SAMBUTAN PADA PEMBUKAAN WORKSHOP PENANGANAN ANAK YANG BERHADAPAN DENGAN HUKUM DENGAN PENDEKATAN RESTORATIF JUSTICE Hotel Salak Bogor, 5 April 2010 1. Yth. Bpk Ketua Mahkamah Agung 2. Yth, Bpk/Ibu Para Nara Sumber dari Kementerian Hukum & HAM,
Kejaksaan Agung RI, Kepolisian
Negara RI, Kementrian Sosial RI 3. Yth. Para peserta Workshop dan hadirin undangan sekalian.
Assalamu’alaikum Wr.Wb. Salam sejahtera bagi kita semua dan selamat pagi, Pertama-tama
marilah
kita
panjatkan
puji
syukur
kehadirat Tuhan YME, yang telah memberikan rakhmat dan karuniaNya kepada kita sehingga kita bersama dapat hadir
pada pagi ini untuk mengikuti acara Workshop Penanganan Anak Bermasalah dengan Hukum (ABH) dengan pendekatan Restorative Justice, yang dilaksanakan oleh Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dan diprakarsai oleh Working Group/Kelompok Kerja Penanganan ABHserta kerjasama dengan UNICEF, dengan harapan kiranya melalui Workshop ini upaya kita dalam menerapkan keadilan restoratif secara khusus dan perlindungan anak secara umum dapat lebih terfokus, effektif dan berjalan lancar dan serta mendapatkan ridho dan lindunganNya. Selanjutnya saya juga sangat berterima kasih atas perhatian dan kesediaan Bapak-bapak dan Ibu-ibu serta Saudara-saudara yang ditengah-tengah kesibukan masingmasing menyempatkan diri bersedia untuk menjadi Nara Sumber dan sebagai peserta Workshop ini.
Workshop ini
merupakan salah satu upaya sejalan dengan banyaknya upaya lain yang telah dilakukan untuk lebih memberikan perlindungan kepada anak secara menyeluruh dan terpadu.
Saudara-saudara dan hadirin yang saya hormati, Pada masa Kabinet Indonesia Bersatu II, lima tahun ke depan, Kementerian Negara Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KNPP dan PA) tidak hanya menangani persoalan perempuan semata. Sesuai dengan perubahan
2
nomenklatur, maka kewenangan Kementerian Negara ini diperluas dengan perlindungan anak. sehingga permasalahan perlindungan anak
lebih mendapat perhatian. Masalah
perlindungan dan pemenuhan hak anak sesungguhnya sudah menjadi prioritas KNPP dan PA sejak tahun 2000, dan dari tahun ke tahun sudah banyak yang telah dilakukan dalam upaya perbaikan perlindungan anak, khususnya terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Namun fakta yang ada di lapangan
menunjukkan
masih
terdapat
beberapa
permasalahan yang cukup memprihatinkan, yang ditunjukkan dengan makin meningkatnya jumlah anak yang berada di Rutan dan Lapas. Berdasarkan
data
dari
Direktorat
Pemasyarakatan, Departemen Hukum dan HAM,
Jenderal jumlah
narapidana anak (anak didik pemasyarakatan) dari 5.630 anak pada bulan Maret 2008, meningkat menjadi 6.271 anak pada awal tahun 2010, dan sebagian besar, yaitu hampir sekitar 57 persen dari mereka tergabung dengan tahanan orang dewasa (berada di rumah tahanan dan lembaga pemasyarakatan untuk orang dewasa). Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena keberadaan anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang dewasa, menempatkan anakanak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan.
3
Permasalahan anak yang berhadapan dengan hukum tidak hanya menjadi masalah nasional saja, tetapi juga menjadi masalah internasional. Indonesia sebagai Negara yang telah meratifikasi Konvensi Hak Anak, dengan Keputusan Presiden Nomor 36 Tahun 1990, memiliki kewajiban untuk mewujudkan sistem
perlindungan
terhadap
anak
secara
nyata
dan
berkesinambungan, termasuk terhadap anak yang berhadapan dengan hukum. Indonesia juga telah memiliki UU No. 3 Tahun 1997
tentang
Pengadilan
penyempurnaan,
Anak,
yang
dalam
proses
dengan disusunnya RUU. Sistem Peradilan
Pidana Anak dan UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
yang
terpenuhinya
seharusnya hak-hak
dapat
dasar
memberikan
anak.
Namun
jaminan penerapan
peraturan perundang-undangan tersebut belum dilakukan secara maksimal. Berdasarkan beberapa hasil pemetaan ABH tahun
2007
sampai
dengan
akhir
2009
menunjukkan
mayoritas kasus anak yang berhadapan dengan hukum diselesaikan melalui pengadilan, dan 90% dijatuhi hukuman pidana dan dipenjarakan. Satu hal yang
pasti, anak akan
kehilangan berbagai haknya, seperti hak kebebasan, hak tumbuh kembang, hak untuk memperoleh pendidikan dan pelayanan kesehatan serta hak-hak dasar anak lainnya. Secara
garis
besar
dari
hasil
pemetaan
tersebut
ditemukan juga, bahwa anak yang menjalani proses hukum
4
sering mengalami permasalahan, terutama dalam pemenuhan haknya antara lain: a. Tidak adanya kesempatan sekolah karena harus ditahan; b. Akses pelayanan kesehatan yang tidak memadai; c. Kondisi hidup anak sangat tidak baik, misalnya tempat tidur yang tidak memadai; d. Sanitasi yang tersedia juga kurang baik; e. Anak-anak di bawah usia yang ditahan bersama dengan
orang
dewasa
sangat
rentan
terhdap
kekerasan; f. Penahanan
anak
sering
menyebabkan
anak
mengalami stres berat. Melihat permasalahan tersebut, saya juga berharap hendaknya perlu dipertimbangkan
bagaimana
Perlindungan
Khusus Bagi ABH yang diatur dalam Pasal 64 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak benar-benar dapat diterapkan, terutama melalui: a. Perlakuan
atas
anak
secara
manusiawi
sesuai
dengan martabat dan haknya; b. Penyediaan pendamping khusus sejak dini; c. Penyediaan sarana dan prasarana khusus; d. Penjatuhan sanksi yang tepat untuk kepentingan terbaik bagi anak;
5
e. Pemantauan dan pencatatan terus menerus terhadap perkembangan ABH; f. Pemberian
jaminan
untuk
mempertahankan
hubungan dengan orang tua dan keluarganya; g. Perlindungan dari pemberitaan identitas melalui media massa serta untuk menghindari labelisasi.
Saudara-saudara dan hadirin yang saya hormati, Dalam melihat tindak pidana yang dilakukan oleh anak, kita juga menyadari bahwa konteks kehidupan anak dalam struktur lapisan masyarakat dan
kultur kita
masih banyak
mendasarkan pada pola relasi antara anak dan orang dewasa, yang lebih menempatkan anak pada posisi yang lemah. Dalam konteks yang demikian, maka anak yang melakukan atau melanggar tindak pidana seharusnya dipandang sebagai korban.
Anak yang melakukan tindak pidana tidak terlepas
dari faktor yang melatar belakanginya. Kemungkinan besar pola relasi yang tidak setara antar anak dan orang dewasa melatar belakangi anak melakukan tindak pidana. Anak dapat dimanfaatkan
oleh
orang
dewasa
untuk
dipengaruhi,
diperintah/disuruh dan dilibatkan dalam suatu tindak pidana. Faktor kemiskinan, kurangnya kasih sayang dan perhatian dari keluarga serta kurangnya pembinaan dari orangtua dan lingkungan
sosial
juga
dapat
memicu
meningkatnya
6
kecenderungan anak-anak menjadi pelaku tindak pidana akhirakhir ini. Menjadi kewajiban dan tanggung jawab pemerintah untuk meningkatkan upaya perlindungan dan pemenuhan hak anak
yang
lebih
komprehensif,
terpadu,
dan
sinergis.
Penanganan oleh satu lembaga/instansi saja tidaklah cukup, diperlukan keterpaduan dan kerjasama semua pihak yang terkait, mulai dari tahap penyidikan, penuntutan, proses pengadilan sampai tahap pasca penahanan. Oleh karena itu pemerintah perlu melakukan koordinasi lintas instansi dalam penanganan ABH,
di samping itu, harus juga melibatkan
seluruh stakeholder terkait dan masyarakat. Implementasi kewajiban-kewajiban tersebut, telah ditunjukkan dalam praktek melalui aparatnya dalam mewujudkan keterpaduan sistem peradilan anak Merujuk pada keterpaduan di atas maka lembagalembaga yang terkait perlu menyusun satu sistem pola penanganan ABH, yang mencakup: -
Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika ABH pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, dapat menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut.
-
Kedua, jaksa yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak.
7
-
Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dibebaskan
dalam sampai
pilihan-pilihan, dimasukkan
mulai
dalam
dari
institusi
pemenjaraan dan -
selanjutnya tahap pembinaan anak di tangan lembaga pemasyarakatan
serta
penanganan
anak
pasca
penahanan.
Saudara-saudara sekalian yang saya hormati, Berkaitan dengan hal-hal yang saya uraikan diatas, saya percaya Bapak/Ibu dan saudara sekalian adalah para ahli, praktisi yang paling berkompeten dan mempunyai perhatian yang
besar
dalam
masalah
perlindungan
anak.
Dalam
kesempatan kali ini marilah kita saling berbagi informasi tentang hal-hal yang telah Bapak/Ibu/Sdr lakukan, baik pengalaman
dan
hambatan
dengan
terlebih
dahulu
mendengar beberapa masukan para Pakar dan Nara Sumber lainnya, terutama mengenai apa sebenarnya yang dimaksud dengan Penanganan ABH dengan pendekatan Restorative Justice. Saya berharap hasil Workshop ini dapat memberikan saran atau usulan yang dapat menjadi masukan Penyusunan
Standard
Operational
Procedure
bagi (SOP)
Penanganan ABH yang akan disusun oleh Tim Kelompok Kerja
8
Penanganan ABH dan sekaligus dapat dijadikan masukan bagi penyempurnaan RUU tentang Sistem Peradilan Pidana Anak.
Saudara-saudara sekalian yang berbahagia, Saya menggaris bawahi, perhatian orang tua dan seluruh komponen bangsa sangatlah besar perannya dalam mendukung ketahanan dan ketaqwaan diri anak. Demikian sambutan
saya
dan
dengan
mengucap
“Bismillahirahmanirahim”, secara resmi Workshop ini saya nyatakan
dibuka
Akhirnya
saya
mengucapkan
Selamat
beworkshop dan berdiskusi. Semoga memperoleh hasil yang bermanfaat bagi kita semua. Terima kasih.
Wabillahi taufik walhidayah, Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan & Perlindungan Anak Republik Indonesia
Linda Amalia Sari Gumelar, S.IP
9