Asesmen Sosial Budaya Di Wilayah Kerja PT Commodities Indonesia Jaya Distrik Klamono, Kabupaten Sorong
1/20/2012 PT Henrison Inti Persada
Semiarto A. Purwanto Leo Siregar Dodi Akhdian A. Cahyo Nugroho Budi Mulia
1 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Daftar Isi 1. 2. 3. 4. 4.1. 4.2. 4.3. 4.4. 4.5. 5. 5.1 5.2. 5.3. 5.4. 5.5. 6.
Latar belakang Lingkup kajian Output Kajian Metode & Strategi Riset Karakteristik lingkungan dan komunitas Sistem sosial di tingkat lokal Penduduk, hutan, dan sistem budaya Pola penguasaan Lahan Kegiatan Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan Temuan dan Analisis Masalah Perbedaan konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat Tata batas tanah ulayat Perbedaan persepsi skema plasma kebun sawit Kerusakan Lingkungan Proses evakuasi kayu yang tak terkendali Rekomendasi
3 6 7 7 8 9 9 9 10 10 10 13 14 16 18 19
Lampiran 1. Kependudukan dan Formasi Etnik Lampiran 2. Karakteristik Kampung-kampung Pelepas Hak Ulayat Lampiran 3. Fasilitas Umum dan Sosial Lampiran 4. Sistem Kepemimpinan Lampiran 5. Hirarki antar marga Lampiran 6. Sistem Ekonomi Subsistensi dan Perubahan Akibat Kebun Sawit di Maladofok Lampiran 7. Persepsi dan Makna Hutan Bagi Penduduk Lampiran 8. Konsep Marga di Klamono Lampiran 9. Pengelolaan dan Pengaturan Sumberdaya Alam Lampiran 10. Mekanisme Pengelolaan Sumber Daya Hutan Ulayat secara Komunal Lampiran 11. Pengetahuan, Penguasaan, dan Batas-Batas Ulayat Lampiran 12. Makan Bersama dan Tumpang Tindih Klaim Ulayat Lampiran 13. Penguasaan Sumber Daya Alam dan Perubahan Sosial di Klamono Lampiran 14. Pelanggaran Hak ulayat Lampiran 15. Gaya Hidup Relung Berburu Meramu dan Perkebunan Sawit
20 21 23 26 30 32 35 36 37 39 42 44 45 50 55
2 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
1. Latar belakang Kekayaan alam menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia modern ketika ditransformasikan menjadi sumberdaya alam. Selanjutnya, melalui kegiatan ekonomi, sumberdaya alam tersebut dijadikan sebagai komoditas dalam industri. Melalui kedua proses tersebut, orang mencari sumberdaya alam sebagai modl untuk mengembangkan kegiatan ekonomi mereka. Dalam kerangka negara, sudah menjadi bagian dari tugas negara untuk mengolah sumberdaya alam sehingga hasilnya dapat dijadikan sebagai bahan bakar pembangunan untuk mensejahterakan warganegaranya. Pengelolaan sumberdaya alam untuk industri, di berbagai negara termasuk Indonesia, lalu menjadi tugas konstitusional. Melalui kebijakan yang dituangkan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah, negara mendelegasikan kewenangan untuk mengelola industri yang memanfaatkan sumberdaya alam kepada badan usaha milik negara dan swasta. Di bidang kehutanan, kita mengenal Perhutani dan Inhutani sebagai perusahaan negara yang mengelola sumberdaya hutan; PT Perkebunan yang mengelola kebun; dan Pertamina dan Aneka Tambang yang mengelola bidang pertambangan. Di samping melalui badan usaha negara, pengelolaan juga diberikan kepada swasta melalui konsesi hutan, kebun dan tambang. Di bidang kehutanan kita mengenal Perusahaan Pemegang HPH, HTI dan industri turunannya di bidang perkayuan; perusahaan perkebunan teh, kopi, karet dan sawit; dan berbagai macam perusahaan pengelola galian tambang. Salah satu pulau dengan kekayaan alam berlimpah di Indonesia adalah pulau Papua. Wilayah hutan di Indonesia mencapai 57% dari luas daratannya atau seluas 108.573.300 hektar. Bagian terluas berada di Kalimantan (34 juta hektar), Irian Jaya (33 juta hektar), Sumatera (20 juta hektar) dan sisanya tersebar di berbagai pulau lainnnya1. Sementara menurut Balai Penelitian Kehutanan Manokwari, luas hutan di Papua adalah sekitar 40,5 juta hektar, dengan kekayaan flora mulai dari tipe hutan mangrove sampai vegetasi alpin. Keaneka ragaman flora diduga mencapai 15.000 - 20.000 jenis tumbuhan tinggi dengan jumlah marga yang sudah teridentifikasi sebanyak 1.465, dimana paling sedikit 124 marga diantaranya endemik. Demikian halnya dengan jenis fauna, terdapat 268 jenis burung endemik dari 641 jenis burung yang telah ditemukan pada saat itu.2 Pengelolaan hutan di Papua sudah dimulai sejak akhir masa kolonialisasi Belanda dan dilanjutkan dengan upaya pemerintah RI. Dimulai dengan pembentukan Jawatan Kehutanan bulan
1
Lihat tulisan U. Iskandar, 2000, Pola Pengelolaan hutan Tropika. Alternatif Pengelolaan Hutan yang dengan Desentralisasi dan Otonomi Daerah. Bigraf Publishing. Hal: 3 2
Selaras
Data ini diambil dari website Balai Penelitian Kehutanan Manokwari di http://www.balithutmanokwari.com
3 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Desember 1946, dan secara spesifik diteruskan dengan pembentukan kantor Jawatan Kehutanan Sumatera tahun 1947, upaya pengelolaan hutan dalam arti pengambilan kayu dan isi huta dimulai secara sistematis. Kegiatan ini didelegasikan ke pemerintah daerah sepuluh tahun kemudian melalui Peraturan Pemerintah No. 64 Tahun 1957 (LN. No. 169 Tahun 1957) mengenai Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Pusat di bidang Perikanan Laut, Kehutanan dan Karet Rakyat kepada Pemerintah Swatantra Tingkat I. Di Indonesia bagian timur, pengaturan pengelolaan hutan di wilayah bekas Negara Indonesia Timur (NIT), dimulai setahun berikutnya3. Di masa Orde Baru, intensifikasi peran swasta semakin besar di bidang kehutanan sebagai respons dari kebijakan penanaman modal dengan telah dikeluarkannya Undang-undang No. 1 tahun 1967 tentang Penanaman modal Asing, dan Undangundang No. 6 tahun 1968 tentang Penanaman Modal Dalam Negeri, melalui pengaturan pemberian konsesi HPH. Manifestasinya adalah dengan pemberian Hak Pengusahaan Hutan (HPH)
kepada
perusahaan pemegang HPH sebagai pelaksana utama eksploitasi hutan di suatu kawasan yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 21 tahun 19704. Walaupun secara ekonomis, kegiatan pengelolaan hutan dan perkebunan memberikan kontribusi luar biasa terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia sejak dasawarsa 1980an, namun harga yang harus dibayarkan relatif mahal. Berbagai efek dari ekstrasi hutan mulai dari kerusakan hutan sampai pada penurunan tingkat keanekaragaman hayati harus kita alami. Di sisi lain, disadari pula munculnya masalah sosial budaya sehubungan dengan beroperasinya perusahaan di sekitar komunitas masyarakat desa hutan yang umumnya berbasis ekonomi subsistensi5. Kondisi ini muncul di hampir semua tempat dimana perusahaan pemegang konsesi hutan beroperasi, termasuk di Papua. Isu pemilikan lahan dan hak untuk mengakses wilayah hutan menjadi dua hal yang dominan6. Di sektor perkebunan, Papua dengan potensi wilayahnya yang luas juga menjadi wilayah pilihan untuk
3
Sejarah singkat upaya pengelolaan wilayah hutan dapat dilihat dalam artikel I Nyoman Nurjaya, “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia” dalam jurnal Jurisprudence, Vol. 2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55, dan buku Sejarah Kehutanan Indonesia II-III. Periode Tahun 1942-1983. Jakarta Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 1998. 4
Riwayat kebijakan kehutanan di Indonesia masa Orde Baru dengan sistem HPH dapat dilihat di artikel Budi Nugroho, “Sistem Hak Pengusahaan Hutan Dan Manajemen Hutan” diakses dari saveforest.webs.com 5
Mengenai dampak pengelolaan sumberdaya hutan tanpa perhatian yang tulus pada masyarakat setempat dapat dilihat a.l. pada buku San Afri Awang, Dekonstruksi Sosial Forestri : Reposisi Masyarakat dan Keadilan Lingkungan. Yogyakarta : Bigraf Pub. & Program Pustaka, 2004 6
Silakan simak pendapat Pietsau Amafnini, “Ekspansi Perkebunan Sawit di Tanah Papua. Mengancam Iklim Dunia dan Hak Masyarakat Adat Papua” yang dapat di akses di http://jasoilpapua.blogspot.com/2010/06/ekspansiperkebunan-sawit-di-tanah.html
4 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
mengembangkan usaha. Pada tahun 2007, dari terdapat alokasi 10 juta hektar hutan yang dicadangkan untuk HPH, 2 juta hektar untuk HTI dan 7 hektar untuk perkebunan. Di antara 7 juta hektar alokasi kebun itu, 5 juta hektar berada di Papua dan 2 juta hektar di Papua Barat. Menarik untuk memperhatikan bahwa sebagian besar wilayah perkebunan di Papua diproyeksikan untuk kebun sawit. 7 Di tengah upaya untuk menghadirkan kesimbangan antara kepentingan masyarakat setempat dan pengelolaan sumberdaya hutan melalui sektor kehutanan dan perkebunan, upaya untuk mengidentifikasi hak-hak masyarakat adat di wilayah Papua sebenarnya sudah dimulai. Berbagai program kehutanan dan perkebunanan yang berdimensi kerakyatan mulai diperkenalkan. Demikian pula kajian mengenai sistem adat dan pengelolaan sumberdaya alam8. Sekalipun demikian, mengingat luas wilayah dan diversitas penduduk dan kebudayaannya, upaya dan kajian serupa harus terus dilakukan. PT. Henrison Inti Persada (PT HIP) yang sudah mulai beroperasi sejak 2004 di distrik Klamono, Kabupaten Sorong, melalui manajemennya di tingkat pusat menyadari pentingnya memahami budaya masyarakat sekitar kebun. Terlebih ketika di lapangan seringkali dijumpai perbedaan pandangan dan penafsiran atas peran dan kedudukan masing-masing. Perusahaan melalui program kepedulian kepada masyarakat, misalnya, telah melakukan berbagai program bantuan mulai dari fisik, ekonomi sampai pendidikan. Di sisi lain, masyarakat lokal sepertinya menaruh harapan lebih pada perusahaan dengan seringkali mengajukan klaim dan permintaan bantuan. Untuk memahami kondisi sosial budaya dalam rangka meningkatkan hubungan sosial yang lebih baik dengan masyarakat setempat, manajemen bermaksud membuat kajian bidang sosial budaya di wilayah distrik Klamono. Fokus kajian adalah untuk: “Mengkaji dan memberikan penilaian atas kehadiran perusahaan perkebunan dan perubahan sosial budaya yang dialami masyarakat sekitar, sebagai
bahan
untuk
menyusun
strategi
pengembangan
industri
kelapa
sawit
dengan
mempertimbangkan potensi dan kemajuan masyarakat lokal di Papua”
7
Dalam perhitungan Departemen Pertanian luas areal lahan di Papua yang potensial dan sesuai untuk perkebunan sawit ada sekitar 5,7 juta ha. Lihat Prospek Pengembangan dan Perkiraan Kebutuhan Investasi Pertanian di Indonesia. Pusat Studi Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, 2005. Jakarta.
8
Contoh kajian tersebut dibuat oleh Irma Yeny, Wilson Rumbiak, dan Arif Hasan, “Kajian Hukum Adat Suku Mooi Dalam Pemanfaatan Sumberdaya Alam Di Sorong” terbitan Pusat Studi Penelitian Sosial Ekonomi, Badan Penelitian dan Pengembangan, Departemen Pertanian, Bogor. Dalam artikel itu disebutkan bahwa suku Mooi termasuk dalam kelompok etnik Papua ertama yang menjadi korban eksploitasi sumberdaya alam dalam bentuk eksplorasi tambang melalui Nederland New Guinea Petroleum Maskapij (NNGPM) tahun 1930-an.
5 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
2. Lingkup kajian Kajian akan terbagai menjadi dua bagian besar, yaitu: 1. Mengkaji enam butir masalah yang sudah teridentifikasi HIP, yaitu terdapat perbedaan konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat, pola komunikasi yang selama ini terjalin antara HIP dan Orang Moi, tata batas lahan ulayat yang tidak jelas, perbedaan skema plasma kebun sawit, kerusakan lingkungan yang ditimbulkan HIP dimata Orang Moi, dan proses evakuasi kayu yang tak terkendali. 2. Memasok data sosial budaya berupa etnografi sebagai konteks dari kehidupan sehari-hari masyarakat sekitar kebun sawit 3. Mengkaji perubahan sosial-budaya yang terjadi sebagai akibat dari keberadaan perusahaan perkebunan sawit di sekitar kampung
Deskripsi mengenai aspek sosial budaya suatu komunitas lokal atau etnografi merupakan kajian atas unsur-unsur budaya yang berperan penting dalam kehidupan sehari-hari suatu komunitas. Pada masyarakat sederhana, unsur-unsur itu saling tercampur. Kita bisa menjumpai misalnya institusi ekonomi yang muncul dalam ritual keagamaan, atau bagaimana institusi kekerabatan berhubungan dengan kegiatan ekonomi, dsb. Etnografi biasanya dimulain dengan identifikasi lokasi sebagai salah satu faktor yang berpengaruh dalam adaptasi budaya manusia, paparan mengenai sistem dan struktur sosial, sistem budaya terkait dengan domain hutan yang menjadi habitat, pola penguasaan lahan dan sistem ekonomi. Secara khusus, deskripsi mengenai aspek sosial-budaya masyarakat sekitar kebun akan dilihat dalam konteks dinamis. Adat, tradisi dan kebudayaan setempat selalu dan akan berada dalam kondisi berubah, menyesuaikan diri dengan berbagai hal yang terjadi di sekitarnya. Kehadiran negara, perusahaan dan migran dari daerah lain adalah faktor-faktor pemungkin terjadinya perubahan pada masyarakat lokal melalui infrastruktur fisik yang tersedia, tatanan interaksi baru dengan pendatang dan berbagai gagasan berorientasi kenegaraan (nasional) maupun perdagangan (pasar). Selain etnografi, kajian juga akan ditujukan pada persepsi masyarakat setempat atas industri pengelolaan sumberdaya di sekitar mereka. Tidak bisa dipungkiri, dengan kekayaan alamnya yang berlimpah, tanah Papua menjadi incaran investor. Masyarakat setempat di beberapa lokasi di Papua tentu mengalami banyak hal sehubungan dengan beroperasinya perusahaan hutan (HPH/HTI), 6 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
perkebunana, tambang dan perikanan. Oleh karena itu, ketika perusahaan sawit beroperasi, kajian mengenai persepsi juga harus dilihat dalam perspektif historis dengan mengacu pada pengalaman perjumpaan masyarakat setempat dengan berbagai perusahaan. Pada bagian ini akan dipaparkan dinamika pandangan penduduk terhadap hutan terkait dengan makna dan manfaat hutan bagi keseharian penduduk, pandangan terhadap isi hutan baik flora maupun fauna, dan pandangan penduduk terhadap para pihak yang bekerja dalam hutan dalam bentuk usaha pembalakan hutan, HPH, HTI; perkebunan, tambang, konservasi dan masyarakat adat. Skema atau bangun budaya masyarakat setempat yang bereaksi terhadap stimulus dari luar, dengan kehadiran berbagai pihak tersebut, akan mengakibatkan pergeseran, penyesuaian dan perubahan sosial-budaya. Bagian ke dua dari kajian ini akan memfokuskan diri pada isu perubahan sosial-budaya pada masyarakat sekitar kebun.
3. Output Kajian Setelah kajian selesai, output yang dihasilkan adalah: Analisis sosial sosial-budaya atas berbagai masalah yang dialami perusahaan dengan masyarakat sekitar kebun Deskripsi etnografis masyarakat sekitar kebun Rekomendasi berupa identifikasi kebutuhan masyarakat sekitar kebun dan kemungkinan program sosial (indikatif)
4. Metode & Strategi Riset Proses pengumpulan data akan dilakukan secara cepat dengan menggunakan metode kualitatif (rapid ethnographic assessment) karena menyangkut upaya untuk mengungkap makna atau aspek budaya dari komunitas di sekitar hutan. Teknik utama yang akan dipakai adalah dengan pengamatan terlibat yang memungkinkan peneliti mengalami sendiri kehidupan sehari-hari komunitas. Dalam pengamatan terlibat ini, dilakukan wawancara secara mendalam dan pengamatan atas praktek-praktek sosial. Untuk mendapatkan data secara general, dilakukan serangkaian diskusi dengan informan kunci dan tokoh masyarakat lokal. Sementara cakupan data yang lebih luas akan diperoleh melalui survei dengan menyebarkan kuesioner. Kegiatan pengumpulan data dimulai tanggal 20 November 2011; lima peneliti dari Jakarta dan dua enumerator dari Jayapura bergabung di lapangan sampai tanggal 10 Desember 2011. Selesai
7 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
pengumpulan data, selama dua minggu, tim melakukan analisis dan menyusun draf laporan. Presentasi dan diskusi dengan manajemen HIP dilakukan di Jakarta tanggal 23 Desember 2011. Selama di lapangan, tim mewawancarai belasan informan secara mendalam, melakukan tiga kali diskusi kelompok baik dalam bentuk focus group discussion (FGD) atau diskusi kelompok (group interview) untuk menggali perspektif masyarakat sekitar kebun tentang konflik atau sengketa yang muncul antara warga dan perusahaan. Penelitian juga dilengkapi dengan survei untkuk mendapatkan gambaran yang lebih konkret mengenai berbagai hal. Sejumlah kuesioner akan disebarkan pada wilayah sekitar kebun, diperkirakan 100 responden akan diambil secara proporsional (20-30 responden) dari setiap marga. Sebelum meninggalkan lapangan, tim akan mengadakan pertemuan klarifikasi dengan manajemen perusahaan di lapangan. Pada pertemuan ini akan disampaikan temuan awal dari tim, kemungkinan data tambahan dari manajemen dan diskusi yang melibatkan tim peneliti dengan manajemen. Secara khusus, tim memfokuskan perhatian pada enam butir masalah yang telah teridentifikasi sebelumnya dan meletakkannya dalam konteks budaya setempat. Konteks budaya tersebut adalah cara bagaimana masyarakat setempat di sekitar kebun HIP, yaitu kelompok suku Moi, memberikan penjelasan atas segala sesuatu melalui pengetahuan, perspektif dan pengalaman mereka. Penelitian mencoba untuk memberikan gambaran mengenai makna dari ke enam masalah yang telah teridentifikasi sesuai dengan konteks masyarakat setempat. Konteks sosial budaya tersebut secara rinci diliput dalam aspek-aspek: karakteristik lingkungan dan komunitas; sistem sosial di tingkat lokal; penduduk, hutan dan sistem budaya; pola penguasaan lahan; dan kegiatan perekonomian setempat.
4.1. Karakteristik lingkungan dan komunitas Untuk mengidentifikasi lingkungan dan komunitas tempat tinggal dan hidup masyarakat setempat, maka diperlukan identifikasi atas kondisi umum lingkungan di lokasi penelitian. Cakupan dari identifikasi ini adalah mengenali etnisitas dan dinamika kelom[ok etnik di lokasi, menggambarkan pola persebarannya, pemukiman penduduk (termasuk pola tempat tinggal di darat sepanjang DAS, jalan, hutan, dsb., pola tempat tinggal di lahan basah dan penyebaran komunitas dalam kelompok kecil). Suatu kajian mengenai fasilitas umum yang tersedia di komunitas juga akan dilakukan untuk mendapatkan gambaran mengenai kehidupan sehari-hari di masyarakat setempat.
8 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
4.2. Sistem sosial di tingkat lokal Sebagai sebuah organisisasi sosial, berbagai kelompok etnik tinggal di wilayah sekitar kebun. Kajian ini akan mencoba mengenali varian atau sub kelompok yang terdapat di sekitar Distrik Klamono. Secara khusus akan difokuskan pada identifikasi kelompok sosial yang terdapat dalam masyarakat masa kini dan masa lalu, peranan kelompok sosial dalam kehidupan sehari-hari dan hubungan antar kelompok sosial di wilayah kajian. Terkait dengan kehidupan yang tradisional yang lekat dengan sumberdaya hutan, juga akan diteliti keterkaitan kelompok sosial dengan hutan dan kegiatan mengakses hutan di wilayah kajian. Untuk mendeskripsikan keberadaan suatu kelompok sosial, dipakai pendekatan antropologi sosial dengan mengkaji struktur sosial, pelapisan sosial dan sistem kepemimpinan pada kelompokkelompok sosial di distrik Klamono. Disadari sepenuhnya bahwa masyarakat di sekitar kebun tengah mengalami perubahan sosial-budaya yang mentransformasikan mereka dari dunia sederhana menjadi lebih kompleks dengan adanya berbagai investasi di wilayah tersebut. Oleh karena itu kajian mengenai lembaga adat akan dilakukan dalam perspektif historis dan kritis.
4.3. Penduduk, hutan, dan sistem budaya Sebagia sebuah kajian etnografi, secara khusus akan diungkapkan bagaimana pandangan masyarakat setempat mengenai dunia mereka. Sistem kosmologi ini penting untuk mengungkap hubungan antar manusia, hubungan antara manusia dengan kekuatan supranatural, dan antara manusia dengan lingkungan. Sistem kategorisasi hutan menurut penduduk menjadi fokus utama untuk menjelaskan sistem kosmologi masyarakat setempat mengingat keberadaan kebun dan wilayah sekitar yang berupa hutan. Selain itu juga akan dikaji aturan terkait hak akses dan aksesibilitas penduduk ke dalam hutan, budaya hutan yang meliputi pola pemanfaatan dan pengelolaan hutan oleh penduduk, peranan negara dan komunitas dalam penanganan hutan dan potensi konflik dalam penanganan masalah hutan.
4.4. Pola penguasaan Lahan Sebagai salah satu bagian penting dalam sistem pengelolaan sumberdaya alam, maka akan secara khusus dikaji sistem pemilikan dan penguasaan lahan (land tenure system) yang berlaku di wilayah kajian. Kajian ini meliputi segala macam aturan perpindahan hak, kategorisasi lahan dan pengelolaan lingkungan alam yang berada dalam kekuasaan satu kelompok.
9 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
4.5. Kegiatan Ekonomi Masyarakat Sekitar Kawasan Untuk menggambarkan keseharian masyarakat setempat, salah satu yang paling penting adalah pada deskripsi ragam mata pencaharian dan kontribusi terhadap ekonomi rumah tangga. Aneka cara hidup pada kelompok masyarakat setempat akan dilihat dalam kaitannya dengan ideologi (aspek budaya), tindakan dan akibat dari tindakannya, mulai dari: berburu dan meramu, berkebun, berladang, dan ber sawah, berternak, nelayan, pembalakan kayu (logging), berdagang, perbengkelan, angkutan, dll yang terdapat d wilayah distrik Klamono. Keseluruhan mata pencaharian ini mewakili gambaran sistem produksi pada suatu komunitas. Sebagai bagian dari kelompok masyarakat yang subsisten, kajian mengenai pengenalan dan penggunaan uang secara luas pada masyarakat di distrik Klamono akan dilakukan. Implikasinya, akan dikaji pula pola konsumsi dan distribusinya, sehingga kondisi ekonomi rumah tangga penduduk sekitar kawasan dapat terpetakan. Dari peta tersebut, kita dapat menilai tingkat kesejahteraan, menjelaskan munculnya fenomena kemiskinan, dan menerangkan faktor penyebab kemiskinan. Berbagai hipotesis menunjukkan korelasi yang kuat antara pertemuan ekonomi subsisten dengan kapitalisme yang berakibat pada kemiskinan di masyarakat yang tengah berubah.
5. Temuan dan Analisis Masalah Ada enam masalah yang sudah diidentifikasi manajemen PT HIP. Setelah data dianalisis, tim peneliti mengelompokkan dan mengurutkan masalah tersebut menjadi lima hal, sbb.: (1) terdapat perbedaan konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat yang terkait dengan pola komunikasi yang selama ini terjalin antara HIP dan Orang Moi, (2) tata batas lahan ulayat yang tidak jelas, (3) perbedaan skema plasma kebun sawit, (4) kerusakan lingkungan yang ditimbulkan HIP dimata Orang Moi, dan (5) proses evakuasi kayu yang tak terkendali.
5.1. Perbedaan konsep dan pengertian tentang kepemilikan lahan ulayat Semua lahan di tanah Papua merupakan bagian dari hak ulayat masyarakat yang mendiami wilayah pulau itu. Termasuk di daerah Kabupaten Sorong. Lahan di kabupaten itu sebagian besar dikuasai suku Malamoi atau Orang Moi, termasuk di ketiga distrik tempat PT HIP memperoleh konsesi. Orang Moi tidak mengenal kepemilikan individual atas tanah. Tanah dikuasai secara komunal oleh marga/klen yang untuk distribusinya dikoordinasi oleh keret9. Kepemilikan lahan sangat terkait dengan marga, setiap marga mempunyai lahan pusaka sendiri. Lahan itu bersifat otonom dalam arti urusan tanah merupakan 9
Lihat lampiran 9 dan 10 mengenai aturan penguasaan tanah di desa-desa sekitar perusahaan
10 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
kedaulatan marga; urusan distribusi lahan, penyelesaian konflik, pertimbangan untuk penggunaan lahan, sampai pada ijin untuk orang lain menggunakan lahan mutlak merupakan kewenangan satu marga. Marga lain tidak berhak mencampuri urusan tersebut. Bahkan LMA dan DAP 10 juga tidak mempunyai kewenangan untuk mempengaruhi. Keterikatan seseorang atas hak pada lahan ulayat ditentukan oleh eksistensi mereka di suatu lokasi, artinya hanya jika seseorang tinggal dan/atau mengusahakan lahan pusaka itu yang berhak mengelola tanah tersebut. Bila ia tinggal di luar daerah, maka haknya berkurang, walaupun tidak hilang. Ini berbeda dengan di Jayapura (pada Orang Tobati, Orang Nafri, Orang Injros, dll) yang sistem penguasaan lahan mengkaitkan hak atas tanah pada keturunan tanpa melihat lokasi mereka tinggal. Pada kelompok sukubangsa di sekitar Jayapura, orang yang tinggal di luar wilayah, bahkan bila ia tinggal di Papua Nugini sekalipun, orang masih punya hak atas lahan di Jayapura. Dari wawancara dengan marga Osok teridentifikasi bahwa Orang Moi tidak mewariskan tanah pada individu dalam bentuk kapling-kapling lahan tetapi secara keseluruhan. Mereka juga tidak mengenal konsep jual-beli tanah. Bila sekarang terkesan ada jual beli, maka yang mereka perjualbelikan sebenarnya adalah tanaman yang tumbuh di atasnya, bukan tanahnya. Hal serupa juga diceritakan marga Gisim yang menganggap bahwa penyerahan lahan mereka ke perusahaan ibarat memberikan HGU kepada perusahaan, dan setelah 30 tahun akan kembali lagi ke pangkuan ulayat mereka11. Pengambilan keputusan untuk pelepasan hak ulayat, misalnya dalam kasus pembangunan kebun sawit, dilakukan melalui musyarawah yang melibatkan seluruh anggota marga. Pada marga Galus, secara tegas disebutkan bahwa orang yang paling tua laki-laki dalam satu marga diperlakukan sebagai pemimpin untuk marga, termasuk untuk memberi keputusan pada saat musyawarah. Sekalipun demikian, prinsip ultimo genitur ini tidak begitu tegas berlaku pada marga Gisim. Pada saat negosiasi dengan PT HIP, anggota tertua Gisim, tidak terlibat. Hal ini dimungkinkan karena ada mekanisme yang menyebabkan orang yang mempunyai kapabilitas untuk mengumpulkan warga, dipercaya anggota lain dan mampu ‘membayar perdamaian’12. Implikasi dari konsep penguasaan lahan tradisional, dengan sistem ulayat dan organisasi sosial yang berbeda antara Orang Klamono dengan perusahaan menimbulkan pertentangan:
10
Konsep kepemimpinan di kalangan warga dapat dilihat di lampiran 4 Diskusi mengenai berbagai aspek hak ulayat dapat dilihat pada lampiran 11, 12, 13, 14 12 ‘Membayar perdamaian’ merujuk pada pelunasan denda adat yang diberikan atas suatu pelanggaran adat. Denda ini tidak dikenakan pada individu, tetapi pada marga. Margalah yang berkewajiban untuk membayar denda. Bila ada anggota marga yang sanggup untuk membayar denda, maka ia akan lebih dihormati. Silakan lihat Lampiran 4 mengenai kepemimpinan dan 14 mengenai pelanggaran hak ulayat 11
11 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Dari perusahaan, selama menjalankan bisnisnya, kepastian hak atas kawasan didasarkan pada perundang-undangan atau keputusan legal-formal. Dalam proses pengambilalihan hak dari marga setempat, manajemen berurusan dengan individu yang dianggap memiliki hak untuk menyerahkan hak atas lahan. Padahal bagi Orang Moi, individu tidak mempunyai hak milik atas tanah. Mereka juga tidak mengenal wakil atau representasi marga dalam pelepasan hak. Orang luar, termasuk perusahaan, berpandangan bahwa sekali mereka terlibat transaksi dan telah membayarkan sejumlah uang maka mereka akan mendapatkan hak atas tanah. Sementara bagi Orang Moi, hak atas tanah tetap mereka pegang, yang dipertukarkan adalah komoditas di atasnya. Merujuk pada konsesi HPH, orang Moi berpendapat bahwa pelepasan tanah ulayat kepada HIP akan selesai dalam 25-30 tahun ke depan dan kembali lagi kepada mereka. Pembayaran yang dilakukan oleh perusahaan pada saat pelepasan dianggap belum cukup, karena Orang Moi mengenal dua kali pembayaran untuk urusan ini. Pembayaran pertama adalah untuk uang ‘sirih pinang’ (biaya upacara adat atau persetujuan untuk transaksi) dan ke dua pembayaran atas lahan (yang terbatas pada komoditas di atasnya)13 Karena urusan tanah ulayat adalah otonom dan menjadi kedaulatan setiap marga maka keputusan yang diambil bisa saja berbeda antar marga. Seringkali perusahaan membuat standar atau pola umum untuk berurusan dengan warga dalam soal lahan Walapun ada kecenderungan berlakunya prinsip ultimo genitur14, namun dalam banyak kasus Orang Moi tidak mengenal prinsip representasi. Perusahaan tidak seharusnya bernegosiasi dengan orang yang dianggap mewakili kelompok karena konsep wakil kelompok tidak pernah benar-benar mereka kenal. Kombinasi kesalahan yang acap terjadi adalah perusahaan memilih satu orang sebagai wakil marga untuk diajak berunding. Prosesnya tidak sesingkat itu, karena untuk menentukan ‘wakil’ marga juga harus dilakukan dengan mekanisme musyawarah. Proses kesepakatan tahun 2003 antara HIP, Pemda Sorong dan pemilik ulayat di Klamono, merupakan contoh dari kesalahan di atas. Warga yang datang memang orang tua atau anak tertua, tapi mereka tidak memperoleh kesempatan untuk mendiskusikan substansi perjanjian karena harus segera menandatangani dokumen. Idealnya, setelah perundingan, representasi dari marga kembali ke kelompok untuk 13
Hal serupa juga dikenal pada masyarakat Bintuni dengan upacara ‘ketuk pintu’ sebagai biaya atas upacara transaksi dengan perusahaan. 14
Kecenderungan untuk menempatkan orang tua atau anak tertua sebagai wakil ditengarai merupakan pengaruh dari budaya Jayapura dengan sistem kepemimpinan ondoafi. Kelompok-kelompok suku di Jayapura memiliki struktur sosial yang relatif lebih kompleks ketimbang orang Moi.
12 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
mendiskusikan dan memutuskan bersama seluruh anggota marga. Pengambilan keputusan tetap di tingkat marga. Dari sisi masyarakat, perjanjian tahun 2003 di sebuah hotel di Sorong, diliputi suasana intimidatif dan ketegangan. Pemda yang diwakili bupati selalu menekankan aspek pembangunan dan kesejahteraan yang susah untuk mereka tolak kebenarannya. Ketika bentuk pembangunan itu ternyata berupa kebun sawit yang memerlukan pelepasan lahan ulayat, agak susah bagi warga untuk menolak. Aparat militer yang hadir menambah suasana perjanjian menjadi tidak kondusif bagi warga. Sekalipun perjanjian sudah ditandatangani, tidak satupun warga menerima salinan perjanjian atau MOU tersebut. Akibatnya warga tidak tahu bagaimana akhir perjanjian; apakah lahan akan dikembalikan kepada mereka, diambil pemerintah atau dimiliki perusahaan
5.2. Tata batas tanah ulayat Orang Moi di ketiga distrik sekitar HIP tidak mengenal batas lahan secara tegas. Selama ini, batas antar satu lahan dengan lahan lain adalah tanda/batas alam: sungai, batu, pohon besar, urat gunung, dsb. Mereka berasumsi bahwa batas tersebut adalah permanen. Pengetahuan mengenai batas-batas lahan atau wilayah diturunkan turun temurun secara lisan; seorang bapak akan mengajak anak lelaki tertuanya berjalan mengitari wilayah ulayatnya sambil menunjukkan batas-batasnya. Ketika orang asing datang, dimulai dengan perusahaan minyak Belanda tahun 1932, barulah isu batas muncul. Perusahaan minyak NNGPM mengambil lahan seluas 3250 hektar; tentunya dengan batas yang dianggap lebih jelas. Persentuhan dengan komunitas luar yang terjadi kemudian: dengan Pertamina, transmigrasi, HPH dan perkebunan, membuat batas-batas lahan menjadi mengemuka. Mulailah, Orang Moi bicara soal teritori mereka dan mencoba menggambarkannya dengan peta. Sebagaimana di tempat lain, pengetahuan mengenai peta adalah hal baru bagi komunitas lolak Nusantara. Orang Moi lebih banyak menerima peta yang dibuat pihak lain; akibatnya ketika mereka membaca peta, seringkali muncul perbedaan persepsi/ruang. Perbedaan penafsiran mengenai wilayah, pada masa sebelum rezim peta dikenal Orang Moi jarang terjadi. Apabila ada persoalan dengan pelanggaran batas lahan, misalnya, maka ada mekanisme adat yang akan menyelesaikannya. Orang Moi mengenal sistem denda untuk menyelesaikan persoalan seperti ini15. Selain perbedaan penafsiran wilayah ulayat, orang Moi juga mengenal penggunaan wilayah 15
Lihat lampiran 14 mengenai pelanggaran hak ulayat
13 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
bersama. Wilayah bersama itu bisa merupakan wilayah definitif suatu marga atau wilayah perbatasan yang atasnya tidak jelas. Dalam budaya Orang Moy, kegiatan pemanfaatan wilayah bersama itu disebut ‘makan bersama’ yang merujuk pada aktivitas produktif: berkebun, berburu, dsb. Suatu saat orang Mamaringofok bersengketa dengan marga Osok terkait pelepasan tanah milik warga transmigrasi di Klamono. Orang trans membayar uang pelepasan kepada marga Osok yang waktu itu menjadi kepala desa dan mengklaim lahan itu sebagai miliknya. Beberapa tahun berselang, ada klaim dari orang Mamaringofok sehingga terjadi sengketa lahan. Secara adat, sengketa tersebut tidak selesai, sehingga kedua marga membawanya ke pengadilan. Hasilnya marga Mamaringofok dinyatakan sebagai pemilik sah; implikasinya, orang trans harus membayar uang pelepasan ke marga Mamaringofok. Di sisi lain, uang pelepasan yang diberikan ke Osok tetap tidak bisa diminta kembali. Mamaringofok bersengketa dengan orang Idik dalam kasus pelepasan tanah ulayat untuk HIP di Klamono. Kedua marga mengklaim wilayah itu sebagai pemilik yang sah dan sama-sama meminta uang pelepasan dari HIP. Klaim tersebut muncul karena wilayah tersebut sebelumnya adalah wilayah ‘makan bersama’ kedua marga. Ketika Idik mengklaim ke HIP, orang Mamaringofok meminta bagian ke Idik karena menganggap mereka juga memiliki sebagian hak memakai wilayah tersebut. Setelah berkonsultasi dengan orang-orang tua mereka, disepakati untuk membagi wilayah tersebut. Kedua kasus di atas menunjukkan terjadinya perubahan orientas dalam kepemilikan lahan yang dipetakan secara individual. Pelepasan hak, jual beli dan ganti rugi kepada individu atau kelompok yang melibatkan uang, menyebabkan konflik baru muncul. Mekanisme adat menjadi tidak efesien dan muncul ide untuk membawanya ke tingkat formal melalui pengadilan. Sampai saat ini, keputusan pengadilan relatif ditaati, walaupun di tingkat individual tetap ada yang tidak puas.
5.3. Perbedaan persepsi skema plasma kebun sawit Di atas diterangkan bahwa lahan di Klamono merupakan milik ulayat Orang Moi. Pemerintah Indonesia mengakui eksistensi kepemilikan/hak ulayat dari masyarakat Papua, sehingga ada kebijakan agraria yang khusus. Untuk jual beli tanah yang melibatkan pemindahan hak atas tanah, diharuskan melalui proses ‘pelepasan adat’. Otoritas adat yang ditunjuk oleh masyarakat memberikan persetujuan atas suatu berkas pelepasan adat, setelah itu baru bisa diproses menjadi sertifikat tanah di BPN. Tanpa bukti pelepasan adat, BPN tidak akan mengeluarkan sertifikat. 14 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Pada saat sosialisasi pembangunan kelapa sawit, Orang Klamono menerima konsep plasma dengan landasan tafsir yang berbeda: Plasma adalah sistem bagi hasil antara pemilik dan pengelola; dimana warga menjadi pemilik kebun dan PT HIP sebagai pengelola. Dalam skema ini, warga mendapatkan modal awal untuk membangun kebun sawit: biaya pengolahan, bibit, pupuk, dsb. Modal awal itu dipikul oleh perusahaan tetapi nantinya harus dibayarkan oleh warga sebagai pemilik kebun sawit. Logika bahwa ada perusahaan beroperasi di atas lahan mereka, membangun kebun sawit untuk mereka, tetapi biayanya dibebankan kepada mereka (sebagai pemilik lahan) tidak dapat diterima dengan logika Orang Gisim dan Galus. Orang Gisim mengatakan mereka menyerahkan 5000 hektar dan akan dikembalikan dalam bentuk kebun plasma sebanyak 28 hektar kepada 4 KK, masing-masing 7 hektar. Itupun orang Gisim masih harus berkorban dengan bekerja di kebun dan menetap di barak, serta masih harus membayar biaya modal awal pembuatan plasma. Di sisi lain, PT HIP sebagai pengelola atau perusahaan inti memperoleh lahan 4972 hektar, jumlah yang jauh dibanding dengan yang mereka terima. Bagi marga Galus, kebun yang disiapkan oleh HIP dianggap sebagai plasma untuk mereka, tidak ada kebun inti. Logika ini muncul dari ketidakjelasan sistem plasma yang dipahami Galus. Keuntungan PT HIP nantinya adalah dari suplai panen kelapa sawit. Karena melihat hasilnya, pabrik sawit belum dibangun dan lokasi plasmanya belum ditentukan secara definitif, maka skema kebun plasma belum dianggap sebagai investasi yang berguna. Bagi marga lain, Gisim dianggap sebagai kelinci percobaan karena telah melapaskan lahan ulayatnya tanpa ada perjanjian yang mengatur dimana lokasi plasma. Mereka juga juga sudah menerima skema kerja sebagai buruh kebun dan tinggal di barak bersama buruh dari berbagai daerah. Sementara orang Gisim menganggap diri mereka sebagai pionir yang memulai perubahan, wajar kalau mereka menerima ketidakpastian. Belajar dari kunjungan banding ke Kalimantan Barat, petani plasma harus memegang dua hal: kesabaran tinggi dan tidak melepas tanah. Dengan bekal tersebut, orang Gisim melepaskan tanah ulayatnya dan masuk skema plasma HIP. Ada kesalahan logika mengenai distribusi kebun plasma. Dalam kasus Gisim menerima 28 hektar dan dialakosikan untuk 4 KK, maka pertanyaan berikut adalah apakah kebun tersebut akan dikelola individu, marga atau kampung? Selama ini kepemilikan individual memang tidak dikenal, sehingga agak aneh kalau sedari awal kebun dialokasikan pada individu. Berikutnya
15 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
tentu juga pertanyaan siapa keempat individu itu? Mengapa mereka yang menerima? Bagaimana dengan warga yang lain? Pertanyaan ini wajar karena dalam SK Bupati Sorong No. 525.2/1209 tgl 30 Oktober 2010 tertulis bahwa petani peserta program plasma adalah sebanyak 1451 KK yang menetap di distrik Klamono, Klayili, dan Sayosa. Kalau petani yang memperoleh kebun plasam adalah anggota marga yang melepas hak ulayatnya, maka dalam perhitungan kami semua anggota akan menerima kebun plasma. Dalam persepsi Dewan Adat Papua, perusahaan dipandang lebih mengejar target pencapaian skema inti dan tidak memprioritaskan plasma
5.4. Kerusakan Lingkungan Kebun sawit merupakan fenomena baru bagi masyarakat Klamono dan sekitarnya. Tidak saja secara fisik belum ada perkebunan sawit, pengetahuan mengenai kebun sawit pun belum diketahui masyarakat. Ketika HIP masuk dan memperkenalkan industri perkebunan sawit, sebagian warga menterjemahkan kegiatan itu sebagai usaha mirip perusahaan HPH. Keuntungan dengan adanya kebun sawit baik sebagai tenaga kerja maupun dalam skema plasma masih susah dibayangkan. Sekalipun demikian, sebagian warga masuk menjadi karyawan HIP dan dengan fasilitas kredit mengajukan pembelian sepeda motor. Sayangnya, kebanyakan dari mereka gagal melunasi cicilan tepat waktu dan sepeda motornya ditarik kembali oleh dealer. Sebagian warga juga mampu mengemukakan pendapat mengenai aspek negatif kebun sawit dari pengamatan sendiri dan dari informasi pihak lain di kota (suratkabar, LSM, Dewan Adat, dsb.). Menurut warga di Klamono, Klawana dan Maladofok, skala usaha kebun sawit yang besar dan cenderung ekspansif mengancama lingkungan dan memiliki efek merusak leih besar dibanding HPH Intimpura sekalipun. HPH dianggap lebih sedikit efek kerusakannya karena menerapkan tebang pilih, sementara kebun sawit membabat habis hutan. Secara rinci, berbagai jenis kerusakan lingkungan akibat pembukaan kebun sawit adalah: Wilayah perburuan semakin jauh karena binatang buruan semakin jarang. Menurut Gisim, dahulu mereka turun dari perahu langsung bisa mendapat lau-lau, sekarang binatang itu baru ditemui jauh ke dalam hutan. Rusa dulunya terlihat lalulalang di sekitar kampung, tetapi sekarang menghilang.
16 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Warga Mamaringofok juga menduga bahwa menjauhnya binatang dari sekitar kampung juga disebabkan oleh karena tanaman sawit bukan jenis bahan makan yang cocok bagi burung dan binatang setempat Penebangan hutan untuk areal hutan seringkali ikut ditebang saat pembukaan kebun. Walaupun dalam perjanjian dinyatakan bahwa kebun sagu dan rumpun bambu tidak akan dirusak, nyatanya pembukaan kebun sawit menghabiskan tanaman tersebut. Tidak hanya dusun sagu dan bambu yang hilang, ada juga laporan hutan keramat yang ikut ditebangi Potensi kerugian lain akibat pembukaan kebun sawit adalah berkurangnya koleksi obatobatan tradisional yang semula tersedia di hutan Janji untuk tidak membabat tepian sungai 500 meter di kiri-kanan sungai juga tidak ditepati, kawasan itu menurut Galus di Maladofok habis dibabat. Akibatnya sungaisungai menjadi keruh airnya. Penduduk juga mengeluhkan penggunaan pestisida. Walaupun ada usaha untuk meminimalkan penggunaan pestisida, warga melaporkan pengalaman mereka mandi di sungai yang menyebabkan mereka gatal-gatal. Pencemaran oleh sisa pestisida diduga menyebabkan gangguan kulit itu. Penggunaan pestisida juga menyebabkan air sungai tak bisa diminum Pembabatan hutan menyebabkan lapisan atas tanah tergerus air yang menyebabkan pendangkalan sungai dan rawa. Hal ini mengakibatkan intensitas banjir meningkat. Semula wilayah tersebut memang rawan banjir, bisa setahun sekali, tetapi sekarang bisa menjadi tiga kali setahun. Pendangkalan sungai dan air yang keruh menyebabkan berbagai jenis ikan yang semula dijumpai menghilang, diganti spesies ikan ‘baru’ yang semula tidak mereka temui di sungai. Rencana pembangunan pabrik sawit di hulu sungai dikhawatirkan mencemari sungai. Warga
memperkirakan
perusahaan
akan
membuang
limbahnya
ke
sungai.
Pembangunan di hulu sungai dianggap membahayakan karena sekarang wilayah perburuan warga sudah mencapai hulu sungai karena binatang semakin jauh dari hutan di sekitar kampung.
17 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Pembukaan wilayah hutan yang masif, dianggap menyebabkan petir datang lebih tinggi frekuensinya. Sebagian menduga bahwa program pembuatan lahan transmigrasi juga berkontribusi terhadap lahan yang semakin terbuka. 5.5. Proses evakuasi kayu yang tak terkendali Kehadiran perusahaan HPH Intimpura, walaupun banyak kritik terhadapnya, merupakn perusahaan pertama yang melibatkan warga bekerja secara penuh dalam bisnisnya. Pada konteks bekerja di perusahaan minyak dan kontraktor transmigrasi, penduduk hanya terlibat sebagai buruh. Namun bekerja di bidang kayu, membuat warga mempunyai kesempatan untuk paham keseluruhan proses produksi. Mereka terlibat dalam kegiatan mengidentifikasi kayu, mencari kayu, menebang, menyeret kayu dan mengangkutnya dengan kendaraan berat. Mereka tahu detail perhitungan dan bisnis kayu di lapangan. Di luar bisnis kayu legal melalui HPH, ada juga bisnis kayu gelap dengan motif ‘bapak angkat’. Ada cukong kayu yang memberikan modal awal bagi penduduk, misalnya di Maladofok, untuk mencari kayu di hutan ulayatnya. Setelah mendapat dan memotong kayunya, mereka menyerahkan pada ‘bapak angkat’. Di kawasan kebun Klamono, teridentifikasi bahwa cukong yang ada adalah orang Makasar dan Batak. Perhitungan untung rugi mereka kuasai dengan baik; mulai dari ongkos produksi, ongkos perijinan bagi cukong, biaya transportasi dsb. Dengan demikian mereka menganggap bahwa bisnis kayu adalah bisnis yang paling fair bagi mereka. Ketika Intimpura tidak beroperasi, kampanye anti illegal logging marak dan masa berganti menjadi kebun sawit, bisnis kayu tidak sepenuhnya menghilang. Di balik usaha pembukaan kebun, sebagian penduduk masih tetap mencari kayu untuk kebutuhan rumah tangga maupun memenuhi pesanan pasar lokal. Budaya mencari kayu masih berlangsung sampai sekarang. Seorang warga Galus bahkan menyayangkan kalau kayu dari hutan yang ditebang untuk kebun sawit tidak bisa dijual. Hutan marga Galus sudah diberi panjar biaya ‘sirih pinang’ tapi belum mulai dibuka; seorang anggota marga berencana untuk menjual kayunya nanti apabila penebang dilakukan. Sayangnya, harga kayu sekarang turun. Menurut warga jatuhnya harga kayu adalah karena hadirnya HIP yang beroperasi di lahan eks HPH. Warga Mamaringofok menjelaskan bahwa pagu harga ditentukan melalui ‘perda’ yang menyamakan harga semua jenis kayu, namun tetap memakai perhitungan diameter. Dalam pandangan warga, perusahaan pembeli kayu melakukan kecurangan karena hanya membayar kayu dengan diameter tertentu. Padahal semua tanaman dibabat habis untuk dijadikan kebun sawit, dan tidak ada kayu yang tersisa lagi.
18 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
6. Rekomendasi Ada empat butir rekomendasi yang dihasilkan dari kajian ini, yaitu: 1. Pengelolaan kebun, terutama dalam skema plasma, sebaiknya ditinjau kembali. Pendekatan yang lebih mengutamakan aspek sosial budaya dalam menghadapi masyarakat lokal mesti lebih diperhatikan daripada sekedar pertimbangan legal formal. Manejemen HIP selayaknya berperan sebagai pelindung atau pengayom masyarakat sesuai dengan cara pandang lokal yang menganggap hutan sebagai ibu, dapur dan sumber kehidupan. Perubahan strategi pendekatan kepada masyarakat setempat, menjadi lebih berorientasi pada kebutuhan dan budaya setempat. 2. Skema plasma kebun sawit yang sekarang mulai dilaksanakan di wilayah ulayat Gisim, menuntut HIP untuk lebih memperhatikan komunitas/marga Gisim. Marga tersebut saat ini tengah disorot oleh marga lain sebagai salah satu marga yang paling awal menerima tawaran HIP. Dalam hal ini, HIP disarankan untuk memfokuskan progfram CD/CSR ke komunitas tersebut, tidak saja yang berada di barak tetapi juga yang ada di desa. Gisim sebagai pilot project CD/CSR Pengembangan fasilitas di barak dan desa, terutama air bersih, kesehatan dan transportasi 3. Pelaksana Program Plasma dan Program CD/CSR yang ditempatkan di masyarakat mesti lebih bisa berempati dan lebih memahami karakter dan keinginan masyarakat. Bagi warga, selama ini mereka selalu berada di pihak yang harus memahami kepentingan perusahaan. Selain riset untuk memahami karakteristik dan identifikasi kebutuhan masyarakat, staf yang sesuai dengan kompetensi dan komitmen yang tinggi juga sangat diperlukan Riset partisipatoris untuk mengidentifikasi masalah dan menyusun program Riset etnografi untuk memahami karakter sosial budaya setempat Penempatan staf yang kompeten 4. Sebelum meneruskan program plasma, membangun kebun inti dan pabrik, masalah-masalah yang telah teridentifikasi di atas harus diselesaikan dengan lebih memberi tempat bagi pengembangan komunitas dan wilayah setempat. Program plasma: perhatikan lagi saran-saran dalam dokumen addendum kelola sosial (2011) Program pendidikan: mencari partner institusi pendidikan di sekitar kota Memberikan gambaran pengelolaan dampak lingkungan pada warga
19 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 1. Kependudukan dan Formasi Etnik
Jumlah desa yang berada pada wilayah administrasi Klamono sebanyak 13 desa, yang terdiri dari lima desa yang merupakan satuan pemukiman (SP) transmigrasi, yang dibangun pada tahun 1997. Berdasarkan data data sensus penduduk Kabupaten Sorong tahun 2011 disebutkan bahwa Distrik Klamono memiliki jumlah penduduk sebanyak 4.483 jiwa yang tersebar kedalam 48 rukun tetangga (RT). Komposisi penduduk berdasarkan jenis kelamin tercatat sebagai berikut: penduduk perempuan sebanyak 2.078 jiwa yang relatif berimbang dengan jumlah penduduk laki-laki yang berjumlah 2.405 jiwa. Berdasarkan data tersebut juga terlihat bahwa penduduk di distrik Klamono lebih besar dibandingkan distril lainnya.
Jumlah Penduduk Tiap Distrik di Sekitar Perkebunan PT HIP Jumlah Penduduk Laki-laki Perempuan Klamono 2.405 2.078 Sayosa 496 492 Klayili 227 189 Sumber: Sensus Penduduk Kabupaten Sorong tahun 2011 Distrik
Total 4.483 988 416
Komposisi penduduk berdasarkan formasi etnis maka dilokasi penelitian mayoritas penduduk didiami oleh etnis asli dari suku Malamoi (Moi) yang terdiri dari marga-marga Gisim, Klawon, Idik, Mamaringofok, Malak, Galus, Klin, Yempelo, Gilik, Klasibin, Spenyer, Hu, Osok, dll. Mereka disebut penduduk pribumi (asli) atau disebut oleh seorang informan dari marga Osok disebut dengan Moi Toh (asli). Mayoritas Moi Toh ini keberadaannya juga tersebar di sekitar Sorong (kepala burung) diantaranya di daerah Beraur, Inawatan dan Tenabuan. Selain itu juga menetap suku-suku yang di sebut pendatang baik yang berasal dari Papua (yang tidak memiliki kawasan ulayat seperti marga Momot) dan penduduk yang berasal dari luar Papua (Jawa, Ambon, Nias, Batak, Toraja, Makasar, Flores, Bugis, Buton). Sebagian besar penduduk pendatang ini menetap akibat beberapa faktor berkenaan dengan beroperasinya perusahaan dan praktek pembangunan di sekitar lokasi penelitian.
20 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 2. Karakteristik Kampung-kampung Pelepas Hak Ulayat Dalam konteks penelitian ini, fokus wilayah kajian diarahkan pada kampung-kampung (desa-desa) yang memiliki hak ulayat dan melepaskan hak ulayatnya kepada PT.HIP. Terdapat beberapa kampung yang secara administrative masuk ke wilayah Distrik Klamono (Kampung Klamono, Klawana, Gisim/divisi 6), Distrik Klaili (Kampung Malailis) dan Distrik Sayosa (Kampung Maladofok). Kampung Gisim (divisi 6) di distrik Klamono dan Kampung Malalilis di distrik Klaili adalah dua buah Kampung hasil pemekaran yang muncul akibat mekanisme sawit plasma yang ditawarkan PT HIP. Kedua kampung tersebut berada di dalam area konsesi sawit PT. HIP
Gambar Pola Pemukiman Masyarakat
21 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Pola pemukiman di desa-desa kajian secara umum memiliki beberapa tipe yang berbeda antara kinier dan memusat. Kampung Maladuk, merupakan desa perintis yang muncul pada masa pengeboran minyak oleh Belanda dimana pemukiman berada di kanan dan kiri sungai Klasafet dengan formasi tersebar di sekitar fasilitas publik yang ada di kampung tersebut: kantor desa, gereja, kios, dan bangunan sekolah. Berbeda dengan desa Maladuk, desa-desa lain seperti desa Klamono, Klawana, dan Wariau, yang muncul akibat program transmigarasi (Translok tahun 1984 dan transmigrasi nasional 1997) memiliki tipikal pemukiman yang terkonsep dari sistem pemukiman transmigrasi rancangan pemerintah Indonesia, dimana poros jalan utama menjadi pusat seluruh kehidupan dan akses pembangunan desa. Baik fasilitas umum seperti sekolah, kantor desa, gereja, maupun pemukiman penduduk, tidak terpusat pada satu lokasi, tetapi memanjang di sis kanan dan kiri poros jalan utama. Selain itu ada pula desa-desa yang berada di dalam perkebunan HIP, hasil pemekaran yang muncul akibat mekanisme sawit plasma yang ditawarkan PT HIP: yakni kampung Malailis yang termasuk di wilayah Distrik Klayili dan Kampung Gisim Darat di Distrik Klamono. Kedua kampung tersebut merupakan bagian dari perjanjian penggantian hak ulayat marga yang telah melepaskan tanahnya untuk dijadikan kebun kelapa sawit. Sementara ini kampung yang dijanjikan tersebut belum terwujud karena alas an-alasan tertentu, mereka tinggal di barak (Gisim tinggal divisi VI) yang diperuntukan bagi karyawan PT.HIP bergabung bersama karyawan-karyawan lainnya dari etnis berlainan.
Kampung Klamono – Distrik Klamono Secara tradisional, kampung ini merupakan wilayah adat yang tanah ulayatnya dikuasai dan dimiliki Marga Mamaringofok. Mereka memenangkan klaim penguasaan wilayah ini setelah berkonflik dengan Marga Osok. Permukiman warga di kampung ini linier berada di tepi sungai yang bersisian dengan jalan kampung. Pemukiman warga berlapis kebelakang di tiap tepi jalan kampung tersebut. Disela-sela permukiman tumbuh pohon pekarangan konsumsi seperti kelapa dan pohon buah-buahan. Pada sisi timur membentang sungai Klasafet, kebun-kebun milik warga pribumi, dan di baratnya membentang hutan alam yang menjadi kawasan ulayat marga pemilik. Di utara kampung sejauh ± 2-5 km berada lokasi perkebunan sawit PT HIP. Pada tahun 2010 penduduk berjumlah 876 jiwa terdiri 461 laki-laki dan 415 perempuan dan terdiri dari 196 KK. Kampung Klamono didiami penduduk pribumi dari Marga Marin Gofok, Gisim, Fadan, Idik dan pendatang papua dari Klabra. Menetap pula etnik pendatang seperti Jawa, Nias, Batak, Bugis, Flores, Timor, dan Ambon. Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah berkebun dengan paduan aktivitas perburuan (pribumi), sebagian kecil lainnya
beternak sapi, PNS, Guru,
karyawan tetap ataupun karyawan lepas di perkebunan sawit, pertamina, serta pedagang dan pekerja 22 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
sector informal di proyek-proyek yang diselenggarakan perusahaan sekitar (Pertamina dan PT HIP) atau proyek-proyek OTSUS. Mayoritas penduduk memeluk agama Kristen Protestan (Pribumi), berikutnya katolik dan Islam (pendatang). Keberadaannya di pusat distrik Klamono membuat fasilitas umum terbilang lengkap. Di kampung Klamono berdiri: Kantor desa, balai pertemuan dan balai karya, SD, SMP, SMU, Koramil, Polsek, Gereja, Mesjid, Dermaga, lapangan olah raga (sepak bola dan basket), posyandu, serta toko dan warung penyedia kebutuhan harian.
Kampung Klawana – Distrik Klamono Secara ulayat maka kampung ini dimiliki oleh Marga Mamaringofok. Struktur permukiman yang linier, kondisi lingkungan, mata pencaharian, dan agama yang dianut oleh penduduknya mirip dengan profil kampung tetangganya yakni Klamono. Penduduk pada tahun 2010 berjumlah 110 KK terdiri dari 436 jiwa (227 jiwa laki-laki, 209 jiwa perempuan). Sebagian besar penghuni kampung merupakan penduduk dari Marga Mamaringofok, berikutnya Marga Idik, Klawon, Klasibin, Fadan, Malak, Klabra serta lainnya. Fasilitas umum yang tersedia berupa gereja, mesjid, kantor distrik, SD dan SMU, balai kampung, serta dua lapangan voli dan sepakbola.
Kampung Maladuk – Distrik Klamono Kampung ini merupakan kampung yang terbentuk oleh efek-efek adanya operasi perusahaan minyak sejak Belanda, Permina dan Pertamina yang berdasarkan tuturan informan sudah ada sejak tahun 1930an. Sebagian besar penduduk adalah karyawan pertamina sisanya penduduk bermata pencaharian yang berbasis sumber daya alam hutan. Permukiman penduduk adalah paduan linier dan memusat, dengan berbagai sarana fasilitas penunjang di dalamnya yang lebih kurang mirip dengan kampung tetangganya di Klamono.
Gisim Darat atau divisi 6 – Distrik Klamono Kampung ini merupakan pemekaran dari kampung Klamono yang terbentuk karena sebagian warganya dari marga Gisim (15 KK) menerima skema sawit plasma. Struktur pemukiman penduduk adalah barak penampungan sementara (sebelum dibangunkan perumaham baru oleh PT HIP sebanyak 60 rumah). Di kampung ini menetap pula para penduduk pendatang asal etnik Jawa, Timor, Ambon, Ternate. Letaknya berada di tengah perkebunan sawit yang membuat akses ke sarana pemenuhan kebutuhan dasar seperti belanja sehari-hari amat sulit karena kesulitan transportasi. Mereka mengeluhkan hal tersebut dan
23 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
dampaknya ditunjukan dengan munculnya protes dengan melakukan pemalangan jalan di jalan perkebunan yang ditujukan kepada PT HIP pada akhir-akhir ini.
Kampung Malailis -- Distrik Sayosa Kampung ini terbentuk dengan proses yang mirip seperti kasus Gisim darat. Seringkali warga menyebutnya sebagai kampung baru. Pemukiman berada di tepi jalan perkebunan dengan rumahrumah memusat di salah satu sisi jalan tersebut, dengan struktur perumahan dari kayu beratap seng. Terdapat sekolah yang gurunya tinggal bersama dengan warga yang membangun rumahnya sendiri tanpa bantuan PT HIP, dan terdapat gereja sebagai sarana beribadah. Seperti Gisim darat maka warga merasa kesulitan mengakses sarana pemenuhan dasar yang umumnya berada jauh di luar kawasan perkebunan.
Kampung Maladofok – Distrik Sayosa Kampung Maladofok berada sekitar 25 km dari distrik Klamono yang berada di tepi jalan provinsi Sorong-Sorong Selatan. Struktur pemukiman berada di tepi jalan di mana konsentrasi perumahan di salah satu sisi jalan yang berderet di tepi-tepi/gang
jalan kampung. Terdapat gereja dan balai
pertemuan kampung, dan satu buah SD. Penduduk yang mendiami sebagian besar merupakan penduduk pribumi dari berbagai Marga: Yempelo (23 KK), Hu (7 KK), Galus (8 KK), Klin (7 KK), Fanus (2 KK), Malak (2 KK), Mederfak (2 KK), Saden (3 KK), Septemes (5 KK), Kenale (4 KK), Selabu (2 KK), Ulimpa (2 KK), dan Klasibin (2 KK). Di kampung ini terdapat 5 Marga (Klin, Malak, Ulimpa, Gisim, dan Galus I/II) yang melepas hak ulayat mereka ke PT HIP dan menerima skema Sawit Plasma. Tiga ulayat dari Marga telah dibuka untuk sawit (Klin, Malak, Ulimpa, dan Galus II) semntara sisanya belum dibuka. Mayoritas mata pencaharian penduduk adalah petani yang membuka kebun di kawasan hutan sekitar dimana mereka memadukannya dengan perburuan dan pencarian pangan di sekitar hutan dan sungai. Terdapat sekolah dasar inpres dan gereja untuk memnuhi kebutuhan pendidikan dan beribadah warga.
24 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 3. Fasilitas Umum dan Sosial
Pendidikan Kampung-kampung di wilayah kajian pada umumnya memiliki kendala dalam mengakses pendidikan tingkat lanjut setelah menyelesaikan pendidikan dasar. Seperti yang diketahui di lapangan maka fasilitas sekolah SMP dan SMA terpusat di sekitar Distrik Klamono. Hal tersebut membuat penduduk yang berada diluar distrik Klamono kesulitan untuk mengakses lokasi sekolah lanjutan dari tingkat dasar tersebut. Kampung Klamono di distrik Klamono memiliki fasilitas pendidikan yang lengkap dari tingkat Taman Kanak-kanak, SD, SMP, dan SMA sedangkan kampung lainnya seperti Wariau, Maladuk, Klawana, serta Maladofok hanya memiliki fasilitas pendidikan di tingkat Sekolah Dasar saja. Di balik itu masalah lain yang timbul di bidang pendidikan adalah keterbatasan tenaga pengajar dan juga tempat tinggal untuk para pengajar, yang umumnya datang dari kota sorong. Ketidak pastian pengajar dan ketiadaan rumah tinggal bagi para pengajar ini menyebabkan menyebabkan kegiatan belajar mengajar terganggu (kasus di Maladofok distrik Sayosa). Seperti dituturkan oleh Kepala Kampung Maladofok dalam menanggapi persoalan tersebut maka ia berencana untuk mengupayakan membangun rumah tinggal pengajar di dekat bangunan sekolah melalui permohonan bantuan ke pemerintah daerah.
Kesehatan Di bidang kesehatan pemenuhan kebutuhan pengobatan warga dilayani pusat-pusat pelayanan kesehatan publik (puskesmas dan poliklinik). Otonomi khusus yang digulirkan akhir-akhir ini membantu dalam pengadaan prasarana dan sarana kesehatan. Jumlah dan kondisi bangunan relatif cukup baik, Di distrik Klamono terdapat dua buah (di Kampung Klamono dan di Malagisit di SP2). Untuk pelayanan kesehatan skala kecil lagi terdapat dua poliklinik yang terdapat di Maladuk dan Klamugun (SP5). Jumlah fasilitas kesehatan yang terdapat di desa-desa Klamono ternyata belum diimbangi oleh jumlah pelayan kesehatan yang memadai. Berdasarkan data dari Kecamatan dalam angka tahun 2010, jumlah pelayan kesehatan hanya seorang bidan dan 10 mantri kesehatan. Peran pelayan kesehatan dalam kelahiran misalnya, berdasarkan pengakuan beberapa informan masih dipegang secara tradisional oleh dukun-dukun bayi (di distrik Klamono terdapat 16 dukun bayi).
25 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 4. Sistem Kepemimpinan
Secara umum kepemimpinan masyarakat di kampung-kampung kajian terbagi ke dalam tiga ranah, yang masing-masing memiliki kewenangan satu sama lain, mereka menyebutkan dengan istilah tiga tungku -yang mengacu pada tiga pilar kepemimpinan yang secara faktual mewarnai kehidupan harian masyarakat -- yakni kepemimpinan dalam pemerintahan formal, gereja, dan adat. Bagaimana ketiga tungku tersebut berperan dalam kehidupan keseharian, maka penjelasannya sebagai berikut. Pengaturan Adat menjadi sendi utama warga dalam menjalankan kehidupan karena adat mengatur tata cara kehidupan sosial sehari-hari sejak dari masalah kelahiran, pernikahan, kematian, sampai ke pengelolaan terhadap akses lahan dan hutan (batas ulayat, menokok sagu, berburu, mencari buah-buahan, membuka lahan untuk berkebun), di dalamnya terdapat pengaturan sangsi-sangsi jika terdapat pelanggaran Besaran denda ditentukan oleh kedua belah – pihak (individu maupun marganya) yang merasa dirugikan, dan pihak pelanggar yang dianggap merugikan pihak lain. Besaran dan penentuan sangsi tersebut dilakukan melalui proses negosiasi dan permusyawarahan. Begitupula dalam mekanisme pembayaran denda adat tersebut maka ditentukan oleh kedua belah pihak yang bersengketa yang juga melalui proses negosiasi. Setidaknya terdapat dua mekanisme pembayaran denda yang selama ini dipakai yaitu melalui pembayaran tunai dan dengan cicilan. Pilihan mekanisme ini tergantung pada kesanggupan pihak yang harus membayar denda setelah melalui proses negosiasi yang dilakukan, jika tidak sanggup membayar tunai maka biasanya disepakati untuk menyicilnya. Otoritas Marga menjadi amat penting karena urusan adat, khususnya berkenaan dengan pengaturan akses sumber daya lahan dan hutan, berada di tangan Marga. Di dalam marga sendiri orang yang dianggap pemimpin adalah anggota tertua dari silsilah marga (sulung) dimana semua keputusan di dalamnya dilakukan dengan cara mufakat yang berdasarkan persetujuan mayoritas anggota. Namun terkadang terdapat sosok pemimpin lain yang tidak berdasarkan pada struktur genealogi, dimana menurut tuturan informan di Maladofok dan Gisim Darat, seorang yang dianggap pemimpin juga berkenaan dengan kualitas tertentu yang melekat pada anggota marga. Di Maladofok disebutkan bahwa seorang pemimpin marga (tidak menutup kemungkinan) adalah orang yang secara kualitas memiliki kemampuan retorika yang bagus, pandai bernegosiasi, dan memiliki kemampuan melobby. Namun tetap saja keputusan yang diambil oleh marga harus melalui musyawarah seluruh anggota marga, majunya seorang ‘wakil’ yang mengatasnamakan marga dalam persoalan pelepasan ulayat misalnya, bisa saja diwakili seorang yang dianggap ‘sulung’ atau ‘individu’ lain yang memiliki criteria pemimpin. Di tataran 26 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
lain juga muncul mengenai criteria pemimpin marga, dimana berdasarkan temuan di Maladofok dan Gisim, seorang pemimpin adalah pihak yang dianggap mampu membayar denda-denda marga atau yang mampu membayar denda perdamaian dalam persengketaan tertentu. Tungku kepimimpinan lainnya adalah pihak gereja (agama). Gereja memiliki otoritas pada kehidupan masyarakat di bidang kerohanian dan pelayanan ibadah. Rutherford (2000: 316) melaporkan kontak-kontak masyarakat Biak dengan para misionaris protestan yang berada di Sorong, menurutnya eksistensi ‘gereja protestan’ telah ada di sekitar Sorong (Bird’s Head) sejak pertengahan abad ke-19, berikut kutipannya : …. Their travels brought them into contact with European explorers, traders, and soldiers, as well as the Protestant missionaries who settled on Bird’s Head, not far from Biak, in the mid-19th century, and the colonial administrators who founded a post in the same vicinity in 1898 (Rutherford 2000:316).16 Struktur kepemimpinan gereja tidak terlalu kompleks, di tingkat kampung dipegang oleh seorang Guru Jemaat dan di tingkat distrik dipegang oleh seorang pendeta. Pendeta/Guru Jemaat memiliki fungsi sebagai penjaga nilai-nilai dan moralitas keagamaan berdasarkan kaidah-kaidah kitab suci yang memiliki tugas memimpin kebaktian, baik rutin maupun pada perayaan hari besar seperti natal, paskah dan tahun baru serta mengesahkan ikatan perkawinan. Disamping itu terdapat kelompok umat yang mengurusi kegiatan sosial keagamaan masyarakat yang biasa disebut dengan majelis gereja -- tugasnya membantu pengorganisasian kegiatan keagamaan dan bisa dikatakan merupakan merupakan perwakilan masyarakat di dalam institusi gereja. Meskipun tekanan kewenangan pada pada urusan peribadatan dan perayaan hari suci namun menurut beberapa pihak peranan guru jemaat juga bisa mempengaruhi jalannya kehidupan formal dan sosial. Bagi warga kampung Maladofok distrik Sayosa kepemimpinan guru jemaat sama dihormatinya, seperti mereka menghormati pemimpin-pemimpin lainnya (formal maupun adat). “karena itu tadi bapak, mereka (guru jemaat, pemimpin kampung, dan pemimpin adat) kan yang urus soal masyarakat, kita ini harus berterima kasih, tapi tentu harus memimpin yang adil” demikian tuturan informan dari Marga Hu di Maladofok yang menilai tentang pemimpin-pemimpinnya, dan keadilan menjadi syarat penghormatan warga. Tungku kepemimpinan terakhir adalah pemerintahan formal yang mewujud dalam jabatan kepala kampung di tingkat kampung, lalu kepala distrik, dan kemudian ketingkat lebih tinggi lagi dalam 16
Rutherford, D. 2000. The white edge of the margin: textuality and authority in Biak, Irian Jaya, Indonesia. American Ethnologist 27 (2): 312-339.
27 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
struktur pemerintahan formal. Tungku kepemimpinan ini adalah lembaga formal yang dibentuk dan di introduksikan kepada masyadari berkenaan dengan pengaturan administratif. Kewenangan dan tugasnya terkait dengan keadministrasian warga yang terkait dengan status mereka sebagai Warga Negara Indonesia. Pemerintah kampung merupakan unit terkecil yang secara formal dipimpin oleh kepala kampung - memiliki gaji setiap bulan dari pemerintah. Tugas-tugas hariannya dibantu oleh seorang ketua Rukun Kampung (RK) dan Rukun Tetangga (RT) di tingkat lebih kecilnya. Tugas seorang Kepala Kampung selain melayani keadminisitrasian (KTP dll) juga mengkoordinir bantuan pembangunan yang diberikan dari pemerintah pusat ataupun pemerintah daerah. Dalam tugasnya secara struktural kepala kampung dibantu oleh sekretaris desa dan beberapa staf-stafnya (KAUR) - kaur pemerintahan, pembangunan, dan kaur umum. Di jaman Belanda berdasarkan pengakuan informan pemimpin kampung itu diangkat dan ditunjuk oleh pihak Belanda yang tidak diketahui mekanisme pengangkatannya karena menurutnya ia hanya mendengar dari cerita orang tua dulu. Sementara pemimpin informal lain yang muncul karena penguatan isu adat di era otsus adalah kehadiran Ketua Dewan Adat di tingkat kampung (Maladofok). Dewan adat berdasarkan dugaan saya berafiliasi ke Aliansi Masyarakat Adat Papua – sebuah organisasi berbasis adat yang muncul untuk pembelaan dan menguatkan hak-hak pribumi. Di Maladofok Ketua Dewan Adat ada pada tingkat kampung. Menurut tuturan warga Dewan Adat di tataran praktis kehidupan kampung adalah pihak yang memediasi dan memfasilitasi bila terjadi perselisihan berkenaan masalah adat, namun tugasnya hanya sebatas hal tersebut, karena
di tingkat tertentu Dewan Adat tidak berhak memutuskan suatu
perselisihan menyangkut Ulayat Marga. Marga tetap menjadi sentral untuk menyelesikan dan mengambil keputusan atas persoalan yang menyangkut ulayat dan adat lainnya.
Studi Kasus Kepemimpinan Di Kampung Maladofok Pada kasus Desa Maladofok, setelah era pasca reformasi, pemimpin administratif tingkat kampung (desa) dipilih oleh sebuah lembaga bernama Badan Musyarawarah Kampung (BAMUSKAM) yang beranggotakan pihak-pihak yang dipilih atau diusulkan warga karena dianggap layak untuk menjadi anggotanya. Bamuskan menjadi lembaga pengawas jalannya pemerintahan kampung yang berwenang mengangkat dan memberhentikan seorang kepala kampung (jika dianggap melenceng aturan atau bersikap tidak adil). Mekanisme seorang kepala kampung dipilih dapat disederhanakan dalam proses berikut: Bamuskam atas masukan warga menyaring calon yang diusulkan dari bawah, setelah terkumpul calon hasil usulan warga lalu Bamuskam menanyakan kesediaan kepada calon bersangkutan. Setelah itu, ketika calon menyatakan kesediaannya ikut pemilihan, maka muncullah nama-nama calon pemimpin kampung, yang diteruskan dengan proses pemilihan dimana suara terbanyak menjadi kriteria seorang menjadi kepala kampung. Kepala kampung (desa) adalah pemimpin dalam pemerintahan desa yang terkait urusan formal pemerintahan 28 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
dan keadministrasian, diatasnya adalah Kepala Distrik (Kecamatan), lalu ke atasnya lagi Bupati. Struktur Kepemimpinan Kampung Maladofok – Distrik Sayosa
Dewan Adat
Bamuskam
Guru Jemaat
Kepala Kampung Sekretaris Kampung Kepala Urusan
Warga Dalam Kesatuan Adat Marga
Keterangan: Badan Musyawarah Kampung (Bamuskam): Matias Mas (Ketua), Klemen Klin (Sekretaris), Yunus Yempolo, Matias Yempolo, dan Yordan Yempolo (Anggota). Pemerintahan Formal: Klemen Galus (Kepala Kampung), Frans Hu (Sekretaris), Spenyer Malak (Kaur: Pemerintahan), Demi Hu (Kaur Pembangunan), Yunus Hu (Kaur Kesra), Benyamin Lobat (Kaur Umum). Ketua Dewan Adat : Matias Yempolo Guru Jemaat : Matias Mas
Kasus mekanisme kepemimpinan formal di Maladofok berbeda dengan kasus di desa Klawana dimana kepala kampung diangkat secara langsung oleh warga dengan acuan meneruskan kepemimpinan lama pada saat wilayah Klawana masih bergabung dengan Distrik Beraur. Di kampung Klawana pemimpin formal dipilih tanpa melalui mekanisme pemilihan melalui lembaga Bamuskam.
29 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 5. Hirarki antar marga
Dalam struktur sosial orang Moi, marga di wilayah kajian terdapat dua pembagian golongan yaitu marga pemimpin dan marga-marga adat. Para informan dari Marga Osok menjelaskan bahwa masyarakat di wilayah kajian mengenal pemimpin itu sebagai kawut. Mereka yang menjadi kawut biasanya berasal dari marga Fadan dan Osok. Untuk seterusnya marga-marga yang dianggap pemimpin ini akan tetap menjadi pemimpin bagi marga lainnya. Sementara marga adat adalah marga yang menjadi anggota biasa komunitas marga Namun demikian, fungsi pemimpin hanya sebagai koordinator untuk tugastugas bersama di komunitasnya, sedangkan untuk persoalan internal marga, fungsi pemimpin hanya mengakomodir tanpa bisa mencampuri urusan internal marga-marga dalam pengambilan keputusan yang terkait hal hal mengenai hukum adat. Pada saat ini, di beberapa kampung, posisi marga pemimpin masih dilestarikan dan berdaptasi dengan struktur formal pemerintahan, hal itu tampak dari kepala desa di Klawana yang masih dipimpin oleh pemimpin dari marga Fadan dan begitupula dengan Desa Wariyau yang dipimpin oleh seorang pemimpin dari marga Osok. Masuknya “kaum pendatang” sebagai akibat dari beroperasinya perusahaan-perusahaan dan dilaksanakannya program pembangunan (transmigrasi) membuat formasi pengelompokan masyarakat semakin heterogen. Setidaknya terdapat pengelompokan penduduk di wilayah kajian dengan istilah “pribumi” dan “pendatang”. Pribumi merujuk pada penduduk asli yang berasal dari marga pemilik ulayat di sekitar. Sedangkan penduduk pendatang terbagi menjadi dua: pertama adalah pendatang dari marga lain yang berasal dari papua (yang tidak memiliki tanah ulayat di sekitar wilayah kajian) seperti dari marga Beraur, Inawatan, Biak, atau Merauke. Mereka biasa disebut sebagai “pendatang papua”. Kedua adalah ‘pendatang non papua’ seperti Ambon, Timor, Flores, Bugis, Jawa, Batak, atau Makassar. Heterogenitas penduduk di sekitar Klamono juga memunculkan kekontrasan pada tingkat ekonomi dan mengenai etos kerja antara pribumi dan pendatang. Di klamono misalnya, penguasaan ekonomi cenderung dikuasai kaum pendatang, sementara kaum pribumi lebih pada penguasaan ulayat yang tidak terlihat memiliki keunggulan di tingkat ekonomi dibandingkan kaum pendatang (khususnya dengan Jawa). Kondisi ini juga tercermin dari adanya pelabellan/stereotyping yang cenderung negative dikenakan kepada penduduk pribumi. Pribumi yang secara ekonomi berada di bawah ekonomi pendatang cenderung dilabel dalam ketidakunggulan: malas, susah diatur, tidak mau maju, boros, dan tidak bisa menabung. Labelisasi dan stereotype ini – khususnya mengenai kemampuan mengurus dan mengelola uang – juga diakui oleh beberapa informan dikalangan pribumi di Maladofok. Seorang informan dari Marga Hu dan ditegaskan oleh informan lain dari marga Galus mengatakan bahwa pribumi 30 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
memang tidak bisa mengusahakan uang yang dimiliki, yang menurut mereka tidak seperti orang jawa yang oandai mengelola uang,”entahlah bapak, kami ini kalau bisa jangan dikasih uang yang banyak, cepat habis bapak, beli macam-macam kami, lalu setelah itu habis tak ada sisa” demikian tuturannya,
31 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 6. Sistem Ekonomi Subsistensi dan Perubahan Akibat Kebun Sawit di Maladofok Kampung Maladofok yang didiami oleh mayoritas penduduk pribumi dari 13 marga yakni: Yempelo, Hu, Galus, Klin, Fanus, Malak, Mederfak, Saden, Septemes, Kenale, Selabu, Ulimpa, dan Klasibin, umumnya menganut sistem ekonomi non-komersial atau subsistensi. Matapencaharian penduduk pribumi tersebut dipenuhi aktivitas berkebun dengan sistem tebas, tebang, bakar, dan tanam (swidden agriculture/slash and burn agriculture), Kebun dimiliki oleh pembuka kawasan dengan syarat kebun yang dibuka itu merupakan kawasan ulayat milik marganya. Pembuka kebun berhak memiliki lahan dan tanaman yang tumbuh di atasnya. Namun bila, kebun dibuka di kawasan ulayat milik marga lain, maka si pembuka hanya memiliki tanaman yang tumbuh di atasnya saja. Di areal kebun warga bercocok tanam untuk dimakan sendiri (subsisten) dan sebagian kecil untuk dijual (cashcrops). Untuk tanaman yang bernilai jual maka penduduk menanam pisang, rica (cabe) dan aneka sayuran (gedi, labu, bayam dsb). Penanaman cashcrops diselingi tanaman subsistensi untuk makanan sehari-hari seperti kasbi (ubi kayu), ketatas (ubi rambat), sagu, dan sebagainya. Pemasukan mereka dapat dari siklus panenan tiap tanaman ekonomis tersebut. Bila panenan pertama adalah sayuran, maka saat panen tiba mereka akan jual ke pasar. Setelah sayuran habis, tiba panenan rica dan penduduk menjual produk tersebut, lalu selanjutnya tiba panenan pisang yang juga mereka jual ke pasar baik ke Sorong ataupun ke sekitar Klamono. Begitulah siklus panenan tanaman ekonomis tersebut membuat mereka bisa mendapatkan uang secara berkelanjutan. Jumlah keluarga yang berkebun di tiap desa wilayah kajian bervariasi, menurut data Kecamatan dalam angka tahun 2010, kampung Klawana berjumlah 53% , Gisim darat berjumlah 35%. Di bidang pertanian keluarga petani banyak di dominasi oleh desa-desa transmigrasi nasional, seperti Klamugun SP5 dan Malagisit SP2 berkisar 90% dan desa Wariau memiliki jumlah keluarga petani sebesar 80%. Pada tahun 2009 jumlah rata-rata produksi jagung di desa-desa distrik Klamono, sebesar 48 ton untuk ratarata luas lahan 30 Ha. Jumlah komoditi perkebunan terbesar adalah dari jenis ubi-ubian, antara lain ubi kayu 233 ton untuk luas lahan 21 ha dan ubi jalar sebesar 284 ton dengan luas lahan 28 ha. Hasil dari komoditi ini dijual di desa mereka dan sekitarnya bahkan adapula yang dijual hingga ke pasar di Sorong Di sela-sela panenan tanaman ekonomi tersebut mereka meluangkan waktu mencari ikan atau udang sungai, bila berlebih akan mereka jual, atau berburu dan memasang jerat yang konon katanya bila rajin akan dapat satu atau dua ekor/minggu Bila yang di dapat jenis babi maka mereka akan konsumsi untuk keluarga, sisanya dibagikan ke sekitar. Bila yang didapatkan rusa, maka buruan tersebut akan
32 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
dijualnya ke Klamono yang berjarak ± 25 km dari kampung atau ke Sorong. Menurut informan harga perkilo daging rusa rata-rata 20 s.d. 25 ribu, satu ekor rusa bisa mencapai berat 80 s,d, 150 kilo. Pemasukan lain dari hutan yang mereka dapat adalah dari aktivitas logging di kawasan ulayat masing-masing. Mereka mengatakan olahan kayu mereka ditampung oleh ‘bapak angkat’ yang ketika ditanyakan merupakan pihak yang memodali dan membeli kayu mereka (penampung/tauke). Dari kayu mereka mendapat uang yang dibilang lumayan banyak, namun aktivitas tersebut hanya dilakukan ketika ada pemesan, yang katanya sekarang jarang, “sekarang sawmill jarang, tidak sebanyak waktu dulu (HPH), katanya sih banyak operasi” Ujar seorang informan. Pembukaan kebun sawit dianggap menghilangkan sebagian hutan, dalam skala tertentu, dianggap oleh beberapa informan telah mengganggu keberlangsungan siklus subsistensi dan ekonomi warga di Maladofok. Seorang informan mengatakan bahwa sungainya menjadi berlumpur dan membuat ikan-ikan asli (jenis: sumpit, udang batu, sembilan, ulanang, dsb) menghilang berganti spesies baru. Kini muncul jenis ikan lele dan gabus yang menurut beberapa informan sebelumnya tidak pernah ada di sungai mereka. Perubahan jenis ini menurut mereka juga mempengaruhi sedikit teknik mereka dalam menangkap ikan, “Ya karena berbeda ikannya, tentu kami juga agak belum tahu bagaimana itu punya kebiasaan” Begitupun kuantitas hewan buruan dimana sejak dibukanya hutan oleh tanaman sawit skala besar disebutkan telah mengurangi kuantitas hewan buruan mereka. Akibat dari perubahan lansekap hutan menjadi sawi kata seorang informan telah merubah aktivitas setengah penduduk kampung tersebut yang tidak lagi melakukan perburuan. Di tempat lain, kasus di kampung Klamono, indikasi berkurangnya aktivitas perburuan warga pribumi, muncul dari pernyataan ibu pemilik warung, yang mengatakan bahwa pembelian batu baterei untuk perburuan malam berkurang drastis sejak sawit beroperasi di daerah tersebut. “dulu batu baterei itu banyak dibeli warga, untuk berburu lao-lao, tapi sekarang tidak seperti dulu, sedikit sekali orang beli itu” demikian tuturan sang informan. Pembukaan lahan juga berpengaruh pada pola konsumsi makanan pokok. Seperti ditemui di lapangan dan berdasarkan penuturan warga pribumi, makanan pokok masyarakat adalah sagu dan beras dengan makanan pengganti lainnya seperti pisang, ubi dan keladi. Sejak sawit beroperasi dan mengambil lahan-lahan hutan maka terdapat penurunan konsumsi terhadap sagu. Hal itu terjadi karena jumlah pokok (pohon) sagu yang semakin berkurang akibat pembukaan lahan untuk perkebunan dan transmigrasi, juga oleh pengakuan tentang sistem pengolahan sagu yang dinilai masyarakat semakin menyulitkan dan tidak praktis. Berkurangnnya konsumsi sagu juga dipicu oleh masuknya Program Beras untuk Kaum Miskin (raskin) dari pemerintah yang memungkinkan masyarakat mendapatkan beras secara murah dan 33 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
regular. Beras diminati masyarakat terutama karena dianggap sebagai simbol kemajuan. Seorang informan mengatakan bahwa sagu itu makanan lama, saat mereka hidup di hutan-hutan, sementara beras ia anggap sebagai bentuk kemajuan. “Sagu itu kan makanan nenek moyang saat kami tidak berkampung, kini sudah maju toh, kami makan beras,” demikian tuturan seorang informan di Klamono. Keberadaan pendatang juga mempengaruhi perubahan konsumsi sagu ke beras, dan kata seorang informan asal jawa, yang sudah menetap sejak tahun 1980-an, disebutkan bahwa penduduk pribumi awalnya melihat contoh dari luar,”kami dulu sering di datangi penduduk, kami ajak makan nasi, lamalama mereka suka, entah lah mas, sekarang mereka terbiasa makan beras, itu si agus yang di sebelah kita, nggak mau lagi makan sagu, mungkin pas dia ke bogor dia jadi terbiasa makan beras”, tuturnya. Ketergantungan masyarakat terhadap beras yang cukup tinggi juga diakui oleh seorang penjual beras di desa Klamono. Pasangan suami istri penjual sembako mengatakan bahwa pada saat ini penduduk dari kampung Klamono dan Klawana diestimasikan 90% nya mengkonsumsi beras sebagai makan sehari-hari yang disebutkan dmulai sejak tahun 1993-an atau pada saat ekonomi uang masuk ke wilayah tersebut ketika beroperasi HPH. Sejak itu kaa pemilik warung sembako juga meningkat penjualan minyak dan gula, dimana bila di rata-rata minyak tanah dalam sebulan mencapai omzet 100 liter sedangkan gula bisa mencapai 2 zak atau setara dengan 100 kilogram perbulannya. Menurut penjual sembako yang sudah 20 tahun tinggal dan bekerja di wilayah ini, perubahan pola konsumsi dari cara subsistensi ke ekonomi uang mulai terjadi pada tahun 1995an. Momentum yang terjadi di tahun-tahun ini bersamaan dengan masuknya HPH Intimpura dimana masyarakat terutama pemilik ulayat bisa mendapatkan uang dengan cepat dari hasil kayu yang ditebang dari lahan-lahan ulayat mereka. Perdagangan pun mulai berkembang ketika beroperasinya perusahaan dan kedatangan pendatang akibat beroperasinya pertamina di daerah tersebut dimana sektor perdagangan tersebut sampai saat ini dikuasai oleh Jawa dan Batak masih mendominasi sektor perdagangan.
34 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 7. Persepsi dan Makna Hutan Bagi Penduduk
Keberadaan kawasan hutan sebagai sandaran kehidupan dimaknai dalam berbagai persepsi yang menunjukan betapa pentingnya fungsi hutan bagi penduduk (marga) sekitar. Beberapa informan mengatakan bahwa hutan ibarat ‘ibu’ yang melahirkan, membesarkan, dan merawat. Informan lain mengibaratkan hutan sebagai ‘dapur’ atau seperti persepsi di Maladofok yang menyebut hutan itu ‘baik’ dan ‘melindungi’. Demikian tuturan tersebut terungkap lewat pernyataan seorang informan dari Marga Hu di Kampung Maladofok ,“Karena hidup sehari-hari mencarinya di hutan.” Hutan menjadi penyedia segala kebutuhan penduduk pribumi karena dari hutan penduduk mendapatkan semua yang dibutuhkan seperti: kayu untuk dinding dan tiang rumah, dedaunan untuk atap rumah, tali rotan untuk mengikat rumah, tumbuhan dan umbi-umbian untuk obat-obatan dan makanan, binatang untuk sumber makanan, buah-buahan, serta pada kawasan hutan pula warga bisa membukanya untuk diusahakan menjadi kebun. Keberadaan hutan juga menjadi sarana ‘kesenangan’ penduduk yang terkait kepuasan-kepuasan emosional para pengaksesnya. Alasan ini muncul dari lontaran beberapa informan dari Maladofok, yang mengutarakan bahwa aktivitasnya dalam hutan bukan sekedar untuk memenuhi kebutuhan makanan sehari-hari saja, tapi juga memberi kepuasan batin dan kesenangan. “kami menikmati sekali itu, berjalan-jalan di tengah hutan, mendengar banyak bunyi binatang, apalagi bila kami dapat binatang, kami akan pulang dengan senang bapak” ujarnya. Menurut beliau ia merasa senang karena ia akan memberi daging pada orang-orang sekitar di rumahnya. Dan bila mereka harus bermalam karena mengerjakan sesuatu di dalam hutan, maka mereka memiliki perasaan-perasaan tertentu yang amat berbeda dengan menginap di kampung, “sejuk sekali, kami cepat mengantuk kalau di sana, di kampung agak susah karena ramai orang” ujarnya lagi. Hal yang positif tentang hutan juga terlontar dalam FGD dimana seorang peserta mengatakan hutan adalah sesuatu yang baik kepada mereka selama ini. Fransis Hu, Sekretaris Desa Maladofok dan beberapa peserta lain menyimpulkan tentang makna hutan lainnya sebagai berikut: “Hutan adalah Baik, dia Pelindung yang memberi kita keperluan sehari hari. Hutan mengobati yang sakit dengan tumbuh tumbuhan obat, memberi makan (dusun sagu), buah buahan (langsat, matoa), lauk pauk (babi, rusa, lao-lao, kasuari), memberi tempat berlindung (rumah) – kayu untuk tiang penyangga dan dinding rumah, daun sagu atap, dinding,rotan untuk tali pengikat). Sementara, menurut warga Gisim Darat, yang ada di sekitar kebun sawit, maka hutan dimaknai seperti ini, ”Tarada itu kami bisa hidup, saya pernah lihat itu tempat mereka tinggal (barak), panas sekali bapak, setengah mati itu, kami mungkin tak sanggup” 35 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 8. Konsep Marga di Klamono
Dalam sistem sosial masyarakat di wilayah kajian, unit sosial terkecil yang paling berpengaruh adalah marga atau klen. Marga bisa disebut juga keluarga besar17. Sebelum Belanda masuk ke wilayah ini pola pemukiman masyarakat terpencar di tanah ulayat masing-masing yang berjauhan satu marga dengan lainnya. Kemudian setelah Belanda menemukan ladang minyak dan mengeksploitasinya, masyarakat tribal di Klamono dikelompokkan dalam satuan marga berdasarkan jalur patrilineal. Kepentingan Belanda mengelompokkan marga dalam satu wilayah tertentu adalah untuk tenaga kerja dan kegiatan misi keagamaan mereka. Meskipun terdapat referensi lain yang menjelaskan kegiatan misi agama telah datang lebih awal daripada kegiatan survey minyak, fakta yang mengatakan bahwa mereka dikumpulkan dalam satu pemukiman juga dikatakan oleh beberapa anggota masyarakat pada FGD yang dilakukan di Desa Maladofok. Seorang peserta, Dance Galus, menuturkan tentang sejarah pemukiman awal mereka, ”Dulu kami tinggal jauh di dalam hutan, sebelum ada agama dan pemerintahan” Kawasan Ulayat adalah kawasan yang mencakup matra lahan hutan dan sungai yang dikuasai dan dimiliki oleh sebuah marga secara komunal, dimana pemanfaatan terhadap sumber daya di dalamnya (tanam tumbuh diatasnya) diperuntukan baik untuk anggota marga bersangkutan, juga diperbolehkan (seijin pemilik) diakses dan dimanfaatkan oleh marga lain, sepanjang digunakan untuk tujuan subsistensi.Dengan demikian maka sebuah kawasan ulayat secara de jure dikuasai dan dimiliki oleh marga tertentu, namun secara de facto adalah milik komunal, yang bisa diakses dan dimanfaatkan marga lain. Sebuah kawasan Ulayat baik batas dan luasnya diketahui secara tuturan (lisan) dan berdasarkan ingatan kolektif anggota marga dengan penanda batas alam atau atau tanaman tertentu sebagai patokannya. Sementara itu, berdasarkan literatur, maka istilah hak ulayat ditegaskan oleh G. Kertasapoetra dkk (Musnita 2008) yang menyatakan bahwa ; “Hak ulayat merupakan hak tertinggi atas tanah yang dimiliki oleh sesuatu persekutuan hukum (desa, suku) untuk menjamin ketertiban pemanfaatan/pendayagunaan tanah. Hak ulayat adalah hak yang dimiliki oleh suatu persekutuan hukum (desa, suku), dimana para warga
masyarakat (persekutuan hukum) tersebut mempunyai hak untuk menguasai tanah, yang
pelaksanaannya diatur oleh ketua persekutuan (kepala suku/kepala desa yang bersangkutan)”
17
Konsep marga pada Orang Moi tidak seperti marga pada Suku Batak yang memiliki jumlah anggota banyak dan memiliki silsilah yang panjang, melainkan hanya beranggotakan kurang dari sepuluh kepala keluarga. Konsep Marga pada Orang Moi di lokasi penelitian lebih mendekati sebagai keluarga besar di suku Jawa.
36 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 9. Pengelolaan dan Pengaturan Sumberdaya Alam
Aktivitas subsistensi berupa: berkebun, berburu binatang darat dan sungai, mencari tanaman pangan dan papan (kayu, rotan, sagu, sayuran, buah-buahan), serta aktivitas yang berhubungan dengan kepercayaan di lakukan dalam kawasan hutan ulayat. Pada kawasan hutan ulayat terdapat klasifikasi kawasan yang memiliki nama dan perlakuan khusus, yaitu: Kawasan kebun yang dibuka dan diolah untuk dijadikan sandaran subsistensi dan ekonomi. Dalam kebun ditanami dengan tanaman jangka pendek dengan tanaman utama pisang, kasbi/ubi kayu (Manihot ultizima), ketatas/ubi rambat (Ipomoea batatas), rica (cabe), sayur gedi (Abelmochus manihot), kacang tanah (Arachis hipogaea), bayam, labu, dsb. serta tanaman jangka panjang (keras) seperti sirsak (Annon muricata), kelapa (Cocos nucifera), mangga (Mangifera indica), rambutan (Nephelium lappaceum), langsat, salak (Salacca edulis), matoa (Pometia pinnata) dan durian. Durasi kebun diolah berdasarkan tuturan informan paling lama dua kali musim tanam, selanjutnya mereka membuka lahan baru ditempat yang berdekatan dengan kebun lama. Kebun lama yang ditinggalkan tetap menjadi miliknya dengan ditandai keberadaan tanaman keras yang mereka tanam sebelumnya, begitupun selanjutnya. Dusun Sagu dan Hutan Sagu (Metroxylon sp) adalah kawasan hutan tertentu yang ditumbuhi tanaman sagu, baik karena tumbuh alami maupun sengaja di tanam anggota marga pemilik ulayat. Terdapat dua jenis sagu: berduri dan tidak berduri. Keduanyatidak berbeda dalam rasa namun yang membedakan adalah tepung yang dihasilkan. Pohon sagu yang berduri berwarna keputih-putihan, sedangkan yang tidak berduri menghasilkan warna coklat. Dusun sagu adalah kawasan tanaman sagu yang ditanam maupun tumbuh secara alami yang mendapat perawatan dan dimiliki oleh pihak tertentu (individu atau marga), sedangkan hutan sagu adalah kawasan sagu yang tumbuh alami dan biasanya berjenis sama (berduri semua atau tidak berduri). Siapapun dan dari marga manapun bisa mengakses dan mengambil hasilnya sepanjang mendapat ijin dan dimanfaatkan untuk makan sehari-hari, Dusun Buah, adalah kawasan tempat tumbuh pohon buah-buahan alam seperti matoa, jambu, nangka, cempedak, langsat, durian, dsb. Kawasan ini bisa diakses pihak manapun untuk kepentingan konsumsi, tidak diperkenankan diluar marga pemilik mengusahakan pengambilan buah untuk diperdagangkan. Marga pemilik hanya memiliki batang pohon dan tidak menguasai dan memiliki buahnya.
37 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Kawasan perburuan, sebuah kawasan yang menjadi area-area tertentu tempat anggota marga atau marga lainnya melakukan perburuan. Binatang yang biasa mereka buru dan dimanfaatkan adalah beruang, rusa, kijang, babi hutan (Sus scrofa), lao-lao atau kangguru (Dorcopsis sp), burung kasuari (Casuarius sp) dan lainnya. Hutan keramat, adalah kawasan yang dianggap memiliki nilai sejarah dan bernilai religius karena sesuatu yang dianggap suci atau sakral (artefak peninggalan tertentu seperti piring dsb, makam, tempat arwah) terdapat di dalam kawasan tersebut. Kawasan ini pantang dan dilarang untuk dibuka secara fisik. Pada hutan keramat terdapat pantangan untuk membuka dan mengusahakan karena dianggap tempat peninggalan sejarah ditemukan (temuan benda keramat seperti piring dll), makam leluhur, dan tempat arwah leluhur bersemayam. Di luar hutan keramat semua kawasan diperbolehkan dibuka dan dimanfaatkan untuk hidup.
Transek Pembagian dan Pengelolaan Lahan Masyarakat
38 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 10. Mekanisme Pengelolaan Sumber Daya Hutan Ulayat secara Komunal
Berdasarkan temuan dan tuturan beberapa informan dari marga-marga pemilik ulayat, maka hutan ulayat dimiliki dan dikuasai secara komunal oleh seluruh anggota marga pemilik. Aturan-aturan ulayat terkait dengan kepemilikan dan hak penguasaan lahan yang secara otonom dimiliki oleh marga-marga. Dalam sistem adat masyarakat kajian ini dikenal beberapa status penguasaan lahan yang terkait dengan boleh tidaknya pihak lain mengakses lahan orang lain. Dalam sistem komunal mereka mengenal beberapa hak terkait penguasaan lahan diantaranya: Hak milik : Tanah bagi masyarakat di wiyalah kajian dikuasai oleh pemilik ulayat yang biasanya dikuasai oleh satu marga. Luasan tanah berbeda-beda satu marga dengan lainnya, tidak diketahui secara pasti bagaimana penentuan luas yang berbeda-beda tersebut namun diduga karena kesepakatan-kesepakatan antar marga terkait dengan daya jelajah wilayah cultural dan subsistensi tiap Marga baik dalam mekanismeperburuan maupun pencarian pangan lainnya di masa lalu. Kepemilikan lahan dikuasai secara kolektif oleh semua anggota marga dimana tidak dikenal pewarisan secara individual18. Segala sesuatu yang terkait dengan lahan marga, seperti untuk dilepas atau dimanfaatkan oleh pihak lain, maka itu harus dibicarakan kepada semua anggota marga yang memiliki hak. Secara de jure anggota marga yang telah dianggap dewasa memiliki hak untuk dilibatkan dan berpendapat dalam urusan tanah marga. Kriteria kedewasaan ini menurut beberapa informan ditentukan oleh kemampuan-kemampuan diri individu dalam subsistensi (bisa membuka lahan, dapat berburu, dsb) dan beberapa pihak menyatakan bahwa kriteria lain ditujukan bila seseorang telah menikah Namun demikian secara faktual, untuk anggota masyarakat yang tidak lagi tinggal dan memanfaatkan lahan ulayat marga karena berpindah atau tinggal di tempat lain, maka ia akan berkurang haknya dalam membicarakan atau memutuskan apapun terkait dengan lahan ulayat marganya. Keputusan akan lahan marga dilakukan secara demokratis melalui proses musyawarah dan mufakat dari seluruh anggota marga yang secara factual selama ini menjaga dan memanfaatkan lahan. 18
Pada beberapa tempat masih di suku moi, sebenarnya mengenal pula penguasaan individu, seperti yang dikatakan oleh Irin Siam Musnita, yang pernah meneiliti mengenai hak ulayat dalam tesisnya. Pada suku moi18 terdapat nilai-nilai komunalistik-religius magis yang memberi peluang pengelolaan tanah secara individual, serta hak-hak yang bersifat pribadi, namun demikian hak ulayat bukanlah hak orang-seorang. Hak ulayat bersifat komunalistik karena hak itu merupakan hak bersama anggota masyarakat hukum adat atas tanah yang bersangkutan. Sifat magis-religius menunjuk kepada hak ulayat, yang diyakini sebagai sesuatu yang memiliki sifat gaib dan merupakan peninggalan nenek moyang dan para leluhur pada kelompok masyarakat adat itu sebagai unsur terpenting bagi kehidupan dan penghidupan mereka sepanjang masa dan sepanjang kehidupan itu berlangsung (Musnita, 2008, hal.14).
39 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Hak pakai:. Dalam masyarakat di wilayah kajian ini juga mengenal pola penmanfaatan lahan orang lain. Satu marga dapat memenuhi kebutuhan ekonomi keluarga mereka di lahan ulayat marga lain sejauh untuk pemenuhan kebutuhan subsistensi saja. Sedangkan untuk kegiatan profit seperti pengambilan kayu atau lainnya tidak diijinkan oleh pemilik ulayat atau bila diijinkan maka hal tersebut harus diserta dengan perhitungan ekonomi yang harus disepakati terlebih dahulu oleh kedua pihak. Selama ini pemanfaatan lahan suatu marga oleh pihak lain digunakan sebatas pemanfaatan untuk berkebun, pengambilan sagu atau jelajah berburu. Dalam urusan perburuan misalnya, seorang informan mengatakan bahwa mobilitas hewan buruan tidak bisa dibatasi oleh wilayah ulayat dan oleh karenanya maka siapapun dipersilahkan berburu di ulayat manapun.. Namun tetap saja ada etika yang disepakati, yang berlaku diantara mereka, misalnya sagu harus diambil dari pokok sagu yang sudah tua, atau bila membuka kebun maka si pembuka dilarang menebang pohon bernilai ekonomi dan cultural (seperti buah-buahan atau yang dianggap keramat) Jika ada proses saling menikah antar marga, maka perempuan yang dibawa ke pihak laki-laki hanya memiliki hak pakai atas ulayat keluarga laki-laki. Begitupun sebaliknya, laki-laki atau suami yang menikah dengan perempuan pemilik ulayat, maka suami itu hanya memiliki hak pakai atas ulayat marga pihak perempuan.
Setiap marga memiliki otonomi untuk mengatur hutan ulayat masing-masing yang tidak boleh dicampuri oleh marga lain, baik dalam memanfaatkan maupun melepaskannya ke pihak lain. Anggota marga memiliki hak kepemilikan sementara untuk hak memakai maka siapapun dari marga lain diperbolehkan mengaksesnya: menanam, mengolah, dan memanfaatkan (sepanjang untuk subsistensi). Bila suatu marga membuka kebun di ulayat marga lain misalnya, maka ia hanya berkuasa atas tanam tumbuh diatasnya saja, bukan lahan dibawahnya. Begitupun saat melakukan perburuan, maka marga lain diperbolehkan melintas dan melakukan aktivitas perburuan di kawasan tersebut, tidak ada kewajiban untuk membagikan hasil buruannya kepada pemilik ulayat, namun kata informan biasanya mereka akan saling berbagi sebagai tanda rasa terima kasih. Mekanisme tersebut merupakan kearifan semua marga untuk saling berbagi sumber daya kepada marga yang tidak memiliki hutan ulayat atau memiliki hutan ulayat yang tidak luas. Konsep saling berbagi hasil hewan buruan tersebut merupakan mekanisme kultural dalam rangka menjaminkan sustainable hidup antar pihak. Ada dua tujuan dan kepentingan dalam mekanisme pembagian hewan buruan yang dipraktekkan marga di Maladofok: Pertama sikap saling berbagi tersebut merupakan reaksi kultural atas ketidak mampuan menyimpan atau mengawetkan makanan, “sungguh bapak kalau kami makan sendiri 40 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
itu hasil berburu kami tidak mungkin sanggup, cepat busuk itu daging, kami bagi itu orang sekitar, toh daripada nanti tidak bisa kami makan.” Kedua adalah tentang makna saling berbagi sebagai ‘investasi sosial’ pihak tertentu kepada pihak lain. Si pemberi akan memiliki jasa kepada pihak yang diberi dan pihak yang diberi memiliki utang jasa kepada pemberi. Di suatu waktu maka jasa dan utang jasa tersebut dituntut untuk saling dipertukarkan,. Ketika si pemberi di masa tertentu tidak mendapatkan buruan maka pihak yang telah diberi di masa sebelumnya menjadi pihak yang akan memenuhi hal tersebut. “Kami biasa seperti itu, kalau kami tidak berburu hari ini sementara orang lain berburu dan dapat hasil, dia pasti kasih juga pada kami, itu tadi karena kami juga bagi ke mereka sebelumnya”
41 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 11. Pengetahuan, Penguasaan, dan Batas-Batas Ulayat Terdapat kecenderungan pola pandangan tentang bagaimana asal mula kawasan hutan ulayat dimilki oleh marga. Jika kita menanyakan asal usul awalnya, maka jawaban umumnya bersifat taken for granted bahwa itu pemberian Tuhan, sudah dari sana-Nya, atau merupakan sesuatu yang sudah dibagi-bagi dan diberikan oleh Koreri.19 Koreri menurut informan dari marga Osok adalah tokoh yang dianggap ‘leluhur’ yang diceritakan melakukan pelayaran dari Biak – Ternate – Batavia – Majapahit – lalu ke Netherland – dan kemudian balik lagi ke Biak atau Sorong. Setelah mendapat wahyu dari Tuhan Allah selanjutnya Koreri membagi-bagi wilayah di Sorong ke setiap Marga. Informan tersebut kemudian menjelaskan bahwa asal-usul orang asli Sorong juga berasal dari leluhur mereka di Utara, yakni dari Biak, atau tepatnya di Pulau Undi. Menurut Pak Osok, hak ulayat dimiliki karena suatu kawasan hutan dibuka dan diusahakan oleh satu pihak. Sedangkan jangkauan wilayahnya didasarkan pada daya jelajah pihak tersebut saat melakukan perburuan, pencarian dusun sagu, temuan-temuan bernilai kultural dan religi, dan atas interaksi lainnya kepada kawasan tersebut. Batas ulayat antar marga kemudian muncul ketika pihak pertama bertemu atau berpapasan dengan pihak lain. Saat itulah, pada titik pertemuan tersebut ditentukan batas-batas antara kedua belah pihak. Batas ulayat biasanya ditentukan oleh batas batas alam yang dianggap tidak akan berubah, seperti: sungai, pohon pohon besar, urat gunung, dsb. Batas ulayat tiap marga bagi warga dianggap sangat jelas dan semestinya diketahui oleh tiap marga pemilik ulayat. Pemahaman tersebut dituturkan informan dengan alasan bahwa semua orang Malamoi (atau Moi) semestinya tahu karena hal tersebut telah disampaikan secara turun menurun dari orang tua mereka. Sehingga bila mengacu hal itu maka tidak akan ada perselisihan mengenai batas ulayat antar marga. Informan lain, Dance Galus, menuturkan hal tersebut dengan menjelaskan bagaimana ia mendapat pengetahuan batas ulayat miliknya melalui enkulturasi dari orang tuanya, berikut tuturannya: “(pengetahuan akan batas-batas) dari bapa punya 19
Istilah Koreri menurut bahasa Biak bisa temukan dalam mitologi Manarmakeri. Koreri dibentuk dari kata: Ko artinya kami. Rer artinya kulit yang terkupas (kulit lama yang berganti dengan kulit baru). Di ranah filosofis keyakinan orang Biak maka koreri berkenaan tentang suatu kehidupan yang sejahtera, bahagia, dan abadi (Thime, 1976; Mampioper, 1976). Koreri dalam mitologi Manarmakeri adalah kampung yang situasinya penuh kebahagian di mana orang-orang hidup gembira tanpa merasakan suatu kekurangan apapun. Dalam mitologi tersebut Koreri telah dibawa pergi Manarmakeri atau Kayam Byak ke belahan Barat (Eropa), namun ia berjanji akan kembali lagi membawa Koreri setelah tujuh generasi kemudian. Janji Manarmakeri ini bercorak messianis sehingga tetap hidup dalam kebudayaan orang Biak atau Papua, dari generasi ke generasi, yang memberi harapan atau semangat hidup di tengah situasi sulit (Mansoben, 1980). Sebagai sebuah gerakan maka koreri berpusat pada keyakinan tentang akan datangnya Kan Kondo Mob Oser atau dunia tanpa kesengsaraan, sesuatu yang berhubungan dengan kebutuhan hidup yang tidak perlu didapat dengan susah payah, atau terkait kargoisme yang menanti barang atau materi agar bisa berganti kulit dalam arti hidup lama ditanggalkan menuju dunia baru (Kamma,1972)
42 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
bapa, bapanya lagi, bapanya lagi… Seperti bapa saya, dia kasih saya tahu, ajak saya jalan, memberi tahu batas, tanah kita yang ini, batasnya ini…saya juga, saya harus kasih tahu anak saya…!” Secara faktual kawasan hutan ulayat, tanaman yang tumbuh di atasnya dan lahannya dimiliki dan dikuasai secara komunal oleh marga. Dahulu kata seorang informan, hutan ulayat tidak boleh dibagi-bagikan (diwariskan) dalam bentuk kapling atau petak-petak kepada anggota marga dan tidak boleh dialihkan atau dijual kepada pihak lain. Namun, setelah kedatangan pihak perusahaan, khususnya PT HIP yang membutuhkan lahan luas untuk kelapa sawit maka aturan tersebut diselaraskan oleh marga untuk dilepas demi tawaran sejumlah uang dari pihak perusahaan. Keputusan pelepasan tersebut, menurut informan, dibuat secara mufakat berdasarkan suara terbanyak dalam tingkat marga. Dianggap pemilik suara marga adalah anggota marga yang keberadaannya masih eksis di lokasi ulayat berada. Untuk anggota marga yang telah berada jauh di luar marga (merantau) maka ia tidak berak terlbat dalam proses pembuatan keputusan menyangkut pelepasan ulayat karena dianggap telah memilih untuk hidup di tempat lain.
43 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 12. Makan Bersama dan Tumpang Tindih Klaim Ulayat
Keberadaan satu marga di sebuah kawasan ulayat juga bersinggungan dengan pihak lain. Sehingga amat relevan untuk membahas sebuah konsep bernama ‘makan bersama’. Sebuah konsep makan bersama adalah istilah ketika terdapat marga lain yang ‘menumpang’ di ulayat smarga lain. Secara garis besar konsep tersebut muncul ketika pihak dari marga lain, yang dalam skala tertentu, diijinkan oleh pemilik ulayat untuk memakai sumber daya di kawasan ulayat miliknya: bisa berladang, berburu, mengambil kayu, atau lainnya sepanjang untuk kebutuhan sendiri. Biasanya konsep ini ditekankan pada sifatnya yang lebih menetap seperti ‘berkebun’ maka dalam hal ini si penumpang hanya punya hak memakai dan memiliki tanaman tumbuh yang ia tanam, bukan memiliki lahannya. Pihak tersebut hanya memiliki hak pakai dan tidak diperbolehkan untuk mengalihkan atau menjual ke pihak lain. Bisa juga konsep makan bersama ini muncul akibat konsekuensi sebuah perkawinan antar marga. Di kalangan marga setempat pernikahan mengacu pada konsep patrilineal dimana pihak perempuan ikut kepada pihak laki-laki/ Dengan demikian pihak perempuan hanya memiliki hak pakai terhadap sumber daya ulayat pihak laki-laki, atausebaliknya, pihak laki-laki bersangkutan juga hanya memiliki hak pakai saja terhadap sumber daya ulayat pihak perempuan. Konsekuensi perkawinan lintas marga tersebut kemudian menimbulkan konsep ‘makan bersama’ antar kedua marga bersangkutan Konsep makan bersama ini kadang menjadi masalah dalam persoalan menyangkut bagi hasil dari sebuah pelepasan ulayat marga tertentu kepada pihak lain. Saling tumpang tindih klaim ulayat terjadi di realitas lapangan dan ditenggarai oleh beberapa informan oleh sebab munculnya wacana ‘makan bersama. Khusunya ketika event makan bersama antar marga tersebut berlangsung melintasi waktu yang jauh ke masa lalu, dan para saksi sejarah sudah tidak lagi hidup di masa kini. Ini persoalan yang kemudian terjadi dalam konteks pelepasan hak ulayat antara marga sekitar dengan pihak PT, HIP.
44 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 13. Penguasaan Sumber Daya Alam dan Perubahan Sosial di Klamono
Berikut adalah kronologi penguasaan sumber daya alam di sekitar lokasi beroperasinya HIP oleh pihak luar dari sejak jaman kolonial Belanda, Pemerintahan Orde Baru, sampai ke masa Reformasi/Otsus. Pada setiap struktur penguasaan tersebut terdapat motif dan sifat tertentu yang mempengaruhi kehidupan penduduk pribumi dalam hal ini marga-marga yang menguasai kawasan tersebut. Berdasarkan keterangan beberapa informan, maka jauh sebelum struktur penguasaan tersebut datang, penduduk pribumi hidup berpencar mempraktekkan gaya hidup foraging --paduan perburuan binatang (darat dan sungai), meramu sagu (memangkur), dan membuka kebun secara sederhana. Mereka tinggal bersama keluarga inti, berpencar jauh dengan keluarga inti lainnya. Hutan dalam persepsi penduduk pribumi adalah ‘dapur’ yang menjadi sandaran kehidupan dan ekspresi kultural dan religius. Kedatangan pihakpihak luar yang berkepentingan dengan penguasaan sumber daya alam tersebut kemudian merombak gaya hidup lama dan mentransformasikan nilai-nilai baru, yang mendorong perubahan struktur dan sosial. Lebih jauh, orientasi subsistensi dan cara bertukar (barter) juga berubah menjadi komersial dengan sistem ekonomi uang.
Masa Kolonial Belanda Beberapa informan mengenang masa sebelum ditemukannya minyak di distrik Klamono/Klafete oleh pihak kolonial Belanda dengan zaman kafir. Lalu setelah Belanda menemukan minyak berdasarkan survey pencarian minyak (1939) dan memulai beroperasinya eksplorasi (1948) yang dilakukan perusahaan minyak Belanda – Nederland New Guinea Petroleum Maskapij (NNGPM) maka dimulailah intervensi pihak luar untuk pertama kalinya kehadapan kehidupan alamiah penduduk pribumi. Menurut informan dari marga-marga di Kampung Maladofok, Distrik Sayosa penduduk kala itu, yang hidup berpencar, mulai dipusatkan ke dalam sebuah struktur kampung, lalu sekaligus diangkatlah pemimpin kampung. Bersamaan dengan itu penduduk dikenalkan agama Kristen oleh misionaris yang datang bersamaan aparatus kolonial. Orang-oramg tua dulu menyebut masa tersebut dengan jaman kafir,“Ya karena sebelum Belanda datang kami ini belum memiliki agama, dan hidup berpencar saling berjauhan satu sama lain” Tutur seorang informan dari marga Marin Gofok di Kampung Klawana, Distrik Klamono. Keterangan selanjutnya menyebutkan bahwa mulailah dikenal dengan istilah ‘Marga’ Muncul kampung-kampung hasil mobilisasi penduduk yang hidup berpencar. Menurut keterangan salah seorang informan Kampung ‘Maladuk’ (Klamono I) serta kampung Maladofok adalah
45 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
kampung yang pembentukannya dipengaruhi kedatangan Belanda saat menemukan minyak di kawasan tersebut. Pemusatan konsentrasi penduduk tersebut patut diduga oleh kebutuhan tenaga kerja pengelola tambang minyak Belanda saat itu. Karena berdasarkan keterangan informan yang menurutnya didapat dari orang tua dulu, sebagian penduduk yang tidak terserap kerja di perusahaan minyak tersebut, kemudian menetap di tepi-tepi Sungai Klasafet. Informasi lain tentang bagaimana ‘marga; dibentuk muncul dari keterangan bapak Osok di SP 1. Menurutnya marga-marga di sekitar Sorong adalah bagian dari struktur besar dari Suku Malamoi (Moi) yang dibentuk oleh pemerintahan Belanda. Merujuk pada arti Moi sendiri dalam bahasa Belanda maka artinya bagus, baik, atau indah. Dipadankan kemudian makna tersebut oleh informan dengan ciri umum atau karakter Orang Moi yang katanya orangnya baik, tidak mencurigai orang luar, tidak pernah ikut campur urusan orang, dan ramah terhadap siapapun. “Bapak bisa buktikan, kalau ada itu kerusuhan di kota Sorong, pasti bukan dilakukan Orang Moi” Tutur seorang informan. Suku Malamoi menurut bapak Osok terdiri lima bagian : Moi Klabra, Moi Madik, Moi Karong, Moi Morait, dan Moi Toh (Asli). Menurutnya Moi Toh dalam struktur tersebut dianggap Moi paling tua/sulung dan termasuk kedalam Moi Toh ini adalah marga-marga yang eksis di sekitar perkebunan sawit PT. HIP sekarang (Idik, Mamarin Gofok, Osok, Klawon,Fadan, Malak, Gisim, Galus, Klin, Ulimpa, Yempolo dll). Pada tingkat marga sendiri maka orang paling tertua atau sulung adalah pihak yang dianggap pemimpin, meskipun keputusan apapaun selalu berdasarkan kesepakatan mayoritas semua anggota Marga. Dulu pemimpin kampung disebut dengan Kawut namun ketika mulai diterapkan sistem pemerintahan desa pemimpin tradisional tidak difungsikan lagi, dan digantikan oleh kepala kampung/desa. Meskipun secara faktual maka di dapat beberapa kasus bahwa kepala kampung juga dijabat oleh pemimpin Marga.
Pemerintahan Indonesia dari Orde Baru ke Orde Reformasi Strategi penguasaan sumber daya alam yang dilakukan pemerintah Indonesia tak jauh berbeda dengan yang dilakukan kolonial Belanda; eksplotasi sumber daya alam disertai cara-cara mobilisasi tenaga kerja dengan memusatkan penduduk ke permukiman baru. Perbedaannya selain tidak adanya pemberian agama, juga pada sifatnya terhadap perubahan lansekap hutan. Jika pada masa kolonial Belanda lanskap hutan tidak terlalu berubah karena sifat pengeboran minyak yang tidak membutuhkan lahan luas, maka di masa pemerintahan Indonesia dengan ‘pembangunannya’ telah merubah lansekap hutan karena sifat dari penguasaan teritorinya telah mengambil lahan luas hutan ulayat setempat. Lewat serangkaian pembangunan yang terjadi di sekitar kawasan PT. HIP tersebut – Permina/Pertamina, HPH PT. Intim 46 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Pura, Transmigrasi lokal dan nasional, serta Perkebunan sawit PT HIP – yang secara langsung berdampak pada perubahan lansekap hutan dan mendorong terjadinya perubahan formasi etnik (lewat kedatangan penduduk pendatang trans ) yang berpengaruh kepada kehidupan penduduk pribumi sekitar. Pada
sekitar
tahun
1960-1999
pemerintahan
Orde
Baru
dengan
serangkainnya
pembangunannya mulai melakukan berbagai eksploitasi sumber daya alam di sekitar kawasan PT HIP. Di mulai dengan pengambil alihan pengelolaan minyak Belanda ke tangan Permina lalu kemudian menjadi Pertamina (sekitar tahun 1960-an) yang beroperasi hingga sekarang dan mulai membuka sumur-sumur baru di lokasi lain di sekitar kawasan. Berdasarkan keterangan informan dalam masa tersebut beberapa penduduk direlokasi ke tempat baru, dan dengan cara represif menggunakan kekuatan militer. Setelah itu masuk proyek relokasi pemukiman penduduk pribumi dalam skema Transmigrasi Lokal (1984-an), Pada saat tersebut penduduk pribumi yang mendiami tepi-tepi Sungai Klasafet, yang dulu tidak terserap dalam kerja perusahaan minyak Belanda, ditarik ke pemukiman baru lewat proyek Transmigrasi Lokal. Pemukiman baru tersebut berjarak ± 500 meter dari pemukiman lama mereka yang dibangun di tepi-tepi jalan yang dilakukan bersamaan dengan masuknya kegiatan ABRI Masuk Desa (AMD), sehingga terbentuklah kampung baru bernama Klamono (Klamono II).”Rumah mereka di tepi sungai itu dulu gubuk mas, tidak teratur, kotor, dan setelah translok (Transmigrasi Lokal) mereka mendapat rumah baru yang bisa dibilang lebih layak dari yang mereka huni di tepi sungai tersebut” Ujar seorang informan. Kemudian pada pertengahan tahun 1990-an masuk perusahaan HPH PT.Intimpura yang mengeksploitasi kayu di sekitar kawasan dengan mengantongi ijin dari pemerintah lewat HPH. Aktivitas PT Intim Pura berdasarkan keterangan informan mengambil kawasan ulayat marga sekitar, namun tidak didapat keterangan bagaimana mekanisme pelepasan tanah ulayat tersebut. Seorang informan mengatakan bahwa pada saat itu tidak muncul gejolak konflik karena situasi politik pada saat itu masih dipegang presiden Suharto yang menggunakan cara-cara paksa lewat militer untuk memuluskan proses pelepasan ulayat tersebut. Sementara menurut keterangan informan dari penduduk pribumi HPH tidak terlalu memunculkan konflik karena marga pemilik ulayat masih mendapat bagian 50% dari seluruh kayu yang ditebang PT Intim Pura, juga penduduk sekitar terlibat dalam kerja dan mendapat penghasilan dari mekanisme produksinya. Pembagian hasil 50% kepada Marga kemudian dibagi lagi ke semua anggota Marga pemilik ulayat. Sambil melakukan kerja kayu di hutan penduduk juga masih bisa berburu atau memasang jerat pada saat luang. Lingkungan kerja tidak terlalu menjauhkan warga (pekerja) dengan kebiasaan lamanya, demikian penuturan seorang informan dari Marga Osok. 47 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Sementara alasan lain juga muncul, yakni berkenaan dengan sifat HPH yang hanya mengambil kayu diatas lahan (bukan mengambil lahan). Menurut informan dari Marga Osok, yang melepas lahan ulayatnya ke HPH PT. Intim Pura, pelepasan yang dilakukan oleh marganya tidak melanggar prinsipprinsip pengaturan ulayat yang melarang lahan dilepas/dijual secara penuh kepada pihak lain (karena milik bersama anggota marga). Pelepasannya ke HPH PT. Intim Pura diakui oleh informan hanya sekedar tanam tumbuh diatasnya bukan lahannya. Sementara alasan lainnya muncul berkenaan dengan tatanan kehidupan alamiah penduduk pribumi yang tidak begitu terusik oleh aktivitas HPH. Dianggap tidak terlampau mengusik kehidupan alamiah penduduk pribumi karena PT. Intim Pura melakukan mekanisme ‘tebang pilih’ bukan ‘tebang habis’ dan hal itu dianggap tidak terlalu mengganggu keberadaan binatang dan tumbuhan yang menjadi sandaran subsistensi. “Sehabis ditebang nanti muncul semak, nanti juga muncul binatang, tidak ada habis itu binatang buruan” kata informan tersebut. Di Maladofok juga tanggapan terhadap HPH PT. Intim Pura amat posisitif karena selain telah ‘membangun’ kampung dengan berbagai fasilitas (rumah, balai pertemuan, jalan dsb) juga aktivitasnya menguntungkan penduduk. “Intim Pura itu bikin kami punya uang, kayu yang mereka tebang dibagi dengan pemilik ulayat, dan nilai tiap jenis kayu juga dia kasih harga sesuai kelas-nya, tidak waktu ini sawit datang, kayu kami di kasih harga seragam, semua kayu itu disesuaikan PERDA kata mereka, dan semua harganya sama, bagaimana itu?” Ujarnya. Tahun1997 masuk lagi proyek transmigrasi nasional yang mendatangkan penduduk pendatang asal Jawa, Timor, sunda, batak, dan lainnya, Mereka mendiami kawasan ulayat marga setempat di lima Satuan Pemukiman (SP) 1/2/3/4/5. Kondisi sekarang ini sebagian SP tersebut masih berdiri di sekitar kawasan tersebut, kecuali SP 4 yang sebagian besar penghuninya meninggalkan lokasi karena alasan buruknya sarana jalan yang membuat hasil pertanian tidak bisa dipasarkan.
Masa Reformasi dan Otonomi Khusus Pada tahun 2004 berdiri perusahan sawit PT. HIP yang mengambil lahan bekas HPH PT. Intim Pura yang telah berhenti beroperasi sejak tahun 2000. Keberadaannya kemudian disertai pelepasan hak ulayat beberapa marga dari kelompok suku Mooi To yang hidup di sekitar kawasan yang meliputi tiga distrik: Klamono, Sayosa, dan Klayili, Aktivitas pembukaan lahan sawit tersebut disertai relokasi atau pemindahan (pemekaran) beberapa kelompok marga ke tempat baru. Marga Gisim dan Malak yang dulu menetap di sekitar Klamono/Klawana berpindah ke lokasi konsesi yang ditampung di barak bernama divisi 6 yang disertai pemberian mekanisme sawit ‘plasma’ kepadanya. Sementara marga Gilik dan Klasidin direlokasi ke tempat baru bernama Malalilis yang juga diberikan sawit plasma. Realisasi 48 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
pemberian sawit plasma tersebut belum diwujudkan perusahaan dan untuk member mereka penghasilan maka perusahaan member mereka gaji tetap untuk mengerjakan pekerjaan perawatan sawit inti yang telah ditanam oleh perusahaan. Relokasi marga tersebut ditanggapi oleh marga lainnya dengan sikap hati-hati, karena mereka belum merasa yakin tentang masa depan mereka, Pilihan Marga Gisim (Darat)) yang pindah ke divisi 6 oleh marga lain ibarat ‘kelinci percobaan’ yang sedang dipantau dan diamati hasilnya, Bila berhasil dan terbukti marga Gisim mampu memperbaiki kehidupannya maka skema plasma tentu akan diikuti oleh marga lainnya, namun jika gagal maka tawaran tersebut sudah tentu akan ditolak. Kasus pemalangan jalan oleh Marga Gisim yang direlokasi di divisi 6 karena persoalan ketidak puasan terhadap ‘pelayanan’ perusahaan pada akhir-akhir ini sepertinya menjadi pembenaran pihak yang ragu akan skema plasma tersebut. Perkebunan sawit yang belum berproduksi karena belum rampungnya pabrik pengolahan hasil panenan sawit membuat keuntungan yang dijanjikan belum nampak terbukti dimata Marga yang lain. Sementara gaji atau upah yang selama ini diterima warga yang terlibat di perkebunan sawit oleh beberapa pihak dipandang tidak mencukupi, “bayangkan mas, gaji mereka sekitar 1,4 juta bagi yang tetap, atau sekitar 30 ribu perharinya, mana cukup? Belum kondisi panas di kebun sawit, itu bikin kami tidak tertarik” Tutur seorang informan dari Marga Marin Gofok. Ditambahkan oleh informan tersebut bila mereka ikut kerja di tempat lain, misalnya di proyek bangunan, maka gajinya lebih besar, meskipun pekerjaan itu tidak selalu ada, :kerja di proyek kita bisa dapat 70 ribu per hari” Ujarnya lagi, Proses pelepasan yang terjadi, terlepas dari kesepakatan dengan dengan marga pemilik ulayat, di konteks HIP juga terdapat sedikit tekanan kepada pihak pemilik ulayat. Seoramg informan dari Maladofok mengatakan bahwa ketika kesepakatan pelepasan dilakukan maka pihak perusahaan dengan pemerintah setempat menyebut bahwa dibukanya sawit demi pembangunan dan kesejahteraan, dan alasan itu tak mungkin ditolak. “karena itu tadi, waktu kami bikin kesepakatan di sebuah hotel, pemerintah dengan perusahaan menyebut ini demi pembangunan dan kesejahteraan, mana bisa kami tolak bapak, padahal kami belum paham sekali bagaimana itu kerjanya” demikian tuturannya.
49 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 14. Pelanggaran Hak ulayat Hak ulayat bersifat komunal, dimiliki, dikuasai, dan dimanfaatkan bersama oleh seluruh anggota marga dan bisa diakses oleh marga lain. Peralihan hak kepemilikana melalui pewarisan meskipun tidak untuk dimiliki secara individual. Masyarakat tidak mengenal peralihan hak kepemilikan kepada pihak luar (menjual). Namun seiring berjalannya waktu, perubahan disekitar warga, kontak-kontak budaya, masuknya ekonomi uang, percepatan pembangunan di sekitar wilayah ulayat – membuat masyarakat kini mulai mengenal dan dintroduksikan dengan Sertifikat Hak Milik Tanah Pribadi di atas tanah ulayat yang bersifat komunal, yang ditenggarai sebagai bentuk legalitas formal. Dalam konteks masa sekarang, di wilayah kajian, perubahan mengenai status legal tanah privat diatas tanah komunal, maka terdapat kasus berikut. Pertama adalah terdapatnya fenomena pelepasan tanah yang merupakan upaya pengakuan dari pihak pembeli kepada marga pemilik ulayat atas hak milik mereka. Pelepasan ini dikenal juga dengan istilah ‘sirih pinang’ dan biasanya pada tahap ini disertai dengan uang pembayaran. Tahap kedua adalah pelepasan ini akan disahkan oleh Lembaga Masyarakat Adat (LMA) sebelum akhirnya pada tahap terakhir pengesahan dilakukan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) dengan dikeluarkan produk akhir berupa sertifikat hak milik pada pemilik yang baru. Pada semua tahapan biasanya diikuti ongkos-ongkos yang menyertainya. Sedangkan untuk besaran dan mekanisme pembayaran tidak selalu sesuai berdasarkan tahapan melainkan dilakukan sesuai kesepakatan diawal. Pelepasan tanah masih menggunakan tata cara atau aturan adat yang berlaku, yaitu pertama membayar uang pelepasan atau uang ‘sirih pinang’ untuk melaksanakan upacara adat20 baru kemudian baru disusul dengan pembayaran ganti rugi (substansi nilai tanah) yang penetapannya dilakukan dengan cara musyawarah. Pada marga-marga yang terdapat di wilayah kajian ini tidak ada pemimpin yang mewakili marga, semua anggota marga memiliki hak di sini dan harus dilibatkan dalam suatu masalah dan keputusan. Mekanisme yang umum ditempuh adalah melalui musyawarah marga, yang hasilnya disampaikan oleh juru bicaranya. Biasanya jurubicara adalah kakak tertua atau orang-orang tertentu yang memiliki kemampuan berbicara dan negosiasi. Bagi pendatang yang pernah membeli tanah dari pemilik marga, sistem sertifikasi jauh lebih membantu mereka mendapatkan kepastian hukum. Selama ini untuk urusan legalitas peralihan hak milik dibantu oleh LMA yang dilegitimasi oleh pemerintah untuk mengurusi urusan administrasi terkait ulayat ini. Seorang informan pendatang yang ditemui mengatakan sertifikasi cukup membantunya 20
Pembeli tanah dari luar pendatang selama ini menyebut pembayaran ini sebagai uang muka
50 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
antara lain seperti yang dituturkan oleh sorang mantri kesehatan di Kampung Klawana,: “Sekarang enak. Lebih jelas. Sertifikat tanah harus disertai surat pelepasan dari pemilikk ulayat yang di stempel LMA maka syah sertifikat kita. Tanpa disertai surat pelepasan yang di stempel LMA sertifikat kita tidak syah” Kasus jual beli ulayat lain yang pernah ada juga terjadi antara Marga Osok dan Fadan yang ‘resmi menjual’ tanah ulayat-nya kepada PEMDA Sorong. Kedua marga mendapatkan uang ganti rugi setelah memenangkan tuntutan ganti rugi tanah ulayat mereka yang dipakai untuk daerah transmigrasi. Kasus lain juga terjadi pada marga Klawom telah ‘menjual putus’ tanah ulayatnya untuk dipergunakan sebagai kebun kelapa sawit PT. HIP.
Pelanggaran atas Kesepakatan. Dalam kebiasaan adat suku moi khususnya marga-marga di daerah kajian, transaksi telah menjadi bagian penting yang diikuti oleh proses negosiasi. Bahkan tidak hanya dalam konteks perdagangan negosiasi dilakukan juga dalam konteks denda adat. Kesepakatan dianggap juga sebagai perjanjian yang harus dipenuhi, jika tidak dipenuhi maka akan ada konsekuensi yang mengikutinya yaitu denda. Sehingga dalam suatu perkara pelanggaran adat atau perjanjian pembayaran denda harus dilihat sebagai komponen yang berbeda dengan substansi tuntutan. Sebagai contoh kasus seorang laki-laki yang telat membayar cicilan mas kawin kepada keluarga perempuan (mertua) maka pembayaran cicilan tetap harus dilakukan ditambah dengan denda karena telat membayar. Pada kasus tuntutan akan diajukan, biasanya masyarakat setempat mengekspresikannya melalui pemalangan-pemalangan. Pemalangan, biasanya menggunakan bambu tui, adalah simbol perdamaian yang mengkomunikasikan tuntutan atas pelanggaran perjanjian yang terjadi. Sehingga jika hal ini terjadi tahapan yang harus dilalui adalah pembayaran membuka palang terlebih dahulu yang berbeda dengan subtansi tuntutan itu sendiri. Penetapan besaran pembayaran pembukaan palang tetap melalui proses negosisasi.
Konflik pemanfaatan lahan. Beberapa konflik pernah terjadi terkait dengan pemanfaatan dan status lahan ulayat. Biasanya konflik-konflik tersebut karena persoalan batas wilayah dan klaim lahan. Beberapa kasus konflik yang pernah terjadi antara lain marga Mamaringofok dengan marga Osok. Kasus ini mempersoalkan klaim kepemilikan lahan transmigrasi local (translok) yang semula dinyatakan oleh marga Osok sebagai miliknya. Pada saat itu kepala desa di desa Klamono dikepalai oleh seorang dari marga Osok. Kemudian marga Mamaringofok datang mengklaim tanah translok adalah masih termasuk wilayah ulayat 51 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
marganya. Hasil akhirnya marga Osok kalah di pengadilan dan tanah dimiliki oleh Mamaringofok. Akibat dari keputusan ini beberapa rumah tangga di translok harus membayar uang pelepasan lagi kepada pemenang klaim yang baru, padahal sebelumnya mereka telah membayar uang pelepasan kepada marga Osok. Konflik lahan lain adalah masalah batas ulayat yang diklaim antara marga Mamaringofok dengan marga Idik pada kasus penggunaan lahan untuk perkebunan sawit PT HIP. Menurut beberapa pihak yang ditemui, kasus antara kedua marga terjadi karena beberapa sebab, yang pertama karena keterputusan sejarah antar generasi sehingga tidak lagi diketahui dengan pasti batas-batas ulayat masing-masing marga. Kedua, permasalahan bertambah panjang karena adanya pertemuan-pertemuan ekslusif dari perusahaan ke masing-masing marga yang menyebabkan kecurigaan dari marga lainnya. Selama ini dalam penyelesaian sengketa lahan antar marga, beberapa pihak telah membantu untuk menyelesaikan seperti kepala desa, distrik dan juga lembaga adat malalmoy. Hingga kini kasus sengketa lahan dianggap selesai dengan mengacu pada wilayah-wilayah yang memang dimanfaatkan secara bersama antar kedua marga melalui pranata makan bersama. Memang dalam sejarahnya, menurut beberapa warga, kedua marga ini pernah menjalin hubungan lewat makan bersama. Sehingga diduga pula permasalahan klaim lahan antar kedua marga masih terkait pada wilayah-wilayah makan bersama pendahulu mereka sehingga tidak lagi jelas kepemilikannya. Ada referensi tertulis yang juga mencatat lahan kedua marga juga pernah dimanfaatkan sejak tahun 1930an untuk eksplorasi minyak dan gas oleh pihak Belanda.
Ingatan Kolektif (komunal) vs Sertifikasi Formal Atas Lahan Ulayat (Privat) Seperti sudah di singgung, mengenai sifat penguasaan kawasan ulayat, yang ditandai oleh marga dengan batas alam melalui ingatan kolektif. Maka terdapat kelemahan dalam intepretasi anggota pemilik ulayat ketika hal tersebut dituturkan secara lisan dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Ada kemungkinan terjadi reduksi atau kekaburan atas batasan tersebut karena setiap pencerita dan penerima cerita memiliki keterbatasan-keterbatasan dalam menangkap secara utuh batasan tersebut. Atau terjadi perubahan-perubahan fisik alam itu sendiri, yang membuat batas menjadi ‘kabur’ atau ‘hilang’ atau berubah yang mebuat batasan ulayat sulit dikenali. Dipihak lain, maka pelepasan hak ulayat dalam persepsi formal, seperti yang disyaratkan dalam persoalan pelepasan ulayat untuk perkebunan sawit, menginginkan batas tersebut bisa dijustifikasi dan diklarifikasi secara tegas dan jelas lewat surat sertifikasi orang per orang. Persoalannya adalah: bagaimana individu-individu tersebut menandai setiap batasan hak ulayat komunal mereka dalam 52 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
memori mereka? Bagaimana individu dalam intra membagi petak demi petak yang menjadi ulayat mereka? Bagaimana dengan keberadaan pihak lain yang mungkin merasa memiliki ‘tanam tumbuh’ diatas ulayat tersebut karena konsekuensi makan bersama? Bagaimana komunalitas dari sifat hak ulayat bisa diselaraskan dengan kepemilikan privat atas lahan? Ini adalah serangkaian pertanyaan yang perlu dicermati lebih jauh untuk memahami dinamika agraria di wilayah sekitar PT HIP.
Proses Pelepasan Ulayat Versi Marga Galus di Maladofok Seorang Informan dari Marga Fadan dan Galus menyebutkan bahwa dalam proses pelepasan ulayat marga kepada PT HIP dalam prosesnya tidak memberi ruang untuk bernegosiasi. Seorang informan dari Maladofok mengatakan bahwa dirinya merasa sungkan dan tidak berani mengkritisi kesepakatan pelepasan mengingat dirinya berada di tempat yang tidak menyamankan dirinya. :bayangkan bapak waktu itu kami diinapkan di hotel, ada tentara dan pihak pemerintah, yang mengatakan bahwa tujuan sawit itu untuk pembangunan dan kesejahteraan, bagaimana kami bisa tidak setuju?” ujarnya. Sementara informan dari marga fadan mengatakan bahwa pada proses pelepasan itu tidak memfasilitasi semua suara anggota marga, karena pada akhirnya lobby-lobby dilakukan oleh individu-individu dan dianggap oleh perusahaan merupakan representasi suara marga. “Seharusnya perusahaan itu selidik, siapa itu orangnya yang mengaku dari marga, kan belum tentu itu orang disetujui marganya” tuturnya.
Skema Kebun Plasma dan Perspektif Warga Menurut salah seorang informan marga yang melepas ulayatnya untuk dibuka sawit plasma, maka beberapa hal mengenai aturan plasma tersebut tidak masuk di akalnya. Salah seorang informan dari marga yang melepas tanah ulayat seluas 5000 hektar yang akan dikonpensasi dengan 28 hektar sawit plasma yang menjadi miliknya, maka hal tersebut menurut beliau tidak masuk di akal seluruh anggota marganya. Menurutnya yang diserahkan kepada perusahaan adalah lahan milik marganya, lalu kenapa kemudian ‘janji kesejahteraan’ tidak segera diwujudkan atau tidak dipenuhi, padahal katanya perusahaan dapat ‘inti’ seluas 4952 hektar (dikurang 48 hektar sawit plasma buat marga penyerah ulayat). “itu tanah-tanah kami, kami dapat hanya 28 hektar plasma (dari 5000 hektar yang dilepas), wajar kami minta janji (kesejahteraan dan rumah) mereka penuhi, itu tanah kami, kami tidak meminta mereka datang kemari”, tuturnya. Beberapa keheranan juga muncul atas konsekuensi utang dari adanya sawit plasma, menurut mereka justru perusahaan yang dapat untung lebih banyak atas lahan yang mereka lepas, lalu kenapa mereka kemudian akan dikenai utang atas sawit plasma yang akan mereka 53 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
terima,”coba dari 5000 yang kami lepas, kami hanya dapat 48 hektar plasma, kemana sisanya, perusahaan dapat inti, dan itu tak mungkin kalau kami tidak beri mereka lahan”.
54 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Lampiran 15. Gaya Hidup Relung Berburu Meramu dan Perkebunan Sawit
Dalam tradisi berburu dan meramu yang dipadukan dengan pertanian sederhana dengan membuka kebun, waktu kerja itu tidak didasarkan pada jam abstraks (jarum jam) seperti pengaturan hari kerja di perusahaan. Bagi mereka waktu kerja itu, saat berangkat ke kebun, ke hutan untuk berburu, atau hendak menokok sagu, maka waktu yang mereka pakai adalah waktu yang didasarkan pada ‘kedaulatan’ diri mereka atau menyesuaikan dengan kondisi alam. Dibahasakan oleh mereka dengan mengatakan bahwa kapan mereka berangkat atau kapan mereka menyelesaikan (menganggap selesai suatu kerja) adalah kehendak sendiri atau oleh sebab-sebab dari faktor alam. “kalau kami mengantuk kami tidak ke kebun, hujan seharian kami tidak kerja pula seharian, kalau kami cape berhentilah kami kerja” Tuturnya. Anggapan mereka bila kerja di sawitan maka kehendaknya dan kebebasan tersebut mungkin sulit lagi mereka dapat. “Itu saya lihat mereka yang kerja di sawit, harus kerja dari jam segini, pulang jam segini, diatur perusahaan, buat kami itu tidak cocok,” Ujarnya. Juga mengenai cara-cara mengolah sawit, kata beberapa informan amat berbeda dengan cara mereka menanam di kebun, “Di kebun itu, kami tanam, terus kami tinggalkan itu tanaman tumbuh, dan kami bisa bisa mengerjakan yang lain, urusan kami kan banyak” tuturnya lagi. Menurut mereka, berdasarkan informasi selintas yang mereka dapatkan, sawit tidak akan tumbuh kalau tidak dirawat dengan rajin,” butuh waktu lama untuk bisa terbiasa, dan itu pula bapak, di kebun sawit panas sekali, kami pernah itu jalan ke sana, sebentar saja sudah berasap itu kepala, panas bapak” Seperti tuturan kepala Marga Gisim (Yerry Gisim) tanah Ulayat yang mereka serahkan kepada PT HIP seluas 5000 Hektar. Dari keseluruhan penyerahan lahan tersebut PT HIP akan memberikan 28 hektar lahan sawit plasma kepada marganya. Atas kesepakatan serah terima tersebut maka Marga Gisim Darat dijanjikan dibangunkan rumah permanen yang akan diberikan dalam jangka waktu tertentu, dan sebelum rumah tersebut dibangun maka semua kepala keluarga dari marga Gisim darta saat ini tinggal di Barak yang berada di lokasi kebun di area divisi enam. Ada beberapa persoalan yang muncul menyangkut perjanjian penyerahan lahan ulayat kepada PT HIP : Pertama adalah menyangkut jenis perumahan dan juimlah rumah yang dibangun. Gisim Darat meminta rumah tersebut adalah jenis permanen, sementara PT HIP hanya akan membangun rumah dari bahan kayu. Lalu menyangkut jumlah rumah yang akan dibangun maka Gisim darat meminta semua kepala keluarga dari Marga Gisim Darat (15 KK) harus mendapatkan rumah sementara PT HIP hanya akan membangunkan rumah untuk 4 KK saja.
55 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012
Ke dua menyangkut keadaan barak tempat tinggal warga Gisim, yang menurut informan kondisinya amat tidak nyaman; barak yang saling berdempet dan sempit. Kondisi tersebut membuat privacy-nya amat terganggu karena kegaduhan di sekitar. Menyangkut sempitnya ruang di tiap barak membuat satu keluarga harus membagi ruang tamu menjadi ruang tidur.
56 Asesmen sosial..., Semiarto A. Purwanto, FISIP UI, 2012