Aspek Perpajakan Viability Gap Fund1 Oleh: Sofia Arie Damayanty dan Hadi Setiawan2 Incentives are not strategy, they are tactics. Defensive measures. Carlos Ghosn
Pemerintah Indonesia terus berupaya bukan hanya menjaga pertumbuhan ekonomi, tetapi juga untuk meningkatkan kualitas pelayanan kepada masyarakat. World Economic Forum dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014 menyatakan bahwa peringkat daya saing Indonesia mengalami peningkatan menjadi peringkat 38 dari 148 negara di dunia, setelah tahun sebelumnya hanya berada pada peringkat ke 50. Dalam hal daya saing, tahun ini Indonesia masih berada 1 peringkat di bawah Thailand, namun berada 22 peringkat di atas India. Hal ini menunjukkan bahwa di antara negara ASEAN, daya saing Indonesia masih belum lebih baik dibandingkan Thailand (dan tentunya dibandingkan Singapura, Brunei Darussalam, dan Malaysia). Namun bila dibandingkan dengan negara dengan jumlah penduduk dan luas wilayah yang setara, daya saing Indonesia masih jauh lebih baik dibandingkan India (peringkat 60), walaupun masih tertinggal dibandingkan Cina (peringkat 29). Penyediaan infrastruktur yang memadai menjadi faktor utama ketiga (setelah korupsi dan inefisiensi birokrasi pemerintah) yang menghambat kemajuan daya saing Indonesia dibandingkan
negara
lain.
Untuk
itu
pemerintah
semakin
mendorong
akselerasi
pembangunan infrastruktur baik dari segi pendanaan, pemberian insentif, dan inisiatif kerjasama pemerintah dan swasta (KPS). Upaya tersebut mulai menampakkan hasil, salah satunya terlihat dari semakin membaiknya peringkat infrastruktur Indonesia dalam The Global Competitiveness Report 2013-2014, dari peringkat 78 pada tahun 2012-2013, menjadi peringkat 61 pada tahun 2013-2014 atau meningkat sebesar 17 peringkat. Sekilas tentang VGF Salah satu terobosan yang dilakukan oleh pemerintah untuk mengakselerasi pembangunan infrastruktur di tanah air adalah melalui pemberian Dukungan Kelayakan atas Sebagian Biaya Konstruksi Pada Proyek Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastruktur atau disebut juga Viability Gap Fund (VGF). Insentif yang diberikan pemerintah ini merupakan dana dukungan dalam bentuk tunai yang disediakan pemerintah untuk pembangunan proyek infrastruktur yang dilaksanakan melalui skema 1 2
Artikel ini telah dimuat dalam Warta Fiskal Edisi 5 Tahun 2013. Peneliti pada Pusat Pengelolaan Risiko Fiskal, BKF Kementerian Keuangan. Penulis dapat dihubungi di
[email protected] dan
[email protected]
Kerjasama Pemerintah Swasta (KPS), untuk membuat suatu proyek yang sebelumnya kurang layak secara finansial menjadi layak secara finansial. Dukungan dalam bentuk tunai diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur khususnya untuk proyek yang secara finansial kurang layak, mengingat dukungan dalam bentuk lain yang selama ini diberikan oleh pemerintah kurang optimal dalam mempercepat pembangunan infrastruktur tersebut3. Berdasarkan PMK Nomor 223/PMK.011/2012 tanggal 21 Desember 2012, selain bertujuan untuk meningkatkan kelayakan finansial proyek infrastruktur dengan skema KPS, VGF diharapkan juga meningkatkan kepastian pengadaan proyek KPS sesuai dengan kualitas dan waktu yang direncanakan, serta mewujudkan layanan publik yang tersedia melalui infrastruktur dengan tarif yang terjangkau oleh masyarakat. Dana VGF ini dialokasikan anggarannya oleh pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara sesuai dengan mekanisme APBN, dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan negara, kesinambungan fiskal, dan pengelolaan risiko fiskal. Dukungan kelayakan atau VGF dapat diberikan setelah tidak terdapat lagi alternatif lain untuk membuat suatu Proyek Kerja Sama layak secara finansial. Adapun besarnya VGF yang diberikan dalam bentuk tunai kepada Proyek Kerja Sama adalah sebesar porsi tertentu4 dari seluruh biaya konstruksi Proyek Kerja Sama, yang meliputi biaya konstruksi, biaya peralatan, biaya pemasangan, biaya bunga atas pinjaman yang berlaku selama masa konstruksi, dan biaya-biaya lain terkait konstruksi namun tidak termasuk biaya terkait pengadaan lahan dan insentif perpajakan. Mekanisme pemberian dukungan kelayakan atau VGF mulai dari pengajuan usulan dari Penanggung Jawab Proyek Kerjasama (PJPK)5 sampai dengan persetujuan pemberian dukungan secara ringkas adalah sebagaimana terlihat pada Gambar 1. Dalam memberikan rekomendasi dan persetujuan VGF, Menteri Keuangan mendapatkan masukan dari Komite Dukungan Kelayakan yang meliputi unit-unit terkait internal Kementerian Keuangan, diantaranya Badan Kebijakan Fiskal, Direktorat Jenderal Anggaran, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan, dan Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan.
3
Setiawan, Hadi. 2012. Belajar VGF ke India dalam Info Risiko Fiskal Edisi 1 Tahun 2012 Porsi tertentu dalam hal ini tidak mendominasi biaya konstruksi Proyek Kerja Sama 5 PJPK adalah pihak-pihak yang mengatur mengenai Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha dalam Penyediaan Infrastrukur yang memiliki kewenangan untuk menyelenggarakan pengadaan infrastruktur 4
Pengajuan usulan persetujuan prinsip oleh PJPK
Persetujuan prinsip
Preliminary Qualification
Penghitungan dan persetujuan besaran dukungan
Pelelangan
Rekomendasi dan persetujuan pemberian dukungan
Gambar 1. Mekanisme Pemberian VGF
Perlakuan Perpajakan Terhadap Pemberian VGF Karena merupakan suatu mekanisme pemberian insentif yang baru diterapkan di Indonesia, investor maupun pemerintah sendiri masih mencari bentuk penyesuaian perlakuan perpajakan atas transaksi pemberian VGF dari pemerintah kepada Badan Usaha pelaksana proyek KPS. Jika kita telaah lebih dalam maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait dengan perlakuan perpajakan atas transaksi pemberian VGF tersebut. Hal-hal tersebut antara lain i) apakah pemberian VGF tersebut merupakan objek pajak penghasilan bagi Badan Usaha pelaksana proyek? ii) apakah pemberian VGF tersebut terutang PPh Pemotongan
dan
Pemungutan?
iii)
apakah
biaya-biaya
yang
dikeluarkan
untuk
mendapatkan dana VGF dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto? iv) apakah biayabiaya termasuk biaya penyusutan yang dikeluarkan oleh Badan Usaha yang berasal dari dana VGF, apakah bisa dijadikan pengurang penghasilan bruto? dan v) apakah pemberian VGF tersebut terutang PPN? Dari beberapa pertanyaan tersebut, pertanyaan yang krusial atas pemberian VGF oleh pemerintah kepada Badan Usaha adalah apakah penghasilan VGF tersebut merupakan objek pajak? Mengacu kepada UU Nomor 36 tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan Pasal 4 ayat (1) antara lain menyebutkan bahwa “Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun...”. Sedangkan Pasal 4 ayat (3) dan penjelasannya antara lain menyebutkan bahwa bantuan atau sumbangan bagi pihak yang menerima bukan merupakan objek pajak sepanjang diterima tidak dalam rangka hubungan kerja, hubungan usaha, hubungan kepemilikan, atau hubungan penguasaan diantara pihak-pihak yang bersangkutan. Contoh hubungan usaha adalah PT A sebagai produsen suatu jenis barang yang bahan baku
utamanya diproduksi oleh PT B. Apabila PT B memberikan sumbangan bahan baku kepada PT A, sumbangan bahan baku yang diterima oleh PT A merupakan objek pajak. Pemberian VGF apakah dapat digolongkan sebagai bantuan atau sumbangan? Hal ini lah yang harus dijawab oleh Pemerintah. Dalam menjawab hal tersebut, Pemerintah harus mempertimbangkan konsekuensi-konsekuensi yang bakal terjadi. Jika pemberian VGF tersebut dianggap sebagai objek pajak, maka ada konsekuensi pajak yang harus ditanggung oleh Badan Usaha pelaksana proyek karena VGF akan dianggap sebagai penghasilan mereka dan dimasukkan dalam laporan laba rugi. Hal tersebut akan kembali mempengaruhi perhitungan IRR proyek yang berarti dalam menghitung jumlah VGF yang akan diberikan Pemerintah harus memperhitungkan aspek perpajakan sehingga proyek tersebut dapat dianggap layak secara finansial. Konsekuensi lainnya jika pemberian VGF dianggap sebagai objek pajak adalah jumlah penerimaan negara dari sisi perpajakan dipastikan naik. Sebaliknya jika pemberian VGF digolongkan sebagai bukan objek pajak sesuai dengan Pasal 4 ayat (3), maka akan menimbulkan konsekuensi berkurangnya penerimaan negara dari sektor perpajakan sebaliknya hal tersebut akan menguntungkan bagi Badan Usaha pelaksana proyek KPS. Selain itu Pemerintah juga tidak perlu memasukkan unsur perpajakan dalam menghitung besaran VGF yang diberikan kepada Badan Usaha. Selanjutnya tugas pemerintah adalah menentukan apakah pemberian VGF ini merupakan objek pajak atau tidak, tentu saja dengan mempertimbangkan konsekuensi yang terbaik bagi negara dan sesuai dengan aturan-aturan yang berlaku. Hal tersebut sangat krusial karena status pemberian VGF (apakah termasuk objek pajak atau tidak) akan berpengaruh untuk menjawab pertanyaan nomor 2 dan nomor 3. Jika pemberian VGF digolongkan sebagai objek pajak maka berkonsekuensi pemberian tersebut juga terutang PPh Pemotongan dan Pemungutan yaitu PPh Pasal 22 atau PPh Pasal 23 atau PPh Pasal 4 ayat 2. Sebaliknya jika bukan objek pajak maka tidak akan terutang PPh Pemotongan dan Pemungutan. Demikian juga hal nya dengan biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Badan Usaha untuk mendapatkan dana VGF (seperti biaya konsultan, dan lain-lain), jika pemberian VGF tersebut merupakan objek pajak maka biaya-biaya tersebut dapat dikurangkan dari penghasilan bruto dan sebaliknya. Bagaimana dengan biaya-biaya termasuk biaya penyusutan yang dikeluarkan oleh Badan Usaha, apakah bisa dijadikan pengurang penghasilan bruto? Sesuai dengan Pasal 6 ayat (1) UU PPh, biaya-biaya yang dikeluarkan oleh Wajib Pajak untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. Oleh karena itu sepanjang biaya-biaya tersebut memenuhi persyaratan sebagaimana disebutkan
dalam Pasal 6 ayat (1) UU PPh maka biaya-biaya itu dapat dijadikan pengurang penghasilan bruto. Aspek perpajakan berikutnya yang harus diperhatikan oleh Pemerintah adalah terkait dengan PPN. Apakah pemberian VGF tersebut terutang PPN? Berdasarkan UU Nomor 42 Tahun 2009 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan Atas barang Mewah, Pasal 4 dan penjelasannya menyatakan bahwa PPN dikenakan atas Penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak didalam daerah pabean yang dilakukan oleh Pengusaha. Oleh karena itu menurut penulis, jika tidak ada penyerahan Barang Kena Pajak/Jasa Kena Pajak dari Badan Usaha kepada Pemerintah, maka atas pemberian Dukungan Kelayakan (VGF) juga tidak akan terutang PPN. Demikian juga dengan Faktur Pajak Masukan yang diterima oleh Badan usaha sehubungan dengan biaya/kegiatan yang dilakukan untuk memperoleh dana VGF tersebut juga menjadi tidak dapat dikreditkan. Penutup Aspek perpajakan terkait dengan pemberian VGF masih menjadi salah satu tugas yang harus diselesaikan oleh Pemerintah, terutama terkait dengan status objek pajak dari pemberian VGF tersebut. Mengingat pemberian VGF ini merupakan hal/transaksi yang baru dalam kegiatan suatu badan usaha maupun Pemerintah, maka peraturan/kebijakan khusus yang mengatur mengenai perlakuan perpajakannya adalah suatu keniscayaan sehingga hal tersebut tidak menimbulkan perbedaan pendapat/tafsir di lapangan baik bagi fiskus maupun Wajib Pajak (Badan Usaha). Kita tentunya percaya bahwa seluruh insentif yang diberikan oleh pemerintah adalah semata-mata merupakan upaya untuk mendukung kelancaran pembangunan dengan kesejahteraan masyarakat sebagai ultimate goal. Demikian pula dengan adanya VGF ini diharapkan dapat mendorong pembangunan infrastruktur di Indonesia. Untuk itu keselarasan operasional termasuk juga penerapan peraturan perpajakan menjadi tugas pemerintah agar kebijakan baru ini dapat memberikan hasil sebagaimana yang diharapkan.