1 Tempat Tinggal Baru PURI ISTANA KACA. Nama yang cukup menggelikan untuk sebuah komplek perumahan. Lebih lucu lagi, tempat ini jauh dari perkiraanku. Ketika aku melewati gerbang raksasa setinggi dua meter dari besi dengan cat yang terkelupas ini, aku tahu kalau aku akan sedikit kecewa. Lingkungannya sama sekali tidak seperti di negeri dongeng sebagaimana
yang
tergambar
di
kepalaku
manakala
mendengar frase Puri Istana Kaca. Tak ada jalanan yang berpetak-petak indah, tak ada rumah bercat warna-warni seperti
rumah
Barbie,
tak
ada
jembatan
yang
menghubungkan tepi danau, bahkan tak ada orang. Burung-burung kecil langsung berterbangan ke langit yang cerah saat aku, ibu dan kakakku menginjakkan kaki di tempat ini. Kami terdiam sejenak dan merasakan kelengangan yang luar biasa. Hanya suara dari burungburung itu yang menyambut kedatangan kami bertiga. Dari kejauhan kulihat deretan rumah. Beberapa diantaranya
tampak rusak dan sebagian lainnya roboh. Aku tidak tahu mengapa bisa begitu, tapi sepertinya perumahan ini sudah lama ditinggalkan para penghuninya. Pepohonan berukuran raksasa dari hutan belantara yang membatasi komplek ini melatarbelakangi rumah-rumah itu. Kesemuanya berdiri angkuh tertancap tanah. Dan kutahu bila kudongakkan kepala saat berada di bawah kerindangannya, pepohonan itu akan terlihat seperti mencakar langit. Kutemui jalanan beraspal melalui pandanganku. Jalanan itu tampak melingkari sebuah danau besar dan berwarna hijau. Tepiannya dipenuhi rerumputan dan semak belukar. Beberapa kursi yang terbuat dari bata tertancap di atas ilalang yang sedang melambai-lambai karena angin. Aku melenguh sejenak dan berpikir, pasti akan mengasyikan kalau sebagian waktuku kuhabiskan dengan merenung di tepi danau
itu.
Yah,
mungkin
sebagian
orang
akan
menganggapku aneh –seperti yang selalu dikatakan Kak Radit. Tapi selama aku tidak mengganggu wilayah pribadi mereka, kenapa tidak? “Ayo, anak-anak! Kita jalan lagi!” Seruan ibuku memecut lamunanku sampai ke awang-awang. Agak lucu mendengar Ibu berujar seperti itu.
2
Ia mengajak aku dan kakakku seperti disaat ia sedang memerintahkan murid-muridnya untuk mengumpulkan PR. Ya, ibuku adalah seorang guru Ekonomi di sebuah SMA. Pekerjaan
ini
diembannya
baru
setahun
setelah
ia
mendepakkan dirinya di suatu perusahaan demi membela harga dirinya. Lantas aku dan kakak lelakiku mengekor langkah Ibu yang gemulai. Kalau seseorang melihatnya dari jauh mungkin mereka akan berpikir kalau ada dua bebek jantan buruk rupa yang sedang membuntuti induknya yang cantik. Tentu saja karena barang-barang pindahan yang aku dan kakakku bawa ini membuat wajah kami jadi jelek. Apalagi dengan adanya sinar mentari yang sedang tidak bersahabat ini. Rasanya kami ingin segera menyemplungkan diri ke danau itu demi untuk mengenyahkan kegerahan. Rasanya memang tidak adil karena barang pindahan yang dibawa Ibu tidak lebih berat dari yang aku dan Kak Radit bawa. Tapi bagaimanapun beliau ini kan, ibu kami. Seorang perempuan berusia 42 tahun yang masih anggun dengan rambut yang terurai sebahu dan pakaian serba abuabu. Ia menyeret koper kecil itu seperti sedang menyeret seekor anjing peliharaan yang tidak mau diajak jalan-jalan.
3
Suara koper itu berdecit mengiringi perjalanan kami sampai telingaku rasanya langsung karatan. Sementara itu, aku dan Kak Radit masing-masing membawa sebuah koper berisi peralatan dapur dan alat-alat mandi. Sedangkan ransel yang tertempel di punggung kami berisi baju-baju kami. Rasanya memang aneh karena kami hanya membawa barang pindahan seadanya. Tapi kata Ibu, esok harinya ia dan Kak Radit akan kembali ke rumah yang dulu untuk membawa barang-barang yang lebih banyak lagi dengan menggunakan kendaraan pengangkut barang sewaan. Untuk mengusir kebosanan, aku mulai nyerocos tidak karuan. Aku hanya mengatakan apa yang terbesit di kepalaku. Dan biasanya, Kak Radit akan menimpaliku dengan kata-katanya yang lumayan kasar. “Perumahan ini mirip dengan reruntuhan bangunan akibat gempa yang melanda dengan lumayan hebat. Bangunan-bangunannya seperti berdiri di dunia antah berantah
tempat
dimana
monster
dan
para
hantu
bersemayam.” “Ini nggak separah yang kamu gambarkan, bodoh! Sok puitis banget, sih!”
4
Begitu
umpat
kakakku
saat
aku
mencoba
mendeskripsikan apa yang sudah kurekam tentang tempat ini. Ia mengungkapkan kejengkelannya sambil menempeleng kecil kepalaku. Padahal aku tidak bermaksud untuk menakut-nakutinya. Kalau saja usianya tidak jauh lebih tua lima tahun dariku, mungkin aku akan leluasa melawannya. Badannya juga lebih besar ketimbang badanku yang lebih ramping dan imut-imut –tentu saja karena ia kakakku. Sudah barang tentu tinggi dan berat badannya akan jauh berada di atasku. Entah kenapa aku selalu terintimidasi hanya dari segi fisiknya saja. Tidak hanya jawaban ketus atau lelucon kasarnya yang membuatku mati kutu, tapi tempelengan kecil atau jeweran kupingnya itu cukup membuatku mati rasa. Dan biasanya Ibu tidak pernah sekalipun membelaku. Kupikir Kak Radit memang anak emasnya. Tentu saja. Karena bagaimanapun, aku selalu berada di bawah bayangbayang Kak Radit. “Putra, Radit! Sudah! Jangan berantem terus!” seru Ibuku sambil terus menarik koper yang bercicit-cuit seperti anak burung yang kelaparan. Sudah kukatakan kalau sebaiknya ia membawanya dengan cara dijinjing. Bunyi
5
deritan yang bersumber dari engsel roda koper itu membuat telingaku bertambah ngilu. Aku terdiam mendengar omelan Ibu. Ia tampak memasang wajah kesal meski itu hanya berlangsung sementara. Blus abu-abu dan rok berwarna senada yang dikenakannya barangkali telah membantunya untuk tidak terlalu sensitif. Kak Radit yang saat itu mengenakan kemeja pendek dan jeans belel, memberikanku ekspresi jutek sebagai mimik terakhir dari perseteruan kami hari ini. Seharusnya aku mendengus kesal karena Ibu tidak pernah sekalipun membelaku –pernah dengar tentang batas kesabaran yang dimiliki manusia? Tapi saat mendapati kenyataan kalau Ibu lebih memerhatikan Kak Radit dibanding aku, jadi aku biarkan saja. “Semoga kalian tidak terganggu dengan keadaan perumahan ini,” kata Ibu saat kami mendapati sederet rumah dengan kaca dan jendela yang rusak parah. Halaman depannya pun berantakan sekali seperti hutan mini. Kalau Kak Radit lebih dekat lagi menyeknyamainya, kutahu kumpulan tanaman-tanaman liar itu akan dikiranya sebagai monster tanaman hijau yang mengerikan. Aku terkekeh sendiri, kupastikan kakakku yang penakut itu akan lari
6
pontang-panting sampai ia melakukan harakiri dengan menyemplungkan diri di danau itu. Hei, kenapa danau itu yang selalu menjadi bahan leluconku? Kini aku sedang melewatinya. Permukaan airnya tenang seperti lempengan koin tanpa pola timbul. Hanya desiran angin yang mampu membuat permukaan air ini bergelombang-gelombang kecil dari segala arah. Rasanya aku ingin menyendiri di sana sekarang. Pasti mengasyikan kalau aku duduk di salah satu alas duduk tanpa punggung yang terbuat dari batu bata berwarna merah itu. Ditemani dengan buku dan secangkir moccacino hangat, kupikir aku bisa berlama-lama di tempat itu. Apalagi kalau sinar matahari yang terik berhasil ditepis oleh kerindangan pohon yang berada tepatnya. “Tamannya angker gitu, ya, Bu. Apalagi danaunya,” ujar Kak Radit. Aku tertawa kecil terlebih saat melihat tampangnya yang sedang merenggut. “Takut, nih, ye,” godaku sambil cengengesan. “Eh! Sok tahu ni, anak! Siapa yang takut?!” timpal Kakak tidak mau kalah. “Sudah-sudah!” kata Ibu.
7
Rupanya ia mulai emosi juga. Kulihat wajahnya mengatup dan lesung pipitnya tertutup. Mungkin ia sudah begitu kesal dengan perselisihan yang aku dan Kak Radit lakukan. Mungkin ia ingat dengan beban hidup yang sedang melanda keluarganya. Atau mungkin ia dilelahkan oleh perjalanan yang cukup panjang dengan menaiki beberapa kali naik angkutan kota dan ojeg sepeda motor. “Ini adalah tempat tinggal kita sementara. Nanti kalau uang kita sudah terkumpul, kita akan mencari tempat tinggal yang lebih baik,” kata Ibu lagi. Ia kembali mengulangi pernyataan yang sama. Sepertinya ia takut aku dan Kak Radit tidak mendukung rencananya karena kami berdua kelihatan ill feel saat melihat kondisi komplek ini. Aku sudah mengetahui banyak dibanding dari yang kulihat dan kudengar. Aku mampu memahami permasalahan yang sedang keluarga kami hadapi. Ketika Ibu mengatakan berniat pindah rumah karena tempat tinggal yang sudah bertahun-tahun kami tinggali itu disita seorang rentenir, aku menerimanya dengan lapang dada. Begitupun kakakku. Kak Radit bahkan terasa lebih mengerti dan paham dibandingkan aku. Tentu Ibu sadar kalau anak-anaknya tidak banyak mengeluh. Tentu ia bersyukur akan hal ini sekalipun
8
perselisihan yang dilakukan aku dan kakakku kontan membuat kepalanya jadi semakin puyeng. “Jangan khawatir, Bu. Radit pasti akan bantu Ibu dengan kerja sambilan!” seru Kak Radit bersemangat. “Jangan gaya-gayaan lagi, ah! Urus dulu kuliahmu! Jangan sampai terbengkalai,” sungut Ibu. Kak Radit memasang tampang cemberut di atas wajah manisnya Aku menahan geli saat melihatnya begitu. Pasti dia cukup kesal saat Ibu memilih kata ‘gaya-gayaan’ untuk menyebut usaha yang pernah dilakukannya. Untuk yang satu ini aku cukup salut dengan Kak Radit. Ia pernah bekerja sebagai pelayan restoran fast food paruh waktu sementara ia sedang berkuliah. Tentu saat itu ia sibuk sekali. Bisa kulihat dia begitu kecapaian kalau tiba di rumah. Tapi biasanya, ia lebih memilih untuk tetap tinggal di kosan temannya. Jarak yang lumayan jauh dengan rumah, juga bila memikirkan biaya transportasi angkutan umum, membuat Kakak tingal satu atap dengan temannya. Letak kosan itu dekat kampus dan untuk sampai ke tempat kerjanya ia hanya perlu satu kali naik angkot. Selain itu yang paling aku banggakan dari Kakak adalah karena ia seorang pemuda yang cerdas. Ia berhasil 9
menamatkan pendidikan SMA-nya dengan hasil ujian akhir yang mencengangkan. Dia menjadi juara umum bagi siswa yang memeroleh nilai tertinggi tingkat Kota Bogor. Maka dari itu ia berhak mendapatkan beasiswa masuk ke perguruan tinggi negeri di kotaku. Ia masuk ke sana dan berhasil membuat ibuku terharu. Mengetahui hal ini, adik mana yang tidak mendukung kakaknya sukses. Meski dalam hati kecilku, aku merasa berhak untuk iri. Aku merasa berhak untuk cemburu. Aku tidak pintar, aku tidak pernah masuk sepuluh besar, dan aku tidak mendapat beasiswa. Tapi lebih parah dari itu, aku tidak
bisa
melanjutkan
pendidikan
SMA-ku
karena
keterbatasan biaya. “Akhirnya
kita
sampai!”
seru
Ibu.
Suara
cemprengnya mencabut kelelanganku. “Inilah blok.E nomor 23,” kata Ibu lagi sambil tersenyum. Ibu tentu sudah melakukan survey ke tempat ini ketika ia mengurus segala sesuatunya dengan pihak pemasaran. Maka dari itulah ia sudah hapal arah jalan. Menurut pengakuan Ibu, satu hal yang membuat ia memutuskan untuk mengambil rumah ini adalah karena harga yang ditawarkan murah dan bisa dicicil beberapa kali.
10
Rumah yang kini terlihat di depan batang hidungku ini tidak seburuk yang kukira. Cat dindingnya berwarna biru muda lengkap dengan kelupasan-kelupasan dan kelembaban dindingnya di beberapa sisi. Halamannya cukup luas meski tanahnya gundul. Beberapa rumput kering berwarna kecoklatan terhias di setiap pinggirnya. Mavcam-macam perkakas bangunan seperti sekop, linggis, kaleng bekas cat, dan semacamnya tampak tersungkur berserakan. Lalu kulihat kusen rumah yang terdiri dari tiga jendela. Lapisan gordennya tampak dari dalam. Warnanya merah jambu. Di depan pagar bercat cokelat tua dengan ornamen dedaunan ini, ada bagasi mobil tanpa penutup. Bagasi itu menjorok ke dalam sementara di sampingnya terdapat pintu lainnya. Kulangkahkan kaki ke belakang sambil menegakkan kepalaku untuk melihat balkon di lantai dua. Kulihat pagarnya pendek dengan cat merah tua. Didalamnya terdapat pintu serupa gerbang masuk dengan tirai tipis berwarna putih. Rumah ini diapit oleh dua rumah yang memiliki struktur yang sama. Perbedaan mencoloknya tergambar pada masing-masing corak pagar halaman atau warna cat yang merayapi tembok rumah. Ketiga rumah ini menghadap ke danau yang jika terlihat dari sini seperti kepingan uang 11
logam. Termasuk rumahku, tiga bangunan ini berderet sejajar dipisahkan jalan setapak di sebelah kanan. Jalan itu menembus ke hutan rimba. Barangakali di sana terdapat sebuah pintu masuk yang tergembok. Karena kupikir tidak ada warga yang boleh memasuki kawasan ini. Lagipula tampaknya tidak ada satu wargapun yang mendirikan rumah di hutan belakang. Pemukiman warga lebih banyak berada jauh di luar komplek perumahan ini. Seperti halnya rumahrumah penduduk yang aku lihat saat berada dalam boncengan sepeda motor tukang ojeg beberapa menit yang lalu. Di sebelah kiri kulihat sebuah tembok pembatas kira-kira setinggi 5 meter. Tembok itu menjulang tinggi membatasi komplek perumahan dengan area di belakangnya. Kulihat tembok pembatas itu dipenuhi dengan lumut hijau dan tanaman-tanaman kecil. Jika terlihat dari jauh rasanya seperti sebuah lukisan abstrak dengan dominasi warna hijau. Di atas tembok pembatas itu dilengkapi dengan kawat berduri dan pecahan beling yang sengaja ditancapkan. Mungkin untuk mencegah masuknya maling. Kemudian kuperhatikan dua rumah tetangga yang mengapit tempat tinggalku. Sebelah kanan diisi oleh rumah dengan cat warna pink. Halamannya tertata apik dengan 12
berbagai macam tanaman hias yang ditanam dalam pot masing-masing. Akan tetapi jendela rumah itu kesemuanya tertutup rapat. Mungkin penghuninya sedang keluar. Namun saat kuperhatikan lantai dua rumah itu, kulihat sebuah jendela keceil dengan tirai yang juga berwarna pink sedang terbuka dengan lebar. Jendela itu menghadap ke samping balkon rumahku. Kurasa ada seseorang yang memerhatikan kami sejak lama. Sementara itu, kondisi rumah sebelah kiriku adalah kebalikannya. Rumah bercat putih itu kelihatan super tak terawat. Kata Ibu rumah itu sudah tidak dihuni selama 15 tahun. Halamannya dipenuhi semak belukar dan bekas kandang anjing yang tergeletak begitu saja. Di pojok halaman, satu pohon mangga berdiri menggemaskan karena sedang berbuah.
Asyik juga bisa mengambil buahnya
dengan bebas dan leluasa. Kemudian kaca jendelanya kosong melompong sehingga aku bisa melihat keadaan ruang tamu rumah itu yang menghitam dan berantakan. Daun-daun kering dan bebatuan kecil berserakan di atas ubin berpetakpetak yang terhampar rusak. Lalu dindingnya pun hijau kecoklatan karena diserbu lumut lengkap dengan seranggaserangga kecil yang berdomisili didalamnya.
13
Bunyi kelotrekan yang terdengar dari gembok pagar yang dibuka Ibu membuatku terhenyak. “Sekarang kalian lihat-lihat dulu keadaan rumahnya. Lumayan luas, kan? Ada dua tingkat, lagi,” katanya setelah membuka pagar rumah. Aku langsung mengekor Ibu sementara Kak Radit yang berada di belakangku tampak tidak yakin dengan rumah ini. “Cukup, lah, untuk ditinggali bertiga,” susul Ibu. Aku mengerenyitkan kedua halis. Tentu saja dengan rumah seluas ini, puluhan orang pun bisa menggunakannya sebagai tempat berteduh di kala hujan. Kata Ibu, bangunan ini terdiri dari dua lantai. Di lantai dasar terdiri dari dua kamar, dapur, dan satu kamar mandi. Sedangkan di lantai atas terdapat sebuah kamar yang lebih luas dengan kamar mandi di dalamnya. Kelihatannya aku akan suka jika kamarku berada di lantai atas, sedangkan Ibu dan Kak Radit biar menempati kamar di lantai bawah. Tapi paling-paling rumah ini akan diisi oleh Ibu dan aku sendiri. Kak Radit pasti akan kembali ke kosannya dan sekali waktu menginap Hah, betapa beruntungnya Kak Radit. Koper dan ransel sudah diletakkan di atas lantai. Ketika tepat berada di depan pintu, Ibu merogoh sakunya 14
untuk mengambil kunci. Aku menunggu tidak tahan seperti seorang anak kecil yang kebelet pipis. Rasanya aku tidak bisa menunggu lama untuk mengetahui keadaan di dalam rumah. Kulirik Kak Radit. Ia masih kelihatan gugup. Aku tidak mau meledeknya lagi. Karena selain takut kena damprat, aku juga tidak mau membuat Ibu marah. Pintu rumah dibuka. Aku masuk ke dalam dan kutemui ruangan tamu yang cukup besar. Marmer berwarna biru yang menjadi lapisan permukaan lantai, memberi kesan mewah. Kutemukan juga sebuah sofa lengkap dengan meja yang terbuat dari kaca. “Kok, ada sofa dan mejanya segala, Bu?” tanya Kak Radit kemudian. “Ibu lupa cerita, ya? Penghuni sebelumnya sengaja tidak membawa beberapa perangkat di rumah ini. Mungkin karena mereka lupa atau sengaja ditinggalkan karena sudah terlalu kaya,” tebak Ibu, lucu. “Kalau kalian tidak mau, kita bisa menggantinya dengan kursi ruang tamu milik kita. Kirakira besok, Ibu akan menyewa kendaraan pengangkut barang untuk mengangkat barang-barang di rumah yang lama.” Sebelum Kak Radit mengangguk setuju, aku lebih dulu menimpali pernyataan Ibu. “Jangan diganti saja ya, Bu! 15
Sofa
ini
lumayan
enak
kayaknya,”
kataku
sambil
menghampiri sofa yang dimaksud. Lalu tanpa ba-bi-bu lagi, aku menjatuhkan diriku dengan santai ke atas permukaan sofa. Aku berharap tubuh rampingku ini dapat memantul karena kupikr sofa yang empuk dan berisi ini memiliki per didalamnya. Namun sial. Aku malah terjerembab ke dalamnya. Pantatku masuk di tengah sofa yang ternyata kempes ini dan membentur permukaan lantai dengan cukup keras. Ibu dan kakakku langsung tertawa terbahak-bahak. Pantas saja penghuni rumah yang dulu membiarkan sofanya tertinggal. Aku tidak mau menyadari kebodohanku. Tapi ketika melihat keduanya tertawa, aku juga ikut tertawa. Untuk apa malu kepada keluarga sendiri? Selain itu, tampaknya aku berhasil meredakan ketegangan. Terutama ketegangan yang tergambar di wajah Kak Radit. Ia pasti terhibur sekali dengan tingkah bodohku ini. “Dasar bodoh,” cela Kak Radit, sesuai dengan dugaanku. Ibu kemudian meluncur ke ruang tengah. Kakak kembali mengekor. Aku yang baru saja terjerembab langsung bangun sambil menyisakan rasa ngilu di bagian pantat. 16
“Di sini juga ada meja makannya. Lumayan sekali, kan?” kata Ibu lagi antusias. Kak Radit yang masih belum menyelesaikan cekikikannya berkata kepadaku. “Awas, jangan sampai kamu duduki lagi meja itu,” celotehnya sambil diiringi tawa yang terbahak. Ibu yang mendengar hal itu hanya tersenyum simpul. “Terus dapurnya gimana, Bu?” tanyaku untuk mengalihkan perhatian sambil mengelus-ngelus sebelah kanan pantatku. Berharap tidak ada yang benjol di sana. Ibu lantas menuju dapur setelah ia membuka pintu yang membatasi ruang tengah dan ruang dapur. Cukup menggeser pintu ini ke sebelah kiri untuk membukanya. Kulihat sebuah kolam ikan yang kosong. Tampaknya ini sebuah pekarangan. Aku antusias sekali melihatnya. Kupikir aku akan menaruh beberapa ikan di sini. “Dapurnya masih berantakan. Tapi masih ada beberapa peralatan masak dari penghuni lama,” kata Ibu yang sudah ngendon di dapur. Hah, tentang penghuni lama lagi. Aku jadi ingin bertanya tentang penghuni lama yang dimaksud Ibu. “Bu, emang penghuni sebelumnya siapa, sih?” tanyaku. 17
Ibu terbatuk kecil. Mungkin karena debu yang menyebar
dari
beberapa
peralatan
yang
sedang
dibersihkannya. “Satu keluarga dengan dua anak.” “Kenapa mereka pindah?” Ibu tidak menjawab. Padahal aku menunggu lama untuknya. “AAAA!” Seseorang berteriak histeris! Teriakan Kak Radit! “Ada seseorang di dalam kamar!” serunya. Aku dan Ibu langsung menemuinya. Kulihat keringat dingin mulai meleleh melewati keningnya. Aku dan ibuku saling berpandangan. Bagaimana mungkin seseorang masuk ke dalam rumah yang terkunci? Apa memang ada seseorang yang masih berada di dalam rumah sampai kami datang? Atau jangan-jangan ada maling? Ibu kembali berjalan di depan dengan langkah perlahan. “Ehem-ehem!” Ibu sengaja bersuara seolah-olah sedang mempebaiki tenggorokannya yang gatal. Sementara sapu lidi yang ia bawa ia angkat ke atas seperti seseorang yang sedang membawa golok. 18
Klotrek! Klotrek! Memang benar asal suara itu dari dalam kamar. Ibu berjalan mendekati pintu dan berusaha menggapai daun pintunya. Aku dan kakakku malah berlindung di balik tubuh Ibu. Pintu dibuka. Deritan dari engsel yang berkarat terdengar. Hentakan suara yang berkelontrangan terdengar mengejutkan disertai bunyi cicitan makhluk aneh! PRYAAANG! CIIIT! CIIIT! “AAAA!” Kami berteriak secara bersamaan. Aku dan kakakku terkejut dan bersigap untuk melindungi ibu dari entah apapun
yang
membahayakan
jiwanya.
Namun
yang
kutemukan adalah seekor binatang pengerat yang keluar dari dalam kamar. Tikus sebesar anak kucing itu meloncat sampai tediam sejenak di atas jari-jari kaki kananku. Setelah itu makhluk itu pergi melalui pintu dapur. Ibu
membekap
mulutnya
sambil
berusaha
menenangkan diri. Sementara aku terdiam jijik menyadari jari jemari seekor tikus telah melewati kakiku. Kemudian aku dan ibuku langsung menatap Kak Radit. Tatapan kami
19
seperti meminta pertanggungjawaban dari dirinya. Namun kakakku itu hanya mesem-mesem. Entahlah. Kupikir ia merasa malu juga.
20