Aspek Pemberdayaan Perempuan Dibalik Lembaga Kredit Mikro M. Firdaus dan Titik Hartini1 Pendahuluan Banyak alasan yang bisa dikemukakan mengapa Lembaga Keuangan Mikro (LKM) bisa eksis sebagai sumber NHXDQJDQ ³DOWHUQDWLI´ GL GHVD-desa belakangan ini. Alasan ini biasanya hampir sama ditemui dari beberapa lembaga non-bank atau Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mempunyai kegiatan tersebut. LKM alternatif, biasanya muncul akibat dari ketidakmampuan lembaga formal seperti bank melayani nasabah yang PHPSXQ\DL VSHVLILNDVL WHUWHQWX 6DODK VDWX FRQWRKQ\D DGDODK NHEXWXKDQ SLQMDPDQ ³lekas saji´ EDJL SHWDQL GL pedesaan untuk membeli bibit saat waktu tanam tiba, saat pemberian pupuk, serta saat panen; prosedur peminjaman ke bank yang berbelit seperti terjadi pada Perempuan Usaha Kecil-mikro (PUK) yang harus menyertakan izin suami bila mengajukan peminjaman kredit ke bank. Padahal PUK biasanya berperan besar GDODP XVDKD 0HQXUXW GDWD %36 \DQJ WHUWXDQJ GDODP ³Indikator Sosial Wanita Indonesia 1997´ GLVHbutkan EDKZDSHQGXGXNSHUHPSXDQ\DQJEHNHUMDGLGHVD\DQJWHUPDVXNGDODPSHNHUMDDQ³XWDPD´VHEDQ\DN dan laki-laki yang bekerja berjumlah 61,43%2. Dalam konteks itu, bank akan menyerah mengurusi nasabah-QDVDEDK³XQLN´VHSHUWLLWXNDUHQDVHFDUDHNRQRPL biayanya tinggi dan memerlukan banyak tenaga lapang yang harus menagih terus-menerus kepada nasabah yang jumlDKQ\D SXOXKDQ EDKNDQ ULEXDQ $NLEDWQ\D QDVDEDK ³XQLN´ WHUVHEXW DNDQ PHQFDUL VXPEHU NHXDQJDQ yang cepat dan tidak berbelik-belit. Para nasabah tidak mempersoalkan tingginya tingkat suku bunga asal pinjamannya lekas dikucurkan dan gampang didapat. Peranan ini biasanya ditempati para tengkulak. Untuk menanggulangi posisi tengkulak yang memberi bunga sangat tinggi, LKM kemudian menjadi sumber keuangan DOWHUQDWLI/.0EHUIXQJVLVHEDJDLOHPEDJDSHQDPSXQJGDQSHQ\DOXUNDSLWDOVHEDJDL³akselator´SHPEDQJXQDQ pada ODSLVDQ GHVD VHUWD VHEDJDL ³center of excellence, learning, and Practice´ XQWXN ODSLVDQ GHVD \DQJ menyangkut dua hal pokok yaitu, kewirausahaan dan manajemen3.
.UHGLW0LNUR.0 ´SLQWXµ3HPEHUGD\DDQ
1 2
3
M. Firdaus, Divisi Program Sekretariat ASPPUK dan Titik Hartini, Direktur Eksekutif Nasional ASPPUK. /LKDW³Indikator Sosial Wanita Indonesia´\DQJGLNHOXDUNDQROHK%36'DODPFDWDWDQQ\DGLVHEXWkan bahwa perempuan di GHVDVHEDQ\DNEHNHUMDGLVHNWRU\DQJGLNDWHJRULNDQSHNHUMDDQ³primer´XWDPD GDULWLJDODSDQJDQSHNHUMDDQ\DQJDGDGL pedesaan (dua lainnya sekunder dan tersier). Sedangkan laki-laki yang bekerja di desa untuk pekerjaan yang VLIDWQ\D ³primer´ sebanyak 61,43%. 3URI'U*XQDZDQ6XPRGLQLQJUDW0HF³Lembaga Keuangan Mikro dan Pembangungan Pedesaan´NRPSas, Selasa 20 Februari 2001.
KM yang dikelola Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK) juga mengambil peran seperti disebutkan di atas. ASPPUK, dulunya YASPPUK, adalah lembaga jaringan beranggotakan 53 LSM yang tersebar di 22 propinsi di Indonesia. LKM, dikenal ASPPUK sebagai Program KM, yang dijalankan ASPPUK secara jaringan baru berjalan dari tahun 1998. Namun, secara internal di masing-masing LSM anggotanya, program kredit mikro ini sudah berjalan bertahun-tahun. LKM ini dibangun untuk memenuhi misi bersama anggota jaringan, yaitu pemberdayaan perempuan melalui pengembangan usaha kecil. Dalam pandangan ASPPUK, untuk memberdayakan PUK diperlukan kegiatan yang dapat memenuhi kebutuhan praktis dan strategis mereka4. Konkritnya, ASPPUK melakukan kegiatan revolving fund (RF) melalui Kelompok Perempuan usaha Kecil (KPUK). Pinjaman tersebut dapat digunakan untuk usaha dan pemenuhan kebutuhan perempuan lainnya, seperti pendidikan, kesehatan, perumahan dan pemilikan aset produktif. Pilihan sasaran terhadap PUK dilandasi pemikiran bahwa pertama, penduduk Indonesia sebagian besar tinggal di pedesaan dan sebanyak 50,23% adalah perempuan. Secara kultural perempuan memegang peranan penting, baik di keluarga maupun di masyarakat. Perempuan banyak terlibat dalam aktivitas ekonomi seperti warungan, kerajinan, perdagangan dll. Mayoritas dari mereka mempunyai usaha dengan skala yang sangat kecil. Sebagai anggota keluarga, perempuan menjadi pengatur keuangan keluarga, pendidik anak, sekaligus pencari nafkah bersama-sama suaminya. Gambaran di atas diugkapkan dalam data statistik yang dikeluarkan oleh BPS tahun 1997 yang memperlihatkan bahwa di sektor lapangan pekerjaan utama (primer), di pedesaan, keterlibatan perempuan tidak kalah besarnya dengan laki-laki5. Jumlahnya mungkin lebih besar bila dikaitkan dengan kondisi krisis yang menempa Indonesia. Kedua, dari hasil identifikasi sementara ASPPUK terhadap dampingan LSM anggota yang tersebar di 22 propinsi, terungkap bahwa kendala paling utama dihadapi oleh usaha kecil-mikro adalah permodalan. Hasil survey usaha kecil (industri skala kecil dan industri rumah tangga) Januari 1992, menunjukkan bahwa secara terinci kendala usaha kecil-mikro adalah: modal (35,1%), pemasaran (25,9%), persaingan (16,1%), keahlian dalam tehnik produksi (3,4%), dan keahlian pengelolaan (3,4%). Data survey tersebut belum mencakup kendala khas perempuan yang berkaitan dengan perannya dihadapan laki-laki (persoalan gender). Secara spesifik, kendala-kendala yang dihadapi PUK, di antaranya adalah: 1) lokasi kelompok yang sangat jauh dari lembaga formal; 2) kegiatan usaha yang masih kecil, sehingga dana tambahan yang dibutuhkan juga sangat kecil dan tidak akan dilayani lembaga formal karena tidak efesien; 3) administrasi keuangan di KPUK masih belum dikelola dengan baik, sehingga tidak memenuhi standar pembukuan yang disyaratkan lembaga keuangan formal; dan 5) keterbatasan pemilikan asset yang bisa dijadikan jaminan kredit di lembaga formal. Program KM yang sudah berjalan empat tahun ini awalnya mempunyai dua tujuan utama. Pertama, menguatkan LSM anggota dalam rangka memfasilitasi kredit mikro pada KPUK yang didampingi yang memerlukan modal di 4 5
/LKDW³Manual Kredit Mikro´\DQJGLWXOLVROHK<$6338.SDGD-DQXDUL-DNDUWD Indikator Sosial Wanita IndRQHVLD´%36Ibid.
luar modal swadayanya sendiri, namun belum dapat berhubungan dengan lembaga keuangan formal (bank). Kedua, pemenuhan kebutuhan modal dan kebutuhan-kebutuhan spesifik perempuan seperti pendidikan, perumahan, kesehatan dalam rangka peningkatan kondisi dan posisi PUK. Penerima kredit adalah PUK, yang menjadi anggota KPUK, dengan kriteria menjadi dampingan LSM anggota, telah memiliki pengurus, dan mempunyai jadwal pertemuan rutin. Selain itu, PUK harus menerapkan sistem pembukuan yang memadai, peraturan kelompok secara tertulis, telah melakukan pemupukan modal swadaya, serta menganut sistem tanggung renteng. Program KM ASPPUK terdiri dari dua jenis, yaitu kredit usaha untuk pengembangan usaha yang sudah ada dan pembetukan usaha baru serta kredit kebutuhan perempuan untuk pendidikan (khususnya untuk anak dan perempuan), kesehatan, perumahan dan pemilikan aset produktif. Secara singkat dibawah ini bagan skema kredit ASPPUK (gambar 1) dan skema pengajuan KM ASPPUK (gambar 2).
Gambar 1. Sekretariat ASPPUK FORWIL
LSM anggota
KPUK
PUK
PUK
PUK
Gambar 2.
PUK mengisi dan mengirim format pengajuan ke KPUK masing-masing.
KPUK mengisi dan mengirimkan format pengajuan ke LSM pendampingnya.
LSM mengisi dan mengirimkan format pengajuan ke sekretariat ASPPUK.
Sekretariat ASPPUK mengaklarifikasi dan meminta Korwil setempat untuk studi kelayakan terhadap peminta KM
Kredit diberikan kepada KPUK setelah melewati beberapa tahap. Pertama, pemohon (lewat LSM pendamping) mengajukan permohonan kredit dengan melampirkan profil anggota KPUK, kelayakan usaha, dan rencana penggunaan kredit. Kedua, pemohon kredit harus ditembuskan kepada forum wilayah (Forwil) atau koordinator wilayah (Korwil) masing-masing, kalau diperlukan untuk mendapatkan rekomendasi. Ketiga, permohonan kredit akan ditanggapi minimal 3 (tiga) hari oleh sekretariat dan maksimal 1 bulan. Keempat, LSM anggota harus PHPLOLNL³DJXQDQ´EHUXSDWDEXQJDQVROLGDULWDVGLUHNHQLQJEDQN$6PPUK. Kelima, penandatanganan akad kredit dilakukan antara wakil ASPPUK dan masing-masing LSM anggota diketahui oleh wakil masing-masing KPUK. Keenam, jika disetujui, ASPPUK mentransfer dana kredit untuk KPUK melalui LSM anggota. Ketujuh, KPUK mengangsur kredit melalui kredit LSM anggota ke ASPPUK, dengan tenggang waktu angsuran 1 bulan pada awal penandatanganan kredit. Kedelapan, KPUK mengangsur kredit melalui LSM anggota ke ASPPUK setiap 6 bulan. Kesembilan, LSM anggota melaporkan perkembangan penggunaan kredit dan profil pemanfaat kredit, jika diperlukan ASPPUK dibantu Korwil melakukan monitoring ke lapangan. Sementara persyaratan yang harus dipenuhi para pemohon adalah pelampiran berkas-berkas kelayakan usaha, profil PUK, serta rencana penggunaan kredit. Bunga pinjaman rata-rata 11% tetap per tahun untuk pinjaman jenis usaha, sementara untuk jenis pinjaman kebutuhan perempuan tidak dikenai bunga. Surat permohonan pinjaman harus diajukan maksimal satu bulan sebelumnya dan waktu pinjaman maksimal dua belas bulan. LSM anggota yang memperoleh KM dapat mengakses dana pendampingan dan pelatihan sesuai dana yang ada di
sekretariat ASPPUK. Selain itu, berlaku juga persyaratan lain yang disusun berdasarkan kesepakatan antara LSM anggota lewat forwil-forwilnya6. ´%HUFHUPLQµGDUL3HQJDODPDQ Menginjak tahun kelima KM ASPPUK, tingkat pengembalian pinjaman anggota mencapai level di atas rata-rata, yaitu antara 90% ± 95% dari total pinjamanya. Tingkat pengembalian kredit dari PUK tersebut, terjadi dari tahun ke tahun7. Temuan penting di lapangan menunjukkan bahwa para PUK menginginkan kegiatan KM ini terus berlanjut. Menurut PUK yang berhasil diwawancarai, ada beberapa manfaat yang dirasakan dari KM, yaitu 1) memperbesar modal sekaligus menjadi alat untuk mengembangkan dan memperlancar usaha PUK sehingga memiliki akses ekonomi yang lebih baik dibandingkan dengan sebelumnya; 2) membantu pemenuhan kebutuhan-kebutuhan perempuan, seperti biaya pendidikan dan biaya kesehatan, sehingga PUK dapat terhindar dari lilitan rentenir; 3) meningkatkan penghasilan pendapatan rumah tangga PUK; 4) mendorong terjadinya peningkatan pengetahuan PUK terutama dalam pengelolaan uang dan memupuk rasa tanggung jawab dalam pengelolaan uang, karena
KM sekaligus menjadi wadah pendidikan bagi PUK 8 . Ini lah mungkin yang
membedakan KM ASPPUK dengan kredit dari LKM lain atau bank. ASPPUK tidak hanya memberikan fasilitas kredit tanpa bunga untuk pemenuhan kebutuhan perempuan yang mendasar tetapi juga memfasilitasi kredit untuk usaha sekaligus menjadi wadah pendidikan bagi anggota KM. Hal-hal yang dapat menjadi pelajaran dari KM yang dijalankan oleh ASPPUK di antarannya adalah pertama, prosedur yang berlaku untuk pengajuan kredit dari PUK, tidak berbelit-belit. Bahkan dalam pengajuannya pun ada proses pendampingan dari LSM pendamping, serta ada peroses dialog antar-LSM untuk menentukan kelayakannya. Selain itu, PUK dibebaskan dari agunan. Kedua, lokasinya pun ramah terhadap kehidupan masyarakat setempat, khususnya bagi perempuan usaha mikro di pedesaan. ASPPUK menjalankan programnya dengan lebih kreatif melalui sistem menjemput bola (nasabah) atau bisa terjadi pola kekeluargaan yang mementingkan kesejahteraan bersama antara pemohon dan pendamping. Bila ada kemacetan dalam pengembalian, dipecahkan bersama dengan teman-teman kelompoknya dibantu staf LSM pendamping. Hal ini dapat terjadi karena ada pertemuan kelompok di antara PUK setiap dua minggu sekali. Pendamping LSM terus memantau perkembangan KPUK, bahkan terkadang KPUK sendiri yang melaporkan perkembamgannya. Proses pengembaliannya pun tidak secepat bank, ada tenggang waktu yang cukup lama agar PUK mempunyai kesempatan yang cukup untuk mengembangkan bisnisnya.
6 7
8
Pedomana KM ASPPUK, Ibid. 'DODPODSRUDQ\DQJGLNHOXDUNDQLQWHUQDO$6338.VHWLDSEXODQDQGHQJDQMXGXO³Informasi Kredit Mikro Periode 1999 ± 2001, hingga Juli 2001´GLVHEXWNDQEDKZDEDKZDWLQJNDWSHQJHPEDOLDQ38.GDULSURSLQVL± kecuali daerah konflik, yang sedikit ada keterlambatan ± mencapai hasil di atas 90%. Lihat laporan secretariat ASPPUK tentang temuan-WHPXDQ ODSDQJ \DQJ GLEHUL MXGXO ³Evaluasi Kredit Mikro YASPPUK, tahun2000´ 'DODP WHPXDQ WHUVHEXW GLVHEXWNDQ MXJD PDQIDDW XQWXN para tenaga pendamping (yiatu LSM pendamping),
Ketiga, di samping ada pemenuhan kebutuhan untuk kelangsungan usaha PUK, ASPPUK juga memberikan kredit untuk pemenuhan kebutuhan perempuan tanpa bunga. Keempat, ada pertemuan rutin kelompok KPUK minimal dua minggu sekali. Dalam pertemuan ini dibahas semua keluhan yang dialami PUK, peserta saling berbagi pengalaman dalam mengelola pembukuan atau pengembangan bisnisnya. Biasanya, untuk kelompok baru, LSM pendamping selalu datang hadir dalam proses dialog. LSM pendamping diberi dana pendampingan (walaupun tidak besar) agar bisa bekerja secara maksimal memantau perkembangan pijaman dan usahanya. Terakhir, sebelum atau ditengah-tengah berlangsungnya kredit mikro, ada beberapa pelatihan yang diikuti oleh ketua KPUK yang nantinya bisa diinformasikan ke anggotannya dalam pertemuan kelompok. Jenis pelatihan yang dilakukan di antaranya pembukuan yang baik, kelayakan usaha, studi pasar, dan menajemen keuangan. Sambil melakukan proses pendampingan, para PUK juga mendapat siraman pengetahuan kesadaran gender. Ini dilakukan, karena KM menjadi pintu masuk untuk pemberdayaan PUK yang lebih mendalam (Lihat Dina L :1999)9. Melihat Hambatan, Menggali Otokritik ,EDUDW SHSDWDK ´tak ada gading yang tak retak", begitu pula dengan LKM yang dijalankan ASPPUK. Setelah berjalan cukup lama, ada beberapa kelemahan dan hambatan yang perlu dibenahi. Pertama, jangkauan wilayah ASPPUK yang luas. Kondisi ini menyulitkan sekretariat untuk memantau perkembangan anggotanya secara rutin dan sistematis. Walaupun dalam kegiatannya sekretariat dibantu tenaga lapang dari LSM pendamping, namun kegiatan LSM tidak terfokus pada penanganan kredit mikro. Bagi LSM pendamping, aktivitas kredit mikro umumnya hanya menjadi salah satu kegiatan lembaganya. Oleh karena itu, pada jangka panjang ASPPUK merencanakan di tiap kabupaten ada LKM yang diurus oleh KPUK sendiri. Di beberapa daerah yang PUK-nya sudah lama menjadi dampingan LSM anggota ASPPUK, pengawasan mandiri ini sudah terjadi. Kedua, sampai saat ini sekretariat ASPPUK belum bisa membuat indikator yang dapat mengukur dampak LKM bagi PUK. Oleh karena itu, kegiatan kredit mikro masih menjadi aktivitas ekonomi semata. Salah satu sebabnya DGDODK NXUDQJQ\D VXPEHU GD\D \DQJ ³capable´ XQWXNPHODNXNDQ KDO WHUVHEXW GDQ PHPDQJ WHUNDGDQJ VLVWHm manajemen data di LSM pendamping kurang tertangani dengan baik. Padahal, bila ada pengukuran dampak dengan indikator yang jelas, dapat diketahui secara general apakah kegiatan KM mempunyai pengaruh yang
9
diantaranya, membantu mengembangkan usaha produktif anggota KSM dengan memperdayakan PUK, dan untuk menambah pengetahuan tenaga penamping KPUK. 'LQD/XPEDQWRELQJ³/60GDQ3HQJXDWDQ38.VHFDUD3ROLWLV´GDODPBulletin ³Jaringan LSM´QR± Thn IV ± April 1999, yang diterbitkan oleh sekretariat ASPPUK.
signifikan bagi usaha PUK atau malah sebaliknya. Hal ini penting diketahui, sebab bagi ASPPUK aktivitas kredit PLNURPHQMDGL³entry point´SHPEHUGD\DDQ38. Ketiga, di wilayah-wilayah yang dilanda konflik, kadang PUK terlambat mengembalikan kredit. Hal ini memang berkaitan dengan kondisi sosial makro yang tidak kondusif terhadap iklim perkembangan usaha mikro di pedesaan dan kondisi sosial makro ekonomi Indonesia secara keseluruhan. Prasyarat LKM Supaya Bertahan Dari pengalaman di atas, nyata sekali kelenturan LKM, khususnya LKM ASPPUK, dalam prasyarat pengajuan kredit. Ini berbeda sekali dengan lembaga keuangan formal seperti bank, yang peraturannya tegas untuk mencari keuntungan sebanyak-banyaknya tanpa melihat posisi nasabah. Kelenturan itu terlihat dalam perumusan aturan agar kredit mikro terlaksana dan saling menguntungkan bagi pengelola dan nasabah. Dalam konteks ini, peran tenaga lapang yang mendampingi PUK (dari LSM pendamping kalau di ASPPUK) menjadi sentral. Merekalah yang membangun hubungan baik dengan para nasabahnya dan melakukan pemantauan di lapangan. Bila para tenaga lapang tidak bisa menjaga hubungan baik atau malas, bahkan lalai memantau, maka SDUDQDVDEDKMXJDELVD³ODODL´WDSLLQLWLGDNVHODOXWHUMDGL PHQJHPEDOLNDQNUHGLWQ\D Perbedaan lainnya adalah adanya tanggung jawab LKM untuk membantu nasabah dalam proses pengembalian kredit. Pada kasus KM ASPPUK, PUK kerap merasa bingung menghadapi persolan dalam pengembalian kreditnya. Oleh karena itu, ASPPUK memberikan pertolongan kepada para PUK-nya melalui berbagai program training yang dapat membantu menyelesaikan masalah praktis seperti pembukuan, manajemena usaha, kelayakan pasar, serta training sensitivitas gender sebagai penunjang. Bagi ASPPUK, program training ini adalah bentuk tanggung jawabnya terhadap pemberdayaan nasabah dalam pengembalian kreditnya. Hal tersebut bermakna bahwa nasabah dan lembaga pemberi kredit, harus sama-sama saling mengambil manfaat dari aktivfitas yang dikerjakan bersama. Pandangan ini menjadi dasar pelaksanaan program KM bagi ASPPUK. Hubungan yang baik dengan nasabah dan saling menguntungkan
mungkin menjadi tali pengikat bagi
keberlanjutan program KM di ASPPUK. Satu hal yang penting disadari dalam program KM ini adalah penyelenggara program harus menyingkirkan pandangan bahwa masyarakat kecil itu tidak bisa diajak maju. Sebab, semua masyarakat itu pada intinya sama, hanya lingkungan dan intervensi pendidikan yang memanusiakanlah yang akan bisa meningkatkan kehidupan masyarakat untuk lebih baik. Dari sini jelas pentingnya basis LKM yang tidak dibatasi wialayah, ramah dengan kearifan lokal, dan senantiasa ada dialog di antara pemanfaat kredit dan tenaga lapang dari LSM pendamping dalam perumusan mekanisme kredit. RUU LKM :Intervensi Tanpa Makna
Pemerintah dan Bank Indonesia berencana mengeluarkan Undang-Undang yang mengatur LKM. Ada beberapa catatan penting mengenai rencana tersebut. Di antaranya terjadi kontradiksi antara apa yang dipikirkan secara mulia oleh pemerintah dan BI, terutama pada ide tentang perumusan RUU LKM. Menyimak artikel dari salah satu pejabat BI ± Abdul Salam dalam ceramahnya pada 12 Juni 2001² yang menyatakan bahwa RUU LKM dibuat untuk mengantisipasi terjadinya penyalahgunaan dana dari oknum orang atau lembaga, yang mengumpulkan dana dari masyarakat untuk kepentingan dirinya10. Kesannya mulia memang, namun bila dilihat secara serius, pasal-pasal dalam RUU LKM hanya memberikan pembatasan-pembatasan atau rambu-rambu justru dapat merangsang bekembangnya benih-benih KKN (kulusi, korupsi dan nepotisme). Contohnya pada pasal-pasal 3, 8, 18, yang menetapkan bahwa pendirian LKM harus seizin pemda setempat. Pemerintah lewat pemda juga bisa mendirikan LKM. Artinya, pemerintah menjadi pemain dan pengumpul dana masyarakat. Pertanyaanya, apa fungsi eksekutif daerah kemudian ? Kedua, hal yang membahayakan dari RUU LKM ini adalah pembatasan lokasi (wilayah kerja) LKM. Menurut penulis, tampaknya penyususun RUU LKM tidak memahami dinamika LKM sendiri. Kenyataannya, LKM mempunyai wilayah kerja yang luas karena para nasabahnya tersebar di desa-desa yang tidak pernah dijangkau oleh lembaga keuangan formal manapun. LKM biasanya sudah tumbuh mengakar di masyarakat karena muncul atas tuntutan kebutuhan masyarakat sendiri. Banyak LKM yang sudah berpuluh-puluh tahun menjadi dampingan LSM penyelenggara dan sudah berhasil membangun hubungan yang baik dan erat dengan nasabahnya. Apabila kemudian pemerintah akan membatasi wilayah-wilayah kerja LKM, maka hal ini akan mengganggu tatanan yang sudah terbangun di antara LKM-LKM dengan nasabahnya. Di sini letak bahayanya bila pengaturan LKM dilakukan tanpa mencermati dinamika masyarakat, apalagi bila kemunculan LKM tidak lahir dari proses dialog antar-masyarakat dan penyelenggara LKM. Ini tidak beda dengan program-program pemerintah di era orde baru, yang selalu berangkat dari anggapan bahwa masyarakat itu bodoh, bukan dari kebutuhan masyarakat sendiri. Menurut penulis, perancang RUU LKM ini belum mengadakan penelitian secara serius tentang keradaan LKM. Adanya kekhawatiran akan ketidakbecusan atau dibawa kaburnya dana yang telah dikumpulkan dari masyarakat, misalnya terkesan mengada-ada. Justru yang terjadi dana-dana dari masyarakat itu dibawa kabur oleh pemilik bank-bank nasional. Di LKM, dana yang disalurkan biasanya bukan dana yang ditarik dari masyarakat --walaupun ada dana masyarakat pengakes kredit, namun itu sedikit --, melainkan dana yang dihibahkan dari donatur atau pihak luar. Dalam konteks ini, nasabah kredit (dalam hal ini usaha kecil-mikro) jauh GDULDVSHN³SHQFXULDQ´GDULSLKDNODLQDWDXSHQJXPSXOGDQD Pemerintah (dan BI, sebagai penaggung jawab moneter Indonesia) sebaiknya berODNX³sebagai publik services´ bagi LKM. Artinya, jangan mengintervensi sesuatu yang sebenarnya sudah bagus dan tumbuh dari insiatif
PDV\DUDNDW VHQGLUL 6LNDS ³VRN WDKX´ SHPHULQWDK PHODOXL LQWHUYHQVL MXVWUX DNDQ PHUXVDN WDWDQDQ \DQJ VXGDK ada. Tugas pemerintah adalah pengawal yang mensinergikan sumber daya di masyarakat dengan sedikit mungkin campur tangan. Artinya aspek penegakan hukum harus mendapat perhatian utama.
10
$EGXO6DODP ³Peran Bank Indonesia dalam Menciptakan Iklim Finansial Kondusif Bagi Usaha Kecil Mikro´ DUWLNHO\DQJGLVDMLNDQ pada diskusi terbatas di Hotel Ambhara, Jakarta, 12 juni 2001, yang diselenggarakan oleh YMU dan Jekora.
LKM: BEBERAPA CATATAN SEJARAH Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani1
Pengantar Lembaga Keuangan Mikro (selanjutnya disingkat dengan LKM) sebagai sebuah institusi sudah membuktikan dirinya sebagai institusi yang menopang kehidupan usaha-usaha mikro, usaha-usaha kecil, dan masyarakat berpenghasilan rendah umumnya. Bahkan pada situasi-situasi sulitpun LKM telah menjadi bagian dari strategi survive usaha-usaha mikro, kecil, dan masyarakat berpenghasilan rendah. Studi-studi dampak krisis yang dilakukan AKATIGA dan beberapa lembaga lain memperlihatkan bahwa pada masa puncak krisis, ketika keuangan formal tidak berperan, usaha-usaha mikro dan kecil masih dapat bertahan karena dukungan institusi keuangan mikro. Salah satunya ditunjukkan oleh data Riza Primahendra2 (2001) yang memperlihatkan bahwa ada 78,60% industri rumah tangga dan 39,79% industri kecil memilih atau terpaksa mengakses kredit dari sumber lain selain bank dan koperasi. Sebagai sebuah institusi, keuangan mikro memiliki ciri dan dinamika spesifik. Mereka muncul, tumbuh, dan berkembang fleksibel menyesuaikan dengan kebutuhan penggunanya. Pengetahuan dan pemahaman LKM yang sangat baik terhadap kelompok/komunitas sasarannya menjadi salah satu faktor yang membuat mereka bisa bertahan sampai dengan saat ini. Faktor-faktor lain apa yang membuat institusi keuangan mikro bertahan dan faktorfaktor apa yang membuat institusi keuangan mikro tidak berkembang, menarik dan penting untuk dicermati. Pemahaman yang baik terhadap faktor-faktor pendorong dan penghambat peran institusi keuangan mikro dalam aktivitas ekonomi mikro diharapkan bisa menjadi bahan untuk menjaga institusi keuangan mikro dari berbagai µVHQWXKDQ¶ ±berupa kebijakan dan non-kebijakan²yang akan menghambat atau bahkan mematikan institusi keuangan mikro itu sendiri. Berbagai literatur dan hasil penelitian memperlihatkan bahwa institusi keuangan mikro di Indonesia sudah ada sejak sebelum negara ini berdiri. Tulisan ini mencoba mengindetifikasi dari berbagai hasil penelitian, makalah maupun tulisan di media massa untuk menggali beberapa hal, yaitu faktor kemunculan institusi keuangan mikro, faktor-faktor yang mempengaruhi format/bentuk dan dinamika institusi keuangan mikro, faktor-faktor pendukung dan penghambat berkembangnya institusi keuangan mikro, dan strategi-strategi apa yang dilakukan oleh institusi keuangan mikro untuk bisa tetap bertahan sampai saat ini. Upaya tersebut diawali dengan mencoba mendefinisikan institusi atau LKM itu sendiri, kemudian mencoba membuat pembabakan perkembangan institusi keuangan mikro pada masa
1 2
Kedua penulis adalah staf Pusat Analisis Sosial AKATIGA ± Bandung. Primahendara, Riza. 2001. Makalah Lokakarya Nasional Pengembangan dan Perkuatan LKM, Jakarta 17 Juli 2001.
sebelum kemerdekaan dan masa sesudah kemerdekaan. Pembabakan ini dibuat terutama untuk mencoba menangkap corak perubahan yang terjadi pada institusi keuangan mikro serta untuk memudahkan proses pencarian dan analisis informasi. Terakhir, adalah kesimpulan seluruh uraian untuk melihat benang merah dan mencari pelajaran-pelajaran penting dari masing-masing pembabakan sebagai bahan pelajaran untuk pihak-pihak yang berkepentingan dengan keberadaan instituasi keuangan mikro saat ini dan masa depan. Informasi dan data yang berhasil ditangkap untuk tulisan ini sebagai besar mencatat fenomena di wilayah Jawa sehingga sangat mungkin tulisan singkat sangat bias Jawa. Insitusi Keuangan Mikro : Sebuah Pengertian Pengertian institusi sering dirancukan dengan pengertian organisasi atau lembaga dan istilah tersebut dalam keseharian sering digunakan secara bergantian. Padahal kedua istilah tersebut sebenarnya memiliki pengertian yang berbeda. Ada berbagai definisi atau pengertian mengenai institusi. Dalam tulisan pendek ini, institusi didefinisikan sebagai tata kelakukan yang terorganisir atau mengacu pada pola prosedur 3 . Ada beberapa tekanan yang terkandung dalam istilah institusi, yaitu norma, sistem, proses (berlangsungnya pembentukan pola perilaku), hasil proses ±yang menghasilkan pola, hasil proses ±yang menghasilkan organisasi. Ragam tekanan dalam pengertian institusi berbeda dengan ragam tekanan yang ada pada pengertian organisasi yang hanya meliputi proses pengorganisasian dan hasil proses dalam bentuk badan/organisasi. Frank Knight4 PHQJNDWHJRULNDQ LQVWLWXVL PHQMDGL GXD 3HUWDPD LQVWLWXVL \DQJ GLEHQWXN ROHK µWDQJDQ \DQJ WHUOLKDW¶ Institusi dalam kategori ini bukan organisasi atau lembaga. Kedua, institusi yang sengaja dibuat. Kategori ini mengacu pada pengertian institusi sebagai sebuah organisasi atau lembaga. Institusi pada dasarnya memiliki nilainilai untuk masyarakat umum lebih dari orang-orang yang memegang peranan (stakeholder) tertentu dari institusi itu sendiri. Institusi memiliki kumpulan stakeholder yang tersebar, sementara stakeholder dari suatu organisasi lebih sempit dan spesifik. Institusi merupakan kumpulan norma dan tingkah laku yang tahan lama dan mempunyai sejumlah tujuan yang dinilai secara kolektif, sedangkan organisasi atau lembaga merupakan struktur dari perananperanan yang dikenal dan diterima baik secara formal maupun informal. Dalam konteks aktivitas keuangan mikro, institusi dipahami sebagai norma, sistem, dan tingkah laku yang ada pada pelaku-pelaku yang memiliki kepentingan dengan aktivitas keuangan mikro. Pelaku-pelaku tersebut mempertahankan norma dan aturan di dalamnya untuk kepentingan keberlanjutan institusi, termasuk kepentingannya. Pengertian institusi ini yang lebih dominan mengawali kemunculan institusi keuangan mikro di
3
4
Wiradi, Gunawan. 1995. Analisis Kelembagaan Dalam Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Bahan diskusi dalam seminar rutin Pusat Penelitian Ekonomi Pertanian, Bogor. Knight Frank dalam Norman Uphoff ; Kemampuan Institusi dan Desentralisasi Dalam Pengembangan Pedesaan.
Indonesia, khususnya pada masa sebelum kemerdekaan. Saat itu, hampir tidak ada lembaga keuangan formal yang dikenal masyarakat. Keberadaan institusi keuangan pada saat itu dikenal masyarakat dan keberlanjutannya juga dipelihara masyarakat. Dengan kata lain institusi keuangan mikro dibangun dari, oleh, dan untuk masyarakat tanpa intervensi pihak luar. Kebanyakan institusi keuangan mikro dibangun dalam konteks pemenuhan kebutuhankebutuhan cepat, mendesak, dan income generating untuk meningkatkan kesejahteraan kelompok sasarannya. Dalam konteks ini, institusi keuangan mikro memiliki
dimensi pemerataan yang tumbuh dari bawah dan
mengandalkan kekuatan sendiri. Pada sisi tertentu institusi keuangan mikro dipandang juga sebagai bagian dari EDVLVSHQJXDWDQPDV\DUDNDWGLWLQJNDWORNDO\DQJVHULQJNDOLWLGDNGDSDW³WHUEDFD´SRWHQVLQ\DROHKVLVWHPHNRQRPL formal yang lebih besar (makro). Penguatan yang dilakukan institusi keuangan mikro di tingkat lokal juga seringkali dicirikan dengan proses tatap muka cukup intensif ±saling mengenal, saling percaya, kepentingan atau kebutuhan yang relatif sama-- yang memunculkan hubungan timbal balik di antara orang-orang yang terlibat di dalamnya. Hubungan tersebut dipercaya dapat menjadi kemampuan potensial untuk melakukan tindakan bersama (kolektif) demi kepentingan bersama (kolektif). Pada perkembangan selanjutnya sejalan dengan perkembangan aktivitas ekonomi yang dijalankan masyarakat, institusi keuangan mengalami pergeseran peranan dan format atau bentuk. Meskipun di tingkat fakta sulit membedakan secara tegas pergeseran atau perubahan format yang terjadi. Pada akhirnya penggunaan istilah institusi dan lembaga seringkali bergantian. Institusi keuangan mikro berkembang dengan berbagai variasi dari. Institusi keuangan berkembang ke arah format yang lebih formal dalam bentuk lembaga /organisasi keuangan, di dalamnya berkembang proses pengorganisasian dari nilai-nilai bersama yang kemudian dibakukan sebagai aturan bersama. Dalam konteks ini kelompok sasaran atau anggota baru mengikuti aturan main ±cenderung lebih formal-yang ada tanpa memiliki peluang untuk mempengaruhi aturan main. Berdasarkan hasil penelitian yang dirangkum dalam buku Ekonomi Rakyat5, variasi lembaga keuangan mikro yang muncul dari format informal sampai format yang sangat formal di antaranya adalah revolving fund, Karya Usaha Mandiri (KUM), koperasi, Baitul Maal Wal Tamwil (BMT), Badan Perkreditan Rakyat (BPR), dll. Tercatat bahwa dorongan perubahan format LKM dari informal menjadi formal dilatarbelakangi oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal di antaranya kebijakan organisasi/lembaga untuk menyesuaikan diri dengan luasan cakupan/jangkauan kelompok sasaran yang semakin luas. Sementara faktor eksternal berupa dorongan dari peraturan pemerintah tertentu yang mengharuskan perubahan format. Perubahan format ini kemudian menciptakan dinamika tersendiri pada keberadaan LKM selanjutnya. Masa Sebelum Kemerdekaan
5
Seldadyo, Harry dkk. 1994. Kredit Untuk Rakyat ; Dari Mekanisme Arisan Hingga BPR. Bandung: AKATIGA.
Dari sedikit publikasi yang ada, disertasi Soemitro Djoyohadikusumo 6 memberikan informasi tentang LKM pada tahun-tahun tertentu sebelum kemerdekaan (sekitar tahun 1930-an). Tercatat bahwa keberadaan institusi keuangan mikro muncul sejalan dengan aktivitas ekonomi mayoritas yang ada pada masyarakat. Pada masa sebelum kemerdekaan, institusi keuangan mikro muncul dan berperan aktif di sektor pertanian sebagai basis aktivitas ekonomi mayoritas masyarakat saat itu. Sumber kredit yang penting untuk petani pada saat itu di antaranya berasal dari saudagar atau agen-agen mereka. Mereka adalah pemborong hasil pertanian dan hortikultur untuk didistribusikan lebih lanjut di dalam negeri dan atau diekspor. Sumber kredit lain pada tahun 1930-an -- berbarengan dengan masa depresi, sebelum lahirnya Algemene Volkscredietbank (AVB) yang juga berasal dari perkreditan rakyat²adalah lumbung desa, bank desa, dan bank kredit rakyat. Pada masa ini lembaga perkreditan desa tidak memiliki status hukum tersendiri, namun lembaga tersebut sejak semula diorganisasikan sebagai badan usaha yang berdiri sendiri dan mengelola sumber-sumber keuangan sendiri Peranan kredit pada sektor pertanian dirancang seirama dengan tahapan musim dan pekerjaan yang berlaku pada sektor tersebut. Pada masa itu, kredit diberikan dalam bentuk-bentuk: 1) pinjaman padi untuk benih dan konsumsi di masa paceklik yang akan dibayar kembali saat panen dengan padi lagi sebanyak 1- 1,5 kali padi yang dipinjam; 2) pinjaman uang yang akan dibayar setelah panen ditambah padi sesuai kesepakatan sebelumnya; 3) pinjaman uang yang dibayar dengan kerja yang dianggap sepadan dengan nilai pinjaman; dan 4) pinjaman uang yang dibayar dengan uang ditambah bunga sesuai ketetapan sebelumnya. Dalam konteks itu,
perkreditan rakyat tidak
membedakan secara tegas antara kredit produksi dan kredit konsumsi. Kebutuhan riil petani pada masa itu adalah kebutuhan produksi untuk penggarapan lahannya, seperti kebutuhan terhadap bibit padi, peralatan pertanian, pupuk, sewa lahan, membeli atau menambah lahan garapannya atau membeli ternak. Perkreditan rakyat juga memainkan peranannya di dalam memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat terutama untuk memenuhi kebutuhan hidup pada masa paceklik, membeli pakaian, perabotan rumah, dll. Pada banyak kasus, dana yang berasal dari perkreditan rakyat ini seringkali juga dimanfaatkan untuk membayar utang petani kepada lintah darat. Institusi lain di luar perkreditan rakyat yang ada pada tahun-tahun berikutnya adalah bank rakyat. Peran yang dimainkan bank rakyat, selain peran-peran yang juga dimainkan institusi perkreditan rakyat, adalah pemberian kredit bagi masyarakat atau orang bergaji untuk kegunaan sosial dalam kurun waktu yang lebih panjang. Dana tersebut dimanfaatkan untuk pembelian harta tidak bergerak yang akan dimanfaatkan setelah masa pensiun sehingga peminjam bisa memperoleh penghasilan tambahan dari pemilikan sawah. Melalui kepemilikan harta tidak bergerak LQLGLKDUDSNDQµRUDQJEHUJDML¶MXJDWHUEebas dari lintah darat.
6
Djojohadikusumo, Soemitro. 1989. Kredit Rakyat Di Masa Depresi. Jakarta: LP3ES.
Pada masa depresi intitusi perkreditan kecil maupun bank-bank rakyat tidak dapat menjalankan perannya secara utuh. Pada masa ini orang-orang atau lembaga-lembaga tidak berani memberikan pinjaman untuk kebutuhan produktif maupun konsumtif, karena persentasi nilai tunggakan sangat tinggi. Jikapun masih dialirkan kredit maka persyaratannya menjadi sangat berat. Kondisi ini menjadi masalah berat bagi masyarakat hampir di semua level. Ketika itu, ada beberapa kebijakan yang keluar dan VLIDWQ\D WLGDNµQDVLRQDO¶ DWDX VHUDJDP XQWXNVHOXUXK ZLOD\DK namun muncul dari wilayah-wilayah tertentu dengan maksud memotivasi debitur membayar tunggakkannya. Salah VDWX NHELMDNDQ \DQJ FXNXS WHUNHQDO DGDODK µ.HELMDNDQ .DUDZDQJ¶ DWDX µ.HELMDNDQ $JXVWXV¶ Kebijakan ini muncul diawali proses penelitian individual untuk menjaring dan menemukan penyebab tunggakan, mengklasifikasikan faktor penyebabnya dari yang tidak mampu hingga yang tidak mau, serta membuat peraturan pembayaran yang realistis sesuai faktor-faktor penyebab. Salah satu sistem pembayaran kembali yang cukup berhasil dan tetap dikembangkan sampai saat ini adalah sistem pembayaran tunggakan dengan asas kolektivitas. Dalam sistem ini, institusi keuangan memandang komunitas desa sebagai suatu keseluruhan organis dan berusaha memanfaatkan rasa kebersamaan yang hidup di dalamnya untuk membangun tanggung jawab dan kontrol bersama. Salah satu cara yang dibangun untuk mencapai hal tersebut adalah melakukan perkumpulan/pertemuan warga yang cukup intensif. Lembaga kredit lain yang bersifat formal mulai muncul pada akhir abad 19 dalam bentuk Bank Bantuan dan Tabungan Pegawai Pemerintah Bangsa Indonesia. Bank tersebut didirikan oleh R. Bei Aria Wirjaatmadja di Purwokerto, selanjutnya disebut Bank Purwokerto. Tujuan utama pendirian lembaga kredit formal ini adalah membebaskan para pegawai pemerintahan dari rentenir dan pengijon. Bank Purwokerto dianggap sebagai cikal bakal perkembangan bank di Indoensia. Bank ini memberikan pelayanan kredit bagi pegawai negeri pribumi, tukang, dan pertani. Catatan yang menarik adalah bank menetapkan persyaratan penggunaan uang kepada para nasabahnya. Syaratnya adalah kredit tidak boleh dipinjamkan lagi kepada orang lain untuk mencari bunga yang lebih tinggi, tidak boleh digunakan untuk membiayai pesta yang tidak perlu, dan tidak boleh digunakan untuk membeli perhiasan. Kredit harus digunakan untuk kegiatan produktif. Pada tahapan ini lembaga keuangan mulai µPHPLVDKNDQ¶ NHEXWXKDQ SURGXNWLI GDQ NRQVXPWLI 6D\DQJQ\D WLGDN DGD LQIormasi yang menjelaskan bagaimana membangun mekanisme untuk memastikan pengguna kredit menggunakan kreditnya sesuai ketentuan bank dan respons-respons apa yang muncul dari pengguna akibat pemisahan kebutuhan tersebut. Pada tahun 18987, di pedesaan, didirikan lembaga perkreditan yang memberikan pinjaman natura dalam bentuk padi untuk kebutuhan pangan ketika paceklik atau untuk bibit ketika musim tanam tiba juga untuk memberantas rentenir. Lembaga ini kemudian berkembang menjadi lumbung desa yang dibentuk dari dan oleh masyarakat desa sendiri.
7
Lihat Suharto, Pandu. 1991. Peran, Masalah, dan Prospek Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta: LPPI; dan Suharto, Pandu. 1987. Masalah dan Prospek Bank Pasar. Jakarta: LPPI.
Pengurus lumbung desa adalah sebuah komisi yang terdiri dari kepala desa, juru tulis, dan 2 orang wakil warga desa. Kredit diberikan kepada warga desa oleh komisi tersebut. Lumbung desa menetapkan bunga pinjaman sebesar 25% sebagai pemupukan modal untuk keberlanjutan aktivitasnya. Lumbung desa dikontrol kecamatan. Pada tahun 1904 lumbung desa secara perlahan beralih fungsi menjadi Badan Kredit Desa (BKD) yang mengubah bentuk pinjaman natura menjadi pinjaman uang. Peralihan fungsi ini terjadi karena kebutuhan akan uang meningkat. Sampai tahun 1937 tercatat ada 7.714 BKD dan setelah merdeka tinggal 3.325. Kini BKD tidak berkembang lagi karena beberapa sebab, di antaranya manajemen, tata kerja, dan kegiatannya tidak berubah serta sifat pinjamannya yang statis dianggap tidak cukup berhasil meningkatkan kesejahteraan. Masa Setelah Kemerdekaan Perkembangan LKM setelah kemerdekaan tampaknya cukup pesat dan banyak variasinya. Hal ini tidak terlepas dari kebijakan pembangunan pemerintah saat itu yang memberikan banyak dukungan terhadap pengembangan usaha. Pada periode 1945-1950, Indonesia yang baru merdeka tengah menata sistem bernegara secara keseluruhan termasuk sistem ekonominya. Pada saat itu pemerintah menerapkan kebijakan liberalisasi sistem ekonomi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Model ini memberikan banyak lisensi istimewa kepada pengusaha. Pada awal kemerdekaan pemerintah dituntut merealisasikan janji kemakmuran setelah merdeka. Pada 1959-1965, situasi politik di Indonesia tidak menguntungkan bagi pengusaha karena terombang-ambing dalam dinamika politik yang cukup tajam dan berakhir dengan pergantian presiden. Peraturan kebijakan ekonomi yang muncul saling tumpang tindih. Pada 1965-90-an merupakan era pembangunan. Pada era ini pemerintahan baru menerapkan kebijakan pintu terbuka bagi peningkatan pertumbuhan ekonomi. Pemerintah memberikan berbagai fasilitas kepada para pengusaha melalui berbagai kebijakan yang menguntungkan, termasuk upaya-upaya untuk mendorong pertumbuhan perekonomian di pedesaan. Pada masa ini pemerintah mengintrodusir berbagai bentuk lembaga kredit yang beroperasi di desa, seperti Koperasi Unit Desa (KUD) , Badan Usaha Unit Desa (BUUD), Badan Kredit Kecamatann (BKK) dll. Dari sisi kelembagaan, setelah merdeka, AVB menjadi BRI yang memberikan kredit kecil dan kredit pedesaan. Pandu Suharto8 mencatatat perkembangan penting pada periode 1970-an. Setelah ordonansi Badan Kredit Desa (BKD) dan peraturan lainnya tentang BKD dicabut, di Jabar muncul bank ±bank desa. Bank desa ini dibentuk dengan tujuan: 1) menggerakkan, mengembangkan, dan meningkatkan produksi serta daya tukar masyarakat desa; 2) mencegah aliran uang dari desa ke kota; 3) menghimpun dana dari masyarakat desa dan mengalirkannya kembali dalam berbagai bentuk kredit; 4) membantu pemerintah membangun ekonomi desa dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat desa. Hingga akhir 1988 di Jabar terdapat 217 BKPD. Namun, pada tahun 1970 muncul larangan untuk mendirikan BKPD baru dalam rangka penertiban BPR sehubungan dengan akan diundanngkannya 8
Suharto, Pandu. 1988. Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat. Jakarta: LPPI;
UU N0.14 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Perbankan. Namun demikian, Gubernur Kepala Daerah dapat mendirikan lembaga atau badan perkreditan baru sebagai penyalur kredit di daerah masing-masing untuk membantu rakyatnya. Merespons peluang ini, di Jabar didirikan lembaga perkreditan nonbank yang disebut Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LKPD). Di Jateng didirikan Badan Kredit Kecamatan (BKK), di Jatim KURK, di Sumatera Barat Lumbung Pitih Nagari (LPN), di Bali Lembaga Perkreditan Desa (LPD). Lembaga-lembaga ini memberikan pinjaman dengan tingkat bunga rata-rata 24%-45% per tahun dengan sistem angsuran pasaran, mingguan, atau 2 mingguan. Dalam konteks ini nampak bahwa masing-masing wilayah berusaha mendirikan LKM \DQJ µVHVXDL¶ GHQJDQ kebutuhan wilayahnya. Nama lembaga, prosedur, dan mekanisme yang dijalankannya disesuaikan dengan masyarakat dan wilayah yang menjadi target sasarannya. Namun, kemudian pemerintah memandang badan-badan perkreditan tersebut memiliki tujuan dan cara kerja yang sama dengan BPR maka pemerintah mencoba melakukan µSHQ\HUDJDPDQ¶ GHQJDQ GLEHUODNXNDQQ\D EHUEDJDL NHELMDNDQ PRQHWHU GDQ SHUEDQNDQ SDGD WDQJJDO 2NWREHU 1988. Lembaga-lembaga tersebut secara de fakto kemudian berubah menjadi BPR. Tidak ada data yang PHPSHUOLKDWNDQEHUDSDEDQ\DNOHPEDJD\DQJDGDµPDPSX¶PHPHQXKLSHUV\DUDWDQPHQMDGL%35VHVXDLNHWHQWXDQ Namun, beberapa tulisan memperlihatkan dampak yang tampak dari perubahan tersebut adalah perubahan prosedur dan mekanisme dari yang spesifik atau khas wilayah menjadi prosedur dan mekanisme sesuai ketentuan pemerintah yang berlaku. Dari sisi pemerintah, perubahan tersebut memudahkan pengawasan, namun dari sisi masyarakat perubahan ini menyebabkan mereka harus berhadapan dengan prosedur perbankan yang kerap menjauhkan mereka dari sumber kredit yang dibutuhkan. Kebijakan penting lainnya pada periode tahun 1970-an adalah peluncuran paket kredit masal untuk mendukung program intensifikasi padi sawah, dalam bentuk kredit bimbingan massal (Bimas). Kredit ini diberikan kepada para petani untuk meningkatkan produksi sawahnya dalam kerangka mewujudkan swasembada beras. BRI menjadi satusatunya institusi yang diserahi tanggung jawab menyalurkan kredit Bimas. Program ini kemudian menjadi cikal bakal pembentukan BRI Unit Desa. Dalam konteks ini, unit desa dimaknai sebagai keadaan agro ekonomi masyarakat desa yang memiliki fungsi penyuluhan, perkreditan, penyaluran sarana produksi, pengelolaan, dan pemasaran hasil pertanian. Pada awalnya, BRI-UD ini hanya menjadi penyalur kredit Bimas. Seluruh dana BRI-UD berasal dari pemerintah. Namun pada tahun 1974, BRI-UD diberi tugas tambahan unutk menyalurkan paket kredit mini dan paket kredit midi. Penambahan tugas ini secara perlahan menggiring BRI-UD menjadi lebih mirip BPR. Kemiripan ini setidaknya terlihat dari dua sisi. Pertama, paket kredit mini dan midi yang diberikan BRI jelas menyasar kelompokkelompok masyarakat berpenghasilan rendah. Plafon kredit yang diberikan dalam kedua paket tersebut antara Rp200.000 s.d. Rp500.000 dengan tingkat suku bunga rata-rata 12% per tahun. Kedua, BRI menyederhanakan prosedur pelayanannya jadi lebih fleksibel dan mudah diakses nasabahnya.
Periode 1980-an mencatat dinamika tersendiri. Kebijakan ekonomi Indonesia pada tahun 1980-an berbasis trilogi pembangunan dengan pilar pertumbuhan, pemerataan, dan stabilitas. Basis pembangunan ini pada kenyataannya menciptakan jurang cukup tajam antara akses masyarakat kelas atas ±termasuk pengusaha besar-- dan akses kelompok-kelompok kelas bawah ±termasuk pelaku usaha kecil dan mikro. Kesenjangan terjadi terutama dalam alokasi pembiayaan usaha rakyat, kerumitan manajemen, dan regulasi yang tidak kondusif di dalam sumber-sumber atau institusi pembiayaan. Beberapa kebijakan pemerintah pada masa ini sempat dikeluarkan untuk memperkecil jurang yang terjadi atau paling tidak memperkecil suara kelompok yang mempertanyakan secara kritis kesenjangan akses yang terjadi. Namun ternyata pada masa ini berkembang pula bentuk-bentuk lain dari pembiayaan bisnis rakyat dengan berbagai variasinya ±baik tradisional maupun dalam bentuk-bentuk yang lebih modern. Institusi SHPEL\DDQ µWUDGLVLRQDO¶ PHUXSDNDQ LQVWLWXVL \DQJ GLRUJDQLVDVLNDQ ROHK GDUL GDQ XQWXN PDV\DUDNDW VHQGLUL WDQSD kebijakan negara, agen-agen atau institusi pembangunan luar. Dalam bentuk yang lain, di samping di jaring melalui intervensi dan pengorganisasian kelompok-kelompok bisnis masyarakat oleh institusi Lembaga Swadaya Masyarakat. Pada masa ini bisnis rakyat mulai dipertemukan dengan institusi-institusi pembiayaan modern. Varian LQVWLWXVLEHUNDUDNWHUµWUDGLVLRQDO¶VDPSDLµPRGHUQ¶SDGDPDVDLQLGLLVLROHKNHJLDWDQDULVDQ revolving fund, koperasi, BPR. Pada tingkat realita, terjadi proses dialektika antara institusi atau agen pembangunan luar dan institusi rakyat sendiri. Khusus dalam pembiayaan bisnis rakyat, proses dialektika ini menampilkan keragaan yang tipikal. Hal spesifik yang dimunculkan pembiayaan bisnis rakyat adalah pelayanan penyaluran dan penarikan dana yang cukup berbeda²jika tidak bisa dikatakan sangat berbeda²dengan keragaan institusi pembiayaan baku yang dijalankan bank-bank NRPHUVLDO 6HEDJDL VHEXDK DNWLYLWDV ELVQLV LQVWLWXVL SHPELD\DDQ UDN\DW LQL MXJD PHQJHPEDQJNDQ VLVWHP µDWXUDQ¶ main dalam berinteraksi yang memungkinkan terjadinya kontrol dari pengguna jasa kepada lembaga pemberi pelayanan. Tipikal lain yang khas dikembangkan institusi pembiayaan rakyat adalah mengaksentuasikan sumber-sumber potensi masyarakat di tingkat lokal. Praktek-praktek pembiayaan usaha rakyat ini sesungguhnya memantulkan dimensi pemerataan pembangunan yang tidak dicanangkan sisi mainstream. Dimensi ini muncul dari basis yang paling penting dan menentukan, yaitu masyarakat sendiri. Dari sisi pendekatan, gerakan ini dapat dinilai sebagai gerakan memperjuangkan kesejahteraan lokal yang mengandalkan kekuatan lokal tanpa melepaskan keterlibatan sistem penguat dari luar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada. Pada tahun 1980-an muncul varian baru LKM, yaitu lembaga pendanaan berbasis syariah. Embrionya lahir di Bandung dalam bentuk Baitul Tamwil ± Salman Bandung (BT-SB)9. BT-SB ini muncul sebagai respons kelompok 9
PINBUK. 1988. Pedoman Cara Pembentukan BMT: Baitul Maal Watamwil Balai Usaha Mandiri Terpadu. Jakarta: PINBUK.
muslim yang mengharamkan riba dalam praktek perbankan. Pada perkembangannya kemudian BT menjadi salah satu alternatif bagi usaha kecil-mikro mengakses kredit untuk memenuhi kebutuhan modal. Bank syariahnya sendiri mulai berkembang sejak diberlakukannya UU No. 7/1992 tentang perbankan yang memberi peluang didirikannya bank syariah. Hingga tahun 1999 tercatat ada 45 bank syariah. Sementara BT sebagai embrio bank syariah juga tumbuh menjamur di berbagai daerah di Indonesia Namun demikian, dari sekian banyak lembaga perkreditan formal, bank dan bukan bank, masih belum sepenuhnya mampu melayani dan diakses kelompok masyarakat kecil, sekalipun telah ada ketentuan bagi bank untuk menyalurkan 20% kredit kepada usaha kecil. Pada tahun 1992 jumlah kredit yang disalurkan kepada usaha kecil baru mencapai 3%-5% dari jumlah yang semestinya 10 . Data Riza primahendra pada bagian awal tulisan ini menunjukkan ketidak mamuan bank melayani usaha kecil dan mikro sehingga usaha kecil mengakses LKM informal. ADB11 mencatat ada empat tipe sumber keuangan informal, yaitu 1) pinjaman langsung dari teman dan keluarga; 2) kredit tanpa ikatan dari pelepas uang, pegadaian, dan lembaga keuangan bukan bank lainnnya; 3) kredit terikat yang dikaitkan dengan transaksi lain, misal kredit yang diberikan oleh pemasok bahan mentah untuk produsen kecil, kredit dari tengkulak, dll; 4) pembiayaan berkelompok. Masih menurut studi ADB, ada dua hal yang menyebabkan LKM informal bisa berkembang. Pertama, seperti halnnya lembaga keuangan formal, lembaga keuangan informal berjalan atas dasar prinsip kepercayaan yang timbal balik. Bahkan LKM informal bekerja di luar pengawasan pemerintah dan peraturan hukum dagang. Nama baik, watak, ikatan persaudaraan, dan hubungan persaudaraan menjadi jaminan tak nyata yang cukup mengikat di antara mereka. Kedua, hubungan pinjam-meminjam dibangun di DWDV³SHUDVDDQEHUVDPD´\DQJEHUVXPEHUGDULVROLGDULWDVNHNHluargaan, persaudaraan, dan kemasyarakatan. Kebijakan-Kebijakan Yang Mempengaruhi Perkembangan LKM Tercatat banyak kebijakan yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perkembangan LKM. Paling tidak terdapat tiga kebijakan yang dianggap sangat penting dan berpengaruh terhadap sistem pembiayaan formal dan informal di Indonesia, yakni deregulasi Juni 1983 (Pakjun), Oktober (Pakto) 1988 dan Januari (Pakjan) 1990. Deregulasi-deregulasi tersebut berorientasi pasar yang memberi peluang kepada pengusaha nasional untuk memobilisasi faktor-faktor produksi agar menghasilkan sejumlah barang dan jasa sekaligus merupakan upaya mengoptimalkan kapasitas produksi nasional serta mengoreksi kekurangan deregulasi sebelumnya.
10 11
Sadoko, Isono. 1995. Pengembangan Usaha Kecil: Pemihakan Setengah Hati. Bandung: AKATIGA Martokoesoemo, Soeksmono Besar. 1995. Di luar Batas Sektor Perbankan dan Keuangan Formal di Indonesia. Jakarta: Institut Bankir Indonesia.
Deregulasi Juni 1983 menjadi cikal bakal dinamika ekonomi propasar. Pakjun ini merupakan antisipasi menurunnya oil boom. Salah satu dampak dari deregulasi ini adalah meningkatnya kemampuan bank memobilisasi dana hingga mencapai 25% per tahun. Pada saat itu terjadi boom dana yang kemudian dialokasikan melalui kredit perbankan12 Di antara kebijakan yang muncul, Paket Oktober 1988 menjadi momen penting untuk aspek kelembagaan dan penciptaan sistem yang diorientasikan untuk memobilisasi lebih optimal dana masyarakat. Salah satu dampak paling penting dari Pakto 27 tahun 1988 adalah perambahan jumlah bank dan perluasan cabang-cabang (kantor) bank komersial, termasuk BPR. Perkembangan dan percepatan pendirian BPR diharapkan dapat mempercepat proses moneterisasi perekonomian desa dan mengintegrasikan perekonomian desa dengan perekonomian kota. Dalam kebijakan ini termuat peluang kemudahan dalam pembentukan Lembaga Keuangan Bukan Bank (LKBB). Dampak dari kebijakan ini antara lain perkembangan pesat dari sisi kelembagaan, mobilisasi dana, aktivitas perkreditan, dan meningkatnya kepercayaan masyarakat terhadap perbankan. Akan tetapi, kebijakan percepatan pertumbuhan lembaga keuangan bukan bank saat itu tidak disertai dengan monitoring dan kontrol yang baik dan ketat sehingga kebijakan ini akhirnya menimbulkan mobilisasi dan DORNDVLGDQDPDV\DUDNDW\DQJµMRUMRUDQ¶ +DOLQL SDGDDNKLUQ\D menimbulkan kerugian tidak saja pada para nasabah tetapi juga merugikan perekonomian Indonesia secara menyeluruh. Ini nampak jelas pada situasi krisis ekonomi yang terjadi , bahwa dari sekian banyak lembaga keuangan yang berdiri, hanya beberapa saja yang terbukti sehat dan kredibel. Kebijakan lain yang cukup berpengaruh terhadap dinamika aktivitas usaha kecil dan ekonomi rakyat adalah Kebijakan Paket Januari 1990. Isu utama dalam kebijakan ini selain penarikan Kredit Likuiditas Bank Indonesia (KLBI) yang disalurkan kepada bank-bank nasional adalah kewajiban bagi bank-bank menyalurkan minimal 20% kreditnya untuk usaha kecil. Kepada petani, perbankan diharuskan memberikan Kredit Usaha Tani sebesar 16% yang disalurkan melalui BRI dan KUD13. Semangat dari kebijakan ini adalah memberi peluang dan akses kredit kepada usaha kecil dan menengah. Namun demikian, kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam kebijakankebijakan tersebut ternyata menimbulkan persoalan baru. Banyak bank tidak terbiasa melayani dan berurusan dengan nasabah kecil dengan plafon kredit yang kecil pula sehingga membutuhkan penyesuaian diri untuk mengimbangi kebijakan yang ada. Bank memperlakukan usaha kecil seperti usaha besar dengan memberlakukan prosedur, tingkat bunga komersil, dan nilai agunan seperti kepada usaha besar. Akibat ketidakpahaman tersebut, banyak kendala yang muncul dan tetap menyisakan persoalan rendahnya akses kredit bagi pelaku-pelaku usaha rakyat. Di tengah persoalan-persoalan yang tetap muncul, terbukti istitusi perkreditan rakyat tetap survive karena mereka mempunyai pemahaman utuh terhadap konteks tempat mereka berada dan kelompok sasarannya.
12 13
Lihat, Seldadyo. 1994:11. Kredit Untuk Rakyat Dari Mekanisme Arisan Hingga BPR. Bandung: AKATIGA. Basri, Faisal. Dkk. 1998. 3UR\HNVL(NRQRPL¶,1'()0RQRSROLGDQ'LVWRUVL(NRQRPL. Jakarta: Sinar Harapan.
Paket kebijakan Januri 1990 disempurnakan dengan paket Mei 1993 yang memberikan kelonggaran bagi sektor perbankan untuk memberikan kredit kepada dunia usaha melalui pelonggaran ketentuan Kredit Usaha Kecil (KUK). Kelonggaran yang dihasilkan dari paket ini terhadap KUK antara lain plafonnya mencapai Rp 250 juta, jumlah maksimum kredit kecil mencapai Rp 25 juta dan dapat diberikan untuk berbagai keperluan, KLBI untuk KUK diperhitungkan dalam KUK, dan bank yang belum memiliki portofolio kredit untuk KUK dapat membelinya dari bank lain. Namun demikian, kelonggaran ini tidak dapat sepenuhnya dimanfaatkan usaha kecil karena pertambahan jumlah kredit ternyata mensyaratkan pertambahan jaminan dan persyaratan formal lainnya yang tidak dapat dipenuhi langsung oleh usaha kecil. Usaha besarlah yang kemudian memanfaatkan kemudahan tersebut secara optimal. Usaha kecil kembali memanfaatkan institusi kredit mikro, untuk memenuhi kebutuhannya. LKM pada perkembangan selanjutnya cukup berkembang pesat. Belum ada studi yang mencoba melihat secara spesifik faktor apa yang mendorong perkembangan LKM. Apakah mereka tumbuh karena memang kemampuan dan kepekaannya dalam merespon kebutuhan masyarakat yang ada atau lebih merupakan dampak dari kebijakankebijakan yang memberi tekanan pada percepatan pertumbuhan LKM (bank dan non-bank, formal dan non-formal)? Menurut data Bank Indonesia terakhir (th. 2000)14 saat ini setidaknya terdapat 53.644 LKM, mulai dari varian bank, koperasi, lembaga kredit, BMT, dan pegadaian sedangkan LKm nonbank berjumlah 42.186 unit. LKM tersebut mampu memberikan pelayanan kredit terhadap lebih kurang 27.000.000 nasabah dengan total jumlah pinjaman Rp24.443.594.000. Namun demikian, masih banyak kelompok usaha kecil dan mikro serta masyarakat berpenghasilan rendah yang belum terlayani. Kenyataan ini pada satu sisi memperlihatkan kecilnya akses dan pelayanan bagi usaha kecil tetapi di sisi lain kondisi ini menjadi peluang bagi LKM untuk berkembang. Apalagi keberadaannya dekat dengan masyarakat dan mudah direplikasi serta cenderung mendapat dukungan dari berbagai lembaga baik di dalam maupun di luar negeri. Seharusnya dengan jumlah yang besar problem plaku ekonomi kecil dan mikro dan masyarakat berpenghasilan rendah pada umunya bisa memenuhi kebutuhannya untuk mengakses terhadap sumber-sumber kredit bagi kelangsungan hidup maupun usahanya. Perkembangan terakhir saat ini dari LKM berkaitan dengan rencana pemerintah ±dalam hal ini Departemen Keuangan, Kantor Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dan Bank Indonesia²adalah persiapan Rancangan Undang-Undang (RUU) LKM. Dalam waktu dekat RUU LKM ini akan diajukan pemerintah ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika RUU disetujui, pemerintah berharap LKM menjadi suatu lembaga keuangan alternatif yang dilindungi keberadaannya oleh undang-undang 15 . Perlindungan pada LKM menjadi kepentingan pemerintah saat ini. Namun, pada umumnya perlindungan mensyaratkan satu standar tertentu yang memudahkan
14 15
Direktorat Pengawasan BPR ± Bank Indonesia, Makalah Lokakarya Nasional Pengembangan dan Perkuatan LKM, Jakarta 17 Juli 2001. Pengarahan Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah Pada Acara Lokakarya Nasional Pengembangan dan Perkuatan LKM, Jakarta 17 Juli 2001.
pemerintah melalukan fungsi monitoring dan kontrol yang melekat pada fungsi perlindungan yang diberikannya. Konsekuensi logisnya adalah standarisasi persyaratan, mekanisme, dan prosedur yang harus dijalankan LKM yang ada. Pertanyaannya adalah bagaimana jika perlindungan pada LKM justru berdampak terjauhkannya lembaga tersebut dari target sasarannya selama ini? Apakah perlindungan memang sesuatu yang diharapkan LKM saat ini? Apakah perlindungan yang akan diberikan pemerintah dapat membantu aktivitas perekonomian mikro dalam memenuhi atau mendekatkan mereka terhadap sumber-sumber kredit atau justru sebaliknya ? Catatan Pembelajaran Dengan berbagai dinamikanya LKM masih bisa bertahan sampai saat ini. Hal ini mengindikasikan bahwa LKM masih dibutuhkan, namun di balik peluang yang ada, LKM sendiri masih menghadapi masalah, baik secara internal maupun eksternal. Masalah-masalah internal yang dihadapi LKM di antaranya kualitas SDM yang terbatas, kurangnya inovasi, keterbatasan teknologi dan informasi, kelemahan sistem prosedur, permodalan, dan pendanaan dalam pengembangan usaha. Di sisi eksternal masalah yang dihadapi di antaranya adalah pengawasan dan pembinaan, persaingan dengan berbagai program kredit bersubsidi milik pemerintah, relatif rendahnya tingkat kepercayaan ±VHEDJDLGDPSDNNDVXVNHWHUOLEDWDQ/.0\DQJGLMDGLNDQµWRSHQJ¶GDODPSHQ\DOXUDQEHUEDJDLSURJUDP Kredit Usaha Tani (KUT), Jaring Pengaman Sosial (JPS),dll--, infrastruktur pendukung yang belum optimal. LKM saat ini masih menempatkan dirinya sebagai bagian dari sistem keuangan formal, belum sepenuhnya menempatkan diri sebagai bagian yang dari kebutuhan target sasarannya. Hal ini mengharuskan LKM bertidak sebagai lembaga keuangan formal yang mensyaratkan prosedur dan mekanisme formal baku yang standar. Implikasinya, LKM harus tegas memisahkan bantuannya hanya untuk kepentingan produktif, tidak bercampur dengan kebutuhan konsumtif. Padahal, dinamika ekonomi mikro pada banyak kasus justru memperlihatkan pelaku usaha mikro dan kecil masih tidak memisahkan antara keuangan maupun kebutuhan usaha dan konsumtif. Fakta sejarah membuktikan hal tersebut, bagaimana institusi keuangan mikro juga berperan dalam situasi paceklik dan melepaskan keterikatan petani dan pelau usaha mikro dari cengkeraman lilitan rentenir. Hal ini menjadi tantangan LKM pada masa depan. Bagaimana dalam kecenderungan format formalnya, LKM masih tetap peka terhadap dinamika dan permasalahan dan target kelompok sasarannya. Masalah lain yang dihadapi LKM adalah networking. Kebanyakan LKM masih lemah dalam pengembangan jaringannya. Masing-masing LKM cenderung bekerja sendiri-sendiri dan mengakumulasi pengalamannya untuk VHQGLUL FHQGHUXQJ DV\LN GHQJDQ WDUJHW VDVDUDQQ\D \DQJNHFLO GDQ VSHVLILN GDQ FHQGHUXQJ µPHQJDPDQNDQ¶ WDUJHW VDVDUDQQ\DGDULµVHQWXKDQ¶NHORPSRNODLQ.HEHUDGDDQ/.0\DQJWHODKODPDDGD dan menyebar di seluruh Indonesia seharusnya menjadi kumpulan pengalaman bahkan kekuatan besar untuk mendukung aktivitas keuangan mikro, kecil, dan masyarakat berpenghasilan rendah pada umumnya. Hal ini berkait dengan kebutuhan teknologi informasi
yang sederhana dan memungkinkan LKM saling berhubungan untuk mengkomunikasikan berbagai pengalaman, kebijakan-kebijakan internal yang di lakukan, persoalan-persoalan yang dihadapi, penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah lokal, maupun keberhasilan atau kegagalan penerapan kebijakan-kebijakan pemerintah lokal yang berdampak pada perkembangan LKM ke depan. Hal ini tentunya sejalan dengan arus desentralisasi yang berjalan saat ini. Perjalanan sejarah mencatat bahwa hal ini juga sesuai dengan tipikal khas yang dimiliki dan dikembangkan institusi pembiayaan rakyat, yaitu mengaksentuasikan sumber-sumber potensi-potensi masyarakat di tingkat lokal yang di dalmnya memantulkan dimensi pemerataan pembangunan yang tidak dicanangkan sisi mainstream. Akan tetapi justru dimulai dari basis yang paling penting dan menentukan yaitu masyrakat sendiri. Dari sisi pendekatan, gerakan ini dapat dinilai sebagai gerakan memperjuangkan kesejahteraan lokal yang mengandalkan kekuatan lokal tanpa melepaskan keterlibatan sistem penguat yang berasal dari luar berkaitan dengan keterbatasan-keterbatasan yang ada. Perjalanan waktu memperlihatkan bahwa kreativitas dan inovasi (baca : dalam penggalian potensi dan resources lokal) menjadi faktor penting di dalam aktivitas dan keberlangsungan LKM. Peranan LSM tercatat sebagai bagian yang memperkenalkan atau mempertemukan LKM dengan institusi-institusi pembiayaan modern. Idealnya SHQJDODPDQLQLPHQMDGLEDVLV/.0PHPRPSDSURIHVLRQDOLWDVQ\DWDQSDKDUXVµPHQLQJJDONDQ¶NDUDNWHULVWLNNKDVQ\D yang mampu menemukenali persoalan dan kebutuhan target sasarannya dengan mengubah sistem, prosedur, mekanisme yang pada akhirnya justru menjauhkan LKM dari target sasarannya. Hal lain yang penting dicatat dari perjalanan LKM selama ini adalah kemampuannya dalam mengembangkan asas kolektivitas. Dalam sistem ini, institusi keuangan memandang komunitas atau kelompok sasarannya sebagai suatu keseluruhan organis dan berusaha memanfaatkan rasa kebersamaan yang hidup di dalamnya untuk membangun tanggung jawab dan kontrol bersama. Hal ini penting dicatat bahwa monitoring dan kontrol yang paling efektif EHUDVDOGDULµRUDQJ¶DWDXµNRPXQLWDV¶WHUGHNDWQ\DGDODPKDOLQLDGDODKNHORPSRNVDVDUDQQ\D0RQLWRULQJGDQNRQWURO pemerintah dalam berbagai format kebijakannya tidak akan mampu menandingi kontrol yang berasal dari masyrakat terdekatnya. Hal ini juga menjadi catatan penting yang harus diantisipasi dampaknya berkaitan dengan rencana munculnya RUU yang masih kental bernafaskan pengaturan, kontrol, dan penyeragaman. Peranan pemerintah masih sangat dibutuhkan LKM dengan berbagai penyesuaian terhadap perubahan arus yang terjadi saat ini. Pemerintah hendaknya menyusun kebijakan yang dapat mendorong lebih aktif pengembangan LKM informal, khususnya bentuk-bentuk pembiayaan berdasarkan solidaritas, ikatan kekeluargaaan, persaudaraan, dan kemasyarakatan. Pemerintah harus mengubah perannya dari pelaksana beerbagai program/proyek keuangan mikro menjadi fasilitator dan promotor keuangan mikro serta mampu menghentikan capital flow dari desa. Ada legal and leguratory framework bagi LKM disertai supporting institution agar LKM lebih leluasa menjangkau kelompok
sasarannya. Di sisi lain, pemerintah juga harus memberikan jaminan pada aksesibilitas untuk nasabah LKM, yang tampaknya tidak terlalu disentuh dalam RUU yang rencananya akan dikeluarkan beberapa waktu ke depan.
LKM BERBASIS HBK: GESER-MENGGESER BIAYA SOSIAL Oleh : Budi Baik Siregar1
TINJAUAN UMUM
Wacana keuangan mikro, sesungguhnya sudah mencapai final alias secara teoritik telah mengalami kejenuhan. Singkat saja, keuangan mikro itu pasar uang yang marginal, sarat risiko, dan biaya tinggi. Sistem pelayanannya tidak sama dan tidak bisa disamakan deQJDQSHUEDQNDQXPXP6HSHUWLNDWD/HGJHUZRRG ³microfinance is QRWDVLPSO\EDQNLQJLW¶VDGHYHORSPHQWWRRO2´. Dengan logika benefit-cost ratio keuangan mikro tak menarik bagi pemodal, apalagi statistik paling akhir memperlihatkan pangsa pasar kredit mikro tak terlalu signifikan3. Walau begitu, semua peminat juga mafhum keuangan mikro potensial sekaligus strategis bukan hanya dalam perspektif pasar uang dan ekonomi secara umum, melainkan juga dalam konteks wacana politik dan moral: keadilan, pemerataan, dan kemanusiaan. Lebih dari 30 juta unit usaha di Indonesia (98%) belum terlibat dalam pasar uang dalam pengertian umum dan memerlukan usaha-usaha pengembangan. Jika pasar tak relevan melakukannya, maka keuangan mikro harus diletakkan dalam perspektif yang lebih luas sehingga beragam kepentingan turut dipertimbangkan dan ambil bagian secara proporsional. Yang pasti, keuangan mikro tidak hanya memerlukan penataan sistem (regulasi dan penegakannya) yang memberi jaminan dan kemudahan bagi para pelaku dari beragam ranah kelembagaan untuk bekerja di dalamnya, tetapi memerlukan investasi sosial (cost of development)
untuk penyediaan pelayanan dan penyelenggaraan program-program. Demikianlah
teori
keuangan mikro. Bahwa teori semacam itu tak terwujud menjadi kenyataan secara teoritik hal itu juga sudah jenuh. Dalam konteks masa lalu diketahui masalah utama bersumber dari ranah politik. Penyelenggara kekuasaan negara (pemerintah) enggan membagi tanggung jawab secara proporsional kepada masyarakat. Apa yang seharusnya dapat ditanggung oleh masyarakat secara mandiri justru diambil-alih oleh pemerintah melalui struktur birokrasinya yang korporatis. Tujuannya tak lain demi penguasaan atas sumber-sumber politik. Pemerintah bukan tak mengeluarkan biaya besar untuk pengembangan keuangan mikro, namun biaya itu hanya boleh tersalur selama berada di dalam jalur kendali politiknya. Intervensi lalu berbiaya tinggi karena di dalamnya terjadi perebutan manfaat dan geser-geser risiko inter dan antar ranah kelembagaan. Kemarginalan lalu terlestarikan. Komunitas-komunitas lokal yang menjadi tujuan dan pelaku utama pembaruan tetap berdaya.
1 2
3
Pegiat di Pusat P3R-YAE Bogor. Seperti dikutip Salam, A. 2000. Konsep dan Strategi Keuangan Mikro di Jawa Barat. Disampaikan pada Seminar dan Lokakarya Memberdayakan Ekonomi Rakyat Melalui Keuangan Mikro, Kerjasama Pusat P3R-YAE, dan Pemda Propinsi Jawa Barat di Bandung 7-8 September 2000. Tidak ada angka yang pasti, tetapi sebagai pembanding total volume usaha 5.345 unit BPR pada Tahun 2000. hanya Rp 3.3.61 Milyar
Sekarang kita sedang menghadapi era baru dengan setting lingkungan yang berubah. Di sini kita ragu sampai mana konsep dan praktek keuangan mikro masa lalu relevan dengan kebutuhan saat ini. Disadari, tak semua SHQJDODPDQ PDVD ODOX OD\DN GLDQJJDS ³IRVLO´ PHVNL MXJD WDN VHPXD JDJDVDQ FHUGDV \DQJ muncul belakang relevan dengan kebutuhan. Celakanya, kita sendiri ragu apakah cara pandang kita telah berubah, bersedia berubah, dan sesuai dengan kebutuhan ideal saat ini serta masa datang. Tulisan ini akan membicarakan tingkah laku LKM dalam konteks HBK, berdasar pada pengalaman empirik melakukan kajian evaluatif terhadap praktek-praktek HBK di berbagai tempat di Indonesia. Pada bagian akhir, akan ditawarkan sebuah kerangka kerja konseptual pengembangan keuangan mikro, sekedar menegaskan kembali gagasan yang telah dikemukakan di depan. KONSEPSI LKM-HBK ³/.0\DQJPDQD´GDQ³+%.\DQJPDQD"´%HJLWXODKSHUWDQ\DDQ\DQJPXQFXONHWLNDGLDMDNPHQGLVNXVLNDQ/.0 dalam konteks HBK (LKM-HBK). Perdefinisi, LKM adalah semua lembaga, baik formal maupun informal, yang menyediakan layanan kredit kepada nasabah kecil 4 .
Dengan definisi semacam itu ketiga lembaga
pelaku-langsung sistem HBK, yaitu Bank Partisipan, LPSM, dan KSM dapat dikategorikan sebagai LKM. Pembedannya adalah status badan, kepemilikan, dan jenis layanan yang diberikan5. Dalam praktek pun demikian, yang bertindak sebagai penyedia layanan (kredit), bukan cuma bank partisipan melainkan juga LPSM dan KSM, tergantung model HBK yang berlaku 6. Ketiga lembaga partisipan niscaya bertindak sebagai produsen kredit kepada peminjam dan memperoleh manfaat dan risiko dari peran tersebut. Pertanyaannya, apakah LPSM dan KSM dapat dikategorikan sebagai LKM? Apakah ada landasan teoritis dan normatifnya? Apa dampaknya jika semua lembaga pelaku dalam sistem HBK bertindak sebagai LKM? Dalam konteks kemarginalan, siapa dan golongan mana yang menerima beban?
4 5
6
atau 0,4 % dari volume usaha perbankan umum (Rp 818.108 Milyar). Ibid. Ibid. Salam. Berdasarkan kepemilikan, badan hukum, dan jenis layanan yang mampu diberikan, LKM di Indonesia terbagi atas tiga kelompok. Pertama, LKM formal berbentuk bank misalnya BPR (BKD dan Non BKD) dan BRI Unit dengan layanan tabungan, deposito, dan kredit. BPR tidak diperkenankan menghimpun dana masyarakat dalam bentuk giro valuta asing serta ikut dalam sistem pembayaran lalu lintas uang giral (kliring). Kedua, LKM Formal Bukan Bank misalnya Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan (LDKP) dan Koperasi, BKK), KURK, LPK, Lumbung Pitih Nagari (LPN), dll. Jika LDKP bekerja layaknya bank, maka koperasi (KSP dan USP) terbatas melayani anggota. Ketiga, LKM Informal yang dibentuk atas prakarsa masyarakat dan dalam bekerjanya cenderung dipengaruhi oleh budaya setempat, misalnya LSM, KSM, BMT, dan Arisan (Salam, 2000) Ada tiga model HBK. Model-1. hubungan langsung antara Bank dengan KSM, dengan bantuan teknis dan pendampingan kepada KSM dari LPSM. Bank menyalurkan kredit kepada KSM setelah mendapat rekomendasi dari LPSM. Model 2. Hubungan tidak langsung antara Bank dengan KSM/KSP. Pada model ini LPSM berperan sebagai perantara keuangan antara Bank dan KSM dengan bantuan teknis dan pendampingan kepada KSM dari LPSM. Dengan kata lain Bank menyalurkan kredit kepada LSM, LSM meyalurkan kredit kepada KSM, dan KSM kepada anggotanya. Model-3 : (model ideal) Bank, selain memberikan pelayanan keuangan secara langsung kepada KSM/KSP juga memberikan pelayanan pelatihan dan pembinaan, tanpa bantuan LPSM. Untuk mendapatkan kredit, KSM diwajibkan menabung pada bank dengan rasio tabungan 1:4 dan bila pengembalian kredit sebelumnya baik, rasio tabungan dengan 1 : 6. Tabungan dibekukan sampai pinjaman KSM lunas tetapi diberi bunga sesuai bunga yang berlaku di bank. KSM tidak diwajibkan menyediakan agunan, tetapi pinjaman LPSM dikenakan jaminan fisik, sesuai kesepakatan kedua belah
Berbeda dengan konsep lain yang bekerja dalam keuangan mikro, bicara HBK, tidak bisa tidak, memang harus menempatkan sistem HBK sendiri sebagai satuan analisis. Itu berarti mencakup semua kawasan keuangan mikro itu sendiri. Tanpa demikian, usaha memahami masalah akan dihadapkan pada kerumitan konseptual, alih-alih menghasilkan kesimpulan yang salah kaprah. Misalnya, jika memahami HBK dengan kacamata pasar uang, maka kita cenderung akan menempatkan unit-unit sistem itu sebagai pelaku pasar. permasalahan menjadi sangat sederhana.
Dengan perspektif
ini,
Dengan menggunakan analisis biaya dan manfaat, kinerja
lembaga-lembaga partisipan dapat diketahui dengan mudah. Masalahnya apakah analisis semacam itu relevan? Jawabannya tentu tidak, kecuali bagi bank partisipan. Analisis biaya dan manfaat tak relevan menilai kinerja LPSM dan KSM karena keduanya bukan lembaga pasar, walaupun berperan sebagai penyedia layanan kredit. Oleh karena itu, konsepsi HBK penting diketahui. Sesuai namanya, HBK merupakan nama generik, yang dicirikan oleh Bank dan Kelompok Swadaya Masyarakat (KSM). Jika dipandang secara generik maka arti Bank di situ tidak terbatas pada bank saja tetapi mencakup semua LKM yang bekerja menurut prinsip-prinsip bank (kumpulan modal, orientasi profit). Di pihak lain, terdapat KSM, yang juga merupakan nama generik, yakni lembaga yang berpijak pada keswadayaan dan solidaritas sosial (kumpulan orang, orientasi sosial ekonomi). Perdefinisi KSM adalah kumpulan penduduk setempat yang menyatukan diri dalam usaha di bidang sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, keswadayaan, dan kegotong-royongan mereka7, termasuk di antaranya kelompok arisan, kelompok simpan pinjam, kelompok tani, koperasi kredit, BMT, dll8. Jadi sekalipun KSM bertindak sebagai produsen kredit, namun pada azasnya tidak dapat disebut sebagai LKM dalam pengertian pasar. Hal yang sulit adalah menentukan posisi LPSM. Secara kategoris LPSM adalah lembaga masyarakat sipil yang bekerja memperjuangkan kepentingan masyarakat warga dan berciri non-profit. Oleh karena itu, secara normatif LPSM tidak dapat dianggap dan bertindak layaknya LKM. Jika ditempatkan sebagai LKM maka LPSM tidak memiliki pijakan yang jelas apakah kumpulan modal atau kumpulan orang. Sebagai kumpulan orang LPSM bertanggung jawab ke dalam, yaitu kepada anggota-anggotanya (dewan pengurus atau anggota) tetapi sebagai kumpulan modal kepada siapa LPSM bertanggung jawab? Yang menjadi masalah adalah ketika LPSM yang berikrar sebagai kumpulan orang, tetapi bertindak layaknya organisasi kumpulan modal. Demikianlah kerumitan konseptual terjadi. Kerumitan bersumber dari dua kemungkinan perspektif. Pertama, HBK memang dibentuk atas azas pasar yang kemudian menempatkan LPSM dan KSM sebagai bagian dari sistem pasar. Dengan kata lain, dalam konteks ini bicara HBK adalah bicara kredit dan bahasa pasar kredit. Konsepsi HBK yang berlaku sejak Proyek PPHBK Tahun 1989 sampai sekarang bermula dari perpektif semacam itu. Ini tampak dari pemberian kesempatan kepada LPSM bertindak layaknya bank (Model 2 dan Model 3).
7
8
pihak. Bappenas dan Depdagri, 1994. Panduan Program Inpres Desa Tertinggal. Jakarta. Bandingkan dengan Verhagen. K. 1996. Pengembangan Keswadayaan. Pengalaman di Tiga Negara. Diterbitkan oleh Puspaswara untuk Yayasan Bina Swadaya. Jakarta. Martowijoyo, S. 2001. Dampak Deregulasi Perbankan Terhadap Kinerja Lembaga Keuangan Perdesaan. Ringkasan Disertasi. Yogyakarta:Universitas Gadjah Mada.
Kedua, HBK memang tidak dimaksudkan sebagai sistem keuangan yang bekerja dengan mekanisme pasar, melainkan sebagai alat pengembangan masyarakat yang di dalamnya terdapat tujuan majemuk sesuai pijakan ideal masing-masing pelaku dari ranah kelembagaan yang berbeda. Bank partisipan berorientasi profit, LPSM berorientasi pemberdayaan, dan KSM berorientasi keswadayaan. Sistem ini dapat dianggap bekerja hanya apabila seluruh komponen dalam sistem itu berfungsi secara proporsional menurut pijakan ideal masing-masing. Jika salah satu unsur dari ketiga sistem itu tidak berfungsi maka sistem itu akan gagal mencapai tujuannya. Bahkan lebih jauh, sistem itu akan terdistorsi dan paradoksal. HBK DALAM PRAKTEK
Konteks Studi
Mempelajari sistem HBK dalam praktek tidaklah mudah. Mungkin sama seperti akar permasalahan HBK sendiri, akses ke dalam unit-unit sistem HBK terstruktur sedemikian rupa, sehingga informasi yang mungkin diperoleh pun tidak proporsional. Bank relatif tertutup, LPSM semi-tertutup, sedangkan KSM relatif terbuka. Pendekatan yang mungkin digunakan untuk mempelajarinya pun terstruktur pula, mulai dari tak langsung (bank), langsung-tak langsung (LPSM), dan langsung (KSM). Secara metodologis, hal ini merupakan persoalan tersendiri. Kasus-kasus HBK yang dipelajari mencakup daerah pedesaan dan pantai dengan tipe ekonomi rumah tangga agraris sampai daerah perkotaan dengan tipe ekonomi industri dan perdagangan 9 . Pendekatan mencakup metode-metode partisipatif yang menyesuaikan dengan aras wacana dan tipe golongan partisipan10. Berdasar pada sumber kadar subsidi dan tingkat perkembangan, kasus-kasus yang dipelajari terbagi tiga kelompok, yaitu tipe proyek, tipe semi-proyek, dan tipe mandiri. Tipe proyek (model 1) adalah HBK yang ketika studi dilaksanakan bekerja dengan biaya subsidi lengkap dari pihak lain (lembaga donor, dalam dan luar negeri, serta pemerintah). Subsidi lengkap dimaksud adalah masing-masing lembaga mendapat subsidi (langsung tidak langsung, dalam ber-HBK: Bank Pelaksana memperoleh kredit program bank sentral atau pemerintah, LPSM memperoleh biaya pendampingan dan bagian dari selisih margin serta KSM memperoleh pelatihan dan bagian selisih margin). Istilah
9
10
Antara lain (a) Tahun 1995. Kajian Bersama Pengembangan Kebijakan Menuju Gerakan Nasional Penanggulangan Kemiskinan kerjasama Bappenas dan Pusat P3R-YAE . Studi berlangsung di 11 propinsi dan HBK yang dipelajari mencakup P4K (Deptan dan BRI) dan PHBK (BI); (b) Tahun 1996. Kajian Bersama Terhadap Upaya Penanggulangan Kemiskinan : Menuju Kelompok Swadaya Masyarakat Yang Mandiri, kerjasama BI, Bappenas, dan Pusat P3R-YAE. Studi berlangsung di 11 propinsi dengan fokus perhatian pada program-program HBK;(c) Tahun 1998-1999. Monitoring dan Evalusi Bersama Proyek Tindak Lanjut Program IDT, (ujicoba HBK oleh salah satu LPSM Nasional) di 10 kabupaten Jawa dan Lampung sebanyak dua kali putaran;(d) Tahun 1999-2000. Konsultasi Bersama Menuju Tumbuhnya Lembaga Ekonomi Desa Yang Berkelanjutan di 5 kabupaten Jawa Barat, kerjasama Pusat P3R-YAE dan Pemda I Jabar. Metode terangkai dalam siklus Cooperative Inquiry. Acuan teoritisnya Lihat dan bandingkan antara Reason, P. (Ed.). 1994. Participation in Human inquiry. Sage Publication Ltd. 6 Bonhill Street, London EC2A 4PU dan Heron, J. 1996. Cooperative Inquiry, Research into Human Condition, Sage Publication. London-Thousand Oaks-New Delhi. Pada aras antar lembaga pelaksana (Bank, Pemda, LSM) menggunakan metode diskusi dan lokakarya suatu adaptasi terhadap metode Diskusi Kelompok Terfokus (Focus Group Discussion) sedangkan pada tataran komunitas setempat dan KSM menggunakan metode pemahaman secara partisipatif. Lihat Chambers, Robert. 1992. Rural Appraisal : Rapid, Relaxed, and Participatory (Discussion Paper 311). Institute of Development Studies. Lihat juga metode praksisnya pada Djohani, R. et. al. (Eds.) 1996. Berbuat Bersama Berperan Setara. Acuan Penerapan Participatory Rural Appraisal. Penerbit Drya Media untuk Konsorsium Pengembangan Dataran Tinggi Nusa Tenggara. Bandung, dan
bunga pasar sering dipakai, sekalipun mekanisme penentuan suku bunga adakalanya tidak mencerminkan kondisi pasar. Misalnya, suku bunga yang diberlakukan di tingkat KSM telah dipatok oleh pemodal (non-bank), kadangkala LPSM. Dan jika memperhitungkan dana subsidi sebagai biaya agar sistem itu bekerja, maka arti bunga pasar tentulah semu belaka. Tipe semi-proyek (model 2) merujuk pada kasus HBK yang salah satu lembaga partisipannya tidak mendapat subsidi lagi: misalnya Bank Pelaksana tak mendapat kucuran kredit program, LPSM sedikit atau tak mendapat dukungan subsidi dari pihak lain. Sedangkan tipe mandiri (model 3) adalah HBK dengan bank pelaksana yang langsung berhubungan dengan KSM tanpa keterlibatan LPSM secara formal. Entah berhubungan atau tidak dengan substansi permasalahan HBK, tipe terakhir ini tergolong langka. Yang paling banyak adalah tipe proyek dan tipe semi-proyek. Beberapa kasus dari tipe proyek dan semi-proyek sempat dipelajari secara berseri, dalam waktu-waktu yang berbeda. Dari kasus-kasus tersebut baiklah kita mengambil satu kasus HBK sebagai bahan pelajaran memahami tingkah laku partisipannya. Tingkah laku lembaga partisipan yang berstatus sebagai Bank telah diketahui secara luas, teoritis, dan empiris. Oleh karena itu, perhatian akan difokuskan pada peran LSPM dan KSM. Kasus yang akan diangkat berikut ini berlokasi di salah satu Kabupaten di Jawa Tengah dan dipelajari dalam dua kesempatan, yaitu tengah dan pasca proyek. Kasus X.
LPSM pelaksana proyek adalah badan otonom dari sebuah LPSM yang berpengalaman dalam pengembangan KSM. Gagasan menyelenggarakan HBK bermula dari maksud memanfaatkan momentum pasca program IDT, terutama memanfaatkan sejumlah pokmas (KSM) bentukan Program IDT yang dipandang telah terlatih mengelola dana bergulir serta memiliki modal awal. LPSM bermaksud mendorong KSM-KSM tersebut memasuki sistem HBK. Sebuah lembaga dana luar negeri, mendukung rencana tersebut dengan komitmen menyediakan biaya pendampingan selama dua tahun. Sementara BPR terdekat menyatakan komitmennya memberi layanan kredit. Di luar itu, LPSM sendiri memperoleh komitmen dari salah satu koperasi yang bersedia menyediakan kredit murah. LPSM pun menyediakan sejumlah dana yang dimaksudkan sebagai modal cadangan, jika diperlukan. Singkat kata, pasokan kredit diasumsikan cukup. Sesuai prosedur standar, KSM-KSM tersebut terlebih dahulu dinilai kinerjanya berdasar standar baku HBK. Hasil seleksi terhadap KSM ternyata tak menggembirakan. Status KSM rata-rata C Minus dan paling jauh B minus alias tak layak kredit. Meski demikian, LPSM memutuskan untuk memilih 50 KSM terbaik yang berlokasi di lima kecamatan. Jumlah anggota KSM rata-rata di atas 20 orang atau 1000 anggota untuk Prior, J.M. 1997. Meneliti Jemaat, Pedoman Riset Partisipatoris. Penerbit Grasindo, Jakarta.
seluruh KSM. Wilayah dampingan terpencar sebagai konsekuensi seleksi. Tiga kecamatan tergolong tipe komunitas pertanian dengan anggota KSM kebanyakan berusaha di bidang pertanian (selanjutnya disebut KSM-pertanian) dan dua kecamatan teergolong tipe campuran karena anggota KSM pada umumnya bekerja sebagai pengrajin dan pedagang (selanjutnya disebut KSM campuran). Masing-masing wilayah di dampingi oleh seorang pendamping terlatih yang bekerja purnawaktu. Pada tahap awal KSM-KSM tersebut dilatih dengan materi ekonomi rumah tangga dan HBK, serta dikunjungi secara bergilir oleh pendamping. Setiap KSM dikunjungi minimal sekali dalam sebulan. Jika pendampingan berhasil, volume kredit yang akan terserap diperkirakan satu milyar rupiah. Perhitungan sederhana dengan volume kredit sebesar itu, LPSM akan memperoleh manfaat yang bisa dijadikan modal memasuki masa kemandirian pada pasca subsidi. Studi pada pada akhir tahun pertama (1998) memperlihatkan pencapaian rencana meleset. Pada kelompok KSM pertanian, baru satu buah yang berhasil memperoleh layanan kredit dan kelompok KSM campuran sudah separuh terhubungkan dengan bank dengan volume kredit separuh dari target semula. Masalahnya, KSM-KSM tersebut secara kelembagaan lemah dan usaha-usaha anggotanya secara absolut memang tidak layak kredit (lahan sempit, sumber pendapatan tidak pasti, dll). Menghadapi keadaan semacam itu, LSPM mengutarakan dua rencana baru sebagai jalan keluar. Pertama, membentuk KSM-KSM baru pengganti KSM-KSM yang dianggap tak kunjung naik kelas. Dengan kata lain KSM-KSM yang berlokasi di daerah pertanian akan ditinggalkan. Kedua, membentuk pokmas-pokmas baru di daerah kerajinan dan perdagangan dengan tetap mendampingi pokmas-pokmas yang telah didampingi sejak awal. Keadaan beberapa saat setelah proyek berakhir adalah sebagai berikut. Jumlah KSM Campuran didampingi menjadi dua kali lipat. KSM-KSM yang didampingi sejak awal telah terhubungkan dengan bank, satu sampai empat kali pinjaman, tetapi serapan kredit per anggota masih di bawah rencana (Rp. 1 juta). Sementara jumlah KSM Pertanian tidak bertambah dan hanya tiga kelompok saja yang berhasil dihubungkan dengan bank. Satu pokmas di antaranya meminjam dua kali. KSM Campuran berhasil mendistribusikan semua kredit kepada semua angggotanya, sementara KSM Pertanian hanya berhasil mendistribusikan kredit kepada sebagian kecil anggotanya, yaitu para pedagang atau pengurus pokmas. Penting dicatat, anggota yang memperoleh kredit bukan berasal dari pokmas yang sama, walau secara administratif menggunakan nama satu pokmas. Strategi itu dimungkinkan karena restu pendamping. Yang lebih menarik adalah perilaku LPSM sendiri. Bermula dari proyek HBK bersubsidi, bidang kegiatan LPSM memasuki tahun ketiga telah
berkembang sedemikian rupa, sampai ke bidang yang tak
berhubungan dengan HBK. Pertama, dalam HBK sendiri peran LPSM berkembang menjadi dua pola, yaitu Model 2 dan Model 3. Kedua, membuka usaha pemasaran produk antar- kota, sebagian melayani KSM-KSM yang didampingi dengan tenaga yang direkrut secara khusus. Ketiga, mengadakan kontrak
kerjasama konsultasi dengan Pemerintah Daerah setempat, padahal para pendamping yang secara normatif bertugas purnawaktu mendampingi KSM termasuk tenaga penggerak utamanya. Keempat, terlibat dalam penyelenggaraan proyek-proyek JPS yang dlisalurkan melalui jalur-jalur LPSM. Bantuan JPS kemudian dikembangkan sedemikian rupa menjadi modal pokmas-pokmas yang didampingi. Kelima, aktif dalam kegiatan-kegiatan jaringan LSM lokal. Keenam, mengadakan jual-beli mobil bekas. Perkembangan bidang kegiatan itu mengakibatkan skala organisasi LPSM tersebut berkembang dari empat orang menjadi sebelas orang personil tetap pada akhir tahun kedua. Subsidi dari lembaga donor kemudian terhenti pada tahun kedua, tetapi ada peluang memperpanjang kontrak dengan berbagai lembaga. LPSM kemudian menetapkan rencana sebagai berikut. Pertama, memperluas wilayah kerja ke kecamatan-kecamatan di dalam kota terdekat untuk menjangkau para pedagang kecil dengan membentuk KSM-KSM baru. Kedua, pokmas-pokmas di wilayah kerja proyek secara selektif akan tetap didampingi. Kedua rencana itu secara substansial tak berbeda dengan rencana yang dibuat pada akhir tahun pertama proyek, yakni meninggalkan KSM-KSM pertanian dan melayani KSM-KSM campuran. Banyak cara menafsirkan tingkah laku LPSM kasus ini. Ada yang memandang hal itu sebagai sebuah kewajaran, mengingat LPSM memang harus mandiri dan berswadaya agar dapat menyinambungkan pelayanannya kepada masyarakat. Pada ekstrim lain ada juga yang berpandangan sebaliknya. Watak LPSM semacam itu tak ubahnya konglomerat kecil yang berlindung di balik baju pengembangan masyarakat. Kedua pandangan tersebut sah-sah saja, tergantung sudut pandang menilainya. Penting dicatat, dari seluruh kasus proyek HBK yang diamati, belum ada satu pun kasus yang berhasil mempertahankan sistem HBK secara berkelanjutan. Bank Pelaksana menarik diri sebagai penyedia modal, LSM kehabisan tenaga dan dana menjalankan tugas pendampingan, atau KSM tak maju-maju alias tak naik kelas dengan berbagai kemungkinan-kemungkinan penyebabnya. Alasan bank partisipan yang sampai ke LPSM atau KSM tak jauh dari pertimbangan pasar (risiko-manfaat), misalnya kucuran kredit program menipis atau terdapat permintaan baru dari nasabah (KSM lain atau individual) yang lebih menguntungkan. Pasar keuangan mikro yang menjadi lahan bagi LKM memang sering terdistorsi, terutama oleh maraknya program dana bergulir dari pemerintah, termasuk Program IDT dan program-program Jaring Pengaman Sosial (JPS). Alasan yang kurang lebih sama berlaku pada LPSM. LPSM menghentikan kegiatan pendampingan kepada sebagian atau KSM-KSM peserta HBK karena pemasukan dari kegiatan pendampingan terhenti, atau KSM-KSM yang didampingi tak jua naik kelas, baik dari segi serapan kredit maupun dari segi kapasitas kelembagaan, walau telah didampingi sekian lama. Polanya, selama subsidi tersedia, LPSM umumnya masih setia menjalankan fungsi-fungsi pengembangan masyarakat. Namun, ketika subsidi terhenti, fungsi-fungsi perhatian LPSM lebih terfokus pada usaha-usaha mempertahankan hidup (survival strategic).
Pola-pola strategi bertahan hidup yang umum dilakukan adalah sebagai berikut: a. Menyeleksi KSM dampingan dengan memprioritaskan KSM yang teruji lebih menguntungkan posisi finansial LPSM, antara lain: (1) Mendahulukan melayani KSM yang anggota-anggota terdiri dari para pengrajin, pedagang, dan jasa dengan perputaran modal yang lebih cepat. Seleksi adakalanya menggunakan strategi mengumpulkan anggota-anggota yang layak kredit ke satu kelompok dan memisahkan anggota-anggota yang tak layak kredit ke kelompok lain; (2) Mendahulukan KSM yang berlokasi di daerah kota atau dekat kota karena biaya pelayanan lebih murah dan prospek kredit lebih baik. Pilihan ini tergantung pada kapasitas modal atau manfaat yang dimiliki oleh LPSM. b. Diversifikasi Usaha. Tuntutan bertahan hidup mengakibatkan LSPM mencari sumber pemasukan lain, tanpa mengundurkan diri dari HBK. Sebagian LPSM memasuki kegiatan ekonomi yang berhubungan dengan jenis usaha KSM yang didampingi, akan tetapi tak sedikit juga LPSM yang memilih memasuki usaha ekonomi yang tak berhubungan sama sekali dengan usaha KSM. Dalam kurun waktu lama, strategi ini seringkali menjadi awal dari pengalihan perhatian LPSM dari HBK ke bidang lain. c. Mengundurkan diri atau HBK-Kamuflase. Ketika HBK tak mampu menopang eksistensi lembaga LPSM dan usaha-usaha non-HBK makin mapan, LPSM lalu tak tertarik lagi pada HBK. Mereka memfokuskan diri pada usaha lain, sesuai peluang peran yang terbuka. Akan tetapi, tak jarang LPSM tetap mempertahankan HBK VHEDJDL³HWDODVH´XQWXNPHQDULNSHUKDWLDQSLKDNNHWLJDSUR\HN+%. VHUWDPHQMDJDDNVHVNHDNDUUXPSXW -DGLWDNVHSHQXKQ\DVDODKMLNDDGDSLKDN\DQJPHPDQGDQJ/360VHPDFDPLQLVHEDJDL³SHQMXDORUDQJNHFLO´ Simpulnya,
ketika
LPSM
dihadapkan
pada
urusan
bertahan
hidup,
akan
cenderung
mudah
meenggeser-menggeser peran dalam domein kelembagaannya sendiri yang memang longgar. Bagi LPSM yang demikian kedudukan HBK seringkali berubah dari misi pemberdayaan masyarakat menjadi sarana primer mempertahankan hidup. Dalam kurun waktu lama, idealisme bergeser dan akan muncul konflik peran terlembaga. Wujudnya adalah bank berbaju LPSM. Meski bukan pola yang umum, tetapi praktek geser-menggeser peran semacam itu telah berlangsung sejak lama. Jeleknya, dan sangat jarang diperhitungkan, adalah dampak praktek geser-menggeser tersebut terhadap komunitas-komunitas yang didampingi. Ketika motif pendampingan LPSM berorientasi pada kredit, motif penguatan kelembagaan KSM yang ditekankan cenderung bias kredit. Ini terlihat dari materi pelatihan dan pendampingan purnawaktu yang tak jauh keluar dari wacana pasar kredit. Adapun yang berhubungan dengan penguatan solidaritas sosial yang lebih fundamental, menjadi terabaikan. KSM akhirnya dimaksudkan lebih sebagai pengaman kredit, bukan sebagai media kerjasama solidaritas. KSM pun bukan dimaksudkan sebagai media yang berfungsi membantu sekaligus mengawasi alokasi kredit di antara anggota, melainkan sebagai sarana menertibkan pengembalian agar tepat waktu. Dengan dasar-dasar mental semacam itu, struktur kelembagaan KSM tentu timpang. KSM hanya bekerja ketika kredit tersedia. Tak salah jika kebanyakan KSM mati sebelum sempat memperoleh kredit. Kalau tidak diterlantarkan oleh LPSM, KSM membubarkan diri.
Gejala semacam ini tidak bermaksud mengabaikan fakta bahwa tak sedikit anggota KSM yang terbantu dari HBK. Hanya saja, mereka yang memperoleh manfaat dan kemudahan lebih besar adalah anggota KSM yang memiliki skala usaha di atas rata-rata anggota, sedangkan yang paling rentan berasal dari golongan yang memang tidak layak kredit. Dalam perspektif pasar keadaan semacam itu lumrah saja. Setiap pelaku berpeluang terlempar dari pasar, apabila tidak bekerja secara efisien dan adaptif terhadap perkembangan pasar. Akan tetapi, jika diletakkan dalam konteks HBK-Pengembangan Masyarakat, tentu kesimpulannya bisa berbeda secara diametral. Catatan ke-KSM-an berikut relevan memperjelas keadaan tersebut. Pengalaman berpindah dari satu kredit ke kredit lain, dari satu KSM ke KSM lain, dan dari proyek ke proyek lain telah menimbulkan paling tidak dua gejala sosial yang tak sehat, yaitu instrumentalisme KSM dan kreditisme. Instrumentalisme kelompok adalah pergeseran fungsi KSM dari lembaga sosial ekonomi menjadi sekedar alat untuk memperoleh dana atau kredit murah. Peristiwa ini ditandai dengan kebiasaan gonta-ganti dan pindah-SLQGDKNHORPSRNGHQJDQSRODXPXP³KDELVGDQDVXEVLGLNUHGLW .60EXEDU´$NLEDWQ\DSURVHVEHODMDU ber-KSM berlangsung tak sehat. Berulangkali KSM dibentuk, dengan biaya sosial yang tak kecil, tetapi jarang sekali yang berkembang menjadi sebuah lembaga sosial ekonomi yang kuat dan berhasil mengangkat kesejahteraan anggotanya. Ssedanngkan kreditisme adalah semacam budaya latah atau fanatik memperoleh kredit, dengan orientasi yang lebih kuat pada perburuan status sosial ketimbang memenuhi fungsi dan subtansi kredit itu sendiri. Fungsi kredit bergeser dari alat produksi menjadi alat memburu status sosial. Surplus produksi tingkat rumah tangga tak sempat menjadi tabungan, tetapi tersalur untuk meladeni tuntutan status atau kredit malah langsung ditujukan pada pemenuhan kebutuhan konsumsi yang bernilai status (misal, barang mewah). Modal bukan tidak diperlukan. Faktanya bagian terbesar dari petani kecil dan pengusaha mikro kekurangan modal dan belum akses kredit. Masalahnya adalah formula dan metode monetasi yang digunakan oleh beragam pihak dari beragam ranah kelembagaan. Kampanye melek-kredit terlalu menonjolkan fungsi penciptaan kebutuhan kredit, tetapi kurang memperhatikan fungsi-fungsi produksi rumah tangga dan penguatan sosial budaya (kelembagaan). Akibatnya, laju perkembangan kebutuhan akan kredit berkembang jauh lebih cepat ketimbang laju perkembangan kemampuan kelembagaan lokal mewadahinya. Melek kredit menjadi tidak efektif mendorong penguatan komunitas setempat. KERANGKA KONSEPTUAL HBK BARU
Akar masalah geser-menggeser fungsi antar ranah kelembagaan yang berlangsung dalam HBK dan keuangan mikro sesungguhnya berawal dari satu soal, yakni ketidakjelasan sumber dan alokasi biaya sosial (cost of development) yang tercermin dari mekanisme dan tata kelembagaannya. Konteks pembiasnya ada pada dua hal. Pertama,
kekuasaan
politik
bekerja
terlalu
dalam
memasuki
ranah
masyarakat
sehingga
kelembagaan-kelembagaan masyarakat tidak berkesempatan mengambil peran menyediakan biaya sosial secara
proporsional. Kedua, sebagai akibat atau komodifikasi dari unsur pertama, keuangan mikro selama ini terlalu dominan dipahami dengan perspektif pasar. Keuangan mikro seakan-akan hanya urusan sektor kredit. Akibat tentu mudah diperhitungkan; tak jauh dari gejala yang terdeteksi pada kasus HBK di atas. Pembaruan perlu segera dilakukan dengan mengembalikan keuangan mikro ke konsepsi sederhana sebagai bagian dari strategi penguatan masyarakat bangsa. Ini dapat dimulai dari peninjauan kembali asumsi-asumsi kebijakan keuangan mikro. Anggapan bahwa kredit merupakan obat mujarab peningkatkan pendapatan penduduk lapisan bawah atau kelangkaan modal sebagai masalah utama pengusaha kecil perlu ditinjau kembali. Kajian empiris memperlihatkan serapan kredit berdampak nyata pada likuiditas ekonomi rumah tangga dalam jangka pendek, tetapi tidak selalu dalam jangka panjang, tergantung pada basis ekonomi. Tak jarang malah sebaliknya, kredit menimbulkan beban tambahan dalam jangka panjang, terutama ketika ekonomi rumah tangga mendapat goncangan11. Yang lebih realistis adalah bahwa kebutuhan akan kredit akan berkembang dengan sendirinya sejalan dengan peningkatan kapasitas ekonomi rumah tangga. Kredit hanya salah satu dari faktor yang mempermudah peningkatan kapasitas ekonomi rumah tangga. Sama atau bahkan lebih penting lagi, dalam konteks kekinian adalah modal sosial12 dan segi-segi lain yang tak berhubungan langsung dengan urusan teknis-ekonomi tetapi menciptakan iklim yang nyaman dan aman bagi perkembangan ekonomi rumah tangga dan komunitas setempat. Kasus-kasus pengembangan masyarakat memperlihatkan program-program berpendekatan tunggal dan seragam (sektoral). Pendekatan keuangan mikro yang berlangsung selama ini misalnya, secara umum tidak berdampak nyata pada tujuan-tujuan pengembangan masyarakat, pemerataan dan keadilan. Kebijakan keuangan bias kota (industri dan perdagangan) dan cenderung abai pada usaha pertanian pedesaan; menekankan sisi permintaan dan mengabaikan penawaran. Yang diperlukan adalah pendekatan kontekstual merujuk pada keberagaman tipe komunitas. Kerangka kerja konseptual dapat didasarkan pada perbedaaan dan interaksi ranah kelembagaan, di dalamnya terdapat tiga pihak yang berkepentingan dan bertanggung jawab, yaitu dunia usaha (modal), pemerintah (politik), dan lembaga-lembaga masyarakat sipil. Dunia usaha berpijak pada ideal pasar (profit), pemerintah bekerja berdasar legitimasi politik (kebijakan), dan lembaga-lembaga masyarakat sipil bekerja memperjuangkan kedaulatan rakyat. Pertama, ranah pasar. Pelaku yang bekerja pada ranah ini terbagi atas dua kelompok, yaitu pelaku langsung dan 11 12
Ibid Martowijoyo Modal sosial ditandai oleh ciri-ciri organisasi sosial, misalnya kepercayaan, norma-norma, dan jaringan sosial yang dapat meningkatkan efisiensi upaya masyarakat dalam memperlancar kegiatan sosial secara terkoordinasi. Kerjasama sukarela lebih mudah dicapai dalam suatu masyarakat yang telah mewarisi sejumlah modal sosial, dalam bentuk norma tolong-menolong, dan jaringan partisipatif melibatkan warganya secara aktif dan bertanggungjawab (Putnam, 1993). Seregeldin, I. dan Grootstaert, 2000. (a) Portes, Alejandro. 1998. Social Capital. Its Orginal and Aplications in Moderen Society;(b) Krisna, A. 2000. Sreating and Haernessing Social Capital in Partha Dasgupta and Ismail Seregeldin (eds.) Social Capital A Multifaced Perspective. Washington. D.C. The World Bank. (c) Seregeldin, I. and Christian. G. 2000. Defining Social Capital. An Integrating View in Partha Dasgupta and Ismail Seregeldin (eds.) Social Capital A 0XOWLIDFHG3HUVSHFWLYH:DVKLQJWRQ'&7KH:RUOG%DQNG $UURZ-.³2EVHUYDWLRQRQ6RFLDO&DSLWDO´LQ3DUWKD'DVJXSta and Ismail Seregeldin (eds.) Social Capital A Multifaced Perspective. Washington. D.C. The Wolrd Bank. Uphoff. N. 2000. Understanding Social Capital : Learning from the Analisys and Experience of Participation. in Partha Dasgupta and Ismail Seregeldin (eds.) Social Capital A Multifaced Perspective. Washington. D.C. The World Bank.
pelaku tak langsung. Pelaku langsung adalah para pengusaha bermodal kecil yang tak mampu memasuki pasar keuangan umum. Sedangkan pelaku tak langsung adalah pemodal besar yang tidak beroperasi secara langsung dalam pasar keuangan mikro tetapi memperoleh manfaat langsung dan tak langsung dari perkembangan keuangan mikro13. Pelaku tak langsung ini adalah bank-bank regional, nasional, dan internasional. Kedua, ranah politik. Komponenya terdiri dari lembaga-lembaga pemerintah (eksekutif, legislatif, otoritas moneter) yang berkepentingan mendayagunakan keuangan mikro sebagai instrumen dalam mewujudkan tanggungjawab politik, yaitu keadilan dan pemerataan akses masyarakat lapisan bawah terhadap sumber permodalan, di samping pertumbuhan ekonomi. Ketiga, ranah masyarakat dan kebudayaannya.
Ranah ini
berpijak pada ideal-ideal masyarakat warga
(kedaulatan rakyat). Didalamnya terdapat beragam entitas yang hidup dan membentuk kedaulatan dalam lembaga dan kelembagaannya sendiri, baik atas dasar kebutuhan (institusional) maupun atas dasar sejarah, nilai-nilai budaya, dan kepercayaan (relasional). Orientasi nilai budaya masing-masing entitas seringkali berbeda satu sama lain. Orientasi nilai budaya itu membentuk karakter berekonomi yang beragam pula. Secara formal, pelaku yang mengisi ranah ini terdiri dari lembaga-lembaga masyarakat sipil yang memandang keuangan mikro sebagai salah satu sarana penting memperjuangkan kedaulatan rakyat. Secara umum lembaga-lembaga masyarakat sipil berciri non-profit dengan spektrum keorganisasian yang relatif luas. LSM/LPSM dan KSM termasuk di dalam kategori lembaga ini. Ketiga ranah terhubungkan oleh tiga ranah interaksi. Pertama, ranah politik dan masyarakat terhubungkan oleh tujuan keadilan dan pemerataan yang terwujud dalam penyediaan pelayanan dan penyelenggaraan program. Biaya pelayanan dan program dapat disebut sebagai biaya sosial atau biaya pembangunan (cost of development) yang dikeluarkan dari kas pemerintah. Kedua, ranah pasar dan masyarakat terhubungkan oleh tujuan efisiensi produksi dan harga yang terwujud dalam bentuk share biaya produksi modal, antara produsen (LKM) dan konsumen (KSM). Biaya provisi kredit kepada anggota yang semestinya dikeluarkan oleh LKM diambil alih oleh KSM dengan imbalan KSM mendapat kemudahan dalam memperoleh kredit (misal, tanpa agunan, syarat administratif lain). Ketiga, ranah politik dan modal terhubungkan oleh kesamaan kepentingan atas pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang terwujud melalui kebijakan ekonomi yang memberi kepastian hukum berinvestasi, penyediaan insentif produksi, dll. Ranah politik memandang pertumbuhan ekonomi sebagai sumber pendapatan (fiskal) dan ranah modal memandang pertumbuhan ekonomi sebagai peluang pasar baru. Kerangka kerja konseptual tersebut menekankan pentingnya para pelaku dari ranah kelembagaan yang berbeda bekerja secara taat azas. Praktek geser-menggeser risiko dan manfaat, seperti yang terjadi selama ini benar-benar ingin dihindari. Di atas kerangka kerja tersebut biaya sosial pengembangan keuangan mikro pada 13
'LNDODQJDQ/.0DGDDGDJLXP\DQJEHUEXQ\L ³LKM susah-susah yang membesarkan nener, tetapi ketika nener jadi bandeng itu EXNDQEXNDQPLOLNSHWDPEDNODJLWHWDSLPHODLQNDQPLOLNRUDQJODLQSHQXOLVSHUEDQNDQXPXP ´
dasarnya ditanggung bersama melalui mekanisme yang baku (fiskal). Yang berbeda adalah metode dan pendekatannya. Kerangka kerja konseptual baru memerlukan reposisi peran lembaga-lembaga yang berkepentingan pada keuangan mikro. Pertama, HBK-proyek (kredit subsidi) sebaiknya ditiadakan sehingga berlaku hanya HBK-pasar (non-VXEVLGL $UWLQ\D/.0WLGDNEROHKODJLWHUEXDLVHEDJDL³SHQJHFHU´GDQDPurah pemerintah. LKM justru dipacu meningkatkan profesionalisme sebagai pelaku pasar agar dapat mengembangkan layanan tabungan dan kredit yang sesungguhnya sangat potensial. Kedua, kredit program sektoral sebaiknya ditiadakan atau sekurang-kurangnya pengambilan keputusannya tidak lagi terpusat di Jakarta, tetapi diserahkan kepada pemerintah daerah kabupaten. Tujuannya agar praktek bongkar pasang kelompok yang lazim dilakukan bersamaan dengan pelaksanaan berbagai kredit program di tingkat komunitas (desa), tidak terjadi lagi. Penyerahan pengambilan keputusan tersebut relevan dengan kebijakan otonomi daerah. Sebagai gantinya, komunitas lokal perlu didorong membentuk lembaga permodalan swakarsa yang akan berhubungan dengan Bank (HBK-pasar), menerima subsidi atau penyertaan modal dari pemerintah daerah. Ini dimaksudkan agar akses masyarakat melakukan pengawasan terhadap lembaga lebih terbuka dan lembaga tersebut berkesempatan memperkuat kemampuannya melayani kebutuhan masyarakat lapisan bawah sesuai mekanisme yang ditentukan melalui kesepakatan masyarakat (sosial, ekonomi, budaya). Pola ini sesungguhnya telah dikenal dengan istilah Bank Desa atau Lumbung Desa yang dikenal sebelum Orde Baru14. Ketiga, pemerintah sebaiknya memusatkan perhatian pada penyediaan pelayanan dan penyelenggaraan program-program pengembangan berbasis masyarakat setempat (community base) yang memungkinkan beragam tipe komunitas menemukan pola-pola kelembagaan yang relevan dengan potensi dan kebutuhannya. Dari segi permodalan, pendekatan ini mungkin akan mendukung kebutuhan untuk kembali ke pola bank masyarakat yang memungkinkan andil masyarakat lebih nyata. Konsekuensinya, kemungkinan akan muncul beragam jenis lembaga permodalan komunitas. Hal itu sangat wajar dan alamiah saja bagi masyarakat bangsa yang beragam. Secara keseluruhan proses ini bisa berarti mengurangi peran pemerintah sebagai pelaksana program-program sektoral, termasuk dalam bidang permodalan. Efektifitas pendekatan sektoral telah mencapai titik jenuh karena seringkali senjang dengan kebutuhan masyarakat. Sebagian tugas-tugas pengembangan kelembagaan masyarakat lebih baik diserahkan kepada unsur-unsur masyarakat, LPSM dapat bereperan sebagai fasilitator yang menghubungkan lembaga-lembaga pemerintah dengan komunitas-komunitas lokal.
Dengan demikian
LPSM kembali keazasnya. Biaya sosial untuk kepentingan ini, dapat diambil dari biaya yang lazimnya dialokasikan membiayai subsidi kredit
14
Bacalah Suharto. P. 1988. Sejarah Pendirian Bank Perkreditan Rakyat. Lembaga Pengembangan Perbankan Indonesia. Jakarta. Juga pada Danusaputro, dkk. 1997. Monetisasi Pedesaan. Bunga Rampai Keuangan Pedesaan (Edisi Kedua). Institut Bankir Indonesia. Jakarta.
program atau program-program sektoral (teknis). Ini artinya program-program sektoral harus lebih selektif. Program-program dukungan teknis-sektoral bukan tak diperlukan, hanya saja bukan prioritas. Kebanyakan kasus menunjukkan tanpa pemenuhan segi-segi non-teknis ekonomis (kelembagaan, kerukunan sosial) dukungan teknis dari instansi sektoral seringkali sia-sia. Sebaliknya dengan bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan lokal, dukungan teknis, termasuk fasilitas kredit, menjadi jauh lebih efektif sekaligus murah karena sebagian dapat dipenuhi oleh masyarakat secara mandiri15. Strategi ini tentu memerlukan tenggang masa yang relatif lama agar dapat membuahkan hasil. Akan tetapi, jika dikerjakan secara konsisten dan dengan semangat profesionalisme baru 16 , perubahan yang akan dicapai diperkirakan akan jauh lebih fundamental. Untuk itu kita perlu keluar dari bayang-bayang ekonomisme17 masa lalu, di masa ambisi pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh politik panglima, mengalahkan segala pertimbangan. Pertimbangan yang dikalahkan itu adalah masyarakat dan segala corak budayanya. Sekarang saatnya kita mempertimbangkan apakah keanekaragaman budaya bangsa tak berarti membutuhkan kelembagaan permodalan yang beragam pula?
15
16 17
Siregar, B.B 2001. Menelusuri Jejak Ketertinggalan (segera terbit). Diterbitkan oleh Pusat P3R-YAE atas dukungan kerjasama Yayasan IKAPI dan The Ford Foundation. Lihat Chambers, 1987. Pembangunan Desa Mulai Dari Belakang. LP3ES. Jakarta. Lihat Mubyarto. 2001. Ekonomisme. Pidato Kebudayaan. Pusat Kesenian Jakarta.
Jepitan Struktur & Kultur1: Catatan reflektif peneliti atas Lembaga Keuangan Mikro Oleh: Adriani S.S2
Kemiskinan Itu, Tak Terhindarkan ³3DJLLQLDNXEHUWHNDGXQWXNPembeli piring yang bener-bener gress, baru, anyar dari toko Laris. Itu lho toko yang terletak di pinggir jalan Pemuda, jalan yang menghubungkan Yogya-Sala. Piring-piring itu hendak kugadaikan. Pegadaian menjadi sasaran perhatian. Setiap kali melewati tePSDWLWXSHUWDQ\DDQ³0HQJDSDSHUHPSXDQUDMLQ PHQ\DPEDQJLSHJDGDLDQ"´VHQDQWLDVDNXORQWDUNDQ7HPSDWLWXWDNSHUQDKVHSLGDULVDSDDQSDUDSHUHPSXDQ Bahkan perempuan berkonde dan berdada tipis itu setiap hari dapat kita jumpai duduk di pojok yang sama. Juga perempuan berjarik sidomukti cingkrang, perempuan bersusur dan dua perempuan lain. Rupanya mereka satu grup yang sehari-harinya memang bekerja di rumah pegadaian. Para perempuan ini menunggu saat pegadaian melelang barang dan tak jarang pula ia menjadi penghubung antara pegadaian dengan perempuan-perempuan lain di kampungnya untuk menggadaikan barangnya.. Duduk satu bangku bersama perempuan bersusur, perempuan bergelung tekuk, perempuan bergincu menor, aku berhasil memuaskan rasa keingin-tahuanku sebagai peneliti yang sedang mengkaji lembaga keuangan. Ya betul, lembaga keuangan yang ramah dengan perempuan yang sedang kukaji. Menunggu giliran bertemu sang penaksir, aku duduk manis memangku piring-piring yang gres anyar itu. Sesekali si mbah gendut manis menyapa PHPXDVNDQUDVDLQJLQWDKXQ\D³JHUDQJDQDSDWDK\DQJKHQGDNNXODNXNDQ"´VHPHQWDUDSHUHPSXDQGLVHEHODK kanan kiriku bergaya cuek memasang telinga; Rupanya mereka mempunyai rasa ingin tahu yang sama. Mereka tahu betul kalou aku ini si New Comer..... . Asik juga mereguk rasa baru ini, kendati keasikkan itu tak bisa menghilangkan rasa gelisah dan gemuruh keras jantungku menunggu sang penaksir. Inikah yang dirasakan oleh para perempuan itu? .XDPDWLSDUDSHUHPSXDQGLUXPDK³MDJDO´ pegadaian itu. . Kupasang telingaku, menangkap suara cempreng ibu tengah baya kerempeng, kutatap lekat polah ibu bersusur berkonde ala kadarnya.
1
2
Adalah judul buku yang diterbitkan oleh LIMPAD dan Puskowanjati, 2001, yang mengulas tentang terjepitnya pelaku usaha mikro di antara budaya dan struktur usaha di Indonesia. Dari LIMPAD.
1
Satu jam sudah berlalu. Giliran eksekusi belum tiba jua. Aku gagal menenangkan diri. Degup jantungku bertalu semakin keras. Aha... tibalah giliranku. Dengan langkah pasti dibawah sorot mata aneh para perempuan di sebelah kanan kiriku, NXKDPSLULORNHWVDQJSHQDNVLU7DQSDµEDN-bik-EXN¶VDQJSHQDNVLUODQJVXQJPHQMDODQNDQWXJDVPHQHOLWLSLULQJ menaksir harga. Kedua kakiku mulai oleng menahan tubuh, keduatanganku mulai mengeluarkan keringat dingin, tatapan mataku penuh harap memohon pengasihan sang penaksir. Tiba-tiba aku merasa aneh dengan diriku; kok aku kehilangan kata-kata? Di manakah keberanian itu? Wibawa sang penaksir, seorang bapak berusia 50-an, gendut berkacamata tebal berhasil merampas kecerdasan dan kemerdekaanku. Sungguh, ia sangat berkuasa . Kepandaianku bercakap dan bertutur, sirna tak berbekas. Piring yang kubeli Rp. 24.000, hanya dihargai Rp 10.000. Aku kecewa, tapi aku harus bersyukur. Konon, aku mendapat harga yang baik. Perempuan lain belum tentu mendapat harga yang sama. Aku melenguh, betapa kemiskinan itu tak terhindarkan. Lenguhanku semakin panjang tatkala kudengar para perempuan yang minta jasa pertolongan sang penghubung harus merelakan sekitar 20% dari uang yang diperoleh kepadanya. Dalam perjalanan ke kantor, seiring dengan kayuhan bang Becak Tengil, aku merasakan berbagai rasa. Trenyuh, lemah tak berdaya, marah, sok pinter, senang mendapat pencerahan dari pengalaman baru. Semua rasa itu bercampur satu, bak salad favoritku dari Restoran Melati Hotel Tugu, Malang. Bagiku, rumah pegadaian serasa UXPDKµSHMDJDODQ¶EDJLSHUHPSXDQODLQUXPDKLWXVHUDVDUXPDKµVRUJD¶6XQJJXKVXDWXSHUbedaan yang kontras! Kini aku paham mengapa rumah itu akrab disambangi para perempuan. Dan akupun mampu memberi salam ³:HOFRPH WR WKH 3RYHUW\ *DWH´ %HJLQLODK NHPLVNLQDQ LWX PHPDVXNL UHOXQJ-relung kehidupan melalui para perempuan. ± dari catatan harian sang peneliti, Jakarta, 29 september 1996. Perempuan, Lembaga Keuangan, Kemiskinan: Ikon Pembangunan ³6LDQJLQLDNXPHPEDFDODSRUDQZDZDQFDUD'HQQ\GHQJDQ,EX=DDIULO,O\DVDNWLYLVWLJDMDPDQPDQWDQSHQJXUXV Puskowanjati dan Kopwan Setia Budi Wanita di Malang. Ia mengurai obsesinya tentang ekonomi kerakyatan dengan pendekatan sosialisme. Ia percaya betul, bahwa koperasi dapat membebaskan rakyat Indonesia dari kemiskinan. Perempuan menjadi pintu utama kesejahteraan rakyat Indonesia. Seolah Ibu Zaafril menyambut VDSDDQ³:HOOFRPHWRWKH3RYHUW\*DWH´NXGHQJDQ³3HUHPSXDQ6HODPDW'DWDQJ.HVHMDKWHUDDQ´ Aku terperanjat. Tiga tahun yang lalu, di tanggal dan bulan yang sama, aku mendapat pengetahuan sekaligus pencerahan mengenai sebuah lembaga keuangan non bank bernama pegadaian. Kali ini akupun mendapat pengetahuan baru tentang lembaga keuangan non bank juga yang bernama koperasi. Bedanya, tiga tahun lalu aku merasakan salad, kali ini aku dipaksa menghirup aroma optimisme Bu Zaafril; Koperasi Perempuan dan
2
Kesejahteraan. Benarkah koperasi mampu mampu membuat rakyat sejahtera? Jika ya, mengapa aroma NHPLVNLQDQ GDUL UXPDK µSHMDJDODQ¶ SHJDGDLDQ LWX PDVLK ELVD NXKLUXS" 0HQJDSD PEDN 6XPL PDVLK JHPDU bercengkerama dengan bank plecit? Mengapa Ibu Dedeh lebih memilih meminjam di kelompok PKK, padahal ia juga anggota koperasi? Alasan apa yang mendasari optimisme Ibu Zaafril itu? Lepas dari itu semua, ada satu tali penghubung. Rupanya para perempuan itu tidak akrab dengan lembaga keuangan bank, lembaga keuangan formal. Di manakah mereka? Adakah perseteruan ideologis antara perempuan dengan lembaga keuangan formal? Perempuan, lembaga keuangan mikro,3 kemiskinan menjadi ikon pembangunan (dari catatan harian sang peneliti, Surabaya, 29 September 1999) Quo Vadis Lembaga Keuangan? Lembaga Keuangan Mikro, istilah generik yang tak asing bagi banyak perancang pembangunan. Tapi bagi Minah, istilah itu isapan jempol. Semakin Minah, berakrab dengan bank plecit4 semakin sering ia disambangi mbak Warni. ,WXOKRSHPELQD/60³$QWDK%HUDQWDK´.DWDQ\DEDQNSOHFLWLWXWLGDNPHPEDQtu kesejahteraannya, tapi bank plecit itu cuma mau menghisap tenaga dan darahnya. Tapi Minah tak peduli. Baginya bank plecit itu sang penolong. Mana ada lembaga yang dapat menolong orang-orang seperti Minah dengan cepat?5 Mbokde Sutinah yang pernah mengajaknya meminjam ke BMT6 ³$EUDNDGDEUD´DNKLUQ\DKDUXVPHQHULPDNHQ\DWDDQEDKZD0LQDKWDN berminat menjadi nasabah BMT. Minah juga tak beranjak pergi ke koperasi atau ke kelompok usaha bersama. Bahkan tawaran Pak RTnya untuk mendapatkan dana JPS tak digubrisnya. 6HNDUDQJ DNX SDKDP NHQDSD 0LQDK WDN SHUQDK PDX KHQJNDQJ GDUL MDULQJ ³ODED-ODED EHUDFXQ´ %DQN 3OHFLW Rupanya Bank Plecit mempunyai budaya yang sama dengan budaya kemiskinan Minah. Ketika Minah butuh uang buat nyumbang, Bank Plecit saat itu juga menyediakannya. Saat Minah butuh uang buat pasang togel, beli beras, dan membalas budi baik sepupunya, Bank Plecit siap mencairkan sejumlah dana bagi Minah. Budaya bank Plecit adalah budayanya Minah, budaya orang miskin, budaya yang serba dadakan. Tak hanya itu, bagi Minah, Bank Plecit sangat mengerti kemiskinan Minah yang tidak punya agunan; ia tidak pernah minta agunan, ia tidak pernah bertanya macam-macam yang membuatnya malu campur mangkel, juga tidak berkeinginan menjadi 3
4 5
6
Para pakar membedakan jenis-jenis kembaga keuangan mikro menjadi LKM bank, LKM bukan bank (formal maupun informal) dan LKM koperasi yang tunduk dengan UU Koperasi. LKM proyek Pemerintah, LKM milik Pemerintah daerah dan LKM lainnya, dari PROSIDING DAN HASIL Rumusan Lokakarya Nasional Pengembangan dan Perkuatan LKM, Kantor Menegkop & UKM serta Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat, UNPAD Bandung, 2001. Nama lain untuk bank harian, atau rentenir Hasil penelitian Akatiga menunjukkan bahwa kerabat, rentenir lama waktu yang dibutuhkan untuk mendapatkan pinjaman selama 1 hari, BMT dampingan Peramu 3-7 hari, sisanya Koperasi, BPR, BPRS, BRI dan bank lain lama waktu yang dibutuhkan lebih dari 15 KDUL³6WXGL0RGHO3HPELD\DDQ%07GDQ dampaknya bagi pengusaha kecil. Hasil penelitian Akatiga yang sama menyebutkan nasabah tetap bertahan di BMT karena sudah familiar dengan petugas dan sistemnya serta angsurannya ringan, sementara prosedur yang lebih mudah dan persyaratan lebih ringan menjadi alasan seseorang meminjam dari BMT.
3
pahlawan pembina ekonomi rumah tangga seperti yang selama ini dilakukan oleh LSM. Fenomena bank plecit, fenomena layangan melayang-layang menari ringan di udara bebas seringan hidup Minah yang tanpa beban. Minah tak segan-VHJDQPHURJRKNRFHNQ\DVHPDNLQGDODPXQWXNPHPEDODV³SHQJHUWLDQ´%DQN3OHFLW6HPEDUL PHPEDWLQ³8QWXQJDGDGLDNDODXQJJDNGDULPDQDDNXELVDPHPHQXKLNHZDMLEDQNX´± dari catatan harian sang peneliti, Pucung 2 Oktober 2000 *** Kurang lebih satu tahun kemudian, aku terhentak dengan gegerannya para teman sesama LSM, para rekan sesama koperasi, para aktivis gerakan. Gegeran itu gegeran RUU LKM. LKM yang selama ini liar, informal dan mengakar secara luas di masyarakat hendak diformalkan. Banyak alasan menarik dari para pakar dan cerdik pandai yang dikemukakan untuk menjelaskan alasan penting dibalik kehadiran sang Undang-undang.7 Ada nada minor, ada kesesakan, ada kekhawatiran dan ada rasa-rasa sebaliknya yang berhasil kuendus menanggapi keberadaannya. $NX ELVD PHPDKDPL NHVHVDNDQ LWX ³3HPHULQWDK LQL PHPDQJ NXUDQJ JDZHDQ´ EHJLWX DZDO NHOXK ,EX 3XUQDPDQLQJUXPEXNDQQDPDDVOL ³6HJDODKDO\DQJVXGDKEDLNWXPEXKGDQPHQJDNDUGDODPPDV\DUDNDWNRN \DGLUHFRNL3HPHULQWDK´EHJLWXWDPEDKQ\DVHQJLW Aku mencoba berempati dengan Ibu Pur. Kubiarkan ia mengeluarkan kesesakannya dengan menganalisis rancangan undang-XQGDQJ/.0³.DODXGLOLKDWGDULNDFDPDWDELVQLV/.0LQLPHPDQJVDQJDWVHNVL$QJND-angka statistik, menunjukkan bahwa bisnis uang recehan dalam bungkus LKM jauh lebih menguntungkan dibanding bisnis besar yang sekarang ini sedang karam. Tengok statistik tahun 2000 yang menyebut jumlah UKM sebanyak 39,04 juta. Kalau rata-rata unit usaha itu membutuhkan sejumlah uang tertentu, katakanlah lima juta, kira-kira berapa ratus trilyun uang yang harus disiapkan? Kira-kira berapa ratus juta atau berapa milyar keuntungannya, kira-kira berapa milyar untuk pengembangan organisasi dan kelembagaan LKM yang bisa masuk dalam kocek GHQJDQPXGDK"´
7
Kehadiran RUU LKM tidak lepas dari: (a) pengamatan Pemerintah akan ketangguhan bertahan dan pertumbuhan pesat LKM, (b) fakta kuatnya dukungan donor terhadap LKM diimbangi dengan tersedianya pendanaan dari dalam negeri (salah satunya subsidi BBM), (c) fakta bahwa pada tahun 2000 jumlah UKM 39,04 juta unit, menyerap 74,4 juta orang merupakan pasar potensial yang massif, (d) Fakta bahwa UKM tak terlayani dalam sistem perbankan formal (hanya 20an% yang mampu terlayani) merupakan pasar potensial yang massif sementara kondisi obyektif masyarakat berpenghasilan rendah tidak mungkin mengakses layanan keuangan formal selain budayanya memang berbeda dengan budaya kemiskinannya, (e) fakta bahwa kerangka hukum yang ada belum mengatur LKM, apalafi LKM informal merupakan peluang bagi pemerintah, (f) fakta bahwa LKM mempunyai permasalahan internal yang berkaitan dengan pengembangan SDM, teknologi sistem dan prosedur serta permodalan merupakan pasar potensial yang juga massif, (g) fakta bahwa penanganan kemiskinan merupakan gerakan global yang sangat relevan melalui pendekatan kredit mikro (sumber: Prosiding dan Hasil Rumusan Lokakarya Nasional Pengembangan dan perkuatan LKM, Kantor Menegkop & UKM dengan Lembaga Pengabdian Kepada masyarakat UNPAD, Bandung)
4
Dahsyat! Aku kagum dengan kecerdasan Ibu Pur, juga dengan pemerintah! (barangkali bukan pemerintah, tapi FXPDRNQXPWHUWHQWX6VVWWWLQLUDKDVLD7DNXVDKDGLEDKDV %HOXPODJLXDQJ\DQJ³ERFRU´NDUHQD³PDFHWE\ GHVLJQ´%XNDQNDKLQLVHEXDKELVQLV\DQJOXDUELDVD" ³Kalau dilihat dari kacamata politik, bisnis ini masih merupakan bisnis yang menguntungkan. Katakanlah 10% dari jumlah UKM yang 39,04 juta itu menjadi pendukung suatu partai politik tertentu, bukankah partai politik ini menjadi partai yang berkuasa? Hitung VDMDEHUDSDNRQVWLWXHQQ\D"´ Kepalaku terangguk-angguk. Aku berusaha untuk tidak ikut-ikutan nyinyir, tapi sebagian dari kekritisanku membenarkan kenyinyiran itu. Peta yang dibuat oleh Riza Primahendra, Deputi Sekjen Gema PKM Indonesia, menunjukkan potensi LKM yang luar biasa, baik itu LKM berbentuk bank8, LKM berbentuk koperasi,9LKM milik Pemerintah Daerah,10 LKM Proyek Pemerintah11 maupun LKM lain12 yang berhasil membuatku berandai-andai dengan hitungan-hitungan kasar . Aku mencoba untuk berpikir jernih, tanpa harus terseret dengan emosi para rekanku. Maka lembar-demi lembar rancangan undang-undang itupun kutelusuri, kendati aku sepakat dengan Riza, bahwa undang-undang hanyalah merupakan bagian kecil dari suatu legal dan regulatory framework.13 Paling tidak, ada tiga pertanyaan kritis mengisi lembar catatan harianku. Pertama, menjawab kebutuhan siapakah undang-undang LKM ini? Dalam draft rancangan sih disebut melindungi pengusaha mikro dan deposan lemah alias masyarakat berpenghasilan rendah. Kalau maksudnya untuk melindungi deposan lemah, mengapa rancangan lebih menekankan pada LKM sebagai institusi, kendati klausul detailnya tidak menjelaskannya secara spesifik pemenuhan kebutuhan penguatan LKM sebagai lembaga. Ada sih klausul yang menyebut soal penjamin yang masih diperdebatkan, soal pasar, bantuan teknis dan peningkatan kompetensi LKM, kapasitas dan kapabilitas LKM, tapi informasi itu masih glondongan alias sangat umum. (jangan-jangan undang-undang ini untuk menjawab kebutuhan suatu golongan elit tertentu. Ssssttt...... ini rahasia!)
8
9
10
11
12
13
BPR, ada 2419 BPR di pula Jawa dengan penyaluran kredit mencapai Rp 3,6 trilyun dengan aset rerata 2 milyar, BRI Unit Desa yang pada pertengahan tahun 2000 sekitar 3700 unit dengan total simpanan Rp 18 trilyun dan total pinjaman 6,7 trilyun. Ada 3700 KUD, 1097 kosipa dengan total kredit mencapai lebih dari Rp 530 milyar dan simpanan lebih dari Rp 1,3 milyar, ada 1105 koprasi kredit dengan aset mencapai Rp 185 milyar dan simpanan rerata mencapai Rp 106 juta. Ada LDKP (Lembaga Dana Kredit Pedesaan) sebanyak 2.272 unit denan aset rerata Rp 304 juta, ada 5345 Badan Kredit Desa dengan total aset Rp 257 milyar. Ada 2000 Lembaga Ekonomi Produktif Masyarakat yang rata-rata memiliki aset kurang dari Rp 50 juta, 52.000 unit Ekonomi Desa Simpan Pinjam dengan total pinjaman sekitar Rp 116 milyar pada akhir tahun lalu dan rata-rata pinjaman sekitar Rp 2,6 juta per UEDSP, ada 1582 Tempat Pelayanan Simpan Pinjam yang memberi pinjam Rp 37 milyar (april 2000), ada 25.000 kelompok dari Proyek Peningkatan Pendapatan Petani nelayan Kecil, 550.000 kelompok Usaha Peningkatan Pendapatan Keluarga Sejahtera (UPPKS) dari BKKBN yang memperoleh pinjaman lebih dari Rp 500 milyar. Pegadaran yang sampai akhir tahun 2000 terdapat 685 kantor pegadaian yang memberikan pinjaman Rp 793 milyar, Hubungan Bank dengan KSM telah melibatkan sekitar 12.000 kelompok aktif yang membantu penyaluran pinjaman sebesar Rp 68 milyar dan simpanan sekitar Rp 17 milyar dan ribuan LKM tradisional seperti arisan. Karenanya berbagai hal lain seperti keberadaan kebijakan nasional dan pengaturan-pengaturan yang lebih spesifik seperti posisi dalam proses otonomi daerah, hak untuk membangun hubungan dengan berbagai pihak dan semacamnya masih harus GLSHUMXDQJNDQ VXPEHU 5L]D 3ULPDKHQGUD ³3HQJHPEDQJDQ .HXDQJDQ 0LNUR 7DQWDQJDQ GDQ 6WUDWHJL´ GDODP 3526,',1* '$1
5
Kedua, di mana, seperti apa dan bagaimanakah posisi LKM? Dalam rancangan tidak jelas LKM berada dalam naungan dan tunduk pada siapa. Kalau BPR tunduk pada BI dan Departemen Keuangan, sementara koperasi tunduk pada Departemen Koperasi, nah LKM ini tunduk pada siapa? Apakah ia tunduk dan berada dalam pengawasan BI yang selama ini menjadi fasilitator dalam kerjasama dengan Pemerintah Jerman? Ataukah ia tunduk di bawah Departemen Dalam Negeri yang secara jelas menyebutkan perizinan dan pengawasan pada pemerintah Daerah Tingkat I dan II? Atau ia saat ini sedang diperebutkan oleh berbagai instansi yang sudah ada? Pertanyaan kecil lain dalam pertanyaan besar posisi LKM, LKM itu diletakkan di mana dalam percaturan perekonomian makro, mengingat selama ini masih belum menjadi bagian dari sistem formal dan posisiya dilihat VHEDJDLEDJLDQGDULSURJUDPSHQJHQWDVDQNHPLVNLQDQ".DODXEDQNMHODVPDVXNGDODP³DUXVGHUDV´GDQIRUPDO sementara koperasi sebaliknya; nah kalau LKM apakah masuk dalam jepitan antara bank dan koperasi? Pertanyaan ini sangat relevan dijawab untuk menentukan produk-produk atau usaha apa saja yang dibolehkan. Jika ia terletak diantara jepitan koperasi dan bank, layakkah ia melakukan usaha yang menjadi pesaing koperasi? Pada bagian-bagian tertentu dari rancangan, Pemerintah menyebut dirinya sebagai fasilitator, regulator, dan pengawas. Dalam bagian lain, ia menyebut dirinya sebagai pemilik. Tidakkah akan terjadi konflik kepentingan? Sebagai penguasa yang mempunyai core business yang sama dengan LKM sebagai pesaing, tentunya akan lebih mementingkan dan memenangkan dirinya daripada bertindak adil kepada pesaing. Kesangsian pertanyaan ini ELVDGLWHSLVGHQJDQ³PDNDGLEXDWODKDWXUDQPDLQQ\D´0DVDODKQ\DELVDNDK",QJDWSHQJDODPDQNLWDGHQJDQEDQN yang ternyata sangat mendukung konglomerasi! Bukankah kesangsian itu relevan? Katakan saja Pemerintah tidak mempunyai bisnis jasa keuangan, tetapi apakah Pemerintah rela tidak membuat program-program tandingan yang memarjinalisasikan LKM yang merusak mekanisme pasar dengan dana hibah dan murah yang konon digunakan untuk mengentaskan kemiskinan? Ketiga, siapa pengambil manfaat dan yang diuntungkan dari UU LKM? Apakah UU menjamin hilangnya marjinalisasi LKM? Apakah UU LKM menjamin keadilan bagi LKM? Bagaimana masyarakat berpenghasilan rendah dan pengusaha mikro dijamin oleh UU ini, jika untuk menerapkannya Pemerintah menggunakan instrumen BKKBN atau BPS yang jelas-jelas tidak dapat memberi gambaran senyatanya dari si miskin dan bias gender pula. Bagaimana dengan budaya LKM yang diformalkan itu, masih tetap seiramakah dengan budaya masyarakat berpenghasilan rendah? Aku lelah dalam pusaran lembaga keuangan mikro, kemiskinan dan perempuan! Dalam kelelahan aku masih mampu berandai-andai: Apakah tidak sebaiknya undang-undang itu mengatur LKM yang tidak memarjinalkan LKM tradional dan LKM koperasi namun mengatur LKM sebagai lembaga pembiayaan alternatif yang mempunyai HASIL RUMUSAN LOKAKARYA NASIONAL PENGEMBANGAN DAN PERKUATAN LKM, Kantor Menegkop & UKM bekerjasama dengan UNPAD, Bandung, 2001).
6
pasar secara spesifik, yaitu pasar yang tidak bisa dilayani oleh koperasi dan LKM tradisional. Apakah tidak sebaiknya undang-undang itu mengatur lembaga pengelola yang profesional dan kompeten dengan pengawasan yang jelas. Tidak dengan menyebut Pemerintah Daerah demi berlangsungnya otonomi daerah, kendati memang dalam pelaksanaannya Pemerintah Daerah bisa saja menunjuk lembaga lain seperti BPD. Apakah tidak sebaiknya sistem LKM dalam undang-undang dibuat pasti, transparan dan low cost. Misalnya, dipastikan setiap tahun ada audit dari akuntan publik sehingga klausul mengenai sewaktu-waktu dapat diperiksa oleh orang-orang atau instansi tertentu tidak perlu dicantumkan. Aku teringat pada si mbah gendut bersusur, Minah, Bu Dedeh, dan para perempuan lain. Bisa jadi para perempuan ini tak peduli dengan kehadiran Undang Undang LKM, tapi yang jelas, cepat atau lambat, mereka akan merasakan dampaknya. Bisa jadi kehadiran UU LKM membuat transaksi Minah dengan bank plecit berubah menjadi lebih baik dan menguntungkan atau sebaliknya. Minah tidak punya arah, imajinasinya terbatas seluas daun kelor. (dari catatan harian sang peneliti, 14-15 Oktober 2001)
7
METODE EVALUASI DAMPAK KEGIATAN PEMBIAYAAN LEMBAGA KEUANGAN MIKRO Latar Belakang Perkembangan lembaga keuangan mikro baik di Indonesia maupun di dunia berjalan dengan pesat. Saat ini di Indonesia saja terdapat beberapa jenis lembaga keuangan mikro, baik yang berbentuk bank maupun non bank. LKM yang berbentuk bank di antaranya adalah BRI Unit Desa (sebanyak 3700 unit), yang sering disebut sebagai salah satu kisah sukses penyelenggaraan jasa keuangan mikro, serta Bank Perkreditan Rakyat yang jumlahnya mencapai 2419 unit1. Sementara di luar perbankan, terdapat beberapa jenis lembaga lagi, di antaranya adalah koperasi, pegadaian, Baitul Mal watTamwil (BMT), Bank Kredit Desa (BKD), Lembaga Dana Kredit Pedesaan (LDKP), Credit Union, sampai yang sangat informal seperti berbagai kelompok arisan serta kelompok-kelompok swadaya masyarakat yang dibentuk oleh berbagai Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Selain memmberikan alternatif jasa keuangan bagi kelompok masyarakat miskin, kegiatan keuangan mikro merupakan salah satu titik masuk yang sering digunakan dalam pemberdayaan kelompok masyarakat miskin. Hal ini terutama dilakukan oleh berbagai program kredit yang disalurkan melalui kelompok. Salah satu aspek yang masih belum banyak dibahas di dalam kegiatan keuangan mikro di Indonesia adalah bagaimana dampak kegiatan tersebut terhadap nasabah atau kliennya. Ide tersebut tampaknya hanya menarik untuk pihak donor atau para akademisi, bukan pada LKM-nya (Cohen, 1998). Padahal isu evaluasi dampak menjadi penting bagi LKM untuk mengetahui apakah kegiatan yang dijalankan telah mencapai tujuannya atau tidak. Salah satu alat (tools) yang pernah dikembangkan dalam melakukan evaluasi dampak adalah alat yang dikembangkan oleh tim Assessing the Impact of Microenterprise Services (AIMS) yang dibentuk oleh USAID. Tim ini kemudian melakukan penelitian dampak kegiatan keuangan mikro di beberapa tempat. Pada beberapa waktu yang lalu, Penulis berkesempatan melakukan studi sejenis, bekerja sama dengan salah satu LSM di Bogor yaitu Yayasan Peramu. Tujuan studi tersebut terutama untuk melihat dampak kegiatan lembaga keuangan mikro dampingan LSM tersebut terhadap nasabah atau mitranya. Pada penelitian tersebut ditemukan sejumlah kendala untuk menerapkan secara persis alat evaluasi yang disusun tim AIMS, sehingga dalam penelitian tersebut tim peneliti memutuskan untuk melakukan sejumlah perubahan cara penggalian data dengan tujuan yang hampir sama. Tulisan ini bermaksud memberikan ulasan bagaimana modifikasi yang dilakukan dalam penelitian di Bogor, serta beberapa kekurangan yang muncul.
1
Primahendra.
Overview Metode Evaluasi Dampak2 Metode yang dikembangkan oleh tim AIMS dengan dukungan USAID bersifat kuantitatif. Hipotesis yang dibangun didasarkan pada model konseptual yang melihat usaha mikro sebagai bagian tak terpisahkan dari keseluruhan ekonomi rumah tangga. Dalam model konseptual tersebut, ekonomi rumah tangga dibagi ke dalam tiga komponen, yaitu:1) sumber daya manusia, fisik, dan keuangan rumah tangga; 2) kegiatan produksi, konsumsi, dan investasi di dalam rumah tangga; 3) aliran kegiatan dan sumber daya. Aliran sirkuler ini mencakup keputusan untuk mengalokasikan sumber daya ke dalam kegiatan tertentu dan aliran balik dari pendapatan yang dihasilkan dari kegiatan tersebut. Aliran pendapatan ini kemudian kembali memperbesar sumber daya yang bisa dialokasikan lagi oleh rumah tangga. Kredit masuk di dalam portofolio eknomi rumah tangga ini dan bersama dengan sumber daya rumah tangga lainnya, dapat digunakan untuk membantu anggota rumah tangga memilih sejumlah kegiatan yang paling cocok dengan tujuan dan kendala yang dimilik anggota keluarga tersebut3. Penting untuk diingat dalam melakukan analisis dampak kegiatan finansial bahwa kegiatan usaha mikro tidak dapat dipisahkan dari ekonomi rumah tangganya. Usaha mikro yang menerima kredit sepertinya menjadi salah satu dari beberapa kegiatan peningkatan pendapatan keluarga yang menarik keluarga dari keterbatasan sumber daya. Dengan memperluas analisis mencakup portofolio keseluruhan ekonomi rumah tangga, maka evaluasi dampak dapat difokuskan ke dalam dampak program pada tingkat rumah tangga, usaha, dan individu, dengan demikian akan menangkap seluruh perubahan yang mungkin terjadi pada kesejahteraan rumah tangga dari nasabah dari waktu ke waktu.4 Metode Pengumpulan Data Berikut adalah metode pengumpulan data yang dilakukan dalam studi tersebut: 1. Metode Kuantitatif digunakan untuk mengetahui apakah terjadi perubahan pada rumah tangga yang diteliti? Pengambilan data lapangan dilakukan dua kali. Metode kuantitatif berupa penyebaran kuesioner dalam dua putaran selama dua tahun. Survei yang kedua bertujuan membandingkan perubahan yang dialami responden. Responden diambil dari dua kategori, yaitu nasabah LKM yang diteliti dan responden non nasabah. Perubahan yang dialami non nasabah, baik kenaikan atau penurunan dari responden non nasabah akan menggambarkan kecenderungan normal (normal trend) yang diperkirakan dipengaruhi kondisi eknomi makro serta faktor eksternal lainnya. Perbedaan perubahan yang dialami klien dengan demikian dapat dihubungkan dengan pengaruh dari program keuangan mikro sepanjang konsisten dengan analisis data kualitatif5. 2. Metode Kualitatif. Metode pengumpulan data kualitatif melibatkan pengumpulan dan analisis sejumlah studi kasus, wawancara mendalam, serta metode focused group discussion (FGD). Informan yang diambil untuk metode kualitatif dipilih berdasarkan perbedaan tingkat pendapatan, jenis kelamin, dan lama keikutsertaan dalam program. Wawancara 2 3 4 5
Bagian ini terutama disarikan dari Dunn 1999. Microfinance Clients in Lima, Peru: Baseline Reports for AIMS Core Impact Assessment. AIMS.. Chen & Dunn. 1996. dalam Dunn, 1999, hal 18, terjemahan bebas dari Penulis ibid, hal 18 ibid hal 17.
ditekankan untuk melihat :1) proses-proses yang menyebabkan terjadinya perubahan di tingkat nasabah; 2) investigasi sejumlah variabel yang lebih subjektif pada tingkat individu; 3) investigasi untuk mencari penjelsan alternatif atau yang berlawanan untuk penjelasan dampak. Metode kualitatif juga dilakukan sebelum mendesain survei. Dengan demikian, survei yang dilakukan terhadap responden bersifat longitudinal dan quasi-experimental, yang berulang dalam jangka waktu tertentu. Pendekatan quasi-experimental adalah pendekatan terhadap responden yang tergabung dalam satu kelompok dan mendapatkan perlakuan khusus (dalam hal ini, mendapatkan pelayanan jasa keuangan mikro). Peneliti memilih satu grup lain sebagai perbandingan, dengan karakter-karakter penting yang sama dengan grup pertama tetapi tidak mendapatkan perlakuan khusus (dalam hal ini, kelompok yang tidak mendapatkan pelayanan jasa keuangan mikro). Variabel Perubahan Variabel yang diukur dalam mendeteksi dampak akibat keikutsertaan dalam program keuangan mikro dapat dibagi ke dalam tiga level, masing-masing sebagai berikut6: 1. Dampak di tingkat rumah tangga: a
Peningkatan pendapatan rumah tangga
b
Diversifikasi sumber-sumber pendapatan rumah tangga
c
Peningkatan aset yang dimiliki oleh rumah tangga, meliputi: i)
Perbaikan rumah
ii) Peningkatan atau penambahan peralatan rumah tangga dan alat transportasi iii) Peningkatan aset tetap usaha d
Peningkatan pengeluran untuk pendidikan anak
e
Peningkatan pengeluaran untuk makanan, khususnya pada nasabah yang sangat miskin;
f
Peningkatan daya tahan rumah tangga dalam menghadapi guncangan;
g
7LQJNDW³intergenerational launching´ yang lebih tinggi (yaitu proses yang dilakukan pemilik usaha untuk mendorong anak anak mereka terjun ke dunia usaha sebagai alternatif terhadap kelangkaan pekerjaan di sektor formal)
2. Dampak di tingkat usaha: a
Peningkatan pendapatan di usaha
b
Peningkatan aset tetap, khususnya pada nasabah dengan pinjaman berulang;
c
Peningkatan buruh baik yang diupah maupun yang tidak diupah
d
Pengembangan hubungan-hubugan bisnis pemilik usaha
e
Tingkat kemampuan yang lebih tinggi untuk masuk ke dalam sistem pajak
3. Dampak di tingkat individu: a
Peningkatan kontrol klien terhadap sumber daya dan pendapatan di dalam portofolio ekonomi rumah tangga;
b
Peningkatan harga diri dan respek dari orang lain;
c
Peningkatan tabungan individu;
d
Perubahan sikap dari pasrah-menerima-masa depan ke arah perilaku yang lebih proaktif dan peningkatan rasa percaya diri;
e
Perencanaan masa depan yang lebih baik, termasuk rencana jangka panjang untuk usahanya.
Tanggapan Terhadap Kegiatan dan Metode Evaluasi Dampak Kritik terhadap munculnya berbagai metode evaluasi dampak kegiatan keuangan mikro terutama datang dari kalangan praktisi atau pelaku kegiatan tersebut. Kritik tersebut bukan pada pentingnya keberadaan program evaluasi dampak atau tidak, melainkan lebih pada metodologinya. Metode evaluasi dampak yang ada selama ini masih dianggap terlalu mahal dan rumit untuk dilaksanakan di tingkat LKM sendiri. Hal ini terjadi tidak hanya dialami di Indonesia tetapi juga dialami oleh praktisi-praktisi keuangan mikro di dunia. Para praktisi tersebut menyadari bahwa untuk menilai apakah program keuangan mikro mereka berhasil atau tidak, ukuran yang dipakai seharusnya bukan ukuran yang menyangkut kinerja institusi keuangan, melainkan ukuran-ukuran yang memperlihatkan perubahan pada nasabah sendiri7. Meskipun demikian, kendala-kendala yang dihadapi untuk melakukan penghitungan dampak yang lebih luas masih tetap dirasakan. Kendala tersebut adalah: -
Kebanyakan studi dampak tidak layak secara akademis. Studi yang memperlihatkan perubahan pendapatan, aset, atau tenaga kerja membuktikan bahwa memang terjadi perubahan dalam kehidupan nasabah LKM, tetapi tidak dapat dibuktikan bahwa perubahan tersebut adalah dampak dari program LKM. Tanpa menperhitungkan perubahan yang terjadi pada orang-orang yang tidak menerima pinjaman (seperti penggunaan control group), kita tidak dapat mengatakan bahwa perubahan yang terjadi pada nasabah disebabkan oleh pinjaman. Selain itu kebanyakan studi hanya mengambil satu titik wkatu dan sering menyandarkan diri pada ingatan klien untuk menentukan kondisi mereka sebelum menerima pinjaman.
-
Studi dampak yang memadai memerlukan banyak uang. Studi dampak yang ketat dengan menggunakan control group dan informasi dasar termasuk mahal karena membutuhkan pakar dari luar organisasi atau anggota staf yang terlatih dengan baik untuk mengorganisasikan studi, melatih enumerator lokal untuk mengumpulkan data, menyusun program untuk menggabungkan data dan melakukan analisis final.
-
Terlalu mahal untuk melakukan studi semacam itu secara teratur, karena kebanyakan LKM masih berjuang untuk mencapai keberlanjutan secara finansial, sehingga tidak mampu membiayai penelitian yang dilaksanakan oleh tim pakar tersebut.
6 7
ibid hal 19. 3HQXOLV\DQJPHPEDKDVWHQWDQJLQLDQWDUDODLQDGDODK&KHVWRQ 5HHG«GDODP-RXUQDORI0LFURILQDQFH9ROXPH1R+DO ini muncul pula dalam seri diskusi virtual yang diselenggarakan oleh Consultative Groups to Assist the Poorest (CGAP) dari World Bank tahun 1997. Juga muncul GDODPGLVNXVLWLPSHQHOLWLGHQJDQVWDI%07GDODP³6WXGL0RGHO3HPELD\DDQGDQ'DPSDNQ\D%DJL3HQJXVDKD.HFLO´NHUMDVDPD
-
Pasar sendiri sering sudah menyediakan data yang masuk akal untuk melihat dampak tersebut. Jika nasabah LKM membayar penuh biaya atas jasa yang mereka terima, membayar pinjaman pada waktunya, dan secara teratur kembali untuk mendapatkan pinjaman lain, maka program tersebut mestinya mempunyai dampak positif terhadap klien.
-
Penghitungan dampak kemudian menjadi benteng terakhir dari mereka yang tidak bersedia menghadapi kenyataan pasar. Studi dampak sering digunakan untuk menjustifikasi peningkatan pengeluaran yang tidak memenuhi standar tingkat keuntungan dan kualitas portofolio pasar yang tinggi. Studi dampak dapat disalahgunakan oleh LKM yang buruk.8
Metode yang banyak dikembangkan saat ini kebanyakan masih disusun oleh lembaga-lembaga donor dengan tujuan utama melihat apakah program-program kredit mikro yang diluncurkan donor berhasil atau tidak. Sedangkan bagi LKM, penyusunan studi dampak lebih sering digunakan untuk memenuhi permintaan donor saja. Meskipun demikian, penulis yang sama menyebutkan bahwa metode penghitungan dampak yang mengukur tingkat keberhasilan program keuangan pada nasabah masih diperlukan. Tingkat kesehatan institusi yang baik (keuntungan atau omset tinggi, tingkat kredit macet yang rendah) belum menunjukkan apakah kredit yang diberikan berhasil membantu nasabah atau tidak, terlebih karena kebanyakan LKM beroperasi dengan tujuan membantu mengurangi kemiskinan. Yang dibutuhkan oleh LKM adalah metode studi dampak dengan biaya yang terjangkau tetapi secara metodologis memadai.9 0HWRGH(YDOXDVL'DPSDNGDODP´6WXGL0RGHO3HPELD\DDQ%07GDQ'DPSDNQ\D%DJL3HQJXVDKD.HFLOµ10 Penelitian yang dilakukan oleh Yayasan AKATIGA bekerjasama dengan Yayasan Peramu Bogor bertujuan untuk melihat dampak pembiayaan dari tiga BMT terhadap nasabahnya. Pada penelitian tersebut tim peneliti menggunakan sejumlah pendekatan yang diperkenalkan tim AIMS. Pada diskusi-diskusi awal penelitian ini dimulai, tim mengidentifikasi sejumlah kendala untuk menerapkan sepenuhnya metode atau alat tersebut. Kendala-kendala tersebut bersifat teknis, berupa keterbatasan biaya tidak memungkinkan survei dilakukan secara longitudinal. Studi AIMS menerapkan interval waktu dua tahun antara survei pertama dan kedua, pada penelitian ini hal tersebut tidak dimungkinkan. Studi ini kemudian lebih ditujukan untuk mengeksplorasi perubahan-perubahan yang terjadi pada nasabah dan mengidentifikasi peranan BMT dalam usaha maupun rumah tangga nasabahnya. Tujuan lain yang ingin dicapai adalah mendapatkan respon dan persepsi nasabah BMT terhadap model pelayanan BMT. Dengan melihat respon nasabah termasuk melihat keberlanjutan penggunaan jasa BMT oleh nasabah, dapat diperkirakan keberlanjutan BMT di masa depan serta kekurangan atau kendala yang masih dihadapi LKM model BMT. Dengan dua tujuan tersebut, penelitian yang diselenggarakan AKATIGA dan Peramu kemudian memutuskan untuk mengambil sejumlah kriteria dampak pembiaayaan BMT dari metode tersebut, kemudian memodifikasi metode pengambilan
8
9
&KHVWRQ 5HHG³0HDVXULQJ7UDQVIRUPDWLRQ$VVHVVLQJDQG,PSURYLQJWKH,PSDFWRI0LFURFUHGLW´GDODP-RXUQDORI0LFURILQDQFH, Volume 1 No. 1, 199___. Terjemahan bebas dari penulis. ibid, hal 24-25.
datanya. Prinsip utama yang didiskusikan di dalam tim dan hal yang diadopsi dari metode tim AIMS adalah karakteristik kegiatan UKM tidak terpisah dari kegiatan rumah tangganya. Meskipun pinjaman yang diberikan BMT ditujukan untuk kegiatan usaha, dampak yang diakibatkannya boleh jadi tidak terlihat dalam perkembangan usaha. Oleh karena itu identifikasi dampak harus dilakukan baik di tingkat usaha maupun rumah tangga. Pada level usaha, perubahan yang akan diukur adalah: a) perubahan skala usaha, meliputi perubahan aset, omset, serta keuntungan bersih yang diterima; b) perubahan komposisi permodalan, meliputi perubahan proporsi modal dibandingkan dengan modal pinjaman; c) perubahan produktivitas, meliputi peningkatan pada indeks Return of Investment (RoI) dan Return to Asset (RoA); d) Perubahan jumlah tenaga kerja; dan e) peningkatan daya tahan usaha terhadap goncangan. Pada level rumah tangga, dampak yang diukur meliputi: a) perubahan nilai pendapatan; b) perubahan pola menabung yang ditunjukkan melalui investasi keluarga misalnya pembelian tanah atau rumah; dan c) perubahan sumber pendapatan rumah tangga, baik yang berasal dari diversifikasi usaha maupun perluasan usaha yang sama di tempat lain. Pada tingkat individu, dampak yang diukur meliputi: a) perubahan pada aspek jender: adanya perubahan relasi antara laki-laki dan perempuan setelah menjadi anggota BMT; b) dari kelompok-kelompok yang dibentuk BMT untuk pinjaman, muncul inisiatif-inisiatif untuk melakukan tindakan kolektif baik untuk isu yang bersifat strategis maupun praktis; c) dalam proses pembiayaannya, BMT mensyaratkan adanya bukti-bukti dari tiap transaksi yang menggunakan dana dari BMT. Dari persyaratan ini diharapkan muncul kesadaran pengusaha untuk melakukan pencatatan yang lebih rapi dalam usahanya sehingga dapat diketahui secara lebih jelas besarnya aliran uang dan barang setiap hari. Modifikasi Metode Seperti telah dijelaskan di atas, metode studi dampak yang digunakan oleh tim AIMS tidak dapat digunakan sepenuhnya di dalam studi ini, antara lain pengulangan survei untuk mendapatkan informasi tentang perubahan kondisi responden. Sejumlah cara lain digunakan untuk menangkap informasi yang dibutuhkan, sebagai berikut. Identifikasi Perubahan yang Terjadi Pada Nasabah Seperti telah disebutkan di atas, dalam studi ini terutama metode survei yang longitudinal tidak dapat dilakukan dengan alasan keterbatasan teknis, sehingga untuk mencari informasi tentang perubahan harus dilakukan dengan cara lain. Ada beberapa cara yang digunakan untuk mendapatkan informasi perubahan yang terjadi pada nasabah. Data kondisi nasabah. Data nasabah BMT diambil dari formulir Memorandum Analisis Pembiayaan (MAP), yaitu formulir yang digunakan oleh petugas BMT dalam menganalisis kelayakan pengajuan pinjaman di dalamnya memuat data kondisi usaha dan rumah tangga nasabah yang diisi setiap kali nasabah mengajukan permohonan pembiayaan. Data ini dapat digunakan untuk menganalisis perubahan kondisi nasabah baik dari sisi usaha maupun rumah tangganya. Data MAP yang terkumpul dikomputerisasi dan menghasilkan database nasabah ketiga BMT yang diteliti. MAP dari ketiga BMT harus disortir dahulu
10
Bagian tulisan ini merupakan penJHPEDQJDQ GDUL /DSRUDQ ³6WXGL 0RGHO 3HPELD\DDQ %07 GDQ 'DPSDNQ\D 3DGD 3HQJXVDKD .HFLO´
karena ada perbedaan kelengkapan data, akhirnya analisis perubahan kondisi usaha dan rumah tangga mitra BMT hanya dilakukan pada data terlengkap, yaitu data dari BMT Wihdatul Ummah (WU). Identifikasi perubahan kondisi nasabah di tingkat usaha dan rumah tangga dilakukan terhadap nasabah yang telah mengajukan pinjaman minimal dua kali, sehingga dapat dilihat perubahan data yang terjadi pada dua titik. Survei dilakukan terhadap 150 nasabah yang diambil secara acak untuk mengetahui perkembangan terbaru dari nasabah tersebut. Life history. Tanpa control group, akan sulit mengidentifikasi apakah perubahan yang terjadi adalah dampak dari BMT. Teknik wawancara mendalam kemudian digunakan untuk mendapatkan informasi life history dari sejumlah nasabah yang dipilih secara purposif berdasarkan lamanya menjadi nasabah BMT, jenis skim yang digunakan, serta jenis usaha yang dibiayai. Informasi life history dapat digunakan untuk melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada nasabah BMT baik di tingkat rumah tangga maupun di tingkat usaha, terutama untuk melihat apakah perubahan tersebut terjadi karena intervensi BMTatau bukan. Informasi tentang Institusi BMT dikumpulkan untuk mendapatkan gambaran proses pendirian institusi serta peranan lembaga pendamping dalam kinerja dan sustainabilitas BMT. Ada dua sumber informasi untuk melakukan analisis ini, yaitu pertama, data sekunder tentang nasabah dan berbagai dokumen yang menyangkut visi dan misi serta repositioning Yayasan Peramu sebagai lembaga pendamping dan BMT sebagai jaringannya. Kedua, wawancara mendalam untuk mendapatkan informasi keragaan BMT sebagai bahan analisis model pembiayaan BMT serta analisis faktor-faktor pendukung kinerja dan sustainability BMT. Informannya adalah manajer dari ketiga BMT serta Direktur Peramu selaku inisiator sekaligus pendamping BMT. Informasi tentang Respon Nasabah Terhadap BMT digunakan untuk mengetahui peluang keberlanjutan BMT serta posisi BMT di mata nasabahnya termasuk dengan institusi pesaing. Data yang dikumpulkan meliputi informasi tentang kelebihan dan kekurangan BMT di mata nasabah. Teknik penggalian data yang digunakan adalah pertama, survei yang dilakukan untuk mendapatkan data terakhir mengenai kondisi usaha dan ruma tangga nasabah serta persepsi terhadap pelayanan BMT dan sistem bagi hasil yang digunakannya. Kerangka sampelnya adalah nasabah dari ketiga BMT yang ada dalam database MAP. Jumlah responden dari ketiga BMT adalah 150. Kedua, Focused Group Discussion (FGD), dilakukan untuk memperoleh pendapat objektif dari kelompok nasabah BMT tentang upaya pemberdayaan melalui kredit kelompok yang diberikan oleh BMT. Catatan Atas Modifikasi Metode Penggunaan metode-metode di atas dapat menangkap perubahan yang terjadi pada nasabah. Namun, penyebab perubahan baru dapat diidentifikasi sampai pada tahap peranan BMT dalam rumah tangga dan usaha nasabah. Oleh karena itu, penggunaan control group tampaknya penting dilakukan. Hanya saja perlu dilakukan secara cermat, terutama dalam
penggunaan control group untuk lembaga-lembaga keuangan mikro yang beroperasi di daerah pasar karena di pasar ada beberapa jenis LKM yang beroperasi. Pemilihan control group pada kelompok usaha yang benar-benar tidak mendapatkan intervensi LKM menjadi sulit dilakukan.
RAKYAT MISKIN, LKM DAN RUU KEUANGAN MIKRO Oleh: Riza Primahendra
Pendahuluan Membicarakan lembaga keuangan mikro secara komprehensif tidak bisa tidak menuntut kita untuk memahaminya dari awal sebagai bentuk pelayanan keuangan terhadap kelompok masyarakat yang secara longgar disebut miskin. Tulisan pendek ini akan mencoba mengeksplorasi keuangan mikro dan kelembagaannya dari sudut pandang subjek utamanya yaitu rakyat miskin tanpa mencoba memasuki wilayah perdebatan wacana tentang kemiskinan itu sendiri. Lingkungan Ekonomi Rakyat Miskin Rakyat miskin dalam hidup kesehariannya berada dalam lingkungan ekonomi yang khusus dan ditandai oleh dua karakteristik utama. Pertama, skala ekonomi yang berkembang di antara rakyat miskin adalah skala ekonomi mikro. Mereka mendapatkan penghasilan yang skalanya mikro, melakukan transaksi dalam skala mikro, dan melakukan investasi juga dalam skala mikro. Kedua, kehidupan ekonomi mereka sagat diwarnai tingginya risiko dan ketidakamanan. Risiko dan ketidakamanan yang tinggi ini muncul sebagai akibat dari jenis aktifitas ekonomi mereka yang bersifat informal, subsisten, dan marjinal. Konsekuensinya, rakyat miskin dalam aktifitasnya sangat sulit berhubungan dengan lembaga keuangan formal. Bagi mereka, lembaga keuangan formal memiliki berbagai persyaratan dan prosedur yang hampir tidak mungkin mereka penuhi. Sementara bagi lembaga keuangan formal sendiri hampir tidak masuk akal melakukan transaksi dengan skala mikro karena jelas akan menyebabkan tingginya biaya transaksi dan transaksi dengan sektor usaha yang penuh risiko tidak bisa dibenarkan. Untuk dapat bertahan dalam lingkungan ekonomi yang tidak ideal itu, rakyat miskin mengembangkan beberapa mekanisme. Mekanisme pertama adalah mekanisme distribusi risiko. Artinya, mereka sadar bahwa risiko seperti kehilangan pekerjaan, sakit, dan semacamnya apabila ditanggung sendirian akan sangat berat dan hampir tidak mungkin tertanggungkan karena itu mereka mengembangkan kebersamaan dalam berbagai institusi lokal dan WUDGLVLRQDO .HEHUDGDDQ LQVWLWXVL VHSHUWL JRWRQJ UR\RQJ WDQJJXQJ UHQWHQJ DWDXSXQ ³sithik eding´ mekanisme berbagi dalam keterbatasan) mampu mendukung rakyat miskin untuk melalui berbagai situasi krisis ekonomi yang dihadapi.
Mekanisme kedua adalah pemanfaatan modal sosial sebagai pengganti modal fisik dan modal finansial yang memang sangat terbatas. Modal sosial yang secara positif berbentuk seperti kepercayaan dan hubungan baik, maupun yang secara negatif seperti pengucilan dan ekskomunikasi sebagai bentuk hukuman sosial (social punishment), terbukti mampu secara efektif menggantikan biaya-biaya seperti transaksi dan jaminan fisik (collateral). Mekanisme ketiga adalah berkembangnya aktifitas simpan pinjam dalam berbagai bentuk yang seringkali juga difungsikan sebagai asuransi oleh berbagai kelompok masyarakat. Arisan, lumbung desa, lumbung pitih nagari, jimpitan, dan berbagai bentuk aktifitas simpan pinjam lain telah menjadi mekanisme yang hidup di masyarakat selama beberapa dasawarsa.
Uang Bagi Rakyat Miskin Rakyat utamanya yang berada strata bawah pada umumnya membutuhkan dana bagi tiga kebutuhan utama mereka, yaitu kebutuhan siklus kehidupan (life cycle needs), kebutuhan darurat (emergency needs), dan kebutuhan untuk memanfaatkan peluang (opportunity needs). Siklus kehidupan seperti kelahiran anak, menyekolahkan anak, menikah, dan meninggal jelas membutuhkan pembiayaan yang tidak sedikit. Pembiayaan berbagai jenis pengeluaran ini seringkali melebihi kemampuan rakyat miskin. Untuk membiayai berbagai kegiatan tersebut, jelas mereka membutuhkan sumber dana dari luar. Selain berbagai kejadian yang merupakan siklus kehidupan, rakyat miskin jelas membutuhkan berbagai pengeluaran yang sering tidak terduga baik yang bersifat personal maupun non personal. Pengeluaran tak terduga yang bersifat personal misalnya sakit, kehilangan pekerjaan, upacara adat, pencurian, dan lain-lain. Sementara yang bersifat non personal seperti digusurnya tempat tinggal oleh penguasa, kerusuhan, dan sebagainya. Mengingat sebagian besar penghasilan mereka habis untuk konsumsi, kejadian-kejadian yang sifatnya darurat ini hampir tidak mungkin dapat mereka tanggung sendiri. Kebutuhan untuk memanfaatkan peluang bagi rakyat miskin juga merupakan sesuatu yang riil seperti menyogok pejabat untuk mendapatkan pekerjaan rendahan, membayar preman maupun pihak pemegang otoritas untuk diperbolehkan berjualan ditepi jalan, maupun membeli bibit tanaman atau pupuk yang lebih baik adalah sesuatu yang tidak bisa tidak harus mereka penuhi. Bagi rakyat miskin pengeluaran yang bersifat produktif dan tidak produktif pada dasarnya tidak terlalu dibedakan dan seringkali tidak relevan. Pengeluaran untuk makan sebagai contoh sering dianggap pengeluaran yang tidak produktif akan tetapi bagi pengayuh becak, pemulung, dan buruh tani, makan bersifat produktif karena memampukan mereka mengayuh becak lebih lama, menempuh jalan lebih jauh untuk mencari barang, dan mencangkul lebih lama.
Bagaimana Rakyat Miskin Memenuhi Kebutuhannya? Untuk membiayai berbagai kebutuhannya, rakyat miskin pada umumnya memiliki tiga cara. Pertama, menjual aset yang telah dimiliki atau akan dimiliki. Aset yang dimiliki jelas baik berupa barang rumah tangga, perhiasan, pakaian, atau apapun yang mereka miliki. Sementara menjual aset yang belum mereka miliki adalah dengan meng-ijon-kan panenan padi, palawija, ataupun ternak. Penjualan aset ini pada dasarnya mengurangi kemampuan ekonomi dan daya tahan mereka karena dalam banyak kejadian transaksi yang terjadi tidak fair dan merugikan rakyat miskin. Kedua, menggadaikan aset yang mereka miliki. Penggadaian biasa dilakukan apabila rakyat miskin memerlukan uang segera dan mereka memiliki keyakinan untuk mampu menebusnya kembali. Ketiga, mengelola pendapatannya yang nilai nominalnya kecil dan sering tidak kontinu menjadi sejumlah uang yang nilainya lebih besar. Hal ini dilakukan pada umumnya dengan menyimpan dan kredit. Menyimpan (menabung) berarti nilai nominal yang cukup besar didapatkan dibelakang setelah mereka melakukan akumulasi uang selama beberapa waktu. Proses yang sebaliknya terjadi dengan kredit, mereka mendapatkan sejumlah uang dengan nilai nominal relatif besar didepan yang akan dibayar dengan melakukan akumulasi uang dibelakang. Ketiga cara memenuhi kebutuhan pembiayaan tersebut dalam kenyataannya dilaksanakan oleh rakyat miskin tergantung pada ketersediaan infrastruktur pembiayaan yang ada disekitar mereka, jenis pekerjaan yang mereka geluti dan tingkat pendapatan, serta mendesak tidaknya kebutuhan.
Rakyat Miskin dan Lembaga Keuangan Mikro Pengalaman yang berulangkali terjadi dalam membiayai berbagai kebutuhan pembiayaan rakyat miskin mendorong mereka mengembangkan berbagai model pembiayaan yang kemudian dikenal dengan keuangan mikro. Keuangan mikro karenanya merupakan suatu konsep yang berangkat dari pengalaman riil rakyat miskin dalam memenuhi berbagai kebutuhannya. Keuangan mikro dengan demikian juga ditandai oleh karakteristikkarakteristik: 1) terdiri dari berbagai bentuk pelayanan keuangan yang utamanya simpanan dan pinjaman; 2) diarahkan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah; dan 3) menggunakan sistem-prosedurmekanisme yang sederhana dan kontekstual. Keuangan mikro dalam keseharian di masyarakat dapat dilaksanakan oleh individu maupun institusi. Institusi yang menyelenggarakan pelayanan keuangan mikro dikenal dengan lembaga keuangan mikro (LKM). Dalam perkembangannya, semakin banyak pihak terlibat dalam aktifitas keuangan mikro dan turut mendirikan LKM.
Saat ini, LKM tidak lagi hanya terdiri dari LKM tradisional, tetapi juga terdiri dari berbagai bentuk yang lebih modern seperti LKM berbentuk bank, LKM berbentuk koperasi, maupun LKM sebagai bagian dari program pemerintah. Di Indonesia, perkembangan LKM mencatat perkembangan yang menakjubkan. LKM berbentuk bank sebagai misal BRI Unit Desa jumlahnya pada saat ini terdiri lebih dari 3700 unit dan direncanakan akan mencapai 4000 unit, sementara Bank Perkreditan Rakyat (BPR) mencapai lebih dari 2500. LKM yang mengambil format koperasi jumlahnya jauh lebih banyak lagi karena diperkirakan lebih dari 15,000 lembaga baik yang terdaftar maupun tidak. Belum berbagai LKM yang masih tetap berbentuk LKM tradisional. Perkembangan LKM yang luar biasa di Indonesia didorong oleh beberapa kecenderungan yaitu: 1) Downscaling lembaga keuangan formal seperti yang terjadi dengan BRI Unit Desa; 2) Upscaling lembaga keuangan tradisional menjadi koperasi ataupun BPR; 3) Penggunaan LKM sebagai bagian dari proyek pembangunan Perkembangan LKM yang sedemikian pesat ternyata tidak secara positif berkorelasi dengan pelayanan keuangan terhadap rakyat miskin. Hal ini terjadi karena beberapa alasan. Pertama, bagi LKM hasil downscaling, berbagai prinsip, prosedur, maupun persyaratan yang diberlakukan tidak berbeda secara signifikan dengan lembaga keuangan formal. Akibatnya, rakyat miskin tetap sulit mengakses pelayananya. Kedua, LKM hasil upscaling sering terperangkap dalam berbagai pengaturan dan peraturan yang membuat mereka kehilangan kemampuan untuk melayani rakyat miskin. Ketiga, berbagai LKM yang merupakan bagian dari proyek pemerintah bersifat melayani kepentingan proyek, bukan kepentingan rakyat miskin sehingga umumnya setelah proyek selesai maka eksistensinya juga ikut memudar. Keempat, motivasi pendirian LKM yang tidak lagi terkait dengan kepentingan rakyat miskin. Perbankan yang masuk ke aktifitas keuangan mikro lebih melihatnya sebagai peluang untuk menambah nasabah dan melepas kredit dengan bunga yang lebih tinggi
LKM dan RUU Keuangan Mikro Keberagaman LKM bagi pemegang otoritas (baca: pemerintah) yang memiliki paradigma korporatisme negara pernah coba disederhanakan melalui UU Perbankan yang memaksa berbagai LKM dijadikan BPR. Pada kenyataannya, upaya ini gagal. Secara legal memang ada keharusan, tetapi pemerintah tidak memiliki kemampuan untuk membuat peraturan tersebut berlaku efektif. Pemerintah sendiri mendirikan banyak LKM sebagai bagian dari proyek-proyek pembangunan dan pengatasan kemiskinan. Sebagai hasilnya, panorama dunia LKM Indonesia menjadi kompleks. Ada sebagian LKM yang berada dalam kerangka legal dan pengaturan (legal and regulatory framework) seperti BPR dan koperasi dan sebagian besar lainnya berada diluar kerangka pengaturan. Ketiadaan kerangka legal dan pengaturan bagi sebagian besar LKM terutama LKM tradisional, bagi sebagian kalangan dianggap menguntungkan karena membuat mereka bebas beroperasi. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan dianggap menghambat karena membuat LKM kesulitan berkembang terutama apabila ingin
membangun akses dengan lembaga keuangan formal. Kedua sikap ini memiliki argumentasi yang sahih pada dirinya sendiri akan tetapi juga perlu dikritisi karena kedua belah pihak hanya memegang sebagian kebenaran. Perbedaan sikap tersebut menjadi lebih komplek ketika ada inisiatif dari pemegang otoritas keuangan dan kekuasaan yaitu BI dan pemerintah untuk menyusun UU keuangan mikro. Pemegang otoritas merasa berkewajiban melindungi nasabah terutama pihak III yang melakukan simpanan sukarela (voluntary saving) di LKM. Pemerintah melihat aktifitas keuangan mikro yang melibatkan demikian banyak sumber daya dan mempengaruhi kehidupan masyarakat luas tidak bisa dibiarkan tetap berada diluar kerangka legal dan pengaturan yang ada. Sebagian kalangan akademisi melihat keperluan untuk mendorong perkembangan LKM PHODOXL SHQJDGDDQ ³SD\XQJ´ KXNXP sehingga LKM sebagai contoh tidak dijadikan objek pajak baru bagi pemerintah daerah. Kompleksitas permasalahan mengenai LKM dengan demikian perlu diwadahi dalam suatu proses perumusan muatan bahkan eksistensi kerangka legal dan pengaturan LKM. Proses yang ada sejauh ini masih elitis dan tidak partisipatif sehingga dapat dipastikan akan muncul banyak persoalan mengingat LKM sebagai subjek yang akan diatur sangatlah beragam dan khusus. LKM Kedepan Satu hal kiranya jelas bahwa LKM tidak bisa dipisahkan dari upaya pemberdayaan ekonomi rakyat dan pengatasan kemiskinan, walaupun juga bukan satu-satunya elemen yang diperlukan. RUU Keuangan Mikro yang pada saat ini draftnya sudah berada di Departemen Keuangan haruslah diposisikan sebagai suatu instrumen yang diarahkan pada penguatan dan pengembangan LKM. Ini adalah bottom line dari RUU tersebut. Menggagas perkembangan LKM sendiri harus membuat banyak pihak berpikir beyond RUU Keuangan Mikro. Berbagai isu yang harus juga mulai dikaji di antaranya, pertama, melaksanakan komersialisasi keuangan mikro. Telah disadari bahwa permintaan akan jasa keuangan mikro begitu besar sementara ini LKM yang ada masih sangat marjinal dan sporadis aktifitasnya. Pemerintah yang selama ini banyak melaksanakan aktifitas pembiayaan pembangunan, kedepan akan semakin kehilangan kemampuannya. Oleh karena itu, komersialisasi keuangan mikro menjadi jalan keluarnya. Jelas akan banyak persoalan terutama karena beberapa pihak masih melihat kemiskinan identik dengan ketidakmampuan. Pihak-pihak tersebut melihat pelaksanaan komersialisasi keuangan mikro akan membuat rakyat miskin berada pada pihak yang semakin dirugikan. Pandangan ini jelas tidak berdasar pengalaman lapangan yang memperlihatkan bahwa selama ini rakyat miskin hidup dalam iklim ekonomi biaya tinggi. Keuangan mikro membantu mereka dengan menawarkan pelayanan keuangan dengan biaya yang relatif rendah meskipun tidak serendah lembaga keuangan formal yang bagaimanapun tidak bisa mereka manfaatkan pelayanannya.
Kedua, membangun hubungan antara LKM terutama yang non formal dengan lembaga keuangan formal. Proses perkembangan LKM non formal tidak bisa tidak akan dibatasi berbagai keterbatasannya seperti penyimpanan dana anggota/ masyarakat, memenuhi permintaan dana dalam jumlah besar, dan semacamnya yang akan dapat banyak dibantu apabila LKM non formal dapat berhubungan dengan lembaga keuangan formal. Lembaga keuangan formal sendiri dalam situasi saat ini jelas memiliki kepentingan untuk mendapatkan klien baru yang secara ekonomi aktif karena klien-klien lama mereka terutama pengusaha besar belum pulih dari krisis ekonomi. Menghubungkan dua institusi yang memiliki karakteristik sangat berbeda ini tentu saja tidak mudah, terutama karena adanya perbedaan paradigma dalam melihat keuangan mikro. Dalam hal ini lembaga keuangan formal dituntut untuk bersikap lebih fleksibel dan mengadopsi prinsip dan cara kerja keuangan mikro. Pada sisi LKM non formal juga terdapat tuntutan untuk menjadi lebih profesional didalam manajemen pengelolaannya untuk memungkinkan berhubungan dengan lembaga keuangan formal. Dengan demikian dari kedua belah pihak terdapat tuntutan pengembangan kapasitas yang berbeda. Ketiga, menjadikan LKM mandiri secara keuangan (financially self sufficient institution). Hal ini disadari sepenuhnya karena LKM beroperasi pada tingkat akar rumput dan skala mikro biaya yang harus dikeluarkan menjadi tinggi. Konsekuensinya, biaya pelayanan yang diberikan kepada rakyat miskin menjadi relatif tinggi dan LKM tidak mampu memberikan balas karya kepada pelaksananya secara profesional. Untuk itu diperlukan pengembangan manajemen cost effective dan adaptasi terhadap teknologi informasi dan manajemen yang sesuai.
Penutup Diskursus keuangan mikro yang beberapa waktu ini menghangat jelas belum mengerucut pada satu common ground sebaliknya pada saat ini diskursus yang berkembang sedang berada pada proses pengayaan terus menerus. Berbagai pengalaman, temuan, dan kajian terus menerus menjadi bagian dari proses dialektika yang memang sungguh diperlukan. Proses ini jelas akan panjang dan menuntut kesediaan stakeholder untuk terus menerus melakukan dialog. Sementara proses ini berlangsung, dalam tataran praktis LKM perlu terus menerus mengembangkan pelayanan pada rakyat miskin dan kelembagaannya sampai pada satu titik yang kita bersama akan sepakati.
Revitalisasi Lumbung Pitih Nagari ³6NHQDULR´ Menjemput Modal Sosial Untuk Kembali ke Sistem Nagari di Masa Depan Zukri Saad St. Majo Basa
Pengantar Indahnya wacana yang berlangsung di Sumatera Barat dua tahun terakhir ini telah menghadirkan optimisme bahwa kebijakan publik untuk kembali ke sistem pemerintahan dan masyarakat nagari sangat tepat. Berbagai upaya menjemput kembali modal sosial, merekat kembali sistem sosial yang telah bercerai berai diyakini dalam jangka panjang akan berkontribusi pada upaya pengembangan potensi anak nagari menghadapi problem masa depannya. Nagari merupakan kesatuan masyarakat hukum adat dalam daerah Propinsi Sumatra Barat, yang terdiri dari himpunan beberapa suku yang mempunyai wilayah tertentu batas-batasnya (disebut ulayat adat), mempunyai harta kekayaan sendiri, berhak mengatur dan mengurus rumahtangganya serta memilih pemerintahannya. Kembali ke sistem pemerintahan nagari adalah sebuah fenomena yang didambakan oleh berbagai pihak, terutama setelah 21 tahun berjalan sejak peleburan nagari menjadi desa-desa. Terasa banyak yang hilang akibat penerapan UU 5/ 79 yang diikuti oleh perda 13/83, modal sosial yang strategis untuk mendukung kinerja pembangunan ikut lebur ke bentuk-bentuk seragam sesuai kebijakan politik pemerintahan Orde Baru. Kembali ke Sistem Nagari pada intinya adalah kembali ke suatu sistem kemasyarakatan di masa depan yang mensyaratkan penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi. Melihat kecenderungan globalisasi yang rasanya tak mungkin dicegah, maka penguasaan penuh atas teknologi informasi menjadi vital bagi rakyat di Nagari. Kelompok masyarakat yang gagap teknologi, niscaya akan dilindas oleh mereka yang menguasai teknologi dan informasi itu. Menjemput modal sosial dan mengantisipasi faktor eksternal bagi kemandirian nagari adalah memfasilitasi anak nagari merekayasa masa depan nagari sesuai potensi unggulan yang dimilikinya. Dari sisi pemerintahan, kembali ke nagari diartikan secara fisik melembagakan berbagai potensi sosial untuk berkontribusi efektif membangun nagari melalui kelembagaan formal yang ditetapkan. Agenda pemerintah adalah mendudukkan aparat pemerintahan nagari di antaranya lembaga legislatif Badan Perwakilan Anak Nagari, memilih lembaga eksekutif Wali Nagari berikut perangkatnya serta berbagai infrastruktur pendukung lainnya yang relevan. Diharapkan, berbagai kewenangan administratif yang selama ini terpusat di Kabupaten dapat didesentralisasi pengelolaannya ke tingkat nagari. Dengan pendelegasian kewenangan dan hak ini,
diharapkan akan bertumbuh prakarsa, inisiatif pembangunan dan sinergi berbagai potensi dalam masyarakat nagari sehingga dalam waktu singkat kita boleh berharap akan hadir nagari-nagari yang mandiri di Sumatera Barat. Pada sisi ini kita boleh beranggapan bahwa urusan kerabang sosial politik nagari tuntas. Tinggal bekerja keras bagaimana menciptakan suasana kondusif agar sistem administrasi publik bekerja efektif melayani kebutuhan nagari.
Sementara di sisi masyarakat, setelah terpilihnya infrastruktur pemerintahan nagari ada persoalan membangun kemandirian nagari dari sisi sosial ekonomi dan sosial budaya. Ada banyak hal yang mesti dijawab, antara lain bagaimana membiayai infrastruktur yang telah dipilih dan ditetapkan. Bagaimana menjawab problema sumbersumber ekonomi, angkatan kerja, konflik ulayat, pendidikan, krisis moral dan pentaatan beragama, serta antisipasi terhadap globalisasi. Dengan demikian banyaknya agenda publik yang harus diantisipasi oleh anak nagari, pertanyaan lanjut adalah dari mana harus memulai dan kemana langkah harus diayunkan. Wacana teoritis dan perbandingan tentu dapat diketengahkan, namun publik menunggu sebentuk skenario yang dianggap meyakinkan seluruh stakeholders. Baik yang di Sumatera Barat maupun yang sudah berdomisili di rantau. Salah satu instrumen penting dalam pemberdayaan sosial ekonomi nagari adalah lembaga pengelola keuangan milik masyarakat, yang pada fase Orde Baru pernah efektif berperan, yakni Lumbung Pitih Nagari atau LPN, lembaga yang lahir dan tumbuh dari masyarakat, mendapat legitimasi kultural sekaligus merupakan perwujudan prakarsa, partisipasi serta kemandirian masyarakat nagari. LPN mendapat perhatian khusus dari pemerintah GHQJDQ GXNXQJDQ GDQD PHODOXL %3' VHUWD GLIDVLOLWDVL XQWXN GLNHOROD OHELK ³SURIHVLRQDO´ NHGDODP EHQWXN %Dnk 3HUNUHGLWDQ UDN\DW DWDX %35 +DO LQL VHMDODQ GHQJDQ UHJXODVL SHPHULQWDK XQWXN ³PHQHUWLENDQ´ OHPEDJD keuangan non bank yang bertumbuh di Sumatera Barat. Intervensi pemerintah ini nyatanya kontra-produktif, menumpulkan partisipasi dan berakibat lanjut mandulnya proses pemandirian masyarakat nagari. BPR terseokseok beroperasi. Pada satu sisi harus menerapkan berbagai aturan kaku perbankan nasional, sedangkan pada sisi lain tidak lagi mendapatkan dukungan kultural dari masyarakat.
LPN yang berlegitimasi kultural dan mendapatkan dukungan seluruh anak nagari adalah tulang punggung kegiatan sosial ekonomi masyarakat nagari di masa depan. Revitalisasi LPN dengan visi baru merupakan skenario strategis yang layak dikembangkan kembali di nagari-nagari. Mengingat posisi geografis 543 nagari yang kelak mekar menjadi sekitar 1000 nagari tersebar seantero propinsi dan terpencarnya anak nagari di seluruh dunia (7,5 juta anak nagari berdomisili diluar propinsi), maka penggunaan teknologi informasi mutlak guna mensinergikan potensi nagari nagari dalam mengakumulasi dana yang dikelola. Nagari on-line adalah sarana produktif yang perlu mendapat perhatian strategis dalam rancangan skenario pengembangan nagarinagari di Sumatera Barat. Dukungan teknologi informasi tentu tak akan efektif selama tidak mendapat dukungan kultural dan partisipasi anak nagari. Untuk itu upaya metodologis dan sistemik perlu dikembangkan untuk menjemput kembali modal sosial berupa dukungan kultural dan partisipasi seluruh komponen dalam nagari. Aktivitas simultan penguasaan teknologi informasi dengan persiapan sosial kemasyarakatan adalah agenda nagari-nagari beberapa tahun mendatang. Disamping dukungan teknologi, yang tak kalah penting adalah komitmen komunal baru antar-anak nagari agar berbagai aktivitas nagari mendapatkan partisipasi publik dan dukungan kultural. Hal ini tentu tidak
dicapai dengan mudah, memerlukan proses yang sistemik dan metodologis agar tujuan-tujuan itu dapai dicapai. Intinya, sejauh mana peran serta bisa dibangun, dukungan kultural bisa diperoleh, dan teknologi informasi dapat dikuasai?
I. Kilas Balik pembangunan Membicarakan pengembangan nagari tentu tak dapat dilepaskan dari pendekatan pembangunan nasional yang dikelola sejak tiga dekade terakhir. Pemerintahan orde baru menjadikan pembangunan ekonomi sebagai isu sentral dalam aktivitasnya melaksanakan amanat konstitusi, dengan menetapkan industrialisasi sebagai titik tumpu usaha. Untuk itu telah diciptakan pusat-pusat pertumbuhan/industri yang didasari ketersediaan infrastruktur penunjang (urban base). Dengan ketersediaan infrastruktur itu, kota-kota di Pulau Jawa berkembang menjadi pusat aktifitas pembangunan (contohnya di kota Bandung terjadi pemusatan berbagai industri agar efektif dan efisien. Industri pesawat terbang; tekstil; logam sampai industri pendidikan). Sumatera Barat secara umum belum sempat dikembangkan menjadi pusat pertumbuhan dimaksud, sehingga sampai tahun 2000 ini perekonomian propinsi ini masih bertumpu pada sektor pertanian/agraris. Industri yang terlihat, khususnya industri manufaktur besar yang ada merupakan peninggalan kolonial Belanda, yakni industri semen dan batubara. Industri yang bertumbuh seiring dengan dinamika orde baru bukan tidak ada, namun sedikit sekali dan masih berbasis ekstraksi sumber daya alam, yakni memproduksi kayu gelondongan, kayu lapis serta perkebunan. Dengan demikian, sedikit sekali pengaruh/ imbas industrialisasi terhadap keberadaan nagari. Penurunan fungsi dan peran nagari justru datang dari kebijakan politik birokrasi pemerintahan, yang telah memberlakukan proses penyeragaman penyelengaraan pemerintahan terendah untuk dan atas nama stabilitas pembangunan (tertuang dalam UU No. 5/79 yang dilegitimasi oleh Perda 13/1983). Nagari-nagari dipecah-pecah menjadi desa-desa \DQJ MXPODKQ\D ULEXDQ ,PSOLNDVLQ\D WHUMDGL ³EDQMLU´ VXPEHU GD\D SHPEDQJXQDQ GDUL pemerintah pusat berupa Bandes, Inpres, dan Banpres serta fasilitas lainnya. Banyaknya sumber pembangunan SXVDW \DQJ GDSDW ³GLVDOXUNDQ´ NH GDHUDK LQL GLJHPEDU JHPERUNDQ VHEDgai prestasi Gubernur Azwar Anas. Dikatakan ratusan kilometer infrastruktur jalan telah dibangun, ratusan jembatan dan fasilitas lainnya dinilai sepihak telah mensejahterakan desa-desa. Tak dapat dipungkiri karena memang demikian adanya. Namun bukankan itu wujud fisik semata ? Di sektor non fisik nyata sekali terlihat penurunan partisipasi rakyat dalam membangun. Segala kebijakan pembangunan diatur secara sentralistik berjenjang yang membangkitkan ketergantungan desa-desa ke birokrasi pemerintahan. Desa-desa walaupun bebas menentukan pemimpinnya, tetap dibawah kendali Camat dan Bupati. Arus perencanaan pembangunan memang berjenjang dari bawah, namun eksekusi biasanya dilakukan di Pusat/ Bappenas. Apa yang diusulkan dari bawah melalui mekanisme Musbangdes - UDKP - Rakorbang Kabupaten dan Propinsi, umumnya terpenuhi sekitar 2 % saja. Inipun terdapat ketidaksesuaian antara permintaan
berdasarkan kebutuhan dengan program pembangunan yang disetujui (lihatl Local Level Institution Study, Bank Dunia, 1996). Kesediaan berpartisipasi semakin memudar sejalan dengan berbagai ketidakpastian pelaksanaan pembangunan. Musbangdes tetap dilakukan tiap tahun, tapi lebih kepada rutinitas yang terbatas pada elit desa belaka. Hal tersebut sudah berlangsung bertahun-tahun dan itulah potret partisipasi di desa-desa Sumatera Barat hari ini. Namun apapun kehidupan harus terus berlangsung dengan atau tanpa dukungan pemerintah. Desa-desa di pelosok Sumatera Barat harus terus bergerak, menggeliat untuk bertahan hidup dan mencoba berkembang. Dalam berbagai keterbatasan struktural itu, keberadaan nagari secara kultural masih dimungkinkan melalui Perda 13/83. Walau adminstrasi pemerintahan ditetapkan melalui desa-desa, hal-hal yang berkaitan dengan penerapan adat istiadat dan berbagai prosesi kultural lainnya masih hidup dan berkembang. Salah satunya adalah bertumbuhnya inisiatif untuk mendirikan lembaga keuangan non bank di nagari-nagari. Dari 543 nagari yang tersebar di seluruh Sumatera barat, tercatat 521 LPN yang berkembang. Pertumbuhan ini cukup signifikan karena disamping prakarsa masyarakat, keberadaannya didukung oleh bantuan Pemda Sumbar melalui sebesar Rp. 500.000.- yang harus dicicil pengembaliannya sebesar Rp. 475.000.- selama 3 tahun. Keberadaan LPN efektif mendukung berbagai aktifitas produktif dan konsumtif di nagari-nagari. Berlangsung pemupukan modal yang grafiknya cenderung meningkat. Berbagai manuver yang dilakukan oleh pengelola LPN Q\DWDQ\D FXNXS PH\DNLQNDQ DNDQ PDVD GHSDQQ\D $GD DNWLILWDV \DQJ GLNHQDO VHEDJDL ³VLPSDQDQ bajapuik WDEXQJDQ\DQJGLMHPSXWSHWXJDV/31 ´FRODWHUDOQRQ-fisik yakni jaminan dari pimpinan suku dan pimpinan adat, dll. Karena memiliki legitimasi sosial, praktis tak banyak kemacetan pengelolaan. Pada tahun 1999, datanglah regulasi melalui Undang-Undang No. 10 tahun 1999 tentang Perbankan yang menetapkan LPN harus dikembangkan menjadi BPR. Tentu diiringi dengan batas minimum modal, aturan main, penanggung jawab personal dan bentuk-bentuk pengelolaan yang juklak dan juknisnya terpusat. Standar dan seragam. Tentu saja banyak sekali LPN yang tidak siap, sehingga praktis menghentikan operasinya. LPN yang meningkatkan statusnya menjadi BPR-pun menghadapi berbagai kendala sehingga banyak pula yang berhenti beroperasi. Gambaran berikut menjelaskan. Jumlah LPN dan BPR ²LPN sampai Agustus 2001 No
Daerah Tingkat II
LPN
BPR-LPN
Jumlah
1.
Kab. Lima Puluh Kota
76
7
83
2.
Kab. Agam
66
8
74
3.
Kab. Tanah Datar
67
11
78
4.
Kab. Pesisir Selatan
28
5
33
5.
Kab. Padang Pariaman
54
6
60
6.
Kab. Solok
65
11
76
7.
Kab. Sawahlunto Sijunjung
74
8
82
8.
Kab. Pasaman
44
4
48
9.
Koata Padang
19
3
22
10.
Kota Bukittinggi
6
-
6
11.
Kota Sawahlunto
1
5
6
12.
Kota Padang Panjang
4
2
6
13.
Kota Solok
9
-
9
14.
Kota Payakumbuh
8
1
9
521
71
592
Jumlah :
Hasil evaluasi yang dilakukan pada akhir agustus 2001 menunjukkan bahwa tinggal 20 LPN yang masih aktif, 501 LPN lainnya mati karena tidak mampu memenuhi regulasi serta berbagai kendala teknis operasional lainnya. Dari 71 BPR-LPN, 51 masih aktif dan 20 lainnya tidak bisa bertahan dan menghentikan operasinya. Permasalahan yang dihadapi menyangkut badan hukum, kulaifikasi pengelola harus D3, permodalan, operasional dan sistem kerja belum ada serta kendala fisik lainnya seperti kantor dan sarana kerja. Bank Nagari (d/h. BPD - Bank Pembangunan Daerah), mendirikan berbagai 10 BPR, mengakuisisi 7 BPR-LPN dan menyertakan modal pada 16 BPR LPN. Demikianlah peta posisi lembaga keuangan di nagari-nagari di Sumatera Barat kini, pada era kembali ke sistem pemerintahan nagari.
Praktek pemandulan partisipasi masyarakat dalam membangun Industrialisasi yang ditetapkan pemerintahan orde baru sebagai titik tumpu pemacu pembangunan diharapkan bertumbuh dan berjalan secara terukur, sehingga mensyaratkan kestabilan di seluruh lini kehidupan bernegara. Stabilitas diperlukan agar tidak mengganggu keberlangsungan proses pembangunan. Atas dasar alasan stabilitas itu, diberlakukan depolitisasi dalam dunia politik yang segera pada gilirannya menghadirkan masyarakat mengambang (floating mass). Mengelola massa mengambang ini diperlukan kontrol yang cenderung ketat sehingga hampir seluruh pendekatan dan kebijaksanaan pembangunan berpola dari atas (topdown development approach). Artinya semua mekanisme pengelolaan sumber daya
diolah/diatur oleh
pemerintah sebagai satu-satunya penentu, pengelola, sekaligus penanggung jawab. Pendekatan pusat pertumbuhan dikembangkan karena arsitek pembangunan ekonomi waktu itu cenderung memilih pembangunan yang berwawasan ekonomi pasar. Artinya sumber daya pembangunan diharapkan
diperoleh dari kompetisi di pasar dunia/ global. Persaingan pasar global diperhitungkan bisa dimenangkan karena Indonesia memiliki keunggulan komparatif (comparative advantages), misalnya buruh murah; ketersediaan bahan baku; stabilitas politik; kemudahan birokrasi sampai infrastruktur yang memadai. Secara makro diperhitungkan modal akan mengalir ke Indonesia dan ini terbukti dari investasi modal asing serta berkembangnya usaha patungan dengan pihak luar negeri. Demikianlah, terlihat secara gamblang ekspansi modal besar yang pada gilirannya merambah ke segala sektor usaha, termasuk sektor usaha publik yang menyangkut hajat orang banyak.
Pendekatan ini kelihatannya menggambarkan peningkatan menggembirakan
secara kuantitatif, tercermin dari data statisitik yang dipublikasikan tiap tahun anggaran. Akan tetapi, kegembiraan itu juga digantungi masalah pelik pada sisi lainnya, yakni berkembangnya kesenjangan antara pusat pertumbuhan (growth pole) dengan wilayah pinggiran (periphery); ada dikotomi desa - kota; menyoloknya pembangunan di Jawa - luar Jawa. Demikian pula kesenjangan Indonesia bagian Barat dengan Indonesia bagian Timur. Peningkatan menyolok dari sudut pandang statistik juga diiringi fenomena ketergantungan, baik ketergantungan kepada birokrasi yang mengelola pembangunan; daerah ke pusat ataupun ketergantungan rakyat kepada pemerintah. Ketergantungan seakan membunuh inisiatif dan kreatifitas komponen sumberdaya lain dalam berkontribusi, sehingga pembangunan berkembnag menjadi kompleks dan tidak berimbang dengan peran pemerintah seakan menjadi satu-satunya komponen pembangunan. Keadaan ini disadari oleh berbagai pihak, yang kemudian sependapat bahwa diperlukan antisipasi yang jitu untuk keluar dari kerumitan yang makin menjerat. Kompleksitas pembangunan dapat ditinjau dari berbagai sumber, di antaranya akibat resesi ekonomi global; terbatasnya sumberdaya alam yang berdampak lingkungan; ledakan penduduk yang berakibat langsung pada peningkatan angkatan kerja. Demikian pula luasnya wilayah Indonesia telah memberikan berbagai masalah, antara lain belum meratanya perhatian pemerintah terhadap pemenuhan kebutuhan yang diperlukan masyarakat. Beban pembangunan makin terasa berat bila hanya dipikul pemerintah saja, sehingga dalam GBHN 1983 ditetapkan bahwa pada PELITA IV harus tercipta kerangka landasan bagi bangsa Indonesia untuk tumbuh dan berkembang atas dasar kekuatan sendiri. Artinya peningkatan kemampuan dan kontribusi rakyat secara strategis diperlukan untuk ikut bersama membangun. Kontribusi mana selama ini terabaikan karena rakyat hanyalah obyek pembangunan itu sendiri. Sebetulnya sejak PELITA III, pemerintah Indonesia telah menitikberatkan program pembangunan pada pemerataan dan keseimbangan pembangunan ke daerah, menuju peningkatan masyarakat di daerah terbelakang. Pemerintah meningkatkan sarana dan prasarana pengelolaan sumber daya dengan dasar azas pemerataan. Pembangunan lebih diutamakan untuk daerah, bukan lagi terpusat. Pemerataan pembangunan ini sedikitnya berdampak perubahan-perubahan di daerah, baik fisik maupun non fisik. Perubahan fisik tampak nyata dari terbukanya wilayah terisolir, meningkatnya pendapatan regional/daerah,
perluasan kesempatan kerja serta peningkatan sektor ekonomi. Perubahan fisik ini tak bisa tidak akan membawa serta berbagai perubahan nonfisik di masyarakat, yang tidak terbatas di tempat kerja saja tapi akan menyentuh seluruh sikap dan perilaku masyarakat. Pada kadar terbatas, partisipasi daerah mulai dirasakan walaupun masih perlu terus menerus dikembangkan. Perilaku yang menunjang pembangunan masih dilematis dirasakan, karena daerah belum sepenuhnya dapat mengatur penyelesaian masalahnya. Pendekatan instruktif masih berlangsung dari pusat birokrasi ke daerah; format desentralisasi yang belum terwujud antara lain tercermin dari pengaturan yang masih bersifat atas bawah; aktivitas pembangunan masih berbentuk "paket jadi" dan lain-lain. Perencanaan teknokratis yang dirancang dari atas tanpa disertai proses penumbuhan kemampuan daerah dalam mengembangkan inisiatif sendiri, seringkali justru membawa dampak ketergantungan yang lebih besar terhadap bantuan dari pusat. Daerah terbiasa menunggu uluran tangan dari pusat birokrasi. Pada masa transisi setelah datangnya era reformasi yang ditandai dengan runtuhnya rezim orde baru, berbagai kebijakan telah digariskan. Salah satu kebijakan fenomenal adalah UU No. 22/1999 yang bermakna otonomi daerah seluas-luasnya bertumpu ke daerah tingkat II dan UU No. 25/1999 tentang pembagian keuangan pusat dan daerah. Implikasi logis dari otonomi ini tentunya memberikan kewenangan seluas-luasnya kepada daerah untuk kreatif mengembangkan prakarsa-prakarsa positif dan tentunya merdeka memilih pendekatan pembangunan. Sumatera barat dengan segala keterbatasannya, mau tak mau harus mengantisipasi perkembangan yang seakan arus balik dari pendekatan pembangunan yang selama ini diselenggarakan. Bila birokrasi selama ini seakan satu-satunya penyelenggara pembangunan, maka perannya akan semakin mengecil dan lebih kepada peran fasilitator saja. Prakarsa, partisipasi, semangat keswadayaan, keikutsertaan dalam mengambil keputusan atau sejenisnya sebenarnya bukan hal baru bagi Sumatra Barat. Semuanya terakumulasi dalam suatu interaksi sosial ekonomi dan budaya melalui keterikatan dalam suatu komunal, yakni nagari. Kehidupan bernagari telah menata berbagai hubungan vertikal, horizontal maupun diagonal dalam dinamika yang unik dan berkelanjutan. Kehidupan bernagari inilah yang dipercaya dapat mengakumulasikan prakarsa, kreativitas dan partisipasi rakyat dalam mengatasi berbagai problem pembangunan yang dihadapinya. Interaksi bernagari telah berkembang tidak saja dalam urusan fisik semata, namun mengkristal menjadi hubungan emosional. Lebih berbentuk hubungan batin. Bermodalkan hubungan sosial inilah kita menuju Sumatera Barat baru pasca reformasi. Antasipasi strategis Sumatera Barat menyongsong era otonomi diawali dengan mengembalikan sistem pemerintahan terendah ke nagari yang diwujudkan melalui Perda 9/2000 yang ditindaklanjuti oleh berbagai kabupaten dengan Perda tersendiri. Walaupun Perda ini sudah dipersiapkan dengan matang serta disosialisasikan kepada berbagai pihak, termasuk kepada masyarakat Minangkabau yang ada dirantau, namun pelaksanaannya diperkirakan cukup berat dan sarat dengan berbagai kendala. Kondisi sosial ekonomi masyarakat tengah terpuruk akibat resesi ekonomi, tingkat apatisme yang cukup tinggi dan proses
penggabungan kembali desa-desa menjadi nagari setelah hampir 20 tahun bercerai. Masuk akal kalau untuk itu diperlukan transisi dan fasilitasi terarah bagi pengefektifan kebijakan kembali bernagari.
Transisi Kearah Pembangunan Berbasis Partisipasi Anak Nagari Tentulah pendekatan pembangunan yang dipilih merupakan antitesa dari pendekatan yang sebelumnya digunakan. Apapun format yang akan dikembangkan, bila memang ingin mendayagunakan sumberdaya manusia Indonesia, bentuknya mestilah antitesa dari perlakuan tidak konstruktif yang selama orde baru dikenakan kepada masyarakat. Bila selama ini untuk memperoleh stabilitas bagi ketenangan dalam membangun adalah diberlakukannya kontrol terhadap massa mengambang hasil proses depolitisasi, maka antitesanya adalah diterapkan pendekatan konsientisasi/penyadaran politik (politisasi yang positif), memberi peluang bagi terciptanya pengorganisasian masyarakat secara murni (tidak direkayasa dari atas untuk alasan apapun) serta lebih dibukanya semangat independesi/otonomi sebagai jawaban. Kesadaran rakyat (termasuk kesadaran politis) akan problema yang dihadapi dalam membangun, ditimpali oleh terbukanya peluang mengekspresikan kreativitas/inovasi berkat otonomi yang tercipta niscaya akan menghadirkan prakarsa-prakarsa masyarakat untuk berpartisipasi. Bila prakarsa telah berkembang, pemahaman akan keterbatasan yang dihadapi dalam melanjutkan pembangunan akan menghadirkan pula secara sadar semangat swadaya di tengah masyarakat. Kadar swadaya inilah yang menjadi bagian kontribusi riil dari masyarakat, bahu membahu bersama pemerintah menundukkan tantangan pembangunan. Pandangan seperti ini tampaknya antitesa dari pendekatan makro pertumbuhan terpusat yang dominan dalam etape pembangunan versi orde baru, karena prakarsa dan semangat swadaya tidak lagi sepenuhnya memerlukan mekanisme pasar dalam memperoleh sumber daya pembangunan. Tidak lagi tunduk kepada ekspansi modal besar, cukup modal kecil untuk kebutuhan yang juga kecil. Small is beautiful menurut Schumacher. Investasi lebih mendahulukan kepentingan orang banyak, memberi dampak ekonomi yang adil dan merata kepada segenap lapisan rakyat (bukan orang seorang !) Pilihan usahanya tidak selalu berskala besar, sehingga tidak harus memerlukan modal patungan, serta menggantungkan diri pada ekonomi global. Produk yang diolahpun lebih diprioritaskan kepada pemenuhan kebutuhan dasar yang menyangkut hajat orang banyak. Keunggulan komparatif tidak lagi perlu ditawar-tawarkan, apalagi buruh murah harusnya menjadi tabu dan jelas tidak manusiawi untuk dijajakan kepada pemodal asing. Pasar internal menjadi tujuan utama dalam memutar ekonomi nasional. Itu artinya pasar dengan sekitar 250 juta konsumennya. Industri yang menyangkut hajat nasional kepemilikannya haruslah mencerminkan pemerataan keuntungan kepada banyak pihak, dikuasai oleh rakyat sebagai pemilik dominan. Etika bisnis di sini benar-benar cerminan dari konstitusi. Sementara itu industri yang berorientasi ekspor barulah boleh dikelola sesuai trend dalam dunia
industri kita belakangan ini. Konglomerat sebaiknya beroperasi pada lahan industri non-kebutuhan nasional agar tidak menimbulkan ekses keresahan nasional. Usaha besar silahkan berinvestasi di sektor manufaktur dan selamat berkompetisi dalam persaingan global. Stop segala praktek pembangunan yang tidak proharkat manusia. Hentikan ekspansi pemodal besar yang sekedar meraup keuntungan dan jelas-jelas kurang memiliki etika kerja prorakyat, prokemanusiaan. Menyambut pola baru era otonomi seluas-luasnya ini, pemerintah harus serius membangun image baru yang lebih membuka peluang maksimal bagi partisipasi masyarakat. Dampak luas dari pola ini diharapkan akan menumbuhkan semangat kemandirian, keswadayaan, melanjutkan pembangunan atas upaya dan kemampuan sendiri melalui aktivitas nyata. Segera saja proses pendekatan pembangunan dari bawah (bottom-up development approach) dimulai dan sejauh mungkin melibatkan partisipasi aktif dari semua unsur masyarakat yang berkepentingan (people-centered development) serta dilaksanakan dengan cara-cara yang dapat menumbuhkan swadaya masyarakat setempat agar mampu mengatasi masalah dan memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Dalam pendekatan pembangunan yang partisipatif, upaya pemerataan dan faktor partisipasi kelompok masyarakat untuk mengembangkan swadaya mereka merupakan syarat utama. Pengolahan sumber daya alam, pengelolaan sumber daya manusia dan pemanfaatan teknologi "yang sesuai" dengan kemampuan dan kebutuhan masyarakat adalah bagian strategis yang harus dikembangkan/didayagunakan. Persoalannya kini adalah bagaimana memulainya serta sejauh mana kesiapan diperlukan. Di tengah dinamika yang birokratik, instruktif, dan sentralistis sekarang ini agaknya kita memerlukan energi ekstra untuk melakukan "enforcement", membalikkan sikap dan perilaku seluruh komponen pembangunan (mental switch).
Dialog Anak Nagari Sebagai Titik Masuk Apabila megikuti alur berpikir antitesis di atas, diperlukan proses penyadaran rakyat sebagai awal penanaman pemahaman akan perannya dalam berkontribusi untuk menghadapi tantangan pembangunan. Butuh komunikasi dua arah, mensyaratkan dialog tatap muka, memerlukan kesamaan bahasa, keselarasan emosi dan butuh kesediaan untuk menghargai perbedaan-perbedaan. Untuk itu dialog bersama, tingkat nasional, regional maupun lokal menjadi langkah-langkah penting. Dialog yang dimaksud adalah wahana tukar menukar pikiran, silang informasi dan sosialisasi permasalahan, membangun persepsi bersama, serta merekayasa kesepakatan bersama untuk sesuatu yang kongkrit (action plan). Untuk sampai ke tahapan ini, partisipan dialog harus memiliki informasi standar dan ada kesetaraan bahasa. Konstitusi sudah menggariskan perihal dialog ini dalam format musyawarah. Wahana dialog dalam musyawarah mestilah efektif, artinya bertemu dalam alur pikiran sedemikian konstruktif sehingga mampu memberi dorongan positif kearah aktivitas nyata. Kenyataan selama ini, musyawarah cenderung kehilangan hakikatnya. Forum lebih merupakan seremoni legitimatif untuk pengesahan suatu hal, lebih berupa stempel terhadap kebijakan pemerintah berdasarkan partisipasi dan kontribusi
masyarakat. Musyawarah tak banyak lagi maknanya dan telah kehilangan nilai sakralitas. Bila kita tetap berharap musyawarah sebagai titik masuk bagi pendorong peran serta, maka perlu format baru dengan semangat yang relevan. Perlu dinamika, perlu reorientasi berlandaskan kesadaran akan masa depan. Musyawarah, yang sejak dulu menjadi bagian dalam dinamika pengelolaan komunal Nagari di Sumatera Barat masih menjadi sarana palihg tepat untuk menjembatani penyampaian berbagai masalah. Dialog yang "nyambung" telah terbukti dapat menyelesaikan berbagai persoalan internal maupun eksternal nagari, baik urusan individu maupun kasus sengketa sumber daya. Mulai dari helat nagari, pertanian, sampai upacara ritual keagamaan. Dialog sebagai titik masuk harusnya efektif bagi upaya pengembangan sumber daya manusia nagari menyongsong globalisasi dengan era otonomi sebagai suasana pendukungnya. Bagaimanapun wujudnya forum itu kini, terlepas dari efektif atau tidak, masih terasa ada di masyarakat. Masih memiliki akar dan masih menjadi tumpuan harapan masyarakat, terutama bila ingin mencapai tujuan kolektif. Bila forum terasa mandul karena diformalkan menjadi perangkat desa, maka pilihannya adalah meninggalkan keformalan itu. Untuk itu, antitesis berupa musyawarah murni yang kreatif partisipatif perlu diketengahkan. Pola musyawarah murni yang dimaksud bukan sekedar "ketemu fisik", melainkan "ketemu pikiran dan ketemu hati". Meeting of mind kata para bijak bestari. Artinya dialog setara yang totalitas dapat berkembang dalam merumuskan pilihan-pilihan pembangunan. Bila selama ini forum didominasi elit desa, harus diciptakan mekanisme baru yang menjamin tertutupnya peluang elit desa mendominasi pengambilan keputusan. Bila aparat desa kini sekedar pelaksana kebijaksanaan aparat yang lebih tinggi, maka kedepan harus diberi keleluasaan dalam merumuskan kebijakan sendiri bersama warganya. Jadi intinya, perlu reorientasi menyeluruh, struktural maupun non-struktural (top down approach ke bottom-up process).Perubahan dari top-down approach ke bottom-up process memerlukan penyempurnaan gaya kepemimpinan dari aparat pemerintah. Aparat pemerintahan perlu orientasi baru, dari orientasi berpola birokratis struktural formalistis ke orientasi berpola partisipatif informal nonstruktural. Perubahan orientasi yang jelas dirasakan sangat berat karena akan banyak mengurangi wewenang para aparat yang selama ini umumnya mendominasi hampir seluruh kebijaksanaan pembangunan. Berubah menjadi sekedar "hanya membina dan mengayomi" saja, aparat hanya menjadi fasilitator. Musyawarah Nagari adalah sarana untuk upaya mempercepat tercapainya tujuan pembangunan. Prakarsa untuk bermusyawarah bbisa berasal dari inisiatif masyarakat di kampung atau adakalanya keinginan masyarakat rantau. Tidak menjadi soal pihak manapun yang memprakarsai, yang penting ada kesamaam persepsi atas makna dialog yang akan dikembangkan. Perbedaan persepsi masyarakat rantau itu satu soal, pendekatan yang dipakai adalah juga soal lainnya. Celakanya tidak ada jaminan akan terbentuknya interaksi yang setara, karena belum mungkin pihak rantau bisa menerima kenyataan persamaan posisi, maka kondisi psikologis ini akan mewarnai proses perumusan kesepakatan akan pilihan yang akan diambil. Padahal, pada proses inilah hakikat musyawarah akan bermakna.
Pada satu sisi, masyarakat rantau adalah pihak yang potensial sebagai sumber daya pembangunan, tapi pada sisi lainnya masyarakat di desa adalah pelaksana pembangunan itu sendiri. Kombinasi serasi rantau-kampung halaman adalah jawaban dari upaya memacu pembangunan nagari-nagari di Sumatera Barat, sehingga kita perlu merekayasa skenario bersama dalam membangun musyawarah sebagai sarana, dengan catatan sebagai berikut : 1.
Untuk masa transisi, kita memerlukan pihak lain menjadi fasilitator dalam proses musyawarah, semacam fasilitator yang mengelola proses tanpa keterlibatan emosional, apalagi kepentingan tertentu karena biasanya musyawarah selalu bercirikan pikiran yang tidak sistematis; informal; terkadang tidak terumuskan; tidak fokus dan tentunya tidak ada prioritas. Peran ini yang dikalangan LSM dikenal sebagai "pelancar musyawarah". Pihak lain yang dimaksud disini adalah pihak yang paham potensi Nagari, memiliki persepsi makro pembangunan dan berpihak kepada masyarakat banyak. Bisa saja berasal dari Nagari yang sama, tapi kalau tidak memungkinkan bisa datang dari Nagari lainnya. Hal ini penting karena akan diperoleh masukan pengalaman empiris nagari lainnya. LSM barangkali pilihan yang memungkinkan untuk memfasilitasi musyawarah nagari.
2.
Kesediaan pihak rantau untuk memahami keterbatasan mereka yang berdomisili di kampung halaman, rela berbagi pengalaman, menghargai pendapat mereka, dan bisa menerima alasan realitas kampung dalam melihat kendala yang dihadapi.
3.
Reorientasi gaya kepemimpinan aparat pemerintah, dari birokratis struktural formalistis menjadi partisipatif informal nonstruktural. Dari kepemimpinan yang merasa berwenang penuh tentang segala urusan pembangunan menjadi sekedar manajer pembangunan. Dari sekedar pemimpin bagian dari birokrasi besar, karenanya hanya menjalankan instruksi dari atasannya, menjadi pemimpin yang mampu berinisiatif, kreatif, dan siap melaksanakan improvisasi dalam mencapai tujuan pembangunan.
4.
Standarisasi informasi, artinya stakeholders harus memperoleh informasi yang sama, agar bisa satu bahasa dan persepsi tentang permasalahan yang dihadapi. Konsekuensinya adalah tidak boleh ada informasi pembangunan yang disembunyikan satu dengan yang lainnya atas alasan apapun. Termasuk alasan yang berlatar belakang politik. Kembali ke hakikat musyawarah, berarti kembali ke hakikat kesediaan kita untuk menghargai orang lain sebagai manusia. Artinya, menghargai pikiran-pikirannya, sikap hidup, dan pilihan-pilihannya. Menghargai perbedaan pendapat atau tanpa ragu-ragu menerima persepsi baru tentang berbagai hal, darimanapun datangnya persepsi itu. Menghargai setiap partisipan musyawarah sebagai pihak yang eksis, bukan sekedar alat, orang kampung yang ketinggalan ataupun bawahan semata. Kalau hal ini bisa diselenggarakan, baru kita bisa membicarakan aspek rumit berikutnya dalam pengembangan sumber daya manusia.
Pemberdayaan Ekonomi Nagari berbasis Partisipasi Bila sistem dan prosedur musyawarah nagari berlangsung dalam suasana kondusif; proses musyawarah difasilitasi secara efektif oleh fasilitator yang paham metodologi; keterlibatan aparat pemerintah tidak dominan; hasilnya merupakan formulasi yang dapat diterima oleh mayoritas anak nagari, maka diharapkan ditemukan suatu format perencanaan/skenario pembangunan ekonomi berbasis partisipasi dari seluruh komponen nagari. Sebuah modal yang kuat untuk menindaklanjuti pengembangan ekonomi seperti dimaksud di atas. Bila kebijakan umum pembangunan ekonomi nagari secara prinsip sudah disepakati oleh seluruh komponen nagari, maka soal selanjutnya adalah bagaimana memulai dan darimana harus melangkah. Mengingat potensi nagari ada di rantau dan di nagari, maka idealnya adalah menghadirkan sebuah Tim Fasilitator Partisipasi (selanjutnya disebut Tim) untuk memandu nagari dalam fase inisiasi dan transisional. Katakanlah suatu tim yang terdiri dari 5 orang sarjana (dengan berbagai latar belakang) dengan kualifikasi profesional LSM yang dilekatkan kedalam aktivitas pembangunan ekonomi nagari. Tim yang memiliki kapasitas pengorganisasian; kemampuan metodologis menggerakkan partisipasi, mampu memandu penyusunan skenario pengembangan; memiliki akses ke berbagai pihak yang dapat mendukung pembangunan nagari (propinsi, nasional dan internasional) dan memiliki visi global serta khususnya berkemampuan teknis di bidang teknologi informasi. Tahapan kerja Tim dapat berupa : Tim mengawali pekerjaannya dengan mengembangkan data basis anak nagari, baik yang menetap di kampung maupun yang sudah berdomisili dirantau.Data basis anak nagari adalah modal awal yang sangat strategis untuk memulai pekerjaan besar mengembangkan pengelolaan nagari. Data ini akan sangat berguna untuk menyusun potensi anak nagari yang akan dimanfaatkan partisipasinya dalam membangun masa depan nagari. Tim akan bekerja untuk mengkuantifikasi potensi yang dimiliki nagari (SDA, SDM, Teknologi) dan bekerja efektif mengembangkan skenario sinergi berbagai potensi itu bagi manfaat ekonomi maksimal anak nagari. Dapat dimulai dengan menghitung aset nagari berupa lahan ulayat, hutan nagari, sumber daya air, pasar nagari, sarang burung layang-OD\DQJDVHW\DQJ³GLSLQMDPNDQ´NHSDGDSHPHULQWDKLQYHVWRUGDQEHUEDJDL aset lainnya. Selanjutnya tim bekerja menyusun rancangan usaha/ business plan berdasarkan keunggulan potensi setempat yang akan dikonsultasikan dalam musyawarah nagari untuk disempurnakan serta segera dapat diterapkan. Berdasarkan business plan Tim bekerja menginisiasi berbagai kelompok masyarakat (misalnya kelompok tani dsb.) dengan berangkat dari penyadaran dan skenario pembangunan ekonomi nagari. Idealnya seluruh anak nagari yang dikampung terlibat penuh dalam berbagai kelompok usaha yang diminatinya. Tim jXJDGDSDWEHNHUMDPHQ\XVXQXVXODQ³XOD\DWQDJDULEDUX´EHUXSDNHSHPLOLNDQ+*8NHSDGDSHPHULQWDK atau merekomendasikan penetapan ulayat khusus bagi pengembangan ekonomi nagari (misalnya ulayat kelautan, dimana 500 mil persegi dikelola oleh anak nagari dengan kaidah pengelolaan laut berbasis komunitas nagari).
Berdasarkan basis potensi dan peluang bisnis nagari, Tim bekerja mengembangkan berbagai kelembagaan usaha nagari berbasis kelompok-kelompok yang sudah dibentuk sebelumnya. Institusionalisasi ini kelak akan bermuara ke bentuk Koperasi Nagari sesuai hakikat basis ekonomi komunal partisipatif. Namun dapat pula berkembang dengan memiliki berbagai anak usaha mengurus bisnis spesifik yang sifatnya perseroan dimana koperasi nantinya berubah peran menjadi perusahaan induk/ holding company. Koperasi nagari dengan berbagai unit bisnis sebagai anak perusahaan mengelola bisnis nagari dalam skala ekonomi yang relevan. Pengelolaan transparan, menerapkan prinsip akuntabilitas komunal (public accountability) dan berupaya meningkatkan kinerja menjadi maksimal sebagai perusahaan publik. Untuk kebutuhan permodalan yang diperlukan mendukung berbagai usaha, bisa saja dikembangkan berbagai kerja sama. Namun hubungan kerja sama baru boleh dimulai bila pihak lain setuju dengan prinsip WLGDN PHQJXEDK NHSHPLOLNDQ DVHW QDJDUL 6HPDQJDW µNHUEDX SHUJL NXEDQJDQ WLQJJDO´ KDUXV GLVHSDNDWL sebagai prinsip awal dalam membangun kerja sama. Suatu terobosan lain yang perlu dipikirkan untuk mengatasi kendala dana adalah dengan meluncurkan surat berharga nagari/obligasi atau nagari bonds. Mungkin sedikit kompleks pengadaannya, namun layak untuk menjadi bahan pertimbangan penggalian dana pendukung usaha. Pengelolaan permodalan diawali dengan mendirikan lembaga keuangan nonbank sejenis LPN di masa lalu, mendapat pengesahan Pemda melalui Perda dan mendapat dukungan penuh dari sisi kultural dan partisipasi anak nagari dari seluruh dunia. Suasana ekonomi bertumbuh kondusif dengan dukungan infrastruktur publik dari pemerintah, (seperti cold storage dan gudang untuk hasil-hasil pertanian serta sarana pemasaran) Seiring terbangunnya amplitudo saling menguatkan antara dukungan infrastruktur publik dari pemerintah dan kesiapan lembaga ekonomi nagari dan partisipasi penuh seluruh anak nagari darimanapun domisilinya, maka diharapkan dalam 4 ± 5 tahun kita boleh berharap hadirnya kemandiran ekonomi nagari. Sampai tahap ini keberadaan Tim sudah dinilai selesai. Namun, secara individu tetap saja bisa bertugas di nagari, mungkin saja tersebab berkeluarga dan diangkat menjadi menantu atau karena ingin mengabdi lebih lanjut sebagai profesional mengelola usaha. Tugas berikut dari fasilitasi publik oleh pemerintah adalah mengembangkan dukungan terhadap skala produksi dan skala ekonomi masyarakat nagari, yakni dengan membangun suatu unit baru tingkat propinsi. Katakanlah semacam upaya pemasaran bersama (joint marketing board) yang merupakan asosiasi milik koperasi-koperasi dari nagari-nagari. Unit ini memiliki lingkup aktivitas: 1) fasilitasi pasca panen seperti pergudangan yang relevan, processing lanjut, pengepakan dan pengapalan; 2) dukungan lembaga keuangan untuk urusan eksport maupun pengiriman dalam negeri; 3) memiliki legitimasi dari usaha nagarinagari dalam membuka kontak kerjasama dengan berbagai pihak, dalam dan luar negeri.
8QLW7UDQVDNVL,QIRUPDVL´Nagari-Onlineµ Sebagai unit penting dalam memberdayakan nagari-nagari, khususnya dalam hal transaksi informasi dan pasar adalah dihadirkannya jaringan sistem informasi komunikaVL FDQJJLK \DQJ ³on-line´ GHQJDQ VLVWHP JOREDO berbentuk pengembangan sistem jaringan berbasis teknologi informasi yang menghubungkan sentra-sentra kemandirian usaha rakyat nagari sehingga terbentuknya jaringan pasar domestik, regional, nasional dan internasional untuk kepentingan anak nagari sebagai pelaku usaha. Jaringan ini dikembangan agar anak nagari siap bersaing dalam era globalisasi, dengan cara mengadopsi teknologi informasi dan sistem yang paling canggih sebagaimana dimiliki oleh lembaga-lembaga internasional. Unit ini merupakan public property, dikelola oleh suatu kelembagaan tingkat propinsi yang dimiliki asosiasi koperasi-koperasi nagari sehingga tercermin daulat nagari dalam kinerjanya. Pada tingkat nagari, unit fasilitasi informasi ini merupakan pekerjaan lanjut dari Tim Fasilitator, yang ruang lingkup kerjanya antara lain : Membangun suatu sistem pengumpulan informasi dan data dari seluruh kawasan produktif nagari melalui kelompok usaha nagari dengan tingkat akurasi maksimal. Data yang diperlukan meliputi jenis komoditas, luas produksi, kemungkinan panen, dan estimasi hasil produksi. Melakukan pemasukan data aktivitas usaha nagari (data entry) ke unit personal komputer mutakhir yang dimiliki tiap nagari. Data entry dilakukan tiap hari diseluruh nagari dalam suatu format tertentu dan ditabulasi oleh lembaga di propinsi untuk dijadikan data propinsi. Dengan demikian propinsi memiliki data harian dan data estimasi produksi dalam waktu-waktu tertentu. Transaksi data berlangsung dua arah dan tabulasi data propinsi dapat diakses tiap nagari. 'HPLNLDQSXODNDUHQDVLVWHPLQL³on-line´GHQJDQJOREDOPDNDWLDSQDJDULGDSDWVDMDPHQFDULLQIRUPDVLNH tingkat nasional dan global sesuai kebutuhannya. Misalnya petani kopi di dataran tinggi Solok Selatan boleh mengakses bursa kopi di London dan New York. Sistem on-line membuat seluruh anak nagari di seluruh dunia dapat berinteraksi secara leluasa, timbal balik dan dalam jangka pendek akan menghasilkan sinergi positif permberdayaan ekonomi nagari. Akhirnya, apa saja kebutuhan akan informasi dan jasa dapat diakses melalui jaringan ini. Jaringan tersebut menerapkan sistem open consumer society cooperatives (koperasi masyarakat konsumen terbuka) yang menjadikan konsumen pemilik usaha dari layanan yang dinikmatinya. Hal ini akan menumbuhkan suatu siklus kinerja usaha yang paling efisien karena pembeli adalah juga pemilik sebagaimana iklan di banyak negara yang menganut sistem kesejahteraan sosial masyarakat (welfare state) GHQJDQ PRWWR ³EHODQMD kebutuhan sehari-KDULGLWRNRPLOLNVHQGLUL´'DODPGLQDPLNDLQWHUDNVLGL.RSHUDVL(NXDWRU0LQDQJ0HGLDGLNHQDO LVWLODK³6DSLKDMLPDVXNNHEXQKDML´Secara teknis sistem ini dikembangkan sedemikian rupa, didukung jaringanjaringan telekomunikasi, pembiayaan, usaha dan perdagangan, advokasi usaha, saling ajar, jaringan sumber daya lainnya seperti hasil riset dan teknologi, berbagai inovasi baru, informasi pasar, kebijaksanaan dan intelijen usaha, dan sebagainya. Pengembangan jaringan dilakukan dengan mengutamakan pendekatan yang adil dan
merata bagi setiap anak nagari maupun warga negara pada umumnya, agar tidak terjadi lagi diskriminasi terhadap pelaku usaha tertentu yang selama ini disudutkan dan disebut sebagai beban pembangunan. Dalam hal ini sistem ekonomi jaringan berkontribusi mempercepat laju pencapaian demokrasi ekonomi sebagaimana diamanahkan konstitusi. Bila akses terhadap berbagai sumber daya dilakukan secara bebas, maka berbagai ketidakseimbangan aliran informasi bisa diatasi. Bila informasi mengalir lancar ke masyarakat maka akan tumbuh kontrol yang efektif sehingga praktek disinformasi sektor keuangan misalnya dapat diberantas habis. Pada akhirnya, ekonomi berbasis jaringan adalah suatu pendekatan perekonomian yang menghimpun para pelaku ekonomi, baik itu produsen, konsumen, service provider, equipment provider, cargo, transportation unit, airline, perbankan, dan lain-lain dalam suatu jaringan yang terhubung secara elektronik. Dengan melakukan pembenahan GL ELGDQJ ³flow of information DOLUDQ LQIRUPDVL ´ GDQ ³flow of money (aliran GDQD ´ VHEDJDL LPSOLNDVL ORJLV SHUXEDKDQ VLVWHP VHQWUDOLVWLV NH RWRQRPL PDND GLKDUDSNDQ VHFDUD DODPL DNDQ UWXPEXK³flow of goods and services DOLUDQEDUDQJGDQMDVD ´GDODPEHQtuk perdagangan antar-nagari/regional, nasional, sampai internasional berdasar pada potensi dan komoditas unggulan nagari masing-masing. Unit transaksi informasi ini dibangun di seluruh nagari dalam bentuk simpul jaringan elektronik yang bertugas secara umum sebagai Multi-purpose Community Telecenter. Simpul jaringan elektronik ini berperan memfasilitasi anak nagari mengakses informasi, seperti informasi produksi, pasar, informasi perkreditan, informasi dukungan teknologi, dukungan konsultasi usaha, komunikasi dengan pembeli dari luar sampai-sampai kebutuhan sekunder tingkat keluarga, dan lain-lain. Seluruh simpul dihubungkan secara elektronis melalui MDULQJDQ WHNQRORJL LQIRUPDVL LQWHUQHW -DULQJDQ EHUVLIDW ³RQ-OLQH´ LQL GLKDUDSNDQ DNDQ PHQMDGL LQIUDVWUuktur pendukung terpenting bagi dunia usaha masyarakat Sumatera Barat Baru yang berkeadilan dan merata. Unit transaksi informasi ini difasilitasi dan dikelola oleh Tim Fasilitator yang mempunyai visi pembangunan berbasis nagari. Infrastruktur yang dibutuhkan cukup sebuah Personal Computer kapasitas mutakhir dilengkapi saluran telepon. Unit ini akan menjadi denyut jantung berbagai usaha nagari dan merupakan episentrum pemberdayaan nagari. Seiring dengan bertumbuhnya aktifitas nagari, diperhitungkan anak nagari potensial tidak perlu lagi merantau (brain-drain) karena dapat hidup dan berusaha dengan leluasa di nagari sendiri. Implikasi kehadiran simpul jaringan diperkirakan akan meluas dalam bentuk efek berantai sehingga dalam waktu tidak terlalu lama kita akan dapat pula mengatasi kelangkaan SDM berkualitas yang mengelola infrastruktur sosial budaya nagari. LPN-Baru Sebagai Motor Penggerak Perekonomian Nagari Kehadiran lembaga keuangan nonbank yang bisa disebut sebagai LPN-Baru mutlak diperlukan untuk memfasilitasi aktifitas produktif anak nagari. Perannya yang sttrategis diantaranya mengakumulasi modal dari anak nagari, terutama modal yang mengalir dari perantauan. Skenario pengembangan lembaga keuangan versi nagari ini mengikuti langkah-langkah berikut :
Koperasi Nagari mendirikan anak perusahaan berbentuk LPN-Baru dalam bentuk badan hukum PT untuk mengelola sistem keuangan serta membiayai berbagai unit produktif nagari dengan keunggulan masingmasing yang sudah ditetapkan. LPN-Baru akan menampung potensi dukungan akumulasi permodalan dari anak nagari dari manapun domisilinya. LPN-Baru akan menjadi lembaga keuangan nagari yang memperoleh dukungan kultural dari pimpinan adat nagari dan dukungan sosial dalam bentuk partisipasi seluruh anak nagari. Lembaga ini bekerja dengan mekanisme perbankan yang sejauh mungkin bersinergi dinamika sosial setempat. Artinya, memberi tempat yang proporsional pada adat dan tradisi dalam berhubungan dengan LPN-Baru. Komitmen komunal dari anak nagari, kampung dan rantau, akan mempercepat akumulasi akumulasi modal. LPN-Baru bertugas memfasilitasi berbagai proyek unggulan nagari, baik produk spesifik unggulan termasuk skala ekonomi dari proyek. Untuk pembiayaan yang besar nominalnya, dengan memanfaatkan nagari online, seluruh nagari boleh mensinergikan permodalannya. LPN-Baru akan bertindak sebagai pengelola utama sindikasi permodalan gabungan dari nagari-nagari. Dalam pengelolaan permodalan, dibangun kesepakatan nagari-nagari untuk menghambat aliran modal keluar propinsi (capital flight). Kalau ada modal berlebih di satu nagari, dapat saja dimanfaatkan oleh nagari lain. Mekanisme ini didukung oleh sistem manajemen informasi memanfaatkan nagari on-line. Jaringan ekonomi nagari-nagari yang dikelola secara profesional dan didukung teknologi informasi tentu akan meyakinkan para mitra, termasuk mitra internasional untuk bekerja sama dengan nagari-nagari dalam membangun ekonominya. Kemandirian dukungan lembaga keuangan milik nagari ditunjukkan oleh kemampuan pembiayaan proyekproyek nagari serta efektifnya jaringan antar-nagari. Interaksi ini mungkin boleh disebut perwujudan ekonomi jaringan.
Penutup Sinergi berbagai elemen dalam nagari niscaya akan menghadirkan sebuah kekuatan ekonomi baru berbasis nagari-nagari (ekonomi jaringan). Dengan demikian, rasanya tak perlu terlalu merisaukan berbagai kebijakan publik yang dicetuskan pasca reformasi. Apapun wujudnya kebijakan itu, tentu akan siap dihadapi.
SEPUTAR AKATIGA1 Oleh Nina Kania Dewi
Selama periode Juni ± Desember 2001, kegiatan AKATIGA difokuskan pada field study untuk hampir keseluruhan penelitian AKATIGA. Lokasi field study ini cukup beragam, antara lain Ciwidey, Majalaya, Jepara, Cirebon, Purwokerto, dan Nusa Tenggara Timur. Keseluruhan penelitian tersebut menggali isu ketimpangan struktur relasi dan pengembangan institusi yang diyakini AKATIGA sebagai dua penyebab persoalan kemiskinan di Indonesia. Kedua isu ini digali dalam konteks perburuhan, usaha kecil, agraria, dan perempuan. Kegiatan advokasi yang bersifat diseminasi informasi telah pula dilakukan dengan terbitnya 2 (dua) edisi buletin INFORMASI ADVOKASI yang mengangkat isu Peran Dewan Pengupahan dan Kondisi Buruh Perkebunan di Beberapa Negara Produsen Teh Dunia. Buletin ini merupakan salah satu dari sekian produk yang dibuat oleh Bidang Advokasi pada akhir tahun 2001 ini. Informasi Advokasi diharapkan menjadi media komunikasi advokasi yang bersifat interaktif antara AKATIGA dengan elemen-elemen lain yang memiliki perhatian sama dalam upaya mencari alternatif solusi bagi permasalahan yang dihadapi grassroot. Begitu pula dengan berbagai produk advokasi lain yang akan diterbitkan pada periode 2002. Penyelenggaraan Kegiatan Beberapa penelitian termasuk desk study ada dalam tahap penyelesaian dan beberapa telah dipresentasikan dalam berbagai seminar, workshop maupun diskusi terstruktur. Presentasi hasil studi tersebut antara lain studi AKATIGA bekerjasama dengan Kozuke Mizuno dari Kyoto University dipresentasikan di Jakarta, pada tanggal 22 Agustus 2GHQJDQPHQJDQJNDWLVX³3HUDQDQ6HULNDW %XUXK GDODP 0HQFLSWDNDQ +XEXQJDQ ,QGXVWULDO \DQJ 'HPRNUDWLV´ 'DUL SHQHOLWLDQ WHUVHEXW GLNHWDKXL gambaran tentang heterogenitas serikat buruh dengan berbagai kriteria 2 antara lain (a) pola kemunculan serikat buruh yang dipengaruhi sejarah dan latar belakang pendirian serikat buruh; (b) berdasarkan ireologis dan afiliasi terutama politik; (c) faktor formal strategi perjuangan yang diambil. Penelitian ini menemukan pula beberapa bentuk serikat buruh dilihat dari bentuk dan pola hubungan serikat buruh tersebut dengan basisnya, yaitu antara lain Enterprise Union, General Union, Occupational
1
Disarikan dari berbagai sumber, antara lain dari dokumen hasil perjalanan staf AKATIGA dan Laporan Kegiatan AKATIGA periode 2001.
Union, dan Industrial Union. Di samping itu terdapat pula serikat buruh yang bersifat service union dengan pendekatan ekonomis/normatif dan social movement dengan pendekatan serikat buruh sebagai bagian dari gerakan demokratisasi. Kegiatan lain yang diselenggarakan dalam konteks penelitian yang tengah dilakukan AKATIGA adalah ³'LVNXVL 7HUVWUXNWXU WHQWDQJ 6DZDUXQJ´ GHQJDQ PHQJXQGDQJ EHEHUDSD DQJJRWD 3UHVLGLXP GDQ Eksekutif Sawarung. Diskusi ini untuk menggali informasi mengenai tantangan, kendala dan peluang Sawarung sekaligus memberikan masukan kritis pada temuan-temuan awal studi Sawarung. Kegiatan ini dilakukan pada tanggal 23 dan 30 Mei 2001. Selain itu hasil Studi Dampak Krisis terhadap Usaha Kecil dipresentasikan di Jakarta pada tanggal 1 Agustus 2001 dengan penyelenggara Asia Development Bank. AKATIGA mempresentasikan studi ini dengan tujuan memberikan rekomendasi bagi penyusunan kebijakan usaha kecil. Diskusi informal dalam berbagai isu yang diselenggarakan dan difasilitasi AKATIGA selama periode ini, DQWDUD ODLQ D ³'LVNXVL 'HVHQWUDOLVDVL´ SDGD WDQJJDO -XOL EHNHUMDVDPD GHQJDQ 7KH $VLD Foundation. Diskusi ini bertujuan men-share pengamatan dari berbagai lembaga mengenai proses desentralisasi di Jawa Barat. Dalam diskusi ini pula konsultan The Asia Foundation dari Philipina memberikan hasil pengamatan proses desentralisasi di Philipina yang dilakukannya selama 10 tahun WHUDNKLU LQL NHPXGLDQ E GDODP ³'LVNXVL 8VDKD .HFLO´ 7LP 8VDKD .HFLO EHUGLVNXVL GHQJDQ 7LP Technical Assistant Asia Development Bank yang tengah menggali input untuk rencana strategisnya mengenai isu finansial dan penciptaan iklim yang kondusif untuk pengembangan usaha kecil di Indonesia. Kegiatan informal ini diselenggarakan pada tanggal 4 Agustus di kantor AKATIGA. Selain itu, bekerjasama dengan The Asia Foundation pada tanggal 5 Juni 2001 diselenggarakan ³7UDLQLQJ $QDOLVLV $QJJDUDQ´. Kegiatan ini dilakukan untuk merespon kebutuhan yang muncul dari peserta workshop The Asia Foundation tentang Gender Budget Analysis. Training ini difasilitasi oleh dua orang staf dari FITRA (Forum untuk Transparansi Anggaran). Materi yang diberikan pada training singkat ini lebih terfokus pada metode membaca dan mengkritisi anggaran pemerintah. Keterlibatan sebagai Narasumber dan Fasilitator Bentuk keterlibatan AKATIGA sebagai narasumber dan fasilitator dalam beberapa kegiatan sangat penting. Kegiatan ini diikuti untuk memahami isu-isu yang menjadi kepedulian AKATIGA. Selain itu kegiatan ini dijadikan sebagai media untuk mensosialisasikan akumulasi pengetahuan dari hasil studi 2
Dikutip dari Kerangka Acuan Seminar. Seminar ini merupakani kerja sama AKATIGA dengan Program Pasca Sarjana Studi
yang dilakukan AKATIGA dan ditujukan pula untuk membangun jaringan kerjasama dengan berbagai lembaga. Direktur Eksekutif AKATIGA menjDGL QDUDVXPEHU GDODP ³/RNDPLQL 3DUWLFLSDWRU\ 5HVHDUFK $FWLRQ´ GHQJDQPHPSUHVHQWDVLNDQPDNDODK\DQJEHUMXGXO³0HWRGH3HQHOLWLDQ.XDQWLWDWLI.XDOLWDWLIGDQ35$´ 3. Penyelenggara kegiatan ini adalah Studio Driya Media dan diselenggarakan pada tanggal 13-16 Agustus 2001 di Bandung. 6HPHQWDUD LWX 7LP 3HUEXUXKDQ GDODP 6HPLORND 1DVLRQDO ³6WDQGDUGLVDVL 3HUMDQMLDQ .HUMD %HUVDPD (PKB) yang diselenggarakan oleh Serikat Pekerja Tekstil Sandang dan Kulit (SPTSK) se-Jawa dan Sumatera menyampaikan materi mengenai seberapa jauh PKB yang ada sekarang ini sudah memenuhi standard ideal. Tujuan semiloka ini adalah menghasilkan panduan PKB yang ideal untuk masing-masing sektor, yaitu sektor tekstil, sektor sandang dan sektor kulit. Peserta semiloka adalah dari DPN, DPD, dan perwakilan PUK SPTSK masing-masing perusahaan se-Jawa dan Sumatera. Kegiatan ini berlangsung selama 4 (empat) hari, tanggal 26-29 Agustus 2001, bertempat di Cibulan, Bogor, dan diikuti oleh sekitar 60 (enam puluh) peserta. 3838. %DQGXQJ SDGD WDQJJDO $JXVWXV PHQ\HOHQJJDUDNDQ ³6HPLQDU 1DVLRQDO 6WUDWHJL Pengembangan Usaha Kecil di Tingkat Kota/Kabupaten dalam Rangka Otonomi Daerah (Kajian Aspek Pendukung dan Skema 3HPELD\DDQ ´'DODPVHPLQDULQL'LUHNWXU3HQHOLWLDQ$.$7,*$WHUOLEDWVHEDJDL narasumber. KIKIS sebagai suatu aliansi organisasi-organisasi yang mempunyai agenda menanggulangi permasalahan kemiskinan pada tahun 2001 ini menyelenggarakan workshop pada tanggal 5-8 Oktober 2001. AKATIGA sebagai koordinator simpul buruh ± diwakili oleh Direktur Eksekutif ± mempresentasikan makalah mengenai isu-isu prioritas yang ada dalam isu perburuhan. Dimensi kemiskinan4 yang dikemukakan oleh KIKIS, yaitu rendahnya partisipasi berupa peran rakyat untuk bisa terlibat atau ikut andil dalam pengambillan keputusan dan menjadikannya lebih aktif bukan sebagai anggota pasif, cukup menarik untuk kita kritisi bersama. Dalam satu kesemSDWDQ ODJL \DLWX ³6HPLQDU 3DUWLVLSDVL 3XEOLN GDQ *RRG *RYHUQDQFH´ yang diselenggarakan oleh Universitas Kristen Satya Wacana, Direktur Eksekutif terlibat sebagai narasumber. Seminar nasional ini berupaya mengakomodir gagasan kritis dari berbagai stakeholder seperti kalangan LSM, birokrat, dan lembaga donor. Seminar ini mengeksplorasi persoalan yang
3 4
Pembangunan ITB. Makalah presentasi dari Haswinar Arifin ini dapat diakses di http://www.akatiga.or.id. Dikutip dari Warta Kikis edisi 6 November 2001.
berkaitan dengan partisipasi publik (public participation) dan pemerintahan yang baik (good governance) di dalam Program Pengembangan Kecamatan. Topik spesifik yang diangkat adalah Partisipasi Publik GDQ 0RGHO 3HPEDQJXQDQ ³%RWWRP-8S´ 6WXGL .DVXV 33. 6LVL ODLQ \DQJ FXNXS PHQDULN GDQ FRED diangkat pula oleh penyelenggara adalah Persepsi Birokrasi terhadap Model Pembangunan ³%RWWRP-8S´ Partisipasi sebagai Peserta Berbagai acara diskusi, seminar, pelatihan maupun workshop yang diikuti AKATIGA selama ini dilakukan dalam rangka merespon isu-isu aktual yang terus bergulir di kalangan LSM, akademis dan sebagainya. Isu-isu inilah yang bisa memperdalam substansi penelitian dan advokasi yang dilakukan AKATIGA sehingga bisa mendukung gerakan yang dilakukan setiap elemen. Berikut ini adalah informasi singkat dari sebagian kecil seminar yang diikuti oleh AKATIGA dan diharapkan Anda bisa mengambil manfaat dari catatan singkat ini. Untuk mendapatkan makalah dari kegiatan ini anda bisa menghubungi Perpustakaan AKATIGA. Diselenggarakan oleh Chulalongkorn University bekerjasama dengan Bangkok Bank, seminar ³5HEXLOGLQJ2XU)LQDQFLDO$UFKLWHFWXUH´LQLGLDGDNDQSDGDWDQJJDO± 25 Juli 2001 di Bangkok Thailand. Dengan beragamnya peserta dari berbagai negara, baik individu maupun lembaga, seminar ini menjadi semakin komprehensif dengan dipresentasikannya berbagai pengalaman negara-negara Asia dalam menghadapi situasi krisis, dan upaya-upaya yang dilakukan masing-masing negara dalam rangka pemulihan dari situasi krisis. Sementara itu, sejumlah peraturan perundangan yang berkaitan dengan usaha kecil dikritisi dari sisi NHOHPDKDQGDQFDFDWKXNXPQ\DROHKVHRUDQJDKOLKXNXPSDGD³:RUNVKRp Kajian Perundang-undangan 8VDKD.HFLO0HQHQJDK´5. Peraturan Perundangan Usaha Kecil Menengah? Peraturan perundangan yang dibahas antara lain adalah UU No. 9/1995, PP No 44/1997 tentang Kemitraan, PP No 32/1998 tentang Pembinaan dan Pengembangan Usaha Kecil, Inpres No 10/1999 tentang Pemberdayaan Usaha Kecil Menengah, PP No 38/1999 tentang Penyertaan Modal Negara RI untuk Pendirian Persero dalam rangka pengembangan koperasi, usaha kecil dan usaha menengah. Dikemukakan pula usulan perbaikan dari sejumlah peraturan tersebut, tetapi tidak secara detail karena perbaikan tersebut harus dilakukan secara menyeluruh dan bukan per peraturan. 5
Ringkasan dari Laporan Perjalanan yang disusun oleh Nurul Widyaningrum.
Rancangan Undang-Undang Subkontrak? Dalam workshop yang diselenggarakan pada tanggal 25-26 Juli 2001 di Kantor Menteri Negara Koperasi ini, dibahas pula rancangan UU yang akan keluar, yaitu RUU tentang Subkontrak dan pembahasan mengenai Definisi Usaha Kecil. Kritik mengenai RUU Subkontrak terutama ditujukan dari substansi dan maksud dikeluarkannya RUU ini. Dua acara diskusi publik yang membicarakan masalah kekerasan terhadap perempuan di Bandung, diikuti oleh Tim Perempuan6$FDUDSHUWDPDVHPLQDUGDQORNDNDU\D\DQJEHUWDMXN³Sexual Harassment: 0DVDODK7HUVHPEXQ\LGL7HPSDW.HUMDGDQ%DJDLPDQD,QYHVWLJDVL'DSDW'LODNXNDQ´GLVHOHQJJDUDNDQ oleh Lembaga Penelitian dan Fakultas Ekonomi Universitas Katolik Parahyangan tanggal 30 Juli 2001. Acara ini menampilkan Siti Kholifah dari Kalyanamitra dan Prof. Dr. Mei Bickner dari College of Business Administration and Economic, USA. Mengapa perempuan pekerja lebih rentan terhadap pelecehan seksual? Menurut Siti Kholifah, pelecehan seksual adalah tindakan yang memaksa seseorang terlibat dalam suatu hubungan seksual atau menempatkan seseorang sebagai objek perhatian seksual yang tidak diinginkan. pelecehan seksual di tempat kerja bersifat diskriminatif. Penyebab utama kerentanan adalah posisi formal yang lebih tinggi pihak yang melecehkan serta kondisi tempat kerja yang memungkinkan terjadinya pelecehan tersebut. Sebagian pekerja, baik laki-laki maupun perempuan, menganggap tindakan pelecehan sebagai hal yang wajar untuk meningkatkan keakraban dan menghilangkan kepenatan. Mereka yang merasa terganggu sering kali dianggap sok suci, bahkan oleh sesama perempuan. Acara kedua diselenggarakan oleh Institut Perempuan Bandung tanggal 9 Agustus 2001, bersamaan dengan digelarnya Pameran Buku di Gedung Landmark. Menarik untuk dicermati, panitia memberi judul ³%HUVDPD /DNL-ODNL 0HQJKDSXVNDQ .HNHUDVDQ WHUKDGDS 3HUHPSXDQ´ 0HPDQJ WDPSDN DGDQ\D penekanan terhadap para peserta diskusi mengenai pemahaman dasar masalah kekerasan terhadap perempuan. Beberapa pertanyaan besar yang sering kali muncul ketika kita berbicara tentang kekerasan terhadap perempuan adalah sebagai berikut. Kekerasan terhadap perempuan = penganiayaan fisik perempuan? Kekerasan bukan hanya bersifat fisik, yang berupa penganiayaan dan sebangsanya, namun juga berupa psikis. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai sebuah kekerasan bila objek yang dikenai 6
Laporan Perjalanan yang disusun oleh Tutin Aryanti.
perbuatan tersebut merasakan ketidaknyamanan. Dengan demikian, kekerasan dapat berupa kekerasan fisik, seksual, psikologis, sosial, ekonomi, maupun spiritual. Larangan untuk mendapatkan pendidikan, kesempatan kerja dan pengguguran bayi karena tidak menginginkannya merupakan bagian dari tindak kekerasan. Mengapa terjadi kekerasan terhadap perempuan? Budaya patriarki merupakan sumber terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Adanya anggapan/pandangan yang memandang perempuan sebagai makhluk yang lebih rendah daripada laki-laki mendiskreditkan perempuan. Kelamin perempuan menjadi sebuah pembenaran yang mengijinkan dilakukannya kekerasan terhadapnya. Mengapa kekerasan terhadap perempuan berbeda dengan kekerasan lain? Benang merah yang menyatukan berbagai jenis kekerasan, termasuk kekerasan terhadap perempuan, adalah dasar kemanusiaan. Namun, kekerasan terhadap perempuan memiliki satu perbedaan yang signifikan. Kekerasan terhadap perempuan adalah kekerasan yang terjadi terhadap seseorang atau sekelompok orang karena dirinya perempuan. Kasus Aceh merupakan sebuah contoh konkret yang dapat menjelaskan fenomena ini. Para korban sama-sama mengalami kekerasan, bahkan dibunuh. Namun para perempuan mengalami kekerasan yang lebih sadis dengan diperkosa terlebih dahulu sebelum akhirnya dibunuh. Para pengungsi Timor-Timur juga menjadikan perempuan sebagai ajang balas dendam dari persengketaan yang ada. Hal yang sama pun terjadi pada aktivis yang berkelamin perempuan. Inilah yang membedakan kekerasan perempuan dengan kekerasan lainnya.
Apa yang diinginkan oleh gerakan perempuan: penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan? Gerakan penghapusan kekerasan terhadap perempuan menginginkan perlakuan setara bagi perempuan seperti halnya manusia lainnya. Gerakan ini mendesak dihapuskannya diskriminasi terhadap kaum perempuan yang mengakibatkan penderitaan fisik dan mental yang berat bagi perempuan. Mengapa gerakan perempuan didominasi oleh aktivis perempuan? Mungkinkah laki-laki terlibat? Adalah sesuatu yang wajar ketika sebuah gerakan yang memperjuangkan nasib kaum perempuan didominasi oleh perempuan. Merekalah yang paling mengerti nasib yang mereka alami. Meskipun juga tidak menjamin adanya kepedulian yang sama dari semua perempuan. Bahkan, tidak jarang perempuan merupakan musuh yang paling sinis terhadap perempuan korban kekerasan.
Bagaimana perspektif Islam memandang kekerasan terhadap perempuan? Islam merupakan reformator dalam penghormatan terhadap perempuan. Namun masyarakat sering kali berpandangan bahwa Islam bertindak diskriminatif terhadap perempuan. Interpretasi terhadap ajaran Islam merupakan faktor penting yang berperan besar dalam menerjemahkan ayat Al Quran dan Hadist mengenai relasi laki-laki dan perempuan. Bias interpretasi ini dipengaruhi juga oleh bias penulisan sejarah yang didominasi oleh laki-laki. Dengan demikian, perlu re-interpretasi terhadap ajaran Islam sesuai dengan konteks dimana ajaran diamalkan. Pada tanggal 17 ± 24 Agustus 2001, AKATIGA7 PHQJLNXWL³6HPLQDU,QWHUQDVLRQDOLocal Government DQG &LYLO 6RFLHW\´ di Gummersbach, Jerman. Seminar ini merupakan salah satu dari sekian topik seminar yang dilaksanakan secara reguler oleh Theodor Heuss Akademie dalam upaya membangun dialog politik secara internasional tentang berbagai hal seperti hak asasi manusia, globalisasi, politik, pemerintahan lokal, dan sebagainya. Dalam tahun 2001 misalnya ada 15 seminar tentang berbagai topik seperti yang disebutkan di atas. Siapakah yang menjadi peserta seminar? Peserta seminar ini mewakili berbagai negara khususnya Afrika, Eropa Timur, Mediterania (Timur Tengah), Asia, dan Amerika Latin. Peserta seminar terdiri dari perwakilan negara-negara: Zimbabwe, Ghana, Afrika Selatan, Mesir, Israel, Palestina, Turkey, Peru, Nicaragua, Brazil, Mexico, Guatemala, Argentina, Yugoslavia, Latvia, Cheko, Korea Selatan, Indonesia, Thailand, India, Sri Lanka, dan Pakistan. Peserta sengaja dipilih dari berbagai belahan tersebut karena hampir semua negara tersebut merupakan negara berkembang yang masih terus mencari bentuk bagaimana membangun pemerintahan daerah yang efektif sesuai dengan kebutuhan masyarakat lokal. Jumlah peserta sebanyak 23 orang dengan latar belakang profesi sangat bervariasi yaitu pemerintah lokal (dalam hal ini termasuk walikota dari negara Guatemala dan Brazil), anggota council, partai politik, pegawai pemerintah, perguruan tinggi, konsultan pemerintahan lokal, dan LSM. Topik-topik menarik dalam seminar? Topik-topik diskusi yang dibahas selama seminar berlangsung yaitu local government, pembagian tugas antara pemerintah pusat dan pemerintah lokal (decentralization), privatisasi pada tingkat lokal (privatization), sumber pembiayaan pemerintahan lokal (funding of local government), partisipasi masyarakat dalam penyelenggaraan pemerintahan lokal (civil society participation), dan local development. 7
Catatan Seminar yang ditulis Endang Suhendar ini dapat anda akses di http://www.akatiga.or.id.
Dalam konteks Indonesia? Topik-topik ini sangat relevan untuk dikaitkan dengan pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia yang mulai dilaksanakan sejak 1 Januari 2001. Seberapa jauh prasyarat agar pemerintahan lokal berfungsi dengan baik dapat dipenuhi. Beberapa persyaratan tersebut di antaranya 1) Harus ada kepercayaan terhadap masyarakat daerah bahwa mereka mampu melaksanakannya (trust the people); 2) Harus ada kejelasan tentang tanggung jawab pemerintahan lokal (clear definition of responsibilities and subsidiarity); 3) Harus adanya kemampuan mengambil keputusan (ability to take decision); 4) Harus ada desentralisasi kewenangan dan memungkinkannya dilakukan privatisasi (decentralization and privatization); 5) Harus ada kecukupan anggaran (sufficient finances); 6) Tidak terjadi pemberian beban yang terlalu berat dari negara (no overburdening by the state).
*****
Bahan untuk Jurnal Usaha Kecil: Review Buku Ratih Dewayanti Judul Rural Financial Market in Asia: Paradigms and Performance Penulis Richard L. Meyer dan Geetha Nagarajan Penerbit Oxford University Press Tahun terbit 1999 Jumlah halaman xvi+401 Meyer dan Nagarajan adalah anggota tim studi Asian Development Bank (ADB), tulisan mereka ini merupakan satu dari lima rangkaian penelitian yang dilakukan ADB pada tahun 1998 mengenai Pedesaan di Asia (A Study of Rural Asia). Penelitian ditujukan untuk mengkaji manfaat pelayanan lembaga finansial pedesaan di Asia dan mengidentifikasi bagaimana hubungan antara transformasi ekonomi pedesaan dan sistem finansial pedesaan. Ide awal penelitian ini adalah realitas transformasi ekonomi ternyata tidak banyak mengubah kondisi kemiskinan negara-negara di Asia pada umumnya, terutama bagi mereka yang tinggal di pedesaan. Pembahasan dibagi dua bagian, bagian pertama membahas perkembangan paradigma institusi finansial bagi usaha kecil dan bagian kedua membahas perkembangan pasar fnansial di 6 negara. Bangladesh dan India mewakili negara Asia Selatan yang miskin, kepadatan penduduknya tinggi, dan intervensi pemerintah sangat besar terhadap sektor finansial. RRC dan Republik Kyrgyz mewakili negara Asia Tengah yang sedang dalam transisi ekonomi dari perencanaan terpusat ke ekonomi pasar. Indonesia dan Thailand mewakili negara Asia Tenggara dengan pertumbuhan ekonomi yang cepat tetapi kemudian terhantam krisis ekonomi tahun 1997. Metode yang digunakan untuk menganalisis perkembangan pasar finansial di 6 negara tersebut adalah analisis komparatif dengan membandingkan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan sektor pertanian, transformasi struktural, dan pertumbuhan sektor finansial. Tulisan diawali dengan menyajikan data-data makro transformasi ekonomi di Asia. Disebutkan bahwa dalam 30 tahun terakhir, masyarakat pedesaan Asia mengalami transformasi ekonomi yang fundamental. Angka pertumbuhan GDP memperlihatkan peningkatan yang cukup tajam di Asia Timur dan Tenggara rata-rata 5-10% per tahun dan di Asia Selatan 3-5% per tahun. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi karena terjadinya industrialisasi di Asia menyebabkan banyak negara di Asia mengalami pergeseran dari sektor pertanian ke sektor nonpertanian. Kontribusi sektor pertanian pada GDP nasional menurun, diikuti turunnya persentase pekerja di sektor pertanian terhadap total angkatan kerja. Namun transformasi tersebut tidak membawa perubahan pada kondisi masyarakat pedesaan yang masih tetap miskin. Asia tetap menjadi salah satu wilayah miskin di dunia. Salah satu strategi yang digunakan masyarakat pedesaan untuk bertahan hidup adalah mengkombinasikan pendapatan dari sektor pertanian dan nonpertanian yang diciptakan di desa atau pergi bekerja di kota setelah panen selesai atau dengan
pinjaman berbunga tinggi dari moneylender yang banyak beroperasi di pedesaan. Kondisi inilah yang menjadi salah satu sebab timbulnya berbagai bentuk institusi finansial di pedesaan. Revolusi hijau, yang merupakan bagian dari proses modernisasi, ternyata mampu mengubah orientasi produksi petani dari subsisten menjadi komersialisasi pertanian. Dampak dari komersialisasi adalah timbulnya spesialisasi produksi di dalam satu sistem yang terintegrasi, serta peningkatan nilai guna uang sebagai alat tukar yang mendorong ekonomi pedesaan menjadi lebih terbuka dan terintegrasi dengan ekonomi perkotaan. Pada periode tersebut, banyak paket kredit bersubsidi yang diberikan pemerintah negara-negara Asia kepada petani yang mau mengadopsi teknologi intensifikasi pertanian, contohnya Program Bimas di Indonesia dan Masagana 99 di Filipina. Akan tetapi, kemudian terbukti hampir di semua negara Asia, pemberian kredit bersubsidi dianggap gagal karena rendahnya tingkat pengembalian. Kebijakan-kebijakan berikutnya kemudian diarahkan untuk mendorong masuknya lembaga perbankan ke pedesaan dengan membawa sejumlah besar dana kredit bersubsidi. Sama halnya dengan pendekatan sebelumnya, kredit tersebut ternyata banyak digunakan petani untuk keperluan konsumsi terutama pada saat gagal panen atau digunakan untuk membiayai kegiatan non pertanian. Sumber kegagalan diidentifikasi karena para pembuat kebijakan tidak sepenuhnya memahami konsep pasar finansial, mengabaikan kemampuan menabung masyarakat pedesaan, dan tidak tahu bagaimana pasar finansial berkontribusi pada pertumbuhan ekonomi. Sementara itu banyak pengalaman membuktikan bahwa NGO dapat mendobrak hambatan akses ke institusi finansial formal yang dihadapi kebanyakan masyarakat miskin melalu pendekatan market-oriented. Keberadaan institusi finansial di pedesaan ternyata berdampak terhadap strategi produksi dan kesejahteraan petani. Pertama, praktek-praktek kredit bersubsidi tidak membantu kaum miskin karena dimanfaatkan oleh golongan kaya yang mampu berkompetisi mendapatkan kredit. Akibatnya, kaum miskin hanya menikmati sebagian kecil keuntungan teknologi revolusi hijau. Kedua, petani kecil terbiasa menyimpan sebagian kecil produksinya sebagai cadangan pada waktu gagal panen. Namun, keberadaan institusi finansial menyebabkan petani-petani tersebut tidak lagi menggunakan strategi itu karena mengandalkan pinjaman dana untuk konsumsi rumah tangga di masa-masa paceklik. Ketiga, sistem keuangan pedesaan mampu meningkatkan kemampuan rumah tangga untuk menabung dan membangun aset-aset produktif. Keberadaan institusi finansial di pedesaan juga mendorong tumbuhnya sektor-sektor non pertanian. Transformasi ekonomi di pedesaan memberikan peluang investasi di sektor pertanian, tetapi tentunya penggunaan teknonologi yang meningkatkan produktivitas membutuhkan modal lebih besar. Kebutuhan modal tersebut dipenuhi oleh petani sendiri, sumber-sumber modal informal, dan pinjaman jangka panjang yang diberikan institusi keuangan formal. Institusi finansial merupakan bagian penting dari infrastruktur finansial yang perlu dibangun karena institusi tersebut menyediakan jasa pembayaran, memobilisasi tabungan dan mengalokasikan kredit, serta menilai, menanggung, dan mengalihkan risiko. Tanpa institusi finansial, ekonomi akan kembali ke sistem barter yang tidak efisien atau pengusaha terpaksa melakukan self-finance dan menyimpan kelebihan nilai produksinya dalam bentuk aset-aset tidak produktif. Untuk
alasan itulah selama 30 tahun terakhir lembaga-lembaga donor memberikan dana kepada negara berkembang (hal 22). Menurut World Bank (1989), tingkat pertumbuhan ekonomi negara-negara yang menetapkan tingkat bunga di bawah rata-rata bunga pasar lebih rendah dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi negara yang menetapkan suku bunga di atas rata-rata. Uraian perubahan paradigma dari pemberian kredit langsung yang bersubsidi ke arah pasar finansial dapat ditemui dalam bab III dan bagaimana perubahan tersebut terjadi di Asia dapat ditemui dalam bab IV. Buku ini tidak menyajikan temuan-temuan baru mengenai kegagalan paradigma lama yang berorientasi pada kredit langsung bersubsidi untuk mengatasi masalah ketidaksempurnaan pasar. Saat ini telah banyak negara berkembang menerapkan kebijakan finansial yang lebih bersifat market-oriented dan demand-leading. Pemberian kredit langsung bersubsidi tidak selamanya gagal, karena ternyata sistem itu berhasil dilakukan oleh negara-negara yang termasuk blok Asia Timur seperti Jepang, Republik Korea, Taiwan, dan Cina, serta Singapura di Asia Tenggara. Kunci keberhasilan adalah civil society dan institusi finansial yang mapan. Salah satu hal yang menarik adalah kredit lebih banyak diberikan kepada usaha swasta berorientasi ekspor dengan subsidi bervariasi. Walaupun begitu, masih ada satu pertanyaan yang belum dapat dijawab oleh studi, yaitu apakah sistem yang dijalankan di Asia Timur dapat direplikasi di negara lainnya? Negara-negara Asia Tenggara yang telah mengubah kebijakan dan institusinya ke arah pendekatan market-oriented hasilnya jelas lebih baik. Dalam buku ini dijelaskan sistem yang dijalankan oleh tiga institusi yang dianggap berhasil mengembangkan lembaga keuangan pedesaan, yaitu bank komersial milik pemerintah Thailand (BAAC), BRI-Unit Desa di Indonesia, dan Grameen Bank di Bangladesh dengan pendekatan kelompoknya. Di Thailand, bank komersial swasta mendapat kuota dalam memberikan kredit pertanian, karena sebagian besar petani dilayani oleh BAAC (80%). Walaupun kredit yang diberikan masih bersubsidi, tetapi tidak mempengaruhi keberlanjutan program. Sistem ini sepenuhnya self-financed dan tidak ditujukan secara khusus kepada petani miskin. Kegagalan Program Bimas di Indonesia yang melibatkan BRI sebagai penyalur dana, menyebabkan BRI mengubah sistem operasinya ke arah market-oriented sejak tahun 1983/1984. BRI memobilisasi dana tabungan dari pedesaan, tidak menentukan target bahwa peminjam harus berusaha di sektor pertanian sehingga membuka peluang peminjam dari wilayah perkotaan. Negara-negara Asia Selatan seperti India, Bangladesh, Pakistan dan Nepal, tidak sesukses negara-negara Asia Tenggara dalam mengembangkan sistem finansial pedesaan karena masih menggunakan paradigma lama. Program-program kredit masih didominasi pemerintah dengan sumber dana dari lembaga donor, bunga disubsidi, dan sistem keuangan top down. Di
India, perubahan kebijakan menuju pendekatan market-oriented tidak dapat cepat dilakukan karena pemberian kredit langsung bersubsidi sudah menjadi tradisi kuat. Perubahan paradigma tidak mudah dilakukan di negara-negara yang mengalami transisi ekonomi karena perubahan itu memerlukan institusi baru, mengadaptasikan institusi yang sudah ada, dan membuang institusi yang inefisien. RRC telah mengalami tiga tahap reformasi keuangan sejak 1979. Saat ini sektor pedesaan dilayani oleh bank pemerintah, policy bank, Rural Credit Cooperatives (RCCs), dan Rural Credit Foundations (RCFs). Namun, institusi menghadapi masalah loan recovery mengancam keberlanjutan institusi dan petani menghadapi masalah akses informasi. Masalah yang dihadapi Republik Kyrgyz adalah kondisi bank tidak stabil, tingkat bunga negatif, dan kredit bersubsidi diberikan melalui anggaran pemerintah lokal. Seluruhan sistem keuangan di negara tersebut sangat lemah dan institusinya tidak memilliki kapasitas yang cukup untuk melayani kredit. Perdebatan tentang peran pemerintah dalam mengatur pasar finansial masih berlangsung sampai sekarang, tetapi bukti-bukti empiris menunjukkan bahwa keuangan mikro yang bersifat market oriented lebih berhasil mengatasi persoalan keuangan usaha kecil di pedesaan. Satu hal yang perlu diingat adalah pengembangan lembaga keuangan mikro pedesaan tidak dimulai dari nol, karena pada kenyataannya sudah berkembang berbagai bentuk lembaga keuangan mikro di pedesaan. Oleh karena itu, intervensi pemerintah dalam bentuk apa pun harus memperhitungkan kondisi eksisting lembaga-lembaga finansial di pedesaan. Studi menyimpulkan bahwa masalah kegagalan pasar akibat intervensi pemerintah diidentifikasi sebagai berikut: (1) perhatian yang diberikan tidak cukup untuk menciptakan lingkungan kebijakan yang sehat bagi tumbuhnya pasar finansial pedesaan, (2) tidak adanya infrastruktur finansial yang sesuai untuk memproteksi sistem keuangan, (3) tidak ada perhatian dari pemerintah maupun donor untuk pengembangan kapasitas institusi (hal 97-98). Untuk itu, rekomendasi yang diusulkan adalah: (1) menciptakan lingkungan kebijakan yang kondusif bagi pedesaan karena selama ini kebijakan finansial cenderung bias perkotaan. Hal-hal yang bisa dilakukan antara lain perbaikan di bidang-bidang kebijakan makro ekonomi, ketidakpastian berusaha, distorsi kebijakan, dan kemampuan petani untuk mendapatkan profit. (2) Membangun infrastruktur finansial di pedesaan, dalam bentuk sistem informasi, hukum dan peraturan yang secara langsung berpengaruh terhadap transaksi finansial, maupun sistem komunikasi dan transportasi yang dapat menjangkau wilayah pedesaan. (3) pengembangan institutional bagi lembaga-lembaga keuangan pedesaan, perlunya pengaturan yang jelas atas peran dan kewenangan pemerintah, lembaga donor, bank sentral dan badan-badan lainnya, yang didukung sistem informasi manajemen yang baik (Yaron, Benjamin, dan Piprek, 1997). Secara keseluruhan buku ini menarik untuk dibaca karena memberi pandangan dan sejarah yang komprehensif mengenai perkembangan institusi finansial di pedesaan dari sisi teoritis dan praktis. Studi kasus yang diuraikan juga memilih
negara-negara dengan karakteristik ekonomi yang berbeda sehingga menggambarkan pemahaman cukup lengkap mulai dari negara dengan sistem perencanaan ekonomi terpusat, negara dalam sistem ekonomi transisi, sampai negara yang cenderung menerapkan ekonomi pasar. Dari ketiga karakteristik sistem ekonomi tersebut, ternyata ditemui masalah-masalah yang relatif sama dalam menerapkan pendekatan finansial, kecuali negara-negara maju di Asia Timur yang sudah lebih mapan sistem ekonomi dan institusi finansialnya. Melihat pendekatan dan rekomendasi yang diberikan, buku ini sesuai untuk dibaca kalangan peneliti usaha kecil, pemerintah, dan lembaga donor. Sayangnya rekomendasi yang ada tidak memberi ide-ide baru tetapi relatif mirip dengan rekomendasi dari studi-studi lain, walaupun di awal buku memang telah disebutkan bahwa studi kali ini lemah dalam penggalian data primer yang spesifik (hal 4). Studi kasus-studi kasus mengenai microfinance yang dimunculkan juga lebih banyak membahas institusi formal daripada institusi nonformal, padahal justru institusi nonformal yang lebih banyak diakses dan memenuhi kebutuhan usaha kecil. Sebagai perbandingan dan pelengkap, tim ILO juga melakukan studi serupa dengan pendekatan yang lebih mikro, berjudul Breaking Barriers to Formal Credit (ILO, 1995). Kedua buku itu saling melengkapi pengalaman masyarakat miskin di Malaysia, Thailand, dan Indonesia dalam mengatasi kendala permodalan, dari satu sisi secara formal dan sisi lain secara informal.
CATATAN EDITORIAL Sejak pertengahan tahun 2001, wacana tentang Lembaga Keuangan Mikro (LKM) berfokus pada rencana pemerintah mengeluarkan Rancangan Undang-Undang LKM. Keputusan pemerintah untuk mengeluarkan UU LKM menghentak banyak pihak, terutama pihak-pihak yang melakukan pendampingan dan proses pemberdayaan usaha kecil menengah (UKM) melalui penyediaan dana mikro. Mereka mempertanyakan mengapa harus ada UU yang mengatur LKM? Apa kepentingan pemerintah atas semua rencana tersebut? Ada dua kubu muncul sebagai reaksi atas rencana pemerintah ini. Kubu pertama adalah kelompok yang cenderung setuju. Kelompok ini berpandangan bahwa LKM perlu diatur, terutama LKM yang sudah berkembang menjadi besar dengan wilayah kerja yang luas. Pengaturan lebih sebagai jaminan bagi nasabahnya bahwa pemerintah turut menjamin keberadaan LKM tersebut. Kubu yang lain cenderung menolak pengaturan LKM. Kelompok ini memandang bahwa LKM harus dibiarkan berkembang secara alami mengikuti perkembangan kelompoknya. Pengaturan hanya akan membatasi gerak LKM yang pada akhirnya membatasi kemampuannya memberikan pelayanan kepada kelompok miskin. Kontroversi RUU LKM ini muncul karena realitas di lapangan selama ini membuktikan bahwa tanpa pengaturan pun LKM bisa berkembang pesat dan menjadi alternatif kelompok berpenghasilan rendah untuk memenuhi kebutuhan dana dalam jumlah kecil dan dalam waktu yang cepat. Pelayanan ini jelas tidak dapat dipenuhi oleh lembaga keuangan formal, misalnya perbankan. Dari sisi informasi, hukum, skala usaha, ekonomi, dan tradisi, bank tidak akan tertarik bahkan tidak akan mampu melayani kelompok berpenghasilan rendah. Kelompok ini, melakukan aktifitas ekonomi dalam skala kecil, biasanya tidak mempunyai lokasi usaha yang tetap, tidak berbadan hukum, tidak memiliki sistem administrasi dan pembukuan sehingga biaya untuk mencari informasi tentang kelayakan usaha menjadi sulit dan mahal. Selain itu, pengalaman selama krisis kiranya juga bisa menyadarkan berbagai pihak bahwa LKM mempunyai kekuatan untuk bertahan. Oleh karena itu, mengapa pemerintah hendak melakukan intervensi melalui pengaturan dan penataan LKM? Mengapa LKM harus diatur dan ditata ulang, bukankah tanpa pengaturan LKM dapat berkembang dengan baik? Kalau ini terjadi, apa dampaknya terhadap kelompok berpenghasilan rendah yang menjadi nasabah LKM? Apa dan bagaimana sesungguhnya LKM, bagaimana mereka mengembangkan strategi sehingga dapat bertahan di tengah krisis yang justru meruntuhkan lembaga keuangan lain yang melayani nasabah kelas kakap? Bagaimana performance LKM yang ada, apa potensi dan kendala yang mereka hadapi? Sebenarnya dukungan apa yang dibutuhkan LKM dari pemerintah? Apakah RUU LKM dapat menjawab kebutuhan tersebut? Itulah topik-topik yang akan didiskusikan dalam Jurnal Analisis Sosial kali ini. Diskusi ini dibangun dalam kerangka mencoba membangun wacana untuk memahami LKM, baik dari sisi konsep maupun dari sisi fakta di lapangan, mendorong diskusi lebih lanjut untuk mengkritisi peranan LKM dalam pengembangan usaha kecil, dan mengkritisi RUU LKM yang akan dikeluarkan pemerintah. Diskusi diawali dengan pembahasan mengenai konsep LKM dan hubungannya dengan kelompok rakyat miskin yang dituturkan Riza Primahendra dari Bina Swadaya. Menurut Riza, keuangan mikro (termasuk lembaganya) adalah sebuah
konsep yang berangkat dari pengalaman riil rakyat miskin dalam memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu, LKM mempunyai karakter khusus yang sesuai dengan konstituennya, seperti: 1) terdiri dari berbagai bentuk pelayanan keuangan, terutama simpanan dan pinjaman; 2) diarahkan untuk melayani masyarakat berpenghasilan rendah; dan 3) menggunakan sistem serta prosedur yang sederhana. Karakter ini tidak tidak dapat dipenuhi lembaga perbankan. Pemerintah pernah mencoba menyederhanakan keberagaman LKM melalui UU perbankan yang memaksa berbagai LKM menjadi BPR, ternyata gagal. Bila hal yang sama juga dilakukan dalam RUU LKM, hasilnya sudah bisa diperkirakan sejak awal. Dalam pandangan Riza, bila LKM tetap akan diatur maka kompleksitas permasalahan LKM harus dipahami secara tuntas dalam proses perumusan muatan dan eksistensi kerangka legal dan pengaturannya. Proses perumusannya juga harus dilakukan secara partisipatif bersama dengan parapihak yang berhubungan langsung di lapangan. Riza merekomendasikan beberapa gagasan untuk pengembangan LKM ke depan. Pertama, komersialisasi LKM. Gagasan ini muncul dari fakta bahwa permintaan terhadap LKM makin besar sementara LKM yang ada masih marjinal dan sporadis. Kedua, membangun hubungan antara LKM nonformal dan lembaga keuangan formal. Ketiga menjadikan LKM mandiri secara keuangan. Gagasan Riza tersebut dapat mendorong sidang pembaca untuk melanjutkan diskusi dalam format lain, terutama untuk mengeksplorasi gagasan tersebut lebih mendalam dan mempertimbangkan langkah konkrit di tataran pelaksanaan. Catatan sejarah LKM yang ditulis Erna Ermawati Chotim dan A. Diana Handayani, dari AKATIGA, menunjukkan bahwa LKM tumbuh jauh sebelum Republik ini berdiri. LKM, terutama yang informal, tumbuh mengakar bersama perkembangan masyarakatnya. Sejak zaman sebelum kemerdekaan, LKM menjadi alternatif bagi kelompok berpenghasilan rendah dalam memenuhi kebutuhan dana mereka. Pada saat itu, LKM tumbuh dan berkembang dalam berbagai variannya sesuai kebutuhan masyarakatnya, tanpa intervensi pemerintah. Upaya penyeragaman kerap menemukan kegagalan karena LKm memang tidak bisa diseragamkan. Pada perkembangan setelah zaman kemerdekaan, LKM tetap survive di tengah kondisi yang tidak kondusif karena kebijakan pembangunan lebih menyokong pertumbuhan ekonomi yang pro pengusaha besar. Fakta ini cukup untuk menggambarkan bahwa LKM tetap diperlukan dan memiliki daya lentur yang luar biasa mengikuti kebutuhan konstituennya. Ini adalah poin pembelajaran pertama. Poin pembelajaran kedua, dengan daya tahan yang luar biasa, LKM ternyata masih memposisikan diri sebagai bagian dari institusi keuangan formal. Hal ini mengharuskan LKM bertidak sebagai lembaga keuangan formal yang mensyaratkan prosedur dan mekanisme formal baku yang standar. Keharusan ini berimplikasi pada pemisahan antara kebutuhan produktif dan konsumtif. Hal ini tidak sesuai dengan kebuthan target grupnya yang tidak memisahkan kedua hal tersebut dalam siklus kehidupannya. Ketiga, hingga tahun 2000 setidaknya tercatat ada 56.644 unit LKM nonbank dengan berbagai variannya dan ada 42. 186 unit LKM informal. Namun, jumlah yang banyak itu belum mampu menjadi sebuah kekuatan penekan untuk menciptakan
iklim yang kondusif bagi pertumbuhannya. Ada kecenderungan masing-masing LKM berjalan sendiri-sendiri. Adakah ini berkaitan dnegan posisi subordinasi dengan institusi formal atau berkaitan dengan hal lain? Keempat, LKM jelas butuh dukungan pemerintah dari sisi kebijakan yang dapat menorong lebih katif pengembangan LKM, WHUXWDPD \DQJ LQIRUPDO /.0 PHPHUOXNDQ ³UXDQJ´ DJDU ELVD EHUJHrak leluasa. Dalam konteks ini, pemerintah yang ideal adalah menjadi fasilitator dan promotor keuangan mikro dan menjadi pihak yang mampu menghentikan capital flow dari desa. Catatan reflektif Andriani S.S dari LIMPAD, tampaknya bisa menjadi pengantar untuk diskusi ke topik selanjutnya, bagaimana kondisi LKM di lapangan, apa tanggapan nasabahnya, dan bagaimana prospek ke depannya? Ani, demikian sapaan akrab Andriani, memberikan ilustrasi cara kelompok miskin memenuhi kebutuhannya akan dana. Di lapangan, pegadaian, koperasi, bahkan rentenir menjadi bagian dari aktifitas ekonomi kelompok miskin. Dari bentuk LKM yang ada, ternyata bank pelecit (nama lain rentenir) lebih akrab dan lebih mudah diakses kelompok miskin karena dapat melayani kebutuhan mereka dengan segera. Ada tiga hal kritis yang diajukan Ani berkaitan dengan rencana pemerintah mengeluarkan UU LKM. Pertama, RUU LKM tidak menjawab dengan jelas siapa pihak yang akan dilindungi. Kedua, posisi LKM juga tidak jelas. Apakah berada di bawah dan tunduk kepada BI yang menjadi fasilitator, kepada Departemen Dalam Negeri yang memberikan prizinan, atau tengah menjadi rebutan instansi lain? Pada bagian tertentu RUU LKM, pemerintah menyebut dirinya sebagai fasilitator, regulator, dan pengawas namun pada sisi lain menyebut dirinya sebagai pemilik. Sikap ini berpontensi memunculkan konflik kepentingan. Kalau sampai terjadi, bagaimana sebenarnya posisi LKM? Lebih jauh lagi, bagaimana dengan nasabahnya? Ketiga, Siapa yang paling diuntungkan bila LKM diformalkan, apakah masih bisa seirama dengan budaya masyarakat berpenghasilan rendah? Agaknya, diskusi bisa lebih menarik bila Ani juga mencoba mengeksplorasi kemungkinan jawaban atas pertanyaannya. Terlepas dari catatan Ani yang terkesan pesimis, fakta di lapangan mencatat berbagai temuan menarik mengenai LKM. Pada bahasan berikut akan dipaparkan pengalaman parapihak yang melakukan kegiatan pendampingan dan penelitian mengenai LKM. Ada LKM yang berbasis pada pemberdayaan perempuan, LKM berbasis pola hubungan bank dan KSM/LSM, LKM berbasis syariah (BMT), dan LKM berbasis komunitas lokal. Pengalaman LKM berbasis pemberdayaan perempuan diwakili Asosiasi Pendamping Perempuan Usaha Kecil (ASPPUK). M. Firdus dan Titk Hartini yang mewakili ASPPUK mencatat beberapa temuan penting dalam proses pendampingan. Pertama, bagi ASPPUK, kredit mikro menjadi pintu bagi upaya pemberdayaan perempuan yang menjadi anggotanya. ASPPUK memberikan kredit berbunga rendah untuk keperluan usaha dan kredit tanpa bunga untuk keperluan sehari-hari. Selain membantu perempuan dari sisi pendanaan, program kredit mikro ASPPUK memberikan berbagai pelatihan untuk meningkatkan kapasitas perempuan.
Kedua, program kredit mikro diselenggarakan dengan mekanisme yang sederhana dan proses pendampingan yang cukup intensif sehingga nasabah dapat mengelola pinjamannya secara efektif. Hal ini terbukti dengan tingkat pengembalian pinjaman yang mencapai 90%-95% dari total pinjaman. Ketiga, otokritik untuk ASPPUK sendiri adalah sampai saat ini ASPPUK belum dapat membuat indikator untuk mengukur dampak LKM kredit bagi anggotanya. Apakah program LKM dari ASPPUK mempunyai pengaruh signifikan bagi anggotanya atau justru sebaliknya? Hal ini penting bagi ASPPUK untuk melihat sejauhmana program dapat memberdayakan perempuan. Program kredit yang diselenggarakan ASPPUK bergulir tanpa campur tangan pemerintah. Oleh karena itu, ASPPUK menilai pemerintah tidak perlu melakukan campur tangan melalui UU LKM. Dalam pandangan ASPPUK, argumentasi-argumentasi yang menjadi landasan pembentukan UU LKM mencerminkan ketidakpahaman perancang terhadap masalah dan dinamika LKM. ASPPUK hanya berharap pemerintah menjadi public service, jangan melakukan intervensi terhadap sesuatu yang sudah berkembang baik di masyarakat. Budi Baik Siregar, peneliti P3R-YAE Bogor, memandang keuangan mikro tidak hanya memerlukan penataan sistem (regulasi dan penegakannya) yang memberikan jaminan dan kemudahan bagi para pelakunya tetapi memerlukan investasi sosial (cost of development) untuk penyediaan pelayanan dan penyelenggaraan program-programnya. Pada penelitiannya mengenai LKM-Hubungan Bank KSM (HBK), Budi melihat LKM-HBK pada tataran konseptual ada di tengah kerumitan yang bersumber dari dua perspektif. Pertama, HBK yang dibentuk atas dasar azas pasar yang menempatkan LPSM dan KSM sebagai bagian dari sistem pasar. Kedua, HBK menjadi alat pengembangan masyarakat dengan kemajemukan tujuan masing-masing pihak yang terlibat di dalamnya. Sistem ini dianggap dapat bekerja bila seluruh komponen berfungsi secara proporsional. Pengalamannya di lapangan membuktikan hal tersebut. Dari seluruh LKM yang diamati, ternyata belum ada satu kasuspun yang berhasil mempertahankan sistem HBK secara berkelanjutan. Fungsi parapihak yang terlibat di dalamnya tidak berkerja secara proporsional. Bank pelaksana menarik diri sebagai penyedia modal, LSM kehabisan tenaga dan dana ketika menjalankan tugas pendampingan, serta KSM tidak berkembang optimal dengan berbagai kemungkinan penyebabnya. Hal ini merupakan gejala sosial yang tidak sehat. Budi menyebut kondisi ini sebagai instrumentalisme dan kreditisme. Instrumentalisme KSM adalah pergeseran fungsi KSM dari lembaga sosial ekonomi menjadi alat untuk memperoleh dana dan kredit murah. Kreditisme adalah semacam budaya latah atau fanatik untuk memperoleh kredit. Fungsi kredit jadi bergeser dari alat produksi menjadi status sosial. Situasi seperti ini tentu saja tidak menguntungkan kelompok miskin dan marjinal. Tanpa menafikkan keberhasilan banyak LKM lainnya, Budi mencoba mengajak kita untuk lebih kritis memaknai realitas LKM-HBK agar bisa menggagas perubahan yang lebih baik.
Ke depan Budi menawarkan satu kerangka konseptual LKM-HBK agar bisa mempertahankan sistem tersebut secara berkesinambungan. Ke depan, pendekatan yang diperlukan untuk membangun kerangka kerja LKM-HBK adalah pendekatan kontekstual yang merujuk keberagaman tipe komunitas. Kerangka kontekstual berdasarkan pada perbedaan dan interaksi ranah kelembagaan, yaitu dunia usaha yang berpijak pada ranah pasar, pemerintah yang berpijak pada ranah politik, dan masyarakat yang berpijk pada ranah budaya. Ranah politik dan masysrakat dihubungkan oleh tujuan keadilan dan pemerataan yang terwujud dalam penyediaan pelayanan dan program. Ranah pasar dan masyarakat terhubungkan oleh tujuan efisiensi produksi dan harga yang terwujud dalam bentuk share biaya produksi modal antara LKM dan KSM. Ranah politik dan ranah pasar dihubungkan oleh kesamaan kepentingan atas pertumbuhan dan stabilitas ekonomi yang terwujud dalam kebijakan ekonomi yang memberikan kepastian berusaha. Dalam kerangka kerja ini, para pelaku harus EHNHUMDGHQJDQWDDWD]DV.HUDQJNDNHUMDLQLELVDPHQMDGL³DPXQLVL´EDUXEDJLSDUDSHPHUKDWL/.0 Dengan perspektif lain, AKATIGA melakukan penelitian terhadap LKM berbasis syariah islam dalam berbentuk Baitul Maal Tanwil (BMT). Penelitian ini dilakukan untuk melihat persepsi nasabah BMT serta mengeksplorasi perubahan yang terjadi pada nasabah BMT. Temuan lapangan menunjukkan bahwa responden nasabah BMT, memilih BMT sebagai sumber pendanaan bukan karena alasan syariah (agama) melainkan karena prosesnya mudah, tidak berbelit, dan relatif cepat. Hanya 10,7% dari total responden yang memilih BMT karena alasan agama. Agaknya fenomena ini menjelaskan teori bahwa bagi masyarakat berpenghasilan rendah, bentuk LKM tidak menjadi perhatian. Fokus perhatian mereka ketika mengakses dana dari LKM lebih pada prosedur, proses, dan jumlah yang sesuai dengan kebutuhannya. Namun demikian, pada beberapa kasus terjadi juga kredit yang diberikan tidak sesuai dengan yang diajukan. Sementara dampak BMT lebih terasa di level rumah tangga. Pada level ini BMT berfungsi sebagai pembuka akses ke sumber modal, menjaga kesinambungan pasokan dana, dan membantu mitra berinvestasi. Rekomendasi yang muncul dari penelitian AKATIGA adalah 1) perlu ada upaya untuk meningkatkan pemahaman mitra terhadap esensi sistem BMT agar keluhan tentang rasio bagi hasil bisa dikurangi; 2) skim pembiayaan BMT bisa bergeser ke skim-skim kerja sama bagi hasil bagi mitra yang memiliki catatan baik; 3) peran BMT lebih difokuskan pada aspek pembiayaan finansial usaha kecil. Kalaupun ada upaya pemberdayaan harus dilakukan bersama lembaga pendamping. Diskusi LKM ditutup dengan paparan Zukri Saad St. Majo Basa, mengenai revitalisasi Lumbung Pitih Nagari (LPN) sebagai salah satu bentuk LKM berbasis komunitas lokal di Sumatera Barat. Pada masanya, LPN pernah menjadi tulang punggung perekonomian masyarakat di Sumatera Barat. LPN tumbuh dari budaya gotong royong masyarakat. Namun pada masa Orba, terjadi proses pemasungan perkembangan LPN melalui ketentuan penyeragaman LKM dalam bentuk BPR. Pada masa ini perkembangan LKM turun drastis. Dalam pandangan Zukri, era reformasi dan otonomi daerah menjadi momentum penting untuk mengembalikan LPN ke bentuk yang dikehendaki masyarakatnya. Partisipasi menjadi kunci revitalisasi LPN. Tampaknya, Zukri mencoba menawarkan suatu konsep pemberdayaan ekonomi berbasis partisipasi. Tingkat partisipasi yang diharapkan terjadi tidak hanya sebatas partisipasi masyarakat lokal tetapi juga partisipasi perantau untuk membangun kampung halamannya. Ke depan LPN tidak hanya berfokus pada kredit tetapi lebih jauh dari itu, membangun link dengan
dunia internasional. LPN harus menjadi basis informasi potensi nagari yang terhubungkan dengan informasi lainnya dari berbagai penjuru dunia sehingga bisa menjadi basis transaksi bisnis anak nagari dengan bisnis dunia. Sungguh sebuah harapan yang ideal. Namun, kita harus realistis dengan kenayataan bahwa LKM memiliki beban berat dengan dirinya sendiri maupun ketika berhadapan dengan lingkungan eksternal. Secara internal, LKM masih berkutat juga dengan masalah manajemen, pengembalian kredit, dan lain-lain. Secara eksternal, harus berhadapan dengan berbagai kekuatan dan kepentingan agar dapat tetap survive di tengah situasi yang masih abu-abu ini. Pertanyaannya adalah apakah kita memang tidak memiliki peluang untuk melakukan sesuatu agar LKM dapat berkembang dengan leluasa dan senantiasa mencari bentuknya yang sesuai dengan konstituennya? (diana)