Penanggung Jawab Arif Havas Oegroseno
Volume 01 ● Januari - Maret 2010 ARTIKEL
Pemimpin Redaksi Mulya Wirana Redaktur Eksekutif Iswayudha Editor Hari Tjahjono Diar Nurbintoro Octavino Alimuddin Moh. Zahir Syah Soedajat Redaktur Pelaksana Adam Mulawarman Irma Dewi Rismayati Rizal Wirakara Rheinhard Sinaga Syahda Guruh L. S. Rama Kurniawan Desain Grafis Abdul Hayyi Distribusi Uki Subki Tasunah Endang SB Lestari
Pencemaran Laut oleh Ladang Minyak Montara: A Responsibility And Liability Oktorian Saleh Hakim Quo Vadis Arah Kebijakan Perikanan Indonesia? Tantangan dalam Perspektif Hukum dan Kepentingan Nasional (Bagian I) Hari Yulianto Kajian Rezim Hukum Antariksa Modern dari Perspektif Space Faring States dan Non Space Faring States Ferry Junigwan Murdiansyah Anti Dumping di Indonesia Hari Tjahjono Gratifikasi: Selayang Pandang Rheinhard Sinaga International Treaties and Third Parties Muniroh Rahim BEDAH BUKU Enforcing Pollution Control Regulation: Strengthening Sanctions And Improving Deterrence (Carolyn Abbot) Irma Dewi Rismayati PRESS RELEASE
DIREKTORAT JENDERAL HUKUM DAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DEPARTEMEN LUAR NEGERI - REPUBLIK INDONESIA Jln. Taman Pejambon No.6 - Jakarta Telp. : (021) 384 6633 - 344 1508 Ext. 4212; Fax. : (021) 385 8044; Email :
[email protected]
Seminar “Perlindungan Warisan Budaya: Siapa Menjiplak Siapa” Jakarta, 19 Februari 2010
Volume 01 ● Januari - Maret 2010 DAFTAR ISI
i
PENGANTAR REDAKSI
ii
ARTIKEL Pencemaran Laut oleh Ladang Minyak Montara: A Responsibility And Liability Oktorian Saleh Hakim
1
Quo Vadis Arah Kebijakan Perikanan Indonesia? Tantangan dalam Perspektif Hukum dan Kepentingan Nasional (Bagian I) Hari Yulianto
5
Kajian Rezim Hukum Antariksa Modern dari Perspektif Space Faring States dan Non Space Faring States Ferry Junigwan Murdiansyah
16
Anti Dumping di Indonesia Hari Tjahjono
30
Gratifikasi: Selayang Pandang Rheinhard Sinaga
33
International Treaties and Third Parties Muniroh Rahim
35
BEDAH BUKU Enforcing Pollution Control Regulation: Strengthening Sanctions And Improving Deterrence (Carolyn Abbot) Irma Dewi Rismayati
45
PRESS RELEASE Seminar “Perlindungan Warisan Budaya: Siapa Menjiplak Siapa” Jakarta, 19 Februari 2010
48
Curriculum Vitae (CV) Penulis
49 1
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Jurnal Hukum dan Perjanjian Internasional, “Opinio Juris” diterbitkan dalam rangka diseminasi informasi, wacana dan perspektif hukum dan perjanjian internasional yang berkaitan dengan pelaksanaan hubungan luar negeri. Diharapkan artikel yang disajikan dapat meningkatkan pemahaman dan wawasan pembacanya khususnya berkenaan dengan isu-isu hukum dan perjanjian internasional. Selain itu, jurnal ini sebagai sarana bagi pegawai Kementerian Luar Negeri untuk mengasah kemampuan menuangkan ide dan gagasan serta mengemukakan pendapat hukum yang kritis dan informatif berkaitan dengan politik luar negeri dan hubungan antar negara. Jurnal Edisi ini menyajikan beragam tulisan berkaitan dengan permasalahan kewilayahan, baik kebijakan pengelolaan kelautan, maupun perspektif negara
OPINIO JURIS
tentang pengelolaan wilayah udara; penanganan hukum dalam pencemaran lingkungan hidup. Selain itu, dua permasalahan hukum menarik lainnya adalah anti dumping di Indonesia dan gratifikasi. Bedah Buku mengulas buku karangan Carolyn Abbot, “Enforcing Pollution Control Regulation: Strengthening Santions and Improving Deterrence” yang menggunakan model ekonomi dalam menelaah masalah penegakan hukum, pemberian sanksi dan deterrence terkait pencemaran lingkungan. Kami berharap “Opinio Juris” ini dapat menjadi wahana diseminasi berbagai isu hukum dan perjanjian internasional, dan sekaligus menjadi rujukan dalam mengembangkan wacana tentang peningkatan pemahaman berbagai hal yang berkaitan dengan hukum dan perjanjian internasional.
Kecuali dinyatakan sebaliknya, pandangan-pandangan dalam artikel yang termuat dalam Opinio Juris merupakan pendapat pribadi dan akademik. ii
OPINIO JURIS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
PENCEMARAN LAUT OLEH LADANG MINYAK MONTARA: A RESPONSIBILITY AND LIABILITY Oleh : Oktorian Saleh Hakim
Berita pencemaran Laut Timor beredar dan menjadi sorotan di beberapa media massa. Hal ini mulai terekspos setelah pada 21 Agustus 2009, PTT Exploration and Production (PTTEP) Australia menyatakan adanya gejala masalah pada aktivitas di Sumur Montara yang selama ini dikelola bersama oleh PTTEP Asutralasia (Thailand dan Australia).1 Dapat dipastikan bahwa sumbatan beton dan karet di ujung sumur dengan kedalaman 3,6 km itu ternyata retak. Semburan minyak dan gas Montara tidak terelakkan lagi mencemari laut sekitarnya. Kawasan yang dicemari minyak mentah tersebut dengan cepat meluas. Pada Desember 2009 silam, perairan yang terkena baru mencapai 6.000 kilometer persegi, namun dalam waktu sebulan area yang tercemari menjadi 12.000 kilometer persegi. Hal yang cukup mengkhawatirkan bahwa pencemaran laut tersebut mulai merambah wilayah Indonesia. Keterangan itu didukung oleh hasil Data Balai Riset dan Observasi Kelautan (BROK), Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) 2. Perkiraan BROK adalah polutan akan bergerak mengikuti arus laut yang dominan
1. 2. 3. 4.
ke arah barat-barat laut sepanjang AgustusSeptember, yang berlanjut ke arah timur sejak awal Oktober. Jika perkiraan ini benar dapat terjadi tiga kemungkinan : 1. Tumpahan minyak akan makin mendekati Pulau Rote, selanjutnya masuk ke wilayah Laut Sawu, 2. Tumpahan minyak mengalami deposisi ke lapisan air laut dalam, 3. Polutan yang ada juga dapat menyebar dengan pola yang berbeda3. Hasil uji laboratorium menunjukkan bahwa Laut Timor sudah sangat tercemar, oleh karenanya dapat dipastikan bahwa Pemerintah Indonesia tidak hanya akan mengambil tindakan mitigasi tetapi juga berencana mengajukan tuntutan ganti rugi kepada PTTEP Australasia4. Asas “tanggung jawab negara” dan “pencemar membayar”. Sebagai konsekuensi dari ratifikasi atas United Nation Convention on the Law of the Sea (UNCLOS) tahun 1982, Pemerintah Indonesia berkewajiban untuk menyesuaikan seluruh instrumen hukum nasional yang berkaitan dengan kelautan. Atas dasar itu pula, negara kita sudah membentuk Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 Tentang Pengelolaan
Gatra, 17 Februari 2010 Edisi No 14 Tahun XVI 11 Feb – 17 Feb 2010, hlm 39 Ibid Ibid Ibid.
1
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
dan Perlindungan Lingkungan Hidup (UU 32/2009) Hal menarik dari UU 32/2009 tersebut yaitu terkandung asas-asas hukum lingkungan. Diantaranya yaitu asas “tanggung jawab negara” dan “pencemar membayar”. Asas tanggung jawab negara mengandung pengertian bahwa : a) Negara menjamin pemanfaatan sumber daya alam akan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan mutu hidup rakyat, baik generasi masa kini maupun generasi masa depan. b) Negara menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. c) Negara mencegah dilakukannya kegiatan pemanfaatan sumber daya alam yang menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Sedangkan asas pencemar membayar yaitu bahwa setiap penanggung jawab yang usaha dan/ kegiatannya menimbulkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup wajib menanggung biaya pemulihan lingkungan.
OPINIO JURIS
Organization (IMO), dimana di dalam salah satu Konvensi-nya diatur secara jelas mengenai tanggung jawab “pencemar” beserta kompensasi lengkap dengan batasan jumlah ganti rugi yang bisa dituntut. Konsep tanggung jawab tersebut juga tercantum dalam UNCLOS, dimana Indonesia, Thailand, dan Australia merupakan negara-negara penandatanganan konvensi hukum laut tersebut. Pemerintah Indonesia dapat menggunakan konsep tanggung jawab pada UNCLOS sebagai dasar acuan atau rujukan untuk mitigasi dan klaim ganti rugi. UNCLOS Pasal 139 ayat 1 menyatakan : “States Parties shall have the responsibility to ensure that activities in the Area, wheter carried out by States Parties, or state enterprises or natural or juridical persons which possess the nationality of the States Parties or are effectively controlled by them or by their nationals, shall be carried out in conformity with this Part ...” Kemudian Pasal 192 menyatakan :
Menilik kedua asas yang terkandung dalam UU 32/2009 apabila dikaitkan dengan kasus pencemaran Laut Timor oleh PTTEP Australia sudah seharusnya pemerintah mengambil tindakan segera untuk menjamin hak warga negara atas lingkungan hidup yang baik dan sehat. Instrumen hukum dalam kasus pencemaran lingkungan lintas batas negara. Pencemaran laut lintas batas negara telah menjadi perhatian dari Internasional Maritime 2
“States have the obligation to protect and preserve the marine Environment” Lalu Pasal 235 ayat 3 menyatakan : “with the objective of assuring prompt and adequate compensation in respect of all damage caused by pollution of the marine environment, States shall cooperate in the implementation of existing international law and the further
OPINIO JURIS
development of international law relating to responsibility and liability for the assessment of and compensation for damaged and the settlement of related disputes, as well as, where appropriate, development criteria and procedures for payment of adequate compensation such as, compulsory insurance or compensation funds. Minyak sebagai sumber pencemaran menurut ketentuan International Convention on Liability for Oil Pollution Damage 1969 beserta Protocol 1992 (CLC 1969) yaitu : “Oil means any persisten hydrocarbon mineral oil such as crude oil, fuel oil, heavy diesel oil and lubricating oil, whether carried on board a ship as cargo or in the bunkers of such a ship”. “Persisten” dalam pengertian CLC 1969 dan tercantum pada UU 32/2009 mengkategorikan minyak persisten dalam kategori B3 (Bahan Berbahaya dan Beracun) yang mengandung arti bahwa komposisi kimiawinya dalam waktu lambat terdegradasi secara alami ketika tumpah ke dalam lingkungan laut dan cenderung menyebar dan memerlukan pembersihan.5 Untuk peristiwa Montara, pada saat terjadinya kebocoran hingga minyak tumpah dan mencemari laut, maka pemilik dan/pengelola fasilitas memiliki tanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tumpahnya minyak persisten tersebut. Dalam
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
hal ini yaitu PTTE Australasia sebagai operator dari anjungan minyak lepas pantai Montara (West Atlas Oil Rig). Responsibility dan Liability Mengacu ketentuan UNCLOS 1982 Pasal 139, 192, dan 235 maka Australia memiliki tanggung jawab (Responsibility) untuk melakukan pencegahan pencemaran dan tindakan mitigasi limbah minyak. Dalam pengertian Pasal 192 UNCLOS, Indonesia juga memikul kewajiban mitigasi tersebut, mengingat semua negara pihak dalam UNCLOS berkewajiban menjaga lingkungan laut dari pencemaran. Selain itu, kewajiban negara tersebut sesuai dengan asas tanggung jawab negara menurut UU 32/ 2009. Akan tetapi dalam melaksanakan mitigasi, Indonesia berhak meminta bantuan dan tanggung jawab Australia, mengingat asal terjadinya pencemaran adalah di wilayah Australia, dan penyebarannya telah memasuki zona ekonomi ekslklusif Indonesia (ZEE). Indonesia memiliki hak atas bantuan teknis dan dana mitigasi dari pemerintah Australia. Sedangkan gugatan ganti rugi (Liability for Oil Pollution Damage) dapat diajukan Pemri kepada PTTE Australasia, yang memang secara nyata terbukti bertanggung jawab atas tumpahan minyak ke laut dan menyebabkan pencemaran yang berdampak negatif pada ekosistem laut di wilayah laut Indonesia serta merugikan masyarakat yang menggantungkan perekonomiannya pada
5. Eny Budi Sri Haryani, Makalah “Pencemaran Minyak di Laut dan Tuntutan Ganti Kerugian”, Departemen Kelautan dan Perikanan, 2005.
3
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
ekosistem laut. Gugatan ganti rugi yang disertai dengan kelengkapan data pendukung akan menguatkan klaim Indonesia atas potensi kerugian yang dapat meningkatkan kemiskinan masyarakat di sekitar lokasi pencemaran dan kerusakan hayati laut. Rencana pertemuan Presiden Indonesia dengan Perdana Menteri Australia bulan Mei mendatang menunjukkan kedewasaan dan konsistensi Indonesia menghadapi persoalan regional serta mencari solusi atas masalah internasional dengan tetap mengedepankan prinsip “settlement of dispute in peaceful manner” serta selalu mengutamakan “cooperation and consultation”.
4
OPINIO JURIS
Hal ini sejalan dengan norma UNCLOS bahwa mitigasi pencemaran lintas batas negara harus dilakukan melalui kerjasama antar negara. Komitmen dan dukungan dari Pemerintah Australia dan Thailand dapat membantu kelancaran proses tuntutan ganti rugi, mengingat PTTE Australasia merupakan perusahaan joint venture antara PTTE (Thailand) dan Australasia (Australia). Hasil tuntutan ganti rugi tersebut akan sangat berarti bagi masyarakat Nusa Tenggara Timur untuk menggantikan sumber mata pencaharian yang hilang karena polusi minyak dan untuk memulihkan hayati laut yang rusak.
OPINIO JURIS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
QUO VADIS ARAH KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA? TANTANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEPENTINGAN NASIONAL (Bagian I)1 Oleh : HARI YULIANTO Arti Strategis Sumber Daya Perikanan Sumber daya ikan memiliki arti penting, baik sebagai sumber protein dan gizi pada makanan di banyak negara maupun kontribusinya yang semakin meningkat bagi keamanan pangan dunia.2 Sektor perikanan kiranya telah menjadi sumber protein utama bagi satu miliar umat manusia dan merupakan 5-10% persediaan pangan dunia.3 Dalam Deklarasi World Summit on Food Security November 2009, diprediksikan keharusan negara-negara untuk meningkatan output pertanian (termasuk ikan) sebesar 70% sampai dengan tahun 2050 guna menjamin pangan masyarakat dunia yang diperkirakan akan melebihi 9 miliar jiwa pada saat itu.4 Sumber daya ikan juga memberikan keuntungan ekonomi dan sosial yang sangat besar. FAO memperkirakan nilai perdagangan ekspor produk
perikanan pada 2009 sebesar 93,4 miliar sedangkan kegiatan Dollar AS5 penangkapan ikan dan aquaculture telah berperanan penting sebagai mata pencaharian langsung bagi sekitar 43,5 juta orang dan 4 juta orang secara tidak langsung (2006). Dari jumlah tersebut, diperkirakan 86 % dari nelayan-nelayan tersebut berada di kawasan Asia, terutama Cina yang menempati jumlah terbanyak terdiri atas 8,1 juta nelayan dan 4,5 juta petani ikan.6 Tantangan Pengelolaan Perikanan Dunia Terkait kegiatan penangkapan ikan, FAO memperkirakan bahwa pada tahun 2006 terdapat kapal-kapal penangkap ikan bermesin sebanyak 2,1 juta, dimana 70%nya terkonsentrasi di Asia dan sisanya tersebar di Afrika, Eropa, Timur Dekat, Amerika Latin dan Karibia. 90% dari jumlah tersebut didominasi oleh kapal-kapal yang berukuran kurang dari 12 meter, khususnya
1. Materi tulisan dalam artikel ini merupakan Bagian Pertama dari keseluruhan Artikel “QUO VADIS ARAH KEBIJAKAN PERIKANAN INDONESIA? TANTANGAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEPENTINGAN NASIONAL”, kelanjutan tulisan ini akan dimuat dalam edisi mendatang. 2. http://www.fao.org/fishery/topic/424/en 3. A Marine Environment and Tanker Safety Action Plan, G 8 Summit, Evian June 2003 4. Declaration of the World Summit on Food Security, Rome, 16-18 November 2009 5. FAO Food Outlook Global Market Analysis. http://www.fao.org/docrep/012/ak341e/ak341e01.htm#40 6. The State of World Fisheries and Aquaculture 2008
5
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
di wilayah Asia, Afrika dan Timur Jauh, sedangkan kapal-kapal di kawasan Pasifik, Oceania, Eropa dan Amerika Utara umumnya terdiri dari kapal-kapal yang berukuran lebih besar.7 Kegiatan pengangkapan ikan yang telah dimulai secara global pada abad ke-20 didukung juga oleh penggunaan kapal bermotor, murahnya harga bahan bakar, penggunaan mesin pendingin, peningkatan pasar komoditas global, dan subsidi pemerintah bagi peningkatan armada kapal. Praktek-praktek penangkapan ikan secara negatif seperti penangkapan ikan secara berlebihan (overfishing) yang bersifat destruktif, serta pencemaran terhadap ekosistem laut, pada akhirnya telah mengubah lautan dunia dan memengaruhi sumber daya perikanan laut.8 Dalam kurun waktu 40 tahun, sejak 1950 – 1990, diperkirakan hasil tangkapan (total landings) perikanan laut meningkat lima kali lipat (Mace, 1997). Namun demikian, upaya penangkapan ikan tidak mampu mengimbangi permintaan yang semakin meningkat sementara banyak dari perikanan laut telah melampaui batas penangkapan (overfished). FAO memperkirakan dalam periode 1990 – 1997, konsumsi ikan meningkat sebesar 31% sementara pemenuhan dari tangkapan ikan hanya bertambah sebesar 9%. Hal ini pada gilirannya telah meningkatkan
OPINIO JURIS
tekanan pada usaha-usaha penangkapan ikan komersial. Diperkirakan bahwa hampir setengah dari seluruh perikanan laut telah tereksploitasi (FAO, 1999) dan 70% diantaranya membutuhkan pengelolaan segera.9 Ekosistem ikan juga mengalami krisis yang diakibatkan oleh polusi air dan degradasi habitat, dimana kapal-kapal melakukan pencemaran di laut dengan membuang sampah dan limbah serta terjadinya tumpahan minyak oleh kapal. Beberapa kasus penangkapan ikan dengan menggunakan alat-alat tangkap yang bersifat destruktif juga membawa akibat merugikan pada lingkungan laut. Penggunaan tropical shrimp trawling, misalnya, tidak hanya mampu menangkap ikan namun juga dapat mengakibatkan ikut terbawanya penyu laut sebagai bycatch.10 Para nelayan juga banyak menggunakan bottom trawling, yaitu penggunaan jaring besar yang ditebarkan hingga ke dasar laut sehingga menjaring tidak hanya ikan namun juga hewan laut dan organisme lainnya seperti terumbu karang dan mengancam keanekaragaman hayati (biodiversity) serta lingkungan laut.11 Selain masalah-masalah tersebut diatas, pengelolaan perikanan juga terkait dengan aspek politik dan keamanan negara, baik secara bilateral, regional, maupun internasional. Isu
7. Ibid. 8. The Future of Marine Fish Resources, December 2009 J. Emmett Duffy 9. James H. Tidwell & Geoff L. Allan, Ecological and economic impacts and contributions of fish farming and capture fisheries. http://www.nature.com/embor/journal/v2/n11/full/embor285.html 10. Global fisheries face the ecosystem challenge. ftp://ftp.fao.org/docrep/fao/011/aj982e/aj982e09.pdf 11. Conservation Science Institute. 2009. Destructive Fishing Practices. http://www.conservationinstitute.org/ocean_change/ Fisheries/destructivefishingpractices.htm.
6
OPINIO JURIS
keberlanjutan (sustainability) sumber daya kelautan kiranya telah menjadi tema geopolitik baru yang menjadi perhatian saat ini. Hal ini sejalan dengan meningkatnya Gross World Product dunia sebesar 60 triliun Dollar AS, yang tidak hanya membawa keuntungan berupa peningkatan harapan hidup (life expectancy) dan kesehatan publik secara keseluruhan, namun juga memiliki dampak negatif berupa berkurangnya/hilangnya biodiversity dunia dan sumber daya perikanan laut. Kecuali jika kita mengadaptasikan global politik dengan tantangan keberlanjutan, maka kita akan menisbikan harapan kesejahteraaan dan perdamaian di masa depan.12 Secara lebih luas, potensi konflik akan terjadi dalam hal persaingan atas sumber daya akibat perubahan iklim dan menipisnya sumber daya air baik secara kuantitas (digunakan untuk kebutuhan hidup) maupun secara kualitas (terkait kontaminasi sumber daya air, misalnya 80% perairan Cina tidak lagi aman bagi kehidupan ikan). Potensi ”wars over water” ini sejalan dengan meningkatnya angka pertumbuhan penduduk, khususnya yang penghidupannya tergantung pada air, seperti di Asia Tenggara, India, dan Cina.13 Dalam konteks regional, pengelolaan perikanan dan lingkungan laut juga terkait dengan karakteristik geopolitik kawasan. Perdebatan
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
dan kepentingan atas Laut Cina Selatan, misalnya masih menjadi topik hangat hingga saat ini. Meskipun resiko terjadinya konflik telah menurun, namun demikian penetapan batas maritim dan klaim kedaulatan di kawasan ini masih menjadi isu yang belum terselesaikan. Disetujuinya Philippines Baseline Bill oleh Kongres Filipina dan Presiden Arroyo pada 2009, misalnya, telah mendapat protes dari Cina, karena akan menutup Huangyan Island (Scarborough Shoal) dan memasukkan beberapa pulau Nansha (Spratly Islands) sebagai bagian wilayah Filipina. Cina dan Vietnam selanjutnya menyebut tindakan Filipina ini dapat mengancam perdamaian dan stabilitas di kawasan.14 Masih adanya tumpang tindih klaim batas maritim dari beberapa negara di kawasan Laut Cina Selatan, pada gilirannya telah mempengaruhi upaya pengelolaan laut, keselamatan dan keamanan pelayaran, perlindungan dan konservasi lingkungan laut, serta eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan.15 Dalam ketiadaan batas maritim yang disetujui, upaya pengelolaan bersama (a cooperative management regime), dan dengan menghindarkan diri dari klaim yurisdiksi sepihak serta kepemilikan tunggal atas sumber daya kelautan, nampaknya menjadi solusi terbaik pada saat ini.16
12. Jeffrey Sachs, the New Geopolitics, Preventing wars and other strife will increasingly depend on facing the ecological consequences of our economic activities. 13. International Institute of Straregic Studies (IISS), 7th Global Strategic Review: "The New Geopolitics", written by: Brig. Gen. (rtd.) Dieter Farwick, Dr. Benedikt Franke, Philipp Hauenstein and Benedikt Wahler, 24-Sep-09 14. Sam Bateman, Commentary on Energy and Geopolitics in the South China Sea by Michael Richardson 15. Ibid. 16. Ibid.
7
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
Sehubungan dengan faktor keamanan pengelolaan perikanan, isu yang juga mengemuka dalam agenda kebijakan perikanan internasional adalah kegiatan illegal, unregulated and unreported fishing (IUU Fishing). Kegiatan IUU Fishing selain berdampak langsung pada biodiversity dan berkurangnya jumlah tangkapan ikan yang sah, juga berdampak tidak langsung terhadap keberlangsungan ekonomi dan sosial masyarakat nelayan yang hidupnya bergantung pada perikanan serta merugikan industri perikanan yang menjalankan aturan yang ditetapkan oleh otoritas pengelolaan.17
waters under the jurisdiction of a State, without the permission of that State, or in contravention of its laws and regulations; conducted by vessels flying the flag of States that are parties to a relevant regional fisheries management organization but operate in contravention of the conservation and management measures adopted by that organization and by which the States are bound, or relevant provisions of the applicable international law; or in violation of national laws or international obligations, including those undertaken by cooperating States to a relevant regional fisheries management organization.”20
Meningkatnya kegiatan IUU Fishing yang mengancam sumber daya perikanan dunia tersebut selanjutnya makin didorong oleh aktivitas kapal-kapal penangkap ikan yang menggunakan ”flags of convenience.18 19
Adapun Unreported fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang “which have not been reported, or have been misreported, to the relevant national authority, in contravention of national laws and regulations; or undertaken in the area of competence of a relevant regional fisheries management organization which have not been reported or have been misreported, in contravention of the reporting procedures of that organization”21
Dalam International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate lllegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001 disebutkan bahwa Illegal fishing merupakan kegiatan yang “conducted by national or foreign vessels in
17. Carl-Christian Schmidt, Addressing Illegal, Unreported and Unregulated (IUU) Fishing 18. The Rome Declaration on the Implementation of the Code of Conduct for Responsible Fisheries, adopted by the FAO Ministerial Meeting on Fisheries, Rome, 10-11 March 1999 19. Sebuah kapal dikatakan menggunakan “flag of convenience” jika ia terdaftar di suatu negara asing “dengan tujuan mengurangi biaya operasi atau menghindari peraturan pemerintah” The American Heritage Dictionary of the English Language, Fourth Edition. Houghton Mifflin Company. 2004. http://dictionary.reference.com/browse/flag%20of%20convenience. United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 menyatakan dalam Pasal 94 bahwa Negara Bendera memiliki yurisdiksi terkait masalah administrasi, teknis dan sosial kapal serta masalah kondisi perburuhan dan seaworthiness. Selanjutnya berdasarkan instrumeninstrumen internasional pasca UNCED, Negara bendera bertanggungjawab atas ketaatan kapal terhadap ketentuan manajemen dan konservasi perikanan internasional, termasuk di laut lepas. Namun demikian beberapa negara menggunakan “open registers” hanya demi menarik keuntungan, yaitu dengan tidak mengambil langkah positif untuk memenuhi tanggungjawab ketaatan Negara Benderanya terkait kapal perikanannya. Banyak dari negara-negara ini tidak menjadi anggota atau bekerjasama dengan Regional Fisheries Management Organization (RFMO) yang telah mengadopsi ketentuan manajemen dan konservasi internasional. Hal ini telah menjadi faktor pendorong bagi kapal-kapal perikanan untuk membeli ”flag of convenience” dari negara open registry yang tidak melakukan tanggung jawab ketaatan negara Bendera atas kapal-kapal perikanannya. FAO Corporate Document Repository, Title : Fishing vessels operating under open registers and the exercise of flag state…. http://www.fao.org/docrep/005/Y3824E/y3824e04.htm
8
OPINIO JURIS
Sementara Unregulated fishing merupakan kegiatan penangkapan ikan yang dilakukan “in the area of application of a relevant regional fisheries management organization that are conducted by vessels without nationality, or by those flying the flag of a State not party to that organization, or by a fishing entity, in a manner that is not consistent with or contravenes the conservation and management measures of that organization; or in areas or for fish stocks in relation to which there are no applicable conservation or management measures and where such fishing activities are conducted in a manner inconsistent with State responsibilities for the conservation of living marine resources under international law”. Dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut, kegiatan penangkapan ikan unregulated tertentu dapat berlangsung “in a manner which is not in violation of applicable international law, and may not require the application of measures envisaged under the International Plan of Action”22 Guna menggambarkan besarnya akibat IUU Fishing, FAO memperkirakan bahwa pada beberapa sektor perikanan yang penting, IUU Fishing dapat mencapai 30% dari keseluruhan tangkapan perikanan. Dalam satu kesempatan, FAO pernah mengindikasikan bahwa tangkapan ikan dari IUU Fishing dapat mencapai tiga kali lebih banyak dari level tangkapan yang diperbolehkan.23
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Selanjutnya pada awal 2009, Bank Dunia dan FAO juga menerbitkan laporan yang berjudul “The Sunken Billions“ untuk menggambarkan inefisiensi sektor perikanan. Laporan tersebut menghitung selisih antara keuntungan ekonomi potensial dan aktual perikanan global sebesar 50 miliar Dollar AS per tahun, sehubungan dengan hilangnya keuntungan akibat IUU Fishing. Diperkirakan pula bahwa total kerugian ekonomi global sektor perikanan dalam 30 puluh tahun terakhir adalah sebesar 3 triliun Dollar AS, tidak termasuk kerugian “human security risks”.24 Perkembangan Instrumen Hukum dan Institusi Internasional Pengelolaan Perikanan Instrumen-instrumen hukum internasional terkait dengan pengelolaan perikanan tersebut di atas, kiranya perlu terlebih dahulu merujuk pada awal perkembangan hukum laut modern. Hugo Grotius (15831645) telah meletakkan prinsip Mare Liberum (freedom of the seas) yang menyatakan bahwa setiap negara bebas menggunakan laut, termasuk sebagai jalur perdagangan. Prinsip tersebut memperoleh perlawanan dari John Selden (1584-1654), yang berpendapat bahwa laut dapat menjadi dominion dan property dari suatu negara seperti halnya darat, atau yang dikenal dengan prinsip Mare Clausum. Dalam perkembangannya kemudian, konsep kebebasan di laut ini lebih mendapat
20. 21. 22. 23.
http://www.imcsnet.org/imcs/docs/international_poa.pdf Ibid Ibid. David J. Doulman, "A General Overview of some Aspects of Illegal, Unreported and Unregulated Fishing" (FAO Fisheries Report No. 666, FIPL/R666), FAO, Rome 2001. http://www.oecd.org/document/5/0,3343,en_2649_33901_21007109_1_1_1_37401,00.html 24. Edward H Allison, Ingrid Kelling, Fishy crimes: the societal costs of poorly governed marine fisheries.
9
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
tempat sebagai hukum kebiasaan internasional di bidang hukum laut.25
tekanan atas sediaan ikan akibat semakin intensifnya metode penangkapan ikan.27
Paska Perang Dunia II, terdapat kesadaran untuk melakukan pemutakhiran dan kodifikasi hukum kebiasaan internasional. Guna maksud tersebut maka diadakan Konferensi Hukum Laut I pada 1958 yang kemudian menghasilkan empat Konvensi yang dikenal dengan “Konvensi Jenewa 1958”. Konvensi tersebut meliputi the Convention on the Territorial Sea and the Contiguous Zone; the Convention on the High Seas; the Convention on the Continental Shelf; dan the Convention on Fishing and Conservation of the Living Resources of the High Seas.26
Dalam Konferensi III Hukum Laut, the Sea Bed Committee mengungkapkan tiga pendekatan terkait dengan perikanan. Pertama, negara-negara berkembang menginginkan yurisdiksi yang luas bagi negara pantai atas perikanan (suatu ide yang kemudian berkembang dalam proposal mengenai Zona Ekonomi Eksklusif-ZEE). Kedua, Amerika Serikat dan Kanada, mengusulkan pendekatan manajemen perikanan berdasarkan karakteristik migrasi spesies yang berbeda, dimana spesies ikan yang bermigrasi jauh akan diatur oleh organisasi perikanan internasional. Ketiga, Jepang dan Uni Soviet memilih status quo, yaitu menginginkan sedikit perubahan dari rezim yang ada, dan berpendapat bahwa negaranegara pantai/berkembang seharusnya menikmati hak-hak preferensial dalam perairan yang dekat dengan pantainya.28
Dalam perkembangannya, Konvensi Jenewa 1958 mendapat pertentangan keras dari negara-negara pantai. Pada 1970an terdapat ketidakpuasan negara-negara berkembang atas rezim perikanan yang ada, sehubungan dengan fakta bahwa kapalkapal dari distant developed states, yang dilengkapi dengan teknologi terbaru, melakukan kegiatan penangkapan ikan di laut lepas yang jauh dari pantainya. Pada saat yang sama, beberapa negara maju menyuarakan hal yang sama, terkait dengan keinginan mereka untuk memperoleh akses yang lebih besar atas sumber daya perikanan dan ketidakpercayaan atas kemampuan komisi perikanan internasional untuk mengatur penangkapan ikan ditengah
Ketentuan-ketentuan dalam UNCLOS 1982 mengenai perikanan memang pada akhirnya merefleksikan pendekatan yang pertama dari negara-negara berkembang, namun demikian elemen-elemen pendekatan spesies dapat pula ditemukan.29 ”Kompromi kepentingan” tersebut misalnya terdapat dalam Pasal 64 UNCLOS 1982 sebagai berikut:
25. William Tetley, International Maritime and Admiralty Law, International Shipping Publication, Les Editions Yvon Blais Inc, 2002, hal 630-631. 26. Ibid. 27. RR Churchill and A.V Lowe, the Law of the Sea, Juris Publishing Manchester University Press 1999, hal 288. 28. Ibid. 29. Ibid.
10
OPINIO JURIS
The coastal State and other States whose nationals fish in the region for the highly migratory species listed in Annex 1 shall cooperate directly or through appropriate international organizations with a view to ensuring conservation and promoting the objective of optimum utilization of such species throughout the region, both within and beyond the exclusive economic zone. In regions for which no appropriate international organization exists, the coastal State and other States whose nationals harvest these species in the region shall cooperate to establish such an organization and participate in its work.30 Prinsip kebebasan menangkap ikan di laut lepas memang diakui sebagai salah satu prinsip yang dijamin dalam kebiasaan hukum internasional, the Geneva Convention on the High Seas, dan Bagian VII UNCLOS 1982. Prinsip ini misalnya dapat dirujuk dalam putusan arbitrasi Behring Sea Fur Seals (1893) yang menolak klaim Inggris atas kapasitasnya untuk menahan kapal Amerika Serikat yang melakukan penangkapan fur seal di laut lepas, berdasarkan peraturan perlindungan dan konservasi.31 Namun demikian, tarik menarik antara kebebasan menangkap ikan dan kebutuhan penerapan aturan konservasi di laut lepas, sebagaimana diilustrasikan dalam kasus laut Behring tersebut, kiranya telah menjadi kunci dalam memahami dua perkembangan hukum
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
penting yang terjadi hingga saat ini. Pertama, adanya perubahan aturan mengenai perikanan di laut lepas oleh regional treaties untuk menjamin konservasi, pembangunan sediaan ikan (fish stocks), dan distribusi hasil laut yang lebih adil. Kedua, perluasan yurisdiksi perikanan nasional oleh negara pantai sampai dengan 200 mil dari garis batas laut teritorial, atau yang dikenal dengan zona ekonomi eksklusif.32 Bagi negara-negara berkembang yang berpantai, perluasan laut wilayah sejauh 200 mil laut merupakan reaksi atas prinsip kebebasan di laut dari kapal-kapal penangkap ikan negaranegara maritim besar yang mengarungi semua lautan dan samudera dan melakukan kegiatan-kegiatannya di laut-laut dekat perairan nasional negara-negara pantai. Selanjutnya, dikarenakan negara-negara pantai tersebut merasa lebih berhak dari negara-negara lain telah memutuskan untuk mencadangkan kekayaan-kekayaan laut yang berdekatan dengan perairannya untuk kesejahteraan rakyat mereka.33 Dengan demikian, konsepsi ZEE merupakan manifestasi dari usaha-usaha negara-negara pantai untuk melakukan pengawasan dan penguasaan terhadap segala macam sumber kekayaan yang terdapat di zona laut yang terletak di luar dan berbatasan dengan laut wilayahnya.34
30. Article 64 United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 31. Oppenheim’s International law, Ninth Edition 1996, Edited by Sir Robert Jennings QC and Sir Arthur Watts KCMG QC, Volume 1, Longman, hal 757. 32. Ibid. 33. Boer Mauna, Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi Dalam Era Dinamika Global. Edisi ke-2 , Penerbit PT Alumni, 2005 hal 359 34. Ibid.
11
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Pengaturan lebih lanjut upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya ikan di laut lepas diatur dalam Agreement to Promote Compliance with International Conservation and Management Measures by Fishing Vessels on the High Seas 1993. Pengaturan ini bertujuan menjamin negara-negara bendera kapal untuk melakukan pengawasan atas kapal-kapalnya yang melakukan penangkapan ikan di laut lepas dengan mengharuskan kapal-kapal tersebut memiliki izin (authorized) untuk menangkap ikan dan mematuhi ketentuan konservasi dan pengelolaan yang diadopsi oleh organisasi perikanan regional.35 Selanjutnya, isu konservasi jangka panjang dan pemanfaatan secara berkelanjutan atas sediaan ikan yang beruaya terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh, sebagai pelaksanaan yang efektif atas ketentuan-ketentuan yang terkait dengan UNCLOS 1982, diatur dalam Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocsk and Highly Migratory Fish Stocks (UN Fish Stock Agreement) 1995.36 Jenis ikan yang beruaya terbatas (Pasal 63 UNCLOS) merupakan jenis ikan yang beruaya antara ZEE suatu negara dan ZEE negara lain, sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara. Sementara jenis ikan yang beruaya jauh
OPINIO JURIS
(Pasal 64 UNCLOS) merupakan jenis ikan yang beruaya dari ZEE ke laut lepas dan sebaliknya yang jangkauannya dapat melintasi perairan beberapa samudera. Oleh karenanya terdapat kemungkinan terjadinya konflik kepentingan antara negara pantai dengan negara penangkap ikan jarak jauh, khususnya dalam pemanfaatan dan konservasi ikan baik di ZEE maupun di laut lepas yang berbatasan dengan ZEE. Dengan demikian, kerjasama internasional dianggap sebagai solusi paling baik untuk mencegah dan mengatasi potensi konflik tersebut.37 Hingga saat ini, terdapat 13 Regional Fisheries Management Organizations (RFMO) diseluruh dunia. Pada kawasan Samudera Atlantik terdapat North-West Atlantic Fisheries Organization (NAFO), North-East Atlantic Fisheries Convention (NEAFC), North Atlantic Salmon Conservation Organization (NASCO), International Commission for the Conservation of Atlantic Tuna (ICCAT), Fishery Committee for the Eastern Central Atlantic (CECAF), Western Central Atlantic Fishery Commission (WECAFC), dan South-East Atlantic Fisheries Organization (SEAFO). Pada kawasan Mediterania terdapat General Fisheries Council for the Mediterranean (GFCM), Samudera Hindia memiliki Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Blufin Tuna (CCSBT), serta Antartic mempunyai Commission for the Conservation
35. Pasal III 36. Pasal II 37. Naskah Urgensi dan Konsekuensi Pengesahan Agreement for the Implementation of the Provisions of the United Nations Convention on the Law of the Sea of 10 December 1982 relating to the Conservation and Management of Straddling Fish Stocsk and Highly Migratory Fish Stocks.
12
OPINIO JURIS
of Antartic Marine Living Resources (CCAMLR). Sementara itu, di Samudera Pasifik dapat pula dijumpai Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC) dan Inter-American Tropical Tuna Commission (IATTC). Masalah-masalah pengelolaan perikanan yang timbul di laut bebas, misalnya: overutilized, unregulated fishing, over-capitalization, excessive fleet size, vessel reflagging to escape controls, insufficiently selective gear, dan unreliable databases. Langkah-langkah yang ditempuh RFMO misalnya memutuskan jumlah tangkapan yang diperbolehkan dan besarnya alokasi para pihak, kewajiban para pihak untuk memberikan informasi ilmiah dan data tangkapan (CCSBT),38 memperhatikan kondisi dan kecenderungan sediaan, mendorong kegiatan penelitian dan pengembangan sediaan dan perikanan, mengadopsi langkahlangkah konservasi dan pengelolaan berdasarkan bukti ilmiah, memberikan salinan peraturan nasional yang berlaku terkait konservasi dan pengelolaan sediaan (IOTC),39 memelihara daftar kapal ikan yang sah melakukan kegiatan penangkapan, menilai dampak penangkapan ikan pada sediaan dan non-target spesies, serta mencegah terjadinya over fishing dan excess fishing (WCPFC).40
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Terkait dengan ancaman IUU Fishing, instrumen hukum internasional terkait diantaranya adalah International Plan of Action to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2001dan Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2009.Salah satu aturan terpenting dalam instrumen tersebut adalah kewajiban negara pihak untuk menolak pelabuhannya digunakan untuk melayani kegiatan pendaratan, transshipping, pengepakan dan pemrosesan, refueling, dan resupplying, terhadap kapal yang diduga terlibat dalam kegiatan IUU Fishing.41 Selanjutnya, negara pihak juga harus mematuhi ketentuan minimal inspeksi atas kapal-kapal yang diduga melakukan kegiatan IUU Fishing.42 Quo Vadis Kebijakan Perikanan Indonesia: Tantangan Hukum dan Kepentingan Nasional Peranan sektor perikanan bagi bangsa Indonesia juga sangat besar. Indonesia adalah negara kepulauan, dengan 2/3 (dua pertiga) wilayahnya berupa laut. Lebih dari 60% masyarakat Indonesia hidup di wilayah pesisir dengan mata pencaharian dari laut. Mereka bukan saja para nelayan atau para pembudidaya ikan, tetapi juga yang berhubungan tidak langsung dengan laut seperti pedagang atau jasa-jasa lainnya. Pada wilayah pesisir dan pantai tersebut terdapat lebih dari 100 juta penduduk Indonesia bermukim.43
38. Pasal 5 dan Pasal 8 ayat 3 Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. 39. Pasal 5 dan Pasal 11 Agreement for the Establishment of the Indian Ocean Tuna Commission. 40. Pasal 5 dan Pasal 24 Convention on the Conservation and Management of High Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean 41. Pasal 11 Agreement on Port State Measures to Prevent, Deter and Eliminate Illegal, Unreported and Unregulated Fishing 2009 42. Ibid Pasal 12 dan Pasal 13 43. Menjaring Suara Dari Laut, Majalah Maritim Indonesia.
13
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Wilayah nusantara juga merupakan daerah yang cocok bagi kegiatan pemijahan ikan, salah satunya berada pada wilayah perairan ZEE Indonesia yaitu pada perairan selatan Jawa dan Bali (8º LS - 50ºLS), dimana ikan tuna sirip biru melakukan pemijahan pada bulan September – April.44 Secara geografis, wilayah Indonesia merupakan wilayah kepulauan terbesar dan teragam di dunia dengan lebih dari 17.000 pulau dan memiliki garis pantai sepanjang 95.181 km. Samudera Hindia dan Samudera Pasifik, yang mengapit wilayah Indonesia, juga membawa pengaruh bagi biodiversity laut terluas di dunia dan terumbu karang yang menopang berlimpahnya sediaan ikan yang beragam.45 Dalam perspektif politis dan keamanan, wilayah Indonesia yang luas dan berada di jalur transportasi dunia membawa dampak bagi banyaknya kapal-kapal asing yang lalu lalang (atau bahkan melakukan pencurian sumber daya ikan) dan berpotensi melakukan pencemaran lingkungan. Perkiraan besarnya kerugian yang dialami Indonesia akibat kegiatan IUU Fishing adalah sebesar 2 (dua) miliar Dollar AS46 belum termasuk rusaknya sumber daya perikanan dan ekosistem biota laut. Kegiatan IUU Fishing ini pada gilirannya telah memengaruhi nelayan-nelayan lokal, skala kecil dan menengah, yang tidak mampu bersaing dengan operator IUU Fishing karena penggunaan teknologi yang 44. 45. 46. 47. 48.
14
OPINIO JURIS
lebih canggih. Dengan demikian, nelayan tidak mengalami peningkatan taraf hidup dan bahkan makin bertambah miskin.47 Industri perikanan nasional juga belum terlihat ”gregetnya” meskipun Pemerintah telah mencanangkan tahun 2015 sebagai tahun kemajuan industri perikanan nasional. Dalam Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, dinyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya ikan belum dapat meningkatkan taraf hidup yang berkelanjutan dan berkeadilan melalui pengelolaan perikanan, pengawasan dan sistem penegakan hukum yang optimal.48 Sejumlah inisiatif telah diambil, diantaranya dengan mengadopsi sejumlah ketentuan internasional yang diharapkan dapat memperbaiki situasi pengelolaan dan pelestarian perikanan nasional. Saat ini, Indonesia telah menjadi pihak pada dua RFMO yang ada, yaitu Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for the Conservation of Southern Blufin Tuna (CCSBT), serta menjadi cooperating nonmembers pada Commission for the Conservation and Management of Highly Migratory Fish Stocks in the Western and Central Pacific Ocean (WCPFC). Dalam perkembangannya kemudian, Indonesia juga berperan aktif mengusulkan agar IUU Fishing juga masuk sebagai kejahatan lintas
Naskah Penjelasan Pengesahan Convention for the Conservation of Southern Bluefin Tuna. Aji Sularso, the Impacts of Illegal, Unreported Fishing, TIAMLEW II, Nusa Dua-Bali, 23 – 26 March 2010. SADC Marine Fisheries Ministerial Conference to Stop Illegal Fishing, Windhoek, Namibia, 2-4 July 2008. Ibid. UU No. 45 tahun 2009 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Bagian Menimbang butir b.
OPINIO JURIS
batas dalam kerangka United Nations Convention Against Transnational Organized Crime, mengingat sifatnya sebagai kejahatan serius bersanding dengan money laundering, smuggling of migrants dan terorisme. Namun demikian, Pemerintah dan segenap stakeholders perikanan perlu tetap kritis terhadap perkembangan pengaturan internasional pasca penandatanganan UNCLOS 1982, sehubungan dengan pengelolaan dan
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
pemanfaatan sumber daya kelautan khususnya perikanan. Produk hukum serta institusi yang dihasilkan pada hakekatnya merupakan produk politik kepentingan banyak pihak, oleh karena itu titik tolak yang seharusnya digunakan adalah titik tolak yang bertumpu pada dan menguntungkan bagi kedaulatan hukum yang bermuara pada kepentingan nasional Indonesia. Masalahnya adalah titik tolak itu harus diterjemahkan pada kebijakan apa yang harus diambil Indonesia. Quo Vadis?
15
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
KAJIAN REZIM HUKUM ANTARIKSA MODERN DARI PERSPEKTIF SPACE FARING STATES DAN NON SPACE FARING STATES Oleh: Ferry Junigwan Murdiansyah
Negara adalah leviathan.1 Interaksi antarnegara di dalam konsepsi leviathan diibaratkan sebagai suatu interaksi ‘pergumulan’ kekuasaan tiada akhir yang pada akhirnya menciptakan suatu konflik kepentingan yang tidak menentu yang dikenal dengan “security dilemma”. Tonggak sejarah kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet dimulai ketika pada 4 Oktober 1957, Uni Soviet meluncurkan Sputnik I, satelit pertama buatan manusia. Perkembangan kepentingan hegemoni antariksa yang besar dari kedua negara tersebut dan situasi perang dingin yang tidak menentu menciptakan kondisi security dilemma yang pada akhirnya mendesak Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) untuk membentuk The United Nations Office for Outer Space Affairs (UNOOSA) pada 13 Desember 1958 melalui Resolusi 1348 (XIII) dan United Nations Committee on the Peaceful Uses of Outer Space (UNCOPUOS) pada 1959 melalui Resolusi 1472 (XIV). Perbedaan keduanya adalah bahwa UNOOSA berfungsi sebagai kantor sekretariat bagi masalah eksplorasi dan eksploitasi antariksa, sedangkan UNCOPUOS berfungsi sebagai komite yang menangani masalah antariksa.
Pembahasan lebih lanjut dalam artikel ini akan berfokus pada UNCOPUOS saja. Suatu terobosan pun diperkenalkan pada tahun 1970an melalui lima instrumen hukum internasional di bidang antariksa, yaitu: The Treaty on Principles Governing the Activities of States in the Exploration and Use of Outer Space including the Moon and Other Celestial Bodies 1967 (Space Treaty), Agreement on the Rescue of Astrounauts, the Return of Astronouts and the Return of Object Launched into Outer Space 1968 (Astronouts Agreement), Convention on International Liability for Damage Caused by Space Objects 1972 (Liability Convention), Convention on Registration of Objects Launched into Outer Space 1976 (Registration Convention), dan Agreement Governing the Activities of States on the Moon and Other Celestial Bodies 1984 (Moon Agreement). Space Treaty menjadi landasan hukum yang mengatur prinsip–prinsip dasar dalam upaya ekplorasi dan eksploitasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai, sedangkan empat perjanjian lainnya merupakan penjabaran
1. Negara sebagai leviathan, menurut Thomas Hobbes adalah negara sebagai bentuk realisasi dari sesosok makhluk yang sangat mengerikan dengan kekuatan yang sangat besar dan memiliki kemampuan bertahan hidup untuk mempertahankan kepentingannya.
16
OPINIO JURIS
dari mandat yang terdapat di dalam Space Treaty. Pada awal pembentukannya, lima instrumen hukum antariksa ini, yang disebut sebagai rezim hukum antariksa klasik,2 dianggap “sekedar cukup saja” untuk menjembatani kekosongan hukum di dalam kompetisi antariksa antara Amerika Serikat dan Uni Soviet. Namun dengan pesatnya perkembangan teknologi antariksa, diperlukan suatu pengaturan/instrumen hukum antariksa yang komprehensif, detail, dan melindungi kepentingan space faring states dan non space faring states, serta memperhatikan aspek lingkungan haruslah dianggap sebagai suatu persyaratan dasar terbentuknya suatu rezim hukum antariksa modern. Penekanan pada aspek lingkungan menjadi penting dalam rezim hukum antariksa modern, mengingat secara alami negara sebagai leviathan akan menggunakan segala kekuatan dan kekuasaannya untuk eksploitasi suatu bidang tertentu pada titik maksimal. Pada prinsipnya, negara leviathan lainpun akan melakukan hal yang sama, sehingga tanpa disadari chain of action and reaction akan terjadi yang berdampak pada kerusakan lingkungan. Artikel inipun dibuat sebagai renungan sederhana atas dua pemasalahan yang ber-kohesi erat di balik jubah diskusi hukum antariksa modern antarnegara dewasa ini, yaitu: (i) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif space faring states dan celah hukumnya, dan (ii) rezim hukum antariksa klasik dari perspektif Indonesia dan celah hukumnya.
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Rezim Hukum Antariksa Klasik dari Perspektif Space Faring States dan Celah Hukumnya Space faring states yang selangkah lebih unggul dalam penguasaan antariksa memiliki common syndrome yaitu ‘kecanduan antariksa’ atau adanya ketergantungan dengan teknologi antariksa dan memiliki motivasi penguasaan antariksa secara dominan dan berlebihan. Berdasarkan berbagai kajian hukum antariksa di antara space faring states, terdapat 3 (tiga) inti masalah yang menjadi perhatian, yaitu: denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, wisata antariksa, dan mitigasi sampah antariksa (space debris). A. DENUKLIRISASI DAN PELARANGAN SENJATA ANTARIKSA I. Denuklirisasi dan Pelarangan Senjata Antariksa sebagai Suatu Masalah Internasional Sudah menjadi rahasia umum bahwa Amerika Serikat secara diam - diam terus mengembangkan teknologi antariksanya dan secara bertahap melakukan perakitan senjata antariksa yang mampu menyerang aset antariksa negara lain baik di darat dan di antariksa, dan juga melakukan pengembangan teknologi senjata anti misil balistik demi keamanan nasionalnya. Berbagai pengembangan teknologi tersebut diprakarsai oleh Pemerintahan Bush yang berkeinginan untuk memperkuat profil militer antariksanya dengan United
2. Dipandang sebagai ‘rezim hukum antariksa klasik’karena ke-5 instrumen hukum antariksa ini, termasuk resolusi, protokol, guidelines maupun aturan hukum antariksa lainnya, pada proses terbentuknya/kelahiran tanpa memperhatikan kaidah dan kepentingan negara lain serta lingkungan secara bersama – sama)
17
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
States Space of Command Vision for 2020 dan United States Air Force 2025 Study. Hal tersebut dilaksanakan dengan memberikan rekomendasi untuk menguasai antariksa dalam berbagai aspek, yang meliputi perang melawan terorisme global pada akhir 2001. Pada 23 Mei 2009, Laura Grego, seorang peneliti dari Union of Concerned Scientist, membuat testimoni di hadapan Subcommittee on National Security and Foreign Affairs of the Committee on Oversight and Government Reform mengenai program antariksa Amerika Serikat yang bertujuan pada penguasaan dan hegemoni antariksa termasuk di dalamnya penciptaan senjata antariksa untuk melindungi aset antariksa mereka. Pihak dari pemerintah Amerika Serikat pada saat itu membantah testimoni tersebut, namun terdapat dua bukti konkrit yang mendukung testimoni dari Laura Grego, yaitu: a. Amerika Serikat pada Desember 2001 menarik diri dari Anti Ballistic Missiles Treaty (ABM) yang ditandatangani oleh Amerika Serikat dan Rusia (Uni Soviet pada saat itu) pada 26 Mei 1972, sehingga dapat dikatakan bahwa Amerika Serikat sekarang lebih mempunyai “fleksibilitas” dalam memproduksi senjata balistik di kemudian hari. b. 2001 Rumsfeld Commission Report memberikan rekomendasi bahwa dalam rangka mencegah terjadinya “Space Pearl Harbor” maka kepentingan nasional Amerika Serikat adalah untuk menciptakan senjata antariksa yang berfungsi defensif dan ofensif.
18
OPINIO JURIS
Upaya pengembangan senjata antariksa oleh Amerika Serikat ini tercium oleh negara lain yang langsung memperkenalkan instrumen hukum baru yang mengatur pelarangan senjata antariksa (Treaty on the Prevention of the Placement of Weapons in Outer Space and of the Threats or Use of Force Against Outer Space Objects atau yang biasa disebut Treaty PPWT). Respon lain terhadap masalah ini salah satunya adalah Rusia pada 2004 melakukan deklarasi bahwa negaranya tidak akan menjadi negara pertama yang akan menempatkan senjata di antariksa. Hal ini merupakan upaya politis pertama yang patut diteladani oleh negaranegara sebagai langkah awal pencegahan nuklirisasi dan penempatan senjata di antariksa. II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik Terdapat 2 (dua) pasal dalam Space Treaty yang sekiranya bersinggungan dengan isu ini, yaitu Pasal 4 dan Pasal 9 Space Treaty. a. Pasal 4 Space Treaty “States Parties to the Treaty undertake not to place in orbit around the earth any objects carrying nuclear weapons or any other kind of weapons of mass destruction, install such weapons in outer space in any other manner…The use of military personnel for scientific research or for any other peaceful purposes shall not be prohibited…” Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu:
OPINIO JURIS
a) Place in orbit around the earth: hanya mengatur senjata yang diletakkan di orbit bumi tanpa penjelasan lebih lanjut. Bagaimana dengan senjata pemusnah massal yang berada di bumi dan mempunyai kemampuan jangkau tembak antariksa? Bagaimana dengan guided missile yang dikendalikan oleh sistem kendali (bukan senjata) yang secara permanen berada di antariksa? Hal – hal semacam ini belum tercakup di dalam definisi ini. b) Nuclear weapons dan weapons of mass distruction: -
misil balistik seperti yang dikembangkan oleh Iran dan didemonstrasikan oleh Cina pada tahun 2007 yang ditembakkan keluar angkasa dan mampu menghancurkan satelit Cina tidak termasuk di dalam definisi ini. • senjata yang mampu mengacaukan frekwensi gelombang radio satelit dan menyebabkan jamming pada satelit seperti yang dilakukan Irak pada awal 2000-an juga tidak termasuk dalam definisi ini. • c) Scientific research: apa yang dimaksud dengan aktivitas personil militer untuk penelitian ilmiah disini? Kalimat ini sangatlah multitafsir. b. Pasal 9 Space Treaty “…State Parties to the Treaty shall pursue studies of them so as to avoid their harmful
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
contamination and also adverse changes in the environment of the Earth resulting from the introduction of extraterrestrial matter, and when necessary, shall adopt appropriate measures for this purpose…” Kalimat dalam Pasal 4 di atas yang mendapat perhatian Penulis, yaitu: a) Harmful contamination and adverse changes in the environment of the earth: ● apa sebenarnya definisi dari kontaminasi berbahaya dan perubahan fatal dari lingkungan bumi? Apakah arti penggunaan bahan kimia, limbah antariksa, atau limbah beracun di antariksa juga diatur dalam pasal ini? ● Perubahan fatal terhadap titik jenuh Geo Stationary Orbit akibat penempatan satelit yang berlebihan tidak diatur dalam pasal ini. ● Kerusakan lingkungan antariksa akibat pengawasan dan manajemen sampah antariksa yang baik juga tidak diatur di dalam pasal ini. b) Approriate measures: kalimat ini ambigu dan multitafsir. Penulis berpendapat bahwa kalimat ini tidak menjelaskan bentuk tanggung jawab dari negara pemilik wahana antariksa dan seharusnya lebih diatur secara detil. Dari kajian singkat dua pasal tersebut di atas, nyata bahwa Space Treaty dalam 19
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
isu ini memiliki celah hukum sebagai berikut: a) Space Treaty hanya mengatur prinsip dan norma dasar dari kegiatan eksplorasi dan eksploitasi antariksa. b) Space Treaty mengesampingkan kemungkinan digunakannya senjata dari bumi ke antariksa. c) Space Treaty belum mengisi kekosongan hukum yang ada dengan keluarnya Amerika Serikat dari Anti Ballistic Missile Treaty pada 2001. Hal mana, menjadi penting bagi kita semua untuk mempelajari draft Treaty PPWT berkenaan dengan penciptaan instrumen hukum baru dalam pelarangan senjata antariksa yang akan bersifat komplementer terhadap Space Treaty ataupun rezim antariksa klasik secara keseluruhan. III. Conference on Disarmament Conference on Disarmament (CD) merupakan suatu forum multilateral yang didirikan pada tahun 1979 oleh komunitas internasional untuk merundingkan berbagai upaya pengawasan persenjataan dan kesepakatan perlucutan senjata. CD bukanlah suatu badan resmi PBB. Keterkaitannya dengan PBB, adalah melalui penempatan seorang wakil Sekjen PBB yang juga bertugas sebagai Sekjen Konperensi ini. Saat ini, beranggotakan 65 negara, yang meliputi lima (5) negara pemilik senjata nuklir. Indonesia juga menjadi anggota CB. 20
OPINIO JURIS
Salah satu catatan penting dalam aktivitas CD adalah pembahasan isu Prevention of An Arm Race in Outer Space (PAROS) pada tahun 2000 yang dipelopori oleh Cina dan Rusia, yang menganggap bahwa upaya penggunaan senjata nuklir dan space weapon memerlukan suatu diskursus tersendiri di dalam CD. Dalam hal ini, penulis memandang perlunya suatu political will dari negara - negara untuk menjadikan CD sebagai institusi resmi PBB dengan wewenang untuk melakukan pengawasan, pelarangan, pemberian sanksi bagi penggunaan senjata berbahaya, wewenang dalam isu denuklirisasi dan pelarangan senjata antariksa, serta menentukan dan mengatur mekanisme kontrol terhadap keadaan lingkungan yang dimungkinkan mengalami dampak akibat aktivitas tersebut. Pada masa yang akan datang, diharapkan CD yang lebih ter-institusi dapat melakukan official synergy dengan UNCOPUOS demi terciptanya sistem hubungan kerja watchdog dan think thank yang ideal dalam upaya eksplorasi dan eksplorasi antariksa untuk maksud dan tujuan damai. B. WISATA ANTARIKSA I. Industri Baru dalam Komersialisasi Antariksa Pada 28 April 2001, milyarder asal California, Amerika Serikat, Dennis Tito, membuat sejarah dengan menjadi turis antariksa pertama di dunia dengan menggunakan wahana antariksa Rusia, Soyuz yang melakukan wisata antariksa selama sebelas (11) hari menginap di International Space Station (ISS) dan kembali ke bumi dengan selamat.
OPINIO JURIS
Ekspedisi fenomenal Tito ini membuktikan bahwa kini antariksa merupakan tujuan wisata baru yang dapat dikembangkan di kemudian hari. Wisata antariksa pada awalnya merupakan proyek pemerintah yang mulai ditawarkan pada masyarakat sipil pada tahun 2001 dengan biaya yang relatif mahal, sebagai perbandingan harga yang ditawarkan badan antariksa Rusia pada tahun tersebut adalah US$ 45 juta. Kini wacana tersebut mendapat tantangan dari operator swasta yang menawarkan harga yang jauh lebih menarik yaitu berkisar pada US$ 200.000 (harga yang di tawarkan Virgin Galactic). Oleh karenanya, bisnis wisata antariksa kini mendapat pesaing kelas ekonomi yang lebih terjangkau. Melihat perkembangan yang ada, beberapa perusahaan pun berlomba - lomba untuk terlibat aktif di dalam peluang bisnis baru ini, seperti Virgin Galactic yang melakukan tandem usaha dengan European Auronautic Defence and Space Company untuk eksplorasi kemungkinan bisnis lebih jauh. Hal ini merupakan suatu hal yang tidak pernah dibayangkan sebelumnya ketika rezim antariksa klasik lahir. Wisata antariksa adalah fenomena baru yang layak mendapat perhatian lebih dalam dan serius. Peluang bisnis wisata antariksa bukanlah sesuatu yang risk-free melainkan penuh resiko bagi crew dan turis di pesawat antariksa itu sendiri, crew di space port tempat peluncuran wahana antariksa, maupun terhadap publik lainnya. Lebih jauh lagi, kemungkinan polusi, kemungkinan collision, masalah sertifikasi kelayakan penerbangan
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
antariksa, dan masalah cuaca di orbit antariksa adalah masalah – masalah yang memerlukan perhatian lebih dalam. Sehingga timbul suatu pertanyaan, apabila wisata antariksa di kemudian hari menjadi sesuatu yang lazim untuk dilakukan maka: (i) instrumen hukum apa yang akan mengaturnya, dan (ii) apakah akan ada organisasi internasional yang akan mengawasinya? II. Celah Hukum Rezim Antariksa Klasik Di dalam rezim hukum antariksa klasik, pembahasan mengenai isu ini sama sekali belum tersentuh. Sehingga implikasinya adalah, akan sangat beresiko apabila wisata antariksa hanya dilakukan berdasarkan multi kontrak antara: (i) investor – negara, (ii) negara – operator wisata antariksa, (iii). operator wisata antariksa – turis antariksa , (iv) operator antariksa – perusahaan asuransi, dan sebagainya. Sehingga, diperlukan suatu rezim hukum antariksa modern yang juga membahas dan mengatur masalah ini. III. International Civil Aviation Organization (ICAO) untuk Wisata Antariksa? ICAO dibentuk pada Oktober 1947 dan diberi mandat untuk menjadi organisasi internasional yang berwenang mengenai segala sesuatu yang berurusan dengan penerbangan udara sipil, seperti: pengaturan frekwensi radio, pengaturan sistem komunikasi pilot dengan stasiun udara, penetapan prosedur dan mekanisme untuk kontrol penerbangan, dan sebagainya. Seiring dengan fenomena wisata antariksa ini, berkembang juga wacana untuk menjadikan 21
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
ICAO sebagai organisasi yang juga akan melakukan kontrol dan berwenang terhadap penerbangan antariksa. Alasan perlunya perluasan mandat dan kewenangan ICAO sehubungan dengan wisata antariksa adalah bahwa baik penerbangan udara maupun penerbangan antariksa memiliki rutinitas, aktivitas dan mekanisme kontrol yang sama. Dimana kesemuanya itu menggunakan teknologi komunikasi dan remote sensing satelit. Oleh karenanya, sistem, prosedur, dan mekanisme penerbangan udara yang diatur dalam ICAO sekarang bisa diperluas mencakup penerbangan antariksa dengan sistem, prosedur, dan mekanisme yang kurang lebih sama. Berkaitan dengan wacana ini, penulis setuju dan memandang perlunya suatu organisasi inter-nasional baru yang akan mengatur hal tersebut, namun, apakah organisasi baru tersebut merupakan organisasi internasional yang terpisah dari ICAO atau hanya merupakan “perluasan” tugas dan mandat ICAO dilakukan penelitian lebih lanjut.
OPINIO JURIS
menyebabkan kerusakan fatal pada satelit tersebut. Pada 2007, sub-komite ilmiah dan teknis dari UNCOPUOS telah mengadopsi UN Guideline on Space Debris Mitigation (Debris Guideline) yang mengatur prosedur – prosedur yang dipandang dapat mengurangi jumlah sampah antariksa. Pada 31 Maret 2009, sub-komite hukum UNCOPUOS telah mengadakan sesi dengan salah satu pembahasannya adalah tentang Debris Guideline. Namun, sesi subkomite hukum UNCOPUOS tersebut belum menghasilkan komitmen baru dalam mitigasi sampah antariksa. Penulis berpendapat bahwa sesi pada level subkomite hukum UNCOPUOS yang membahas mengenai mitigasi sampah antariksa dan Debris Guideline harus terus ditingkatkan, hingga terciptanya suatu komitmen negara–negara untuk membentuk intrumen hukum antariksa baru yang mengatur mengenai space debris.
C. MITIGASI SAMPAH ANTARIKSA
REZIM HUKUM ANTARIKSA KLASIK DARI PERSPEKTIF INDONESIA DAN CELAH HUKUMNYA
Sampah antariksa merupakan common problems bagi space faring states dan non space faring states dan merupakan suatu ancaman terhadap keamanan antariksa. Benturan sampah antariksa sekecil apapun, akan dapat menyebabkan kerusakan atau bahkan hancurnya suatu aset antariksa, seperti sampah antariksa dengan diameter sebesar 1 cm apabila bersinggungan dengan satelit pada kecepatan 80 mil per jam dapat
Indonesia memandang hukum antariksa sebagai suatu kajian konseptual. Namun, penulis berpendapat bahwa terdapat tiga kajian konseptual yang belum diatur di dalam rezim hukum antariksa klasik. Tiga hal tersebut antara lain definisi dan delimitasi antariksa; hak berdaulat dan kedaulatan pada Geo Stationary Orbit dan pemisahan tanggung jawab dari definisi Launching State.
22
OPINIO JURIS
I. Definisi dan Delimitasi Antariksa Masalah definisi dan delimitasi antariksa sudah menjadi pembahasan sub komite hukum UNCOPUOS sejak 1966, berdasarkan proposal dari Perancis. Dalam proposal tersebut ditekankan pentingnya mengatur definisi dan batas terendah yang jelas dari antariksa, sehingga perbedaan antara ruang antariksa dengan ruang udara dapat terukur. Namun demikian, Amerika Serikat memandang masalah ini sebagai suatu hal yang tidak perlu menjadi bahan perbincangan. Hal inilah yang menjadi kendala mengapa tarik ulur kepentingan di dalam isu ini sangatlah panjang dan tidak menentu. Sejak disepakatinya Space Treaty hingga tahun artikel ini ditulis, masalah ini belum terselesaikan. Dengan demikian, definisi dan delimitasi antariksa merupakan suatu isu klasik yang telah larut selama hampir separuh abad lamanya. Dalam isu definisi dan delimitasi antariksa, Indonesia menggunakan pendekatan spasial (kewilayahan) dengan beberapa referensi teori spasial sebagai berikut: a) Batas kedaulatan negara berada pada lapisan atmosfir dimana komposisi gasnya membentuk lapisan - lapisan (layers), yaitu pada ketinggian 80 km di atas permukaan air laut. b) Batas kemampuan terbang pesawat udara yaitu 60 – 80 km di atas permukaan air laut. c) Perigee terendah dari orbit satelit yaitu ketinggian antara 80 – 120 km di atas permukaan air laut.
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
d) Garis von Karman yang mengajukan batas terendah antariksa berada pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut. e) Teori penguasaan efektif yang menekankan kemampuan negara untuk melakukan pengawasan di dalam zona ter seb ut, yaitu 100 km d i atas permukaan air laut. Berdasarkan kajian dan penelitian para ahli sebagaimana tertuang dalam laporan Kongres Kedirgantaraan Nasional Kedua, pendekatan teori spasial dalam menentukan definisi dan delimitasi antariksa bagi kepentingan nasional Indonesia adalah pada ketinggian 100 km di atas permukaan air laut. Sehingga, ruang dengan ketinggian di bawah 100 km permukaan air laut disebut dengan ruang udara dan tunduk kepada Chicago Convention 1944, sedangkan ruang di atas 100 km permukaan air laut disebut ruang antariksa dan tunduk kepada rezim hukum antariksa. Penulis berpendapat bahwa upaya definisi dan delimitasi antariksa haruslah terus diperjuangkan dalam pembahasan sub-komite hukum UNCOPUOS. Bila tercapainya kesepakatan dalam pembahasan mengenai isu ini, maka kepastian hukum di dalam ruang antariksa dapat tercipta. Oleh karenanya, akan membawa kepastian hukum lainnya bagi seluruh negara terutama non-space faring states, seperti Indonesia dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi di ruang antariksa-nya.
23
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
II. Hak Berdaulat dan Kedaulatan pada Geo Stationary Orbit (GSO) a. Pengertian GSO GSO merupakan suatu orbit lingkaran yang terletak sejajar dengan bidang khatulistiwa bumi dengan ketinggian ± 35.786 km dari permukaan wilayah khatulistiwa bumi, berupa cincin dengan diameter ± 150 km dan mempunyai ketebalan ± 70 km. Keistimewaan dari GSO adalah bahwa satelit yang ditempatkan pada orbit ini akan bergerak mengelilingi bumi sesuai dengan rotasi bumi itu sendiri. Keistimewaan lain dari GSO adalah jika kita menempatkan sebuah satelit di jalur tersebut maka satelit akan dalam keadaan tidak bergerak dan hanya dengan lebar 17° saja akan dapat meliput sepertiga dari bagian bumi. Jalur GSO hanya terdapat di atas negara negara khatulistiwa seperti Columbia, Congo, Equador, Kenya, Uganda, Zaire, Brazil, dan Indonesia. Indonesia adalah satu - satunya negara yang memiliki jalur GSO terpanjang diatas wilayah teritorialnya, yakni 13% dari panjang GSO seluruhnya atau sepanjang 34.000 km. b. Arti Penting GSO Bagi Indonesia Indonesia adalah negara kepulauan yang membentang sepanjang garis khatulistiwa dan merupakan negara khatulistiwa yang terpanjang. Secara geografis-strategis Indonesia merupakan negara yang mempunyai kolong yang sama panjangnya dengan segment GSO yang berada di atas wilayah Indonesia. 24
OPINIO JURIS
Dengan memperhatikan kondisi geografis yang sedemikian dan juga memperhatikan kemanfaatan GSO sebagai suatu fenomena alam yang dapat dijadikan sebagai tempat bersemayamnya satelit-satelit, maka kelangsungan dan keamanan dalam pemanfaatan segmen GSO yang berada di wilayah kepentingan Indonesia harus selalu dapat terjamin. c. Status Hukum GSO Secara yuridis, status GSO sebagai sumber daya alam yang terbatas dapat dijumpai pada pasal 33 (2) International Telecommunication Union (ITU) Convention 1973 sebagai berikut: “A using frequency bands for space radio services members shall bear in mind that radio frequencies and the Geostationary satellites orbit are limited natural resources, that they must be used efficiently and economically”. Penjelasan di atas menegaskan bahwa GSO merupakan sumber daya alam yang amat terbatas baik dari panjang jalur tersebut namun dari keterbatasan satelit yang dapat ditempatkan pada GSO. Namun pada kenyataannya, jalur tersebut didominasi oleh negaranegara yang telah mempunyai kemampuan teknologi tinggi, negara berkembang khususnya negara - negara khatulistiwa yang berada di bawah jalur tersebut tidak mampu mengikutinya. d. Hak Berdaulat dalam GSO Dengan dikembangkannya prinsip first come first served oleh space faring states
OPINIO JURIS
dalam penguasaan GSO, telah membawa suasana competition serta mengakibatkan lahirnya technological appropriation. Hal ini menambah keadaan kelompok negara khatulistiwa semakin dirugikan. Kelompok negara khatulistiwa menginginkan adanya suatu pengaturan hukum international yang tidak merugikan posisi mereka dalam rangka pemanfaatan sumber daya GSO tersebut. Pada awalnya, negara khatulistiwa tersebut mencoba untuk melakukan suatu klaim terhadap GSO yakni dengan dicetuskannya Deklarasi Bogota 1976. Namun, kelompok space faring states, terutama Amerika Serikat, dengan kemampuan teknologinya selalu menekankan efisiensi penggunaan GSO sebagai hal utama yang harus dicapai dalam penyelesaian masalah tersebut sebagai suatu pendekatan teknis, dan menghindari tercapainya suatu penyelesaian dalam kerangka hukum internasional. Oleh karena itu, dalam pembahasan sub-komite ilmiah dan teknik UNCOPUOS, Amerika Serikat selalu memberikan argumentasi teknis yang ditujukan untuk mendukung posisinya dalam subkomite hukum. Sebaliknya kelompok negara khatulistiwa yang pada umumnya belum memiliki satelit bumi, tidak mempunyai jalan lain kecuali menempuh jalan hukum serta menghindari perdebatan teknis. Kelompok negara ini pada prinsipnya memperjuangkan hak berdaulat penuh atas ruang antariksa di atas wilayahnya, dalam hal ini GSO. e. Kedaulatan dalam GSO Bentuk lain dari perjuangan Indonesia terhadap GSO adalah dengan dikeluarkannya national statement Indonesia pada sidang UNCOPUOS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
1979 yang menuntut kedaulatan atas GSO. National Statement ini kemudian diterjemahkan menjadi Posisi Dasar RI 1979 atas GSO yang di dalamnya berisi tuntutan kedaulatan Indonesia atas GSO yang juga disertai dengan kompromi sebagai berikut: i) Pengakuan terhadap GSO sebagai sumber alam terbatas yang mempunyai ciri - ciri khusus; ii) Negara - negara khatulistiwa memiliki hak berdaulat (souvereign right) atas GSO di atas wilayahnya; iii) Hak-hak berdaulat tersebut hanya untuk tujuan-tujuan yang ditentukan (specified), antara lain: a) bagi kepentingan rakyat negaranegara khatulistiwa; b) pencegahan terjadinya titik jenuh (saturated) pada orbit GSO; c) pencegah akibat-akibat yang merugikan negara-negara khatulistiwa dikemudian hari. iv) Pada prinsipnya memberikan kebebasan terhadap satelit - satelit yang digunakan untuk kemanusiaan dan perdamaian. Dalam hal ini, Indonesia secara konsisten melakukan tuntutan yang sama sebagaimana tertuang di dalam national statement 2008 di hadapan sub-komite teknik dan ilmiah UNCOPUOS, agar negara-negara di khatulistiwa memiliki hak khusus dalam pemanfaatan GSO yang berada di atas ruang wilayahnya. 25
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
f. Fondasi Hukum Nasional atas GSO Perjuangan diplomasi Indonesia atas GSO berlanjut dengan penguatan fondasi hukum yang memuat materi mengenai GSO sebagaimana tertuang dalam kebijakan nasional sebagai berikut: i) Pasal 30 Ayat 3, Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1982 tentang Pertahanan Keamanan Negara sebagai berikut: “Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara” bertugas: a) Selaku penegak kedaulatan negara di udara bertugas mempertahankan keutuhan wilayah dirgantara nasional bersama-sama segenap komponen kekuatan pertahanan keamanan negara lainnya; Penjelasan resmi pasal ini adalah: “Yang dimaksud dengan tugas penegakan kedaulatan negara diartikan sama dengan penjelasan ayat (2) huruf a pasal ini bagi wilayah udara. Adapun pengertian dirgantara mencakup ruang udara dan antariksa termasuk “Orbit Geostasioner“ yang merupakan sumber daya alam terbatas“. ii. Pasal 7, Undang - Undang Nomor 3 Tahun 1989 tentang Telekomunikasi sebagai berikut : “Penggunaan spektrum frekuensi radio dan orbit geostasioner yang 26
OPINIO JURIS
terbatas dalam penyelenggaraan telekomunikasi diatur dengan Peraturan Pemerintah” Penjelasan resmi pasal ini adalah: “Ketentuan ini dimaksudkan sebagai sarana untuk mengawasi penggunaan dan pemanfaatan frekuensi radio “dan orbit geo stasioner” bagi penyelenggaraan telekomunikasi dalam negeri sesuai dengan alokasi yang telah ditentukan oleh organisasi telekomunikasi internasional yang mengikat pihak Indonesia”. g. Kekosongan Hukum dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik Berkenaan Mengenai GSO Rezim hukum antariksa klasik, adalah suatu produk yang dibuat hanya untuk menjelaskan prinsip dan norma dasar mengenai eksplorasi dan eksploitasi antariksa, tanpa pengaturan khusus mengenai GSO, kedaulatan dan hak berdaulat atas GSO. Hal ini dipandang sebagai suatu kesengajaan yang dibuat oleh space faring states, demi kepentingan untuk eksploitasi GSO guna penempatan satelitnya, sementara negara khatulistiwa seperti Indonesia memperhatikan mengenai kemungkinan terjadinya saturasi di dalam eksploitasi tersebut yang secara nyata akan membawa dampak langsung maupun tidak langsung terhadap Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah Indonesia, hendaknya terus melakukan kajian yang mendalam, sistematis dan terkoordinasi dengan baik dengan negara khatulisatiwa lainnya untuk
OPINIO JURIS
dapat melahirkan format baru yang dapat diajukan di dalam sidang khusus subkomite hukum UNCOPUOS berikutnya (2010), bersama - sama dengan isu lainnya, yaitu "definisi dan delimitasi antariksa". Apabila sinergi di dalam pembahasan dua topik ini berhasil, langkah terakhir bagi Indonesia adalah membuat suatu hukum nasional yang lebih tegas mengenai definisi dan delimitasi antariksa, GSO, serta hak berdaulat dan kedaulatan di dalamnya. III. Definisi Launching State di dalam Rezim Hukum Antariksa Klasik Indonesia adalah negara yang memiliki aset dan nilai jual yang sangat tinggi untuk ikut meramaikan industri antariksa. Aset dan nilai jual tersebut adalah posisi Indonesia yang berlokasi langsung di bawah GSO dengan jalur terpanjang yaitu 34.000 km. Hal ini berimplikasi pada setidak - tidaknya empat hal: a) Implikasi ekonomis dimana sesungguhnya Indonesia dapat menawarkan “paket” yang lebih terjangkau kepada negara-negara peluncur satelit apabila meluncurkan satelitnya dari spaceport yang dibangun di Indonesia dan disisi lainnya, Indonesia dapat mengambil keuntungan ekonomi dan pembangunan daerah yang akan dijadikan spaceport antariksa tersebut. b) Implikasi efisiensi, dimana negara peluncur satelit dapat merasa lebih secure apabila satelitnya di luncurkan dari spaceport Indonesia, karena satelit akan lebih mudah
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
untuk berposisi di dalam GSO yang terletak langsung di atas wilayah Indonesia. c) Implikasi eksklusivitas, dimana Indonesia akan mendapatkan informasi dan teknologi antariksa yang lebih baik dibandingkan negara lain dengan tingginya frekwensi peluncuran satelit yang dilaksanakan di Indonesia. Kemungkinan diikutsertakannya Indonesia di dalam proyekproyek bergengsi seperti ISS pun akan semakin tinggi. d) Implikasi deterrence (daya tangkal), dimana dengan semakin aktifnya suatu negara terhadap aktivitas dan penguasaan teknologi antariksa, maka semakin dekat negara tersebut dengan kemampuan deterrence yang lebih besar terhadap negara lain. Namun Indonesia belum mengambil opsi tersebut3 dikarenakan masih adanya suatu ganjalan yang terdapat di dalam rezim hukum antariksa klasik, yaitu disatukannya definisi negara yang meluncurkan satelit dengan negara yang menyediakan spaceport bagi pluncuran satelit sebagai launching state. Sebagai contoh, Pasal 7 dari Space Treaty mengatakan: “each State Party to the Treaty that launches or procure the launching of an object into outer space…and each State Party from whose territory or facility an object is launched, is internationally liable for damage to another State Party to the Treaty…”
3. Sementara Malaysia, Singapura, dan India melihat peluang ini dan sekarang sedang membangun spaceport di negaranya masing–masing
27
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Sangatlah tidak wajar apabila negara pemilik satelit dan negara spaceport memiliki tanggung jawab yang sama apabila terjadi kerusakan yang timbul dari peluncuran satelit tersebut. Kondisinya akan sedikit berbeda apabila bentuk tanggung jawab antara negara pemilik satelit dan negara spaceport di pisahkan secara proporsional. Penulis memandang pasal karet di dalam rezim hukum antariksa klasik seperti ini harus segera diamandemen, agar sesuai dengan hakekat Pasal 1 Space Treaty, yaitu “exploration and exploitation of outer space shall be carried out for the benefit and in the interest of all countries…” KESIMPULAN Perkembangan isu eksplorasi dan eksploitasi antariksa memiliki dua pendekatan yang berbeda antara space faring states dan non space faring states seperti Indonesia. Space faring states pada umumnya sudah melakukan pendekatan yang lebih berorientasi pada aplikasi teknis dan industrialisasi antariksa sementara Indonesia masih berorientasi pada perdebatan (atau boleh dikatakan perjuangan) konseptual.
OPINIO JURIS
hukum antariksa modern yang bertumpu pada tiga (3) hal: a) amandemen atau penyempurnaan terhadap rezim hukum antariksa klasik yang sudah ada; b) perumusan instrumen - instrumen hukum antariksa baru yang mengatur elemen elemen yang dibahas di dalam artikel ini, dan c) penciptaan dua organisasi internasional baru sehingga dimasa yang akan datang, isu antariksa memiliki tiga pilar organisasi internasional, yaitu UNCOPUOUS sebagai think thank isu antariksa, satu organisasi yang berwenang mengatur mengenai komersialisasi dan industrialisasi antariksa (termasuk di dalamnya wisata antariksa, aplikasi google map dan navigator, dan sebagainya), dan organisasi internasional yang terakhir merupakan perwujudan institusional conference of disarmanment sebagai organisasi watchdog untuk mengatur mengenai aspek politik-keamanan di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa. SARAN
Namun demikian, terdapat satu benang merah yang dapat diambil dari perbedaan derajat kepentingan antara space faring states dan Indonesia. Kedua kelompok negara ini sama-sama membutuhkan suatu rezim hukum antariksa modern yang lebih baik, lebih komprehensif, dan lebih detail yang mengatur seluruh kepentingan yang ada di dalam eksplorasi dan eksploitasi antariksa. Sehingga, tidaklah berlebihan untuk mengatakan bahwa kini saatnya membuat suatu rezim 28
Perbedaan pendekatan antara space faring states dan non space faring states perlu dijembatani, untuk mencegah suatu keterlambatan dalam membuat suatu aturan yang jelas dan tegas yang dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak. Ini adalah cermin untuk kita semua untuk mengupayakan suatu aturan hukum yang lebih jelas lagi di dalam upaya eksplorasi dan eksploitasi antariksa sebelum semuanya terlambat.
OPINIO JURIS
Ada dua kesalahan fatal yang memberikan kontribusi langsung terhadap terjadinya global warming. Pertama; tidak adanya komitmen dan aturan hukum yang jelas dalam eksploitasi sektor industri. Kedua; setmind yang salah yang dilakukan oleh negara - negara pada saat itu. Negara maju melakukan setmind bahwa demi kepentingan nasional masing-masing negara dalam melakukan eksploitasi industri yang dilakukan secara masif tanpa memperdulikan negara berkembang, lingkungan dan kaedah– kaedah yang ada. Di lain pihak, negara berkembang memiliki setmind bahwa belum menjadi kepentingan nasionalnya untuk membicarakan eksploitasi industri secara terukur dan terencana. Global warming dan isu Kopenhagen adalah suatu momentum untuk dapat dijadikan cermin agar kesalahan yang sama tidak terulang dalam pembahasan isu antariksa, sehingga saran yang dapat diberikan guna
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
pencapaian suatu rezim antariksa modern adalah: a) pembangunan kesadaran (awareness) yang berkelanjutan akan perlunya suatu rezim hukum antariksa yang lebih baik yang memenuhi kebutuhan - kebutuhan dan persoalan - persoalan antariksa yang berkembang pada masa sekarang harus terus ditingkatkan oleh semua negara termasuk Indonesia; dan b) Perubahan pola pikir (setmind) bahwa isu antariksa tidaklah merupakan isu sekelompok negara tertentu saja. Indonesia seharusnya bisa memposisikan diri sebagai negara yang memiliki kepentingan dan lingkungan yang strategis dalam penguasaan dan pemanfaatan teknologi antariksa pada masa yang akan datang.
29
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
Anti Dumping di Indonesia Oleh : Hari Tjahjono
Dumping adalah suatu kegiatan menjual suatu jenis barang tertentu lebih murah di negara tujuan dibandingkan di negara asal. Sedangkan anti dumping adalah suatu kegiatan yang bertujuan untuk mengurangi beban kerugian akibat praktek dumping. Secara umum, dumping dapat dibenarkan selama tidak merusak atau bahkan merugikan perekonomian negara tujuan. Dalam hal terjadi suatu kerugian maka negara asal akan dikenakan denda oleh negara tujuan untuk masa 5 (lima) tahun, dalam bentuk pembayaran bea masuk/ pajak yang disesuaikan dengan nilai kerugian hasil penelitian lapangan.
keputusan penetapan bea masuk sesuai hasil investigasi. Dalam hal para pihak yang bersengketa merasa tidak puas dalam penyelesaiannya, dapat mengajukan banding ke WTO Dispute Settlement Body (DSB) melalui suatu mekanisme keputusan yang bersifat final . Dalam penyelidikan terhadap praktek dumping dilakukan dengan melihat kepada 3 (tiga) unsur utama yang saling terkait, yaitu adanya praktek dumping itu sendiri, timbulnya kerugian atau injury dan hubungan penyebab antara kerugian dan perbuatan dumping itu sendiri (causal link).
Anti dumping, juga menjadi bagian dari Trade Defense Mechanisme, yaitu suatu perangkat hukum internasional yang disediakan oleh World Trade Organization (WTO) bagi para pihak yang sedang berperkara untuk menggunakan Forum WTO terhadap sengketa dumping dengan tujuan menyelesaikan perkara yang ada dan menangnai kerugian yang dialami negara tujuan akibat adanya perlakuan dumping di negara tujuan.
Penghitungan kerugian akibat praktek dumping mulai terlihat dengan adanya indikasi harga barang atas suatu produk sejenis yang dihargai lebih murah di negara asal dibandingkan dengan harga di negara tujuan. Penghitungan ini dapat dengan mudah dilakukan dengan melakukan urutan mulai dari berbagai biaya yang dikeluarkan sejak barang tertentu dibuat di pabrik hingga diterima di negara tujuan, diperbandingkan dengan proses yang sama di negara asal barang.
Mekanisme anti dumping merupakan kewenangan yang dimandatkan kepada Komite Anti Dumping di masing-masing negara. Cara kerjanya melalui permohonan penyelidikan, pelaksanaan penyelidikan dan
Injury sendiri dapat dihitung dengan beberapa indikasi, misalnya terdapatnya penurunan pesanan, terjadinya PHK, berkurangnya jam kerja, menurunnya kapasitas mesin pabrik.
30
OPINIO JURIS
Causal Link, dalam hal ini pemohon harus dapat membuktikan akibat yang ditimbulkan berkaitan dengan dengan adanya dumping yang menyebabkan injury, dengan kata lain, akibat masuknya produk barang tertentu yang sejenis maka terjadilah dumping dengan injury sehingga menimbulkan kerugian bagi suatu pabrik di daerah tertentu dan pada masa tertentu. Penyelidikan pasar dilakukan bersamaan baik di negara asal maupun negara tujuan pasar agar mendapat perbandingan yang jelas. Penyelidikan pasar dilakukan sekitar 18 (delapan belas) bulan penyelidikan. Selanjutnya, berdasarkan hasil penyelidikan maka KADI mengeluarkan semacam rekomendasi kepada Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengenai besaran jumlah angka persentasi bea yang sekiranya harus dikenakan terhadap tertuduh. Kemenkeu akan mengkajinya, selanjutnya mengeluarkan Kepmen yang berlaku selama 5 (lima) tahun. Perhatian masyarakat perdagangan Indonesia mulai terfokus kepada praktek dumping ketika Indonesia ikut meratifikasi Agreement Establishing the World Trade Organization (WTO) bersamaan dengan Anti Dumping Code (1994) sebagai bagian dari Multilateral Trade Agreement, yang selanjutnya diikuti oleh UU no 7 tahun 1994 pada tanggal 1 Januari 1994 dan tambahan Lembaran Negara no 3564. Basis Anti Dumping Code (1994) menunjuk kepada salah satu pasal dari GATT (1994) yang dikenal dengan istilah Article VI
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
GATT yang khusus mengatur anti dumping dengan judul Agreement on Implementation of Article VI of the GATT 1994 yang berisikan 18 pasal dalam 3 Bab termasuk 2 annex didalamnya. Indonesia sendiri dengan merujuk kepada pasal 18 ayat 4 Anti Dumping Code (1994) telah mencoba melakukan beberapa langkah positif terhadap Hukum Perdagangan Indonesia dengan menerbitkan antara lain UU no 10 (1995) mengenai Kepabeanan. UU tersebut telah mengadopsi ketentuan anti dumping dalam Bab IV pasal 18 sampai dengan 20 dengan judul Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan. Selanjutnya untuk memperkuat UU tersebut terbit juga Peraturan Pemerintah no 34 tahun 1996 mengenai Bea Masuk Anti Dumping dan Bea Masuk Imbalan, yang diikuti dengan terbitnya Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan no 136/MPP/ kep/6/1996 mengenai Pembentukan Komite Anti Dumping Indonesia dengan pembaruannya Keputusan Menteri Industri dan Perdagangan no 24/MPP/Kep/1/2002. Di Indonesia, wewenang untuk melakukan kebijakan anti dumping dilakukan oleh Komite Anti Dumping Indonesia, KADI. Lembaga lain yang dapat terlibat adalah Ditjen Tarif pada Kemenkeu yang tugasnya menentukan besaran jumlah angka dalam persentase bea masuk. Sekurang-kurangnya terdapat beberapa hasil penyelidikan, khususnya sejak mulai tahun 1996, yaitu penyelidikan atas barang yang diduga dumping di Indonesia. Beberapa kasus yang sangat menonjol 31
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
antara lain, Ampicillin Trihydrate & Amoxyllin Trihydrate, Calcium Carbide, Carbon Black, Coated Writing & Printing Paper, Ferro Mangan & Sillicon Mangan. Dalam kaitan kasus tersebut para pihak disebut sebagai pemohon dan tertuduh, Hakimnya berasal dari KADI. Final hukuman adalah pengenaan bea masuk oleh Kemenkeu. International trade lawyers dan akuntan akan terlibat dalam upaya penelitian dan pengolahan data ketika pengajuan bukti-bukti secara lisan dan tertulis. Beberapa kasus anti dumping yang terjadi di Indonesia di sebabkan oleh keterbatasan wacana dan pengetahuan tentang WTO serta kesulitan untuk memahami peraturan negara tujuan. Kurangnga peran KADI dalam melakukan sosialisasi, memberikan
32
OPINIO JURIS
kepastian tentang waktu dan angka bea masuk yang seharusnya berlaku. Selain itu, kendala yang dihadapi terkait keterbatasan SDM mengenai anti dumping, mekanisme yang berbelit-belit, kurang tertib administrasi dan lebih mementingkan tindakan cepat untuk menghindari kerugian usaha. Mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan beberapa langkah yang bermanfaat dimulai dengan pengenalan praktek perdagangan internasional yang benar dan tepat, pelatihan dalam hal melakukan anti dumping dalam bentuk moot court, peningkatan SDM oleh KADI, adanya keterbukaan dalam sosialisasi angka dan jumlah besaran bea masuk, memahami teknis pelayanan hukum pada WTO, pasar bebas, dan globalisasi.
OPINIO JURIS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
GRATIFIKASI: SELAYANG PANDANG Oleh : Rheinhard Sinaga Masih jelas dalam ingatan, peristiwa bulan Mei 2008, ketika tim dari Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) memeriksa dan meneliti 'uang hajatan' hasil acara pernikahan puteri Sultan Hamengku Buwono X. Mungkin, sebagian orang ‘keberatan’ dengan tindakan KPK tersebut, kok hadiah perkawinan, yang notabene pemberian pribadi dalam suatu acara pribadi, harus ‘dikorek-korek’ KPK? Pertanyaan ini tentunya akan sulit dijawab, apabila dasar tindakan KPK tersebut tidak dipahami. Mungkin orang lupa, bahwa Sultan Hamengku Buwono X juga seorang Gubernur/pejabat publik, bukan sekedar seorang bapak yang mengawinkan putrinya. Dalam konteks masyarakat umumnya, soal ‘beri-memberi’ hadiah, sering sekali tidak jadi soal. Namun, bagi mereka yang berurusan dengan pejabat publik, hal ini harus menjadi perhatian, karena disadari atau tidak, bisa-bisa ‘kejeblos’ ke dalam tindak pidana. Pemberian hadiah alias gratifikasi dapat diartikan sebagai pemberian yang dilakukan seseorang kepada orang lain, tanpa pamrih, sebagai hadiah atau tanda terima kasih. Gratifikasi sebenarnya sudah lama terjadi dalam masyarakat, dan sejauh ini tidak dipermasalahkan, selama tidak melibatkan pejabat publik.
Namun, pada prakteknya, gratifikasi sering bersifat pamrih, dan sering sekali melibatkan pejabat publik. Di negara maju, gratifikasi yang diberikan kepada pejabat publik, dalam bentuk apapun, tidak diperbolehkan, dan kepada pemberi dan penerima gratifikasi diberikan sanksi berat. Bahkan, di sektor swastapun, gratifikasi dilarang untuk diberikan. Pengertian gratifikasi, diatur dalam UU 20 Tahun 2001, pada Penjelasan Pasal 12 b (1), yakni “pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.”. Gratifikasi ini dianggap tindak pidana korupsi, apabila diberikan kepada pejabat publik, berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya (Pasal 12 b (1)), ancaman hukumannya penjara seumur hidup dan denda satu milyar. Pasal 12 b (1) ini tidak berlaku, apabila gratifikasi tersebut dilaporkan kepada KPK paling lambat 30 (tiga puluh hari) sejak 33
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
diterima (Pasal 12 C (1)). Laporan gratifikasi tersebut akan dinilai oleh KPK, kemudian KPK akan menetapkan apakah gratifikasi tersebut memang layak untuk diterima oleh pejabat publik atau tidak (Pasal 12 C (1)). Lalu, bagaimana dengan orang yang memberi gratifikasi, dapatkah pemberi gratifikasi dikenakan tindak pidana? Dalam UU No. 31 Tahun 1999 Pasal 13, disebutkan: ”Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah).” Hal ini berarti, siapapun, memberikan hadiah terkait kekuasaan atau wewenang yang pada jabatan atau kedudukan pejabat publik, dapat dipidanakan!
34
apabila dengan melekat seorang
Bagi sebagian masyarakat, pertemuan dengan pejabat publik hampir tak dapat dihindarkan, khususnya yang terkait dengan perijinan, perpajakan, dan lain-lain. Oleh karena itu, untuk memastikan tidak ‘terjerat’ dalam praktek gratifikasi, perhatikan hal-hal sebagai berikut: Apakah pejabat publik langsung/tidak langsung menyampaikan ‘sinyal’ memaksa untuk memberikan sesuatu (hadiah/ imbalan) atau membayar sejumlah uang di luar aturan. Kalau ada, tolak dengan tegas, dan bila perlu, laporkan kepada atasannya atau pihak yang berwenang; Lengkapi seluruh persyaratan yang diperlukan dalam urusan yang bersifat administratif, supaya tidak ada celah untuk ‘bermain’; dan Hindarkan gagasan ‘SUMUT’ (‘semuaurusan-mesti-uang-tunai’) dari diri sendiri. Tidak ada kebutuhan untuk memberikan hadiah alias gratifikasi kepada pejabat publik, memang sudah tugasnya pejabat publik melayani masyarakat, dan mereka digaji negara untuk melayani. Kalau pejabat publik dan masyarakat paham bahaya korupsi, maka Indonesia bebas dari korupsi. Semoga!
OPINIO JURIS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
INTERNATIONAL TREATIES AND THIRD PARTIES Oleh Muniroh Rahim I. INTRODUCTION Preface The general principles of international law among others are treaties and conventions create legal effects to states parties to them. The ratification, accession, acceptance or approval creates rights and obligations to the states parties. In this sense, what about third party to the treaties or conventions. Are there any legal effects for states who are not parties to them? To what extent do treaties create legal effects for states who are not parties to them? This writing will consist of three main parts namely introduction, body of the writing and conclusion. In the introduction, discussion will be focused on the definition of related words and terms. The discussion will also touch the main argument of the writing on third parties and international treaties. The body of writing will discuss theories of the third parties in international treaties. In this segment, some cases will be discussed to support the arguments. And in the last part, the writing will draw the conclusion summarized from the body of the writing. The writing limits its scope of discussion only on legal effects for third states which
are totally extraneous to the treaty in question. The writing does not include discussion on legal effects to the third parties on the category of negotiating states, contracting states and signing states. Secondly, the writing limits its scope of discussion only on third party that constitutes states and does not include international organizations. There will be three arguments discussed in this writing namely: Treaties are not applicable to states not party to them without its consent; Provision of treaties provides rights and obligations for third parties if states parties intended the provision to be the means of establishing obligation and third states expressly accept that obligation; Provisions of treaties in question create legal effects to third states if the provision itself entered into customary international law. Definition The Vienna convention defines a treaty as: [an] international agreement concluded between States in written form and governed by international law, whether embodied in a single instrument or in two or more related instruments and whatever its particular designation.1
1. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, Article 2, Use of Terms, P. 3
35
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Martin Dixon defines that [a] treaty can be regarded as a legally binding agreement deliberately created by, and between, two or more subjects of international law who are recognized as having treaty making capacity.2 The Vienna Convention 1969 article 2 defines that: [T]hird State means a State not a party to the treaty.3 Martin Dixon in his book defined that [C] ustomary international law is the law which evolved from the practice of customs of states.4 II. INTERNATIONAL TREATIES AND THIRD PARTIES a. Treaties are not applicable to states not party without its consent. i. General Rule The Theory of pacta tertiis nec nocent nec prosunt is a basic rule of customary international law. It look upon from the point of view that an agreement concluded between two or more parties is a res inter alios acta for the third party. The principle of not imposing obligations upon third party can be traced back to the Roman private law of contract which stipulated that “Pacta non obligant 2. 3. 4. 5.
OPINIO JURIS
nisi gentes inter quasi initia”. For States other than the parties, a treaty is “res inter alios acta, quae tertio nec prodest nec nocei”.5 The Principle of pacta tertiis nec nocent nec prosunt has been the reflection of the relationship between third parties and international treaties. This principle has not only been accepted unanimously by publicists, but supported by continuous practice. The principle of not imposing obligation upon a third parties on the contract could be found in modern municipal law of contracts of many countries such as the UK, the US, France, the Netherlands, Belgium, Italy and Germany.6 The theory of international law as it emerged in the 17th century and which was in essence an interstate law based on the sovereignty and equality of its participants. The consensual nature of international law, implied that states can only be bound by what they have expressly consented to themselves. The consensual nature of international law, implied that states can only be bound by what they have expressly consented to themselves.7 The Vienna Convention of the Law of Treaties 1969 codified this principle in its article 34, as follows: [A] treaty does not create either obligations or rights for a third State without its consent.8
Dixon, Martin, Textbook on International Law, Oxford University Press, Fourth Edition (2000) P. 51 Vienna Convention o the Law of Treaties, P. 3 Dixon, Ibid, P. 28 Treaties and Third States, Article 18, (Comment) American Journal of International Law, Vol. 29, Supplement: Research in International Law (1935, P. 918 6. Ibid, P. 919 7. Franckx, Eric, Dr. Prof., Pacta Tertiis and the Agreement for the implementation of the Provisions of the UNCLOS Relating to the Conservation & Management of Straddling Fish Stocks & Highly Migratory Fish Stock, (2000), P. 5 8. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, Section 4: Treaties and Third States
36
OPINIO JURIS
ii. Case Study 1 The Decision of Municipal Court on The Principle of Non-Applicability of Treaties to Third Party in the Case Of Trampler V. High Court of Zurich Year 1925 The principle of inadmissibility of treaties to third States is supported by the practice of national courts. The decision of the Swiss Federal Tribunal on December 11, 1925, in the case of Trampler v. High Court of Zurich proved that treaties are not applicable to third parties. The Court proceedings are as follows: Two Frenchmen sued Mr. Trampler, a German national, on the issue of the payment of debt in 1925 before the High Court of Zurich in which Mr. Tampler had lived since World War I. According to the Code of Procedure or Zurich, the competent tribunal is that of the place of domicile of the defendant.9 In the proceedings, Mr. Trampler (the defendant) objected the competency of the Zurich Court and invoked Article 296 of the Treaty of Versailles on Debt. The Treaty of Versailles stipulates that the proceedings of its kind should be exclusively the competence of a special jurisdiction.10
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
In its decision, the Court dismissed Mr. Trampler’s argument of the incompetency of Zurich Court. Furthermore, the Court also dismissed the legal argument of the applicability of Treaty of Versailles submitted by Mr. Tramplar (the defendant) as Switzerland was not party to that Treaty..11 Case Study 2 The Decision of International Court on the Principle of Non Applicability of Treaties to Third Parties In the Case of Eastern Bank Ltd V. Turkish Government, Year 1927 The decisions of International courts have affirmed the principle of not applicability of a treaty on third states without their consent. The Anglo-Turkish Mix Arbitral Tribunal of December 28, 1927 reaffirmed the principle of pacta tertiis nec nocent nec prosunt in case of Eastern Bank Ltd V. Turkish Government. The case proceedings was as follows: The Anglo-Turkish Mix Arbitral Tribunal was established and was requested to decide the case between the Eastern banks of the UK (the claimant) against the Turkish Government (the defendant). Both Turkey and the UK are parties to the Treaty of
9. It mend that the competent court in this case was Switzerland court. 10. William, John Fisher, Annual Digest of Public International Law Case 1925-1926, International Law Report, Cambridge University Press, P. 351 11. Treaties and Third States, Article 18, (Comment) American Journal of International Law, Vol. 29, Suplement: Research in International Law (1935), P.919
37
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Lausanne on Peace. Article 58 of the Treaty stipulated that the contracting parties mutually give up all claims of loss and damage suffered by their nationals “as the result of act of war, or measures of requisition, disposal or confistication. On the other hand, Article 65 and 66 of the Treaty imposed upon the contracting parties the duty to restore property which was still in existence and capable of being identified or it proceed if it had been liquidated. Eastern Bank (the claimant) requested for the restoration of certain negotiable instruments taken away by Turkish officials in Nov 1914. In support of his contention, the Eastern Bank as the claimant invoked article 297 h of the treaty of Versailles against the Turkish Government.12 The Tribunal decided that: [T]he Recognition by Turkey of the Treaty of Versailles was merely intended as a recognition of the fact that certain peace treaties concluded prior to the Treaty of Lausanne had put an end to the state of war between former allies of Turkey and Western Powers. It could not be regarded as an authorization to apply, the disposition
OPINIO JURIS
of the Treaty of Versailles….. There (treaty of Versailles and treaty of Lausanne) existed in this respect a fundamental different between two treaties.13 Objective Regimes There is one notable theory, objective regime theory, in which some lawyers and scholars invoked the theory as the basis for establishment of legal effects between treaties and third parties. Objective regimes is a theory that applies to a particular type of treaties such as establishing freedom of navigation in international rivers and maritime waterways; treaties which provide for neutralization or demilitarization of particular territories or areas14. Some lawyers and scholars are in different opinion on the objective regimes in which some of them argued that treaties that have objective regimes character are applicable automatically to the third parties with or without consent. The most convincing explanation on the said issue was made by Lord Mc Nair and the ILC. Lord McNAir in his book “The Functions and Differing Legal Character of Treaties (1930)” observed that certain kind of treaties produce effects beyond the parties to those treaties is recognized, but it can not be said that they finally
12. William, John Fisher, Annual Digest of Public International Law Case 1925-1926, International Law Report, Cambridge University Press, P. 438 13. Ibid P. 439 14. Fitzmaurice, Malgosia, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook of United Nations Law, Vol. 6, 37-137, (2002) Kluwer Law International,Printed in the Netherlands, P. 68
38
OPINIO JURIS
found a place in any well recognized juridical category. There has been a tendency to regard them as explicable of the grounds either a) that the parties to them intend to offer contractual rights to third states, which may in course of time be willing to accept them by express or implied assent, or b) that third states acquire rights under them (form instance, in case of treaties concerning navigation on river or through canals) by virtue of the operation of custom.15 Furthermore, the ILC argued that the VCLT has provided clear mechanism to explain the legal nature of objective regimes, in particular alleged automatic objective effect of certain types of treaties. The ILC added that article 36 pare 1 stipulates the situation in which the parties to a treaty intend to grant a right on third state in general. Para 2 of Article 36 defines a situation when, a conferment of rights is accompanied by a certain obligation, which does not need to be accepted in writing by third states. The legal situation is as follow: there has to be an intention to confer rights on third party; the rights may be conferred on its own; or it may be conferred with a duty to exercise a certain obligation, which is a condition for the exercise of these rights.16 b. Obligations for Third Parties It is clear in the above mentioned paragraph that provisions of treaties is not applicable 15. 16. 17. 18.
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
to third parties without their consent. The principle of consent of third states of the applicability of obligation and right against third states is related strongly to the very basic principle of international law namely sovereignty, equality and non-interference. The manner of formulation of Article 34 of VCLT indicates that it is drafted in less absolute terms. There is an explanation that a treaty may create rights and obligations for a third state but under the condition of consent of the third states. Under the VCLT Article 35, the obligation shall be imposed on the third states under two conditions namely, first; the states parties to the treaties intended to establish the obligation for a state not party, and second; the third parties agree to be bound by it. The provision of Article 35 is based on the principle of consent. It stipulates that [an] obligation arises for a third State from a provision of a treaty if the parties to the treaties intended the provision to be the means of establishing the obligation and third state expressly accepts that obligation in writing.17 Some elements to be understood clearly is the consent expressed by third parties is to a specific provision rather than the entire treaty.18 Another element to be noted here is that the acceptance of third parties to the applicability of provisions of the treaty in question should be expressed in writing.
Ibid, P 69 Opcit P 75 opcit P. 14 Dixon, Martin, Textbook on International Law, Oxford University Press, Fourth Edition (2000), P. 72
39
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
c. Rights for Third Parties Third party to the treaty may enjoy rights arise from the conclusion of a treaty. This rights are regulated in the VCLT Article 35, as follows: [a] right arises for a third State from a provision of a treaty if the parties to the treaty intended the provision to accord that rights either to the third State, or to a group of States to which it belongs, or to all States, and the third State assents thereto. Its assent shall be presumed so long as the contrary is not indicated, unless the treaty provides.19 There are conditions to be fulfilled in order for a right to arise for third State from a provision of a treaty applicable for third states.20 They are; the treaty intended to rise the right to third states; secondly, the third states give approval to the rights accorded to them by the treaty; third, the approval shall be taken for granted as the third states’ act is not contrary to it; fourth, if the treaty obliges that a third state should express its consent in certain way, the legal effect will only arise if this requirement has been fulfilled. If the treaty is silent on particular conditions, the assent may be presumed, providing there is no evidence to the contrary.21 The International Court of Justice reaffirmed the need of assent of the applicability of a treaty to states not parties as stated in the North Seas Continental Shelf case:
OPINIO JURIS
In principle,…….., that is to say, a State which, though entitled to do so, had not ratified or acceded, attempted to claim rights under the Convention, on the basis of a declared willingness to be bound by it, or of conduct evincing acceptance of the conventional regime, it would simply be told that, not having become a party to the convention it could not claim any rights under it until the professed willingness and acceptance had been manifested in the prescribed form.22 Some questions arise whether the rights are created by the treaty or by the beneficiary state’s act of acceptance. There are two theories on that matter: (first); theory of Collateral Agreement, (second); theory of Stipulation Pour Autrui. The Collateral Agreement is an agreement established between states parties to the treaty, as one side, and third parties, on the other side and it appended to the main treaty. The said Agreement stipulates that both agreed on the rights arises by the treaty accorded to the third parties. This supplement agreement will be appended in the Treaty. The International Law commission (ILC) upholds that theory. The ILC obliged two conditions for a treaty that bind by third parties, namely; (first) the parties to the treaty intended to establish the rights and, (second) the third parties agreed to be bound by it.
19. Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, P 14 20. Fitzmaurice, Malgosia, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook of United Nations Law, Vol. 6, 37-137, (2002) Kluwer Law International,Printed in the Netherlands, P. 52 21. Ibid, P. 46 22. North Sea Continental Shelf Cases (Germany/Denmark; Germany/the Netherlands) 1969 ICJ Rep 3, 25-26 (Judgment of February 20)
40
OPINIO JURIS
The ILC stated that Collateral Agreement between the parties to the treaty on one hand and the third parties on the other hand has been established in this regard. The right of the third states does not rise by the treaty but by the Collateral Agreement.23 Judge Negulasco is also among the supporter of the theory of Collateral Agreement. In his Separate Opinion in the 1932 Free Zones Case, Judge Negulasco stated that: [i]t is possible, in an international convention, to stipulate a right in favor of a third State. But whereas, according to such municipal law, as allows of such stipulation, the third party has a right by virtue of the stipulation itself, in international law the States having made such a stipulation mutually undertake to conclude together with the third state, a supplementary agreement which will be appended to the agreement originally made. With this object, the treaty may provide for the right of adherence by third Parties interested therein, and failing a stipulation of this nature, an agreement between the signatory states and the third State must be concluded.24 The second theory is based on the concept of Stipulation Pour Autrui. This theory supported was by de Arechaga. The concept stipulates
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
that third party beneficiaries would enjoy rights, with an immediate effect. De Arechaga made analogy of the acceptance of third party in international treaty with the acceptance of third party in the municipal law. According to de Arechaga, acceptance of third party refers to the confirmation of already existing rights. The acceptance may be expressed by explicit acceptance, by tacit acceptance, or by conduct.25 De Arechaga indicated further that a collateral agreement does not exist. Furthermore, there is even physical impossibility for such a registration of collateral agreement in the UN.26 This writing supported the theory of Stipulation Pour Autrui. Since the Vienna Convention codified the general rules regulated how the assent or the approval could be expressed. The Article 36 regulates that the assent or the approval shall be taken for granted as long as the third parties who was granted the benefits does not act in contrary. However, if the treaty stipulates explicitly how the assent should be performed by third states, the applicability of the rights of the treaty could be conferred after the third party fulfill the requirement set by the treaty. Revocation, Modification Of Obligation Or Rights Of Third States There are some questions with regard to the abolishment of rights of third
23. Fitzmaurice, Malgosia, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook of United Nations Law, Vol. 6, 37-137, (2002) Kluwer Law International ,Printed in the Netherlands, P. 47 24. PCIJ Series A, No. 22, 37-38 25. Arechaga, Eduardo Jimenez, Treaty Stipulation in favor of Third States, American Journal of International Law, Vo. 50, No. 2 (1956) P. 352 26. Fitzmaurice, Malgosia, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook of United Nations Law, Vol. 6, 37-137, (2002) Kluwer Law International ,Printed in the Netherlands, P. 50
41
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
states. Do rights for third party may be abolished by the state parties to the treaty without the approval of the third parties in question?. This writing argued that according to The Vienna Convention, right arisen for third states can not be revoked or modified unless otherwise two conditions have been fulfilled (first); the treaty stipulates that the rights was intended to be revocable, (and second); the consent of third state. Case study: The revocation of rights should be under the consent of third states in the case of Free Zones Case before the Permanent Court of International Justice France and Switzerland brought the dispute on “Free Zones Case” before the Permanent Court of International Justice. Both states required the Court to decide on that case between 1929-1932. The case proceedings was as follows: Various treaties, declarations and supplementary acts were concluded to create three free customs zones in 1815 on the French frontiers, for the benefit of Switzerland. Switzerland was not party to those various treaties in question. However, Treaty of Versailles Article 435 ( Switzerland was not a party) stipulated that the treaty of 1815 and of the other supplementary Acts concerning the free zones of Savoy and the Gex District are no longer consistent
OPINIO JURIS
with present condition. It means that France and other states parties intended to revoke the rights that have been granted to Switzerland. The French Agent argued before the Court that the third states have no right to claim that the abrogation of the Treaty depends on its consent. The Court decided in 1929 that … it would that its Order insofar as concerned the Zone of Gex was, I fact, based on a recognition of the principle that in this particular case Switzerland had a right on which she could rely, and therefore could not be deprived of it without her consent.27 Rules in a Treaty Becoming Binding on Third States through International Custom Customary international rules are rules of law derived from the consistent conduct of States acting out of the belief that the law required them to act so. The act should be taken by significant number of states and not be rejected by significant number of states. A peremptory norm (jus cogens) is norm that can not be derogated. Norms that could be categorized as jus cogens are slavery, piracy, genocide, crimes against humanity and war of aggression. How the norms and custom emerge as customary international law? According to the standard adopted by the ICJ in the 1969 North Sea Continental Shelf case, in order to become norms of customary international
27. Arechaga, Eduardo Jimenez, Treaty Stipulation in favor of Third States, American Journal of International Law, Vo. 50, No. 2 (1956), P. 343
42
OPINIO JURIS
law, provisions of a treaty would have to fulfill the following conditions: be a fundamentally norm-creating character, such as forming the basis of a general rule of law; have passed into the general corpus of international law; and be accepted as such by the opinio juris “as have become binding even for the countries which have never become, and do not become parties to the treaties”. The most common inter-relationship between a treaty and customary law is that a treaty codifies the already existing norms of customary law. On the other hand, a treaty my also crystallize an emerging rule of customary law.28 The Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, Article 38, stipulates as follows: [N] othing in articles 34 to 37 precludes a rule set forth in a treaty from becoming binding upon a third State as a customary rule of international law, recognized as such. The Article 38 describes the applicability of the provision of a treaty to third parties subject to the provisions or the treaty has already become customary international law. Its applicability to the third parties is not due to the jurisdiction of the treaty in question but merely third State bound by it by the custom. Case Study (The applicability of the provision Vienna Convention on Consular Relations 1963 (VCCR 1963) to Singapore in the case of Nguyen Tuong Van) The VCCR 1963 regulates relations among the states parties on consular matters. The
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
Convention was concluded in 1963. Singapore has not been a party to the VCCR when the case of Nguye Tuan Van filed to the Singapore court. The case reads as follows; The accused was charged with drug trafficking. According to the Singapore municipal law, the offence is punishable by death sentence. The counsel of the accused invoked the VCCR Year 1963 that Singapore authority did not abide by the VCCR to inform the representation of the accused right after the arrest of the accused. In that case, the legal counsel plea the court to release the accused due to the violation of the international treaty by the Singapore authority. In this case, although Singapore is not a party to the Convention, Singapore confirmed with the prevailing norms of the conduct between States such as those set out under Article 36 (1). And Singapore authorities followed the conduct regarding the arrest of foreign national not due to the applicability of the treaty but as a part of Singapore’s observance on the customary international law which requires states to inform the consular representation on its national detention. IV.CONCLUSION Based on the Vienna Convention on the Law of Treaties (VCLT), the general rule regarding the legal effects of treaties to third States not party is that; treaties are not applicable to states not party to them without
28. Fitzmaurice, Malgosia, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook of United Nations Law, Vol. 6, 37-137, (2002) Kluwer Law International ,Printed in the Netherlands, P. 61
43
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
their consent. The consent is the main element of the manifestation of the fundamental principles of the sovereignty and independence of states. Treaties which established legal regimes and has erga omnes character such as establishing freedom of navigation in international rivers and maritime waterways are applicable to third parties if they have legal situation are as follow: there has to be an intention to confer a rights on third party; the rights may be conferred on its own; or it may be conferred with an duty to exercise a certain obligation, which is a condition for the exercise of this rights. There is exception on the non-binding character of treaties against third parties. Treaty may create rights and obligations for a third state under two conditions namely, first; the states parties to the treaties intended to establish the obligation for a state not party, and second; the third parties agree to be bound by it.
There are conditions to be fulfilled in order for conferment of rights namely; the treaty intended to rise the right to third states; secondly, the third states give approval to the rights accorded to them by the treaty; third, the approval shall be taken for granted as the third states’ act is not contrary to it; fourth, if the treaty obliges that a third state should express its consent in certain way, the legal effect will only arise if this requirement has been fulfilled. Rights arisen for third states can not be revoked or modified unless otherwise two conditions have been fulfilled (first); the treaty stipulates that the rights was intended to be revocable, (and second); the third parties gave consent on it. Treaties or provision of treaties are applicable to third parties if the provisions of the treaties have already become customary international law. It means that its applicability to the third parties is not due to the jurisdiction of the treaty in question but merely third state bound by it by the custom.
Reference Arechaga, Eduardo Jimenez, Treaty Stipulations in favor of Third States, American Journal of International Law, Vol. 50 No 2 (April 1956) p.0 338-357 Article 18. Treaties and Third States, (comment) American Journal of International Law, Vol 29, Supplement: Research in International Law (1935) p. 918-937 Dixon, Martin, Textbook on International Law, Oxford University Press, Fourth Edition Year 2000 Fitzmaurice, Malgosia, Third Parties and the Law of Treaties, Max Planck Yearbook of United Nations Law, Volume 6, 2002, 37-137, 2002 Kluwer Law International, Printed in the Netherlands Lee, Luke T, Law of the Sea Convention and Third States, 77 American Journal of International Law 541 (1983) Shaw, N. Malcolm, International Law, Cambridge University Press, fourth edition, 1997 Treaty of Peace between the Allied and Associated Powers and Germany (1919)/Treaty of Versailles Vierdag, E.w, The Law Governing Treaty Relations between Parties to the Vienna Convention on the Law of Treaties and States not Parties to the Convention, American Journal of International Law, Vol 76, No. 4 (Oct 1982, pp 779-801 Vienna Convention on the Law of Treaties 1969, United Nations, Treaties Series, vol 1155, p. 331 Williams, John Fisher, International Law Report, Cambridge University Press (1933) North Sea Continental Shelf Cases (Germany/Denmark; Germany/the Netherlands) 1969 ICJ Rep 3, 25-26 (Judgment of February 20)
44
OPINIO JURIS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
ENFORCING POLLUTION CONTROL REGULATION: STRENGTHENING SANCTIONS AND IMPROVING DETERRENCE Penulis : Carolyn Abbot Diulas oleh : Irma Dewi Rismayati POLLUTION CONTROL PERATURAN: MEMPERKUAT SANKSI DAN MENINGKATKAN PENCEGAHAN Dalam buku ini Carolyn Abbot memfokuskan penelitiannya pada tantangan untuk menegakkan peraturan yang membatasi pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh pembuangan limbah ke udara, air, dan lahan. Dalam menganalisa masalah penegakan hukum, Abbot menggunakan model ekonomi yaitu “Model Pencegahan (Deterrence Model)” yang dikemukakan oleh Gary Becker, yang mengasumsikan bahwa manusia akan bertindak rasional dan berupaya untuk memaksimalkan keuntungan. Model analisa Efektivitas Biaya digunakan Abbot dalam rangka menetapkan denda dan sanksi yang berbeda untuk mendorong kepatuhan manusia terhadap peraturan pengendalian polusi. Selain itu, Abbot menjelaskan efektivitas dari berbagai mekanisme penegakan hukum, seperti apprehension, conviction dan severity of sanction, dalam rangka menggalang perilaku yang sesuai dengan aturan hukum. Untuk menguji model analisa efektivitas biaya penegakan aturan, Abbot melakukan studi terhadap
Penerbit
: Hart Publishing Ltd. 16C Worcester Place, Oxford, OX1 2JW United Kingdom Tahun Penerbitan : 2009 Jumlah Halaman : 268 ISBN : 978-1-84113-925-8 45
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
strategi penegakan pengendalian pencemaran dan sanksi yang diterapkan di Australia, Kanada, Inggris dan Wales.
diinginkan, khususnya kepatuhan untuk membatasi dan mengurangi pencemaran lingkungan.
Abbot mempresentasikan hasil penelitiannya pada buku ini dan menjelaskan dalam 9 (sembilan) Bab. Pada Bab 1 “Environment, Enforcement and Deterrence, Abbot menguji tingkat kepatuhan yang diinginkan dan penegakan hukum, termasuk denda dan sanksi, dengan menggunakan teori yang ada dan menggarisbawahi bahwa pengetahuan tentang instrumen peraturan adalah sangat penting untuk dapat memahami strategi pemerintah yang dirancang dalam rangka membatasi kerusakan lingkungan.
Sedangkan pada Bab 3 “Environmental Enforcement Strategies,” menguji hubungan antara gaya yang berbeda dan penerapan doktrin pencegahan. Kerangka pencegahan sebagian besar didasarkan pada asumsi bahwa subjek hukum adalah pelaku ekonomi rasional yang mempunyai tujuan utama untuk memaksimalkan keuntungan. Oleh karena itu, dalam strategi pencegahan perlu ditekankan suatu penegakan hukuman, yang didukung oleh suatu ancaman pencegahan yang nyata dan kredibel. Selain itu, perlu suatu mekanisme yang dapat memastikan para subjek pelanggar hukum merasa dan tidak punya pilihan lain bahwa kepentingan mereka adalah justru untuk mematuhi hukum.
Pada bab ini Abbot menyimpulkan bahwa Model Pencegahan yang dikemukakan Becker dan model Analisis Efektivitas Biaya merupakan salah satu cara untuk menilai penerapan berbagai strategi penegakan aturan dan pengenaan denda yang berbeda terhadap pencemaran lingkungan. Bab 2, “A Theoretical Framework of Enforcement and Compliance,” Abbot menggunakan Model Pencegahan Becker secara lebih komprehensif dan bahkan memperluas dasar-dasar dari model yang memungkinkan seseorang untuk menilai efektivitas biaya dalam mekanisme penegakan hukum yang berbeda sehingga tercapainya kepatuhan terhadap peraturan pengendalian polusi. Menurut Abbot, regulator harus menggunakan berbagai mekanisme penegakan hukum formal dan informal, termasuk peringatan informal, sanksi administrasi dan hukum, serta sanksi perdata, untuk menggiring suatu perilaku yang 46
Secara khusus pada Bab 4 “The Regulatory Landscape” dan Bab 5 “Environmental Enforcement Strategies in Australia, Canada, and England and Wales,” Abbot memberikan gambaran umum mengenai penerapan peraturan lingkungan hidup di Kanada, Australia dan Inggris serta Wales, dimana perlindungan lingkungan dan masalah pengendalian polusi merupakan salah satu agenda politik terpenting di negara-negara ini. Abbot kembali menguji model Efektifitas Biaya untuk meningkatkan perlindungan lingkungan dan meningkatkan dampak hukuman bagi perilaku yang tidak konformis. Hasil penelitiannya di keempat negara ini adalah bahwa tanggung jawab perlindungan lingkungan hidup berada pada beberapa lapisan/tingkat pemerintahan dan legislasi. Untuk mencapai kepatuhan terhadap berbagai
OPINIO JURIS
aturan lingkungan, adalah sangat penting diterapkan penegakan formal, seperti tuntutan pidana dan peringatan administratif, dibandingkan penegakan informal. Pada bab 6 “Criminalizing Polluting Behavior: Models of Liability and Deterrence,” Abbot menegaskan peranan hukum pidana dalam mencegah masyarakat melakukan perusakan lingkungan dan pelanggaran hukum. Efektifitas penerapan sanksi pidana dan perdata dieksplorasi lebih lanjut oleh Abbot pada Bab 7 “Judicial Sanctions and Deterrence.” Abbot meneliti berapa lama hukuman pidana yang dikenakan oleh pengadilan terhadap pelaku perusakan dan menganalisa sejauh mana penetapan hukuman pidana dapat menghalangi individu dan perusahaan melakukan kejahatan lingkungan. Sedangkan pada Bab 8 “Administrative Sanctions and Deterrence,” Abbot membahas mekanisme peringatan hukum dan sanksi administrasi keuangan yang hemat biaya serta pendekatan yang fleksibel dalam rangka penegakan hukuman. Menurut Abbot, ancaman sanksi administrasi dan pencegahan ini memberikan sinyal yang cukup kuat dalam upaya pengendalian polusi lingkungan. Pada bab 9, penelitian ini semakin memperkuat pendapat Abbot tentang mekanisme penegakan hukum yang efektif dalam mengatasi kerusakan lingkungan. Abbot menyimpulkan bahwa sangat penting bagi para regulator untuk mengetahui bagaimana prosedur penerapan efektifitas biaya dan pemberlakuan sanksi maksimal yang dapat menimbulkan efek jera bagi para pelanggar. Abbot berpendapat
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
bahwa penggunaan Model Pencegahan yang diperluas dapat menjawab berbagai pertanyaan terkait menegakkan pengendalian pencemaran. Buku ini menunjukkan bagaimana Abbot mempresentasikan argumennya dengan sangat menarik. Abbot meneliti penggunaan analisis ekonomi pada regulasi pengendalian polusi untuk menemukan cara yang lebih baik untuk mendorong dan meningkatkan kepatuhan masyarakat. Penelitian Abbot menekankan pada masalah regulasi untuk mengontrol polusi yang menggabungkan elemen dari literatur hukum dan ekonomi sehingga menjadi suatu sebuah studi yang inovatif. Pada buku ini, Abbot secara detail mempresentasikan perbandingan efektivitas mekanisme penegakan hukum dalam mendorong tingkat kepatuhan dari berbagai perilaku yang berbeda. Selain itu, Abbot memberikan sebuah pengetahuan penting mengenai cara terbaik untuk menegakkan peraturan terkait pengendalian polusi. Untuk studi analisis komparatif terkait peraturan pengendalian polusi, Abbot mengambil contoh dan mengetengahkan berbagai penerapan kebijakan dan peraturan terkait pencemaran lingkungan di Kanada, Australia, dan Inggris dan Wales. Pilihan sample studi komparatif berdasarkan pertimbangan bahwa masalah lingkungan hidup merupakan agenda politik teratas di negara-negara ini. Model Pencegahan yang diperluas oleh Abbot merupakan alat analisis yang berharga dan suatu metodologis yang dapat digunakan untuk mengevaluasi efektivitas biaya penegakan hukum. Buku ini akan dapat membantu, para pembuat kebijakan dalam menetapkan kebijakan dan peraturan terkait dengan lingkungan, baik pada tingkat nasional dan internasional. 47
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
Seminar “Perlindungan Warisan Budaya: Siapa Menjiplak Siapa” Jakarta, 19 Februari 2010 Direktorat Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional bekerjasama dengan Dharma Wanita Persatuan Kementerian Luar Negeri telah menyelenggarakan Seminar berjudul “Perlindungan Warisan Budaya : Siapa Menjiplak Siapa?” pada tanggal 19 Februari 2010 di Jakarta. Seminar tersebut diselenggarakan dengan maksud untuk meluruskan persepsi keliru yang berkembang di masyarakat umum terkait rezim hukum hak kekayaan intelektual non konvensional (Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional – biasa dikenal dengan Genetic Resources, Traditional Knowledge and Folklore) dan kerangka perlindungan hak kekayaan intelektual konvensional seperti hak paten dan hak cipta. Seminar diawali dengan pemberian kata sambutan oleh Wakil Ketua DWP Kementerian Luar Negeri, Sartika Oegroseno dan kemudian dilanjutkan dengan kata sambutan dari perwakilan anggota DWP Kementerian Luar Negeri oleh Ibu Moeliek Triyono Wibowo. Selanjutnya, Direktur Jenderal Hukum dan Perjanjian Internasional, Arif Havas Oegroseno memberikan presentasi yang
48
memaparkan permasalahan warisan budaya dan hak kekayaan intelektual serta upaya yang telah dilakukan Pemerintah guna terwujudnya perlindungan Sumber Daya Genetik, Pengetahuan Tradisional dan Ekspresi Budaya Tradisional (SDGPTEBT). Pada kesempatan itu, Direktur Perjanjian Ekososbud, Damos Dumoli Agusman menjelaskan lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang telah diambil oleh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini sehubungan dengan pembentukan database nasional terkait warisan budaya takbenda (intangible cultural heritage) dan best practices negara-negara berkembang dengan database SDGPTEBT masingmasing. Melalui penyelenggaraan seminar tersebut, maka diharapkan peserta seminar, antara lain DWP Kementerian Luar Negeri, DWP Instansi Pemerintah Pusat, DWP Provinsi DKI Jakarta, Kowani beserta organisasi lainnya, mendapatkan gambaran serta kesamaan pandangan dan pengetahuan mengenai permasalahan warisan budaya dan pada gilirannya dapat mendukung upaya Pemerintah dalam mewujudkan perlindungan SDGPTEBT.
OPINIO JURIS
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OKTORIAN SALEH HAKIM, lahir di Semarang 1 Oktober 1983. Lulusan Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran dengan program kekhususan Hukum Ekonomi pada 2007. Pada Juni 2008 s.d Desember 2008 bekerja sebagai Legal Administration pada State Bank of India Indonesia di Jakarta. Mulai Januari 2009 tergabung dalam Sekolah Dinas Luar Negeri (Sekdilu) angkatan XXXIV. Selama Sekdilu berkesempatan menulis Tugas Perorangan berupa tulisan dengan judul “Citizen Service Sebagai Upaya Indonesia Mengatasi Masalah Tenaga Kerja Indonesia di Luar Negeri”. Dalam pelaksanaan tugas magang di Perwakilan Republik Indonesia Penulis ditugaskan di Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuwait City mulai dari 3 November 2009 s.d 3 Februari 2010. Selama tugas di Perwakilan, Penulis kembali berkesempatan membuat paper yang berjudul “Peningkatan Kerja Konsuler Menuju Optimalisasi Kinerja KBRI Kuwait City”. HARI YULIANTO, adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Program Kekhususan Hukum Ekonomi (S-1) dan Program Kekhususan Hukum Bisnis (S-2). Memulai karir di Kementerian Luar Negeri RI pada tahun 2008 (Sekdilu Angkatan XXXIII) dan saat ini menjadi staf di Biro Perencanaan dan Organisasi. FERRY JUNIGWAN MURDIANSYAH, lahir di Medan, 28 Juni 1981dan bergabung dalam Sekolah Dinas Luar Negeri Angkatan 34. Sebelumnya menamatkan S1 di Jurusan Hubungan Internasional Universitas Pasundan, Bandung dan meraih gelar LLM di Erasmus Universiteit, Rotterdam, Belanda. Saat ini tengah mengikuti program S1 Ekstensi Hukum Ekonomi Universitas Indonesia. Sebelum bergabung dengan Departemen Luar Negeri pada tahun 2009, pernah bekerja sebagai Corporate English Trainer di International Language Program - ILP (2005-2006), Corporate Legal & Legal Programming di PT. Televisi Transformasi Indonesia/ Trans TV (2006 - 2007), Assistant Vendor Manager (2007-2008) dan IT Contract dan Tender Manager (2008-2009) di PT. Bank Danamon Indonesia. RHEINHARD SINAGA, lahir di Pematang Siantar 10 Agustus 1973. Pada tahun 1999 menyelesaikan pendidikan S-1 di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan, Bagian Hukum Internasional. Pada tahun 2002 menyelesaikan pendidikan S-2 (LL.M) di School of Law, the University of New South Wales, Sydney, Australia, spesialisasi Hukum Internasional, studi tersebut dibiayai oleh Pemerintah Australia (ADS). Bergabung di Kementerian Luar Negeri pada tahun 2003, Angkatan XXIX. Selepas menyelesaikan pendidikan Sekolah Dinas Luar Negeri, ditugaskan sebagai diplomat magang pada Perutusan Tetap Republik Indonesia untuk PBB di New York (PTRI New York), tahun 2004. Tahun 2005-2006, semasa bertugas pada Direktorat HAM, ditunjuk sebagai Contact Person, Commission of Truth and Friendship (Komisi Kebenaran dan Persahabatan) Indonesia-Timor Leste (KKP Indonesia-Timor Leste), bertempat di Jakarta. Pada tahun 49
Volume 01 ● Januari - Maret 2010
OPINIO JURIS
2006, sebagai bagian penugasan dari Direktorat Hukum, mengikuti Pendidikan Khusus Profesi Advokat (PKPA), diselenggarakan oleh Persatuan Advokat Indonesia (PERADI), Jakarta. Pada tahun 2007, sewaktu menjabat sebagai Kepala Seksi Pengkajian Produk Hukum Privat, Direktorat Hukum, bertindak juga sebagai Kuasa Hukum Menteri Luar Negeri, dalam perkara gugatan perdata oleh Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) di PN Jaksel terhadap Menteri Luar Negeri, perkara tersebut dapat dimenangkan oleh Menteri Luar Negeri. Saat ini menjabat sebagai Kepala Subbag Penyusunan Kertas Kerja dan Laporan, Setditjen HPI. MUNIROH RAHIM, sejak tahun 2008 adalah staf Bagian Data dan Kertas Kerja, Setditjen HPI. Menamatkan pendidikan S-1 Jurusan Sastra, Univesitas Islam Negeri Jakarta pada tahun 1997 dan pendidikan S-2 dari Raja Ratnam School of International Study Nanyang Technogical University, Singapore pada Juni 2010. Bergabung dengan Kementerian Luar Negeri pada tahun 1999 dan merupakan lulusan Caraka Muda Angkatan IV atau Sekdilu Angkatan XXV. Pada tahun 2009 mengikuti pendidikan dinas lanjutan Sesdilu Angkatan XXXXII. IRMA DEWI RISMAYATI, adalah Kepala Sub Bagian Dokumentasi, Setditjen HPI yang bergabung dengan Departemen Luar Negeri pada tahun 2000 sebagai lulusan Caraka Muda V atau Sekolah Dinas Luar Negeri Angkatan XXVI. Menamatkan studi S1 pada jurusan Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Padjadjaran dan meraih gelar MA dari Political Sciences, Universitas Leiden, Belanda.
50