Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
ASPEK BIOLOGIS DAN UJI DIAGNOSTIK FASCIOLA Sri Subekti Bendryman Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran Hewan Universrtas Airlangga, Surabaya PENDAHULUAN Fasciola spp yang dikenal dengan cacing hati, merupakan cacing trematoda yang mempunyai arti ekonomis karena akibat infeksi cacing tersebut dapat menyebabkan kerugian yang cukup besar di Indonesia, yang diperkirakan 5 sampai 7,5 juta kilogram hati yang harus dibuang (Edney dan Mukhlis, 1962). Kerugian tersebut juga disebabkan karena kesulitan diagnosis, kurang berhasilnya pengobatan dan juga karena luasnya daerah penyebaran. Di beberapa negara seperti Inggris dan Irlandia dilaporkan bahwa akibat infeksi Fasciola spp. sebanyak 35% dan 75% hati harus diafkir dari sapi yang terinfeksi dan sebanyak 6% dan 38% dari domba (Dargie, 1986). Bahkan pada infeksi yang berat pada domba dapat menyebabkan penurunan berat badan dan kematian. Dengan infeksi cacing F. hepatica dewasa sebanyak 87-500 ekor dapat menurunkan berat badan sebesar 0,13-0,30 kg/minggu pada domba (Coop dan Rushton dalam Dargie, 1986). Demikian juga yang terjadi pada anak sapi dengan infeksi cacing dewasa sebanyak 440 ekor dapat menurunkan berat badan dan makin besar penurunan berat badan anak sapi tersebut terutama bila terjadi pada akhir musim gugur (Burden et al. dalam Dargie, 1986). Spesies cacing hati yang banyak ditemukan berparasit pada hewan ternak di Indonesia adalah Fasciola gigantica (Kusumamihardja, 1993). Selain itu juga ditemukan spesies lain yang menyebabkan Distomatosis pada sapi, diantaranya adalah Fasciola hepatica. Fasciola gigantica merupakan parasit asli Indonesia (indigenous parasite), sedangkan F.hepatica diduga berasal dari luar negeri bersama-sama sapi perah yang diimpor dari Belanda masuk ke Indonesia (Anonimous, 1980) SIFAT BIOLOGIS CACING Fasciola spp. 1.
Cacing Dewasa
Cacing Fasciola spp mengalami proses pendewasaan di dalam saluran empedu. Cacing Fasciola dewasa dalam hospes definitive dapat hidup rata-rata antara satu sampai tiga tahun didalam hati (Troncy et al.,1981). Menurut Dixon yang dikutip Wardiarto (1995) bahwa Fasciola spp pada sapi memproduksi telur setiap harinya kurang lebih 2628 butir dan pada domba kurang lebih 1331 butir. Cacing dewasa bersifat haematophagous (menghisap darah) hospes penderita dan memakan sel-sel hepatik. Didalam caeca cacing dewasa mensekresi Cathepsin yang merupakan proteinase intracellular dan berfungsi sebagai phagocytic digestion (Van Grembergen dalam Ben Dawes dan Hughes (1964). 2.
Telur
Telur Fasciola spp. keluar dari tubuh hospes bersama feses. Bentuk telur ovoid dan mempunyai operculum (tudung/penutup di bagian anterior). Telur Fasciola dapat tahan hidup selama dua sampai tiga bulan dalam lingkungan yang lembab (feses), namun akan cepat mati karena kekeringan, dalam beberapa bulan atau mungkin hanya dalam beberapa jam (Troncy et al., 1981). Di dalam cangkang telur, miracidium yang sedang atau sudah berkembang dikelilingi oleh globules kuning telur yang terbungkus oleh membrana 16
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
vitelina. Membrana tersebut terbentuk pada waktu perkembangan miracidium dengan cara penyatuan permukaan sel-sel somatik. Menurut Rowan dikutip Wardiarto (1995) mengemukakan bahwa sinar matahari memacu miracidium untuk mengeluarkan enzim proteolitik yang dapat melarutkan zat perekat di tempat menempelnya operculum. Enzim ini dapat menyebabkan operculum lepas terdorong keluar, sehingga miracidium keluar. Di luar tubuh induk semang definitif, temperatur optimum yang dibutuhkan untuk perkembangan embrio di dalam telur berkisar antara 220C sampai 300C, dan pada pH optimum 7. Pada temperatur 260C, telur akan menetas dalam waktu 12 hari (Boray, 1969). Daya tahan hidup masing-masing stadium parasit di luar tubuh induk semang definitive, sangat dipengaruhi oleh lingkungannya. Telur cacing dapat tahan hidup dalam jangka waktu lama pada temperatur udara yang sejuk dan kelembaban yang optimal, dan sebaliknya pada temperatur udara yang panas dan kering tidak dapat tahan hidup lama dan cepat mati (Malek, 1980; Soulsby, 1986). Sedangkan pada stadium sporocyst, redia dan cercaria yang berkembang dalam tubuh siput, sangat tergantung pada keberadaan air, agar siput dapat tetap hidup. Kekeringan selama dua minggu akan menyebabkan sebagian besar siput mati sehingga larva juga akan mati(Suhardono, 2001). 3.
Miracidium
Miracidium paling banyak menetas pada siang hari, sedangkan pada keadaan gelap akan menghambat proses penetasan. Pada temperatur optimum F.gigantica mulai menetas kurang lebih hari ke 14 sampai ke 17 (Malek,1980 dan Kusumamihardja, 1993). Menurut Soulsby (1986) bahwa temperatur optimum untuk penetasan telur F.hepatica adalah 280C; sedangkan menurut Cheng (1986), perkembangan miracidium tersebut membutuhkan waktu 23 minggu pada temperatur 100C dan hanya membutuhkan waktu 8 hari pada temperatur 300C. Jika temperatur makin tinggi, pertumbuhannya makin lambat dan diatas 370C pertumbuhannya sama sekali terhenti. Setelah menetas, miracidium keluar dari telur bentuknya lonjong dan tubuhnya tertutup oleh cilia kecuali bagian anterior yang terdapat papila. Bagian anterior lebih lebar dari pada bagian posterior. Miracidium dilengkapi dengan sepasang mata yang masing-masing berbentuk setengah lingkaran dan keduanya membentuk huruf X. Miracidium sangat aktif berenang dalam air dengan menggunakan cilianya, mencari induk semang antara yang serasi. Miracidium hidup hanya dalam waktu yang singkat (Kusumamihardja, 1993). Pada temperatur 300C aktivitas miracidium sangat tinggi, tetapi hanya tahan hidup dalam waktu relatif singkat, ± 5,7 jam. Di Indonesia, menurut Mukhlis yang dikutip Kusumamihardja (1993), miracidium F.gigantica menunjukkan fototropisme positif dan akan mencari induk semang antara yang serasi untuk kelangsungan hidupnya, yaitu Lymnea rubigenosa, yang biasa hidup di air yang dangkal, bersih dan tenang.(seperti pada lahan tanaman padi irigasi, kolam, selokan dsb.). Dengan menggunakan papila anterior, miracidium menempel dan menusuk bagian lunak siput dengan mengeluarkan sekresi kelenjar histolitik menembus jaringan siput dengan melepaskan cilianya dan berkembang menjadi sporocyst.. Sedangkan menurut Dawes dan Hughes (1964) bahwa pada awalnya miracidium menempel pada kulit (epitel) siput , mungkin dibantu oleh enzim, epitel dikoyak, cilia dilepaskan dan masuklah miracidium yang berkembang menjadi sporocyst. 4.
Sporocyst
Sporocyst muda ditemukan 24 jam setelah miracidium penetrasi pada tubuh siput (Boray, 1969). Selanjutnya dilaporkan bahwa pada hari ke 8 setelah infeksi dalam sporocyst terbentuk embrio, dikenal dengan redia induk (Kusumamihardja, 1993), dan dari satu sporocyst tumbuh menjadi 1 – 6 redia.(Dinnik dan Dinnik ,1964). 5.
Redia
Redia induk dengan menggunakan tubuh sporocyst akan bergerak aktif migrasi ke bagian distal mollusca yaitu glandula pencernaan (Malek, 1980). Embrio keluar dari sprocyst dan bebas dari jaringan 17
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
mantel siput pada hari ke 9 setelah infeksi (Kusumamihardja, 1993). Embrio ini berukuran 343 X 118 µM, dilengkapi faring yang kuat, caecum, penonjolan kutikula yang melingkar sedikit dibelakang faring dan dua penonjolan pendek tumpul di dekat ujung posterior. Embrio ini ditemukan di dalam hati siput pada hari ke 12 setelah infeksi, dan berukuran 1100 X 300 µM. Redia induk memproduksi redia anak pada hari ke 16 sesudah infeksi. Bentuk dan ukuran redia anak tidak berbeda dengan redia induk waktu keluar dari sporocyst. Pada hari ke 31 setelah infeksi, redia induk mengalami degenerasi. 6.
Cercaria
Pada hari ke 34 cercaria telah nampak dalam redia anak dan baru meninggalkan redia anak pada hari 49 setelah infeksi (Kusumamihardja, 1993). Namun menurut Smyth (1976) melaporkan bahwa setelah hari ke 45 pasca infeksi, cercaria keluar dari tubuh siput dan dapat menempel pada rumput. Produksi cercaria di dalam tubuh siput hanya sampai sekitar 4 bulan setelah infeksi dan pada hari ke 136 setelah infeksi tidak ditemukan metacercaria pada cawan yang berisi siput yang terinfeksi (Dinnik dan Dinnik, 1964). Cercaria bersifat fototropisme positif. Di luar tubuh siput cercaria berenang dengan ekor yang panjangnya dua kali panjang tubuhnya, umumnya beberapa menit sampai dua jam, kemudian membentuk kista yang disebut metacercaria. (Kusumamihardja, 1993). 7.
Metacercaria
Metacercaria merupakan stadium terakhir larva F.gigantica. Hospes definitif yang peka tertular karena memakan rumput atau tanaman yang terkontaminasi metacercaria yang infektif. Hughes dalam Boray(1969) menemukan bahwa metacercaria infektif pada 2 hari pasca pembentukan kista (encystment). Cercaria tidak dapat menginfeksi tikus sebelum atau segera setelah encystment . Namun menurut Boray (1969) bahwa metacercaria yang baru terbentuk, membutuhkan waktu sedikitnya 24 jam untuk menjadi infektif Metacercaria infektif akan menempel pada tanaman /hijauan yang hidup di air atau ditepi sungai. Ketahanan hidup metacercaria sangat tergantung pada lingkungan sekitarnya; tidak tahan hidup dan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung, sedangkan pada temperatur udara yang rendah, teduh dan lembab dapat tahan hidup dalam jangka waktu yang lama ( Al-Kubaisee and Al-Taif, 1989). UJI DIAGNOSTIK Fasciola spp Untuk diagnosis Fascioliasis di lapangan cukup kompleks, karena telur cacing Fasciola spp. tidak ditemukan pada masa patent, pada waktu juvenile/ cacing muda migrasi melalui dinding usus halus menuju rongga peritoneum (1 minggu), kemudian penetrasi pada parenkhim hati (5 – 7 minggu) dan menuju saluran empedu dalam proses pendewasaan (2 bulan atau lebih) (Chen and Mott, 1990; Levine et al. dalam Espino et al., 1998). Maka untuk memastikan keberadaan cacing Fasciola di dalam tubuh induk semang definitive, sering kali mengalami kesulitan, tergantung dari stadium parasit tersebut. Untuk menemukan telur cacing di dalam feses baru dapat dilakukan apabila cacing dewasa yang sudah mature dan memproduksi telur, berkisar antara 13 – 16 minggu (Sewell, 1966; Over, 1982), namun walaupun cacing sudah mature, kadang-kadang masih sulit untuk menemukan telur cacing. Hal ini karena sering kali telur diekskresi secara tidak teratur (irregular). Cara deteksi ini tidak mungkin dapat dilakukan pada stadium cacing yang belum dewasa kelamin/mature, kecuali pada saat otopsi hewan yang mati karena infeksi atau ditemukannya cacing muda/dewasa dari organ hati dari ternak yang dipotong di RPH. Dengan demikian dalam melakukan uji diagnostik terhadap infeksi Fasciola spp. dapat dilakukan dengan beberapa cara sebagai berikut : 1.
Cara mendeteksi dan identifikasi telur Fasciola spp di dalam feses penderita. Metode pemeriksaan yang digunakan adalah metode natif, metode pewarnaan dengan gentian violet atau methylen blue, metode sedimentasi sederhana (Ash and Orihel, 1987). Semua metode tersebut ternyata belum memuaskan karena sulitnya membedakan telur Fasciola spp dan Paramphistomum, yang biasanya 18
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
bersama-sama dalam satu hospes. Namun dengan pewarnaan telur Fasciola tidak menyerap warna, sehingga tetap berwarna kuning, sedangkan telur Paramphistomum menyerap warna. Pada penderita Fascioliasis kronis, penemuan telur cacing dalam feses masih merupakan metode diagnosis yang paling baik. Namun, pada penderita dengan infeksi dini dan akut, metode ini kurang efektif karena sulit menemukan telur cacing dalam feses penderita. 2.
Uji serologis dengan tekhnik ELISA-Antibodi (Guobadia and Fagbemi, 1995) . Uji ini dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam darah hospes penderita. Tekhnik uji ini sangat sensitif untuk mendeteksi infeksi dini dan infeksi stadium lanjut. Kelemahannya adalah tidak dapat mendeteksi secara pasti apakah infeksi cacing hati tersebut masih berlangsung atau sudah berlalu.
3.
Uji serologis dengan tekhnik ELISA-Antigen (Mousa, 1994; Guobadia and Fagbemi, 1997). Tekhnik ini dapat mendeteksi adanya antigen dari penderita Fascioliasis sehingga dapat memastikan bahwa infeksi tersebut masih aktif berlangsung. Pada dasarnya tekhniknya sama dengan ELISA antibodi, hanya yang dideteksi antigen parasit yang beredar di dalam darah penderita. Beberapa macam extract antigen dari Fasciola spp yang dapat digunakan sebagai kandidat antigen adalah sebagai berikut: tegumental extract, crude somatic antigen, excretory/secretory (ES) antigen (Krailas et al., 1999; El-Kerdany et al., 2002; Chalyhirayanon et al., 2002)), Cysteine proteinase (Dixit et al., 2002); Fatty Acid Binding Protein (FABP)(Estuningsih, 2003), terdapat pada konsentrasi tinggi dalam sel parenchym dan jaringan reproduksi dan konsentrasi rendah dalam tegument dan epithel caecal (Sirisriro et al.,2002), Glutamic S-Transferase (GST) dan Cathepsin L yang disekresi dari excretory/secretory product (Cornelissen et al., 2001; Yamasaki et al., 2002, Estuningsih, 2003), 26-28 kDa sirkulasi antigen dari whole extract cacing dewasa, sekresi empedu penderita (Attallah et al., 2002) dan cercarial antigen (Mousa, 2001).
4.
Uji serologis dengan teknik ELISA dengan mendeteksi antigen sirkulasi ES dan antibody spesifik IgG. Hasil yang positif ternyata mempunyai korelasi dengan intensitas infeksi yang dikonfirmasi dengan penghitungan EPG (Egg Per Gram) feses (Shehab et al., 1999).
5.
Uji serologis dengan tekhnik ES 78 Sandwich ELISA (Espino et al., 1998; Blanca et al., 1998). Untuk deteksi antigen sirkulasi ES dan Coproantigen dengan monoclonal antibody (MAb) ES 78 sebagai capture antibody dan poliklonal antibody–peroxidase conjugate sebagai antibody sekunder. Sirkulasi antigen ES dapat terdeteksi pada infeksi awal selama phase akut, sementara coproantigen terdeteksi beberapa minggu sebelum ekskresi telur dan selama periode paten.
6.
ELISA dengan recombinant Fasciola hepatica Cathepsin L-like Protease sebagai antigen , dikembangkan untuk mendeteksi antibody F.hepatica pada domba dan sapi. Metode ini digunakan sebagai immunodiagnosis dini Fascioliasis pada ruminansia (Cornelissen et al., 2001).
7.
Tekhnik Sodium Dodecyl Sulphate Polyacrilamide Gel Electrophoresis (SDS-PAGE) dan Immunoblotting. Analisis dengan SDS-PAGE ditemukan bahwa ES product terdiri dari 6 polipeptida dan analisis imunoblotting terhadap antiserum penderita Fascioliasis menunjukkan terdapat 12 component yang tertandai dengan kuat yang mempunyai berat molekul antara kurang dari 14,4 – 38 kDa. Dengan tekhnik ini hanya satu band antigen dari 27 kDa yang 100% sensitive dan 98% spesifik untuk diagnosis terhadap human Fascioliasis (Intapan et al., 1998).
8.
Reverse Transcription Polymerase Chain Reaction Method (RT-PCR method) dengan mengkode gen Cathepsin L-like proteins cacing dewasa Fasciola gigantica(Grams et al., 2001).
Dengan demikian, untuk infeksi Fascioliasis kronis, cara deteksi dan identifikasi telur Fasciola spp di dalam feses penderita masih merupakan uji diagnostik paling baik, sedangkan untuk infeksi akut dan dini, 19
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
sulit ditemukan telur cacing dalam feses. Dengan demikian diperlukan uji diagnostik yang lebih baik, dengan menggunakan uji serologis dengan tekhnik ELISA, SDS-PAGE dan RT-PCR. DAFTAR PUSTAKA Al-Kubaisee RY and KL Al-Taif, 1989. Comparative Study of Sheep and Buffalo Isolates of Fasciola gigantica in the Intermediate host Lymnea auricularia. Short Communication. Res.Vet.Sci.47 :273274. Anonymous, 1980. Risalah Mengenai Penyakit Hewan di Indonesia. Ditkeswan.Ditjenak. Deptan, Jakarta. Ash RL and TC. Orihel, 1987. Parasites. A Guide to Laboratory Procedures and Identification. Society of Clinical Pathologists Press, Chicago pp.30-31. Attallah AM, EA. Karawia., H. Ismail, AA. Tabil, AA. Nawar, WA. Ragub, M. .Abdul Aziz and I. ElDosoby, 2002. Identification and Characterization of a 26 to 28 kDa Circulating Antigen of Fasciola Gigantica. Ann.Trop.Med.Parasitol 96(3):271-282. Ben Dawes and DL. Hughes, 1964. Fascioliasis: The Invasive Stages of F.hepatica in Mammalian Host, in:Advances in Parasitology Ed Ben Dawes, vol.2. Acad.Press.pp.142-144. Blanca, D. Ripall and CM. Finlay Villavilla, 1998. Detection and Quantification of Coproantigens of F.hepatica in Ovine Cattle.Cuban Rev.Med.Trop. 50(1):82-84. Borray, JC, 1969. Experimental Fascioliasis in Australia. Adv.Parasitol. 7:95-210. Chalthirayanon K., C. Wanichanon, S. Vichasri-Grams, V. Vijayant, E.S. Upatham and P. Sobhon, 2002. Production and Characterization of a Monoclonal Antibody Against 28,5 kDa Tegument Antigen of F.gigantica. Acta Tropica 84(1):1-8. Cheng, TC. 1986. General Parasitology, 2ndEd Acad Press Coll Div USA. Chen, MG., and KE. Mott, 1990. Progress and Assessment of Morbidity due to F.hepatica Infection. A Review of Recent Literature. Trop.Dis Bull 8:2-38. Cornelissen. JB., CP. Gaasenbeek, FH. Borgsteed, WG. Holland, MM. Harmsen and WJ. Boersma, 2001. Early Immunodiagnosis of Fascioliasis in Ruminants Using Recombinant Fasciola hepatica Cathepsin L-like Protease. Int J Parasitol 31(7):728-737. Dargie, JD., 1986. The Impact on Production and Mechanisms of Pathogenesis of Trematode Infections in Cattle and Sheep. Parasitology Quo vadit ? Proceedings of the sixth International Congress of Parasitology, Canberra, Australia : 253-265. Dinnik, AA., and NN. Dinnik, 1964. The Influence of Temperature on Succession of Redial and Cercarial Generations of F.gigantica in Snail Host. Parasitol 54:59-65. Dixit, AK., SC. Yadav and RL. Sharma, 2002. 28 kDa Fasciola gigantica Cysteine Proteinase in the Diagnosis of Prepatent Ovine Fascioliasis. Vet. Parasitol. 109(3-4):233-247. Edney, JM., and A. Mukhlis, 1962. Fascioliasis in Indonesian Livestock. Com Vet 6:49-62. El-Kerdany, ED., NM. Abd-Alla and OA. Sharaki, 2002. Recognation of Antigenic Components of F.gigantica and their use in Immunodiagnosis. J Egypt Soc Parasitol 32(3):675-690. 20
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Espino, AM., A. Diaz, A. Perez and CM. Finlay, 1998. Dynamics of Antigenemia and Coproantigens during Human F.hepatica Outbreak. J.Clin.Microbiol. 36(9):2723-2726. Estuningsih, SE., 2003. Antigen Fasciola gigantica. Workhsop Pengembangan Diagnostik Fasciolosis dengan ELISA untuk Deteksi Cathepsin L(Catl L) Balitvet Bogor, 17-19 Februari 2003. Goubadia, AA., and BO. Fagbemi, 1995. Time-course Analysis of Antibody Response by EITB and ELISA before and after Chemotherapy in Sheep Infected with F.gigantica. Vet Parasitol 58:247-253. Grams, R., .S. Vischari-Grams, P. Sobhon, ES. Upatham and V. Viyanant, 2001. Molecular Cloning and Characterization of Cathepsin L Encoding Genes From Fasciola gigantica. Parasitol Int 50(2):105114. Intapan, PM., W. Maleewong, C. Wongkham, K. Tomanakam, K. Leamviteevanic, V. Pipitgool and V. Sukolapong. 1998. Excretory-Secretory Antigenic Components of Adult Fasciola gigantica Recognized by Infected Human Sera. Southeast Asian J Trop Med Pub Hlth 29(3): 579-583. Krailas, D., V. Viyanant, P. Ardseungnoen, P. Soghon, ES. Upatham and R. Keawjam, 1999. Identification of Circulating Antibodies in Fscioliasis and Localization of 66 kDa Antigenic target Using Monoclonal Antibodies. Asian Pac J Allergy Immunol 17(1):53-58. Malek, EA., 1980. Snail-Transmitted Parasitic Disease. Vol.II. CRC Press, Inc. Mousa, WM., 1994. Evaluation of Specific F.gigantica Antigen for the Diagnosis of Fascioliasis in Experimentally and Naturally Infected Sheep by ELISA. Vet Med J Giza 42: 77-81. Mousa, WM., 2001. Evaluation of Cercarial Antigen for the Serodiagnosis of Fascioliasis in Experimentally and Naturally Infected Sheep. Vet.Parasitol 97(1):47-54. Over, HJ., 1982. Ecological Basis of Parasite Control: Trematodes with Special Reference to Fascioliasis. Vet Parasitol 11:85-97. Sewell, MMH., 1966. The Pathogenesis of Fascioliasis. Vet Rec 78:98-105. Shehab, AY., LM. Basha, HN. El-Morshedy, M. Abdel-Fattah, MM. Osman and HF. Farag, 1999. Circulating Antibodies and Antigens Correlate with Egg Count in Human Fascioliasis. Trop Med Int Hlth 4(10):691-694. Smyth, JD., 1976. Introduction to Animal Parasitology, 2ndEd. John Wiley & Sons. New York. Soulsby, EJL., 1986. Helminths, Arthropods and Protozoa of Domesticated Animals. ELBS and Bailliere Tindall, London. Sririsriro, A., R. Grams, S. Vischari-Grams, P. Ardseungneon, V. Pankao, A. Meepol, K. Chaitirayanon, V. Viyanant, P. Tan-Ariya, US. Upatham and P. Sobhon, 2002. Production and Characterization of a Monoclonal Antibody Against Recombinant Fatty Acid Binding Protein of Fasciola gigantica. Vet Parasitol 105(2):119-129. Suhardono, 2001. Epidemiology and Control of Fascioliasis by F.gigantica in Ongole Cttle in West Java. PhD Thesis. Biomedical and Tropical Veterinary Science. James Cook University of North Queensland, Australia. 21
Prosiding Seminar Parasitologi dan Toksikologi Veteriner, 2004
Troncy, PM., J Itard et PC. Morel, 1981. Precis de Parasitologie Veterinaire Tropicale. Inst. D’Evelage et de Medecine Veterinaire des Pays Tropicaux. France. Wardiarto, P., 1994. Pengaruh Intensitas Cahaya Lampu Terhadap Perkembangan dan Penetasan Telur Fasciola sp. FKH UGM. Wardiarto, P., 1995. Pengaruh Beberapa Macam Pupuk Buatan Terhadap Penetasan Telur Fasciola sp. FKH UGM. Yamasaki, H., R. Mineki, K. Murayama A. Ito and T. Aoki, 2002. Characterization and Expression of the Fasciola gigantica cathepsin L gene. Int J Parasitol 32(8):1031-1042.
22