Aspek Hukum Asuransi Di Indonesia oleh Abdul Mubarok, S.H., M.H., MARS.
Hukum asuransi di Indonesia dibawa oleh Pemerintah Kolonial Belanda yang tertuang dalam kodifikasi Wetboek Van Koophandel (Kitab Undang Undang Hukum Dagang). Dalam WvK/KUHD diatur tentang Asuransi Komersial. Lebih lanjut tentang Usaha Perasuransian diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 13. Kini, seiring dengan perkembangan zaman, yaitu : 1)
Penjelasan Pasal 3 UU Nomor 2 Tahun 1992 menyatakan :
“...selain pengelompokan jenis usaha, usaha asuransi dapat pula dibagi berdasarkan sifat dari penyelenggaraan usahanya dibagi menjadi dua kelompok, yaitu yang bersifat sosial dan yang bersifat komersial...”
2)
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia dalam TAP Nomor X/MPR/2001 menugaskan Presiden untuk membentuk Sistem Jaminan Sosial Nasional dalam rangka memberikan perlindungan sosial yang menyeluruh dan terpadu.
3)
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 28H ayat (3), hasil amandemen kedua 18 Agustus 2000, yang menyatakan : “Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat”; dan
4)
Pasal 34 ayat (2), hasil amandemen keempat 11 Agustus 2002, yang menyatakan :
“Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”;
maka dI Indonesia selain Asuransi Komersial, dikenal juga dengan Asuransi Sosial/Jaminan Sosial. Dengan demikian prinsip-prinsip hukum asuransi komersial (Lex generalis) juga berlaku bagi asuransi sosial (lex specialis), sepanjang tidak diatur lain oleh peraturan di lingkungan asuransi sosial/jaminan sosial. 1.
ASPEK HUKUM ASURANSI KOMERSIAL 1) Asuransi komersial diatur dalam :
(1) Burgerlijk Wetboek/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23); (2) Wetboek Van Koophandel/Kitab Undang-Undang Hukum Dagang Staatsblad Tahun 1847 Nomor 23, sebagaimana telah beberapa kali dirubah, terakhir dengan UU Nomor 4 Tahun 1971 Tentang Perubahan Dan Penambahan Atas Ketentuan Pasal 54 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (Lembaran Negara Tahun 1971 Nomor 20, Tambahan Lembaran Negara 2959); (3) Undang Undang No. 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuransian; Halaman 1
(4) Penyelenggaraan Usaha Perasuransian yang terdapat di Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992; (5) Peraturan Pemerintah No. 63 Tahun 1999 yang berisikan tentang perubahan Peraturan Pemerintah No. 73 Tahun 1992; (6) KMK No. 426/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan Usaha dan Kelembagaan Perusahaan Asuransi dan Perusahaan Reasuransi; (7) KMK No. 425/KMK/2003 yang berisi tentang Perizinan dan Penyelenggaraan Usaha Perusahaan Penunjang Usaha Asuransi; (8) KMK No. 423/KMK/2003 yang berisi tentang Pemeriksaan Perusahaan Perasuransian;
2) Pengertian Asuransi Pasal 246 KUHD/WvK, Asuransi adalah Perjanjian dengan mana penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi untuk memberikan penggantian kepadanya karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan yang mungkin dideritanya akibat dari suatu evenement (peristiwa tidak pasti). UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi), 11 Pebruari 1992, Asuransi adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Berdasarkan definisi tersebut di atas, maka asuransi merupakan suatu bentuk perjanjian dimana harus dipenuhi syarat sebagaimana dalam Pasal 1320 KUH Perdata, namun dengan karakteristik bahwa asuransi adalah persetujuan yang bersifat untung-untungan sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1774 KUH Perdata.
Pasal 1774 KUH Perdata
Suatu persetujuan untung–untungan (kansovereenkomst) adalah suatu perbuatan yang hasilnya, mengenai untung ruginya, baik bagi semua pihak maupun bagi sementara pihak, bergantung kepada suatu kejadian yang belum tentu.
Jadi asuransi adalah sebuah perjanjian yang bersifat untung-untungan. 3) Unsur Asuransi Asuransi harus mencakup unsur-unsur berikut ini: 1. Penanggung dan tertanggung, atau disebut juga sebagai Subjek Hukum. 2. Persetujuan antara si penanggung dan tertanggung, 3. Benda asuransi dan kepentingan si tertanggung, 4. Tujuan, 5. Premi dan risiko, 6. Peristiwa yang tidak pasti dan ganti rugi, 7. Syarat-syarat, 8. Polis asuransi.
Halaman 2
4) Tujuan Asuransi a. Pengalihan Risiko
Tertanggung mengadakan asuransi dengan tujuan mengalihkan risiko yang mengancam harta kekayaan atau jiwanya. Dengan membayar sejumlah premi kepada perusahaan asuransi (penanggung), sejak itu pula risiko beralih kepada penanggung.
b. Pembayaran Ganti Kerugian
Jika suatu ketika sungguh–sungguh terjadi peristiwa yang menimbulkan kerugian (risiko berubah menjadi kerugian), maka kepada tertanggung akan dibayarkan ganti kerugian yang besarnya seimbang dengan jumlah asuransinya. Dalam prakteknya kerugian yang timbul itu dapat bersifat sebagian (partial loss), tidak semuanya berupa kerugian total (total loss). Dengan demikian, tertanggung mengadakan asuransi bertujuan untuk memperoleh pembayaran ganti kerugian yang sungguh-sungguh diderita.
5) Berlakunya Asuransi Hak dan kewajiban penanggung dan tertanggung timbul pada saat ditutupnya asuransi walaupun polis belum diterbitkan. Penutupan asuransi dalam prakteknya dibuktikan dengan disetujuinya aplikasi atau ditandatanganinya kontrak sementara (cover note) dan dibayarnya premi. Selanjutnya sesuai ketentuan perundangan-undangan yang berlaku, penanggung atau perusahaan asuransi wajib menerbitkan polis asuransi (Pasal 255 KUHD/WvK).
6) Prinsip Dasar Asuransi Ada 6 prinsip dasar asuransi yang melandasi hukum Asuransi yang perlu diketahui oleh para pengguna asuransi ataupun perusahaan penyedia asuransi: 1. Insurable Interest adalah hak pertanggungan yang muncul dari hubungan keuangan dan diakui oleh hukum. 2. Utmost good faith memaksudkan segala sesuatu yang dipertanggungkan yang harus diungkapkan secara detil dan lengkap. Oleh karena itu, kedua belah pihak harus jujur mengenai objek yang dipertanggungkan. 3. Proximate cause adalah kejadian yang tidak terduga yang menyebabkan kerugian, tentu tanpa adanya intervensi yang menyebabkan kerugian tersebut. 4. Indemnity adalah tanggung jawab penanggung untuk mengembalikan posisi finansial si tertanggung ke posisi semula sebelum terjadi kerugian. 5. Subrogation adalah hak tuntut yang dimiliki oleh tertanggung kepada si penanggung, atau sering disebut sebagai 'klaim'. 6. Contribution adalah hak penanggung untuk mengajak penanggung lainnya untuk kerja sama.
7) Hukum Asuransi tentang Premi dan Polis Dalam Hukum Asuransi dikenal kata premi dan polis, yakni dimana premi adalah kewajiban yang harus dipenuhi oleh si tertanggung sebagai imbalan jasa si penanggung. Sementara, polis adalah akta atau perjanjian antara si penanggung dan tertanggung.
Halaman 3
8) Hukum Asuransi tentang Resiko dan Evenement Dalam hukum Asuransi dikenal istilah risiko dan evenement yang adalah peristiwa yang terjadi di luar kekuasaan manusia yang bisa terjadi secara tidak terduga dan hasilnya kerugian. Oleh karena itu, perusahaan Asuransi menggunakan ilmu aktuaria yang berdasarkan pada statistik dan probabilitas, namun harus berlandaskan pada Hukum Asuransi.
2.
ASPEK HUKUM ASURANSI SOSIAL 1) Asuransi Sosial diatur dalam : (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 150, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4456); (2) UU RI Nomor 24 Tahun 2011 Tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5256); (3) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan; (4) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 111 Tahun 2013 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2013 Tentang Jaminan Kesehatan; (5) Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 107 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Tertentu; (6) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 69 Tahun 2013 Tentang Standar Tarif Pelayanan Kesehatan Pada Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama Dan Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjutan Dalam Penyelenggaraan Program Jaminan Kesehatan; (7) Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2013 Tentang Pelayanan Kesehatan Pada Jaminan Kesehatan Nasional;
2) Apakah kepesertaan dalam Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dise- lenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah kontrak ?
Pasal 246 KUHD/WvK dan Pasal 1 angka 1 UU Nomor 2 Tahun 1992 Tentang Usaha Perasuaransian (UU Asuransi) Asuransi adalah perjanjian, sedangkan berdasarkan UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional Pasal 19 ayat (1) yang menyatakan : “Jaminan kesehatan diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan prinsip ekuitas”; Sedangkan Penjelasannya menyatakan : “Prinsip asuransi sosial meliputi: 1. kegotongroyongan antara yang kaya dan miskin, yang sehat dan sakit, yang tua dan muda, dan yang berisiko tinggi dan rendah; 2. kepesertaan yang bersifat wajib dan tidak selektif; 3. iuran berdasarkan persentase upah/penghasilan; 4. bersifat nirlaba. Prinsip ekuitas yaitu kesamaan dalam memperoleh pelayanan sesuai dengan kebutuhan medisnya yang tidak terikat dengan besaran iuran yang telah dibayarkannya”, Maka kepesertaan Sistem Jaminan Sosial Nasional yang dilaksanakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial adalah perjanjian pula. Oleh karena itu, ketentuan dalam buku III BW/Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berlaku bagi BPJS.
Halaman 4
Untuk memahami secara konprehensif tentang hubungan Peserta BPJS/SJSN dengan BPJS dan hubungan BPJS dengan Rumah Sakit selaku provider kesehatan, kita perlu mengetahui tentang asas asas perjanjian.
3) Asas-asas Perjanjian/Kontrak Berdasarkan teori, di dalam suatu hukum kontrak terdapat 5 (lima) asas yang dikenal menurut ilmu hukum perdata. Kelima asas itu antara lain adalah: asas kebebasan berkontrak (freedom of contract), asas konsensualisme (concsensualism), asas kepastian hukum (pacta sunt servanda), asas itikad baik (good faith) dan asas kepribadian (personality).
(1) Asas Kebebasan Berkontrak (freedom of contract) Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) BW, yang berbunyi: “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.” Asas ini merupakan suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk: a. membuat atau tidak membuat perjanjian; b. mengadakan perjanjian dengan siapa pun; c. menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya, serta d. menentukan bentuk perjanjiannya apakah tertulis atau lisan. Berdasarkan asas ini, setiap orang yang telah dewasa (umur 21 tahun atau telah kawin) dan mempunyai kecakapan hukum dapat melakukan perjanjian apapun sepanjang tidak dilarang (baca : tidak bertentangan dengan hukum dan kesusilaan/ketertiban umum) (periksa pasal 1337 BW). Pasal 1337 Suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum.
(2) Asas Konsensualisme (concensualism) Asas konsensualisme disimpulkan dari Pasal 1320 ayat (1) BW. Dalam Pasal tersebut ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata kesepakatan antara kedua belah pihak. Asas ini merupakan asas yang menyatakan bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, melainkan cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan adalah persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak. Pasal 1320 BW/KUHPerdata : Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat: 1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. suatu pokok persoalan tertentu; 4. suatu sebab yang tidak terlarang.
Halaman 5
(3) Asas Kepastian Hukum (pacta sunt servanda) Asas ini disebut juga dengan asas pacta sunt servanda merupakan asas yang berhubungan dengan akibat perjanjian. Asas pacta sunt servanda merupakan asas bahwa pihak ketiga harus menghormati substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak, sebagai layaknya undang-undang. Selain para pihak tidak boleh melakukan intervensi terhadap substansi kontrak yang dibuat oleh para pihak. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) BW. Pasal 1338 BW : Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang. Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.
(4) Asas Itikad Baik (good faith) Asas ini tercantum pada Pasal 1338 ayat (3) BW: “Perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.” Asas ini merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh maupun kemauan baik dari para pihak.
(5) Asas Kepribadian (personality) Asas ini menentukan bahwa seseorang yang akan melakukan dan/atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan perseorangan saja. Hal ini dapat dilihat pada Pasal 1315 dan 1340 BW. Pasal 1315 BW: “Pada umumnya seseorang tidak dapat mengadakan perikatan atau perjanjian selain untuk dirinya sendiri.” Pasal 1340 BW: “Perjanjian hanya berlaku antara pihak yang membuatnya.” Namun demikian, ketentuan itu terdapat pengecualiannya sebagaimana diintridusir dalam Pasal 1317 BW yang menyatakan: “Dapat pula perjanjian diadakan untuk kepentingan pihak ketiga, bila suatu perjanjian yang dibuat untuk diri sendiri, atau suatu pemberian kepada orang lain, mengandung suatu syarat semacam itu.”
Syarat sahnya perjanjian
Sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam 1320, sedangkan perjanjian itu tidak mempuinyai kekuatan mengikat manakala dalam prosesnya terdapat kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan sebagaimana diatur dalam pasal 1321. Pasal 1321 Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan (dwaling) atau diperoleh dengan paksaan (dwang) atau penipuan (bedrog).
Halaman 6
Pengertian kekhilafan, paksaan atau penipuan adalah sbb : Pasal 1322 Kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu persetujuan, kecuali jika kekhilafan itu terjadi mengenai hakikat barang yang menjadi pokok persetujuan. Kekhilafan tidak mengakibatkan kebatalan, jika kekhilafan itu hanya terjadi mengenai diri orang yang dengannya seseorang bermaksud untuk mengadakan persetujuan, kecuali jika persetujuan itu diberikan terutama karena diri orang yang bersangkutan. Pasal 1323 Paksaan yang diakukan terhadap orang yang mengadakan suatu persetujuan mengakibatkan batalnya persetujuan yang bersangkutan, juga bila paksaan itu dilakukan oleh pihak ketiga yang tidak berkepentingan dalam persetujuan yang dibuat itu. Pasal 1324 Paksaan terjadi, bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga memberi kesan dan dapat menimbulkan ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau kekayaannya, terancam rugi besar dalam waktu dekat. Dalam pertimbangan hal tersebut, harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang bersangkutan. Pasal 1325 Paksaan menjadikan suatu persetujuan batal, bukan hanya bila dilakukan terhadap salah satu pihak yang membuat persetujuan, melainkan juga bila dilakukan terhadap suami atau istri atau keluarganya dalam garis ke atas maupun ke bawah. Pasal 1326 Rasa takut karena hormat kepada bapak, ibu atau keluarga lain dalam garis ke atas, tanpa disertai kekerasan, tidak cukup untuk membatalkan persetujuan. Pasal 1327 Pembatalan suatu persetujuan berdasarkan paksaan tidak dapat dituntut lagi, bila setelah paksaan berhenti persetujuan itu dibenarkan, baik secara tegas maupun secara diam-diam, atau jika telah dibiarkan lewat waktu yang ditetapkan oleh undang-undang untuk dapat dipulihkan seluruhnya ke keadaan sebelumnya. Pasal 1328 Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.
Dari pasal di atas dapat ditarik KESIMPULAN TEGAS bahwa perjanjian itu dapat mengikat atau batal. Mengikat jika sesuai pasal 1320 BW dan dapat dibatalkan karena pasal 1321 BW. Tidak ada perjanjian yang kemudian dapat masuk ke dalam ranah pidana. Sementara itu, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (Wetboek Van Stafrecht voor Indonesie) mengatur : PENIPUAN, Pasal 378 : Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang Halaman 7
sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang diancam karena PENIPUAN dengan pidana penjara paling lama empat tahun. PENGGELAPAN, Pasal 372 : Barang siapa dengan sengaja dan melawan hukum memiliki barang sesuatu yang seluruhnya atau sebagian adalah kepunyaan orang lain, tetapi yang ada dalam kekuasaannya bukan karena kejahatan diancam karena PENGGELAPAN, dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah. Pasal 374 Penggelapan yang dilakukan oleh orang yang penguasaannya terhadap barang disebabkan karena ada hubungan kerja atau karena pencaharian atau karena mendapat upah untuk itu, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun.
4) Asas Hukum Perjanjian Menurut BPHN Di samping kelima asas di atas, di dalam lokakarya Hukum perikatan yang diselenggarakan oleh Badan Pembina Hukum Nasional, Departemen Kehakiman (17 s/d 19 Desember 1985) asas dalam hukum perjanjian terbagi atas; asas kepercayaan, asas persamaan hukum, asas keseimbangan, asas kepastian hukum, asas moral, asas kepatutan, asas kebiasaan, dan asas perlindungan. (1) Asas Kepercayaan Asas kepercayaan mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan diantara mereka dibelakang hari. (2) Asas Persamaan Hukum Asas persamaan hukum mengandung maksud bahwa subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama dalam hukum. Mereka tidak boleh dibeda-bedakan antara satu sama lainnya, walaupun subjek hukum itu berbeda warna kulit, agama, dan ras. (3) Asas Kesimbangan Asas keseimbangan adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut prestasi dan jika diperlukan dapat menuntut pelunasan prestasi melalui kekayaan debitur, namun debitur memikul pula kewajiban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. (4) Asas Kepastian Hukum Perjanjian sebagai figur hukum mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya. Halaman 8
(5) Asas Moralitas Asas moral ini terikat dalam perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur. Hal ini terlihat dalam zaakwarneming, yaitu seseorang melakukan perbuatan dengan sukarela (moral). Yang bersangkutan mempunyai kewajiban hukum untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Salah satu faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum itu adalah didasarkan pada kesusilaan (moral) sebagai panggilan hati nuraninya. (6) Asas Kepatutan Asas kepatutan tertuang dalam Pasal 1339 KUHPer. Asas ini berkaitan dengan ketentuan mengenai isi perjanjian yang diharuskan oleh kepatutan berdasarkan sifat perjanjiannya. Pasal 1339 Persetujuan tidak hanya mengikat apa yang dengan tegas ditentukan di dalamnya, melainkan juga segala sesuatu yang menurut sifatnya persetujuan dituntut berdasarkan keadilan, kebiasaan, atau undang-undang.
(7) Asas Kebiasaan Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti. (8) Asas Perlindungan Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur karena pihak ini berada pada posisi yang lemah. Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat suatu kontrak/perjanjian dalam kegiatan hukum sehari-hari. Dengan demikian dapat dipahami bahwa keseluruhan asas diatas merupakan hal penting dan mutlak harus diperhatikan bagi pembuat kontrak/perjanjian sehingga tujuan akhir dari suatu kesepakatan dapat tercapai dan terlaksana sebagaimana diinginkan oleh para pihak. 3.
ASPEK PIDANA ASURANSI Dalam sistem hukum pidana di Indonesia dikenal asas legalitas yang tercantum pada Pasal 1 KUHP, yaitu : “Suatu perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada lebih dahulu” (Nullum Delictum Nulla Poena Sine Praevia Lege) Halaman 9
Maka ada tidaknya aspek pidana di dalam perasuransian harus dikembalikan kepada UU yang mengaturnya, yaitu : 1) UU Nomor 2 Tahun 1992 (Usaha Asuransi) Pasal 21 : (1) Barang siapa menjalankan atau menyuruh menjalankan kegiatan usaha perasuransian tanpa izin usaha sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah). (2) Barang siapa menggelapkan premi asuransi diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000 (dua milyar lima ratus juta rupiah). (3) Barang siapa menggelapkan dengan cara mengalihkan, menjaminkan, dan atau mengagunkan tanpa hak, kekayaan Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling banyak Rp 2.500.000.000,- (dua milyar lima ratus juta rupiah). (4) Barang siapa menerima, menadah, membeli, atau mengagunkan, atau menjual kembali kekayaan perusahaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) yang diketahuinya atau patut diketahuinya bahwa barang- barang tersebut adalah kekayaan Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah). (5) Barang siapa secara sendiri-sendiri atau bersama-sama melakukan pemalsuan atas dokumen Perusahaan Asuransi Kerugian atau Perusahaan Asuransi Jiwa atau Perusahaan Reasuransi, diancam dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp 250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah). Pasal 22 Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21, terhadap perusahaan perasuransian yang tidak memenuhi ketentuan Undangundang ini dan peraturan pelaksanaannya dapat dikenakan sanksi administratip, ganti rugi, atau denda, yang ketentuannya lebih lanjut akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Pasal 23 Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 adalah kejahatan. Pasal 24 Dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 dilakukan oleh atau atas nama suatu badan hukum atau badan usaha yang bukan merupakan badan hukum, maka tuntutan pidana dilakukan terhadap badan tersebut atau terhadap mereka yang memberikan perintah untuk melakukan tindak pidana itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam melakukan tindak pidana itu maupun terhadap kedua-duanya.
2) Bagaimana dengan SJSN-BPJS ? a.
Dalam UU Nomor 40 Tahun 2004 Tentang SJSN ternyata tidak diketemukan tentang KETENTUAN PIDANA. Halaman 10
b.
Dalam UU Nomor 24 Tahun 2011 Tentang BPJS diketemukan tentang KETENTUAN PIDANA, yaitu : (1) Pasal 54 Anggota Dewan Pengawas atau anggota Direksi yang melanggar larangan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun dan pidana denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 52 huruf g, huruf h, huruf i, huruf j, huruf k, huruf l, atau huruf m adalah larangan : g. menghilangkan atau tidak memasukkan atau menyebabkan dihapuskannya suatu laporan dalam buku catatan atau dalam laporan, dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; h. menyalahgunakan dan/atau menggelapkan aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; i. melakukan subsidi silang antar program; j. menempatkan investasi aset BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial pada jenis investasi yang tidak terdaftar pada Peraturan Pemerintah; k. menanamkan investasi kecuali surat berharga tertentu dan/atau investasi peningkatan kualitas sumber daya manusia dan kesejahteraan sosial; l. membuat atau menyebabkan adanya suatu laporan palsu dalam buku catatan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, atau laporan transaksi BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial; dan/atau m. mengubah, mengaburkan, menyembunyikan, menghapus, atau menghilangkan adanya suatu pencatatan dalam pembukuan atau dalam laporan, atau dalam dokumen atau laporan kegiatan usaha, laporan transaksi atau merusak catatan pembukuan BPJS dan/atau Dana Jaminan Sosial. (2) Pasal 55 Pemberi Kerja yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (1) atau ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 8 (delapan) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Pasal 19 ayat (1) dan (2) : (1) Pemberi Kerja wajib memungut Iuran yang menjadi beban Peserta dari Pekerjanya dan menyetorkannya kepada BPJS. (2) Pemberi Kerja wajib membayar dan menyetor Iuran yang menjadi tanggung jawabnya kepada BPJS. (3) UU Nomor 20 – 2001 jo. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, karena aset BPJS adalah aset negara (walau sudah dipisahkan) berdasarkan Pasal 41 UU 24 Tahun 2011 : Pasal 41 (1) Aset BPJS bersumber dari: a. modal awal dari Pemerintah, yang merupakan kekayaan negara yang dipisahkan dan tidak terbagi atas saham; b. hasil pengalihan aset Badan Usaha Milik Negara yang menyelenggarakan program jaminan sosial; c. hasil pengembangan aset BPJS; d. dana operasional yang diambil dari Dana Jaminan Sosial; dan/atau e. sumber lain yang sah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Halaman 11
Pasal 42 UU 24 Tahun 2011 Tentang BPJS : Modal awal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 ayat (1) huruf a untuk BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan ditetapkan masing-masing paling banyak Rp 2.000.000.000.000,00 (dua triliun rupiah) yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.
ANALISIS PERJANJIAN BPJS-RUMAH SAKIT 1) ‘Kesetaraan’
Dari asas asas perjanjian di atas, yang utama dalam perjanjian adalah ‘kemerdekaan/kebebasan para pihak’ dan/atau kesetaraan membuat perjanjian. Walaupun demikian, dalam praktek adalah tidak mudah bagi para pihak untuk sampai kepada kesetaraan itu. Pengetahuan dan pengalaman sangat menentukan isi perjanjian atau posisi (bargaining position) para pihak. • Mungkinkah Rumah Sakit mempunyai posisi tawar yang sejajar dengan BPJS (Dewan yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden) ? • Dalam perjanjian dengan Rumah Sakit dengan BPJS, perlu kita lihat apakah isi perjanjian antara RS satu dengan RS lain sama ? Adakah perbedaan perlakuan ?
2) Badan Hukum BPJS
BPJS adalah institusi yang istimewa, badan hukum publik 1) dan tidak dapat dipailitkan (periksa pasal 47 UU 24 Tahun 2011) 2). Dengan demikian, secara hukum BPJS tidak mungkin tidak bisa bayar hutang. Dia personifikasi dari negara. Jika kehabisan uang, dia akan ditalangi negara. Jadi, jangan kuatir BPJS tidak punya uang. Ini politik hukum Negara Inonesia. Seperti negara, jika negara tidak punya uang, ya cetak lagi (dalam hal ini dilaksanakan oleh Bank Indonesia). Soal nilai tukar rupiah melemah, itu soal lain. Indonesia pernah mengalami “senering”, bahkan BI sudah mencanangkan, kelak nilai Rp 1000 akan dijadikan 1 rupiah. Yang jelas negara tidak bisa dibangkrutkan.
Bagaimana jika sampai BPJS –mudah-mudahan tidak akan pernah—tidak bayar-bayar kepada Rumah Sakit, dilambat-lambat, dicicil-cicil ? Secara politik kita tagih bagaimana konsistensi politik hukum Pemerintah. Kita ‘teriki’ terus menerus. Sistim kurang pas misalnya, ya kita ‘teriaki’ terus menerus, tentu dengan solusi yang elegan. Mari BPJS kita –sebagai komponen bangsa-- awasi, kita dorong, kita kritisi pelayanan yang kurang profesional. Tetapi, juga kita ‘perbaiki’ pelayanan Rumah Sakit kita dengan standar yang berlaku di BPJS.
3) Rahasia Kedokteran – Rekam Medis Pasal 4 angka 4 huruf c, Kewajiban Pihak Kedua :
Menyediakan data dan informasi tentang Sumber Daya Manusia dan sarana prasarana PIHAK KEDUA dan informasi lain tentang pelayanan kepada peserta (termasuk melihat Medical Record) yang dianggap perlu oleh PIHAK PERTAMA Dalam Pasal 47 UU No. 29 Tahun 2004 Tentang Pradok ditegaskan : (1) Dokumen rekam medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 46 merupakan milik dokter, dokter gigi, atau sarana pelayanan kesehatan, sedangkan isi rekam medis merupakan milik pasien. (2) Rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus disimpan dan dijaga kerahasiaannya oleh dokter atau dokter gigi dan pimpinan sarana pelayanan kesehatan. (3) Ketentuan mengenai rekam medis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri. Halaman 12
UU 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit Pasal 38 menyatakan : (1) Setiap Rumah Sakit harus menyimpan rahasia kedokteran. (2) Rahasia kedokteran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dibuka untuk kepentingan kesehatan pasien, untuk pemenuhan permintaan aparat penegak hukum dalam rangka penegakan hukum, atas persetujuan pasien sendiri, atau berdasarkan ketentuan peraturan perundangundangan. (3) Ketentuan lebih lanjut mengenai rahasia kedokteran diatur dengan Peraturan Menteri. Penjelasan Pasal 38 Ayat (1) menjelaskan : Yang dimaksud dengan “rahasia kedokteran” adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang ditemukan oleh dokter dan dokter gigi dalam rangka pengobatan dan dicatat dalam rekam medis yang dimiliki pasien dan bersifat rahasia. Pasal 44 UU 44 Tahun 2009 menyatakan : (1) Rumah Sakit dapat menolak mengungkapkan segala informasi kepada publik yang berkaitan dengan rahasia kedokteran. (2) Pasien dan/atau keluarga yang menuntut Rumah Sakit dan menginformasikannya melalui media massa, dianggap telah melepaskan hak rahasia kedokterannya kepada umum. (3) Penginformasian kepada media massa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) memberikan kewenangan kepada Rumah Sakit untuk mengungkapkan rahasia kedokteran pasien sebagai hak jawab Rumah Sakit. Pasal 57 UU 36 Tahun 2009 Tentang Kesehatan menyatakan : (1) Setiap orang berhak atas rahasia kondisi kesehatan pribadinya yang telah dikemukakan kepada penyelenggara pelayanan kesehatan. (2) Ketentuan mengenai hak atas rahasia kondisi kesehatan pribadi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal: a. perintah undang-undang; b. perintah pengadilan; c. izin yang bersangkutan; d. kepentingan masyarakat; atau e. kepentingan orang tersebut. MEMBUKA RAHASIA diatur dalam KUHPidana Pasal 322 : (1) Barang siapa dengan sengaja membuka rahasia yang wajib disimpannya karena jabatan atau pencahariannya, baik yang sekarang maupun yang dahulu, diancam dengan PIDANA PENJARA paling lama sembilan bulan atau pidana denda paling banyak sembilan ribu rupiah. (2) Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang tertentu, maka perbuatan itu hanya dapat dituntut atas pengaduan orang itu Dengan demikian, pembukaan rahasia yang ditentukan oleh UU memberikan konsekwensi dianggap telah melakukan tindak pidana. Hanya saja berupa delik aduan (klachtdelict). Solusi : Minta persetujuan Pasien Yang bersangkutan
4) Tenggang waktu pembayaran “Klaim” Pasal 4 angka 2 huruf b Membayar biaya pelayanan sebagaimana huruf a, wajib dilakukan tepat waktu untuk menjaga likuiditas PIHAK KEDUA;
Halaman 13
Lampiran II Perjanjian angka 6 Pembayaran Tagihan a. PIHAK PERTAMA wajib membayar tagihan biaya pelayanan kesehatan PIHAK KEDUA paling lambat 15 (lima belas) hari sejak dokumen klaim diterima lengkap dan benar di Kantor Cabang PIHAK PERTAMA. b. Kadualarsa klaim adalah 6 (enam) bulan terhitung sejak pelayanan diberikan. Tagihan yang diajukan lebih dari 6 (enam) bulan sejak berakhirnya Bulan Pelayanan dan/atau berakhirnya Perjanjian ini berhak untuk ditolak proses pembayarannya oleh PIHAK PERTAMA. c. PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab untuk membayar tagihan yang timbul karena PIHAK KEDUA memberikan fasilitas dan/atau pelayanan kesehatan di luar yang menjadi hak Peserta.
Pasal 24 UU 40 Tahun 2004 (2) Badan Penyelenggara Jaminan Sosial wajib membayar fasilitas kesehatan alas pelayanan yang diberikan kepada peserta paling lambat 15 (lima belas) hari sejak permintaan pembayaran diterima. Penjelasan Pasal 24 Ayat (2) Ketentuan ini menghendaki agar Badan Penyelenggara Jaminan Sosial membayar fasilitas kesehatan secara efektif dan efisien. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dapat memberikan anggaran tertentu kepada suatu rumah sakit di suatu daerah untuk melayani sejumlah peserta atau membayar sejumlah tetap tertentu per kapita per bulan (kapitasi). Anggaran tersebut sudah mencakup jasa medis, biaya perawatan, biaya penunjang, dan biaya obat-obatan yang penggunaan rincinya diatur sendiri oleh pimpinan rumah sakit. Dengan demikian, sebuah rumah sakit akan lebih leluasa menggunakan dana seefektif dan seefisien mungkin. Masalah : Bagaimana Jika ‘klaim’ TIDAK DIBAYAR PENUH OLEH BPJS ? Biaya pelayanan yang telah dikeluarkan oleh RS secara benar dan telah diklaimkan ke BPJS, wajib dibayar sesuai peraturan di atas. Jika ‘klaim’ tidak dibayar penuh, maka sebaiknya RS tidak mau menerimanya. Jika menerimanya, maka berlaku anggapan bahwa debitur telah melakukan kewajibannya, hanya saja kurang. Berarti atas tagihan/klaim itu, RS mau dicicil. Kekurangan akan dibayar kemudian. Jika RS tidak mau menerima berarti belum ada pembayaran. Solusi : sebaiknya dalam perjanjian ditambahkan kalimat bahwa pembayaran ‘klaim’ harus lunas dan dibayar sekaligus. Bagaimana jika BPJS tidak mau ? Secara hukum, Ya Batalkan saja perjanjian, atau tidak usah melakukan kerja sama dengan BPJS. Beranikah kita menempuh langkah itu, sementara oportunitas kepesertaan dalam Jaminan kesehatan ini diwajibkan secara nasional ? dilematis. Rumah Sakit harus kompak.
5) Pasal 9 (Evaluasi Dan Penilaian), sebaiknya ditambah angka 5 : dalam melaksanakan audit, auditor wajib mempertimbangkan pembelaan/pendapat Pihak Rumah Sakit.
Halaman 14
6) Pasal 11 Tentang SANKSI • Angka 1 :
“Apabila Dalam pengajuan klaim/tagihan oleh PIHAK KEDUA terdapat klaim/tagihan yang bermasalah, maka PIHAK PERTAMA berhak untuk menangguhkan pembayaran pada klaim/tagihan yang bermasalah tersebut”
Tidak jelas apa yang dimaksud dengan “masalah”. Perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan “masalah” itu.
•
Angka 4 :
Dalam hal salah satu pihak diketahui menyalahgunakan wewenang dengan melakukan kegiatan moral hazard atau fraud seperti membuat klaim fiktif yang dibuktikan dari hasil pemeriksaan Tim Pemeriksa Internal maupun Eksternal sehingga terbukti merugikan pihak lainnya, maka pihak yang menyalahgunakan wewenang tersebut berkewajiban untuk memulihkan kerugian yang terjadi dan pihak yang dirugikan dapat membatalkan Perjanjian ini secara sepihak. Jika sanksi di atas ini tidak ditaati, maka dapat masuk ke ranah pidana (penggelapan uang negara/korupsi). Bahkan jika sudah dipulihkanpun, belum tentu lepas dari aspek pidananya mengingat uang BPJS adalah uang negara. Kita simak ketentuan UU 31 Tahun 1999 Tentang Korupsi Pasal (1): Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,00 (dua ratus juta rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah).
7) PASAL 12 (PENGAKHIRAN PERJANJIAN) huruf d :
Salah satu Pihak melakukan merger, konsolidasi, atau diakuisisi oleh perusahaan lain. Pengakhiran berlaku efektif pada tanggal disahkannya pelaksanaan merger, konsolidasi atau akuisisi tersebut oleh Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia. Seharusnya : Menteri Hukum Dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia
8) Pasal 16 (Lain-lain) angka 4 : Batasan Tanggung Jawab PIHAK PERTAMA tidak bertanggung jawab atas penyediaan fasilitas dan pelayanan kesehatan dari PIHAK KEDUA kepada Peserta dan terhadap kerugian (--berarti perdata, penulis--) maupun tuntutan (--berarti pidana--) yang diajukan oleh Peserta kepada PIHAK KEDUA yang disebabkan karena kesalahan atau pelanggaran yang dilakukan oleh PIHAK KEDUA dalam menjalankan tanggung jawab profesinya seperti, termasuk tetapi tidak terbatas pada, kesalahan dalam melakukan pemeriksaan dan pengobatan, kesalahan dalam memberikan indikasi medis atau kesalahan dalam memberikan tindakan medis.
Halaman 15
Misal ada kasus :
Pasien menuntut ganti rugi melalui Pengadilan Negeri Surabaya –tentunya berdasarkan pasal 46 UU Nomor 44 Tahun 2009-- kepada Rumah Sakit karena menganggap Rumah Sakit telah melakukan tindakan melawan hukum dengan melakukan kesalahan dalam melakukan asuhan keperawatan dan tindakan medis/kedokteran sehingga pasien mengalami cerebral palsi misalnya. Pasien harus membuktikan apa kesalahan rumah sakit. Rumah Sakit juga harus membuktikan bahwa prosedur yang dilakukan untuk melakukan asuhan keperawatan dan tindakan medis sesuai dengan standar BPJS. Jika ternyata tidak terbukti, maka Pengadilan menyatakan rumah sakit dinyatakan tidak melakukan PERBUATAN MELAWAN HUKUM dan oleh karenanya gugatan ditolak demi hukum. Bagaimana perawatan terhadap pasien yang telah mengalami cerebral palsi ? Seharusnya ditanggung oleh BPJS, yaitu dengan cara masuk rumah sakit dengan menggunakan beban pembiayaan sesuai prosedur BPJS. _____________________________________________________________________ Penjelasan : 1) Tentang kebadan hukuman diatur dalam Pasal 1653 BW : Selain “eigenlijke maatschap” (perseroan perdata), disebutkan 4 “zadelijk lichaam” (1) badan hukum yang didirikan Pemerintah, (2) badan hukum yang diakui, (3) badan hukum yang diizinkan, (4) badan hukum yang didirikan oleh orang swasta dengan tujuan tertentu yang tidak bertentangan dengan UU atau kesusilaan. Badan Hukum Perdata/privat ialah badan hukum yang didirikan oleh perseorangan Badan Hukum Publik ialah badan hukum yang diadakan oleh kekuasaan umum. 2) Pasal 47 UU Nomor 24 Tahun 2011 : BPJS tidak dapat dipailitkan berdasarkan ketentuan perundangan-undangan mengenai kepailitan. Penjelasan Pasal 47 : Cukup jelas.
Halaman 16