ARTIKEL ILMIAH Bidang Studi : Ilmu Hukum
Judul Artikel IMPLEMENTASI HAK MEWARIS ANAK ANGKAT DITINJAU DARI TIGA SISTEM HUKUM WARIS STUDI KASUS PUTUSAN MAHKAMAH AGUNG REG NO. 207 K/Ag/2012, REG. NO. 666 PK/Pdt/2011 DAN REG. NO. 1429 K/Pdt/2012
Oleh : Emy Rachmawati 12100002
Fakultas Hukum UNIVERSITAS SLAMET RIYADI SURAKARTA 2015
ABSTRAKSI
Hukum Waris yang berlaku di Indonesia saat ini masih bersifat pluralistis. Dikatakan demikian sebab terdapat tiga sistem hukum pewarisan yang berlaku, yaitu Hukum Waris Islam, Hukum Waris Perdata Barat (BW) dan Hukum Waris Adat. Sehingga, hukum waris anak angkat/anak adopsi pun diatur secara berbeda didalam ketiga macam hukum tersebut. Peraturan perundangan-undangan yang mengatur tentang pengangkatan anak yang mempunyai akibat hukum dalam hal hak mewaris anak angkat, juga masih bersifat pluralistis. Dalam hal ini perlu dilakukan unifikasi hukum khususnya dalam hal legalitas pengangkatan anak dan kodifikasi hukum dalam rangka pembaharuan hukum pengangkatan anak yang sesuai dengan perkembangan masyarakat dan secara komprehensif pula mengatur tentang pengangkatan anak dari semua aspek hukum yang ada. Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengulas lebih lanjut tentang implementasi hak mewaris anak angkat berdasarkan tiga sitem hukum waris di Indonesia dengan cara menganalisa putusan Mahkamah Agung tentang hak waris anak angkat guna memberikan masukan dalam rangka pembentukan undang-undang tentang pengangkatan anak tersebut. Adapun metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum deskriptif normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan (statue approach) dengan cara melakukan pengkajian terhadap implementasi peraturan perundang-undangan sehubungan dengan hak mewaris anak angkat melalui pendekatan kasus (case approach) dengan menggunakan data sekunder. Berdasarkan hasil penelitian terhadap putusan pengadilan Reg. No. 207 K/Ag/2012, Reg. No. 666 PK/Pdt/2011 dan Reg. No. 1429 K/Pdt/2012 maka dapat penulis sampaikan bahwa seorang anak angkat dalam Hukum Waris Islam bukan sebagai ahli waris tetapi ia mendapat hak berupa wasiat wajibah yang besarnya tidak lebih dari 1/3 bagian, sedangkan dalam Hukum Waris BW dan Hukum Waris Adat Jawa, seorang anak angkat dapat menjadi ahli waris dari orangtua angkatnya. Dalam Hukum Waris BW anak angkat mendapat hak sama dengan anak kandung, sedangkan dalam Hukum Waris Adat Jawa, anak angkat berhak mewaris harta peninggalan orangtua angkatnya kecuali harta pusaka yang akan kembali ke keluarga pewaris. .
Kata Kunci : Implementasi, Hak Mewaris, Anak Angkat
ii
DAFTAR ISI
Halaman Halaman Judul ………………………………………………………………..
i
Abstraksi ………………………………………………………….….......... …
ii
Daftar Isi ………………………………………………………………………
iii
A. Pendahuluan
1
.....…………………………………………………………..
1. Latar Belakang Masalah
…………………………………………….
1
…….……………………………………………
3
B. Pembahasan ……………………………………………………………….
4
2. Perumusan Masalah
1. Implementasi Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Waris Islam Dalam Putusan Reg. No. 207 K/Ag/2012
……………………..
6
2. Implementasi Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Waris Perdata Barat (BW) Reg. No. 666 PK/Pdt/2011 ………………….…..
12
3. Implementasi Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Waris Adat Jawa Reg. No. 1429 K/Pdt/2012 ………………..………………
17
Kesimpulan ……………………………………………………………………
21
Daftar Pustaka
iii
A. Pendahuluan 1. Latar Belakang Masalah Anak adalah amanah sekaligus karunia Tuhan Yang Maha Esa, dalam dirinya melekat harkat, martabat, dan hak-hak sebagai manusia yang harus dijunjung tinggi. Hak asasi anak merupakan bagian dari hak asasi manusia yang termuat dalam UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945) dan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hak-Hak Anak. Dari sisi kehidupan berbangsa dan bernegara, anak adalah masa depan bangsa dan generasi penerus cita-cita bangsa, sehingga setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang, berpartisipasi serta berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi serta hak sipil dan kebebasan. Pada realitas kehidupan manusia, ada keluarga miskin yang dikarunia anak banyak sehingga tidak mampu memberikan nafkah yang layak serta pendidikan yang memadai kepada anak-anaknya, anak-anak yang lahir di luar kehendak orangtua dan anak-anak yang ditinggal wafat oleh kedua orangtuanya. Akibatnya, anak-anak tersebut terlantar sehingga memerlukan orangtua angkat yang bersedia mengadopsi mereka. Pada sisi lain juga ada pasangan suami isteri yang diberi anugerah materi berkecukupan bahkan berlebihan, tetapi tidak dikarunia anak, atau dikarunia anak dalam jumlah kecil, atau anak-anaknya telah berkeluarga sehingga berkeinginan untuk mengadopsi anak orang lain. Dengan demikian, lembaga pengangkatan anak atau adopsi anak merupakan sarana yang baik sebagai titik temu bagi kedua permasalahan tersebut. Perlindungan terhadap anak merupakan hak konstitusional sebagaimana tercantum dalam Pasal 28B (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan. Hal ini berarti bahwa perlindungan terhadap anak diberikan tanpa memandang status yang melekat pada diri seorang anak, apakah ia anak sah, anak diluar perkawinan ataupun anak angkat. Demikian juga halnya, Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM 1999) dalam Pasal 52 (1) menyatakan bahwa setiap anak berhak atas perlindungan oleh orangtua, keluarga, masyarakat dan negara.
1
Pasal 11 Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak, memberikan kesempatan kepada Warga Negara Asing untuk melakukan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia. Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) akan segera berlaku pada akhir tahun 2015 ini. Dapat kita bayangkan, masyarakat Asean akan dengan mudah melakukan perbuatan hukum di negara kita, salah satunya melakukan adopsi terhadap anak warga negara Indonesia ataupun sebaliknya. Dalam pelaksanaan pengangkatan anak, tidak menutupkemungkinan akan adanya penyimpangan seperti pengangkatan anak yang dilakukan tanpa melalui prosedur yang benar, pemalsuan data, perdagangan anak, bahkan jual beli organ tubuh anak, harus dihindari dengan cara melaksanakan peraturan perundang-undangan tentang pengangkatan anak yang masih berlaku dengan baik, serta melaksanakan Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak (PP Pelaksanaan Pengangkatan Anak 2007) yang dapat dijadikan sebagai pedoman utama dalam pelaksanaan pengangkatan anak. Dengan demikian dapat mencegah terjadinya penyimpangan-penyimpangan tersebut dan pada akhirnya dapat melindungi serta meningkatkan kesejahteraan anak demi masa depan dan kepentingan terbaik bagi anak. Penulis berpendapat, penting untuk dilakukan kodifikasi dan unifikasi peraturan perundang-undangan tentang pengangkatan anak dalam suatu undang-undang yang secara komprehensif mengatur segala aspek hukum pengangkatan anak. Sehingga penegakkan dan kepastian hukum tentang adopsi di Indonesia lebih terjamin. Pasal 57(3) UU HAM 1999 menyatakan bahwa orangtua angkat harus menjalankan kewajiban sebagai orangtua yang sesungguhnya. Dari sudut pandang anak, hal ini mengandung arti bahwa orangtua angkat haruslah dianggap dan diperlakukan layaknya orangtua kandungnya. Sebaliknya, jika dilihat dari sudut pandang orangtua angkat, anak angkat haruslah dianggap dan diperlakukan sebagimana orangtua memperlakukan anak kandungnya, dengan memenuhi hak-hak anak dan melaksanakan kewajiban sebagai orangtua seperti mendidik dan memelihara anak sebaik-baiknya dengan mengingat tujuan pengangkatan anak
dilakukan bagi 2
kepentingan terbaik anak. Orangtua angkat yang menjalankan kewajiban sebagai orangtua yang sesungguhnya akan memperlakukan anak angkat selayaknya anak kandung, dengan memberikan hak yang sama dengan hak yang diterima oleh anak kandung, termasuk hak waris Hal ini menimbulkan sengketa waris antara anak angkat dengan ahli waris lainnya. Adanya rasa ketidakadilan bagi ahli waris yang sah lainnya jika anak angkat mendapatkan bagian warisan yang sama atau bahkan seluruhnya. Disisi lain, anak angkat yang merasa sudah sah sebagai bagian dari keluarga, menganggap dirinya adalah ahli waris yang sama dengan anak kandung. Perbedaan persepsi inilah yang seringkali menjadi pemicu adanya sengketa waris. Pitlo berpendapat bahwa hukum waris adalah suatu rangkaian ketentuanketentuan, dimana berhubung dengan meninggalnya seseorang, akibat-akibatnya didalam bidang kebendaan, diatur, yaitu akibat dari beralihnya harta peninggalan seorang yang meninggal kepada ahli waris baik di dalam hubungannya antara mereka sendiri maupun dengan pihak ketiga. Hukum waris di Indonesia sampai dengan saat ini, masih bersifat pluralistik. Dikatakan demikian karena terdapat tiga sistem hukum waris yang berlaku. 1 Sehubungan dengan hal tersebut, penulis akan menganalisa dan mengulas mengenai implementasi hak mewaris anak angkat ditinjau dari tiga sistem hukum waris dengan melakukan studi kasus terhadap Putusan Pengadilan Reg. No. 207 K/Ag/2012, Reg. No. 666 PK/Pdt/2011 dan Reg No. 1429 K/Pdt/2012
2. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian pada latar belakang tersebut diatas maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian ini adalah: “Bagaimanakah implementasi hak mewaris anak angkat sebagaimana diatur dalam Hukm Waris Islam, Hukum Waris Perdata Barat / Stb. 1917 No. 129 dan Hukum Waris Adat Jawa oleh hakim dalam penyelesaian kasus sengketa waris anak angkat Reg. No. 207 K/Ag/2012, Reg. No. 666 PK/Pdt/2011 dan Reg. No. 1429 K/Pdt/2012?”
1
Ali Afandi.1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:Bina Aksara. Hal 7
3
B. Pembahasan Pengangkatan anak sering disebut dengan istilah adopsi, yang berasal dari kata adoption dalam bahasa Inggris, sedangkan dalam hukum adat, terdapat berbagai istilah, misalnya anak kukut atau anak pulung (di Singaraja), anak pupon (di Cilacap), anak akon (di Lombok Tengah), napuluku atau wengga (di Kabupaten Piniai Jaya Pura). 2 Mengangkat anak harus dibedakan dengan memelihara anak. Orang yang memihara anak orang lain dapat melepaskan diri dari kewajiban ini apabila ia tidak suka meneruskannya, suatu hal yang tidak dapat dilakukan oleh orangtua yang mengangkat anak. 3 Ter Haar
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan
pengangkatan anak
(Kindsaanneming atau adoptie) adalah memungut seorang anak yang tak termasuk golongan kerabat, ke dalam kerabat, sedemikian sehingga timbul suatu hubungan yang sama dengan hubungan yang telah ditetapkan dalam sosialnya atas dasar kesanaksaudaraan biologis. 4
Lain halnya dengan Surojo Wignjodipuro yang berpendapat, adopsi
(mengangkat anak) adalah perbuatan pengambilan anak orang lain ke dalam keluarga sendiri sedemikian rupa, sehingga antara orang yang memungut anak dan anak yang dipungut itu timbul suatu hukum kekeluargaan yang sama, seperti yang ada antara orangtua dengan anak kandungnya sendiri. 5 Pengertian pengangkatan anak dapat kita lihat dalam Pasal 1 angka 2 PP Pelaksanaan Pengangkatan Anak 2007 bahwa pengangkatan anak adalah suatu perbuatan hukum yang mengalihkan seorang anak dari lingkungan kekuasaan orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggungjawab atas perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkat. Dan dalam Penjelasan Pasal 47 (1) UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan menyatakan bahwa pengangkatan anak sebagai perbuatan hukum untuk mengalihkan hak anak dari lingkungan kekuasaan keluarga orangtua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas 2
Muderis Zaeni. 2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta:Sinar Grafika. Hal 8 Sri Widowati Wiratmo Soekito. 1983. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta:LP3ES. Hal50 4 B. Ter Haar BZN. 1987. Azas-Azas Dan Susunan Hukum Adat. Terjemahan K. Ng. Soebakti Poesponoto. Jakarta: Pradnya Paramita. Hal 155 5 Soerojo Wignjodipoero. 1995. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat. Jakarta : Gunung Agung. Hal 117-118 3
4
perawatan, pendidikan dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkungan keluarga orangtua angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan. Kamus Bahasa Indonesia istilah adopsi diartikan sebagai kata benda yang berarti pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri melalui catatan sipil. 6 Sedangkan Black’s Law Dictionary mendefinisikan kata adopsi dalam kontek pengangkatan anak adalah the act of one who takes an other’s child into his own family, treating him as his own, and giving him all the rights and duties of his own child. 7 Dasar Hukum pengangkatan anak/adopsi antara lain : Al-Qur’an Surat
Al-Ahzab
ayat 4-5 8; Hadist Nabi Muhammad S.A.W. 9; UUD 1945 Bab XA Pasal 28B (2); UU No. 4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak; UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak jo UU No. 35 Tahun 2014
Tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak; PP No. 54 Tahun 2007 Tentang Pengangkatan Anak; UU No. 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Atas UU No. 7 Tahun 1989 Tentang Peradilan Agama; UU No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan; UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan Dan Catatan Sipil jo UU No. 24 Tahun 2013 Tentang Perubahan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan; PP No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak; PP No. 37 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan UU No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan; Peraturan Presiden No. 25 tahun 2008 Tentang Persyaratan dan Tata Cara Pendaftaran Penduduk Dan Catatan Sipil; Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) No. 9 Tahun 1989 Tentang Pengangkatan Anak; SEMA No. 3 Tahun 2005 jo SEMA No. 6 Tahun 1983 jo SEMA No.
2 Tahun 1979 Tentang
Pengangkatan Anak; Keputusan Menteri Sosial RI No. 41/Huk/Kep/VII/1984 Tentang Petunjuk Pelaksanaan Perizinan Pengangkatan Anak;
Peraturan Menteri Sosial RI No.
110/HUK/2009 Tentang Persyaratan Pengangkatan Anak;
Peraturan Menteri Sosial RI
No. 37/HUK/2010 Tentang Tim Pertimbangan Perizinan Pengangkatan Anak Pusat; Kompilasi Hukum Islam (KHI) Buku II Tentang Kewarisan Pasal 171 huruf (h), Pasal 174, 6
Kamus Bahasa Indonesia. 2008. Jakarta: Pusat Bahasa. Hal 13 th Black’s Law Dictionary 4 edition 1891. 1968. ST. Paul: West Publishing Co. Hal 146 8 Fatwa MUI Tahun 1984 Tentang Pengangkatan Anak (Adopsi) 9 Ibid. 7
5
Pasal 176 sampai dengan Pasal 193 Pasal 209; Keputusan Fatwa MUI Hasil Rapat Kerja Bulan Maret Tahun 1984 jo Pendapat Majelis Ulama No. U-335/MUI/VI/82 Tentang Adopsi (Pengangkatan Anak); Yurisprudensi; Staatsblad No. 129 Tahun 1917 Bab Kedua Tentang Adopsi Pasal 5 sampai dengan Pasal 15.
1. Implementasi Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Waris Islam Dalam Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 207 K/Ag/2012 Kronologis permasalahan dalam kasus tentang implementasi hak mewaris anak angkat dalam putusan No. 207 K/Ag/2012 tersebut diatas secara singkat dapat penulis uraikan sebagai berikut : NURSIAH binti Abd. Rani merupakan anak angkat dari pasangan suami istri, almarhum Umar bin M. Ali/Pewaris dan Rukiah binti Abu Hasan, yang selama menjalani perkawinan tidak memiliki keturunan. Sehingga, NURSIAH menjadi satu satunya anak dalam keluarga tersebut. Pada saat Pewaris meninggal, ada meninggalkan harta warisan berupa beberapa bidang tanah. Beberapa bagian dari harta warisan tersebut berasal dari hasil pembagian warisan orangtua Pewaris. Akan tetapi, harta warisan tersebut dikuasai oleh cucu-cucu dari saudara kandung Pewaris, yang merasa dirinya sebagai ahli waris yang sah dengan alasan bahwa dalam hukum Islam, anak angkat tidak berhak atas harta warisan orangtua angkatnya dan harta warisan yang berasal dari harta pusaka merupakan harta bawaan, yang apabila pemiliknya meninggal dunia maka harta tersebut akan kembali keasalnya. Hal tersebut kemudian menimbulkan sengketa diantara NURSIAH binti Abd. Rani sebagai anak angkat yang merasa dirinya sebagai satu-satunya ahli waris dari orangtua angkatnya sebagaimana surat keterangan waris yang dibuat oleh pejabat desa setempat, yang selanjutnya berkedudukan sebagai Penggugat dengan cucu keturunan saudara kandung Pewaris, Mursalin bin Abdurrahman bin Muhammad dan Yeni binti Abdurrahman bin Muhammad, yang selanjutnya berkedudukan sebagai para Tergugat. NURSIAH binti Abd. Rani mengajukan gugatan secara perdata ke Mahkamah Syar’iyah Kota Lansa dan berproses sampai tingkat Kasasi di Mahkamah Agung. Untuk mempermudah pemahaman tentang garis keturunan dalam keluarga Pewaris, maka silsilah keluarga Pewaris dapat dilihat pada skema di bawah ini : 6
♂
♀ M. Ali
♀
♂
Romlah ♀ Aman Farijah
Arfan
♂
Muhammad ♀
UMAR (Pewaris)
♂
Rukiah
♀
Maryani Abdurrahman
X
♂ Mursalin
♀
♀
♀ NURSIAH binti Abd. Rani (Anak Angkat)
Yeni
Pengangkatan anak dalam hukum Islam mengandung pengertian mengambil anak orang lain untuk diasuh dan dididik dengan penuh kasih sayang dan perhatian tanpa diberikan status sebagai anak kandung kepadanya. Namun ia diperlakukan sebagai anak sendiri oleh orangtua angkatnya tanpa memutuskan hubungan hukum anak angkat dengan orangtua kandungnya. Menurut Muderis Zaini, dia diasuh dengan memberikan makanan dan pakaian sebagaimana kebutuhannya, tetapi ia tidak menasabkan pada dirinya sebagai anak kandung, yaitu memperlakukan padanya hukum warisan dan perkawinan sebagaimna anak kandung. 10 Hal ini merupakan bagian dari amal sholih yang sangat dianjurkan oleh Islam dalam kontek saling tolong menolong terhadap sesama. Akibat hukum pengangkatan anak dalam hukum Islam antara lain : 1) Tidak memutuskan hubungan darah antara anak yang diangkat dengan orangtua biologisnya dan keluarganya; 2) Anak angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari orangtua angkat, melainkan tetap sebagai pewaris dari orangtua kandungnya, demikian orangtua angkat tidak berkedudukan sebagai pewaris dari anak angkatnya; 3) Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orangtua angkatnya secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal/alamat; 10
Muderis Zaini, Op.Cit. Hal 88
7
4) Orangtua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan terhadap anak angkatnya; 5) Timbulnya hak dan kewajiban antara orangtua dan anak sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan. Larangan pengangkatan anak dalam arti sebenar-benarnya dijadikan anak kandung ini sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an surat Al-Ahzab ayat 4 dan 5. Dalam kasus kewarisan diatas, NURSIAH yang merupakan anak angkat dari pasangan suami istri almarhum Umar bin M. Ali dan Rukiah binti Abu Hasan, tidak diputuskan hubungan nasab/kekerabatan dengan orangtua kandungnya sehingga tetap menggunakan nama bapaknya dibelakang namanya yaitu NURSIAH binti Abd. Rani, bukan NURSIAH binti Umar. Dalam hal ini terjadi peralihan kewajiban untuk memberikan nafkah sehari-hari, mendidik dan mengasuh dengan penuh kasih sayang dari orangtua kandung kepada orangtua angkatnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 huruf (g) yang menyatakan bahwa anak angkat adalah anak yang dalam hal pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan tanggung jawabnya dari orangtua asal kepada orangtua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan. Hal ini mengandung pengertian pula bahwa status kekerabatan anak angkat tetap berada diluar lingkungan keluarga angkatnya, ia tetap anak dan kerabat orangtua kandungnya berikut dengan segala akibat hukumnya. Perbuatan hukum pengangkatan anak dalam kasus ini, tidak melalui penetapan pengadilan sebagaimana disyaratkan Pasal 171 huruf (g) KHI tersebut. Menurut Penulis, hal ini disebabkan perbuatan hukum pengangkatan anak tersebut dilakukan pada tahun 1981 sedangkan Kompilasi Hukum Islam, yang merupakan pedoman pelaksaan hukum Islam baru terbentuk pada tahun 1991 melaui Instruksi Presiden No. 1 serta adanya ketidakpahaman para pihak dalam proses pengangkatan anak ini bahwa penetapan pengadilan sangat penting demi menjamin kepastian hukum bagi status anak angkat dan orangtua angkat serta legalitas pengangkatan anak tersebut. Kedudukan anak angkat dan orangtua angkat diakui eksistensinya dalam Pasal 171 huruf (g) yang mengatur tentang pengertian anak angkat dan Pasal 209 KHI yang 8
mengatur tentang wasiat wajibah antara anak angkat dan orangtua angkat sebesar maksimal 1/3 dari harta warisan. Adapun unsur-unsur kewarisan dalam kasus Perdata No. 207 K/Ag/2012 ini antara lain yaitu : 1) Pewaris sebagaimana ketentuan Pasal 171 huruf (b) KHI yang menyatakan bahwa pewaris adalah yang pada saat meninggalnya atau dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. Almarhum Umar bin M. Ali sebagai pewaris, saat meninggalnya beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta warisan.; 2) Harta warisan menurut Pasal 171 huruf (e), berupa harta bawaan ditambah bagian dari harta bersama setelah digunakan untuk keperluan Pewaris selama sakit sampai meninggalnya. Dengan demikian harta warisan Umar bin M. Ali adalah harta bawaan yang berupa harta pusaka/tanah sengketa yang merupakan warisan dari orangtua Pewaris ditambah separuh dari harta bersama. Bagian harta bersama tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 96 (1) KHI yang mengatur bahwa apabila terjadi cerai mati, maka separuh harta bersama menjadi hak pasangan yang hidup lebih lama; 3) Ahli waris dari almarhum Umar bin M. Ali sebagimana ketentuan Pasal 171 huruf (c) KHI yang memberikan pengertian tentang ahli waris, Pasal 174 (1) KHI yang mengatur tentang kelompok-kelompok ahli waris dan Pasal 185 KHI yang mengatur tentang ahli waris pengganti. Sehingga berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut
maka ahli waris dalam kasus ini adalah ahli waris karena hubungan
perkawinan yaitu Rukiah binti Abu Hasan serta ahli waris karena hubungan darah yaitu saudara kandung Pewaris dan anak keturunannya yaitu Maryani binti Muhammad, Aman Farijah binti Muhammad, Mursalin bin Abdurrahman bin Muhammad dan Yeni binti Abdurrahman bin Muhammad sebagai ahli waris pengganti. Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa NURSIAH binti Abd. Rani/anak angkat, bukan merupakan ahli waris dari Pewaris Umar bin M. Ali. Hal ini disebabkan bahwa syarat untuk dapat menjadi ahli waris menurut Pasal 171 9
huruf (c) KHI yaitu memiliki hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan Pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. NURSIAH binti Abd. Rani tidak memenuhi syarat sebagai ahli waris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 171 KHI tersebut. Demikian juga berdasarkan Pasal 174 (1) KHI yang menetukan kelompok-kelompok ahli waris dalam dua kelompok yaitu Ahli waris menurut hubungan darah dan ahli waris menurut hubungan perkawinan, NURSIAH binti Abd. Rani tidak termasuk dalam kelompok ahli waris sebagaimana ketentuan Pasal 174 (1) KHI tersebut. Mengenai bagian warisan untuk para ahli waris yang sah secara nasab adalah sebagai berikut : a. Istri almarhum Umar bin M. Ali/Pewaris, Rukiyah binti Abu Hasan mendapatkan bagian warisan sebesar 1/4 bagian dari harta peninggalan pewaris karena pewaris tidak memiliki anak; b. Anak-anak perempuan dari saudara laki-laki Pewaris/Keponakan perempuan dari saudara laki-laki Pewaris, Maryani binti Muhammad dan Aman Farijah binti Muhammad, masing-masing mendapatkan bagian warisan sebesar 1/4 bagian dari harta peninggalan; dan c. Cucu laki-laki dari saudara laki-laki Pewaris, Mursalin bin Abdurrahman bin Muhammad dan cucu perempuan dari saudara laki-laki Pewaris, Yeni binti Abdurrahman bin Muhamaad, secara bersama-sama mendapatkan bagian warisan sebesar 1/4 bagian dari harta peninggalan. Pembagian harta warisan tersebut diatas dilakukan setelah dikeluarkannya wasiat wajibah untuk anak angkat. Majelis Hakim Mahkamah Syar’iyah Aceh dalam
putusannya menetukan
bagian warisan untuk NURSIAH binti Abd. Rani sebagai anak angkat mendapatkan bagian warisan yang berupa wasiat wajibah sebesar 1/10 (sepersepuluh) bagian dari harta warisan almarhum Umar bin M. Ali. Keputusan Majelis Hakim tersebut merupakan implementasi hak mewaris anak angkat tetapi bukan merupakan hak mewaris sebagaimana hak mewaris yang melekat pada ahli waris yang sah sesuai dengan ketentuan Pasal 171 huruf (c) KHI. 10
Bagian warisan yang diterima oleh NURSIAH bin Abd. Rani tersebut bukan merupakan bagian warisan sebagai ahli waris yang sah dari Umar bin M. Ali. Hal ini disebabkan karena dalam Hukum Islam, NURSIAH binti Abd. Rani sebagai anak angkat, tidak memiliki kekerabatan atau hubungan nasab dengan orangtua angkatnya. Ia tetap bernasab kepada orangtua asalnya. M. Budiarto sebagaimana dikutip oleh Irma Devita Purnamasari, berpendapat bahwa dalam Hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris-mewarisi dengan orangtua angkatnya. Anak angkat tetap menjadi ahli waris dari orangtua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya. 11 Ketentuan ini merupakan aturan yang telah ditetapkan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al Ahzab ayat 4-5 yang telah Penulis sampaikankan dalam uraian diatas. Yang dimaksud dengan wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memaksa atau member putusan wajib wasiat bagi orang yang meninggal, yang diberikan pada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
12
Berdasarkan ketentuan KHI tersebut, Majelis Hakim Mahkamah
Agung dalam putusannya memutuskan untuk memberikan bagian sebesar 1/10 (sepersepuluh) bagian dari harta warisan yang ditinggalkan Pewaris. Muderis Zaini berpendapat bahwa salah satu jalan keluar agar anak angkat mendapat harta yang ditinggalkan oleh orangtua angkatnya, cukup dilakukan dengan hibah atau membuat surat wasiat sewaktu orangtua angkatnya masih hidup. Dalam hal ini pun masih harus tetap memperhatikan norma-norma yang terdapat dalam Hukum Islam, yaitu hibah atau wasiat itu tidak boleh melebihi 1/3 (sepertiga) bagian dari seluruh harta peninggalannya. 13 Pewaris seharusnya dapat melakukan hibah sehingga NURSIAH binti Abd. Rani dapat memperoleh bagian harta warisan dengan jumlah yang maksimal sebagaimana diatur dalam Pasal 210 KHI tentang hibah, yaitu sebesar 11
M. Budiarto dalam Irma Devita Purnamasari. 2014. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris. Bandung:Kaifa. Hal 121-122 12 Ahmad Rofiq dalam Soedharyo Soimin.2000. Himpunan Dasar Hukum Pengangkatan Anak. Jakarta: Sinar Grafika. Hal 131 13
Muderis Zaini, Op. cit. Hal 88
11
1/3 (sepertiga) bagian dari harta peninggalan Pewaris mengingat kewajiban orangtua angkat untuk melindungi anak agar tidak terlantar.
2. Implementasi Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Perdata Barat (BW) Dalam Putusan Mahkamah Agung Reg. No. 666 PK/Pdt/2011 Pengangkatan anak dalam Hukum Perdata Barat/BW diatur dalam Staatsblad 1917 No. 129/Stb. 1917 No. 129 Bab II Pasal 5 dampai dengan Pasal 15 yang mengatur masalah adopsi untuk golongan masyarakat Tionghoa yang biasa dikenal dengan golongan Timur Asing. Dalam kasus hak mewaris anak angkat ini, silsilah keluarga Pewaris
secara
sederhana dapat digambarkan sebagai berikut : Perkawinan Kedua Perkawinan Pertama
♀
♂
Ny. Indrawati D
♂ Tn. Krishna D
Tn . Liem Tiek Kwee
alias Njoo Giok Tien
♂ LB. Siang
alias Kwee Siau Ling
♂ LB. Thong Alias Bernadus D.D.
♀
♂
WONG MIE HWA K.I. Bie (anak angkat) alias alias Pramudya P
♂ K.I. Tjhwan alias Antonius H
KWEE LANG HIANG
alias BERNADETTA LANNY DHARMAPUTRA
Pewaris/Ny. Njoo Giok alias Indrawati semasa hidupnya pernah kawin 2 (dua) kali, yang pertama dengan Tn. Liem Tiek Kwee. Dalam perkawinan tersebut dilahirkan 2(dua) orang anak laki-laki yaitu Liem Boen Siang, (LB. Siang) dan Liem Boen Thong (LB. Thong) alias Bernardus Dong Darmajuwana. Tn. Liem Tiek Kwee meninggal lebih dulu sehingga Pewaris kawin untuk kedua kalinya pada tanggal 24 April 1947 dengan Tn. Kwee Siaw Ling alias
Krishna
Dharmaputra. Dalam perkawinan kedua tersebut diperoleh 2 (dua) orang anak laki-laki
12
yaitu Kwee Ing Bie (KI. Bie) alias Pramudya Purbyantoro dan Kwee Ing Tjhwan (KI. Tjhwan) alias Antonius Handoko. Dalam perkawinan kedua ini, Pewaris bersama suaminya Tn. Krishna Dharmaputra mengangkat seorang anak perempuan yang bernama WONG MEI HWA yang tertuang dalan Akta Surat Keterangan Pengangkatan Anak No. 12 tanggal 15 April 1969 yang dibuat dihadapan Joost Dumanauw, notaris di Makasar. Perbuatan hukum ini, diketahui dan setujui oleh anak-anak kandung Pewaris yakni LB. Thong (anak dari perkawinan pertama) dan KI. Bie (anak dari perkawinan kedua) sebagaimana tertuang dalam surat persetujuan tanggal 4 April 1969 yang dilekatkan pada minut akta Surat Pengangkatan Anak tersebut diatas. Pengangkatan anak inipun didukung dengan bukti Surat Pernyataan Ganti Nama No. 8015/Gt.Mn/Komad/1967L tanggal 7 September 1967 atas nama WONG MEI HWA diganti menjadi BERNADETTA LANNY DHARMAPUTERA dan Surat Pernyataan Keterangan Melepaskan Kewarganegaraan Republik Rakyat Tingkok untuk Tetap Menjadi Warganegara Republik Indonesia No. 1637 WNI tanggal 19 Januari 1961. Pewaris kemudian meninggal dunia pada tanggal 22 Juli 1990 dan Tn. Krishna Dharmaputra alias Kwee Siaw Ling meninggal dunia pada tanggal 2 April 1997 tanpa meninggalkan wasiat. Permasalahan berawal ketika LB. Thong, sebagai salah satu ahli waris, menguasai harta peninggalan Pewaris yang berupa tanah dan bangunan seluas 907 m² yang terletak di Jalan Raya Darmo No. 51-53
Surabaya, yang selanjutnya disebut objek sengketa, atas
dasar Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang tertuang dalam Akta Notaris No. 18 tanggal 13 Februari 1990 antara Pewaris dengan LB. Thong yang disertai pula dengan Surat Kuasa dalam Akta Notaris No. 19 tanggal 13 Februari 1990 kepada LB. Thong untuk menghipotikan dan/atau menjual atau memindahtangankan atas obyek sengketa. LB. Thong telah melakukan pembayaran
sesuai perjanjian jual beli tersebut sebesar
Rp.
250.000.000,- (Dua Ratus Lima Puluh Juta Rupiah) kepada Pewaris. Penguasaan atas harta warisan tersebut
kemudian menimbulkan sengketa diantara para ahli waris sehingga
dilakukkan upaya hukum untuk menyelesaikan masalah melalui pengadilan mulai dari proses di Pengadilan Negeri Surabaya sampai dengan Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. 13
Ketentuan tentang hak mewaris anak angkat dalam Stb. 1917 No. 129 tidak diatur secara tegas, sehingga dalam hal ini ketentuan tentang hak saling mewaris antara anak angkat dan orangtua angkat mengacu pada ketentuan dalam hukum waris sebagaimana diatur dalam
KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek/BW). Hukum Waris Perdata Barat
mengandung prinsip bahwa harta waris baru terbuka apabila terjadi suatu kematian (Pasal 830 BW) dan adanya hubungan darah diantara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri pewaris. 14 Mencermati ketentuan Pasal 830 BW tersebut yang mensyaratkan adanya hubungan darah diantara pewaris dan ahli waris, kecuali untuk suami atau istri pewaris, maka dalam kasus yang diteliti ini, anak angkat WONG MEI HWA berdasarkan ketentuan Pasal 12(1) Stb. 1917 No. 129 yang menyatakan bahwa anak tersebut dianggap sebagai yang dilahirkan dari perkawinan mereka, maka anak angkat dianggap memiliki hubungan darah dengan orangtua angkatnya. Berdasarkan ketentuan Pasal 10 Stb. 1917 No. 129 dan Yurisprudensi Pengadilan Negeri Istimewa Jakarta tanggal 29 Mei 1963, pengangkatan anak perempuan yang bernama WONG MIE HWA oleh Pewaris dan Tn. Krishna Dharmaputra/Kwee Siaw Ling, yang dilakukan melalui notaris pada tanggal 15 April 1969 adalah sah menurut hukum. Akibat hukum adanya pengangkatan anak WONG MEI HWA tersebut nampak
jelas
dengan diberikannya hak untuk mempergunakan nama “KWEE” atau “DHARMAPUTRA” sebagai nama keluarga dan mengganti nama WONG MEI HWA dengan nama KWEE LAN HIANG alias BERNADETTA LANNY DHARMAPUTRA. Legalitas penggantian nama
tersebut
tertuang
dalam
Surat
Pernyataan
Ganti
Nama
No.
Daftar
:
8025/Gt.Nm/Komad/1967, tanggal 7 September 1967. Dengan adanya pengangkatan anak ini mengakibatkan pula
putusnya hubungan
hukum antara WONG MEI HWA dengan orangtua kandungnya dan menjadikannya sebagai anak kandung orangtua angkatnya, yang kemudian menimbulkan pula adanya hak dan kewajiban antara anak dan orangtua sebagaimana hak dan kewajiban yang melekat pada anak kandung terhadap orangtua kandung pun demikian sebaliknya, termasuk hak untuk saling mewarisi. 14
Irma Devita Purnamasari, Op. cit, Hal 2
14
Dalam amar putusannya, Majelis Hakim Kasasi memutuskan mengenai hal-hal sehubungan dengan masalah yang diteliti, sebagai berikut : a. Menyatakan bahwa obyek sengketa merupakan harta bersama dalam perkawinan antara Pewaris dan Tn. Krishna Dharmaputera, yang merupakan harta waris/peninggalan yang belum dibagi waris diantara ahli waris yang berhak menerimanya; b. Menyatakan ahli waris dari Pewaris adalah LB. Siang, LB. Thong, KI. Bie dan KI. Tjhwan dan sebagai ahli waris dari Tn. Krishna Dharmaputera adalah KI. Bie dan KI. Tjhwan; c. Menyatakan bagian masing-masing ahli waris atas obyek sengketa adalah: 1) LB. Siang mendapat 1/8 dari obyek sengketa 2) LB. Thong mendapat 1/8 dari obyek sengketa 3) KI. Bie mendapat 3/8 dari obyek sengketa 4) KI. Tjhwan mendapat 3/8 dari obyek sengketa Dalam putusan tersebut, hak mewaris anak angkat terhadap harta peninggalan orangtua angkatnya tidak terpenuhi. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal 11 sampai dengan Pasal 14 Stb. 1917 No. 129 yang mengatur mengenai akibat hukum dari pengangkatan anak, khususnya ketentuan dalam Pasal 12(1) yang menyatakan bahwa anak angkat dianggap sebagai anak yang dilahirkan dalam perkawinan orangtua angkatnya, yang berarti dianggap sebagai anak kandung, maka menurut pendapat penulis, WONG MEI HWA sebagai anak angkat yang telah diangkat secara sah menurut hukum adalah juga sebagai ahli waris dari Pewaris dan Tn. Krishna Dharmaputera, yang memiliki hak mewaris yang sama dengan anak-anak kandung Pewaris. Irma Devita Purnamasari mengatakan bahwa anak angkat berhak mewarisi harta orangtua angkatnya dengan bagian yang sama besarnya dengan bagian anak sah. 15 Berdasarkan ketentuan Stb. 1917 No. 129 dan KUHPerdata maka para ahli waris yang sah dari Pewaris Ny. Indrawati Dharmaputera adalah : a. Ahli waris dari perkawinan pertama adalah LB. Thong dan LB. Siang b. Ahli waris dari perkawinan kedua adalah KI. Bie, KI. Thjwan dan anak angkat WONG MEI HWA 15
Irma Devita Purnamasari, Op. cit. Hal 121
15
Para ahli waris tersebut, mewaris secara ab intestato karena Pewaris tidak meninggalkan wasiat dan merupakan ahli waris Golongan I sebagaimana ketentuan dalam Pasal 852 BW yang menyatakan bahwa anak-anak atau sekalian keturunan mereka, biar dilahirkan dari lain-lain perkawinan sekalipun, mewaris dari kedua orangtua. Adapun mengenai bagian masing-masing ahli waris dalam mewaris secara abintestato ini dapat penulis paparkan sebagai berikut : Pasal 119 BW menyatakan bahwa mulai saat perkawinan dilangsungkan, maka demi hukum berlakulah persatuan bulat antara harta kekayaan suami dan istri, sekedar mengenai itu dengan perjanjian kawin tidak diadakan ketentuan lain. Hal ini mengandung pengertian bahwa akibat perkawinan terhadap harta kekayaan suami istri terjadi persatuan bulat (seluruhnya). Ali Affandi mengatakan bahwa persatuan bulat (seluruhnya) harta kekayaan terjadi jika suami dan istri pada perkawinannya tiada mengadakan perjanjian apapun. 16 Dengan demikian maka obyek sengketa dalam kasus ini merupakan harta bersama antara Pewaris dengan suami keduanya Tn. Krishna Dharmaputera. Selanjutnya Pasal 126 BW menyatakan bahwa persatuan demi hukum menjadi bubar, salah satunya, karena kematian. Berdasarkan ketentuan tersebut maka sejak kematian Pewaris persatuan harta antara Pewaris dan Tn. Krishna Dharmaputera menjadi bubar dan berlakulah ketentuan dalam Pasal 128 BW (1) yang mengatur bahwa setelah bubarnya persatuan, maka harta benda kesatuan dibagi dua antara suami dan istri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, dengan tak memperdulikan soal dari pihak yang manakah barang-barang itu diperolehnya. Sehingga, obyek sengketa dalam kasus ini dibagi dua antara Pewaris dan Tn. Krishna yang masing-masing mendapat 1/2 (setengah) bagian yang selanjutnya dibagikan kepada masing-masing ahli waris yang sah sebagai berikut: a. LB. Thong mendapat 1/10 bagian atau 3/30; b. LB. Siang mendapat 1/10 bagian atau 3/30; c. KI. Bie mendapat 1/10 + 1/6 bagian = 8/30 bagian; d. KI. Tjhwan mendapat 1/10 + 1/6 bagian = 8/30 bagian; dan e. Anak angkat WONG MEI HWA mendapat 1/10 + 1/6 bagian = 8/30 bagian.
16
Ali Afandi, Op. cit. Hal 166
16
3. Implementasi Hak Mewaris Anak Angkat Menurut Hukum Adat Jawa
Dalam
Putusan Reg. No. 1429 K/Pdt/2012 Dalam kasus implementasi hak mewaris anak angkat berdasarkan Hukum Adat Jawa ini, secara singkat, kronologis permasalahan dapat diuraikan sebagai berikut : alm. Karto Pawiro P. Soegiman dan almh. Supidjah memiliki 5 (lima) orang anak, yaitu alm. Djojo Soegiman/Pewaris, Samsi, Sukatmoko, Pasiran dan Suminah. Pewaris kawin dengan Sutirah dan selama dalam perkawinan tersebut, mereka tidak dikaruniai anak, sehingga mereka memutuskan untuk mengangkat seorang anak yang pada saat itu masih balita bernama TITIN TYASNINGSIH sebagai anak angkat, yang merupakan anak perempuan dari Suminah saudara perempuan alm. Djojo Soegiman. Pada saat meninggal dunia pada tanggal 22 Maret 2010, Pewaris meninggalkan harta warisan yang beberapa diantaranya merupakan hasil pembagian waris dari orangtuanya almarhum Karto Pawiro P. Soegiman sekitar tahun 1970. Permasalahannya adalah bagian warisan yang diperoleh pewaris dari orangtuanya tersebut dikuasai oleh saudara-saudara kandung Pewaris dengan alasan bahwa dengan meninggalnya Pewaris maka harta tersebut akan kembali keasalnya yakni kepada keluarga Pewaris. Sementara TITIN TYASNINGSIH/anak angkat sebagai anak satu-satunya dari Pewaris, yang berdasarkan Surat Keterangan Waris dari Kantor Kecamatan setempat dinyatakan sebagai satu-satunya anak/ahli waris almarhum Djojo Soegiman, merasa berhak atas semua harta peninggalan Pewaris. Hal
inilah
yang selanjutnya
menimbulkan
sengketa
waris
antara
TITIN
TYASNINGSIH sebagai Penggugat dengan saudara-saudara kandung Pewaris sebagai Para Tergugat yang dimohonkan penyelesaiannya kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro dan berproses hingga tingkat Kasasi. Secara sederhana, silsilah keluarga alm. Djojo Soegiman dapat digambarkan sebagai berikut :
17
♂
♀
Karto Pawiro
♀ Suminah
♂ Pasiran
Supidja
♂ ♂ Sukatmoko Samsi
♂ Djojo Soegiman (Pewaris)
♀ Sutirah ♀
TITIN TYASNINGSIH (Anak Angkat)
Dalam gugatannya, TITIN TYASNINGSIH memohon agar Majelis Hakim Pegadilan Negeri Bojonegoro memutuskan antara lain: a) Menyatakan bahwa Djojo Soegiman (orangtua angkat Penggugat) sebagai pemilik atas tanah sengketa; b) Menyatakan Penggugat adalah ahli waris Djojo Soegiman. Mengenai status tanah sengketa tersebut, dalam pemeriksaan pengadilan diketahui bahwa kedua belah pihak mengakui bahwa asal usul tanah sengketa tersebut adalah tanah harta peninggalan dari orangtua mereka alm. Karto Pawiro yang telah dibagi waris kepada kelima anak-anaknya. Tanah yang disengketakan tersebut merupakan bagian warisan yang menjadi hak alm. Djojo Soegiman. Saudara-saudara kandung Pewaris, yakni Sumirah, Samiran, Sukatmoko dan Samsi/Para Tergugat mendalilkan dalam jawabannya bahwa tanah sengketa tersebut harus kembali keasalnya karena merupakan harta pusaka. Mengenai hal ini Penulis berpendapat bahwa tanah sengketa bukan termasuk harta pusaka, akan tetapi merupakan hak dari Pewaris hasil dari pembagian waris dari orangtuanya. Sedangkan harta pusaka adalah harta yang tidak dapat dibagi waris. Pendapat ini mengacu pada pengertian harta pusaka sebagaimana dikemukan oleh Zainuddin Ali bahwa harta pusaka adalah harta warisan yang hanya diwariskan kepada ahli waris tertentu karena sifatnya tidak terbagi, melainkan hanya dinikmati/dimanfaatkan bersama oleh semua ahli waris dan keturunannya. 17 Sebagai contoh harta pusaka berupa pakaian adat perkawinan suku Kalali, harta pusaka tinggi di 17
Zainuddin Ali.2008. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta;Sinar Grafika Hal 4
18
Minangkabau, tanoh buway di Lampung, tanah dati di Ambon dan lain sebagainya. Harta Pusaka tersebut merupakan milik suatu keluarga dan tidak dapat dimiliki pleh warga keluarga itu secara individual. 18 Mengenai permohonan agar Penggugat dinyatakan sebagai ahli waris dari almarhum Djojo Soegiman,
berdasarkan bukti-bukti
dan saksi-saksi yang dihadirkan dimuka
persidangan, majelis hakim memutuskan dalam Putusan No. 17/Pdt.G/2011/PN.BJN tanggal 15 September 2011 bahwa Penggugat TITIN TYASNINGSIH sebagai anak angkat Dari alamarhum Djojo Soegiman dan Sutirah maka menurut Hukum Adat di Indonesia, Penggugat adalah ahli waris dari almarhum Djojo Soegiman. Dalam kasus ini, para waris dari almarhun Djojo Soegiman, menurut hukum Adat Jawa, terdiri atas : a) Sutirah sebagai janda dari Pewaris. Keputusan Mahkamah Agung No. 100 K/Sip/1967 tanggal 14 Juni 1968 yang menyatakan bahwa karena mengingat pertumbuhan masyarakat dewasa ini yang menuju persamaan kedudukan antara pria dan wanita, dan penetapan janda sebagai ahli waris telah merupakan yurisprudensi yang dianut oleh Mahkamah Agung. 19 Doktrin dahulu dimana seorang janda dalam Hukum Adat adalah bukan ahli waris tetapi berhak untuk dijamin kehidupannya dari warisan sang suami, sekarang oleh Pengadilan ia sudah lazim diberikan predikat ahli waris juga. 20 b) TITIN TYASNINGSIH sebagai anak angkat dari almarhum Djojo Soegiman dan Sutirah yang disahkan pada 1 Oktober 1992 dengan Penetapan Pengadilan No. 51/Pen.Pdt/1992/PN. BJN di Pengadilan Negeri Bojonegoro.
Kedudukan hukum anak angkat dalam sistem kekeluargaan parental seperti di Jawa, menurut Tolib Setiady, tidak mempunyai kedudukan sebagai anak kandung serta tidak diambil dengan maksud untuk meneruskan turunan orangtua angkatnya, perbuatan pengangkatan anak itu hanyalah memasukan anak itu ke kehidupan rumah tangga orangtua angkatnya tetapi tidak memutuskan pertalian keluarga antara anak itu dengan orangtuanya sendiri. Dengan demikian lambat laun akan timbul dan berkembang hubungan kerumah
18
Soerjono Soekanto. 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta:Pradnya Paramita. Hal 266 Soerjono Soekanto,Op. cit. Hal 264 20 Subekti dalam Hilman Hadikusuma.1993. Hukum Waris Adat. Bandung:Citra Aditya Bakti. Hal 89 19
19
tanggaan yang menimbulkan hak dan kewajiban antara kedua belah pihak yang mempunyai konsekuensi terhadap harta kekayaan rumah tangga tersebut. Konsekuensi ini digambarkan dalam Yurisprudensi Putusan Land Raad Purworejo tanggal 25 Agustus 1937 bahwa barang pencarian dan barang gono-gini jatuh kepada janda dan anak angkat sedangkan barang asal kembali kepada saudara-saudara peninggal harta jikalau yang meninggal itu tidak mempunyai anak kandung. Juga Putusan Raad Van Justitie Jakarta dahulu tanggal 24 Mei 1940 bahwa anak angkat berhak atas barang-barang gono-gini orangtua angkatnya yang telah meninggal jikalau tidak ada anak kandung atau turunan seterusnya. Hal ini menggambarkan kedudukan anak angkat sebagai anggota rumah tangga sedangkan ia bukan waris tetapi berhak mendapatkan nafkah dari harta peninggalan orangtua angkatnya. 21 Akan tetapi Hilman Hadikusuma dengan jelas mengatakan bahwa seorang anak angkat merupakan ahli waris dari orangtua angkatnya. Anak angkat ngangsu sumur loro yang artinya mempunyai dua sumber warisan, karena ia mendapat warisan dari orangtua angkat dan juga warisan dari orangtua kandungnya. 22 Begitu juga pendapat Djojodigoeno-Tirtawinata sebagaimana dikutip oleh Tholib Setiady bahwa kedudukan anak angkat dengan anak sendiri itu sepenuhnya sama juga dalam hal menutup anggota-anggota kerabat lainnya sebagai ahli waris. Hal ini semata-mata merupakan pengetrapan secara konsekuen daripada asas bahwa adopsi adalah pengangkatanorang lain sebagai anak sendiri. 23 Mahkamah Agung Republik Indonesia pun dalam Putusannya Reg. No. 182K/SIP/1959 tanggal 15 Juli 1959 menyatakan bahwa anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orangtua angkatnya yang tidak merupakan harta yang diwarisi oleh orangtua angkat tersebut. 24 Hal ini berarti bahwa anak angkat berhak mewarisi harta peninggalan orangtua angkatnya kecuali harta pusaka. Harta pusaka kembali kepada asalnya yakitu waris keturunan darah. Dalam kasus ini diputuskan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Bojonegoro bahwa menurut Hukum Adat di Indonesia, anak angkat berkedudukan sebagai ahli waris dari 21
Tholib Setiady 2009. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan. Bandung: Alfabeta. Hal 300-301 22 Hilman Hadikusuma, Op. cit. Hal 80 23 Djojodigoeno-Tirtawinata dalam Tolib Setiady, Op. cit. Hal 302 24 Ibid. Hal 303
20
orangtua angkatnya, akan tetapi ia bukanlah satu-satunya ahli waris dari alm. Djojo Soegiman tetapi mewaris bersama-sama dengan Sutirah sebagai janda Pewaris. Menurut Hukum Waris Adat Jawa, Penggugat sebagai anak angkat almarhum Djojo Soegiman berkedudukan sebagai ahli waris juga disamping ahli waris lainnya. Adapun mengenai kedudukan saudara kandung Pewaris sebagai ahli waris seperti yang didalilkan oleh Para Tergugat dalam jawabannya bahwa mereka adalah ahli waris dari alm. Karto Pawiro P. Soegiman dan yang paling berhak mewarisi harta peninggalan dari orangtua mereka yang telah dibagi waris yang menjadi hak alm. Djojo Soegiman tersebut dengan pertimbangan bahwa tanah sengketa yang berasal dari harta warisan dari orangtua mereka, harus kembali ke asalnya, yakni kepada keluarga Pewaris dan tidak menjadi bagian warisan anak angkat, dalam hal ini, Penulis pengutip pendapat Zainuddin Ali yang mengatakan bahwa saudara menjadi ahli waris dari saudaranya bila ia meninggal serta meninggalkan harta warisan, tetapi tidak mempunyai anak dan orangtua yang menjadi ahli warisnya sudah tidak ada lagi. 25 Demikian pula Bagian Adat dari Raad Justisi di Jakarta pernah memutuskan bahwa apabila si peninggal warisan tidak meninggalkan anak atau cucu dan turunan seterusnya kebawah, maka orangtua dari peninggal adalah berhak atas harta warisan, tentunya bersama-sama dengan janda, kalau ada, dan apabila orangtua itu sudah wafat lebih dulu, maka yang berhak atas harta warisan ialah saudara-saudara sekandung dari si peninggal warisan. 26 Dengan demikian dapat dipahami keberadaan Sutirah sebagai janda dari alm. Djojo Soegiman menutup hak mewaris saudara-saudara kandung Pewaris.
4. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian tentang implementasi hak mewaris anak angkat berdasarkan tiga sistem hukum waris di Indonesia, yakni Hukum Waris Islam, Hukum Waris Perdata Barat/BWdan Hukum Waris Adat maka dapat ditarik suatu kesimpulan sebagai berikut :
25 26
Zainuddin Ali, Op. cit. Hal 7 Wirjono Prodjodikoro. 1983. Hukum Warisan Di Indonesia. Bandung:Sumur Bandung. Hal 56
21
1. Implementasi hak mewaris anak angkat dalam Hukum Waris Islam oleh Majelis Hakim Agung sebagaimana tertuang dalam Putusan No. 207 K/Ag/2012, diwujudkan dalam bentuk wasiat wajibah yang besarnya tidak boleh lebih dari 1/3 (sepertiga) bagian dari harta peninggalan orangtua angkatnya. Hal ini sebagaimana diatur dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 209 (2) yang menentukan bahwa terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 (sepertiga) dari harta warisan orangtuanya. 2. Implementasi hak mewaris anak angkat dalam Hukum Waris Perdata Barat/BW oleh Majelis Hakim Agung sebagaimana tertuang dalam Putusan No. 666 PK/Pdt/2011, tidak sesuai dengan ketentuan dalam Stb. 1917 No. 129 tentang Pengangkatan Anak. Dalam ketentuan tersebut dinyatakan bahwa seorang anak angkat dianggap sebagai anak yang terlahir dalam perkawinan orangtua angkatnya. Ia berhak memakai nama orangtua angkatnya serta memiliki hak dan kewajiban yang sama terhadap orangtua angkatnya sebagaimana hak dan kewajiban seorang anak kandung. Sehingga dalam hal mewaris pun, seorang anak angkat memiliki kedudukan yang sama dan mendapatkan bagian warisan yang sama pula dengan anak kandung karena ia termasuk anak yang merupakan golongan utama sebagai ahli waris orangtua angkatnya sebagaimana diatur dalam KUHPerdata. Akan tetapi dalam kasus ini, Hakim mengesampingkan hak anak angkat untuk menjadi ahli waris orangtua angkatnya. 3. Implementasi hak mewaris anak angkat dalam Hukum Waris Adat oleh Hakim Agung sebagaimana tertuang dalam putusan No. 1429 K/Pdt/2012, diwujudkan dengan diberikannya hak anak angkat sebagai ahli waris orangtua angkatnya sebagaimana ketentuan yang berlaku dalam Hukum Adat Jawa bahwa seorang anak angkat berhak mendapatkan bagian warisan dari orangtua kandung dan orangtua angkatnya. Hal ini disebabkan karena pengangkatan anak dalam sistem kekerabatan parental di Jawa, tidak memutuskan hubungan darah antara anak angkat dengan orangtua kandungnya dan anak angkat diperlakukan sebagai anak sendiri dalam keluarga orangtua angkatnya.
22
DAFTAR PUSTAKA Afandi, Ali.1986. Hukum Waris, Hukum Keluarga, Hukum Pembuktian. Jakarta:Bina Aksara Ali, Zainuddin. 2008. Pelaksanaan Hukum Waris Di Indonesia. Jakarta;Sinar Grafika Black’s Law Dictionary 4th edition 1891.1968.ST. Paul:West Publishing Co. Hadikusuma, Hilman,. 1993. Hukum Waris Adat. Bandung: Citra Aditya Bakti Purnamasari, Irma Devita. 2014. Kiat-Kiat Cerdas, Mudah, dan Bijak Memahami Masalah Hukum Waris. Bandung:Kaifa Prodjodikoro, Wirjono. 1983. Hukum Warisan Di Indonesia. Bandung:Sumur Bandung Setiady, Tolib. 2009. Intisari Hukum Adat Indonesia Dalam Kajian Kepustakaan. Bandung: Alfabeta Soekanto, Soerjono. 2011. Hukum Adat Indonesia. Jakarta: RajaGrafindo Persada Subekti dan R. Tjitrosudibio.1996. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek].Terjemahan.Cet. 28. Jakarta: Pradnya Paramita Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa. 2008. Kamus Bahasa Indonesia. Jakarta:Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Ter Haar.1987.Asas-Asas Dan Susunan Hukum Adat, Terjemahan K. Ng. Soebekti Pusponoto. Jakarta : Pradya Paramita Widowati Wiratmo Soekito,Sri.1983. Anak Dan Wanita Dalam Hukum. Jakarta: LP3ES Wignjodipoero, Soerojo.1995. Pengantar Dan Asas-Asas Hukum Adat.Jakarta : Gunung Agung Zaeni, Muderis.2006. Adopsi Suatu Tinjauan Dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta:Sinar Grafika Undang-Undang Dasar 1945; Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia; Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan; Peraturan Pemerintah No. 54 Tahun 2007 Tentang Pelaksanaan Pengangkatan Anak;
Kompilasi Hukum Islam (KHI); Fatwa MUI Tahun 1984 Tentang Adopsi (Pengangkatan Anak); Yurisprudensi Tentang Hak Mewaris Anak Angkat; Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk WetBoek) Staatsblad 1917 No. 129 Tentang Pengangkatan Anak Putusan Mahkamah Agung Registrasi No. 207 K/Ag/2012 Putusan Mahkamah Agung Registrasi No. 666 PK/Pdt/2011 Putusan Mahkamah Agung Registrasi No. 1429 K/Pdt/2012