Telangkai Bahasa dan Sastra, Juli 2014, 87-100 Copyright ©2014, Program Studi Linguistik FIB USU, ISSN 1978-8266
Tahun ke-8, No 2
ASPEKTUALITAS DALAM BAHASA JAWA DI DESA BANDAR TENGAH KECAMATAN BANDAR KHALIPAH Nanda Dwi Astri
[email protected] Abstrak Penelitian ini membahas perilaku sintaksis aspektualitas bahasa Jawa desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah. Dalam pengumpulan data digunakan metode simak yang dilanjutkan dengan teknik sadap, teknik simak libat cakap, dan teknik catat. Pada pengkajian data digunakan metode agih dengan teknik dasar berupa teknik bagi unsur langsung dengan teknik lanjutan berupa teknik ganti, teknik balik, dan teknik sisip. Dalam bahasa Jawa desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah ditemukan dua belas bentuk aspektualiser, yaitu uwes (sudah; telah; selesai), urung (belum), arek (akan), ijek (masih), entes (baru), tetep (tetap), lekas (mulai), terus-terusan (terus menerus), sedilut (sebentar; sejenak), kerep (selalu), biosone (biasanya), dan ujug-ujug (tiba-tiba). Kedua belas bentuk aspektualiser ini memiliki perilaku sintaksis masing-masing jika berkomposisi dengan bentuk temporalitas dan modalitas. Tinjauan yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan pendapat Tadjudin karena pandangannya tentang aspek mempunyai persamaan dengan aspektualitas yang ditemukan dalam bahasa Jawa desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah. Dilihat dari segi aspektualitas, makna aspektualitas pada kedua belas aspektualiser tersebut memiliki makna masing-masing yang maknanya sama saja dalam pemakaian dengan verba pungtual/telik, verba aktivitas/atelik, verba statis/atelik, dan verba statif/atelik. Kata kunci: aspektualitas
PENDAHULUAN Bahasa adalah sistem lambang bunyi yang arbitrer yang digunakan oleh para anggota kelompok sosial untuk bekerja sama, berkomunikasi, dan mengidentifikasikan diri (Kridalaksana dalam Chaer, 2007:32). Bahasa merupakan hasil dari aktivitas manusia. Melalui bahasa akan terungkap yang ingin disampaikan pembicara kepada pendengar, penulis kepada pembaca, dan penyapa kepada yang disapa. Setiap bahasa pada dasarnya mengenal konsep waktu, tetapi cara pengungkapan waktu pada bahasa yang satu dengan yang lainnya tidaklah sama. Ada bahasa yang mengungkapkan waktu secara morfologis dan ada pula yang mengungkapkan secara leksikal (Whorf dalam Mutia, 2006:1). Secara semantik, istilah yang digunakan untuk mengungkapkan waktu yang berhubungan dengan peristiwa, keadaan, dan proses dalam bahasa Indonesia adalah aspek. Aspek adalah cara memandang struktur temporal intern suatu situasi (Comrie dalam Djajasudarma, 1999:26). Dalam linguistik, aspek tergolong ke dalam tiga subkategori tata bahasa yang berurusan dengan semantik verba. Tiga semantik verba itu yakni aspektualitas, 87
Nanda Dwi Astri
temporalitas, dan modalitas. Menurut Tadjuddin (2005:3), aspektualitas dan temporalitas mempelajari sifat-sifat keberlangsungan situasi (yaitu gejala luar bahasa yang berupa peristiwa, proses/aktivitas, keadaan) dilihat dari segi waktu yang menyertai keberlangsungan situasi tersebut, sedangkan modalitas mempelajari situasi dari sudut pandang bermacam-macam sikap pembicara terhadap situasi yang berlangsung. verba
aspektualitas
temporalitas waktu
modalitas bukan waktu
Definisi aspektualitas: “…are different ways of viewing the internal temporal constituency of the situation” (Comrie, 1976:3) Dari defenisi tersebut, baik secara eksplisit maupun secara implisit, menggambarkan dua macam gejala luar bahasa berupa unsur waktu (time, temporal, moments) dan situasi (event, action, process, activity). Adapun unsur waktu, seperti yang terutama tampak pada defenisi Comrie adalah waktu internal, yang beragam sifatnya, sesuai dengan keragaman sifat situasi, yakni gejala luar bahasa, yang dalam bentuk bahasa diungkapkan melalui berbagai bentuk verba di dalam kalimat. Berdasarkan cirriciri tersebut dapat diperoleh, aspektualitas adalah subkategori semantik fungsional yang mempelajari bermacam-macam sifat unsur waktu internal situasi (peristiwa, proses, atau keadaan), yang secara lingual (dalam bentuk bahasa) terkandung di dalam semantik verba (Tadjudin, 2005:9). Berdasarkan definisi aspektualitas tadi diperoleh perbedaan antara dua subkategori tata bahasa, aspektualitas dan temporalitas. Pada temporalitas unsur waktu bersifat lokatif, mengacu pada waktu-waktu absolut (minggu lalu, kemarin, besok, lusa, tahun depan) dan/atau waktu relatif (dulu, sekarang, nanti, kelak) dan pada umumnya, berorientasi pada waktu ujaran (speech moment). Pada temporalitas, dengan demikian, situasi dapat berlangsung sebelum waktu ujaran (kemarin, minggu lalu, dulu, dsb.) atau bersamaan dengan waktu ujaran (hari ini, saat ini, sekarang, dsb.) atau sesudah waktu ujaran (besok, tahun depan, nanti, kelak, dsb.) (Tadjudin, 2005:9). Aspek diduga banyak terdapat pada bahasa-bahasa di dunia. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa aspek merupakan gejala bahasa yang universal (Djajasudarma, 1999:25). Dalam bahasa Indonesia, aspekualitas tampak pada penggunaan kata sedang, sudah, telah, sering, selalu, jarang, baru, masih, dan sebagainya. Misalnya, (1) Kakak sudah pergi. Bahasa Jawa masih digunakan oleh masyarakat bersuku Jawa di desa Bandar Tengah, Kecamatan Bandar Khalipah. Hal ini membuktikan bahwa eksistensi bahasa Jawa begitu tinggi, karena tidak di daerah asalnya saja bahasa Jawa berkembang, bahkan sampai keluar daerah asalnya pun masih tetap dijadikan sebagai sarana komunikasi sehari-hari. Bahasa Jawa juga mengenal aspektualitas, seperti yang terdapat dalam bahasa Indonesia. Aspektualitas dalam bahasa Jawa dapat diungkapkan melalui adverbial seperti uwes „sudah‟, eje’ „masih‟, entes „baru‟, dan lain-lain. Misal: (2) Bapak uwes lungo nang Jogja. „Bapak sudah pergi ke Jogja‟ 88
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014
Penelitian mengenai aspektualitas ini telah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Namun penelitian ini berbeda dengan penelitian yang ada sebelumnya karena fokus yang diteliti adalah bahasa Jawa, khususnya bahasa Jawa di desa Bandar Tengah, Kecamatan Bandar Khalipah yang masih terus mempertahankan eksistensinya. Setiap bahasa di dunia memiliki sifat unik dan tidak semua masyarakatnya dapat mempertahankan eksistensinya, apa lagi jika masyarakat tersebut sudah keluar dari daerah asalnya. Hal inilah yang menjadi latar belakang peneliti tertarik untuk meneliti aspektualitas bahasa Jawa oleh penuturnya di desa Bandar Tengah, Kecamatan Bandar Khalipah. Peneliti ingin mengungkapkan keunikan aspektualitas bahasa Jawa di desa yang masih mempertahankan eksistensi bahasa Jawa tersebut. Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka yang menjadi masalah dalam penelitian ini adalah:(1)Bagaimanakah perilaku sintaksis aspektualitas bahasa Jawa di desa Bandar Tengah, Kecamatan Bandar Khalipah?(2)Bagaimanakah perilaku sintaksis aspektualitas yang gramatikal dalam bahasa Jawa di desa Bandar Tengah, Kecamatan Bandar Khalipah? Tujuan penelitian ini adalah: (1) Mendeskripsikan perilaku sintaksis aspektualitas bahasa Jawa di desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah (2) Mendeskripsikan perilaku sintaksis aspektualitas yang gramatikal dalam bahasa Jawa di desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah.
KAJIAN PUSTAKA Aspektualitas Aspektualitas adalah subkategori semantik fungsional yang mempelajari bermacam-macam sifat unsur waktu internal situasi (peristiwa, proses, atau keadaan), yang secara lingual (dalam bentuk bahasa) terkandung di dalam semantik verba (Tadjudin, 2005:9). Verhaar (1996:239) menyatakan bahwa aspek menunjukkan segi arti verba yang berkaitan dimulainya, berlangsungnya, terjadinya, diulang tidaknya, selesai tidaknya, atau ada tidaknya hasil dari keadaan atau tindakan tersebut. Dalam kaitannya dengan sintaksis, bentuk penanda aspek mempunyai ciri diantaranya cenderung bergabung dengan verba bantu. Misalnya, aspek sudah dapat mendahului atau mengikuti verba bantu akan atau harus. Aspek sedang dapat berperilaku sama dengan sudah, tetapi terbatas pada waktu verba bantu akan saja. Aspek sedang pada umumnya tidak dapat bergabung dengan harus. Dengan memperhatikan keserasian makna, baik sedang maupun sudah dapat digabungkan dengan bisa, boleh, suka, ingin dengan ketentuan harus mendahului kata tersebut. Jadi, sudah bisa, sudah boleh, sedang suka, sedang ingin berterima tetapi bisa sudah, boleh sudah, suka dengan, ingin sedang tidak berterima (Moeliono, 1997:129). Menurut Tadjudin (dalam Mutia, 2006:15), bentuk aspek secara sintaksis berupa pemarkah frase verbal telah, sudah, baru, habis, selesai, usai yang mengungkapkan makna perfektif, sedangkan makna imperfektif melalui pemarkah frase verbal kekontinuatifan terus, tetap, dan sebagainya, serta pemarkah frase verbal keiteratifan sering, selalu, dan sebagainya. Dari berbagai bahasa dikenal adanya berbagai macam aspek, antara lain: 1. Aspek kontinuatif, yaitu yang menyatakan perbuatan terus berlangsung. 2. Aspek inseptif, yaitu yang menyatakan peristiwa atau kejadian baru mulai. 3. Aspek progesif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan sedang berlangsung.
89
Nanda Dwi Astri
4. Aspek repetitif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan itu terjadi berulangulang. 5. Aspek perfektif, yati aspek yang memyatakan perbuatan sudah selesai. 6. Aspek imperfektif, yaitu aspek yang menyatakan perbuatan yang berlangsung sebentar. 7. Aspek sesatif, yaitu yang menyatakan perbuatan berakhir. (Chaer, 1994: 259; bandingkan dengan Comrie dalam Sutarni, 1992: 7; Kridalaksana, 1993:10; Fokker, dalam Mutia,1972: 36) Dalam perilaku sintaksis aspektualitas dikenal adanya istilah aksionalitas, yaitu makna aspektualitas inheren verba. Makna aspektualitas inheren verba menggambarkan bermacam-macam sifat situasi yang secara inheren terkandung di dalam semantik verba. Tabel 1 Makna aspektualitas Inheren Verba Bahasa Indonesia Sifat-sifat situasi subkelas verba Dinamis Telik Duratif Pungtual (peristiwa sekilas) + + Aktivitas (proses) + + Statis + statif (keadaan) -
Homogen +
Telik dikatakan tentang perbuatan yang jelas batas akhirnya atau tuntas, misalnya, menanam dan mengubah (Kridalaksana, 2008: 238), sedangkan atelik dikatakan tentang perbuatan yang tidak jelas selesainya atau tidak tuntas, misalnya, bertanam dan berubah (Kridalaksana, 2008: 22). Situasi telik adalah situasi yang unsur waktunya mengandung batas internal, contohnya: datang dan lempar, sedangkan situasi atelik adalah situasi yang unsur waktunya tidak mengandung batas internal, contoh: baca dan berlari (Tadjudin, 2005:160). Di dalam linguistik, aspek tergolong ke dalam tiga subkategori tata bahasa yang berurusan dengan semantik verba. Tiga semantik verba itu ialah aspektualitas, temporalitas, dan modalitas. Ketiga sub-kategori tata bahasa ini memiliki suatu keterkaitan satu sama lain.
Aspektualitas dan Temporalitas Bertolak dari konsep/definisi aspektualitas di atas, perbedaan di antara keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut. Pada temporalitas unsur waktu bersifat lokatif, mengacu pada waktu-waktu absolut (minggu lalu, kemarin, besok, lusa, tahun depan) dan/atau waktu relatif (dulu, sekarang, nanti, kelak) dan, pada umumnya, berorientasi pada waktu ujaran (speech moment). Pada temporalitas, dengan demikian, situasi dapat berlangsung sebelum waktu ujaran (kemarin, minggu lalu, dulu, dsb.) atau bersamaan dengan waktu ujaran (hari ini, saat ini, sekarang, dsb.) atau sesudah waktu ujaran (besok, tahun depan, nanti, kelak, dsb.) (Tadjudin, 2005: 9). Pada kategori aspektualitas waktu bukan merupakan lokasi tempat berlangsungnya situasi, melainkan sebaliknya, situasi itu sendiri yang menjadi lokasi tempat hadirnya waktu. Jadi, waktu berada dalam situasi, bukan di luar situasi (Tadjudin, 2005: 10). Aspektualitas dalam bahasa Indonesia dapat diungkapkan melalui aspektualiser berupa adverbial durasi, seperti sekilas, sebentar, lama, terus-menerus, berkali-kali, sering, dsb. (Tadjudin, 2005: 13).
90
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014
Aspektualitas dan Modalitas Mengenai perbedaan semantik aspektualitas dari modalitas, secara konseptual, para pengamat berbeda pendapat (Tadjudin, 1993: 28-29). Ada yang berpendapat bahwa aspektualitas menggambarkan pilihan objektif pengujar atas situasi yang diungkapkan oleh verba (predikat), sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa aspektualitas bersifat subjektif. Dalam hal ini penulis mengikuti pendapat Tadjudin pada pernyataan pertama. Dasar logika nya dapat dilihat dari kedua contoh berikut: Ia habis membaca buku ketika saya datang (perfektif) Ia tetap membaca buku ketika saya datang (imperfektif) Jika seseorang memilih menggunakan verba perfektif atau imperfektif, seperti pada kalimat pertama atau kedua, jelas bahwa sikap tersebut tidak ditentukan oleh keinginan subjektif orang itu, melainkan oleh fakta objektif berdasarkan gejala luar bahasa (gambaran dunia). Jika menurut fakta, perbuatan membaca itu berlangsung sampai rampung (tamat), ia mau tidak mau harus menggunakan bentuk perfektif, jika tidak demikian menurut fakta, ia pasti menggunakan bentuk imperfektif. Menurut Tadjudin (2005: 16) aspektualitas berbeda dengan modalitas. Modalitas menggambarkan pandangan atau sikap subjektif si pengujar. Sikap itu dalam bahasa Indonesia biasanya tampak pada penggunaan kata ingin, harap, mari, sudilah, dapat, boleh, mungkin, akan, harus, seharusnya, mesti, perlu, sepantasnya, pasti, tentu, barangkali, mungkin. (Bandingkan dengan pengungkap aspektualitas (aspektualiser) sudah, sedang, lama, sebentar, dsb). Titik Temu antara Aspektualitas dengan Temporalitas dan Modalitas Dalam bahasa Indonesia gejala titik temu itu tampaknya dapat diamati pada kata sudah, sepertinya, dalam kalimat Besok pukul dua belas saya sudah makan. Kata sudah di sini mengandung dua makna, yaitu makna aspektualitas, dalam hal ini aspektualitas kompletif (peristiwa makan berlangsung secara tuntas) dan makna modalitas (Tadjudin, 2005: 17), dalam hal ini modalitas kepastian (obligatif).
Bahasa Jawa: Jawa Ngoko (ekspresi komunikasi arus bawah) Menurut pendapat umum, bahasa Jawa memiliki paling tidak tiga macam varietas, yakni: ngoko (kasar), madya (menengah), dan krama (halus)(dalam Purwoko, 2008:vi). Bahasa Jawa yang digunakan di desa Bandar Tengah, Kecamatan Bandar Khalipah ini adalah bahasa Jawa Ngoko. Errington menegaskan dalam catatannya bahwa: ngoko adalah bahasa „dasar‟ yang dipakai orang Jawa sewaktu berpikir, sewaktu berbicara dengan kawan akrab dan bawahan, sewaktu marah. Ngoko adalah bentuk ekspresi verbal yang paling spontan dan wajar. Bahasa basis biasa menunjukkan kode linguistik yang biasa dipakai di ranah keluarga. Hal ini merupakan semacam vernacular (bahasa nonstandar) atau “bentuk ujaran yang diwariskan oleh orang tua kepada anaknya sebagai media primer dalam komunikasi” (lihat Petyt dalam Purwoko, 2008: 134). Penelitian mengenai aspektualitas ini sudah pernah dilakukan oleh beberapa peneliti sebelumnya. Pertama, Syarifah Mutia, mahasiswa Fakultas Sastra Universitas Sumatera Utara, dengan judul skripsinya Aspek dalam Bahasa Aceh: Tinjauan Sintaksis dan Semantik (2006). Dalam pengumpulan data digunakan studi pustaka yang dilanjutkan dengan teknik catat. Dalam skripsi tersebut diperoleh kesimpulan bahwa posisi aspek dalam kalimat bahasa Aceh dapat berada di awal, di tengah, dan di akhir. Secara 91
Nanda Dwi Astri
semantik, bentuk tersebut apabila dapat bergabung dengan verba dapat menyatakan makna aspek berupa peristiwa sudah selesai, masih berlangsung, berulang-ulang, dan menjadi kebiasaan. Dari keterangan di atas, jelaslah tampak perbedaan penelitian yang dilakukan masing-masing peneliti. Hal tersebut tentu saja berbeda dengan penelitian yang dilakukan penulis. Dalam hal ini penulis akan melakukan penelitian aspektualitas bahasa Jawa di desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah.
METODOLOGI Metode dan Teknik Pengumpulan Data Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah metode simak (Sudaryanto, 1993:33). Metode simak merupakan metode yang dilakukan dengan menyimak penggunaan bahasa. Dalam hal ini, penggunaan bahasa yang disimak adalah penggunaan bahasa Jawa pada masyarakat bersuku Jawa. Sesuai dengan jenis data, teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik sadap. Teknik sadap dilakukan dengan menyadap pembicaraan pengguna bahasa Jawa dalam masyarakat bersuku Jawa. Selanjutnya, dengan teknik simak libat cakap, kegiatan ini dilakukan pertama-tama dengan berpartisipasi dalam pembicaraan sambil menyimak pembicaraan. Teknik lanjutan yang digunakan adalah teknik catat. Teknik catat adalah mencatat data yang dikumpulkan dari penerapan hasil teknik sebelumnya (Sudaryanto, 1993: 33).
Metode dan Teknik Analisis Data Metode yang digunakan dalam pengkajian data adalah metode agih, yang alat penentunya merupakan bagian dari bahasa yang bersangkutan (Sudaryanto, 1995: 15). Teknik dasar yang dipakai adalah teknik bagi unsur langsung yang membagi satuan data lingualnya menjadi beberapa bagian, misalnya: (1) Pitek kae uwis mangan caceng wingi. „Ayam itu sudah makan cacing semalam‟ dibagi menjadi tiga bagian, yaitu: Pitek kae // uwis mangan // caceng // wingi Untuk mengembangkan teknik bagi unsur langsung ini dipakai teknik lanjutan (Sudaryanto, 1993: 36) yang meliputi: (1) Teknik ganti; (2) Teknik balik; dan (3) Teknik sisip.
Teknik ganti Teknik ganti, yaitu menggantikan unsur tertentu dengan satuan lingual unsur yang lain di luar satuan lingual yang bersangkutan. Misalnya, penggantian bentuk uwis pada (1) dengan arek akan menghasilkan kalimat (2) berikut: (2) a. Pitek kae uwis mangan caceng wingi. „Ayam itu sudah makan cacing semalam‟ b. Pitek kae uwis mangan caceng biyen. „Ayam itu sudah makan cacing dahulu‟ c. *Pitek kae arek mangan caceng wingi. „Ayam itu akan makan cacing semalam‟ Penggantian temporalitas wingi dengan biyen menghasilkan kalimat yang gramatikal pada kalimat (2a) dan (2b) sebab bentuk tersebut mempunyai distribusi yang 92
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014
sama. Namun, pada kalimat (2c) pemakaian partikel arek „akan‟ tidak gramatikal dalam konstruksi yang sama pada kalimat (2a), sebab ada pertentangan antara penggunaan partikel wingi „semalam‟ dengan arek „akan‟. Teknik balik Teknik balik, yaitu mengubah letak satuan lingual yang ada. Teknik ini digunakan untuk mengetahui fungsi dan posisi penanda aspek dalam struktur kalimat. Misalnya, apabila satuan lingual pada kalimat (1) dipindahkan akan diperoleh kalimat (3) berikut: (3) a. Pitek kae uwis mangan caceng wingi. „Ayam itu sudah makan cacing semalam‟ b. *Pitek kae mangan caceng uwis wingi. „Ayam itu makan cacing sudah semalam‟ c. *Wingi pitek uwis kae mangan caceng. „Semalam ayam sudah itu makan cacing‟ Kalimat (3b) dan (3c) tidak berterima secara semantik dan sintaksis. Jadi, kalimat ini tidak berterima secara gramatikal.
Teknik sisip Teknik sisip, yaitu menyisipkan unsur tertentu di antara unsur lingual yang ada atau di tengah unsur satuan lingual datanya. Unsur yang disisipkan merupakan bentuk aspek ejek „masih‟, temporalitas sak iki „sekarang, dan modalitas pasti „pasti‟. Misalnya: (4)
a. Yuyuk turu nang kamar. „Kakak tidur di kamar‟ b. Yuyuk pasti ejek turu nang kamar sak iki. „Kakak pasti masih tidur di kamar sekarang‟
TEMUAN DAN PEMBAHASAN Perilaku Sintaksis Aspektualitas Bahasa Jawa Desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah Pemakaian bersama Verba Pungtual/Telik Pemakaian pengungkap aspektualitas (aspektualiser) uwes (sudah; telah; selesai) dalam kalimat di desa Bandar Tengah adalah sebagai berikut: (1) a. Wawak uwes ngelempar selop nang jobo. „Paman sudah lempar sandal di luar‟ b. Wawak uwes ngelempar selop nang jobo wingi. „Paman sudah lempar sandal di luar semalam‟ c. Wingi wawak uwes ngelempar selop nang jobo. „Semalam paman sudah lempar sandal di luar‟ d. Wawak uwes ngelempar selop nang jobo sak iki. „Paman sudah lempar sandal di luar sekarang‟ 93
Nanda Dwi Astri
e. Sak iki wawak uwes ngelempar selop nang jobo. „Sekarang paman sudah lempar sandal di luar‟ f. * Wawak uwes ngelempar selop nang jobo sesok. „Paman sudah lempar sandal di luar besok‟ g. *Sesok wawak uwes ngelempar selop nang jobo. „Besok paman sudah pasti lempar sandal di luar‟ Kalimat (1a) merupakan kalimat yang hanya masih dibubuhi aspektualisernya saja, tanpa ada bentuk temporalitas. Kalimat (1b) s/d (1g) di atas merupakan kalimat yang sudah berkomposisi dengan bentuk temporalitas dan bentuk aspektualitas. Bentuk temporalitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian wingi, sak iki, dan sesok, sedangkan bentuk aspektualitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian uwes. Kedua bentuk tersebut menerangkan verba pungtual/telik (lempar) yang menggambarkan peristiwa yang jelas batas akhirnya. Komposisi pemakaian uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat dengan verba pungtual/telik merupakan kalimat yang gramatikal. Hal ini disebabkan adanya keserasian makna antara uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat verba pungtual/telik. Berbeda halnya dengan komposisi uwes dengan temporalitas sesok yang tidak gramatikal pada kostruksi yang sama dalam kalimat tersebut, sebab adanya pertentangan makna antara keduanya, sesok menerangkan lokasi waktu yang akan datang, tidak sesuai dengan uwes yang menggambarkan peristiwa verba terjadi di masa lalu. Pemakaian bersama Verba Aktivitas/Atelik Pemakaian bersama Verba Aktivitas + Unsur Terikat Pemakaian aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai) dalam kalimat di desa Bandar Tengah adalah sebagai berikut: (2) a. Mbah lanang uwes mboco koran lawas ‟Kakek sudah membaca koran lama‟ b. Mbah lanang uwes mboco koran lawas wingi „Kakek sudah membaca koran lama semalam‟ c. Wingi mbah lanang uwes mboco koran lawas „Semalam kakek sudah membaca koran lama‟ d. Mbah lanang uwes mboco koran lawas sak iki „Kakek sudah membaca koran lama sekarang‟ e. Sak iki mbah lanang uwes mboco koran lawas „Sekarang kakek sudah membaca koran lama‟ f. *Mbah lanang uwes mboco koran lawas sesok „Kakek sudah membaca koran lama besok‟ g. *Sesok mbah lanang uwes mboco koran lawas „Besok kakek sudah membaca koran lama‟ Kalimat (2a) merupakan kalimat yang hanya masih dibubuhi aspektualitasnya saja, tanpa ada bentuk temporalitas. Kalimat (2b) s/d (2g) di atas merupakan kalimat yang sudah berkomposisi dengan bentuk temporalitas dan bentuk aspektualitas. Bentuk temporalitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian wingi, sak iki, dan sesok, sedangkan bentuk aspektualitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian uwes. Kedua bentuk tersebut menerangkan verba pungtual/telik (lempar) yang menggambarkan peristiwa yang jelas batas akhirnya. Komposisi pemakaian uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat dengan verba aktivitas/atelik merupakan kalimat yang gramatikal. Hal ini disebabkan adanya keserasian makna antara uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat verba aktivitas/atelik, berbeda halnya dengan komposisi aspektualitas uwes dengan temporalitas sesok yang tidak gramatikal pada kostruksi yang sama dalam kalimat tersebut, sebab adanya pertentangan 94
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014
makna antara keduanya, sesok menerangkan lokasi waktu yang akan datang, tidak sesuai dengan uwes yang menggambarkan peristiwa verba terjadi di masa lalu.
Pemakaian bersama Verba Statis/Atelik Pemakaian aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai) dalam kalimat di desa Bandar Tengah adalah sebagai berikut: (3) a. Wak Iyem uwes jagong nang isor pokok kelopo. „Tante Iyem sudah duduk di bawah pohon kelapa‟ b. Wak Iyem uwes jagong nang isor pokok kelopo wingi. „Tante Iyem sudah duduk di bawah pohon kelapa semalam‟ c. Wingi wak Iyem uwes jagong nang isor pokok kelopo. „Semalam tante Iyem sudah duduk di bawah pohon kelapa‟ d. Wak Iyem uwes jagong nang isor pokok kelopo sak iki. „Tante Iyem sudah duduk di bawah pohon kelapa sekarang‟ e. Sak iki Wak Iyem uwes jagong nang isor pokok kelopo. „Sekarang tante Iyem sudah duduk di bawah pohon kelapa‟ f. *Wak Iyem uwes jagong nang isor pokok kelopo sesok. „Tante Iyem sudah duduk di bawah pohon kelapa besok‟ g. *Sesok wak Iyem uwes jagong nang isor pokok kelopo. „Besok tante Iyem sudah duduk di bawah pohon kelapa‟ Kalimat (3a) merupakan kalimat yang hanya masih dibubuhi aspektualitasnya saja, tanpa ada bentuk temporalitas. Kalimat (3b) s/d (3g) di atas merupakan kalimat yang sudah berkomposisi dengan bentuk temporalitas dan bentuk aspektualitas. Bentuk temporalitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian wingi, sak iki, dan sesok, sedangkan bentuk aspektualitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian aspektualitas uwes. Kedua bentuk tersebut menerangkan verba aktivitas/atelik (lempar) yang menggambarkan peristiwa yang jelas batas akhirnya. Komposisi pemakaian aspektualitas uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat dengan verba tersebut merupakan kalimat yang gramatikal. Hal ini disebabkan adanya keserasian makna antara aspektualitas uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat verba tersebut, berbeda halnya dengan komposisi aspektualitas uwes dengan temporalitas sesok yang tidak gramatikal pada kostruksi yang sama dalam kalimat tersebut, sebab adanya pertentangan makna antara keduanya, sesok menerangkan lokasi waktu yang akan datang, tidak sesuai dengan aspektualitas uwes yang menggambarkan peristiwa verba terjadi di masa lalu. Pemakaian bersama Verba Statif/Atelik Pemakaian aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai) dalam kalimat di desa Bandar Tengah adalah sebagai berikut: (4) a. Nde‟en uwes inget sopo uwong tuo ne. „Dia sudah ingat siapa orang tuanya‟ b. Nde‟en uwes inget sopo uwong tuo ne wingi. „Dia sudah ingat siapa orang tuanya semalam‟ c. Wingi nde‟en uwes inget sopo uwong tuo ne. „Semalam dia sudah ingat siapa orang tuanya‟ d. Nde‟en uwes inget sopo uwong tuo ne sak iki. „Dia sudah ingat siapa orang tuanya sekarang‟ e. Sak iki nde‟en uwes inget sopo uwong tuo ne. „Sekarang dia sudah ingat siapa orang tuanya‟ 95
Nanda Dwi Astri
f. *Nde‟en uwes inget sopo uwong tuo ne sesok. „Dia sudah ingat siapa orang tuanya besok‟ g. *Sesok nde‟en uwes inget sopo uwong tuo ne. „Besok dia sudah ingat siapa orang tuanya‟ Kalimat (4a) merupakan kalimat yang hanya masih dibubuhi aspektualitasnya saja, tanpa ada bentuk temporalitas. Kalimat (4b) s/d (4g) di atas merupakan kalimat yang sudah berkomposisi dengan bentuk temporalitas dan bentuk aspektualitas. Bentuk temporalitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian wingi, sak iki, dan sesok, sedangkan bentuk aspektualitas tersebut tampak dengan adanya pemakaian aspektualitas uwes. Kedua bentuk tersebut menerangkan verba statif/atelik (lempar) yang menggambarkan peristiwa yang jelas batas akhirnya. Komposisi pemakaian aspektualitas uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat dengan verba statif/atelik merupakan kalimat yang gramatikal. Hal ini disebabkan adanya keserasian makna antara aspektualitas uwes dengan bentuk temporalitas wingi dan sak iki pada kalimat verba statif/atelik, berbeda halnya dengan komposisi aspektualitas uwes dengan temporalitas sesok yang tidak gramatikal pada kostruksi yang sama dalam kalimat tersebut, sebab adanya pertentangan makna antara keduanya, sesok menerangkan lokasi waktu yang akan datang, tidak sesuai dengan aspektualitas uwes yang menggambarkan peristiwa verba terjadi di masa lalu. Perilaku Sintaksis Aspektualitas yang Gramatikal dalam Bahasa Jawa Desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah Pada kalimat no 1 s/d 4 tampak bahwa perilaku sintaksis aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai) dalam kalimat bahasa Jawa desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah. Perbedaan penggunaan aspektualitas dalam bahasa Jawa tampak pada rincian berikut: Aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai), urung (belum), dan ar∂k (akan) Kalimat-kalimat yang tidak menggunakan satu pun di antara partikel aspektualitas tersebut semuanya gramatikal, hal itu menunjukkan bahwa semua subkelas verba netral dari aspektualitas, temporalitas, dan modalitas. Dalam konstruksi pemakaian kata besok pada kalimat-kalimat yang menggunakan partikel uwes (sudah; telah; selesai) dan urung (belum) semuanya tidak gramatikal, sedangkan yang menggunakan aspektualitas ar∂k (akan) gramatikal. Hal ini menunjukkan bahwa makna gramatikal ketiga aspektualitas yang disebut pertama berbeda dari yang disebut terakhir. Bahwa dalam konstruksi temporalitas wingi (kemarin), aspektualitas ar∂k (akan) tidak gramatikal, sedangkan dalam konstruksi yang lain (sesok dan sak iki) gramatikal, hal itu membuktikan bahwa aspektualitas tersebut hanya memiliki satu makna gramatikal, yaitu temporalitas, khususnya waktu mendatang. Dalam konstruksi temporalitas wingi (kemarin), aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai) dan urung (belum) gramatikal. Aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai) dan urung (belum) bermakna aspektualitas, hal itu ternyata pada ketidakgramatikalan pemakaiannya di dalam konstruksi di mana adverbial temporalitas terletak pada akhir kalimat (uwes (sudah; telah; selesai) dan urung (belum)); di sini adverbial temporalitas menerangkan predikat. Oleh karena itu, ketidakkolokatifan pemakaian uwes (sudah; telah; selesai) dengan sesok (besok) sebagai pemarkah waktu absolut mendatang, di satu pihak, dan urung (belum) dengan pemarkah waktu absolut lampau wingi (kemarin) dan sesok (besok), di lain pihak hal itu sepertinya yang menyebabkan kalimat menjadi tidak gramatikal (uwes (sudah; telah; selesai) bertentangan dengan sesok (besok) dan urung (belum) bertentangan dengan wingi (kemarin). 96
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014
Kenyataan bahwa, berbeda dari uwes (sudah; telah; selesai), aspektualitas urung (belum) tidak gramatikal dalam konstruksi penggunaan kalimat f, hal itu merupakan perwujudan daripada adanya perbedaan makna leksikal di antara aspektualitas itu dengan kedua aspektualitas lainnya. Uwes (sudah; telah; selesai) mengacu hanya pada satu lokasi waktu, yaitu lampau, di mana perbuatan (peristiwa/aktivitas/statis) atau keadaan (statif) terjadi dan dengan demikian berbeda dari urung (belum) tidak mengandung indikasi tentang kemungkinan terjadinya perbuatan/keadaan itu di waktu yang akan datang. Oleh karena itulah, maka penggunaannya bersama adverbial waktu lampau wingi (kemarin) adalah gramatikal karena kedua pihak memang lokatif. Sementara itu, urung (belum) mengacu pada dua lokasi waktu sekaligus; di satu pihak, waktu lampau di mana perbuatan/keadaan yang seharusnya terjadi tetapi dalam kenyataannya tidak terjadi, dan di lain pihak waktu nonlampau di mana perbuatan/keadaan yang tidak terjadi di waktu lampau itu diharapkan atau dipastikan bakal segera terjadi. Itulah sebabnya penggunaan dengan adverbial waktu lampau (wingi) dan mendatang (sesok) tidak gramatikal. Dengan demikian, semantik partikel urung (belum) adalah unik. Aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai) dan urung (belum) mengandung makna aspektualitas, hal itu terbukti pada kegramatikalan penggunaannya di dalam konstruksi di mana adverbia temporalitas yang terletak pada awal kalimat ternyata tidak mempengaruhi ketidakgramatikalan kalimat (kalimat c untuk urung (belum) dan kalimat g untuk uwes (sudah; telah; selesai)). Kenetralan adverbial temporalitas ini terjadi, sepertinya karena di sini adverbial tersebut menerangkan bukan hanya predikat kalimat, melainkan keseluruhan kalimat inti dengan berbagai kemungkinan makna aspektualitas di dalamnya atau dengan pendekatan lain, adverbial temporalitas di situ adalah topik (bagian kalimat yang menjadi kerangka untuk pernyataan yang mengikutinya) dan klausa yang ada di belakangnya adalah komen/sebutan (pernyataan yang mengikuti topik). Dilihat dari segi aspektualitas, makna pada aspektualitas tersebut memiliki makna yang sama; dalam pemakaian dengan verba pungtual/telik dan verba aktivitas/atelik plus adverbial terikat sama-sama mengungkapkan makna kompletif (situasi lengkap/tuntas) dan makna modalitas, dalam hal ini adalah modalitas obligatif yang bermakna kepastian. Aspektualitas ijek (masih), ∂nt∂s (baru), dan tetep (tetap) Kalimat-kalimat yang tidak menggunakan satu pun di antara aspektualitas tersebut semuanya gramatikal. Hal itu menunjukkan bahwa semua subkelas verba netral dari aspektualitas dan temporalitas. Dalam hal ini terjadi titik temu antara aspektualitas dengan temporalitas, namun tidak terjadi titik temu dengan modalitas. Dalam konstruksi pemakaian kata sesok (besok) pada kalimat-kalimat yang menggunakan aspektualitas ∂nt∂s (baru) dalam bahasa Jawa Desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah tidak gramatikal, sedangkan yang menggunakan aspektualitas ijek (masih) dan tetep (tetap) gramatikal, hal ini menunjukkan bahwa makna gramatikal aspektualitas ∂nt∂s (baru) berbeda dengan aspektualitas ijek (masih) dan tetep (tetap). Pemakaian aspektualitas ∂nt∂s (baru) tidak gramatikal dalam konstruksi yang sama atas penggunaan kata sesok (besok), sedangkan dalam konstruksi lain aspektualitas ∂nt∂s (baru) bersama aspektualitas ijek (masih) dan tetep (tetap) yang berada pada kalimat dengan adverbia temporalitas wingi (kemarin) pada akhir kalimat gramatikal, hal itu berarti bahwa ketiga partikel tersebut merupakan aspektualiser yang netral dalam konstruksi penggunaan temporalitas wingi (kemarin) dalam kalimat. Dalam konstruksi pemakaian kata sak iki (sekarang) pada kalimat yang menggunakan aspektualitas ∂nt∂s (baru) tidak gramatikal, sedangkan yang menggunakan aspektualitas ijek (masih) dan tetep (tetap) gramatikal. 97
Nanda Dwi Astri
Aspektualitas ijek (masih) mengandung makna gramatikal dalam konstruksi penggunaan aspektualitas dalam kalimat yaitu menyatakan perbuatan yang terus berlangsung yang tergolong ke dalam jenis aspektualitas kontinuatif. Aspektualitas ini mengacu pada tiga lokasi waktu, yaitu waktu yang lampau, waktu sekarang, maupun waktu yang akan datang. Aspektualitas ∂nt∂s (baru) mengandung makna gramatikal dalam konstruksi penggunaan aspektualitas dalam kalimat yang menyatakan makna bahwa peristiwa atau kejadian tersebut baru dimulai yang tergolong ke dalam jenis aspektualitas inseptif. Aspektualitas ini hanya dapat memasuki bentuk temporalitas pada waktu yang lalu. aspektualitas tetep (tetap) mengandung makna gramatikal dalam konstruksi penggunaan aspektualitas dalam kalimat menyatakan perbuatan yang terus berlangsung. Aspektualitas ini dapat memasuki berbagai bentuk temporalitas baik waktu yang lalu, waktu sekarang, maupun waktu mendatang. Dilihat dari segi aspektualitas, makna aspektualitas pada ketiga aspektualitas tersebut memiliki makna masing-masing seperti yang sudah dipaparkan di atas yang makna nya sama saja dalam pemakaian dengan verba pungtual/telik, verba aktivitas/atelik, verba statis/atelik, dan verba statif/atelik. Aspektualitas lekas (mulai), terus-terusan (terus menerus), dan sedilut (sebentar; sejenak) Aspektualitas lekas (mulai), terus-terusan (terus menerus), dan sedilut (sebentar; sejenak) boleh dikatakan sebagai aspektualitas yang unik, sama halnya seperti aspektualitas ijek (masih) dan tetep (tetap), sebab aspektualitas ini sama-sama dapat mengacu pada tiga lokasi waktu, yaitu waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu yang akan datang tanpa mengubah makna aspektualitas yang dimilikinya. Dalam hal ini partikel lekas (mulai) menyatakan peristiwa atau kejadian baru mulai, tergolong dalam jenis aspektualitas inseptif. Aspektualitas terus-terusan (terus menerus) menyatakan perbuatan pada posisi predikat terjadi berulang-ulang, tergolong dalam jenis aspektualitas repetitif. Sedangkan aspektualitas sedilut (sebentar; sejenak) menyatakan bahwa perbuatan/peristiwa tersebut berlangsung hanya sebentar, tergolong pada jenis aspektualitas imperfektif. Aspektualitas kerep (selalu), biosone (biasanya), dan ujug-ujug (tiba-tiba) Kalimat-kalimat yang tidak menggunakan satu pun di antara aspektualitas tersebut semuanya gramatikal, hal itu menunjukkan bahwa semua subkelas verba netral dari aspektualitas dan temporalitas. Dalam hal ini terjadi titik temu antara aspektualitas dengan temporalitas, namun tidak terjadi titik temu dengan modalitas. Pada kalimat dengan pemakaian aspektualitas kerep (selalu) mengacu pada tiga lokasi dua lokasi waktu, yaitu waktu lampau dan waktu sekarang, artinya kalimat dengan pemakaian aspektualitas kerep (selalu) akan gramatikal jika bertemu dengan temporalitas kemarin dan, sedangkan jika bertemu dengan bentuk temporalitas sesok tidak gramatikal. Dalam segi aspektualitas, aspektualitas kerep (selalu) menyatakan bahwa suatu perbuatan yang terus berlangsung. Aspektualitas kerep (selalu) tergolong dalam jenis aspektualitas kontinuatif. Pertemuan aspektualitas biosone (biasanya) dengan temporalitas kemarin, sekarang, dan besok dalam kalimat tidak gramatikal walaupun bentuk temporalitas tersebut diletakkan di awal maupun di akhir kalimat, sebab aspektualitas ini tidak mengacu pada lokasi waktu yang bersifat lokatif, ia dapat berdiri sendiri tanpa ada nya unsur temporalitas yang mengikutinya. Aspektualitas biosone (biasanya) menyatakan bahwa verba yang diikutinya terjadi secara berulang. Aspektualitas ini tergolong dalam jenis aspektualitas repetitif.
98
Telangkai Bahasa dan Sastra, Tahun Ke-8, No 2, April 2014
Aspektualitas ujug-ujug (tiba-tiba) mengandung makna gramatikal dalam konstruksi penggunaan aspektualitas dalam kalimat, yaitu menyatakan perbuattan atau kejadian baru mulai. Aspektualitas ini tergolong dalam jenis aspektualitas inseptif. Aspektualitas ini mengacu pada tiga lokasi waktu, yaitu waktu lampau, waktu sekarang, dan waktu yang akan datang. Dalam penelitian aspektualitas dalam bahasa Jawa di desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah ini juga tidak ditemukan adanya pemakaian aspektualitas sedang. Jadi untuk menerangkan peristiwa yang sedang terjadi tidak perlu menggunakan aspektualitas sedang, tetapi cukup langsung saja ke bentuk verbanya. Misal:
Yayuk mangan nang jero omah „kakak makan di dalam rumah‟
Kalimat di atas menerangkan peristiwa/kejadian yang sedang terjadi, namun dalam bahasa Jawa di Desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah tidak ditemukan adanya penggunaan aspektualitas sedang.
KESIMPULAN Dalam bahasa Jawa desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah, perilaku sintaksis dapat ditandai dengan adanya penggunaan pengungkap aspektualitas uwes (sudah; telah; selesai), urung (belum), arek (akan), ijek (masih), entes (baru), tetep (tetap), lekas (mulai), terus-terusan (terus menerus), sedilut (sebentar; sejenak), kerep (selalu), biosone (biasanya), dan ujug-ujug (tiba-tiba) yang berkomposisi dengan temporalitas dan modalitas. Titik temu antara aspektualitas dengan temporalitas dan modalitas dapat diamati dari pemakaian partikel uwes (sudah; telah; selesai) dalam kalimat dengan adverbial temporalitas. Kata uwes (sudah; telah; selesai) di sini mengandung dua makna, yaitu makna aspektualitas, dalam hal ini aspektualitas kompletif (peristiwa yang berlangsung secara tuntas) dan makna modalitas, dalam hal ini modalitas kepastian (obligatif). Kegramatikalan perilaku sintaksis tampak dari adanya kesesuaian makna aspektualitas dengan penggunaan pengungkap aspektualitas dalam kalimat. Dari keseluruhan aspektualitas yang ada di desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah tampak adanya kenetralan letak adverbia temporalitas dan jenis verba yang digunakan. Agaknya karena di sini adverbial tersebut menerangkan bukan hanya predikat kalimat, melainkan keseluruhan kalimat inti dengan berbagai kemungkinan makna aspektualitas di dalamnya atau dengan pendekatan lain, adverbial temporalitas di situ adalah topik (bagian kalimat yang menjadi kerangka untuk pernyataan yang mengikutinya) dan klausa yang ada di belakangnya adalah komen/sebutan (pernyataan yang mengikuti topik). Keunikan aspektualitas dalam bahasa Jawa di desa Bandar Tengah Kecamatan Bandar Khalipah ini juga tampak dengan tidak ditemukannya pemakaian aspektualiser sedang.
DAFTAR PUSTAKA Ayatrohaedi. 1983. Dialektologi Sebuah pengantar. Jakarta: Pusat Pembinaan Pengembangan Bahasa Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Chaer, Abdul. 2007. Linguistik Umum. Jakarta: Rineka Cipta. Comrie, Bernard. 1976. Aspect. Cambridge: Cambridge University.
99
Nanda Dwi Astri
DjajaSudarma, Fatimah.T. 1999. Semantik 2: Pemahaman Ilmu Makna. Bandung: Refika Aditama. Muslich, Masnur. 1990. Garis-Garis Besar Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia. Malang: Yayasan Asih Asah Asuh Malang. Parlaungan, dkk. 2008. Bahasa Indonesia Praktis. Medan: Bartong Jaya. Poedjosoedarmo, Gloria, dkk. 1981. Beberapa Masalah Sintaksis dalam Bahasa Jawa. Bandung: Terate. Purwoko, Herudjati. 2008. Jawa Ngoko. Semarang:Indeks Ramlan, M. 2005. Sintaksis. Yogyakarta: Karyono Samsuri.1980. Analisa Bahasa. Jakarta: Erlangga Sudaryanto. 1993. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana University Press. Tadjuddin, Moh. 2005. Aspektualitas dalam Kajian Linguistik. Bandung: Alumni. Verhaar, J.W.M. 1996. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Skripsi Mutia, Syarifah. 2006. “Aspek dalam Bahasa Aceh Tinjauan Sintaksis dan Semantik” Medan. Sastra Indonesia USU Kamus Alwi, dkk. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pusta Kridalaksana, Harimurti. 2008. Kamus Linguistik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
100
101