FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KONVERSI LAHAN SAWAH DAN DAMPAKNYA TERHADAP SISTEM PENGHIDUPAN RUMAHTANGGA PETANI (STUDI KASUS: KECAMATAN COLOMADU KABUPATEN KARANGANYAR) Ardianti Nur Oktarina, Suprapti Supardi, dan Widiyanto Program Studi Agribisnis Universitas Sebelas Maret Surakarta Jalan Ir. Sutami No. 36 A Kentingan Surakarta 57126 Telp./ Fax.(0271) 637457 E-mail:
[email protected]. Telp. 085642275513 Abstract : The main purpose of this study were identify and analyze the factors that influence the wetland conversion in Colomadu Sub District and to know its impact on the livelihood systems of farmers. The location this research were purposively selected (purposive) in five villages with the highest conversion rates in the Colomadu Sub District. There were Bolon, Ngasem , Gawanan, Tohudan and Paulan. The researcher here used primary data and secondary data. The researcher used descriptive analytical survey as the basic method in this research. Then, the researcher here used purposive (deliberately) in determining the location of this research.. Some villages which were selected as the locations of this reasarch were the village of Bolon, Ngasem, Gawanan, Tohudan and Paulan. Moreover, the researcher here used primary and secondary data in this research.Then, the multiple regression with 7 variables and a dummy variable (government policy) were used as the analysis model of this research. Furthermore, the researcher applied qualitative method in describing the wetland conversion impacts on farmers' livelihood systems. In conclusion, the internal factors (age, land area and land prices) and external factors (investors' influence) have significant effect on the level of individual wetland conversion in the District Colomadu and the wetland conversion has impact on farmers' livelihood systems,such as: the increase of income,the livelihood strategies by diversification and over profession indicated by a debt adaptation strategies and the changing patterns of institutional and the tendency of place farmed transition from urban areas to rural areas. Keywords : Conversion, Wetland Conversion, Livelihoods Systems Abstrak : Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kecamatan Colomadu serta untuk mengetahui dampak konversi lahan sawah pada sistem penghidupan petani. Lokasi Penelitian dipilih secara sengaja (purposive) pada lima desa dengan tingkat konversi tertinggi di Kecamatan Colomadu, yaitu Bolon, Ngasem, Gawanan, Tohudan dan Paulan. Metode dasar penelitian adalah deskriptif analitis dengan teknik penelitian survei. Penentuan lokasi penelitian dilakukan secara purposive (sengaja). Desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Desa Bolon, Ngasem, Gawanan, Tohudan dan Paulan. Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan sekunder. Model analisis yang digunakan adalah regresi berganda dengan 7 variabel dan salah satunya adalah variabel dummy (kebijakan pemerintah) dan menganalisis data secara kualitatif dari dampak konversi lahan sawah terhadap sistem penghidupan petani. Hasil penelitian menunjukkan bahwa faktor internal (umur, luas lahan dan harga lahan) dan faktor eksternal (pengaruh investor) berpengaruh nyata secara individu terhadap tingkat konversi lahan sawah di Kecamatan Colomadu dan konversi lahan sawah berdampak pada perubahan sistem penghidupan petani yaitu peningkatan pendapatan, strategi nafkah ditandai dengan adanya diversifikasi dan alih profesi, adaptasi petani yang ditandai dengan strategi hutang serta perubahan pola kelembagaan lahan dan adanya kecenderungan pemindahan area bertani dari lingkup daerah urban (daerah transisi dari desa ke kota) menuju ke daerah rural (daerah pedesaan). Kata Kunci: Konversi, Konversi Lahan Sawah, Sistem Penghidupan
PENDAHULUAN Lahan bagi penduduk Indonesia adalah sumber daya yang paling penting. Seiring dengan meningkatnya kepadatan penduduk, keberadaan lahan terutama lahan pertanian menjadi semakin terancam dikarenakan kebutuhan yang lebih penting yaitu untuk tempat tinggal. Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah) terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri (Lestari dalam Saleh et al, 2012: 693). Lahan sawah memiliki fungsi strategis, karena merupakan penyedia bahan pangan utama bagi penduduk Indonesia. Data luas baku lahan sawah untuk seluruh Indonesia menunjukan bahwa sekitar 41% terdapat di Jawa, dan sekitar 59% terdapat di luar Jawa (BPS, 2006). Data menunjukkan bahwa dengan bertambahnya jumlah penduduk dan meningkatnya kebutuhan akan lahan
untuk berbagai sektor, konversi lahan sawah cenderung mengalami peningkatan, di lain pihak pencetakan lahan sawah baru (ekstensifikasi) mengalami perlambatan (Wahyunto, 2009 :134). Jumlah konversi lahan sawah meningkat seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahun. Salah satu wilayah yang mengalami konversi lahan sawah yang tinggi adalah Kabupaten Karanganyar. Dinas Pertanian Kabupaten Karanganyar mencatat, penyusutan lahan sawah di Karanganyar mencapai 5% per tahun. Kasus di atas merupakan sebagian kecil dari sekian banyak kejadian alih fungsi lahan pertanian di pedesaaan yang ada di Indonesia. Colomadu merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Karanganyar dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi mendorong terjadinya pembangunan perumahanperumahan sehingga keberadaan lahan pertanian terutama lahan sawah menjadi semakin terancam.
Tabel 1. Jumlah Penduduk dan Pertambahan Penduduk Kecamatan Colomadu, Pada Tahun 2007 -2011 Tahun 2007 2008 2009 2010 2011
Jumlah Penduduk 57.084 60.828 61.434 61.843 72.760
Sumber : BPS Kab. Karanganyar, 2007 -2011
Pertambahan Penduduk 733 3.744 606 409 10.917
Selain faktor pertumbuhan penduduk, konversi lahan juga dipengaruhi faktor lain seperti petani yang merelakan lahan mereka karena tergiur dengan iming-iming harga lahan yang tinggi. Setelah mengkonversikan lahan sawah, secara otomatis petani akan mencari cara lain untuk memenuhi kebutuhan rumahtang\ga karena mereka tidak bisa lagi mengandalkan lahan sawah yang semakin sempit bahkan tidak ada lagi. Fenomena ini menyebabkan terjadinya perubahan pada sistem penghidupan rumahtangga petani. Strategi srabutan biasanya merupakan salah satu upaya dari petani pengkonversi. Menurut Sajogyo (1990) menyebutnya sebagai pola nafkah ganda. Pada petani gurem dengan sumberdaya alami terbatas, tingkat pendidikan yang rendah, modal finansial yang terbatas, maka salah satu strategi yang tepat adalah menerapkan strategi srabutan tersebut. Oleh karena itu, fenomena menarik yang dapat diteliti di sini adalah faktorfaktor yang menjadi pemicu petani untuk mengkonversikan lahan sawah mereka dan dampaknya terhadap sistem penghidupan rumahtangga petani. METODE PENELITIAN Metode dasar yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif analitik dengan teknik penelitian survei. Pengambilan lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Colomadu dengan pertimbangan bahwa tingkat konversi lahan menempati urutan kedua setelah
Jumapolo. Desa yang dipilih sebagai lokasi penelitian adalah Desa Bolon, Ngasem, Gawanan, Tohudan dan Paulan. Penentuan jumlah responden untuk masing-masing desa dilakukan secara proporsional. Jumlah responden yang diambil di Desa Bolon 16 responden, Desa Ngasem 14 responden, Desa Gawanan 12 responden, Desa Tohudan 10 responden dan Desa Paulan 8 responden. Sehingga total responden untuk seluruh Desa sampel adalah 60 responden. Metode analisis data yang digunakan untuk mengetahui faktorfaktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kecamatan colomadu menggunakan analisis linear berganda dengan persamaan sebagai berikut (Sumodiningrat, 2010:155) : Y = a+β1X1 +...+ β6X6 + β7D
(1)
Dimana Y adalah tingkat konversi lahan (persen), a adalah konstanta X1 hingga X6 adalah variabel bebasnya secara berurutan antara lain umur petani (X1), jumlah tanggungan keluarga (X2), tingkat ketergantungan lahan (X3), luas lahan sebelum konversi (X4), harga lahan (X5), pengaruh perantara (X6), β1 hingga β7 adalah koefisien masingmasing variabel dan D merupakan variabel dummy dimana D apabila 0 berarti belum pernah mendapat bantuan pemerintah sedangkan D apabila 1 berarti pernah mendapat bantuan pemerintah, e adalah error.
Sedangkan untuk mengetahui dampak dari konversi lahan terhadap sistem penghidupan petani dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif adalah memberikan gambaran informasi masalah secara jelas dan mendalam untuk menghasilkan data kualitatif yang baru. Hasil dari gambaran informasi akan diinterpretasikan sesuai dari hasil HASIL DAN PEMBAHASAN Faktor Faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan Sawah Kecamatan Colomadu merupakan salah satu Kecamatan di Kabupaten Karanganyar yang mengalami konversi lahan sawah yang tinggi. Fenomena konversi lahan sawah yang sedang marak terjadi di Kecamatan Colomadu terjadi akibat letaknya yang strategis dan memiliki aksesibilitas yang baik sehingga menarik pemilik modal untuk mengembangkan usahanya di wilayah tersebut. Variabel-variabel
penelitian yang dilakukan berdasarkan dukungan teori yang berkaitan dengan objek penelitian. Miles dan Huberman dalam Sugiyono (2012:246) mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus sampai tuntas, sehingga datanya jenuh. yang dianalisis disini ada 7 variabel, 1 diantaranya adalah variabel dummy atau boneka. Variabelvariabel tersebut adalah umur, jumlah tanggungan keluarga, tingkat ketergantungan lahan, luas lahan, harga lahan, pengaruh perantara, kebijakan pemerintah (variabel dummy). Untuk mencari faktor yang mempengaruhi konversi lahan sawah di Kecamatan Colomadu dianalisis dengan model regresi linear berganda dimana tingkat konversi lahan sawah secara nyata dipengaruhi oleh umur, luas lahan sawah sebelum konversi, harga lahan dan pihak perantara.
Tabel 2. Hasil Analisis Regresi Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Keputusan Rumahtangga Petani untuk Mengkonversi Lahan Sawahnya di Kecamatan Colomadu. Variabel Umur Jumlah Tanggungan keluarga Tingkat Ketergantungan Lahan Luas Lahan Harga Lahan Pengaruh Perantara Kebijakan pemerintah R Square = 0,767 F Sig = 0,000***
Uji t Koefisien regresi -0,539 2,536 -0,001 -0,006 2,939.10-5 7,179 -1,750
Sig 0,005*** 0,144 0,990 0,009*** 0,002*** 0,000*** 0,646
Sumber: Analisis data primer, 2013 Keterangan: ***) Signifikan pada taraf kepercayaan 99 %
Ket Sig NS NS Sig Sig Sig NS
Semakin muda umur petani, ternyata persentase luas lahan yang dikonversikan semakin besar. Hal ini terjadi karena petani dari golongan muda di Kecamatan Colomadu cenderung kurang tertarik pada pertanian yang mereka anggap bahwa seorang petani berpenghasilan rendah dan tidak akan bisa menjadi pekerjaan pokok. Mereka akan memilih untuk membuka usaha atau bekerja menjadi karyawan pabrik yang mereka anggap lebih menjanjikan daripada menjadi petani. Semakin sempit luas lahan sawah sebelum konversi maka semakin tinggi pula persentase luas lahan yang dikonversikan karena luas lahan sawah yang sempit menyebabkan petani berpenghasilan rendah karena hasil panen yang sedikit dan tingginya biaya produksi apalagi apabila terjadi gagal panen maka petani akan merugi sehingga petani akan cenderung untuk mengkonversikan lahannya yang sempit. Peningkatan satu rupiah harga lahan akan menaikkan persentase luas lahan sawah yang dikonversikan sebesar 2,939.10-5. Dengan mengkonversikan semua lahannya maka petani akan memperoleh hasil penjualan yang tinggi. Dengan begitu, pendapatan petani dari hasil konversi dapat diinvestasikan. Petani di Colomadu umumnya akan membeli lahan sawah diluar Colomadu yang lebih murah sehingga mendapatkan lahan sawah yang lebih luas dari sebelumnya ataupun digunakan untuk modal usaha dan ditabung begitupun juga dengan pengaruh pihak perantara dimana semakin sering pihak perantara (makelar) menemui petani secara nyata akan
meningkatkan persentase luas lahan sawah yang dikonversikan. semakin seringnya kunjungan makelar yang sama ataupun berbeda-beda maka lama-kelamaan petani akan tergiur dengan penawaran para makelar dan bersedia menjual lahan sawah mereka sesuai kesepakatan antara pihak petani dengan makelar. Petani akan memilih menjualnya pada penawaran yang paling tinggi. Uji Pelanggaran Asumsi Klasik
Uji pelanggaran asumsi klasik ini meliputi uji deteksi multikolinearitas dan heteroskedastisitas. Pada Hasil Analisis tidak terdapat nilai VIF yang melebihi 10 sehingga disimpulkan bahwa antara variabelvariabel bebas tidak terjadi multikolinearitas dan diketahui bahwa titik-titik yang ada di diagram pencar (scatterplot) menyebar dan tidak membentuk pola tetentu yang berarti tidak terjadi heteroskedastisitas pada model regresi. Dampak Konversi Lahan Terhadap Sistem penghidupan Rumahtangga Petani Lahan pertanian sebagai sumber alami penting bagi petani akan berpengaruh terhadap keberlangsungan hidup mereka. Menurut White dalam Widiyanto (2010:31) menyatakan bahwa dalam kondisi rumahtangga yang semakin sempit, rumahtangga petani berusaha untuk melakukan kegiatan nafkah di luar pertanian. Hal tersebut menunjukkan bahwa pada gilirannya konversi lahan sawah di Kecamatan Colomadu akan menimbulkan perbedaan terhadap kualitas hidup.
Tabel 3. Perbandingan sistem penghidupan rumahtangga petani antara sebelum konversi dan sesudah konversi Sistem Penghidupan
Sebelum Konversi Lahan
Meningkat Tetap Menurun
1.
Pendapatan
2.
Strategi Nafkah a. Alih profesi
Petani
b. Diversifikasi
Petani
c. Tetap (ada yang menambah asset berupa investasi pada tanah ataupun menambah modal pada usaha mereka)
Petani Petani+wirausaha (berdagang) Petani+wirausaha (kontrakan) Petani+wirausaha (ternak) Petani+wirausaha (bengkel) Petani+ PNS Petani+karyawan Petani+buruh tani Petani+tukang Petani+wirausaha (mebel) Petani+wirausaha (berdagang) Petani+wirausaha (truk) Petani+PNS Petani+karyawan
d. Fokus (fokus pada profesi yang dianggap penting setelah konversi)
e. Berhenti Bekerja (ikut anak) 3. Pola Adaptasi a. Perubahan Pengelolaan Kelembagaan
Petani+buruh tani Petani+Tukang Petani Petani+buruh tani Menggarap Lahan Sendiri
Sistem Maro/Bagi Hasil Lahan Disewakan
b. Berhutang
Sesudah Konversi Lahan
Berhutang
Tidak berhutang
Sumber: Analisis data Primer, 2013
Jumlah Petani 44 5 11
Wirausaha (dagang) Wirausaha (ternak) Karyawan Buruh tani Petani+buruh tani Petani+wirausaha(ternak) Petani+wirausaha (kontrakan) Petani+wirausaha (warung) Petani+wirausaha (berdagang) Petani Petani+wirausaha (berdagang) Petani+wirausaha (kontrakan) Petani+wirausaha (ternak) Petani+wirausaha (bengkel) Petani+ PNS Petani+karyawan Petani+buruh tani Petani+tukang wirausaha (mebel) wirausaha (berdagang) wirausaha (truk) Petani (pensiun PNS) Karyawan Petani Petani Tukang Berhenti bekerja Berhenti bekerja
1 1 1 2 1 3 1 2 1 13 1 3 3 2 3 3 1 1 1 2 1 4 3 1 1 1 2
Menggarap lahan sendiri Bagi hasil Menggarap lahan orang lain Menyewa tanah Berhenti dalam kegiatan bertani Sistem maro/bagi hasil Berhenti dalam kegiatan bertani Menggarap lahan sendiri Menyewa sawah Berhenti Hutang bertambah Hutang Berkurang Lunas Berhutang Tidak berhutang
14 15 2 4 6 9 7 1 1 1 2 7 17 1 31
Dampak konversi lahan pada sistem penghidupan rumahtangga petani bisa dilihat dari segi pendapatan, strategi nafkah yang dilakukan dan pola adaptasi petani setelah mengkonversikan lahannya. Pendapatan Ada 4 kemungkinan yang terjadi berdasarkan luas kepemilikannya, antara lain: luas lahan sawah yang semakin luas, luas lahan sawah yang semakin sempit, luas lahan sawah yang sama seperti sebelum konversi dan tidak memiliki lahan sawah. Berdasarkan Tabel 3, menunjukkan bahwa sebagian besar petani pendapatannya semakin meningkat setelah mengkonversikan lahan mereka sebesar 73,3% (44 orang). Hal ini terjadi karena sebagian besar petani sudah cukup pintar mengalokasikan hasil pendapatan mereka dari konversi seperti berinvestasi kembali. Salah satu investasi petani adalah membeli lahan kembali. Sebagian besar petani membeli lahan di daerah luar Kecamatan Colomadu seperti di Boyolali, Sukoharjo, Sragen dan sebaginya. Namun ada juga yang membeli lahan di daerah Colomadu namun letaknya di pedesaan atau jauh dari jalan raya. Hal ini dilakukan petani karena harga tanah disana lebih murah sehingga petani bisa mendapatkan tanah yang lebih luas. Selain itu, petani juga menggunakan hasil konversi sebagai modal usaha (beternak, laundry, koskosan, berdagang dan sebagainya). Strategi Petani
Nafkah
Rumahtangga
Petani pengkonversi lahan sawah akan mengubah cara atau
strategi agar tetap dapat mencukupi kebutuhan rumahtangganya. Konversi lahan sawah mempengaruhi petani untuk beralih pada bidang non pertanian, diversifikasi pekerjaan, memutuskan untuk tidak bekerja dan ada juga yang tidak terpengaruh (pekerjaannya tetap). Orang yang bekerja hanya sebagai petani setelah mengkonversikan lahan sawah kemungkinan yang terjadi dengan persentase paling tinggi yaitu tetap sebagai petani (46,4%) dan yang kedua yaitu difersivikasi (28,6%). Banyak petani yang tetap memutuskan untuk tetap menjadi petani setelah konversi karena mereka merasa kemampuan mereka hanya bisa menjadi seorang petani dan takut mengambil resiko untuk bekerja diluar sektor pertanian. Hasil dari konversi sebagian besar mereka sisihkan untuk membeli lahan lagi. Petani yang melakukan difersivikasi biasanya disamping membeli lahan kembali ada sebagian untuk modal usaha dari hasil konversi. Petani yang juga berwirausaha. setelah mengkonversikan lahannya sebagian besar akan tetap menjadi petani dan berwirausaha (69,2%). Mereka tidak meninggalkan pertanian karena menganggap bahwa hasil dari pertanian ibarat seperti tabungan. Sebanyak 30,8% akan fokus bekerja pada usaha mereka. Biasanya hasil konversi sebagian besar mereka. Petani yang sebelum konversi berprofesi juga sebagai seorang PNS biasanya berstatus hanya sebagaipetani pemilik saja. Menjelang masa pensiun petani akan mengkonversikan lahannya untuk dibelikan lahan kembali. Dengan lahan yang lebih luas dari
sebelumnya petani yang sekaligus pensiunan PNS akan tetap mendapatkan pendapatan dari sawah dan dari uang pensiunnya. Dari hasil dari konversi petani akan membelikan lahan kembali apabila tetap mempertahankan profesinya sebagai petani ataupun petani dengan pekerjaan lain. Namun ada sebagian petani yang tidak memiliki lahan setelah konversi Mereka akan tetap bertani dengan cara menyewa lahan sawah. Petani yang sudah tidak memiliki lahan lagi biasanya akan cenderung untuk alih profesi atau fokus pada pekerjaan yang dianggapnya lebih menghasilkan. Untuk petani yang tidak bekerja lagi setelah konversi lahan penyebabnya adalah usia petani pengkonversi yang sudah berusia lanjut memilih untuk berhenti bekerja dan bergantung pada anak mereka. Pola Adaptasi Petani
Rumahtangga
Adaptasi merupakan adjustment pada sistem nafkah di dalam merespon perubahan dalam jangka panjang yang berkaitan dengan sumberdaya dan kesempatan. Setelah mengkonversikan lahan sawah, petani akan menyesuaikan diri terhadap keadaan mereka agar
mereka tetap dapat memenuhi kebutuhan. Petani yang setelah konversi tidak lagi melakukan kegiatan bertani dikarenakan sudah tidak memiliki lahan lagi (23,3%). Petani yang sangat tergantung pada lahan sawah dan setelah dikonversikan apabila tidak bisa mencari sumber pendapatan lain terpakasa berhutang. Berbeda denga petani yang apabila sebelum konversi sudah mengalami krisis akan mendorong mereka untuk menjual lahan sawah agar dapat membayar hutang dan apabila ada sisa mereka akan membelikan lagi lahan sawah. Petani yang sangat tergantung pada lahan sawah dan setelah dikonversikan apabila tidak bisa mencari sumber pendapatan lain maka petani akan terpakasa berhutang. Berbeda denga petani yang apabila sebelum konversi sudah mengalami krisis akan mendorong mereka untuk menjual lahan sawah agar dapat membayar hutang dan apabila ada sisa mereka akan membelikan lagi lahan sawah kembali. Sebagian besar petani pengkonversi akan membelikan lahan sawah kembali (66,7%) sehingga sebagian besar setelah mengkonversikan lahan luas kepemilikan lahan petani bertambah.
Tabel 4. Kepemilikan Luas Lahan Setelah Konversi Dibandingkan Sebelum Konversi Kepemilikan Luas lahan setelah konversi dibandingkan sebelum konversi Menurun Tetap Meningkat Tidak memiliki lahan Jumlah Sumber : Analisis Data Primer, 2013
Jumlah 7 13 21 19 60
Persentase (%) 11,7 21,6 35 31,7 100
Dari tabel diatas terbukti bahwa setelah mengkonversikan lahan sawahnya sebagian besar kepemilikan luas lahan sawah petani meningkat (35%). Sebagian besar petani akan membeli lahan sawah kembali setelah konversi lahan. Namun mereka akan membeli lahan di daerah yang tanahnya masih murah di luar daerah (Boyolali, Sragen, Sukoharjo) ataupun di daerah Colomadu di daerah pedesaan agar memperoleh lahan sawah yang lebih luas dari sebelumnya. Akibatnya banyak perubahan dalam hal pengelolaan kelembagaan yang sebelumnya apabila menggarap lahan sendiri karena jarak yang jauh maka petani cenderung untuk menggunakan sistem bagi hasil atau menyewakannya kepada orang lain. Untuk petani pengkonversi yang tidak memiliki lahan lagi tetapi masih ada keinginan untuk bertani maka mereka menyewa lahan orang lain (4 orang). Pada Tabel 3 ada beberapa petani yang berstatus hanya sebagai petani pemilik sehingga dalam pengelolaan kelembagaannya dengan sistem bagi hasil dan disewakan dan setelah konversi mereka juga akan menerapkan hal yang sama yaitu bagi hasil (9 orang) dan sebagian kecil menyewa atau menggarap sendiri (1 orang). Hal ini biasanya dilakukan oleh petani dengan pekerjaan lain yang sudah mapan sehingga hasil dari pertanian tidak terlalu mempengaruhi pendapatan mereka. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Faktor-faktor yang berpengaruh nyata secara individu
terhadap tingkat konversi lahan sawah di Kecamatan Colomadu adalah umur, luas lahan, harga lahan dan pengaruh pihak perantara. Konversi lahan sawah berdampak pada sistem penghidupan petani yang dilihat dari perubahan pendapatan, strategi nafkah dan pola adaptasinya. Perubahan tersebut ditandai dengan meningkatnya pendapatan rumahtangga petani setelah mengkonversikan lahan sawah, perubahan strategi nafkah yang ditandai dengan petani yang beralih profesi atau pekerjaan maupun melakukan diversifikasi nafkah untuk menambah penghasilan mereka dan terjadi perubahan pola adaptasi petani setelah konversi ditandai dengan perubahan pengelolaan kelembagaan lahan yang sebagian besar menerapkan sistem bagi hasil karena jarak yang jauh dan strategi berhutang bila dalam keadaan krisis. Saran Makelar banyak yang membujuk petani untuk menjual lahan sawahnya sehingga petani diharapkan tidak mudah terbujuk oleh tawaran makelar untuk menjual lahan sawahnya dan untuk pemerintah setempat sebaiknya mematuhi RTRW yang telah ditetapkan dan memberikan pemahaman tentang intensifikasi pertanian pada petani agar petani dapat menerapkannya sehingga hasil panen bisa meningkat. DAFTAR PUSTAKA Saleh E, F. Angela , Nainggolan dan L. Butarbutar. 2012. Budidaya Padi di Dalam Polibag Dengan
Irigasi Bertekanan Untlik Antisipasi Pesatnya Perubahan Fungsi Lahan Sawah. Jurnal Teknotan Vol. 6 No. 1 Januari 2012. Hlm 693 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Alfabeta: Bandung. Hlm 80,246 Widiyanto. 2010. Sistem Penghidupan dan Nafkah Pedesaan. UNS Press: Surakarta. Hlm 9. Wahyunto. 2009. Lahan Sawah di Indonesia Sebagai Pendukung Ketahanan Pangan Nasional. Jurnal Informatika Pertanian. Vol 18 No. 2 Hlm134. Sumodiningrat. 2010. Ekonometrika Pengantar. BPFE: Yogyakarta Hlm 155.
.