Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
ASPEK-ASPEK PENTING DALAM PERKEMBANGAN DAN PENDIDIKAN ANAK USIA DINI Widya Ayu Puspita Abctract Human development is a priority programme in national development, and must be started from early childhood by improving early childhood development and education. Children deserve to get high quality support for their growth and development. That support is needed because all children are unique and in the process to construct their thinking and behavior. This construction is influenced by nature and nurture, even the closest and furthest. When we consent to nurture influence, there are many aspects that must be understood. Those aspects are gender, culture, socioeconomic and child rearing. Actually, those aspects are very close related to the children and will influence their life. Keywords: early childhood development, early childhood education Pendidikan Anak Usia Dini dalam Lingkup Perkembangan Anak Sumber daya manusia merupakan salah satu komponen utama dalam pembangunan nasional, sehingga pembangunan sumber daya manusia merupakan prioritas utama. Pembangunan sumber daya manusia merupakan salah satu upaya untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam percaturan global. Data dari World Economic Forum (WEF) tahun 2013 menunjukkan bangsa Indonesia berada pada peringkat 50 dari 144 negara, dan menunjukkan adanya penurunan daya saing dari tahun-tahun sebelumnya. Oleh karena itu, kondisi sumber daya saat ini hendaknya menjadi perhatian yang serius, terutama apabila ditinjau dari nilai human development index (HDI). JPNF Edisi 10 2013
1
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Kondisi human development index (HDI) pada tahun 2013 menunjukkan bahwa posisi kualitas sumber daya manusia Indonesia berada di peringkat 121 dari 185 negara. HDI merupakan nilai komposit dari angka harapan hidup saat lahir, angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, angka partisipasi kasar jenjang pendidikan dasar sampai dengan pendidikan tinggi, dan produk domestik bruto (PDB) per kapita yang dihitung berdasarkan paritas daya beli (purchasing power parity). Secara spesifik, taraf pendidikan penduduk Indonesia mengalami peningkatan, antara lain diukur dengan meningkatnya angka melek aksara penduduk usia 15 tahun ke atas, meningkatnya jumlah penduduk usia 15 tahun ke atas yang telah menamatkan pendidikan jenjang SMP/ MTs ke atas, meningkatnya rata-rata lama sekolah, dan meningkatnya angka partisipasi sekolah untuk semua kelompok usia. Walaupun demikian, kondisi tersebut belum memadai untuk menghadapi persaingan global yang makin ketat pada masa depan. Hal tersebut diperburuk oleh tingginya disparitas taraf pendidikan antarkelompok masyarakat, terutama antara penduduk kaya dan miskin, antara wilayah perkotaan dan perdesaan, antardaerah, dan disparitas gender (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025). Selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional Tahun 2005–2025, yang merupakan kelanjutan dari pembangunan sebelumnya untuk mencapai tujuan pembangunan sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dalam 20 tahun mendatang, sangat penting dan mendesak bagi bangsa Indonesia untuk melakukan penataan kembali berbagai langkah-langkah, antara lain di bidang pengelolaan sumber daya alam, sumber daya manusia, lingkungan hidup dan kelembagaannya sehingga bangsa Indonesia dapat mengejar ketertinggalan dan mempunyai posisi yang sejajar serta daya saing yang kuat di dalam pergaulan masyarakat Internasional. Oleh karenanya untuk memperkuat daya saing bangsa, pembangunan nasional dalam jangka panjang diarahkan diantaranya untuk mengedepankan pembangunan sumber daya manusia berkualitas dan berdaya saing serta meningkatkan penguasaan, pemanfaatan, dan penciptaan pengetahuan. Arah pembangunan sumber daya manusia tersebut salah satunya dicapai melalui pendidikan yang diberikan sejak anak usia dini. Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) merupakan upaya pembinaan 2
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
yang ditujukan kepada anak sejak lahir sampai dengan usia enam tahun yang dilakukan melalui pemberian rangsangan pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani agar anak memiliki kesiapan dalam memasuki pendidikan lebih lanjut (Undangundang Sistem Pendidikan Nasional No. 20 tahun 2003). Pendidikan pada usia dini memegang peranan yang sangat penting, karena dilakukan pada usia keemasan (golden period) anak, sehingga diharapkan memberikan dasar yang kuat dan positif bagi perkembangan anak tahap selanjutnya. Di samping itu, pendidikan yang dilakukan juga berfungsi untuk menyambungkan sel-sel otak anak (synaptogenesis) sehingga menjadi jalinan saraf yang siap menerima informasi dan berkembang sesuai dengan usia. Oleh karena itulah, pada usia dini kemudian dikenal adanya tugas-tugas perkembangan yang merupakan tahap perkembangan universal bagi anak, kecuali yang mengalami hambatan berupa keterlambatan, kecacatan atau permasalahan perkembangan lainnya. Dengan demikian, pendidikan anak usia dini memegang peranan yang sangat penting bagi optimalisasi perkembangan anak, dan hal ini dilakukan oleh keluarga (orangtua), lingkungan, maupun lembaga pendidikan yang khusus menangani anak usia dini. Berbagai pihak tersebut harus dapat bekerjasama sehingga pendidikan anak usia dini berjalan selaras dengan kebutuhan dan karakteristik anak, baik dari sisi fisik, psikis, sosial, maupun budaya. Pendidikan anak usia dini hendaknya berpihak pada kepentingan terbaik anak, sehingga mengedepankan optimalisasi pertumbuhan dan perkembangan anak agar menjadi manusia yang paripurna. Oleh karena itu, dalam pengembangan dan pendidikan anak usia dini, perlu memperhatikan berbagai aspek yang terkait, sehingga bersifat komprehensif. Aspek-aspek Penting dalam Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini Pendidikan anak usia dini berada dalam suatu lingkup perkembangan global dan oleh karenanya sangat dipengaruhi oleh banyak aspek, sehingga pada akhirnya, perkembangan anak juga terpengaruh oleh berbagai faktor tersebut. Berbagai aspek yang saat ini banyak didiskusikan oleh para ahli antara lain gender, budaya, sosial ekonomi, dan pola pengasuhan anak. Aspek-aspek tersebut sesungguhnya juga saling terkait dan mempengaruhi satu sama lain, sehingga ketika mendiskusiJPNF Edisi 10 2013
3
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
kan satu aspek, pasti akan melibatkan aspek yang lainnya. Aspek-aspek penting tersebut hendaknya diperhatikan secara seksama, terutama oleh yang berinteraksi langsung dengan anak, seperti keluarga dan lembaga pendidikan. Namun demikian, pihak lain seperti pemerintah, juga perlu memperhatikan berbagai aspek tersebut sebagai bahan dalam pengembangan kebijakan yang ramah anak. Berbagai faktor tersebut secara lebih detail diuraikan berikut ini. Aspek Gender dalam Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini Gender berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak usia dini terutama karena adanya perbedaan peran-peran sosial terkait jenis kelamin tertentu. Perbedaan ini menyebabkan timbulnya perbedaan dalam persepsi, perhatian dan perlakuan terhadap jenis kelamin tertentu, yang mengakibatkan perbedaan dalam perkembangan anak selanjutnya. Pada akhirnya, gender berpengaruh terhadap pola pengasuhan, nilai anak, akses terhadap pendidikan dan kesempatan-kesempatan tertentu yang lebih luas. Dengan demikian, gender perlu mendapatkan perhatian terkait dengan anak usia dini. Klasifikasi Peran Gender Klasifikasi peran gender pada umumnya dikaitkan dengan jenis kelamin, sehingga terjadi persamaan dan perbedaan gender. Persamaan dan perbedaan tersebut terkait dengan fisik, kognitif dan sosioemosional dan mempengaruhi perkembangan serta pendidikan anak. Sisi fisik. Perempuan memiliki angka harapan hidup yang lebih tinggi apabila dibandingkan laki-laki, dan laki-laki lebih mungkin untuk memiliki kelainan fisik dan mental dibandingkan perempuan. Estrogen pada perempuan menguatkan sistem kekebalan tubuh, demikian pula hormon pada perempuan mendorong liver untuk memproduksi lebih banyak kolesterol “baik”, yang menyebabkan pembuluh darah pada perempuan lebih elastis. Sementara itu, testoteron pada laki-laki memicu produksi lipoprotein yang memiliki kerapatan rendah, yang akan menghambat pembuluh darah. Dengan demikian, laki-laki memiliki risiko penyakit jantung 2 kali lebih besar dibandingkan perempuan. Dalam hal struktur dan fungsi otak, beberapa penelitian menemukan bahwa otak perempuan lebih kecil daripada otak laki-laki, tetapi otak 4
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
perempuan lebih berlekuk, yang memungkinkan jaringan permukaan otak dalam tengkorak yang lebih luas pada perempuan. Daerah lobus parietal yang berfungsi untuk kemampuan visuospasial lebih besar pada laki-laki dibandingkan pada perempuan (Frederik, dkk, 2000). Sementara itu, daerah otak yang terlibat dalam ekspresi emosi menunjukkan aktivitas metabolisme yang lebih tinggi pada perempuan dibandingkan pada laki-laki (Gur, dkk, 1995). Sisi kognitif. Banyak peneliti di bidang kognitif yang menganggap bahwa perbedaan gender dari sisi kognitif adalah hal yang terlalu dilebih-lebihkan. Meskipun demikian, Maccoby dalam Santrock, 2007, menyatakan bahwa akumulasi dari berbagai penelitian menunjukkan bahwa laki-laki memiliki kemampuan visuospatial yang lebih baik apabila dibandingkan perempuan, tetapi tidak ada perbedaan dalam kemampuan verbal. Coley dalam Santrock, 2007, di sisi lain menyatakan bahwa laki-laki memiliki kemampuan matematika yang sedikit lebih baih baik apabila dibandingkan dengan perempuan, sementara perempuan memiliki kemampuan membaca yang lebih baik. Sisi sosioemosional. Area perkembangan sosioemosional yang sudah diteliti mengenai gender adalah hubungan interpersonal, agresi, emosi, perilaku prososial dan prestasi. Tannen, 1990, dalam Santrock, 2007, menyebutkan bahwa anak perempuan lebih unggul dalam rapport talk, yaitu bahasa percakapan, cara membangun dan menegosiasikan hubungan dan relasi. Sementara itu, anak laki-laki lebih unggul dalam report talk, yaitu pembicaraan yang memberikan informasi, dan salah satunya adalah pembicaraan di depan umum. Hal ini terjadi karena laki-laki dan perempuan tumbuh dalam dukungan yang berbeda-beda, baik dari orang tua, saudara, teman sebaya, pendidik ataupun lingkungan yang lainnya. Sisi sosioemosional yang tampak secara konsisten berbeda adalah dalam hal agresi. Laki-laki lebih agresif secara fisik apabila dibandingkan perempuan (Dodge, Coie dan Lynam, 2006). Dalam hal ekspresi emosi, anak laki-laki lebih mungkin menyembunyikan emosi negatif yang dirasakan, misalnya kesedihan, sedangkan anak perempuan lebih mungkin menyembunyikan emosi yang akan menyakiti orang lain, misalnya kekecewaan (Eisenberg, Martin dan Fabes, 1996). Anak laki-laki juga biasanya menunjukkan pengaturan
JPNF Edisi 10 2013
5
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
emosi yang lebih rendah dibandingkan perempuan (Eisenberg, Spinrad dan Smith, 2004). Kontrol diri yang rendah dapat berubah menjadi masalah perilaku. Dalam hal perilaku prososial, perempuan lebih prososial, lebih empatik, dan mereka juga lebih banyak terlibat dalam perilaku prososial dibanding laki-laki (Eisenberg, Fabes dan Spinrad, 2006, Eisenberg dan Morris, 2004). Dalam hal prestasi, tidak ada perbedaan gender (Eisenberg dan Fabes, 2008). Peran Pendidik di Tengah Isu Gender Pendidik hendaknya berlaku adil terhadap semua anak di tengah maraknya isu mengenai peran gender. Beberapa hal yang dapat dilakukan terkait hal tersebut adalah memandu perkembangan gender anak sehingga mengarah pada hal yang benar (Santrock, 2007). Untuk itu, yang dapat dilakukan oleh pendidik diuraikan dalam tabel berikut ini.
No. 1.
6
Tabel 1. Peran Pendidik di Tengah Isu Gender Jenis Peran Pendidik Kelamin Anak Laki – Laki Dorong anak laki-laki agar sensitif dalam hubungan sosialnya dan lebih terlibat dalam perilaku prososial. Salah satu tugas sosialisasi yang penting adalah membantu anak laki-laki agar lebih tertarik untuk memiliki hubungan dekat yang positif dan lebih peduli. Ayah dapat menjadi model yang sensitif dan peduli Dorong anak laki-laki untuk lebih tidak agresif secara fisik. Seringkali, anak laki-laki didorong menjadi tegar dan agresif secara fisik. Strategi terbaik adalah dengan mendorong mereka untuk self-asertive, tetapi tidak agresif secara fisik. Dorong anak laki-laki untuk mengatasi emosi mereka lebih efektif. Hal ini tidak saja menyangkut upaya untuk membantu anak mengatur emosi mereka, contohnya mengontrol kemarahan, tetapi juga belajar cara mengekspresikan kecemasan dan kekhawatiran mereka, sebagai ganti dari memendamnya
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
2.
Perempuan
Bekerjasama dengan anak laki-laki untuk meningkatkan prestasi di sekolah. Dalam hal ini pendidik dapat bekerjasama dengan orangtua Dorong anak perempuan untuk merasa bangga dengan kemampuan hubungan sosial dan kepedulian mereka. Ketertarikan yang kuat pada anak perempuan terhadap hubungan sosial dan pengasuhan harus diberi reward oleh orangtua dan para guru. Dorong anak perempuan untuk mengembangkan kompetensi diri. Ketika memandu anak perempuan untuk mempertahankan kekuatannya di dalam hubungan sosial, orang dewasa juga dapat memandu anak perempuan untuk mengembangkan ambisi dan prestasi mereka. Dengan demikian, anak perempuan perlu didukung untuk memiliki konsep diri yang positif, tampil dengan penuh percaya diri, serta dapat menjadi teladan yang baik bagi lingkungannya. Dorong anak perempuan untuk lebih self assertive. Anak perempuan cenderung lebih pasif dibanding anak laki-laki. Mereka akan memperoleh keuntungan jika didorong untuk lebih self-assertive. Dengan demikian, anak perempuan hendaknya bisa tampil dengan lebih tegas, mampu mengambil keputusan dengan baik, serta mampu mengambil risiko dan berpikir lebih rasional. Dorong prestasi anak perempuan. Hal ini bisa dilakukan melalui dukungan orangtua untuk mencapai prestasi yang baik dan mengenalkan mereka pada pilihan karir yang lebih luas, sehingga lebih banyak kesempatan yang bisa mereka dapatkan. Oleh karena itu, orangtua perlu memberikan akses sosial dan pendidikan yang lebih banyak kepada perempuan.
Aspek Budaya Setiap wilayah memiliki budaya yang berbeda-beda, dan budaya tersebut sangat mempengaruhi perkembangan dan pendidikan anak. Budaya merupakan perilaku, pola, kepercayaan dan semua hasil lainJPNF Edisi 10 2013
7
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
nya dari suatu kelompok orang tertentu yang diteruskan dari generasi ke generasi. Produk tersebut merupakan hasil interaksi dari antara berbagai kelompok orang dan lingkungan mereka selama bertahun-tahun. Budaya mencakup banyak komponen dan dapat dianalisis dalam banyak cara. Richard Brislin, 1993, dalam Santrock, 2007, menjelaskan sejumlah karakteristik budaya, yaitu : 1. Budaya dibentuk dari konsep ideal, nilai dan asumsi tentang kehidupan yang menuntun perilaku orang. Dengan demikian, budaya memberikan pemahaman mengenai arah tingkah laku ideal yang diharapkan dilakukan oleh semua orang yang ada dalam lingkup budaya tersebut, agar terjadi penerimaan dan pemahaman sosial. Individu yang memiliki perilaku tidak sesuai dengan nilai-nilai budaya yang dianut akan dianggap sebagai individu yang berperilaku menyimpang, dan tidak diterima secara sosial. 2. Budaya terdiri dari aspek-aspek lingkungan yang dibuat orang. Aspek-aspek tersebut menyangkut hal-hal yang bersifat immateri, misalnya nilai-nilai, adat istiadat dan sebagainya, maupun hal-hal yang bersifat materi, misalnya bentuk dan aksesoris pakaian, bangunan, dan perwujudan-perwujudan lainnya. 3. Budaya diteruskan dari generasi ke generasi. Tanggung jawab atas penerusan tersebut berada di bahu orang tua, guru dan pemimpin masyarakat. Dengan demikian, terjadi proses transfer budaya dari generasi ke generasi yang merupakan salah satu upaya untuk melestarikan budaya. 4. Pengaruh budaya terlihat dalam benturan yang terjadi ketika terdapat interaksi budaya, misalnya antara orang-orang dari latar belakang budaya yang berbeda dan tinggal dalam satu lokasi. Benturan-benturan ini pada akhirnya dapat bernilai positif, yaitu apabila kemudian terjadi asimilasi, ataupun bahwa bernilai negatif, yaitu ketika terjadi penolakan yang berkepanjangan. Di sinilah pentingnya pandangan multikulturalisme ditanamkan dan dikuatkan sejak usia dini, sehingga dampak negatif dapat diminimalisir. 5. Walaupun ada kompromi, nilai-nilai budaya masih bertahan, terutama nilai-nilai yang sudah sangat mengakar, misalnya tradisi yang berlaku turun-temurun. Biasanya, nilai-nilai budaya 8
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
yang sudah mengakar ini tetap dibawa sekalipun individu yang bersangkutan pindah ke daerah lain. 6. Ketika nilai budaya dilanggar atau ekspetasi budaya diabaikan, orang bereaksi secara emosional 7. Bukan sesuatu yang aneh bagi orang untuk menerima nilai budaya di satu saat dalam kehidupannya dan menolaknya pada saat yang lain. Sebagai contoh, remaja-remaja dan pemuda yang memberontak atau tidak mengikuti norma yang berlaku dalam keluarga mungkin akan menerima nilai dan ekspetasi budaya setelah memiliki anak sendiri. Budaya turut mempengaruhi perkembangan penyesuaian sosial anak. Penyesuaian sosial diartikan sebagai keberhasilan untuk menyesuaikan diri terhadap orang lain pada umumnya dan terhadap kelompok pada khususnya. Penyesuaian sosial yang baik, akan membantu anak untuk meraih keberhasilan pada masa dewasa (Hurlock, 1978). Kriteria penyesuaian sosial mencakup : 1. Penampilan nyata, yaitu kemampuan anak untuk menjalin hubungan dengan orang lain yang tampak dari tindakan anak. Anak yang memiliki penyesuaian sosial baik biasanya tidak merasa canggung ketika berinteraksi dengan orang lain, tampil dengan penuh percaya diri dan memiliki sikap asertif yang berkembang baik serta positif. 2. Penyesuaian diri terhadap berbagai kelompok yang berbedabeda, sehingga terjadi proses pemahaman dan penerimaan kelompok, termasuk aturan-aturan yang berlaku dalam setiap kelompok. Anak yang memiliki penyesuaian sosial baik biasanya mudah beradaptasi, karena proses asimilasi dan akomodasi berjalan seimbang. Proses akomodasi adalah kecenderungan individu untuk mengubah responsnya sesuai dengan tuntutan lingkungan, sedangkan asimilasi adalah proses dimana individu melakukan tindakan berdasarkan struktur pikirannya pada saat itu (Setiono, 2008). Keseimbangan antara akomodasi dan asimilasi sangat dipengaruhi oleh faktor internal dan eksternal anak. 3. Sikap sosial, seperti partisipasi sosial serta peran-peran sosial dalam kelompok, misalnya berbagi, menghargai, dan sebagainya. Sikap sosial tersebut menjadi dasar bagi pembentukan JPNF Edisi 10 2013
9
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
perilaku sosial (pro sosial). Sikap sosial dipengaruhi juga oleh kematangan, pengalaman, transmisi sosial dan ekuilibrasi atau proses pengaturan diri (self regulatory process). 4. Kepuasan pribadi, yang terwujud dari sikap dan tindakan anak ketika menjadi anggota atau pemimpin suatu kelompok anak. Kepuasan pribadi akan membantu membentuk konsep diri, sehingga anak yang memperoleh kepuasan pribadi biasanya bisa tampil dengan kepercayaan diri yang bak serta memiliki nilainilai kehidupan yang positif. Oleh karena itu, mengingat pentingnya peran budaya dalam penyesuaian diri anak, maka orang dewasa perlu mengembangkan kesadaran budaya. Kesadaran budaya tercermin dalam kemampuan untuk : 1. Mengenali bahwa semua siswa adalah unik. Setiap anak memiliki bakat khusus, kemampuan, gaya belajar serta cara berinteraksi dengan orang lain. Setiap orang dewasa hendaknya selalu menghargai keunikan dan perbedaan tersebut, sehingga setiap anak memiliki kesempatan yang sama untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. 2. Mengenali, menghargai dan menghormati latar belakang anak. Orang dewasa, terutama orangtua dan pendidik anak usia dini, dapat mengembangkan kunjungan rumah untuk belajar lebih banyak tentang budaya dan agama serta cara hidup keluarga anak. Dengan demikian akan dapat mengenal anak dengan lebih baik, sehingga dapat memberikan perlakuan yang adil pada anak. 3. Memasukkan budaya anak (dan juga budaya lain) ke dalam program pembelajaran, sehingga anak dapat memahami bahwa perbedaan adalah sesuatu yang wajar dan terdapat di dalam lingkungan kehidupannya, yang harus diterima dengan baik dan penuh penghargaan. 4. Menggunakan situasi yang otentik untuk pembelajaran dan pemahaman budaya, misalnya dengan melakukan kunjungan ke lingkungan masyarakat yang secara budaya sangat beragam, sehingga anak dapat mempelajari beragam budaya. 5. Menggunakan kegiatan penilaian otentik untuk menilai pembelajaran dan pertumbuhan anak secara penuh dengan memperhatikan keragaman latar belakang anak 10
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
6. Memasukkan budaya ke dalam rencana pembelajaran, sehingga anak lebih memahami budayanya sendiri dan juga budaya orang lain, guna menumbuhkan sikap penerimaan dan penghargaan. 7. Menjadi teladan dengan menerima, menghargai serta menghormati bahasa dan budaya lain, sehingga membangun dasar bagi kehidupan masyarakat yang berdampingan secara harmonis serta mampu bekerjasama dengan baik. 8. Menggunakan pengalaman anak untuk membuat dasar rencana pembelajaran dan pengembangan kegiatan, serta memperkaya ilmu, merasa bangga dan nyaman dengan budaya sendiri. Dengan demikian, perlu dikembangkan pendekatan pendidikan anak usia dini yang efektif, antara lain mencakup : 1. Menggunakan praktek-praktek pendidikan yang sesuai dengan perkembangan anak, termasuk di dalamnya memelihara gagasan setiap anak tentang konsep diri dan identitas kelompok, serta membangun program pembelajaran yang mendorong anak untuk memperdalam ikatan dengan keluarga dan masyarakat serta mengetahui dan menghargai keunikan keluarga dan masyarakat. 2. Memilih dan menggunakan materi yang tidak bias budaya, agar tumbuh rasa penghargaan terhadap budaya lain. 3. Mendukung bahasa dan komunikasi verbal anak, sehingga anak mampu mengemukakan ide, gagasan atau pikirannya dengan efektif dan santun. 4. Mendukung proses belajar atas inisiatif anak, sehingga pemahaman dan pengetahuan anak berkembang lebih baik. 5. Menandai proses belajar sebagai proses yang berkesinambungan, yang tidak terhenti pada satu titik, tetapi terus menerus, untuk membangun manusia paripurna yang siap menghadapi setiap tantangan. 6. Membimbing proses belajar dan perilaku anak sehingga memahami norma-norma sosial serta nilai-nilai yang berlaku di masyarakat. Proses pembimbingan ini disertai dengan pemberian teladan, karena anak belajar dengan cara imitasi atau meniru, dan pendidik adalah salah satu contoh atau model bagi anak. Dengan demikian, orangtua dan pendidik hendaknya menjadi model yang baik bagi anak, sehingga anak meniru model yang JPNF Edisi 10 2013
11
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
baik. 14. Mendukung hubungan yang responsif, termasuk meningkatkan interaksi anak yang nyaman dan berempati dengan orang-orang dari latar belakang berbeda, dengan mendorong kesadaran kognitif, pengaturan emosi, dan keterampilan perilaku yang diperlukan untuk menghormati perbedaan, berunding dan menyesuaikan diri dengan perbedaan secara efektif dan nyaman, serta memahami perikemanusiaan umum yang dimiliki oleh semua orang. Hubungan yang responsif sangat membantu anak dalam proses pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga dapat optimal. 15. Menciptakan dan memelihara lingkungan belajar, baik di dalam maupun di luar ruangan, sehingga anak dalam kondisi siap dan senang belajar. 16. Membentuk dan menggunakan pusat-pusat pembelajaran, sehingga anak memiliki sumber belajar yang kaya atau beragam. Hal ini memungkinkan kesempatan yang lebih luas bagi anak untuk bereksplorasi dan mempelajari banyak hal baru. 17. Menggunakan permainan sebagai dasar pembelajaran anak, karena bermain adalah dunia anak, sehingga melalui bermainlah anak belajar. Melalui bermain pula anak mengenal aturanaturan dasar dalam kehidupan bermasyarakat yang dimulai dari aturan main sederhana, misalnya untuk saling menghargai, menjaga alat permainan, rukun, berbagi dan sebagainya. 18. Menggunakan teknologi sebagai alat bantu dalam proses pembelajaran. Teknologi merupakan bagian dari kehidupan anak, yang mempengaruhi perkembangan anak. Pendidik hendaknya menggunakan teknologi untuk memperkaya pengalaman dan pengetahuan anak, serta membangun kebijaksanaan pada diri anak dalam penggunaan teknologi. Membangun kebijaksanaan artinya memberikan pemahaman kepada anak untuk mampu memilih, memilah dan menggunakan teknologi yang tepat, bermanfaat dan efesien, dalam kehidupan sehari-hari. 19. Membantu perkembangan pemikiran kritis anak tentang bias dengan mendorong anak untuk menemukan citra yang tidak adil dan tidak benar (stereotip), komentar (mengejek, menghina) dan perilaku yang ditujukan pada diri sendiri atau orang lain 12
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
(diskriminasi) dan mengembangkan empati emosional untuk mengetahui bahwa bias itu menyakitkan. 20. Melatih kemampuan anak-anak untuk bertindak secara tepat apabila berhadapan dengan bias, dengan cara membantu anak belajar dan melakukan beragam respons dalam situasi yang berbeda. Dengan demikian, empati anak diasah dengan baik, sehingga dapat hidup berdampingan secara serasi dan harmonis dengan orang lain. Apabila kemampuan ini dilatih sejak dini, maka merupakan embrio dari upaya memuwujudkan masyarakat yang damai dan santun. Aspek Status Sosial Ekonomi Status sosial ekonomi merupakan pengelompokan masyarakat berdasarkan kesamaan karakteristik pekerjaan, pendidikan dan ekonomi. Status sosial ekonomi menunjukkan ketidaksetaraan tertentu. Secara umum, anggota masyarakat memiliki karakteristik sebagai berikut. 1. Pekerjaan yang sangat bervariasi prestisenya dan beberapa individu memiliki akses yang lebih besar terhadap pekerjaan berstatus lebih tinggi apabila dibandingkan dengan orang lain. Akses ini mempengaruhi kondisi sosial ekonomi dan statusnya. Mereka yang memiliki akses lebih besar terhadap pekerjaan yang memiliki prestise biasanya berada dalam strata sosial ekonomi yang lebih tinggi. 2. Tingkat pendidikan yang berbeda, karena ada beberapa individu memiliki akses yang lebih besar terhadap pendidikan apabila dibandingkan dengan orang lain. Tingkat pendidikan biasanya mempengaruhi pola pikir dan cara pandang individu terhadap dunia dan permasalahan yang muncul, termasuk dalam memandang nilai kehidupan, anak, serta cara-cara memperlakukan orang lain. 3. Sumber daya ekonomi yang berbeda. Akses terhadap sumber daya ekonomi sangat dipengaruhi oleh akses terhadap pendidikan, pekerjaan, stakeholder terkait, keluarga dan sebagainya, sehingga terjadi ketidakmerataan dalam masyarakat. 4. Tingkat kekuasaan yang berbeda dalam mempengaruhi institusi masyarakat, dan bahkan pengambil kebijakan. Anak-anak berada pada lingkungan yang memiliki karakteristik soJPNF Edisi 10 2013
13
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
sial ekonomi berbeda-beda. Variasi tersebut mempengaruhi perkembangan anak secara umum, terutama dalam penyesuaian sosial. Perbedaan status sosial ekonomi juga tampak dalam kehidupan keluarga. Pada keluarga dengan status sosial ekonomi rendah, lebih cenderung menginginkan anak memenuhi ekspektasi masyarakat, memiliki gaya pengasuhan otoritarian, menggunakan lebih banyak hukuman fisik dalam mendisiplinkan anak, lebih banyak memberikan perintah serta kurang berdialog dengan anak. Sebaliknya, orangtua dengan status sosial ekonomi lebih tinggi cenderung lebih peduli terhadap perkembangan inisiatif anak, menciptakan suasana rumah yang penuh kesetaraan, lebih sedikit menggunakan hukuman fisik, lebih tidak memerintah anak dan lebih terbuka serta lebih sering mengajak anak berdialog (Santrock, 2007). Perbedaan sosial ekonomi juga mempengaruhi orientasi intelektual anak (Chapman, 2003 dalam Santrock, 2007). Walaupun ada variasi, satu studi menemukan bahwa anak dari keluarga dengan sosial ekonomi rendah membaca lebih sedikit dan menonton televisi – yang merupakan media visual utama – lebih banyak apabila dibandingkan dengan anak dari kalangan sosial ekonomi yang lebih tinggi (Erlick dan Starry, 1973 dalam Santrock, 2007). Pola yang terjadi di antara anak dengan sosial ekonomi rendah tidak mendorong perkembangan kemampuan intelektual, seperti membaca dan menulis, yang mendorong kesuksesan akademis. Anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah cenderung mengalami masalah kesehatan mental, misalnya depresi, kepercayaan diri yang rendah, konflik sebaya dan kenakalan remaja. Berbagai risiko yang mungkin muncul dari anak-anak yang berasal dari keluarga dengan status sosial ekonomi rendah antara lain : 1. Kekacauan keluarga, karena kurangnya komunikasi di antara anggota keluarga, sehingga terjadi hubungan yang tidak harmonis, termasuk juga kekacauan dalam ketahanan keluarga (ketahanan ekonomi, budaya, nilai dan sebagainya) 2. Perpisahan anak, karena ada anak yang diasuh oleh keluarga lain, misalnya paman/bibi, kakek/nenek, atau yang lainnya, sehingga hubungan antar anggota keluarga menjadi kurang erat. 3. Kerentanan terhadap kekerasan, termasuk kekerasan dalam rumah tangga, yang dapat menyebabkan timbulnya trauma ter14
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
tentu. 4. Kepadatan, yang terkait dengan jumlah anggota keluarga per rumah, atau jumlah orang per kamar. Kepadatan mempengaruhi kesehatan dan privasi masing-masing anggota keluarga 5. Tingkat kebisingan yang ada di rumah, yang mempengaruhi kesehatan, ketenangan dan kenyamanan ketika tinggal di rumah. 6. Kualitas tempat tinggal, yang mencakup kualitas struktural bangunan rumah, kebersihan, sumber daya bagi anak, keamanan dan kondisi iklim yang mempengaruhi kondisi dalam rumah, seperti pencahayaan, suhu, kelembaban, dan sebagainya. Berikut ini disajikan hasil penelitian Evans dan English pada tahun 2002 terhadap 287 responden yang tinggal di daerah pedesaan, New York, mengenai risiko perkembangan anak karena beberapa faktor sebagaimana disebutkan di atas. Tabel 2. Persentase dari Anak Keluarga Miskin dan Anak Berpenghasilan Menengah yang Mengalami Stresor No. Faktor Risiko (Stressor) Anak dari Keluarga Anak dari Keluarga Miskin yang Berpenghasilan Mengalami (%) Menengah yang Mengalami (%) 1. Kekacauan keluarga 45 12 2. Perpisahan anak 45 14 3. Kerentanan terhadap 73 49 kekerasan 4. Kepadatan 16 7 5. Kebisingan yang 32 21 berlebihan 6. Kualitas tempat tinggal 24 3 yang buruk
Dari tabel di atas tampak bahwa anak-anak yang berasal dari keluarga miskin mengalami berbagai faktor risiko lebih besar apabila dibandingkan dengan anak-anak dari keluarga menengah. Faktor risiko terbesar yang dialami oleh anak dari keluarga miskin adalah kerentanan terhadap kekerasan (73% anak mengalami hal tersebut), demikian juga dengan anak dari keluarga menengah (49% anak mengalami hal tersebut. Penelitian yang lain juga menyebutkan bahwa anak-anak yang JPNF Edisi 10 2013
15
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
berasal dari keluarga miskin cenderung mendapatkan sedikit dukungan sosial, orangtua yang tidak reponsif, akses yang terbatas terhadap buku, sekolah, kesehatan serta mendapatkan lingkungan yang berbahaya dan melemahkan secara fisik. Apabila anak yang berasal dari keluarga miskin terus mengalami kemiskinan, hal tersebut dapat menimbulkan efek yang merusak pada anak, terutama dalam perkembangan perilaku internal, dan juga sesungguhnya dapat mengarah pada masalah perkembangan IQ. McLoyd, 1998, menyebutkan bahwa terdapat tren dalam program antikemiskinan, yaitu melakukan intervensi dua generasi. Pertama, memberikan pelayanan yang berkualitas pada anak tetapi dengan biaya rendah atau ditanggung pemerintah, misalnya taman penitipan anak atau program pendidika pra sekolah. Kedua, memberikan pelayanan kepada orangtua, misalnya pendidikan orang dewasa, pelatihan baca-tulis dan pelatihan keterampilan kerja. Evaluasi menyimpulkan bahwa program dua generasi lebih banyak memberikan manfaat kepada orangtua apabila dibandingkan dengan kepada anak, dan apabila program tersebut dijalankan, lebih banyak memberikan manfaat terhadap perbaikan kesehatan anak dibandingkan dengan kognitif. Dengan demikian, perlu dipikirkan ulang mengenai berbagai program yang dapat memberikan efek menyeluruh terhadap anak. Aspek Pola Pengasuhan Pola pengasuhan sangat dipengaruhi persepsi orangtua tentang anak, termasuk nilai anak dalam keluarga. Di samping itu, kebutuhan dan harapan orangtua terhadap seorang anak juga turut mempengaruhi, yang pada akhirnya berpengaruh terhadap perkembangan dan pendidikan anak usia dini. Okun dan Rapport, 1980 dalam Santrock, 2007, menyebutkan bahwa kebutuhan dan harapan orangtua telah merangsang lahirnya banyak mitos pengasuhan, antara lain : 1. Kelahiran anak akan menyelamatkan perkawinan yang terancam 2. Sebagai milik atau perpanjangan orangtua, anak akan berpikir, merasa dan bertingkah laku seperti orangtua mereka pada masa kanak-kanak 3. Anak akan merawat orangtua ketika sudah tua 4. Orangtua pasti memperoleh rasa hormat dan kepatuhan dari 16
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
anak mereka 5. Mempunyai anak berarti orangtua akan selalu memiliki orang yang menghormati, menyayangi dan menjadi sahabat yang baik 6. Mempunyai anak memberi orangtua “kesempatan kedua” untuk mencapai apa yang seharusnya mereka capai 7. Jika orangtua mempelajari teknik yang tepat, mereka membentuk anak mereka sesuai dengan kemauan mereka 8. Kegagalan anak adalah kesalahan orangtua 9. Ibu secara alami adalah pengasuh yang lebih baik daripada ayah 10. Pengasuhan adalah insting dan tidak memerlukan pelatihan Pengasuhan memiliki peran yang penting dalam perkembangan anak, dan sesungguhnya, orangtua memegang peranan manajerial, terutama dalamperkembangan sosial emosional. Orangtua memegang peranan mulai dari mengelola kontak antara anak dengan lingkungan hingga melakukan pemantauan efektif dalam perkembangan anak. Pemantauan tersebut meliputi pengawasan terhadap pilihan anak tentang tempat sosial, aktivitas dan teman. Oleh karena itu, orangtua perlu memilih gaya pengasuhan yang tepat. Dalam hal pengasuhan, sebaiknya orangtua menghindari hukuman, baik fisik maupun psikis. Hukuman fisik dan psikis diyakini membahayakan perkembangan anak. Beberapa penelitian mengemukakan alasan untuk menghindari hukuman tersebut adalah : 1. Ketika orang dewasa menghukum anak dengan berteriak, menjerit atau memukul, sama artinya dengan menunjukkan kepada anak model lepas kendali ketika menghadapi situasi yang penuh dengan tekanan (Sam dan Ong, 2005). 2. Hukuman bisa menanamkan rasa takut, kemarahan, dan penghindaran. Sebagai contoh, pemukulan terhadap anak dapat menyebabkan anak menjadi takut dan menghindari orangtua, yang mengakibatkan tidak dekatnya interaksi antara anak dan orangtua 3. Hukuman memberi tahu anak hal-hal yang tidak boleh dilakukan sebagai pengganti hal-hal yang boleh dilakukan. Oleh karena itu, sebaiknya yang dilakukan adalah memberikan umpan balik mengenai hal-hal yang seharusnya dilakukan JPNF Edisi 10 2013
17
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
4. Hukuman bisa bersifat menyiksa. Ketika orangtua menghukum untuk mendisiplinkan anak mungkin tidak bermaksud menyiksa, tetapi kadang orangtua sering tidak dapat mengendalikan emosi sehingga menjadi bersifat menyiksa (Ateah, 2005; Baumrind, Larzele dan Cowan, 2002). Para profesional perkembangan anak kebanyakan merekomendasikan orangtua agar mengajak anak berpikir logis, khususnya menjelaskan akibat tindakan anak terhadap orang lain, sebagai salah satu cara untuk menangani perilaku anak yang salah. Oleh karena itu, perlu dipahami dan dihindari beberapa tipe perlakuan yang salah terhadap anak, antara lain : 1. Kekerasan fisik, yang dicirikan oleh terjadinya cedera fisik karena pemukulan, penendangan, penggigitan, atau aktivitas lain, yang mungkin terjadi akibat hukuman fisik yang melewati batas 2. Penelantaran anak, yang dicirikan oleh kegagalan dalam memenuhi kebutuhan dasar anak. Penelantaran dapat berupa fisik, pendidikan dan emosional. Penelantaran fisik meliputi penolakan, penundaan pencarian perawatan kesehatan, pengusiran anak ataupun pengawasan yang kurang memadai. Penelantaran pendidikan meliputi pembiaran kebiasaan membolos yang parah, tidak memenuhi kebutuhan akan pendidikan bagi anak yang berkebutuhan khusus, dan sebagainya. Penelantaran emosional mencakup kurangnya perhatian terhadap kebutuhan anak akan kasih sayang, penolakan anak secara psikologis 3. Kekerasan seksual, meliputi eksploitasi anak, incest, ekshibisionisme dan sebagainya. Jenis kekerasan seksual adalah yang paling jarang dilaporkan karena kerahasiaan 5. Kekerasan emosional, yang meliputi tindakan pengabaian oleh orangtua atau pengasuh, yang dapat menyebabkan masalah perilaku, kognitif atau emosional yang serius. Kekerasan terhadap anak menimbulkan gangguan dalam perkembangan, antara lain pengendalian emosi yang buruk, masalah keterikatan, masalah dalam hubungan dengan teman sebaya, kesulitan beradaptasi di sekolah atau lingkungan, serta masalah-masalah psikologis lainnya (Azar, 2002; Ciccheti dan Toth, 2005). Anak-anak yang mengalami perlakuan salah secara berkepanjangan 18
JPNF Edisi 10 2013
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
sering menunjukkan pola keterlibatan yang tidak percaya diri dalam hubungan sosial ketika dewasa, emosi negatif yang berlebihan (misalnya mudah marah atau menangis), atau mungkin juga menunjukkan emosi positif yang tidak peka (jarang tersenyum atau tertawa). Biasanya, anak-anak tersebut mengalami kegagalan dalam hubungan sosial yang baik, dan seringkali menunjukkan agresivitas terhadap teman sebaya atau bahkan menghindari interaksi dengan teman sebaya, serta terdapat kecenderungan mengalami masalah akademis. Kekerasan secara fisik ternyata juga terkait dengan sering munculnya kecemasan pada anak, masalah kepribadian, depresi, percobaan bunuh diri, gangguan perilaku dan kenakalan. Oleh karena itu, pengasuhan menjadi bagian yang sangat penting bagi perkembangan anak, baik di masa anak-anak, maupun kelak ketika remaja, dewasa dan bahkan menjadi orangtua. Pengasuhan yang tepat akan memberikan dasar perkembangan yang tepat, demikian pula dengan sebaliknya. Orangtua perlu memiliki bekal yang cukup dalam pengasuhan anak, dan hal ini tidak linier dengan kemampuan untuk melahirkan anak, sehingga butuh waktu dan proses yang memadai untuk dapat melakukan pengasuhan yang tepat. Penutup Dalam kenyataannya, terdapat berbagai aspek penting yang mempengaruhi perkembangan dan pendidikan anak usia dini. Aspek-aspek tersebut perlu diperhatikan, terutama ketika hendak mengembangkan program pengembangan pendidikan anak usia dini. Pada berbagai wilayah, aspek tersebut memberikan kontribusi yang berbeda prosentasenya, sehingga prioritas juga berbeda-beda. Karakteristik gender, sosial budaya, dan pengasuhan merupakan determinan penting ketika suatu strategi pengembangan dan pendidikan hendak diimplementasikan. Hal ini sangat mempengaruhi dukungan masyarakat dan stakeholder terkait. Dengan demikian, perlu pemetaan lebih lanjut mengenai pengaruh keseluruhan aspek tersebut pada setiap wilayah. Daftar Pustaka Arbuthnot. Faust. (1981). Teaching Moral Reasoning : Theory and Practice. Harper and Row. New York Hurlock, Elizabeth B. (1978). Perkembangan Anak, Jilid 1. Terjemahan. JPNF Edisi 10 2013
19
Puspita, Aspek-aspek Penting Perkembangan dan Pendidikan Anak Usia Dini
Penerbit Erlangga. Jakarta Jenkins, Loa, Claudia Eliason. (2008). A Practical Guide to Early Childhood Curriculum. Prentice Hall. New Jersey Johson, James E, Jaipaul L. Roopnarine. (2011). Pendidikan Anak Usia Dini dalam Berbagai Pendekatan. Terjemahan. Kencana Prenada Media Group. Jakarta Morrison, George S. (2012). Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD). Terjemahan. PT. Indeks. Jakarta Rilantono, Lily I. (2009). Menyalakan Api, Investasi Pembangunan Sumber Daya Insani. Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia. Jakarta Santrock, John W. (2007). Perkembangan Anak, Edisi Kesebelas. Terjemahan. Penerbit Erlangga. Jakarta Setiono, Kusdwiratri. (2008). Psikologi Perkembangan. Widya Padjajaran. Bandung
20
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
PEMBINAAN ANAK JALANAN DI LUAR SISTEM PERSEKOLAHAN (Studi Kasus Antusiasme Anak Jalanan Mengikuti Pembinaan di Sanggar Alang-alang Surabaya) Wiwin Yulianingsih Abstract The research is proposed to (1)having a description about nonformal education program in study location; (2)trying to understand the reasons behind street child enthusiasm with the program. The reseacrh conducted with qualitative approach case study design. Data collecting uses there ways, as mention: (1)depth interview; (2)observation; and (3)documentation study. The main data sources are streets children, especially the students of Sanggar alang-alang. The supporting data source are the director, foster mother, and the tutors. Data analysis is conducted through three ways analysis: data reduction, displaying and conclusion. From the research it has been found that: (1)street children’s enthusiasm for joining nonformal education program came from their own consciousness in order to get skill and proper education; (2)the reasons streets children join nonformal education are: (a) relevant with their needs; (b) relevant with their problems; (c) as their second family; and (d) their trust to the director, foster mother and tutor. Keywords: Street Children, Nonformal Education Pendahuluan Fenomena anak jalanan yang muncul dan makin meningkat di kota-kota besar termasuk kota kedua terbesar di Indonesia, Surabaya. Mereka mudah ditemukan di keramaian umum seperti pasar, terminal, stasiun kereta api, pelabuhan, perempatan jalan, dan tempat-tempat umum lainnya. Aktivitas mereka pun beraneka ragam. Diantara mereka ada yang bekerja sebagai pengamen jalanan, tukang semir, penjual JPNF Edisi 10 2013
21
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
barang secara asongan, pemulung, pengelap mobil dan lain sebagainya. Meskipun terkesan menjual jasa dalam mencari penghasilan, namun banyak anggota masyarakat yang prihatin dan iba, tetapi ada juga yang merasa terganggu dengan aktivitas mereka. Dunia jalanan yang keras tersebut memberikan akses terhadap pembentukan perilaku dan mental anak yang sulit diubah, karena mereka sudah terbiasa hidup di jalanan dengan bebas tanpa aturan, sehingga berdampak buruk terhadap mereka sendiri dan masyarakat. Kerawanan anak jalanan yang mengarah kepada perilaku antisosial ditandai dengan adanya perilaku menyimpang dari norma, hukum, agama dan etika. Di kota Surabaya ada sekitar 18 Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang menangani dan membina anak jalanan melalui berbagai kegiatan alternatif. Namun masih banyak anak jalanan bermunculan dan beroperasi di jalanan atau tempat-tempat umum lainnya. Kecenderungan yang biasa terjadi pada anak jalanan ketika diajak belajar adalah enggan dan malas, dengan dalih itu semua tidak produktif. Mereka lebih suka mengamen karena mudah mendapatkan uang. Permasalahan utama mendidik anak jalanan yang sering ditemui di LSM adalah: ketertarikan anak, ketertarikan seperti kita tahu adalah sebagai modal utama bagi keberlangsungan pembinaan melalui pendidikan luar sekolah, karena ketika rasa tertarik tidak ada, maka akan sulit untuk menarik mereka dalam kegiatan proses pendidikan. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Sanggar Alang-alang Surabaya. Anak jalanan sangat antusias dalam mengikuti berbagai macam program kegiatan PLS. Antusiasme mereka dapat dilihat dari: bertambahnya WB setiap tahun, hadir tepat waktu pada saat pembiaan dan selalu memperhatikan ketika tutor memulai pembelajaran, serta selalu aktif dalam kelompok belajar. Sebagian mereka memperoleh pendidikan di jalur formal. Pembinaan melalui program pendidikan luar sekolah ini dilakukan pada setiap sore dan berakhir malam hari. Anak-anakpun tidak tergesa-gesa untuk pulang dan memulai pekerjaanya mencari uang, mereka senang berada di sanggar untuk mengikuti kegiatan pendidikan luar sekolah. Berdasarkan uraian tersebut diatas, dan mengingat sampai saat ini belum ada penelitian tentang makna pembinaan bagi anak jalanan, maka peneliti sangat terdorong untuk melakukan penelitian tentang 22
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
studi kasus terhadap antusiasme anak jalanan mengikuti program PLS di Sanggar Alang-alang Surabaya. Fokus penelitian yang diungkapkan peneliti bersumber dari masalah penelitian secara umum yaitu ”Mengapa anak jalanan antusias mengikuti pembinaan melalui program pendidikan luar sekolah di Sanggar Alang-alang Surabaya”. Landasan Teori Pengertian tentang anak jalanan sampai sekarang belum mempunyai keseragaman. Banyak istilah atau sebutan yang ditujukan kepada mereka seperti: anak pasar, anak tukang semir, anak lampu merah, peminta-minta, anak gelandangan, anak pengamen, dan sebagainya (Kartika, 1997). UNICEF mendefiniskan pengertian anak jalanan sebagai berikut: “Streets children are those who have abondoned their home, schools, and immediate communities before they are sixteen years of age, and have drifted into anomadic treet life (Ayubi, 1995). Menurut Direktorat Bina Sosial Depsos, yang termasuk anak jalanan adalah “Anak yang berkeliaran di jalan raya sambil bekerja, mengemis, atau menganggur saja. Usianya bisa berkisar dari bayi (dibawa orang tua mengemis) sampai usia remaja. Tidak semua anak yang terlantar, meskipun sebagian besar anak yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap, dan orang tuanya tidak ada (hasil penelitian Jurusan Psikologi UI, 1989). Dari hasil penelitian YKAI dan Childhope, Philipina (1990), menyimpulkan bahwa anak jalanan di bagi ke dalam dua kategori berdasarkan penggunaan waktu dan kegiatan yang mereka lakukan yaitu: 1. Anak yang bekerja di jalanan (Children on The Streets) Anak dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya untuk bekerja dan penghasilannya digunakan untuk membantu kehidupan keluarga. Sebagian besar anak yang masuk dalam kategori ini masih berhubungan dengan orang tuanya karena sebagian besar diantara mereka masih tinggal bersama orang tuanya. 2. Anak yang hidup di jalanan (Children of The Streets) Anak-anak dalam kategori ini menghabiskan sebagian besar waktunya di jalanan atau di tempat-tempat umum lainnya, tetapi sedikit waktunya yang digunakan untuk bekerja. MerJPNF Edisi 10 2013
23
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
eka jarang berhubungan dengan keluarganya dan mempunyai kecenderungan untuk melakukan tindak kriminal serta penggunaan obat. Beberapa orang diantara mereka tidak memiliki rumah tinggal (homeless), mereka hidup disembarang tempat. Anak-anak yang termasuk dalam kelompok children on the street ada hubungannya dengan kemiskinan orang tuanya. Irwanto (1998) menyatakan bahwa anak jalanan perlu diberdayakan melalui pendidikan agar mereka: (1) merasa bahwa dirinya adalah sebagaimana halnya anak lain, (2) melakukan berbagai hal yang konstruktif yang oleh masyarakat dianggap tak dapat mereka lakukan, dan (3) mengkombinasikan inisiatif yang telah mereka miliki dengan berbagai perasaan negatif (misalnya, kemarahan dan kekecewaan). Keluarga adalah wahana pertama dan utama dalam pembangunan bangsa. Karenanya orangtua bertanggung jawab melaksanakan fungsi keluarga agar tiap anggotanya menjadi sumber daya manusia yang tangguh, maju, mandiri, dan berkualitas. Anak merupakan asset dan potensi. Karenanya orangtua perlu menyiapkan, membina dan memenuhi kebutuhan fisik, mental spiritual agar mereka menjadi generasi pembangunan sumberdaya manusia yang berkualitas. (Kantor Menneg Kependudukan/BKKBN, 1995:iii). Partisipasi Anak Jalanan Terhadap Pembinaan Melalui Program Pendidikan Luar Sekolah dengan Pendekatan Andragogi. Partisipasi mengandung arti “ikut serta” (Sukamto, 1983), sedangkan menurut Syam (1986) partisipasi adalah penyertaan mental dan energi seseorang menyumbangkan daya pikir dan perasaan bagi terciptanya tujuan, serta bertanggung jawab terhadap tujuan tersebut. Kemudian pengertian senada dengan itu seperti dikemukakan oleh Sastropoetro (1985), partisipasi adalah keterlibatan mental dan emosi dari seseorang pada situasi kelompok dalam usaha mencapai tujuan, serta bertanggung jawab terhadap tujuan yang bersangkutan. Menurut Sudjana (2000), partisipasi warga belajar terhadap kegiatan proses pembelajaran juga dipengaruhi oleh strategi pembelajaran yang digunakan dan dikembangkan di dalam program pendidikan luar sekolah. Suatu program pendidikan luar sekolah yang menggunakan strategi pembelajaran partisipatif mempertimbangkan prinsip-prinsip 24
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
sebagai berikut: 1. Berdasarkan Kebutuhan Belajar (Learning Needs Based) Kebutuhan belajar adalah setiap keinginan atau kehendak yang dirasakan dan dinyatakan oleh seseorang, masyarakat atau organisasi untuk memperoleh pengetahuan, keterampilan, nilai, dan atau sikap tertentu melalui kegiatan pembelajaran. Sumber informasi tentang kebutuhan belajar adalah peserta didik atau calon peserta didik, masyarakat dan atau organisasi. Pentingnya kebutuhan belajar didasarkan atas asumsi bahwa peserta didik akan belajar secara efektif apabila semua komponen program pembelajaran dapat membantu peserta didik untuk memenuhi kebutuhan belajarnya. 2. Berorientasi Pada Tujuan Kegiatan Pembelajaran (Learning Goals and Objectives Oriented) Kegiatan pembelajaran partisipasi direncanakan dan dilaksanakan untuk mencapai tujuan belajar yang telah ditetapkan sebelumnya. Dalam perencanaan, tujuan belajar disusun dan dirumuskan berdasarkan kebutuhan belajar. Tujuan belajar itupun dengan mempertimbangkan latar belakang pengalaman peserta didik, potensi yang dimilikinya, sumber-sumber yang tersedia pada lingkungan kehidupan mereka, serta kemungkinan hambatan dalam kegiatan pembelajaran. Oleh karena itu kebutuhan belajar, potensi, dan sumber-sumber serta kemungkinan hambatan perlu diidentifikasi terlebih dahulu supaya tujuan belajar bisa dirumuskan secara tepat dan proses kegiatan pembelajaran parfisipatif dapat dirancang dan dilaksanakan dengan efektif. 3. Berpusat Pada Peserta Didik (Participant Centered) Kegiatan pembelajaran yang dilakukan berdasarkan atas dan disesuaikan dengan latar belakang kehidupan peserta didik. Latar belakang tersebut perlu menjadi perhatian utama dan dijadikan dasar dalam menyusun rencana keglatan pembelajaran partisipatif. Peserta didik diikutsertakan pula dalam kegiatan identifikasi kebutuhan belajar, sumber-sumber, serta kemungkinan hambatan serta dalam kegiatan merumuskan tujuan belajar. Para peserta didik dlikutsertakan dan memegang peranan penting dalam perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi kegiaJPNF Edisi 10 2013
25
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
tan belajar. Dengan berpusat pada peserta didik, mengandung makna bahwa peserta didik lebih banyak berperan dalam proses pembelajaran partisipatif. 4. Berangkat dari Pengalaman Belajar (Experiential Learning) Kegiatan pembelajaran disusun dan dilaksanakan dengan berangkat dari hal-hal yang telah dikuasai peserta didik atau pengalaman di dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan serta dengan cara-cara belajar (learning styles) yang biasa dilakukan peserta didik. Sistem pembelajaran partisipatif diupayakan dapat mewujudkan proses pembelajaran yang dibangun atas beberapa komponen sebagai berikut: (1) warga belajar diperankan sebagai subjek, bukan objek, (2) pembelajar atau instruktur berfungsi sebagai fasilitator dan mitra belajar dengan warga belajar, bukan pengawas dan instuktur, (3) materi pernbelajaran disusun bersama antara pembelajar dengan warga belajar, (4) metode pembelajaran berpusat pada cara belajar melalui pengalaman, (5) evaluasi pembelajaran menitikberatkan pada penalaran proses belajar dan penilaian diri, bukan sekedar hasil belajar, (6) media pembelajaran disesuaikan pada karakeristik materi, lingkungan dan kondisi warga belajar, dan (7) jadwal pembelajaran disusun secara fleksibel. Marzuki (1992) memberikan identifikasi bahwa pembelajaran partisipatif memiliki beberapa ciri sebagai berikut: (1) melibatkan warga belajar dalam menentukan, merevisi serta mengidentifikasi tujuan, (2) tutor membantu warga belajar dalam kegiatan belajar dan membantu mengatur kegiatan tersebut, (3) melibatkan warga belajar dalam mengambil keputusan, mengembangkan ide-ide dan pemikiran, menyumbangkan saran dan menerima kritik dari warga belajar, (4) mendorong kerja sama antara warga belajar dan menciptakan suasana belajar terbuka, saling mempercayai dan saling memperhatikan satu sama lain, dan (5) melibatkan warga belajar dalam penilaian. Motivasi Anak Jalanan Dalam Mengikuti Program Pendidikan Luar Sekolah Tingkah laku dan kegiatan manusia senantiasa dipengaruhi oleh motif dalam segala interaksi sosial. Motif memegang peranan penting untuk menentukan arah minat seseorang dalam merespon segala 26
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
sesuatu yang ada disekitarnya. Gerungan (1981:142) mengatakan “Motif merupakan suatu pengertian yang melingkupi semua penggerak, alasan-alasan atas dorongan-dorongan dalam diri manusia yang menyebabkan ia berbuat sesuatu”. Ini berarti bahwa motif itu adalah dorongan keinginan besar dan tenaga penggerak yang berasal dari dalam dirinya untuk melakukan sesuatu dan motif ini memberi tujuan dan arah kepada tingkah laku. Perilaku seseorang itu sebenarnya dapat dikaji sebagai saling interaksinya atau ketergantungannya beberapa unsur yang merupakan suatu lingkaran. Unsur-unsur itu secara pokok terdiri dari motivasi dan tujuan. Atau kalau menurut Fred Luthans terdiri dari tiga unsur yakni kebutuhan (need), dorongan (drive), dan tujuan (goals). Thoha (1983: 180-181). Berkaitan dengan motivasi seseorang untuk mengikuti kegiatan belajar, kadang-kadang program belajar itu kurang berkaitan dengan kebutuhan yang mereka rasakan, sehingga motif yang ada dalam diri seseorang tidak akan pernah teraktifkan menjadi motivasi, sehingga hal ini kadang-kadang menjadikan orang bersikap acuh tak acuh terhadap segala macam program belajar yang ditawarkan kepadanya. Motivasi seseorang akan muncul, dikaitkan berbagai persektif seperti, perspektif teori kebutuhan, perspektif teori harapan, keadilan dan teori motivasi hakiki. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif, yang berusaha mendeskripsikan dan mengkontruksikan makna antusiasme anak jalanan mengikuti pembinaan melalui program pendidikan luar sekolah di Sanggar Alang-alang Surabaya. Pemilihan pendekatan kualitatif dalam penelitian ini dengan mempertimbangkan pendapat Bogdan Taylor (1975:4). Prosedur penelitian kualitatif adalah prosedur penelitian yang akan menghasilkan data paparan, berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang teramati. Dari pendekatan ini maka kajian pustaka lebih dimaksudkan sebagai pemandu penafsiran dan pemahaman daripada sebagai dasar perumusan dan pengujian hipotesa. Data dikumpulkan melalui teknik observasi, wawancara dan dokumentasi. Observasi digunakan untuk melihat secara langsung peserta JPNF Edisi 10 2013
27
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
didik mengikuti program-program PLS. Wawancara digunakan untuk mengumpulkan data subjek meliputi identitas diri, tingkat pendidikan sebelum masuk di lembaga PLS dan alasan-alasan ketertarikan mengikuti program PLS. Dokumentasi digunakan untuk melengkapi data yang diperoleh melalui wawancara mendalam dan observasi, dilakukan studi dokumentasi. Dokumentasi yang dijadikan sumber data berupa daftar absensi, piala, piagam, karya seni kerajinan, hasil penelitian yang ada di Sanggar Alang-alang serta sarana yang penting untuk mendukung data. Untuk menjamin keabsahan data yang diperoleh dalam penelitian ini, pengolahan data menggunakan empat kriteria yaitu: kredibility (keterpercayaan), transferability (keteralihan), dependability (kebergantungan) dan confirmability (kepastian) Lincoln & Guba (1985, 289‑331). Pemeriksaan terhadap keabsahan data, selian digunakan untuk menyanggah apa yang dituduhkan kepada peneliti kualitatif yang mengatakan tidak ilmiah, juga merupakan sebagian unsur yang tidak terpisahkan dari tubuh pengetahuan penelitian kualitatif. Semakin cermat pemeriksaan keabsahan data dilakukan, maka hasil penelitian yang diperoleh semakin dapat dipertanggungjawabkan. Hasil dan Pembahasan Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan juga menentukan meningkatnya tingkat partisipasi warga belajar terhadap kegiatan pembelajaran. Dari tahun ke tahun jumlah warga belajar yang ikut pembinaan semakin bertambah. Teknik pembelajaran yang digunakan adalah teknik latihan keterampilan yaitu lebih banyak melakukan praktek secara langsung, yaitu pada kelompok belajar seni musik dan keterampilan menyablon, kulit telur serta menjahit. Pada kelompok bimbel, kejar paket A dan paket C adalah dengan ceramah, diskusi, dan tanya jawab, yang lebih banyak melibatkan warga belajar. Sedangkan metode pembelajaran adalah dengan metode kelompok. Dalam metode pembelajaran kelompok terjadi proses kegiatan saling membelajarkan antara warga belajar dengan melalui pertukaran pikiran dan pengalaman diantara mereka. Ada beberapa dari mereka yamg lebih menguasai keterampilan yang diberikan atau dengan kata lain lebih cepat menangkap apa yang diberikan tutor, sehingga yang lebih menguasai memberikan atau menularkan pada anak jalanan yang 28
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
lainnya. Begitu juga pada kelompok belajar seni musik, bagi mereka yang lebih menguasai lagu-lagu baru, diberikan kesempatan untuk mensosialisasikan kepada teman-temannya dan disitulah mereka belajar secara berkelompok. Tidak bagi siapa saja peserta didik jika ingin mempelajari suatu keterampilan, pihak lembaga sanggar sangat mendukung dengan diberikan fasilitas untuk kegiatan pembelajaran tersebut. Dapat disimpulkan gambaran antusiasme anak jalanan terhadap pembinaan program pendidikan luar sekolah adalah: 1. Mereka selalu datang tepat pada waktunya dimasing-masing kelompok belajar, bahkan tidak ada satu warga belajar pun yang terlambat. 2. Mereka selalu memperhatikan ketika tutor memulai pembelajaran dan aktif dalam kelompok belajar. 3. Setlap anak jalanan mengikuti lebih dari satu program PLS. 4. Mereka tidak tergesa-gesa untuk cepat selesai atau pulang, mereka sangat senang berada. di sanggar. Sedangkan pembahasan tentang partisipasi anak jalanan terhadap, pembinaan melalui program pendidikan luar sekolah, mereka tampak antusias mengikutinya, dikarenakan: 1. Adanya kesadaran dari dalam diri anak jalanan untuk memiliki pendidikan atau keterampilan guna meningkatkan kualitas hidupnya agar lebih baik. Karena dengan adanya dorongan untuk memenuhi kebutuhan memiliki pendidikan atau keterampilan tersebut maka timbul motivasi dalam diri anak jalanan untuk ikut dan aktif berpartisipasi mengikuti pembinaan. Anak jalanan memperoleh kesadaran yang tinggi bahwa dengan memiliki pendidikan atau keterampilan yang diperoleh dari pembinaan dapat diterapkan secara langsung, mereka jarang turun di jalanan untuk mencari uang, mereka dapat mengaplikasikan apa yang dipelajari sebagai mediator untuk mendapatkan uang atau penghasilan. Hal ini dapat dikatakan bahwa pembinaan tersebut sesuai dengan masalah yang dihadapi anak jalanan. 2. Anak jalanan sangat percaya sepenuhnya tentang masa depan mereka dengan mengikuti pembinaan di Sanggar Alang-alang. JPNF Edisi 10 2013
29
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
Mereka tidak menaruh rasa curiga sedikitpun terhadap pimpinan, ibu asuh dan tutor-tutor. Di LSM-LSM lain, yang biasanya terjadi adalah mereka (anak jalanan) hanya dijadikan alat untuk memperoleh keuntungan-keuntungan pribadi atau kelompok tertentu atau mungkin warga belajarnya tidak nampak antusias atau tidak ikhlas dalam mengikuti program-program pendidikan. 3. Anak jalanan merasa menemukan keluarga atau orang tua di Sanggar Alang-alang. Mereka mendapatkan kasih sayang dan perlindungan yang sebetulnya adalah fungsi dari lembaga keluarga, hal itu mereka dapat di lingkungan lembaga Sanggar Alang-alang. Sedangkan alasan di balik antusiasme anak jalanan mengikuti pembinaan melalui program pendidikan luar sekolah di Sanggar Alangalang 1. Sesuai Dengan Kebutuhan Anak Jalanan Antusiasme anak jalanan mengikuti pembinaan melalui program pendidikan luar sekolah adalah karena mereka menyadari pentingnya memiliki pendidikan dan keterampilan yang dapat digunakan untuk meningkatkan kualitas hidupnya. Mereka memilih pendidikan dan keterampilan apa saja yang cocok sesuai dengan keinginan, kebutuhan dan minatnya. Mereka bisa secara langsung mengaplikasikan apa saja yang diperoleh dari pembinaan agar tidak turun ke jalanan, dengan beraktifitas ekonomi yang lebih terhormat. Kebutuhan dimaksudkan adalah sebagai suatu potensi dalam diri individu yang harus direspon atau ditanggapi atau dipenuhi sesuai dengan sifat, intensitas dan jenisnya. Apabila kebutuhan yang dirasakan itu belum direspon maka ia berpotensi selalu muncul sampai dengan terpenuhi kebutuhan tersebut. Kebutuhan yang bertalian dengan upaya manusia untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupannya disebut kebutuhan hidup. Selain itu, anak jalanan mengikuti pembinaan program pendidikan luar sekolah dengan harapan agar mencapai masa depan yang lebih baik dan memperoleh keterampilan-keterampilan yang dapat diaplikasikan secara langsung agar tidak mencari 30
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
uang di jalanan tetapi lebih terhormat. Sebab faktor harapan akan ditempatkan pada posisi yang menentukan terhadap tinggi-rendahnya motivasi dalam sesuatu, termasuk dalam hal belajar. 2. Sesuai Dengan Masalah Yang Dihadapi Alasan lain ditemukan bahwa antusiasme anak jalanan mengikuti pembinaan program pendidikan luar sekolah dimaknai sebagai suatu hal yang sesuai dengan masalah yang dihadapinya dalam memperoleh pendidikan atau keterampilan. Dalam konteks program pembinaan melalui pendidikan luar sekolah yang dirancang oleh sanggar alang-alang adalah untuk mengangkat anak jalanan agar tidak turun ke jalanan lagi. Mereka diberikan pendidikan dan keterampilan sesuai dengan minat dan potensi yang dimiliki. Hasil dari pembinaan tersebut nantinya dapat diaplikasikan secara langsung guna meningkatkan kualitas hidupnya. Misalnya, anak jalanan binaan sanggar yang sudah lulus paket B setara SMP bisa mengikuti dan melanjutkan pada jenjang yang lebih tinggi yaitu paket C, karena sanggar sudah mendapatkan informasi pekerjaan yang mensyaratkan minimal berijazah SMA atau sederajat. Inilah yang menjadi antusiasme anak jalanan untuk mengikuti pendidikan atau keterampilan di sanggar. Begitu juga pada kelompok belajar seni musik, mereka ditawari untuk manggung di cafe semingg satu kali, untuk menghibur dan memuaskan pengunjung café, maka kelompok musik binaan sanggar harus belajar dan latihan bersama karena mereka diharuskan mampu memainkan lagulagu request (permintaan) para pengunjung. Latihan dan belajar musik sebelum pentas di cafe dibimbing oleh tutor Wuri atau pimpinan langsung yaitu pak Didit Hape. Inilah yang menjadi alasan mengapa anak-anak tetap bersemangat untuk mengikuti pembinaan di sanggar. Kenyataan di lapangan dengan aturan-aturan dan kedisiplinan yang tinggi ternyata mereka tetap antusias mengikuti pembinaan program pendidikan luar sekolah bahkan semakin lama setiap tahunnya jumlah warga belajarnyapun bertambah. Sebelum jam masuk, anggota kelompok belajar sudah banyak yang datang, bahkan tidak ada yang terlambat. Ketika jam belajar JPNF Edisi 10 2013
31
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
sudah selesai, mereka masih senang berada di sanggar. Hal ini menunjukkan bahwa masalah yang dihadapi anak Jalanan adalah sesuai dengan program-program yang diberikan oleh sanggar. Untuk membantu melihat posisi suatu masalah maka Soemardi (1987) menyatakan posisi masalah dapat dilihat dari 2 (dua) sisi. Pertama, apabila masalah itu dilihat dari sisi individu yang punya masalah, maka masalah itu adalah masalah yang dirasakan (real problems). Kedua apabila masalah itu tidak dirasakan oleh individu itu tetapi teramati oleh orang lain maka masalah itu adalah masalah yang terduga (estimate problems). Dari acuan ini maka masalah yang dihadapi oleh para anak jalanan di terminal Joyoboyo dan sekitarnya dapat dilihat dari dua sisi pula, yaitu masalah yang dirasakan oleh anak-anak jalanan yang bersangkutan, ini berarti bahwa masalah itu benar-benar dirasakan dalam kehidupannya sehingga mereka menganggap sebagai suatu hal yang penting, urgen dan mendesak untuk ditangani pemecahannya. Sedangkan pada posisi masalah yang terduga oleh orang lain, dalam hal ini adalah LSM Sanggar Alang-alang memberikan pembinaan alternatif bagi mereka. Pihak sanggar memandang dengan pertimbangan dan analisis, baik analisis konsepsional maupun analisis situasional, sehingga LSM tersebut sampai pada suatu titik kesimpulan bahwa program pembinaan anak jalanan melalui pendidikan luar sekolah adalah cocok bagi mereka. 3. Anak Jalanan Merasa Menemukan Keluarga (sebagai pengganti keluarga) Pembahasan mengenai keluarga, akan dibatasi pada keluarga batih. Menurut Soeriono Soekarnto (2004:22) keluarga batih terdiri dari suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah. Keluarga batih merupakan unit pergaulan hidup yang terkecil dalam masyarakat. Sebagai unit pergaulan hidup terkecil dalam masyarakat yang mempunyai peranan-peranan tertentu adalah sebagai berikut: a. Keluarga batih berperan sebagai pelindung bagi pribadipriabdi yang menjadi anggota, dimana ketentraman dan keterlibatan diperoleh dalam wadah tersebut. 32
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
b. Keluarga batih merupakan unit sosial-ekonomis yang secara materi memenuhi kebutuhan anggota-anggotanya. c. Keluarga batih menumbuhkan dasar-dasar bagi kaidah-kaidah pergaulan hidup. d. Keluarga batih merupakan wadah dimana manusia mengalami proses sosialisasi awal, yakni suatu proses dimana manusia mempelajari dan mematuhi kaidah-kaidah dan nilainilai yang berlaku dalam masyarakat. Dalam penyajian beberapa peranan tersebut, nyatalah betapa pentingnya keluarga batih, terutama bagi perkembangan kepribadian. Gangguan pada pertumbuhan kepribadian kehidupan keluarga batih dapat terwujud secara fisik maupun mental. Perkembangan dan pertumbuhan kepribadian seseorang terjadi pada semua orang terutarna anak-anak yang mengalami perkembangan melalui tahap-tahap perkembangan, begitu juga dengan anak-anak jalanan. Anak jalanan tidak mendapatkan peranannya secara maksimal sebagai anak di dalam keluarganya. Keluarga berperan membina anggota-anggotanya untuk beradaptasi dengan lingkungan fisik maupun lingkungan budaya dimana ia berada. Bila semua anggota sudah mampu untuk beradaptasi dengan lingkungan dimana ia tinggal maka kehidupan masyarakat akan tercipta menjadi kehidupan yang tenang, aman, dan tenteram. Oleh karena itu, fungsi pranata keluarga sangat penting artinya bagi kehidupan masyarakat secara luas, karena inti keseluruhan penyesuaian diri setiap orang akan sangat ditentukan oleh keluarga masing-masing. Fungsi utama pranata keluarga ialah menjaga agar jangan sampai para anggota keluarganya bertindak menyimpang dari norma-norma yang ada di masyarakat. Dari ketujuh fungsi keluarga, ada 2 fungsi yang ditemukan anak jalanan di sanggar yaitu fungsi perlindungan dan fungsi afeksi. Fungsi perlindungan yang diberikan oleh keluarga tidak hanya perlindungan secara fisik saja, melainkan juga secara psikis. Tidak hanya dari panas dan hujan tetapi dari suasana yang menentramkan. Sedangkan fungsi afeksi kaitannya dengan salah satu kebutuhan dasar manusia yaitu kebutuhan akan kasih sayang atau rasa dicintai. Psikiatrik berpendapat bahwa penyebab utama gangguan emosional, masalah perilaku dan bahkan kesehatan fisik adalah ketiadaan cinta, yakni tidak adanya keJPNF Edisi 10 2013
33
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
hangatan, hubungan kasih sayang dalam suatu lingkungan. Cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa kebutuhan akan persahabatan dan keintiman, tanggapan manusia yang penuh kasih sayang penting bagi manusia. Kebutuhan persahabatan sebagian dipenuhi oleh keluarga dan sebagian lagi oleh sejumlah kelompok lain. Dari kedua penjelasan tentang fungsi keluarga sebagai fungsi afeksi dan fungsi perlindungan tampak jelas bahwa fungsi-fungsi tersebut mestinya diperoleh dari lingkungan keluarga. Begitu juga yang terjadi pada anak jalanan binaan Sanggar Alang-alang. Sebagian dari mereka berasal dari keluarga yang bermasalah, salah satu dari orang tua mereka meninggal dunia, bapak atau ibunya menikah lagi sehingga anak tidak diperhatikan, atau kadang-kadang perselingkuhan yang sering terjadi pada orang tua mereka. Ini disebabkan faktor ekonomi dan tempat tinggal mereka yang sangat berdekatan bahkan berdempet-dempetan menyebabkan ada rasa ketertarikan diantara satu dengan yang lainnya. Inilah yang menyebabkan keluarga mereka tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Antusiasme anak jalanan dalam mengikuti pembinaan program pendidikan luar sekolah adalah karena mereka merasa menemukan keluarga (sebagai pengganti keluarga sebenarnya). Bila digambarkan dengan bagan adalah sebagai berikut:
Gambar .I Bagan tentang fungsi keluarga yang ditemukan anak jalanan di Sanggar Alang-alang. 34
JPNF Edisi 10 2013
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
Bagan tersebut menunjukkan bahwa anak jalanan mengikuti pembinaan melalui program pendidikan luar sekolah karena mereka merasa menemukan keluarga atau sebagai pengganti keluarga. Fungsi-fungsi keluarga yang ditemukan di Sanggar Alang-alang adalah sebagai aktualisasi diri, pengetahuan dan masa depan, memiliki penghasilan dan adanya rasa aman serta kasih sayang yang melahirkan afiliasi diantara mereka yaitu rasa pertalian atau persatuan yang tinggi, layaknya ketentraman dan kehangatan sebuah keluarga. DAFTAR PUSTAKA Apps, Jerold, W. 1979. Problems in Continuing Education. United States of Amerika: Mc. Grow Hill. Inc. Bogdan and Bikken. 1982. Qualtitative Reseach for Education an Introduction to Theory and Methods. Boston: Allyn and Bacon Inc. Boyle, Patrick, G. 1981. Planning Better Program. New York: Mc GrawHill Book Company. Faisal, Sanapiah. 1981. Pendidikan Non-Formal. Surabaya: Usaha Bersama. -------------------1990. Penelitian Kualitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang : YA3. Gagne and Briggs. 1979. Principles of Instructional Design. New York : Holt Renehart and Wisten. Joesof, Soelaiman. 1992. Konsep Dasar Pendidikan Luar Sekolah. Jakarta: Bumi Aksara. Kartika. 1997. Anak Jalanan dan Model Penanganannya. Tesis tidak diterbitkan. Jakarta: Universitas Indonesia. Kindervater, S. (1979). National Education as An Enpowering Process. Massachuseetts: Center for International Education University of Massachusetts. Knowles, Malcolm. 1980. The Modern Pratice of Adult Education. Chicago: Fpllett Publishing Company. Lincoln, Y.S. & Guba, E.G. (1995). Naturalistic Inquiry. London: Sage Publication Inc., Beverly Hills. Maslow, Abraham, H. 1970. Motivation and Personality. New York: Harper and Row Publisher. Moleong, Lexy.J. 1993. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Penerbit Remaja Rosdakarya. JPNF Edisi 10 2013
35
Yulianingsih, Pembinaan Anak Jalanan
Srinivasan, Lyra. 1977. Persepctive Non Formal Adult Learning. Functional Education for Individual, community and Natioal Development. New York: The Van Dycle Printing Company. Sudjana, H.D. 1996. Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Azas. Bandung : Falah Production. --------------- (2001). Pendidikan Luar Sekolah, Wawasan, Sejarah Perkembangan, Falsafah, Teori Pendukung, Azas. Bandung : Falah Production. Thoha, Miftah. 1983. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasinya. Jakarta : Rajawali Press. Undang-undang Republik Indonesia No.20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional
36
JPNF Edisi 10 2013
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
PENDIDIKAN KECAKAPAN HIDUP DALAM BINGKAI RUMAH USAHA SERUMPUN (RUS) Santoso Abstract According to the World Economic Forum, a non-profit organization founded by the world’s top 1000 companies based in Geneva, entrepreneurship is a very important driving force for economic and social progress of a country. In Indonesia Presidential Instruction Number 6th/2009 about the Development of Creative Economy was implemented through the National Entrepreneurship Movement on February 2nd, 2011. This is related to the results of a preliminary study of the model’s development team of BPPAUDNI Region II which has been done in eight groups of small businesses consisting of group courses built for SKB’s program alumni. The purpose of this research is to find a model that can provide an educational services to improve business performance of life skills education program graduates either through course work or a similar program. They are expected to be able for establishing and running business in a professional manner. On the basis of presentation and discussion, it can put forward some recommendations or conclusions on the implementation of life skills education, as follows:1) implementations of life skills education are not just the skills for working (vocational) but it has a broader meaning of quality assurance standards for sustainability of the program and alumni empowerment; 2) Sustainable Development can be implemented in a Rumah Usaha Serumpun; 3) Rumah Usaha Serumpun is a medium for micro businesses of alumni of the life skills program who want to gain experience in entrepreneurship, therefore it can be used as an alternative for a nonformal education program. Key words: life skills education, Rumah Usaha Serumpun (RUS). JPNF Edisi 10 2013
37
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
Latar Belakang Menurut World Economic Forum kewirausahaan merupakan penggerak yang sangat penting bagi kemajuan perekonomian dan sosial suatu negara. Pertumbuhan yang begitu cepat dari banyak perusahaan tak lepas dari adanya peran kewirausahaan yang dinilai sebagai sumber pertumbuhan inovasi, produktivitas dan peluang kerja. Oleh karena itu banyak negara secara aktif mempromosikan program kewirausahaan dalam berbagai bentuk. Pada awal tahun 2012 angka pengangguran Indonesia masih 7,7 juta jiwa atau 6,56% dari jumlah angkatan kerja sebesar 117,37 juta jiwa (BPS 2011). Sedangkan jumlah siswa putus sekolah SD/SMP/ SMA/SMK dan lulus SMA/SMK/MA tidak melanjutkan ke PT serta ditambah dengan lulusan PT pada tahun 2011 sebanyak 2,13 juta jiwa (PSP 2011). Kelompok ini dipastikan membutuhkan lapangan kerja dan akan menambah angka angkatan kerja sekaligus pengangguran baru apabila tidak memperoleh perhatian serius. Data lain menyebutkan bahwa jumlah penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita perbulan di bawah garis kemiskinan) di Indonesia pada September 2011 mencapai 29,89 juta jiwa atau 12,36% dari jumlah penduduk Indonesia. Banyak ragam program pemberdayaan ekonomi masyarakat yang sudah digulirkan oleh berbagai institusi seperti: PNPM Mandiri, Swisscontact, Klinik Usaha Mikro, Kecil dan Menegah (UMKM), dan model-model sejenis dari perguruan tinggi atau lembaga donor. Berbagai program Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan Ditjen PAUDNI yang memberikan layanan kepada masyarakat seperti: Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH), Desa Vokasi, dan pendidikan kewirausahaan masyarakat (PKM). Program menekankan bahwa output dari program tersebut adalah termandirikannya alumni untuk berwirausaha baik secara pribadi maupun kelompok. Namun demikian, kenyataannya program-program yang telah dilaksanakan belum mendapatkan hasil yang maksimal. Hal ini terutama disebabkan tidak adanya pembinaan lebih lanjut terhadap alumni program-program PKH tersebut. Di samping itu, setelah program selesai dilaksanakan, alumni sebagian besar melaksanakan kegiatan usaha secara perorangan dan tidak ada komunikasi sesama alumni untuk meningkatkan kemampuan dalam melakukan kegiatan usaha. 38
JPNF Edisi 10 2013
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
Kondisi tersebut ternyata sesuai dengan hasil studi pendahuluan tim pengembang yang dilaksanakan di delapan kelompok pelaku usaha kecil (kelompok usaha alumni program kursus binaan SKB) yang berada di kabupaten mojokerta, tuban, sumenep dan trenggalek, menunjukan bahwa permasalaan yang dihadapi oleh pelaku usaha tersebut adalah; (1) belum adanya perencanaan secara tertulis, perencanaan hanya dalam anggan-angan. (2) dalam Pelaksanaan kegiatan usaha belum melakukan kemitraan dengan pelaku usaha lainnya, baik dalam hal penjaminan mutu dan pemasaran produk. (3) Evaluasi kegiatan usaha secara umum tidak dilakukan sehingga mengalami kesulitan dalam meningkatkan usahanya. Alternatif pemecahan masalah tersebut adalah membentuk sebuah komunitas yang mampu memberikan fasilitasi kepada anggotanya. Fasilitasi yang diberikan kepada anggota terkait dengan akses permodalan, peningkatan kompetensi, dan pemasaran. Upaya tersebut sejalan dengan salah satu tugas pokok dan fungsi BP-PAUDNI menurut Permendikbud RI no. 17 tahun 2012, adalah pengembangan program PAUDNI. Berdasarkan latar belakang pemikiran diatas maka permasalahan yang muncul adalah bagaimana model yang dapat memberikan layanan pendidikan dalam meningkatkan kinerja usaha alumni program pendidikan kecakapan hidup (PKH) baik melalui kursus atau program sejenis yang telah merintis usaha sehingga mampu mengorganisir dan melaksanakan usaha secara professional. Tujuan Tujuan dari penelitan ini adalah menemukan sebuah model yang dapat memberikan layanan pendidikan dalam meningkatkan kinerja usaha alumni program pendidikan kecakapan hidup (PKH) baik melalui kursus atau program sejenis yang telah merintis usaha sehingga mampu mengorganisir dan melaksanakan usaha secara professional. Kajian Teoritis Konsep Pendidikan Kecakapan Hidup Banyak pendapat dan literatur yang mengemukakan bahwa pengertian kecakapan hidup bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas. WHO (1997) mendefinisikan bahwa kecakapan hidup sebagai keterampilan atau kemampuan JPNF Edisi 10 2013
39
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
untuk dapat beradaptasi dan berperilaku positif, yang memungkinkan seseorang mampu menghadapi berbagai tuntutan dan tantangan dalam kehidupan secara lebih efektif. Kecakapan hidup mencakup lima jenis, yaitu: (1) kecakapan mengenal diri, (2) kecakapan berpikir, (3) kecakapan sosial, (4) kecakapan akademik, dan (5) kecakapan kejuruan. Sementara itu para ahli mengemukakan bahwa (1) kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. (2) kecakapan hidup merupakan interaksi dari berbagai pengetahuan dan kecakapan sehingga seseorang mampu hidup mandiri. Pengertian kecakapan hidup tidak semata-mata memiliki kemampuan tertentu (vocational job), namun juga memiliki kemampuan dasar pendukung secara fungsional seperti: membaca, menulis, dan berhitung, merumuskan dan memecahkan masalah, mengelola sumber daya, bekerja dalam kelompok, dan menggunakan teknologi (Dikdasmen, 2002). Dari pengertian di atas, dapat diartikan bahwa pendidikan kecakapan hidup merupakan kecakapan-kecakapan yang secara praksis dapat membekali peserta didik dalam mengatasi berbagai macam persoalan hidup dan kehidupan.Kecakapan itu menyangkut aspek pengetahuan, sikap yang didalamnya termasuk fisik dan mental, serta kecakapan kejuruan yang berkaitan dengan pengembangan akhlak peserta didik sehingga mampu menghadapi tuntutan dan tantangan hidup dalam kehidupan. Pendidikan kecakapan hidup dapat dilakukan melalui kegiatan intra/ekstrakurikuler untuk mengembangkan potensi peserta didik sesuai dengan karakteristik, emosional, dan spiritual dalam prospek pengembangan diri, yang materinya menyatu pada sejumlah mata pelajaran yang ada. Penentuan isi dan bahan pelajaran kecakapan hidup dikaitkan dengan keadaan dan kebutuhan lingkungan agar peserta didik mengenal dan memiliki bekal dalam menjalankan kehidupan dikemudian hari. Isi dan bahan pelajaran tersebut menyatu dalam mata pelajaran yang terintegrasi sehingga secara struktur tidak berdiri sendiri. Menurut konsepnya, kecakapan hidup dapat dibagi menjadi dua jenis utama, yaitu: 1. Kecakapan hidup generik (generic life skill/GLS), dan 2. Kecakapan hidup spesifik (specific life skill/SLS). 40
JPNF Edisi 10 2013
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
Masing-masing jenis kecakapan itu dapat dibagi menjadi sub kecakapan. Kecakapan hidup generik terdiri atas kecakapan personal (personal skill), dan kecakapan sosial (social skill).Kecakapan personal mencakup kecakapan dalam memahami diri (self awareness skill) dan kecakapan berpikir (thinking skill). Kecakapan mengenal diri pada dasarnya merupakan penghayatan diri sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa, sebagai anggota masyarakat dan warga negara, serta menyadari dan mensyukuri kelebihan dan kekurangan yang dimiliki sekaligus sebagai modal dalam meningkatkan dirinya sebagai individu yang bermanfaat bagi lingkungannya. Kecapakan berpikir mencakup antara lain kecakapan mengenali dan menemukan informasi, mengolah, dan mengambil keputusan, serta memecahkan masalah secara kreatif. Sedangkan dalam kecakapan sosial mencakup kecakapan berkomunikasi (communication skill) dan kecakapan bekerjasama (collaboration skill). Kecakapan hidup spesifik adalah kecakapan untuk menghadapi pekerjaan atau keadaan tertentu.Kecakapan ini terdiri dari kecakapan akademik (academic skill) atau kecakapan intelektual, dan kecakapan vokasional (vocational skill).Kecakapan akademik terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan pemikiran atau kerja intelektual.Kecakapan vokasional terkait dengan bidang pekerjaan yang lebih memerlukan keterampilan motorik.Kecakapan vokasional terbagi atas kecakapan vokasional dasar (basic vocational skill) dan kecakapan vokasional khusus (occupational skill). Konsep Penyelenggaraan Rumah Usaha Serumpun Rumah Usaha Serumpun adalah rumah usaha yang mewadahi pelaku-pelaku usaha yang berafiliasi, bergabung dalam satu komunitas untuk saling menguatkan, saling membantu, saling memberikan solusi untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang muncul, mengakomodir berbagai kebutuhan usaha serta memperhatikan potensi lokal yang memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi usaha yang besar dalam satuan wilayah tertentu. Adapun penyelenggaraan Rumah Usaha Serumpun dapat digambarkan dalam bagan berikut.
JPNF Edisi 10 2013
41
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
Gambar. Bagan Penyelenggaraan Model Rumah Usaha Serumpun
Dari bagan di atas terlihat bahwa penyelenggaraan Rumah Usaha Serumpun dimulai dengan pembentukan Rumah Usaha Serumpun (RUS). Pembentukan RUS dapat dilakukan jika: 1. Ada sekumpulan pelaku usaha mikro atau perintis usaha mikro (minimal 10 orang), khususnya alumni PKH atau PKM yang diluncurkan oleh Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan, umumnya program pemberdayaan masyarakat yan g diluncurkan oleh lembaga/instansi lain atau pelaku industri rumah tangga (mikro) dan sejenisnya. 2. Ada lembaga yang memfasilitasi pembentukan RUS antara lain UPTD Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), Pusat Kegiatan Belajar Mengajar (PKBM), Lembaga Kursus dan Pelatihan (LKP), lembaga swadaya masyarakat (LSM), perusahaan atau instansi yang memberikan Corporate Social Responbility (CSR), dan lembaga lain yang bergerak di upaya peningkatan ekonomi serta pemberdayaan masyarakat. 3. Ada dukungan dari tokoh masyarakat setempat yang dapat berasal dari pejabat kelurahan/desa atau warga masyarakat yang menjadi panutan. 42
JPNF Edisi 10 2013
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
4. Ada pendamping yang siap melakukan pendampingan terhadap RUS dalam melakukan perencanaan, pemberian layanan kepada anggota, dan pembuatan laporan. Pendamping dapat berasal dari Bussines development Services (BDS) (lebih diutamakan), klinik UKM atau dinas koperasi dan UKM, SKB, atau lembaga lain yang memiliki pengalaman dalam memberikan pendampingan terhadap pelaku usaha mikro. Beberapa hal yang menyertai pembentukan RUS adalah aturan/ tata tertib, legalitas lembaga, struktur organisasi beserta papan nama, dan administrasi. Tata tertib merupakan aturan-aturan yang ditetapkan oleh anggota dan pengelola secara bersama-sama yang mengikat seluruh anggota. Legalitas menyangkut SK pendirian dari lembaga yang memberikan fasilitasi pembentukan RUS, keterangan domisili (harus dimiliki), Akta Notaris dan ijin operasional dari dinas pendidikan kabupaten/ kota. Untuk memperkuat organisasi yang dibentuk sebaiknya juga melibatkan asosiasi pengusaha yang terkait dengan usaha yang dijalankan oleh anggota RUS. Selain itu pelibatan champion dalam bidang usaha tertentu juga dianjurkan. Setelah RUS dan kelengkapan organisasinya terbentuk maka selanjutnya adalah operasionalisasi RUS. Operasionalisasi kegiatan RUS terdiri dari perencanaan kegiatan dan pemberian layanan RUS. Perencanaan kegiatan oleh pengelola RUS harus melibatkan seluruh anggota dan didampingi oleh pendamping. Pelibatan anggota dalam perencanaan ini untuk menjamin bahwa kegiatan yang diberikan oleh pengelola dalam bentuk layanan kepada anggota benar-benar merupakan kebutuhan anggota. Pemberi an layanan kepada anggota RUS mencakup layanan: 1. Showroom 2. Layanan Informasi 3. Layanan Akses Pemasaran (produk, promosi, legalitas) 4. Layanan Konsultasi dan advokasi/ Klinik Usaha 5. Pelatihan (produk, IT, manajerial, Enterpreneur) 6. Perpustakaan 7. Magang atau studi banding
JPNF Edisi 10 2013
43
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
Metode Penelitian dan Pengembangan Program Penelitian ini mengunakan pendekatan penelitian pengembangan (Research and development /R&D). Metode ini digunakan untuk menghasilkan produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut. Untuk dapat menghasilkan produk tertentu digunakan penelitian yang bersifat analisis kebutuhan dan untuk menguji keefektifan produk tersebut supaya dapat berfungsi di masyarakat luas, maka diperlukan penelitian untuk menguji produk tersebut.Jadi penelitian pengembangan bersifat longitudinal. Sesuai dengan namanya, Research & Developmnet dipahami sebagai kegiatan penelitian yang dimulai dengan research dan diteruskan dengan development. Kegiatan research dilakukan untuk mendapatkan informasi tentang kebutuhan pengguna (needs assessment), sedangkan kegiatan development dilakukan untuk menghasilkan perangkat pembelajaran. Pemahaman ini tidak terlalu tepat. Kegiatan research tidak hanya dilakukan pada tahap needs assesment, tapi juga pada proses pengembangan produk, yang memerlukan kegiatan pengumpulan data dan analisis data, yaitu pada tahap proses validasi ahli dan pada tahap validasi empiris atau uji-coba. Sedangkan namadevelopment mengacu pada produk yang dihasilkan dalam proyek penelitian. Karakteristik langkah pokok R&D yang membedakannya dengan pendekatan penelitian lain, berikut adalah ciri utama R&D: 1. Studying research findings pertinent to the product to be developed. (melakukan studi atau penelitian awal untuk mencari temuan-temuan penelaitian terkait dengan produk yang akan dikembangkan). 2. Developing the product base on this findings. (mengembangkan produk berdasarkan temuan penelitian tersebut). 3. Field testing it in the setting where it will be used eventually. (dilakukannya uji lapangan dalam seting atau situasi senyatanya dimana produk tersebut nantinya digunakan). 4. Revising it to correct the deficiencies found in the field-testing stage. (melakukan revisi untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang ditemukan dalam tahap-tahap uji lapangan). Sesuai dengan metode penelitian ini, maka dalam pengembangan program pendidikan kecakapan hidup (PKH) ini didasarkan pada hasil 44
JPNF Edisi 10 2013
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
explorasi, pengembangan desain model pengembangan, implementasi hasil model, perbaikan dan desiminasi hasil produk. Pembahasan Layanan Program Pendidikan Kecakapan Hidup (PKH) Sebagaimana konsep pendidikan kecakapan hidup (PKH) menurut Barrie Hopson dan Scally (1981) mengemukakan bahwa kecakapan hidup merupakan pengembangan diri untuk bertahan hidup, tumbuh, dan berkembang, memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dan berhubungan baik secara individu, kelompok maupun melalui sistem dalam menghadapi situasi tertentu. Dari definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup akan melahirkan alumni yang mandiri dan memiliki kepribadian yang tangguh dalam menghadapi situasi apapun yang akan terjadi. Akan tetapi fakta kehidupan dalam penyelenggaraan program-program PKH masih belum dapat menghasilkan seperti apa yang dikonsepkan oleh Barrie Hopson dan Scally. Oleh karena itu diperlukan suatu formulasi dan evaluasi yang tepat untuk menjawab permasalah tersebut.Apakah pelaksanaan program pendidikan kecakapan hidup sudah sesuai?atau diperlukan sebuah lanyanan pendidikan bagi alumni program PKH secara terpisah sebagai bentuk pendampingan program. Rumah Usaha Serumpun (RUS) Secara konseptual bahwa Rumah Usaha Serumpun (RUS) adalah rumah usaha yang mewadahi pelaku-pelaku usaha yang berafiliasi, bergabung dalam satu komunitas untuk saling menguatkan, saling membantu, saling memberikan solusi untuk mengatasi permasalahanpermasalahan yang muncul, mengakomodir berbagai kebutuhan usaha serta memperhatikan potensi lokal yang memiliki prospek untuk dikembangkan menjadi usaha yang besar dalam satuan wilayah tertentu. Oleh karena itu penyelenggaraan program pendidikan kecakapan hidup yang di bersentuhan langsung pada masyarakat khususnya kelompok pengangguan dan kaum termajinalkan terhadap pendidikan formal perlu dibersamaai program pendampingan atau program lanjutan untuk memberikan setimulasi keberlangsungan program PKH. Hal tersebut menurut GRI (Global Reporting Initiative) sustainable development adalah bagaimana cara memenuhi kebutuhan saat ini dengan mempertimbangkan kebutuhan dimasa yang akan datang. Sustainable JPNF Edisi 10 2013
45
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
Development adalah suatu pembangunan yang berkelanjutan.Berkaitan sustainable development dengan organisasi/kelompok usaha terletak pada programnya. Setiap organisasi/kelompok usaha pasti memiliki program tahunan. Selain itu organisasi/kelompok usaha pada dasarnya adalah wadah atau kumpulan orang-orang yang memiliki ketertarikan yang sama, sehingga program yang disusun pun hanya berkutat pada ketertarikan tersebut.Sustainable development diperlukan agar setiap organisasi yang hidup dilingkungan usaha sama-sama tumbuh, berkembang dan berkelanjutan (sustain). Diharapkan setiap organisasi/kelompok usaha dapat memiliki tingkat perkembangan dan pertumbuhan yang sama. Selain itu dengan menerapkan sustainable development pengembangan yang dilakukan oleh setiap organisasi akan semakin terarah dan menuju professional usaha. Simpulan dan Rekomendasi Berdasarkan permasalahan dan pembahasan di atas maka dapat dikemukakan simpulan dan rekomendasi, sebagai berikut: Simpulan 1. Bahwa penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup (PKH) bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas dan meiliki standar penjaminan mutu akan keberlangsungan program atau alumni yang mandiri dan berdikari. 2. Rumah Usaha Serumpun (RUS) merupakan media bagi pelaku usaha mikro dari alumni peserta program PKH atau pun bagi yang akan memasuki dunia usaha untuk memperoleh pengalaman dalam berwirausaha. 3. Melalui Rumah Usaha Serumpun para anggota akan memperoleh layanan informasi, konsultasi dan advokasi dalam rangka memecahkan masalah yang dihadapinya. Selain itu, anggota juga akan memperoleh layanan pelatihan, layanan perpustakaan, layanan akses pemasaran, layanan showroom, dan layanan magang serta studi banding. 4. Rumah Usaha Serumpun juga memberikan peluang bagi anggota untuk meningkatkan wawasannya melalui berbagai layanan RUS. 5. Rumah Usaha Serumpun merupakan media yang diharapkan mampu meningkatkan kemampuan manajerial dan keterampilan 46
JPNF Edisi 10 2013
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
memproduksi dengan kualitas yang lebih baik. Rekomendasi Atas dasar simpulan di atas maka dapat dikemukakan beberapa rekomendasi terhadap pelaksanaan pendidikan kecakapan hidup (PKH), sebagai berikut: 1. Penyelenggaraan pendidikan kecakapan hidup (PKH) bukan sekedar keterampilan untuk bekerja (vokasional) tetapi memiliki makna yang lebih luas dan meiliki standar penjaminan mutu keberlangsungan program atau alumni yang mandiri dan berdikari. Oleh karena itu perlu disediakan wadah yang dapat menjamin keberlangsungan program. 2. Sustainable Development adalah suatu pembangunan yang berkelanjutan yang dapat diimplementasikan dalam Rumah Usaha Serumpun (RUS) 3. Rumah Usaha Serumpun (RUS) merupakan media bagi pelaku usaha mikro dari alumni peserta program PKH atau pun bagi yang akan memasuki dunia usaha untuk memperoleh pengalaman dalam berwirausaha oleh karena itu RUS dapat dijadikan alternatifpenyelenggaran program PKH bagi satuan pendidikan nonformal. Daftar Pustaka Barney J B. 2001. Firm Resources and Sustained Competitive Advantage. Journalof Management. 17(1) Clelland, Douglas, Henderson. 2006. Testing resources-based and industry factors in a multilevel model of competitive advantage creation. Academy of Strategic Management Journal. Vol. 5. Danim, S. 2002. Menjadi Peneliti Kulitatif.Bandung: Pustaka Setia. Depdiknas, 2003. Undang-undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas); Beserta Penjelasannya. Jakarta: Departemen Pendidikan Nasioal. Dewi, E.M.P. 2007. Diktat Penelitian Kualitatif.Makassar: UNM. http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/02/27/14344960/ Jumlah.Wirausaha.Indonesia.Masih.Rendah Grant, Robert M. 2001. The resources-based theory of competitive advantage : implication for strategy formulation. California JPNF Edisi 10 2013
47
Santoso, Rumah Usaha Serumpun
Management Review33 (3) : pp 114-135. Kemendiknas, 2011. Pedoman Teknis Pendidikan Kewirausahaan Masyarakat (PKM). Jakarta: Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan, Ditjen PAUDNI. Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. Panduan Program Wirausaha Mahasiswa. Jakarta: Direktorat Kelembagaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. Pedoman Pengembangan Pendidikan Kewirausahaan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan kurikulum Depdikbud. Kementerian Pendidikan Nasional, 2010. Petunjuk Teknis Penyelenggaraan Program dan Bantuan Dana Sosial Pendidikan kewirausahaan Masyarakat. Jakarta: Direktorat Pembinaan Kursus dan Pelatihan, Direktorat Jenderal PAUDNI. Mappa, S dan Basleman, A .1994. Teori Belajar Orang Dewasa. Jakarta: Proyek Pembinaan dan Peningkatan Mutu Tenaga Kependidikan Direktorat Pendidikan Tinggi, Depdikbud. Maryono, Budi ,2009, A Model of Entrepreneurship of ILO worldwide through Start and Improve Your Business (SIYB) and GET Ahead programme. Semarang: Entrepreneurship Specialist ILO EAST Project. Marzuki, Saleh, 2010. Pendidikan Nonformal (Dimensi dalam Keaksaran Fungsional, Pelatihan, dan Andragogi). Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Moleong, L. . 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya. Sugiyono, 2008. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R And D.
48
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
BERMAIN, MASA PENTING PERKEMBANGAN ANAK USIA DINI Pujiarto Abstract Early childhood phase is a part of the human life, that improve their knowledge about world through playing, so they can more experiences, that is useful for their future. Playing development is influenced by child health, motoric development, child intellegence, sex, environment, sosioeconomic state, free time and playing equipments. Playing is important for child development, phisically, mentally, and socially. So that, caregiver must facillitate children to play, by provide rich environment to be explored by them. Pendahuluan Bermain merupakan faktor penting dalam perkembangan anak dan setiap aktivitas anak sarat dengan kegiatan bermain. Dengan demikian, para ahli mengatakan bahwa dunia anak adalah bermain, sehingga melalui bermain anak mengembangkan berbagai pengetahuan dan pengalaman yang berguna bagi pertumbuhan dan perkembangannya. Anak mempelajari banyak hal melalui bermain, sehingga dapat dikatakan bahwa anak belajar melalui bermain. Oleh karena itu, pandangan tradisional yang menyebutkan bahwa bermain itu tidak berguna, tidak efektif dan memboroskan waktu, adalah sesuatu yang kurang tepat. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa melalui bermain, anak mendapatkan pengalaman belajar yang berharga. Saat ini, orang dewasa telah banyak menyadari, bahwa melalui bermain, anak belajar mengenai nilai-nilai moral, penyesuaian sosial, dan berbagai kecerdasan yang lain, sehingga keluarga, pendidik dan orang dewasa lainnya, menyediakan lebih banyak kesempatan bagi anak untuk bermain dan disertai oleh ragam alat permainan yang banyak pula. Di sisi lain, bermain terkait dengan banyak hal penting, antara lain karakteristik anak, lingkungan, budaya, ketersediaan alat permainan, bahkan pandangan orangtua dan pendidik mengenai bermain. JPNF Edisi 10 2013
49
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
Oleh karena itu, pada saat ini, lingkungan yang kaya kesempatan bagi anak bermain menjadi sesuatu kebutuhan penting, sehingga pada banyak lembaga pendidikan anak usia dini, menyediakan berbagai ragam permainan beserta alat permainan. Program pendidikan ditata sedemikian rupa sehingga dapat mengedepankan pemenuhan kebutuhan anak untuk bermain. Lebih jauh lagi, para produsen alat permainan edukatif (APE) berusaha mengembangkan berbagai APE yang disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik anak, sehingga membantu anak untuk tumbuh dan berkembang secara optimal. Para pendidik juga mulai meningkatkan kapasitas diri untuk mengembangkan program bermain yang beragam dan bermakna bagi anak. Karakteristik Anak Usia Dini Masa usia dini merupakan masa yang penting dalam perkembangan manusia. Begitu pentingnya masa ini, sehingga stimulasi yang tepat perlu diberikan sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik anak. Menurut Santrock (2002), selama masa prasekolah anak-anak kecil belajar semakin mandiri (self sufficient) dan menjaga diri mereka sendiri, mengembangkan keterampilan kesiapan bersekolah (mengikuti perintah, mengindentifikasi huruf), dan meluangkan waktu berjam-jam bermain dengan teman-teman sebaya. Karakteristik inilah yang perlu dipahami, sehingga proses pengembangan diri anak berjalan secara optimal. Menurut Ediastri (dalam Gunarsa dan Yulia, 2010) masa anak prasekolah disebut juga masa kanak-kanak awal, yang terbentang antara umur 2-6 tahun. Sebagai masa kanak-kanak awal, masa ini memiliki karakteristik khusus, yang tampak dalam ciri perkembangan pada masa anak pra-sekolah, yaitu: 1. Perkembangan motorik Perkembangan motorik terjadi sejalan dengan pertambahan usia anak dan kematangan organ otak. Dengan bertambah matangnya perkembangan otak yang mengatur sistem syaraf-otot (neuromuskuler) memungkinkan anak-anak pada usia ini lebih lincah dan aktif bergerak. Peningkatan usia nampak dari perubahan dari gerakan kasar mengarah ke gerakan yang lebih halus yang memerlukan kecermatan dan kontrol otot-otot yang lebih halus serta koordinasi. 50
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
2. Perkembangan bahasa dan berpikir Bahasa merupakan alat komunikasi untuk memahami dan mengerti dunia. Perkembangan bahasa memegang peranan penting dalam penyesuaian sosial anak. Kemampuan berbahasa lisan pada anak akan berkembang karena selain terjadi karena adanya pematangan dari organ-organ bicara dan fungsi berpikir, juga karena lingkungan ikut membantu mengembangkannya. Pada usia dini, sesungguhnya anak berada pada tahap pra-operasional dan egosentris pada segi berpikir. Egosentrisme akan berkurang sejalan dengan bertambahnya usia dan ditambah dengan kefasihan berbicara, sehingga anak semakin lama semakin mampu menggunakan simbol-simbol. Kemampuan ini diperlukan karena semakin bertambah usia anak, maka mulai diperkenalkan dengan dunia baru yakni dunia pendidikan formal. Anak harus belajar menyesuaikan diri dengan peraturan dan disiplin sekolah serta program-program dalam berbagai bidang pengembangan diri yang lebih spesifik. 3. Perkembangan sosial Dunia pergaulan anak menjadi bertambah luas. Keterampilan dan penguasaan dalam bidang fisik, motorik, mental, emosi sudah lebih meningkat. Anak makin ingin untuk melakukan bermacam-macam kegiatan. Anak dihadapkan pada tuntutan sosial dan struktur emosi baru. Orangtua atau lingkungan yang memberikan cukup kebebasan dan kesempatan untuk melakukan kegiatan, akan selalu senang berdialog dan menjawab pertanyaan anak serta tidak menghambat fantasi dan kreasi dalam bermain, dalam diri anak akan berkembang inisiatif. Sebaliknya karena pada masa ini mulai juga terpupuk kata hati, maka bila ajaran moral dan disiplin ditanamkan terlalu keras dan kaku, pada anak akan timbul perasaan bersalah. Menurut Erikson terjadi krisis antara inisiatif dengan rasa bersalah, sehingga orang dewasa perlu berhati-hati dalam penerapan nilai-nilai moral pada anak. Di sinilah pentingnya untuk menggunakan langkah-langkah yang lebih tepat dan bijaksana. Menurut Hurlock (1997) ciri-ciri anak usia prasekolah meliputi fisik, motorik, intelektual dan sosial. Ciri-ciri fisik anak prasekolah yaitu otot-otot lebih kuat dan pertumbuhan tulang menjadi besar dan keras. JPNF Edisi 10 2013
51
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
Anak prasekolah mempergunakan gerak dasar seperti berlari, berjalan, memanjat dan melompat sebagai bagian dari permainan mereka. Kemampuan motorik pada anak, mereka mampu memanipulasi obyek kecil, menggunakan balok-balok dan berbagai ukuran dan bentuk. Anak mulai mempunyai rasa ingin tahu, rasa emosi, iri, dan cemburu, karena anak tidak memiliki hal-hal yang dimiliki oleh teman sebayanya. Anak mampu menjalani kontak sosial dengan orang-orang yang ada di luar rumah pada aspek sosial, sehingga anak mempunyai minat yang lebih untuk bermain dengan teman, orang-orang dewasa, saudara kandung di dalam keluarga. Tugas-Tugas Perkembangan Anak Kanak-kanak merupakan satu tahap penting dalam perkembangan manusia, dan terbagi atas beberapa tahap. Papalia dan Old (1987) (dalam Hawadi, 2001) membagi masa kanak-kanak dalam lima tahap, yaitu: 1. Masa prenatal, yaitu diawali dari masa konsepsi sampai masa lahir 2. Masa bayi dan tatih, yaitu saat usia 18 bulan pertama kehidupan merupakan masa bayi, di atas usia 18 tahun sampai dengan tiga tahun merupakan masa tatih. Saat tatih inilah, anak-anak menuju pada penguasaan bahasa dan motorik serta kemandirian. 3. Masa kanak-kanak pertama, yaitu rentang usia 3-6 tahun, masa ini dikenal juga dengan masa prasekolah. 4. Masa kanak-kanak kedua, yaitu usia 6-12 tahun, dikenal pula sebagai masa sekolah. Anak-anak telah mampu menerima pendidikan formal dan menyerap berbagai hal yang ada di lingkungannya. 5. Masa remaja, yaitu rentang usia 12-18 tahun. Saat anak mencuri identitas dirinya dan banyak menghabiskan waktunya dengan teman sebayanya serta berupaya lepas dari kungkungan orang tua. Menurut Hurlock (1980) anak prasekolah berada pada masa perkembangan awal masa kanak-kanak. Tugas-tugas perkembangan awal masa kanak-kanak menurut Havighurst (dalam Hurlock, 1980) antara lain: 1. Mempelajari keterampilan fisik yang diperlukan untuk per52
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
mainan-permainan umum 2. Membangun sikap yang sehat mengenai diri sendiri sebagai makhluk yang sedang tumbuh 3. Belajar menyesuaikan diri dengan teman-teman seusianya 4. Mulai mengembangkan peran sosial pria atau wanita yang tepat 5. Mengembangkan keterampilan-keterampilan dasar untuk membaca, menulis dan berhitung 6. Mengembangkan pengertian-pengertian yang diperlukan untuk kehidupan sehari-hari 7. Mengembangkan hati nurani, pengertian moral, dan tata dan tingkatan nilai 8. Mengembangkan sikap terhadap kelompok-kelompok sosial dan lembaga-lembaga 9. Mencapai kebebasan pribadi Berdasarkan uraian diatas, disimpulkan bahwa anak prasekolah berada pada masa perkembangan awal masa kanak-kanak yang memiliki tugas perkembangan pada keterampilan fisik, penyesuaian diri dengan teman-teman seusianya, mengembangkan peran gender yang tepat, memiliki keterampilan dasar akademik, mengembangkan pengertianpengertian dalam bermasyarakat, mengembangkan hati nurani, moral serta mencapai kebebasan pribadi. Perkembangan anak prasekolah dapat dioptimalkan, salah satunya adalah dengan bermain. Melalui bermain, anak berinteraksi dengan orang lain, melakukan eksplorasi, percobaan-percobaan, dan berusaha menemukan sesuatu yang berharga bagi perkembangan belajar anak. Dengan demikian, anak mendapatkan pemahaman, pengetahuan dan pengalaman yang bermakna untuk membangun keterampilan, sikap dan perilaku sebagai dasar bagi kehidupan anak selanjutnya. Konsep Bermain Bermain merupakan istilah yang bebas, sehingga arti utamanya mungkin hilang. Piaget dalam Hurlock, 2005, menjelaskan bahwa bermain terdiri atas tanggapan yang diulang sekedar untuk kesenangan fungsional. Menurut Bettelheim, kegiatan bermain adalah kegiatan yang tidak mempunyai peraturan lain kecuali yang ditetapkan oleh pemain sendiri dan tidak ada hasil akhir yang dimaksudkan dalam realitas JPNF Edisi 10 2013
53
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
luar. Gordon & Browne (1985) menyatakan bahwa permainan adalah suatu aktivitas yang memberikan kesenangan dan kepuasan bagi diri sendiri, lewat permainan, anak akan mengalami rasa bahagia. Perasaan suka cita membuat syaraf atau neuron di otak anak dengan cepat saling berkoneksi untuk membentuk satu memori baru. Hurlock (2005) mendefinisikan bermain (play) sebagai setiap kegiatan yang dilakukan untuk kesenangan yang ditimbulkannya, tanpa mempertimbangkan hasil akhir. Hartini, dkk (2002) menyatakan bahwa pola permainan atau alat permainan merupakan salah satu alat untuk menstimulasi pertumbuhan dan perkembangan anak. Stimulasi adalah rangsangan yang datangnya dari lingkungan di luar individu. Anak yang mendapatkan banyak stimulasi akan lebih cepat berkembang daripada anak yang kurang atau bahkan tidak mendapatkan stimulasi. Menurut Buytendijk (dalam Monks dkk., 1991) menyebutkan bahwa hakekat permainan, antara lain: 1. Permainan adalah bermain dengan sesuatu, dalam hal ini alat permainan atau tanpa menggunakan alat permainan 2. Dalam permainan, ada suatu aktivitas timbal balik atau interaksi dengan orang lain 3. Permainan berkembang, tidak statis melainkan dinamis 4. Permainan juga ditandai oleh pergantian yang tak dapat diramalkan sebelumnya 5. Dalam permainan, orang yang bermain tidak hanya bermain dengan sesuatu akan tetapi juga dengan orang yang bermain itu 6. Permainan menuntut suatu ruang untuk bermain dan aturanaturan permainan 7. Aturan-aturan permainan membatasi bidang permainannya. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa definisi bermain adalah aktivitas yang dilakukan anak, yang didalamnya terdapat interaksi antara anak dengan lingkungan, yang memberikan kesenangan sekaligus digunakan untuk menstimulasi perkembangan anak dan menghasilkan proses belajar pada anak. Bermain merupakan kegiatan yang bersifat sukarela dan spontan serta melibatkan seluruh indera anak. Bermain secara garis besar dapat dibagi ke dalam dua kategori, yaitu aktif dan pasif. Dalam bermain aktif, kesenangan timbul dari 54
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
apa yang dilakukan individu, apakah dalam bentuk kesenangan berlari atau membuat sesuatu. Dalam bermain pasif, kesenangan diperoleh dari kegiatan orang lain. Pemain menghabiskan sedikit energi. Anak yang menikmati temannya bermain, memandang orang atau hewan, menonton televisi, membaca buku, adalah bermain secara pasif dan tidak mengeluarkan banyak energi. Kegiatan bermain sangat jauh berbeda dengan kegiatan bekerja, karena bekerja merupakan kegiatan menuju suatu hasil akhir, sedangkan dalam bermain, hasil akhir kegiatan tidak penting. Di dalam bekerja, tidak harus menimbulkan kesenangan individu, melainkan lebih disebabkan oleh keinginan individu akan hasil akhir. Oleh karena itu, bermain bagi anak usia dini, lebih utama dan lebih penting dibandingkan bekerja. Fungsi Bermain Bermain bukan lagi kegiatan menghabiskan waktu yang sia-sia dan tidak bermakna. Bermain memiliki fungsi yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Menurut Mutiah (2010) fungsi bermain pada anak prasekolah antara lain: 1. Sarana mensosialisasikan diri (anak) artinya permainan digunakan sebagai sarana membawa anak dalam masyarakat, karena ketika bermain, anak berinteraksi dengan orang lain, berkomunikasi, berusaha saling memahami dan mengenal serta melaksanakan aturan main yang disepakati bersama. 2. Sarana mengukur kemampuan dan potensi diri anak. Ketika bermain, anak dapat melihat potensi diri dan juga potensi orang lain, sehingga penting bagi anak untuk mawas diri, memahami diri sendir dan membangun konsep diri yang positif. 3. Anak akan dapat menunjukkan bakat, fantasi dan kecenderungan-kecenderungannya, termasuk minatnya akan hal-hal tertentu 4. Anak menghayati berbagai kondisi emosi yang mungkin muncul seperti rasa senang, gembira, tegang, kepuasan dan rasa kecewa, sehingga bermain bermanfaat untuk mengembangkan kecerdasan sosial emosional 5. Alat pendidikan yang memberikan rasa kepuasan, kegembiraan dan kebahagiaan, sehingga anak berada dalam zona alpha yang JPNF Edisi 10 2013
55
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
selalu siap untuk belajar atau menerima informasi 6. Kesempatan pra-latihan mengenal aturan-aturan, mematuhi norma-norma dan larangan-larangan, berlaku jujur, setia (loyal) dan lain sebagainya 7. Mengembangkan otot-ototnya dan energi yang ada (sensorismotoris) 8. Meningkatkan kebugaran dan kesehatan tubuh anak Menurut Auerbach (2007) pengalaman bermain bagi anak akan membantu untuk: 1. Memperoleh pengalaman tentang dunia, karena berbagai bentuk permainan sebenarnya dapat mencerminkan miniatur kehidupan masyarakat, sehingga anak dapat belajar mengenai lingkungannya 2. Bertindak produktif dengan anak-anak dan orang dewasa lain 3. Mendapatkan dan mempertahankan perhatian orang lain dengan cara yang pantas 4. Meningkatkan kemampuan untuk berkonsentrasi, kemampuan yang penting sebelum ia mulai bersekolah di lembaga persekolahan yang formal dan terstruktur 5. Memperluas rasa ingin tahu alaminya, membantu kemampuannya dalam memecahkan masalah, dan mendorong spontanitas. Ini merupakan komponen utama penguasaan proses pembelajaran. Beberapa tokoh juga mengemukakan fungsi bermain bagi anak prasekolah, antara lain (Mutiah, 2010) : 1. Bagi Freud dan Erikson, permainan adalah suatu bentuk penyesuaian diri manusia yang sangat berguna untuk menolong anak menguasai kecemasan dan konflik. Karena tekanan-tekanan terlepaskan di dalam permainan, anak dapat mengatasi masalah masalah dalam kehidupan. Permainan dapat memungkinkan anak melepaskan energi fisik yang berlebihan dan membebaskan perasaan-perasaan terpendam. 2. Menurut Piaget, permainan sebagai suatu media yang meningkatkan perkembangan kognitif anak-anak. Permainan memungkinkan anak mempraktikkan kompetensi-kompetensi dan keterampilan-keterampilan yang diperlukan dengan cara yang santai dan menyenangkan. Bermain memberikan sumbangan 56
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
terhadap perkembangan kognisi itu sendiri selain mencerminkan sikap perkembangan kognisi anak. Menurut Piaget, bermain adalah keadaan tidak seimbang karena asimilasi lebih dominan daripada akomodasi. Imitasi juga mencerminkan keadaaan tidak seimbang karena akomodasi mendominasi asimilasi. Situasi yang tidak seimbang dengan sendirinya tidak menunjang proses belajar, atau secara intelektual tidak adaptif. 3. Vygotsky, menyatakan bahwa permainan adalah suatu setting yang sangat bagus bagi perkembangan kognitif ia tertarik khususnya pada aspek-aspek simbolis dan khayalan suatu permainan. Berdasarkan beberapa uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa fungsi bermain pada anak prasekolah yaitu untuk mendapatkan pengalaman dari lingkungan, berinteraksi dengan lingkungan, memberikan kesenangan dan proses belajar, meningkatkan rasa ingin tahu, meningkatkan kognitif anak seperti pemecahan masalah dan berpikir simbolis. Di samping itu, bermain juga memiliki satu fungsi yang sangat penting, yaitu sebagai media katarsis. Dalam kehidupan sehari-hari, anak mengalami berbagai bentuk kesulitan yang dapat menyebabkannya berada dalam tekanan (stres). Kesulitan tersebut mulai dari tingkat ringan hingga yang berat, dan berasal baik dari dalam diri anak, keluarga maupun lingkungan. Kesulitan yang berasal dari dalam diri anak antara lain pengendalian diri, keinginan, sikap, tutur kata maupun tindakan, sehingga berimbas ke dalam perlakuan orang lain terhadap anak. Kesulitan yang berasal dari dalam keluarga antara lainketidaktepatan pola asuh orangtua, orangtua yang mengalami ketidakstabilan sosial, ekonomi, fisiologis maupun psikologis, kehadiran anggota keluarga lain yang dapat mengurangi otonomi anak, dan sebagainya. Sementara itu, kesulitan yang berasal dari lingkungan masyarakat antara lain tata nilai yang tidak sesuai dengan yang ada dalam keluarga, persaingan antar teman sebaya, kurangnya penerimaan oleh teman sebaya, ketidakteraturan kondisi masyarakat, dan sebagainya. Dengan adanya berbagai kesulitan tersebut, anak memerlukan media katarsis, untuk menyeimbangkan kondisi fisik dan psikologis, sehingga dapat tumbuh dan berkembang secara optimal. Salah satu media katarsis yang dapat digunakan oleh anak adalah bermain. DenJPNF Edisi 10 2013
57
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
gan demikian, bermain memegang peranan yang sangat penting dalam membantu anak untuk melepaskan energi positif, melepaskan emosi yang terpendam, mengembangkan kreativitas dan meningkatkan intelegensi. Dengan bermain, anak mendapatkan keseimbangan dalam pengembangan aspek fisik, psikis dan sosial. Oleh karena itu, anak perlu mendapatkan kesempatan yang cukup untuk bermain, sehingga anak juga mendapatkan pengalaman dan pengetahuan baru yang luas serta mendapatkan keseimbangan guna kesehatan sosial, fisik dan mentalnya sebagaimana di uraikan di atas. Karakteristik Permainan Bermain sangat terkait dengan lingkungan dan budaya tertentu pada setiap wilayah. Oleh karena itu, setiap daerah memiliki karakteristik bermain tertentu, meskipun juga terdapat karakteristik universal. Karakteristik universal tersebut antara lain (Hurlock, 2005): 1. Bermain dipengaruhi oleh tradisi Di dalam setiap kebudayaan, terdapat tradisi permainan yang diwariskan secara turun temurun, misalnya dalam hal musim, ragam, bentuk, aturan dan alat permainan. Pada musim-musim tertentu, sebagai contoh, anak memainkan permainan yang berbeda dengan musim lainnya. Pada musim panen padi, anakanak di sebagian besar daerah pedesaan bermain batang padi. Batang padi tersebut ditiup sehingga menghasilkan suara, dan berlomba bersama teman sebaya. 2. Bermain mengikuti pola perkembangan yang dapat diramalkan Jenis permainan anak mengikuti pola perkembangan yang dapat diramalkan, sehingga bersifat universal. Misalnya, ketika bermain balok kayu, terdapat empat tahapan yang berbeda, pertama, memegang, menjelajah, membawa balok dan menumpuknya dalam bentuk tidak teratur; kedua, membangun deretan dan menara; ketiga, mengembangkan teknik untuk membangun rancangan yang lebih rumit; dan keempat mendramatisir dan menghasilkan struktur yang sebenarnya. Pola perkembangan ini sangat dipengaruhi oleh pengalaman awal anak, pengaruh media televisi serta dukungan lingkungan untuk tumbuh kembang anak. 58
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
3. Ragam kegiatan permainan menurun dengan bertambahnya usia Ragam kegiatan bermain, menurut beberapa penelitian, ternyata mengalami penurunan sesuai dengan bertambahnya usia. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain berkurangnya waktu bermain, kebosanan, semakin berkurangnya jumlah teman bermain atau teman sebaya. 4. Bermain menjadi semakin sosial dengan bertambahnya usia Usia anak yang bertambah salah satunya menyebabkan bertambahnya hubungan sosial, sehingga sifat permainan mereka juga lebih ke arah pengembangan sosial. 5. Jumlah teman bermain semakin munurun sejalan dengan bertambahnya usia Dengan bertambahnya usia, jumlah teman bermain menurun, karena anak-anak menjadi tidak mau bermain dengan siapa saja. Mereka mulai memilih teman, tidak seperti ketika mereka masih bayi atau di bawah usia 3 tahun yang bisa bermain dengan siapa saja. 6. Bermain semakin mengarah pada jenis kelamin Usia anak yang bertambah menyebabkan anak semakin menyadari bahwa ada permainan yang biasa dimainkan oleh jenis kelamin tertentu, dan mereka akan memilih yang sesuai, agar tidak mendapatkan ejekan dari teman sebaya. Hal ini terkait dengan penerimaan sosial pada budaya tertentu. 7. Permainan masa kanak-kanak berubah dari tidak formal menjadi formal Permainan pada masa kanak-kanak awal bersifat spontan dan informal. Anak-anak ini dapat bermain dengan siapa saja, kapan saja dan dengan menggunakan alat permainan apa saja, tanpa memperhatikan waktu dan tempat. Akan tetapi, semakin bertambah usia anak, maka mereka akan sangat memperhatikan ragam teman, waktu, tempat, alat dan jenis permainan. Permainan juga menjadi semakin kompleks dan melibatkan aturan main yang lebih tinggi pula. 8. Bermain secara fisik kurang aktif dengan bertambahnya usia Pada tiga tahun pertama, anak-anak cenderung menghabiskan waktu untuk bermain secara fisik, dan hanya akan beristiraJPNF Edisi 10 2013
59
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
hat ketika merasa lelah, yang itu pun hanya sebentar. Semakin bertambah usia anak, mereka semakin cenderung menarik diri dari permainan yang bersifat fisik, bahkan pada usia 10 tahun ke atas, mereka cenderung melakukan permainan yang bersifat pasif, melamun misalnya, yang hanya membutuhkan tenaga minimum. 9. Bermain dapat diramalkan dari penyesuaian anak Jenis, variasi, waktu dan teman bermain dapat menunjukkan kemampuan anak untuk melakukan penyesuaian sosial. Anak yang cenderung melakukan permainan sendiri, sementara teman sebayanya melakukan permainan bersama dengan banyak anak, menunjukkan kecenderungan anak yang suka menarik diri atau mengalami masalah dalam penyesuaian sosial. 10. Terdapat variasi yang jelas dalam permainan anak Meskipun setiap anak mengalami tahap-tahap bermain yang universal, namun ada hal-hal tertentu yang membedakan, misalnya cara bermain, alat permainan dan sebagainya (Santrock, 2007). Karakteristik bermain tersebut juga sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain : 1. Kesehatan Status kesehatan anak sangat menentukan kemauan dan kemampuan anak untuk bermain. Ketika anak dalam kondisi sakit, keinginan untuk bermain biasanya menurun. Ragam atau variasi permainan juga terbatas bagi anak yang dalam kondisi tidak sehat. Dengan demikian, semakin sehat anak, semakin memadai energi yang dimilikinya untuk bermain. Maka dari itu, penting sekali untuk menjaga kesehatan anak, agar anak dapat bermain dengan memadai. 2. Perkembangan motorik Perkembangan motorik anak mempengaruhi variasi permainan yang banyak melibatkan motorik anak, baik motorik kasar maupun halus. Semakin baik perkembangan motorik anak, maka semakin banyak ragam permainan yang bisa dilakukan oleh anak. 3. Intelegensi Tingkat intelegensi anak sangat berpengaruh terhadap jenis 60
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
4.
5.
6.
7.
dan alat permainan. Anak dengan tingkat intelegensi tinggi biasanya memiliki ragam permainan yang sedikit rumit dengan alat permainan yang juga kompleks. Jenis kelamin Jenis kelamin mempengaruhi ragam permainan, terutama pada anak usia 10 tahun ke atas yang telah memiliki kesadaran akan jenis kelamin. Biasanya, anak akan memilih variasi permainan yang banyak dilakukan oleh teman sebayanya sesuai dengan jenis kelamin tertentu, karena terkait dengan penerimaan sosial. Lingkungan Lingkungan mempengaruhi terhadap ragam dan alat permainan. Lingkungan yang kaya dengan berbagai bahan alam dan memiliki luas yang memadai bagi anak untuk bermain, akan menstimulasi anak untuk mengembangkan variasi permainan yang lebih banyak, disertai kreasi untuk mengembangkan alat permainan. Perbedaan kondisi lingkungan juga menyebabkan perbedaan dalam variasi jenis dan alat permainan. Anak-anak yang tinggal di daerah pedesaan akan lebih banyak melakukan permainan yang menggunakan bahan alam, mengasah motorik kasar – karena lingkungan masih luas dan leluasa bagi anak untuk bergerak. Bagi anak yang tinggal di daerah perkotaan, akan lebih banyak melakukan permainan dengan menggunakan alat permainan yang diproduksi oleh pabrik, cenderung kurang bergerak – karena biasanya mereka lebih banyak berada dalam ruangan, disebabkan oleh lingkungan yang cenderung kurang memadai untuk banyak beraktivitas di luar ruangan, baik karena keterbatasan luas, keamanan, maupun alasan-alasan yang lainnya. Status sosial ekonomi Ragam permainan dari berbagai strata sosial ekonomi ternyata berbeda-beda, dan ini disebabkan sebagian besar karena perbedaan jumlah dan jenis alat permainan, serta waktu bebas untuk bermain, di samping juga pemahaman orangtua mengenai manfaat bermain bagi pertumbuhan dan perkembangan anak. Jumlah waktu bebas Semakin banyak anak memiliki waktu bebas, semakin banyak JPNF Edisi 10 2013
61
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
kesempatan bagi anak untuk bermain. Pada anak usia dini, sesungguhnya waktu bebas untuk bermain masih banyak tersedia, terutama karena belum dibebani oleh tugas-tugas terstruktur dari sekolah ataupun beban tugas lainnya dari keluarga. 8. Peralatan bermain Semakin banyak peralatan bermain, semakin banyak kesempatan yang akan dimiliki oleh anak untuk berkreasi. Di samping itu, sesungguhnya, anak juga dapat berkreasi menciptakan berbagai alat permainan, sehingga diperlukan dukungan orangtua untuk pengembangan tersebut. Dengan demikian, orang dewasa hendaknya memberikan kesempatan yang lebih banyak bagi anak untuk bermain, di samping juga menyediakan lingkungan yang kondusif dan beragam sehingga dapat dieksplorasi oleh anak. Pengaruh Bermain Bagi Anak Sebagaimana diuraikan sebelumnya, bahwa bermain memiliki pengaruh yang penting bagi anak usia dini, terutama terkait dengan pertumbuhan dan perkembangan. Berbagai pengaruh tersebut diuraikan berikut ini. 1. Perkembangan fisik Bermain memiliki pengaruh terhadap perkembangan fisik, terutama untuk menguatkan otot dan tulang, sehingga membantu mengoptimalkan pertumbuhan anak. Bermain juga membantu anak untuk mengurangi ketegangan emosi, sehingga menjadi lebih sehat. Anak yang sehat pertumbuhan fisiknya lebih baik. 2. Dorongan berkomunikasi Melalui bermain, akan terjalin komunikasi antar teman, yang bisa membantu anak melakukan penyesuaian sosial. Komunikasi tersebut merupakan bentuk stimulasi untuk meningkatkan sikap prososial pada anak. Sikap prososial membantu anak untuk melakukan penyesuaian dalam berbagai kondisi lingkungan. 3. Penyaluran bagi energi emosional yang terpendam Bermain merupakan salah satu sarana bagi anak untuk mengekspresikan keinginan, ide, bahkan menyalurkan emosi yang terpendam karena tekanan lingkungan. Dengan demikian, ber62
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
main dapat menjadi salah satu media katarsis bagi anak. 4. Penyaluran bagi kebutuhan dan keinginan Banyak kebutuhan dan keinginan anak yang tidak terpenuhi dalam kehidupan nyata sehari-hari, misalnya menjadi pemimpin. Hal ini dapat dipenuhi melalui kegiatan bermain. 5. Sumber belajar Melalui bermain, anak melakukan eksplorasi, bersosialisasi, dan menemukan hal-hal baru. Dengan demikian, bermain menjadi sumber belajar bagi anak untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman baru yang berharga bagi kehidupan anak selanjutnya. Bermain memberikan ruang bagi anak untuk berkreasi, sehingga membangun berbagai kecerdasan anak. 6. Rangsangan bagi kreatitivas Melalui bermain anak dapat mengekspresikan idenya dalam bentuk kreasi-kreasi baru, yang menstimulasi kreativitas anak. Berbagai bentuk permainan dapat merangsang imajinasi anak dan membangun pengetahuan mengenai dunia luar. 7. Perkembangan wawasan diri Melalui bermain, anak berinteraksi dengan teman sebaya, sehingga dapat menjadi wadah bagi anak untuk mengembangkan konsep diri. Konsep diri terkait dengan evaluasi diri pada domain spesifik, yang merupakan persepsi diri yang tidak selalu sama dengan kenyataan. 8. Belajar bermasyarakat Melalui bermain, anak mengembangkan kemampuan untuk memahami dan menaati aturan main, yang merupakan miniatur dari aturan yang ada di masyarakat atau nilai-nilai yang berlaku umum. Di samping itu, anak juga mengembangkan kemampuan untuk menghadapi dan memecahkan masalah yang timbul. 9. Standar moral Bermain merupakan salah satu sarana bagi anak untuk memahami nilai-nilai moral melalui berbagai aturan main yang disepakati bersama. 10. Belajar bermain sesuai dengan peran jenis kelamin Anak mempelajari berbagai peran jenis kelamin melalui bermain, dan mengembangkan nilai-nilai tertentu terkait jenis JPNF Edisi 10 2013
63
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
kelamin. Di samping itu, anak juga memilih permainan sesuai dengan jenis kelaminnya agar diterima secara sosial. 11. Perkembangan ciri kepribadian yang diinginkan Melalui interaksi dengan teman sebaya pada saat bermain, anak mengembangkan berbagi nilai kepribadian, misalnya kejujuran, kerendahan hati, sportivitas, dan kerjasama. Peran Pendidik Ketika Anak Bermain Ketika anak bermain, orang dewasa hendaknya memberikan dukungan, sehingga permainan tersebut bermakna bagi anak. Orang dewasa yang memegang peranan penting di sini salah satunya adalah pendidik, karena berinteraksi langsung dengan anak. Secara lebih detail, peran pendidik antara lain : 1. Pengamat Pendidik hendaknya mengamati anak yang sedang bermain. Pengamatan oleh pendidik merupakan scaffolding atau pijakan bagi anak untuk mencapai tahap perkembangan selanjutnya. Pengamatan oleh pendidik dapat berwujud pandangan, senyuman, atau sikap tubuh lainnya yang bersifat positif. Dengan adanya pengamatan, menunjukkan bahwa pendidik memberikan perhatian kepada anak, sehingga anak memiliki motivasi untuk menampilkan yang terbaik yang dimilikinya. 2. Pencatat Pendidik dapat mencatat tahap perkembangan bermain anak, guna mengembangkan program pembelajaran yang sesuai sehingga dapat membantu mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pendidik membuat catatan secara berkesinambungan dan bermakna, sehingga dapat memberikan deskripsi untuh tentang anak, kemudian mendokumentasikan dengan baik. Pencatatan ini penting sekali, karena catatan yang dibuat merupakan salah satu masukan dalam menyusun laporan perkembangan anak. 3. Fasilitator Pendidik dapat menjadi fasilitator yang membantu anak apabila terdapat kesulitan, misalnya dalam hal mempergunakan alat main. Pendidik dapat memberikan contoh cara menggunakan alat main ataupun memberikan bimbingan sesuai dengan kebu64
JPNF Edisi 10 2013
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
tuhan anak. 4. Pemerkaya ide Pendidik dapat memperkaya ide atau gagasan anak, apabila dalam kegiatan bermain, sehingga membangun kreasi-kreasi baru. Misalnya, ketika anak sedang bermain balok dan membuat suatu bentuk bangunan tertentu, ternyata anak sudah tidak memiliki gagasan lagi untuk mengembangkan bangunan tersebut, maka pendidik dapat memperluas gagasan anak. Memperluas gagasan tersebut dapat dilakukan dengan memberikan ide-ide baru yang dapat dipahami dan dikembangkan lagi oleh anak, sehingga terwujud hasil karya yang kreatif. 5. Pemerkaya bahasa Pendidik dapat memperkaya bahasa anak ketika bermain melalui kegiatan dialog dan tanya jawab mengenai aktivitas bermain anak. Pendidik dapat melakukan tanya jawab dengan anak apabila anak menghendaki, akan tetapi, apabila anak tampak tidak ingin diganggu karena sedang asyik bermain, maka pendidik sebaiknya melakukan pengamatan dan pencatatan perkembangan anak. 6. Teman Pendidik dapat menjadi partner anak ketika bermain, sehingga kedekatan emosional dapat dibangun. Di samping itu, pendidik juga dapat menanamkan nilai-nilai kepribadian luhur melalui kegiatan bermain bersama anak. Berbagai peran di atas dapat dilakukan oleh pendidik sebagai bagian dari upaya untuk mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Dengan demikian, anak mendapatkan stimulasi yang tepat sesuai dengan usia, karakteristik dan kebutuhannya. Daftar Pustaka Hurlock, Elizabeth B. 2005. Perkembangan Anak, terjemahan. Penerbit Erlangga. Jakarta Morisson, George S. 2012. Dasar-Dasar Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), terjemahan. PT Indeks. Jakarta Santrock, John W. 2007. Perkembangan Anak. Penerbit Erlangga. Jakarta
JPNF Edisi 10 2013
65
Pujiarto, Perkembangan Anak Usia Dini
66
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
KONSELING BEHAVIORAL: UPAYA ALTERNATIF MENGATASI PERMASALAHAN PADA KELOMPOK Pernah menempuh S2 Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. BELAJAR KEAKSARAAN Dewi Khoriyah Abstract Literacy education in the development getter much attention. Government efforts to improve the quality and standard of living are marginalized in a way to alleviate literacy education through study groups seem much welcomed by the community. Organizers literacy study group should not only seek the success of students in acquiring skills calistung (reading, writing, and arithmetic) only. But more than the ability of learners to understand and solve the problems of life should be considered as well. This is in accordance with the literacy program innovationoriented community development pioneered by the Directorate of Community Education with the slogan “Literacy For Helpless (LFH)”. One way that can be done by organizing literacy in helping learners to understand and resolve the issue is through the provision of counselors. This should be supported by the availability of counselors literacy mastery of the theory and implementation of counseling. One theory / approach that can be used as an alternative to assist learners literacy problems are behavioral. Keywords: Counsellor, Counseling, Behavioral Latar Belakang Kelompok belajar keaksaraan yang telah lama menjadi perhatian pemerintah merupakan salah satu upaya pengentasaan pendidikan bagi masyarakat marginal yang relatif berada dalam kelas ekonomi menengah ke bawah.Keberadaan konselor dalam kelompok belajar keaksaraan sebenarnya sangat dibutuhkan mengingat kompleksitas permasalahan JPNF Edisi 10 2013
67
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
yang dialami peserta didik. Jika kita mengacu pada struktur organisasi penyelenggara pendidikan nonformal, program keaksaraan terdiri dari pengelola kelompok belajar, pendidik, dan tenaga administrasi (Alifuddin: 2011), maka keberadaan konselor pada kelompok belajar keaksaraan bisa kita masukkan pada unsur pendidik. Salah satu cara yang bisa dilakukan oleh konselor keaksaraan untuk membantu peserta didik mengatasi permasalahan adalah melalui konseling. Konseling merupakan suatu upaya bantuan yang dilakukan dengan empat mata atau tatap muka antara konselor dan klien yang berisi usaha yang laras, unik, human (manusiawi) yang dilakukan dalam suasana keahlian yang didasarkan atas norma-norma yang berlaku agar klien memperoleh konsep diri dan kepercayaan diri sendiri dalam memperbaiki tingkah lakunya pada saat ini dan mungkin pada masa yang akan datang (Sukardi, 2008: 22). Berdasarkan pengertian konseling diatas, bisa dipahami jika seorang konselor pada pendidikan keaksaraan hendaknya memiliki penguasaan terhadap teori konseling. Brammer, Abrego, dan Shostrom (dalam Jeanette: 2011) menyatakan bahwa teori konseling adalah sebuah struktur dari berbagai hipotesis dan generalisasi yang didasarkan pada pengalaman konseling dan studi eksperimental. Teori/pendekatan konseling pada masa dewasa ini relatif banyak. Hal ini seringkali membuat konselor menjadi kebingungan terhadap pilihan teori konseling yang tepat, mengingat bahwa masing-masing teori/pendekatan konseling mengklaim bahwa pendekatan tersebut “bisa” dan “tepat” dipergunakan untuk menyelesaikan segala permasalahan. Namun demikian, keanekaragaman teori/pendekatan konseling hendaknya bisa disikapi oleh para konselor dengan cukup bijak. Winkel & Hastuti (2007: 395) menyatakan bahwa diversifikasi dalam landasan pandangan teoritis mengharuskan konselor untuk membentuk suatu kerangka acuan berfikir sendiri, yang menjadi milik pribadi dan berfungsi sebagai pegangan dalam melaksanakan layanan konseling di lapangan. Salah satu teori/pendekatan konseling yang bisa dijadikan alternatif oleh konselor dalam membantu mengatasi permasalahan peserta didik kelompok belajar keaksaraan adalah behavioral. Pendekatan ini merupakan upaya yang dilakukan konselor untuk mendekati klien dalam rangka memberi bantuan. Sehingga pendekatan behavioral bermakna 68
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
bahwa konselor melakukan upaya pendekatan kepada klien dengan metode dan teknik-teknik, serta konsep-konsep lain yang ditawarkan dalam konseling behavioral. Pendekatan behavioral bisa menjadi alternatif pilihan mengingat selain sederhana, praktis, dan logis, pendekatan ini juga mudah dipahami dan diterapkan. Kesederhanaan, kepraktisan, kelogisan, dan kemudahan dalam pelaksanaannya membuat model behavior banyak dipergunakan untuk menangani banyak permasalahan-permasalahan perilaku. Rachman dan Wolpe (dalam Latipun: 2006) mengemukakan bahwa terapi behavioral dapat menangani banyak masalah-masalah perilaku, mulai dari kegagalan individu dalam merespon secara adaptif sampai dengan mengatasi gejala neurotik. Permasalahan Konseling yang merupakan salah satu bentuk layanan untuk membantu peserta didik keaksaraan dalam mengatasi permasalahnnya, kurang dilaksanakan secara profesional. Hal ini dikarenakan beberapa hal. Pertama; karakteristik pendidikan pada jalur nonformal berbeda dengan karakteristik pendidikan pada jalur formal. Perbedaan ini utamanya terdapat pada sistim penyelenggaraan. Pada satuan pendidikan formal kegiatan belajar mengajar di laksanakan selama 6 hari efektif, sementara pada pendidikan keaksaraan pelaksanaan kegiatan belajar berdasarkan pada program pemerintah dan waktu pelaksanaannya biasanya berdasarkan kesepakatan (kompromi) anggota kelompok belajar (1-2 kali dalam seminggu dalam kurun waktu 1-6 bulan). Selain itu pada satuan pendidikan formal penyelenggara pendidikan memiliki aturan ketat yang membuat peserta didik “dipaksa” untuk aktif dalam kegiatan belajar mengajar, sementara pada pendidikan keaksaraan hal tersebut (ketatnya aturan masuk untuk peserta didik) tidak bisa diberlakukan. Kedua; keberadaan konselor pada pendidikan keaksaraan kurang mendapat tempat. Beberapa penyelenggara kelompok belajar keaksaraan mungkin memiliki tenaga pendidik dengan kualifikasi konselor (lulusan Bimbingan Konseling atau Psikologi), tetapi di lapangan mereka seringkali hanya diberdayakan untuk memberikan pengajaran membaca, menulis, dan berhitung (Calistung). Ini bisa jadi karena penyelenggara kelompok belajar keaksaraan banyak yang hanya meneJPNF Edisi 10 2013
69
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
kankan pada penguasaan peserta didik pada kemampuan calistung, mengingat terbatasnya waktu penyelenggaraan pembelajaran. Ketiga; minimnya penguasaan teori konseling yang dimiliki konselor keaksaraaan. Penyebabnya bisa karena minimnya pengetahuan dan atau kemampuan konselor keaksaraan dalam teori konseling atau kurangnya kesempatan konselor keksaraan untuk menguji teori konseling yang dimilikinya. Keempat; masih kurangnya perhatian pemerintah dalam mengembangkan bimbingan konseling pada jalur pendidikan non-formal. Kajian Teori Pandangan Behavioral Tentang Hakikat Manusia Rimm, Cunningham, dan Seligman (dalam Gladding, 2012: 261) menyatakan bahwa para penganut behavioral mempunyai gagasan yang sama tentang sifat manusia yaitu: 1. Berkonsentrasi pada proses tingkah laku yaitu proses yang berhubungan erat dengan tingkah laku yang berlebihan (kecuali untuk penganut tingkah laku kogntif) 2. Berfokus pada tingkah laku sekarang dan kini, berlawanan dengan tingkah laku nanti dan berikutnya 3. Mengasumsikan bahwa semua tingkah laku dipelajari, baik itu adaptif maupun mal-adaptif 4. Memiliki keyakinan bahwa belajar efektif dapat mengubah tingkah laku mal-adaptif 5. Berfokus pada penetapan tujuan terapi yang tepat bersama klien 6. Menolak gagasan bahwa kepribadian manusia adalah gabungan watak. Nye (dalam Corey, 2005: 195) menyebutkan bahwa para behavioris radikal menekankan manusia sebagai dikendalikan oleh kondisi-kondisi lingkungan. Pendirian deterministik mereka yang kuat berkaitan erat dengan komitmen terhadap pencarian pola-pola tingkah laku yang dapat diamati. Mereka menjabarkan melalui rincian spesifik berbagai faktor yang dapat diamati yang mempengaruhi belajar serta membuat argumen bahwa manusia dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan eksternal. Dustin dan George (seperti yang disebut Latipun, 2006: 135) me70
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
nyatakan, dalam menjalankan fungsinya konselor Behavioral bekerja atas 4 asumsi dasar, yaitu : 1. Memandang manusia secara intrinsik bukan sebagai baik atau buruk, tetapi sebagai hasil dari pengalaman yang memiliki potensi untuk segala jenis perilaku 2. Manusia mampu untuk mengkonsepsi dan mengendalikan perilakunya 3. Manusia mampu mendapatkan perilaku baru 4. Manusia dapat mempengaruhi orang lain sebagaimana perilakunya juga dipengaruhi orang lain. Corey (2005: 196) menyatakan bahwa pandangan “behaviorisme radikal” tidak memberi tempat kepada asumsi yang menyebutkan bahwa tingkah laku manusia dipengaruhi oleh pilihan dan kebebasan. Filsafat behavioristik radikal menolak konsep tentang individu sebagai agan bebas yang membentuk nasibnya sendiri. Situasi-situasi dalam dunia obyektif masa lampau dan hari ini menentukan tingkah laku. Lingkungan adalah pembentuk utama keberadaan manusia. Tujuan Konseling Behavioral Tujuan umum dari konseling Behavioral adalah menghilangkan perilaku-perilau maladaptif dan belajar untuk membentuk perilakuperilaku baru yang lebih efektif. Konseling behavioral pada dasarnya merupakan proses penghapusan perilaku yang diperoleh dari hasil belajar yang salah dengan memberikan pengalaman-pengalaman belajar baru yang didalamnya mengandung respon-respon yang layak yang belum dipelajari. Untuk mencapai tujuan tersebut pendekatan behavioral senantiasa berorientasi pada tindakan yang menekankan perubahan pada perilaku, bukan pada perubahan sikap. Sikap konselor yang aktif dan direktif sangat dibutuhkan dalam pencapaian tujuan, diantaranya: 1. Konselor membantu tujuan yang telah di definisikan oleh klien agar menjadi tujuan yang spesifik dan kongkrit 2. Tetap berupaya untuk mengembangkan hubungan yang penuh kehangatan, keaslian, dan empati. Para ahli sepakat bahwa sekalipun dalam pendekatan behavioral hubungan pribadi bukan merupakan unsur yang menentukan bagi keberhasilan konseling tetapi hubungan pribadi tersebut harus tetap ditegakkan karena dapat mempengaruhi proses therapeutic JPNF Edisi 10 2013
71
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
3. Konselor harus aktif dan direktif, sering berfungsi sebagai guru atau pelatih dalam membantu klien, penguat, model, ahli dalam mendiagnosis perilaku maladaptif dan merancang prosedur kuratif 4. Membangun hubungan kerjasama dengan klian, sehingga klien bersedia secara aktif bereksperimen dengan perilaku baru 5. Mengarahkan klien untuk menverbalkan perasaan menjadi perilaku-perilaku kongkrit Corey (2005: 199) menyampaikan bahwa tujuan umum terapi tingkah laku adalah menciptakan kondisi-kondisi baru bagi proses belajar. Dasar alasannya adalah bahwa segenap tingkah laku adalah dipelajari (learned), termasuk tingkah laku yang maladaptif. Jika tingkah laku neurotik learned, maka ia bisa unlearned (dihapus dari ingatan), dan tingkah laku yang lebih efektif bisa diperoleh. Terapi perilaku pada hakekatnya terdiri atas penghapusan hasil belajar yang tidak adaptif dan pemberian pengalaman-pengalaman belajar yang di dalamnya terdapat responrespon yang layak, namun belum dipelajari. Dalam mencapai tujuan-tujuan tersebut di atas, menurut Corey (2005) seorang konselor ketika melaksanakan konseling hendaknya melakukan spesifikasi terhadap pernyataan yang tepat tentang tujuantujuan treatment, sebaliknya konselor harus melakukan penolakan terhadap pernyatan yang bersifat umum. Selain itu konselor harus memilih prosedur-prosedur yang paling sesuai untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Berikutnya konselor memilih teknik yang tersedia, yang diperkirakan efektif untuk mengatasi masalah klien. Karena tingkah laku yang dituju dispesifikasi dengan jelas, tujuan-tujuan treatment dirinci dan metode-metode terapeutik diterangkan, maka hasil-hasil terapi menjadi dapat dievaluasi. Ketika menetapkan tujuan konseling, konselor harus mempertimbangkan berbagai hal agar tujuan tersebut mampu berfungsi sebagai penuntun arah dari proses konseling. Krumboltz (Shertzer dan Stone, 1980) menegaskan bahwa tujuan konseling hendaknya memperhatikan kriteria sebagai berikut : (1) klien menginginkan tujuan tersebut, (2) konselor memiliki keinginan untuk membantu klien dalam mencapai tujuan tersebut, dan (3) pencapaian tujuannya dapat dinilai oleh klien. Ketiga kriteria tersebut, akan dapat dicapai apabila tujuan konseling dinyatakan dalam tindakan yang spesifik. 72
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
Teknik Konseling Dalam pendekatan behavioral teknik konseling dibagi menjadi dua, yaitu teknik tingkah laku umum dan teknik tingkah laku spesifik. Teknik tingkah laku umum adalah teknik yang dapat diterapkan dalam semua teori tingkah laku. Sedangkan teknik tingkah laku spesifik adalah metode tingkah laku yang diperhalus, dengan cara mengombinasikan teknik-teknik umum dengan cara yang tepat. Yang perlu dipahami, meskipun teknik yang ada dalam teknik tingkah laku umum bisa diterapkan dalam semua teori tingkah laku, tetapi ada teknik tertentu yang lebih cocok untuk pendekatan tertentu dan pada saat/kondisi tertentu. Berikut beberapa teknik tingkah laku umum seperti yang disampaikan oleh Gladding (2012). 1. Penguatan (reinforcement) Adalah teknik yang dimaksudkan untuk menguatkan sebuah tingkah laku. Asumsi dari reinforcement adalah bahwa tingkah laku cenderung akan di ulang apabila menyenangkan. Reinforcement yang diterapkan bisa berupa reinforcement positif atau negatif. Reinforcement positif adalah suatu kejadian atau objek yang ketika dimunculkan segera setelah suatu perilaku, menyebabkan perilaku itu bertambah sering muncul. Reinforcement negatif adalah adalah peningkatan frekuensi suatu perilaku positif karena hilangnya rangsangan yang merugikan (tidak menyenangkan). 2. Jadwal penguat Apabila klien telah mempelajari sebuah tingkah laku baru, tingkah laku tersebut harus diperkuat setiap kali hal itu terjadi. Dengan kata lain, diberi penguat yang berkelanjutan. Berikutnya ketika tingkah laku tersebut sudah terbangun dengan mantap, penguatan mulai dikurangi. Dengan kata lain, penguatan diberikan berkala. Jadwal penguatan ditentukan sesuai dengan jumlah tanggapan (rasio) atau lamanya waktu (interval), antara penguatan satu ke yang berikutnya. 3. Pembentukan Merupakan tingkah laku yang dipelajari secara bertahap melalui aproksimasi berurutan. Dengan kata lain, saat klien mempelajari kemampuan baru, konselor dapat membantu memecah tingkah laku menjadi unit-unit yang mudah dikelola. JPNF Edisi 10 2013
73
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
4. Pemeliharaan Goldiamond (dalam Gladding: 2012) mendefinisikan pemeliharaan sebagai konsistensi dalam melakukan tindakan yang diinginkan tanpa bergantung pada dukungan orang lain. Pemeliharaan ini menekankan peningkatan kontrol diri dan manajemen diri klien. Salah satu cara untuk melakukan hal ini adalah melalui pengawasan diri sendiri, saat klien belajar untuk mengubah tingkah lakunya. Hal tersebut melibatkan dua proses pemantauan diri yang saling berhubungan, yaitu observasi diri dan rekam diri. Observasi diri mengharuskan orang menyadari tingkah laku tertentu yang dia lakukan, sedangkan rekam diri berfokus pada merekam tingkah laku tersebut. 5. Pemusnahan Merupakan teknik menghapus suatu tingkah laku yang tidak dikehendaki dengan cara menarik penguat. Teknik ini berdasarkan pada sebuah asumsi bahwa hanya sedikit individu yang akan terus melakukan sesuatu yang tidak mendatangkan manfaat baginya. 6. Hukuman Teknik yang dilakukan dengan cara memberikan stimulus yang tidak diinginkan terhadap suatu situasi untuk menekan atau menghapus sebuah tingkah laku yang tidak dikehendaki. Adapun teknik tingkah laku spesifik yang disampaikan oleh Gladding adalah sebagai berikut: 1. Latihan tingkah laku Lazarus (dalam Gladding, 2012: 263) menyatakan bahwa latihan tingkah laku terdiri atas mempraktikkan tingkah laku yang diinginkan sampai tingkah laku tersebut dapat dilakukan sesuai cara yang diharapakan klien. 2. Perencanaan lingkungan Perencanaan lingkungan adalah klien membuat suatu lingkungan untuk meningkatkan atau membatasi tingkah laku tertentu. 3. Desentisisasi sistematis (systematic desensitization) Teknik desensitisasi terutama digunakaan untuk mengatasi tingkah laku yang menyimpang (maladaptif) yang disebabkan oleh kegelisahan dan reaksi-reaksi penghindaran.Teknik ini dimak74
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
sudkan untuk menggantikan perasaan cemas terhadap stimulus tertentu dengan perasaan rileks.Untuk mengajari klien menjadi rileks dalam menghadapi ketegangan konselor membantu klien untuk menyusun urutan stimulus yang mencemaskan. Secara bertahap klien diminta membayangkan stimulus dari yang paling kurang mengancam hingga yang paling mengancam. 4. Pelatihan asertif (assertif training) Teknik ini merupakan latihan yang diberikan kepada klien yang tidak mampu mempertahankan hak-haknya, terlalu lemah, mambiarkan orang lain menguasai dirinya dan tidak mampu mengekspresikan kemarahannya secara tepat. Dalam pelaksanaan teknik ini, konselor melatih keberanian klien untuk berkata atau menyatakan pikiran dan perasaan yang sesungguhnya secara tegas.Caranya dapat melalui bermain peran (role playing). 5. Kontrak kemungkinan (contingency) Menurut Corey (dalam Gladding: 2012) kontrak kemungkinan menyebutkan tingkah laku yang dilakukan, diubah, atau diakhiri; imbalan yang berhubungan dengan dicapainya tujuan tersebut, dan kondisi yang dibutuhkan untuk mendapatkan imbalan tersebut. a. Teknik implosif (implosive technique) Asumsi dari teknik ini adalah bahwa seseorang yang secara berulang-ulang dihadapkan pada suatu situasi yang menimbulkan kecemasan dan ternyata konsekuensi yang menakutkan tidak muncul, maka dengan sendirinya kecemasan akan hilang. Teknik ini dilakukan dengan cara konselor meminta klien untuk membayangkan stimulus-stimulus yang menimbulkan kecemasan. Dengan berulang-ulang membayangkan stimulus sebagai sumber kecemasan dan ternyata konsekuensi yang diharapkan tidak muncul, maka stimulus yang mengancam tersebut tidak akan berpengaruh sehingga kecemasan yang di alami klien pun menjadi hilang. b. Penghentian pikiran (thought stopping) Teknik ini digunakan bagi klien yang sangat cemas.Caranya konselor bisa meminta klien untuk menutup mata dan membayangkan dirinya, misalnya klien membayangkan dirinya bodoh, verbalisasinya adalah “saya bodoh”.Ketika JPNF Edisi 10 2013
75
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
klien sedang membayangkan dirinya menjadi sangat bodoh dan mencemaskannya, dia diminta untuk memberi tanda dengan mengangkat tangan. Pada waktu itu konselor berteriak “berhenti”. Pikiran klien yang negatif terhadap dirinya akan berganti dengan teriakan konselor. Hal demikian dilakukan berkali-kali sehingga klien sanggup menghentikan pikiran yang mengganggunya itu. Pembahasan Pemerintah Indonesia perlu lebih memberikan perhatian pada bimbingan konseling untuk lebih berkembang di jalur pendidikan nonformal. Hal ini dikarenakan meskipun pada lampiran Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 27 Tahun 2008 Tanggal 11 Juni 2008 tentang kualifikasi akademik konselor, disinggung masalah konselor pada jalur pendidikan nonformal, tetapi pada kenyataannya dalam jalur pendidikan nonformal peranan bimbingan konseling masih diberi tempat yang sangat minim sekali, kalau tidak bisa dikatakan tidak ada sama sekali. Salah satu upaya yang bisa dilakukan oleh pemerintah dalam memberikan perhatian pada bimbingan konseling di jalur pendidikan nonformal diantaranya bisa melalui pemberikan kesempatan pada UPT (Unit Pelaksana Teknik) Pusat untuk mengembangkan model-model layanan bimbingan konseling. Tersedianya tenaga konselor yang memiliki kualifikasi dan kompetensi dalam pelaksanaan layanan bimbingan konseling pada pendidikan keaksaraan hendaknya menjadi perhatian para penyelenggara program keaksaraan. Ketersediaan ini tentu saja harus diimbangi dengan penempatan konselor sesuai dengan tupoksi-nya yaitu memberikan pelayanan dalam bimbingan konseling kepada peserta didik. Konselor keaksaraan perlu melakukan penyesuaian secara feksibel dalam melaksanakan peran dan fungsinya di lembaga non-formal. Karena waktu penyelenggaraan kelompok keaksaraan relatif terbatas, maka konselor keaksaraan dalam merencanakan dan menyusun program layanan bimbingan konseling perlu menyesuaikan jenis layanan dengan waktu yang tersedia. Konseling dan konsultasi menjadi layanan yang sangat relevan dilakukan oleh konselor mengingat peserta didik usia dewasa telah 76
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
mampu mengutarakan secara verbal kesulitan dan masalah yang dihadapinya (Winkel &Hastuti, 2007). Layanan konseling dan konsultasi akan membantu peserta didik untuk mampu mencapai tujuan dari pendidikan keaksaraan khususnya dalam mengembangkan kemampuan peserta didik dalam menganalisis dan memecahkan masalah yang dihadapi. Karena pertemuan antara konselor dan peserta didik relatif terbatas, maka konselor bisa menyiasatinya dengan memberikan peluang kepada peserta didik untuk melaksanakan konseling dan konsultasi di luar pertemuan pembelajaran yang sudah dijadwalkan. Konselor keaksaraan harus jugaberupaya untuk terus menerus melakukan penguasaan terhadap teori konseling. Teori dalam konseling diperlukan agar konseling bisa berlangsung secara efektif. Tanpa teori, seorang konselor akan bekerja secara serampangan. Dengan kata lain teori konseling diperlukan untuk “menuntun” konselor menjalani proses konseling sehingga konselor bisa melaksanakan proses konseling secara profesional. Hansen, Stevic, dan Warner (dalam Jeanette: 2011) memerinci manfaat dari teori konseling, yaitu: 1. Teori membantu konselor untuk mendapatkan unitas dan keterhubungan di antara diversitas yang ada. 2. Teori memaksa konselor untuk memeriksa hubungan-hubungan yang mungkin terlupakan bila tidak dilihat berdasar teori. 3. Teori memberi konselor tuntunan operasional untuk bekerja dan membantu mereka mengevaluasi perkembangan mereka sendiri secara professional. 4. Teori membantu konselor untuk memfokuskan pada data yang relevan dan menunjukkan apa yang harus dilihat. 5. Teori membantu konselor membantu klien melakukan modifikasi yang efektif dari tingkah lakunya. 6. Teori membantu konselor mengevaluasi pendekatan-pendekatan yang lama dan yang baru terhadap proses konseling. Behavioral, sebagai salah satu teori dalam konseling mensyaratkan 4 tahap dalam proses konseling, yaitu: Tahap pertama : asesmen (Assesment) Kanfer dan Saslow (dalam Burk dan Stefflre, 1979) menyarankan dalam asesmen hendaknya memperhatikan tujuh hal, yaitu : (1) problem perilaku yang ditampilkan klien, (2) situasi dimana problem periJPNF Edisi 10 2013
77
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
laku itu muncul, (3) motivasi yang mendorong perilaku muncul, (4) riwayat perkembangan dari perilaku, (5) kontrol diri klien terhadap perilaku, (6) dukungan sosial yang berpengaruh terhadap perilaku, dan (7) lingkungan fisik, sosial, dan kultural. Dari apa yang disarankan oleh Kanfer dan Saslow di atas, dapat disimpulkan secara singkat bahwa asesmen merupakan langkah awal yang bertujuan untuk mengeksplorasi apa yang ada dan atau yang dirasakan klien. Dari tahap asesmen ini konselor bisa mengidentifikasi teknik mana yang akan dipilih untuk merubah tingkah laku yang dikehendaki. Tahap kedua : perumusan tujuan (Goal Setting) George dan Cristiani (seperti yang disebut Latipun, 2006) menyatakan bahwa dalam konseling behavior penentuan tujuan yang spesifik dianggap lebih penting dibandingkan dengan proses hubungan konseling. Karena itu tujuan konseling harus cermat, jelas dan dapat dicapai dengan prosedur tertentu. Kecermatan dalam menetukan tujuan akan memudahkan konselor dan klien dalam memilih prosedur perlakuan yang tepat, sekaligus akan mempermudah melakukan evaluasi terhadap keberhasilan konseling. Berangkat dari uraian diatas secara singkat dapat dipahami bahwa pada tahap ini tugas konselor adalah membimbing klien untuk menetapkan tujuan dari konseling.Apabila tujuan yang telah ditetapkan oleh klien masih belum spesifik dan tidak kongkrit maka tugas konselor adalah membantu klien untuk merubah tujuannnya agar spesifik dan kongkrit. Sugiharto (2008 : 8-9), menyampaikan tahapan perumusan tujuan sebagai berikut : 1. Konselor dan klien mendefinisikan masalah yang dihadapi klien 2. Klien mengkhususkan perubahan positif yang dikehendaki sebagai hasil konseling 3. Konselor dan klien mendiskusikan tujuan yang telah ditetapkaan klien • Apakah merupakan tujuan yang benar-benar dimiliki dan diinginkan klien • Apakah tujuan itu realistis • Kemungkinan manfaatnya 78
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
• Kemungkinan kerugiannya 4. Konselor dan klien membuat keputusan apakah : • Melanjutkan konseling dengan menetapkan teknik yang digunakan • Mempertimbangkan kembali tujuan yang akan dicapai • Melakukan referal Tahap ketiga : implementasi teknik Pada tahap ini konselor harus mencermati pemilihan teknik yang dipergunakan dalam membentuk perilaku klien sesuai dengan tujuan konseling.Konselor hendaknya sedapat mungkin memilih teknik yang digunakan dapat diterapkan dalam lingkungan kehidupan klien seharihari. Tahap keempat : evaluasi dan terminasi Pada tahap ini ada dua hal yang harus dilakukan oleh konselor: 1. Mengecek kembali apakah tingkah laku yang baru ditentukan bersama klien bisa mengatasi masalah klien 2. Memastikan kepada klien apakah teknik konseling bisa diimplementasikan dalam kehidupan klien sehari-hari. Penguasaan teori saja belum cukup untuk efektifitas sebuah proses konseling. Agar konseling bisa benar-benar efektif seorang konselor harus mampu menunjukkan pribadi konselor dengan kualitas tertentu. Foster dan Guy (dalam Gladding, 2012: 40) menyampaikan beberapa kualitas yang harus dimiliki oleh seorang konselor agar mampu menjalankan konseling secara efektif, yaitu: 1. Keingintahuan dan kepedulian: minat alami terhadap manusia. 2. Kemampuan mendengarkan: mampu menemukan dorongan untuk mendengarkan orang lain. 3. Suka berbincang: dapat menikmati percakapan yang berlangsung. 4. Empati dan pengertian: kemampuan untuk merasakan apa yang orang lain rasakan, meskipun orang itu berbeda sekali dengan dirinya. 5. Menahan emosi: mampu mengatur berbagai jenis macam perasaan atau emosi mulai dari perasaan marah hingga perasaan senang. 6. Introspeksi: kemampuan untuk mengintrospeksi diri. JPNF Edisi 10 2013
79
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
7. Kapasitas menyangkal diri: kemampuan untuk mendahulukan kepentingan orang lain dibanding kepentingan pribadi. 8. Toleransi keakraban: kemampuan untuk mempertahankan kedekatan emosional. 9. Mampu berkuasa: dapat memegang kekuasaan dengan menjaga jarak tertentu. 10. Mampu tertawa: kemampuan melihat kualitas pahit-manis dari peristiwa kehidupan dan sisi humor di dalamnya. 11. 12. Baruth dan Robinson III (dalam Jeanette: 2011) menyebutkan beberapa karakteristik konselor yang efektif adalah sebagai berikut: 13. Terampil “menjangkau” (reaching out) kliennya. 14. Mampu menumbuhkan perasaan percaya, kredibilitas dan yakin dalam diri orang yang akan dibantunya. 15. Mampu “menjangkau” ke dalam dan ke luar. 16. Berkeinginan mengomunikasikan caring dan respek untuk orang yang sedang dibantunya. 17. Menghormati diri sendiri dan tidak menggunakan orang yang sedang dibantunya sebagai sarana untuk memuaskan kebutuhannya sendiri. 18. Mempunyai sesuatu pengetahuan dan bidang tertentu yang akan mempunyai makna khusus bagi orang yang akan dibantunya. 19. Mampu memahami tingkah laku orang yang akan dibantunya tanpa menerapkan value judgments. 20. Mampu melakukan penalaran secara sistimatis dan berfikir dalam kerangka sistem. 21. Tidak ketinggalan zaman dan memiliki pandangan luas tentang hal-hal yang terjadi di dunia. 22. Mampu mengidentifikasi pola-pola tingkah laku yang self-defeating, yang merugikan dan membantu orang lain mengubah pola tingkah laku yang merugikan diri sendiri ini menjadi pola tingkah laku yang lebih memuaskan. 23. Terampil membantu orang lain untuk “melihat” ke dalam dirinya sendiri dan bereaksi secara tidak defensif terhadap pertanyaan “siapakah saya?”. 80
JPNF Edisi 10 2013
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
Kesimpulan Salah satu layanan yang harus diberikan oleh konselor keaksaraan adalah konseling.Konseling menjadi inti dari kegiatan bimbingan.Dengan konseling, peserta didik dibantu untuk menemukan sumber-sumber pribadinya sehingga peserta didik bisa hidup lebih efektif. Efektifitas yang muncul dalam kehidupan peserta didik diharapkan mampu menyingkirkan hal-hal yang menghambat pertumbuhannya dan memandirikan kehidupannya. Mengingat bimbingan konseling pada pendidikan keaksaraan merupakan hal yang “baru”, dibutuhkan upaya maksimal dari konselor untuk bisa menjadikan bimbingan konseling mampu “beradaptasi” dengan keberadaan pendidikan keaksaraan. Untuk mewujudkan hal tersebut kerjasama yang baik antara konselor, penyelenggara pendidikan keaksaraan, pendidik keaksaraan lain, dan masyarakat mutlak diperlukan. Hal penting lainnya yang harus diperhatikan konselor keaksaraan adalah penguasaan terhadap teori konseling.Penguasaan ini bisa diperoleh konselor melalui pengalaman mengkonseling yang terasah terus menerus. Konselor harus selalu mengupayakan peningkatan pengetahuan terhadap teori konseling dengan membaca berbagai referensi tentang teori konseling sehingga akan diperoleh pemahaman yang utuh. Selain penguasaan terhadap teori konseling, keberhasilan sebuah konseling juga ditentukan oleh kepemilikan konselor terhadap kepribadian dengan kualitas tertentu. Kepribadian ini akan menentukan keefektifan sebuah konseling, mengingat bahwa kepribadian yang dimiliki konselor akan berpengaruh terhadap bagaimana konselor “memperlakukan” klien dalam proses konseling. Daftar Pustaka Alifuddin M. (2011). Kebijakan Pendidikan Nonformal (Teori, Aplikasi, dan Implikasi). Jakarta: MAGNAScript Publishing. Burk, H.M. & Stefflre, B. (1979). Theories of Counseling. 3ed. New York: Mc Graw-Hill Book Company. Corey, Gerald (2005). Teori dan Praktek Konseling & Psikoterapi. Bandung: Refika Aditama. Gladding, Samuel T. (2012). Konseling Profesi yang Menyeluruh. Jakarta: PT. Indeks. JPNF Edisi 10 2013
81
Khoiriyah, Kelompok Belajar Keaksaraan
Jeanette M.L. (2011). Dasar-Dasar Konseling. Jakarta: UI Press. Latipun. (2006). Psikologi Konseling. Malang: UMM Press. Shertzer, B. & Stone. (1980). Fundamentals of Counseling. Boston: Houghton Mifflin Company. Sugiharto. (2008). Penerapan Pendekatan Konseling Individual: Behavioral, Gestalt, dan Rasional Emotif. Makalah disampaikan pada Diklat Instruktur Tingkat Lanjutan Guru Pembimbing SMP di Malang. Sukardi, Dewa Ketut. (2008). Pengantar Pelaksanaan Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah. Jakarta: Rineka Cipta Winkel, W.S. & Hastuti, Sri M.M. (2007). Bimbingan dan Konseling di Institusi Pendidikan. Yogyakarta: Media Abadi.
82
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
MENINGKATKAN KOMPETENSI ANDRAGOGI PAMONG BELAJAR MELALUI MODEL K-SMART Agus Sadid Abstract Andragogy is competence which must be owned by a Pamong Belajar. This competence is closely related to managing relationships, working and communicate with adults. Since the scope of nonformal education is very broad and in touch with the community, the program relies heavily on Pamong Belajar’s ability. In fact, not many Pamong Belajar have adequate andragogy competence. This paper aims to describe the study of the need to apply the model of K - Smart to enhance the competence of andragogy. Appraisal method in this paper is a descriptive analysis .for describing components of andragogy, conduct analyzes and then combined with the theory or expert opinion. Study results showed that the model K - Smart is a model that contains the action (1) awareness - smart , (2) communication - smart, (3) cooperative - smart and (4) commitment - smart. The model is based on the Sanggar Kegiatan Belajar (SKB), it means training to Pamong Belajar implemented at the SKB , come from - by and for Pamong Belajar SKB. Instructional hours are 166 hours but also flexible. The application of this model is expected to provide solutions to stakeholders and amid confusion for increasing andragogy competence of Pamong Belajar, because this model is inexpensive, simple, and coming from needs and problems faced by Pamong Belajar in their daily activities . Keywords: andragogy, competency of Pamong Belajar PENDAHULUAN Pamong Belajar (PB) merupakan salah satu sosok penentu dalam pelaksanaan program Pendidikan Anak Usia Dini Nonformal dan InJPNF Edisi 10 2013
83
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
formal (PAUDNI) dilapangan. Prinsip ini harus muncul dan dipahami sama oleh para pemangku kepentingan di dunia PAUDNI. Pandangan yang cenderung memandang rendah atau mengabaikan tugas dan fungsi PB (jika ada) menunjukan bahwa mereka tidak paham tentang Sistem Pendidikan Nasional kita sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 20 Tahun 2003. PAUDNI adalah sesuatu yang luas dan beragam, sebagaimana diilustrasikan oleh Sanapiah (1997) yaitu laksana hutan belantara yang penuh dengan beraneka macam tumbuhan dan pohon, menambah indahnya hutan tersebut, menunjukan bahwa pendidikan bermakna luas dan kaya akan dimensi ruang dan waktu. Untuk itu, beragam dan luasnya sasaran PAUDNI harus disikapi secara positif oleh PB untuk dijadikan peluang dan tantangan. Layanan program PAUDNI yang dikembangkan oleh SKB BPKB dan BPPAUDNI mutlak memerlukan PB yang handal, profesional dan kreatif. Salah satu data yang dapat penulis sajikan adalah kondisi PB di wilayah NTB. Dari jumlah 64 PB tersebar di 9 kabupaten/ kota (hanya KLU yang belum memiliki SKB) dan BPKBM propinsi serta BPPAUDNI regional Mataram, dilihat dari sisi kualifikasi pendidikan 70% S1, 20% S2 dan hanya 10% diploma. Sedangkan dari sisi kompetensi cukup memprihatinkan. Penelitian Agus Sadid (2010) menunjukan bahwa kompetensi PB NTB berada pada angka 5.5 untuk kompetensi andragogi, 6.0 kompetensi pedagogi, 6.5 kompetensi profesional, 6.0 kompetensi personal dan 6.5 kompetensi sosial. Jadi untuk meningkatkan kinerja para PB tersebut maka kepala SKB dan pemangku kepentingan harus memikirkan bagaimana mengembangkan variabel tersebut, sehingga berkontribusi terhadap kinerja PB. Penelitian di atas cukup menggambarkan bagaimana kondisi sebenarnya tentang peta kompetensi PB. Memerlukan upaya ekstra untuk mengurai akar masalah mengapa kompetensi PB relatif rendah. dalam pandangan penulis, PB yang handal dan mumpuni haruslah sempurna pada penguasaan kompetensi PB yang meliputi (1) kompetensi andragogi, (2) kompetensi pedagogi, (3) kompetensi profesional, (4) kompetensi sosial dan (5) kompetensi personal. Kompetensi andragogi sebagai jenis kompetensi pertama, merupakan kompetensi yang berkaitan dengan pengetahuan tentang bagaimana orang dewasa belajar. Beragamnya latar belakang pendidikan para PB yang berada di 84
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
SKB BPKB dan BPPAUDNI, berdampak pada tidak meratanya pemahaman terhadap konsep andragogi sebagai salah satu ruhnya Pendidikan Non Formal (PNF). PB yang berlatar belakang pendidikan formal, sangat sulit merubah mind set-nya dalam proses pembelajaran. Pendekatan pedagogi atau school-oriented seperti (1) keseragaman, (2) kebakuan, dan (3) berorientasi kurikulum-target serta (4) transfer of knowledge-center, masih dijadikan andalan bagi para PB pada saat melaksanakan perannya sebagai tutor, instruktur atau pengajar di berbagai kelompo belajar (kejar) PAUDNI. Padahal, 90% peserta didik (baca: warga belajar) PAUDNI adalah orang dewasa. Sehingga sudah saatnya mengganti paradigma mengajar atau membelajarkan dari pedagogi ke andragogi. Hal ini dikuatkan oleh Gugan Laird (1981) yang menegaskan bahwa andragogi mempelajari bagaimana orang dewasa belajar, orang dewasa belajar dengan cara yang signifikan berbeda dengan cara anak atau sekolah memperoleh tingkah laku baru. Tentunya pula, prinsip belajar andragogi berbeda dengan pendagogi, salah satunya adalah konsep tentang subjek didik, (Knowles, 1980). Bertolak dari paparan diatas, maka penulis mengajukan sebuah ide/ gagasan dalam upaya bagaimana meningkatkan kompetensi andragogi PB melalui sebuah model K-SMART. Model ini merupakan model tindak pembelajaran untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB melalui tindakan (1) K=Kesadaran Diri-Cerdas, (2) K=KomunikasiCerdas, (3) K=Kerjasama-Cerdas dan (4) K=Komiitmen-Cerdas. Rankaian tindak pembelajaran K= kesadaran diri, komunikasi, Kerjasama dan Komitmen, dirangkum dalam satu semangat yaitu SMART yang berarti CERDAS. Muatan materi andragogi terus disisipkan selama proses tindakan pembelajaran tersebut. Prinsip yang dibangun dalam model ini adalah (1) peningkatan kompetensi berawal dari kesadaran diri, komunikasi yang harmonis, kerjasama sinergis dan diakhiri dengan munculnya komitmen untuk maju bersama. Prosedur pembelajaran Model K-SMART sangat sederhana yaitu (1) membangunkan kesadaran diri PB terhadap tugas dan fungsi PB, tanya-jawab refleksi, (2) menciptakan komunikasi yang efektif, menggunakan bahasa yang setara, lembut dan penuh penghargaan, (3) mendorong kerjasama dalam satu tim kerja dan (4) meneguhkan komitmen untuk mengedepankan prinsip profesionalitas, melaksanakan program dengan baik dan penuh tanggung jawab dan bersikap kreatif dalam JPNF Edisi 10 2013
85
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
mencari terobosan solusi untuk masalah yang muncul. Meningkatkan kompetensi andragogi PB memang biasanya terpadu dalam program Diklat fungsional PB. Program Diklat konvensional tersebut yang selama ini dilakukan oleh Direktorat PAUDNI (baca: pusat), atau BPPAUDNI (regional) dan BPKBM, penulis pandang hanya kegiatan yang bersifat pemborosan anggaran. Coba simak pendapat Castallo dkk (1992) dan Glickman dkk (2004) yang menyatakan bahwa kecenderungan program pelatihan baik in service atau on service kurang efektif dan menghamburkan dana yang besar, namun dampaknya relatif rendah. untuk itu, penulis yakin model K-SMART sebagai bagian dari upaya meningkatkan kompetensi PB dapat menjadi acuan dan lebih menghemat anggaran/ dana. Karena model ini merupakan model tindak pembelajaran yang dikemas dalam sebuah program diskusi terfokus (focus group discussion). Merujuk pada latar belakang masalah tersebut diatas, maka rumusan masalah pada tulisan ini adalah (1) bagaimanakah deskripsi model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB dalam rangka mendukung keberhasilan program PAUDNI dilapangan?, (2) bagaimanakah prosedur tindak pembelajaran dengan model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB? dan (3) mampukah model K-SMART dijadikan salah satu acuan meningkatkan kompetensi andragogi PB untuk mendukung keberhasilan program PAUDNI dilapangan Tujuan penulisan ini adalah (1) tujuan teoritik yaitu mendukung pentingnya teori andragogi dari Knowles (1980) sebagai pilar dalam pelaksanaan program PAUDNI. Sedangkan tujuan praktik adalah (1) mendeskripsikan model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB dalam rangka mendukung keberhasilan program PAUDNI dilapangan, (2) menjelaskan prosedur tindak pembelajaran dengan model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB, dan (3) menarik kesimpulan terhadap kemampuan model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB Tulisan ini diharapkan memberikan manfaat secara teoritik yaitu terdapatnya kajian akademik yang kuat tentang andragogi dalam tataran implementasi dilapangan dan manfaat praktik yaitu (1) terdapatnya deskripsi tentang model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB, (2) terdapatnya penjelasan yang memadai tentang prose86
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
dur tindak pembelajaran dengan model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB dan (3) terdapatnya kesimpulan yang logis dan ilmiah tentang kemampuan model K-SMART untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB. TINJAUAN TEORI Hakekat Andragogi Secara etimologis, andragogi berasal dari bahasa Latin andros yang berarti orang dewasa dan agogos yang bermakna memimpin atau melayani. Ahli lain menyatakan bahwa istilah andragogiberasal dari andr yaitu orang dewasa dan agogos yaitu pemberian bimbingan atau petunjuk, (Davenport, 1993). Sementara Knowles (1980) mendefinisikan andragogi sebagai seni dan ilmu untuk memantau terjadinya proses belajar pada diri orang dewasa. Andragogi termaknai sebagai suatu proses pembelajaran yang dapat membantu orang dewasa menemukan dan menggunakan hasil-hasil temuannya yang berkaitan dengan lingkungan sosial, situasi pendidikan yang dapat merangsang pertumbuhan dan kesehatan individu maupun masyarakat. Pada tahap awal tekanan andragogi adalah pengajaran, dan hingga awal 1980-an Knowles merubah tekanan pada pembelajaran (learning). Konsep tersebut terus berkembang dengan menekankan pada munculnya interaksi dan saling mempengaruhi antara peserta didik (baca: warga belajar) dengan tutor. Untuk memberikan pemahaman lebih tajam tentang andragogi Krajinc (1989) memberikan batasan sebagai berikut: “…the art and science of helping adults learn and study of adult education theory, process and technology that end”. Ditambahkan oleh Savicevic (1999) dengan “…education and learning of adults in all forms of expression”. Dari batasan tersebut dapat disimpulkan bahwa andragogi merupakan pendekatan untuk memahami bagaimana orang dewasa belajar, pemahaman terhadap cara orang dewasa belajar tentunya akan membantu kita untuk memberikan bantuan yang sesuai kepada mereka sehingga mereka dapat menemukan kebutuhan belajarnya dengan baik. Andragogi diyakini merupakan pilihan tepat bagi orang yang ingin berhasil sebagai pengajar orang dewasa. Sebagaimana keyakinan Knowles (1980) tentang hal tersebut yaitu bahwa andragogi sebagai anti tesis terhadap bentuk pendidikan anak sekolah. Ia menghadirkan andragogi sebagai anti-sekolah dan juga sebagai pembebasan warga JPNF Edisi 10 2013
87
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
belajar orang dewasa dari akibat yang tidak membahagiakan. Jadi bidang yang menjadi fokus andragogi adalah pendidikan akhir sekolah menangah dan awal dari perguruan tinggi. Andragogi menandai batas antara pendidikan orang dewasa dan pengembangan sumber daya manusia, antara pendidikan dan pelatihan untuk orang dewasa. A. Kompetensi Andragogi dan PB Kompetensi adalah kemampuan, atau serangkaian unjuk kerja yang mampu dilakukan oleh seseorang. Ashan (dalam Mulyasa, 2003) memberikan batasan competency is a knowledge, skills and abilities or capabilities that a person achieves which become part of his or her being extent he or she can satisfactory perform particular cognitive, affective and psychomotor behaviors. Jadi kompetensi PB adalah serangkaian kemampuan yang harus dimiliki dan mampu diwujudkan dalam bentuk kemampuan nyata baik bersifat kognitif, afektif maupun psikomotor. Kompetensi andragogi bermakna kemampuan pengenalan terhadap orang dewasa terkait dengan bagaimana orang dewasa belajar, serta karakteristik pembelajarannya. Untuk mengenal dan mengetahui bagaimana orang dewasa belajar, bagaimana membimbing orang dewasa hingga mereka dapat berhasil, memerlukan pelatihan atau pembelajaran yang bersifat kontinu. Andragogi adalah langkah awal untuk meraih kesuksesan dalam melaksanakan program PAUDNI yang berbasis masyarakat. Permenpan RB Nomor 15 Tahun 2010 tentang Jabatan Fungsiomal PB dan Angka Kreditnya menjelaskan secara ekplesit terhadap tugas dan fungsi pokok PB meliputi (1) PB pertama, (2) PB Muda dan (3) PB Madya. Dalam rincian tugas ketiga jabatan PB tersebut, secara tersurat menuntut kepada PB untuk bekerja maksimal dalam mengembangkan program PAUDNI di lapangan. Namun karena karakteristik program PAUDNI dan layanan PAUDNI yang khas, beragam dan dinamis, berbenturan langsung dengan kebutuhan masyarakat maka, disinalah salah satu kompetensi PB yang harus dimiliki yaitu kompetensi andragogi. PB dan kompetensi andragogi seharusnya melekat secara kuat dalam dirinya. PB yag berkompeten haruslah sadar sepenuhnya tentang peran sebagai agen pembelajar yang berfokus pada pekerjaan (1) penyusunan program belajar, (2) pelaksanaan pembelajaran dan (3) evaluasi pembelajaran. PB bukan semata bekerja pada domain pengelolaan program, dengan memerankan posisi sebagai pengelola, ketua atau penanggung jawab program PAUDNI, tetapi PB harus menjalankan 88
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
tugas dan fungsi utamanya, salah satunya sebagaimana tertuang dalam Permenpan&RB nomor 15 tahun 2010 tentang Jabatan Fungsional PB dan Angka Kreditnya adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran. Pembelajaran pada berragam program PAUDNI seperti di kejar PAUD, kejar paket A setara SD, B setara SMP dan paket C setara SMA, kursus, pendidikan kecakapan hidup, pendidikan keaksaraan, pelatihan dan pemberdayaan perempuan atau pengurasatamaan gender. Kompetensi andragogi sebagai salah satu kompetensi PB yang harus dimiliki, secara khusus menyangkut kegiatan pembelajaran mulai dari persiapan, pelaksanaan dan evaluasi belajar. BSNP Kemdiknas RI (2005) memberikan deskripsi terkait dengan kompetensi Andragogi PB yaitu sebagai berikut: Tabel 2: Kompetensi Andragogi PB
No
Sub Kompetensi
Indikator
1.
Menyusun Rencana 1. Menyusun instrumen Kegiatan Belajar identifikasi 2. Mengidentifikasikan kebutuhan belajar WB, dan PTK PNFI 3. Menganalisis hasil identifikasi kebutuhan belajar WB dan PTK PNFI 4. Merencanakan satuan PNFI 5. Memotivasi WB, dan PTK PNFI
2.
Melaksanakan Kegiatan Belajar
1. Membuat satuan rencana pembelajaran nonformal 2. Mentransfer materi kepada WB dan PTK PNFI 3. Menganalisis kesulitan belajar WB 4. Memberi bimbingan belajar WB 5. Memberi contoh metode belajar mandiri WB
Indikator Kinerja
1. Adanya instrumen identifikasi 2. Adanya kebutuhan belajar WB 3. Adanya paparan data hasil analisis kebutuhan belajar 4. Adanya SK penyelenggaraan kegiatan belajar 5. Adanya materi motivasi dan daftar hadir WB peserta motivasi 1. Adanya rencana pembelajaran 2. Adanya keterangan daya serap WB pada materi 3. Adanya hasil analisis kesulitan belajar 4. Adanya materi bimbingan dan daftar hadir bimbingan 5. Adanya uraian metode belajar JPNF Edisi 10 2013
89
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
3.
Mengevaluasi Kegiatan Belajar
1. Menyusun rancangan instrumen evaluasi 2. Melaksanakan evaluasi pembelajaran WB dan PTK PNFI 3. Menganalisis hasil evaluasi pembelajaran 4. Melaksanakan remedial 5. Melaksanakan evaluasi pembelajaran remedial 6. Menyusun laporan hasil evaluasi
1. Adanya rancangan evaluasi pembelajaran 2. Adanya daftar hadir sasaran evaluasi pembelajaran 3. Adanya paparan data hasil analisis evaluasi belajar 4. Adanya rancangan remedial 5. Adanya rancangan evaluasi remedial 6. Adanya laporan akhir evaluasi
PEMBAHASAN Deskripsi Model K-SMART Model K-SMART adalah sebuah tawaran model yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB. Model ini berangkat dari keprihatinan penulis terhadap (1) fakta bahwa program PAUDNI yang dikembangkan oleh para PB, relatif banyak yang tidak berlanjut dengan kata lain berhenti ditengah jalan, karena sudah selesai atau habis anggaran. Padahal program PAUDNI haruslah bersifat keberlanjutan, apalagi program seperti PKH, PKM, KUM atau pemberdayaan perempuan, program tersebut tidak bisa berhenti dengan alasan sudah habis anggaran. Jika hal ini terjadi berarti PB belum mampu membangun program PAUDNI yang berbasis masyarakat dan membentuk masyarakat pembelajar. Jika dalam posisi ini belum berhasil maka PB belum paham benar tentang makna pembelajaran sebenarnya, sebagaimana diungkapkan oleh Reigeluth dkk (dalam Degeng, 2001) bahwa komponen pembelajaran meliputi (1) kondisi pembelajaran, (2) metode penyampaian dan (3) hasil pembelajaran. Tiga komponen tersebut, saling berkaitan satu sama lain, hingga membentuk satu pembelajaran yang berkualitas, disinilah PB menampakan dirinya sebagai sosok yang berkompeten karena mampu mengelola pembelajaran pada kejar PAUDNI dengan baik. Kompetensi Andragogi PB memiliki 3 (tiga) sub kompetensi utama yaitu (1) menyusun rencana kegiatan belajar, (2) melaksanakan kegiatan belajar dan (3) mengevaluasi kegiatan belajar. Sebagai konsek90
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
kuensi lahirnya Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen sebagai pendidik di jalur formal dan PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, maka secara psikologis dan teknis berdampak kepada standar dan kinerja PB sebagai pendidik dan pengembang di jalur PNF (Depdiknas, 2005). Cakupan tugas dan peran PB yang sangat kompleks sebagai pendidik dan pengembang, sangat membutuhkan kemampuan PB yang baik dan memadai. Terlebih ditengah perubahan global sebagaimana dinyatakan oleh Merryfield, (1997) bahwa masyarakat yang tidak terlepas dari dampak globalisasi akibat perkembangan IPTEK semakin memerlukan pelayanan pendidikan yang beragam dan berkualitas sehingga menuntut adanya PB yang memiliki kompetensi dalam perspektif global. Disinilah kompetensi PB diuji oleh masyarakat, melalui penampakan performansi dibidang andragogi. Model K-SMART merupakan model yang mengembangkan pola-pola pembelajaran yang mengarah kepada Regulated Learning, yaitu sebuah pendekatan pembelajaran yang mengarahkan peserta didik mandiri dan memahami tujuan belajarnya. Bahwa tujuan belajar harus dicapai melalui pembangunan kemauan keras, kesadaran keras dan kerja keras yang bersifat mandiri, peserta didik secara sadar mengarahkan dirinya menunju pencapaian hasil belajar yang memuaskan. Model K-SMART memberikan pemahaman baru tentang perlunya merekonstruksi sebuah pemaknaan belajar. Bahwa belajar harus membawa perubahan perilaku yang nyata dan bersifat permanen. Ketercapaian tujuan belajar ini dengan model K-SMART menjadi lebih mudah dan mempan. Model K-SMART adalah pendekatan yang dilakukan oleh seorang tutor atau fasilitator dalam sebuah diskusi, pelatihan, atau kursus. Pelatihan yang bertujuan untuk meningkatkan kompetensi PB hanya dapat mencapai tujuan pembelajaran jika kondisi pembelajaran mampu dibentuk atau dibangun oleh tutor atau fasilitor. Kondisi belajar yang seperti apa? Yaitu kondisi belajar yang penuh kesadaran, komunikasi yang efektif, sistem kerjasama dalam tim dan munculnya komiten bersama untuk berbuat yang lebih baik dan mau menerapkan segala pengetahuan dan ketrampilannya pasca pembelajaran atau pelatihan. Untuk itulah model K-SMART adalah sebuah model pembelajaran yang meliputi kegiatan pembelajaran (1) Kesadaran-Cerdas, (2) KomuJPNF Edisi 10 2013
91
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
nikasii-Cerdas, (3) Kerjasama-Cerdas dan (4) Komitmen-Cerdas. Konstruk pemikiran yang melatarbelakangi gagasan model KSMART tersebut adalah (1) fakta dilapangan menunjukan bahwa PB memiliki kompetensi yang relatif rendah hampir di semua kompetensi dasar (baca: andragogi, profesional, sosial dan personal), (2) fakta juga menunjukan bahwa pelatihan konvensional yang dilakukan untuk meningkatkan kompetensi PB biasanya di hotel-hotel berbintang tidak menunjukan hasil yang efektif, belum memberikan peningkatan kompetensi yang signifikan, sehingga PB setelah pelatihan, maka tetap seperti sediakala, (3) fakta pula bahwa program palatihan atau kurikulum pelatihan PB menunjukan pokok bahasan yang luas, tidak fokus sehingga melupakan pada pokok masalah utama tentang apa yang dihadapi PB dilapangan. Bertolak dari paparan diatas, maka berikut penulis gambarkan konseptual model K-SMART, sebagai berikut:
Gambar 1: Konspeptual Model K-SMART Peningkatan Kompetensi Andragogi PB 92
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
Dalam konseptual model tersebut, bahwa peningkatan kompetensi Andragogi PB dilakukan dalam proses kegiatan yang dalam wadah diskusi. Dalam diskusi tersebut koordinator PB berperan sebagai tutor sebaya yang memfungsikan diri sebagai fasilitator atau tutor. Keberadaan Permenpan&RB nomor 15 tahun 2010 merupakan faktor yang bersifat ekperimental input artinya sebagai masukan yang berasal dari luar lingkungan tetapi menjadi rujukan utama sebagai dasar mengapa melakukan kegiatan peningkatan kompetensi PB. selanjutnya, model ini terdiri dari langkah (1) input, (2) proses, (3) out puts ketiga langkah tersebut masuk dalam langkah utama, sedangkan (4) out comes masuk dalam langkah tindak lanjut, dimana hasilnya hanya dapat diamati setelah program kegiatan selesai dilaksanakan. Itulah mengapa dalam diagram tersebut out comes berada di luar lingkaran langkah utama. Pada proses kegiatan yaitu bagaimana meningkatkan kompetensi Andragogi PB, dutempuh dalam 4 langkah atau tindak pembelajaran yang meliputi (1) kesadaran-cerdas, (2) komunikasi-cerdas, (3) kerjasama-cerdas dan (4) komitmen-cerdas. Materi pembelajaran terdiri dari 4 pokok materi utama yaitu (1) hakekat andragogi, (2) penyusunan program belajar, (3) pelaksanaan program pembelajaran/ PBM dan (4) evaluasi pembelajaran. Keempat pokok materi untuk meningkatkan kompetensi Andragogi PB di laksanakan dalam kegiatan diskusi dengan fasilitor koordinator PB. mengapa koordinator PB, karena koordinator adalah PB yang memiliki kriteria senioritas, mumpuni dan berpengalaman dengan kata lain koordinator PB dalah PB yang memiliki kemampuan lebih. Kegiatan evaluasi dilakukan melalui kegiatan evaluasi formatif dan sumatif terhadap setiap pokok materi. Tutor mengembangkan alat evaluasi yang sesuai dengan prinsi-prinsip andragogi serta mengacu kepada daya serap materi para peserta pembelajaran. Monitoring dilakukan oleh kepala SKB dalam aspek pelaksanaan program pembelajaran tersebut. Sehingga jika program peningkatan kompetensi PB ini tercapai sesuai dengan alur pelaksanaan maka, hasil akhirnya adalah PB yang berkompeten dan mampu menjalankan program PAUDNI dengan baik. Program PAUDNI yang mampu berkelanjutan, dengan didukung oleh masyarakat sehingga mampu menciptakan masyarakat pembelajar.
JPNF Edisi 10 2013
93
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
Tindak Pembelajaran model K-SMART Model K-SMART memiliki komponen pendukung yaitu (1) tindak pembelajaran, (2) program pembelajaran, (3) tutor sebaya , (4) metode pembelajaran, (5) bahan ajar, dan (6) evaluasi pembelajaran. Pertama adalah tindak pembelajaran. Tindak pembelajaran adalah bentuk intervensi tindakan yang dilakukan oleh tutor dalam kegiatan pembelajaran sehingga pembelajaran berlangsung dengan menarik. Tindakan tersebut meliputi (1) membangun Kesadaran-Diri- Cerdas, (2) menciptakan Komunikasi-Cerdas, (3) melakukan Kerjasama-Cerdas dan (4) membangun Komitmen-Cerdas.
Gambar 2: Komponen Pendukung Model K-SMART
Berikut adalah deskripsi terkait dengan keempat tindak pembelajaran dalam model K-SMART yaitu sebagai berikut; Kesadaran Diri-Cerdas, kegiatan pembelajaran ini adalah sebuah tindak pembelajaran yang bertujuan untuk membangun kesadaran diri dulu dari PB. Kegiatan ini dilakukan melalui tanya-jawab reflektif seperti (1) apakah saya sudah berhasil memandirikan WB? Apakah kelompok belajar yang saya bina sudah berjalan sesuai dengan tujuan program? Apakah WB mampu menyerap materi pembelajaran? Mengapa program PKH yang saya kelola belum berhasil maksimal? Mengapa program KUM yang saya bina berhenti ditengah jalan?. Pertanyaanpertanyaan refkeltif tersebut dimunculkan disetiap jadwal pembelajaran andragogi yang dikemas dalam kegiatan diskusi. Membangun kesa94
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
daran diri harus dilakukan secara cerdas, selama ini PB belum terbiasa melakukan sesuatu dengan cerdas. Komunikasi-Cerdas adalah kegiatan membangun komunikasi yang multi arah atau komunikatif. Berbicara dengan sopan, santun dan penuh penghargaan terasa lebih nyaman didengar dan diterima oleh semua WB. Ketrampilan berkomunikasi yang efektif mampu dilatihkan melalui latihan mendengar, berbicara dan menanggapi lawan bicara. Berbicara dengan WB paket C setara SMA, misalnya, dimana WB sudah dewasa bahkan ada beberapa diantaranya adalah kepala desa, anggota dewan bahkan ketua partai politik, tentunya tidak bisa disamakan berbicara atau berkomunikasi dihadapan mereka, tetapi harus mempertimbangkan kesetaraan dan kebermaknaan dalam berkomukasi. Peran tutor menjadi dominan disini karena, dia harus mampu membangun komunikasi yang efektif. Maka disinilah kecerdasan seorang PB diperlukan, sehingga gaya komunikasinya tidak menyinggung perasaan peserta didik (WB). Kerjasama-Cerdas adalah pola kerja yang mampu dibangun oleh pendidik dan pebelajar (learner) dimana masing-masing melakukan kegiatan dengan senang hati dan atas dasar saling menguatkan satu sama lain. Tindakan pada aspek ini dilakukan melalui kegiatan (1) permainan tim, (2) mengerjakan simulasi pemecahan masalah, (3) bekerja secara kelompok dalam mengerjakan proyek pembelajaran dan (4) membiasakan kata-kata “mari kita sama-sama kerja”, “mari kita selesaikan pekerjaan ini secara bersama-sama”, mari kita bantu”, “mari kita bentuk tim yang kuat”. Membangun Komitmen-Cerdas adalah tindakan terakkhir yang dilakukan oleh tutor nanti dalam sebuah kegiatan pembelajaran dengan model K-SMART. Membangun Komitmen -Cerdas adalah melahirkan janji bersama untuk berbuat yang terbaik atas sebuah pekerjaan. Janji tersebut dapat terpenuhi jika rangkaian tindak pembelajaran dimulai dari Kesadaran Diri-Komuniksi-Kerjasama antara tutor dengan pebelajar terbangun dengan kuat. Sehingga akan melahirkan sebuah komitmen untuk menyamakan satu visi-misi dan tekad mendukung keberhasilan program PAUDNI. Tindak pembelajaran pada aspek ini dilakukan melalui (1) refleksi perjalanan program PAUDNI yang kita bina, (2) harapan terhadap program kedepannya, (3) simulasi pemecahan masalah pada kasus-kasus yang muncul selama melaksanakan proJPNF Edisi 10 2013
95
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
gram PAUDNI. Kedua adalah program pembelajaran, program pembelajaran terkait dengan kompetensi andragogi PB disusun secara partisipatif, yaitu melibatkan unsur tutor/ fasilitator, PB dan kepala SKB. Program belajar yang dikembangkan adalah untuk kegiatan pembelajaran selama minimal 8 kali pertemuan untuk setiap pokok bahasan., dalam sebuah forum diskusi yang dipimpin atau di fasilitasi oleh koordinator PB. terdapaat pokok bahasan utama yaitu (1) hakekat andragogi :pengantar memahami andragogi, (2) penyusunan rencana pembelajaran, (3) pelaksanaan pembelajaran dan bimbingan dan (4) evaluasi hasil pembelajaran dan bimbingan. Program pembelajaran disini merupakan kurikulum pembelajaran dalam rangka meningkatkan kompetensi Andragogi PB. Kurikulum di desain sesuai dengan kesepakatan antara tutor dengan peserta belajar (trainee), tentunya pula tidak ada unsur pemaksaan. Itulah pentingnya sebelum masuk kedalam tahap kedua yaitu penyusunan kurikulum, maka harus dulu dibangun kesadaran, membangun kesadaran dilakukan melalui komunikasi yang cerdas serta kerjasama yang baik sehingga akhirnya terbangun komitmen yang kuat, komitmen apa? Yaitu komitmen untuk maju, menjadi PB yang profesional dan berkompeten. Jumlah total jam adalah 166 jam (66 jam @ 60 menit) untuk kegiatan terstruktur dalam sebuah forum diskusi dan 100 jam kegiatan tugas mandiri ( 25 hari efektif, @ 4 jam setiap 60 menit untuk menyelesaikan tugas-tugas mandiri). Berikut adalah deskripsi kurikulum pembelajaran peningkatan kompetensi Andragogi PB dengan model K-SMART, sebagai berikut; Tabel 3: Kurikulum Pembelajaran No
Materi Pembelajaran
1 1. 2. 3. 4. 5.
2 Hakekat Andragogi Prinsip-Prinsip Andragogi Penerapan Andragogi Evaluasi Belajar Andragogi Model Penyusunan Perencanaan Belajar
96
JPNF Edisi 10 2013
Prosentase Teori 3 100 80 0 20 80
Praktik 4 0 20 100 80 20
Jumlah Jam Teori 5 4 3 0 2 4
Praktik 6 7 0 1 6 4 2
Ket
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13
Mengembangkan Metode Pembelajaran Pelaksanaan Pembelajaran Pelaksanaan Bimbingan Pelaksanaan Pemotivasian Teknik Evaluasi Belajar Mengembangkan Instrumen Evaluasi untuk program PAUDNI berbasis Andragogi Menganalisis Evaluasi Belajar Penugasan Mandiri
Jumlah
20
80
2
4
0 0 0 20 30
100 100 100 80 70
0
6 6 6 4 3
30
70
2
2 2
21
3 100
145
25 hari kerja @4 jam/ hari 166 jam (total)
Komponen pendukung ketiga adalah tutor sebaya yaitu orang yang berperan sebagai fasilitator/ nara sumber/ tutor dalam kegiatan pembelajaran. Tutor disini adalah koordinator PB, karena seorang koordinator PB adalah orang yang memiliki kemampuan lebih dalam aspek kompetensi, kepemimpinan, manajemen dan penyelesaian masalah dilapangan. Tanggung jawab moral dan psikologis bahwa seorang kordinator PB harus mampu disemua bidang pengembangan program PAUDNI. Peran koordinator PB dalam kegiatan peningkatan kompetensi Andragogi PB adalah (1) sebagai tutor, (2) melakukan pengorganisasian pengelolaan pembelajaran, (3) mediator memecah kebuntuan dalam pembelajaran, dan (4) fasilitaor, memfasilitasi kebutuhan peserta pembelajaran sehingga pelaksanaan kegiatan berjalan sesuai dengan tujuan yang telah direncanakan. Kooordinator PB sebagai seorang tutor, maka konsep tentang K-SMART harus sepenuhnya dipahami, jadi dalam fase ini, maka pelatihan khusus bagi para koordinator PB tentang K-SMART harus dilakukan terlebih dahulu. Komponen yang keempat adalah metode pembelajaran yang diterapkan dalam model K-SMART. Penerapan metode diskusi, curah JPNF Edisi 10 2013
97
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
pendapat, tanya-jawab, penugasan dan unjuk kerja langsung (demonstrasi) merupakan pilihan metode yang dapat diterapkan. Bahwa semakin beragam metode yang digunakan maka semakin baik, karena situasi belajar adalah dinamis. Tutor juga dapat menyampaian metode pembelajaran kepada para peserta trainee (PB) dengan menggunakan metode kooperatif, sebagaimana disampaikan oleh Slavin (1995) yang menyebutkan metode ini merupakan teknik pembelajaran dimana para peserta didiknya belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif. Hal ini juga dikuatkan oleh Teo (2003) bahwa teknik ini mendorong kelompok kecil atau pasangan pebelajar untuk bekerja dan berinteraksi bersama guna membangun pengetahuan dan menyelesaikan tugas. Selanjutnya adalah komponen yang kelima yaitu bahan ajar. Bahan ajar adalah materi pembelajaran yang dikemas dalam bentuk buku/ diktat/ modul atau buku pegangan. Buku ajar disusun oleh tutor dengan mengacu kepada SK – KD kompetensi Andragogi PB. Buku ajar adalah alat bantu atau media pembelajaran cetak yang digunakan untuk memudahkan pendidik/ pengelola (PTK PAUDNI) dalam meningkatkan kompetensinya. Buku ajar memiliki karakteristik sebagai berikut (1) sesuai dengan kebutuhan belajar dan karakteristik program PAUD NI, (2) bermakna bagi peningkatan kompetensi para PTK PAUD NI dan mudah dipahami, (3) memotivasi dan membelajarkan PTK PAUD NI yang membacanya dan (4)memiliki nilai kegunaan sehingga dirasakan benar manfaatnya oleh para PTK PAUD NI. Terakhir adalah komponen keenam yaitu evaluasi belajar, kegiatan ini bertujuan untuk mengetahui tingkat keberhasilan para peserta didik (baca: PB) selama mengikuti kegiatan pembelajaran. Evaluasi belajar meliputi (1) formatif dan (2) sumatif. Evaluasi belajar formatif dilakukan setiap menyelesaikan pokok bahasan. Sedangkan evaluasi suamtif dilakukan diaakhir kegiatan yang bertujuan untuk mengetahui prosentase daya serap materi PB terhadap materi yang telah disampaikan. Evaluasi belajar sepenuhnya diserahkan kepada tutor terkait dengan bentuk, model dan caranya. Tutor sepenuhnya memiliki kewenangan untuk menentukan lulus atau tidak lulus, berhasil atau tidak berhasil untuk setiap PB. Evaluasi untuk tugas mandiri yaitu berbentuk praktik membuat dan menyusun rencana pembelajaran sesuai dengan bidang pelajaran atau 98
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
kejar yang dilaksanakan. Jadi setiap PB wajib membuat dan menyusun RP, kemudian melaksanakan RP tersebut dalam kegiatan pembelajaran sampai dengan melakukan kegiatan evaluasi belajarnya. Kemudian setiap PB wajib membuat laporan kegiatan tugas mandiri. Laporan tersebut, sebagai dasar untuk memberikan penilaian terhadap kompetensi PB. Hasil gabungan nilai antara nilai hasil evaluasi (1) formatif, (2) sumatif dan (3) tugas mandiri kemudian diibuat rata-rata dan dilakukan scoring untuk mentukan lulus dan tidak lulusanya PB tersebut. Model K-SMART disandingkan dengan Diklat Konvensional Pelatihan diartikan oleh Sikula (dalam Sumantri, 2000) yaitu sebagai proses pendidikan jangka pendek yang menggunakan cara dan prosedur yang sitematis dan terorganisir. Peserta pelatihan akan mempelajari pengetahuan dan ketrampilan yang sifatnya praktis untuk tujuan tertentu. Titik tekan dari sebuah Diklat adalah kemampuan (kognitif), afektif (perubahan sikap dan perilaku) dan psikomotor (unjuk kerja dan performansi), untuk itu sebuah pelatihan harus dilakukan melalui perencanaan yang matang, dengan melalui tahap awal yaitu analisis kebutuhan dan permasalahan dilapangan. Substansi pelatihan atau materi pelatihan yang terlalu luas, justru tidak akan fokus dan menyulitkan peserta pelatihan untuk menguasai kompetensi yang telah ditargetkan. Muara dari sebuah pelatihan adalah terdapatnya perubahan kerja, kinerja dan profesionalisme peserta. PB sebagai sebuah profesi, menempatkan posisi PB dalam “percaturan” profesi sebagai sebuah pekerjaan yang bermartabat. Terdapat 4 (empat) kompetensi dasar PB yaitu (1) kompetensi andragogi, (2) kompetensi profesional, (3) kompetensi personal dan (4) kompetensi sosial. Selama ini para penyelenggara pelatihan hanya berfokus kepada pelatihan yang bertujuan meningkatkan kompetensi profesional, dan melupakan kompetensi yang lainnya. Pola pelatihannya pun juga sangat konvensional dengan menelan anggaran yang berlipat-lipat. Salah satu contoh misalnya, pelatihan Diklat Pengengembangan Profesi PB, yang dilaksanakan baik oleh IPABI, BPKB, BPPAUDNI dan P2 PAUDNI bahkan di Direktorat PPAUDNI, rata-rata menghabiskan dana 70 juta s,d, 100 juta (tergantung jumlah, dan lokasi kegiatan). Relatif besarnya dana yang dikeluarkan untuk Diklat PB, ternyata belum diimbangi dengan peningkatan kemampuan, kompetensi dan kinerja para PB, dan ini tentunya cukup memprihatinkan. Perlunya diJPNF Edisi 10 2013
99
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
lakukan perubahan dan paradigma berpikir tentang strategi peningkatan mutu PB dalam bentuk yang lebih sederhana, mudah dan murah (baca: minim biaya). Model pelatihan dalam bentuk diskusi atau pola pemberdayaan PB berbasis SKB atau BPKB atau BPPAUDNI sekiranya perlu diterapkan. Model K-SMART berangkat dari paradigma pemberdayaan PB dengan pola yang sederhana, muda dan berbaiaya murah. Model ini dilakukan di SKB/ BPKB/ BPPAUDNI yang dikoordinir atau difasilitasi oleh koordinator PB. Koordnator PB yang selama ini kurang berperan maka dengan model ini, peran koordinator semakin dinamis, bermakna dan memberdayakan para PB. Memberdayakan PB dalam jumlah kecil, berbasis pada SKB BPKB BPPAUDNI, justru akan lebih fokus dan menukik pada kebutuhan serta permasalahan dilapangan. Konsep tersebut tentunya memperkuat urgensi model KSMART sebagai salah satu model untuk meningkatkan kompetensi andragogi PB. Model ini dapat memberikan keuntungan yang besar, jika dibandingkan dengan model Diklat konvensional PB yang menelan begitu banyak biaya tetapi masih belum maksimal hasilnya, coba kita cermati komparasi perbandingan model K-SMART dengan Diklat konvensional berikut ini: Tabel 4: Komparasi Model K-SMART disandingkan dengan Model Diklat Konvensional
Aspek Komparasi
Model K-SMART
Diklat Konvensional
Pendekatan
Partisipatif; terlibat dari perencanaan-pelaksanaanevaluasi Beragam dan bergantung kepada kebutuhan di lapangan Kesadaran-komunikasikerja sama-komitmen, semua dikemas dalam tindakan yang CERDAS(SMART) Berbasis kepada SKB/ BPKB/ BPPAUDNI/ P2PAUDNI
Non partisipatif; peserta menerima sesuatu sudah “jadi” Kurang mempertimbangkan kebutuhan dilapangan
Strategi Pembelajaran Tindak Pembelajaran
Pola Kegiatan
100
JPNF Edisi 10 2013
Konvensional
Menyeluruh; berusaha menjangkau semua PB dalam satu pertemuan
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
Jumlah jam
Kurikulum Biaya
Pola Pelatihan
Pola 166 jam (66 jam pertemuan terstruktur, dan 100 jam tugas mandiri)
32-48 jam (berlangsung secara serentak dengan jumlah jam full dari pagimalam) Fokus kepada satu Semua kompetensi, melebar kompetensi yaitu Andragogi dan “lari kemana-mana” Hanya menghabiskan 5-10 Menghabiskan rata-rata juta per kegiatan 50-100 juta (apalagi jika kegiatan dilaksanakan di hotel berbintang) Dalam bentuk diskusi Dalam bentuk Diklat kecil 5-10 orang PB dalam berkapasitas besar (30-50 lingkup SKB/BPKB/ orang) BPPAUDNI
PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan pada paparan diatas, maka berikut adalah beberapa kesimpulan yang dapat saya tegaskan kembali, sehingga dapat menjelaskan apa yang menjadi pokok masalah dalam tulisan ini, yaitu sebagai berikut; 1. Model K-SMART adalah sebuah model alternatif yang penulis tawarkan dalam rangka meningkatkan kompetensi PB pada aspek kompetensi andragogi. Model ini merupakan model tindak pembelajaran yang meliputi tindakan dalam bentuk KSMART yaitu (1) Kesadaran-Cerdas, (2) Komunikasi-Cerdas, (3) Kerjaama-Cerdas dan (4) Komitmen-Cerdas. Materi pokok yaitu kompetensi andragogi PB diberikan sesuai dengan SKKD dalam BSNP, hanya saja dalam penyampaian materi ini disampaikan dengan 4 (empat) tindakan pembelajaran tersebut diatas. Terdapat 6 (enam) komponen pendukung model ini yaitu (1) tindak pembelajaran, (2) program belajar, (3) tutor, (4) bahan ajar, (5) metode pembelajaran dan (6) evaluasi belajar. Keenam komponen tersebut merupakan bagian integral dari keterlaksanaan model tersebut. Kegiatan pembelajaran model K-SMART dilaksanakan dalam bentuk forum diskusi, berbasis kepada SKB/BPKB/BPPAUDNI. Koordinator PB berperan sebagai tutor sebaya (peer teaching), pola pembelajaran dilakukan secara terstruktur sebanyak 66 jam (dilakukan 2 jam tiap hari @ JPNF Edisi 10 2013
101
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
60 menit) dan 100 jam tugas mandiri (dilakukan selama 25 hari kerja efektif 4 jam per hari @ 60 menit). 2. Model K-SMART sangat mudah dilaksanakan, karena model ini bertolak dari pemikiran bagaimana meningkatkan kompetensi PB salah satunya adalah kompetensi Andragogi dengan cara yang mudah, sederhana dan murah. Hal yang harus diperhatikan dalam melakukan tindakan pembelajaran adalah seorang tutor harus (1) paham konsep K yang meliputi Kesadaran-Komunikasi-Kerjasama dan Komitmen dan (2) paham SMART yang bermakna cerdas. Banyak PB yang tidak mampu menunjukan perilaku yang SMART, padahal untuk mampu SMART PB membutuhkan pelatihan yang bersifat berkelanjutan. Koordinator PB yang nnatinya berperan sebagai tutor/ fasilitator (peer tutor) harus menguasai benar bagaimana mengelola dan melaksanakan PBM yang berpola K-SMAT tersebut. Untuk membangun Kesadaran, maka tutor harus melakukannya dengan pertanyaan reflektif terkait dengan proses pembelajaran, pelaksanaan program dan evaluasi pembelajaran. Untuk membangun Kesadaran diri para peserta pelatihan (baca: PB) maka tutor harus mampu membangun komunikasi yang baik, cerdas dan saling menghargai. Selanjutnya, dalam setiap kegiatan belajar harus diupayakan sebuah permainan atau dinamika kelompok yang bersifat kerjasama dan akhirnya jika semua hal tersebut telah terpenuhi, maka K yang terakhir yaitu Komitmen akan mudah terbangun. Jadi intinya, bahwa selama proses pembelajaran berlangsung baik mulai dari perencanaan-pelaksanaan-evaluasi belajar dan hasil-hasil belajar, maka tindakan K-SMART harus dilakukan oleh seorang tutor. 3. Jika semua hal yang penulis uraikan tersebut dilaksanakan dengan baik, maka tentu model K-SMART akan mampu meningkatkan kompetensi andragogi PB dan dijadikan sebagai salah satu acuuan dalam meningkatkan kompetensi Andragogi PB untuk mendukung keberhasilan program PAUDNI. Saran/ rekomendasi Bertolak dari simpulan diatas, maka beberapa saran rekomendasi penulis adalah sebagai berikut; 1. Kepada Kepala UPTD/UPT PAUDNI (Baca: SKB/ BPKB/ 102
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
BPPAUDNI/ P2PAUDNI): a. Mencoba konsep model K-SMART yang penulis uraikan untuk kebaikan PB dalam hal ini adalah peningkatan kompetensi, profesionalisme PB dan kinerja PB b. Memfasilitasi penulis dalam rangka implementasi model KSMART terutama dalam hal pembiayaan program, sehingga model ini dapat menunjukan hasil dan segera diadopsi dalam kegiatan peningkatan kompetensi Andragogi PB c. Mencari dan menemukan model-model peningkatan kompetensi PB yang murah, mudah dan meriah tetapi mempan 2. Kepada PB a. Model K-SMART merupakan model alternatif untuk meningkatkan kompetensi Andragogi PB, karena model ini berbasis kepada UPT/ UPTD b. Model K-SMART segera diterapkan dilingkungan UPTD dengan mengoptimalkan posisi koordinator PB sebagai fasilitator atau tutor sebaya 3. Kepada Direktorat PPTK PAUDNI (pusat) a. Meningkatkan kompetensi PB tidak perlu harus dilakukan dalam skala nasional atau “pengerahan”PB dalam jumlah besarr, tetapi pola pemberdayaan PB berbasis SKB/ BPKB/BPPAUDNI/ P2PAUDNI justru lebih efektif dan berbiaya sedikit, kiranya modelK-SMART dapat dijadikan bahan renungan/ pemikiran untuk meningkatkan kompetensi PB tidak perlu biaya besar tetapi sedikit seperti model K-SMART ini b. Memfasilitasi program-program peningkatan mutu PB yang diajukan oleh SKB/BPKB/BPPAUDNI dan P2PAUDNI DAFTAR PUSTAKA Castallo, R.T, Fletcher, M.R, Rossetti, A.D dan Sekowski, R.W. (1992). School Administration; A Practitioner’s Guide. Boston: Allyn and Bacon Davenport, (1993). Is there way out of the andragogy mess? M. Trope, R Edwards& A Hanson (eds). Cultural and Process of Adults Learning. London: Routledge JPNF Edisi 10 2013
103
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
Degeng, I.N.S (2001). Kumpulan Bahan Pembelajaran Teknologi Pembelajaran. Malang: Univesitas Negeri Malang LP3 UM Depdiknas, (2005). Renstra Pendidikan 2006-2010 Diakses pada tanggal 2 Mei 2013 dari http://www.depdiknas.go.id Fowler, W.(1982). Education Policy: Consept, Adoption and Implementation. New York: Printice Hall Julita, D. 2012. Masyarakat Pembelajar Sepanjang Hayat. Warta PAUDNI Tahun XV Edisi V Tahun 2012. Jakarta: Ditjend PAUDNI Kemdikbud RI Glickman, C.D, Gordon, S.P dan Ross-Gordon, J.M, (2004). Supervision And Instructional Leadership; A Developmental Approach. Sixth Edition. Boston: Pearson Knowles, M.S. (1970). The Modern Practices of Adult Education: Andragogy Versus. New York: Association Press Knowles. M. (1980). The Modern Practice of Adult Education: From Pedagogy to Andragogy (2nd eds). Englewood Cliffs: Prentice Hall Combridge Knowles, M.S, Holton, E.F. & Swanson, R.A. (1998) The Adult Learner: The Definitive Classic in Adult Education and Human Resources Development. Houston, TX: Gulf Publishing Krajinc, A. (1989). Andragogy. Inc. C.J. Titmus (ed). Lifelong Education for Adults: An International Handbook. Oxford: Pergamon Laird, Dugan. (1981). Approaches to Training and Development. Massasuchet Addision: Wesney Publishing Company Merryfield, J & Picker, (1997). Preparing Teacher to Teach Global Perspectives (A Handbook for Teacher Educators). California: Corwin Press Inc. Owens, R.O, (1991). Organizational Behavior In Education. 4th Edision. Boston: Allyn And Bacon Syamsuddin, E. (2009). Pengaruh Sikap-Atas-Profesi, Lingkungan Kerja dan Ketrampilan Teknis terhadap Kinerja Pamong Belajar di Sanggar Kegiatan Belajar Jawa Barat Tahun 2008. Jurnal Ilmiah Visi Pendidik dan Tenaga Kependidikan PNF Vol. 4 No.1-2009 Sadid, A. (2007). Analisis Peta Kompetensi Pamong Belajar SKB di NTB. Tugas Penelitian Kuantitatif di ampu oleh Prof.Saladin. Naskah tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri 104
JPNF Edisi 10 2013
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
Malang Sadid, A (2008). Pembinaan Profesionalisme Pamong Belajar : Studi Multi Kasus pada SKB Lombok Barat dan SKB Sumbawa. Tesis tidak dipublikasikan. Malang: Universitas Negeri Malang Sadid, A. (2012). Memahami Pengembangan Model PAUDNI; Teori dan Praktik. Buku Ajar P2TK PAUDNI. Mataram: diterbitkan oleh El-Hikam-BPPAUDNI Regional V Mataram Savicevic, D. (1999). Understanding Andragogy in Eurupe and America: Compairing and Contrasting. In J. Reismann, M.Bron & Z. Jelenc (eds). Comparative Adults Education 1998: The contribution of ISCAE to an emerging filed of study. Ljubjana. Slovenia: Slovenian Institute for Adults Education Slavin, R. (1995). Cooperative Learning (2nd Edition). Boston, USA: Allyn and Bacon Sumantri, S. (2000). Pelatihan dan Pengembangan Sumber Daya Manusia. Bandung: Fakultas Psikologi UNPAD Smith, M.K. (2005) Andragogy. The Encyclopedia of Informal Education (online). (http://www.infed.org/lifelonglearning/b-andra .htm, diakses tanggal 3 Juni 2013. Teo, N. 2003. A Hanbook for Sciences Teachers in Primary School. Singapore: Times Media Private Limited
JPNF Edisi 10 2013
105
Agus Sadid, Meningkatkan Kompetensi Andragogi
106
JPNF Edisi 10 2013
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PENDIDIKAN SENI Putu Ashintya Widhiartha Abstract Education systems in many countries are struggling to meet the needs of learners in a rapidly changing world, focusing a real requirements for creative and innovative thinking, entrepreneurial ability, the capability to generate new ideas, adapt to new realities and maintain a need for life-long learning. Arts education directly relates the development of these critical skills. Arts education in music, theatre, dancing, media arts, and visual arts sparks creativity, imagination, confidence and enthusiasm for learning. Arts education in community will provide learners with skills they will need beyond formal schooling such as communication, problem-solving, the ability to develop new skills, to be innovative, to be flexible and adaptable to change. Keywords: art education, art for communities Latar Belakang Seni telah menjadi bagian dari kehidupan manusia sejak adanya peradaban. Seni yang awalnya ditujukan untuk menjadi kegiatan mengekspresikan diri telah berkembang lebih jauh menjadi suatu ciri khas atau identitas bagi kelompok masyarakat di tiap era. Melalui seni dapat diukur tingkat peradaban dan kemajuan suatu bangsa, seni pula yang menjadi warisan terbesar bagi beberapa generasi berikutnya dari suatu peradaban. Aktifitas sehari-hari umat manusia pun tidak bisa lepas dari pengaruh seni. Perkembangan teknologi yang ditujukan untuk mempermudah kehidupan manusia seringkali lahir dari ide para seniman yang dengan kreatif mengeksplorasi imajinasi mereka. Leonardo da Vinci adalah contoh seniman dari abad pertengahan yang ide-ide imajinatifnya menjadi dasar bagi lahirnya teknologi abad 20 semacam helikopter atau pesawat terbang. JPNF Edisi 10 2013
107
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
UNESCO sebagai badan dunia yang bertanggung jawab tentang masalah pendidikan sangat menaruh perhatian pada masalah pendidikan seni dan budaya ini. Melalui Konferensi Pendidikan Seni Dunia II yang diselenggarakan di Seoul, Korea Selatan 25-28 Mei 2010 yang dihadiri delegasi 95 negara telah dirumuskan Seoul Agenda (UNESCO 2013) sebagai hasil dari konferensi tersebut. Seoul Agenda tersebut merumuskan tiga tujuan yang ingin dicapai negara-negara yang meratifikasinya sebagai berikut: (1) Memastikan pendidikan seni dapat dilaksanakan sebagai bagian mendasar dan berkelanjutan dari pendidikan berkualitas tinggi; (2) Menjamin aktifitas dan program pendidikan seni memiliki kualitas yang baik dalam konsep maupun pelaksanaan; (3) Menerapkan prinsip-prinsip pendidikan seni untuk berkontribusi pada berbagai permasalahan sosial budaya yang dihadapi masyarakat saat ini. Di dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, seni telah dimasukkan sebagai salah satu mata pelajaran mulai dari tingkat Sekolah Dasar, Sekolah Menengah Pertama, hingga Sekolah Menengah Atas. Kegiatan di luar kurikulum seperti kegiatan ekstra kurikuler pun telah banyak berkontribusi pada pendidikan seni. Walaupun demikian semua keterampilan tentang seni seakan tidak berlanjut pada saat anggota masyarakat memasuki usia dewasa dan mulai sibuk bekerja. Di negara dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi seperti Indonesia, anggota masyarakat cenderung untuk sibuk bekerja memenuhi berbagai kebutuhan hidupnya dan seringkali tidak lagi menaruh perhatian pada aktifitas kemasyarakatan, apalagi kegiatan seperti seni yang tidak dianggap menghasilkan tambahan penghasilan. Kondisi ini tidak menjadi lebih baik karena pemerintah sendiri tidak menempatkan pendidikan seni di masyarakat sebagai sebuah prioritas dan cenderung menyerahkan hal ini kepada masyarakat sendiri. Aktifitas seni yang mendapatkan perhatian pemerintah biasanya hanya yang berhubungan dengan pariwisata meskipun sebenarnya banyak aktifitas seni lainnya yang layak untuk mendapatkan perhatian. Hal inilah yang melahirkan komunitas-komunitas seni di luar sistem yang sering disebut sebagai komunitas seni jalanan atau underground. Pendidikan nonformal sebagai bagian pendidikan nasional sebenarnya memiliki banyak kesempatan untuk berperan serta aktif dalam pendidikan seni di masyarakat. Melalui berbagai program pendidikan 108
JPNF Edisi 10 2013
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
masyarakat, seni dapat menjadi sarana untuk menjalankan berbagai macam program semacam program Keaksaraan atau Kesetaraan Gender. Patut disayangkan karena tidak adanya program nasional yang menaungi seringkali pelaksana birokrasi pendidikan nonformal di tingkat daerah melepaskan tanggungjawab tentang pendidikan seni dan menunjuk dinas pariwisata sebagai pihak yang seharusnya bertanggungjawab. Walaupun demikian patut diapresiasi bahwa di lapangan masih ada satuan pendidikan nonformal, seperti Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM), juga menjadi tempat pelaksanaan pendidikan seni bagi masyarakat. Kepedulian anggota masyarakat dan pelaksana pendidikan nonformal inilah yang dapat menjadi awal munculnya program-program pendidikan nonformal yang bernuansa seni dan budaya. Seoul Agenda dan Pengaruh Pendidikan Seni di Masyarakat Enam negara telah ditunjuk oleh UNESCO untuk turut serta dalam program percontohan penerapan strategi pencapaian tujuan Seoul Agenda ini, yaitu (1) Australia; (2) Kazakhstan; (3) Selandia Baru; (4) Hongkong; (5) Singapura; dan (6) Korea Selatan. UNESCO meminta kementerian pendidikan dari keenam negara tersebut untuk merumuskan strategi pendidikan seni tidak hanya di lingkungan persekolahan melalui kurikulum tetapi juga di komunitas masyarakat dengan berbagai kebijakan. Untuk mencapai tujuan pertama dari Seoul Agenda, memastikan pendidikan seni dapat dilaksanakan sebagai bagian mendasar dan berkelanjutan dari pendidikan berkualitas tinggi, ada empat strategi mendasar yang diharapkan dapat diterapkan oleh keenam negara, yaitu (1) menempatkan pendidikan seni sebagai dasar untuk perkembangan kreatifitas, kognitif, emosi, estetika dan sosial dari anak-anak; (2) menjalankan transformasi konstruktif dari sistem pendidikan melalui pendidikan seni; (3) membangun sistem pendidikan sepanjang hayat dan lintas generasi melalui pendidikan seni; dan (4) peningkatan kapasitas untuk pendidikan, advokasi, kepemimpinan dan pengembangan kebijakan yang berpihak pada seni. Sedangkan tujuan kedua dari Seoul Agenda, menjamin aktifitas dan program pendidikan seni memiliki kualitas yang baik dalam konJPNF Edisi 10 2013
109
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
sep maupun pelaksanaan, dilaksanakan melalui lima strategi,yaitu (1) membangun standar yang tinggi untuk pendidikan seni yang responsif pada kebutuhan lokal, infrastruktur, dan konteks budaya; (2) pelatihan berkelanjutan pada pendidik di bidang seni, para seniman, dan komunitas; (3) memicu pertukaran antara penelitian dan praktek di bidang pendidikan seni; (4) fasilitasi kerjasama antara pendidik dan seniman di sekolah dan berbagai program pendidikan nonformal; dan (5) kerjasama dan kemitraan antara pemangku kepentingan dari berbagai sektor. Tujuan ketiga dari Seoul Agenda, menerapkan prinsip-prinsip pendidikan seni untuk berkontribusi pada berbagai permasalahan sosial budaya yang dihadapi masyarakat saat ini, dapat dicapai dengan empat strategi, yaitu (1) meningkatkan kapasitas kreatif dan inovasi dari masyarakat; (2) mengenali dan mengembangkan dimensi sosial dari pendidikan seni; (3) meningkatkan peran serta seni dalam tanggungjawab sosial kemasyarakatan, keragaman budaya, dan dialog antar budaya; dan (4) menumbuhkan kemampuan untuk mengantisipasi perubahan global dan mewujudkan perdamaian dunia melalui pendidikan seni. Walaupun keenam negara menggunakan berbagai pendekatan yang berbeda dan tidak seluruh strategi dapat diimplementasikan tetapi dari laporan monitoring yang dilakukan UNESCO dapat disimpulkan bahwa seni menjadi bagian tidak terpisahkan dari masyarakat yang harus mendapat perhatian pemerintah. Keenam negara memang berasal dari negara dengan tingkat kesejahteraan di atas rata-rata, hal ini memudahkan masyarakat untuk berperan serta dalam berbagai kegiatan seni di komunitas karena sudah tidak lagi disibukkan untuk mencari penghasilan. Untuk menerapkan hal ini di negara berkembang seperti Indonesia perlu adaptasi dari strategi dan pendekatan yang digunakan dan hal ini juga disadari oleh UNESCO yang merencanakan untuk memperluas program ini ke negara-negara lain selain keenam negara di atas dengan berbagai strategi baru yang lebih adaptif. Berbagai laporan dari kegiatan riset pendidikan seni bagi komunitas (Ramsden,2011; Guetzkow, 2002 ; Green, 2008) dan UNESCO sendiri (UNESCO, 2013) memaparkan pengaruh pendidikan dan kegiatan seni bagi komunitas masyarakat sebagai berikut: 1. Pengaruh sosial bagi individu • Meningkatkan kepercayaan diri 110
JPNF Edisi 10 2013
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
• Meningkatkan kesehatan jiwa/rohani • Meningkatkan kemampuan berkomunikasi dan bersosialisasi • Meningkatkan kemampuan memimpin 2. Pengaruh sosial bagi kelompok masyarakat • Meningkatkan rasa memiliki dan kebanggaan akan komunitas • Meningkatkan ikatan kekeluargaan • Meningkatkan komunikasi antar generasi • Meningkatkan asimilasi budaya • Meningkatkan pencitraan pada daerah tersebut 3. Pengaruh pada bidang pendidikan • Meningkatkan kemampuan belajar pada anggota masyarakat terutama pada unsur literasi dan komunikasi verbal. • Meningkatkan spesialisasi kemampuan teknis yang sesuai dengan aktifitas seni tersebut yang pada gilirannya meningkatkan kemampuan teknis tersebut di bidang lain. • Meningkatkan pemahaman akan isu sosial yang sedang berkembang melalui pembicaraan dan diskusi pada saat komunitas seni mengadakan aktifitas. • Meningkatkan kemampuan berargumentasi para anggota komunitas. • Membuka kesempatan menambah wawasan bagi para anggota apabila mereka mendapatkan kesempatan untuk tampil di daerah atau negara lain. • Melestarikan warisan budaya bangsa 4. Pengaruh pada bidang ekonomi • Pembelian barang-barang untuk aktifitas seni turut menggerakkan ekonomi. • Pada waktu tertentu adanya pameran, festival, atau panggung budaya menjadikan aktifitas ekonomi masyarakat meningkat menjelang dan pada saat acara tersebut dilangsungkan. • Pada komunitas seni pertunjukan bahkan dapat menjadi tambahan penghasilan bagi anggotanya apabila mereka diundang atau diminta untuk menjadi pengisi acara. • Menjadi daya tarik bagi wisatawan untuk berkunjung. JPNF Edisi 10 2013
111
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
• Meningkatkan kesehatan rohani dan jasmani sehingga dapat mengurangi biaya kesehatan. 5. Pengaruh estetika • Meningkatnya pemahaman masyarakat akan seni di lingkungan sekitar komunitas dapat membuat daerah tersebut menjadi lebih indah dan tertata. • Meningkatkan keterlibatan masyarakat pada aktifitas-aktifitas lain di komunitas tersebut. Konsep Pendidikan Seni bagi Masyarakat di Indonesia Di Indonesia hingga saat ini belum ada kebijakan pendidikan yang secara langsung mendukung penerapan Seoul Agenda terutama penerapan pendidikan seni di sektor pendidikan nonformal. Walaupun demikian bukan berarti tidak ada program-program pemerintah ataupun masyarakat yang secara mandiri telah menjalankan berbagai strategi Seoul Agenda ini. Beberapa program pendidikan nonformal di Indonesia telah berkembang menjadi kesempatan belajar kesenian lokal terutama di daerah dengan tradisi seni dan budaya yang kuat seperti Jogjakarta dan Bali. Berkumpulnya anggota masyarakat di satuansatuan pendidikan nonformal seperti PKBM untuk belajar seringkali membuka kesempatan untuk lahirnya berbagai kegiatan di komunitas termasuk di antaranya belajar seni. Untuk menjadikan seni sebagai suatu kegiatan yang memberikan manfaat langsung yang dapat dirasakan oleh masyarakat perlu adanya pembagian peran antara anggota masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan lainnya. 1. Peran serta Masyarakat Masyarakat Indonesia cenderung untuk patuh kepada tokoh yang dituakan atau dianggap karismatik. Untuk menggalang dukungan pada suatu program atau kegiatan, tokoh-tokoh semacam ini perlu untuk berperan aktif. Anggota masyarakat harus digugah untuk menganggap seni sebagai bagian tidak terpisahkan dari aktifitas sehari-hari mereka. Apabila orang tua kesulitan untuk belajar seni karena sibuk mencari nafkah maka anak-anak dan remaja yang perlu diberi kesadaran untuk mempelajari seni. Tigapuluh tahun silam bukan pemandangan yang asing apabila pemuda karang taruna belajar menari atau 112
JPNF Edisi 10 2013
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
gamelan bersama-sama di sore hari. Seiring kemajuan teknologi yang memberikan pilihan hiburan tak terbatas dan sifat anggota masyarakat yang semakin individualis maka kegiatan-kegiatan semacam ini sudah hampir punah di Indonesia. Perlu adanya tokoh-tokoh yang menggerakkan kegiatan-kegiatan semacam ini agar seni dapat kembali menjadi bagian dari masyarakat kita. Di bidang pendidikan nonformal kita dapat berharap para tutor atau pengelola PKBM menjadi inspirator masyarakat agar kembali aktif berkesenian dengan mengadakan program-program belajar yang mencakup kegiatan seni. Program-program tersebut dapat diintegrasikan ke kegiatan-kegiatan semacam pendidikan keaksaraan, kecakapan hidup, dan lainnya. 2. Peran serta Pemerintah Pemerintah di tingkat pusat dapat berperan dalam menyusun kebijakan nasional tentang hal ini. Tidak perlu terjebak dalam dikotomi tugas pokok dan fungsi tetapi cukup strategi secara garis besar yang dapat menjadi acuan penyusunan kebijakan bersama dari segenap pihak. Di tingkat lokal pemerintah dapat berperan sebagai fasilitator dengan menyediakan berbagai sarana dan prasarana yang dapat dimanfaatkan masyarakat untuk berkesenian, misalnya dengan menyediakan sanggar atau gedung yang dapat disewa secara murah untuk mengadakan panggung budaya. Dari sisi pariwisata pemerintah di tingkat daerah juga dapat membantu dengan mengadakan festival secara rutin dan memberikan kesempatan kepada komunitas seni di masyarakat untuk turut serta secara aktif. 3. Peran serta Pemangku Kepentingan Lain Pemangku kepentingan lainnya seperti swasta dapat berperan serta dengan menjadi sponsor bagi berbagai kegiatan seni di masyarakat. Perguruan tinggi dan sekolah formal juga dapat menjadi fasilitator dengan menyediakan instruktur yang kompeten bagi kelompok masyarakat yang ingin mempelajari tentang seni. Lembaga swadaya masyarakat dapat turut membantu untuk menyebarluaskan adanya program pendidikan seni ini sehingga menarik perhatian dari berbagai pihak untuk turut membantu. JPNF Edisi 10 2013
113
Putu A. W. Pemberdayaan Masyarakat Melalui Pendidikan Seni
Kesimpulan Bangsa Indonesia dikenal dunia sebagai bangsa yang memiliki seni budaya yang beragam dan menarik minat untuk dipelajari. Kondisi sebaliknya di dalam negeri sendiri saat ini, seni yang seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan dari perjalanan masyarakat Indonesia telah banyak ditinggalkan kecuali di beberapa daerah dengan akar tradisi dan budaya yang kuat seperti Jogjakarta dan Bali. Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebenarnya tetap memberikan perhatian besar pada seni dengan tetap memberikan porsi bagi mata pelajaran kesenian pada kurikulum sekolah formal. Walaupun demikian di luar lingkungan sekolah formal seni tidak lagi mudah untuk dipelajari karena masyarakat yang sudah disibukkan untuk mencari penghasilan dan semakin individualis. Pendidikan nonformal sebagai bagian dari pendidikan nasional yang memiliki akses langsung ke komunitas masyarakat memiliki kesempatan luas untuk turut menyediakan pendidikan seni di luar sekolah. Dengan adanya peran serta aktif dari anggota masyarakat sendiri, pemerintah baik pusat maupun daerah, dan pemangku kepentingan lain seperti swasta dapat menjadikan program-program pendidikan nonformal sebagai prasarana pendidikan seni bagi masyarakat. DAFTAR PUSTAKA Green, Meredith and Christopher Soon (2008). Drawing Out Community Empowerment Through Art and Cultural Practice. Community Art Network WA Ltd. Guetzko, Joshua (2002). How the Arts Impact Communities, An Introduction to Literature on Art Impact Studies. Center of Art and Cultural Policies Studies Princeton University Ramsden, Hillary, Jane Milling, Jenny Philmore, Angus McCabe, Hamish Fyfe, and Robin Simpson (2011). The Role of Grassroots Art Activities in Communities: a Scoping Study. Third Sector Research Center UNESCO (2013). Releasing the Power of the Arts; Exploring Arts Education in Asia Pacific. UNESCO Bangkok.
114
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
MAKNA TINDAKAN ORANG TUA DALAM MENGIKUTSERTAKAN ANAK USIA DINI LES CALISTUNG
(Kajian Perspektif Fenomenologi di Kecamatan Sukolilo Kota Surabaya)
Yuniar Arie Riswanti Abstract Purposes of this research were (1) To explain the reason of the parents’ action by engaging its early childhood in to literacy and numeracy course; (2) To figure out the essence of literacy and numeracy course for early childhood from the perspective of parent; and (3) To find out the construction of essence which can be established towards the parents’ action. This research applied qualitative approach with the perspective of Schutz’s phenomenology analysis. The results showed that the reason of the parents engaging their early childhood course could be divided into two: reason which becomes the cause and reason which becomes purpose. The first reason were the children’s surroundings that prosecuted them to be able in literacy and numeracy, the more sophisticated information and technology also encouraged the children who was able in literacy and numeracy could afford to use it, pride of the parents, learning in early childhood institutions which lack the sense of literacy and numeracy, also the children were required to be ready for literacy and numeracy at elementary school level. As for the second reason were to take advantage of children’s time with more optimal, recognized letters earlier, could be more independent that had something to do with literacy and numeracy, could pass admission selection in expected elementary school and was not less equal than their peers. Furthermore, the actions engaging early childhood in literacy and numeracy course perceived JPNF Edisi 10 2013
115
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
by the parents as a necessity to prepare for early childhood in order to enter elementary school level, as one way to utilize your free time children to make it more meaningful, and as a means to reach the parents pride over accomplishment. According to researcher, construction of value that can be established against the actions of parents for early childhood in engaging them in literacy and numeracy was kind of action that could not be imposed on early childhood as it could affect them to be depressed. The course could be pleasantly arranged and situated in accordance to the stages of children’s development in learning. Keywords: value. early childhood. literacy and numeracy course Kemampuan membaca, menulis dan berhitung (calistung) merupakan aspek yang dapat membantu seorang anak memiliki kesempatan terbaik untuk berhasil di sekolah dan di kehidupan sehari-harinya. Pada dasarnya setiap individu menggunakan keterampilan dasar calistung di setiap bagian kehidupannya. Misalnya ketika berkomunikasi dalam bentuk tertulis, melalui internet, media digital, ketika mengikuti tanda-tanda dan instruksi ketika berada dalam pekerjaan, menikmati waktu luang, ketika mencoba memahami informasi massa dan data yang tersedia melalui media, dan sebagainya. Kemampuan membaca dan menulis atau kemampuan keaksaraan mencakup kemampuan untuk menggunakan dan memahami bahasa lisan, cetak, tulisan, dan media digital ketika seorang individu menjalani kehidupannya. Sedangkan kemampuan berhitung adalah kemampuan menggunakan logika matematika yang menjadi dasar bagi kegiatan matematika selanjutnya. Berhitung berkaitan dengan aktivitas kehidupan sehari-hari yang dijalani anak. Melalui keterampilan calistung, anak ataupun orang dewasa dapat berpartisipasi secara penuh dalam setiap aspek kehidupan. Salah satu perkembangan yang terjadi pada dunia pendidikan saat ini adalah pemberian les calistung pada anak usia dini. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, les merupakan pelajaran tambahan 116
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
di luar jam sekolah. Berdasarkan definisi tersebut dan dikaitkan dengan definisi pendidikan nonformal, maka les merupakan bagian dari pendidikan non formal, karena dilaksanakan di luar jam sekolah yang berarti di luar sistem persekolahan. Les calistung dilaksanakan dalam rangka menjawab kebutuhan tertentu peserta didiknya, dalam hal ini kemampuan calistung. Kegiatan les calistung ini dilaksanakan oleh perseorangan dan lembaga les atau lembaga bimbingan belajar. Merujuk pada data yang diperoleh pada studi pendahuluan, diketahui bahwa les calistung untuk anak usia dini telah menjadi suatu kebutuhan di masyarakat. Hal tersebut terjadi karena ada orang tua memiliki anggapan bahwa kemampuan calistung perlu diberikan pada anak sejak dini. Sedangkan pada sisi yang lain, pemberian stimulasi pada anak harus memperhatikan usia dan tahap perkembangan anak. Dalam upaya membantu anak mengembangkan potensi diri anak secara normal dan optimal, hendaknya orang tua memiliki pemahaman yang komprehensif tentang karakteristik anak usia dini sehingga orang tua akan dapat memahami, dan dapat memberikan bantuan yang tepat bagi anak dalam mengembangkan tahapan kemampuannya pada berbagai dimensi perkembangan. Informasi yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak dan pendidikan yang sesuai untuk anak usia dini saat ini dapat diperoleh dengan mudah oleh orang tua melalui kegiatan parenting education, seminar, dan sosialisasi yang dilakukan oleh pemerintah, pemerhati anak, ataupun pakar perkembangan anak. Hal ini menarik untuk dikaji adalah mengapa hal itu terjadi di saat pemerintah dan pemerhati pendidikan anak usia dini sedang gencar mensosialisasikan tentang pendidikan anak usia dini yang berpihak kepada anak, menyenangkan, dan sesuai dengan usia dan tahap perkembangan anak. Oleh karena itu, penelitian ini berusaha mengungkapkan makna yang ada di balik tindakan yang dilakukan oleh orang tua. Tindakan itu berupa pemberian les calistung pada anak usia dini. LANDASAN TEORI Les Calistung pada Anak Usia Dini dalam Perspektif Teori Perkembangan Anak Kemampuan calistung masuk dalam aspek perkembangan kognitif, karena perkembangan kognitif berfokus pada keterampilan berJPNF Edisi 10 2013
117
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
pikir, termasuk belajar, pemecahan masalah, rasional, dan mengingat. Perkembangan keterampilan kognitif berhubungan secara langsung dengan perkembangan keterampilan lainnya, termasuk komunikasi, motorik, sosial, emosi, dan keterampilan adaptif. Santrock (2011:44), mengatakan “dunia kognitif anak-anak pra sekolah adalah kreatif, bebas dan fantastis. Imajinasi anak-anak pra sekolah bekerja sepanjang waktu, dan pemahaman mental mereka mengenai dunia menjadi lebih baik”. Sesungguhnya dasar-dasar keaksaraan dan numerasi pada anak usia dini sudah mulai dapat dikembangkan dengan tidak mengabaikan tahap perkembangannnya sejak usia nol tahun. Selanjutnya Santrock (2011:45) juga mengatakan bahwa, “Label pra-operasional menekankan bahwa anak-anak belum melakukan operasi yang merupakan tindakan mental yang dapat dibalik. Menambah dan mengurangi angka secara mental merupakan contoh-contoh operasi. Pemikiran pra-operasional adalah awal dari kemampuan untuk merekonstruksi di dalam pikiran tentang apa yang telah ditetapkan dalam perilaku”. Sejalan dengan yang telah disampaikan di atas, Dodge (2002:24) menyampaikan bahwa tujuan perkembangnan pada anak usia dini tidak hanya pada aspek perkembangan kognitif, namun juga pada aspek-aspek yang lain. Perkembangan adalah suatu perubahan yang bersifat kualitatif yaitu berfungsi tidaknya organ-organ tubuh. Perkembangan dapat juga dikatakan sebagai suatu urutan perubahan yang bersifat saling mempengaruhi antara aspek-aspek fisik dan psikis dan merupakan satu kesatuan yang harmonis. Contoh, anak diperkenalkan bagaimana cara memegang pensil, membuat huruf-huruf dan diberi latihan oleh orang tuanya. Kemampuan belajar menulis akan mudah dan cepat dikuasai anak apabila proses latihan diberikan pada saat otot-ototnya telah tumbuh dengan sempurna, dan saat untuk memahami bentuk huruf telah diperoleh. Dengan demikian anak akan mampu memegang pensil dan membaca bentuk huruf. Melalui belajar anak akan berkembang, dan akan mampu mempelajari hal-hal yang baru. Perkembangan akan dicapai karena adanya proses belajar, sehingga anak memperoleh pengalaman baru dan menimbulkan perilaku baru. Pengikutsertaan Anak Usia Dini Pada Les Calistung Dalam Teori Tindakan Seluruh perilaku manusia yang dilakukan dengan sadar ataupun 118
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
tidak sadar untuk mencapai tujuan tertentu merupakan suatu tindakan sosial. Demikian pula dengan tindakan orang tua untuk mengikutsertakan anaknya yang masih usia dini dalam kegiatan les calistung. Max Weber membedakan tindakan sosial dalam empat tipe. Semakin rasional tindakan sosial itu semakin mudah dipahami. Tipe tindakan tersebut adalah sebagai berikut dalam Ritzer, (2002:40-41). Tindakan mengikutsertakan anak usia dini les calistung termasuk dalam tipe wrektrational action, karena orang tua tidak mengetahui apakah tindakan yang dilakukannya itu merupakan yang paling tepat dilakukan ataukah yang paling cepat untuk mencapai tujuan. Pemaknaan Pemberian Les Calistung Untuk Anak Usia Dini Oleh Orang Tua Dalam Perspektif Fenomenologi Atas dasar filsafat dan paradigma yang mendasarinya, fenomenologi berada pada paradigma definisi sosial. Fenomenologi mengkaji tentang manusia sebagai makhluk unik dan aktif, sehingga diperlukan pemahaman secara interpretatif. Pendekatan fenomenologi mempunyai asumsi bahwa individu melakukan interaksi dengan sesamanya mempunyai banyak cara penafsiran pengalaman. Fenomenologi berupaya untuk memahami makna kejadian, gejala yang timbul, atau interaksi bagi individu pada situasi dan kondisi tertentu dalam kehidupan seharihari. Fenomenologi juga mengkaji masuk ke dalam dunia makna yang terkonsep dalam diri individu, kemudian diekspresikan dalam bentuk fenomena. Ritzer dalam Fatchan (2011:130) menyatakan sebagai berikut. Asumsi pendekatan fenomenologi adalah bahwa bagi individu dalam melakukan interaksi dengan sesamanya terdapat banyak cara penafsiran pengalaman. Fenomenologi berupaya untuk memahami makna, kejadian, gejala yang timbul dan atau interaksi bagi individu pada situasi dan kondisi tertentu dalam kehidupan sehari-hari. Fenomenologi ini mengkaji masuk ke dalam dunia makna yang terkonsep dalam diri individu kemudian diekspresikan dalam bentuk fenomena. Tindakan orang tua untuk mengikutsertakan anak usia dini les calistung saat ini adalah merupakan suatu fenomena tindakan yang memiliki motif sebab dan motif tujuan. Untuk mengungkap makna di balik tindakan tersebut maka perlu di lakukan analisis terhadap motif sebab dan motif tujuan tersebut. Orang tua memiliki harapan tertentu yang menjadi motif tujuan dengan mengikutsertakan anaknya pada kegiatan JPNF Edisi 10 2013
119
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
les calistung. Berdasarkan pada motif dan harapan tersebut maka dengan penelitian ini dapat diketahui makna les calistung untuk anak usia dini menurut orang tua. METODE Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif, dengan melakukan eksplorasi dan pengkajian mendalam serta memerlukan pembahasan yang rinci yang bertujuan untuk memahami gejala-gejala yang tidak memerlukan kuantifikasi, atau gejala-gejala tersebut tidak dimungkinkan untuk diukur secara tepat. Sedangkan tradisi yang dipilih adalah tradisi fenomenologi, karena penelitian ini berupaya mengungkap makna tindakan subyektif yang unik atas persepsi dari individu pelaku. Tindakan subyektif tersebut adalah tindakan orang tua dalam mengikutsertakan anak usia dini les calistung. Mengungkap keunikan tindakan subyek semacam itu penelitian ini menggunakan tradisi fenomenologi schutz yang bertujuan untuk mengungkap dan memahami makna yang ada di balik fenomena tindakan orang tua atas dasar persepsi sendiri serta berbagai motif yang melatarbelakangi tindakannya. Motif tindakan tersebut meliputi motif sebab dan motif tujuan. Partisipan dalam penelitian ini adalah orang tua yang mengikutsertakan anak usia dini les calistung. Penelitian ini secara intensif dilakukan di kecamatan Sukolilo, Kota Surabaya. Kehadiran peneliti dalam penelitian ini sebagai pengamat langsung terhadap hal yang diteliti, sehingga peneliti dapat menemukan dan mengumpulkan informasi yang berupa kondisi dan konteks yang menjadi motif sebab dan motif tujuan tindakan orang tua mengikutsertakan anak usia dini les calistung. Instrumen penelitian adalah peneliti sendiri yang sekaligus sebagai pengumpul data. Fokus dari penelitian ini adalah mengapa orang tua mengikutsertakan anak usia dini pada kegiatan les calistung. Selanjutnya tujuan dari penelitian ini adalah untuk: (1) Menjelaskan alasan tindakan orang tua mengikutsertakan anak usia dini pada kegiatan les calistung, (2) Mengetahui makna les calistung untuk anak usia dini menurut orang tua, (3) Menemukan konstruksi makna yang bisa dibangun terhadap tindakan orang tua mengikutsertakan anak usia dini pada kegiatan les calistung
120
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
PAPARAN DATA DAN TEMUAN PENELITIAN Informasi Tentang Anak Usia Dini Yang Diperoleh Orang Tua Kota Surabaya menyediakan akses informasi yang cukup tentang berbagai hal, termasuk tentang pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini. Orang tua sebagai pendidik yang pertama dan utama bagi anak, harus mampu melakukan tindakan yang tepat dalam upaya mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Oleh karena itu penting bagi orang tua untuk memperoleh berbagai informasi tentang anak usia dini. Partisipan menyatakan bahwa informasi yang diperoleh dapat membantu mengetahui cara membelajarkan anak dengan benar, sehingga anak bisa berkembang dengan optimal. Partisipan lain menyatakan bahwa informasi diperoleh sebagian besar dari percakapan orang tua ketika sedang menunggu anaknya di sekolah. Ada juga partisipan yang memperoleh informasi hanya dari pos pelayanan terpadu (posyandu). Informasi tentang anak usia dini ini yang dibutuhkan oleh orang tua bisa diperoleh melalui berbagai cara. Berdasarkan pernyataan dari para partisipan dapat disimpulkan bahwa orang tua memperoleh informasi tentang anak usia dini dengan cara yang disengaja dan tidak disengaja. Informasi yang diperoleh dengan cara yang disengaja misalnya melalui media televisi dan radio, internet, media cetak, buku-buku, posyandu, parenting education, seminar dan sebagainya. Informasi yang diperoleh dengan cara yang tidak disengaja misalnya melalui sharing dan obrolan dengan orang tua yang lain, melalui media televisi dan radio, media cetak dan sebagainya. Pemahaman Orang Tua Tentang Pertumbuhan dan Perkembangan Anak Usia Dini Pertumbuhan dan perkembangan anak usia dini penting untuk menjadi perhatian dari semua pihak, khususnya orang tua. Proses tumbuh kembang anak akan mempengaruhi kehidupan mereka pada masa yang akan datang. Pertumbuhan dan perkembangan anak dioptimalkan pada seluruh aspek perkembangannya melalui pendidikan anak usia dini. Berdasarkan pernyataan para partisipan dapat disimpulkan bahwa ada orang tua telah memahami tentang pendidikan anak usia dini, tumbuh kembang anak dan bahkan tentang perkembangan kognitif anak, namun tetap mengikutsertakan anak usia dini les calistung. JPNF Edisi 10 2013
121
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
Orang tua tersebut mensyaratkan bahwa les calistung harus dilaksanakan dengan suasana yang menyenangkan bagi anak dan menyesuaikan dengan tahapan pertumbuhan dan perkembangan anak. Pada sisi yang lain, ada orang tua yang kurang begitu memahami tentang pendidikan anak usia dini, tumbuh kembang anak dan juga perkembangan kognitif anak. Mereka hanya memahami bagaimana anak bisa membaca, menulis dan berhitung dengan segera sebelum mereka masuk jenjang SD. Alasan Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung 1. Lingkungan Di Sekitar Anak Anak tumbuh dan berkembang tidak lepas dari pengaruh lingkungannya. Partisipan menyatakan bahwa lingkungan di sekitar anak mempengaruhi tindakannya untuk mengikutsertakan anak usia dini les calistung. Lingkungan di sekitar anak meliputi lingkungan di dalam keluarga, lingkungan bermain anak dan lingkungan sekolah. Dinyatakan bahwa teman-teman bermain anak sebagian besar telah mengikuti les calistung. Hal ini menyebabkan orang tua khawatir jika kemampuan anaknya tertinggal dari temannya dan berakibat pada menurunnya rasa percaya diri anak. Oleh karena itu orang tua mengikutsertakan anak les calistung agar anak bisa lebih percaya diri dalam bersosialisasi dan bermain dengan temannya. 2. Keinginan Dari Dalam Diri Anak Alasan orang tua untuk mengikutsertakan anak usia dini les calistung juga dilatarbelakangi oleh keinginan dari dalam diri anak. Anak memiliki keinginan untuk segera mampu membaca, menulis dan berhitung karena rasa ingin tahunya yang besar dan kesukaannya terhadap buku. Hal ini menjadi salah satu alasan tindakan orang tua untuk mengikutsertakan anak usia dini les calistung agar anak lebih mandiri dalam mengeksplorasi memenuhi rasa ingin tahunya. Meskipun ketika ada kesulitan terhadap hal-hal yang berkaitan dengan calistung anak akan meminta bantuan kepada orang dewasa di sekitarnya. Selain itu dikemukakan pula bahwa anak merasa menjadi lebih mudah dalam menger122
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
jakan tugas-tugas dari sekolah setelah mengikuti les calistung. 3. Teknologi Dan Informasi Yang Semakin Canggih Partisipan menyatakan bahwa canggihnya teknologi dan informasi pada era global saat ini menuntut kemampuan calistung dari setiap individu untuk bisa menggunakan dan menikmatinya. Termasuk teknologi dan informasi yang diperuntukkan bagi anak-anak, baik itu alat permainan ataupun media televisi, majalah dan sebagainya. Jadi, teknologi menjadi salah satu alasan yang melatarbelakangi tindakan orang tua untuk mengikutsertakan anak usia dini les calistung. 4. Kebanggaan Bagi Orang Tua Orang tua merasa sangat bangga ketika anaknya lebih menonjol dari pada teman-temannya yang lain di kelas. Setiap orang tua pasti merasa bangga ketika anaknya berprestasi. Apapun akan diupayakan oleh orang tua agar anak bisa mencapainya. Sebagian orang tua menganggap bahwa kemampuan membaca, menulis dan berhitung pada usia dini merupakan suatu prestasi yang patut dikejar. Oleh karena itulah les menjadi salah satu upaya orang tua untuk bisa meraih prestasi tersebut. 5. Pembelajaran di Lembaga PAUD Saat ini banyak lembaga PAUD baik KB maupun TK yang menggunakan metode pembelajaran melalui bermain. Hal tersebut sesuai dengan teori, yaitu bahwa pembelajaran pada pendidikan anak usia dini sebaiknya melalui bermain sehingga potensi yang dimilikinya dapat dikembangkan secara optimal. Namun hal ini justru menjadi salah satu alasan bagi orang tua untuk mengikutsertakan anaknya les calistung. Orang tua beranggapan pembelajaran di lembaga PAUD belum memberikan bekal yang cukup kepada peserta didiknya untuk kesiapannya pada jenjang SD. 6. Kesiapan Anak Pada Jenjang Sekolah Dasar (SD) Kesiapan anak pada jenjang SD menjadi salah satu motif yang melatarbelakangi tindakan orang tua dalam mengikutsertakan anak usia dini les calistung. Karena orang tua menganggap bahwa muatan pelajaran pada jenjang SD sudah menuntut kemampuan calistung JPNF Edisi 10 2013
123
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
anak. Orang tua mengupayakan anaknya agar lebih siap dalam memasuki jenjang SD dengan mengikutsertakan anaknya les calistung. Harapan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung Setiap orang tua mengharapkan anaknya dapat berkembang secara optimal pada semua aspek perkembangannya. Baik itu perkembangan pada aspek moral agama, kemandirian, motorik, bahasa maupun kognitifnya. Kemampuan, calistung merupakan kemampuan dasar yang harus dimiliki oleh setiap individu dalam menjalani kehidupannya. Partisipan menyatakan bahwa dengan les calistung diharapkan anak dapat mengenal huruf lebih awal sehingga menunjang kesiapannya untuk memasuki jenjang pendidikan lebih lanjut. Selain itu orang tua berharap agar anak bisa lebih mandiri dalam kaitannya dengan calistung. Orang tua juga berharap bahwa dengan mengikuti les calistung maka anak dapat memanfaatkan waktunya dengan lebih optimal sehingga tidak ada waktu yang terbuang hanya dengan aktivitas yang tidak bermakna. Selain itu orang tua juga berharap agar anak bisa lulus dalam seleksi penerimaan murid baru di SD yang diinginkan, serta anak lebih siap dalam memasuki jenjang SD. PEMBAHASAN Alasan Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung Teori tindakan sosial dari Max Weber menunjukkan bahwa tindakan sosial yang terjadi setiap hari selalu memiliki makna-makna. Artinya bahwa makna selalu mengiringi tindakan sosial, dan dibalik tindakan sosial selalu ada makna. Tindakan sosial merupakan tindakan yang yang dilakukan dengan mempertimbangkan perilaku orang lain dan berorientasi pada perilaku orang lain. Menurut Weber, (dalam Fatchan, 2011:133) untuk memahami arti atau makna dari tindakan manusia pasti terkait dengan kausalitasnya, karena makna sendiri merupakan komponen kausal dari suatu tindakan, sehingga tindakan individu adalah suatu tindakan subyektif yang merujuk pada makna aktor pelaku sendiri atas dasar motif tujuan. Tindakan orang tua mengikutsertakan anak usia dini les calistung memiliki motif-motif atau alasan-alasan. Alasan-alasan tersebut dibagi menjadi dua yaitu alasan yang menjadi sebab dan alasan yang menjadi 124
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
tujuan. Alasan yang menjadi sebab yaitu lingkungan di sekitar anak yang menuntut anak untuk memiliki kemampuan calistung, keinginan dari dalam diri anak untuk mengikuti les calistung, teknologi dan informasi yang semakin canggih menuntut anak mampu calistung untuk bisa menggunakannya, rasa bangga orang tua jika anaknya mampu calistung sejak dini, pembelajaran di lembaga PAUD yang kurang memberikan asahan pada calistung, dan kesiapan calistung anak pada jenjang sekolah dasar Alasan sebab pertama adalah lingkungan di sekitar anak yang menuntut anak untuk memiliki kemampuan calistung. Lingkungan di sekitar anak meliputi lingkungan keluarga, lingkungan bermain, dan lingkungan di sekolah. Lingkungan keluarga merupakan tempat bagi anak dalam menggunakan sebagian besar waktu yang dimilikinya. Pendidikan yang pertama dan utama bagi anak adalah pendidikan di dalam keluarga. Pendidikan yang orang tua berikan kepada anak merupakan suatu persiapan bagi kematangan anak dalam menghadapi masa depannya. Lingkungan keluarga yang mendorong anak untuk memiliki kemampuan calistung sejak dini misalnya adalah ketersediaan bahan bacaan yang menarik bagi anak di rumah. Orang tua antusias memperkenalkan bahan-bahan keaksaraan kepada anak. Hal ini sesuai dengan tahapan perkembangan kemampuan membaca pada anak usia 4–6 tahun menurut Cochrane Efal (dalam Dhieni, 2005) pada poin “d” yaitu tahap pengenalan bacaan (take-off reader stage). Bahwa Anak mulai menggunakan tiga sistem isyarat (graphoponic, semantic, dan syntactic) secara bersama-sama. Anak mulai tertarik pada bacaan dan mulai membaca tanda-tanda yang ada di lingkungan seperti membaca kardus susu, pasta gigi dan lain-lain. Alasan sebab kedua adalah keinginan dari dalam diri anak. Bahwa keinginan dari dalam diri anak untuk mengikuti les calistung timbul karena rasa ingin tahu anak yang tinggi terhadap hal-hal baru, dan kesukaan anak terhadap buku. Hal ini sesuai dengan tahapan perkembangan kemampuan membaca pada anak usia 4–6 tahun menurut Cochrane Efal (dalam Dhieni, 2005) pada poin “e” yaitu tahap membaca lancar (independent reader stage). Anak dapat membaca berbagai jenis buku secara bebas. Orang tua dan guru masih harus membacakan buku untuk anak. Tindakan tersebut dimaksudkan agar dapat mendorJPNF Edisi 10 2013
125
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
ong anak untuk memperbaiki bacaannya. Anak masih harus dibantu untuk memilih bacaan yang sesuai. Pada saat anak memasuki usia empat tahun, sebagian besar anak tertarik dengan konsep sebab akibat. Anak memiliki rasa ingin tahu yang besar tentang mengapa sesuatu terjadi dan menggunakan imajinasinya untuk memahami lingkungannya. Selanjutnya ketika anak berusia lima tahun, anak belajar melalui mencoba dan menemukan. Anak-anak ini telah mengembangkan kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan mereka, dan membuat perkiraan tentang yang akan terjadi melalui pengamatan terhadap orang atau beragam obyek di sekitarnya, serta berdasarkan yang telah mereka ketahui sebelumnya. Anak-anak ini telah mampu berpikir cukup kompleks dengan mengkaitkan informasi yang baru mereka ketahui dengan pengetahuan mereka sebelumnya. Anak-anak juga telah memahami perbedaan warna, ukuran, dan bentuk, serta mampu mengklasifikasikan benda berdasarkan dua karakteristik. Alasan sebab ketiga adalah canggihnya teknologi dan informasi. Canggihnya teknologi dan informasi pada era global saat ini menuntut kemampuan membaca, menulis dan berhitung dari setiap individu untuk bisa menggunakan dan menikmatinya. Termasuk hal-hal yang berkaitan dan diperuntukkan bagi anak-anak, baik itu alat permainan ataupun media televisi, majalah dan sebagainya. Teknologi memungkinkan anak untuk membuka jendela dunia, melakukan sesuatu dalam satu genggaman dan banyak kemudahan lain yang bisa didapatkan dengan hadirnya teknologi. Alasan sebab keempat adalah kebanggaan orang tua. Orang tua merasa sangat bangga ketika anaknya lebih menonjol dari pada teman-temannya yang lain di kelas. Setiap orang tua pasti bangga ketika anaknya berprestasi. Sebagian orang tua menganggap bahwa kemampuan membaca, menulis dan berhitung pada usia dini merupakan suatu prestasi yang patut dikejar. Bangga terhadap prestasi anak merupakan aspirasi setiap orang tua. Menurut Sudiapermana (2005), makna aspirasi pada dasarnya meliputi: 1) keinginan untuk mencapai tujuan, 2) keinginan tersebut sifatnya lebih tinggi dari hasil atau status yang dimiliki sekarang; 3) keinginan itu dapat berupa sesuatu yang realistik (sesuai dengan kemampuan dan keadaan diri) dan ada yang tidak realistik (berlebih-lebihan/melebihi 126
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
kemampuan yang dimiliki); dan 4) ada keterlibatan diri yang mendalam dalam upaya mewujudkan keinginan tersebut. Les calistung merupakan perwujudan keinginan orang tua untuk mencapai kebanggaan terhadap prestasi anak, dan mengikutsertakan anak usia dini merupakan bentuk keterlibatan diri yang sungguh-sungguh dalam upaya mewujudkan keinginan tersebut. Alasan sebab kelima adalah pembelajaran di lembaga PAUD. Lembaga pendidikan anak usia dini baik KB maupun TK yang telah menggunakan metode pembelajaran melalui bermain. Melalui bermain maka otak anak secara terarah dapat dikembangkan sehingga serabut otak yang jumlahnya mencapai miliaran sel itu dapat berkembang sesuai dengan tahapan perkembangan anak. Sehingga kecerdasan anak dapat ditingkatkan dan berbagai potensi yang dimilikinya dapat dikembangkan secara optimal. Pada dasarnya pendidikan bagi anak usia dini merupakan upaya untuk menstimulasi, membimbing, mengasuh dan pemberian kegiatan pembelajaran yang akan menghasilkan kemampuan dan ketrampilan anak. Pendidikan anak usia dini merupakan salah satu bentuk penyelenggaraan pendidikan yang menitik beratkan pada peletakan dasar ke arah pertumbuhan dan perkembangan fisik, kecerdasan, daya cipta, kecerdasan emosi, dan kecerdasan spititual Alasan sebab keenam adalah kesiapan anak pada jenjang SD. Orang tua menganggap bahwa muatan pelajaran pada jenjang SD sudah menuntut kemampuan anak membaca, menulis dan berhitung. Banyak guru SD kelas satu yang tidak mau terbebani dengan peserta didik yang belum mampu calistung dengan baik. Santrock (2011:44), mengatakan “dunia kognitif anak-anak pra sekolah adalah kreatif, bebas dan fantastis. Imajinasi anak prasekolah bekerja sepanjang waktu, dan pemahaman mental mereka mengenai dunia menjadi lebih baik”. Berdasarkan hal tersebut peneliti mengartikan bahwa stimulasi yang diberikan kepada anak usia dini harus bersifat imajinatif, kreatif dan menyenangkan. Karena imajinasi anak bekerja sepanjang waktu untuk mengenali dunia. Berdasarkan pada teori perkembangan kognitif Piaget maka anak usia pra sekolah berada dalam tahapan pra-operasional. Tahap yang berlangsung pada usia 2-7 tahun ini merupakan tahap yang kedua Piaget. Pada tahap tersebut, anak-anak mulai mewakili dunia dengan katakata, citra dan gambar. Mereka membentuk sebuah konsep yang stabil JPNF Edisi 10 2013
127
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
dan mulai melakukan penalaran. Label pra-operasional menekankan bahwa anak-anak belum melakukan operasi yang merupakan tindakan mental yang dapat dibalik. Pemikiran pra-operasional adalah awal dari kemampuan untuk merekonstruksi di dalam pikiran tentang yang telah ditetapkan dalam perilaku. Selain alasan sebab, alasan lain yang melatarbelakangi tindakan orang tua mengikutsertakan anak les calistung adalah alasan tujuan. Alasan tujuan adalah harapan atau tujuan orangtua mengikutsertakan anaknya les calistung. Penelitian menemukan hal-hal yang menjadi alasan tujuan orang tua adalah sebagai berikut. Alasan tujuan pertama adalah agar anak memanfaatkan waktunya dengan lebih optimal. Dengan mengikutsertakan les calistung orang tua berharap agar anak tidak menghabiskan waktunya secara sia-sia. Orang tua menganggap bahwa bermain atau nonton televisi adalah kegiatan yang sia-sia dan tidak bermakna. Alasan tujuan kedua adalah agar anak dapat mengenal huruf lebih awal. Dengan mengikuti les calistung pada usia dini maka orang tua menganggap anak dapat lebih awal mengenal huruf, sehingga nantinya akan siap pada jenjang SD. Alasan tujuan ketiga adalah agar anak bisa lebih mandiri dalam kaitannya dengan calistung. Artinya bahwa ketika ada hal-hal yang mengharuskan anak berhubungan dengan kegiatan calistung, anak mampu melakukannya sendiri tanpa meminta bantuan dari orang dewasa di sekitarnya. Alasan tujuan keempat adalah agar anak bisa lulus dalam seleksi penerimaan murid baru di SD yang diinginkan. Sehingga orang tua akan merasa bangga dengan keberhasilan anak diterima di SD yang diinginkan yang biasanya adalah SD favorit. Namun orang tua tidak mempertimbangkan tahap perkembangan anak. Bisa jadi anak merasa tertekan dengan tindakan orang tua tersebut. Alasan tujuan kelima adalah agar anak tidak tertinggal dari temantemannya ketika memasuki jenjang SD. Dengan les calistung pada usia dini, orang tua menganggap anak akan mampu membaca, menulis dan berhitung sejak awal sehingga tidak akan tertinggal dari teman-temannya yang lain.
128
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
Makna Les Calistung Untuk Anak Usia Dini Menurut Orang Tua Schutz mengatakan bahwa tindakan manusia dilakukan manusia atas dasar akal sehatnya. Lebih lanjut Schutz juga menjelaskan bahwa kesadaran manusia tercipta atas beberapa tanda kesadaran hidup, pengalaman, tindakan dirinya dan tindakan orang lain. Kesadaran hidup, pengalaman dan tindakan ini dipengaruhi oleh pemahaman individu mengenai hal-hal yang menjadi substansi dari tindakannya. Pemahaman diperoleh melalui informasi dan pengalaman, yaitu kontak langsung dengan alam lingkungan dengan bantuan alat indera. Tindakan orang tua dalam mengikutsertakan anak usia dini les calistung tentu dipengaruhi oleh pemahaman yang dimiliki orang tua tentang anak usia dini. Dan pemahaman ini diperoleh melalui informasi yang pernah diperolehnya. Dari hasil penelitian ditemukan bahwa informasi tentang anak usia dini sangat penting bagi orang tua agar orang tua mampu melakukan tindakan yang tepat dalam upaya mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak. Namun informasi tidak selalu bisa diperoleh oleh orang tua karena antusiasme orang tua yang kurang dalam mencari informasi tersebut. Informasi yang diperoleh hanya sebatas yang berkaitan dengan permasalahan anaknya. Informasi hanya diperoleh dari diskusi atau percakapan antar orang tua ketika sedang menunggui anaknya sekolah. Santrock menyatakan bahwa dunia kognitif anak-anak pra sekolah adalah kreatif, bebas dan fantastis. Imajinasi anak-anak pra sekolah bekerja sepanjang waktu, dan pemahaman mental mereka mengenai dunia menjadi lebih baik. Berdasarkan hal tersebut peneliti mengartikan bahwa stimulasi yang diberikan kepada anak usia dini harus bersifat imajinatif, kreatif dan menyenangkan. Karena imajinasi anak bekerja sepanjang waktu untuk mengenali dunia. Berdasarkan pada teori perkembangan kognitif Piaget mengatakan bahwa anak usia prasekolah berada dalam tahapan pra-operasional. Tahap yang berlangsung pada usia dua-tujuh tahun. Pada tahap ini, anak mulai mewakili dunia dengan kata, citra dan gambar. Mereka membentuk sebuah konsep yang stabil dan mulai melakukan penalaran. Pada saat yang sama dunia kognitif anak-anak didominasi oleh egosentrisme dan keyakinan magis. Namun pada masa pra-operasional ini anakanak belum melakukan operasi seperti menambah dan mengurangi JPNF Edisi 10 2013
129
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
angka. Pemikiran pra-operasional adalah awal dari kemampuan untuk merekonstruksi di dalam pikiran tentang apa yang telah ditetapkan dalam perilaku. Informasi seperti yang disebutkan di atas banyak yang belum diterima oleh orang tua. Sehingga orang tua kurang memiliki pemahaman tentang anak usia dini. Apalagi sampai pada substansi tentang perkembangan kognitif anak, orang tua tersebut tidak memahaminya sama sekali. Implikasi dari hal tersebut di atas, orang tua mengikutsertakan les calistung anaknya tanpa mempertimbangkan metode pembelajaran seperti apa yang digunakan. Namun ada pula orang tua yang memang sudah memiliki kesadaran yang tinggi untuk mencari informasi tentang anak usia dini. Karena dia mengetahui bahwa informasi tentang pertumbuhan dan perkembangan anak sangat dibutuhkan agar orang tua bisa mengantarkan anaknya menjadi manusia yang berkualitas. Akan tetapi, orang tua tersebut tetap mengikutsertakan anaknya les calistung derngan persyaratan bahwa pembelajaran dalam les tersebut harus benar-benar memperhatikan tahap perkembangan anak sehingga dia sangat selektif dalam memilih guru les yang akan membelajarkan calistung kepada anaknya. Tindakan mengikutsertakan anak usia dini les calistung dimaknai orang tua sebagai: 1. Sebuah kebutuhan untuk mempersiapkan anak usia dini dalam rangka memasuki jenjang SD. Saat ini kemampuan calistung menjadi salah satu syarat dalam seleksi penerimaan pseserta didik sekolah dasar. Hal ini tentu membuat orang tua resah. Akhirnya mendorong orang tua mengikutsertakan anak usia dininya les calistung. 2. Salah satu cara untuk memanfaatkan waktu senggang anak agar lebih bermakna. Dengan mengikuti les calistung, orang tua menganggap bahwa anak telah memanfaatkan waktunya dengan lebih bermakna. Orang tua memahami bahwa bermain bukanlah kegiatan yang bermakna bagi anak-anak. 3. Suatu sarana untuk mencapai kebanggaan orang tua atas prestasi anak. Orang tua akan merasa bangga ketika anaknya mampu membaca, menulis dan berhitung sejak dini. Karena itu akan menjadi jaminan bahwa anak akan dapat di terima di SD yang diinginkan. 130
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
Konstruksi Makna Yang Bisa Dibangun Peneliti Dari Fenomena Les Calistung Pada Anak Usia Dini Menurut Laksmi (2012:56) “bahwa dalam teori konstruktivis, seorang manusia yang berpikir ‘tentang apa yang terjadi’ lalu berdasarkan pernyataan tersebut, ia memilih tindakan tertentu, adalah individu yang sedang menginterpretasi lingkungangannya. Interpretasi terhadap apa yang terjadi hanya dapat dianggap benar atau tepat bagi orang-orang tertentu yang melakukan interpretasi”. Artinya bahwa makna dari suatu peristiwa sangat tergantung pada bagaimana individu memandangnya. Selanjutnya pandangan tersebut juga tergantung pada apa yang dipikirkan orang lain tentang hal yang sama. Bisa juga diartikan bahwa individu menginterpretasi suatu realitas berdasarkan referensi dari individu lainnya, namun bukan berarti dia akan memilih tindakan yang sama dengan orang yang lain tersebut. Peneliti tidak sependapat dengan alasan sebab dan alasan tujuan orang tua yang mengikutsertakan anak usia dini les calistung. Karena peneliti masih berpegang pada teori perkembangan anak, yang menghendaki stimulasi terhadap anak usia dini harus dilakukan sensuai dengan tahap perkembangannya dan dengan kegiatan yang menyenangkan. Sehingga konstruksi makna yang dapat dibangun terhadap tindakan orang tua untuk mengikutsertakan anak usia dini les calistung menurut peneliti adalah les calistung tidak bisa dipaksakan kepada anak usia dini karena justru akan membuat anak tertekan. Les calistung dapat dilakukan jika sesuai dengan tahap perkembangan anak dan dilakukan dengan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. KESIMPULAN 1. Alasan orang tua mengikutsertakan anak usia dini les calistung adalah a. Alasan yang menjadi sebab: 1) Lingkungan di sekitar anak yang menuntut anak untuk memiliki kemampuan calistung; 2) Keinginan dari dalam diri anak untuk mengikuti les calistung; 3) Teknologi dan informasi yang semakin canggih menuntut anak mampu calistung untuk bisa menggunakannya; 4) Rasa bangga orang tua jika anaknya mampu calistung sejak dini; 5) Pembelajaran di lembaga PAUD kurang memberikan asahan JPNF Edisi 10 2013
131
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
pada calistung; 6) Kesiapan calistung anak pada jenjang sekolah dasar. b. Alasan yang menjadi tujuan 1) Agar anak memanfaatkan waktunya dengan lebih optimal; 2) Agar dapat mengenal huruf lebih awal; 3) Agar bisa lebih mandiri dalam kaitannya dengan calistung; 4) Agar lulus dalam seleksi penerimaan murid baru di SD yang diinginkan; 5) Agar tidak akan tertingal dari temannya ketika memasuki jenjang SD. 2. Tindakan mengikutsertakan anak usia dini les calistung oleh orang tua dimaknai sebagai: a. Sebuah kebutuhan untuk mempersiapkan anak usia dini dalam rangka memasuki jenjang SD, b. Salah satu cara untuk memanfaatkan waktu senggang anak agar lebih bermakna, c. Suatu sarana untuk mencapai kebanggaan orang tua atas prestasi anak. 3. Konstruksi makna yang dapat dibangun terhadap tindakan orang tua untuk mengikutsertakan anak usia dini les calistung menurut peneliti adalah les calistung tidak bisa dipaksakan kepada anak usia dini karena justru bisa membuat anak tertekan. Les calistung dapat dilakukan sesuai dengan tahap perkembangan anak dan dilakukan dengan suasana pembelajaran yang menyenangkan bagi anak. SARAN 1. Bagi orang tua hendaknya tidak emosional dalam menuntut anak untuk memiliki kemampuan calistung sebelum capaian tahap perkembangannya. 2. Bagi guru les hendaknya menyesuaikan dengan tahap perkembangan anak dalam memberikan pembelajaran calistung. 3. Bagi kepala sekolah SD hendaknya tidak memberlakukan tes calistung untuk seleksi penerimaan peserta didik baru. 4. Bagi guru SD kelas 1 hendaknya memperhatikan tahap perkembangan anak dalam memberikan pembelajaran calistung. 132
JPNF Edisi 10 2013
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
5. Bagi pemerhati Pendidikan Anak Usia Dini hendaknya terus memperjuangkan terwujudnya pendidikan anak usia dini yang berpihak kepada hak dan kebutuhan anak. 6. Bagi pengambil kebijakan dalam bidang pendidikan hendaknya mensinergikan kurikulum pendidikan anak usia dini dan pendidikan dasar sehingga tercipta suatu sistem pendidikan yang berpihak pada kebutuhan dan optimalisasi perkembangan anak. DAFTAR RUJUKAN Ajzen, I. 1988. Attitudes, Personality, & Behavior, Chicago: Dorsey Press Blummer, Herbert. 1986. Symbolic Interactionism; Perspective And Method. London. University Of California Press Barkeley Los Angeles Bungin. Burham. 2011. Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya. Jakarta, Kencana Prenada Media Group Dahar, R.W. 1998. Teori-teori Belajar. Jakarta. PT Erlangga Dhieni, Nurbiana. 2005. Metode Pengembangan Bahasa. Jakarta: UT Dodge, D.T., Colker, L.J., dan Heroman, C. 2002. The Creative Curriculum For Preschool. Washington DC. Teaching Strategies, Inc. Faisal, Sanapiah. 1990. Penelitian Kwalitatif, Dasar-dasar dan Aplikasi. Malang: Yayasan Asih,Asah dan Asuh Fatchan, Ahmad. 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya. Jenggala Pustaka Utama Komar, Oong. 2006. Filsafat Pendidikan Nonformal. Bandung. Pustaka Setia Kuswarno, Engkus. 2009. Metode Penelitian Komunikasi, Fenomenologi, Konsepsi, Pedoman dan Contoh Penelitian. Bandung. Widya Padjajaran Laksmi. 2012. Interaksi, Interpretasi dan Makna (Pengantar Analisis Mikro Untuk Penelitian di Bidang Ilmu Informasi dan Ilmu Telapan lainnya). Bandung. Karya Putra Darwati Moleong, J Lexy. 2011. Metode Penilitian Kualitatif Edisi Revisi. Bandung. Remaja Rosdakarya Mudzakir, Djauzi. 2010. Desain dan Model Penelitian Kualitatif : Biografi, Fenomenologi, Teori Grounded, Etnografi dan Studi Kasus. Malang. FIP UM JPNF Edisi 10 2013
133
Yuniar, Makna Tindakan Orang Tua Mengikutsertakan Anak Usia Dini Les Calistung
Mulyana, Dedy. 2008. Metodologi Penelitian Kualitatif, Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung. Rosda Ritzer, George. 2002. Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda. Jakarta: Rajawali Press Sudjana S. 2004. Pendidikan Nonformal Wawasan Sejarah Perkembangan Filsafat Teori Pendukung Azas, Bandung: Falah Production Sudiapermana, Elih. Model Pengukuran Sosial Pada Pendidikan Non Formal dan Informal.Jakarta. Nagara Supardi, M.d,. 2006. Metodologi Penelitian. Mataram: Yayasan Cerdas Press Undang–Undang Republik Indonesia No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Undang–Undang Republik Indonesia No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional UNESCO. 2006. Guidebook for Planning Education in Emergencies and Reconstruction. Paris. International Institute for Educational
134
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
PELOPOR PEMBERDAYAAN MASYARAKAT Studi Kasus Keberhasilan TBM “N” di Kampung Kue Surabaya Dhyana Ainur Amalia Abstract: This research is aimed to find the reason for the success of Mrs. “I”, an important figure for empowering SME in Kampung Kue. The author used a qualitative descriptive case studies and research for a key instrument in which the data directly obtained from intensive interaction with informants. Distribution of informants include Mrs. “ I” herself, her colleagues and partners, participants of the programs and local community leaders. The techniques of collecting data are interviews, observation and documentation studies and observations conducted perseverance, referential adequacy, negative case analysis, and member checking in order to obtain the validity of the data. The results describes the reason for the success of the figure in getting the support of community programs consist of two main aspects. The first is her personality characteristics are superior, covering a) spirit for sharing, b )strong initiative, c ) smart, d ) hardworking, e ) good-natured , f ) friendly. The second is her ability to lead the people in community, including a)the ability to develop ideas to address the needs of the group , b )the ability to manage the harmony among community that is full of twists and turns in the dynamics of the group, and c )the ability to build and maintain a network of partnerships that continue to produce synergies that benefit to both parties. Keywords: community figure, community empowerment, TBM Kampung Kue LATAR BELAKANG Migran perkotaan merupakan masalah yang klasik selalu muncul dari tahun ke tahun. Betapa banyak individu yang beruntung memiliki harapan dalam mencari nafkah telah diterima di instansi atau lembaga tempat kerja yang ada. Kepastian akan lapangan pekerjaan setidaknya JPNF Edisi 10 2013
135
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
lebih mengurangi potensi konflik yang muncul dikemudian hari. Sebaliknya, berbeda bagi mereka yang masih mencoba untuk mencari peruntungannya dikota-kota besar. Tentulah menjadi sangat riskan terhadap gejolak yang ada. Kesenjangan yang tampak antara hedonisme perkotaan dan rendahnya pendapatan seringkali menjadi penyebab tingginya angka kejahatan. Ketidakmampuan mengatasi permasalahan ekonomi akibat kurangnya tingkat pendidikan ini didukung dengan ketidakmampuan dalam mencari alternatif memecahkan permasalahan lainnya. Seperti dikatakan Saleh Marzuki (2010:88) “Orang yang pendidikannya rendah, disamping tidak memiliki banyak peluang, juga tidak mempunyai banyak pilihan untuk bertindak dan mengambil keputusan”. Disinilah angka rawan gejolak ekonomi beralih pada gesekan sosial. Masyarakat migran perkotaan seringkali dituding sebagai penyebab permasalahan yang muncul di perkotaan. Upaya menangani konflik ekonomi dan sosial antar masyarakat perkotaan ini telah digulirkan setiap tahun. Satu-satunya resep ampuh bagi kondisi ini adalah program-progam pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan Masyarakat dipilih sebagai solusi permasalahan dalam sebuah komunitas. Berdasar konsep pemberdayaan masyarakat, Ife & Tesoriero (2008) mengemukakan bahwa pemberdayaan mengacu pada kata “empowerment” yang berarti memberi daya, memberi kekuatan pada pihak yang kurang berdaya. Menilik pemberdayaan masyarakat sebagai solusi terhadap permasalahan sebuah komunitas, maka proses memberi daya, memberi kekuatan pada pihak yang kurang berdaya dapat dilakukan secara individual ataupun kolektif melalui kelompok. Kemampuan individu “senasib” untuk saling berkumpul dalam satu kelompok cenderung dinilai sebagai bentuk pemberdayaan yang paling efektif. Perberdayaan yang dilakukan pemerintah melalui program PNPM P2KP yang ada selama ini kurang berhasil karena tidak menyentuh akar masalah. Adapun program pemberdayaan yang diawali dengan tujuan peningkatan kapasitas berpikir secara kognitif untuk perubahan pola pikir dan pola perilaku seperti TBM, Rumah Pintar dll juga belum sepenuhnya mendapat tempat dihati masyarakat. Upaya pemerintah untuk membangun dan mengembangkan modal sosial dalam masyarakat tampaknya mencapai titik stagnasi. Sejumlah kritik yang kritis berbasis data empirik dan koreksi yang bersifat konstruktif telah deras dipaparkan sebagai ekses ketidakberhasilan ini. 136
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
Ditengah sikap apatis terhadap tingkat keseriusan pemerintah mengatasi himpitan masalah di perkotaan, terdapat satu program pemberdayaan masyarakat yang sangat membanggakan. Program yang berawal dari sebuah TBM “N” bidikan CSR SPR ini memiliki keunikan tersendiri karena telah berhasil memberdayakan warganya dengan UKM Kampung Kue yang mulai terkenal. Program ini didirikan di Surabaya pada tahun 2008 merupakan jejaring TBM dari SPR Foundation. TBM“ N” yang berlokasi disebuah perkampungan padat di utara Surabaya ini telah bermetamorphose menjadi kelompok swadaya yang murni lahir dan berkembang dari masyarakat. Kelompok pengelola TBM sebagai penggagas Kampung Kue dipelopori oleh seorang perempuan pelopor penggerak pemberdayaan dari tengah-tengah masyarakat itu sendiri. Tokoh penggerak ini telah berhasil mengajak kelompoknya untuk meningkatkan potensi diri masing-masing melalui unit-unit usaha dalam UKM kampung Kue. Disamping artikel di Jawa Pos, tercatat telah beberapa media meliput sepak terjangnya, diantaranya: National Geography Channel melalui upload berita “Sosok Dibalik Kampung Kue” dan liputan Arek TV tentang “Kampung Kue” pada tahun 2010 dan 2011 serta “Kue Kering” pada tahun 2012. Tokoh yang telah 23 (duapuluh tiga) tahun bertempat tinggal di Kampung Kue ini telah menyatu dalam ritme kehidupan warga setempat dengan menjadi kader penggerak masyarakat. Hal inilah yang sangat menarik dan menantang untuk dicermati dan dikaji prestasi keberhasilannya dalam fokus penelitian. METODE Pendekatan dan Jenis Penelitian. Pendekatan penelitian yang dianggap relevan adalah penelitian kualitatif dengan menggunakan strategi penelitian atau tradisi Studi Kasus (Case Study) dimana peneliti akan memotret secara cermat dari masing-masing sisi untuk memperoleh gambaran yang tepat dan jelas tentang kasus ini. Adapun kasus yang ingin diungkap adalah kasus keberhasilan dengan fokus penelitian mencari jawaban tentang alasan keberhasilan seorang Pelopor Pemberdayaan Masyarakat. Kehadiran Peneliti Kehadiran dan fungsi peneliti dalam penelitian kualitatif adalah sebagai “key instrument” atau instrumen utama yang secara intens akan JPNF Edisi 10 2013
137
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
bersama dengan seluruh informan selama kurun waktu penelitian dalam proses menggali data melalui wawancara mendalam. Peneliti berupaya dapat berinteraksi langsung dengan keseharian informan guna melakukan pendekatan secara informal agar informan merasa rileks dan tidak segan untuk memberikan informasi yang sebenarnya. Upaya ini sekaligus untuk memastikan bahwa data yang terkumpul adalah relevan dan memudahkan peneliti untuk menjamin keabsahannya. Lokasi Penelitian Penelitian berfokus pada kepeloporan ibu “I” pada pemberdayaan masyarakat melalui kelompok swadaya yang berlokasi di TBM (Taman Bacaan Masyarakat) “N” Kampung Kue Surabaya. Sumber Data Sumber data yang digunakan berupa multi sumber informasi yaitu: dokumentasi, rekaman arsip, dokumen hasil wawancara, dan catatan observasi langsung. Informan dalam penelitian ini berjumlah 16 (enam belas orang) yang terdiri dari; 1. Tokoh, 2. Kolega dan Mitra sejumlah 7 (tujuh) orang, 3. Partisipan sejumlah 6 (enam) orang ,dan 4. Tokoh Masyarakat 2 (dua) orang. Prosedur Pengumpulan Data Pengumpulan data dilakukan dengan teknik: wawancara mendalam, studi atau review dokumentasi, observasi lokasi dan pengamatan langsung. Teknik pengumpulan data awal dilakukan dengan melakukan observasi pada lokasi TBM “N”. Aktivitas kelompok meliputi pengelolaan TBM, pengelolaan kelompok simpan pinjam dan kelompok usaha kampung kue. Kesempatan mengenal penyelenggaraan TBM yang telah berkembang menjadi beberapa varian usaha tersebut dilengkapi dengan studi atau review dokumentasi yang ada berupa buku kisah hidup bu “I” dalam Our Stories, Our Struggles, buletin Jendela Pustaka, kliping artikel surat kabar Jawa Post, liputan National Geography Channel tentang Sosok di balik Kampung Kue, sertifikat/piagam, serta rekam gambar/foto kronologis kegiatan seperti pendampingan usaha oleh mahasiswa dari beberapa Universitas di Surabaya maupun pajangan hasil-hasil produksi berupa aneka sandal dari kain perca, rangkaian bunga, kue-kue basah dan kue kering dll. Penguatan terhadap deskripsi liku-liku perjalanan kelompok swadaya yang dipelopori oleh seorang penggerak keber138
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
dayaan masyarakat ini digali lebih komprehensip melalui wawancara mendalam dan observasi langsung pada kehidupan sehari-hari para informan. Analisis Data Analisis terhadap data yang diperoleh di lapangan dilakukan secara utuh dan menyeluruh guna mendapatkan manfaat yang diharapkan. Proses pengumpulan data telah menghasilkan catatan-catatan pengamatan tentang kondisi riel. Beberapa hal telah dikonfirmasi agar mendapat informasi yang benar, utuh dan menyeluruh sehingga seminimal mungkin terjadi salah persepsi. Rekaman data wawancara mendalam selalu divalidasi guna mendapatkan informasi yang tepat dan dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Hal yang sama berlaku pula bagi sumber data studi dokumentasi, seperti telaah yang cermat dan upaya menampilkan setiap bentuk dokumen yang ditemukan. Semua fakta lapangan menjadi bahan untuk dikaji dalam rangkaian proses analisis data. Bahan yang telah terkumpul dikelompokkan sesuai dengan jenis data untuk memudahkan proses reduksi terhadap data. Berdasar hasil catatan lapangan, dilakukan pengkodean terhadap item-item sumber informasi. Secara teknis sumber terbagi atas 4 (empat) item kategori yaitu: (1) “TKH” untuk tokoh penggerak, (2) “KOLG” untuk kolega dan Mitra, (3) “PARTS” untuk Partisipan, dan (4) “TOMAS” Tokoh Masyarakat. Data yang diperoleh dari proses lapangan mula-mula disajikan per kelompok sesuai dengan kategori awal. Selanjutnya akan dipilah data-data yang sama atau sering muncul dari jenis data yang ada tersebut untuk dianalisis. Langkah terakhir adalah penarikan kesimpulan dari seluruh rangkaian proses analisis. Dimana data yang telah direduksi dan diklasifikasi dalam bentuk sajian data dianalisis sesuai perspektif teori yang ada kemudian disimpulkan berdasarkan fokus penelitian. Pengecekan Keabsahan Temuan Uji Kredibilitas yang dilaksanakan dengan teknik peningkatan kecermatan, kecukupan referensial, analisis kasus negatif, dan member check. Uji Transferabilitas dilakukan dengan cara memaparkan sedetail mungkin tentang setting penelitian berupa lokasi dan karakteristik informan sehingga dapat mengungkapkan hal-hal penting yang ada. JPNF Edisi 10 2013
139
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil paparan data yang telah dikelompokkan berdasar karakteristik jawaban informan adalah sbb: Karakteristik kepribadian, meliputi: Karakteristik kuat yang muncul melekat dalam keseharian sang tokoh. Karakter ini merupakan bentukan seumur hidup dari mulai masa kanak-kanak hingga usia dewasa. Tempaan perjalanan hidup juga sangat menentukan nilal-nilai yang dianut dan muncul dalam sifat dan sikap hidup sehari-hari saat berinteraksi dengan lingkungan, terutama kelompok TBM dan UKM Kampung Kue. 1. Mau Berbagi Karakteristik paling menonjol berdasarkan informasi dari informan adalah sifat mau berbagi yang kuat dari bu “I” sebagai seorang kordinator kelompok. Pernyataan yang paling banyak muncul tentang pribadi sang tokoh adalah keikhlasannya untuk selalu berbagi ilmu dan informasi. Dalam keseharian, fokus pemikiran bu “I” adalah bagaimana dapat membantu menyelesaikan permasalahan kebutuhan sehari-hari masing-masing anggota kelompok melalui pemberdayaan ekonomi keluarga. Beberapa informasi terkait menjelaskan bahwa anggota kelompok selalu menunggu info apapun yang diluncurkan oleh sang tokoh untuk dipertimbangkan dan kemudian diikuti. 2. Cerdas Karakteristik kedua yang muncul adalah bu “I” seorang yang cerdas. Pernyataannya tentang perempuan yang berdaya, lebih maju, pintar, cerdas mengelola usaha, mengembangkan usaha, memiliki gagasan yang didengar dan terlibat dalam pengambilan keputusan keluarga diperkuat dengan kecerdasan saat berorganisasi. Penunjukkan bendahara koperasi untuk sumber dana yang berbeda dan keputusan efektifitas serta efisiensi kesempatan bertemu guna membahas segala permasalahan dalam organisasi merupakan bentuk kecerdasan dalam mengatasi kendala organisasi. Adapun kecerdasannya dalam memimpin dan mengkoordinasi diakui oleh mitra dengan menyebutkan bu “I” mempunyai strategi dan mampu memimpin. 3. Memiliki inisiatif Sebagai seorang pelopor, sifat bu “I” yang melekat adalah selalu 140
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
menjadi inisiator dalam program apapun di lingkungannya, terutama program pemberdayaan. Informasi beberapa informan menyatakan hal yang sama yaitu bu “I” adalah kader penggerak yang pro aktif, selalu mencari peluang, dan jika ada permasalahan tidak segan untuk turun kebawah menemukan solusi disaat sebagian besar warga bersifat pasif dengan menunggu informasi. Kemampuan untuk mencermati dan berinisiasi untuk tanggap mencari solusi menguntungkan bagi kelompok yang mungkin bisa diambil merupakan sifat yang diakui dan dikagumi oleh lingkungannya, termasuk jajaran tokoh masyarakat dan mitra kerjanya. 4. Bekerja keras Karakteristik yang kuat adalah suka bekerja keras dan tak kenal lelah. Hal ini terlihat dalam suatu wawancara dengan salah seorang kolega, Ibu “I” datang dengan badan segar dan harum karena selesai mandi dan menuju TBM untuk menunggu Ibu “L” berkaitan dengan survey lapangan SPPRI di kecamatan paling timur Surabaya. Suara yang bersemangat saat berbagi informasi tentang kegiatan yang akan dijalaninya seperti mengusir rasa kantuk yang terlihat jelas karena menyelesaikan pesanan kue semalaman dan belum sempat tidur. Komitmen yang kuat terhadap janji telah membuat Ibu “I” merelakan waktu istirahat yang sangat dibutuhkannya untuk datang lebih awal dan menunggu rekannya. 5. Baik hati Sifat abadi yang selalu melekat kuat dalam diri seorang pemimpin yang berasal dari masyarakat adalah kebaikan hati. Secara universal seluruh orang didunia ini akan dapat tersentuh hatinya oleh kebaikan hati. Demikian pula dengan tokoh yang satu ini, bu “I” dinilai “baik” sebagai ungkapan dari perilakunya yang selalu mendahulukan berperan dalam acara-acara positif dan bersifat sosial. Cerminan baik hati ini diungkap oleh beberapa informan melalui sudut pandang masing-masing dengan pernyataan bahwa kegiatan apapun yang dilakukan bersifat positip untuk kebaikan warga, baik itu untuk menstimulasi anak, mengembangkan kapasitas ibu-ibu, menambah wawasan warga serta sekaligus mempromosikan keberadaan kampung JPNF Edisi 10 2013
141
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
kue. 6. Ramah Keramahtamahan bu “I” ditunjukkan dengan tutur kata yang sopan saat menyampaikan informasi dan sikap antusias terhadap hal baru yang disampaikan oleh eksternal organisasi. Kebiasaan mendahulukan kepentingan menjamu tamu daripada mengerjakan tugas pribadi merupakan sikap ramah yang konsisten ditunjukkan. Sikap ramah terhadap kehadiran orang lain telah menjadikan bu “I” sosok mitra yang dipilih untuk dipertahankan oleh mitra-mitra usahanya. Sikap ramah ini pula yang menjadikan anggotanya senantiasa merasa senang dalam mengikuti program-program yang ditawarkannya. Kemampuan memimpin kelompok, meliputi: Kemampuan mengembangkan ide-ide yang andragogis Berdasarkan temuan dilapangan, pernyataan yang berorientasi pada ide penyelesaian masalah dalam interaksi kelompok TBM adalah sebagai berikut: 1. Tentang gairah membaca yang tinggi pada masyarakat sebelum dan setelah ada TBM serta sebagai pencetus TBM 2. Ide kedua yang muncul dari kelompok ini adalah dibentuknya unit usaha sebagai perluasan struktur TBM. Adapun dana operasional diperoleh dari penyisihan rejeki job masing-masing. 3. Ide UKM Kampung kue merupakan ide ketiga yang digulirkan dan direspon dengan baik, berikut rekaman pernyataannya: 4. Proses interaksi kelompok UKM Kampung Kue berkembang dengan memunculkan “ide pemasaran bersama”, dengan berbagai macam alasan untuk menjaga dan mengembangkan kelompok usaha ini. Berikut pernyataan yang menunjukkan perencanaan dalam menjaring konsumen yang dilandasi dengan semangat untuk berkolaborasi atas ketrampilan masing-masing. Adapun pemasaran atas produksi kampung kue senyatanya telah ada, jadi jelas bahwa distribusi produksi ini pasti akan tersalurkan. Pemasaran setiap hari dilakukan tengkulak dan dijual kepasar se Surabaya. Sebagian juga dijual pada sekolah, pasar dan pabrik disekitarnya. Ide yang selalu muncul dari kepeloporan bu “I” merupakan ide yang menjawab permasalahan warga Kampung Kue. Ketika TBM 142
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
digulirkan oleh PT SPR dan YPPI, kelompok yang dimotori bu “I” berusaha keras mendapatkan program tersebut. Padahal menurut Direktur YPPI, kandidat utama saat itu bukanlah wilayah ini. Kegigihan merealisasikan keinginan dan kebutuhan warga akan ilmu pengetahuan membuat bu “I” melakukan upaya lobbying melalui komunikasi yang intens dengan pihak-pihak yang berwenang untuk memutuskan. Antusias warga yang dibuktikan dengan dukungan dokumentasi telah menunjukkan semangat dan keseriusan dalam mendapatkan program tersebut. Ide yang menjawab kebutuhan warga berlanjut dengan manajemen TBM dengan spesifikasi untuk peningkatan kompetensi. Divisi yang dibentuk secara partisipatif memunculkan ide spesialisasi kompetensi masing-masing pengurus. Hal ini telah memacu semangat masing-masing pengurus untuk belajar dan berusaha mendapatkan kompetensi sesuai divisi yang diwakilinya. Keseriusan YPPI dan PT SPR dalam menggulirkan program ini bagai gayung bersambut dengan semangat ibu pengurus menimba ilmu. Jaringan perpustakaan dalam payung TBM di Jawa Timur merupakan wahana bertukar ilmu yang sangat ampuh. Dengan kurun waktu kerjasama dua tahun, rasa percaya diri ibu pengurus telah mengantarkan kepada kebutuhan di level lebih tinggi dari pada yang ada selama ini. Ide yang bermula dari kebaikan ini terus bergulir bagai snowball menggurita melahirkan kebaikan yang lainnya. Divisi TBM yang telah spesifik pada produksi barang dan jasa, telah menghantarkan TBM memperoleh UKM kampung Kue dari program PT SPR yang lain. UKM ini kemudian diperkuat dengan bantuan dana Koperasi dari Laboratorium Sosial salah satu Universitas di Surabaya. Sampai dengan saat ini koperasi simpan pinjam ini telah berhasil dipercaya untuk dimanfaatkan keberadaannya oleh 30 (tiga puluh) ibu-ibu anggota guna turut serta mengembangkan usahanya. Koperasi Kampung Kue ini bahkan mendapatkan kepercayaan dari mitra sebuah bank daerah dengan dana modal penguatan sebesar Rp 40.000.000,(empat puluh juta rupiah) bagi usahawati yang tergabung di dalamnya. Keberhasilan mengembangkan ide kebaikan yang bersifat andragogis ini merupakan satu prinsip yang menopang kepercayaan masyarakat sehingga program yang ditawarkan selalu disambut dengan baik. Kemampuan bu “I”, pelopor ini jika dianalisis menurut konsep JPNF Edisi 10 2013
143
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
andragogi telah sesuai dengan tugasnya sebagai seorang pendidik atau pengembang masyarakat karena benar-benar mengetahui cara membelajarkan orang dewasa. Hal ini dibuktikan melalui langkahnya memberikan kompetensi yang dibutuhkan masyarakat. Motivasi yang melingkupi semangat warga untuk mengikuti kegiatan berbeda satu dan lainnya sesuai kebutuhan masing-masing. Dalam Siagian (1989:146), teori Motivasi Abraham H. Maslow yang berdasar pada Hierarki Kebutuhan, yaitu: a) Kebutuhan Fisiologis, 2) Kebutuhan akan Keamanan, 3) Kebutuhan Sosial, 4) Kebutuhan “Esteem” dan 5) Kebutuhan untuk Aktualisasi Diri. Motivasi berdasar kebutuhan fisiologis berupa pemenuhan kebutuhan dasar menjadi point tertinggi dalam klasifikasi motivasi kelompok ini. Motif ekonomi untuk mendapatkan tambahan pendapatan guna membantu mengepulkan asap dapur Dalam praktek penerapan Andragogi, khususnya penyeleksian materi belajar, materi hendaknya: bermanfaat dan sesuai dengan kebutuhan peserta; sesuai dengan kemampuan dan kecakapan peserta; berhubungan dengan masa lalu peserta; mementingkan hal-hal yang praktis, segera bisa diterapkan dalam kehidupan peserta (Marzuki: 2010). Pemilihan kompetensi yang tepat sesuai kebutuhan melalui pelatihan yang disukai dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan serta kecakapan masyarakat inilah yang merupakan daya tarik awal menuju pembelajaran ekonomis selanjutnya. Beberapa kompetensi ini ternyata kemudian dikenali merujuk pada ketrampilan yang berhubungan dengan masa lalu warga. Rancangan pembelajaran dibuat dengan sangat praktis berupa kursus-kursus kilat selama sehari. Kepraktisan belajar kompetensi inilah jawaban atas permasalahan hidup masyarakat. Hal inilah yang membuat aktivitas pembelajaran di kelompok dapat berjalan dengan efektif dan jauh lebih bermakna. Maka, sejatinya keberhasilan langkah bu “I” selama ini sejalan dengan strategi Andragogi dalam membelajarkan orang dewasa sehingga tertarik untuk terus mengikuti program yang ditawarkan. Jadi, berdasar penelitian ini terbukti Andragogi mampu selalu menjawab permasalahan yang ada di masyarakat. Kemampuan mengelola kebersamaan dalam kelompok 1. Menguatkan motivasi kebersamaan melalui penerapan hubungan kesetaraan antara anggota kelompok melalui jajak pendapat dalam setiap pengambilan keputusan. 144
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
2. Pernyataan tentang rasa kebersamaan yang ingin selalu ditumbuhkan dan semangat memperkuat kelompok tercermin dalam proses penentuan hari pertemuan agar seluruh anggota dapat berkumpul bersama. 3. Layanan TBM yang dilakukan secara periodik melalui kerjasama tim dan permasalahan yang muncul selalu diupayakan penyelesaian sebaik-baiknya. 4. Kerjasama tim dimulai sejak bermitra dengan YPPI dan PT SPR melalui CSR TBMnya dan membuahkan inventaris buku-buku, seminar kesehatan, berbagai pelatihan seperti sulam pita, glass painting, produksi kemasan, dll yang merekatkan kebersamaan anggotanya. Motivasi berbagi dalam kelompok kerja atau teamwork telah nampak dalam setiap langkah yang diambil. Mulai dari tahap pengajuan TBM, seluruh pengurus yang sejatinya adalah kader kampung bekerja bahu membahu untuk meraih program TBM tersebut. Demikian pula saat operasional TBM dilakukan, dana untuk kebutuhan perlengkapan guna melayani warga sehari-hari berhasil diperoleh secara spontan dari keikhlasan hati pengurus TBM. Keinginan untuk selalu berbagi saat itu tertuang dalam rencana menyisihkan sebagian rejekinya untuk mengisi kas TBM. Selanjutnya ketika kelompok berkembang menjadi UKM, kebersamaan diwujudkan dengan identifikasi kebutuhan masing-masing anggota kelompok. Jejaring kebutuhan inilah yang kemudian mengantarkan warga kelompok UKM Kampung Kue mendapatkan pelatihanpelatihan peningkatan kompetensi. Dari beberapa jenis pelatihan yang telah diperoleh, pembuatan cookies atau kue kering menjelang Lebaran atau hari Natal adalah yang paling terasa manfaatnya. Ketrampilan membuat kue-kue kering ini menambah kemampuan masing-masing ibu dalam mengolah kue dan memperoleh rejeki tambahan menjelang event penting. Hal ini juga mengatasi permasalahan sepinya penjualan atau masa paceklik kue basah saat Ramadhan tiba. Kemampuan membangun jejaring kemitraan 1. TBM sampai dengan saat ini masih menjalin kerjasama dengan Laboratorium Sosial di salah satu universitas di Surabaya. 2. Kegiatan yang terus datang, ditawarkan oleh mitra dan diikuti oleh UKM Kampung Kue, seperti kegiatan pelatihan dengan PT BS. JPNF Edisi 10 2013
145
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
3. Berdasarkan hasil analisis data, jaringan usaha yang dilakukan bu “I” senada dengan konsep kemitraan menurut Pleffer dan Salancik yaitu didasarkan pada model teori yang bersifat perspektif pertukaran (exchange persfective) dan ketergantungan sumber daya (resources dependence). Kerjasama dalam bentuk mitra usaha ini didasarkan atas prinsip sinergi saling membutuhkan dan saling membantu. Prinsip saling membutuhkan adalah pihak usaha besar akan selalu mengajak usaha kecil menengah sebagai partner in progress. Dengan prinsip saling membutuhkan, secara langsung pihak yang bermitra usaha memperlihatkan prinsip saling membantu. Seperti dicontohkan dari program kerjasama dengan PT BS. Keuntungan yang ditawarkan oleh pihak pabrikan sangat jelas, bahwa UKM Kampung Kue akan mendapatkan pelatihan peningkatan kompetensi dengan gratis secara periodik tentang model-model kue terbaru. Adapun pihak mitra yaitu PT BS juga sangat diuntungkan dengan penjualan omset tepung yang luar biasa yang digunakan kelompok setiap kali berproduksi. 4. Selain mendapat kesempatan berlatih, promosi PT BS juga melibatkan kelompok Kampung Kue. Dalam Gebyar Ramadhan misalnya, Kampung Kue diminta berpartisipasi dalam memeriahkan event tersebut. Kesempatan ini sekaligus merupakan promosi bagi kelompok UKM Kampung Kue dalam skala pasar yang lebih luas. Sebuah simbiosis mutualisma yang terjadi, sinergitas usaha antara pengusaha besar dan pengusaha kecil. Adanya tekad yang kuat sangat diperlukan dari semua pihak, pengusaha besar memiliki visi yang jelas dalam bermitra, dan pengusaha kecil memiliki prospek bisnis yang baik. Berdasarkan hasil analisis data, jaringan usaha yang dilakukan bu “I” senada dengan konsep kemitraan menurut Pleffer dan Salancik yaitu didasarkan pada model teori yang bersifat perspektif pertukaran (exchange persfective) dan ketergantungan sumber daya (resources dependence). Kerjasama dalam bentuk mitra usaha ini didasarkan atas prinsip sinergi saling membutuhkan dan saling membantu. Prinsip saling membutuhkan adalah pihak usaha besar akan selalu mengajak usaha kecil menengah sebagai partner in progress. Dengan prinsip saling membutuhkan, secara langsung pihak yang bermitra usaha memperlihatkan prinsip saling membantu. Seperti dicontohkan dari program kerjasama 146
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
dengan PT BS. Keuntungan yang ditawarkan oleh pihak pabrikan sangat jelas, bahwa UKM Kampung Kue akan mendapatkan pelatihan peningkatan kompetensi dengan gratis secara periodik tentang modelmodel kue terbaru. Adapun pihak mitra yaitu PT BS juga sangat diuntungkan dengan penjualan omset tepung yang luar biasa yang digunakan kelompok setiap kali berproduksi. KESIMPULAN DAN SARAN Berdasar pembahasan yang telah dilakukan, sesuai dengan tujuan penelitian ini maka peneliti memperoleh simpulan sebagai berikut: Alasan keberhasilan yang menjawab mengapa pelopor penggerak masyarakat di TBM Kampung Kue ini selalu mendapat sambutan positip adalah 1) Karakteristik Kepribadian yang meliputi: a) Mau berbagi, b) Memiliki inisiatif, c) Cerdas, d) Bekerja keras, e) Baik hati, dan f) Ramah, adapun Kemampuan Memimpin Kelompok yang dimiliki yaitu: 1) Kemampuan mengembangkan ide yang menjawab segala kebutuhan atau permasalahan yang muncul di masyarakat , 2). Kemampuan mengelola kebersamaan sebagai kekuatan dalam upaya pemberdayaan kelompok, dan 3). Kemampuan Membangun jejaring Kemitraan yang kuat dan terus bertumbuh sebagai kunci keberlangsungan kelompok. Penelitian yang diharapkan berguna untuk mengungkapkan secara detail alasan keberhasilan dan prinsip-prinsip penentu keberhasilan seorang pelopor pemberdayaan masyarakat diharapkan akan berguna bagi: 1. Individu-individu tenaga penggerak masyarakat dalam menemukan karakteristik pribadi dan kemampuan memimpin sebagai hal yang mendasari diri dalam pengabdian sesuai tujuan yang diharapkan. 2. Pemilik program TBM, Dinas Pendidikan maupun Badan Arsip dan Perpustakaan Kota yang berkepentingan menjamin keberhasilan dan keberlangsungan program yang digulirkan, sesuai dengan misi membentuk masyarakat yang gemar belajar akan lebih optimal jika didampingi oleh sosok pengembang masyarakat yang handal. 3. Mitra program akan memiliki kriteria kunci dalam memilih key person sebagai indikator yang menjamin pelaksanaan program saat melakukan kerjasama dalam rintisan maupun keberlanjutan program. JPNF Edisi 10 2013
147
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
DAFTAR PUSTAKA Chambers, Robert. Poverty and Livelihoods: Whose Reality Counts? Uners Kindar dan Leonard Silk (eds.), People: From Impoverishment to Empowerment. New York: New York University Press, 1995. Fathan, 2011. Metode Penelitian Kualitatif. Surabaya: Jenggala Pustaka Utama Ife, Jim & Tesoriero, Frank. 2006. Community Development (Edisi ke-3). Jogjakarta: Pustaka Pelajar. Miles, Mathew B. 1987. Qualitative Data Analysis. California: SAGE Publications. Inc. Moedzakir, M. Djauzi. 2010. Desain dan Model Penelitian Kualitatif. Malang: Universitas Negeri Malang. Marzuki, H.M.S. 2010. Pendidikan Nonformal, Dimensi dalam Keaksaraan Fungsional, Pelatihan, dan Andragogi. Malang: Universitas Negeri Malang. Moedzakir, Djauzi. 2010. Metode Pembelajaran untuk Program-Program Pendidikan Luar Sekolah. Malang: Universitas Negeri Malang. Moleong, Lexy J. 2012. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosdakarya. Sudiapermana, Elih. 2013. Pendidikan Nonformal dan Informal: Tokoh dan Pemikiran. Bandung: Edukasia Press. Siagian, Sondang P. 1989. Teori Motivasi dan Aplikasinya. Jakarta: Bina Aksara. Waseso, Mulyadi Guntur. Saukah Ali (Ed). 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang. Working Women Academy. 2012. Our Stories, Our Struggles. South Korea: Working Women Academy Universitas Negeri Malang, 2010. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah. Malang: Universitas Negeri Malang. Handout Mata Kuliah Profesionalisme PTK PAUDNI. Marliah. 2008. Pengaruh Kecerdasan Emosional dan Adversity terhadap Peningkatan Prestasi Kerja, JPNF, Edisi 4 : 60-76 Choirul, M. Edisi X Oktober 2009, TBM Nusantara bagai Mataharinya Nusantara. Jendela Pustaka, hlm.6. Choirul, M. Edisi XXVIII April-Juni 2011, Diskusi Kesehatan 148
JPNF Edisi 10 2013
Dhyana A. A., Pelopor Pemberdayaan Masyarakat
Reproduksi dan HIV/AIDS. Jendela Pustaka, hlm.13. Kamil, Mustofa. Kemitraan Keunggulan dan Pola Strategis (Online), (http://file.upi.edu/direktori/SPS/PRODI. PENDIDIKAN.LUAR.SEKOLAH/ 196111091987031/ MUSTOFAKAMIL/BAHAN_KULIAH_MODEL_ PLS/Presentation_kemitraan), diakses 29 juli 2013
JPNF Edisi 10 2013
149
150
JPNF Edisi 10 2013
Penulis Jurnal PNF Widya Ayu Puspita. Pamong Belajar BP-PAUDNI Reg. II Surabaya, lahir di Malang tanggal 27 Agustus 1975. Menyelesaikan pendidikan S3 Kedokteran di Universitas Airlangga Surabaya tahun 2011. Telah banyak menghasilkan karya tulis ilmiah yang diantaranya berhasil menjadi karya tulis terbaik dalam LKN PB tingkat Nasional pada tahun 2004 dan 2006. Wiwin Yulianingsih. , lahir di Tuban, 27 Juli 1979. Menyelesaikan jenjang pendidikan Strata Satu pada Jurusan Pendidikan Luar Sekolah (PLS) di Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Negeri Surabaya (1998) dan meraih gelar Magister Pendidikan dari Program Studi PLS, Universitas Negeri Malang (2002). Dosen di Jurusan PLS Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Surabaya (Unesa) ini banyak melakukan penelitian pada bidang pemberdayaan masyarakat di sejumlah daerah di Jawa Timur. Sejumlah buku yang pernah ditulis antara lain “Media Pembelajaran PLS” (2011), “Pedoman Lab. Site Jurusan PLS FIP Unesa” (2013), “Buku Pedoman PKL” (2013) dan “Pendidikan Masyarakat” (2013). Di sela kegiatan mengajarnya, dia juga aktif dalam organisasi Ikatan Akademisi Pendidikan Non Formal Informal (IKAPNFI). Santoso. Lahir di Lampung Tengah pada tanggal 18 Mei 1970, menamatkan S2 Sosiologi Pedesaan di Universitas Muhammadiyah Malang pada tahun 2008. Saat ini sedang menempuh program S3 di Universitas yang sama dan tercatat sebagai pamong belajar di BPPAUDNI Regional II, bidang konsentrasi Kursus dan Kelembagaan. Pujiarto. dilahirkan di Gunung Kidul, Yogyakarta, 20 Juli 1967. Staf Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan (PTK) Ditjen PAUDNI ini menyelesaikan S1 di STKIP Purnama Jakarta (2000), dan S2 di Universitas Negeri Jakarta (2005). Sejak 2006, dosen di STKIP Purnama, Jakarta dan dosen STIAMI, Banten ini sedang menyelesaikan S3 di UNJ. Dewi Khoiriyah. Dewi Khoriyah lahir di Malang, 17 Oktober 1969. Menyelesaikan pendidikan S1 pada jurusan Psikologi Pendidikan dan Bimbingan di Universitas Negeri Malang (1993) dan sedang menempuh JPNF Edisi 10 2013
151
S2 Psikologi di Universitas Muhammadiyah Malang. Saat ini aktif sebagai konselor di Madrasah Tsanawiyah Negeri Batu dan PKBM Ashabul Hidayah Malang. Aktif menulis pengembangan pendidikan di beberapa media. Agus Sadid, lahir di Banyumas, 25 Pebruari 1973. Menyelesaikan S1 Jurusan Bahasa Inggris, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Mataram, Nusa Tenggara Barat (2007) dan S2 Program Studi Manajemen Pendidikan di Universitas Negeri Malang, (2009). Peraih juara 2 Apresiasi PTK PAUDNI Berprestasi Nasional Tahun 2013 ini sehari-hari bertugas sebagai Pamong Belajar Madya di UPTD Sanggar Kegiatan Belajar (SKB) Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Dia juga aktif sebagai Ketua Ikatan Pamong Belajar Indonesia (Ipabi) Provinsi NTB. Putu Ashintya Widhiartha. Lahir di Surabaya tanggal 22 Juli 1977. Menyelesaikan di Institut Teknologi 10 November Surabaya (ITS) tahun 2000 dan S2 Teknologi Informasi di Ritsumeikan University Jepang. Jabatan saat ini adalah Pamong Belajar pada BP-PAUDNI Reg. II. Yuniar Arie Riswanti. Yuniar Arie Riswanti. Lahir di Blitar, 3 Februari 1978. Gelar sarjana diraih dari Jurusan Ilmu Administrasi Negara, dengan Konsentrasi Kebijakan Publik pada Fakultas Ilmu Administrasi (FIA), Universitas Brawijaya, Malang (2010) dan meraih gelar Magister Pendidikan pada Program Studi Pendidikan Luar Sekolah di Universitas Negeri Malang (2013). Setelah alih fungsi sebagai pamong belajar pada 2005 di BPPLSP Regional IV Surabaya (sekarang BPPAUDNI Reg. II ), sejumlah kajian dan pengembangan model telah dihasilkannya baik dalam status magang maupun sebagai anggota tim. Antara lain “Kajian Pengaruh Mendongeng Terhadap Kematangan Sosial Anak Usia Dini di Wilayah BPPLSP Regional IV” (2005) (Magang); “Model Penumbuhan dan Pembinaan Kelompok Pemuda Wiratani” (2005) (Magang); “Model Senam PAUD Ceria Bagi Anak Usia 3-4” (2007); “Analisis Sistemik Penyelenggaraan Homeschooling Di Jawa Timur BPPLSP Regional IV” (2007); “ Model Home-Based Learning Bagi Anak Usia 3 – 4 Tahun Guna Mengembangkan Kecerdasan Majemuk (Multiple Intelligences)” (2008); “Model Penyelenggaraan Kelompok Bermain Holistik dan Integratif (2009); dan “Model 152
JPNF Edisi 10 2013
Penyelenggaraan Pembelajaran Inkuiri Di Pos PAUD” (2010). Jabatan saat ini adalah Pamong Belajar pada BP-PAUDNI Reg.II Dhyana Ainur Amelia. lahir di Surabaya, 29 Januari 1972. Menyelesaikan S1 Ekonomi Akuntansi di Stiesia Surabaya (1998) dan S2 pada Program Studi Pendidikan Luar Sekolah di Universitas Negeri Malang (2013). Bertugas sebagai tenaga fungsional pamong belajar sejak 2003 di BPPAUDNI Regional II Surabaya. Bersama tim modelnya, dia telah menulis sejumlah buku model PLS yang meliputi “Ketuntasan Belajar Warga Belajar Paket C dengan Model Satuan Kredit Kompetensi” (2007); “Model Pembelajaran Edutainment untuk warga Belajar Paket A (2008) dan “Model Pembelajaran Paket C Integrasi Vokasi Bidang Pertanian (2009). Kajian yang pernah dilakukan adalah “Kajian Bahan Belajar dan Media Pembelajaran Paket B di Wilayah BPPNFI Regional IV” (2007).
JPNF Edisi 10 2013
153
PETUNJUK Bagi Penulis 1. Artikel yang ditulis meliputi hasil pemikiran dan hasil penelitian di bidang kependidikan dan pembelajaran. Naskah diketik dengan huruf Times New Roman , ukuran 12 pts, dengan spasi At least 12 pts, dicetak pada kertas kuarto sepanjang maksimum 15 halaman, dan diserahkan dalam bentuk print-out sebanyak 3 eksemplar beserta filenya. Berkas ( file ) dibuat dengan Microsoft Word . Pengiriman file juga dapat dilakukan sebagai attachment e-mail ke alamat:
[email protected]. 2. Nama penulis artikel dicantumkan tanpa gelar akademik dan ditempatkan di bawah judul artikel. Jika penulis terdiri dari 4 orang atau lebih, yang dicantumkan di bawah judul artikel adalah nama penulis utama; nama penulis-penulis lainnya dicantumkan pada catatan kaki halaman pertama naskah. Dalam hal naskah ditulis oleh tim, penyunting hanya berhubungan dengan penulis utama atau penulis yang namanya tercantum pada urutan pertama. Penulis dianjurkan mencantumkan alamat e-mail untuk memudahkan komunikasi. 3. Artikel ditulis dalam bahasa Indonesia atau Inggris dengan format esai, disertai judul pada masing-masing bagian artikel, kecuali bagian pendahuluan yang disajikan tanpa judul bagian. Judul artikel dicetak dengan huruf besar-kecil di tengah-tengah, dengan huruf sebesar 16 poin. Peringkat judul bagian dinyatakan dengan jenis huruf yang berbeda (semua judul bagian dan sub-bagian dicetak tebal atau tebal dan miring ), dan tidak menggunakan angka/nomor pada judul bagian: PERINGKAT 1 (HURUF BESAR SEMUA, TEBAL, RATA TEPI KIRI) Peringkat 2 (Huruf Besar Kecil, Tebal, Rata Tepi Kiri) Peringkat 3 (Huruf Besar Kecil, Tebal-Miring, Rata Tepi Kiri) 4. Sistematika artikel hasil pemikiran adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 150 kata); kata kunci; 154
JPNF Edisi 10 2013
pendahuluan (tanpa judul) yang berisi latar belakang dan tujuan atau ruang lingkup tulisan; bahasan utama (dapat dibagi ke dalam beberapa sub-bagian); penutup atau kesimpulan; daftar rujukan. 5. Sistematika artikel hasil penelitian adalah: judul; nama penulis (tanpa gelar akademik); abstrak (maksimum 150 kata) yang berisi tujuan,
JPNF Edisi 10 2013
155