banding.pta-palembang.net
Asas Penemuan Hukum Kontribusi Dari Mr.Kswi Tuesday, 29 May 2012 Pemutakhiran Terakhir Wednesday, 30 May 2012
ASAS-ASAS  PENEMUAN HUKUM DAN PENCIPTAAN HUKUM OLEH HAKIM DALAM PROSES PERADILAN[1] --------------------------------------------------------------------------------------- H.A.Mukhsin Asyrof·  Pendahuluan            Meskipun sejak kelahirannya Negara Kesatuan Republik Indonesia mendakwakan dirinya sebagai negara hukum (rechsstaat/Rule of Law) bukan negara kekuasaan (machtsstaat) sebagaimana dinyatakan dalam Undang- Undang Dasar Tahun 1945, tetapi dalam praktek kenegaraan, hukum belum pernah dinyatakan sebagai panglima, bahkan hukum sering kali dipinggirkan.                Pada era Orde Lama, misalnya,  politik   yang dijadikan seb stabilitas sebagai ukuran, sedangkan penegakan dan pembangunan hukum dipinggirkan. Namun meskipun mempunyai kesempatan lebih seperempat abad, ujungnya bukan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat yang didapat, tetapi tragedi nasional Lubangbuaya. Orde Lama pun tumbang. [1] Dimuat dalam Majalah Varia Peradilan No. 252/ November 2006, IKAHI, Jakarta, hal. 73 - 86. Berasal dari makalah yang diajukan dalam rangka mengikuti tes calon Hakim Agung dihdapan Komosi Yudisial Tahun 2006. · Ketua Pengadilan Tinggi Agama Palembang.  Disampaikan ulang dalam acara Bimbingan Tehnis Penyusunan Putusan Perkara, di Lingkungan Pwngaditan Tinggi Agama Palembang tanggal 6- 8 Maret 2012. Ketika Orde Baru bangkit, dengan pembangunan ekonomi sebagai panglima, filsafat pragmatisme sebagai lampu penerang, stabilitas sebagai tolok ukur,   pembangunan hukum tetap bukan skala prioritas. Produk undang-undang, hanyalah sekedar legitimasi kekuasaan semata. Hanya kulit, bukan isi. Meski sudah diamalkan selama lebih dari tiga puluh tahun, tetapi yang diraih justru krisis ekonomi yang dimulai dengan krisis moneter. Orde Baru pun ambruk dengan meninggalkan hutang yang lumayan besar.                Mengambil pengalaman dari sejarah masa lalu ters reformasi ini, para pakar, para pemimpin politik mulai menyadari pentingnya pembangunan dan penegakan hukum. Orang mulai menegaskan kembali bahwa identitas Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah negara hokum (rechsstaat/ Rule of Law), bukan negara kekuasaan (machtsstaat)[1].                Menurut hasil konferen Commission of Jurists di Bangkok pada tahun 1965, sebagaimana dikutip dalam buku Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman (1999: 2) dinyatakan ada enam  syarat  dasar yang harus ada untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah Rule of Law, yakni:   (1)   Perlindungan Konstitusional. (2)   Badan Peradilan yang bebas da tidak memihak. (3)   Pemilihan Umum yang bebas. (4)   Kebebasan menyatakan pendapat. (5)   Kebebasan berserikat/ berorganisasi dan beroposisi. (6)   Pendidikan kewarganegaraan. Masyarakat menyadari bahwa kekuasaan kehakiman (judikatif)  yang merdeka (independent) merupakan salah satu obyek mendasar yang perlu dipulihkan atau ditegakkan kembali. Kekuasaan kehakiman yang merdeka merupakan salah satu pilar untuk memulihkan demokrasi dan negara berdasarkan atas hukum (Bagir Manan, 2005: 12). Kesadaran tersebut tertuang dalam Amandemen UUD Tahun 1945 yang semula sangat disakralkan. Pasal-pasal tentang kekuasaan kehakiman yang semula cuma dua pasal  (Pasal 24 dengan dua ayat dan Pasal 25) di mekarkan menjadi 5 pasal dengan 18 ayat, yakni, Pasal 24, Pasal 24 A, Pasal 24 B dan Pasal 24 C serta Pasal 25. Selain dalam Amandemen UUD, kesadaran tersebut juga dituangkan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 yang merubah UU.No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai hasil perubahan terhadap UU.No. 14 Tahun 1970 serta  UU.No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang diubah dengan Undang- Undang No. 5 Tahun 2004, dan kemudian diubah lagi dengan Undang_Undang Nomor 3 Tahun 2009.  Secara struktural, kehendak menciptakan kemandirian kekuasaan kehakiman (independence of judiciary) diwujudkan dalam bentuk penerapan sistem satu atap (one roof system) dimana masalah organisasi, administrasi dan finansial empat lingkungan badan peradilan yang ada semuanya diserahkan kepada Mahkamah Agung sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 UU.No. 48 Tahun 2009  tentang Kekuasaan Kehakiman, tidak lagi pada departemen (eksekutif).  Konstitusi menyebutkan bahwa salah satu pemegang kekuasaan kehakiman tertinggi adalah Mahkamah Agung disamping Mahkamah Konstitusi (Pasal 24 ayat (1) UUD jo Pasal 18 Pasal 20 ayat (1)  UU.No.48 Tahun 2009). Karenanya,  harapan orang kepada Mahkamah Agung, dengan empat lingkungan yang berada di bawahnya,  dalam upaya mewujudkan penegakan hukum yang adil dan bermartabat, sangatlah besar. Memang, pengadilan adalah muara terakhir semua upaya penegakan hukum. Sorotan, kritikan bahkan hujatan orang kepada dunia peradilan pada umumnya, Mahkamah Agung pada khususnya, yang marak akhir-akhir ini, adalah sisi negatif dari perhatian dan ekspektasi atau harapan besar masyarakat kepada dunia peradilan. Harapan tersebut memanglah layak, karena pengaruh putusan pengadilan pada umumnya, khususnya putusan Mahkamah Agung, adalah besar dan nyata dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan berbangsa bernegara.. Mengambil contoh Amerika, Satjipto Raharjo (2003: 234) mengatakan bahwa Amerika modern tidak akan menjadi seperti sekarang ini tanpa sumbangan substansial dari Supreme Court negara itu. Oliver Wendell Holmes dan Benyamin Cardozo adalah contoh dari hakim agung Amerika yang hebat-hebat yang telah turut membangun Amerika modern. Selanjutnya kata Satjipto (2003 : 235) dengan putusan-putusannya yang berani, Supreme Court tersebut pernah membuat putusan yang mengguncangkan dunia pada masa itu karena berani melampui batas kewenangannya sebagai badan peradilan sehingga dianggap telah melakukan pemerintahan oleh pengadilan (govern-ment by judiciary). Harapan kepada Mahkamah Agung berarti harapan kepada Hakim Agung pada khususnya, para Hakim dalam semua tingkatan pada umumnya, karena hakim adalah element utama suatu peradilan. Secara normatif administratif, tugas atau peran hakim adalah menerima dan mengadili perkara. Dalam proses mengadili, secara filosofis hakim memang bukan saja menerapkan hukum (rechtstoepassing), tetapi juga harus menemukan hukum (rechtsvinding) dan membentuk/menciptakan hukum (rechtsschepping). Dalam praktek, dunia peradilan kita mengenal adanya dua tahap peradilan yakni judex facti dan peradilan kasasi (judex jurist), sebagaimana tersirat dalam Pasal 23 dan Pasal 26 UU. No. 48 Tahun 2009. Karena itu http://www.banding.pta-palembang.net
Menggunakan Joomla!
Generated: 9 January, 2017, 18:19
banding.pta-palembang.net
ada hakim yang harus memeriksa  duduknya perkara, peristiwa-peristiwa konkret sehari-hari untuk dicarikan dan ditentukan hukumnya. Merekalah hakim di peradilan tingkat pertama dan tingkat banding sebagai judex facti.  Hakim Agung adalah hakim kasasi yang harus memeriksa apakah judex facti telah benar dalam penerapan hukum. Walaupun dunia peradilan Indonesia tidak menganut asas precedent (the binding force of precedent), namun bagaimanapun juga, putusan-putusan Hakim Agung sebagai hakim kasasi akan sangat mewarnai dan menggarami pembentukan dan penegakan hukum di negeri ini.               Hakim dan Penemuan Hukum            Para ah berbeda pendapat mengenai apakah hakim punya peran untuk menemukan hukum, yang kadangkala atau selalu berarti menyimpang dari undang-undang.                Menurut aliran klasik sebagaimana dianut Montesquieu dan Kant, seorang hakim dalam menerapkan undang-undang terhadap suatu peristiwa konkret yang dihadapinya, pada dasarnya tidaklah mandiri, karena dia sangat terikat oleh undang-undang. Dalam hal ini hakim hanyalah penyambung lidah atau corong dari undang-undang itu sendiri (bouche de la loi), karenanya tidak berhak menambah atau mengurangi kekuatan undang-undang. Menurut Charles Louis de Secondat Montesquieu, undang-undang adalah satu-satunya sumber hukum positif, oleh karena itu menurutnya, demi kepastian hukum, demi kesatuan hukum, dan demi perlindungan hukum bagi kebebasan warganegara dari ancaman kebebasan hakim, maka hakim harus berada dibawah dan tunduk terhadap undang-undang. Dengan demikian, pola pikir hakim dalam proses peradilan hanyalah berbentuk penalaran silogisme. Yakni menjadikan undang-undang sebagai premis mayor, peristiwa konkrit yang disodorkan kepadanya sebagai premis minor, lalu daripadanya hakim menarik kesimpulan. Aliran klasik ini sering juga disebut aliran legisme atau positivisme undang-undang.(Sudikno, 1996: 39- 41). Pandangan klasik yang kaku tersebut pernah dianut di Indonesia, atau lebih tepatnya lagi di Hindia Belanda, sebagaimana tertulis dalam Pasal 20 dan Pasal 21 Algemene Bepalingen van Wetgeving (AB), yang menyatakan:―Hakim harus mengadili menurut undang-undang―.[2] Sudah barang tentu aliran klasik itu kini telah banyak ditinggalkan orang. Misalnya mazhab/ aliran Begriffsjurisprudentz, berpendapat bahwa meskipun undang-undang itu tidak lengkap, tetapi undang-undang itu sendiri memiliki daya untuk memperluas pengertiannya sendiri. Kekurangan undang-undang tersebut dapat dilengkapi oleh hakim dengan penggunaan hukumhukum logika dan memperluas pegertian undang-undang berdasarkan rasio (Achmad Ali, 2002: 136-137). Dengan kata lain, menurut aliran ini, hakim berhak untuk melakukan penemuan hukum, karena hakim tidak perlu terikat pada bunyi undang-undang, tetapi dapat mengambil argumentasinya dari peraturan-peraturan hukum yang tersirat dalam undangundang, dengan cara melakukan sistimatisasi, pengha-lusan dan pengolahan hukum, serta penjabaran logis peraturan perundang- undangan menjadi berbagai asas hukum (Sudikno, 1996: 92- 93). Aliran lain yang memperbolehkan penemuan hukum oleh hakim adalah mazhab Interessenjurisprudenz sebagai reaksi dari aliran Begriffsjurisprudentz. Menurut aliran Interessenjurisprudenz, suatu peraturan hukum tidak boleh dipandang oleh hakim sebagai sesuatu yang formil logis belaka, tetapi harus dinilai menurut tujuannya. Menurut aliran ini, tujuan hukum pada dasarnya adalah untuk melindungi, memuaskan atau memenuhi kepentingan (interessen) atau kebutuhan hidup yang nyata . Karena itu, dalam putusannya, hakim harus bertanya kepentingan (interessen) manakah yang diatur atau dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang. Karenanya pula, hakim harus memahami kepen-tingan sosial, kepentingan moral, kepentingan ekonomi, kepentingan kultural ataupun kepentingan- kepentingan lainnya, dalam suatu peristiwa konkrit tertentu yang disodorkan kepadanya untuk diperiksa dan diadili (Sudikno, 1996: 94 - 95). Selanjutnya, aliran yang membolehkan penemuan hukum oleh hakim dalam poses peradilan adalah aliran Freirechtbewegung. Aliran ini berpendapat bahwa tidak seluruh hukum ada dalam undang-undang, karena disamping undang-undang masih ada sumber-sumber hukum lainnya yang dapat diguna-kan hakim dalam penemuan hukum. Menurut aliran ini, hakim tidak semata-mata mengabdi kepada kepastian hukum, melainkan juga harus merealisasikan kea-dilan. Hakim memang harus menghormati undangundang, tetapi tidak sekedar mengikuti undang-undang melainkan harus menggunakan undang-undang seba-gai sarana untuk menemukan pemecahan hukum dari setiap peristiwa konkrit yang disodorkan kepadanya, yang dapat menjadi pedoman bagi pemecahan peristiwa konkritr serupa lainnya. Dengan demikian hakim tidak sekedar menjadi penafsir undang-undang melainkan juga sebagai pencipta hukum. Penemuan hukum seperti ini disebut penemuan hukum bebas. (Sudikno, 1996: 96-07). Demikian beberapa pendapat tentang peran hakim dalam penemuan hukum dalam proses. Lalu, bagaimana dengan hakim Indonesia, adakah dia berhak untuk melakukan penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan/ pembentukan hukum (rechtsschepping)., ataukah hakim Indonesia hanya sekedar corong dari undangundang (rechtstoepassing) ?.  Jawab dari pertanyaan tersebut haruslah dicari dalam aturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan atau yang mengatur kekuasaan kehakiman, yakni : UUD Tahun 1945, UU.No.48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU.No.3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung. Dalam UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai hasil revisi Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 dan  Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970, Bab II tentang Asas Penyelenggaraan Kekuasaan Kehakiman, Pasal 5 ayat (1) dinyatakan bahwa: “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat―. Selanjutnya dalam penjelasan dari pasal tersebut disebutkan: “Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan Hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat―. Ketentuan Pasal 5 ayat (1) ini merupakan pengulangan dengan sedikit perubahan dari Pasal 27 UndangUndang Nomor 14 Tahun 1970 yang digantikannya. Dari ketentuan di atas, tersirat secara juridis maupun filosofis, Hakim Indonesia mempunyai kewajiban atau hak untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum , agar putusan yang diambilnya dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Ketentuan ini berlaku bagi semua Hakim dari semua lingkungan peradilan dan semua tingkatan, baik Hakim tingkat pertama, Hakim banding maupun Hakim kasasi atau Hakim Agung. Hal menarik yang perlu diicatat disini ialah adanya Penjelasan Pasal 30 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung yang berbunyi: “Dalam memeriksa perkara, Mahkamah Agung berkewajiban menggali, mengikuti, dan memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat―. Disebut menarik, karena isi sebagaimana penjelasan tersebut tidak ada dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang lama.  Penjelasan tersebut, secara juridis maupun filosofis mempunyai pengertian yang http://www.banding.pta-palembang.net
Menggunakan Joomla!
Generated: 9 January, 2017, 18:19
banding.pta-palembang.net
sama dengan Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 jo Pasal 5 ayat (1) UU.No. 48 Tahun 2009  di atas, sehingga dapat dipandang sebagai penegasan bahwa seorang Hakim , baik tingkat pertama, banding maupun Hakim Agung,  karena keluhuran jabatannya, harus dapat melakukan penemuan hukum bahkan kalau mungkin terobosan hukum dalam upaya mewujudkan dan memenuhi rasa keadilan masyarakat melalui putusan-putusan yang diambilnya dalam penyele-saian perkara yang diajukan  kepadanya. Legal reasoning. Selanjutnya, dalam upaya menyelesaikan suatu perkara yang disodorkan kepadanya, maka menurut Sudikno (1984: 26- 30) ada tiga tahapan yang harus dilewati seorang hakim, yakni mengkonstatir fakta-fakta, mengkualifikasikan peristiwa dan mengkonstitusikan peristiwa hukum. Menurut Sudikno, mengkonstatir fakta-fakta adalah menilai benar tidaknya suatu peristiwa konkrit yang diajukan dipersidangan, baik perkara pidana atau perdata, dan hal ini memerlukan pembuktian. Jadi yang harus dibuktikan adalah fakta atau peristiwa konkrit. Sedangkan dalam tahap kualifikasi hakim menilai peristiwa konkrit (faktafakta) tersebut termasuk hubungan apa atau mana. Dengan kata lain, mengkualifisir berarti mengelompokkan atau menggolongkan peristiwa konkrit tersebut masuk dalam kelompok atau golongan peristiwa hukum apa (pencurian, pemerasan, perzinaan, percekcokan terus menerus, pengania-yaan jasmani, peralihan hak dan sebagainya) dengan jalan menerapkan peratur-annya sebagai suatu kegiatan yang bersifat logis. Dalam proses ini adakalanya hakim bukan hanya menerapkan peraturan tetapi juga harus menciptakan hukumnya. Selanjutnya, tahap akhir adalah mengkonstituir atau memberi konsti-tusinya, yakni hakim menentukan hukumnya, memberi keadilan, yakni menen-tukan hukum dari suatu hubungan hukum antara peristiwa hukum dengan subjek hukum (terdakwa, tergugat ataupun penggugat) Kalau proses peradilan di atas, dimisalkan sebagai suatu permainan tenis, maka ketika wasit dengan bantuan linesman/ penjaga garis, mengamati dan menetapkan dimana bola yang dipukul itu jatuh, di luar atau di dalam garis lapangan, itu adalah tahap mengkonstatir fakta.. Kemudian, dari hasil penga-matan tersebut, wasit menyatakan bola itu keluar (outside) atau masuk (inside) adalah tahap mengkualifikasi, yakni tahap menyatakan fakta-fakta tersebut masuk kelompok peristiwa hukum apa. . Hal atau pernyataan keluar (outside) atau masuk (inside) adalah peristiwa hukum. Sedangkan menetapkan poin untuk pemain A atau pemain B adalah tahap mengkonstituir, yakni memberi ketetapan hukum. Hakim Agung sebagai hakim kasasi, memang tidak mengkonstatir fakta-fakta, tetapi hanya menilai apakah judex facti benar atau salah dalam menerap-kan hukum, yakni ketika memasuki tahap kualifikasi dan tahap konstituir. Kecuali dalam perkara Peninjauan Kembali (PK) dimana hakim kasasi mengabulkan permohonan tersebut dan memutuskan untuk mengadili kembali, maka dalam hal ini Hakim Agung selaku hakim kasasi bertindak tidak sematamata sebagai judex jurist tetapi juga bertindak sebagai judex facti (Bagir Manan, 2005 : 103). Juga dalam hal sebagaimana ditentukan dalam Pasal 50 ayat (1 dan 2) UU.No. 5 Tahun 2004. Selanjutnya, pada dasarnya hakim memang harus menerapkan hukum yang ada dalam peraturan perundang-undangan. Adanya hukum yang tertulis dalam bentuk perundang-undangan sebagai wujud dari asas legalitas, memang lebih menjamin adanya kepastian hukum. Tetapi undang-undang sebagai produk politik, tidak mudah untuk diubah dengan cepat mengikuti perubahan masyarakat. Disisi yang lain, dalam kehidupan modern dan komplek serta dinamis seperti sekarang ini, masalah-masalah hukum yang dihadapi masyarakat sema-kin banyak dan beragam yang menuntut pemecahan yang segera. Dalam praktek, hakim menghadapi dua macam kendala, yakni seringkali kata atau kalimat undang-undang tidak jelas, atau undang-undang tidak lengkap dalam arti belum tegas-tegas mengatur suatu kasus konkrit yang diajukan kepada hakim. Padahal disisi lain, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 10 ayat (1) UU.No. 48 Tahun 2009, hakim dilarang menolak mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas. Kendala yang dihadapi ini, menurut Sudikno (1991:142- 159), diatasi hakim dengan dua cara. Jika peraturannya tidak jelas, hakim melakukan interprettasi/ penafsiran terhadap bunyi undang-undang dengan berbagai metode interpretasi/ penafsiran, seperti penafsiran otentik, sistematis, historis, sosiologis dan lain-lain. Jika peraturannya tidak lengkap, hakim akan melakukan penalaran *(reasoning), juga dengan berbagai metode penalaran/ argumentasi tertentu seperti argumentum a contrario, argumentum per analogiam (analogi)* *  dan penyempitan hukum (rechtsverfijning). Atas dasar tersebut, maka hakim juga berperan disamping menerapkan hukum juga menemukan dan menciptakan hukum. Pada waktu mengadili, hakim menentukan hukum in concreto terhadap suatu peristiwa tertentu. Dengan demi-kian putusan hakim adalah hukum atau dengan putusannya hakim membuat hukum (judge made law). Disamping lembaga legislatif sebagai pembentuk hukum yang objektif abstrak, maka hakim juga membentuk atau mencipta hukum, hanya saja hukum yang diciptakan hakim adalah hukum in concreto (Sudikno, 1984: 33). Secara tekstual, sebagaimana telah disebutkan, undang-undang memang menuntut hakim untuk menggali nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, yang secara filosofis berarti menuntut hakim untuk melakukan penemuan hukum dan penciptaan hukum. Hanya saja, apakah dengan dalih kebebasan hakim, atau dengan dalih hakim harus memutus atas dasar keyakinannya, lalu hakim boleh sekehendak hatinya melakukan penyimpangan terhadap undang-undang (contra legem) atau memberi interpretasi/ penafsiran terhadap undang-undang?. Jawabnya tentu saja tidak, karena hal itu akan menimbulkan kekacauan dan ketidak pastian hukum. Penemuan dan penciptaan hukum oleh hakim dalam proses peradilan, haruslah dilakukan atas prinsip-prinsip atau asas-asas tertentu, yang menjadi dasar sekaligus rambu-rambu bagi hakim dalam menerapkan kebebasannya dalam menemukan dan menciptakan hukum. Prinsip- Prinsip Peradilan. Untuk mengetahui prinsipprinsip apa yang harus dipegang hakim, baik hakim tingkat pertama, tingkat banding maupun Hakim Agung,  dalam upaya penemuan hukum dan penciptaan hukum, maka harus dilihat dalam prinsip-prinsip peradilan yang ada dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan dunia peradilan, dalam hal ini adalah  UUD Tahun 1945, UU.No.4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dan UU.No. 5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dalam ketiga peraturan perundang-undangan tersebut, dapat ditemukan beberapa prinsip sebagai berikut: 1.   Putusan peradilan adalah untuk melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Prinsip ini diambil dari alienia ke empat Pembukaan UUD Tahun 1945 yang berisi lima dasar negara yang disebut Pancasila. Prinsip ini merupakan landasan filosofis setiap hakim dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara, perdata maupun pidana. Satjipto (2003: 236- 238) menyatakan bahwa http://www.banding.pta-palembang.net
Menggunakan Joomla!
Generated: 9 January, 2017, 18:19
banding.pta-palembang.net
pengadilan dan hakim tidak hanya mengkonkretkan undang-undang melainkan juga harus mewujudkan pikiran ideolis (negara) dalam kenyataan. Sebagai contoh dalam hal ini Satjipto telah menunjuk Putusan Mahkamah Agung No. 2263 R/Pdt./1991 dalam kasus pembebasan tanah proyek Kedungombo yang telah menolak keterangan Tergugat (Pemerintah Daerah Jawa Tengah) yang menganggap bahwa rakyat telah bersepakat menerima ganti rugi berdasarkan musyawarah, karena kenya-taannya tidak mencerminkan keadilan dan kebenaran materiil, dengan cara  mendefinisikan ulang pengertian musyawarah untuk mufakat. Bahkan Satjipto menilai bahwa putusan Mahkamah Agung tersebut layak disebut sebagai sebuah revolusi yang setara dengan Putusan Hooge Raad Belanda tahun 1919* yang sering disebut sebagai ‘revolusi di bulan Januari’, dengan alasan antara lain karena putusan Mahkamah Agung tersebut telah tegas-tegas membela kepentingan rakyat kecil yang lemah kedudukannya. Atau dengan perkataan lain telah memihak kepada ideologi Pancasila.   2.   Peradilan dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA.  Asas atau prinsip ini terdapat dalam Pasal 4 ayat (1) UU.No. 4 Tahun 2004 yang dalam penjelasannya dinyatakan sesuai dengan Pasal 29 UUD Tahun 1945. Dalam praktek kalimat DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA, harus dijadikan irah-irah dalam setiap putusan pengadilan, jika tidak maka putusan tersebut tidak mempunyai daya eksekutorial (Pasal 224 HIR/258 Rbg). Asas ini berkaitan pula dengan tujuan hukum. Asas keadilan ini secara filosofis bersumber dari aliran etis yang berpendapat bahwa tujuan hukum adalah untuk memberikan keadilan, karena itu tidak berdiri sendiri, melainkan berpasangan dengan asas lainnya yakni asas kepastian hukum (teori yuridis formal) dan asas kemanfaatan (teori utility). Ketiga asas tersebut ada kalanya berbenturan satu terhadap yang lain. Berkenaan dengan hal ini patut dikaji Putusan Mahkamah Agung No. 01.PK/ PILKADA/2005 tanggal 16 Desember 2005 (Varia Peradilan No.243 Tahun 2006 : 39 – 59) , khususnya berkaitan apakah Mahkamah Agung berwenang memeriksa ditingkat kasasi suatu permohonan Peninjauan Kembali terhadap putusan PILKADA (Pemilihan Langsung Kepala Daerah) yang sudah bersifat final dan mengikat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 106 ayat (5) UU.No.32 Tahun 2004. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung antara lain secara normatif dengan merujuk pada Pasal 16 UU. No. 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (hakim tidak boleh menolak perkara) dan Pasal 28 ayat (1) UU.No. 4 Tahun 2004 (bahwa hakim wajib menggali nilai-nilai yang hidup), dan juga secara filosofis dengan merujuk pendapat Gustav Radbruch dengan asas prioritasnya yakni mendahulukan keadilan dan kemanfaatan dari asas kepastian hukum, maka Mahkamah Agung berpendapat bahwa melalui putusannya Mahkamah Agung dapat menciptakan hukum acara sendiri untuk mengisi kekosongan hukum yang dihadapi*. Selanjutnya dengan menafsirkan pengertian putusan yang final dan mengikat yang terdapat dalam Pasal 106 ayat (5) UU.No.32 Tahun 2004, sebagai putusan yang telah berkekuatan hukum tetap sebagaimana dimaksud dalam Pasal 342 HIR, sehingga terhadap putusan tersebut dapat diajukan permohonan Peninjauan Kembali (PK) sesuai dengan Pasal 34 UU.No. 5 Tahun 2004. Dari kajian diatas, berarti Mahkamah Agung tersebut untuk melakukan penemuan dan penciptaan hukum, antara lain berpijak pada asas keadilan dan kemanfaatan yang didahulukan terhadap asas kepastian hukum.  3.   Prinsip kemandirian hakim. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 24 ayat (1) UUD Tahun 1945 jo Pasal 1 dan Pasal 33 UU.No. 4 Tahun 2004 ( sekarang: Pasal 1 angka (1) dan Pasal 3 ayat (1) UU.No. 48 Tahun 2009).  Dalam Pasal 24 ayat (1) UUD dan Pasal 1 UU.No. 4 Tahun 2004 ditegaskan bahwa kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka. Dalam Penjelasan terhadap Pasal 1 tersebut disebutkan bahwa kekuasaan kehakiman yang merdeka dalam Pasal ini mengandung pengertian bahwa kekuasaan kehakiman bebas dari segala campur tangan pihak kekuasaan extra judisial kecuali dalam hal-hal yang diatur dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945. Sedangkan Pasal 33 UU.No. 4 Tahun 2004, menegaskan bahwa hakim harus bersikap mandiri. Mengomentari pasal ini, Bagir Manan (2005: 224) menganggap isi pasal ini hanya merupakan pengulangan terhadap prinsip yang ada dalam Pasal 1 di atas. Dalam praktek, pelaksanaan kemandirian hakim ini, tidak saja bebas dari pengaruh kekuasaan lain di luar kekuasaan pengadilan, namun juga harus bebas dari pengaruh kepen-tingannya sendiri. Hal ini perlu penegasan, karena menurut Satjipto (2003: 225), dalam hal ini ada dua type hakim. Ada hakim yang sebelum memutus, dia bertanya lebih dahulu kepada hati nuraninya kemudian baru mencari pasal-pasal yang mendukung putusannya itu. Sedangkan type hakim kedua, sebelum memutus dia berkonsultasi terlebih dahulu dengan kepentingan perutnya, barulah dicari pasal-pasal yang akan melegitimasi kepentingan perutnya tersebut. 4. Prinsip pengadilan tidak boleh menolak perkara. Prinsip ini tertuang dalam Pasal 10 ayat (1)  UU.No. 48 Tahun2009 yang menyatakan bahwa pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum tidak ada atau kurang jelas, melainkan wajib untuk memeriksa dan mengadilinya. Menurut Bagir Manan (2005: 160) tujuan asas ini antara lain adalah: (1)          Untuk menjamin kepastian hukum, bahwa setiap perkara akan diputus. (2)          Untuk mendorong hakim menemukan hukum. (3)          Sebagai perlambang kebebasan hakim memutus perkara. (4)          Sebagai perlamban harus terikat secara harfiah pada peraturan-peraturan yang ada. Hakim dapat mempergunakan berbagai cara untuk mewujudkan peradilan yang benar dan adil.  5.   Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Prinsip ini terdapat dalam Pasal 28 (1) UU. No. 4 Tahun 2004 jo. Pasal 5 ayat (1) uu.No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Penjelasan Pasal 30 ayat (1) UU.No.5 Tahun 2004 tentang Mahkamah Agung. Dalam Penjelasan Pasal 28 ayat (1) UU.No. 4 Tahun 2004 dan Pasal 5 ayat (1) uu.No. 48 Tahun 2009,  disebutkan bahwa ketentuan tersebut dimaksudkan agar putusan Hakim dapat sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat. Seabagaimana telah disinggung diatas, yang menarik dalam hal ini ialah dalam UU.No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung yang lama, baik dalam pasal maupun dalam penjelasannya tidak ada ketentuan khusus yang mengharuskan Hakim Agung sebagai hakim kasasi untuk menggali, mengikuti dan memahami rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ini berarti bahwa Penjelasan Pasal 30 ayat (1) UU.No. 5 Tahun 2004 tersebut merupakan penegasan bahwa bukan cuma judex facti yang harus menggali nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat, tetapi lebih-lebih lagi karena kedudukan dan martabatnya yang tinggi, hakim kasasi lebih dituntut untuk melakukannya. Mengingat selain sistem hukum Eropa sebagai warisan zaman penjajahan sebagai hukum positif, http://www.banding.pta-palembang.net
Menggunakan Joomla!
Generated: 9 January, 2017, 18:19
banding.pta-palembang.net
maka dinegeri ini dikenal sistem hukum Adat dan sistem hukum Islam, maka pengertian nilai hukum yang hidup dalam ketentuan di atas haruslah diartikan,  nilai- nilai hukum adat dan nilai-nilai hukum Islam. Selanjutnya, perlu ditegaskan disini, berdasarkan prinsip di atas maka hakim Indonesia  tidak boleh bersifat legistik, yakni hanya sekedar menjadi corong atau mulut undang-undang, meskipun memang selalu harus legalistik. Dengan kata lain, seperti dikatakan Bagir Manan (2005: 212) putusan hakim tidak boleh sekedar memenuhi formalitas hukum atau sekedar memelihara ketertiban. Putusan hakim harus berfungsi mendorong perbaikan dalam masya-rakat dan membangun harmonisasi sosial dalam pergaulan. Hanya dengan cara itu, menurutnya, putusan hakim akan benar dan adil. Sehubungan prinsip ini pula, jika ketentuan undang-undang yang ada bertentangan dengan kepentingan umum, kepatutan, peradaban dan kemanusian, yakni nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat, maka menurut Yahya Harahap (2005: 858- 856) hakim bebas dan berwenang melakukan tindakan contra legem, yakni mengambil putusan yang bertentangan dengan pasal undangundang yang bersangkutan. Menurutnya, sebagai contoh adalah Putusan Mahkamah Agung No. 275 K/Pid/1983 tanggal 15- 12- 1983 yang menerima permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum atas putusan Pengadilan Negeri yang membebaskan terdakwa Nata Legawa. Penerimaan kasasi tersebut merupakan contra legem terhadap Pasal 244 KUHAP, yang melarang pengajuan kasasi atas putusan bebas. Dalam pertimbangannya Mahkamah Agung antara lain menyatakan bahwa menurut kepatutan dalam masyarakat, khususnya dalam tindak pidana korupsi, apabila dalam putusan yang dijatuhkan telah melampui batas kewenangan dalam hal ini putusan didasarkan pada pertimbangan non yuridis pada suatu segi, dan putusan pembebasan itu pada segi yang lain menusuk perasaan hati masyarakat luas, maka terhadap putusan bebas tersebut dapat dimintakan pemeriksaan kasasi kepada Mahkamah Agung. Dengan putusannya tersebut berarti Mahkamah Agung telah menyingkirkan Pasal 244 KUHAP dengan cara menciptakan hukum kasus ( case law). Penutup Demikianlah, makalah singkat berjudul ‘’Asas-Asas Penemuan Hukum Dan Penciptaan Hukum Oleh Hakim Dalam Proses Peradilan’ yang ditulis dengan harapan dapat berguna sebagai sumbangan pemikiran bagi pembangunan hukum di negeri ini pada umumnya, dan pembangunan lembaga yudikatif, Mahkamah Agung dengan empat lingkungan peradilan di bawahnya, khususnya, agar dapat menjadi suatu Peradilan yang Agung, yakni lembaga kekuasaan kehakiman yang bersih, berwibawa dan dihormati.                            Palembang, 7 Maret 2012                                                 Â 2005. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama. Edisi Revisi. Cet. III. Prenada Media. Jakarta.  Achmad Ali, 1990. Mengembara di Belantara Hukum, cet. I, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin. Makassar.  -------, 2002. Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), cetakan ke-2, PT. Toko Gunung Agung. Tbk, Jakarta.  -------, 2009. Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence), Volume I, Pemahaman Awal, cet. II, Kencana, Prenada Media Group, Jakarta.  Amin Suma, Muhammad. 2004. Himpunan Undang-Undang Perdata Islam & Peraturan Pelaksanaan Lainnya di Negara Hukum Indonesia. Cet. I. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.  Bagir Manan, 2005. Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam UndangUndang Nomor 4 Tahun 2004. Mahkamah Agung R.I., Jakarta.  Konsorsium Reformasi Hukum Nasional, dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), 1999. Menuju Independensi Kekuasaan Kehakiman. Indonesion Center for Environmental Law dan Lembaga Kajian dan Advokasi untuk Independensi Peradilan (LeIP), Jakarta.  Mahkamah Agung R.I. 2004. Himpunan Peraturan Perundang-undangan Tentang Kekuasaan Kehakiman dan Mahkamah Agung R.I. Serta Badan Peradilan di Indonesia. Mahkamah Agung R.I. Jakarta.  Satjipto Raharjo, 2003. Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia. Penerbit Buku Kompas, Jakarta.  Setiawan. 1992. Aneka Masalah Hukum Dan Hukum Acara Perdata . Cet. I. Alumni, Jakarta.  Sudikno Mertokusumo, 1984. Bunga Rampai Ilmu Hukum, cet. I, Penerbit Liberty, Yogyakarta.  -------, 1991. Mengenal Hukum (Suatu Pengantar). Edisi Ketiga, Cet. I, Penerbit Liberty, Yogyakarta.  -------, 1996. Penemuan Hukum (Sebuah Pengantar). Edisi Pertama, Cet. I, Penerbit Liberty, Yogyakarta  “Putusan Mahkamah Agung R.I Nomor: 01 PK/PILKADA/2005 Tanggal 16 Desember 2005 tentang Perkara Komisi Pemilihan Umum Kota Depok―. Majalah Varia Peradilan, No. 243 Tahun 2006.  Yahya Harahap, 2005. Hukum Acara Pedata tentang Gugatan, Persidangan, Penyitaan, Pembuktian, dan Putusan Pengadilan. Cet. I. Sinar Grafika. Jakarta.  *** oleh von Savigny (1779- 1861) dengan Mazhab Sejarah (Historis)nya, Rudolf von Jhering (1818 – 1890) dengan Dalam tulisan ini, diasumsikan bahwa Hakim Agung sebagai hakim kasasi melalui putusan-putusannya, memang mempunyai peran yang tidak diragukan lagi dalam penemuan hukum dan pembentukan hukum, khususnya di era reformasi dan transformasi ini. Karena itu yang akan dipermasalahkan adalah atas dasar apa peran tersebut harus dijalankan. Dengan kata lain, asas-asas apa atau prinsip- prinsip apa yang harus ditaati, dipegang, dianut oleh seorang Hakim Agung selaku hakim kasasi dalam penemuan hukum dan pembentukan/penciptaan hukum melalui putusan-putusannya tersebut. Karena keterbatasan kemampuan dan waktu, maka pembahasan terhadap prinsip- prinsip tersebut dibatasi hanya yang dapat digali dari tiga peraturan perundang-undangan   Simpulan            Dari pembahasan singkat yang terurai di atas, maka dapatlah ditarik kesimpulan sebagai b 1.       Hakim Agung sebagai hakim kasasi (judex jurist) melalui putusan-putusannya mempunyai peran yang besar dalam upaya penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping). 2.       Upaya penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping) oleh Hakim Agung selaku hakim kasasi dalam putusanputusannya, haruslah senantiasa didasarkan pada prinsip-prinsip sebagai berikut: (1)       Penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechts-schepping) tersebut adalah dalam upaya melindungi segenap bangsa Indonesia serta memajukan kesejahteraan umum dan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. (2)       Penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping) tersebut haruslah dilakukan DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETU-HANAN YANG MAHA ESA, dengan konsekuensi asas keadilan harus lebih diutamakan dari asas kemanfaatan dan asas kepastian hukum. (3)       Upaya penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechts-schepping) tersebut haruslah dilakukan secara mandiri oleh Hakim Agung selaku hakim http://www.banding.pta-palembang.net
Menggunakan Joomla!
Generated: 9 January, 2017, 18:19
banding.pta-palembang.net
kasasi, dalam arti bebas dari pengaruh kekuasaan eksekutif maupun lagislatif, ataupun kekuasaan lainnya, dan juga bebas dari pengaruh kepentingan dirinya sendiri.. (4)       Penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping) tersebut haruslah dalam upaya memberi kepastian hukum kepada masyarakat dan dalam semangat untuk tidak bersifat legistik atau terkungkung dalam teks perundang-undangan. (5)       Penemuan hukum (rechtsvinding) dan penciptaan hukum (rechtsschepping) tersebut haruslah dalam upaya menggali, mengikuti dan memahami nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. pada waktu wasit mengamati laju bola dan melihat dimana bola itu jatuh. Misalnya dilihatnya penjaga garis merentangkan kedua tangannya lebar-lebar, dan dia sendiri melihat bola jatuh di belakang garis lapangan permainan. Maka si wasit menetapkan bola tersebut jatuh di belakang garis lapangan permainan. Proses ini adalah mengkonstatir fakta-fakta . Fakta adalah peristiwa atau kejadian-kejadian yang dapat diamati oleh pancaindera. Penwetapannya memerlukan bukti-bukti. Proses berikutnya adalah mengkualifikasi fakta (fakta-fakta) tersebut masuk peristiwa hukum yang mana. Dalam contoh tersebut wasit menyatakan ‘bola out’. Dalam permaian tenes, out adalah peristiwa hukum. Dalam peradilan pidana misalnya, mengkualifikasikan fakta-fakta tersebut apakah masuk peristiwa hukum: pencurian, perampasan, pemerasan atau apa. Dalam peradilan perdata misalnya dalam gugatan cerai , mengkualifikasikan apakah fakta-fakta tersebut masuk peristiwa hukum ‘perselisihan yang terus-menerus yang tidak mungkin didamaikan lagi’, ataukah isteri nusus dan sebagainya. Tahap selanjutnya adalah mengkonstitusikan peristiwa hukum tersebut. Karena pukulan pemain A dinyatakan out, maka wasit menyatakan ‘point untuk pemain B’. Inilah hukumnya. Dalam persidangan pidana, karena terdakwa terbukti mencuri, maka ditetapkan hukuman atas, misalnya penjara sepuluh bulan. Terlebih dahulu dalam pembahasan ini akan diuraikan secara singkat jalan pemikiran seorang hakim pada umumnya dalam menyelesaikan suatu perkara yang diajukan kepadanya.  Pembentukan hukum: pada prinsipnya suatu bebas tidak bisa di kasasi: perkara pakpahan: suatu pembentukanhukum. (contra legem). Bagir Manan: Suatu Tinjauan Terhadap Kekuasaan Kehakiman Indonesia Dalam Undang- Undang Nomor 4 Tahun 2004; Mahkamah Agung R.I., 2005,. Pasal 13. Pasal ini mengatur mengenai sistem pengelolaan satu atap (one roof system). Pengadilan sekaligus mengelola urusan organisasi, administrasi, finansial dan teknis penyeleng-garaan peradilan (memeriksa, memutus perkara). Hal. 145.  Sistem satu atap didasarkan pada pemikiran untuk lebih menjamin kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebesan hakim. Keikursertaan Pemerintah mengelola organisasi, administrasi, dan finansial kekuasaan kehakiman, doipandang dapat secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan kebesan hakim. (hal. 146).  Pasal 16 ayat (1): Pengadilan tidak boleh menolak untuk memeriksa, mengadili, danmemutus suatu prkara yang diajukan dengan dalih bahwa hukum, idak ada atau kurang jelas melainkan wajib untuk memeriksa dan egnadilinya. (hal. 158)  (baca hal. 159: Persolan leih terletak….) Kalau demikoian apa tujuan asas “larangan menolak perkara―? (hal. 159) Tujuan tersebut -antara lain: (1)  Untuk menjamin kepastian hukum, bahwa setiap perkara akan diputus. (2)   Unmtuk mendorong hakim menemkan hukum. (3)   Sebagai pelambang kebesan hakim dalam memutus perkara. (4)   Sebagai pelambang hakim tidak selalu harus terikat secara harfiah pada peraturan – peraturan yang ada . Hakim dapat menggunakan berbagai cara untuk mewujudkan peradilan yang benar dan adil. (hal. 160).  Dissenting opinion ( baca hal.: 176-178).  (Contoh untuk (contra legem) dan pembentukan hukum (rechshepping): baca hal: 187- 189),  Pasal 28: baca hal.208- 213.  [1] Dengan adanya Amandemen terhadap UUD 1945, maka penjelasan UUD yang selama ini ada tercantum, dihapuskan, karena itu istilah Negara hukum/ rechtsstaat atau Negara kekuasaan / machtsstaat, ikut hilang. [2] Bandingkan dengan Pasal 4 ayat (1) UU.No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman : ―Pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang―. * Achmad Ali, menyebut metode penalaran/ argumentasi ini dengan nama konstruksi hukum (Mengembara di Belantara Hukum, 1990: 158) jo.  (Menguak Tabir Hukum , 2008: 139). ** Metode analogi juga dapat disebut metode interpretasi ekstensif karena memperluas pengertian. Hanya saja penggunaan metode analogi ini dalam hukum pidana terlarang, tetapi interpretasi ekstensif diperbolehkan (Sudikno, 1991: 153)  * Putusan Hooge Raad Belanda tahun 1919 yang dimaksud di atas, adalah putusan Hooge Raad yang dijatuhkan dalam perkara antara Max Lindenbaum melawan Samuel Cohen seorang pemilik perusahaan percetakan berkaitan spionase ekonomi. Dalam putusannya tersebut, yang dijatuhkan pada tanggal 31 Januari 1919, Hoge Raad telah memperluas  pengertian apa yang disebut perbuatan melawan hukum (PMH= onrechtmatige daad) sedemikian rupa sehingga tidak hanya mencakup pelanggaran terhadap kewajiban hukumnya saja, tetapi juga mencakup pelanggaran terhadap hak subjektif orang lain, atau bertentangan dengan tatasussila atau bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki oleh seseorang ( Setiawan, 1992: 246 – 247). * Dalam doktrin yang diajarkan selama ini , dalam konsiderannya hakim dilarang mengutip pendapat seseorang ahli, karena hakim harus memutus dengan keyakinannya sendiri. Dalam kasus di atas seharusnya hakim kasasi langsung mengambil pendapat Gustav Radbruch tersebut , tanpa menyebut namanya, sebagai pendapatnya sendiri. Penyebutan nama Gustav Radbruch dalam konsideran tersebut, dapat memberi kesan hakim kurang pede (percaya diri) dengan pertimbangannya sendiri. Disamping itu, pihak yang tidak sefaham, akan bertanya mengapa pendapat Gustav Radbruch yang diambil, kenapa bukan pendapat sarjana /ahli lain yang kalibernya juga tidak kalah hebat atau lebih hebat.
http://www.banding.pta-palembang.net
Menggunakan Joomla!
Generated: 9 January, 2017, 18:19