pengunduran diri Presiden Soeharto. Di tengah gejolak kemarahan massa yang meluas, Presiden Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998, tiga bulan setelah MPR melantiknya untuk masa bakti ketujuh. Soeharto kemudian memilih sang wakil presiden, B.J. Habibie, untuk menjadi presiden ketiga Indonesia. Mundurnya Soeharto dari jabatannya pada tahun 1998 dapat dikatakan sebagai tanda berakhirnya era orde baru, untuk kemudian digantikan dengan "Era Reformasi". Masih adanya tokoh-tokoh penting pada masa orde baru di jajaran pemerintahan pada masa reformasi ini sering membuat beberapa orang mengatakan bahwa orde baru masih belum berakhir. Oleh karena itu era reformasi atau orde reformasi sering disebut sebagai "Era Pasca Orde Baru". Dalam era reformasi, pola sistem pemerintahan dan kebijakan tidak banyak berubah bila dibandingkan dengan era orde baru. Hal ini disebabkan karena sebagian besar para pejabat merupakan bekas pejabat pada masa orde baru. Akibatnya proses penegakan hukum bagi para penyeleweng kekuasaan, perampok uang rakyat, dan pencoleng negara pada era sebelumnya berjalan dengan sangat lambat. Hal ini berdampak pada kondisi ekonomi masa reformasi yang tidak mengalami perbaikan yang berarti. Kondisi perekonomian pada masa orde reformasi dapat digambarkan sebagai berikut: pertama, untuk mengurangi 18
dampak penurunan daya beli masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah menjalankan program jaring pengaman sosial. Akan tetapi adanya tingkat pengangguran yang tinggi dan nilai rupiah yang melemah sampai pada batas terendah sepanjang sejarah Indonesia, yakni mencapai Rp.18.000 per US$ mengakibatkan pogram ini tidak bermakna dan bermanfaat. Kurs dollar yang tinggi mengakibatkan kegiatan produksi yang bahan bakunya merupakan barang impor menjadi terganggu. Terhentinya kegiatan impor karena kurs devisa yang tinggi juga memukul sektor manufacturing dan transportasi yang disebabkan oleh mahalnya komponen suku cadang yang harus diimpor. Kondisi pasar yang tidak menentu ini menyebabkan perusahaan banyak yang berhenti beroperasi dan memberhentikan para karyawannya. Kedua, kebijakan moneter di Indonesia pada saat itu diatur oleh IMF, sehingga sesuai dengan saran IMF untuk dilakukan peningkatan suku bunga hingga mencapai 67 persen per tahun. Hal ini mengakibatkan adanya negative spread pada sektor perbankan sehingga banyak bank yang harus dilikuidasi atau dinyatakan beku operasi.
3. Perkembangan Kebijakan Ekonomi Era Otonomi Daerah (2001Sekarang) Reformasi di segala bidang yang di dukung oleh masyarakat dalam menyikapi permasalahan yang terjadi, baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah menyebabkan lahirnya otonomi daerah sebagai salah satu tuntutan reformasi. Salah satu catatan sejarah pada era reformasi
adalah 19
diperkenalkannya UU No. 22/ 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No. 25/ 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat
dengan selalu memperhatikan
kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat. Untuk itu, otonomi daerah diharapkan dapat: (1) menciptakan efisiensi dan efektifitas pengelolaan sumber daya daerah, (2) meningkatkan kualitas pelayanan umum dan kesejahteraan masyarakat, dan (3) membudayakan dan menciptakan ruang bagi masyarakat untuk ikut berpartisipasi dalam proses pembangunan (Zainuddin; 2010). Kebijakan otonomi daerah yang saat ini sangat santer dibicarakan dimana-mana sebenarnya bukanlah merupakan ―barang baru‖ dalam penyelenggaraan pemerintahan di daerah. Semenjak negara ini lahir kebijakan otonomi daerah sudah mulai dibicarakan. Bahkan para founding fathers negara ini telah menuangkan ide-ide otonomi daerah dalam penyelenggaraan pemerintahan negara pada Undang-Undang Dasar 1945 yaitu pada pasal 18. Selama lebih setengah abad berbagai kebijakan otonomi daerah telah dilahirkan sesuai dengan semangat zamannya (zeitgeist). Mulai dari UU No.1/ 1945, UU No.22/ 1948, UU No.1/ 1957, UU No.18/ 1965, Penpres No.6/ 1969, UU No.5/ 1974 dan terakhir dengan UU No.22/ 1999. Selama masa itu pula terdapat perubahan dan pergeseran semangat otonomi daerah antara lain; otonomi daerah yang seluas-luasnya, otonomi daerah yang nyata dan
20
bertanggung jawab serta otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Jadi
inti
dari
otonomi
daerah
adalah
demokratisasi
dan
pemberdayaan. Otonomi daerah sebagai demokratisasi maksudnya adalah adanya kesetaraan hubungan antara pusat dan daerah, dimana daerah mempunyai kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan, kebutuhan, dan aspirasi masyarakatnya. Aspirasi dan kepentingan daerah akan mendapatkan perhatian dalam setiap pengambilan kebijakan oleh pusat. Sedangkan
otonomi
daerah
sebagai
pemberdayaan
daerah
merupakan suatu proses pembelajaran dan penguatan bagi daerah untuk mampu mengatur, mengurus, dan mengelola kepentingan dan aspirasi masyarakatnya sendiri. Dengan demikian daerah secara bertahap akan berupaya untuk mandiri dan melepaskan diri dari ketergantungan kepada pemerintah pusat. Namun otonomi daerah juga telah menimbulkan berbagai kebijakan yang bersifat kontra produktif terhadap iklim perdagangan dan investasi di daerah. Adanya target untuk meningkatkan PAD menyebabkan terjadinya pungutan tambahan yang secara langsung maupun tidak langsung memberatkan pihak pengusaha maupun masyarakat umum. Sebagai contoh; pengoperasian kembali jembatan timbang di Sulawesi Selatan yang telah dicabut berdasarkan UU No.18/ 1997, perdagangan kayu cendana di NTT yang sarat dengan kontrol dan pajak pemda, Perda No.6/ 2000 propinsi
21
Lampung tentang retribusi izin komoditas keluar propinsi Lampung, dan lainlain (Boyke; 2007). Otonomi dilakukan juga dengan ekspektasi agar daerah memiliki daya saing dan keunggulan lokal. Keinginan tersebut bisa dicapai karena berbagai perubahan untuk mewujudkan misi itu telah dilakukan. Dari dimensi pengelolaan anggaran, misalnya lebih dari 67 persen porsi anggaran belanja negara telah beralih pengelolaannya dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Dari sisi aparatur pemerintah, juga telah terjadi perpindahan pegawai negeri sipil dari pusat ke daerah mencapai lebih dari 2,5 juta orang. Telah lebih banyak pegawai negeri di daerah daripada di pusat. Dengan demikian, terdapat lebih banyak urusan pusat yang diserahkan kepada daerah. Bersama dengan berpindahnya kewenangan pusat ke daerah, nyatanya tujuan utama untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat masih jauh dari tercapai, hal ini dibuktikan dengan jumlah orang miskin tidak menurun, bahkan dalam level tertentu justru meningkat dan menjadi fenomena yang mudah ditemukan dimana-mana. Selain tidak menyembuhkan penyakit lama, otonomi daerah juga telah menciptakan penyakit baru. Kewenangan lebih besar yang dimiliki daerah telah merangsang elite daerah melahirkan wilayah pemekaran atas dasar kepentingan yang sangat sempit, yaitu kepentingan pribadi dan primordial. Sampai dengan tahun 2009 pemekaran wilayah telah dilakukan sebanyak 205 yang terdiri dari 7 propinsi, 165 kabupaten, dan 33 kota, 22
sehingga jumlah daerah di Indonesia adalah 524, yang terdiri dari 33 propinsi, 398 kabupaten dan 93 kota (A. Yani; 2009).
B. Struktur Pemerintahan di Era Otonomi Daerah Berlakunya undang-undang otonomi daerah di Indonesia yang salah satunya ditujukan sebagai langkah percepatan pembangunan, memberikan dan memiliki kewenangan yang cukup besar dalam mengambil keputusan. Dalam hal ini peran daerah lebih besar daripada peran pemerintah pusat. Pemerintah pusat hanya memainkan peranan sebagai fasilitator dan dinamisator. Sementara pemerintah daerah, baik propinsi, kabupaten dan kota, menjadi perencana, pelaksana, dan pengendali program pembangunan masing-masing. Untuk mewujudkan pemerintahan yang baik atau good governance diperlukan reformasi kelembagaan (institutional reform) dan reformasi manajemen publik (public management reform). Reformasi kelembagaan menyangkut pembenahan seluruh alat-alat pemerintahan di daerah, baik struktur maupun infrastrukturnya. Reformasi manajemen sektor publik terkait dengan perlunya digunakan model manajemen pemerintahan yang baru yang sesuai dengan tuntutan perkembangan zaman, misalnya new public management yang berfokus pada manajemen sektor publik yang berorientasi pada kinerja, bukan berorientasi pada kebijakan. Penggunaan paradigma new public management tersebut menimbulkan beberapa konsekuensi bagi pemerintah. Di antaranya perubahan pendekatan dalam
penganggaran, yakni dari penganggaran
tradisional 23
(traditional budget) menjadi penganggaran berbasis kinerja (performance budget), tuntutan untuk melakukan efisiensi, pemangkasan biaya (cost cutting), dan kompetensi tender (compulsory competitive tendering contract). Adanya kebijakan ini memberikan kewenangan yang luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan. Secara lebih detail, UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan dengan UU No.32/ 2004 dengan beberapa revisi, telah melakukan perubahan signifikan dibandingkan dengan sistem yang digunakan di masa orde baru. Pertama, semangat otonomi daerah yang lebih besar ini dimulai dengan perubahan simbolisasi pada nama daerah otonom. Istilah tingkatan daerah otonom (Dati I dan Dati II) dihapuskan, dan diganti dengan istilah yang lebih netral, yaitu propinsi, kabupaten dan kota. Hal ini didasari semangat untuk menghindari citra bahwa tingkatan lebih tinggi (Dati I) secara hierarkis lebih berkuasa daripada tingkatan lebih rendah (Dati II). Padahal keduanya merupakan badan hukum yang terpisah dan sejajar serta mempunyai kewenangan berbeda. Kedua, UU No.22/ 1999 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan propinsi. Pemerintahan kabupaten dan kota telah terbebas dari intervensi pusat yang sangat kuat melalui perangkapan jabatan kepala daerah otonom (local self-government) dan kepala wilayah administratif (field administration). Bupati dan walikota adalah kepada daerah otonom saja. Sementara itu jabatan kepala wilayah pada kabupaten dan kota (dulu kotamadya) sudah tidak dikenal lagi.
24
Ketiga, Bupati dan walikota dipilih secara mandiri di daerah tanpa melibatkan pemerintah propinsi maupun pemerintah pusat. Dalam UU No.22/ 1999, kepala daerah dipilih oleh DPRD. Oleh karena itu, bupati/ walikota harus bertanggung jawab kepada DPRD dan juga dapat diberhentikan oleh DPRD sebelum masa jabatannya usai. Sementara itu, pemerintah pusat (presiden) hanya diberi kekuasaan untuk ‗memberhentikan sementara‘ seorang bupati/ walikota jika
dianggap
membahayakan
integrasi
nasional.
Pada
tahun
2004,
diperkenalkan pilkada langsung dimana kepala daerah dipilih secara langsung oleh rakyat dari para pasangan calon yang diajukan oleh partai politik. Perubahan ke arah pendalaman demokrasi ini terus berkembang. UU No.32/ 2004 ini kemudian direvisi di tahun 2008 dengan memberikan kesempatan kepada calon perseorangan untuk berkompetisi dalam pilkada langsung. Keempat, UU No.22/ 1999 yang kemudian dilanjutkan oleh UU No.32/ 2004 menghapuskan posisi wilayah administratif (field administration) pada level daerah kabupaten dan daerah kota. Integrated prefectoral system yang sentralistis yang digunakan UU No.5/ 1974 diubah menjadi functional system, dan bukan sekedar unintegrated prefectoral system yang dikenal pada UU No.1/ 1957. Kelima,
Undang-undang
tersebut
menempatkan
pemerintahan
kecamatan dan kelurahan sebagai perangkat daerah otonom, yaitu daerah kabupaten dan daerah kota. Dengan kata lain, pemerintahan kecamatan menempati posisi sebagai kepanjangan tangan pemerintahan daerah otonom (desentralisasi), dan bukan sebagai aparat dekonsentrasi. 25
Keenam, Undang-undang ini memberikan kewenangan yang lebih luas kepada daerah otonom yang meliputi seluruh bidang pemerintahan kecuali politik luar negeri, hankam, peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta ‗kewenangan bidang lain‘. Hanya saja, definisi ‗kewenangan bidang lain‘ ini ternyata masih sangat luas, sebab mencakup perencanaan dan pengendalian pembangunan nasional secara makro, dana perimbangan keuangan, sistem administrasi negara dan lembaga perekonomian negara, pembinaan dan pemberdayaan sumber daya manusia, pendayagunaan sumber daya alam serta teknologi tinggi strategis, konservasi dan standarisasi nasional.
C. Struktur Keuangan di Era Otonomi Daerah 1. Struktur Keuangan Daerah menurut UU No.25/ 1999 dan UU No.33/ 2004 Tujuan pokok UU No.25/ 1999 adalah upaya memberdayakan dan meningkatkan kemampuan perekonomian daerah, menciptakan sistem pembiayaan daerah yang adil, proporsional, rasional, transparan, partisipatif, bertanggung jawab dan pasti, serta mewujudkan sistem perimbangan keuangan yang baik antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Namun dalam penerapannya, UU No.25/ 1999 menimbulkan berbagai masalah di daerah. Pertama, mengenai kemampuan keuangan atau kapasitas/ potensi fiskal daerah. Masalah kedua adalah mengenai tingkat efektifitas dan efisiensi dari PAD maupun yang diterima dari pemerintah pusat (dana perimbangan). 26
Dengan keluarnya UU No.25/1999, struktur keuangan daerah mengalami perubahan, yakni sumber baru yang penting adalah dana perimbangan dari pemerintah pusat. Faktor yang digunakan dalam menentukan besarnya bantuan pemerintah pusat kepada pemerintah daerah mencakup beberapa perumusan yang berkaitan dengan
berbagai faktor
seperti upaya pajak (tax effort). Setelah diketahui upaya pajak dari suatu daerah, maka kemudian dapat dilihat pelaksanaan pajak (tax performance) dari suatu daerah. Pajak dalam berbagai unit tingkat pemerintahan baik negara maupun daerah menggambarkan sebuah konsep mengenai kapasitas wajib pajak (taxable capacity). Untuk menyediakan kebutuhan barang dan jasa publik pemerintah daerah sangat membutuhkan dana, dan oleh karena pemerintah daerah juga memiliki kebutuhan fiskal (fiscal need) yang digunakan untuk membiayai penyediaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana sosial ekonomi. Oleh karena itu transfer dana dan pengeluaran yang dilakukan oleh pemerintah daerah
tersebut
harus
memberikan
dampak
pemerataan
(equalization effect). Perbandingan yang dilakukan terhadap tax ratio
memberikan
beberapa indikasi adanya nilai-nilai relatif pajak pada suatu daerah. Dengan mengetahui tax performance dalam hal ini dengan mengetahui tax effort akan dapat diketahui daerah yang memiliki kemungkinan lebih besar hasilnya bila dilakukan pemungutan pajak, atau disebut juga yang memiliki taxable capacity yang lebih besar. 27
Sementara itu, keuangan daerah juga mengalami beberapa perubahan. Melalui UU No.25/ 1999 dan UU No.33/ 2004, secara makro sumber-sumber
keuangan
daerah
diperbesar,
sejalan
dengan
dikembangkannya prinsip perimbangan. Jumlah alokasi transfer keuangan ke daerah terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tabel berikut menunjukkan peningkatan alokasi transfer pusat ke daerah selama era desentralisasi.
TREN TRANSFER KE DAERAH (DANA PERIMBANGAN, DANA OTSUS DAN PENYESUAIAN)
TAHUN 2001-2008 REALISASI APBN 2003
2004
2005
2006
APBN-P 2007
APBN 2008
120,3
129,7
150,5
226,2
254,2
281,2
21,1% 22,6%
7,8%
16,0% 50,3%
2001 2002
280,0
DANA DESENTRALI 81,1 SASI
240,0
% dari thn sebelumnya
-
98,1
12,4%
10,6%
222,1 122,9
111,1
81,1
80,0
3,5
9,2
266,8
143,2
120,0
40,0
244,7
160,0
94,7
Triliun Rp
200,0
6,9
7,2
4,0
9,5
14,4
0,0
2001
2002
2003
2004
REALISASI APBN
2005
2006
2007
2008
APBN-P
APBN
Keterangan : - Realisasi 2001 s.d 2003 berdasarkan PAN, 2004, 2005, dan 2006 berdasarkan LKPP (audited). - Tahun 2007 menggunakan angka APBN-P 2007 ; - Tahun 2008 angka APBN 2008
DANA PERIMBANGAN OTSUS DAN PENYESUAIAN
Sumber: Dirjen Perimbangan Keuangan, Departemen Keuangan RI; 2007.
Gambar 2.1. Tren Alokasi Transfer Pusat ke Daerah (Tahun 2001-2008)
28
Ada sejumlah studi yang telah dilakukan mengenai besarnya dana yang akan disalurkan dari pusat ke daerah akibat penerapan UU No.25/ 1999, diantaranya dari Bappenas. Didasarkan pada sejumlah asumsinya, hasil studi tersebut menunjukkan bahwa penerimaan propinsi secara total meningkat sebesar 17 persen. Ada juga studi lanilla yang merupakan suatu kajian dari Yayasan Indonesia Forum tahun 2000, menemukan dampak diberlakukannya UU No.25/ 1999, yaitu: 1. Umumnya peranan pendapatan asli daerah (PAD) di propinsi yang diteliti, dalam pembiayaan pembangunan ekonomi (APBD) tidak terlalu besar. Ini mencerminkan tingginya tingkat ketergantungan financial daerah terhadap pemerintah pusat. 2. Adanya korelasi positif antara daerah yang kaya sumber daya alam (SDA) dan/ atau sumber daya manusia (SDM) dalam peranan PAD pada APBD. 3. Pada tahun 1998/ 1999 sebagian besar daerah yang diteliti mengalami penurunan PAD di dalam pembentukan APBD-nya dikarenakan adanya krisis ekonomi. Salah satu komponen pendapatan daerah yang diharapkan menjadi sumber utama keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah adalah PAD. Di antara kelima sumber utama PAD yang ada, pajak daerah dan retribusi menjadi sumber andalan PAD. Sedangkan pajak pendapatan, pajak nilai tambah dan pajak barang mewah merupakan tiga jenis pajak yang paling penting bagi pendapatan propinsi.
29
Pengelolaan keuangan daerah harus transparan yang dimulai dari proses perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan anggaran daerah. Selain itu, akuntabilitas dalam pertanggungjawaban publik juga diperlukan, dalam arti bahwa proses penganggaran mulai dari perencanaan, penyusunan, dan pelaksanaan harus benar-benar dapat dilaporkan dan dipertanggungjawabkan kepada DPRD dan masyarakat. Kemudian, value for money yang berarti diterapkannya tiga prinsip dalam proses penganggaran yaitu ekonomi, efisiensi dan efektivitas. Dengan adanya penerapan prinsip-prinsip tersebut, maka akan menghasilkan pengelolaan keuangan daerah (yang tertuang dalam APBD) yang benar-benar mencerminkan kepentingan dan pengharapan masyarakat daerah setempat secara ekonomis, efisien, efektif, transparan,
dan
bertanggung jawab. Sehingga nantinya akan melahirkan kemajuan daerah dan kesejahteraan masyarakat.
2. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) adalah gambaran dari kebijakan pemerintah daerah yang dinyatakan dalam ukuran uang, yang meliputi kebijakan pengeluaran maupun penerimaan pemerintah daerah, serta realisasi anggaran tahun yang lalu. Sementara itu, pengertian APBD yang dimuat dalam Kepmendagri No.29/ 2002, adalah suatu rencana keuangan tahunan daerah yang ditetapkan berdasarkan peraturan daerah tentang APBD.
30
APBD memiliki tiga fungsi bila dilihat dari perspektif administrasi negara, yaitu [1] sebagai pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerah, terutama keuangan daerah untuk satu periode di masa yang akan datang, [2] sebagai instrumen pengawasan pelaksanaan pemerintahan dan pembangunan daerah, dan [3] sebagai instrumen untuk menilai kinerja pemerintah. Sedangkan fungsi APBD dalam pendekatan ekonomi yaitu sebagai berikut: a. Fungsi alokasi; kegiatan penyusunan anggaran merupakan sarana penyediaan barang dan jasa sosial dalam rangka pemenuhan pelayanan publik. b. Fungsi distribusi; penyusunan anggaran merupakan mekanisme pembagian secara merata dan berkeadilan atas berbagai sumber daya dan pemanfaatannya. c. Fungsi stabilisasi; pajak dan pengeluaran akan mempengaruhi permintaan agregat dan kegiatan ekonomi secara keseluruhan. Dalam penyusunan APBD, ada beberapa prinsip dasar yang harus diakomodir yaitu: a. Transparan; APBD yang baik hendaknya dapat memberikan informasi tentang tujuan, sasaran, hasil, dan manfaat yang diperoleh masyarakat dari suatu kegiatan atau proyek yang dianggarkan. b. Partisipatif;
Masyarakat
harus
dilibatkan
dalam
setiap
proses
penganggaran, demi menjamin adanya kesesuaian antara kebutuhan dan aspirasi masyarakat dengan peruntukkan anggaran. 31
c. Disiplin; Penyusunan APBD harusnya berorientasi pada kebutuhan masyarakat, tanpa harus meninggalkan keseimbangan antara pembiayaan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat. d. Keadilan; Pembiayaan pemerintah daerah dilakukan melalui mekanisme pajak dan retribusi yang dibebankan oleh segenap lapisan masyarakat. e. Efisiensi dan efektivitas; Penggunaan dana yang tersedia harus dimanfaatkan sebaik-baiknya untuk meningkatkan pelayanan publik dan kesejahteraan masyarakat. f. Rasional dan terukur; Jumlah pendapatan merupakan perkiraan yang terukur secara rasional yang dapat dicapai untuk setiap sumber pendapatan, dan jumlah belanja yang dianggarkan merupakan batas tertinggi untuk setiap jenis belanja. Dalam penyusunan dan penetapan APBD, ada empat aspek penting yang perlu diperhatikan yaitu: a. Aspek perencanaan, karena melibatkan pembuatan keputusan politik yang memiliki dampak pada masa yang akan datang. b. Aspek politik, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan proses politik yang memuat mekanisme kolektif untuk menentukan pengambilan keputusan tentang ―siapa yang akan memperoleh apa‖ dan ―siapa yang akan menanggung bebannya‖. c. Aspek ekonomi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan proses ekonomi dimana alokasi sumber daya merupakan fungsi ekonomi yang penting. 32
d. Aspek akuntansi, karena perumusan dan penetapan anggaran merupakan proses akuntansi dimana informasi tentang pengeluaran dan penerimaan disusun berdasarkan item penerimaan dan pengeluaran anggaran. Sedangkan format APBD disusun bertolak belakang dari prinsip anggaran defisit. Metodenya adalah metode performance budget (anggaran kinerja), dengan titik tekan pada output. Bentuk struktur APBD dapat dilihat seperti dibawah ini: Tabel 2.1 Struktur APBD Propinsi/ Kabupaten/ Kota Pendekatan Kinerja Uraian
I.
Anggaran
Realisasi
(Rp)
(Rp)
I. Pendapatan 1. Pendapatan Asli Daerah a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Bagian Laba Usaha Daerah d. Lain-lain Pendapatan Asli Daerah 2. Dana Perimbangan a. Bagi Hasil Pajak & Bukan Pajak b. Dana Alokasi Umum c. Dana Alokasi Khusus d. Dana Perimbangan dari Propinsi 3. Lain-lain Pendapatan yang Sah Total Pendapatan 33
II. Belanja A. A. Belanja Aparatur Daerah B. 1. Belanja Administrasi Umum a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan 1. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan 2. 3. Belanja Modal/ Pembangunan Total Belanja Aparatur Daerah C. B. Pelayanan Publik 1. 1. Belanja Administrasi Umum a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan 2. 2. Belanja Operasi dan Pemeliharaan a. Belanja Pegawai/ Personalia b. Belanja Barang dan Jasa c. Belanja Perjalanan Dinas d. Belanja Pemeliharaan 3. 3. Belanja Modal/ Pembangunan Total Belanja Pelayanan Publik D. Belanja Bagi Hasil & Bantuan Keuangan E. Belanja Tidak Tersangka
34
Total Belanja Pelayanan Publik Total Belanja Surplus/ Defisit = (I-II) III. Pembiayaan 1. Penerimaan Daerah a. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun lalu b. Transfer dari Dana Cadangan c. Penerimaan dan Obligasi d. Hasil Penjualan Aset Daerah yang dipisahkan Jumlah Total Penerimaan 2. Pengeluaran Daerah a. Transfer ke Dana Cadangan b. Penyertaan Modal c. Pembayaran Utang Pokok yang jatuh tempo d. Sisa lebih perhitungan anggaran tahun sekarang Jumlah Total Pengeluaran Jumlah Pembiayaan Sumber: Panduan Praktis Mengontrol APBD; 2005.
Dari format di atas dapat dilihat bahwa belanja dapat dibagi dua, yaitu belanja aparatur dan belanja publik. Belanja aparatur adalah setiap bentuk belanja pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan dampaknya tidak secara langsung dinikmati oleh masyarakat (publik). Sedangkan belanja publik adalah setiap bentuk belanja pemerintah daerah untuk membiayai kegiatan yang hasil, manfaat, dan
35
dampaknya secara langsung dinikmati oleh masyarakat. Hal penting lainnya dalam format ini adalah anggaran disusun dengan indikator input, out come, output, benefit, dan impact.
D. Hakikat Pertumbuhan Ekonomi Pertumbuhan
ekonomi
adalah
suatu
ukuran
kuantitafif
yang
menggambarkan perkembangan suatu perekonomian dalam suatu tahun tertentu bila dibandingkan dengan tahun yang sebelumnya. Pertumbuhan ekonomi juga menggambarkan sampai dimana barang dan jasa telah bertambah pada suatu tahun tertentu bila dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Sedangkan pengertian pertumbuhan ekonomi menurut Profesor Simon Kuznets adalah kenaikan kapasitas dalam jangka panjang dari negara yang bersangkutan
untuk
menyediakan
berbagai
barang
ekonomi
kepada
penduduknya yang ditentukan atau dimungkinkan oleh adanya kemajuan atau penyesuaian-penyesuaian teknologi institusional (kelembagaan) dan ideologis terhadap berbagai tuntutan keadaan yang ada. Profesor Kuznets juga mengemukakan enam karakteristik atau ciri proses pertumbuhan ekonomi yang bisa ditemui di hampir semua negara maju, yakni: a. Tingkat pertumbuhan output per kapita dan pertumbuhan penduduk yang tinggi b. Tingkat kenaikan total produktivitas yang tinggi c. Tingkat transformasi struktural ekonomi yang tinggi 36
d. Tingkat transformasi sosial dan ideologi yang tinggi e. Adanya kecenderungan negara-negara yang mulai atau yang sudah maju perekonomiannya untuk berusaha merambah bagian-bagian dunia lainnya sebagai daerah pemasaran dan sumber bahan baku yang baru f. Terbatasnya penyebaran pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai sekitar sepertiga bagian penduduk dunia Adapun tiga faktor atau komponen utama dalam pertumbuhan ekonomi dari setiap bangsa yaitu antara lain: a. Akumulasi modal (capital accumulation) Terjadi
apabila
sebagian
dari
pendapatan
ditabung
dan
diinvestasikan kembali dengan tujuan memperbesar output dan pendapatan di kemudian hari. Adanya pengadaan pabrik baru, mesin-mesin, peralatan, dan bahan baku meningkatkan stok modal (capital stock) secara fisik suatu negara sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan output di masa mendatang. b. Pertumbuhan penduduk dan angkatan kerja Jumlah tenaga kerja yang lebih besar akan menambah jumlah tenaga produktif, sedangkan pertumbuhan penduduk yang lebih besar berarti ukuran pasar domestiknya lebih besar. c. Kemajuan teknologi Ada tiga klasifikasi kemajuan teknologi, yaitu: [1] kemajuan teknologi yang bersifat netral (neutral technological progress); yakni teknologi memungkinkan pencapaian tingkat produksi yang lebih tinggi dengan menggunakan jumlah dan kombinasi faktor input yang sama, [2] 37
kemajuan teknologi yang hemat tenaga kerja (labor saving technological progress); yakni penggunaan teknologi
yang memungkinkan untuk
memperoleh output lebih tinggi dari jumlah input tenaga kerja atau modal yang sama, [3] kemajuan teknologi yang hemat modal (capital saving technological progress); yakni menghasilkan metode produksi padat karya yang lebih efisien. Sedangkan sumber-sumber utama bagi pertumbuhan ekonomi adalah adanya investasi-investasi yang mampu memperbaiki kualitas modal atau sumber daya manusia dan fisik, yang selanjutnya berhasil meningkatkan kuantitas sumber daya produktif yang bisa meningkatkan produktivitas seluruh sumber daya melalui penemuan-penemuan baru, inovasi, dan kemajuan teknologi.
E. Teori – teori Pertumbuhan Ekonomi 1. Teori Pendapatan Asli Daerah (PAD) Keynesianisme atau ekonomi Keynesian atau Teori Keynesian, adalah suatu teori ekonomi yang didasarkan pada ide ekonom Inggris abad ke-20, John Maynard Keyness. Teori ini mempromosikan suatu ekonomi campuran, di mana negara maupun sektor swasta memegang peranan penting. Kebangkitan ekonomi Keynesianisme menandai berakhirnya ekonomi laissez-faire, suatu teori ekonomi yang berdasarkan pada keyakinan bahwa pasar dan sektor swasta dapat berjalan sendiri tanpa campur tangan negara.
38
Teori
ini
menyatakan
bahwa
tren
ekonomi
makro
dapat
mempengaruhi perilaku individu ekonomi mikro. Keyness menekankan pentingnya
permintaan
agregat
sebagai
faktor
utama
penggerak
perekonomian, terutama dalam perekonomian yang sedang lesu. Ia berpendapat
bahwa
kebijakan
pemerintah
dapat
digunakan
untuk
meningkatkan permintaan pada level makro, untuk mengurangi pengangguran dan deflasi. Jika pemerintah meningkatkan pengeluarannya, uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga masyarakat akan terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya (sehingga permintaan agregat bertambah). Selain itu, tabungan juga akan meningkat sehingga dapat digunakan sebagai modal investasi, dan kondisi perekonomian akan kembali ke tingkat normal. Kesimpulan utama dari teori ini adalah bahwa tidak ada kecenderungan otomatis untuk menggerakan output dan lapangan pekerjaan ke kondisi full employment (lapangan kerja penuh). Kesimpulan ini bertentangan dengan prinsip ekonomi klasik seperti ekonomi supply-side yang menganjurkan untuk tidak menambah peredaran uang di masyarakat untuk menjaga titik keseimbangan di titik yang ideal. Berdasarkan teori Keyness tersebut, APBD dan APBN merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi. Peranan APBD sebagai pendorong dan salah satu penentu tercapainya target dan sasaran makro ekonomi daerah diarahkan untuk mengatasi berbagai kendala dan 39
permasalahan pokok yang merupakan tantangan dalam mewujudkan agenda masyarakat yang sejahtera dan mandiri. Kebijakan pengelolaan APBD difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan, belanja dan pembiayaan bagi tercapainya sasaran atas
agenda-agenda
pembangunan
tahunan.
Di
bidang
pengelolaan
pendapatan daerah, akan terus diarahkan pada peningkatan PAD. Untuk merealisasikan hal tersebut akan dilakukan upaya intensifikasi dan ekstensifikasi dengan mengoptimalkan sumber-sumber pendapatan yang telah ada maupun menggali sumber-sumber baru. Sebagai langkah awal untuk mewujudkan peningkatan pendapatan daerah beberapa hal penting yang perlu dilakukan antara lain dengan memperbaharui data obyek pajak, peningkatan pelayanan dan perbaikan administrasi perpajakan, peningkatan pengawasan terhadap wajib pajak, peningkatan pengawasan internal terhadap petugas pajak, dan mencari sumber-sumber pendapatan lainnya yang sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku. Sementara pada sisi belanja, kebijakan pengelolaan belanja daerah diarahkan untuk meningkatkan fungsi pelayanan kepada masyarakat, dengan mengupayakan peningkatan porsi belanja pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja aparatur. Dalam kaitannya dengan pembiayaan, akan terus diupayakan peningkatan penyertaan modal pada beberapa badan usaha milik daerah agar dapat menghasilkan peningkatan PAD. 40
2. Teori Jumlah Penduduk a. Pandangan Adam Smith Ia berpendapat bahwa perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi. Penduduk yang bertambah akan memperluas pasar yang dapat meninggikan tingkat spesialisasi dalam perekonomian. Akibatnya, tingkat kegiatan ekonomi akan bertambah. Perkembangan spesialisasi dan pembagian kerja diantara tenaga kerja akan mempercepat proses pembangunan ekonomi karena akan meninggikan
tingkat
produktivitas
tenaga
kerja
dan
mendorong
perkembangan teknologi. Ia juga mengatakan bahwa bila pembangunan sudah terjadi, maka proses pertumbuhan ekonomi akan terus menerus berlangsung secara kumulatif. b. Pandangan David Ricardo dan Thomas Robert Malthus Kedua ahli ekonomi klasik ini berpendapat bahwa dalam jangka panjang perekonomian akan mencapai stationary state atau suatu keadaan dimana perkembangan ekonomi tidak terjadi sama sekali. Pandangan yang berbeda ini, yaitu diantara Smith di satu pihak dengan Ricardo dan Malthus di lain pihak, bersumber dari perbedaan pandangan mereka mengenai peranan penduduk dalam pembangunan ekonomi. Menurut Smith, yang belum menyadari law of diminishing returns (hukum hasil lebih makin berkurang), perkembangan penduduk akan mendorong pembangunan ekonomi karena dapat memperluas pasar. Sedangkan menurut Ricardo dan Malthus, perkembangan penduduk yang 41
berjalan dengan cepat akan memperbesar pertumbuhan jumlah penduduk hingga menjadi dua kali lipat dalam waktu satu generasi, akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini, pekerja akan menerima upah yang sangat minim yaitu upah hanya mencapai tingkat cukup hidup (subsistences level). Pada saat ini bila dinyatakan teori pertumbuhan kaum klasik, maka yang dimaksud adalah teori pertumbuhan yang dikemukakan oleh Ricardo dan Malthus.
3. Teori Tingkat Pendidikan Dewasa ini berkembang paling tidak tiga perspektif secara teoritis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial. (Elwin Tobing; Suara Pembaruan; 1994). Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding 42
yang
pendidikannya
lebih
rendah.
Apabila
upah
mencerminkan
produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi. Pada tahun 1970-an, teori ini mendapat kritik tajam. Argumen yang disampaikan adalah tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Juga ditekankan bahwa dalam ekonomi modern sekarang ini, angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan lagi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan proses produksi yang semakin dapat disederhanakan. Dengan demikian, orang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya non-formal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Argumen ini diformalkan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori alokasi atau persaingan status yang mendapat dukungan dari Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979). Teori persaingan status ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi. Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam 43
pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang bependidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi. Akan halnya teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial. Pendidikan pada kelompok elit lebih menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat.
Sementara
pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan kelas yang dominan. Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini didukung antara lain oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976). Sedangkan untuk melihat teori yang relevan sesuai dengan keadaan sekarang ini dapat dilihat pada akhir tahun 1980-an dengan pionirnya seperti Paul Romer dan Robert Lucas yang menekankan pada aspek pembangunan modal manusia. Menurut Romer misalnya (1991), modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara dimana individu meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Karena modal manusia, seperti dikemukakan dalam awal tulisan ini, memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya
44
pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi.
F. Penelitian Terdahulu 1. Penelitian pertama ditulis oleh Jorge Martinez-Vasquez dan Robert M. McNab (2001) ―Fiscal Decentralization and Economic Growth‖ yang membahas mengenai ilmu pengetahuan yang mutakhir sebagai sebuah isu dari suatu kebijakan: apa dampak dari desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Desentralisasi fiskal memang mempunyai dampak langsung terhadap pertumbuhan ekonomi, namun dasar teori dari hubungan ini menggambarkan belum adanya kejelasan. Belum adanya teori yang cukup memadai telah mengurangi validitas dari proses kerja empiris pada subyek tersebut. Persamaan yang baik dari model empiris mencari hubungan langsung antara desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi yang akan dijelaskan dalam pertanyaan yang terbuka. Sedikit banyak perhatian telah dicurahkan pada karya tulis ini dimana desentralisasi fiskal berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi, juga dampak desentralisasi fiskal terhadap efisiensi
ekonomi,
makroekonomi.
distribusi
Penelitian
ini
pendapatan menjelaskan
regional, hal-hal
dan
stabilitas
tersebut
dan
menyimpulkannya dalam beberapa kebijakan. Hasil dari penelitian ini menggambarkan bahwa dampak desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan lebih dari sebuah pertanyaan akademis.
45
2. Penelitian kedua yang ditulis oleh Priyo Hari Adi (2005) berupa Jurnal yang berjudul ―Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi‖. Studi
ini
juga
menjelaskan
dampak
desentralisasi
fiskal
terhadap
pertumbuhan ekonomi. Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan pertumbuhan ekonomi antar daerah dengan tipologi yang berbeda. Sampel data penelitian ini adalah kabupaten dan kota se-Jawa dan Bali. Data yang akan digunakan adalah data keuangan daerah yang diterbitkan oleh BPS yang meliputi data PDRB pemerintah kabupaten/ kota se Jawa-Bali tahun 1998-2003 dan data pendapatan perkapita pemerintah kabupaten/ kota se Jawa-Bali tahun 1998-2003. Sedangkan alat analisisnya adalah analisis deskriptif untuk memberikan gambaran awal pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan perkapita. Hasilnya adalah desentralisasi fiskal berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan memberikan dampak yang lebih baik dibandingkan sebelum adanya kebijakan desentralisasi fiskal. Namun demikian, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah benar-benar siap memasuki era desentralisasi fiskal. Hal inilah yang kemudian mengindikasikan alasan terjadinya perbedaan pertumbuhan ekonomi yang positif antar daerah setelah memasuki era desentralisasi fiskal. 3. Penelitian ketiga berupa skripsi yang berjudul ―Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi DIY Tahun 1990-2004‖. Skripsi ini ditulis oleh Nelly Nur Laili pada tahun 2007. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh dari penanaman modal dalam negeri (PMDN), ekspor, 46
pariwisata, dan jumlah perusahaan di sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi di DIY tahun 1990–2004. Metode analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah regresi kuadrat terkecil/ OLS (ordinary least square), dengan data time series tahunan periode 1990–2004 yang bersumber dari Badan Pusat Statistik Indonesia dan Dinas Pariwisata DIY. Pengujian statistik meliputi uji t, uji F dan R-square (koefisien determinasi) serta uji asumsi klasik yaitu multikolinearitas, heteroskedastisitas dan autokorelasi. Hasil analisis data menunjukkan bahwa penanaman modal dalam negeri (PMDN), ekspor, pariwisata, dan jumlah perusahaan di sektor industri berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi di DIY. Hasil Regresi antara variabel dependen dengan variabel independen adalah R-Squared = 0,952151 dan F-Statistik = 49,74804 sehingga secara bersama-sama variabel penanaman modal dalam negeri (PMDN), ekspor, pariwisata, dan jumlah perusahaan di sektor industri terhadap pertumbuhan ekonomi di DIY.
4. Penelitian keempat berupa jurnal yang berjudul ―Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Regional terhadap Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Timur (Periode 1995-2004)‖ yang ditulis oleh Priadi Asmanto dan Soebagyo (2007). Teknik estimasi panel menggunakan data propinsi Jawa Timur dengan klasifikasi 5 periode, yakni periode keseluruhan, sebelum krisis, ketika krisis, ketika desentralisasi, dan periode setelah desentralisasi. Adapun pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif dengan metode regresi data panel. Jenis datanya adalah data sekunder dan merupakan data panel dalam bentuk tahunan, yang meliputi 25 daerah tingkat dua di Jawa Timur dari periode 47
1995–2004. Sedangkan teknik untuk meregresi data panel digunakan pendekatan Fixed Effect Model (FEM). Kemudian, untuk tujuan mengatasi permasalahan yang timbul dalam analisis regresi, diaplikasikan dengan memasukkan dua variabel dummy berupa krisis ekonomi dan otonomi daerah. Hasilnya adalah kondisi krisis ekonomi dan kebijakan baru (otonomi daerah) memiliki pengaruh yang berarti terhadap stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Timur. Selain itu keseluruhan variabel kebijakan moneter dan kebijakan fiskal secara bersama-sama memiliki pengaruh yang signifikan terhadap stabilitas harga dan pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Timur. Akan tetapi dalam empat bagian periode penelitian, terdapat perbedaan dalam tingkat signifikansi variabel moneter dan variabel fiskal dalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi di Jawa timur. Analisis keseluruhan membuktikan bahwa kebijakan moneter dan kebijakan fiskal regional relatif berimbang dalam mempengaruhi stabilitas harga di Jawa Timur, namun tidak demikian dengan pengaruh kebijakan moneter dan kebijakan fiskal regional dalam mempengaruhi pertumbuhan PDRB riil, dimana kebijakan moneter lebih menentukan variasi perubahan PDRB riil yang disebabkan frekuensi data kebijakan moneter lebih tinggi daripada frekuensi data kebijakan fiskal regional. 5. Penelitian kelima oleh Priyo Hari Adi (2007) yang berjudul ―Kemampuan Keuangan
Daerah
dalam
Era
Otonomi
dan
Relevansinya
dengan
Pertumbuhan Ekonomi: Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa–Bali‖. Objek penelitian ini adalah untuk menemukan perbedaan keuangan daerah 48
sebelum dan sesudah era otonomi daerah. Indikator yang digunakan untuk menjelaskan keuangan daerah adalah index kemampuan keuangan daerah itu sendiri. Index tersebut memiliki tiga variabel, yakni pendapatan asli daerah (PAD), pembagian PAD, dan elastisitas PAD terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah kabupaten dan kota se-Jawa dan Bali. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data keuangan daerah yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik. Adapun data-data tersebut adalah data PDRB, realisasi PAD dan realisasi belanja daerah. Untuk kepentingan analisis, data akan dikelompokkan dalam data sebelum otonomi daerah, yaitu data tahun 1998–2000 dan data setelah otonomi, yaitu data untuk tahun 2001–2004. Kemampuan keuangan dalam penelitian ini diukur menggunakan indeks kemampuan keuangan (IKK), kemudian disusun peta kemampuan keuangan yang dibagi dalam tiga kategori, yaitu tinggi, sedang dan rendah. Adapun hasil penelitian menunjukkan
bahwa
secara
umum
daerah
mengalami
peningkatan
pertumbuhan ekonomi dan pertumbuhan PAD. Sayangnya pertumbuhan ini tidak diikuti dengan peningkatan peran (share) PAD terhadap belanja. Terdapat indikasi masih tingginya ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Kemampuan keuangan kabupaten dan kota juga mengalami perubahan yang cukup berarti. Peta kemampuan keuangan yang disusun dengan menggunakan metode indeks kemampuan keuangan menunjukkan adanya pergeseran kemampuan keuangan daerah ke arah yang lebih baik. Salah satu faktor yang
49
menyebabkan
perubahan
kemampuan
keuangan
ini
adalah
tingkat
pertumbuhan ekonomi. 6. Penelitian keenam, dalam sebuah jurnal yang ditulis oleh Joko Waluyo (Jogjakarta, 2007) yang berjudul ―Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan Antardaerah di Indonesia‖. Ruang lingkup penelitiannya adalah studi tentang pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antar propinsi, dan kawasan sejak diberlakukannya otonomi daerah di Indonesia (tahun 2001-2005). Tujuannya adalah
untuk
menganalisis
dampak
desentralisasi
fiskal
terhadap
pertumbuhan ekonomi dan ketimpangan pendapatan antardaerah. Metode penelitian yang digunakan adalah model ekonometrika persamaan simultan dengan menggunakan data panel antar propinsi. Teknik estimasi yang digunakan adalah Two Stage Least Square (TSLS). Evaluasi terhadap kualitas model dilakukan dengan menggunakan RMSE, MAE, MAPE, dan TIC. Data yang digunakan adalah data atas dasar harga konstan tahun 2003 dan data level pada tingkat propinsi. Sumber data utama berasal dari publikasi Biro Pusat Statistik (BPS), Bank Indonesia, dan Departemen Keuangan. Adapun variabel yang digunakan adalah Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP), dan Dana Bagi Hasil Sumber Daya Alam (DBHSDA), sehingga dispesifikasikan sebagai variabel eksogen. Sedangkan variabel targetnya adalah pertumbuhan ekonomi daerah (PDRB) dan PDRB perkapita setiap propinsi di Indonesia. Hasilnya yaitu menunjukkan
bahwa
desentralisasi
fiskal
berdampak
meningkatkan 50
pertumbuhan ekonomi relatif lebih tinggi didaerah pusat bisnis dan daerah yang kaya akan sumber daya alamnya. 7. Penelitian ketujuh yaitu oleh Didit Welly Udjianto (2007) yang berjudul ―Kajian Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan dalam Otonomi Daerah: Studi Kasus 30 Propinsi di Indonesia tahun 2000-2004‖. Jenis datanya adalah data sekunder. Metode analisisnya adalah dengan menghitung derajat otonomi fiskal, laju pertumbuhan PAD dan TPD, tingkat ketergantungan keuangan pusat-daerah, dan indeks kemampuan rutin. Hasilnya adalah adanya klasifikasi kategori daerah sebagai akibat dari kemampuan keuangan daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah. Selain itu, dari hasil perhitungan rata-rata pertumbuhan PAD tergolong kedalam kategori sangat baik, sedangkan rata-rata pertumbuhan TPD-nya berada dalam kategori sedang. Lalu, rata-rata rasio ketergantungan keuangan pusat dan daerah termasuk dalam kategori kurang. Sedangkan indeks kemampuan rutin masuk dalam kategori baik, sehingga dapat disimpulkan bahwa rata-rata propinsi di Indonesia seharusnya mampu membiayai pengeluarannya sendiri tanpa bantuan dari pemerintah pusat. 8. Penelitian kedelapan yang dilakukan oleh Mehmet Serkan Tosun dan Serdar Yilmaz (2008) yang berjudul ―Decentralization, Economic Development, and Growth in Turkish Provinces‖ menjelaskan bahwa terdapat banyak pembangunan yang penting dalam desentralisasi pada struktur pembangunan di Turki sejak awal tahun 1980‘an. Jurnal ini menjelaskan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi pada propinsi-propinsi di Turki. Walaupun terdapat 51
banyak literatur mengenai efek ekonomi dari desentralisasi pemerintah baik dari negara berkembang maupun negara maju, efek-efek tersebut tidak dapat dijelaskan dalam konteks pemerintah lokal di Turki. Penulis menjelaskan perubahan sejak tahun 1980‘an. Kemudian mereka menjelaskan dalam analisis empiris dari efek desentralisasi di propinsi-propinsi Turki dengan menggunakan metode cross-section dan data panel. Data panel terdiri dari 67 propinsi dari tahun 1976-2001. Analisis menjelaskan apakah variasi pada desentralisasi lokal berpengaruh terhadap propinsi-propinsi tersebut dan memberikan
dampak
yang
signifikan
terhadap
pembangunan
dan
pertumbuhan ekonomi di propinsi-propinsi tesebut. Hasilnya ditemukan efek ekonomi yang lemah dari desentralisasi terhadap jumlah pendapatan kotamadya per kapita. Bagaimanapun temuan tersebut tidak menunjukkan dampak yang signifikan dari adanya propinsi baru. Penulis menggunakan analisis regresi untuk melakukan estimasi efek dari desentralisasi pemerintah lokal terhadap pembangunan dan pertumbuhan ekonomi propinsi-propinsi di Turki dengan menggunakan 1.724 observasi. Hal ini sangat penting untuk menjelaskan dampak dari desentralisasi yang telah lalu di Turki yang membawa perubahan signifikan termasuk perubahan administrasi umum. 9. Penelitian kesembilan yang ditulis oleh Puji Wibowo (2008) dalam jurnal yang berjudul ―Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan
Ekonomi
Daerah‖.
Jurnal
ini
membahas
hubungan
desentralisasi fiskal dan pertumbuhan ekonomi regional di Indonesia sebagai transisi dari adanya kebijakan otonomi daerah dengan menggunakan periode 52
1999-2004. Dengan menggunakan data panel 29 propinsi, penelitian ini memperhatikan kewenangan fiskal dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah untuk pengelolaan sumber daya potensial yang dimiliki oleh suatu daerah tersebut. Penelitian ini juga menjelaskan dalam hal otoritas fiskal, pendapatan asli daerah dapat diperoleh setiap daerah dengan pemanfaatan sumber-sumber daya alam/ bukan sda (pajak) seoptimal mungkin guna peningkatan pertumbuhan ekonomi. Data yang digunakan bersumber dari Buku Statistik Tahunan Indonesia yang diterbitkan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) dan website Departemen Keuangan RI. Dependent Variable nya adalah pertumbuhan ekonomi daerah per kapita atau pertumbuhan ekonomi propinsi per kapita. Mengacu pada sejumlah literatur, variabel penjelas (explanatory variables) penulis kelompokkan kedalam dua kategori. Pertama, variabel yang secara empiric menjadi determinan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini penulis sebut sebagai variabel pengendali (control variables) yakni initial level of GDP, jumlah penduduk, rasio investasi terhadap GDP, rasio sumber daya manusia, dan perdagangan internasional (trade openness). Kedua, variabel yang menggambarkan indikator desentralisasi fiskal seperti pendapatan daerah bruto, pendapatan daerah netto, pengeluaran tingkat kabupaten/ kota, pengeluaran tingkat propinsi, total PAD seluruh kabupaten/ kota di suatu propinsi terhadap total pendapatan; baik yang memperhitungkan DAU dan DAK maupun yang tidak memperhitungkan dana transfer, rasio PAD terhadap total pengeluaran, dan rasio PAD terhadap dana perimbangan. Adapun hasilnya adalah menunjukkan bahwa era baru desentralisasi fiskal 53
yang diluncurkan sejak tahun 2001 memberikan dampak yang lebih baik terhadap pembangunan daerah dibandingkan dengan rezim desentralisasi fiskal sebelumnya. 10. Penelitian kesepuluh yang ditulis oleh Yunan (2009) berupa tesis yang berjudul ―Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia‖. Penelitian ini bertujuan menganalisis kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemerintah, dan jumlah tenaga kerja terhadap pertumbuhan ekonomi di Indonesia. Metode analisis yang digunakan adalah Ordinary Least Squares (OLS), dengan data sekunder time series tahun 19882007. Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara simultan kredit perbankan, nilai ekspor, pengeluaran pemenrintah, dan jumlah tenaga kerja berpengaruh signifikan
terhadap
pertumbuhan
ekonomi
Indonesia
pada
tingkat
kepercayaan 99 persen, dengan nilai R2 sebesar 98,46 persen. Secara parsial, hasil analisis menunjukkan bahwa kredit perbankan, pengeluaran pemerintah, dan jumlah tenaga kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Sedangkan nilai ekspor tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Tabel 2.2 Penelitian Terdahulu Tahun 2001
Peneliti
Lokasi
Jorge
-
Tujuan
Hasil Hasilnya
Mengetahui
Martinez-
dampak
Vasquez dan
desentralisasi
Robert
fiskal
McNab
M.
dari
terhadap
bahwa
dampak desentralisasi fiskal
pertumbuhan 54
terhadap
ekonomi
pertumbuhan dalam hal
dampak
langsung,
harapan
terhadap pertumbuhan
lebih
tinggi
dari
desentralisasi.
Tapi
perubahan
yang
dinamis
terhadap
sentralisasi pengeluaran
publik
ternyata tidak jelas. 2005
Priyo Adi
Hasilnya
Hari Kabupaten Mengetahui dan se Bali
Kota dampak
adalah
desentralisasi fiskal
Jawa- desentralisasi fiskal
terhadap
pertumbuhan ekonomi
dan
berpengaruh signifikan
secara terhadap
pertumbuhan
membandingkan pertumbuhan
ekonomi
dan
ekonomi dengan memberikan dampak antar
daerah
yang
lebih
baik
dengan tipologoi berbeda.
yang
dibandingkan sebelum
adanya 55
kebijakan desentralisasi fiskal. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tidak semua daerah benar-benar
siap
memasuki
era
desentralisasi fiskal. 2007
Nelly
Nur DIY
Menganalisis pengaruh
Laili
Hasil dari
analisis
menunjukkan bahwa
penanaman modal
dalam
PMDN,
ekspor,
negeri (PMDN), pariwisata, ekspor,
jumlah perusahaan di
pariwisata,
dan sektor
jumlah perusahaan sektor
dan
industri
di berpengaruh terhadap
industri
pertumbuhan
terhadap ekonomi di DIY.
pertumbuhan ekonomi di DIY tahun
1990–
2004.
2007
Priadi
Jawa
Hasilnya
Mengalisis
Asmanto dan Timur
pengaruh
Soebagyo
kebijakan moneter
desentralisasi fiskal dan
dan krisis ekonomi
kebijakan fiskal memberikan 56
pengaruh
regional terhadap
terhadap
stabilitas harga dan
stabilitas harga pertumbuhan
dan pertumbuhan ekonomi
ekonomi
secara
signifikan.
regional di Jawa Timur (Periode 1995-2004)
Gabungan kedua
dari kebijakan
tersebut berdampak signifikan
terhadap
pertumbuhan regional
dan
stabilitas harga. 2007
Priyo Adi
Hari Kota
dan Mengetahui
Hasil
penelitian
Kabupaten kemampuan
menunjukkan bahwa
se
secara umum daerah
Jawa keuangan
dan Bali.
daerah Era
dalam mengalami Otonomi peningkatan
dan
pertumbuhan
relevansinya
ekonomi
dengan
pertumbuhan
pertumbuhan
Peta
ekonomi.
keuangan
dan PAD.
kemampuan
disusun
yang dengan
menggunakan metode
IKK
menunjukkan 57
pergeseran kemampuan keuangan daerah ke arah yang lebih baik. 2007
Joko Waluyo
Indonesia
Hasilnya
Mengetahui dampak
desentralisasi fiskal
desentralisasi fiskal
terhadap
pertumbuhan
pertumbuhan ekonomi
dapat meningkatkan
dan
ekonomi relatif lebih
ketimpangan tinggi
pendapatan antardaerah
di pusat
Indonesia
di
daerah
bisnis
dan
yang
kaya
daerah
akan SDA-nya. 2007
Didit
Welly 30
Udjianto
Hasilnya
adanya
klasifikasi
kategori
daerah
sebagai
daerah dan dana akibat
kemampuan
Melakukan
Propinsi di analisis Indonesia
dan
kajian pendapatan asli
perimbangan dalam
keuangan
daerah
era
otonomi daerah.
dalam otonomi. dapat bahwa
pelaksanaan Sehingga disimpulkan rata-rata
propinsi di Indonesia
58
seharusnya
mampu
membiayai pengeluarannya sendiri
tanpa
bantuan
dari
pemerintah pusat. 2008
Mehmet
Turki
Mengetahui
Serkan Tosun
tentang
dan
desentralisasi
Serdar
Yilmaz
Hasilnya ditemukan efek ekonomi yang lemah
dan pembangunan serta
dari
desentralisasi terhadap
jumlah
pertumbuhan ekonomi
pendapatan kota per kapita.
2008
Puji Wibowo
29
Mencermati
Propinsi di dampak Indonesia
Adapun
hasilnya
menunjukkan bahwa
desentralisasi fiskal
terhadap
pertumbuhan ekonomi daerah.
era
baru
desentralisasi fiskal yang sejak
diluncurkan tahun
2001
memberikan dampak yang
lebih
baik
terhadap
59
pembangunan daerah dibandingkan dengan
rezim
desentralisasi fiskal sebelumnya. 2009
Yunan
Indonesia
Penelitian
ini Hasil
penelitian
bertujuan
menunjukkan bahwa
menganalisis
secara
simultan
kredit
seluruh
variabel
perbankan, nilai independen ekspor,
berpengaruh
pengeluaran
signifikan
terhadap
pemerintah, dan pertumbuhan jumlah kerja
tenaga ekonomi Indonesia. terhadap Secara parsial, kredit
pertumbuhan ekonomi Indonesia.
perbankan, di pengeluaran pemerintah,
dan
jumlah tenaga kerja berpengaruh positif dan
signifikan,
namun tidak dengan nilai ekspor. 60
G. Kerangka Pemikiran Pertumbuhan ekonomi merupakan masalah perekonomian dalam jangka panjang dan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pendapatan asli daerah, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat, baik secara simultan maupun secara parsial dengan menggunakan uji F dan uji t. Selain itu juga dilihat nilai koefisien determinasinya guna mengetahui seberapa besar kemampuan variabel-variabel independen dalam menerangkan variasi variabel dependen. Pendapatan asli daerah merupakan ukuran potensi fiskal daerah yang harus selalu ditingkatkan guna peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Hal ini sesuai dengan teori Keyness yang menyatakan bahwa kebijakan APBD dan APBN merupakan salah satu mesin pendorong pertumbuhan ekonomi dan penentu tercapainya target dan sasaran makro ekonomi daerah. Kebijakan ini difokuskan pada optimalisasi fungsi dan manfaat pendapatan, belanja, dan pembiayaan. Di bidang pengelolaan pendapatan daerah, akan terus diupayakan pada peningkatan PAD. Pada sisi belanja, akan diusahakan pada peningkatan fungsi pelayanan kepada masyarakat dengan mengupayakan peningkatan porsi belanja pembangunan dan melakukan efisiensi pada belanja aparatur. Serta dalam kaitannya dengan pembiayaan, akan diupayakan pada penyertaan modal beberapa BUMD agar dapat menghasilkan peningkatan PAD. Menurut Ricardo dan Malthus, pertumbuhan jumlah penduduk yang berjalan dengan cepat dapat memperbesar jumlah penduduk hingga menjadi dua 61
kali lipat dalam waktu satu generasi, dan akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini, pekerja akan menerima upah yang sangat minim yaitu upah hanya mencapai tingkat cukup hidup (subsistences level). Dengan demikian, jumlah penduduk berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Sedangkan menurut Paul Romer, tingkat pendidikan yang berkaitan dengan teori modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang.
Pendidikan adalah satu cara dimana individu
meningkatkan modal manusianya.
Semakin tinggi pendidikan seseorang,
diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Karena modal manusia, memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi. Kebijakan otonomi daerah dalam penelitian ini merupakan variabel dummy. Variabel ini digunakan karena selama periode penelitian yaitu tahun 1995-2008 terdapat shock atau perubahan kebijakan yang terjadi, yakni kebijakan otonomi daerah sebagai implikasi dari UU No. 32/ 2004 dam UU No.33/ 2004 yang merupakan revisi dari UU No.22/ 1999 dan UU No.25/ 1999. Diharapkan bahwa kebijakan otonomi daerah ini memberikan pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi seiring dengan kewenangan setiap daerah yang semakin besar untuk meningkatkan sumber-sumber penerimaan daerah dan penggunaan dana perimbangan sesuai dengan kebutuhan daerah masing-masing.
62
Berdasarkan kerangka teori yang telah dikemukakan sebelumnya penulis menggambarkan kerangka pemikiran yakni sebagai berikut:
PAD (X1)
JUMLAH PENDUDUK (X2)
PERTUMBUHAN EKONOMI (Y)
TINGKAT PENDIDIKAN (X3)
DUMMY OTONOMI DAERAH (X4)
METODE DATA PANEL 1. PLS 2. FEM 3. REM
PENGUJIAN HIPOTESIS 1. UJI t 2. UJI F 3. R²
HASIL DAN ANALISIS
KESIMPULAN DAN IMPLIKASI
Gambar 2.2. Bagan Kerangka Pemikiran
63
H. Hipotesis Penelitian Variabel PDRB riil yang digunakan sebagai indikator dalam melihat pertumbuhan ekonomi suatu daerah diharapkan memiliki pengaruh yang positif terhadap pendapatan asli daerah (PAD), dimana semakin tinggi PAD, maka semakin tinggi juga PDRB riilnya. Sementara itu, jumlah penduduk diharapkan memiliki hubungan yang negatif. Seperti diungkapkan bahwa populasi dapat menurunkan produktivitas karena adanya efek law of diminishing returns atas penggunaan tanah dan sumber daya alam.
Penurunan produktivitas berarti penurunan pertumbuhan
ekonomi suatu daerah. Namun pada variabel tingkat pendidikan diharapkan memiliki hubungan yang positif terhadap PDRB, karena kualitas sumber daya manusia berkaitan secara positif dengan pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel dummy kebijakan otonomi daerah diharapkan memiliki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Untuk menguji signifikansi masing-masing variabel independen dapat dilakukan dengan uji t, dengan indikator bahwa t
hitung
>t
tabel,
maka H0 ditolak
dan H1 diterima, atau juga dapat dilakukan dengan indikator probability value yang dibandingkan dengan nilai α, dengan indikator bahwa bila nilai α > probability value, maka H0 ditolak, dan juga sebaliknya. Untuk melihat signifikansi dari variabel independen secara keseluruhan terhadap variabel dependen dapat dilakukan dengan uji F statistik. Pengujian ini
64
dilakukan dengan cara membandingkan nilai F hitung dengan nilai kritis yang didapat dari F tabel. Untuk pengujian selengkapnya dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Pendapatan asli daerah diduga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. H0: α1 = 0 artinya PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat H1: α1 # 0 artinya PAD berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat 2. Jumlah penduduk diduga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. H0: α2 = 0 artinya Jumlah penduduk tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. H1: α2 # 0 artinya Jumlah penduduk berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 3. Tingkat pendidikan diduga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. H0: α3 = 0 artinya Tingkat pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat H1: α3 # 0 artinya Tingkat pendidikan berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 4. Kebijakan
otonomi
daerah
diduga
berpengaruh
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 65
H0: α4 = 0 artinya Kebijakan otonomi daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. H1: α4 # 0 artinya Kebijakan otonomi daerah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. 5. PAD, jumlah penduduk, tingkat pendidikan dan kebijakan otonomi daerah secara bersama-sama diduga berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. H0: α5 = 0 artinya semua variabel bebas (independen) tidak mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel terikatnya (dependen). H1: α5 # 0 artinya paling tidak atau minimal terdapat satu variabel bebas (independen) mempengaruhi secara signifikan terhadap variabel terikatnya (dependen).
66
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
A. Ruang Lingkup Penelitian Adapun ruang lingkup penelitian ini meliputi variabel dependen yakni pertumbuhan ekonomi dan berbagai variabel independen, yakni pendapatan asli daerah (PAD), jumlah penduduk dan tingkat pendidikan, serta dengan menambahkan variabel dummy berupa kebijakan otonomi daerah. Periode waktu yang digunakan pada penelitian ini meliputi tahun 19952008 dengan menggunakan metode data panel. Sedangkan jenis data yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah data sekunder, yakni data yang diperoleh dari hasil pengolahan pihak kedua (data eksternal). Adapun data yang digunakan merupakan data tahunan. Penelitian ini merupakan penelitian eksplanatif yang menggambarkan hubungan sebab akibat antara variabel independen terhadap variabel dependen.
B. Metode Penentuan Sampel Dalam penelitian ini sampel yang digunakan adalah kabupaten/ kota di propinsi Jawa Barat. Metode pengambilan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu suatu cara pengambilan sampel, dimana anggota sampel diserahkan pada pertimbangan pengumpul data yang berdasarkan atas pertimbangan yang sesuai dengan maksud dan tujuan tertentu.
67
Cirinya antara lain: sampel sesuai tujuan, jumlah sampel tidak dipersoalkan, dan unit sampel disesuaikan dengan kriteria tertentu berdasarkan tujuan penelitian. (Sukandarrumidi; 2006) Pertimbangannya adalah kabupaten/ kota di propinsi Jawa Barat dengan PDRB riil tertinggi, sedang, dan terendah. Dalam penelitian ini populasi penelitian yang digunakan adalah 26 kabupaten/ kota yang ada di propinsi Jawa Barat yang terdiri dari 17 kabupaten dan 9 kota.
Karena populasi ini tergolong cukup besar, maka peneliti
menggunakan sampel dari kabupaten/ kota dengan menggunakan teknik sampling. Teknik sampling yang digunakan adalah cluster sampling (sampling daerah). Teknik ini digunakan untuk menentukan sampel jika obyek yang akan diteliti atau sumber data sangat luas (Azwar; 1998). Teknik ini dilakukan melalui dua tahap, yaitu tahap pertama menentukan sampel wilayah dan tahap kedua menentukan jumlah kabupaten/ kota yang akan dijadikan obyek penelitian. Besarnya sampel wilayah yang dibutuhkan adalah 10 persen dari populasi (26 kabupaten/ kota) yaitu sebesar 2,6 dan dibulatkan menjadi 3 kabupaten/ kota yaitu kabupaten Bandung, kabupaten Cianjur, dan kota Sukabumi.
C. Metode Pengumpulan Data 1. Sumber Data Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang bersumber dari Buku Jawa Barat dalam Angka, Kabupaten/ Kota dalam 68
Angka, Produk Domestik Regional Bruto menurut Kabupaten/ Kota di Jawa Barat, Data Sosial Ekonomi Masyarakat Jawa Barat, serta website Jawa Barat dan kabupaten/ kota, dan disamping juga data yang berasal dari sumbersumber lain yang relevan dalam penelitian ini.
2. Metode Pengumpulan Data a) Field Research Penulis
melakukan
penelitian
ke
tempat-tempat
yang
menyediakan data-data sekunder yang diperlukan sebagai bahan referensi seperti Badan Pusat Statistik. b) Library Research Landasan dan teori yang kuat sangat dibutuhkan dalam pemecahan masalah, sehingga penulis melakukan penelitian kepustakaan dengan menggunakan buku-buku, artikel-artikel ilmiah, jurnal, majalah, data-data dari internet, dan sumber-sumber dokumentasi lainnya yang berhubungan dengan penelitian.
D. Metode Analisis Data 1. Metode Data Panel Data panel merupakan gabungan antara data lintas waktu (time series) dan data lintas individu (cross section), dimana unit cross section yang sama diukur pada waktu yang berbeda. Analisis data panel digunakan
69
untuk mengamati hubungan antara satu variabel terikat (dependent variable) dengan satu atau lebih variabel bebas (independent variable). Penggunaan data panel mampu memberikan banyak keunggulan secara statistik maupun secara teori ekonomi, antara lain (Gujarati; 2003) : 1. Data panel mampu memperhitungkan heterogenitas individu secara eksplisit dengan mengizinkan variabel spesifik individu sehingga membuat data panel dapat digunakan untuk menguji dan membangun model perilaku yang lebih kompleks. 2. Jika efek spesifik adalah signifikan berkorelasi dengan variabel penjelas lainnya, maka penggunaan data panel akan mengurangi masalah omittedvariables secara substansial. 3. Data panel mendasarkan diri pada observasi cross section yang berulangulang sehingga metode data panel cocok digunakan untuk study of dynamic adjustment. 4. Tingginya jumlah observasi berimplikasi pada data yang lebih informatif, lebih variatif, kolinearitas antar variabel yang semakin berkurang, dan peningkatan derajat kebebasan (degree of freedom) sehingga dapat diperoleh hasil estimasi yang lebih efisien. Keunggulan-keunggulan tersebut diatas memiliki implikasi pada tidak diperlukan pengujian asumsi klasik dalam model data panel, sesuai apa yang ada dalam beberapa literatur yang digunakan dalam penelitian ini (Maddala, 1998; Pindyck dan Rubinfield, 1991; dan Gujarati, 2003).
70
2. Estimasi Model Data Panel Pada dasarnya ada tiga teknik untuk meregresi data panel (Baltagi, 2002; Gujarati, 2003; Maddala, 1993; Pindyck dan Rubinfield, 1998), yaitu: pendekatan OLS biasa (Pooled Least Square), pendekatan efek tetap (Fixed Effect Model), dan pendekatan efek acak (Random Effect Model).
a. Pendekatan Kuadrat Terkecil (Pooled Least Squares) Merupakan teknik yang paling sederhana dengan mengasumsikan bahwa data gabungan yang ada menunjukkan kondisi yang sesungguhnya. Yaitu dengan menggabungkan (pooled) seluruh data time series dan cross section dan kemudian mengestimasi model dengan menggunakan metode ordinary least square (OLS). Hasil analisis regresi ini dianggap berlaku pada semua objek pada semua waktu. Kelemahan asumsi ini adalah ketidaksesuaian model dengan keadaan yang sesungguhnya. Kondisi tiap objek saling berbeda, bahkan satu objek pada suatu waktu akan sangat berbeda pada kondisi objek tersebut pada waktu yang lain (Wing Wahyu Winarno; 2007; hlm 9.14 ).
b. Pendekatan Efek Tetap (Fixed Effect Model) Model ini dapat menunjukkan perbedaan konstan antarobjek, meskipun dengan koefisien regresor yang sama. Model ini juga memperhitungkan kemungkinan bahwa peneliti menghadapi masalah omitted variables yang mungkin membawa perubahan pada intercept time 71
series atau cross section. Model FEM dengan efek tetap maksudnya adalah bahwa satu objek, memiliki konstan yang tetap besarnya untuk berbagai periode waktu. Demikian pula dengan koefisien regresinya yang besarnya tetap dari waktu ke waktu (time invariant) (Wing Wahyu Winarno; 2007; hlm 9.14 ). Untuk membedakan satu objek dengan objek lainnya digunakan dummy variable, oleh karena itu model ini dikenal juga dengan Least Squares Dummy Variables (LSDV). Hsiao (2005:30) menjelaskan bahwa variabel dummy memungkinkan sebuah model dengan variabel yang hilang dalam periode observasi. Variabel tersebut baik yang secara spesifik untuk daerah tertentu tapi tidak berubah sepanjang waktu, maupun karena variabel yang hilang tersebut spesifik pada waktu tertentu untuk seluruh daerah. Di dalam pemaparan estimasi efek tetap unbalanced panel, Wooldridge (2006) menjelaskan bahwa data yang hilang (attrition) terkait dengan eror yang bersifat idiosyncratic, faktor yang luput dari pengamatan sepanjang waktu, dapat menghasilkan estimasi yang bersifat bias. Namun demikian, manfaat dari estimasi fixed effect adalah bahwa attrition yang terkait dengan faktor yang luput dari pengamatan, akan ditampung dalam Pi ,sehingga hasil estimasi masih dapat diandalkan (unbiased).
72
c. Pendekatan Efek Acak (Random Effect Model) Pendekatan random effect digunakan untuk mengatasi kelemahan metode efek tetap yang menggunakan variabel semu, sehingga model mengalami ketidakpastian. Tanpa menggunakan variabel semu, metode efek random menggunakan residual, yang diduga memiliki hubungan antarwaktu dan antarobjek. Namun, terdapat satu syarat untuk menganalisis dengan menggunakan metode efek random, yaitu objek data silang harus lebih besar dari banyaknya koefisien. (Wing Wahyu Winarno; 2007; hlm 9.15). Tabel 3.1 Perbedaan Fixed Effect Model dan Random Effect Model Perbedaan Model
Fixed Effect ModeL
Random Effects Model
K
K
k 1
k 1
Yit ( i ) k X kit it Yit k X kit ( i it )
Intersep
Berbeda
untuk
tiap
unit Konstan
cross section Varians
Konstan
Error
Berbeda untuk tiap unit cross section
Slopes
Konstan
Konstan
Metode
LSDV
GLS-FGLS
Hipotesis
Uji F
Uji Lagrange Multiplier (LM)
Sumber: I.G Nyoman Mindra Jaya, Kajian Analisis Regresi dengan Data Panel
3. Pemilihan Metode Estimasi dalam Data Panel Ada 2 tahap dalam memilih metode estimasi dalam data panel. Pertama-tama kita akan membandingkan PLS dengan FEM terlebih dahulu. 73
Kemudian dilakukan uji F-test. Jika hasil menunjukkan model PLS yang diterima, maka model PLS-lah yang akan dianalisa. Tapi jika model FEM yang diterima, maka tahap kedua dijalankan, yakni melakukan perbandingan lagi dengan model REM. Setelah itu dilakukan pengujian dengan Haussman test untuk menentukan model mana yang akan dipakai, apakah FEM atau REM.
a. PLS vs FEM Relatif terhadap Fixed Effect Model, Pooled Least Square adalah restricted model dimana ia menerapkan intercept yang sama untuk seluruh individu. Padahal asumsi bahwa setiap unit cross section memiliki perilaku yang sama cenderung tidak realistis mengingat dimungkinkan saja setiap unit tersebut memiliki perilaku yang berbeda. Untuk mengujinya dapat digunakan restricted F-test, dengan hipotesis sebagai berikut: Ho : Model PLS (Restricted) H1 : Model Fixed Effect (Unresticted) Dimana restricted F-test dirumuskan sebagai berikut : F = (R2 UR – R2R) / m (1 - R2 UR) / df dimana: R2 UR
= unrestricted R2
;m
= df for numerator (N-1)
R2 R
= restricted R2
;
= df for denominator (NT-N-k)
N
= Jumlah data cross section
df
74
T
= Jumlah data time series
K
= Jumlah Koefisien Variabel Jika nilai F-hitung > F-tabel maka H0 ditolak, artinya model panel
yang baik untuk digunakan adalah Fixed Effect Model, dan sebaliknya. Jika Ho diterima, berarti model PLS yang dipakai dan dianalisis. Namun jika Ho ditolak, maka model FEM harus diuji kembali untuk memilih apakah akan memakai model FEM atau REM baru dianalisis.
b. FEM vs REM Ada beberapa pertimbangan teknis-empiris yang dapat digunakan sebagai panduan untuk memilih antara fixed effect atau random effect (ToT untuk Pengajar Ekonomi FEUI, 2006) yaitu : 1. Bila T (jumlah unit time series) besar sedangkan N (jumlah unit cross section) kecil, maka hasil FEM dan REM tidak jauh berbeda. Dalam hal ini pilihan umumnya akan didasarkan pada kenyamanan perhitungan, yaitu FEM. 2. Bila N besar dan T kecil, maka hasil estimasi kedua pendekatan dapat berbeda secara signifikan. Jadi, apabila kita meyakini bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian diambil secara acak (random) maka REM harus digunakan. Sebaliknya, apabila kita meyakini bahwa unit cross section yang kita pilih dalam penelitian tidak diambil secara acak maka kita menggunakan FEM.
75
3. Apabila cross-section error component (εi) berkorelasi dengan variabel bebas X maka parameter yang diperoleh dengan REM akan bias sementara parameter yang diperoleh dengan FEM tidak bias. 4. Apabila N besar dan T kecil, dan apabila asumsi yang mendasari REM dapat terpenuhi, maka REM lebih efisien dibandingkan FEM. Keputusan penggunaan FEM dan REM dapat pula ditentukan dengan menggunakan spesifikasi yang dikembangkan oleh Hausmann. Spesifikasi ini akan memberikan penilaian dengan menggunakan Chisquare statistics sehingga keputusan pemilihan model akan dapat ditentukan secara statistik. Pengujian ini dilakukan dengan hipotesa sebagai berikut: Ho : Random Effects Model H1 : Fixed Effect Model Setelah dilakukan pengujian ini, hasil dari Haussman test dibandingkan dengan Chi-square statistics dengan df=k, dimana k adalah jumlah koefisien variabel yang diestimasi. Jika hasil dari Haussman test signifikan, maka Ho ditolak, yang berarti FEM digunakan.
4. Metode Dummy Variabel Untuk tujuan mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul dalam analisis regresi, dapat diaplikasikan dengan memasukkan variabel dummy berupa otonomi daerah. Hal ini dikarenakan selama periode penelitian terdapat hal penting yang dapat memungkinkan terjadinya bias 76
analisis apabila hanya melakukan regresi tanpa membedakan adanya perubahan kebijakan, yaitu otonomi daerah yang berimplikasi pada desentralisasi fiskal. Menurut Gujarati (2003), untuk mengatasi permasalahan yang timbul akibat adanya shock/ perubahan kebijakan, dimungkinkan 4 hal untuk mengatasinya. Pertama, Concident Regression, langkah ini mengasumsikan bahwa intercep dan slope koefisien adalah sama pada sebelum dan sesudah shock. Kedua, Parallel Regression, langkah ini mengasumsikan bahwa intercep berbeda dan slope koefisien adalah sama pada sebelum dan sesudah shock. Ketiga, Concurrent Regression, langkah ini mengasumsikan bahwa intercep sama dan slope koefisien berbeda pada sebelum dan sesudah shock. Dan keempat, Desimiliar Regression, langkah ini mengasumsikan bahwa antara intercep dan slope koefisien adalah berbeda pada sebelum dan sesudah shock.
5. Model Empiris Untuk
mengidentifikasi
faktor-faktor
yang
mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat maka dilakukan analisis dengan menggunakan metode data panel. Model persamaan yang akan diestimasi pada penelitian ini adalah sebagai berikut: PDRBit = βo + β1 PADit + β2 Poprate it + β3 SMAPT it + β4 DOTDAit + eit dimana : 77
PDRBit
: PDRB riil daerah i pada periode t (Rp);
PADit
: Pendapatan asli daerah daerah i pada periode t (Rp);
Poprateit
: Banyaknya jumlah penduduk di daerah i pada periode t (orang);
SMAPTit
: Jumlah penduduk berusia 10 tahun ke atas yang menyelesaikan pendidikan SMA/ SMK dan PT daerah i pada periode t (orang);
DOTDAit : Dummy Otonomi Daerah βo, ..... ,βn : Koefisien regresi (konstanta) eit
: Koefisien Pengganggu/ random error Setelah model penelitian diestimasi maka akan diperoleh nilai dan
besaran dari masing-masing parameter dalam model persamaan diatas. Nilai dari parameter positif atau negatif selanjutnya akan digunakan untuk menguji hipotesis penelitian.
6. Pengujian Hipotesis Adapun uji yang dilakukan untuk mengetahui hasil regresi, yaitu sebagai berikut:
a. Uji Signifikansi Individual (uji statistic t) Menunjukkan seberapa jauh pengaruh satu variabel penjelas secara individual dalam menerangkan variasi variabel terikat. Adapun prosedurnya adalah sebagai berikut: a. Menentukan H0 dan H1 (hipotesis nihil dan hipotesis alternatif)
78
b. Jika signifikansi nilai t < α maka terdapat pengaruh yang signifikan antara variabel dependen dengan variabel independennya. c. Jika signifikansi nilai t > α maka tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel dependen dengan variabel independennya. Artinya H0 diterima dan menolak H1 pada tingkat signifikansi α = 5persen Adapun rumus untuk mencari t-statistik adalah: t-statistik = b – β Se (b) b
= nilai koefisien
β
= nilai b yang dinyatakan dalam Ho
Se
= standard error β
t-tabel bisa dilihat pada tabel distribusi t dengan derajat kebebasan atau degree of freedom (df) n-k, dimana k adalah banyaknya koefisien yang terdapat dalam model regresi termasuk konstanta, dengan α = 5 %.
Gambar 3.1. t-Statistik
H0 diterima apabila -t (alpha/2; n-k) < t-statistik < t (alpha/2; nk), artinya tidak ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat. Sedangkan H0 ditolak apabila t-statistik > t 79
(alpha/2; n-k) atau –t-statistik < -t (alpha/2; n-k), artinya ada pengaruh yang signifikan antara variabel bebas dengan variabel terikat.
b. Uji Signifikansi Simultan (uji statistic F) Menunjukkan apakah semua variabel bebas mempunyai pengaruh secara bersama-sama terhadap variabel terikat. Bila Fhitung > Ftabel (α = 5persen), maka H0
ditolak dan H1 diterima. Berarti bahwa variabel
independen secara simultan mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap variabel dependen. Kriteria pengujiannya adalah: F hitung > F tabel : H0 ditolak, H1 diterima F hitung < F tabel : H0 diterima, H1 ditolak Adapun rumus untuk mencari F-statistik adalah: F-statistik = R²/ (k-1) (1-R²) / (n-k) R²
= koefisien determinasi
n
= jumlah sampel
k
= banyaknya koefisien yang tercakup dalam persamaan regresi
F-tabel dilihat pada tabel distribusi F dengan 1-α; k-1; n-k, dimana: α
= besarnya kesalahan yang dapat ditolerir di dalam kesimpulan
k
= banyaknya koefisien yang tercakup dalam persamaan regresi
n
= jumlah observasi
k-1
= untuk menentukan df untuk pembilang 1
n-k
= untuk menentukan df untuk penyebut 2 80
Gambar 3.2. F-Statistik
H0 diterima bila F-statistik ≤ F-tabel, artinya semua variabel secara bersama-sama bukan merupakan variabel penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat. Sedangkan, H0 ditolak bila F-statistik > F-tabel artinya semua variabel bebas secara bersama-sama merupakan penjelas yang signifikan terhadap variabel terikat.
c. Koefisien determinasi (R²) Mengukur seberapa jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel terikat. Nilainya 0-1. Nilai yang mendekati 1 berarti variabel-variabel independennya memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variabel dependen, dan sebaliknya apabila nilainya semakin mendekati angka nol berarti semakin lemah kemampuan variabel independen dalam menjelaskan fluktuasi variabel dependen.
81
E. Operasional Variabel Penelitian Berangkat dari permasalahan penelitian skripsi ini, maka ada beberapa definisi operasional yang perlu dijelaskan yaitu:
1. Variabel Dependen a. Sebagai proxy atas pertumbuhan ekonomi regional digunakan PDRB riil yang merupakan PDRB atas dasar harga konstan yang menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihitung dengan memakai harga yang berlaku pada satu tahun tertentu sebagai tahun dasar (base year). Dalam penelitian ini digunakan PDRB atas dasar harga konstan tahun 1993.
2. Variabel Independen a. Pendapatan asli daerah adalah Pendapatan yang bersumber dan dipungut sendiri oleh pemerintah daerah. Sumber PAD terdiri dari: pajak daerah, retribusi daerah, laba dari badan usaha milik daerah (BUMD), dan pendapatan asli daerah lainnya yang sah. b. Jumlah penduduk adalah banyaknya jumlah penduduk yang diukur dalam satuan orang. c. Tingkat pendidikan adalah kualitas sumber daya manusia yang diukur dengan rasio penyelesaian pendidikan (SMA dan PT) terhadap penduduk berusia 10 tahun ke atas. d. Kebijakan Otonomi Daerah dalam penelitian ini merupakan variabel dummy. 82
Tabel 3.2 Operasional Variabel Penelitian No.
Dimensi
Sub Variabel
Indikator
Skala
Variabel 1.
Pertumbuhan
PDRB riil
Ekonomi
PDRB
atas
dasar
harga Rasio
konstan 1993 di propinsi Jawa
Barat
menurut
kabupaten/ kota 2.
Pendapatan asli
-
daerah
Realisasi penerimaan PAD Rasio pemerintah daerah di propinsi
(PAD)
Jawa
Barat
menurut
kabupaten/ kota 3.
4.
Jumlah
-
Jumlah penduduk di propinsi Rasio
penduduk
Jawa
(Poprate)
kabupaten/ kota
Tingkat
-
Jumlah
Barat
menurut
penduduk
yang Rasio
pendidikan
berusia 10 tahun ke atas yang
(SMAPT)
menyelesaikan
tingkat
pendidikan SMA dan PT 5.
Variabel
Kebijakan
0 = dummy pra otda (1995- Rasio
Dummy
Otonomi
2000)
Daerah
1 = dummy periode otda (2001-2008)
83
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Obyek Penelitian 1. Kabupaten Bandung Kabupaten Bandung, adalah sebuah kabupaten di propinsi Jawa Barat. Ibu kotanya adalah Soreang. Batas utara kabupaten Bandung Barat; sebelah timur kabupaten Sumedang dan kabupaten Garut; sebelah selatan kabupaten Garut dan kabupaten Cianjur; sebelah barat kabupaten Bandung Barat; dan di bagian tengah kota Bandung dan kota Cimahi. Kabupaten Bandung terdiri atas 31 kecamatan, 266 desa dan 9 kelurahan. Jumlah penduduknya sebesar 2.943.283 jiwa (Hasil Analisis 2006) dengan mata pencaharian yaitu disektor industri, pertanian, pertambangan, perdagangan dan jasa. Sebagian besar wilayah Bandung adalah pegunungan. Perkembangan dan hasil pembangunan di kabupaten Bandung secara umum dapat dilihat dari beberapa indikator makro, yaitu indikator makro ekonomi dan indikator makro sosial budaya, yang pada akhirnya akan bermuara pada peningkatan indeks pembangunan manusia (IPM). Indikator makro sosial yang dijadikan penilaian keberhasilan pembangunan terdiri atas indikator makro sosial yang berasal dari komponen kesehatan, pendidikan dan agama. Indikator makro sosial masyarakat kabupaten Bandung tahun 2008 adalah sebagai berikut:
84
1. Sosial Laju pertumbuhan penduduk
: 2,93persen
Angka harapan hidup (AHH)
: 68,42 tahun
Angka kematian bayi (AKB)
: 37,36
Tingkat partisipasi angkatan kerja : 52,84persen Rasio ketergantungan
: 52,48persen
Angka melek huruf (AMH)
: 98,84persen
2. Budaya Masyarakat kabupaten Bandung sebagian besar merupakan masyarakat suku Sunda dengan aneka khazanah kebudayaan yang dimilikinya. Pluralitas yang terjadi di beberapa wilayah perkotaan dapat diterima oleh masyarakat serta mereka dapat hidup berdampingan secara rukun dan damai. 3. Hankam Di kabupaten Bandung terdapat beberapa instansi militer dan polisi, baik pusat pendidikan maupun kesatuan. Terdapat KODIM sebagai komando teritorial TNI, yaitu KODIM 0609 Bandung. Penanganan Kamtibmas di wilayah hukum kabupaten Bandung dilaksanakan oleh Polres Soreang. 4. Agama Kehidupan beragama berjalan kondusif.
85
Kerjasama antar umat beragama diwujudkan dalam forum kerukunan umat beragama. Komposisi penduduk menurut agama dan sarana peribadatan: 1. Islam
: 3.983.409 orang, masjid : 5.664 buah, mushola:
8.181 buah 2. Kristen
: 26.831 orang, Gereja Kristen : 7 buah
3. Katolik
: 39.609 orang, Gereja Katolik : 40 buah
4. Hindu
: 4.806 orang, Pura : 1 buah
5. Budha
: 5.009 orang, Vihara : 1 buah
6. Konghucu
:-
2. Kabupaten Cianjur Kabupaten Cianjur adalah salah satu kabupaten di propinsi Jawa Barat.
Ibukotanya adalah Cianjur. Kabupaten ini berbatasan dengan
kabupaten Bogor dan kabupaten Purwakarta di utara, kabupaten Bandung dan kabupaten Garut di timur, Samudera Hindia di selatan, serta kabupaten Sukabumi di barat. Kabupaten Cianjur terdiri atas 32 kecamatan, 342 desa dan 6 kelurahan. Pusat pemerintahan berada di kecamatan Cianjur. Sebagian besar wilayah Cianjur adalah pegunungan, kecuali di sebagian pantai selatan berupa dataran rendah yang sempit. Lahan-lahan pertanian tanaman pangan dan hortikultura, peternakan, perikanan, perkebunan dan kehutanan merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat. Keadaan itu ditunjang dengan banyaknya sungai besar dan kecil 86
yang dapat dimanfaatkan sebagai sumber daya pengairan tanaman pertanian. Adapun sungai yang terpanjang di Cianjur adalah sungai Cibuni, yang bermuara di Samudera Hindia. Dari luas wilayah kabupaten Cianjur sebesar 350.148 hektar, pemanfaatannya meliputi 83.034 Ha (23,71 persen) berupa hutan produktif dan konservasi, 58.101 Ha (16,59 persen) berupa tanah pertanian lahan basah, 97.227 Ha (27,76 persen) berupa lahan pertanian kering dan tegalan, 57.735 Ha (16,49 persen) berupa tanah perkebunan, 3.500 Ha (0,10 persen) berupa tanah dan penggembalaan/ pekarangan, 1.239 Ha (0,035 persen) berupa tambak/ kolam, 25.261 Ha (7,20 persen) berupa pemukiman/ pekarangan dan 22.483 Ha (6,42 persen) berupa penggunaan lain-lain. Menurut sensus penduduk tahun 2000, jumlah penduduk di kabupaten Cianjur sebanyak 1.931.480 jiwa, yang terdiri dari penduduk lakilaki sebanyak 982.164 jiwa dan perempuan 949.676 jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 2,23 persen. Kecamatan yang jumlah penduduknya terbesar adalah kecamatan Pacet sebanyak 170.224 jiwa dan kecamatan Cianjur sebanyak 140.374 jiwa. Kecamatan lainnya yang jumlah penduduknya diatas 100.000 jiwa adalah kecamatan Cibeber (105.0204 jiwa), kecamatan Warungkondang (101.580 jiwa) dan kecamatan Karangtengah (123.158 jiwa). Kecamatan yang jumlah penduduknya terkecil adalah kecamatan Cikadu sebanyak 36.212 jiwa. Kecamatan lainnya yang jumlah penduduknya antara 40.000 - 50.000 jiwa adalah kecamatan Sindangbarang, Takokak, dan Sukanagara. 87
Lapangan pekerjaan penduduk kabupaten Cianjur di sektor pertanian yaitu sekitar 62,99 persen. Sektor pertanian merupakan penyumbang terbesar terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) yaitu sekitar 42,80 persen. Sektor lainnya yang cukup banyak menyerap tenaga kerja adalah sektor perdagangan dan jasa yaitu sekitar 14,60 persen. dan pengiriman pembantu sebesar 30 persen. Namun kabupaten Cianjur memiliki kepadatan penduduk yang tidak merata yang dapat dilihat pada: 1. 63,90 persen di wilayah utara dengan luas wilayah 30,78 persen 2. 19,19 persen di wilayah tengah dengan luas wilayah 28,25 persen 3. 17,12 persen di wilayah selatan dengan luas wilayah 40,70 persen Penduduk kabupaten Cianjur dikenal sebagai masyarakat yang religius dengan mayoritas penduduknya memeluk agama Islam yang mencapai 98 persen, sedangkan penduduk non muslim mencapai 2 persen, dengan rincian sebagai berikut: 1. Penduduk beragama Islam = 1.893.203 orang (98 persen) 2. Penduduk beragama Kristen = 32.841 orang (1,7 persen) 3. Penduduk beragama Budha dan Hindu = 5.796 orang (0,3 persen)
3. Kota Sukabumi Kota Sukabumi adalah sebuah kota di propinsi Jawa Barat. Kota ini terletak 115 km sebelah selatan Jakarta, dan wilayahnya berada di tengah-
88
tengah wilayah kabupaten Sukabumi. Kota Sukabumi terdiri atas 7 kecamatan. Wilayah kota Sukabumi seluruhnya berbatasan dengan wilayah kabupaten Sukabumi yakni: di sebelah utara berbatasan dengan kecamatan Cisaat dan kecamatan Sukabumi kabupaten Sukabumi, sebelah selatan dengan kecamatan Nyalindung kabupaten Sukabumi, sebelah barat dengan kecamatan Cisaat kabupaten Sukabumi, dan sebelah timur dengan kecamatan Sukaraja kabupaten Sukabumi. Secara administratif Sukabumi terdiri dari daerah kota dan daerah kabupaten. Sukabumi memiliki penduduk sampai akhir tahun 2002 tercatat 269.142 jiwa, dengan kepadatan penduduk rata-rata 50 jiwa/ km2 yang tersebar diseluruh wilayah kota Sukabumi. Di kota ini telah berdiri perguruan tinggi yaitu Politeknik Sukabumi, Politeknik BBC, Universitas Muhammadiyah Sukabumi (UMMI), Sekolah Tinggi Teknologi Nusa Putra, Amik BSI, STMIK Nusa Mandiri, STMIK PASIM, STIE PASIM, STIKES Sukabumi, STISIP Syamsul Ulum, STIE PGRI, STKIP PGRI, STAI Sukabumi, STAI Syamsul 'Ulum, STH Pasundan juga sekolah lanjutan yang berasaskan Islam yaitu Madrasah Aliyah Baiturrahman. Selain itu kota Sukabumi juga memiliki sarana kesehatan sebagai berikut: 1 rumah sakit pemerintah, 3 rumah sakit swasta, 3 rumah sakit bersalin , 2 puskesmas dengan tempat perawatan, 13 puskesmas tanpa tempat
89
perawatan, 18 puskesmas pembantu, 499 posyandu, 20 apotik, 27 toko obat, serta 68 pengobatan alternatif/ tradisional. Dalam hal sarana keagamaan, kota Sukabumi memiliki masjid 369, musholla / langgar 702, gereja 17, vihara 3, dan kelenteng 1. Sedangkan sarana ekonomi yang dimiliki oleh kota Sukabumi yaitu berupa: Perbankan dan Koperasi Bank Umum 23, Bank BPR 2, Bank Muamalat 4, Bank Syariah 1, dan Koperasi 66. Industri Industri kecil menengah 1.502, industri rumah tangga 224, yang bergerak di bidang furnitur, box jam, kerajinan tangan, elektronik dan garmen. Perdagangan Supermarket 6, pasar tradisional 8, toko 879, warung 3.696, warung internet 10, salon kecantikan 138, rental play station 177, rental komputer 51, rental mobil 56, penyewaan VCD/ LD 159, dan penyewaan alat pesta 64. Akomodasi
:
Hotel/ penginapan 42 dan restoran/ rumah makan 169. Sarana Pendidikan TK 37, SD/MI 168, SLTP/MTSn. 36, SMU Negeri 5, SMU Swasta 12, SMK Negeri 3, SMK Swasta 14, Aliyah Negeri 2, Aliyah Swasta 7, dan Perguruan Tinggi 11. 90
B. Penemuan dan Pembahasan 1. Analisa Deskriptif a. Analisa Deskriptif Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Riil di Propinsi Jawa Barat Salah satu hal penting dalam pembangunan dan merupakan salah satu tujuan pembangunan nasional adalah pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Dalam konteks pertumbuhan ekonomi daerah hal tersebut juga tidak jauh berbeda. Setiap daerah tentunya menginginkan dan menjadikan pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu sasaran dalam pembangunan daerahnya. Produk domestik regional bruto menggambarkan kemampuan suatu wilayah dalam menciptakan nilai tambah pada suatu waktu tertentu. PDRB dapat dilihat dari tiga sisi pendekatan, yaitu produksi, penggunaan, dan pendapatan. Ketiganya menyajikan komposisi data nilai tambah dirinci menurut sektor ekonomi, komponen penggunaan, dan sumber pendapatan. PDRB dari sisi produksi merupakan penjumlahan seluruh nilai tambah bruto yang mampu diciptakan oleh sektor-sektor ekonomi atas berbagai
aktivitas
produksinya. Sedangkan
dari sisi
penggunaan
menjelaskan tentang penggunaan dari nilai tambah tersebut. Selanjutnya, dari sisi pendapatan, nilai tambah merupakan jumlah dari upah/ gaji surplus usaha, penyusutan, dan pajak tak langsung neto yang diperoleh. PDRB disajikan dalam dua versi penilaian, yaitu ―atas dasar harga 91
berlaku‖, yakni menggunakan harga tahun berjalan serta ―atas dasar harga konstan‖, yaitu menggunakan data harga tahun tertentu (tahun dasar).
Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.
Gambar 4.1.
Pertumbuhan Ekonomi di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 (Dalam Juta Rupiah)
Seperti terlihat pada Gambar 4.1, dalam kurun waktu 14 tahun terakhir ini, pertumbuhan ekonomi di propinsi Jawa Barat hampir memiliki pergerakan yang sama, meskipun besarnya pertumbuhan ekonomi yang berbeda.
Pergerakan
tersebut
mengindikasikan
bahwa
struktur
perekonomian yang ada masih memiliki kesamaan antar daerah kabupaten/ kota di propinsi Jawa Barat. Seperti yang kita lihat pada pada tahun 1998 pertumbuhan ekonomi mengalami penurunan dibandingkan tahun sebelumnya karena adanya krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Hal ini juga diikuti dengan proses transisi kebijakan pemerintahan yang menyangkut pemerintahan daerah. Masa transisi dari pola kebijakan yang sentralistik
92
selama periode orde baru menuju arah kebijakan pemerintahan daerah yang lebih terdesentralisasi. Namun, pertumbuhan ekonomi mengalami peningkatan pada tahun 2003-2004, yakni 2-3 tahun pasca era kebijakan otonomi daerah diterapkan di Indonesia. Hal ini disebabkan karena terjadi peningkatan alokasi dana yang dimiliki kabupaten/ kota di propinsi Jawa Barat sebagai akibat dari kebijakan tersebut. Kemudian, pada periode selanjutnya pertumbuhan ekonomi masih tetap memiliki pergerakan yang sama, dimana pergerakan tersebut mengacu pada arah yang positif, meskipun besarnya masih bersifat fluktuatif.
b. Analisa Deskriptif Pendapatan Asli Daerah di Propinsi Jawa Barat Sebagai salah satu ukuran potensi fiskal daerah, pendapatan asli daerah merupakan salah satu hal penting dalam upaya penggalian potensi daerah. Pentingnya hal tersebut tercermin dari semakin gencarnya tiap-tiap daerah dalam hal penggalian potensi tersebut guna mengisi besarnya nilai PAD, terlebih setelah diberlakukannya kebijakan otonomi daerah guna peningkatan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Secara umum, pertumbuhan PAD setiap daerah bergerak pada arah yang sama, yakni semakin meningkat dari tahun ke tahun, terutama pasca diberlakukannya kebijakan desentralisasi fiskal. Hal ini mengindikasikan bahwa sejak diterapkannya kebijakan tersebut, daerah-daerah di propinsi Jawa Barat cenderung untuk meningkatkan PAD-nya sebagai implikasi 93
dari kebijakan otonomi daerah dengan tujuan peningkatan pertumbuhan ekonomi daerah.
Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.
Gambar 4.2.
PAD di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008 (Dalam Ribu Rupiah)
c. Analisa Deskriptif Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat Berkaitan dengan jumlah penduduk sebagai salah satu determinan pertumbuhan ekonomi, Levine dan Renelt (1992) mengutarakan bahwa population growth menentukan tingkat kemakmuran ekonomi. Disamping itu, Becker et al. (1990) berpendapat bahwa dengan asumsi tingkat fertilitas sebagai endogenous variable, masyarakat dengan jumlah penduduk yang cukup banyak akan cenderung untuk melakukan investasi lebih di bidang SDM. Di sisi lain, daerah yang jarang penduduknya memiliki insentif ekonomi untuk meningkatkan jumlah anak guna mengisi kekosongan pasar tenaga kerja. Namun demikian, net impact terhadap pencapaian kinerja ekonomi tidaklah mudah untuk ditentukan. 94
Diungkapkan pula bahwa populasi dapat menurunkan produktivitas karena adanya efek diminishing returns atas penggunaan tanah dan sumber daya alam (Becker et al.1999: hlm 149).
Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.
Gambar 4.3.
Jumlah Penduduk di Propinsi Jawa Barat Tahun 1995-2008
Pada gambar 4.3 dapat kita lihat bahwa jumlah penduduk di propinsi Jawa Barat memiliki pergerakan yang sama, dengan besaran yang berbeda yakni semakin meningkat setiap tahunnya. Kecenderungan penduduk yang terus bertambah tidak hanya disebabkan oleh pertambahan penduduk secara alamiah, namun tidak terlepas dari kecenderungan migran baru yang masuk disebabkan daya tarik propinsi Jawa Barat, baik dilihat dari potensi daerah seperti adanya sektor industri, pertanian, maupun pariwisata, sehingga ketersediaan lapangan kerja dan semakin kondusifnya kesempatan berusaha akan menarik para pendatang dari luar Jawa Barat. 95
d. Analisa Deskriptif Tingkat Pendidikan di Propinsi Jawa Barat Sebagai proxy atas tingkat pendidikan, penulis menggunakan rasio penyelesaian pendidikan SMU dan Perguruan Tinggi terhadap penduduk berusia 10 tahun ke atas. Rasio ini cukup populer digunakan berdasarkan data yang penulis peroleh dari Badan Pusat Statistik Jawa Barat sehingga cukup tepat menggambarkan kualitas sumber daya manusia di negara-negara berkembang. Sebagaimana disepakati oleh para praktisi dan akademisi, tingkat pendidikan terkait secara positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, variabel tersebut diharapkan pula akan menghasilkan angka positif dalam penelitian ini.
Sumber: BPS Jawa Barat. Diolah Kembali.
Gambar 4.4. Tingkat Pendidikan di Propinsi Jawa Barat Tahun 19952008
Dalam gambar 4.4 di atas dapat dilihat bahwa pergerakan tingkat pendidikan di propinsi Jawa Barat hampir sama dengan nilai yang berbeda, 96
yakni semakin meningkat setiap tahunnya, namun ada juga yang mengalami penurunan namun tidak terlalu signifikan. Menurunnya tingkat pendidikan ini dapat disebabkan oleh berbagai macam hal. Diantaranya kemampuan dan kemauan masyarakat untuk berusaha memperoleh pendidikan yang baik dan dapat menunjang kehidupannya. Hal ini dinilai sebagai suatu ukuran bahwa tingkat pendidikan dapat menggambarkan kualitas sumber daya manusia suatu daerah guna mengetahui pertumbuhan ekonomi daerah yang bersangkutan tersebut.
2. Estimasi Model Data Panel a. Pendekatan Pooled Least Squares (PLS) Pertama-tama dilakukan pengolahan data dengan metode pendekatan Pooled Least Squares, sebagai salah satu syarat untuk melakukan uji F-Restricted. Dari hasil pengolahan program E-Views 6.0 didapatkan hasil seperti tampilan sebagai berikut: Tabel 4.1 Regresi Data Panel: Pooled Least Square R-squared
0.921273
Adjusted R-squared
0.915058
Sumber: Data diolah. Lampiran 2.
b. Pendekatan Fixed Effect Model (FEM) Setelah itu dilakukan pengolahan data dengan metode pendekatan Fixed Effect Model untuk dibandingkan dengan metode pendekatan Pooled 97
Least Square pada uji F-Restricted. Dari hasil pengolahan program EViews 6.0 didapatkan hasil seperti tampilan sebagai berikut:
Tabel 4.2 Regresi Data Panel: Fixed Effect Model R-squared
0.961490
Adjusted R-squared
0.954889
Sumber: Data diolah. Lampiran 3.
c. PLS vs FEM Untuk mengetahui model data panel yang akan digunakan, maka digunakan uji F-restricted dengan cara membandingkan F-statistik dan Ftabel. Sebelum membandingkan F-statistik dan F-tabel terlebih dahulu dibuat hipotesisnya. Adapun hipotesisnya adalah sebagai berikut: H0: Model PLS (Restricted) H1: Model FEM (Unrestricted) Dari hasil regresi berdasarkan metode Fixed Effect Model dan Pooled Least Square diperoleh nilai F-statistik yakni sebagai berikut:
Tabel 4.3 F-Restricted Redundant Fixed Effects Tests Pool: Untitled Test cross-section fixed effects Effects Test Cross-section F Cross-section Chi-square
Statistic
d.f.
Prob.
16.844297 28.317874
(2,35) 2
0.0000 0.0000
98
Dari tabel 4.3 diperoleh nilai F-statistik adalah 16,844297, dengan nilai F-tabel pada df (2,35) α = 5 % adalah 3,27, sehingga nilai F statistik > F tabel, maka H0 ditolak, sehingga model data panel yang dapat digunakan adalah Fixed Effect Model.
H0 diterima
0
H0 ditolak
3,27
16,844297
Gambar 4.5. F-Restricted
Berdasarkan gambar 4.5 di atas terlihat bahwa F-restricted (Fstatistik) > F-tabel, maka H0 ditolak, artinya model data panel yang digunakan adalah Fixed Effect Model (FEM).
d. Pendekatan Random Effect Model Setelah diketahui bahwa model yang digunakan adalah Fixed Effect Model, model data panel masih harus dibandingkan lagi antara Fixed Effect dengan Random Effect. Pendekatan Random Effect memiliki syarat bahwa number of unit cross section > number of coefficient. Tetapi pada penelitian kali ini, persamaan regresi tidak memenuhi syarat tersebut, dimana number of unit cross section < number of coefficient sehingga
99
pendekatan Random Effect tidak dapat dilakukan dan model panel tetap pada Fixed Effect Model.
3. Pengujian Hipotesis a. Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) Untuk melihat seberapa besar pengaruh seluruh variabel independen terhadap variabel dependen, pertama kali dapat dilakukan dengan menggunakan teknik data panel dengan dummy variabel. Hal ini dimaksudkan untuk melihat pengaruh variabel-variabel independen terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat dengan memasukkan perubahan kebijakan selama periode penelitian. Sedangkan dummy variabel dalam penelitian ini berupa kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk mengakomodasi permasalahan fluktuasi data yang tajam. Adapun hasil pengolahan data dengan keseluruhan periode dalam penelitian ini yakni sebagai berikut:
100
Tabel 4.4 Hasil Perhitungan Estimasi Data Panel dengan Dummy Variabel terhadap Keseluruhan Periode Penelitian (1995-2008) Variable
PDRB Coefficient
t-Statistic
Prob.
C
999870.8
1.927814
0.0620
PAD?
0.015125
2.015751
0.0516
POPRATE?
-7.607050
-6.269852
0.0000
SMAPT?
1.949714
6.033851
0.0000
DOTDA?
727688.9
2.716136
0.0102
Fixed Effects (Cross) _BDG—C
1537164.
_CNJR—C
-1121650.
_SKBM—C
-415514.3
R-squared
0.961490
Adjusted R-squared
0.954889
F-statistic
145.6435
Prob(F-statistic)
0.000000
Sumber: Ouput Pengolahan Data dengan Program Eviews 6. Lampiran 3.
1. Analisis Pengaruh PAD, Jumlah Penduduk, Tingkat Pendidikan, dan Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Barat secara parsial (individu) Pengujian ini dilakukan untuk menguji apakah variabel bebas (PAD, jumlah penduduk, tingkat pendidikan, dan kebijakan otonomi daerah) berpengaruh secara parsial terhadap variabel terikatnya (pertumbuhan ekonomi regional), yaitu dengan membandingkan 101
masing-masing nilai t-statistik dari regresi dengan t-tabel dalam menolak atau menerima hipotesis. Pada tingkat kepercayaan α = 5 %, df = 35, maka diperoleh t-tabel 2,03.
H0 diterima H0 ditolak
H0 ditolak
b
a -2,03
d
c
2,03
Gambar 4.6. Hasil Uji t-Statistik
Keterangan gambar: a
= PAD (2,015751)
;c
= SMAPT (6,033851)
b
= Poprate (-6,269852)
;d
= Dotda (2,716136)
Berdasarkan gambar diatas maka terlihat bahwa : 1. Variabel PAD t-statistiknya < t-tabel yang berarti H0 diterima 2. Variabel Poprate t-statistiknya < -t tabel yang berarti H0 ditolak 3. Variabel SMAPT t-statistiknya > t-tabel yang berarti H0 ditolak 4. Variabel Dummy Otonomi Daerah t-statistiknya > t-tabel yang berarti H0 ditolak Dari gambar 4.6 di atas dapat dilihat bahwa variabel PAD tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini dapat diketahui dari nilai t tabel (2,03) > t statistik (2,01) dengan tingkat keyakinan sebesar 95 persen (α = 5 %). PAD 102
merupakan
sumber
utama
penerimaan
suatu
daerah.
Dengan
diberlakukannya kebijakan otonomi daerah, maka setiap daerah akan berusaha untuk meningkatkan PAD-nya dengan berbagai macam cara. Namun dalam penelitian ini PAD justru tidak memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Pada variabel jumlah penduduk memiliki pengaruh yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini berarti bahwa semakin meningkat jumlah penduduk, maka pertumbuhan ekonomi regional akan semakin turun. Koefisien regresi variabel jumlah penduduk sebesar -7,607050 berarti bahwa setiap peningkatan jumlah penduduk sebesar 1 persen, maka dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 7,61 persen, cateris paribus. Jumlah penduduk yang tinggi bila tidak dibarengi dengan peningkatan kualitas sumber daya manusia yang sesuai dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena tidak selamanya jumlah penduduk yang banyak dapat selalu memperluas pasar, bila tidak dibarengi dengan penyediaan pasar tenaga kerja yang memadai. Pada variabel tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan dan positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini berarti bahwa semakin naik tingkat pendidikan, maka pertumbuhan ekonomi regional akan semakin meningkat. Koefisien regresi variabel tingkat pendidikan sebesar 103
1,949714 berarti bahwa setiap peningkatan tingkat pendidikan sebesar 1 persen, maka dapat menyebabkan peningkatan pertumbuhan ekonomi regional sebesar 1,95 persen, cateris paribus. Tingkat pendidikan yang tinggi termasuk lamanya waktu sekolah dan pendidikan yang diemban seseorang dapat menyebabkan upah meningkat. Sedangkan tingkat produktivitas seseorang ditentukan oleh upahnya. Jadi tingkat pendidikan yang tinggi dapat menyebabkan produktivitas meningkat, dan kemudian berdampak langsung pada peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pada dummy variabel kebijakan otonommi daerah ditunjukkan dengan nilai t statistik (2,716136) > t tabel (2,03), maka dummy variabel ini berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Perubahan kebijakan atau shock yang terjadi selama periode penelitian yakni tahun 1995-2008 memberikan pengaruhnya terhadap peningkatan pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
2. Analisis Pengaruh PAD, Jumlah Penduduk, Tingkat Pendidikan, dan Kebijakan Otonomi Daerah terhadap Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Barat secara simultan (bersama) Untuk menguji apakah variabel bebas
berpengaruh secara
simultan terhadap variabel terikatnya, maka digunakan uji F dengan cara membandingkan F-statistik dengan F-tabel. Dari hasil regresi 104
diperoleh nilai F-statistik 145,6435. Pada tingkat kepercayaan α = 5 %, k=7, dan n=42, maka diperoleh F-tabel 2,22-2,25.
H0 diterima
H0 ditolak
2,22-2,25
145,6435
Gambar 4.7. Hasil Uji F-Statistik Berdasarkan gambar 4.7 di atas maka terlihat bahwa F-statistik (145,6435) > F-tabel (2,22-2,25), maka H0 ditolak, artinya variabel bebas (PAD, Poprate, SMAPT, DOTDA) berpengaruh signifikan secara simultan terhadap variabel terikatnya (pertumbuhan ekonomi regional) pada tingkat kepercayaan 95 persen.
3. Uji Koefisien Determinasi Berdasarkan hasil pengolahan data dalam tabel 4.4, koefisien determinasi adalah sebesar 0, 961490. Hal ini terlihat bahwa 96,15 persen pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat dapat dijelaskan oleh PAD, jumlah penduduk, dan tingkat pendidikan, dengan menambahkan dummy variabel otonomi daerah. Sedangkan 3,85 persen variabel pertumbuhan ekonomi regional dijelaskan oleh variabel lain yang tidak diteliti dalam penelitian ini. 105
4. Interpretasi Hasil Analisis Tabel 4.5. Interpretasi Koefisien Fixed Effect Model Koef C
999870.8
PAD?
0.015125
POPRATE?
-7.607050
SMAPT?
1.949714
Indv Effect
Fixed Effects (Cross) _BDG--C
1537164.
2537034,8
_CNJR--C
-1121650.
-121779,2
_SKBM--C
-415514.3
584356,5
Sumber: Lampiran 3.
1. Bila terdapat perubahan PAD, Jumlah penduduk, dan Tingkat pendidikan baik antar daerah maupun antar waktu, maka kabupaten Bandung akan mendapatkan penaruh individu terhadap PDRB sebesar : Rp. 2.537 milyar. 2. Bila terdapat perubahan PAD, Jumlah penduduk, dan Tingkat pendidikan baik antar daerah maupun antar waktu, maka kabupaten Cianjur akan mendapatkan penaruh individu terhadap PDRB sebesar: Rp. - 121 milyar. 3. Bila terdapat perubahan PAD, Jumlah penduduk, dan Tingkat pendidikan baik antar daerah maupun antar waktu, maka kota Sukabumi akan mendapatkan penaruh individu terhadap PDRB sebesar : Rp. 584 milyar.
106
a. Pendapatan Asli Daerah Dari hasil pengujian hipotesis dapat diketahui bahwa PAD tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Kebijakan pendapatan daerah diarahkan melalui upaya peningkatan kapasitas fiskal sebagai pencerminan dari kesungguhan pemerintah daerah melakukan pemberdayaan sumber-sumber potensi daerah
untuk
mewujudkan
otonomi
yang
diarahkan
untuk
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat yang didukung dengan penguatan keuangan daerah. Pendapatan daerah untuk APBD diproyeksikan pertumbuhannya sekitar 15% per tahun (LKPJ Akhir Masa Jabatan Gubernur, 2008). Kebijakan untuk setiap komponen pendapatan daerah diarahkan pada intensifikasi dan ekstensifikasi pendapatan daerah dari setiap sumber dana. Tidak berpengaruhnya PAD terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat dapat dilihat dari sisi potensi pajak, retribusi, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah masih belum optimal dikarenakan sejumlah kendala, antara lain; belum terdatanya semua obyek dan wajib pajak daerah, retribusi daerah, serta lain-lain pendapatan daerah yang sah. Permasalahan yang dihadapi dalam pengembangan dan penguatan BUMD antara lain belum optimalnya pihak manajemen perusahaan dalam mengimplementasikan pengelolaan perusahaan yang baik, termasuk pengembangan aset BUMD. Dalam hal 107
optimalisasi penerimaan dari dana perimbangan, permasalahannya yaitu masih belum akuratnya data obyek dan subyek PBB, BPHTB, dan PPh Perseorangan. Dalam kaitannya dengan departemen terkait, belum tercapai kesepakatan dalam perhitungan data produksi dan lifting migas. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral belum sepenuhnya melibatkan daerah penghasil migas dalam monitoring produksi migas sebagai dasar perhitungan lifting migas. Penelitian ini berbeda dengan teori
Keyness
yang
menyatakan bahwa pendapatan asli daerah memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi, karena berkaitan dengan kebijakan APBD dan APBN akan dilakukan peningkatan PAD setiap daerah guna meningkatkan pertumbuhan ekonominya. Selain itu penelitian ini juga berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya yaitu; Priadi Asmanto dan Soebagyo (2007), Joko Waluyo (2007), Didit Welly Udjianto (2007), dan Puji Wibowo (2008) dimana semua penelitian tersebut menjelaskan bahwa PAD memiliki pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
b. Jumlah Penduduk Dari pengujian hipotesis dapat dilihat bahwa jumlah penduduk berpengaruh signifikan, namun bernilai negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat.
108
Jumlah penduduk di suatu daerah merupakan aset dan potensi pembangunan yang besar bila didukung dengan kualitas sumber daya manusia yang baik dan tersedianya lapangan kerja yang memadai. Sebaliknya, dengan jumlah dan pertumbuhan penduduk yang pesat tetapi dengan kualitas yang rendah dapat menjadi beban berat bagi proses pembangunan. Jumlah penduduk yang tinggi juga dapat menjadi masalah besar yang dihadapi oleh pemerintah daerah terkait degan kebijakan otonomi daerah, dimana kewenangan sepenuhnya dilakukan oleh daerah. Sejalan dengan teori yang dikemukakan oleh Ricardo dan Malthus bahwa pertumbuhan jumlah penduduk yang tinggi akan menurunkan kembali tingkat pembangunan ke taraf yang lebih rendah. Pada tingkat ini, pekerja akan menerima upah yang sangat minim yaitu upah hanya mencapai tingkat cukup hidup (subsistences level). Dengan demikian dapat menurunkan pertumbuhan ekonomi. Bertambahnya jumlah penduduk juga berarti angkatan kerja bertambah. Pertumbuhan ekonomi akan mampu menyediakan lapangan kerja bagi angkatan kerja. Jika pertumbuhan ekonomi yang mampu diciptakan lebih kecil daripada pertumbuhan angkatan kerja, hal ini mendorong terjadinya pengangguran, dan dengan terciptanya pengangguran dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi suatu daerah.
109
Namun penelitian ini berbeda dengan penelitian sebelumnya oleh Puji Wibowo (2007) yang menyatakan bahwa pertumbuhan penduduk berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini karena tanda positif untuk koefisien pertumbuhan penduduk mengindikasikan bahwa variabel ini dalam mendorong pertumbuhan ekonomi bersifat endogeneus, yang artinya perubahan struktur penduduk mungkin dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti tingkat kesejahteraan penduduk itu sendiri. c. Tingkat Pendidikan Dari pengujian hipotesis di atas dapat dilihat bahwa tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional.
Dengan
dilaksanakannya
desentralisasi
pendidikan,
pemerintah kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang lebih luas dalam membangun pendidikan di masing-masing wilayah sejak penyusunan rencana, penentuan prioritas program, serta mobilisasi sumber daya untuk merealisasikan rencana yang telah dibuat. Hal ini juga perlu dibarengi dengan otonomi pendidikan yang harus dilaksanakan melalui penerapan manajemen berbasis sekolah dan otonomi perguruan tinggi yang memberikan wewenang untuk mengelola sumber daya yang dimiliki termasuk pengalokasiannya sesuai dengan prioritas kebutuhan, serta diharapakan agar daerah dan lembaga pendidikan dapat lebih cepat tanggap terhadap kebutuhan masyarakat setempat. 110
Pendidikan
merupakan
syarat
utama
pembangunan
kapabilitas dasar manusia. Peningkatan sumber daya manusia (SDM) merupakan modal untuk penggerak pembangunan yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesejahteraan disamping sumber daya alam. Pendidikan yang berkualitas akan menghasilkan manusia terdidik yang bermutu dan handal sesuai dengan kebutuhan jaman. Pendidikan
merupakan
elemen
penting
pembangunan
dan
perkembangan sosial ekonomi masyarakat. Berkaitan
dengan
semakin
pesatnya
perkembangan
metodologi dan teknologi dalam bidang pendidikan, perlu dilakukan antisipasi melalui pengembangan inovasi dan sistem tata kelola pendidikan, pemberdayaan profesi guru dengan meningkatkan kompetensinya, penyempurnaan pembangunan sarana dan prasarana yang lebih tanggap teknologi, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi yang dilandasi oleh nilai-nilai kecerdasan dan kearifan budaya lokal, peningkatan kualitas lulusan untuk mengantisipasi tingkat persaingan melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi dan semakin kompetitifnya ketersediaan lapangan pekerjaan. Dalam hal pengembangan sains dan teknologi, peningkatan kemampuan masyarakat perdesaan dalam pemanfaatan teknologi tepat guna (TTG) juga perlu mendapatkan penanganan yang optimal. Penelitian ini sejalan dengan teori alokasi yang dipelopori oleh Gary Becker, Edward, Denison, Theodore Schultz, dan Paul 111
Romer yang menyatakan bahwa pendidikan memiliki hubungan yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi. d. Kebijakan Otonomi Daerah Dari pengujian hipotesis di atas juga terlihat bahwa dummy kebijakan
otonomi
daerah
berpengaruh
signifikan
terhadap
pertumbuhan ekonomi regional. Hal ini kemudian dijelaskan dengan probabilitanya sebesar 0,0102 sehingga dapat dikatakan bahwa variabel dummy kebijakan otonomi daerah berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Tuntutan agar pembangunan tidak hanya berjalan di daerahdaerah yang dekat dengan pemerintahan pusat saja, telah membuat pemerintah mengupayakan strategi yang dapat mewujudkan terciptanya pembangunan. Hal tersebut mendorong lahirnya otonomi daerah. Sejalan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia, propinsi Jawa Barat yang merupakan salah satu propinsi dengan wilayah yang luas dan jumlah penduduk terbanyak ikut serta mengimplementasikan kebijakan otonomi tersebut. Otonomi daerah dapat memberikan pengaruh terhadap pertumbuhan perekonomian suatu wilayah. Dengan diterapkannya otonomi daerah, kabupaten/ kota di propinsi Jawa Barat diberi kewenangan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya secara leluasa untuk dialokasikan pada sektor-sektor ekonomi yang ada. Oleh karena itu, perlu diterapkan sektor-sektor
yang
harus
diprioritaskan
dalam
membangun
perekonomian propinsi Jawa Barat. 112
b. Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) Hasil data panel dengan variabel dummy kebijakan otonomi daerah dalam regresi awal (keseluruhan periode) berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Barat. Sehingga dalam bagian ini dan bagian selanjutnya, analisis akan difokuskan untuk menganalisis periode sebelum dan sesudah penerapan kebijakan otonomi daerah. Pembagian ini penting dilakukan untuk mengetahui pertumbuhan ekonomi sebelum dan sesudah kebijakan otonomi daerah. Di bawah ini adalah tabel hasil perhitungan estimasi yang dilakukan terhadap data sebelum adanya kebijakan otonomi daerah.
Tabel 4.6 Hasil Perhitungan Estimasi dengan Data Panel terhadap Periode Sebelum Otonomi Daerah (1995-2000) PDRB
Variable Coefficient
t-Statistic
Prob.
C
2855146.
2.981237
0.0115
PAD?
-0.010346
-0.636895
0.5362
POPRATE?
-0.945376
-0.486045
0.6357
SMAPT?
0.378137
0.529683
0.6060
Fixed
Effects
(Cross) _BDG--C
6456552.
_CNJR--C
1593785
_SKBM--C
515099.1
R-squared
0.988600
Adjusted R-squared
0.983851 113
F-statistic
208.1330
Prob(F-statistic)
0.000000
Sumber: Ouput Pengolahan Data dengan Program Eviews 6. Lampiran 4.
Dari tabel 4.6 dapat dilihat bahwa nilai R2 dari model pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 0,988600. Hal ini dapat diartikan bahwa variabel bebas dalam model mampu menjelaskan variasi pengaruh dari variabel tergantung sebesar 98,86 persen, sedangkan sisanya yaitu 1,14 persen dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Nilai Fhitung dari tabel diatas menunjukkan angka sebesar 208,1330 dengan tingkat kepercayaan 95 persen ( α = 5 %). Sedangkan nilai Ftabel dengan k=6 dan n=18 adalah 2,66. Karena Fhitung > Ftabel maka hipotesis H0 berada di daerah penolakan, dan Ha diterima. Selama periode sebelum penerapan kebijakan otonomi daerah dapat disimpulkan bahwa seluruh variabel independen bersama-sama mempengaruhi variabel dependen (pertumbuhan ekonomi). Selama periode sebelum penerapan otonomi daerah, secara individu tidak terdapat variabel yang berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di daerah penelitian. Hal tersebut terlihat dari masing-masing variabel yang tidak signifikan dalam taraf signifikansi 5 persen.
114
c. Periode Otonomi Daerah (2001-2008) Dalam bagian ini analisis akan difokuskan pada periode penerapan kebijakan otonomi daerah. Pembagian ini dirasa penting untuk mengetahui pola perilaku dan fenomena pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut. Dimana pada periode ini setiap daerah diberikan kewenangan penuh dalam mengelola keuangan daerah sesuai dengan UU No.22/ 1999 yang kemudian direvisi dengan UU No.32/ 2004 tentang pemerintah daerah dan UU No.25/ 1999 yang juga direvisi dengan UU No.33/ 2004 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah. Di bawah ini adalah tabel hasil perhitungan estimasi yang dilakukan terhadap data setelah penerapan kebijakan otonomi daerah (2001-2008).
Tabel 4.7 Hasil Perhitungan Estimasi dengan Data Panel terhadap Periode Otonomi Daerah (2001-2008) PDRB
Variable Coefficient C PAD? POPRATE? SMAPT?
t-Statistic
Prob.
-1.334218
0.1988
0.011001
1.457646
0.1622
-5.313933
-2.567406
0.0194
2.425561
6.441757
0.0000
-1243381.
Fixed Effects (Cross) _BDG—C
-1665859
_CNJR—C
-1965991
_SKBM—C
-98294.20 115
R-squared
0.966203
Adjusted R-squared
0.956815
F-statistic
102.9180
Prob(F-statistic)
0.000000
Sumber: Ouput Pengolahan Data dengan Program Eviews 6. Lampiran 5.
Dari tabel 4.7 dapat dilihat bahwa nilai R2 dari model pertumbuhan ekonomi adalah 0,966203. Hal ini dapat diartikan bahwa variabel bebas dalam model mampu menjelaskan variasi pengaruh dari variabel tergantung sebesar 96,62 persen. Adapun sisanya yaitu 3,38 persen dipengaruhi oleh faktor lain di luar model. Demikian pula dengan nilai Fhitung dari tabel diatas menunjukkan sebesar 102,9180 dengan probabilitanya sebesar 0,000000. Adapun Ftabel dengan n=6; k=24 pada α = 5 % adalah 2,51. Karena Fhitung > Ftabel maka H0 berada di daerah penolakan, sehingga dapat disimpulkan bahwa setelah penerapan kebijakan otonomi daerah variabel-variabel independen masih mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Selama diterapkannya kebijakan otonomi daerah, variabel SMAPT yakni variabel tingkat pendidikan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Barat dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen. Tingginya tingkat pendidikan tersebut dapat meningkatkan pertumbuhan jumlah tenaga kerja, kemudian dapat mengurangi pengangguran, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, 116
yang pada akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Setiap kenaikan tingkat pendidikan sebesar 1 persen, menyebabkan naiknya pertumbuhan ekonomi sebesar 2,426 persen. Sedangkan variabel Poprate atau jumlah penduduk juga memiliki pengaruh yang signifikan dengan tingkat kepercayaan sebesar 95 persen namun bernilai negatif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat, dimana setiap setiap kenaikan jumlah penduduk sebesar 1 persen, maka pertumbuhan ekonomi akan turun sebesar 5,314 persen. Hal ini terjadi apabila di suatu daerah memiliki populasi yang cukup banyak dan meningkat setiap tahunnya namun tidak dibarengi dengan kualitas sumber daya manusianya. Adapun variabel PAD atau pendapatan asli daerah secara individu tidak memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari tidak signifikannya nilai t-hitung pada tingkat kepercayaan sebesar 95 persen.
d. Pengaruh Variabel-variabel Independen terhadap Variabel Dependen Kebijakan
otonomi
daerah
bertujuan
untuk
mendorong
pertumbuhan ekonomi daerah. Sebelum diberlakukannya otonomi daerah, semua pembiayan dan penentuan suatu kebijakan atas dana yang ada di daerah ditentukan oleh pemerintah pusat. Diberlakukannya kebijakan otonomi daerah diharapkan agar setiap daerah mampu mengoptimalkan potensi ekonomi yang ada, sehingga dapat memberi efek positif terhadap 117
pertumbuhan ekonominya. Pertumbuhan PDRB riil merupakan salah satu tujuan pembangunan. Semakin baik pertumbuhan PDRB-nya, maka tujuan pembangunan suatu daerah ke arah yang lebih baik dapat tercapai. Selama 14 tahun terakhir ini, kebijakan otonomi daerah telah memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari pertumbuhan PAD, tingkat pendidikan, dan jumlah penduduk. Oleh karena itu, untuk melihat perbandingan antar periode atas dasar perubahan kebijakan otonomi daerah dapat dirangkum dalam tabel 4.8 dibawah ini:
Tabel 4.8 Arah Hubungan Variabel-variabel Independen terhadap Variabel Dependen VARIABEL
TOTAL
PRA OTDA
OTDA
PAD
Tidak
Tidak Signifikan
Tidak Signifikan
Signifikan Jumlah Penduduk
-
Tidak Signifikan
-
Tingkat Pendidikan
+
Tidak Signifikan
+
Pada keseluruhan periode penelitian, tidak semua variabel berpengaruh secara signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Variabel PAD yang diharapkan berpengaruh positif justru tidak memberikan pengaruhnya terhadap pertumbuhan ekonomi. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal, antara lain mentalitas aparat pemerintah
118
daerah yang tidak baik sehingga penggunaan PAD yang harusnya dilakukan seoptimal mungkin belum dapat berjalan dengan baik. Sedangkan tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang positif. Artinya, apabila tingkat pendidikan meningkat, maka pertumbuhan ekonomi juga meningkat. Misalnya, apabila tingkat pendidikan meningkat sebanyak 1 persen, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebanyak 1,95 persen. Lain halnya dengan variabel poprate yang memiliki pengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi. Jumlah penduduk yang semakin meningkat dan bertambah apabila tidak dibarengi dengan kualitas SDMnya yang baik dapat menyebabkan timbulnya pengangguran, yang mengakibatkan kemiskinan, sehingga pertumbuhan ekonomi pun turun. Sedangkan selama periode sebelum dan sesudah diterapkannya praktek desentralisasi fiskal sebagai dampak dikeluarkannya UU No.22/ 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25/ 1999 tentang perimbangan keuangan pusat dan daerah dibahas dalam bagian ini. Selama periode sebelum kebijakan otonomi daerah diterapkan, seluruh variabel independen tidak mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Adapun sesudah diterapkan kebijakan otonomi daerah, variabel poprate dan tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang signifikan. Poprate memiliki pengaruh yang negatif, dan tingkat pendidikan memiliki pengaruh yang positif terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi 119
Jawa Barat. Sedangkan variabel PAD tidak memiliki pengaruh yang signifikan, hal ini dapat dimungkinkan karena selama periode otonomi daerah masing-masing daerah dituntut untuk mengelola dan memenuhi kebutuhan daerahnya sendiri sesuai dengan potensinya masing-masing, sedangkan ketergantungan terhadap dana dari pusat sedikit banyak telah dilakukan reduksi sesuai dengan pemberlakuan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan pusat-daerah.
120
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis dan pembahasan data, penulis memperoleh kesimpulan yakni sebagai berikut: 1. Pendapatan Asli Daerah tidak berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat dengan tingkat keyakinan sebesar 95 persen. Sebagai salah satu wujud pelaksanaan desentralisasi fiskal adalah pemberian sumber-sumber penerimaan bagi daerah sesuai dengan potensi masing-masing daerah. Hal ini membuat pemerintah daerah semakin meningkatkan pendapatan PAD-nya guna peningkatan pertumbuhan ekonomi di daerah tersebut. Namun yang terjadi justru sebaliknya, bahwa peningkatan PAD yang ada belum berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Tidak berpengaruhnya PAD terhadap pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dari sisi potensi pajak, retribusi, dan lain-lain pendapatan daerah yang sah masih belum optimal dikarenakan sejumlah kendala, antara lain; belum terdatanya semua obyek dan wajib pajak daerah, retribusi daerah, serta lain-lain pendapatan daerah yang sah. 2. Jumlah penduduk juga menunjukkan pengaruh yang signifikan dengan taraf keyakinan sebesar 95 persen terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat apabila jumlah penduduk turun sebesar 1 persen, maka pertumbuhan ekonomi akan meningkat sebesar 7,61 121
persen. Jumlah penduduk di suatu daerah merupakan aset yang penting bila didukung dengan kualitas sumber daya manusia yang baik dan tersedianya lapangan kerja yang memadai. Namun, hal ini tidak berlaku di propinsi Jawa Barat karena meskipun jumlah penduduk yang pesat, namun tidak diimbangi dengan kualitas SDM-nya justru dapat menjadi beban berat bagi proses pembangunan dan dengan demikian dapat menurunkan tingkat pertumbuhan ekonomi di Jawa Barat. 3. Tingkat pendidikan berpengaruh signifikan dengan taraf keyakinan sebesar 95 persen terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini dapat diketahui apabila nilai tingkat pendidikan naik sebesar 1 persen, maka pertumbuhan ekonomi juga akan meningkat sebesar 1,95 persen. Dengan
dilaksanakannya
desentralisasi
pendidikan
maka
pemerintah
kabupaten/ kota memiliki kewenangan yang lebih luas untuk membangun pendidikan di propinsi Jawa Barat. Sehingga tingkat pendidikan memiliki kontribusi yang positif terhadap proses pembentukan kualitas sumber daya manusia yang berdampak pada peningkatan pertumbuhan ekonomi di propinsi Jawa Barat. 4. Kebijakan otonomi daerah sebagai variabel dummy juga memiliki pengaruh yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari nilai t hitung yang signifikan pada taraf keyakinan hingga 95 persen. Ini berarti selama periode penelitian yakni dari tahun 1995-2008 adanya perubahan kebijakan yakni kebijakan otonomi
122
daerah membawa pengaruh yang signifikan terhadap variasi pertumbuhan ekonomi regional di Jawa Barat. 5. Secara bersama-sama, seluruh variabel kebijakan desentralisasi fiskal berpengaruh signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di propinsi Jawa Barat. Hal ini dapat dilihat dari nilai F hitung yang signifikan pada taraf keyakinan hingga 95 persen. Selain itu, variabel independen dalam model juga mampu menjelaskan variasi dari variabel dependen sebesar 96,15 persen, sedangkan sisanya yaitu 3,85 persen dipengaruhi oleh faktor-faktor lain di luar model.
B. Implikasi Dari kesimpulan diatas, penulis mencoba mengungkapkan beberapa implikasi, diantaranya adalah sebagai berikut: 1. Untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan di daerah, diperlukan kebijakan-kebijakan yang dapat menunjang hal tersebut. Misalnya dengan kebijakan otonomi daerah yang terbukti berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Pemerintah daerah harus mengupayakan agar pertumbuhan ekonomi dapat terjadi secara merata (mengurangi disparitas pertumbuhan ekonomi). Menurut Lin dan Liu (2000), ada dua hal yang dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi yaitu dengan meningkatkan investasi modal dan melakukan efisiensi penggunaan sumber daya yang dimiliki.
123
2. Dalam hal menentukan besarnya PAD suatu daerah, juga harus dilakukan dengan cermat dan tepat. Hal ini karena pasca diterapkannya kebijakan desentralisasi fiskal, setiap daerah cenderung meningkatkan PAD-nya dengan cara menggali potensi daerah guna mengisi besarnya nilai PAD tersebut. 3. Hendaknya tingkat pendidikan semakin ditingkatkan guna terciptanya sumber daya manusia yang berkualitas sehingga dapat memiliki daya saing yang tinggi guna mengisi lapangan kerja yang berkualitas agar dapat mengurangi jumlah
pengangguran
yang
akan
berimplikasi
pada
meningkatnya
pertumbuhan ekonomi. 4. Apabila terdapat jumlah penduduk yang tinggi hendaknya juga dibarengi dengan peningkatan kualitas setiap penduduk dan pengadaan lapangan kerja yang memadai. Hal ini sangat diperlukan, karena jumlah penduduk yang banyak tidak memberikan keuntungan yang signifikan bagi suatu daerah, justru dapat merugikan dan dapat menghambat proses pembangunan. 5. Dengan kemajuan pelaksanaan desentralisasi fiskal, diharapkan BPS di daerah mampu menyediakan data yang lebih komprehensif dan menyediakan informasi yang lebih mudah untuk diakses oleh masyarakat. Hal ini karena ketersediaan data dan informasi yang disediakan BPS di daerah setidaknya dapat menunjang kebijakan desentralisasi fiskal itu sendiri sehingga masyarakat dan pelaku ekonomi dapat dengan mudah mengetahui perkembangan ekonomi di daerahnya.
124
DAFTAR PUSTAKA Adi, Priyo Hari. ―Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali)‖. Universitas Kristen Satya Wacana, 2005. Adi, Priyo Hari. ―Kemampuan Keuangan Daerah dalam Era Otonomi dan Relevansinya dengan Pertumbuhan Ekonomi (Studi pada Kabupaten dan Kota se Jawa-Bali)‖. Fakultas Ekonomi, Universitas Indonesia, 2007. Asmanto, Priyadi dan Soebagyo. ―Analisis Pengaruh Kebijakan Moneter dan Kebijakan Fiskal Regional Terhadap Stabilitas Harga dan Pertumbuhan Ekonomi Regional di Jawa Timur (Periode 1995-2004)‖. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 2007. Badan Analisis Fiskal Departemen Keuangan, ―Kebijakan Fiskal: Pemikiran, Konsep, dan Implementasi‖. Kompas, Jakarta, 2004. Bappenas. Universitas Padjajaran. ―Evaluasi Tiga Tahun Pelaksanaan RPJMN 2004-2009 di Propinsi Jawa Barat: Bersama Menata Perubahan‖. Bandung. 2008. Barro, Robert J. ―Economic Growth in a Cross Section of Countries, Quanterly Journal of Economic‖. 1991. Chalid, Pheni. ―Keuangan Daerah, Investasi, dan Desentralisasi: Tantangan dan Hambatan‖. Kemitraan, Jakarta, 2005. ___________ ―Otonomi Daerah: Masalah, Pemberdayaan, dan Konflik‖. Kemitraan, Jakarta, 2005. Davey, K.J. ―Pembiayaan Pemerintah Daerah: Praktek-Praktek Internasional dan Relevansinya Bagi Dunia Ketiga‖. UI Press, Jakarta, 1988. Devas, Nick. ―Keuangan Pemerintah Daerah di Indonesia‖. UI Press, Jakarta, 1989. 125
Ehtisham, Ahmad, et.all. ―Intergovernmental Grant System: Application of a General Framework to Indonesia‖. IMF Working Paper No. WP/02/128, International Monetary Fund, Washington DC, 2002. Hirchman, Albert. ―The Strategy of Economic Development‖. Yale University Press, Connecticut, 1968. Institut Local Development, ―Kompilasi Undang-undang Otonomi Daerah & Sekilas Proses Kelahirannya (1903-2004)‖. ILD dan Yayasan TIFA, Jakarta, 2004. Isdijoso, Brahmantio dan Wibowo, Tri. ―Analisis Kebijakan Fiskal Pada Era Otonomi Daerah, Studi Kasus: Sektor Pendidikan di Kota Surakarta. Kajian Ekonomi Dan Keuangan‖, Vol. 6, No. 1. Maret, 2002. Kuncoro, Mudrajad. ―Desentralisasi, Globalisasi, dan Demokrasi Lokal―. LP3ES, Jakarta, 2002. Laboratorium Ilmu Ekonomi FEUI. ―Sesi VIII Model Panel‖. Depok, 2006. Mahi, Raksaka. ―Desentralisasi Fiskal dan Otonomi Daerah‖. Makalah disampaikan dalam Kursus Reguler Angkatan XXXV, LEMHANAS, Jakarta, 25 Agustus 2002. _____________ ―Peran Pendapatan Asli Daerah di Era Otonomi Daerah. Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Indonesia―. Vol. 6, No. 1, Juli 2005. Mastuti, Rinusu Sri. ―Panduan Praktis Mengontrol APBD‖. Sumber Rezeki, Jakarta, 2005. Muluk, MR. Khairul. ―Desentralisasi dan Pemerintahan Daerah‖. Bayumedia Publishing, Malang, 2006. Nur Naili, Nelly. ―Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi DIY Tahun 1990-2004‖. Jogjakarta. 2007.
126
Sidik, Machfud dan Mahi, Raksaka. Simanjuntak, Robert A. ―Dana Alokasi Umum: Konsep, Hambatan, dan Prospek di Era Otonomi Daerah‖. Kompas, Jakarta, 2002. Sukandarrumidi. ―Metodologi Penelitian‖. Gajah Mada Universitas Press, Yogyakarta, 2006. Sukirno, Sadono. ―Ekonomi Pembangunan: Proses, Masalah, Kebijakan‖. Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2006.
Dasar
Toddaro, Michael P. ―Pembangunan Ekonomi Edisi Ke-6‖. Erlangga, Jakarta, 1999. Tosun, Mehmet Serkan dan Yilmaz, Serdar. ―Decentralization, Economic Development, and Growth in Turkish Provinces‖. The World Bank, 2008. Udjianto, Didit Welly. ―Kajian Pendapatan Asli Daerah dan Dana Perimbangan dalam Otonomi Daerah (Studi Kasus 30 Propinsi di Indonesia tahun 2000-2004)‖. Buletin Ekonomi, Vol.5 No.1, April 2007. Vasquez, Jorge-Martinez dan McNab, Robert M. ―Fiscal Decentralization and Economic Growth‖. Georgia State University, USA, 2001. Waluyo, Joko. ―Dampak Desentralisasi Fiskal Terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Ketimpangan Pendapatan AntarDaerah di Indonesia‖. Universitas Indonesia, 2007. Wibowo, Puji. ―Mencermati Dampak Desentralisasi Fiskal terhadap Pertumbuhan Ekonomi Daerah‖. Jurnal Keuangan Publik, Vol.5, No.1, Oktober 2008, hlm. 55-83. Winarno, Wing Wahyu. ―Analisis Ekonometrika dan Statistika dengan Eviews‖. Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, Yogyakarta, 2007.
127
Yunan. ―Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Pertumbuhan Ekonomi Indonesia‖. 2009. Yustika, Ahmad Erani. ―Perekonomian Indonesia: Deskripsi, Preskripsi, Kebijakan‖. Bayumedia Publishing, Malang, 2005.
http://www.bimakab.go.id/index.php?pilih=hal&id=31 http://www.dprd-sumbawakab.go.id/artikel-pdf.php?id=48 http://www.indonesiaindonesia.com/f/2390-indonesia-era-orde-baru/ http://www.theindonesianinstitute.org/janeducfile.htm http://pustaka.net/pengaruh.desentralisasi.fiskal.terhadap.belanja.pembangunan.d aerah.di.kabupaten.sa.banua.lima.banjar.kota.banjarmasin.propinsi http://www.sumbawanews.com/berita/opini/peran-aparatur-dalampembangunan-di-era-otda.html http://id.wikipedia.org/wiki/Keynesianisme
128
LAMPIRAN I DATA OBSERVASI
Kab
Tahun
PDRB
PAD
POPRATE
SMAPT
BDG
1995
6797686
20275664
3383233
401172
BDG
1996
7513143
24816772
3422000
351388
BDG
1997
7883717
39889065
3452300
391042
BDG
1998
6382883
39772419
3480900
368092
BDG
1999
6530365
48174124
3507700
445200
BDG
2000
6871874
50367254
4158083
733176
BDG
2001
6125739
73771365
4235146
641790
BDG
2002
6428772
66119438
4335578
748580
BDG
2003
6754824,9
99760580
4504387
593332
BDG
2004
7133781,35
108065258
4002290
675660
BDG
2005
7529875,67
108322350
4263934
755124
BDG
2006
5832801,41
123650270
4399128
659039
BDG
2007
6177948,49
151857290
3038038
544054
BDG
2008
6505296,44
144660409
3116056
498443
CNJR
1995
1862700
6012126
1757430
64638
CNJR
1996
1992995
6882145
1775200
119344
CNJR
1997
2066086
9486744
1790700
77573
CNJR
1998
1943145
7515807
1805400
84398
CNJR
1999
1972143
8409721
1818900
98707
CNJR
2000
2035917
10190422
1946405
145871
CNJR
2001
2109118
17397384
1955100
86925
CNJR
2002
2187068
22560362
1993727
108582
CNJR
2003
2262655,1
31717983
2041131
122984
CNJR
2004
2352463,2
34435227
2079306
103806
CNJR
2005
2442239,08
48191214
2098644
75836
129
CNJR
2006
2523693,96
56520108
2125023
145817
CNJR
2007
2629324,68
66675210
2149121
116271
CNJR
2008
2735672,14
65780144
2169984
177057
SKBM
1995
479948
5410944
125766
25850
SKBM
1996
514818
5491663
126600
35649
SKBM
1997
531312
6802239
127700
22800
SKBM
1998
368738
9917041
128800
58449
SKBM
1999
457169
8346075
130000
58788
SKBM
2000
479190
8336680
252420
64505
SKBM
2001
503224
13234590
257675
56679
SKBM
2002
529421
15073724
261861
63193
SKBM
2003
557639,8
25523466
267807
61315
SKBM
2004
589811,5
24955460
272736
67914
SKBM
2005
624917,5
36577623
287760
68452
SKBM
2006
663846,43
31599368
294646
75247
SKBM
2007
706959,06
43847983
300694
67976
SKBM
2008
750071,68
52871774
305800
70573
130
LAMPIRAN 2 OUTPUT POOLED LEAST SQUARE
Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 00:43 Sample: 1995 2008 Included observations: 14 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 42 Variable
Coefficient
PAD? POPRATE? SMAPT? DOTDA?
0.018648 -2.632573 1.826233 976363.3
R-squared 0.921273 Adjusted R-squared 0.915058 S.E. of regression 759537.9 Sum squared resid 2.19E+13 Log likelihood -626.1932 Durbin-Watson stat 0.641315
Std. Error
t-Statistic
0.009721 1.918343 1.087076 -2.421702 0.158338 11.53379 321101.0 3.040674 Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter.
Prob. 0.0626 0.0203 0.0000 0.0043 3236690. 2606083. 30.00920 30.17469 30.06986
131
LAMPIRAN 3 OUTPUT FIXED EFFECT MODEL PERIODE KESELURUHAN (1995-2008)
Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 00:43 Sample: 1995 2008 Included observations: 14 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 42 Variable
Coefficient
C PAD? POPRATE? SMAPT? DOTDA? Fixed Effects (Cross) _BDG--C _CNJR--C _SKBM--C
999870.8 0.015125 -7.607050 1.949714 727688.9
Std. Error
t-Statistic
518655.3 1.927814 0.007503 2.015751 1.213274 -6.269852 0.323129 6.033851 267913.3 2.716136
Prob. 0.0620 0.0516 0.0000 0.0000 0.0102
1537164. -1121650. -415514.3 Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.961490 Adjusted R-squared 0.954889 S.E. of regression 553517.6 Sum squared resid 1.07E+13 Log likelihood -611.1767 F-statistic 145.6435 Prob(F-statistic) 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3236690. 2606083. 29.43699 29.72660 29.54314 1.746349
132
LAMPIRAN IV FIXED EFFECT MODEL PERIODE SEBELUM OTONOMI DAERAH (1995-2000)
Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 02:29 Sample: 1995 2000 Included observations: 6 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 18 Variable
Coefficient
C PAD? POPRATE? SMAPT? Fixed Effects (Cross) _BDG--C _CNJR--C _SKBM--C
2855146. -0.010346 -0.945376 0.378137
Std. Error
t-Statistic
957705.1 2.981237 0.016245 -0.636895 1.945040 -0.486045 0.713892 0.529683
Prob. 0.0115 0.5362 0.6357 0.6060
3601406. -1261360. -2340046. Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.988600 Adjusted R-squared 0.983851 S.E. of regression 367007.2 Sum squared resid 1.62E+12 Log likelihood -252.5282 F-statistic 208.1330 Prob(F-statistic) 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3149102. 2887987. 28.72535 29.02214 28.76628 2.414101
133
LAMPIRAN V FIXED EFFECT MODEL PERIODE OTONOMI DAERAH (2001-2008)
Dependent Variable: PDRB? Method: Pooled Least Squares Date: 09/15/10 Time: 02:32 Sample: 2001 2008 Included observations: 8 Cross-sections included: 3 Total pool (balanced) observations: 24 Variable
Coefficient
C PAD? POPRATE? SMAPT? Fixed Effects (Cross) _BDG--C _CNJR--C _SKBM--C
-1243381. 0.011001 -5.313933 2.425561
Std. Error
t-Statistic
931917.4 -1.334218 0.007547 1.457646 2.069767 -2.567406 0.376537 6.441757
Prob. 0.1988 0.1622 0.0194 0.0000
-422477.6 -722609.6 1145087. Effects Specification
Cross-section fixed (dummy variables) R-squared 0.966203 Adjusted R-squared 0.956815 S.E. of regression 506123.2 Sum squared resid 4.61E+12 Log likelihood -345.8312 F-statistic 102.9180 Prob(F-statistic) 0.000000
Mean dependent var S.D. dependent var Akaike info criterion Schwarz criterion Hannan-Quinn criter. Durbin-Watson stat
3302382. 2435504. 29.31927 29.61378 29.39740 2.107667
134