TERAPI FARMAKOLOGI
1. NSAID NSAID terutama bekerja dengan menginhibit sintesis prostaglandin, yang hanya merupakan sebagian kecil dari rangkaian inflamasi. NSAID mempunyai efek analgesik dan anti inflamasi tapi tidak memperlambat progres penyakit atau mencegah erosi tulang atau deformitas sendi. NSAID umumnya diterima sebagai terapi pertama untuk perawatan simtom dari RA ringan. Digunakan sebagai terapi primer, NSAID seharusnya diberikan dalam dosis inflamasi dan tidak boleh digunakan sebagai terapi tunggal selama lebih dari 3 bulan kecuali pasien memberikan respon yang baik (Dipiro et al., 2008). NSAID dapat menyebabkan iritasi lambung atau dapat mempengaruhi fungsi ginjal (jarang). Semakin lama seseorang menggunakan NSAID, semakin besar kemungkinan memiliki efek samping, mulai dari yang ringan sampai yang serius. Kadang-kadang NSAID dikaitkan dengan masalah pencernaan yang serius, termasuk bisul, perdarahan, dan perforasi lambung atau usus. Orang-orang usia 65 keatas serta orang-orang dengan riwayat ulkus atau perdarahan gastrointestinal, harus menggunakan NSAID dengan hatihati (NIAMS, 2013). NSAID COX-2 selektif memberikan profil keamanan saluran cerna yang lebih baik dan mempunyai efek serupa dengan NSAID konvensional (Dipiro et al., 2008).
2. DMARDs (disease-modifying antirheumatic drugs) Digunakan untuk memperlambat proses terjadinya penyakit. DMARDs umum meliputi hydroxychloroquine, leflunomide, methotrexate, dan sulfasalazine.
Methotrexate Methotrexate (MTX) menginhibit produksi sitokin dan biosintesis purine, yang mungkin bertanggung jawab untuk sifat anti inflamsinya. Onsetnya relatif cepat (2-3minggu), 45-67% pasien bertahan dalam studi dengan rentang 5-7 tahun. Toksisitas termasuk saluran cerna (stomatitis, diare, nausea, muntah), hematologis (trombositopeni, leukopeni), pulmonal (fibrosis, pneumotitis), dan hepatik (peningkatan enzim, sirosis). Pemberian asam folat bersamaan bisa mengurangi beberapa efek samping tampa mengurangi efeknya. Tes untuk cedera liver (AST
atau ALT) harus dimonitor secara periodik, tapi biopsi liver hanya direkomendasikan untuk pasien dengan peningkatan enzim hepatik yang bertahan. MTX teratogenik, dan pasien harus menggunakan kontrasepsi dan menghentikan obat jika kehamilan diinginkan.
Leflunomide Leflunomide (Arava) menginhibit sintesi piriin, yang mengurangi proliferasi limfosit dan modulasi dari inflamasi. Efeknya untuk RA serupa dengan MTX. Dosis awal 100 mg/hari untuk 3 hari pertama bisa memberikan respon terapetik dalam bulan pertama. Dosis penjagaan umumnnya 10 mg/hari pada kasus intoleransi saluran cerna, kehilangan rambut yang tidak diinginkan, atau toksisitas terkait dosis lainnya. Obat ini bisa menyebabkan toksisitas liver, dan ALT harus dimonitor tiap bulan pada awal dan periode selanjutnya. Obat ini teratogenik dan harus dihindari selama kehamilan. Leflunomide tidak menghasilkan toksisitas sumsum tulang, sehingga monitoring hematologis tidak dibutuhkan.
Hydroxychloroquine Hydroxychloroquine tidak mengakibatkan toksisitas meyelosuppresive, hepatik, dan ginjal seperti DMARD lainnya, sehingga mempermudah monitoring. Onsetnya bisa tertunda sampai 6 mnggu, tapi pengobatan bisa dianggap gagal jka sampai 6 bulan tidak ada respon. Toksisitas jangka pendek termasuk saluran cerna (nausea, muntah, diare), okular (defek akomodasi, deposit kornea ringan, pandangan kabur, scotomas, rabun ayam, retinopati), dermatologis (kemerahan, alopecia, pigmentasi kulit) dan neurologis (sakit kepala, vertigo, insomnia).
Sulfasalazine Penggunaan sulfasalazine terbatas karena efek sampingnya. Efek antirematik seharusnya terlihat dalam 2 bulan. Efek samping termasuk saluran cerna (anoreksia, nausea, muntah, diare), dermatologis (kemerahan, urtikaria), hematologis (leukopeni, agranulositosis), dan hepatik (enzim yang meningkat). Simtom saluran cerna bisa dikurangi dengan memulai pada dosis rendah dan mengkonsumsi bat bersama makanan. (Dipiro et al., 2008)
3. Agen Biologis DMARDs lainnya yang disebut pengubah respon biologis, mungkin dapat digunakan pada orang dengan penyakit yang lebih serius. Obat rekayasa genetika ini membantu mengurangi peradangan dan kerusakan struktural sendi dengan mengganggu proses yang memicu peradangan.
Etanercept, golimumab, infliximab, adalimumab dan certolizumab, bekerja mengurangi peradangan dengan menghalangi tumor necrosis factor ( TNF ), sebuah sitokin atau protein sistem kekebalan tubuh yang memicu peradangan pada respon imun normal.
Rituximab menghentikan aktivasi sejenis sel darah putih yang disebut sel B. Hal ini mengurangi keseluruhan aktivitas dari sistem kekebalan tubuh, yang terlalu aktif pada orang dengan rheumatoid arthritis.
Abatacept menghalangi bahan kimia tertentu yang memicu kelebihan produksi sel darah putih yang disebut sel T yang berperan dalam peradangan rheumatoid arthritis.
Tocilizumab bekerja dengan menghambat sitokin yang disebut interleukin 6 ( IL 6 ) untuk mengurangi peradangan pada orang dengan rheumatoid arthritis.
DMARD lain, tofacitinib, dari kelas baru yaitu jak kinase ( JAK ) inhibitor, melawan peradangan dari dalam sel untuk mengurangi peradangan pada orang dengan rheumatoid arthritis. (NIAMS, 2013)
4. Preparat Emas Aurothioglucse (Solganol)(suspensi dalam minyak) dan natrium thiomalate emas (Mychrysine, Aurolate) (larutan aqueous) adalah preparat intramuskular dengan onset yang bisa tertunda selama 3-6 bulan. Dibutuhkan injeksi mingguan selama 22 minggu sebelum pemberian dosis penjagaan dengan frekuensi lebih jarang diberikan.Auranofin (Ridaura) adalah preparat emas oral yang lebih sesuai tapi kurang efektif daripada emas IM. Efek samping adalah saluran cerna (nausea, muntah, diare), dermatologis (kemerahan, stomatitis), ginjal (proteinuria, hematuria), dan hematologis (anemia, leukopenia, trombositopeni). Natrium thiomalate emas dihubungkan dengan reaksi
nitritid (wajah memerah, palpitasi, hipertensi, takikardi, sakit kepala, pandangan kabur). Pasien yang menerima emas IM bisa mengalami rasa terbakar setelah injeksi selama 1-2 hari setelah injeksi (Dipiro et al., 2008).
5. Azthiopirine Azathiopirine adalah analog purine yang dikonversi menjadi 6-mercaptopurine dan diperkirakan berhubungan dengan sintesis DNA dan RNA. Efek antirematik bisa terlihat dalam 3-4minggu. Pengobatan harus dihentikan jika tidak ada respon dalam 12 minggu pada dosis maksimal. Efek samping utamanya adalah supresi sumsum tulang (leukopeni, anemia makrositik, trombositopeni, pamcytopeni), stomatitis, intoleransi saluran cerna, infeksi, demam obat, hepat toksisitas, dan potensi onkogenik (Dipiro et al., 2008).
6.
D-Penicillamine
Onset penicilamine bisa terlihat dalam 1-3 bulan, dan respon paling banyak terlihat dalam 6 bulan. Efek samping awal termasuk kulit kemerahan, rasa logam, hipogeusia, stomatitis, anoreksia, nausea, muntah, dan dispepsia. Glomerulonefritis bisa terjadi, dengan manifestasi proteinuria dan hematuria. Pencilamine biasanya untuk pasien yang resisten terhadap terapi lain karena induksi yang jarang tapi serius dari penyakit auto imun (Dipiro et al., 2008).
7. Antagonis Reseptor Interleukin-1 Anakinra (Kineret) adalah antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra) yang terikat pada reseptor IL1 pada target sel, mencegah interaksi antara IL-1 dan sel. IL-1 normalnya menstimulasi pelepasan faktor kemotaktik dan molekul adhesi yang mendorng migrasi leukosit inflamasi kejaringan. Obat ini diterima untuk RA sedang sampai akut pada dewasa yang gagal dengan satu atau lebih DMARD. Obat ini bisa digunakan tunggal atau dalam kombinasi dengan DMARD kecuali agen bloking TNF. Pada uji klinik 6 bulan, tingkat respon adalah 38% pada pasien yang mendapat anakinra dan 22% pada pasien yang menerima plasebo. Reaksi tempat injeksi adalah efek samping paling sering (kemerahan, sakit). Juga terjadi peningkatan resiko infeksi serius (2% vs 1% untuk yang mendapat plasebo). Karena resiko ini lebih tinggi (7%) ketika digunakan dengan TNF bloker, terapi
kombinasi dengan etanercept atau infliximab sebaiknya dilakukan dengan hati-hati dan hanya jika tidak ada alternatif lain (Dipiro et al., 2008).
8. Glukokortokoid Glukokortikoid mempunyai sifat anti-inflamasi dan imunosupresif, tapi tidak merubah perjalanan penyakit. Pada dosis oral rendah (<10 mg/hari atau prednisone yang setara), ini bisa menjadi terapi antara sebelum DMARD memberikan efek penuh atau untuk terapi berkelanjutan pada pasien yang penyakitnya sulit dikontrol dengan NSAID dan satu atau lebih DMARD. Dosis oral tinggi atau jalur intravena bisa digunakan selama beberapa hari untuk menekan flares penyakit. Setelah simtom dikontrol, obat harus dikurangi sampai ke dosis efektif terendah. Rute intramuskular lebih disukai pada pasien yang tidak patuh. Bentuk depot (triamcinolone acetonide, triamcinolone hexacetonde, methylprednisolone acetate) memberikan kontrol simtom 2-8 minggu. Onset dari efek bisa tertunda selama beberapa hari. Efek depo memberikan kesempatan untuk pengurangan fisiologis, menghindari supresi axis hipotalamik-pituitari. Injeksi intraartikular bentuk depot bisa berguna hanya ketika sedikit persendian yang terlibat. Jika efektif, injeksi bisa diulangi tiap 3 bulan. Tidak boleh diijeksi pada sendi yang sama lebih dari 2-3kali setahun. Efek samping glukokrtikid sistemik membatasi penggunaan jangka panjangnya. Penurunan dosis dan penghentian harus dipertimbangkan pada saat tertentu pada pasien yang menerima terapi kronik (Dipiro et al., 2008).
TERAPI NON-FARMAKOLOGI A. Perubahan Perilaku Kesehatan 1. Istirahat dan latihan Orang dengan rheumatoid arthritis memerlukan keseimbangan yang baik antara istirahat dan latihan, dengan lebih banyak istirahat ketika penyakit ini aktif dan lebih banyak berolahraga jika tidak. Istirahat membantu mengurangi peradangan sendi aktif dan rasa sakit serta melawan kelelahan. Lamanya waktu untuk istirahat bervariasi dari orang ke orang , tetapi secara umum, istirahat pendek lebih membantu daripada waktu yang lama dihabiskan di tempat tidur. Latihan ini penting untuk menjaga otot sehat dan kuat, menjaga mobilitas sendi, dan mempertahankan fleksibilitas. Olahraga juga dapat
membantu orang tidur nyenyak, mengurangi rasa sakit, mempertahankan sikap positif, dan mengelola berat badan. 2. Perawatan sendi Beberapa orang menemukan menggunakan belat untuk waktu yang singkat disekitar sendi yang sakit dapat mengurangi rasa sakit dan bengkak dengan mendukung sendi dan membiarkannya beristirahat. Splints digunakan terutama pada tangan dan pergelangan tangan, serta kaki dan pergelangan kaki. Seorang dokter atau ahli terapi fisik dapat membantu memilihkan belat dan pastikan cocok dengan benar. 3. Pengurangan stres Orang dengan rheumatoid arthritis menghadapi tantangan emosional maupun fisik. Emosi yang mereka rasakan karena penyakit (takut, marah, dan frustrasi) digabungkan dengan rasa sakit dan keterbatasan fisik dapat meningkatkan tingkat stres mereka. Stres juga dapat mempengaruhi jumlah rasa sakit seseorang. 4. Diet Sehat Makanan bergizi dengan cukup kalori, protein, dan kalsium. Beberapa orang perlu berhati-hati mengkonsumsi alkohol karena mempengaruhi obat untuk rheumatoid arthritis. Metotreksat memiliki efek samping jangka panjang yang paling serius yaitu kerusakan hati, sehingga dilarang mengkonsumsi alkohol. Penelitian menunjukkan bahwa beberapa suplemen minyak ikan dapat membantu mengurangi peradangan arthritis . (NIAMS, 2013)
B. Bedah Beberapa jenis operasi tersedia untuk pasien dengan kerusakan sendi yang parah. Tujuan utama dari prosedur ini adalah untuk mengurangi rasa sakit, meningkatkan fungsi sendi yang terkena, dan meningkatkan kemampuan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari. Berikut ini adalah beberapa operasi umum yang dilakukan untuk rheumatoid arthritis :
Sendi pengganti sendi pengganti melibatkan menghapus semua atau bagian dari sendi yang rusak dan menggantinya dengan komponen sintetis. Sendi yang paling sering diganti adalah pinggul dan lutut . Operasi penggantian sendi dilakukan terutama untuk mengurangi rasa sakit dan meningkatkan atau mempertahankan fungsi. Penggantian sendi secara tradisional
melibatkan sayatan besar dan pemulihan yang panjang. Sendi buatan tidak selalu permanen dan akhirnya mungkin harus diganti.
Arthrodesis ( fusi ) Arthrodesis adalah prosedur pembedahan yang melibatkan melepas sendi dan menggabungkan tulang ke dalam satu immobile unit, terkadang menggunakan cangkok tulang dari panggul orang itu sendiri. Meskipun prosedur dapat membatasi gerakan, hal ini dapat berguna untuk meningkatkan stabilitas dan menghilangkan rasa sakit pada sendi yang terkena. Sendi yang paling sering menyatu adalah pergelangan kaki dan pergelangan tangan dan sendi jari tangan dan kaki .
Rekonstruksi tendon Rheumatoid arthritis dapat merusak dan memecah tendon, jaringan yang melekatkan otot ke tulang. Operasi ini (paling sering digunakan pada tangan) dilakukan untuk merekonstruksi tendon yang rusak dengan menempelkan tendon utuh. Prosedur ini dapat membantu untuk mengembalikan fungsi tangan, terutama jika tendon benar-benar pecah.
Sinovektomi Pada
pembedahan
ini,
dokter
akan
membuang
jaringan
synovial
yang
terinflamasi. Sinovektomi sendiri jarang dilakukan sekarang karena tidak semua jaringan bisa dibuang, dan kadang-kadang dapat kambuh kembali. Sinovektomi dilakukan sebagai bagian dari pembedahan rekonstruktif, khususnya rekonstruksi tendon. (NIAMS, 2013)
C. Arthroplasti Arthoplasti adalah treatment terakhir, yaitu penggantian sendi yang rusak dengan sendi artifisial yaitu prosthesis dalam prosedur total joint replacement. Sendi prostesis ini dibuat pertama kali saat Perang Dunia II dan Perang Korea. Total Hip Replacement(THR) dilakukan pertama kali pada tahun 1963 di Inggris oleh dokter ortopedi Sir John Carnley. Sendi prostesis sekarang tersedia untuk jari, bahu, siku, panggul maupun lutut. Di Amerika, lebih dari 250.000 pasien menggunakan prostesis untuk mengembalikan fungsi tubuh ke keadaan semula yang terkena RA ataupun OA (Saladin, 2003).
Gambar 1 Macam-macam prostesi (Saladin, 2003)
DAFTAR PUSTAKA
Dipiro, J.T., Talbert, R.L., Yee, G.C., dkk, 2008. Pharmacotherapy A Pathophysiologic Approach, 6th edition. McGraw-Hill. New York. National Institute of Arthritis and Musculoskeletal and Skin Diseases (NIAMS). 2013. Handout on
Health:
Rheumatoid
Arthritis.
http://www.niams.nih.gov/Health_Info/Rheumatic_Disease/default.asp. [Diakses pada 19 Oktober 2013]. Saladin, K.2003. Artritis and Artificial Joints. Saladin: Anatomy and Physiology The Unity and Form Function 3rd ed [E-Book]. Jakarta: The McGraw Hil Companies, p. 320-1