ASPEK BIOLOGI REPRODUKSI SEBAGAI DASAR PENGELOLAAN SUMBERDAYA RAJUNGAN (Portunus pelagicus, LINN 1758) DI PERAIRAN TORONIPA KECAMATAN SOROPIA KABUPATEN KONAWE
Aspects of Reproductive Biology As A Basic of Blue Swimming Crab (Portunus pelagicus, LINN 1758) Management in Toronipa Waters of Soropia, Konawe
JURNAL
OLEH:
MUHAMMAD IRFAN BASRI G2M1 13 001
JURUSAN ILMU PERIKANAN PROGRAM PASCA SARJANA UNIVERSITAS HALU OLEO KENDARI 2016
HALAMAN PENGESAHAN
Judul
: Aspek Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (Portunus pelagicus, Linn 1758) di Perairan Toronipa Kecamatan Soropi Kabupaten Konawe
Nama
: Muhammad Irfan Basri
Stambuk
: G2M1 13 001
Jurusan
: Ilmu Perikanan
Konsentrasi
: Pengelolaan Sumberdaya Perairan
Menyetujui : Dosen Pembimbing Mahasiswa
Pembimbing I
Muhammad Irfan Basri NIM. G2M1 13 001
Prof. Ir. H. La Sara, MS, PhD NIP. 19600422 198703 1 003 Pembimbing II
Dr. Ir. Yusnaini, DEA NIP. 19681009 199203 1 001
Aspek Biologi Reproduksi Sebagai Dasar Pengelolaan Sumberdaya Rajungan (PortunusPelagicus, Linn 1758) Di Perairan Desa Toronipa, Kecamatan Soropia Kabupaten Konawe, Indonesia Muhammad Irfan Basri1., La Sara1., Yusnaini2 1. Jurusan Manajemen Sumber Daya Perikanan, Universitas Halu Oleo, Kendari, Indonesia 2. Jurusan Budidaya Perairan, Universitas Halu Oleo, Kendari, Indonesia Abstrak Penelitian tentang aspek biologi reproduksi (pola pertumbuhan, rasio kelamin, tahap dan indeks perkembangan gonad, fekunditas dan ukuran pertama matang gonad) rajungan (P. pelagicus) di Perairan Toronipa dilakukan selama enam bulan (Mei s/d Oktober) tahun 2014. Hasilnya diharapkan dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaan sumber daya rajungan di Perairan Desa Toronipa.Total hasil koleksi sampel adalah 179 individu rajungan jantan dan 191individu rajungan betina. Hubungan lebar karapas-bobot tubuh rajungan menggunakan uji t menunjukan pola pertumbuhan isometrik baik rajungan jantan maupun betina dengan nilai koefisien korelasi yang kuat, sehingga kondisi ini perlu dipertahankan. Nilai rasio kelamin J:B adalah 0,96:1 dengan persentase 48,1% jantan dan 51,9% betina. Setelah dilakukan uji chi-square (α:0.05)menunjukan rasio kelamin yang seimbang antara jantan dan betina selama enam bulan penelitian. Tahap kematangan gonad kategori III dan IV memiliki persentase yang tinggi dan cenderung mendominasi disetiap bulannya. Nilai rerata indeks kematangan gonad bulanan untuk setiap tahap kematangan berada pada kisaran 3,45-5,06%. Puncak rata-rata IKG diketahui terjadi pada bulan Mei (5,06%) dan terendah pada bulan Juli (3,45%). Total 47 rajungan betina dihitung jumlah fekunditasnya dan hasilnya berkisar 0,48x106-2,98 x 106 butir. Hasil analisis estimasi ukuran pertama matang gonad menunjukan 50% pertama matang gonad untuk P. pelagicus jantan dan betina secara berturutturut adalah 72,4 mm dan 78,5 mm, jal ini dapat mmberikan informasi mengenai dasar pengelolaan rajungan yang layak tangkap, dimana untuk keberlajutan populasi rajungan tersebut harus setidaknya melakukan 1 kali pemijahan. KataKunci:
Biologi Reproduksi, Portunuspelagicus
Dasar
1. Pendahuluan Penyebaran Portunus pelagicus telah dicatat hampir ditemukan di semua Negara kecuali Tasmania (Stephenson and Campbell 1959). Dimulai dari Indo Pasifik, Japan, Philliphines, Thailand, Malaysia sampai ke Indonesia dan Aus- tralia. Kepiting ini umunya tersebar pada perairan pantai tropis (Kailola, et al., 1993) dan muara dekat pantai (Ayal and Ozogul,2011) dengan substrat pasir, pasir berlumpur dan pada habitat padang lamun hinggakedalaman50 m (Williams,1982; Edgar, 1990).Disisi lain, spesies ini merup-akan spesies ekonomispenting skala internasional dan permintaan pasar terhadapnya sangat tinggi(Kamrani, et al., 2010).Kondisi ini berdampak pada tingkat eksploitasinya yang intensif. Diantara negara pemroduksi rajungan dunia,Indonesia memberikan
Pengelolaan,PortunuspelagicusToronipa,
kontribusi 20% dari produksi tersebut dan menjadi peringkat ke-2 setelah China di Tahun 2008 (NMFS, 2012). Provinsi Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil rajungan yang berperan besar dalam kontribusi tersebut.Konsekuensinya adalah populasi rajungan menunjukan punurunan nyata danbeberapa fishingground rajungan telah mengalami degradasi. Data hasil tangkapan yang terdapat di beberapa mini plant rajungan membuktikan hal ini.Misalnya, data mini plant A (Konawe), data tangkapan rajungan 3 tahun terakhir terus menurun yaitu 35,73 ton tahun 2011, 30,22 ton tahun 2012 dan 24,59 ton tahun 2013. Selain itu data mini plant B (Bombana) juga mengalami hasil tangkapan yang menurun, terdapat data hasil tangkapan rajungan selama 2 tahun yaitu 12,3 ton tahun 2011 dan 9,41 ton tahun 2012.Selain itu,
berdasarkan hasil observasi dan wawancara di lapangan, beberapa perairan di Sulawesi Tenggara juga mengalami penurunan hasil tangkapan seperti Perairan Toronipa, Torokeku, Kasipute dan Teluk Lasongko. Data ini semakin terbukti seperti ditunjukan oleh kecilnya ukuran rajungan yang ditangkap, jumlah hasil tangkapan yang semakin berkurang, hasil penangkapan yang semakin tidak menentu serta mulai menghilangnya rajungan pada beberapa fishingground. Perairan Toronipa merupakan salah satu lokasi aktivitas penangkapanrajungan oleh nelayan setempat dan juga dari daerah lain, seperti nelayan dari Desa Tapulaga, Mekar, Bajo Indah, Soropia, Waworaha dan lain-lain. Penurunan potensi sumber daya P. pelagicus tersebut telah memprihatinkan semua pihak, terutama nelayan yang selama ini menggantungkan hidupnya pada sumber daya ini. Permasalahan semakin kompleks karena data hasil tangkapan yang konkrit dan menyeluruh tidak tersedia. Data aspek reproduksi biologi sebagai salah satu dasar pengelolaan organisme ini juga tidak diketahui. Hasil tangkapan yang dikumpulkan nelayan selama penelitian dapat diprediksi fluktuasi perubahan populasi dan aspek reproduksi biologinya. Oleh karena itu, studi tentangbiologi reproduksi, mencakuphubungan lebar karapas danbobot tubuh, rasio kelamin, tahap perkembangan gonad,ukuran pertama matang gonad, musim pemijahan, danfekunditasdariP. pelagicusperlu untuk dilakukan. Hasildari studi tersebutakan dapat memfasilitasi pengelolaan populasi P. pelagicus dan dapat dijadikan sebagai dasar pengelolaannya di Perairan Desa Toronipa. 2. Bahan dan Metode 2.1. Lokasi Studi Desa Toronipa (titik koordinat) merupakan sebuah lokasi perairan di pesisir Provinsi Sulawesi Tenggara yang banyak terdapat populasi P. pelagicus. Stasiun penangkapan P. pelagicus dalam penelitian ini berjumlah dua stasiun dengan asumsi bahwa kondisi lingkungannya berbeda sehingga makin meningkatkan ke-representatifan biologi
reproduksi rajungan di Perairan Desa Toronipa. Selain itu, kedua stasiun tersebut merupakan lokasi-lokasi yang sering digunakan nelayan setempat untuk menangkap P. pelagicus yang dimaksud dalam penelitian ini. Fluktuasi suhu dan salinitas pada kedua stasiun tersebut seringkali terjadi, namun secara umumtidak begitu signifikan sehingga kondisi suhu dan salinitasnya cenderung stabil sepanjang bulan. 2.2. Pengumpulan Data Sampel P. pelagicus dikumpulkan secara acak stratifikasi (stratifiedrandomsampling) selama enam bulan yaknisejak Bulan Mei sampai Bulan Oktober Tahun 2014 menggunakan alat tangkap Bubu Rajungan (trap). Hasil tangkapan berasal dari nelayanpenangkap P. pelagicusdan hasil tangkapan peneliti sendiri.Setiap kepiting diukur lebar karapas (CW) dan panjang karapasnya (CL)menggunakan kaliper dengan ketelitian 0,05 mm. Bobot tubuhnya juga ditimbang menggunakan timbangan digital dengan ketelitian 0,01 g. Semua kepiting diidentifikasi jenis kelaminnya berdasarkan morfologi pada bagian abdomennyadan dipisahkan untuk keperluan analisis rasio kelamin.Selama penelitian, total 179 rajungan jantan dan 191 betina diamati dan diawetkan dengan alkohol 70% untuk dilakukan analisis selanjutnya di laboratorium. Gonad kepiting (ovigerous), dilepaskan dari pleopodnya untuk ditimbang menggunakan timbangan digital berketelitian 0,01 g. Sub-sampel kepiting betina ovigerous dihitung telurnya di bawah mikroskop binoukler untuk keperluan analisis fekunditas. 2.3. Analisis Data Rasio jenis kelamin P. pelagicus ditentukan dengan menghitung dan membandingkan jumlah individu jantan dan betina. Ekspetasi rasio jantan dan betina tersebut diuji menggunakan analisis Chisquarepada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05). Tahap Perkembangan Gonad (TKG)P. pelagicusdiamati dengan cara membuka karapasnya. Tahap kematangan tersebut dikategorikan kedalam lima kelasyang
dibedakan berdasarkan bentuk, ukuran dan warna gonad, mengikuti prosedur yang diadaptasi dariCosta and Negreiros-Fransozo (1998); Sumpton, et al., (1994): TKG I: Bentuk gonad betina memanjang tipis, agak lunak berwarna putih susu atau kuning pucat, sedangkan gonad jantan terdiri dari sepasang filamen putih yang jernih atau putih susu. TKG II: Ukuran ovarium bertambah, warna kuning keemasan, butir telur belum kelihatan, Sedangkan pada gonad jantan,ukurannya bertambah besar dan berwarna putih susu atau kuning muda. TKG III: Volume ovarium hampir mengisi seluruh dada (chepalotorax), berwarna semakin kuning, butir telur mulai terlihat namun masih dilapisi oleh kelenjar minyak. Sementara, pada jantan gonadnya memanjang,hampir memenuhi ruang bagian punggung, berwarna putih pucat terkadang berwarna coklat muda. TKG IV: Butiran telur berwarna orange dan mudah dipisahkan, lapisan minyak sudah berkurang. Sementara pada jantan, gonadnya menyelubungi saluran pencernaan danberwarna putih susu kekuningan. TKG V:Ovarium mulai mengecil, butiran telur sangat banyak terlihat pada bagian abdomen. Di sekitar hepatopankreas masih tampak butir telur yang tidak dikeluarkan. Sedangkan pada jantan, gonadnya berwarna kuning kecoklatan, coklat tua atau coklat kehitaman dan menciut ke bagian koksopodit. Indeks Kematangan Gonad (IKG) dihitungmengikuti formuladari Quinn and Kojis (1987): IKG= Berat gonad / Berat total * 100% Produktivitas telur (fekunditas) P. pelagicus diestimasi menggunakan metode “raising factor” mengikuti formula dari La Sara (2001): ܹ ݊=ܨ ݓ Dimana F adalah fekunditas, n adalah rerata jumlah telur dari tiga sub sampel (10%), W adalah berat total telur dan w adalah berat rerata dari tiga sub sampel telur (10%). Selanjutnya, untuk melihat hubungan jumlah telur dan ukuran P.
Pelagicus,makadiplotkan kedalam kurva regresilinier menggunakan persamaan: ܤܽ = ܨ DimanaFadalahfekunfitas,Badalahbobot tubuh, danadanbadalahkonstanta.
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Kondisi Stasiun Kisaran suhu pada stasiun 1 yaitu 29─31 oC, sedangkan pada stasiun 2 dengan kisaran 29─30 oC. Suhu pada stasiun 1 cenderung tinggi pada Bulan September dan Oktober, sedangkan pada stasiun 2 suhunya cenderung tinggi pada Bulan Agustus dan September. Salinitas pada stasiun 1 dari Bulan MeiOktober berkisar 30─32 %o, sedangkan pada stasiun 2 cenderung lebih tinggi yakni berkisar 32─34 %o. Perbedaan kadar salinitas ini berhubungan dengan jarak titik stasiun dari garis pantai dan kedalaman perairan. Secara umum, perairan laut yang semakin jauh dari garis pantai dan semakin dalam perairannya, maka kadar salinitasnya semakin tinggi pula. Hal ini berhubungan dengan proses masuknya air tawar dari perairan daratan misalnya melalui sungai ataupun aktivitas-aktivitas masyarakat di pesisir yang menggunakan air tawar. Mengenai hubungan suhu dan kadar salinitas di perairan terhadap siklus hidup kepiting portunidae, dilaporkan oleh beberapa peneliti kepiting jenis ini bahwa fluktuasi suhu dan salinitas di perairan sangat mempengaruhi sebaran kepiting portunidae baik masih kondisi larva zoea, juvenile maupun rajungan dewasa. Selain itu, fluktuasi suhu dan salinitas juga mempengaruhi proses reproduksi rajungan(La Sara et al., 2002; Potter et al., 1998; Sahib, 2012; Kunsook et al., 2014). Umumnya substrat perairan, terdiri dari tiga fraksi utama, yaitu pasir, debu dan liat. Tipe Substrat di Perairan Toronipa hasil analisis menggunakan Segitiga Miller.Berdasarkan hasil analisis tekstur substrat dengan mengacu pada gabungan persentase fraksi tekstur menggunakan Segitiga Miller, dapat diambil kesimpulan
bahwa lokasi penangkapan wilayah Perairan 50 Jumlah Individu
40
rajungan
42 36
30
di serta rasionya untuk bulan Mei s/d Oktober dapat dilihat pada Gambar 1. Berdasarkan Gambar 1, rajungan jantan mendominasi pada bulan Juni dan Agustus. 38
32
29
25
37
33 35
23
23
17
20
jantan betina
10 0 mei
jun
jul agu Bulan Penelitian
sep
okt
Gambar 1. Perbandingan jumlah jantan dan betina rajungan yang tertangkap Selama 6 Bulan Penelitian di Perairan Desa Toronipa
Toronipa memiliki tekstur yaitu lempung liat dan lempung liat berpasir. Tekstur seperti ini masih memungkinkan rajungan untuk bisa membenamkan diri saat tidak sedang beraktivitas maupun untuk menghindari musuhnya. Perairan Toronipa ini juga ditumbuhi oleh padang lamun yang merupakan habitat dan tempat mencari makan rajungan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Syahrir (2011) yang menyatakan bahwa lingkungan perairan daerah penangkapanrajungan memiliki tipe substrat berpasir, berlumpur (lempung), padang lamun dan pecahan karang mati. 3.2. Aspek Biologi Reproduksi Rajungan
berkisar antara 0,6:1 – 1,3:1 dengan rata-rata 0,96:1. Hasil uji Chi Square secara keseluruhan nilai rasio jantan dan betina menunjukan bahwa rasionya berada pada kondisi seimbang (1:1). Perbedaan sebaran rasio jantan dan betina disetiap bulannya diduga oleh para peneliti dengan berbagai macam faktor. Menurut Takween dan Qureshi (2005), diantara penyebab perbedaan sebaran rasio jantan dan betina antara krustasea secara umum adalah diduga akibat dari persaingan jenis kelamin dan diferensial siklus hidup serta pola recruitment dan juga tingkat mortalitas pada setiap waktu. Berdasarkan hal tersebut maka dapat dikatakan bahwa sebaran 1. Nisbah Kelamin (Sex Ratio) Nisbah kelamin merupakan perbandingan rasio jantan dan betina rajungan dapat jumlah rajungan jantan dengan betina dalam berpengaruh secara temporal. suatu populasi yang biasa dituliskan M : F (Male : Female). Nisbah kelamin yang 2. Tingkat Kematangan Gonad (TKG) diperoleh dari penelitian ini adalah 0,96 : Berdasarkan analisis 370 individu, 1.Secara keseluruhan rajungan jantan didapatkan bahwa secara temporal (Meiberjumlah 179 individu (48.1 %), sedangkan Oktober) baik rajungan jantan maupun betina rajungan betina berjumlah 191 individu (51.9 memiliki TKG I sampai dengan TKG V, %). meskipun pada bulan-bulan tertentu tidak Pengamatan sebaran temporal untuk rasio terdapat salah satu karakteristik tahap jantan dan betina dilakukan untuk melihat kematangan gonad. Misalnya, pada rajungan sebaran rasio jantan dan betina berdasarkan jantan, TKG I-V hanya ada pada bula Mei perbedaan waktu pengambilan sampel atau dengan kata lain dari bulan Juni s/d rajungan. Diagram jumlah jantan dan betina Oktober tidak terdapat salah satu tahap kematangan yakni TKG V. Adapun pada
ovarium tertinggi P. pelagicus betina diamati pada akhir Oktober-November bersamaan dengan meningkatnya Suhu air laut. Sehingga diduga melakukan pemijahan puncak pada bulan-bulan tersebut. Secara temporal, sebaran TKG pada rajungan menunjukkan bahwa terdapat perbedaan antara komposisi persentase TKG rajungan jantan dan betina selama enam bulan penelitian dan terdapat pula perbedaan persentase antara masing-masing tingkat kematangan itu sendiri.Sebaran persentase komposisi TKG rajungan secara temporal dari bulan Mei s/d Oktober dapat dilihat pada Gambar 3. Rajungan Jantan
100% 80% 60%
TKG
TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V
40% 20% 0%
Rajungan Betina
100% 80%
TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V
60%
TKG
rajungan betina, individu dengan kategori TKG I tidak terdapat pada bulan Juni, Agustus dan Oktober. Jumlah rajungan jantan terbanyak berada pada TKG IV yakni 79 individu (44,1%) dan jumlah rajungan betina terbanyak berada pada TKG III yakni 65 individu (34%) (Gambar 2). Berdasarkan gambar 2, nilai TKG III dan TKG IV untuk rajungan jantan maupun betina terdapat disepanjang enam bulan penelitian (Mei-Oktober) dengan persentase tertinggi berdada pada bulan Agustus. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi rajungan dalam area penelitian ini didominasi oleh rajungan dewasa atau sudah siap untuk memijah khususnya di bulan Agustus. Hal ini sesuai dengan pernyataan Kamrani et al., (2010) bahwa TKG fase III dan IV merupakan kelompok rajungan dewasa yang siap dan aktif dalam berkembangbiak. Selain itu, berdasarkan data TKG dari penelitian ini juga, dapat dijelaskan bahwa perkembangbiakkan rajungan terjadi di sepanjang enam bulan penelitian yang ditandai dengan tingginya komposisi rajungan jantan dan betina pada kategori TKG III dan IV. Penelitian ini menunjukkan adanya aliran perubahan TKG matang menuju ke tahap pemijahan terbanyak, dengan komposisi rajungan betina bertelur terbanyak terdapat pada bulan September dan Oktober. Hal ini selaras dengan komposisi TKG matang (III dan IV) terbanyak berada pada bulan Agustus. Berdasarkan hal tersebut, puncak pemijahan rajungan yang menggambarkan penelitian ini terjadi pada bulan September dan Oktober yang merupakan awal musim panas (bulan hangat) pada daerah Perairan Toronipa. Kunsook, et al, (2014), melaporkan tingkat kematangan gonad paling tinggi pada rajungan betina di Teluk Kung Krabaen, Thailand terdapat di bulan Februari sampai Maret, September dan Desember serta terendah pada bulan Juni, Juli dan Agustus.Sedangkan pada rajungan betina komposisi TKG matang paling banyak di bulan Februari dan Agustus serta terendah di bulan Juni, Oktober, November dan Desember. Selanjutnya Svane dan Hooper (2004) melaporkan bahwa, pengembangan
40% 20% 0% Mei
Gambar
2.
Jun
Jul
Agu
Sep
Bulan Penelitian
Okt
Persentase komposisi tahap kematangan gonad rajungan jantan (atas) dan betina (bawah) yang disampling di Perairan Desa Toronipa.
Berdasarkan Gambar 3, menunjukkan bahwa secara temporal (Mei-Oktober) rajungan TKG I - V terdapat hampir pada setiap bulan, terkeculi pada bulan Oktober.
Persentase TKG
%GSI
Persentase rajungan TKG I tertinggi terdapat Rata-rata GSI pada bulan Mei terendah bahkan tidak ada 6.00 terdapat pada bulan Oktober. Berdasarkan penjelasan di atas, TKG III dan TKG IV 5.00 untuk rajungan baik jantan maupun betina terdapat disepanjang enam bulan penelitian 4.00 (Mei-Oktober) dengan persentase komposisi 3.00 yang tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa komposisi rajungan dalam area penelitian ini 2.00 didominasi oleh rajungan dewasa atau sudah siap untuk memijah. Hal ini sesuai dengan 1.00 pernyataan Kamrani, et al., (2010) bahwa 0.00 TKG fase III dan IV merupakan kelompok Mei Jun Jul Agu sep Okt rajungan dewasa yang siap dan aktif dalam berkembangbiak. Selain itu, dengan adanya Gambar 4. Persentase Rata-Rata GSI P. rajungan TKG V pada setiap bulannya, maka pelagicus di Perairan Desa peluang untuk menghasilkan telur Toronipa (fekunditas) akan semakin besar pula, Grafik perubahan rata-rata persentase sehingga menjaga jumlah populasi rajungan nilai GSI P. pelagicus jantan dan betina diperairan ini. selama enam bulan penelitian (Mei-Oktober) 100% menunjukkan perubahan yang tidak n = 370 signifikan selama enam bulan penelitian. 80% Nilai rata-rata GSI bulanan untuk setiap tahap kematangan berada dalam kisaran 3,4560% TKG I 5,06%. Puncak rata-rata GSI terjadi pada TKG II bulan Mei (5,06%) dan terendah berada pada 40% TKG III bulan Juli (3,45%) (Gambar 24). Berdasarkan TKG IV persentase nilai GSI di setiap bulannya, 20% TKG V ditemukan yang tertinggi adalah pada bulan Mei, September dan Oktober, sehingga 0% diduga merupakan musim pemijahannya. Mei Jun Jul Agu Sep Okt Puncak musim pemijahan diduga berlangsung Bulan Penelitian pada bulan Mei, September dan Oktober, Gambar 3. Persentase sebaran komposisi dalam hal ini rajungan mencapai nilai GSI TKG secara temporal rajungan tertinggi. Semua perbedaan ini diduga disebabkan yang tertangkap di Perairan Desa oleh perbedaan awal kematangan seksual Toronipa serta faktor lingkungan yang berbeda pada beberapa perairan yang telah disebutkan. 3. Gonado Somatic Index (GSI) Sejalan dengan pertambahan gonad maka Selain itu, Soundarapandian, et al., (2013), gonad akan bertambah berat dengan berpendapat bahwa variasi-variasi nilai GSI bertambah besarnya tubuh sampai mencapai kepiting portunidae pada setiap wilayah batas tertentu. Hal ini memengaruhi nilai GSI perairan sangat erat hubungannya dengan rajungan jantan maupun betina di setiap bulan ukuran dan bobot kepiting. Rata-rata penelitian. Nilai rata-rata GSI rajungan persentase nilai GSI untuk TKG III dan V cenderung seimbang selama enam bulan jantan dan betina disajikan pada Gambar 4. penelitian baik rajungan jantan maupun betina. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Kamrani, et al., (2010), yang menunjukkan
10
%GSI
8 6
5.06
4.93
4.76 3.61
3.60
3.45
4
TKG I TKG II TKG III TKG IV TKG V Rata-rata IKG
2 0 Mei
Jun
Jul
Agu
sep
Okt
Bulan Penelitian
Gambar 5. Persentase Rata-rata sebaran GSI secara temporal pada masing-masing tingkat kematangan gonad P. pelagicus di Perairan Desa Toronipa
hadirnya rajungan dengan TKG III dan IV di sepanjang bulan penelitiannya selam 1 tahun. Sebaran GSI secara temporal dapat digunakan untuk melihat waktu-waktu pemijahan rajungan seiring dengan perkembangan TKGnya. Semakin meningkatnya tahap kematangan rajungan seiring berjalannya waktu, maka memengaruhi pula persentase nilai GSInya setiap waktu dapat dilihat pada Gambar 5. Berdasarkan nilai rata-rata GSI diketahui bahwa pada bulan Mei nilai GSInya cenderung tinggi (5,06%) kemudian menurun pada bulan Juni (4,76%) dan menurun lagi pada bulan Juli (3,45%). Pada bulan Agustus, nilai GSInya kembali meningkat (3,60%) dan terus meningkat hingga bulan September (3,61%), meskipun nilai peningkatannya tidak signifikan. Memasuki bulan Oktober, peningkatan nilai GSInya sangat sinifikan mencapai 4,93%. Fluktuasi niai GSI setiap bulannya diduga dipengaruhi oleh jumlah rajungan yang matang gonad. Semakin banyak rajungan yang matang gonad pada suatu waktu, maka nilai GSInya akan semakin tinggi pula. Hal ini menunjukkan bahwa nilai GSI berpengaruh terhadap waktu (temporal) sehingga memengaruhi sebarannya pada setiap bulan. 4. Fekunditas Rajungan betina yang dihitung jumlah fekunditasnya (47 individu) dalam penelitian ini, menghasilkan telur antara 0,48 x 106-2,98 x 106 butir telur. Jumlah fekunditas yang
paling sedikit terdapat pada rajungan dengan lebar karapas (CW) 87,15 mm dan paling banyak terdapat pada rajungan dengan lebar karapas 147,1 mm. Temuan ini lebih besar dibanding dengan fekunditas P. pelagicus yang tertangkap di Perairan Pesisir Bandar Abbas, Iran yang berkisar antara 0,27 x 106 – 1,11 x 106 butir, namun lebih sedikit bila dibandingkan dengan kepiting portunidae lain (Scyllaserrata) yang ditemukan di Perairan Teluk Lawelle, Indonesia yang mencapai 1,51x106 - 8,89x106 (La Sara, et al., 2002) (Tabel 1). Tabel 1. Fekunditas spesies kepiting berbeda di beberapa lokasi Lokasi Australia Selatan Teluk Lawele, Indonesia Perairan Pesisir Barat Australia Perairan Pesisir Bandar Abbas, Iran Perairan Estuary Patos, Brazil Perairan Pesisir Johor, Malaysia Perairan Pesisir
Spesies P. pelagicu s Scylla serrata
Fekunditas 0,65x1061,76x106
Referensi Kumar,et al., (2000)
1,51x1068,89x106
La Sara,et al., (2002)
P. pelagicu s
0,78 x106-1x106
de Lestang, et al., (2003)
P. pelagicu s
0,27x106-1,11 x106
Kamrani, et al., (2010)
Callinec tes sapidus
0,15x1062,57x106
Rodrigues, et al., (2011)
P. pelagicu s
0,04x1061,83x106
Ikhwanudd in, et al., (2012)
P. sanguin
0,96x106 2,25x106
-
Soundarap andian, et
India
olentus
Perairan Desa Toronipa, Indonesia
P. pelagicu s
al., (2013) 6
0,48x10 -2,98 x106
Penelitian ini (2014)
Mengenai hal ini, Clarke dan Ryan (2004); Svane dan Hooper, (2004), menjelaskan bahwa meskipun telur yang dapat dihasilkan rajungan pada dapat bervariasi antara ribuan hingga satu jutaan, namun bisa saja berkurang atau bahkan semakin tinggi yang disebabkan oleh ukuran individu antar individu betina yang lain. Menurut La Sara, et al., (2002) perbedaan jumlah fekunditas secara umum belum diketahui dengan pasti. Namun, ada kemungkinan bahwa yang menyebabkannya adalah perbedaan wilayah sampel (La Sara, et al., 2002). Dilihat dari sisi lain, ternyata ada faktor lain yang menyebabkan produktivitas jumlah telur pada P. pelagicus betina yang sedang dalam tahap reproduksi. Hal ini berdasarkan penelitian Al-Rumaidh (2002), yang melaporkan bahwa perbedaan produktivitas telur P. pelagicus dapat disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor parasit penyebab penyakit yang sewaktuwaktu dapat menyerang rajungan betina yang sedang dalam tahap reproduksi. Pernyataan Juwana dan Romimohtarto (2000), kepiting tidak dapat tumbuh secara linier sebagaimana hewan lain karena mereka memiliki cangkang luar yang keras (karapas) yang tidak dapat bertumbuh kecuali saat molting. Grafikhubungan fekunditas dan bobot tubuh disajikan pada Gambar 6 berikut: 6.6
Log F (butir)
6.4
y = 4.9116 + 0.5194x R² = 0.3058 r = 0.5530
6.2 6.0 5.8 5.6 0.0
0.5
1.0
1.5
2.0
Log Bobot (g)
2.5
3.0
Gambar 6. Hubungan antara Fekunditas dan Bobot Tubuh rajungan yang tertangkap di Perairan Desa Toronipa
Hasil analisis hubungan Bobotfekunditas menunjukkan bahwa hubungann F = 4.9116B0.5194. Dari hubungan kedua parameter ini, diperoleh nilai r = 0,5530. Nilai koefisien keeratan ini dapat dikatakan rendah jika dibandingkan dengan beberapa penelitian lain, misalnya P. pelagicus di Perairan Pesisir Bandar Abbas, Iran, dengan nilai koefisien keeratan sangat tinggi yakni r = 0,88 (Kamrani et al., 2010), di Perairan Pesisir Mandapam, India dengan nilai r = 0,825 (Josileen, 2013). Rendahnya nilai r untuk hubungan bobotfekunditas pada penelitian ini diduga akibat variatifnya bobot rajungan betina bertelur, sehingga mengurangi tingkat linearitas antara bobot tubuh dan jumlah fekunditas yang dihasilkan Hal ini disebabkan di Perairan Toronipa terdapat banyak rajungan bertelur berukuran kecil dengan bobot tubuh yang rendah, namun memiliki fekunditas yang hampir sama dengan rajungan bertelur berukuran besar. Jumlah rajungan TKG V yang diamati untuk analisis fekunditas secara temporal adalah 47 individu yang tersebar pada masing-masing yaitu bulan Mei sebanyak 8 individu, Juni sebanyak 4 individu, Juli sebanyak 8 individu, Agustus sebanyak 4 individu, September sebanyak 11 individu dan Oktober sebanyak 12 individu. Dari perbedaan jumlah rajungan TKG V tersebut, tentu saja akan menghasilkan jumlah fekunditas yang berbeda pula pada masingmasing bulan. Umumnya, semakin banyak jumlah individu yang masuk dalam kategori TKG V, maka nilai fekunditas akan semakin tinggi. Sebaran rata-rata fekunditas dan jumlah total fekunditas dari bulan Mei s/d Oktober dalam penelitian ini dapat dilihat pada Gambar 7. Jumlah fekunditas rajungan pada bulan Mei berkisar antara 0,69 x 106-1,56 x 106 butir, bulan Juni berkisar antara 0,58 x 106-1,22 x 106 butir dan bulan Juli berkisar antara 0,72 x 106-1,89 x 106 butir telur. Adapun pada bulan Agustus, September dan Oktober masing-masing berkisar antara 0,66 x 106-2,98 x 106 butir, 0,50 x 106-2,37 x 106 butir, dan 0,48 x 106-2,05 x 106 butir. Berdasarkan Gambar 7, sebaran rata-rata fekunditas terbanyak terdapat pada bulan
16,000,000
n = 11
n = 12
Fekunditas (butir)
14,000,000 12,000,000 10,000,000
n=8 n=8
8,000,000
n=4
6,000,000
n=4
4,000,000
Rata-rata Fekunditas Total Fekunditas
2,000,000 -
Mei
Jun
Jul Agu Bulan Penelitian
Sep
Okt
Gambar 7. Sebaran fekunditas P. pelagicus di Perairan Desa Toronipa secara temporal dari bulan Mei s/d Oktober Agustus yang mencapai 1,60 x 106 butirtelur dan paling sedikit terdapat pada bulan Juni yakni 0,88 x 106 butirtelur. Meskipun hanya terdapat 4 individu rajungan pada bulan Agustus, namun rata-rata fekunditasnya adalah yang terbanyak. Berdasarkan sebaran nilai bantalan telur dan total fekunditas secara temporal, terbanyak terdapat pada bulan September dan Oktober masing-masing sebanyak 14,10 x 106 butir dan 14,11 x 106 butir dengan bantalan telur 11 dan 12 bantalan. Sedangkan total fekunditas paling sedikit terdapat pada bulan Juni yakni hanya sekitar 3,54 x 106 butir. Hal ini sebagai akibat dari banyaknya sebaran rajungan TKG V pada bulan September (11 ind.) dan bulan Oktober (12 ind.), sehingga sebaran total fekunditasnya lebih banyak pada kedua bulan ini. Tingginya sebaran bantalan telur dan total fekunditas pada bulan September dan Oktober menunjukkan bahwa pada bulan-bulan ini merupakan salah satu puncak waktu produksi telur rajungan di Perairan Desa Toronipa, yang didukung oleh melimpahnya rajungan pada tahap TKG V.
adult) dan dewasa (adult). Hal ini berdasarkan penelitian La Sara et al, (2010), yang menggunakan kategori sub-adult dan adult untuk analisis pertama matang gonad pada jenis portunid lain yakni kepiting bakau (Scylla serrata). Selain itu, penggunaan kategori TKG III, IV dan V untuk menentukan 50% ukuran pertama matang gonad juga digunakan pada spesies lain yakni Portunus segnis di Perairan Teluk Persia dan Laut Oman (Safaie, et al., 2012). Jumlah total sampel rajungan jantan dan betina dalam penelitian ini, yang termasuk dalam kategori tersebut (sub-adult dan adult) berjumlah sebanyak 151 individu. Jumlah sampel untuk P. pelagicus jantan adalah sebanyak 40 individu untuk jantan dengan kisaran CW dari 46,8-154,5 mm dan 111 individu untuk P. pelagis betina dengan kisaran dari 55,4-168,2 mm. Analisis ukuran 50% pertama matang gonad P. pelagicus dalam penelitian ini, diestimasi dengan menggunakan grafik titik perpotongan antara persentase kumulatif pertama matang gonad dan lebar karapas. Hasil analisis tersebut menunjukkan bahwa 50% pertama matang gonad untuk P. pelagicus jantan dan betina 3.3. Ukuran Pertama Matang Gonad secara berturut-turut adalah 72.4 mm dan 78,5 Kategori matang gonad yang digunakan mm (Gambar 8). untuk analisis ukuran pertama kali matang gonad rajungan dalam penelitian ini adalah pada TKG III, TKG IV dan TKG V dengan asumsi bahwa pada kategori tersebut rajungan telah masuk pada tahapan semi dewasa (sub-
Frekuensi kumulatif (%)
Frekuensi kumulatif (%)
100
Jantan 50 72,4 mm
0 40
60
80
100
120
140
160
100.0
Betina 50.0 78,5 mm 0.0 50
70
90
110
130
150
170
CW (mm)
Gambar 8. Estimasi persentase matang gonad sebagai fungsi lebar karapas P. pelagicus jantan (atas) dan betina (bawah) Nilai ukuran 50% pertama matang gonad P. pelagicus tersebut diatas menunjukkan perbedaan ukuran CW pertama kali matang gonad antara rajungan jantan dan betina. Rajungan betina matang pada ukuran yang lebih besar dibandingkan dengan ukuran CW rajungan betina. Hal ini berkaitan dengan perbedaan jenis kelamin dan pertumbuhan rajungan itu sendiri. Lagler et al. (1997), menyatakan beberapa faktor yang memengaruhi ukuran pertama kali matang gonad antara lain adalah perbedaan spesies, umur dan ukuran, serta sifat-sifat fisiologi individu yang berbeda jenis kelamin dan juga kondisi lokasi berpijah yang sesuai. Pada penelitin di Perairan Desa Toronipa ini, yang menarik adalah, terdapatnya rajungan betina dengan ukuran sangat kecil yakni pada kisaran CW 48,40-62,49 mm (juvenile) namun sudah mencapai kematangan seksual atau TKG IV. Sehingga, persentasenya dengan jumlah individu pada kisaran tersebut mencapai 0,33%. Kondisi ini bisa saja terjadi jika tekanan penangkapan P. pelagicus di perairan ini sangat intensif. Hal ini berdasarkan pernyataan Trippel et al., (1997 dalam Sunarto, dkk., (2010), bahwa spesies yang mengalami tekanan karena tangkap
lebih cenderung matang gonad pada ukuran lebih kecil, termasuk kepiting portunidae. Berbagai hasil-hasil penelitian di beberapa perairan, melaporkan bahwa ukuran CW pertama matang gonad rajungan menunjukkan ukuran yang berbeda-beda. Ukuran-ukuran CW tersebut menunjukkan bahwa ukuran pertama matang gonadnya dapat lebih kecil maupun lebih besar dari hasil penelitian di Perairan Desa Toronipa ini. Misalnya saja, di Perairan Australia Selatan, P. pelagicus jantan dan betina umumnya mencapai kematangan seksual pada ukuran lebar karapas 70 - 90 mm, ketika mereka berusia sekitar satu tahun (Svane dan Hooper, 2004). Perbedaan ukuran matang gonad rajungan di beberapa perairan di atas dapat diakibatkan oleh berbagai faktor. Menurut Sulistiono et al., (2009) ukuran pertama kali matang gonad setiap spesies dapat berbeda, bahkan spesies yang sama namun berbeda habitatnya dapat matang gonad pada ukuran yang berbeda pula. Ukuran pertama kali matang gonad ini termaksud dalam ketegori rendah berdasarkan ukuran rajungan yang ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan yang tercantum dalam Peraturan No. I/PERMEN-KP/2015. Hal ini dipengaruhi kondisi lingkungan alami dan tekanan penangkapan sehingga rajungan malakukan strategi reproduksinya dengan mempercepat proses kematangannya.Hal ini sesuai dengan penelitian Muchtar, A. S., (2016) menyatakan banwa nilai laju eksploitasi rajungan jantan lebih besar (0,52) dibandingkan rajungan betina (0,47). Hasil tersebut dapat terlihat bahwa tingkat eksploitasi rajungan jantan di perairan Toronipa dalam kategori tingkat eksploitasi tinggi (E > 0,5) atau overfishing. Hal ini dipengaruhi oleh lokasi penangkapan di daerah pesisir dimana rajungan jantan banyak tersebar di daerah ini. Selain itu, variatifnya ukuran pertama matang gonad P. pelagicus di perairan seluruh dunia sangat berkaitan dengan kondisi geografis dan posisi lintang atau lokasi serta kondisi tubuh masing-masing individu kepiting portuniddi setiap lokasi (Safaie, et al., 2012).
3.4. Pengelolaan Rajungan Melalui Data Aspek Biologi Reproduksi Hasil-hasil penelitian biologi reproduksi rajungan (P. pelagicus), di Perairan Desa Toronipa memberikan informasi yang berguna untuk pengelolaan spesies ini. Sebagai contoh, larangan penangkapan rajungan betina bertelur, batas ukuran minimum penangkapan rajungan betina, serta pelarangan menangkap dengan alat tangkap apapun pada saat musim pemijahan, harus dibuat peraturan dan kelembagaannya di kawasan fishing ground rajungan di Perairan Desa Toronipa ini. Berdasarkan data sebaran rajungan secara spasial dan temporal, saat ini, eksploitasi rajungan di Perairan Desa Toronipa sangat dekat dengan lokasi penelitian ini, dimana sebagian besar merupakan kawasan-kawasan terjadinya recruitment bagi rajungan-rajungan baru. Hal inisehingga, menjadi alasan kuat bahwa pemanfaatan berkelanjutan dari rajungan di kawasan perairan ini harus dilakukan di bawah manajemen yang baik. Selain itu, tingkat usaha penangkapan rajungan, tidak boleh dilakukan secara intensif sepanjang waktu, melainkan harus ditekan pada batasan tingkat tertentu atau bahkan dapat dikurangi. Salah satu langkah manajemen untuk rajungan di Perairan Desa Toronipa berdasarkan data biologi reproduksi, disarankan jumlah alat tangkap pada nelayan skala kecil dan besar sebaiknya dibatasi pada tingkat ini, mengingat recruitment dan rajungan betina pemroduksi telur dengan jumlah fekunditas yang tinggi, masih banyak ditemukan melalui penelitian ini. Namun, perlu diperhatikan sekali lagi bahwa rajungan betina bertelur perlu diberlakukan peraturan larang tangkap. Hal ini karena dapat memengaruhi peluang fekunditas rajungan di perairan. Fekunditas menentukan potensi reproduksi spesies dan ukuran stok populasinya. Informasi tentang fekunditas adalah penting untuk pengelolaan perikanan rajungan. Informasi fekunditas memainkan peran penting dalam hali ini. Melalui informasi fekunditas, dapat dibuat perautran dan perundang-undangan dalam rangka mengevaluasi potensi stok komersial
rajungan, dan juga dapat digunakan untuk menilai kelimpahan dan potensi reproduksi stok pemijahan rajungan. Parameter evaluasi tersebut dapat dipengaruhi oleh faktor lingkungan, termasuk predasi, parasitasi dan suhu, yang dapat memengaruhi keseimbangan antara jumlah optimal dan ukuran telur, dan juga oleh hilangnya telur selama masa pengeraman, dan/atau selama penanganan rajungan yang diperoleh dari pendaratan komersial. Puncak pemijahan rajungan pada penelitian ini terdapat pada bulan September dan Oktober berdasarkan data rajungan bertelur terbanyak. Puncak pemijahan rajungan ini menggambarkan bahwa akan ada penambahan kelompok rajungan baru yang akan masuk kepopulasi rekruimen dengan jumlah yang besar terhitung saat induk rajungan memijah memalui tahapan siklus hidup rajungan mulai dari telur sampai dewasa, artinya kelimpahan populasi rajungan ukuran dewasa akan terjadi 1 tahun setelah waktu puncak pemijahan. Hal ini didukung oleh Kumar et al., (2000) bahwa siklus hidup rajungan sampai mencapai dewasa membutuhkan waktu 1 tahun, dimana ukurannya mencapai 7-9 cm. Informasi ini akan membantu proses pengelolaan dalam hal penangkapan rajungan disuatu perairan dimana pengelolaan untuk setaip tahapan siklus hidup rajungan berbeda khususnya penangkapan, sehingga perlu aturan yang menyesuaikan kondisi alamiah dari rajungan tersebut. Penentuan pertama kali matang gonad pada suatu spesies perikanan merupakan faktor yang sangat penting dalam manajemen perikanan (La Sara et al., 2010). Data pendugaan CW pertama kali matang gonad rajungan juga dapat digunakan sebagai salah satu pijakan dalam melakukan pengelolaan rajungan di Perairan Desa Toronipa. Nilainilai ukuran pertama matang gonad ini dapat menjadi acuan untuk melakukan pembatasan ukuran penangkapan. Salah satu cara melakukan pembatasan ukuran tangkap adalah dengan melakukan perubahan ataupun modifikasi terhadap alat tangkap rajungan agar lebih selektif. Alat tangkap yang selektif adalah alat tangkap yang mampu menangkap
pada kisaran ukuran yang lebih besar dari ukuran pertama kali matang gonad. Melakukan penangkapan pada ukuran yang lebih besar dari ukuran pertama matang gonad, akan memberi kesempatan bagi setiap individu untuk melakukan rekruitmen atau reproduksi. Dengan demikian maka kelestarian sumberdaya rajungan dapat dipertahankan. Berdasarkan analisis ukuran pertama matang gonad dalam penelitian ini, maka disarankan agar rajungan di Perairan Desa Toronipa ditangkap pada ukuran diatas 72,4 mm untuk rajungan jantan dan 78,5 mm untuk rajungan betina, dan penangkapan dibawah ukuran tersebut harus dilarang. Hal ini agar memungkinkan rajungan-rajungan tersebut dapat mencapai kematangan dan bertelur serta menghasilkan zoea terlebih dahulu, agar populasinya tetap lestari hingga dimasa-masa yang akan datang. Bagaimanapun juga, bidang manajemen perikanan, dalam hal ini rajungan, merupakan sesuatu yang kompleks terhadap semua aspek. Pengambilan keputusan dalam manajemen utuh kepiting rajungan (P. pelagicus) tidak bisa hanya menggunakan informasi biologi reproduksi, melainkan, kondisi sosial ekonomi dan budaya nelayan skala kecil maupun skala besar di Perairan Desa Toronipa, harus dipelajari untuk kemudian dipertimbangkan agar tercapai visi pengelolaan yang berkelanjutan dari sumberdaya rajungan dan juga untuk memastikan keadilan dan kemerataan peraturan bagi semua stakeholder. Oleh karena itu, penelitian lanjutan mengenai aspek-aspek lain yang mendukung pengelolaan rajungan perlu untuk terus dilakukan. 4. Pengakuan Alhamdulillah, puji syukur setinggitingginya kehadirat Allah Subhanahu Wata’ala yang telah memberikan kemampuan dan kemudahan sehingga tulisan ini dapat terselesaikan. Ucapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Prof. Ir. La Sara, MS. Ph.D dan Dr. Ir. Yusnaini,DEA atas arahan dan bimbingannya sejak menyusun hingga terselesaikannya tulisan
ini.Terimakasih juga kepada kawan-kawan satu tim atas bantuannya selama dilapangan dan di laboratorium. Daftar Pustaka Al-Rumaidh, M.J. 2002. The Biology, Population Dynamics and Fishery Management of the Blue Swimming Crab, Portunuspelagicus (Linnaeus, 1758), in Bahraini Waters. Ph.D Dissertation. University of Wales, Bangor. 298 p. Araujo, M.D.S.L.C.D., and J.J.P.R.D. Lira. 2012. Condition Factor and Carapace Width Versus Wet Weight Relationship in the Swimming Crab Callinectesdanae Smith 1869 (Decapoda: Portunidae) at the Santa Cruz Channel, Pernambuco State, Brazil. Nauplius, 20 (1): 41-50. Ayal, D. and ozogul, Y. 2011. The Chemical Composition of Sexually Mature Blue Swimmer Crab (Portunus pelagicus, Linnaeus 1758) in The Mersin Bay. J FisheriesSciences.com. 5(4): 308-316. Branco, J.O., and H.A.A. Fracasso. 2004. Biologia Populacional de Callinectesornatus (Ordway) Penha, Santa Catarina, Brasil. Revista Brasileira de Zoologia, 21(1): 91-96. Clarke, K. and S. Ryan. 2004. Ecological Assesment of the Queensland Blue Swimming Crab Pot Fishery. Department of Primary Industries and Fisheries. Queensland Government. 100 p. Costa, T.M. and Negreiros-Fransozo, M.L. 1998. The Reproductive Cycle of Callinectes danae Smith, 1869 (Decapoda, Portunidae) in the Ubatuba Region, Brazil. Crustaceana, 71(6): 615-627. Edgar, G. J., 1990. Predator-prey interactions in seagrass beds. II. Distribution and Diet of the Blue Manna crab P. pelagicus Linnaeus at Cliff Head, Western Australia. Journal of Experimental Marine Biology and Ecology, 139: 23–32.
Hosseini, M., A. Vazirizade., Y. Parsa., A. Mansori. 2012. Sex Ratio, Size Distribution and Seasonal Abundance of Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linnaeus, 1758) in Persian Gulf Coasts, Iran. World Applied Sciences Journal, 17 (7): 919-925. Ikhwanuddin, M., M.N. Azra., H.S. Aimuni., A.B.A. Munafi. 2012. Fecundity, Embryonic and Ovarian Development of Blue Swimming Crab, Portunus pelagicus (Linneaus, 1758) in Coastal Water of Johor Malaysia. Pakistan Journal of Biological Sciences, 15 (15): 720-728. Josileen, J. 2013. Fecundity Of The Blue Swimmer Crab, Portunuspelagicus (Linnaeus, 1758) (Decapoda, Brachyura, Portunidae) Along the Coast of Mandapam, Tamil Nadu, India. Crustaceana, 86 (1): 48-55. Kailola, P.J., Williams, M.J., Stewart, P.C., Russell, E.R., McNee, A. & Grieve, C. (1993). Australian Fisheries Resources. Bureau of Resource Sciences and the Fisheries Research and Development Corporation, Canberra, Australia, pp. 266-268. Kamrani, E., A.N. Sabili., M. Yahyavi. 2010. Stock Assessment and Reproductive Biology of the BlueSwimming Crab, Portunuspelagicus in BandarAbbas Coastal Waters, Northern Persian Gulf. Journal of the Persian Gulf, 1 (2): 11-22. Kangas, M. I. 2000. Synopsis of The Biology and Exploitation of the Blue Swimmer Crab, Portunus pelagicus Linneaeus, in Western Australia. Fisheries Research No. 121. Fisheries Western Australia. Western Australia. Perth. 22 hal. Kumar, M., G. Ferguson, Y. Xiao, G. Hooper and S. Venema. 2000. Studies on Reproductive Biology and Distribution of the Blue Swimmer Crab (Portunus pelagicus) In South Australian Waters. South Australian Research and Development Institute (SARDI), Australia. 35p.
Kunsook, C., N. Gajaseni., N. Paphavasit. 2014. A Stock Assessment of the Blue Swimming Crab Portunuspelagicus (Linnaeus, 1758) for Sustainable Management in Kung Krabaen Bay, Gulf of Thailand. Tropical Life Sciences Research, 25 (1), 41–59. La Sara. 2001. Ecology and Fisheries of Mud Crab (Scylla serrata) in Lawele Bay, Southheast Sulawesi, Indonesia. Ph.D. Dissertation College of Fisheries and Ocean Science, University of the Philippines, Miagao,Iloilo. Philippines. La Sara, J.A. Ingles, R.B. Baldevarona, R.O. Aguilar, L.V. Laureta and S. Watanabe. 2002. Reproductive Biology of Mud Crab Scylla serrata in Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. Crustacean Fisheries, 88-95. La Sara. 2010. Study on The Size Structure and Population Parameters of Mud Crab Scyllaserrata in Lawele Bay, Southeast Sulawesi, Indonesia. Journal of Coastal Development, 13 (2): 133-147. Lestang, S.D., N.G. Hall., I.C. Potter., 2003. Reproductive Biology of the Blue Swimmer Crab (Portunuspelagicus, Decapoda: Portunidae) in Five Bodies of Water on the West Coast of Australia. Fish. Bull. 101:745–757. Mehanna, S.F., S. Khvorov., M. Al-Sinawy., Y.S. Al-Nadabi., M.N. AlMosharafi. 2013. Stock Assessment of the Blue Swimmer Crab Portunus pelagicus (Linnaeus, 1766) from the OmanCoastal Waters. International Journal of Fisheries and Aquatic Sciences, 2 (1): 1-8. NMFS. 2012. Swimming Crab Trade Data. Data Available From: http://www.st.nmfs.noaa.gov/st1/trade /index.html Potter, I. C. and de Lestang. 2000. Biology of the Blue Swimmer Crab Portunus Pelagicus in Leschenault Estuary and Boombana Bay, South-Western
Australia. J. Royal Soc. Western Fishery. Fishery Assessment Report to Australia 83; 443-458. PIRSA for Blue Crab Fishery Quinn, N.J. and Kojis, B.L., 1987. Management Committee South Reproductive Biology of Scylla spp. Australian Research and Development (Crustacea: Portunidae) from the Institute. Aquatic Sciences Labu Estuary in Papua New Publication. 3: 274. Guinea. Bull. Mar. Sci. 41(2): Takween, W., and N.A. Qureshi. 2005. 234-241. Population Structure and Rodrigues, M.A., M.F. Heberle., F. D’incao. Reproductive Biology of Four 2011. Fecundity Variation and Speciesof Swimming Crabs Abundance of Female Blue Crabs (Crustacea: Brachyura: Portunidae) CallinectesSapidus Rathbun, 1896 From Coastal Area of Karachi, (Decapoda, Brachyura, Portunidae) in Pakistan. Pakistan J. Marine Sci., the Patos Lagoon Estuary, RS, Brazil. 14:107-121. Atlântica, Rio Grande, 33 (2): 141- Williams, M. J., 1982. Natural Food and 148. Feeding in the Commercial Sand Crab Safaie, M., J. Pazooki., B. Kiabi., M.R. P. pelagicus Linnaeus, 1766 Shokri. 2012. Reproductive Biology (Crustacea: Decapoda: Portunidae) in of Blue Swimming Crab, Portunus Moreton Bay. Queensland Journal of segnis (Forskal, 1775) in Coastal Experimental Marine Biology and Waters of Persian Gulf and Oman Sea, Ecology, 59: 165–176. Iran. Iranian Journal of Fisheries Xiao, Y. and Kumar, M., 2004. Sex ratio, and Sciences, 12 (2): 430-444. Probability of Sexual Maturity of Sahib, I.M.A. 2012. Some Biological Aspects Females at Size, of the Blue Swimmer of the Swimming Crab Portunus Crab, Portunuspelagicus Linneaus, off pelagicus (Linnaeus,1766) (Decapoda: Southern Australia, SARDI Aquatic Portunidae) in NW Arabian Gulf. Sciences Centre, Hamra Avenue, Mesopot. J. Mar. Sci., 27 (2): 78-87. West Beach, SA 5024, Australia , Soundarapandian, P., D. Varadharajan., T. Fisheries Research, 68: 271–282. Anand. 2013. Male Reproductive System of Blue Swimming Crab, Portunuspelagicus (Linnaeus, 1758). Journal Cytol Histol 5 (206): 1-8. Stephenson, W. & B. Campbell, 1959. The Australian Portunids (Crustacea: Portunidae) III. The Genus Portunus. Australian Journal of Marine and Freshwater Research, 10(1): 84–124. Sulistiono., K.D. Soenanthi., Y. Ernawati. 2009. Aspek reproduksi ikan lidah, Cynoglossus linguna H.B. 1822 di perairan Ujung Pangkah, Jawa imur. Jurnal Ikhtiologi Indonesia9:175-185. Sumpton, W., M. Potter & G. Smith, 1994. Reproduction and Growth of the Commercial Sand Crab, Portunus pelagicus (L.) in Moreton Bay, Queensland. Asian Fisheries Science, 7: 103–113. Svane, I., and Hooper, G.E. 2004. Blue Swimmer Crab (Portunus pelagicus)