PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING–UP) TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr.I DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI BANGSAL SEMBADRA RSJD SURAKARTA
DI SUSUN OLEH :
APRILIA NUR CHOSIDAH NIM. P11 005
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN STIKes KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
i
PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING-UP) TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr. I DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI BANGSAL SEMBADRA RSJD SURAKARTA
Karya Tulis Ilmiah Untuk Memenuhi Salah Satu Persyaratan Dalam Menyelesaikan Program Diploma III Keperawatan
DI SUSUN OLEH :
APRILIA NUR CHOSIDAH NIM. P11 005
PROGRAM STUDI DIII KEPERAWATAN STIKes KUSUMA HUSADA SURAKARTA 2014
i
SURAT PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN
Saya yang bertandatangan di bawah ini : Nama
: Aprilia Nur Chosidah
NIM
: P11 005
Program Studi
: DIII Keperawatan
Judul Karya Tulis Ilmiah
: PEMBERIAN TERAPI GERAK ( WARMING-UP) TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN
KEPERAWATAN
DENGAN
PERILAKU
JIWA
Sdr.
KEKERASAN
I DI
BANGSAL SEMBADRA RSJD SURAKARTA Menyatakan dengan sebenarnya bahwa Tugas Akhir yang saya tulis ini benar-benar hasil karya saya sendiri, bukan merupakan pengambil alihan tulisan atau pikiran orang lain yang saya akui sebagai tulisan atau pikiran saya sendiri. Apabila dikemudian hari dapat dibuktikan bahwa Tugas Akhir ini adalah hasil jiplakan, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut sesuai dengan ketentuan akademik yang berlaku.
Surakarta, 08 Mei 2014 Yang Membuat Pernyataan
APRILIA NUR CHOSIDAH NIM. P11 005
ii
LEMBAR PERSETUJUAN
Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama
: Aprilia Nur Chosidah
NIM
: P11 005
Program Studi
: DIII Keperawatan
Judul
: PEMBERIAN
TERAPI
GERAK
(WARMING-UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr. I DENGAN PERILAKU KEKERASAN
DI
BANGSAL
SEMBADRA
RSJD
SURAKARTA
Telah disetujui untuk diujikan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Ditetapkan di
: Surakarta
Hari / Tanggal
: Kamis, 08 Mei 2014
Pembimbing : Joko Kismanto, Skep., Ns. ( NIK. 200670020
iii
)
HALAMAN PENGESAHAN Karya Tulis Ilmiah ini diajukan oleh : Nama
: Aprilia Nur Chosidah
NIM
: P11 005
Program Studi
: DIII Keperawatan
Judul
: PEMBERIAN
TERAPI
GERAK
(WARMING-UP)
TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr. I DENGAN PERILAKU KEKERASAN
DI
BANGSAL
SEMBADRA
RSJD
SURAKARTA Telah diujikan dan dipertahankan dihadapan Dewan Penguji Karya Tulis Ilmiah Prodi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta Ditetapkan di : Surakarta Hari / Tanggal : Jum’at, 16 Mei 2014
DEWAN PENGUJI
Pembimbing : Joko Kismanto, S Kep., Ns.
(
)
: S. Dwi Sulisetyawati, S Kep., Ns, M. Kep (
)
NIK. 200670020 Penguji I
NIK. 200984041 Penguji II
: Maula Mar’atus, S Kep., Ns
(
NIK. 201390126 Mengetahui, Ketua Program Studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta
Atiek Murharyati, S.Kep. Ns., M.Kep NIK. 200680021
iv
)
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa karena berkat, rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Tulis Ilmiah degan judul “PEMBERIAN TERAPI GERAK (WARMING-UP) TERHADAP TINGKAT KECEMASAN PADA ASUHAN KEPERAWATAN JIWA Sdr. I DENGAN PERILAKU KEKERASAN DI RUANG SEMBADRA RSJD SURAKARTA.” Dalam penyusunan Karya Tulis Ilmiah ini penulis banyak mendapat bimbingan dan dukungan dari berbagai pihak, oleh karena itu pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada yang terhormat : 1. Atiek Murharyati, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 2. Meri Oktariani, S.Kep.,Ns., M.Kep, selaku Sekretaris Ketua Program studi DIII Keperawatan yang telah memberikan kesempatan untuk dapat menimba ilmu di STIKes Kusuma Husada Surakarta. 3. Joko Kismanto, S.Kep., Ns., selaku dosen pembimbingsekaligus sebagai penguji yang telah membimbing dengan cermat, memberikan masukanmasukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 4. S. Dwi Sulisetyawati, S Kep., Ns, M. Kep, selaku dosen penguji dan pembimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini. 5. Maulana Mar’atus, S Kep.,Ns, selaku dosen penguji dan pembimbing dengan cermat, memberikan masukan-masukan, inspirasi, perasaan nyaman dalam bimbingan serta memfasilitasi demi sempurnanya studi kasus ini.
v
6. Semua dosen Program studi DIII Keperawatan STIKes Kusuma Husada Surakarta yang telah memberikan bimbingan dengan sabar dan wawasannya serta ilmu yang bermanfaat. 7. Kakek dan kedua orangtuaku, yang selalu menjadi inspirasi dan memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 8. Kakak dan adik-adikku tersayang, yang selalu memberikan semangat untuk menyelesaikan pendidikan. 9. Teman-teman Mahasiswa dan berbagai pihak yang tidakdapat disebutkan satupersatu, yang telah memberikan dukungan moril dan spiritual. Semoga laporan studi kaus ini bermanfaat untuk perkembangan ilmu keperawatan dan kesehatan. Amiin.
Surakarta, 16 Mei 2014
Penulis
vi
DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL .....................................................................................
i
PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN .....................................................
ii
LEMBAR PERSETUJUAN...........................................................................
iii
LEMBAR PENGESAHAN ...........................................................................
iv
KATA PENGANTAR ...................................................................................
v
DAFTAR ISI ..................................................................................................
vii
DAFTAR GAMBAR .....................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
x
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xi
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Latar Belakang........................................................................
1
B. Tujuan Penulisan ....................................................................
5
C. Manfaat Penulisan ..................................................................
5
TINJAUAN TEORI A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan .........................................
7
B. Konsep Asuhan Keperawatan.................................................
18
C. Terapi Gerak ...........................................................................
42
D. Kecemasan ..............................................................................
46
BAB III LAPORAN KASUS A. Identitas Pasien .......................................................................
53
B. Pengkajian ..............................................................................
53
vii
C. Perumusan Masalah Keperawatan .........................................
59
D. Analisa Data ...........................................................................
60
E. Perencanaan ............................................................................
60
F. Implementasi ..........................................................................
64
G. Evaluasi ..................................................................................
65
BAB IV PEMBAHASAN
BAB V
A. Pengkajian ..............................................................................
67
B. Diagnosa Keperawatan ...........................................................
68
C. Rencana Keperawatan ............................................................
70
D. Tindakan keperawatan ............................................................
72
E. Evaluasi ..................................................................................
75
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan .............................................................................
78
B. Saran .......................................................................................
80
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN DAFTAR RIWAYAT HIDUP
viii
DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 2.1 Rentang Respon ......................................................................
9
Gambar 2.2 Pohon Masalah Resiko Perilaku Kekerasan ...........................
26
Gambar 3.1 Genogram ...............................................................................
54
Gambar 3.2 Pohon Masalah .......................................................................
54
ix
DAFTAR TABEL Halaman Tabel 3.1 Data Yang Perlu Dikaji ...............................................................
28
Tabel 3.2 Skala HRS-A ...............................................................................
48
x
DAFTAR LAMPIRAN Lembar
1
Daftar Riwayat Hidup
Lembar
2
Log Book
Lembar
3
Konsultasi
Lembar
4
Pendelegasian
Lembar
5
Asuhan Keperawatan Jiwa
Lembar
6
Jurnal Penelitian
xi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kesehatan jiwa, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendefinisikan kesehatan sebagai keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit. Orang yang memiliki kesejahteraan emosional, fisik, dan sosial dapat memenuhi tanggung jawab kehidupan, berfungsi dengan efektif dalam kehidupan sehari-hari, dan puas dengan hubungan interpersonal dan diri mereka sendiri (Videbeck, 2008). Menurut Stuart & Laraia dalam Hidayati, (2012) kesehatan adalah keadaan sehat fisik, mental, dan sosial, bukan semata-mata keadaan tanpa penyakit atau kelemahan. Seseorang dikatakan sehat apabila seluruh aspek dalam dirinya dalam keadaan tidak terganggu baik tubuh, psikis maupun sosial. Fisiknya sehat, maka mental (jiwa) dan sosial pun sehat, jika mentalnya terganggu atau sakit, maka fisik dan sosialnya pun akan sakit. Seseorang yang tidak memenuhi karakteristik sehat, maka bisa dikatakan gangguan jiwa. Menurut Kartini Kartono, yang disebut gangguan mental adalah bentuk gangguan dan kekacauan fungsi mental atau kesehatan mental yang disebabkan oleh kegagalan mereaksinya mekanisme adaptasi dari fungsifungsi kejiwaan terhadap stimulus eksterna dan ketegangan-ketegangan sehingga muncul gangguan fungsi atau gangguan struktur dari suatu bagian,
1
2
suatu organ, atau sistem kejiwaan/mental menurut Katini Kartono dalam Erlinafsiah (2010) Gangguan jiwa merupakan gejala yang dimanifestasikan melalui perubahan karakteristik utama dari kerusakan fungsi perilaku atau psikologis yang secara umum diukur dari beberapa konsep norma dihubungkan dengan distress atau penyakit, tidak hanya dari respon yang diharapkan pada kejadian tertentu atau keterbatasan hubungan antara individu dan lingkungan sekitarnya(Kaplan, Sadock, 2007). WHO (2009) memperkirakan 450 juta orang di seluruh dunia mengalami gangguan mental, sekitar 10% orang dewasa mengalami gangguan jiwa saat ini dan 25% penduduk diperkirakan akan mengalami gangguan jiwa pada usia tertentu selama hidupnya. Usia ini biasanya terjadi pada dewasa muda antara usia 18-21 tahun (WHO, 2009). Menurut National institute of mental healthgangguan jiwa mencapai 13% dari penyakit secara keseluruhan dan diperkirakan akan berkembang menjadi 25% di tahun 2030. Kejadian tersebut akan memberikan andil meningkatnya prevalensi gangguan jiwa dari tahum ke tahun di berbagai negara. Berdasarkan hasil sensus penduduk Amerika Serikat tahun 2004, diperkirakan 26,2% penduduk yang berusia 18-30 tahun atau lebih mengalami gangguan jiwa (NIMH, 2011). Prevalensi gangguan jiwa tertinggi di Indonesia terdapat di provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta (24,3%), diikuti Nangroe Aceh Darussalam (18,5%), Sumatera Barat (17,7%), NTB (10,9%), Sumatera Selatan (9,2%) dan Jawa Tengah (6,8%) (Depkes RI, 2008).
3
Prevalensi gangguan jiwa berat pada penduduk Indonesia 1,7/mil. Gangguan jiwa berat terbanyak di DI Yogyakarta, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Jawa Tengah, proporsi RT yang pernah memasung ART gangguan jiwa berat 14,3% dan terbanyak pada penduduk yang tinggal di perdesaan (18,2%), serta pada kelompok dengan kuantil indeks kepemilikan terbawah (19,5%). Prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk Indonesia 6,0%. Provinsi dengan prevalensi gangguan mental tertinggi adalah Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Jawa Barat, DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur (Hasil Riskesdas, 2013). Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapatmembahayakan secara fisik naik pada dirinya sendiri maupun orang lain disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusmawati dan Hartono, 2010). Perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang secara fisik maupun psikologis. Tanda dan gejala dari perilaku kekerasan diantaranya adalah muka marah dan tegang, pandangan tajam, mengatupkan rahang dengan kuat, mengepalkan tangan, jalan mondar-mandir, bicara kacau, suara menjerit, mengancam
secara
verbal,
tidak
mempunyai
kemampuan
mencegah/mengontrol perilaku kekerasan (Damayanti, 2010). Stress dan kecemasan merupakan dua hal yang saling berkaitan. Keduanya dipengaruhi oleh penyesuaian diri masing-masing individu. Prosedur pengendalian stress dapat menggunakan relaksasi otot sebagai sarana psikoterapi yang efektif dalam menanggulangi kecemasan. Terapi
4
gerak pemanasan telah terbukti dalam program terapi terhadap ketegangan otot yang mampu mengatasi keluhan ansietas, insomnia, kelelahan, dll. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kecemasan antara kelompok terikat yang diberi relaksasi selama 3 hari lebih rendah daripada kelompok kontrol yang tanpa diberi relaksasi. Relaksasi otot dapat diberikan melalui terapi gerak yang bertujuan untuk mengubah ketegangan otot menjadi lebih rileks sehingga dapat mengontrol kecemasan yang muncul. Terapi gerak adalah terapi aktivitas fisik yang dapat dilakukan dengan cara berolahraga untuk melatih tubuh seseorang agar tetap sehat secara jasmani dan rohani (Ariyadi, 2009). Berdasarkan laporan, pasien dirawat diruang Sembadra RSJD Surakarta di dapatkan dari 11 pasien yang mengalami gangguan jiwa, 5 (45%) pasien mengalami perilaku kekerasan, 1 (9%) pasien mangalami isolasi sosial, 5 (45%) pasien mengalami gangguan halusinasi. Serta penulis tertarik untuk menulis karya tulis ilmiah karena masalah-masalah kejiwaan bisa muncul lebih serius dimulai dari resiko perilaku kekerasan dan dampaknya yang komplek seperti resiko mencederai diri, orang lain dan lingkungan. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat masalah ini dalam membuat Karya Tulis Ilmiah dengan judul “Pemberian Terapi Gerak (Warming-up) Pada Asuhan Keperawatan Jiwa Pada sdr. I Dengan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sembadra RSJD Surakarta”.
5
B. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Melaporkan pemberian terapi gerak warming-up terhadap tingkat kecemasan pada asuhan keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta. 2. Tujuan Khusus a. Penulis mampu melakukan pengkajian pada asuhan keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan. b. Penulis mampu merumuskan diagnosa pada asuhan keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan. c. Penulis
mampu
menyusun
rencana
tindakan
pada
asuhan
keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan. d. Penulis mampu melakukan implementasi pada asuhan keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan. e. Penulis mampu melakukan evaluasi pada asuhan keperawatan jiwa sdr. I dengan perilaku kekerasan. f. Penulis mampu menganalisa hasil pemberian terapi gerak (warmingup) terhadap tingkat kecemasan pada Sdr. I dengan perilaku kekerasan.
6
C. Manfaat Penulisan 1. Bagi Penulis a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa pada pasien. b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan keperawatan jiwa. c. Meningkatkan ketrampilan dalam memberikan asuhan keperawatan jiwa. 2. Bagi Profesi Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan perilaku kekerasan sehinga pasien mendapatkan penanganan tepat dan optimal. 3. Bagi Rumah Sakit a. Sebagai bahan masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktek pelayanan keperawatan khususnya jiwa pada perilaku kekerasan. b. Sebagai bahan masukan bagi tenaga kesehatan lainnya dalam melaksanakan asuhan keperawatan jiwa pada pasien dengan perilaku kekerasan, sehingga pasien mendapatkan penanganan yang tepat, cepat dan optimal. 4. Bagi Institusi Pendidikan Sebagai sumber bacaan atau referensi untuk meningkatkan kualitas pendidikan keperawatan khususnya pada pasien dengan perilaku kekerasan dan dapat menambah pengetahuan bagi para pembaca.
BAB II LANDASAN TEORI
A. Konsep Dasar Perilaku Kekerasan 1. Pengertian Perilaku kekerasan merupakan suatu bentuk perilaku untuk melukai atau mencederai diri sendiri, orang lain, lingkungan secara verbal atau fisik (Stuart & Laraia, 2005).Menurut Stuart dan sundeen 1995, dalam Fitria (2009) perilaku kekerasan merupakan suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan. Menurut Damaiyanti 2008 dalam Jurnal Suparman(2012), perilaku kekerasan adalah suatu bentuk perilaku yang bertujuan untuk melukai seseorang baik secara fisik maupun psikologis yang dapat dilakukan secara verbal, diarahkan pada diri sendiri, orang lain ataupun lingkungan. Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol (Kusumawati & Hartono, 2010). Dari beberapa penjelasan diatas mengenai perilaku kekerasan penulis menyimpulkan bahwa perilaku kekerasan yaitu suatu keadaan
7
dimana seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan, dimana perilaku kekerasan ini dapat dilakukan secara verbal maupun fisik, disertai dengan tingkah laku yang tidak terkontrol. 2. Tanda Dan Gejala Tanda dan gejala perilaku kekerasan menurut Kusumawati dan Hartono (2010) meliputi: a. Fisik Mata melotot/ pandangan tajam, tangan mengepal, rahang mengatup, wajah memerah dan tegang, serta postur tubuh kaku. b. Verbal Mengancam, mengumpat dengan kata- kata kotor, berbicara dengan nada keras, kasar, ketus. c. Perilaku Menyerang orang lain, melukai diri sendiri/ orang lain, merusak lingkungan, amuk/agresif. d. Emosi Tidak adekuat, tidak aman dan nyaman, merasa terganggu, dendam, jengkel, tidak berdaya, bermusuhan, mengamuk, ingin berkelahi, menyalahkan, dan menuntut. e. Intelektual Mendominasi, cerewet, kasar, berdebat, meremehkan, dan tidak jarang mengeluarkan kata-kata bernada sarkasme.
8
9
f. Spiritual Merasa diri berkuasa, merasa diri benar, keragu-raguan, tidak bermoral, dan kreativitas terhambat. g. Sosial Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, dan sindiran. h. Perhatian Bolos, melarikan diri, dan melakukan penyimpangan seksual. 3. Rentang Respon Respon Adaptif
Asertif
Respon Maladaptif
Frustasi
Pasif
Agresif
kekerasan
Gambar 2.1 : Rentang respon marah Sumber: Keliat (1999, dalam Fitria 2009)
Keterangan: a. Asertif Individu dapat mengungkapkan marah tanpa menyalahkan orang lain dan memberikan ketenangan. b. Frustasi Individu gagal mencapai tujuan kepuasan saat marah dan tidak menemukan alternatif.
10
c. Pasif Individu tidak dapat mengungkapkan perasaannya. d. Agresif Perilaku yang menyertai marah, terdapat dorongan untuk menuntut tetapi masih terkontrol. e. Kekerasan Perasaan marah dan bermusuhan yang kuat serta kehilangan kontrol. 4. Faktor Presdiposisi Menurut Dalami, dkk (2009) faktor presdiposisi perilaku kekerasan yaitu: a. Biologis Dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator/ pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif. Perangsangan pada sistem neurofisiologis dapat menimbulkan respon-respon emosional dan ledakan agresif. Penurunan norepinefrin dapat menstimulasi perilaku agresif misalnya pada peningkatan kadar hormone testoteron atau progesterone. Pengaturan perilaku agresif adalah dengan mengatur jumlah metabolisme biogenik amino-neropinetrin. b. Psikologis Menurut Lorenz, agresif adalah pembawaan individu sejak lahir sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut berupa pertengkaran atau permusuhan. Gangguan ekspresi
11
marah disebabkan karena ketidakmampuan menyelesaikan agresif yang menyebabkan individu berperilaku destruktif. Sedangkan menurut Freud menyatakan bahwa sejak dilahirkan individu akan mengalami ancaman yang perlu diekspresikan. Perilaku destruktif terjadi apabila ancaman tersebut menguasai individu. Menurut Freud, agresi berasal dari rasa frustasi akibat ketidakmampuan individu
mencapai
tujuan.
Bila
individu
tidak
mampu
mengekspresikan perasaannya individu akan marah pada dirinya. Frustasi dirasakan sebagai ancaman yang menimbulkan kecemasan sehingga individu merasa harga dirinya terganggu. Konflik juga merupakan ancaman bagi individu yang dapat mencetuskan perilaku agresif. Persepsi yang salah tehadap konflik yang terjadi dapat membuat individu menjadi agresi. Teori ekstensi yang dikemukakan oleh Fromm menyatakan bahwa tingkah laku individu didasarakan pada kebutuhan hidup. Bila cara konstruktif individu akan berperilaku agresif. Perilaku destrukstif juga dapat disebabkan oleh kegagalan mendapatkan eksistensi akibat kondisi sosial yang tidak sejalan dengan niat dan alasan individu. c. Sosiokultural Norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu memahami ekspresi agresif individu. Teori lingkungan sosial mengemukakan bahwa norma yang memperkuat perilakunnya disebabkan ekspresi marah yang pernah dialami sebelumnya.
12
Menurut Madden, orang-orang yang pernah memiliki riwayat ditipu cenderung mudah marah; yang disebut “Acting Out”
terhadap
marah. Bila privacy/ pribadi terganggu oleh kondisi sosial maka responnya berupa agresif/ amuk. Teori belajar sosial menurut Robert; yang disempurnakan oleh Miller dan Dollar, mengemukakan bahwa tingkah laku agresif dipelajari sebagai bagian dari proses sosial. Agresif dipelajari dengan cara imitasi terhadap pengalaman langsung. Pola subkultural cenderung menyebabkan imitasi tingkah laku agresi yang mengarah pada amuk. Ahli teori sosial berpendapat bahwa komponen biologi tingkah laku agresif berhubungan denagn aspek- aspek psikososial. 5. Faktor Presipitasi Menurut Dalami, dkk (2009) faktor presipitasi perilaku kekerasan meliputi: a. Ancaman terhadap fisik : pemukulan, penyakit fisik. b. Ancaman terhadap konsep diri: frustasi, harga diri rendah. c. Ancaman internal: kegagalan, kehilangan perhatian. d. Ancaman eksternal: seranagn fisik, kehilangan orang/ benda berarti. 6. Proses Terjadinya Masalah a. Proses Terjadinya Masalah ditinjau dari Penyebab Menurut Stuart dan Sundeen 1998 dalam jurnal Hidayati (2010), penyebab resiko perilaku kekerasan adalah:
13
1) Halusinasi Halusinasi adalah persepsi klien yang salah terhadap lingkungan tanpa adanya rangsangan/ stimulus yang nyata sehingga klienmempersiapkan dan merasakan sesuatu yang sebenarnya tidak terjadi. Tanda dan gejala halusinasi menurutTownsend (2006) adalah: a) Berbicara sendiri b) Tertawa sendiri c) Disorientasi d) Pikiran cepat berubah-ubah e) Bersikap seperti mendengar sesuatu f) Konsentrasi rendah g) Berhenti berbicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu h) Kekacauan alur pikir i) Respon tidak sesuai Sedangkan tanda dan gejala halusinasi menurut Depkes (2006) antara lain: a) Berbicara atau tertawa sendiri b) Menarik diri c) Klien tidak dapat membedakan realita dan kenyataan d) Sulit tidur e) Gelisah
14
f) Duduk terpaku dengan pandangan mata pada satu arah tertentu. 2) Mekanisme koping tidak efektif Mekanisme koping tidak efektif adalah cara yang digunakan individu dalam menyelesaikan masalah, mengatasi perubahan yang terjadi dan situasi yang mengancam baik secara kognitif maupun perilaku yang menghambat fungsi integrasi, memecah pertumbuhan, menurunkan otonomi dan cenderung menguasai lingkungan. Kategorinya adalah makan berlebihan/ tidak makan, bekerja berlebihan, dan menghindar. Mekanisme koping tidak efektif diantaranya adalah: a) Mengalihkan Pengalihan
emosi
yang
semula
ditujukan
pada
seseorang/benda lain yang biasanya netral atau lebih sedikit pengancam dirinya. b) Mengingkari Menyatakan ketidaksetujuan terhadap realitas dengan mengingkari realitas tersebut. Mekanisme pertahanan ini adalah paling sederhana dan primitif. c) Disosiasi Pemisahan suatu kelompok proses mental atau perilaku dari kesadaran atau identitasnya.
15
d) Proyeksi Pengalihan buah pikiran atau impuls pada diri sendiri kepada orang lain terutama keinginan, perasaan emosional dan motivasi yang tidak dapat ditoleransi. e) Rasionalisasi Mengemukakan penjelasan yang tampak logis dan dapat diterima masyarakat untuk membenarkan impuls, perasaan, perilaku, dan motif yang tidak dapat diterima. f)
Regresi Kemunduran akibat stres terhadap perilaku dan merupakan ciri khas dari suatu taraf perkembangan yang lebih dini.
g) Splitting Sikap mengelompokkan orang / keadaan hanya sebagai semuanya baik atau semuanya buruk; kegagalan untuk memadukan nilai-nilai positif dan negatif di dalam diri sendiri. h) Represi Pengesampingan secara tidak sadar tentang pikiran, impuls atau ingatan yang menyakitkan atau bertentangan, dari kesadaran seseorang; merupakan pertahanan ego yang primer yang cenderung diperkuat oleh mekanisme lain. i)
Supresi Suatu proses yang digolongkan sebagai mekanisme
16
pertahanan tetapi sebetulnya merupakan analog represi yang disadari; pengesampingan yang disengaja tentang suatu bahan dari kesadaran seseorang; kadang-kadang dapat mengarah pada represi yang berikutnya. j)
Sublimasi Penerimaan suatu sasaran pengganti yang mulia artinya dimata masyarakat untuk suatu dorongan yang mengalami halangan dalam penyalurannya secara normal.
b. Proses Terjadinya Masalah ditinjau dari Akibat Menurut Stuart dan Sundeen 1998 dalam jurnal Hidayati (2010), klien dengan resiko perilaku kekerasan dapat menyebabkan resiko tinggi mencederai diri,orang lain dan lingkungan. Resiko mencederai merupakan suatu tindakan yang kemungkinan dapat melukai/ membahayakan diri, orang lain dan lingkungan. Tanda dan gejala: 1) Menyerang orang lain. 2) Memecahkan perabot. 3) Melempar barang. 4) Membakar rumah. 5) Memperlihatkan permusuhan. 6) Mendekati orang lain dengan ancaman. 7) Memberikan kata-kata ancaman dengan rencana melukai. 8) Menyentuh orang lain dengan cara yang menakutkan
17
9) Mempunyai rencana untuk melukai.
B. Konsep Asuhan Keperawatan 1. Pengkajian Stuart dan Laria 2001, dalam buku Keliat, B. A (2006), pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan. Tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan, atau masalah klien. Data yang dikumpulkan meliputi data biologis, psikologis, sosial, dan spiritual. Data pada pengkajian kesehatan jiwa dapat dikelompokkan menjadi faktor presdiposisi, presipitasi, penilaian terhadap stressor, sumber koping, dan kemampuan koping yang dimiliki klien. Untuk dapat menjaring data yang diperlukan, umumnya dikembangkan formulir pengkajian dan petunjuk tekhnis pengkajian agar memudahkan dalam pengkajian. Pengkajian keperawatan pada klien Resiko Perilaku Kekerasan meliputi : a. Pengumpulan data 1) Identitas klien meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pendidikan, agama, pekerjaan, status mental, suku/bangsa, nomor medrec, tanggal masuk, tanggal pengkajian, ruang rawat dan alamat. 2) Identitas penanggung jawab meliputi: nama, umur, jenis kelamin, pekerjaan, agama, hubungan dengan klien dan alamat.
18
b. Alasan masuk dan faktor presipitasi Faktor pencetus Resiko perilaku kekerasan meliputi ancaman terhadap fisik, ancaman terhadap konsep diri, ancaman internal, ancaman eksternal. c. Faktor Predisposisi Faktor pendukung terjadinya Resiko Perilaku kekerasan adalah biologis yaitu dalam sistem otak limbik berfungsi sebagai regulator/ pengatur perilaku. Adanya lesi pada hipotalamus dan amigdala dapat mengurangi atau meningkatkan perilaku agresif. Psikologis menjelaskan bahwa agresif adalah pembawaan individu sejak lahir sebagai respon terhadap stimulus yang diterima. Respon tersebut berupa pertengkaran atau permusuhan dan sosiokultural dimana norma-norma kultural dapat digunakan untuk membantu memahami ekspresi agresif individu. d. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik pada klien dengan skizofrenia dilakukan dengan pendekatan persistem meliputi: 1) suhu klien. 2) Sistem integumen; terdapat gangguan kebersihan kulit, klien tampak kotor, terdapat bau badan, hal ini disebabkan kurangnya minat terhadap perawatan diri dari perilaku menarik diri.
19
3) Sistem saraf; kemungkinan terdapat gejala ekstra piramidal seperti tremor, kaku dan lambat. Hal ini akibat dari efek samping obat anti psikotik. 4) Sistem penginderaan; ditemukan tidak adanya halusinasi dengar, penglihatan, penciuman, raba, pengecapan. Karena klien mengalami gangguan afeksi dan kognisi sehingga tidak mampu untuk membedakan stimulus internal dan eksternal akibat kecemasan yang meningkat. e. Pemeriksaan tanda vital klien, meliputi tekanan darah , denyut nadi, dan Aspek psikologis, sosial dan spiritual 1) Aspek Psikologis a) Genogram; berisi tentang struktur keluarga dengan minimal tiga generasi. b) Konsep diri (1) Gambaran diri; meliputi bagian tubuh yang disukai klien dan bagian tubuh yang tidak disukai oleh klien. Apakah klien ada hambatan dengan bagian tubuh yang tidak disukainya. (2) Identitas diri; meliputi status dan posisi klien di keluarga dan kepuasan klien sebagai laki-laki atau perempuan. (3) Peran diri; meliputi peran yang diemban oleh klien di keluarga dan lingkungannya.
20
(4) Ideal diri; persepsi individu tentang bagaimana ia harus berperilaku sesuai standar pribadi. (5) Harga diri; penilaian diri terhadap hasil yang dicapai dengan menganalisa seberapa jauh perilaku memenuhi ideal diri. 2) Aspek sosial Klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya bersifat curiga dan bermusuhan, menarik diri, menghindar dari orang lain, mudah tersinggung sehingga klien mengalami kesukaran untuk berinteraksi dengan orang lain. 3) Aspek spiritual Meliputi nilai dan keyakinan yaitu pandangan dan keyakinan klien terhadap gangguan jiwa, pandangan masyarakat tentang gangguan jiwa, kegiatan ibadah yaitu kegiatan ibadah individu dan keluarga di rumah dan pendapat klien tentang kegiatan ibadah. 4) Status mental a) Penampilan Biasanya pakaian klien kusut atau eksentrik dengan sikap tubuh lemah dan kontak mata kurang. b) Pembicaraan Klien biasanya berbicara dengan cepat dan keras. Reaksi klien selama wawancara apatis dan mudah tersinggung.
21
c) Aktivitas motorik Klien biasanya terlihat lesu, sering tiduran di tempat tidur, tegang, gelisah dan biasanya terdapat tremor. d) Alam perasaan Apakah klien terlihat sedih, gembira berlebihan, putus asa, ketakutan, khawatir. e) Afek (1) Apakah afek klien datar, tumpul labil atau tidak sesuai. Interaksi selama wawancara (2) Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang. (3) Interaksi selama wawancara (4) Apakah klien kooperatif, bermusuhan, kontak mata kurang. f) Persepsi Persepsi ini meliputi persepsi mengenai pendengaran, penglihatan,
pengecap,
penghidu
cenestetik,
maupun
kinestetik. g) Isi pikir Kadang-kadang ada ide yang tidak realistik seperti waham, fantasi, obsesi, dan phobia.
22
h) Proses pikir Apakah
pembicaraan
klien
mengalami
sirkumtantial,
tangensial, kehilangan asosiasi, flight of idea dan blocking. i) Tingkat kesadaran Apakah klien mampu mengingat kejadian saat ini, kejadian yang baru saja terjadi dan kejadian masa lalu. j) Memori Apakah klien mengalami gangguan memori jangka panjang dan jangka pendek atau tidak. k) Tingkat konsentrasi dan berhitung Menilai tingkat konsentrasi klien apak mudah beralih, atau tidak mampu berkonsentrasi dan kemampuan berhitung klien. l) Kemampuan penilaian Klien mengalami kesulitan atau tidak dalam menyelesaikan masalah, klien masih mampu untuk mengambil keputusan dengan tepat atau tidak. m) Daya tilik diri Biasanya klien tidak mengetahui alasan masuk klien ke rumah sakit dan tidak menyadari bahwa dirinya mengalami gangguan jiwa.
23
f. Kebutuhan Persiapan Pulang Meliputi dengan siapa klien tinggal sepulang di rumah sakit, rencana klien berkaitan dengan minum obat dan kontrol, pekerjaan yang dilakukan, aktivitas untuk mengisi waktu luang serta sumber biaya, adanya orang-orang yang menjadi support system bagi klien dan tempat rujukan perawatan atau pengobatan. g. Mekanisme koping Pada pasien dengan skizofrenia perlu dikaji mekanisme koping yang digunakan klien sebelum pasien masuk rumah sakit maupun mekanisme koping pasien selama menghadapi masalah di rumah sakit jiwa. h. Masalah psikososial dan lingkungan Perlu dikaji seperti apa masalah psikososial dan masalah pasien di lingkungannya, apakah pasien sering bermasalah dengan orang di sekitarnya. i. Pengetahuan klien Pengetahuan klien perlu dikaji untuk mengetahui seberapa jauh pasien mengenal penyakitnya. Hal ini juga digunakan untuk merencanakan kegiatan atau tindakan selanjutnya. j. Aspek Medik Pada klien dengan resiko perilaku kekerasan biasanya mendapatkan
obat-obat
anti
psikosis
seperti:
Haloperidol,
24
Clorpromazine, dan anti kolinergik seperti Triheksifenidil serta Electro Convulsive Therapy (ECT). k. Daftar Masalah Keperawatan Berisi tentang masalah-masalah keperawatan yang didapat dari pengumpulan data. l. Pohon Masalah Umumnya masalah keperawatan saling berhubungan dan dapat digambarkan sebagai pohon masalah (Keliat, 2006). Pada pohon masalah terdapat tiga komponen penting yaitu: 1) Prioritas masalah keperawatan (masalah utama) merupakan masalah utama klien dari berbagai masalah. 2) Penyebab (causal) adalah salah satu masalah keperawatan yang menyebabkan munculnya masalah utama. 3) Akibat adalah masalah keperawatan yang terjadi akibat masalah utama.
25
2. Pohon Masalah Resiko perilaku menciderai diri diri sendiri, orang lain, dan lingkungan
Akibat Ketidakefektifan penatalaksanaan program terapeutik
Perilaku kekerasan Masalah Utama
Ketidakefektifan koping keluarga: ketidakmampuan keluarga merawat klien di rumah
Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
Gangguan pemeliharaan kesehatan
Defisit perawatan diri: mandi dan berhias
Penyebab
Gambar 2.2 : Pohon masalah Resiko Perilaku kekerasan Sumber: Keliat (2006)
3.
Masalah Keperawatan yang Mungkin Muncul Menurut Fitria (2009), masalah keperawatan yang mungkin muncul: a. Perilaku kekerasan b. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan c. Perubahan persepsi sensori: Halusinasi d. Harga diri rendah kronis e. Isolasi sosial f. Berduka disfungsional
26
g. Penatalaksaan regimen terapeutik inefektif h. Koping keluarga tidak inefektif
4.
Data yang Perlu Dikaji
Masalah Keperawatan Perilaku Kekerasan
Data yang perlu dikaji Subjektif: 1. Klien mengancam 2. Klien mengumpat dengan kata-kata yang kotor. 3. Klien mengatakan dendam dan jengkel. 4. Klien mengatakan ingin berkelahi 5. Klien menyalahkan dan menuntut. 6. Klien meremehkan Obyektif 1. Mata melotot/ pandangan tajam. 2. Tangan mengepal. 3. Rahang mengatup. 4. Wajah memerah dan tegang. 5. Postur tubuh kaku. 6. Suara keras.
Gangguan
Persepsi Subyektif
Sensori: Halusinasi
1. Klien mengungkapkan mendengar suarasuara yang tidak ada wujudnya.
27
2. Klien mengungkapkan melihat gambaran. 3. Klien mengungkapkan mencium bau. 4. Klien mengungkapkan merasa makan sesuatu 5. Klien mengungkapkan merasa ada sesuatu pada kulitnya tanpa ada stimulus yang nyata. 6. Klientakut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar. 7. Klien ingin memukul/ melempar barangbarang. Obyektif 1. Bicara 2. Senyum, dan ketawa sendiri 3. Menarik diri 4. Menghindar dari orang lain 5. Tidak dapat mewujudkan perhatian dan konsentrasi 6. Curiga 7. Permusuhan 8. Memaksa/merusak diri sendiri, orang lain dan lingkungan 9. Ekspresi muka tegang 10. Mudah tersinggung 11. Kekacauan alur pikir.
28
Resiko menciderai diri Subyektif sendiri, orang lain, dan 1. Klien mengungkapkan cemas dan khawatir. lingkungan.
2. Klien mengungkapkan apa yang dilihat dan didengar mengancam dan membuatnya takut. Obyektif 1. Wajah klien tampak tegang. 2. Mata merah dan melotot. 3. Rahang mengatup. 4. Tangan mengepal. 5. Mondar mandir. Tabel 2.1 : Data yang perlu dikaji Faktor-faktor yang berhubungan dengan masalah perilaku
kekerasan, anrata lain sebagai berikut : a. Ketidakmampuan mengendalikan dorongan marah b. Stimulasi lingkungan c. Konflik interpersonal d. Status mental e. Putus obat f. Penyalahgunaan narkoba/alkohol.
5.
Diagnosis Keperawatan Diagnosa keperawatan yang muncul, antara lain (Damaiyanti, 2012): a. Perilaku Kekerasan,
29
b. Harga diri rendah kronik, c. Risiko perilaku kekerasan (diri sendiri, orang lain, limgkungan, dan verbal). 6. Rencana Tindakan Keperawatan Perencanaan keperawatan menurut Dalami, dkk (2009) untuk pasien resiko perilaku kekerasan rencana intervensi dapat digunakan untuk mengatasinya adalah sebagai berikut: Kesadaran diri perawat dan klien sangat penting karena akan mempengaruhi intervensi dan interaksi antara klien dan perawat. Bila secara emosi belum siap sebaiknya intervensi ditunda, merumuskan batasan marah bersama klien untuk mengenalkan pada klien arti dan makna marah sehingga klien dapat mengukur dirinya, pengendalian terhadap kekerasan dengan melibatkan lingkungan sekitar dan psikofarmaka, latihan asertif dengan cara menurunkan energi dan emosi kemarahan dengan cara yang biasa dilakukan klien setelah itu dilakukan komunikasi secara asertif untuk menyelesaikan permasalahan. MenurutStuart dan laria 2001, Keliat, B.A (2006) perencanaan keperawatan terdiri dari tiga aspek, yaitu tujuan umum, tujuan khusus, dan rencana tindakan keperawatan. Tujuan umum berfokus pada penyelesaian permasalahan (P) dari diagnosis tertentu. Tujuan umum dapat dicapai jika serangkaian tujuan khusus telah tercapai. Menurut Stuart dan laria 2001, dalam buku Keliat, B.A(2006), tujuan khusus berfokus pada penyelesaian etiologi (E) dari diagnosis
30
tertentu. Tujuan khusus merupakan rumusan kemampuan yang perlu dicapai atau dimiliki klien. Kemampuan ini dapat bervariasi sesuai dengan masalah dan kebutuhan klien. Umumnya, kemampuan klien pada tujuan khusus dapat dibagi menjadi tiga aspekyaitu kemampuan kognitif yang
diperlukan
untuk
menyelesaikan
etiologi
dari
diagnosis
keperawatan, kemampuan psikomotor yang diperlukan agar etiologi dapat teratasi, dan kemampuan afektif yang perlu dimiliki klien agar klien percaya pada kemampuan menyelesaikan masalah. a. Fokus Intervensi Resiko Perilaku Kekerasan Tujuan umumnya adalah klien tidak melakukan tindakan kekerasan.Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria evaluasi adalah wajah cerah, tersenyum, mau berkenalan, ada kontak mata, bersedia menceritakan perasaan. Intervensi keperawatannya adalah Bina hubungan saling percaya dengan: beri salam setiap berinteraksi, perkenalkan nama, nama panggilan perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan klien, tunjukkan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan klien. Tujuan khusus yang kedua yaitu klien dapat mengidentifikasi penyebab evaluasinya
perilaku yaitu
kekerasan klien
yang
dilakukannya.
menceritakan
penyebab
Kriteria perasaan
31
jengkel/kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya. Intervensi keperawatannya adalah bantu klien mengungkapkan perasaan marahnya dengan motivasi klien untuk menceritakan penyebab rasa kesal atau jengkelnya, dengarkan tanpa menyela atau memberi penilaian setiap ungkapan perasaan klien. Tujuan khusus yang ketiga yaitu klien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Kriteria hasilnya adalah klien menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku kekerasan yaitu tanda fisik: mata merah, tangan mengepal, ekspresi tegang, dan lain-lain, tanda emosional : perasaan marah, jengkel, bicara kasar, tanda sosial : bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan. Intervensi keperawatannya yaitu bantu klien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya: motivasi klien menceritakan kondisi fisik (tanda-tanda fisik) saat perilaku kekerasan terjadi, motivasi emosional)
klien saat
menceritakan terjadi
kondisi
perilaku
emosinya
kekerasan,
(tanda-tanda
motivasi
klien
menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain (tanda-tanda sosial) saat terjadi perilaku kekerasan. Tujuan
khusus
yang
keempat
yaitu
klien
dapat
mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi klien menjelaskan: jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukannya, perasaannya saat melakukan kekerasan, efektivitas cara
yang dipakai dalam
32
menyelesaikan masalah. Intervensi keperawatannya yaitu diskusikan dengan klien perilaku kekerasan yang dilakukannya selama ini: motivasi klien menceritakan jenis-jenis tindak kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya, motivasi klien menceritakan perasaan klien setelah tindak kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan tindak kekerasan yang dilakukannya masalah yang dialami teratasi. Tujuan
khusus
yang
kelima
yaitu
klien
dapat
mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah
klien
menjelaskan
akibat
tindak
kekerasan
yang
dilakukannya: diri sendiri : luka, dijauhi teman, dll, orang lain/keluarga : luka, tersinggung, ketakutan, dll, lingkungan : barang atau benda rusak dll. Untuk intervensi keperawatan meliputi diskusikan dengan klien akibat negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada: diri sendiri, orang lain/keluarga, lingkungan. Tujuan
khusus
yang
keenam
yaitu
klien
dapat
mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria evaluasi klien mampu menjelaskan cara-cara sehat mengungkapkan marah. Intervensi keperawatan meliputi diskusikan dengan
klien:
apakah
klien
mau
mempelajari
cara
baru
mengungkapkan marah yang sehat, jelaskan berbagai alternatif pilihan untuk mengungkapkan marah selain perilaku kekerasan yang diketahui klien, jelaskan cara-cara sehat untuk mengungkapkan
33
marah dengan cara fisik: nafas dalam, pukul bantal atau kasur, olah raga, verbal: mengungkapkan bahwa dirinya sedang kesal kepada orang lain, sosial: latihan asertif dengan orang lain, spiritual: sembahyang/doa, zikir, meditasi, dsb sesuai keyakinan agamanya masing-masing. Tujuan
khusus
yang
ketujuh
yaitu
klien
dapat
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinnya adalah klien memperagakan cara mengontrol perilaku kekerasan: fisik: tarik nafas dalam, memukul bantal/kasur, verbal: mengungkapkan perasaan kesal/jengkel pada orang lain tanpa menyakiti, spiritual: zikir/doa, meditasi sesuai agamanya. Intervensi keperawatan meliputi, diskusikan cara yang mungkin dipilih dan anjurkan klien memilih cara yang mungkin untuk mengungkapkan kemarahan, latih klien memperagakan cara yang dipilih: peragakan cara melaksanakan cara yang dipilih, jelaskan manfaat cara tersebut, anjurkan klien menirukan peragaan yang sudah dilakukan, beri penguatan pada klien, perbaiki cara yang masih belum sempurna. Anjurkan klien menggunakan cara yang sudah dilatih saat marah/jengkel. Tujuan khusus yang kedelapan yaitu klien mendapat dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan. Kriteria evaluasinya adalah keluarga dapat menjelaskan cara merawat klien dengan
perilaku kekerasan, mengungkapkan rasa puas dalam
34
merawat klien. Intervensi keperawatannya meliputi diskusikan pentingnya peran serta keluarga sebagai pendukung klien untuk mengatasi perilaku kekerasan, diskusikan potensi keluarga untuk membantu klien mengatasi perilaku kekerasan, jelaskan pengertian, penyebab, akibat dan cara merawat klien perilaku kekerasan yang dapat dilaksanakan oleh keluarga, peragakan cara merawat klien (menangani perilaku kekerasan), beri kesempatan keluarga untuk memperagakan ulang, beri pujian kepada keluarga setelah peragaan, tanyakan perasaan keluarga setelah mencoba cara yang dilatihkan. Tujuan khusus kesembilan yaitu klien menjelaskan: manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat , dosis yang diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang dirasakan dan klien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan. Intervensi keperawatannya adalah jelaskan manfaat menggunakan obat secara teratur dan kerugian jika tidak menggunakan obat, jelaskan kepada klien: jenis obat (nama, warna dan bentuk obat), dosis yang tepat untuk klien, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang akan dirasakan klien. Dan anjurkan klien untuk minta dan menggunakan obat tepat waktu, lapor ke perawat/dokter jika mengalami efek yang tidak biasa, beri pujian terhadap kedisiplinan klien menggunakan obat. b. Fokus Intervensi Gangguan Persepsi Sensori: Halusinasi
35
Tujuan umumnya adalah klien dapat mengontrol halusinasi yang dialaminya. Tujuan khusus pertama adalah klien dapat membina hubungan saling percaya. Kriteria hasil: klien menunjukkan tanda – tanda percaya
kepada
perawat:
ekspresi
wajah bersahabat,
menunjukkan rasa senang, ada kontak mata, mau berjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau menjawab salam, mau duduk berdampingan dengan perawat, bersedia mengungkapkan masalah yang dihadapi. Intervensinya adalah bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik: sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal, perkenalkan nama, nama panggilan
dan
tujuan
perawat
berkenalan,
tanyakan
nama
lengkapdannama panggilan yang disukai klien, buat kontrak yang jelas, tunjukkan sikap jujur dan menepati janji setiap kali interaksi, tunjukan sikap empati dan menerima apa adanya, beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien, tanyakan perasaan klien dan masalah yang dihadapi klien, dengarkan dengan penuh perhatian ekspresi perasaan klien. Rasional: hubungan saling percaya mempermudah interaksi berikunya. Tujuan
khusus
kedua
adalah
klien
dapat
mengenal
halusinasinya. Kriteria hasil: klien menyebutkanisi, waktu, frekuensi, situasi dan kondisi yang menimbulkan halusinasi. Klien menyatakan
36
perasaan dan responnya saat mengalami halusinasi: marah, takut, sedih, senang, cemas, jengkel. Intervensinya adalah adakan kontak sering dan singkat secara bertahap. Observasi tingkah laku klien terkait dengan halusinasinya (dengar /lihat /penghidu /raba /kecap), jika menemukan klien yang sedang halusinasi: tanyakan apakah klien mengalami sesuatu (halusinasi dengar/ lihat/ penghidu /raba/ kecap ), jika klien menjawab ya, tanyakan apa yang sedang dialaminya, katakan bahwa perawat percaya klien mengalami hal tersebut, namun perawat sendiri tidak mengalaminya (dengan nada bersahabat tanpa menuduh atau menghakimi), katakan bahwa ada klien lain yang mengalami hal yang sama, katakan bahwa perawat akan membantu klien. Jika klien tidak sedang berhalusinasi klarifikasi tentang adanya pengalaman halusinasi, diskusikan dengan klien : isi, waktu dan frekuensi terjadinya halusinasi (pagi, siang, sore, malam atau sering dan kadang-kadang ), situasi dan kondisi yang menimbulkan atau tidak menimbulkan halusinasi. Diskusikan dengan klien apa yang dirasakan jika terjadi halusinasi dan beri kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya.Diskusikan dengan klien apa yang dilakukan untuk mengatasi perasaan tersebut. Diskusikan tentang dampak yang akan dialaminya bila klien menikmati halusinasinya, rasional: dengan mengenal halusinasi akan memudahkan pemberian intervensi kepada klien.
37
Tujuan khusus ketiga adalah klien dapat mengontrol halusinasinya. Kriteria hasil: klien menyebutkan
tindakan yang
biasanya dilakukan untuk mengendalikan halusinasinya, klien menyebutkan cara baru mengontrol halusinasi, klien dapat memilih dan
memperagakan
cara
mengatasi
halusinasi
(dengar/lihat/penghidu/raba/kecap), klien melaksanakan cara yang telah dipilih untuk mengendalikan halusinasinya, klien mengikuti terapi aktivitas kelompok. Intervensinya adalah identifikasi bersama klien cara atau tindakan yang dilakukan jika terjadi halusinasi (tidur, marah, menyibukan diri). Diskusikan cara yang digunakan klien, jika cara yang digunakan adaptif beri pujian, jika cara yang digunakan maladaptif diskusikan kerugian cara tersebut. Diskusikan cara baru untuk memutus/ mengontrol timbulnya halusinasi: katakan pada diri sendiri bahwa ini tidak nyata (“saya tidak mau dengar/ lihat/ penghidu/ raba/kecap pada saat halusinasi terjadi), menemui orang lain (perawat/teman/anggota keluarga) untuk menceritakan tentang halusinasinya, membuat dan melaksanakan jadwal kegiatan sehari hari yang telah di susun, meminta keluarga/teman/ perawat menyapa jika sedang berhalusinasi. Bantu klien memilih cara yang sudah dianjurkan dan latih untuk mencobanya. Beri kesempatan untuk melakukan cara yang dipilih dan dilatih. Pantau pelaksanaan yang telah dipilih dan dilatih, jika berhasil beri pujian. Anjurkan klien
38
mengikuti terapi aktivitas kelompok, orientasi realita, stimulasi persepsi, rasional: kontrol halusinasi dapat mengurangi ansietas pada halusinasi. Tujuan khusus keempat adalah Klien dapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol halusinasinya. Kriteria hasil: keluarga menyatakan setuju untuk mengikuti pertemuan dengan perawat, keluarga menyebutkan pengertian, tanda dan gejala, proses terjadinya halusinasi dan tindakan untuk mengendalikan halusinasi. Intervensinya adalah buat kontrak dengan keluarga untuk pertemuan (waktu, tempat dan topik ). Diskusikan dengan keluarga (pada
saat
pertemuankeluarga/kunjungan
rumah):
pengertian
halusinasi, tanda dan gejala halusinasi, proses terjadinya halusinasi, cara yang dapat dilakukan klien dan keluarga untuk memutus halusinasi, obat- obatan halusinasi, cara merawat anggota keluarga yang halusinasi di rumah (beri kegiatan, jangan biarkan sendiri, makan bersama, bepergian bersama, memantau obat–obatan dan cara pemberiannya untuk mengatasi halusinasi). Beri informasi waktu kontrol ke rumah sakit dan bagaimana cara mencari bantuan jika halusinasi tidak tidak dapat diatasi di rumah. Rasional: dukungan keluarga dapat menjadi motivasi kesembuhan klien. Tujuan khusus kelima adalah klien dapat memanfaatkan obat dengan baik. Kriteria hasil: klien menyebutkan manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama, warna, dosis, efek terapi dan efek
39
samping obat, klien mendemontrasikan penggunaan obat dgn benar, klien menyebutkan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dokter. Intervensinya adalah diskusikan dengan klien tentang manfaat dan kerugian tidak minum obat, nama , warna, dosis, cara , efek terapi dan efek samping penggunan obat. Pantau klien saat penggunaan obat. Beri pujian jika klien menggunakan obat dengan benar. Diskusikan akibat berhenti minum obat tanpa konsultasi dengan
dokter.
Anjurkan
klien
untuk
konsultasi
kepada
dokter/perawat jika terjadi hal-hal yang tidakdiinginkan. Rasional: penggunaan obat secara teratur mempercepat kesembuhan klien. 7. Implementasi Keperawatan Menurut Herman, (2011) implementasi tindakan keperawatan disesuaikan dengan rencana tindakan keperawatan. Pada situasi nyata, implementasi sering kali jauh berbeda dengan rencana. Hal itu terjadi karena perawat belum terbiasa menggunakan rencana tertulis dalam melaksanakan tindakan keperawatan. Yang biasa dilakukan perawat adalah menggunakan rencana yang tidak ditulis, yaitu apa yang dipikirkan,
dirasakan,
itu
yang
dilaksanakan.
Hal
itu
sangat
membahayakan klien dan perawat jika tindakan berakibat fatal, da juga tidak memenuhi aspek legal. Sebelum melaksanakan tindakan yang sudah direncanakan, perawat perlu memvalidasi secara singkat, apakah rencana tindakan
40
masih sesuai dan dibutuhkan oleh klien saat ini (here and now). Perawat juga menilai diri sendiri, apakah mempunyai kemampuan interpersonal, intelektual, dan tekhnikal yang diperlukan untuk melaksanakan tindakan. Perawat juga menilai kembali apakah tindakan aman bagi klien. Setelah tidak ada hambatan maka tindakan keperawatan boleh dilaksanakan. Pada saat akan melaksanakan tindakan keperawatan, perawat membuat kontrak (inform consent) dengan klien yang isinya menjelaskan apa yang akan dilaksanakan dan peran serta yang diharapkan dari klien. Dokumentasikan semua tindakan yang telah dilaksanakan beserta respons klien. 8. Evaluasi keperawatan Evaluasi adalah proses berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada klien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respons klien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif yang dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif yang dilakukan dengan membandingkan antara respons klien dan tujuan khusus serta umum yang telah ditentukan (Keliat, 2006).Evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan pendekatan SOAP sebagai pola pikir. S
: Respos subyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan
O
: Respon obyektif klien terhadap intervensi yang dilaksanakan. Dapat diukur dengan mengobservasi perilaku klien saat tindakan
41
dilakukan, tau menanyakan kembali apa yang telah diajarkan atau memberi umpan balik sesuai dengan hasil observasi. A
: Analisa
ulang
atas
data
subyektif
dan
obyektif
untuk
menyimpulkan apakah masalah masih tetap, sudah teratasi, atau ada masalah baru dan ada data yang kontradiksi dengan masalah yang ada. Dapat pula membandingkan hasil dengan tujuan. P
: Perencanaan atau tindak lanjut berdasarkan hasil analisa pada respon klien yang terdiri dari tindak lanjut klien (PR), dan tindak lanjut oleh perawat.
C. Terapi Gerak 1. Pengertian Menurut Ariyadi 2009 dalam jurnal Indy-Arina (2010), terapi gerak adalah terapi aktivitas fisik yang dapat dilakukan dengan cara berolahraga untuk melatih tubuh seseorang agar sehat secara jasmani dan rohani. Pemanasan
olahraga
adalah
salah
satu
bentuk
persiapan
emosional, fisiologis, dan psikologis. Pemanasan olahraga merupakan gerakanperegangan dan pelemasan sebelum melakukan latihan atau olahraga utama sehingga ketika melakukan olahraga/latihan utama tidak mengalami kram atau kejang otot, badan kaku, dan rasa sakit. Latihan pemanasan (warming-up) merupakan salah satu bagian dasar dari program latihan permulaan (conditioning program). Dengan
42
latihan pemanasan tersebut dapat merangsang jantung dan paru-paru, aliran darah serta temperatur tubuh dan otot (strauss). 2. Manfaat Pemanasan Kebanyakan orang yang melakukan aktivitas fisik secara teratur, sependapat bahwa ia memiliki alasan bahwa apa yang ia lakukan menyebabkan badan merasa lebih enak. Menurut Mangi R, Jokl P., Dayton W, perlu diketahui dengan melihat manfaat pemanasan dari tiga segi yaitu: a. Fisiologi pemanasan Secara fisiologis melakukan latihan pemanasan akan meningkatkan suhu tubuh dan otot. Contoh meningkatnya suhu tubuh dan otot akan meningkat dalam : aktivitas enzim, meningkatkan peredaran darah dan penyediaan oksigen, dan waktu kontraksi secara reflek. Sebagai akibat pemanasan yang dilakukan, suhu tubuh akan meningkat yang merupakan salah satu faktor yang memudahkan dalam kerja. Selanjutnya pemanasan akan merangsang aktivitas sistim syaraf pusat yang mengkoordinir sistim organisme, mempercepat waktu reaksi motorik dan memperhatikan koordinasi. b. Psikologis pemanasan Meskipun aspek ini belum banyak diteliti namun banyak terlihat bahwa pemanasan bisa menjadi ajang/area yang pas untuk melepas kecemasan.
43
c. Pencegahan cedera Peningkatan temperatur jaringan yang dihasilkan selama pemanasan akan mengurangi kejadian dan kemungkinan cedera pada otot. Sebagai contoh: elastisitas otot tergantung dari baik buruknya aliran darah. Otot yang tidak panas, volume darahnya rendah sehingga lebih rentan terhadap cedera atau kerusakan dibanding dengan otot yang volume darahnya tinggi. 3. Tujuan Pemanasan Pemanasan mempunyai tujuan penting, yaitu : a. Menarik dan memanaskan otot-otot anggota tubuh. b. Menyiapkan denyut jantung, hingga tubuh dapat bergerak secara berangsur-angsur untuk mendapat denyut jantung yang lebih tinggi. c. Untuk mengkondisikan fungsi fisik agar siap menerima pembebanan pada tahap kondising : meningkatkan suhu tuuh, menngkatkan mobilitas gerak persendian dan penguluran otot. 4. Bentuk-bentuk Pemanasan Bentuk-bentuk latihan pemanasan dapat dikelompokkan dlam tiga kategori, yaitu: a. Pemanasan pasif (passive warm-up) merupakan latihan pemanasan dengan menggukan peralatan khusus seperti penggunaan bantalan pemanas (heating pads), mandi sauna (hot shower), mandi air panas juga merupakan jenis pemanasan pasif.
44
b. Pemanasan aktif (active warm-up) biasa juga disebut general warmup merupakan teknik pemanasan yang sering digunakan dalam latihan pemanasan. Teknik ini menggunakan beberapa gerakan yang bervariasi den secara tidak langsung berkaitan dengan gerakan yang dipakai dalam olahraga itu sendiri. Yang termasuk dalam teknik ini adalah gerakan jogging dan jalan cepat. c. Formal warm-up (specific warm-up), pemanasan ini meliputi gerakan-gerakan yang menirukan gerakan-gerakan yang digunakan dalam aktivitas olahraga sesungguhnya, dengan intensitas yang lebih berkurang (menurun).
D. Kecemasan 1. Pengertian Menurut Stuart & Sudeen, 1998 dalam jurnal Hidayati (2010), kecemasan
adalah
respon
emosional
terhadap
penilaian
yang
menggambarkan keadaan khawatir, gelisah, takut, tidak tentram disertai berbagai keluhan fisik, keadaan tersebut dapat terjadi dalam situasi kehidupan maupun sakit. 2. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Respon Kecemasan a. Faktor Predisposisi Menurut Stuart & Sudeen, 1998 dalam jurnal Hidayati (2010), teori yang dikembangkan untuk menjelaskan penyebab kecemasan adalah :
45
1) Teori Psikoanalitik Menurut Freud struktur kepribadian terdiri dari 3 elemen yaitu id, ego, super ego. Id melambangkan dorongan insting dan impuls primitif, super ego mencerminkan hati nurani seseorang dan
dikendalikan
oleh
norma-norma
budaya
seseorang,
sedangkan ego digambarkan sebagai mediator antara tuntutan dari id dan super ego. Ansietas merupakan konflik emosional antara id dan super ego yang berfungsi untuk memperingatkan ego tentang sesuatu bahaya yang perlu diatasi. 2) Teori Interpersonal Menurut Stuart & Sudeen, 1998 dalam jurnal Hidayati (2010), kecemasan terjadi dari ketakutan akan pola penolakan interpersonal. Hal ini juga duhubungkan dengan trauma pada masa perkembangan atau pertumbuhan seperti kehilangan, perpisahan yang menyebabkan seseorang menjadi tidak berdaya. 3) Teori Perilaku Kecemasan merupakan hasil frustasi yaitu segala sesuatu yang mengganggu kemampuan seseorang untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Para ahli perilaku menganggap ansietas merupakan sesuatu dorongan yang dipelajari berdasarkan keinginan untuk menghindarkan rasa sakit (Smeltzer & Bare, 2001).
46
b. Faktor Presipitasi Kecemasan adalah keadaan yang tidak dapat dielakkan pada kehidupan manusia dalam memelihara keseimbangan.
3. Alat Ukur Kecemasan Untuk mengetahui sejauh mana derajat kecemasan seseorang apakah ringan, sedang, berat atau berat sekali orang mengunakan alat ukur (instrumen) yang dikenal dengan nama Hamilton Rating Scale of Anxiety(HRS-A). Alat ukur ini terdiri dari 14 kelompok gejala yang masing-masing kelompok dirinci lagi dengan gejala-gejala yang lebih spesifik. Masing-masing kelompok gejala diberi penilaian angka (score) antara 0 – 4, yang artinya adalah : Nilai 0 = tidak ada gejala (keluhan) 1 = gejala ringan 2 = gejala sedang 3 = gejala berat 4 = gejala berat sekali Penilaian atau pemakaian alat ukur ini dilakukan oleh dokter (psikiater) atau orang yang telah dilatih untuk menggunakannya melalui teknik wawancara langsung. Masing-masing nilai angka (score) dari 14 kelompok gejala tersebut dijumlahkan dan dari hasil penjumlahan tersebut dapat diketahui derajat kecemasan seseorang, yaitu : Total Nilai (score) :kurang dari 14 = tidak ada kecemasan
47
14 – 20 = kecemasan ringan 21 – 27 = kecemasan sedang 28 – 41 = kecemasan berat 42 – 56 = kecemasan berat sekali Menurut Dadang (2011: 80), adapun hal-hal yang dinilai dalam alat ukur HRS-A ini adalah sebagai berikut : No. 01.
Gejala Kecemasan Perasaan cemas (ansietas)
Nilai Angka (Score) 01234
1. Cemas 2. Firasat buruk 3. Takut akan pikiran sendiri 4. Mudah tersinggung 02.
Ketegangan
01234
1. Merasa tegang 2. Lesu 3. Tidak bisa istirahat tenang 4. Mudah terkejut 5. Mudah menangis 6. Gemetar 7. Gelisah 03.
Ketakutan 1. Pada gelap 2. Pada orang asing
01234
48
3. Ditinggal sendiri 4. Pada binatang besar 5. Pada keramaian lalu lintas 6. Pada kerumunan orang banyak 04.
Gangguan Tidur
01234
1. Sukar masuk tidur 2. Terbangun malam hari 3. Tidur tidak nyenyak 4. Bangun dengan lesu 5. Banyak mimpi-mimpi 6. Mimpi buruk 7. Mimpi menakutkan 05.
Gangguan kecerdasan
01234
1. Sukar konsentrasi 2. Daya ingat menurun 3. Daya ingat buruk 06.
Perasaan depresi (murung) 1. Hilangnya minat 2. Berkurangnya kesenanga pada hobi 3. Sedih 4. Bangun dini hari 5. Perasaan
berubah-ubah
01234
49
sepanjang hari 07.
Gejala somatik/fisik (otot)
01234
1. Sakit dan nyeri diotot-otot 2. Kaku 3. Kedutan otot 4. Gigi gemerutuk 5. Suara tidak stabil 08.
Gejala somatik/fisik (sensorik)
01234
1. Tinitus (telinga berdenging) 2. Penglihatan kabur 3. Muka merah atau pucat 4. Merasa lemas 5. Perasaan ditusuk-tusuk 09.
Gejala
kardivaskuler
(jantung
dan
pembuluh darah) 1. Takikardi (denyut jantung cepat) 2. Berdebar-debar 3. Nyeri di dada 4. Denyut nadi mengeras 5. Rasa lesu/lemas seperti mau pingsan 6. Detak
jantung
(berhenti sekejap)
mnghilang
01234
50
10.
Gejala respiratori (pernafasan)
01234
1. Rasa tertekan atau sempit di dada 2. Rasa tercekik 3. Sering menarik nafas 4. Nafas pendek/sesak 11.
Gejala gastrointestinal (pencernaan)
01234
1. Silut menelan 2. Perut melilit 3. Gangguan pencernaan 4. Nyeri
sebelum
dan
sesudah
makan 5. Perasaan terbakar diperut 6. Rasa penuh atau kembung 7. Mual 8. Muntah 9. Buang air besar lembek 10. Sukar
buang
air
besar
(konstipasi) 11. Kehilangan berat badan 12.
Gejala
urgenital
(perkemihan
kelamin) 1. Sering buang air kecil
dan
01234
51
2. Tidak dapat menahan air seni 3. Tidak datang bulan (tidak ada haid) 4. Darah haid berlebihan 5. Masa haid berkepanjangan 6. Masa haid amat pendek 7. Haid
beberapa
kali
dalam
sebulan 8. Menjadi ringan (frigid) 9. Ejakulasi dini 10. Ereksi melemah 11. Ereksi hilang 12. Impotensi 13.
Gejala autonom
01234
1. Mulut kering 2. Muka merah 3. Mudah berkeringat 4. Kepala pusing 5. Kepala terasa berat 6. Kepala terasa sakit 7. Bulu-bulu berdiri 14.
Tingkah laku (sikap) pada wawancara 1. Gelisah
01234
52
2. Tidak tenang 3. Jari gemetar 4. Kerut kening 5. Muka tegang 6. Otot tegang/mengeras 7. Nafas pendek dan cepat 8. Muka merah Jumlah Nilai Angka (Total Score) =
Tabel 2.2 : Skala HRS-A
BAB III LAPORAN KASUS
Dalam bab III laporan kasus penulis akan mengulas tentang pemberian terapi gerak (warming-up) terhadap tingkat kecemasan pada asuhan keperawatan jiwa denan perilaku kekerasan yang terdiri dari pengkajian pada pasien, analisa dari data yang diperoleh, intervensi, implementasi keperawatan serta evaluasi dari hasil implementasi keperawatan. A. Identitas Pasien Pengkajian penulis dilakukan pada tanggal 07 April 2014 dengan metode wawancara dan melihat status pasien, dari pengkajian tersebut didapatkan data sebagai berikut, pasien masuk pada tanggal 02 April 2014, pasien dengan inisial Sdr. I yang berusia 20 tahun, dengan jenis kelamin perempuan, bertempat tinggal di Sukoharjo. Pasien beragama islam, status pasien belum kawin, pasien belum bekerja dan pendidikan terakhir SMA. Pasien masuk RSJD Surakarta sudah 2 kali ini. Penanggung jawab pasien berinisial Tn. S, berumur 42 tahun, pekerjaan swasta, pendidikn akhirnya SMP, hubungan dengan pasien ayah kandung pasien.
B. Pengkajian Pasien dibawa ke RSJD Surakarta dengan alasan masuk pasien sering marah-marah, mengamuk dan berbicara ngelantur, selain itu juga pasien
53
54
mengalami perubahan sikap seperti gaduh, gelisah, sulit tidur, ngomong sendiri. Pengkajian faktor predisposisi, pasien sebelumnya pernah mengalami gangguan jiwa dan sudah 2 kali di rawat di RSJD Surakarta, terakhir kali pasien di rawat tanggal 03 Maret 2010, pengobatan kurang berhasil dilihat dari pasien yang sering kambuh karena pasien tidak rutin kontrol, pasien tidak pernah mengalami penganiayaan fisik, tidak pernah mengalami tindakan kriminal dan kekerasan dalam rumah tangga, serta tidak ada penolakan dalam masyarakat dengan gangguan jiwa yang sedang dialami pasien saat ini.Faktor presipitasi terjadinya gangguan jiwa yaitu pasien mengatakan mengamuk di rumah, lalu berbicara ngelantur, ngomong sendiri karena merasa khawatir dengan pacar dan keluarganya. Hasil
pengkajian
pemeriksaan
fisik
didapatkan
tanda-tanda
vital,tekanan darah: 110/70 mmHg; nadi: 68x/menit; respirasi: 22x/menit; suhu: 36,4˚C; tinggi badan: 154 cm; berat badan: 56 kg; rambut pasien hitam, tidak berketombe tapi agak kotor; konjungtiva tidak anemis; sklera tidak ikterik; hidung simetris, tidak ada polip, tidak ada sputum; telinga pasien tidak terdapat serumen dalam telinga, pendengaran masih jelas; mulut tidak ada stomatitis, gigi tidak ada karies, mukosa bibir agak lembab; leher tidak ada nyeri tekan; dada simetris, tidak ada jejas, tidak ada keluhan dan tidak ada nyeri tekan; abdomen tidak ada jejas, tidak ada nyeri tekan, agak kembung dan tidak edema, ekstermitas tidak ada kelainan gerak, kekuatan otot penuh; turgor kulit baik.
55
Hasil pengkajian psikososial tentang genogram pasien merupakan anak ke 7 dari 8 bersaudara, dalam riwayat keluarga tidak ada yang mengalami gangguan jiwa.
Keterangan :
: laki-laki : pasien : meninggal : garis perkawinan : perempuan : tinggal satu rumah Gambar 3.1 : Genogram
Hasil pengkajian konsep diri pada citra tubuh, pasien menyukai semua bagian tubuhnya dari ujung rambut sampai ujung kakinya. Identitas diri pasien mampu menyebutkan namanya dengan jelas,pasien mengatakan tidak puas dengan keadaannya sekarang sebagai pasien gangguan jiwa. Peran pasien mengatakan bahwa dirinya seorang anak perempuan, pasien belum
56
puas hanya sebagai anak usia 20 tahun seharusnya pasien dapat melanjutkan sekolah ke fakultas yang diinginkannya atau bekerja untuk membantu orang tuanya. Ideal diri pasien mengatakan ingin cepat sembuh dan cepat pulang karena ingin tinggal bersama keluarganya lagi. Harga diri pasien mengatakan malu bila bertemu dengan tetangganya karena dirinya suka marah-marah dan mengamuk dirumah dan merasa dirinya tidak berguna lagi. Berdasarkan pola hubungan sosial, pasien mengatakan orang yang berarti dalam hidupnya adalah ibu dan ayahnya. Peran serta dalam kegiatan bermasyarakat pasien tidak pernah bersosialita dan tidak pernah mengikuti kegiatan dimasyarakat seperti karang taruna. Hambatan dalam berhubungan dengan orang lain, pasien mengatakan sulit bergaul dengan teman-temannya karena malu dengan keadaannya yang pernah dirawat di RSJ. Nilai keyakinan dan pandangan terhadap gangguan jiwa pasien mengatakan beragama islam tetapi ketikaditanya tentang pandangan dan keyakinan terhadap gangguan jiwa yang sedang pasien alami, pasien bingung dan tidak mau menjawab. Kegiatan ibadah pasien selama di RSJ dan di rumah jarang melakukan sholat 5 waktu. Pengkajian status mental, pasien berpenampilan tidak rapi, kebersihan kurang, memakai pakaian rumah sakit dan mandi 2 kali sehari, ketika diajak bicara pasien bicara ngelantur dan membentak. Aktivitas motorik saat diajak bicara terlihat gelisah. Alam perasaan pasien merasa ketakutan dan khawatir. Afek pasien labil apabila diberi stumulus langsung merespon. Saat dilakukan pengkajian pasien kurang kooperatif dan mau menjawab walaupun ngelantur.
57
Persepsi pasien mengalami gangguan halusinasi. Proses pikir saat bicara, pembicaraan pasien tidak terarah, dengan nada membentak. Isi pikir, pasien mengatakan tidak mengalami gangguan jiwa, tidak ada waham, pasien juga mengatakan ingin segera pulang dan ingin bertemu keluarganya. Tingkat kesadaran pasien sadar penuh terkadang berubah. Memori jangka pendek pasien tidak ingat yang membawanya ke RSJ adalah bapak dan kakaknya. Tingkat konsentrasi, pasien tidak mampu berkonsentrasi dengan penuh pertanyaan yang diberikan harus diulangi kembali. Kemampuan penilaian Sdr. I belum mampu mengambil keputusan yang sederhana. Daya tilik, pasien mengatakan bahwa pasien sedang mengalami gangguan jiwa. Pengkajian tentang kebutuhan persiapan pulang pasien makan 3x sehari ½ porsi makan dengan menu: nasi, sayur, lauk, pauk, dan buah. Pasien dengan tangan kanannya setelah selesai makan pasien mencuci tangan dan mencuci mukanya. Pasien BAB 3x sehari, BAK 4-6x dalam sehari di kamar mandi, BAB kadang dicelana. Pasien mandi 2x sehari pagi dan sore, memakai sabun, shampo dan juga gosok gigi. Pasien bisa berpakaian secara mandiri setiap pagi sesuai dengan baju yang disiapkan rumah sakit. Pasien mengatakan kurang lebih tidur 10 jam dan bangun sekitar pukul 06.00 WIB, saat siang hari pasien tidur terus. Pasien minum obat secara teratur 2x1 sehari. Ketika sudah diijinkan untuk pulang maka perawatan lanjutan yang harus dilakukan pasien untuk memelihara kesehatan pasien didukung dengan penggunaan obat. Aktivitas di dalam rumah jika dirumah pasien ingin membantu pekerjaan rumah seperti mencuci pakaian, memasak, dan
58
merapikan rumah. Aktivitas di luar rumah, pasien jarang keluar rumah karena malu dengan keadaannya yang mengalami gangguan jiwa. Dari hasil pengkajian mekanisme koping adaptif pasien mau bercerita tentang perasaannya kepada perawat, sedangkan mekanisme koping maladaptif pasien mengatakan kesal karena pasien merasa kurang diperhatikan oleh pacarnya, bila teringat pasien mengamuk dan berbicara sendiri dan ngelantur. Masalah psikososial dan lingkungan pasien mengatakan tidak ada masalah dengan kelompok usianya dan lingkungannya. Untuk pengetahuan kurang, pasien saat ditanya tentang penyakit jiwa yang sedang dialami, penyakit fisik, sistem pendukung, dan faktor presipitasi pasien mengatakan tidak tahu dan untuk obat pasien hanya bisa menyebutkan warnanya. Diagnosa medik : F.20.0 dan pasien mendapat terapi inj. Lodomer 1x2 mg sehari, Trihexsilphenidil 2x2 gr sehari, dan Resperiden 2x2 gr sehari.
C. Perumusan Masalah Keperawatan Berdasarkan data diatas dapat ditegakkan diagnosa keperawatan yaitu perilaku kekerasan. Berdasar masalah keperawatan tersebut, dapat digambarkan pohon masalah sebagai berikut :
59
Resiko mencederai diri sendiri, orang lain,(Akibat)dan lingkungan
Perilaku Kekerasan(Core Problem)
Gangguan Persepsi Sensori : Halusinasi (Penyebab) Gambar 4 :Pohon Masalah
Daftar Masalah Keperawatan : 1. Perilaku Kekerasan 2. Resiko mencederai diri sendiri, orang lain, dan lingkungan 3. Gangguan persepsi sendori : Halusinasi dengar
D. Analisa Data Berdasarkan hasil pengkajian penulis menegakkan data fokus yaitu data subyektif : pasien mengatakan suka membentak, marah-marah, ngamuk dan mengancam. Dari data obyektif: terdapat data pasien mata merah, melotot, wajah pasien merah, pandangan tajam, pasien tampak membentak dan marah-marah dengan nada suara yang keras dan tinggi, pasien nampak direstrain/diikat, pasien tampak gelisah dan sedih. Berdasarkan data fokus diatas maka penulis menegakkan diagnosa sebagai core problem sdr. I adalah Perilaku Kekerasan. Hasil penulisan masalah tersebut penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut mencederai diri sendiri, orang lain dan lingkungan sebagai akibat, perilaku kekerasan sebagai core problem, dari
60
diagnosa tersebut dapat dijadikan prioritas diagnosa, prioritas yang pertama perilaku kekerasan, gangguanpersepsi sensori halusinasi dengar sebagai etiologi.
E. Intervensi Rencana keperawatan yang disusun setelah memprioritaskan masalah keperawatan dengan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan. Tujuan umum: pasien dapat mengontrol perilaku kekerasan. Tujuan Khusus (TUK 1): Pasien dapat membina hubungan saling percaya. Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan klien tampak: Menunjukkan tanda-tanda percaya pada perawat, wajah mulai mau membalas senyum, mau berkenalan, dan bersedia menceritakan perasaannya. Intervensi yang akan dilakukan bina hubungan saling percaya dengan, memberi salam setiap berinteraksi, perkenalan nama perawat dan tujuan perawat berinteraksi, tanyakan dan panggil nama kesukaan pasien, tunjukan sikap empati, jujur dan menepati janji setiap kali berinteraksi, tanyakan perasaan pasien dan masalah yang dihadapi pasien, buat kontrak interaksi yang jelas, dengarkan dengan penuh perhatian ungkapan perasaan pasien. TUK 2: pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien menceritakan penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya, menceritakan penyebab perasaan jengkel,marah dan kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya.
Intervensi
yang
akan
dilakukan,
bantu
pasien
61
mengungkapkan perasaan marahnya, motivasi pasien untuk menceritakan penyebab rasa jengkel, dengarkan tanpa mencela atau memberi penilaian setiap ungkapan perasaan pasien. TUK 3: Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien menceritakan tandatanda saat terjadi perilaku kekerasan, tanda fisik mata merah, tangan mengepal, ekspresi wajah tegang, tanda emosional, perasaan marah bicara kasar, tanda sosial bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan. Intervensi yang dilakukan, bantu pasien mengungkapkan tanda-tanda perilaku kekerasan yang dialaminya, motivasi pasien menceritakan kondisi fisik saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi pasien menceritakan kondisi emosinya saat terjadi perilaku kekerasan, motivasi pasien menceritakan kondisi hubungan dengan orang lain saat terjadi perilaku kekerasan. TUK 4: Pasien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya. Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien menjelaskan, jenis-jenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukan, perasaan saat melakukan kekerasan, efektifitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah. Intervensi yang akan dilakukan, diskusikan dengan pasien perilaku kekerasanyang dilakukan selama ini, motivasi pasien menceritakan jenis-jenis tindakan kekerasan yang selama ini pernah dilakukannya, motivasi pasien menceritakan perasaan pasien setelah tindakan kekerasan tersebut terjadi, diskusikan apakah dengan tindakan kekerasan yang dilakukannya masalah yang dialami teratasi.
62
TUK 5: Pasien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Dengan kriteria evaluasi setelah 1x pertemuan pasien menjelaskan akibat tindakan kekerasan yang dilakukannya, diri sendiri (luka, dijahui teman), orang lain (keluarga luka, tersinggung, ketakutan), lingkungan (barang atau benda rusak). Intervensi yang dilakukan, diskusikan dengan pasien akibat negatif (kerugian) cara yang dilakukan pada diri sendiri,orang lain, keluarga, dan lingkungan. TUK 6: Pasien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria evaluasi 2x pertemuan pasien, menjelaskan cara sehat mengungkapkan marah. Intervensi diskusikan dengan pasien apakah pasien mau mempelajari cara mengungkapkan marah yang sehat: a. Secara fisik dengan pukul bantal. b. Secara verbal dengan berbicara yang sopan dan baik. c. Secara sosial dengan melakukan jadwal kegiatan harian. d. Secara spiritual dengan melakukan ibadah. e. Dengan melakukan terapi gerak (warming-up). TUK 7: Pasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan.
Dengan
kriteria
evaluasi
2x
pertemuan
pasien,
mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Intervensi bantu pasien memilih cara yang tepat untuk pasien, bantu mengidentifikasi manfaat cara yang dipilih, bantu untuk menstimulasi cara tersebut (role play), beri reinforcement positif atau keberhasilan pasien tersebut, anjurkan untuk menggunakan cara yang telah dipelajari tersebut.
63
TUK 8: Pasien mendapat dukungan dari keluarga dalam mengontrol perilaku kekerasan. Dengan kriteria evaluasi 2x pertemuan pasien, keluarga dapat menyebutkan cara merawat pasien dan mengungkapkan rasa puas dalam merawat pasien. Intervensi identifikasi kemampuan keluarga merawat pasien dari sikap apa yang telah dilakukan keluarga terhadap pasien, jelaskan peran serta keluarga dalam merawat pasien, jelaskan cara-cara merawat pasien. TUK 9: Pasien dapat mengguanakan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya. Dengan kriteria evaluasi 2x pertemuan pasien, dapat menyebutkan obat-obatan yang diminum dan kegunaannya (jenis, waktu, dan efek), pasien dapat minum obat sesuai program pengobatan. Intervensi jelaskan jenis-jenis obatyang diminum pasien pada keluarga dan pasien, diskusikan manfaat minum obat dan kerugian berhenti minum obat tanpa seizin dokter, jelaskan prinsip benar minum obat (nama, dosis, waktu dan cara), ajarkan pasien minta obat dan minum tepat waktu, anjurkan pasien melaporkan pada perawat/dokter jika merasakan efek yang tidak enak, beri pujian, jika pasien minum obat dengan benar.
F. Implementasi Setelah merencanakan tindakan keperawatan untuk mengatasi masalah keperawatan utama berdasarkan rencana tindakan tersebut maka dilakukan tindakan keperawatan pada tanggal 07 April 2014 pukul 09.30 WIB yang pertama membina hubungan saling percaya, mengidentifikasi penyebab
64
perilaku kekerasan, mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan teknik nafas dalam dan memberi kesempatan pada pasien untuk mempraktekkan. Pada tanggal 08 April 2014 pukul 08.10 WIB melakukan tindakan keperawatan memberi salam terapeutik, mengevaluasi latihan tarik nafas dalam, melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan pemberian terapi gerak pemanasan dan memberikan kesempatan pasien untuk mempraktekkan. Pada jam 13.05 WIB melakukan tindakan keperawatan yaitu memberi salam terapeutik, mengevaluasi latihan terapi gerak pemanasan dan mengkaji tingkat kecemasan pasien setelah melakukan terapi gerak pemanasan.
G. Evaluasi Setelah dilakukan tindakan keperawatan didapatkan hasil evaluasi, strategi pelaksanaan satu, implementasi pada hari senin tanggal 07 April 2014 pada jam 09.30 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan gelisah/cemas, pasien membentak-bentak, pasien marah-marah dan ngamuk, pasien memperkenalkan diri, pasien mengatakan mau melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara tarik nafas dalam. Pasien mengatakan gelisahnya sudah berkurang, pasien mengatakan setelah latihan tarik nafas dalam perasaannya senang. Objektifnya : pasien mampu memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan alamat rumahnya dengan jelas, pasien masih tampak lesu dan lemas, pasien tampak membentak-bentak dan
65
marah-marah, kecemasan pasien sebelum melakukan latihan tarik nafas dalam kecemasan berat, setelah melakukan latihan tarik nafas dalam menjadi kecemasan sedang. Analisanya : pasien mampu membina hubungan saling percaya dengan perawat, pasien mampu mempraktekkan tarik nafas dalam. Perencanaan evaluasinya : evaluasi strategi pelaksanaan I, ajarkan terapi gerak pemanasan. Pada hari selasa tanggal 08 April 2014 jam 08.10 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan masih cemas, pasien mengatakan setelah latihan tarik nafas dalam perasaannya senang, pasien mengatakan masih ingat cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam, pasien mengatakan setelah diajari terapi gerak pemanasan perasaannya senang. Objektifnya : pasien tampak rileks setelah melakukan tarik nafas dalam, pasien tampak kooperatif, tingkat kecemasan pasien masih sedang, pandangannya masih tajam, ada kontak mata, pasien kooperatif dan pasien tampak melakukan terapi gerak pemanasan. Analisanya : pasien mampu melakukan tarik nafas dalam secara mandiri, pasien belum mampu melakukan terapi gerak pemanasan secara mandiri. Perencanaan evaluasinya : ajarkan terapi gerak pemanasan 2 kali dalam sehari. Pada jam 13.05 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan perasaannya senang setelah melakukan latihan terapi gerak pemanasan secara mandiri, pasien mengatakan cemasnya berkurang, pasien mengatakan senang karena tidak merasa cemas lagi dan sudah bisa melakukan terapi gerak pemanasan secara mandiri. Objektifnya : pasien tampak kooperatif, kontak
66
mata ada, muka pasien masih terlihat merah, tingkat kecemasan pasien berkurang menjadi ringan, pasien sudah tidak marah-marah lagi setelah latihan terapi gerak, pasien tampak rileks dan tidak marah-marah. Analisanya : pasien sudah mampu melakukan terapi gerak pemanasan secara mandiri.perencnaan evaluasi : evaluasi terapi gerak pemanasan, lanjutkan terapi gerak pemanasan 2 kali dalam sehari dan ajarkan strategi pelaksanaan II.
BAB IV PEMBAHASAN
Pada bab ini penulis akan membahas tentang Asuhan Keperawatan Jiwa Pada Sdr. I Dengan Perilaku Kekerasan Di Ruang Sembadra RSJD Surakarta, terutama pada pemberian terapi gerak pemanasan terhadap tingkat kecemasan pada Sdr. I. Pembahasan pada bab ini terutama membahas adanya kesesuaian maupun kesenjangan antara teori dengan kasus. Asuhan Keperawatan memfokuskan pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia melalui tahap pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana tindakan keperawatan, tindakan keperawatan dan evaluasi keperawatan. A. Pengkajian Pengkajian merupakan tahap awal dan dasar utama dari proses keperawatan, tahap pengkajian terdiri atas pengumpulan data dan perumusan kebutuhan atau masalah pasien (Kusumawati dan Hartono, 2010). Pengkajian pada pasien, penulis menggunakan teori proses keperawatan jiwa yaitu pengkajian identitas pasien, alasan masuk, faktorpredisposisi, faktor presipitasi, pemeriksaan fisik, psikososial, status mental, kebutuhan persiapan pulang, mekanisme koping, masalah psikososial dan lingkungan, aspek medik dan terapi (Damaiyanti, 2012). Teknik pengkajian yang dilakukan penulis adalah dengan cara wawancara dengan pasien (autoanamnesis). Hasil pengkajian pada Sdr. I didapatkan data subyektif dan objektif yaitu Sdr. I mengatakan suka membentak, marah-marah, ngamuk,
67
68
mengancam, mata pasien tampak merah, melotot, wajah merah, pandangan tajam, marah dengan nada suara yang keras dan tinggi, pasien tampak gelisah yang dinilai dari hasil observasi tingkat kecemasan yaitu pasien mengalami perasaan cemas (cemas, mempunyai firasat buruk dengan orang lain, takut akan pikiran sendiri), ketegangan (merasa tegang, lesu, tidak bisa istirahat tenang, gemeter, gelisah), ketakutan bila ditinggal sendiri, gangguan tidur (tidur tidak nyenyak, bangun dengan lesu), gangguan kecerdasan (sukar konsentrasi, daya ingat menurun), perasaan depresi (hilangnya minat, sedih), gejala somatik/otot (sakit dan nyeri diotot-otot, suara tidak stabil), gejala somatik/sensorik (penglihatan kabur, muka merah, merasa lemas), gejala kardiovaskuler (berdebar-debar, rasa lesu/lemas), gejala respiratori (sering menarik nafas), gejala gastrointestinal (rasa penuh atau kembung), gejala urogenital (sering buang air kecil, tidak dapat menahan air seni), gejala autonomy (mulut kering, muka merah, mudah berkeringat, kepala pusing, kepala terasa berat, kepala terasa sakit, bulu-bulu berdiri), tingkah laku pada saat wawancara (gelisah, tidak tenang, jari gemetar, kerut kening, muka tegang, otot tegang, muka merah), sehingga didapatkan total score 32 yaitu tingkat kecemasan berat dan pasien merasa sedih serta pasien tampak direstrain. Berdasarkan data pengkajian di atas diketahui tanda dan gejala pada Sdr. I yaitu wajah merah dan tegang, berbicara dengan nada keras, pasien direstrain. Tanda dan gejala yang muncul pada Sdr. I tersebut sesuai dengan teori yang dicantumkan oleh penulis menunjukkan Sdr. I mengalami perilaku kekerasan. Berdasar pengkajian diatas penulis menyimpulkan bahwa
69
apabila mengalami gangguan jiwa maka akan timbul perilaku kekerasan yang membuat seseorang dapat bertindak sesuka hatinya tanpa memikirkan resiko yang akan terjadi. Pasien mendapat terapi obat yaitu terapi inj. Lodomer 1 mg/24 jam digunakan
untuk
agitasi
psikomotor
pada
kelainan
tingkah
laku,
Trihexsilphenidil 2 gr/12 jam yang berpengaruh pada sistem syaraf pusat digunakan untuk mengontrol dan meringankan sementara gejala insomnia dan ansietas, dan Resperiden 2 gr/12 jam (ISO, 2011).
B. Diagnosa Keperawatan Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis terhadap respon aktual atau potensial dari individu, keluarga atau masyarakat terhadap masalah kesehatan/proses kehidupan (Keliat, 2006). Pohon masalah pada perilaku kekerasan (core problem) dapat mengakibatkan seseorang melakukan tindakan yang dapat membahayakan secara fisik, baik pada dirinya sendiri maupun orang lain, disertai dengan amuk dan gaduh gelisah yang tidak terkontrol. Hal ini dapat terjadi karena beberapa penyebab yaitu perubahan persepsi sensori: halusinasi, gangguan pemeliharaan kesehatan, ketidakmampuan keluarga merawat pasien di rumah (Fitria, 2010). Saat dilakukan pengkajian pasien mengalami halusinasi dengar yang didukung dari data subyektif dan obyektif yaitu pasien mendengar suara yang tidak ada wujudnya/tidak nyata, pasien berbicara sendiri ngelantur, dan ketawa sendiri, sehingga menyebabkan perilaku kekerasan yang didukung
70
dari data yaitu pasien membentak-bentak, marah-marah sendiri, mengancam orang, teriak-teriak, mata melotot dan merah. Data yang diperoleh dari Sdr. I yaitu perilaku kekerasan yang didukung dari data subyektif : pasien mengatakan suka membentak, marahmarah, ngamuk dan mengancam. Dari data obyektif: terdapat data pasien mata merah, melotot, wajah pasien merah, pandangan tajam, pasien tampak membentak dan marah-marah dengan nada suara yang keras dan tinggi, pasien nampak direstrain/diikat, pasien tampak gelisah dan sedih. Tanda dan gejala yang muncul pada Sdr. I sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh penulis yaitu wajah memerah, terjadi peningkatan volume suara, pandangan tajam,mengamuk. Data yang diperoleh dari Sdr. I sebagai penyebab dari perilaku kekerasan yaitu halusinasi dengar yang didukung dari data subyektif : pasien mengatakan seperti ada yang berbisik-bisik pada pasien. Dari data obyektif : pasien tampak berbicara sendiri, pasien tampak bingung, mondarmandir dan teriak-teriak. Tanda dan gejala yang muncul pada Sdr. I sesuai dengan teori yang dijelaskan oleh penulis yaitu bersikap seperti mendengar suara, bicara sendiri dan ketawa sendiri.Berdasarkan data yang diperoleh tersebut, diagnosa prioritas yang disesuaikan dengan masalah utama yaitu perilaku kekerasan.
C. Rencana Keperawatan Perencanaan keperawatan adalah kategori dari perilaku keperawatan dimana tujuan yang berpusat pada pasien dan hasil yang diperkirakan
71
ditetapkan dan intervensi keperawatan dipilih untuk mencapai tujuan tersebut (Potter dan Perry, 2006). Menurut Keliat & Akemat (2009) dalam Damaiyanti & Iskandar (2012) rencana tindakan keperawatan mencakup perumusan diagnosis, tujuan serta rencana tindakan yang telah distandarisasi. Rencana keperawatan yang penulis lakukan sama dengan landasan teori yang sudah penulis jabarkan dalam BAB III, hal ini karena rencana tindakan keperawatan tersebut telah sesuai dengan (SOP) Standart Operasional Prosedur yang telah ditetapkan. Data yang diperoleh pada tanggal 07 – 08 April 2014 ditemukan permasalahan yang menjadi rumusan diagnosa keperawatan perilaku kekerasan. Pada perencanaan keperawatan penulis menyatakan tujuan umum adalah pasien tidak melakukan tindakan kekerasan, ada 9 tujuan khusus yang direncanakan namun hanya 7 tujuan khusus yang terlaksana karena keterbatasan waktu. TUK 1:pasien dapat membina hubungan saling percaya. Dengan kriteria hasil pasien mau membalas salam, mau menjabat tangan, mau menyebutkan nama, mau tersenyum, ada kontak mata, pasien juga mengetahui nama perawat. TUK 2: pasien dapat mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya. Dengan kriteria hasil
pasien menceritakan penyebab
perilaku kekerasan yang dilakukannya, menceritakan penyebab perasaan jengkel,marah dan kesal baik dari diri sendiri maupun lingkungannya.
72
TUK 3: Pasien dapat mengidentifikasi tanda-tanda perilaku kekerasan. Dengan kriteria hasil pasien menceritakan tanda-tanda saat terjadi perilaku kekerasan, tanda fisik mata merah, tangan mengepal, ekspresi wajah tegang, tanda emosional, perasaan marah bicara kasar, tanda sosial bermusuhan yang dialami saat terjadi perilaku kekerasan. TUK 4: Pasien dapat mengidentifikasi jenis perilaku kekerasan yang pernah dilakukannya. Dengan kriteria hasil pasien dapat menjelaskan jenisjenis ekspresi kemarahan yang selama ini telah dilakukan, perasaan saat melakukan kekerasan, efektifitas cara yang dipakai dalam menyelesaikan masalah. TUK 5: Pasien dapat mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan. Dengan kriteria hasil pasien menjelaskan akibat tindakan kekerasan yang dilakukannya, diri sendiri (luka, dijahui teman), orang lain (keluarga luka, tersinggung, ketakutan), lingkungan (barang atau benda rusak). TUK 6: Pasien dapat mengidentifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan kemarahan. Dengan kriteria hasil pasien menjelaskan cara sehat mengungkapkan marah. TUK 7: Pasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan. Dengan kriteria hasil pasien dapat mendemonstrasikan cara mengontrol perilaku kekerasan, tarik nafas dalam, dapat mendemonstrasikan cara mengontrol dengan melakukan terapi gerak pemanasan dan mengontrol marahnya dengan pukul bantal.TUK 8 dan TUK 9 belum teratasi karena keterbatasan waktu.
73
D. Tindakan Keperawatan Menurut Keliat dan Akemat (2009) dalam Damaiyanti dan Iskandar (2012) tindakan keperawatan merupakan standar dari standar asuhan yang berhubungan dengan aktivitas keperawatan profesional yang dilakukan oleh perawat, dimana implementasi dilakukan pada pasien, keluarga dan komunitas
berdasarkan
rencana
keperawatan
yang
dibuat.
Dalam
mengimplementasikan intervensi, perawat kesehatan jiwa menggunakan intervensi yang luas yang dirancang untuk mencegah penyakit meningkat, mempertahankan dan memulihkan kesehatan fisik dan mental (Keliat & Akemat, 2009 dalam Damaiyanti & Iskandar 2012). Tindakan implementasi pada Sdr. I dilakukan selama dua hari pada tanggal 07 April 2014 pukul 09.30 WIB 07-08 April 2014 di bangsal Sembadra, RSJD Surakarta. Tindakan keperawatan yang dilakukan penulis dalam bentuk strategi pelaksanaan I (SP I pasien) yaitu membina hubungan saling
percaya,
mengidentifikasi
penyebab
perilaku
kekerasan,
mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan, mengidentifikasi akibat perilaku kekerasan, mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan teknik nafas dalam dan memberi kesempatan pada pasien untuk mempraktekkan. Pada tanggal 08 April 2014 pukul 08.10 WIB melakukan tindakan keperawatan strategi pelaksanaan II (SP II pasien) yaitu memberi salam terapeutik, mengevaluasi latihan tarik nafas dalam, melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara pukul bantal dilanjutkan mengajarkan
74
pemberian terapi gerak pemanasan dan memberikan kesempatan pasien untuk mempraktekkan. Pada jam 13.05 WIB melakukan tindakan keperawatan yaitu memberi salam terapeutik, mengevaluasi latihan terapi gerak pemanasan dan mengkaji tingkat kecemasan pasien setelah melakukan terapi gerak pemanasan. yaitu membina hubungan saling percaya dengan perawat, mengidentifikasi penyebab, tanda dan gejala, akibat dari perilaku kekerasan, mengajarkan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam, mengajarkan terapi gerak pemanasan seperti kedua tangan diletakkan di pinggang dan menggelengkan kepala ke kanan dan kiri, menolehkan kepala ke kanan dan kiri secara bergantian, menolehkan kepala ke atas dan bawah secara bergantian pula, satu kaki sebagai tumpuan dan kaki yang satunya diangkat ke belakang dan kedua tangan direntangkan. Gerakan pemanasan ini dilakukan selama 5 menit, 2 kali dalam sehari yaitu pada jam 08.05 WIB dan 13.00 WIB. Terapi gerak pemanasan yang dilakukan secara teratur dapat mengurangi kegelisahan, menurunkan tingkat kecemasan, menurunkan ketegangan, menurunkan tingkat depresi, mencegah stress serta mengurangi ketergantungan terhadap obat-obatan. Pada pengukuran tingkat kecemasan penulis mengukur dengan menggunakan skala HRS-A, sebelum dilakukan tindakan keperawatan didapatkan total score 32 yaitu tingkat kecemasan berat, sesudah dilakukan tindakan keperawatan yang pertama yaitu SP I pasien dengan tarik nafas
75
dalam, tingkat kecemasan pasien didapatkan total score 23 yaitu tingkat kecemasan sedang. Kemudian setelah dilakukan tindakan keperawatan dengan melakukan SP II pasien dan dilanjutkan dengan pemberian terapi gerak pemanasan tingkat kecemasan pasien menjadi kecemasan ringan dengan total score 14.
E. Evaluasi Evaluasi adalah proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan terus menerus pada respon pasien terhadap tindakan keperawatan yang telah dilaksanakan. Evaluasi dapat dibagi dua, yaitu evaluasi proses atau formatif dilakukan setiap selesai melakukan tindakan, evaluasi hasil atau sumatif dilakukan dengan membandingkan respon pasien pada tujuan khusus dan umum yang telah ditentukan (Kusumawati dan Hartono, 2010). Hasil evaluasi yang didapatkan dari Sdr. I data subyektif dan data objektif antara lain: pasien mengatakan ingin mengamuk, pasien bersedia berjabat tangan dan membina hubungan saling percaya dengan perawat, pasien mau menyebutkan penyebab perilaku kekerasan yang muncul, pasien mau menjawab semua pertanyaan yang diberikan, pasien mau diajari cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalan dan terapi gerak pemanasan, kontak mata ada. Hasil evaluasi yang didapatkan dari Sdr. I pada hari Senin tanggal 07 April 2014 pada jam 09.30 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan
76
gelisah/cemas, pasien membentak-bentak, pasien marah-marah dan ngamuk, pasien memperkenalkan diri, pasien mengatakan mau melakukan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan cara tarik nafas dalam. Pasien mengatakan gelisahnya sudah berkurang, pasien mengatakan setelah latihan tarik nafas dalam perasaannya senang. Objektifnya : pasien mampu memperkenalkan diri, menyebutkan nama dan alamat rumahnya dengan jelas, pasien masih tampak lesu dan lemas, pasien tampak membentak-bentak dan marah-marah, kecemasan pasien sebelum melakukan latihan tarik nafas dalam kecemasan berat, setelah melakukan latihan tarik nafas dalam menjadi kecemasan sedang. Analisanya : pasien mampu membina hubungan saling percaya dengan perawat, pasien mampu mempraktekkan tarik nafas dalam. Perencanaan evaluasinya : evaluasi strategi pelaksanaan I, ajarkan terapi gerak pemanasan. Pada hari Selasa tanggal 08 April 2014 jam 08.10 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan masih cemas, pasien mengatakan setelah latihan tarik nafas dalam perasaannya senang, pasien mengatakan masih ingat cara mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam, pasien mengatakan setelah diajari terapi gerak pemanasan perasaannya senang. Objektifnya : pasien tampak rileks setelah melakukan tarik nafas dalam, pasien tampak kooperatif, tingkat kecemasan pasien masih sedang, pandangannya masih tajam, ada kontak mata, pasien kooperatif dan pasien tampak melakukan terapi gerak pemanasan. Analisanya : pasien mampu melakukan tarik nafas dalam secara mandiri, pasien belum mampu melakukan terapi gerak
77
pemanasan secara mandiri. Perencanaan evaluasinya : ajarkan terapi gerak pemanasan 2 kali dalam sehari. Pada jam 13.05 WIB evaluasi subjektifnya : pasien mengatakan perasaannya senang setelah melakukan latihan terapi gerak pemanasan secara mandiri, pasien mengatakan cemasnya berkurang, pasien mengatakan senang karena tidak merasa cemas lagi dan sudah bisa melakukan terapi gerak pemanasan secara mandiri. Objektifnya : pasien tampak kooperatif, kontak mata ada, muka pasien masih terlihat merah, tingkat kecemasan pasien berkurang menjadi ringan, pasien sudah tidak marah-marah lagi setelah latihan terapi gerak, pasien tampak rileks dan tidak marah-marah. Analisanya : pasien sudah mampu melakukan terapi gerak pemanasan secara mandiri. Perencanaan evaluasi : evaluasi terapi gerak pemanasan, lanjutkan terapi gerak pemanasan 2 kali dalam sehari dan ajarkan strategi pelaksanaan II. Berdasarkan hasil Hamilton Rating Score for Anxiety (HRS-A) disimpulkan bahwa tingkat kecemasan pasien terdapat perbedaan yang signifikan. Hasil ini menunjukkan bahwa pemberian terapi gerak pemanasan berpengaruh terhadap tingkat kecemasan pada pasien yang mengalami gangguan jiwa dengan perilaku kekerasan di RSJD Surakarta, hasil penelitian sesuai jurnal efektifitas terapi gerak terhadap perubahan tingkat kecemasan pada pasien skizofrenia di RSJD Surakarta yang dipakai oleh penulis yaitu menunjukkan bahwa terapi gerak pemanasan mampu mengurangi ketegangan otot, meningkatkan perasaan bahagia dan kecemasan yang dialami oleh pasien.
78
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan 1. Pengkajian Penulis mengkaji data yang berfokus pengkajian pada kasus adalah pasien mengatakan suka membentak, marah-marah, ngamuk dan mengancam, pasien mengatakan ingin cepat pulang, ingin bertemu dengan keluarga sambil menangis, mata pasien tampak merah, melotot, wajah pasien tampak merah, pandangan tajam, pasien membentak dan mara-marah dengan nada suara yang keras dan tinggi, pasien tampak direstrain, pasien juga tampak gelisah/cemas dan sedih. 2. Diagnosa keperawatan pada pohon masalah yang menjadi core problem adalah perilaku kekerasan, data yang mendukung dari Sdr. I sesuai dengan teori dan didukung data subjektif: pasien mengatakan sering marah dan ngamuk, dan data objektif: wajah pasien merah, mata melotot, dengan nada suara keras, pasien tampak direstrain. 3. Intervensi yang dilakukan sesuai dengan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang ditetapkan ada tujuan umum yaitu pasien dapatmengontrol perilaku kekerasan, perencanaan tujuan khusus ada sembilan yaitu TUK 1 membina hubungan saling percaya, TUK 2 mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan yang dilakukannya, TUK 3 mengidentifikasi tandatanda perilaku kekerasan, TUK 4 mengidentifikasi jenis perilaku
78
79
kekerasan yang dilakukannya, TUK 5 mengidentifikasi akibat dari perilaku kekerasannya, TUK 6 mengidintifikasi cara konstruktif dalam mengungkapkan
kemarahan,
TUK
7
mendemonstrasikan
cara
mengontrol perilaku kekerasan. TUK 8 dukungan keluarga untuk mengontrol perilaku kekerasan, TUK 9 pasie dapat menjelaskan manfaat minum obat, kerugian tidak minum obat, nama obat, bentuk dan warna obat, dosis yang diberikan kepadanya, waktu pemakaian, cara pemakaian, efek yang dirasakan dan pasien menggunakan obat sesuai program yang telah ditetapkan. 4. Implementasi yang dilaksanakan terdiri dari membina hubungan saling percaya,
pengkajian
perilaku
kekerasan
dan
mengajarkan
cara
menyalurkan rasa marah dengan tarik nafas dalam, melatih cara mengontrol perilaku kekerasan dengan terapi gerak pemanasan dan memberikan kesempatan pada pasien untuk mempraktekkan. 5. Evaluasi pada hari Selasa tanggal 08 April 2014 jam 13.05 WIB evaluasi subjektif pasien mengatakan perasaannya senang setelah latihan strategi pelaksanaan I yaitu bina hubungan saling percaya dengan perawat dan latihan cara mengontrol perilaku kekerasan dengan teknik relaksasi nafas dalam. Objektif pasien tampak kooperatif, kontak mata ada, muka pasien masih terlihat merah, pasien tampak melakukan teknik rekaksasi nafas dalam. Analisa pasien mampu mengontrol perilaku kekerasan dengan tarik nafas dalam. Perencanaan evaluasi: evaluasi strategi pelaksanaan I (tarik nafas dalam) dan ajarkan strategi pelaksanaan II (pukul bantal).
80
6. Analisa hasil pemberian terapi gerak pemanasan terhadap tingkat kecemasan pada Sdr. I efektif sesuai dengan penelitian dalam jurnal bahwa terapi gerak pemanasan dapat menurunkan tingkat kecemasan pada seseorang. Dari hasil pengukuran skala kecemasan sebelum dilakukan pemberian terapi gerak pemanasan tingkat kecemasan pasien berat dengan total score 32. Tingkat kecemasan pasien sesudah pemberian terapi gerak pemanasan menjadi ringan dengan total score 14. Terdapat keefektifan pemberian terapi gerak pemanasan terhadap tingkat kecemasan pada Sdr. I.
B. Saran 1. Bagi Institusi Pendidikan Institusi pendidikan diharapkan memberi bimbingan kepada mahasiswa secara optimal, terutama pada pendidikan ilmu keperawatan jiwa, sehingga penulis dapat mengaplikasikan secara maksimal. 2. Bagi Profesi Keperawatan Perawat diharapkan memberikan pelayanan yang tepat dan meningkatkan komunikasi terapeutik kepada pasien sehingga pasien dapat membina hubungan saling percaya dengan perawat dan lebih sabar guna mempercepat penyembuhan pasien.
81
DAFTAR PUSTAKA
Ariyadi. 2009. http://www.statcounter.com/. Diakses pada tanggal 01 April 2014. Bab IV Hasil Penelitian & Pembahasan. http://www.elib.unikom.ac.id/. Diakses pada tanggal 02 April 2014. Buku Ajar Kuliah Fisioterapi. http://www.staff.uny.ac.id/. Diakses pada tanggal 02 April 2014. Dalami, Ernawati, S.Kp.2010. Konsep Dasar Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media. Damaiyanti & Iskandar. 2012. Asuhan Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama. DepKes RI. 2008. http://www.jurnal.unimus.ac.id/. Diakses pada tanggal 03 April 2014. Direja, Ade Herman Surya. 2011. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Jiwa. Nuha Medika. Erlinafsiah, SST. 2010. Dalam Praktik Keperawatan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media. Fitria, Nita. 2010. Prinsip Dasar dan Aplikasi Penulisan Laporan Pendahuluan & Strategi Pelaksanaan Tindakan Keperawatan (LP&SP). Jakarta : Salemba Medika. Hawari, Dadang. 2011. Manajemen Stress Cemas dan Depresi. Jakarta : Balai Penerbit FKUI. Ikatan Sarjana Farmasi Indonesia.2011. Informasi Spesialite Obat (ISO)Indonesia. Jakarta : IFSI. Indy-Arina.2013. Efektivitas Terapi Gerak Terhadap Perubahan Tingkat Kecemasan pada Pasien Skizofrenia Di Rumah Sakit Jiwa Daerah Surakarta. http://www.publikasiilmiah.ums.ac.id/. Diakses pada tanggal 01 April 2014. Keliat,dkk. 2006. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran : EGC. Kusumawati & Hartono. 2010. Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta : Trans Info Media.
82
Pemanasan Olahraga.http://www.elastico7.com/. Diakses pada tanggal 02 April 2014. Potter & Perry. 2006. Buku Ajar Fundamental Keperawatan Konsep, Proses, & Praktek.Edisi 4. Volume 1. Jakarta : EGC. Prasetyo & Nurtjahjanti. 2012. Pengaruh Penerapan Terapi Tawa terhadap Penurunan Tingkat Stress Kerja pada Pegawai Kereta Api. Jurnal Psikologi Undip. Vol 10. http://www.eprints.undip.ac.id/. Diakses pada tanggal 02 April 2014. Putri, Dewi Eka. 2010. Jurnal Pengaruh Rational Emotive Behaviour Therapy TerhadapPasien Perilaku Kekerasan Di Ruang Rawat Inap RSM Bogor. http://www.lintas.ui.ac.id/. Diakses pada tanggal 01 April 2014. RisKesDas.2013. Hasil Prevalensi Gangguan Jiwa Berat Di Indonesia. http://www.depkes.go.id/. Diakses pada tanggal 10 April 2014. Senam Aerobik.http://carapedia.com/. Diakses pada tanggal 02 April 2014. Yosep, Iyus.2010. Keperawatan Jiwa. Bandung : Refika Aditama. Videbeck, Sheila L. 2013. Buku Ajaran Keperawatan Jiwa. Jakarta. Penerbit Buku Kedokteran : EGC.