APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN UNTUK PENGOLAHAN AIR SISA PEREBUSAN RAJUNGAN
NURHOERI
PROGRAM STUD1 TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAICULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
PERNYATAAN MENGENAI SIUUPSI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang berjudul :
APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN UNTUK PENGOLAHAN AIR SISA PEREBUSAN RAJUNGAN adalah benar merupaltan karya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutlcan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustalca di bagian akhir Skripsi ini.
Bogor, Juni 2008
NurHoeri C34103073
RINGKASAN
NURHOERI. Aplikasi Teknologi Membran untuk Pengolahan Air Sisa Perebusan Rajungan. Dibimbing oleh BAMBANG RIYANTO dan UJU Penelitian ini memiliki tujuan yaitu karakterisasi air sisa perebusan rajungan, mempelajari pengarnh prefiltrasi menggunakan mikrofiltrasi, mempelajari pengaruh filtrasi menggunakan membran reverse osmosis dan mempelajari karakteristik air hasil filtrasi sebagai bahan dalam pencucian ikan. Penelitian ini dilaksanakan dalam 4 tahap meliputi tahap karakterisasi limbah cair sisa perebusan rajungan, karakterisasi hasil prefiltrasi, karakterisasi hasil filtrasi membran reverse osmosis dan karakterisasi air hasil treatment filtrasi reverse osmosis sebagai bahan pencuci ikan. Parameter uji yang digunakan meliputi kekeruhan, pH, warna, TDS, salinitas, BOD5, COD, TSS, serta uji TPC air. Secara visual air sisa perebusan rajungan memiliki warna kuning kecoklatan dengan nilai COD, BOD5, TDS, salinitas, TSS, kekeruhan, pH, dan uji TPC air masing-masing sebesar 46.000 i 2.828 mgll, 7.092 43 mgll, 5.210 i 0 mg/l, 32 i 1 %o,2.000 i 0 mgll, 77 0 NTU (Nephelometric Turbidity Unit), 9 i 0, dan 60.800 (sel/cm2). Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prej?ltrasi menggunakan membran mikrofiltrasi secara visual berwarna kuning dengan kadar COD, BODj, TDS, salinitas, TSS, kekeruhan, pH dan TPC air masing-masing sebesar 12.000 i 0 mgll, 3.219 93 mgll, 490 0 mg/l, 19 i 0 %o, 520 14 mg/l, 17 + 0 NTU, 9 5 0 dan 1880 sel/cm2. Air sisa perebusan rajungan dengan menggunakan membran reverse osmosis secara visual berwama jemih dengan kadar COD, BODS, TDS, salinitas, TSS, kekernhan, pH dan TPC air masing-masing sebesar 38 11 mg/l, 10,5 + 3 mgll, 2 0 mg/l, 0 i 0 %o,60 i 0 mg/l, 2,7 i 2 NTU, 9 i 0 dan 1840 sel/cm2. Hasil uji oles (swab) pada permukaan tubuh ikan dengan menggunakan air minum merk aqua (kontrol), jumlah mikroba yang terkandung dipermukaan tubuh ikan sebanyak 5,15 x lo4 kolonUm1. Sedangkan dengan menggunakan air dari hasil proses membran filtrasi revevse osmosis,'jumlah mikroba yang terkandung dipermultaan tubuh ikan sebanyak 5,25 x lo4koloni/ml. Berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut secara umum dapat disimpulkan bahwa air guna ulang yang didapat dari penyaringan dengan menggunakan membran reserve osmosis dari sisi parameter fisika dan kimia telah memenuhi syarat yang berlaku, kecuali bau yang dibasilkan.
*
*
*
*
*
*
*
APLIKASI TEKNOLOGI MEMBRAN UNTUK PENGOLAHAN AIR SISA PEREBUSAN RAJUNGAN
SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Periltanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor
Oleh : NURHOERI C 34103073
PROGRAM STUD1 TEKNOLOGI HASIL PERIKANAN FAICULTAS PERIIWNAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008
Judul Penelitian
: Aplikasi Teknologi Membran untuk Pengolahan Air Sisa
Narna Mahasiswa Nomor Pokok Program studi
Perebusan Rajungan : Nurhoeri : C34103073 : Teknologi Hasil Perikanan
Menyetujui : Pembimbing I
Barnbane. Riyanto S.Pi. M.Si NIP. 132 206 247
Perikanan dan Ilmu Kelautan
Tanggal lulus :
3 1 DEC 2008
KATA PENGANTAR Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahrnat dan hidayah-Nya sehingga skripsi ini dapat terseleseikan dengan baik. Skripsi ini mengambil judul Aplikasi Teknologi Membran untuk Pengolahan Air Sisa Perebusan Rajungan, sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan dan Ilmu Kelautan di Institut Pertanian Bogor. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Bapak Bambang Riyanto, SPi., MSi dan Bapak Uju, SPi., MSi selaku dosen pembimbing yang telah membimbing, mengarahkan, dan memberi saran yang berharga bagi penulis. 2.
Ibu Ir Anna C Erungan, MS dan Ibu Asadatun Abdullah , SPi., Msi selaku dosen penguji yang telah mengarahkan, dan memberi saran yang berharga bagi penulis.
3. DIKTI melalui program Hibah Bersaing XV atas pendanaan penelitian. 4.
Kedua orang tua, kedua adikku tercinta Soleh dan Annissa, serta seluruh keluarga yang selalu memberikan dorongan, semangat serta kasih sayangnya kepada penulis.
5.
Keluarga Prof. Dr. Ir. H. Surdiding Ruhendi MSc yang selalu memberikan dorongan, semangat serta kasih sayangnya kepada penulis.
6. Mbak Ninik Purbosari S.Pi atas dukungan semangat, nasihat, saran dan kebaikan selama penelitian. 7. Teman-teman THP angkatan 40 serta 41 atas dukungannya.
8. Teman-teman MSP angkatan 40 serta atas dukungannya.
9. Komunitas Daffa.net mas Ying, aa Ucup, Jonne, mas W dan teman-teman yang lain atas kesetiaatlnya dalam membantu penulis menemukan penceraban, bimbingan dalam menyelesaikan tugas akhir. 10. Kekasihku tersayang Atik Solihatin, S.Pi. atas kesabaran, kesetiaan, ketulusan, semangat dan nasehat kepada penulis. Penulis menyadari ltetidaksempurnaan penulisan tugas akhir ini. Akhimya besar harapan penulis semoga karya kecil ini dapat bermanfaat bagi semuanya. Bogor, Juni 2008
DAFTAR IS1
Halaman
DAFTAR TABEL .....................................................................................
v
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
vi
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
vii
.
1
PENDAHULUAN ..............................................................................
1
1.1. Latar Belakang
i
.............................................................................. 1.2. Tujuan ........................................................................................... 2. TINJAUAN PUSTAKA ................................................................... 2.1. Rajungan ....................................................................................... 2.1.1 Klasifikasi dan identifikasi rajungan .................................. 2.1.2 Sifat kimia daging rajungan ................................................. 2.1.3 Pengolahan rajungan ............................................................ 2.1.3 Perebusan rajungan ............................................................
3 4 4 4 5 6 8
2.2. Definisi Limbah dan Limbah Cair ................................................ .......................... 2.2.1 Sumber limbah cair ................................. 2.2.2 Komposisi kimia limbah cair .............................................. 2.2.3 Sumber limbah perikanan ................................................... 2.2.4 Karakteristik limbah cair perikanan .................................... 2.2.5 Karakteristilc limbah cair rajungan ......................................
8 8 9 10 10 12
2.3. Membran Filtrasi ..........................................................................
13
2.4. Reverse Osmosis ..........................................................................
18
2.5. Air Pencuci ...................................................................................
19
2.6. Air Daur Ulang ............................................................................
20
..
.
*
2.7. Parameter Fls~kaK ~ m i a............................................................. 3. METODOLOGI .................................................................................
22 27
3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian .........................................................
27
3.2 Bahan dan Alat ............................................................................
27
3.3 Prosedur Kerja ........................................................................... 3.3.1 Karakterisasi air sisa perebusan rajungan ......................... 3.3.2 Prefilrrasi ......................................................................... 3.3.3 Filtrasi menggunakan membran reverse osmosis .............. 3.3.4 Penggunaan air daur ulang dari air sisa perebusan rajungan .. sebagai pencucl lkan ........................................................
28 28 29 29 31
3.4 Prosedur Analisis ............................ ..... 3.4.1 Analisis Biological Oxygen 3.4.2 Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) ..................... 3.4.3 Analisis Total Suspended Solids (73s) ............................... 3.4.4 Analisis kekeruhan .....................'.. ...................................... 3.4.5 Analisis pH ......................................................................... 3.4.6 Analisis Total Dissolved Solids (IDS)................................ .. .. 3.4.7 Anal~sissalinitas ................................................................. . . 3.4.8 Analisis TPC air .................................................................. .. 3.4.9 Analisis Uji Swap ...............................................................
.
32 33 33 34 34 34 34 35
........................................................... Karakterisasi air sisa perebusan rajungan .................................... Karakteristikpermeat hasilprefiltrasi .........................................
40
4.3. Karakteristikpermeat hasil reverse osmosis ................................
43
4.4. Penggunaan air daur ulang dari air sisa perebusan rajungan sebagai .. pencuci ikan ..................................................................................
47
4 HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. 4.2.
5. KESIMPULAN DAN SARAN
........................................................... 5.1 Kesimpulan .................................................................................. 5.2 Saran .............................................................................................. DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ LAMPIRAN .............................................................................................
36 36
51 51 51 52 58
DAFTAR TABEL Halaman 1. Hasil analisis proksimat kimia daging rajungan claw meat (steamed), leg meat dan claw meat (raw) ..............................................................
2. Karakteristik limbah cair dari berbagai jenis industri hasil perikanan 3. Karakteristik limbah cair rajungan (Driscoll 1990) .............................
4.
. .
Karakteristik membran ...................................................................... .
.
5. Persyaratan alr mlnum .........................................................................
6. Definisi (Casani dan Knochel 2002) .....................................................
7. Karakteristik air sisa perebusan rajungan ............................................. 8. Hasil filtrasiprefiltr-asi dengan filter kerarnik 0,3 mikron.................... 9. Hasil filtrasi dengan membran reverse osmosis ................................... 10. Perbandingan nilai baku mutu air daur nlang dengan menggunakan membran reverse osmosis dengan baku mutu air pencuci ....................
6
DAFTAR GAMBAR Halaman Rajungan (Portunuspelagicus) (www.akuaku1tur.wordpress.com)....
5
Komposisi Limbah Cair (Sugiha~to1987) ...........................................
9
.........................
............................................................... Gambar membran filtrasi reverse osmosis ............................................ Diagram alir tahap proses membran filtasi reverse osmosis .................
14 17 28 29 30 31
Perbedaan warna antara air sisa perebusan rajungan. setelah prefiltrasi dan setelah reverse osmosis.................................................
44
Prinsip dasar pemisahan membran (Krijgsman 1992)
Perbandingan membran simetrik dan asimetrik (Krijgsman 1992)
.....
Diagram alir tahapan penelitian ........................................................... Diagram alir proses membran
DAFTAR LAMPIRAN Halaman
1. Mernbran rnodul spiral wound...............................................................
59
2. Data rnentah uji kualitas air ..................................................................
60
3 . Data mentah uji rnikrobiologi air ..........................................................
61
1. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang
lndustri pengolahan hasil perikanan selain mengkonsumsi air dalam jumlah yang tinggi juga menghasilkan limbah yang beragam. Salah satu industri pengolahan hasil perikanan yang juga menghasilkan limbah terbanyak adalah industri pengolahan rajungan (Benning 2000). Berdasarkan laporan Driscoll(1990) yang dikutip (Green et
al. 1991) menyatakan bahwa sebagian besar hasil pengolahan rajungan diekspor dalam bentuk rajungan beku tanpa kepala dan kulit. Setelah pengolahan, sekitar
* 14
% berat total rajungan hidup yang telah dipanen digunakan untuk konsumsi manusia,
sisanya 86 % dari berat tersebut menjadi by-products atau limbah. Menurut data statistik tahun 1999 selama periode bulan Januari sampai bulan Desember, produk rajungan yang diekspor Indonesia adalah sebesar 8.134,73 ton (BPS 2000). Sedangkan menurut Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Depafiemen Perikanan dan Kelautan (2007), produksi budidaya rajungan di Indonesia tahun 2007 mencapai 7.900 ton, kemudian meningkat menjadi 8.800 ton pada pertengahan tahun 2008 dan diperkirakan mencapai 9.600 ton pada taliun 2009 atau meningkat setiap tahunnya sebesar 10,24 %. Industri rajungan di Indonesia menghasilltan limbah mencapai 20 % hingga 50 % dari produk yang dihasilkan, limbah yang dihasilkan ini berupa limbah padat dan limbah cair. Limbah padat industri pengolahan rajungan, pemanfaatannya baru terbatas pada chitin, chitosan, atau diolah menjadi pakan ternak, sementara di negara maju sudah dimanfaatltan sebagai produk kesehatan (Sopiah dan Susanto 2002). Adapun limbah cair rajungan belum banyak digunakan sehingga menjadi limbah yang mengganggu lingltungan, terutama bau yang tidak sedap dan terjadinya pencemaran air karena kandungan BODj, COD dan TSS perairan disekitar pabrik cukup tinggi (Carawan et al. 1979). Hasil studi yang dilakukan oleh Benning (2000) menunjukkan bahwa keseluruhan limbah cair industri pengolahan rajungan mengandung kurang lebih 6004.400 mglliter BODS, 330-620 mglliter TDS, 150-220 mglliter TSS dan 29.000 mglliter COD.
Teknologi membran telah banyak digunakan dalam pengolahan limbah cair industri (Nicolaisen 2002), termasuk industri pangan seperti pada industri daging (Bohdziewicz et al. 2003), industri susu (Vourch et al. 2008), industri gula (Hinkova et al. 2002). Teknologi membran juga berperan penting dalam pengembangan industri flavor dari limbah hasil perikanan (Vandanjon et al. 2002), namun belum pernah diaplikasikan untuk limbah pasteurisasi rajungan. Teknologi membran memililci beberapa keuntungan yaitu proses pemisahaannya lebih sederhana, kemampuan dalam memisahkan zat-zat dengan berat molekul rendah seperti garam anorganik atau molekul organik kecil seperti glukosa dan sukrosa, zat kimia, dapat dioperasikan pada suhu kamar, adanya penghalang absolut terhadap aliran kontaminan, yaitu membran itu sendiri, serta ukuran penyaringannya yang mendekati pikometer, juga mampu memisahkan virus dan bakteri (Wenten 1999; Hidayat 2007). Selain itu teknologi membran dapat menghemat energi sehingga dapat menekan biaya operasional menjadi lebih rendah, bila dibandingkan dengan proses pemurnian atau pemisahan yang lain (Casani dan Knochel 2002). Hasil studi yang dilakukan oleh Cheryan (1986), menunjuklcan bahwa proses desalinasi dengan menggunakan open-pan evaporation, aJve to seven effect evaporator dan membran reverse osmosis masing-masing membutuhkan energi sebanyak 600 kwh, 37-53 kwh dan 5-20 kwh untuk per seribu kilogram air yang dipisahkan. Air sisa perebusan rajungan berpengaruh terhadap ekosistem lingkungan dan juga terhadap industri pengolahan rajungan itu sendiri (Islam et al. 2004), untuk itu perlu dirancang suatu usaha untuk mendaur ulang limbah sisa perebusan rajungan yang bertujuan untuk mengevaluasi kualitas secara fisika, kimia dan mikrobiologi air yang dapat digunakan kembali (reuse water) yang didasarkan pada perlakuan filtrasi menggunakan membran reverse osmosis. Hal tersebut menjadi penting karena dapat memperbaiki kualitas air limbah sehingga aman dibuang ke lingkungan, selain itu potensi daur ulang secara langsung, kontaminan dapat dikurangi kadarnya atau dipekatkan tanpa perubahan sifat fisik atau kimianya sehingga dapat digunakan kembali. Oleh karena itu, diharapkan penelitian ini dapat memberikan bekal ilmu dan
wawasan mengenai kualitas air yang digunakan kembali (reuse water) dari air sisa perebusan rajungan serta penggunaan air yang digunakan kembali dari air sisa perebusan rajungan pada industri perikanan sebagai contoh digunakan dalam pencuci ikan .
1.2. Tujuan Penelitian mengenai aplikasi teknologi membran untuk pengolahan air sisa perebusan rajungan memiliki tujuan yaitu:
1. Karakterisasi air sisa perebusan rajungan. 2. Mempelajari pengaruh preJltrasi menggunakan mikrofiltrasi
3. Mempelajari pengaruh filtrasi menggunakan membran reverse osmosis 4. Mempelajari karakterisasi air hasil filtrasi sebagai bahan dalam pencucian
ikan.
2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Rajungan
Rajungan dan kepiting merupakan komoditi hasil perikanan yang mempunyai potensi dan prospektif yang cukup baik serta memiliki ekonomis yang cukup penting. Jenis kepiting yang selama ini banyak dimanfaatkan baik untuk industri pengalengan maupun konsumsi langsung, adalah kepiting bakau (mangrove crab) dan jenis rajungan. Di Indonesia, spesies rajungan yang terkenal dan memiliki nilai ekspor adalah Portunuspelagicus, yang juga dikenal sebagai swimming crab (Saanin 1984). 2.1.1
Klasifikasi dan identifikasi rajungan Rajungan adalah salah satu jenis kepiting dari famili portunidae yang
hidupnya hanya di laut dan mempunyai ciri khas capit yang memanjang, kokoh dan berduri. Klasifikasi rajungan berdasarkan Saanin (1984) adalah: Filum
: Arhtopoda
Kelas
: Crustacea
Sub Kelas
: Malacostraca
Ordo
: Eucaridae
Sub Ordo
: Decapoda
Famili
: Portunidae
Genus
: Porrunus
Spesies
: Portttnus
pelagicus,
Portunus
sanguinolentus,
Charybdis
feriatus, Podopthalmus vigil. Secara umum morfologi rajungan berbeda dengan kepiting, di mana rajungan (Portunus pelagicus) memiliki bentuk tubuh yang lebih ramping dengan capit lebih panjang dan memiliki warna yang menarik pada karapasnya. Duri akhir pada kedua sisi karapas relatif lebih panjang dan lebih runcing. Rajungan hanya hidup pada lingkungan air laut dan tidak dapat hidup pada kondisi tanpa air. Dengan melihat warna dari karapas dan jumlah duri pada karapasnya, maka dengan mudah dapat dibedakan dengan ltepiting (Saanin 1984).
Rajungan (Portunus pelagicus) memiliki karapas berbentuk bulat pipih, sebelah kiri-kanan mata terdapat duri sembilan buah, di mana duri yang t e r a h r berukuran lebih panjang. Rajungan mempunyai 5 pasang kaki, yang terdiri atas 1 pasang kaki (capit) berfungsi sebagai pemegang, 3 pasang kaki sebagai kaki jalan, dan 1 pasang kaki berfungsi sebagai dayung untuk berenang. Antara rajungan jantan dan betina terdapat perbedaan yang menyolok, yaitu ukuran jantan lebih besar d m bercapit lebih panjang dari pada rajungan betina. Selain ukuran badan dan capit, warna tubuh rajungan juga dapat membedakan antara jantan dan betina. Warna dasar tubuh rajungan jantan inemperllhatkan wama lebili biix dengan bercak putili terang sedangkan rajungan betina warna dasar cenderung hijau dengan bercak-bercak putih. Morfologi rajungan dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Rajungan (Portunuspelagicus) (l1ttp; www.akuakultur.wordpress.com). 2.1.2
Sifat kimia daging rajungan
Skonberg dan Perkins (2002) menyatakan bahwa kandungan nutrisi daging rajungan inellputi mineral (kalsiun, fosfor, magnesium, sodium, potassium, aluinunium, besi, seng drtll tembaga), kolesterol, elcosapentaenozc a c ~ d(EPA), dan docosahexaenolc acrd (DHA). Kandungan air, protem, dan mlneral total daging
rajungan berkisar antara 78,7g/lOOgrain, 17,lg/100 gram, dan 2,2 d l 0 0 gram Menuntt Gokodlu dan Yerlikaya (2003) dan Vilasoa-Martinez et al. (2007), dalam 100 gram daging rajungan mengandung kadar air 78,06 %, protein 12,35 %, lemak
1,02 %, abu 1,78 %, mineral dan asam amino (arginin 2,35 gram dan lisin 2,07 gram). Daging yang terdapat pada kaki rajungan (leg meat) memiliki lebih banyalc konsentrasi lipid (1,16 glI00 gram) bila dibandingkan dengan bagian tubuh rajungan yang lain, yaitu 0,62 d l 0 0 gram pada capit rajungan yang masih segar (claw meat (raw)) atau 0,54 gI100 gram pada capit rajungan yang telah direbus (claw meat (steamed)). Kisaran konsentrasi asam lemak n-3 yaitu sebesar 115 - 336 mg1100 gram dan 154-344 mg1100 gram untuk DHA and EPA. Hasil anaiisis kimia daging rajungan claw meat (steamed), leg meat dan claw meat (raw)tersebut selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil analisis komposisi kimia daging rajungan.
Sumber: Skonberg dan Perkins (2002),
* ( d l 0 0 gram), ** (mg/100 gram).
2.1.3 Pengolahan Rajungan
Pada industri pengalengan rajungan, biasanya bahan baku diterima di unit pengalengan dalam bentuk serpihan daging. Sedangkan untuk konsumsi langsung umumnya dilakukan penjualan secara utuh dalarn keadaa~ihidup, namun akhir-akhir ini berkembang sistem penjualan dalam bentuk serpihan daging terutama di pasar swalayan (BBPMHP 1995). Ditempat pengolahan, bagian karapas (kulit bagian badan dan kepala) dipisahkan bersama-sama dengan insang dan perut. Kemudian dicuci sampai bersih. Rajungan lalu direbus dalam air garam (brine) 3-4 % selama k 25 menit. Perebusan yang baik akan memudahltan pengambilan daging dari kulitnya (Fauziah 2007).
Fauziah (2007) melaporkan proses pengolahan daging rajungan yang dilakukan ole11 unit pengolahan rajungan umumnya adalah : a). Pencucian Pencucian dilaltukan untuk membersihkan kotoran yang menempel pada rajungan, dengan cara rajungan segar ditaruh pada keranjang plastik, kemudian disiram dengan air sehingga kotoran akan turun ke bawah bersama air. b). Perebusan Rajungan yang sudah bersih direbus selama
* 25 menit, dengan calra dimasukkan
ke dalam air yang sudah mendidih. Perebusan ini bertujuan agar daging rajungan menjadi matang, kompak dan mudah dalam pengambilan daging. Perebusan rajungan bertujuan untuk mempermudah proses pemisahan daging rajungan dengan cangltang (pickind. Picking dilakukan setelah rajungan matang yang sudah didinginkan. Agar tekstur daging yang diperoleh bagus maka dilaltukan pendinginan terlebih dahulu. Indikator kematangan rajungan adalah apabila daging pada kaki jalan mudah dicabut dan daging tersebut memiliki teltstur yang empuk, padat dan kompak (Sulistyawati 2000). c). Pendinginan Selanjutnya rajungan didinginkan dengan cara diangin-anginkan. Untuk mempercepat pendinginan dapat dilakukan dengan merendam ke dalam air biasa (dingin) selama kurang lebih 5 menit atau disiram air. Perlakuan ini sekaligus dapat membersihkan kotoran yang masih ada. d). Pemisahan badan, kaki dan capit. Pemisahan ini dimaksudkan untuk mengefisienkan kerja serta agar daging tidak tercampur, ltarena daging pada masing-masing bagian tersebut mempunyai harga yang berbeda. e). Pengalnbilan daging. Pengalnbilan daging pada masing-masing bagian berbeda-beda yaitu dengan cara daging diambil dari bagian badan yang di bawah berbentuk gumpalan daging besar lalu dilanjutkan daging serpihan yang berada disekat-sekat rongga badan. Pengalnbilan daging capit dilakultan dengan cara memecahkan cangkangnya
dengan menggunakan alat pemecah cangkang kemudian daging dikeluarkan dengan rnenggunakan pinset. Daging kaki diambil dengan cara melakukan pemotongan pada ujung kaki tersebut diteltan dengan menggunakan tangan sehingga dagingnya leluar. 2.1.4 Perebusan Rajungan
Perebusan adalah proses pemanasan yang sering diterapkan pada sistem jaringan sebelum pembekuan, pengeringan, pengalengan dan sebagainya (Purnomo dan Adiono 1987). Telah umum dilaltukan pula bahwa perebusan dengan suhu yang lebih rendah yaitu pada suhu 30-40°C ~ ~ n t umenghindari k "overcooking" dan perekatan daging pada kulit (Purnomo dan Adiono 1987). Rajungan biasanya direbus dalam air garam (brine) 3-4 % selama
25 menit. Perebusan yang baik akan memudahkan
pengambilan daging dari kulitnya (Fauziah 2007). 2.2. Definisi Limbah
Limbah adalah buangan yang dihasilkan dari suatu proses produksi baik industri maupun domestik (rumah tangga), yang kehadirannya pada suatu saat dan tempat tel-tentu tidak dikehendaki lingkungan karena tidak memiliki nilai ekonomis. Berdasarkan peraturan pemerintah No. 8212001 tentang pengolahan limbah berbahaya dan beracun, limbah adalah bahan sisa pada suatu kegiatan dan atau proses produksi.
2.2.1. Sumber Limbah Cair Limbah cair dapat bersumber dari rumah tangga maupun industri. Sumber uta~nalimbah cair runiah tangga adalah daerah perumahan, daerah perdagangan, perkantoran dan kawasan rekreasi (Carawan et al. 1979). Karakterisasi limbah cair yang berasal dari industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan besat. kecilnya industri tersebut. Suryadiputra (1995) mengatakan bahwa rata-rata sebesar 58-90 % dari jumlah air yang digunalcan dalam industri akan menjadi limbah. Lirnbah cair yang dihasilkan oleh suatu pabrik terutama berasal dari
berbagai proses yang berlangsung didalamnya. Selain jenis dan besar kecilnya industri, ha1 yang tak kalah pentingnya adalah sikap mental para pekerja pabrik dalam
--
memanfaatlcan air bersih untuk melakultan kegiatan-kegiatan tersebut. Makin banyak jumlah air yang digunakan, makin banyak bahan-bahan asing yang masuk ke dalam air buangan sehingga akan mengakibatkan semaltin sulitnya pengolahan yang harus ditetapkan untuk memperbaiki mutu air buangan dan akan mengakibatkan semakin sulitnya pengolahan yang harus diterapkan untuk memperbaiki mutu air buangan tersebut (Suryadiputra 1995).
2.2.2. Komposisi Kimia Limbah Cair
Berdasarkan sumbernya, limbah mempunyai komposisi yang sangat bervariasi untuk setiap tempat dan setiap saat. Limbah yang berasal dari suatu industri pada umumnya termasuk golongan limbah yang seragam. Sedangkan yang tidak seragam pada umumnya berasal dari tempat-tempat umum (Sugiharto 1987). Komposisi limbah cair disajikan pada Gambar 2.
Limbah Cair
Bahan Padat (0,1%)
Bahan Anorganik
Protein (65) % Karbohidrat (27) % Lemak (1 0) %
Butiran Garam, Logam
Gambar 2. Komposisi Limbah Cair (Sugiharto 1987) Kandungan bahan organik dalam limbah cair dapat memberikan efek negatif terhadap linglcungan melalui berbagai cara. Bahan organilc yang terlarut dapat
menghabiskan oksigen dalam air serta menimbulkan rasa dan bau yang tidak sedap pada penyediaan air bersih. Selain itu, akan lebih berbahaya apabila bahan yang berada di dalam air tersebut merupakan bahan yang beracun (Sugiharto 1987). 2.2.3. Sumber Lirnbah Perikanan
Efluen industri perikanan mengandung banyak bahan organik yang tinggi terutama fosfat dan nitrat. Hal ini disebabkan olek keberadaan lemak, protein dan padatan terlarut. Kualitas efluen tergantung dari tipe ikan yang diproses. Cairan efluen mengandung darah dan potongan-potongan kecil ikan dan kulit, isi perut, kondensat dari operasi pemasakan dan air dingin dari kondensor (Jenie dan Rahayu 1990). Kisaran nilai beban COD dari efluen industri Jilleting ikan berminyak adalah 6.250-10.000 mgll, nitrogen antara 312,5-500 mgll dan fosfat antara 12,5-60 mgll. Limbah cair industri pengalengan ikan mengandung COD, nitrogen, dan fosfat dengan konsentrasi masing-masing 773 mgll, 200 mgll dan 26,7 mgll. Adapun industi tepung ikan ikan fish meal) dan minyak ikan fish oil) menghasilkan limbah dengan COD (off loading) 1.428 mgll dan COD (proses ) 571 mgll (Gonzalez 1996). Menurut Carawan et a/. (1 979), volume limbah yang dihasilkan industri perikanan tergantung pada metode pemprosesan dan pengolahan produk hasil perikanan. 2.2.4. Karakteristilt Lirnbah Cair Periltanan
Perhatian utama dari limbah industri pengolahan hasil perikanan terdiri atas sumber limbah, parameter polutan dan tipe limbah (Carawan et al. 1979). Parameter polutan sangat penting didalam industri hasil perikanan terdiri dari biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxigen demand (COD), total suspended solids (TSS), minyak, lemak dan minyak ikan (FOG) serta air yang telah dipakai (Carawan et a1 1979) Islam et a1 (2004) menyatakan bahwa industri pengolahan hasil perikanan memprodultsi berbagai macam bahan organik, partiltel-partikel kecil daging, protein-protein terlarut dan karbohidrat yang dihasilkan oleh 27.000 Ilton limbah.
Karakteristik limbah cair dari berbagai jenis industri hasil perikanan dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Karakteristik limbah cair dari berbagai jenis industri hasil perikanan Water Flow (m3/hari) 400-750 800- 1.100
Shrimp Non-breaded
Salmon Catfish
1 250-2.500
1 100-200
BOD 2.000 1.000
1 250-2.600
1 340
TSS (mgll) 900 800
3.300 2.300
1 300-5.500
1 700
I
1
120-1.400
1 400
FOG (mgll) 700 250
1 20-550
1 200
Sumber: Islam et al. (2004)
Limbah cair industri hasil perikanan mengandung banyak protein dan lemak, sehingga rnengakibatkan nilai BOD5 dan TSS-nya cukup tinggi. Kadar BOD5 dan TSS berbeda-beda tergantung dari jenis industrinya. Perbedaan itu dipengaruhi oleh tingkat produksi, jenis bahan mentah, kesegaran,dan produk akhir yang dihasilkan (Gonzalez 1996). Dalam indusri hasil perikanan, limbah cair dihasilkan dari proses-proses penggarapan bahan rnentah (pencairan dan persiapan), pembersihan (pencucian dan preparasi), dehidrasi, pengepresan, penyaringan, pernanasan, pendinginan, dan pembersihan alat. Cairan ini mengandung darah dan potongan-potongan kecil ikan dan kulit, isi perut, kondensat dari operasi pemasakan dan air pendingin dari kondensor (Jenie dan Rahayu 1990). Pada umurnnya limbah perikanan didominasi oleh parameter-perameter organik seperti biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxigen demand (COD), total suspended solids (TSS), minyak, lemak dan minyak ikan (FOG) (Carawan et al. 1979).
2.2.5. Karakteristik Limbah Cair Rajungan Sebagian besar rajungan tidak dapat dimakan dan hanya menghasilkan lirnbah. Limbah yang dihasilkan pengolahan rajungan sekitar 1.513 galonlliter (Carawan et al. 1979). Selarna proses pengolahan rajungan, daging yang dihasilkan sekitar 12 % dari berat total rajungan. Lebih dari 85 % dari rajungan selarna proses pengolahan menjadi lirnbah atau digunakan sebagai by-product yang bernilai rendah dan cairan tubuh yang hilang selama pemasakan berkisar 35 % (Green et al. 1991j. Limbah yang dihasilkan industri pengolahan rajungan meliputi protein dan karbohidrat terlarut, serpihan-serpihan daging, dan komponen lainnya yang hilang selama pemrosesan (Carawan et al. 1979). Komposisi limbah cangkang yang terdapat dalam rajungan sebagian besar berasal dari eksoskeleton. Eksoskeleton sebagian besar terdiri atas chitin, protein, dan kalsium karbonat (Carawan et al. 1979). Secara umurn, aktivitas perdagangan perikanan menggunakan air yang besar tetapi air limbah yang dikeluarkan lebih sedikit (Vandanjon et al. 2002). Kebalikannya, operasi pengolahan rajungan menggunakan jumlah air yang sedikit namun rnenghasilkan lebih banyalc efluent (air limbah) yang besar, khususnya industri pengalengan perikanan (Vandanjon et al. 2002). Sebagai contoh, hasil studi yang dilakukan oleh Driscoll (1990) menunjulclcan bahwa air limbah yang diproduksi dari proses pemasakan dan pengolahan rajungan ltira-kira 2.500 galon per hari. Karakteristik limbah industri pengolahan rajungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 3. Table 3. Karakteristik Limbah Cair Rajungan (Driscoll 1990). Parameter Biochemical Oxygen Demand (5 duy), mgll Chemical Oxygen Demand, mgll Total Suspended Solids, mgll Total Dissolved Solids, mgll Total Kjeldahl Nit~ogen,mgll Chloride, mgll pH Sumber : Driscoll (1990).
Nilai 4.100 29.000 95 29.000 180 150 S,6
Menunlt Susianthy (2006), klasifkasi lilnbah rajungan terdiri dari 20 % daging, 60 % limbah proses yang terdiri dari 57 % cangkang, 3 % body reject, dan 20 % sisanya adalah whey. Body reject men~pakanlunbah rajnngan matang yang tidak
termasuk dalain klasifikasi untuk diproses. Body reject digiling unttk dimanfaatkan menjadi pelet terasi dikarenakan kandungan protein yang cukup tinggi. Whey merupakan air rebusan rajungan dan memiliki aroma rajungan yang cukup kuat sehingga air rebuasan ini cukup potensial untuk bahan dasar pembuatan kerupuk. Susianthy (2006), menjelaskan bahwa golongan crustacea seperti rajungan pada ulnulnnya mengandung 25 % bahan padat, 20-25 % daging yag dapat dimakan, dan sekitar 50-60 % hasil buangan. Padatan pada buangan ini masih lnengandung sampai 25 % bahan padat dan sekitar 25 % dari padatan tersebnt adalah kitin. 2.3. Membran Filtrasi
Teknologi lnembran ten~smeningkat untuk memelihara dan mendaur ulang air lunbah (Nicolaisen 2002). Proses membran telah menjadi suatu alat yang penting untuk meniogkatkan kualitas air dan teknologi membran digunakan sebagai perlakuan (treatment) dalam pengolahan limbah industri pangan seperti pada industri daging
(Bohdziewicz et a[. 2003), industri gula (Hinkova et al. 2002) dan teknologi ini sangat penting diaplikasikan dalam industri perikanan (Casani et al. 2006). Menurut Vourch et al. (2008), proses membran digunakan untuk perlakuan dalam pengolahan limbah yang menghasilkan air bersih sebagai recycling dan reuse. Secara umum, terdapat empat dasar teknologi melnbran yaitu mikro$ltrasi, ultrafiltrasi, nanoJiltrasi dan RO (reserve osmosis) (Ahmad 2000). Membrane separation yaitu suatu teknik pemisahan campuran 2 atau lebih
komponen tanpa menggunakan panas. Komponen-komponen akan terpisah berdasarkan ukuran dan bentuknya, dengan bantuan tekanan dan selaput sen~ipemzeable. Hasil pemisahan berupa retentate atan concentrate (bagian dari campuran
yang tidak melewati membran) dan pernieate (bagian dari campuran yang melewati membran). Prinsip dasar pemisahan membran dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Prinsip dasar pemisahan ~nembran(Krijgsman 1992). Menurut Hidayat (2007) membran merupakan penghalang atau pembatas selektif yang diletakltan diantara dua frasa. Proses membran adalah pemisahan pada tingkat ~noleltular atau partikel yang sangat halus. Molekul atau partikel yang dipindahkan melalui membran dari satu fasa Ice fasa yang lain, disebabkan oleh adanya : 1. Gradien telnperatu~
2. Gradien ltonsentrasi 3. Gradien tekanan dan 4. Gradien energi
Tujuan proses pe~nisahandengan membran berdasarkan fungsinya adalah:
I . Konsentrasi: dimana komponen yang diinginkan berada pada konsentrasi yang rendah seliingga pelarutnya yang altan dikeluarkan.
2. Purifikas~: dimana terdapat bahan pengotor yang tidak diinginkan dan harus dikeluarkan.
3. fraltsionasi: dimana suatu campuran harus dipisahkan menjadi dua komponen yang sama-sama diinginltan. Aliran umpan ~nasuk1te dalam membran, dengan adanya gaya dorong (driving
force) molekul atau partiltel dalam umpan dapat berpindah dari fasa I Ice fasa 2, kemudian molekul atau partilie1 yang dapat melewati membran dinamakan aliran
perrneat sedanglcan yang tertahan di permultaan membran dinamakan retentat (Metcalf dan Eddy 2003)
Dalam teknologi pemisahan dengan menggunakan membran ini mempunyai keunggulan dibandingkan dengan teknologi pemisahan lainnya, keuntungan yang dimilikinya antara lain:
1. Teknologi membran pemisahan berdasarkan ukuran molekular sehingga beroperasi pada temperatur rendah (temperatur ambient). Hal ini dapat menghindari kerusakan zat pelarut maupun partikel terlarut yang sensitif terhadap panas. 2. Pemakaian
energi yang relatif
rendah, karena biasanya pemisahan
menggunakan membran tidak melibatkan perubahan fasa. 3. Tidak menggunakan zat bantu kimia dan tidak ada tambahan produk buangan.
4. Bersifat modular artinya modul membran dapat di scale-up dengan memperbanyalc unitnya.
5. Dapat digabungkan dengan jenis operasi lainnya. Hidayat (2007) menyatakan bahwa struktur dan prinsip pemisahan membran dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu membran berpori (porous membrane), membran tidak berpori (non porous membrane) dan membran cair (carrier membrane). Dari ketiga jenis membran diatas dapat di jelaskan sebagai berikut:
1. Membran berpori Prinsip pemisahan membran berpori adalah didasarkan pada perbedaan ukuran partikel dengan ulturan pori membran, ukuran pori membran memegang peranan penting dalam pemisahan dengan menggunakan membran berpori, membran dengan jenis ini biasanya digunakan untuk: a. Mikrofiltrasi (melewatkan air, menahan mikroba) b. Ultrafiltrasi (melewatkan air, menahan garam mineral) Pemisahan berdasarkan atas ukuran partikel dari zat-zat yang akan dipisahkan. Hanya partikel dengan ukuran tertentu yang dapat melewati membran sedangltan sisanya akan tertahan. Berdasarkan klzsifikasi dari lUPAC, pori dapat dikelompokkan menjadi macropores (>50nm), mesopores (2-50nm), dan nticr~opores (<2nm). Porous menzbrane digunakan pada n7icrojltration dan ultrajltration.
2. Membran tidak berpori Pada membran tidak berpori ini prinsip pemisahannya didasarkan pada perbedaan kelarutan dan kemampuan berdifusi, sifat intrinsik polimer membran mempengaruhi tingkat selektifitas dan permeabilitas, membran dengan jenis ini digunakan untuk proses: gas, pervaporasi dan dialisa. Dapat digunakan untuk memisahltan molekul dengan ukuran yang sama, baik gas maupun cairan. Pada non-porous metnbrane, tidak terdapat pori seperti halnya porous membrane. Perpindahan molekul terjadi melalui mekanisme difusi.
Jadi, molekul terlarut di dalam membran, baru kemudian berdifusi melewati membran tersebut. 3. Membran cair Pada jenis membran ini prinsip pemisahannya tidak ditentukan oleh membran itu sendiri, tetapi oleh sifat molekul pembawa spesifik. Molekul pembawa (carrier) berada tetap di dalam membran dan dapat bergerak jika dilarutkan
dalam cairan. Ca~vierjuga harus menunjukkan afinitas yang sangat spesifik terhadap satu komponen pada umpan sehingga diperoleh selektifitas yang tinggi. Selain itu per-selectivity komponen sangat tergantung pada spesifikasi bahan pembawa tersebut. Komponen yang dapat dipisahkan dapat berupa gas atau cair, ionik dan non ionik. Pada carriers membrane, perpindahan terjadi dengan bantuan carrier molecule yang mentransportasikan komponen yang diinginkan untulc melewati membran. Carrier nzolecule memiliki afinitas yang spesifik terhadap salah satu komponen sehingga pemisahan dengan selektifitas yang tinggi dapat dicapai. Membran dibuat dari berbagai bahan dengan bermacam-macam teknik, namun secara umum dapat diklasifikasikan kedalam dua kategori yaitu: membran simetrik (honzogenous) dan membran asimetrik. Pada membran hornogenous, diameter pori keseluruhan konstan sepanjang lintasan membran. Sehingga seluruh membran bekerja sebagai penghalang selektif. Hal ini berbeda dengan membran asimetrik, dimana hanya lapisan tipis dibagian atas saja yang bertindak sebagai
penghalang selektif (Krijgsman 1992). Perbedaan antara membran simetrik (homogenous)dan membran asimetrik selegkapnya dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Perbandingan antara membran sinletrik dan asimetrik (Krijgsman 1992). Membran merupakan Lapisan tipis dari suatu material berpori yang dapat digunakan untuk proses pemisahan. Pori-pori yang kecil pada membran dapat berfungsi sebagai penghalang secara fisik, sehingga mampu meloloskan dan menghalangi senyawa atau molekul tertentu. Teknologi membran terus meningkat sebagai pemelihara dan pendaur ulang air limbah (Nicolaisen 2002). Proses membran telah menjadi suatu alat yang penting untuk memperbaiki kualitas air dan teknologi ini merupakan aplikasi penting didalam industri perikanan (Casani dan Knochel 2002). Teknologi membran memungkinkan pembersihan zat tersuspensi dan mikroorganisme yang ditemukan di air tanpa penambahan bahan-bahan kimia. Keuntungan lain teknologi ini adalah pembersih dan solusi proses yang ringkas, penghematan energi yang nyata terhadap rendahnya biaya operasi, bila dibandingltan dengan pemisahan lain atau proses-proses purifikasi serta penurunan masalah-rnasalah polusi dan terkadang biaya-biaya pembuangan. Karakteristik membran oleh Ahmad (2000) selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Karalcteristik membran Ahmad (2000).
Sumber : Ahmad (2000).
Wagner (2001) menyatakan bahwa penggunaan membran untuk pemisahan harus ditempatkan dalam suatu alat yang sesuai sehingga membentuk konfigurasi tertentu. Konfigurasi tersebut sering disebut modul membran. Konfigurasi membran dalam modul membran dirancang agar aliran menuju dan keluar dari membran mencapai keadaan yang optimum yaitu kehilangan tekanannya rendah, dapat mengurangi terjadinya polarisasi konsentrasi (konsentrasi zat terlarut pada permukaan membran menjadi lebih tinggi dari pada larutan) dan membrane fouling (proses terdekomposisinya suspensi atau zat terlarut pada permukaan membran, pori atau jaringan berpori membran) yang menyebabkan berkurangnya unjuk kerja membran. 2.4. Reverse Osmosis
Salah satu teknologi meinbran yang banyak digunakan saat ini yaitu reverse
ostnossis (RO). Proses ini merupakan kebalikan dari osmosis. Pada osmosis, pelarut berpindah dari daerah berkonsentrasi rendah (hipotonik) ke daerah berkonsentrasi tinggi (hipertonik) sehingga konsentrasi di kedua daerah menjadi berimbang. Proses ini terjadi secara alami sehingga tidak membutuhkan energi. Contoh osmosis yang terjadi di alain yaitu penyerapan air oleh akar tanaman. Berbeda dengan osmosis, RO terjadi dengan arah yang berlawanan yaitu dari konsentrasi tinggi ke konsentrasi rendah. Untuk melawan gradien konsentrasi, dibutuhkan energi eksternal berupa tekanan (Metcalf dan Eddy 2003).
Umumnya reverse osmosis digunakan untuk mendapatkan air bersih untuk berbagai kebutuhan terutama air minum (Ahmad 2000). Reverse osmosis mengurangi kandungan garam, karbonat, total hardness, sulfat, dan nitrat dari air umpan (Ahmad 2000). Zat-zat yang tidak terlarut dalam air juga dihilangkan seperti koloid dan bakteri (Bohdziewicz et al. 2003). Selanjutnya permeat dapat dicampur lagi dengan air umpan. Proses ini merupakan proses yang murah untuk memproduksi air minum dengan kandungan garam yang rendah (Nicolaisen 2003. Di sektor industri juga terdapat banyak kemungkinan penggunaan reverse osmosis, seperti pengolahan air untuk umpan air ketel dan air pendingin, untuk rnendapatkan air murni yang dipakai dalam pembuatan suatu komponen, atau produksi air desalinasi untuk i~idustrifarmasi (Hidayat 2007). Reverse osmosis juga diterapkan untuk pembersihan air setelah dipakai dalam industri, misalnya untuk menghilangkan logam-logam berat (Durham dan Walton 1999). Banyak masalah recovery untuk mendapatkan bahan yang berharga dalam efluennya menggunakan reverse osmosis, dimana larutan dipekatkan kemudian bahan kimia yang berharga dapat diambil dan diumpankan kembali ke sistem (Durham dan Walton 1999). 2.5. Air Pencuci
Industri pengolahan hasil perikanan digolongkan sebagai industri yang memiliki tingkat konsumsi air yang tinggi. Konsumsi air pada industri perikanan mencapai 0,4-I 1 literlkg produk (Vandanjon et al. 2002). Proses pencucian bahan pangan atau kemasan, dimana air pencuci tersebut tidak akan menjadi bagian dari produk akhir, mengg~~naltanair pengolahan. Air pencuci adalah air yang dipergunakan untulc keperluan sanitasi. Air pencuci memiliki kualitas air minum dan air pengolahan. Air pencuci memiliki syarat antara lain memiliki pH sebesar 6-9, zat terlarut sebesar 50 mgll, residu tersuspensi sebesar 400 mgll, BOD sebesar 6 mg/l dan COD sebesar 50 mgll (Peraturan Pemerintah RI No. 82 2001; Peraturan Pemerintah
RI No. 20 1990). Air yang dipakai untuk kegiatan unit pencucian secara kontinyu diperiksa ke laboratorium yang telah dialtreditasi ole11 peme~intah dan hendaknya memenuhi
persyaratan air minum (Peraturan Pemerintah RI No. 82 2001 dan Casani et al. 2006). Air yang digunakan untuk kegiatan pencucian termasuk kedalam golongan A yaitu air yang dapat dipergunaltan sebagai air minum secara langsung tanpa pengolahan terlebih dahulu. Persyaratan air minum selenglcapnya dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel'5. Persyaratan air minum.
C
Mikrobiologi 100 0 Fecal coliform Jm11100 ml 1.000 Jm11100 ml 0-10 Total Coliform Sumber : * Hindarko (2003); Effendi (2003), ** Peraturan Pemerintah R I No. 82 2001.
2.6. Air Daur Ulang Casani dan Knochel (2002) menjabarkan berbagai macam definisi higienis pemrosesan air yang digunakan kembali dalam industri makanan, dan tabel ini di fokuskan pada bahaya mikrobiologis atau risiko-risiko yang berkaitan dengan penggunaan air yang digunakan kembali didalam industri makanan. Definisi
selengkapnya mengenai pengeltian reuse, recycled, reconditioned selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Definisi (Casani dan Knochel2002). I
Reuse (digunakan kembali)
Reconditionig (direkondisi) Recycled water (air yang didaur ulang)
1 Reclaimed water (air
digunakan kembali)
Pemulihan air dari suatu tahapan pemrosesan, termasuk dari komponen makanan itu sendiri, perawatan rekondisinya, jika dapat dipakai dan seterusnya digunakan dalam operasional pemrosesan atau manufakturing makanan. Perawatan air yang dapat digunakan kembali untuk mereduksi atau mengeliminasi kontaminan mikrobiologi, fisika dan kimia berdasarkan kegunaan yang diharapkan. Air, selain yang digunakan pertama kali atau air yang telah dimanfaatkan, yang dihasilkan dari kegiatan manufakturing makanan dan telah direkondisi ketika diperlukan seperti kemungkinan digunakan kembali dalam suatu kegiatan manufakturing selanjutnya. Air yang merupalcan unsur pokok suatu makanan atau bahan pangan, yang telah dipindahkan dari makanan melalui suatu tahapan proses dan selanjutnya direkondisi ketika diperlukan seperti kemunnkinannva digunakan kembali dalam suatu kegiatan manufakturing selan,jutnya. Air yang didaur ulang atau air yang telah dimanfaatkan sebelumnya.
-
I
operation (operasional pemrosesan makanan) I
I
I
Sumber: Casani dan Knochel (2002).
The Water Reuse Association menggabungkan seluruh kata di dalam pernyataan
tersebut diatas yang terdiri atas; Rfater reuse, recycling, reclamation, dan desalination menjadi relcondisi dan perawatan air non-tradisional yang bertujuan agar
lebih memberi nilai tambah dengan cara penggunaan kembali air tersebut (Miller 2006).
Seiring meningkatnya penggunaan air didalam industri pengolahall makanan khususnya industri pengolahan hasil perikanan dan menghasilkan limbah yang besar pula (Vandanjon et al. 2002), pelaku industri pengolahan makanan saat ini sedang mengikuti dua strategi dalam rangka menyelamatkan air, yaitu dengan pengembangan unit pengolahan yang menggunakan lebih sedikit air, sebagai contoh industri susu biasanya mengkonsumsi air sebanyak 12.000 m3/hari tetapi saat ini hanya mengkonsumsi air sebanyak 800- 3.400 m3/hari dengan kisaran sekitar 1.700 m3/hari (Vourch et al. 2008), pada industri perikanan, penggunaan kembali air dari proses pendinginan "cooked crustacean untuk pencucian dapat mereduksi konsumsi air dari 712,6 m3/hari menjadi 568,6 m3/hari (River 1998 et al. dalam Bustami 2004) atau menggunakan air yang didaur ulang (water reuse) (Casani dan Knochel 2002). Karena dimasa depan, sumber daya air akan berkurang karena tidak saja akibat pertumbuhan penduduk yang semakin meningkat dan juga dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi dunia (Kirby et al. 2003), serta meningkatnya kesadaran masarakat untuk melindungi sumber daya air dan meningkatnya kepedulian lingkungan (de Koning et 01. 2008). Menurut Casani et 01. (2005) dan Casani et al. (2006), reclaimed, reuse dan recycling water dapat digunakan untuk irigasi, rekreasi, produksi air minum dan dapat digunakan sebagai suplai air pendingin, air proses
thawing dan air pencuci. 2.7. Parameter Fisika - Kimia
Parameter fisika-kimia meliputi Biochemical oxygen denzand (BOD),
Cheinical oxygen demand (COD), Total suspended soils (TSS), kekeruhan, derajat keasaman (pH), Total Dissolved Solid (TDS), salinitas, dan warna.
Biochenzical Oxygen Dentand (BOD)
BODj menunjukkan derajat kontaminasi dengan cara mengukur jumlah oksigen untuk mengoltsidasi bahan organik melalui metabolisme mikroba aerob. Dalam limbah cair industri hasil perikanan, kebutuhan oksigen ini terutama bersumber dari dua hal, yaitu senyawa karbon yang digunakan sebagai substrat bagi pertumbuhan
mikroorganisme aerob dan senyawa bernitrogen yang secara normal telah terdapat dalam limbah cair industri hasil perikanan (Gonzalez 1996) Menurut Fardiaz (1 992) nilai BOD5 menunjukkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh mikroorganisme aerob untuk memecah atau mengoksidasi bahanbahan buangan di dalam air. Nilai BODs tidak menunjukkan jumlah bahan organik yang sebenamya, tetapi hanya mengukur secara relatif jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan-bahan buangan yang membutuhkan oksigen relatif tinggi. Konsumsi oksigen dapat diketahui dengan mengoksidasi air pada suhu 20°C selarna 5 hari (BOD5) dan nilai BODs yang menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi dapat diketahui dengan menghitung selisih konsentrasi oksigen terlarut sebelum dan sesudah diinkubasi. Pengukuran selama 5 hari pada suhu 20°C ini hanya menghitung sebanyak 68% bahan organik yang teroksidasi, tetapi suhu dan waktu yang digunakan tersebut merupakan standar uji. karena untuk mengoksidasi bahan organik seluruhnya diperlukan waktu yang lebih lama yaitu mungkin sampai 20 hari, sehingga dianggap tidak efisien (Fardiaz 1992). Chemical Oxygen Demartd (COD)
Air limbah yang memiliki kandungan bahan organik tinggi umumnya akan memiliki nilai COD yang besar. Effendi (2003) menyatakan bahwa COD rnerupakan banyaknya oksigen (mgll) yang dibutuhkan dalam kondisi khusus untuk mengoksidasi zat-zat organilc secara kimiawi, menghasilkan COz dan HzO. Nilai COD meningkat sejalan dengan meningkatnya kandungan bahan organik di perairan. Uji COD dapat mengoksidasi beberapa komponen yang tidak dapat dioksidasi oleh mikroorganisme secara biologis. Hal inilah yang menyebabkan nilai COD selalu lebih besar dibandingkan nilai BOD5 (Hindarko, 2003). Total Suspeitded Soils (TSS)
TSS adalah padatan yang rnenyebabkan kekeruhan air, tidak terlarut dan mengendap langsung. Padatan tersuspensi terdiri dari partikel-partikel yang
ukuran maupun beratnya lebih kecil dari sedimen, misalnya tanah liat, bahan-bahan organik tertentu, sel-sel mikroorganisme tertentu dan sebagainya. Sebagai contoh, air permukaan mengandung tanah liat dalam bentuk suspensi yang dapat tahan sampai berbulan-bulan, kecuali jika terganggu oleh zat-zat lain sehingga mengakibatkan terjadinya
penggumpalan,
kemudian
diikuti
dengan
pengendapan.
Selain
mengandung padatan tersuspensi, air limbah juga sering mengandung bahan-bahan yang bersifat koloid, misalnya protein (Effendi 2003). Kekeruhan Kekeruhan pada air limbah disebabkan oleh adanya bahan tersuspensi seperti bahan organik, mikroorganisme, dan partikel-partikel cemaran lain (Jenie dan Rahayu, 1993). Kekeruhan merupakan ukuran yang menggunakan efek cahaya sebagai dasar untuk mengukur keadaan air (Hindarko, 2003). Menurut Metcalf and Eddy (2003), pengukuran kekeruhan merupakan salah satu tes yang digunakan untuk mengindikasikan kualitas air limbah berdasarkan jumlah koloid dan bahan tersuspensi. Derajat keasaman (pH) Nilai pH mempengaruhi toksisitas suatu senyawa kimia.
Pada perairan
dengan pI< rendah, banyak ditemultan senyawa amonium yang dapat terionisasi. Pada suasana alkalis (pH tinggi) lebih banyak ditemulcan amonia yang tidak terionisasi dan bersifat toltsik (Effendi 2003). Nilai pH air yang normal adalah sekitar netral yaitu antara 6-8, sedangkan pH air yang tercemar misalnya air buangan berbeda-beda tergantung dari dari jenis buangannya. Sebagai contoh buangan dari pabrik pengalengan mempunyai pH 6,2-7,2; air buangan pabrilt bir mempunyai pH 53-7,4 sedangkan air buangan pabrik pulp dan kertas biasanya mempunyai pH sekitar antara 7,6-9,5. Pada industri-industri makanan, peningkatan keasaman air buangan umumnya disebabkan oleh kandungan asam-asam organik (Fardiaz 1992).
Jenie dan Rahayu (1993) menyatakan bahwa proses penanganan biologis dapat bekerja dengan baik pada pH di luar kisaran 6,s hingga 8,5 dan sifat asam ataupun alkali harus mengalami perlakuan pendahuluan terlebih dahulu misalnya dengan netralisasi ataupun dengan pengenceran. Air limbah dengan konsentrasi limbah yang tidak netral altan menyulitkan proses biologis, sehingga mengganggu proses penjernihannya (Sugiharto 1987). Total Dissolved Solid (TDS)
TDS adalah bahan-bahan terlarut (diameter < 10-~-10"mm) berupa senyawasenyawa kimia dan bahan-bahan lainnya yang tidak tersaring pada kertas saring berdiameter 0,4S pm. Penyebab TDS biasanya bahan-bahan anorganik berupa ionion umum yang dijumpai di perairan (Effendi 2003). Umumnya TDS pada air tawar berkisar antara 0-1.000 mgll. Nilai TDS sangat dipengaruhi oleh pelapukan batuan, limpasan dari tanah, dan pengaruh antropogenik (berupa limbah industri dan domestik). Salinitas
Salinitas merupakan tingltat keasinan atau perbandingan jumlah garam yang terdapat dalam satu liter air. Salinitas penting diukur pada perairan laut dan limbah industri. Menurut Effendi (2003), salinitas menggambarkan padatan total di dalam air setelah semua karbonat dikonversi menjadi oksida. Salinitas dinyatakan dalam satuan gramlkg atau promil
(%o).
Warna
Warna sesungguhnya adalah warna yang disebabkan oleh bahan-bahan terlarut dan bahan-bahan tersuspensi yang biasanya menyebabkan nilai kekeruhan tinggi, telah dipisahkan pada penentuan warna sesungguhnya ini. Warna tampak adalah warna yang tidalc hanya disebabkan oleh bahan ter!arut tetapi juga oleh bahan tersuspensi dan intensitas warna cenderung meningkat dengan meningkatnya pH (Effendi 2003).
Air limbah yang masih "segar" biasanya berwama coklat-abu-abu. Tetapi sejalan dengan berlangsungnya suasana "anaerobik", maka wamanya menjadi lebih gelap, dan terakir air limbah disebut "septik" dengan warna hitam legam. Acap kali air limbah industri membawa warna bermacam-macam. Bisa jadi, warna tersebut terjadi oleh reaksi antara sulfida yang dibentuk pada kondisi anaerobik dengan logam yang ada didalam air limbah tersebut (Hindarko 2003).
3. METODOLOGI 3.1. Waktu dan Lokasi Penelitian. Penelitian dilalcsanakan pada bulan Januari sampai Maret 2008, di Laboratorium Pengolahan Hasil Perikanan, Laboratorium Mikrobiologi Hasif Perikanan, Departemen Teknologi Hasil Perikanan dan Laboratorium Produktifitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. 3.2. Bahan dan Alat.
Bahan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah air sisa perebusan rajungan. Air sisa perebusan tersebut didapat dari penampungan sisa proses perebusan industri pengolahan rajungan yang berasal dari wilayah Losari, Brebes Jawa Barat. Setelah penampungan selesai, air sisa perebusan dibawa menggunakan plastik dan dimasukkan ke dalam cool box yang telah diberi es. Bahan-bahan yang digunakan analisis kualitas air antara lain nitrogen (N) dan Fosfor (P), K~Ci-2070.025
N, larutan H2S04 pekat, dan larutan Ferrous Amonium Sulfat (FAS), air suling, akuades, bufer fosfaf 5 ml. Sedangkan bahan-bahan yang digunakan pada analisis mikrobiologi antara lain larutan garam fisiologis, bacto agar, dan air aquades. Alat-alat yang digunakan untuk prefiltrasi, antara lain membran ceramic water filter element 0:3 mikron, diaphragm pump 80 psi, deng yuan tranformer
60 hz, dan wadah penampung. Sedangkan peralatan utama yang digunakan pada penelitian ini adalah satu unit membran reverse osmosis. Membran reverse osmosis modul spiral wound 0,3 mikron dapat dilihat pada Lampiran 2. Alat-alat yang digunakan pada analisis kualitas air adalah DO meter, botol gelap dan botol terang, inkubator, erlenmeyer 125 ml, kertas saring, oven, desikator; neraca analitik, pompa vakum, pH meter, TDS meter, dan tabung reaksi. Sedangkan alat-alat yang digunakan pada analisis mikrobiologi adalah cawan petri, pipet steril, tabung reaksi, kapas steril, mortar, pernanas bunsen, alkohol, dan erlenmeyer.
3.3. Prosedur Icerja. Penelitian ini dilaksanakan dalam 4 tahap yang meliputi tahap karakterisasi air sisa perebusan rajungan, karakterisasi hasil prejltrasi, karakterisasi hasil filtrasi membran reverse osmosis dan karakterisasi air hasil treatment filtrasi reverse osmosis sebagai bahan pencuci ikan dibandingkan dengan air bersih untuk minum (merk aqua) sebagai pembanding. Diagram alir tahap penelitian ditunjukkan oleh Gambar 5. Air sisa perebusan rajungan
1 Karakterisasi air sisa perebusan rajungan
LJ prejltrasi
I
--, retentat
Karakterisasi hasilprejltrasi
I
Reverse Osmosis
retentat
I Karakterisasi hasil filtrasi Reverse Osmosis I reverse ostnosis sebagai air untuk pencuci ikan
Gambar 5. Diagram alir tahapan penelitian 3.3.1 Karakterisasi air sisa perebusan rajungan.
Parameter uji yang digunakan dalam menganalisis karakteristik air sisa perebusan rajungan meliputi kekeruhan, pH, TDS, salinitas, BODS, COD, TSS, uji TPC air serta warna. Setelah di analisis karakteristiknya, limbah cair rajungan selanjutnya dilakukan prosesprejltrasi.
3.3.2 - Prefiltrasi. Prefiltrasi dilaltultan untuk meningkatkan kerja membran dan memisahkan padatan-padatan yang terbawa oleh umpan agar dapat memperbaiki kualitas produk sebelum dilakukan penyaringan menggunakan membran reverse osmosis. Prinsipnya adalah mengalirkan atau melewatkan bahan (raw material) tegak lurus melalui modui membran (dead end). Air sisa perebusan rajungan dimasukkan ke dalam tangki umpan, kemudian dialirkan melalui membran ceramic waterfilter element 0,3 mikron (mikrofiltrasi) dengan tekanan 80 psi. Setelah itu, air hasil prefltrasi ditampung didalam wadah penampungan sebagai hasil penyaringan. Kemudian, air hasil prejltrasi ini dianalisis karakteristiknya, meliputi meliputi kekeruhan, pH, TDS, salinitas, BOD5, COD, TSS, uji TPC air serta warna. Diagram alir prosesprefiltrasi selengkapnya ditunjukltan oleh Gambar 6.
Keteranean : 1. Tangki umpan. 2. Pompa
3. Membran 4. Wadah penampungan
Gambar 6. Diagram alir proses membran 3.3.2 Filtrasi menggunakan membran reverse osntosis.
Setelah proses prejltrasi kemudian dilakukan proses penyaringan dengan menggunakan membran reverse osmosis. Tahapan kegiatan yang dilakukan meliputi pemasukan sejumlah air sisa perebusan yang telah di prejltrasi (250400 ml) ke dalam tangki umpan lalu dihomogenkan dengan menggunakan pengaduk, kemudian dipanaskan hingga mencapai suhu 35
.t
I0C dengan tekanan sebesar 80 psi. Untuk
inemanaskan dan mempertahankan suhu umpan, pada tangki umpan dilengkapi dengan pemanas listnk. Untuk mengalirkan air sisa perebusan menuju melnbran digunakan diaphragn pump. Setelah melewati membran,permeat ditampung didalan wadah penampungan sebagai hasil penyaringan. Setiap proses membran selesai dilakukan, membran dicuci dengan cara meresirkulasikan larutan pembersilt yang mengandung NaOH 1% sehingga pH larutan menjadi 8-9. Rangkaian membran reverse osmnosis yang digunakan ditunjukkan oleh Gambar 7.
Gambar 7. Gambar membran filtrasi reverse osmosis. Air sisa perebusan rajungan tersebut selanjutnya dianalisis karakteristiknya yang meliputi meliputi kekeruban, pH, TDS, salinitas, BODS, COD, TSS, uji TPC air serta
warna. Diagram alir proses penyaringan air sisa perebusan rajungan
menggunakan membran reverse osmoszs selengkapnya ditunjukkan oleh Gainbar 8.
., . .. <
Keterangan : 1. Tangki umpan. 2. Pemanas. 3. Pengaduk 4. Termometer. 5. Valve / katup.
6. 7. 8. 9. 10.
b 10
Pompa. Flow meter Pressure gauge. Membran resen~eosmosis Wadah permeat
Gambar 8. Diagram alir proses membran filtrasi reverse osmosis. 3.3.4 Penggunaan air d a u r ulang dari air sisa perebusan rajungan sebagai air untuk pencucian ikan. Tahap selanjutnya adalah karakteristik air hasil treatment filtrasi sebagai bahan pencuci ikan dilakukan dengan cara membandingkan air hasil filtrasi membran
reverse osmosis dengan baku mutu air pencuci standar WHO (Hindarko 2003 dan Effendi 2003). Selain itu, dilakukan pula uji mikrobiologi ikan terhadap air guna ulang dengan cara membandingkan nilai mikrobiologi pada permukaan tubuh ikan dengan menggunakan air bersih untuk minum (merk aqua) dengan air hasil treatment menggunakan reverse osmosis. 3.4 Prosedur Analisis. 3.4.1 Anaiisis Biofogicnl Oxygen Demand (BOD) (APHA 1989) Analisis BOD dilakukan dengan menggunakan alat DO meter untuk menghitung nilai
0 2
yang terlarut (Dissolved Ohigen) pada limbah cair perikanan.
Contoh air limbah cair perikanan yang akan diukur DO-nya (oksigen terlarut) terlebih dahulu diencerltan 100 sampai 1000 ltali tergantung kepekatan limbahnya. Air limbah
cair perikanan yang belum diencerkan diaerasi selama kira-kira 15 menit, setelah itu ditambahkan nitrogen (N) dan Fosfor (P), kemudian air sample dipindahkan ke dalam botol gelap dan botol terang. Pemindahan air sample kedalam botol gelap harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak terbentuk gelembung udara. Air dalam botol terang segera dianalisa kadar
0 2
terlarutnya (DO) sedangkan botol gelap diinkubasi
pada suhu 2 0 ' ~ selama 5 hari, kadar O2 pada botol gelap diukur. Pereaksi yang digunakan terdiri dari K2Cr2070.025 N, larutan HzS04 pekat, dan larutan Ferrous Amonium Sulfat (FAS). BOD5 (ppm) = (DO1 - D05) X faktor pengenceran 3.4.2 Analisis Chemical Oxygen Demand (COD) (APHA 1989)
Masukkan 5 ml pengoksidasi K2Cr207 ke dalam erlenmeyer 125 ml kemudian dikocok. Setelah itu tambahkan dengan hati-hati 15 ml asam sulfat pekat (gunakan ruang asam) kemudian diaduk. Erlenmeyer ditutup dengan penutup dan biarkan sekitar 30 menit. Campuran dalam erlenmeyer diencerkan dengan menambahkan 7,5 ml air suling. Kemudian di tambahkan 2-9 tetes indikator ferroin dan dititrasi dengan FAS sehingga terjadi perubahan warna dari kuning orange atau biru kehijauan menjadi merah kecoklatan. Prosedur ini juga dilakukan terhadap larutan blanko dengan menggunakan I0 ml akuades. COD (ppm) = (B-S) x N X 8000 X pengenceran Iml contoh Dimana : B = Volume FAS yang digunakan dalam larutan blanko (ml) S = Volume FAS yang digunakan dalam larutan sample (ml)
N
= Normalitas
FAS
Untuk mendapatkan nilai hasil cara penentuan standar, nilai cara dari perhitungan di atas disustitusiltan dalam persamaan regresi (Boyd 1970) : Y=a+bX Dimana : Y
=
X=
nilai COD dugaan bila menggunakan metode standar dan merupakan nilai yang dicari nilai COD yang didapat di penentuan di atas.
3.4.3 Analisis Total Suspended Solids (TSS) (APHA 1989)
Kertas saring kosong ditimbang kemudian ditaruh kedalam oven dan dibilas dengan akuades sampai bersih dari partikel-partikel halus. Kemudian kertas saring dimasukkan kedalam oven pada suhu 103-105
OC
selama satu jam, setelah itu
didinginkan dalam desikator selama 10 menit dan ditimbang dengan menggunakan neraca analitik hingga diperoleh berat tetap. Sebelum sampel limbah cair dibersihkan dari partikel-partikel yang besar, partikel-partikel yang mengapung dan zat-zat yang menggumpal yang tidak tercampur dalam air. Pertama-tama ambil contoh air dengan kadar residu tersuspensi antara 75 mg sampai 200 mg dan kocok hingga merata, selanjutnya kertas saring diletakkan ke dalam pompa vakum dan contoh air disaring dengan kertas saring yang telah diketahui beratnya. Setelah contoh tersaring seluruhnya, kertas saring dikeringkan pada suhu 103-105
OC
selama satu jam dan didinginkan di dalam
desikator kemudian ditimbang dengan neraca analitik sampai diperoleh berat althir. Nilai Total padatan tersuspensi dapat dihitung dengan rumus sebagai berilcut : Mgll residu tersuspensi = (A-B)x1000 ml contoh keterangan : A = berat akhir kertas saring B = berat mula-mula
3.4.4 Analisis keket.uhan. Analisis kekeruhan dilakukan di Laboratorium Produktifitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Kekeruhan diukur dengan menggunakan alat turbidimeter (HACH 2100 A), kekeruhan yang diukur adalah air sisa perebusan rajungan, permeat hasil filtrasi menggunakan membran mikrofiltrasi @reJiltrasi), dan permeat hasil filtrasi menggunakan membran reverse osmosis.
3.4.5 Analisis pH.
Analisis
pH
dilakukan
di
Laboratorium
Produktifitas
Lingkungan,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, lnstitut Pertanian Bogor. pH diukur dengan menggunakan alat pH meter (SCHOTT-C 825), pH yang diukur adalah air sisa perebusan rajungan, permeat hasil filtrasi menggunakan membran mikrofiltrasi (prejltrasi), dan permeat hasil filtrasi menggunakan membran reverse osmosis. 3.4.6 Analisis TDS (Total Dissolved Solids).
Analisis
TDS
dilakukan
di
Laboratorium
Produktifitas
Lingkungan,
Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. TDS diukur dengan menggunakan alat TDS meter (HACH), TDS yang diukur adalah air sisa perebusan rajungan, permeat hasil filtrasi menggunaltan membran mikrofiltrasi (prejltrasi), dan permeat hasil filtrasi menggunakan membran reverse osmosis. 3.4.7 Analisis Salinitas.
Analisis salinitas dilakukan di Laboratorium Produktifitas Lingkungan, Departemen Manajemen Sumberdaya Perikanan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pel-tanian Bogor. salinitas diukur dengan menggunakan alat refraktometer, salinitas yang diukur adalah air sisa perebusan rajungan, permeat hasil filtrasi menggunakan membran mikrofiltrasi (prejltrasi), dan permeat hasil filtrasi menggunakan membran reverse osmosis. 3.4.8 Analisis TPC air.
Uji mikrobiologi air menggunakan analisis miltrobiologi dengan metode TPC (Total Plate Count) untuk menentukan total jumlah koloni mikroba yang terkandung didalam air guna ulang hasil proses filtrasi dengan menggunakan membran reserve oslnosis sehingga dapat diketahui apakah air tersebut berpengaruh secara mikrobiologi sebelum digunakan sebagai air pembersih, air pencuci atau air pembilas.
Air merupakan bahan yang dapat berpengaruh pada bahan, karena digunakan dalam proses pencucian. Oleh karena itu, untuk mengetahui pengaruhnya terhadap produk akhir maka dilakukan uji kandungan mikrobanya. Prosedur yang dilakukan adalah sebagai berikut : 1).
Persiapan sampel : sebanyak 25 ml sampel air dimasukkan ke dalam 225 ml pengencer garam fisiologis. Kemudian dilakukan pengenceran dengan cara diambil 1 ml larutan contoh lalu dimasukkan ke dalam tabung reaksi yang sudab berisi garam fisiologis sebanyak 9 ml, ini merupakan pengenceran lo-'. Kemudian dilakukan pengenceran sampai dengan pengenceran 10.~.
2).
Total mikroba : sebanyak 1 ml sampel, dipipet secara aseptik ke dalam cawan petri secara duplo. Selanjutnya ke dalam cawan petri tersebut ditambahkan 1015 ml medium agar. Setelah medium agar tersebut membeku kemudian
diinkubasi dengan posisi cawan petri terbalik pada suhu 35'C selama 48 jam. Untuk jumlah milcroba yang dianalisis tersebut diatas secara kuantitatif, maka koloni yang tumbuh berdasarkan standarplate count. 3.4.9 Prosedur uji oles (swab).
Mula-mula swab dimasukkan ke dalam larutan pengencer dan diperas dengan cara menekan pada dinding tabung bagian atas sambil diputar-putar.
Kemudian
permukaan ikan yang akan diuji diusap dengan swab pada luasan sekitar 10x15 cm2. Swab dimasuklcan ke dalam tabung, diaduk dan diputar-putar selama 2 menit, diperas kembali dengan cara yang sama. Pengusapan dilakukan selama beberapa kali sekitar 2 sampai 3 kali. Alat yang dipersiapkan yaitu lidi yang ujungnya diberi kapas steril sebagai alat oles dan bahan yaitu larutan garam fisiologis atau buffer fosfat 5 ml.
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Karakteristik air sisa perebusan rajungan. Karakterisasi air sisa perebusan merupakan ha1 yang sangat penting diketahui di dalam tahap awal proses pengolahan limbah cair. Air sisa perebusan yang digunakan pada penelitian ini adalah air sisa perebusan rajungan. Berdasarkan hasil analisis terhadap karakteristik air sisa perebusan rajungan terlihat bahwa air sisa perebusan rajungan berwarna kuning kecoklatan, nilai COD berkisar antara 46.000h2.83 mg/l, nilai BODS yang diperoleh berkisar antara 7.092i43 mgll, nilai TDS berkisar antara 5.21010 mg/l, salinitas berkisar antara 32*1
9/00,
nilai TSS
berkisar antara 2.000iz0 mgll, nilai kekeruhan berkisar antara 7710 NTU (Nephelometric Turbidity Unit), pH sebesar 910, dan nilai TPC air sekitar 3,04 x lo4 koloni/gram atau 60.800 (sel/cm2). Karakteristik fisika, kimia dan mikrobiologi air sisa perebusan rajungan selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Karakteristik Air Sisa Perebusan Rajungan
I
Parameter Wama COD (mgll) BODS(mgll) TDS (mgll) Salinitas (%o) TSS (mgll) Kekeruhan (NTU) pH 4ir (sel/cm2)
I
Raw material
I
D [ L ~ . l V l - U L ~
Kuning Kecoklatan 46.00012.83 7.092143 5.210*0 32k1 2.000izO 77*0 9*0 60.800
Law ~naustri*)
100 - 300 .;n-150 .
200 - 400
-
6-9
-
*) Kep-5 1 I MENLW1011995 Mengenai Baku Mutu Limbah Cair Industri.
Berdasarkan Tabel 7, terlihat bahwa nilai karakteristik air sisa perebusan rajungan melebihi batas dari nilai karakteristik baku mutu limbah cair industri. Air sisa perebusan rajungan secara visual memiliki walna kuning kecoklatan. Warna tampak adalah warna yang tidak hanya disebabkan oleh bahan terlarut tetapi juga oleh bahan tersuspensi (Effendi 2003).
Nilai COD yang diperoleh dari air sisa perebusan rajungan sebesar 46.000*2.828 mgll. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai COD limbah cair rajungan yang dilaporkan oleh Islam et al. (2004) yaitu sebesar 6.300 mgll, dan nilai COD air perebusan rajungan yaitu sebesar 29.000 mgll (Driscoll 1990). Namun nilai ini masih dibawah standar baku mutu limbah cair industri yang dikeluarkan oleh Kep-5 1/MENLW10/1995 dimana nilai COD sebesar 100-300 mgll. Tingginya nilai COD pada air cair sisa perebusan rajungan diduga disebabkan oleh kandungan bahan organik daging rajungan yang terlarut/tersuspensi selama proses perebusan. Menurut Green et al. (1991), bahan organik yang terdegradasi selama proses perebusan sekitar 35 % dari total bahan organik yang hilang selama proses pengolahan rajungan. Bahan organik ini terdiri atas 28-35% protein, 29-50% abu dan sisanya merupakan karbohidrat, serpihan-serpihan daging dan komponen-komponen lainnya. Nilai BOD5 yang tinggi menunjukkan suatu air tidak baik kualitasnya. Berdasarkan Tabel 7. terlihat bahwa nilai BOD5 yang diperoleh dari air sisa perebusan rajungan sebesar 7.092*43 mgll. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai BOD5 limbah cair rajungan yang dilaporkan oleh Islam et al. (2004) yaitu sebesar 4.400 mgll, dan Driscoll (1990) menyatakan nilai BOD5 air
perebusan rajungan adalah sebesar 4.100 mgll. Namun -nilai ini masih dibawah standar
baku
mutu
limbah
cair
industri yang
dikeluarkan
oleh
Kep-
5l/MENLH/10/1995 dimana nilai BOD5 sebesar 50-150 mgll. Semakin besar angka BOD5 menunjukkan bahwa derajat pengotoran air limbah adalah semakin besar (Sugiharto 1987). Pengotor yang berperan dalam menyumbang besarnya nilai BOD diperkirakan adalah bahan-bahan organik yaitu protein. Hal ini sesuai dengan yang didilaporkan oleh Islam et al. (2004) yang melaporkan bahwa industri pengolahan hasil perikanan rnemprodultsi berbagai macam bahan organik yang terdiri atas partilcel-partiltel
kecil daging, protein-protein
terlarut dan karbohidrat yang
dihasilltan oleh 27.000 llton limbah. Green et al. (1991), melaporkan bahwa bahan organik yang terdegradasi selama proses perebusan sekitar 35 % dari total bahan organik yang hilang selaina proses pengolahan rajungan.
Nilai TDS yang diperoleh dari air sisa perebusan rajungan sebesar 5.21&0 mgll. Nilai tersebut lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai TDS air perebusan rajungan yaitu sebesar 29.000 mgll (Driscoll 1990). Namun nilai ini masih dibawah standar
baku
mutu
limbah
cair
industri
yang
dikeluarkan
oleh
Kep-
51/MENLH/10/1995 dimana nilai TDS sebesar 2.0004.000 mgll. Penyebab tingginya nilai TDS pada limbah cair industri pengolahan rajungan biasanya berupa bahan-bahan anorganik berupa ion-ion yang dijumpai di perairan. Green ei a: j1991j dan Benning (2000), melaporkan bahwa ion-ion umum yang dijumpai pada limbah cair industri pengolahan rajungan berupa garam-garam mineral seperti klorida, sodium, magnesium dan sekitar 40-50% kalsium karbonat. Hasil pengujian salinitas terhadap raw material sebesar 32+1%0. Menurut Effendi (2003), nilai salinitas yang berkisar diantara
30-40%0tergolong asin. Hal
ini diduga disebablcan pada proses perebusan rajungan digunakan air garam dengan konsentrasi 3-4 %. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Benning (2000) dimana kandungan garam khususnya klorida yang digunakan pada (brine solution tank) rajungan berkisar antara 100.000 hingga 200.000 mgll. Nilai TSS yang diperoleh dari air sisa perebusan rajungan sebesar 2.00&0 mgll. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai TSS limbah cair rajungan yang dilaporlcan oleh Islam et al. (2004) yaitu sebesar 620 mgll, dan nilai TSS air perebusan rajungan yaitu sebesar 95 mgll (Driscoll 1990). Namun nilai ini masih dibawah standar baku mutu limbah cair industri yang dikeluarkan oleh Kep51/MENLH/1011995 dimana nilai TSS sebesar 200400 mgll. Nilai TSS limbah cair sisa perebusan rajungan sangat dipengaruhi oleh kandungan bahan-bahan organik dan anorganilc yang terdegradasi selama proses perebusan. Flick et al. (1994) dan Benning (2000) melaporkan bahwa proses perebusan rajungan yang dilakukan oleh unit pengolahan rajungan umumnya 36 jam setelah rajungan direfrigrasi kemudian direbus selama 7-12 jam dengan suhu 1 2 1 ' ~ sehingga kandungan bahan-bahan organik dan anorganilc yang terdegradasi selama proses perebusan larut atau menjadi koloid.
Nilai kekeruhan yang diperoleh dari air sisa perebusan rajungan sebesar 77+0
NTU. Bahan-bahan tersuspensi dan koloid dalam air sisa perebusan rajungan seperti halnya limbah cair perikanan lainnya sangat sulit mengendap karena ukurannya yang sangat kecil (1-100 nm) dan mempunyai muatan yang sama (sejenis) yaitu bennuatan negatif. Partikel koloid inilah yang mengakibatkan kekeruhan pada limbah cair perikanan. Tingginya nilai kekeruhan ini diduga disebabkan oleh adanya bahan-bahan tersuspensi dan koloid selama pemrosesan. Menurut Benning (2000), tingginya niiai kekeruhan disebabkan karena setiap pemrosesan menggunakan 4-5 kali ulangan berebusan) hingga partikel-partikel tersuspensi dan koloid yang terkandung terakumulasi. Partikel-partikel tersuspensi dan koloid tersebut terdiri atas protein, kalsium karbonat, garam dan lemak serta serpihan daging dan cangkang. Selain itu, Green et al. (1991) melaporkan bahwa tingginya nilai kekeruhan pada air limbah rajungan disebabkan oleh adanya serpihan-serpihan karapas, eksoskeleton, serpihanserpihan daging, dan lcomponen lainnya yang tersuspensi selama pemrosesan. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), pengukuran kekeruhan merupakan salah satu tes yang digunakan untulc mengindikasiltan kualitas air limbah berdasarkan jumlah koloid dan bahan tersuspensi. Nilai pH yang diperoleh dari air sisa perebusan rajungan sebesar 9+0. Nilai tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dengan nilai pH air perebusan rajungan yaitu sebesar 8,6 (Driscoll 1990). Namun nilai ini masih berada dikisaran standar baku mutu limbah cair industri yang dikeluarkan oleh Kep-51lMENLW1011995 dimana nilai pH sebesar 6-9. Menurut Fardiaz (1992) pada industri makanan, peningkatan keasaman air buangan disebabkan oleh kandungan asam-asam organik. Dalam industri perikanan, yang dimaksud asam-asam organik adalah protein dan gugus nitrogen lain yang diduga berasal dari serpihan-serpihan karapas, daging atau tulang yang terlarut dalarn limbah. Selain itu, Green et al. (1991) melaporkan bahwa nilai pH berkaitan dengan alltalinitas dan aktifitas biologis anaerobik. Sedangkan air sisa perebusan rajungan merniliki hasil TPC air sebesar 3,04 x lo4 kolonilgram atau 60.800 (sel/cm2).
Karakteristik limbah cair industri hasil perikanan berbeda-beda tergantung dari jenis industrinya. Perbedaan itu dipengaruhi oleh tingkat produksi, jenis bahan mentah, jenis produk althir yang dihasilkan dan kesegaran (Benning 2000). Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair dapat memberikan efek negatif terhadap lingkungan melalui berbagai cara. Bahan organik yang terlarut dapat menurunkan kandungan oksigen dalam air serta menimbulkan rasa bau yang tidak sedap pada penpediaan air bersih. 4.2. Kara kteristikpermeat hasil prefitrasi.
Pada perlakuan prejltrasi dengan filter keramik 0,3 mikron diperoleh bahwa semua parameter yang diukur mengalami penurunan antara 0% hingga 96,9%. Hasil prejltrasi dengan filter keramik 0,3 mikron selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Hasil filtrasiprejltrasi dengan filter keramik 0,3 mikron. Parameter
Prefltrasi
Penurunan (%)*
* Persen penurunan dibandingkan dengan raw material. Berdasarkan Tabel 8. terlihat bahwa air sisa perebusan perebusan rajungan prefiltrasi memiliki warna ltuning karena banyaknya partikel-partikel tersuspensi yang terkandung dalam air sisa perebusan rajungan. partikel-partikel tersuspensi mulai tersaring pada pori-pori yang terdapat di dalam membran sehingga air hasil prejltrasi memiliki warna kuning, lebih jernih bila dibandingkan dengan sebelum prejltrasi. Hinkova et al. (2002) melaporkan bahwa bahan penyebab warna dan partikel koloid yang terdapat di dalam umpan tidak dapat melewati membran karena ukuran bahan penyebab warna dan partikel koloid lebih besar dari pada pori membran.
Nilai karakteristilc air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prefiltrasi memiliki nilai COD sebesar 12.000+0 mg/l, atau menurun sebesar 73,9% bila dibandingkan dengan raw material. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), maksimal reduksi COD yang dilalcukan menggunakan membran mikrofiltrasi berkisar antara 70-85%. Menurunnya nilai ini diduga pada pretreatment menggunakan prefiltrasi, 73,9% partikel-partilcel bahan organik berukuran lebih dari 0,3 mikron sehingga tertahan oleh modul membran sedangkan sisanya yang b
-
e
~
berukuran kecil dapat melewati membran. Vandanjon et al. (2002) melaporkan bahwa pada pengolahan limbah cair pengolahan seafood dengan menggunakan membran ultrafiltrasi sebagai pretreatment dapat mereduksi setengah dari nilai COD dan total nitrogen yang terkandung didalam limbah cair seafood. Hal ini dikarenakan bahan-bahan organik penyebab tingginya nilai COD dan total nitrogen tertahan oleh membran ultrafiltration. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prefiltrasi memiliki nilai BOD5 sebesar 3.219+93 mgll atau menurun sebesar 54,6% bila dibandingkan dengan raw material. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), maksimal reduksi BOD5 yang dilakukan menggunakan membran mikrofiltrasi berkisar antara 75-90%. Menurunnya nilai ini diduga pada pretreatment menggunakan prefiltrasi, 54,6% partikel-partikel bahan organik yang berukuran lebih dari 0,3 mikron tertahan oleh modul membran sedangkan sisanya yang berupa partikel yang berukuran kecil dapat melewati membran. Mulder (1996) menyatakan bahwa zat yang berukuran besar akan tertahan oleh membran dan yang berukuran lebih kecil akan dilewatkan. Durham dan Walton (1999) melaporkan bahwa pada pengolahan limbah industri dengan menggunakan membran miluofiltrasi sebagai pretreatment dapat mereduksi nilai BOD5 yang terkandung didalaln li~nbah.Hal ini dikarenakan partikel-partikel penyebab tingginya nilai BODj tertahan oleh membran mikrofiltrasi. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prefiltrasi memiliki nilai TDS sebesar 490+0 mgll, atau menurun sebesar 90% bila dibandingkan dengan raw material. Menurunnya nilai ini diduga pada pretreatment menggunakan prefiltrasi, 90% pal-tiltel-partikel bahan organik dan anorganik berukuran lebih dari 0,3 mikron
~
tertahan oleh modul meinbran sedangkan sisanya yang berupa partikel yang berukuran kecil dapat melewati membran. Durham dan Walton (1999) melaporkan bahwa pada pengolahan limbah industri dengan menggunakan membran mikrofiltrasi sebagai pretreatment dapat mereduksi nilai TDS yang terkandung didalam limbah. Hal ini diltarenakan ion-ion penyebab tingginya nilai TDS tertahan oleh membran mikrofiltrasi hingga mencapai 98 %. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prefiltrasi memiliki nilai salinitas sebesar 19*0%0 atau menurun sebesar 40,6% bila dibandingkan dengan raw
material. Hasil perlakuan prefiltrasi menunjukkan bahwa air hasil prefiltrasi tergolong payau. Menurut Effendi (2003), nilai salinitas yang berkisar diantara 0,5-30%0 tergolong payau. Hal ini diduga disebabkan karena mineral-mineral garam dan ion logam penyebab tingginya nilai salinitas tertahan oleh membran mikrofiltrasi hingga mencapai 98 % (Durham dan Walton 1999). Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prefiltrasi memiliki nilai TSS sebesar 520k14 mgl, atau menurun sebesar 74% bila dibandingkan dengan raw
material. Menurut Metcalf dan Eddy (2003), maksimal reduksi TSS yang dilakukan menggunakan membran mikrofiltrasi berkisar antara 95-98%. Menurunnya nilai ini diduga pada pretreatnrent menggunakan prefiltrasi, 74% partikel-partikel bahan organik berukuran lebih dari 0,3 miltron sehingga tertahan oleh modul membran sedangkan sisanya yang berupa partikel yang berukuran kecil dapat melewati membran. Durham dan Walton (1999) melaporkan bahwa pada pengolahan limbah industri dengan menggunakan continous microfiltration (CMF) sebagai pretreatment dapat meredultsi nilai padatan tersuspensi, mikroorganisme dan kekeruhan yang terkandung didalam limbah Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prefiltrasi memiliki nilai kelceruhan sebesar
17*0 NTU, atau menurun sebesar 77,9% bila dibandingkan
dengan ran, material. Nubatonis (2004) melaporkan bahwa terjadi penurunan kekeruhan sebesar 36,36-91,43% pada pemurnian nira tebu dengan menggunakan teknologi membran. Penurunan ini diduga disebabkan 77,9% bahan tersuspensi yang menyebabkan kelceruhan berulcuran lebih dari 0,3 mikron sehingga tertahan pada pori
membran sewaktu proses prejltrasi berlangsung. Kckcruhan relatif rendah karena partikel koloid yang terdapat di dalam umpan tidak dapat melewati membran karena ukuran koloid lebih besar dari pada pori membran (Yarni 2000). Hasil prefltrasi memiliki nilai pH yang sama dengan air sisa perebusan rajungan kasar walaupun sudah mengalami tahap penyaringan awal (prefiltrasi). Hal ini mungkin dikarenakan partikel-partikel yang tersaring ukurannya masih cukup besar akibat dari ukuran pori yang masih besar, sehingga partikel-partikel tesebut merniliki pH yang sama yaitu 9;tO. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Benning (2000), yang menyatakan bahwa nilai pH limbah cair rajungan yang belum diolah memiliki nilai pH yang sama seperti limbah rajungan yang telah mengalami pretreatment, karena masih terkandung garam-garam (ion-ion) mineral yang kemungkinan berasal dari tubuh rajungan dan keluar selama proses perebusan. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan prefltrasi memiliki hasil TPC air sebesar 9,40 x 10' kolonilgram atau 1880 (sel/cm2) atau menurun sebesar 96,9 % bila dibandingkan dengan raw material. Terjadinya penurunan nilai yang cukup signifikan ini diduga terjadi karena 96,9 % mikroorganisme tidak dapat 1010s pada saat penyaringan alcibat terhambat oleh bahan organik maupun bahan anorganik yang lebih besar sehingga tidak dapat mencapai permukaan filter yang akhirnya banyak mikroorganisme yang tidak dapat 1010s. Yarni (2000) melaporkan bahwa mikroorganisme tidak dapat melewati pori membran mikrobiologi selulosa mikrobial. Sedangkan Murtiningri~ln(2004) melaporkan bahwa membran mikrofiltrasi mampu menahan koloid, mikroorganisme dan padatan tersuspensi. 4.3 Karakteristikpermeal hasil reverse osmosis.
Pada perlakuan filtrasi menggunakan membran reverse osmosis diperoleh bahwa semua parameter yang diukur mengalami penurunan antara 2,1% hingga 100%. Selengkapnya hasil filtrasi menggunakan membran reverse osmosis dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Hasil filtrasi menggunakan inembran reverse osnzosis
* Persen penurunan dibandingkan denganprejltrasi. Berdasarkan Tabel 9. terlihat bahwa air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reverse osmosis memiliki warna putih jeinih. Perubahan wama menjadi jemih setelah difiltrasi dengan menggunakan meinbran reverse osn~osis dapat dipahami karena partikel-partikel koloid yang mengakibatkan warna keruh (kuning dan kuning kecoklatan) tidak dapat tersaring dan berhunpuk pada pori-pori yang terdapat di dalam membran. Hinkova et al. (2002) melaporkan bahwa bahan penyebab wama, kandungan garam dan partikel koloid yang terdapat di dalam umpan tidak dapat melewati membran karena ukuran bahan penyebab wama, kandungan garam dan koloid lebih besar dari pada pori meinbran. Gambar 9. menunjukkan perbedaan yang nyata perbedaan wanla antara air sisa perebusan rajungan (A), setelahprejiltrasi (B) dan setelah reverse osnzosis (C)
Gambar 9. Perbedaan wama antara air sisa perebusan rajungan (A), setelahprejiltrasi (B) dan setelah reverse osnzosis (C).
Nilai karakteristik air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reserve
osmosis memiliki nilai COD sebesar 3851 1 mgll atau menurun sebesar 99,6% bila dibandingkan dengan pre$ltrasi. Secara umum proses pengolahan air sisa perebusan menggunakan membran filtrasi reserve osmosis telah mampu menurunkan nilai COD dari 46.0002Z2.828 mgll menjadi 38*11 mgll atau menurun sebesar 99,9%. Diduga bahan-bahan organik tidak dapat melewati pori-pori yang terdapat pada membran dan tertahan didalan~ membran sehingga nilai COD yang didapat 38511 mgll. Menurut Bohdzwiecz (2003), efisiensi pengurangan COD dengan menggunakan membran reverse osmosis pada industri daging dapat melebihi 99%. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reserve osmosis memiliki nilai BODs sebesar 10,5+3 mgll atau menurun sebesar 99,7% bila dibandingkan dengan prefiltrasi. Secara umum proses pengolahan air sisa perebusan menggunakan membran filtrasi reverse osmosis telah mampu menurunkan nilai BOD dari 7.092k43 mgll menjadi 10,5+3 mgll atau sebesar 99,8%. Diduga bahan-bahan organik tidak dapat melewati pori-pori yang terdapat pada membran dan tertahan didalam membran. Menurut Bohdzwiecz (2003), efisiensi pengurangan BODs dengan menggunakan membran reverse osmosis pada industri daging dapat melebihi 99%. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reverse osmosis memiliki nilai TDS sebesar 2*0 mgll atau menurun sebesar 99,6% bila dibandingkan dengan prefiltrasi. Secara umum proses pengolahan air sisa perebusan menggunakan membran filtrasi reverse osmosis telah mampu menurunkan nilai TDS dari 5.210*0 mgll menjadi 2*0 mgll atau menurun sebesar 99,9 %. Efisiensi maksimum pengurangan TDS dari membran reverse osmosis polyamide pada industri penyamaltan kulit melebihi 98% (Suthanthararajan et a1. '2004). Air payau memiliki konsentrasi TDS sebesar 17.000 mgll, setelah menggunakan membran reverse
osinosis nilai TDS-nya menurun menjadi 100 mgll (Ahmad 2000). Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reserve osmosis memiliki nilai salinitas sebesar O+O%o atau menurun sebesar 100% bila dibandingkan dengan
prejiltrasi. Hasil peng~~jian terhadap hasil reverse ostnosis menunjukkan bahwi: air hasil
reverse ostnosis tergolong tawar
karena memiliki salinitas <0,5%0
(Effendi 2003). Secara umum proses pengolahan air sisa perebusan menggunakan membran filtrasi reverse ostnosis telah lnampu menurunkan nilai salinitas dari 3211960menjadi O*O%o atau menurun sebesar 100%. Menurut Hinkova et al. (2002), proses pemisahan pada industri gula dengan menggunakan membran reverse osmosis spiral wound dapat menurunkan konsentrasi garam sebesar 60-70%. Cohen Y (2006) melaporkan bahwa membran reverse osmosis (RO) digunakan untuk memisahkan zat terlarut yang memiliki berat molekul yang rendah seperti garam anorganik atau molekul organik kecil seperti glukosa dan sukrosa dari larutannya. Membran RO juga banyak digunakan pada proses desalinasi air laut dan air payau (Winduwati et al. 2000). Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reverse osmosis memiliki nilai TSS sebesar 60;tO mgll atau menurun sebesar 88,5% bila dibandingkan dengan prejltrasi. Secara umum proses pengolahan Air sisa perebusan menggunakan membran filtrasi reverse osmosis telah mampu menurunkan nilai TSS dari 200010 mgll menjadi 60*0 mgll atau menurun sebesar 97%. Menurut Veza et al. (2003), proses pemisahan pada pengolahan air minum dengan menggunakan membran reverse osrnosis dapat menurunkan nilai TSS sebesar 97%. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reverse osmosis memiliki nilai kekeruhan sebesar 2,712 NTU atau menurun sebesar 84,1% bila dibandingkan dengan preJ;ltrasi. Secara umum proses pengolahan air sisa perebusan menggunakan membran filtrasi reverse osrnosis telah mampu menurunkan nilai kekeruhan dari 7712 NTU menjadi 2,712 NTU atau menurun sebesar 96,4%. Menurut Veza et al. (2003), proses pemisahan pada pengolahan air minum dengan menggunakan membran reverse osmosis dapat menurunkan nilai kekeruhan sebesar 93,9%. Vourch et al. (2008) tnelaporltan bahwa untuk menghasilkan air yang berspesifikasi tinggi diperlukan rangkaian proses untuk menghilangkan koloid dan karbon organik (TOC) yang sangat sulit ~mtukdipisahltan dari air dan reverse osrnosis merupakan altematif teknologi yang tepat untuk menghilangltan kandungan koloid dan karbon organik (TOC) yang ada dalam air.
Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reverse osmosis memiliki nilai pH sebesar 8,3*0 atau menurun sebesar 7,8%. Secara umum proses pengolahan Air sisa perebusan nenggunakan membran filtrasi reverse osmosis telah mampu menurunkan nilai pH dari 9;tO menjadi 8,3i0 atau menurun sebesar 7,7%. Hal ini kemungkinan disebabkan karena garam-garam mineral yang menyebabkan tingginya nilai pH tersebut tertahan oleh membran dan tidak mampu untuk melewatinya. (Benning 2000). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Zazouli et al. (2008) melaporkan bahwa penyaringan dengan polyamide reverse osmosis ~nembran dapat menurunkan nilai pH. Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan reverse osmosis memiliki hasil pengujian bakteri TPC air sebesar 9,20 x lo2 kolonilgram atau 1840 (sel/cm2) atau menurun sebesar 2,1% bila dibandingkan dengan prejltrasi. Secara umum proses pengolahan air sisa perebusan menggunakan membran filtrasi reverse osmosis telah mampu menurunkan nilai TPC air dari 3,04 x lo4 koloni/gram atau 60800 (sel/cm2) menjadi 9,20 x 102kolonilgram atau 1840 (sel/cm2) atau menurun sebesar 96,9 %. Hal ini diduga terjadi karena sebagian besar mikroorganisme yang 1010s proses prejltrasi memiliki ulcuran yang lebih kecil dari pada ukuran filter. Gayeni Sadr SB et al. (1997) melaporkan bahwa mikroorganisme misalnya bakteri tidak dapat melewati pori membran reverse osmosis. 4.4 Penggunaan air daur ulang air sisa perebusan rajungan sebagai pencuci ikan
Setelah dilakukan proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis, dilanjutkan dengan karakteristik air hasil treatment filtrasi sebagai bahan pencuci ikan, dengan cara membandingkan air hasil filtrasi membran reverse osmosis dengan balcu mutu air pencuci standar WHO. Selain itu, dilakukan pula uji mikrobiologi ikan terhadap air guna ulang dengan cara membandingkan nilai mikrobiologi pada per~nukaantubuh ikan dengan menggunakan air yang digunakan sebagai kontrol dengan air hasil treattnent menggunakan reverse osmosis.
Perbandingan nilai baku mutu air daur ulang dengan menggunakan membran reverse osmosis dengan baku mutu air pencuci selemgkapnya dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Perbandingan nilai baku mutu air daur ulang dengan menggunakan membran reverse ostnosis dengan baku mutu air pencuci. Standar WHO Golongan A*
PARAMETER
Keteranean :
umber-
:
RO = reverse osmosis. WHO = World Health Orpanization. *Hindark0 2003; Effendi 2003,** Tidak dipeGimbangkan sebagai parameter (Casani et al. 2006).
Pada Tabel. 10 terlihat bahwa warna yang dihasilkan setelah proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis memiliki yang jernih (normal). Hasil ini sesuai dengan standar parameter rasa warna mutu air pencuci yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu parameter rasa yang disyaratkan untuk baku mutu air pencuci yaitu jernih (berkisar antara 5-50 ). Hasil pengujian TDS menunjukkan bahwa TDS yang dihasilkan setelah proses filtrasi dengan mengg~~naltanmembran reverse osmosis sebagai bahan baku air pencuci sebesar 2+0 mgll. Nilai ini berada dibawah standar yang ditetapkan oleh WHO yaitu sebesar 1000 mgll. Nilai TDS sebesar 2+0 mgll menunjukkan bahwa bahan-bahan organik yang terlcandung sangat rendab sehingga air hasil proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis aman untuk bahan pencuci ikan. Hasil uji kekeruhan menunjukkan bahwa kekeruhan yang dihasilkan setelah proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis sebagai bahan baku air pencuci sebesar 2,7+2 NTU. Nilai ini berada dibawah standar kekeruhan baltu mutu
air pencuci yang ditetapkan oleh
WHO yaitu sebesar 5 NTU. Nilai kekeruhan
sebesar 2,7+2 NTU menunjukkan bahwa bahan tersuspensi seperti bahan organik, mikroorganisme, dan partikel-partikel cemaran lain yang dapat mengganggu efektifitas air pencuci sangat rendah sehingga air hasil proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis aman untuk bahan pencuci ikan. Kekeruhan dalam air dihubungkan dengan kemungkinan pencemaran oleh air buangan. Oleh karena itu, kekeruhan dalam air harus dihilangkan untuk air yang dipergunakan untuk air minum (Suriawiria 2003). Hasil uji pH menunjukkan bahwa pH yang dihasilkan setelah proses filtrasi dengan menggunakan meinbran reverse osmosis sebagai bahan baku air pencuci sebesar 8,3*0. Nilai ini berada dikisaran standar pH baku mutu air pencuci yang ditetapkan oleh WHO yaitu antara 8,2-9,2. Nilai pH ini menunjukkan bahwa air hasil filtrasi menggunakan membran reverse osmosis normal. Hasil uji TSS menunjukkan bahwa nilai TSS yang dihasilkan yang dihasilkan setelah proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis sebagai bahan baku air pencuci sebesar 60+0 mg/l. Hal ini menunjukkan bahwa bahan-bahan yang menyebabkan kekeruhan relatif sangat rendah. Hasil uji salinitas memiliki nilai yang dihasilkan yang dihasilkan setelah proses filtrasi dengan menggunakan membran reverse osmosis sebagai bahan baku air pencuci sebesar 0+0 9/00, Hasil pengujian terhadap hasil reverse osmosis menunjukkan bahwa air hasil reverse osmosis tergolong tawar karena memililti salinitas <0,5%0 (Effendi 2003). Pengujian salinitas terhadap air hasil reverse osmosis sangat penting karena kandungan garam mempengaruhi kualitas air terutama jika air tersebut digunakan sebagai air minum, ha1 ini akan membahayakan kesehatan manusia (http//www.purewaterinc.com 2008).
Untuk mengetahui pengaruh penggunaan air hasil proses membran resewe osmosis dapat digunakan sebagai pencuci ikan, maka dilakukan perbandingan dengan mencuci ikan dengan menggunakan air stand& yang prosedurnya menggunakan metode swab pada permukaan tubuh ikan. Dari hasil uji swab pada permukaan tubuh ikan dengan mengg~~nakanair (standar) jumlah
mikroba yang terkandung
dipermukaan tubuh ikan sebanyak 5,15 x lo4 koloni/ml atau 9450 sel/cm2. Sedangkan hasil uji swab pada permukaan tubuh ikan dengan menggunakan air hasil proses membran filtrasi reverse osmosis, jumlah mikroba yang terkandung dipermukaan tubuh ikan sebanyak 5,25 x lo4 koloni/ml atau 9520 sel/cm2. Kedua nilai diatas tidalc terlalu berbeda jauh, sehingga dapat disimpulkan bahwa air hasil proses membran filtrasi reverse ostnosis dapat dijadikan sebagai bahan baku air pencuci ikan walaupun masih tercium bau rajungan.
5. KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian secara visual air sisa perebusan rajungan memiliki warna kuning kecoklatan dengan nilai COD, BODj, TDS, salinitas, TSS, kekeruhan, pH, dan uji TPC air masing-masing sebesar 46.000 7.092 i 43 mg/l, 5.210 i 0 mg/l, 32 i 1
%o,
* 2.828 mgll,
2.000 i 0 mg/lt 77 i 0 NTU
(Nephelometric Turbidity Unit),9 i 0, dan 60.800 (sel/cm2). Air sisa perebusan rajungan dengan perlakuan preflltrasi menggunakan membran mikrofiltrasi secara visual benvarna kuning dengan kadar COD, BODS, TDS, salinitas, TSS, kekeruhan, pH dan TPC air masing-masing sebesar 12.000 i 0 mgll, 3.219
* 93 mg/l, 490 i 0 mg/l, 19 5 0 %o, 520 rt 14 mg/l, 17 5 0 NTU, 9 *
0 dan 1880 sel/cm2. Air sisa perebusan rajungan dengan .menggunakan membran reverse
osmosis secara visual berwarna jemih dengan kadar COD, BODS, TDS, salinitas, TSS, kekeruhan, pH dan TPC air masing-masing sebesar 38 mgll, 2 i 0 mgll, 0 i 0 %o,60 i 0 mg/l, 2,7
* 11 mgll, 10,5 i 3
* 2 NTU, 9 i:0 d m 1840 sel/cm2.
Hasil uji oles (swab) pada permukaan tubuh ikan dengan menggunakan airminum merk aqua (kontrol), jumlah mikroba yang terkandung dipermukaan tubuh ikan sebanyak 5,15 x lo4 koloni/ml. Sedangkan dengan menggunakan air dari hasil proses membran filtrasi reverse osmosis, jumlah mikroba yang terkandung dipermukaan tubuh ikan sebanyak 5,25 x lo4 kolonilml. Berdasarkan
hasil-hasil
penelitian
tersebut
secara umum
dapat
disimpulkan bahwa air guna ulang yang didapat dari penyaringan dengan menggunakan membran reserve osmosis dari sisi parameter fisika dan kimia telah memenuhi syarat yang berlaku, kecuali bau yang dihasilkan.
Saran Dari kesimpulan diatas maka dapat disarankan untuk melalcukan penelitian lebih lanjut untuk menghilangkan bau pada air guna ulang dengan menggunakan absorban. Salah stu absorbannya dapat menggunakan chitosan.
DAFTAR PUSTAKA Ahmad S. 2000. Application of membrane technology in water treatment. Water Research. 1: 1-8. APHA. 1989. Standart Methods for Examination of Water and Waste Water. 1 4 ' ~ edition. Washington DC : American Public Health Association, 1195 p. BBPMHP. 1995. Laporan Pengembangan Pengolahan Kepiting Bakau dan Rajungan. Direktorat Jenderal Perikanan. Jakarta. Benning JL. 2000. Development Alternutif Crab Claw Processing System to Minimize Environmetal Impact. Thesis. Virginia Polytechnic Institute. Virginia. Bohdziewicz J, Sroka E dan Korus I. 2003. Application of ultrafiltration and reserve osmosis to the treatment of wastewater produced by meat industry. Polish Journal of Environmetal Studies. 12. No 3: 269-274. Boyd CE. 1982. Water, Quality in Warm Fish Ponds. Auburn University Agicultural Experiment Station. Auburn. Albama. BPS. 2000. Data Statistik 1999. Jakarta Bustami I. 2004. Pendekatan penerapan produksi bersih pada industri pengolahan hasil perikanan. Buletin Teknologi Hasil Perikanan. Vol VII.1-1 1. Carawan RE, Chambers JV, Zall RR dan Wilkowske RH. 1979. Seafood W a t e and ~ Wastewater Management. Pollution prevention Pays Program. Departement ofNatural Reso~ircesand Community Development. Casani S dan Knochel S. 2002. Application of HACCP to water reuse in food industry. Food Control. 13: 3 15-327. Casani S, Rouhany M dan Knochel S. 2005. A discussion paper on challenges and limitations to water reuse and higiene in the food industry. Water Research. 39: 1 134-1 146. Casani S, Leth T dan Knochel S. 2006. Water reuse in a shrimp processing line: safety considerations using a HACCP approach. Food Control. 17: 540-550. Chen D dan Zhang M. 2007. Non-volatile taste active coumpounds in the meat of the chinese mitten crab (Eriocheir sinensis). FoodChemistryl. 104: i200-1205.
Cheryan M. 1986. Concentration of liquid foods by revexse osmosis. Didalam: Heldman DR dan Lund DB, editor. Handbook of food engineering. Marcel Dekker, Inc. New York, Basel dan Hong Kong; 393-432. Cohen Y. 2006. Membrane desalination of agricultural drainage water: water recovery enhancement and brine minimization. Department of chemical engineering university of california, Los Angeles; 1-1 1. de Koning J, Bixio D, Karabelas A, Salgot M, dan Schafer A. 2008. Charactersation and assesment of water treatment technologies for reuse. Desalination. 218: 92-104. Ditjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Departemen Perikanan dan Kelautan. 2007. Masalah dan Kebijakan Peningkatan Produk Perikanan untuk Memenuhi Gizi Masyarakat. Seminar Hari Pangan Sedunia. Bogor. Indonesia. Driscoll TP. 1990. Waste minimization and product recovery in the crab meat processing industry. Food Industry Environmental Conference. 262-266. Durham B dan Walton A. 1999. Membrane pretreatment of reverse osmosis : longterm experience on difficults waters. Desalination. 122: 157-170. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air bagi pengelolaan sumberdaya dan lingkungan perairan. Kanisius: Yogyakarta. 257. Fardiaz S. 1992. Poltrsi Air dun Udara. Pusat Antar Universitas Pangan Dan Gizi. IPB. Kaunis. Yogyakarta. Fauziah L. 2007. Proses Pengalengun Daging Rajungan Pastezlrisasi (Pasteurized Crab Meat) [Laporan Magang]. Program Studi Agroteknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Flick G, Rippen T, Knoble G, Hackney C, Robinson W, Croonenbergs RE, Whitman R, Skilles B, dan Diallo A. 1994. Quality assurance and operating policy. manual for blue crab industry. Virginia sea grant publication. VSG-93-10. Gonzalez. 1996. Wasle Water Treatment in The Fishery Industiy. F A 0 Fishery Technical Paper. 355. Rome. Gokodlu N dan Yerliltaya P. 2003. Determinaton of proximate composition and mineral contents of blue crab (Callinectes sapidus) and swim crab (Portunus pelagicus) caught off the Gulf of Antalya. Food chemistry. 80: 495-498. Green DP, Carawan RC dan Johnson J. 1991. Waste Reduction in Mechanical Blue Crab Clawn Processing Operation. Washington Crab Company.
Hadiwiyoto S. 1993. Teknologi Pengolahan Hasil Periknnan. Jilid I. Teknik Pendinginan Ikan. CV. Paripurna. Jakarta. Hidayat. 2007. Teknologi Membran htpp: I/ www.Majari.co.id [12 Mei 20081. Hidayati F. Perubahan Mutu Daging Rajungan (Portunus pelagicus) Setelah Perebusan Sebagai Bahan Baku Produk Pasteurisasi Selama Penyimpanan Suhu Chilling [Skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan IImu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hindarko, S 2003. Mengolah air limbah supaya tidak mencemari orang lain. Penerbit ESHA. Jakarta. Hinkova A, Bubnik 2, Kadlec P dan Pridal J. 2002. Potentials of separation membranes in the sugar industry. Separation and Purzj%ation Technology. 26: 101-1 10. htpp: //www.purewaterinc.com. [I2 Mei 20081 htpp: //www.akuakultur.wordpress.com. [12 Mei 20081. Huertas E, Salgot M, Hollender J, Weber S, Dott W, Khan S, Schafer A, Messalem R, Bis B, Aharoni A dan Chikurel H. 2008. Key objectives for water reuse concepts. Desalination. 2 18: 120-13 1. Islam MdS, Khan S dan Tanaka M. 2004. Water loading in shrimp and fish processing effluent: potential source of hazards to the coastal and nearshore environmets. Waterpollution bulletin. 49: 103-110. Jenie BSL dan WD Rahayu. 1990. Pengantar Limbah Industri Pangan. Kannisius. Yogyakarta. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No 51/10 Tahun 1995 Tentang: baku Mutu Air Limbah Domestik. Kirby RM, Bartram J dan Carr R. 2003. Water in food production and processing: quantity and quality concerns. Food Control. 14: 283-299. Krijgsman J. 1992. Product Recovery in Bioprocess Technology. ButterworthHeinemann. Oxford. Kristian R dan Wahyu T. 2007. Aplikasi Membran Dalam Bidang Medis Homodialisis. Tugas Teknologi Membran. Jurusan Teknik Kimia. Fakultas Teltnib. Universitas Sultan Ageng Tirtayasa. Cilegon-Banten.
Metcalf and Eddy. 2003. Wastewater engineering treatment and use. 4th edition. McGraw-Hill Companies, Inc: New York. Hal 54-56. Miller G W. 2006. Integrated concepts in water reuse : managing global water needs. Desalination. 187: 65-75. Mulder M. 1996. Basic Principles of Membrane Technology. Kluwer Academic Publishers, Nederland Murtiningrum. 2004. Ekstraksi minyak dengan metode wet rendering dari buah pandan (pandanus CL) dan pemurnian dengan Pltrasi membran. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Nicolaisen B. 2002. Developments in membrane technology for water treatment. Desalination. 1 53: 355-360. Nubatonis LM. 2004. Kajian aplikasi teknik membran pada proses pemurnian nira tebu. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.20 Tahun 1990 Tentang: Pengendalian Pencemaran Air. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No.82 Tahun 2001 Tentang: Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian pencemaran Air. Purnomo dan Adiono. 1987. Illnu Pangan. UI Press. Jakarta. Saanin H. 1984. Taksonomi Dan Kunci Identifkasi Ikan. Jilid I dan 11. Bina Cipta. Bandung. Sadr Ghayeni SB, Beatson PJ, Schneider RP dan fane AG. 1998. Adhesion of waste water bacteria to reverse osmosis membranes. Journal of membrane science. 138: 29-42. Skonberg Dl dan Perkins ML. 2002. Nutrients compotitions of green crab (Carnicus maenus) leg meat and claw meat. Food Chemistry. 77: 401-404. Sopiah N dan Susanto JP. 2002. Isolasi dan identifikasi bakteri proteolitik terhadap deproteinasi limbah cangkang rajungan pada proses pembuatan kitin. Jurnal Sains dun Teknologi Indonesia. 4 No. 4. 9-14. Sugiharto. 1987. Dasur-Dusar Pengolahan Air Limbah. UI Press. Jakarta. Suriawidjaja. 2003. Mikrobiologi Air. UI Press. Jakarta
Sulistyawati YID. 2000. Pengaruh Metode Pemasakan dan Pendinginan Terhadap Rendemen dan Mutu Daging Rajungan (Portunus Pelagicus) [Skripsi]. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi. Fakultas Teknologi pertanian. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suryadiputra, INN. 1995. Pengolahan air limbah dengan metode biologi. Fakultas Perikanan dan llmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor: Bogor. Susianthy M. 2006. Pengaruh jenis alat penggiling terhadap karakteristik kitin dari kulit rajungan [Slcripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Suthanthararajan R, Ravindranath E, Chitra K; Umamaheswari B, Ramesh Tdan Rajamani S. 2004. Membran application for recovery and reuse of water from treated tannery wastewater.. Desalination. 164. 151-156. Thompson MH dan Farggut RN.1966. Amino acids compotition of the chesapeak bay blue crab Callinectes sapidus. Biochemical. 17: 1065-1078. Uju. 2005. Kajian Proses pemurnian dan Pengkonsentrasian Karagenan dengan Menggunakan Membran Mikrofiltrasi [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor Vandanjon L, Cros S, Jaouen, Quemeneur F dan Bourseau P. 2002. Recovery by nanofiltration and reserve osmosis of marine flavour from seafood cooking waters. Desalination. 144: 379-385. Veranita D. 2001 Studi Tentang Karakteristik Limbah Cair Industri Pengolahan Tuna Beku Di PT. Indornaguro Tunas Unggul Jakarta [Skripsi]. Departemen Teknologi Hasil Perikanan. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Veza JM dan Rodriguez-Gonzalez JJ. 2003. Second use for old reverse osmosis membranes: wastewater treatment. Desalination. 157: 65-72. Vilasoa-martinez M, Lopez-Hernandez J dan Lage-yusty. 2007. Protein and amino acids contents in the crab (Chionoecetes opilio). Food chemistry. 103: 13301336. Vourch M, Balannec B, Chaufer B dan Dorange G. 2008. Treatment of dairy industry waste water by reserve osmosis for water reuse. Desalination. 219: 190-202. Wagner J. 2001. Membran Filtration Handbook: Practical Tips and Hits. Second Editions, Revision 2. Osmonics Inc:
Wenten IG. 1999. Teknologi Membran Industrial. Penerbit Ganesha. Bandung Widodo A, Mardiyah dan Prasetyo A. 2006. Potensi Kitosan dari Sisa Udang Sebagai Koagulan Logam Berat Limbah Cair Industri Textile. Jurusan Teknik Kimia. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya. Winarno FG. 1993. Pangan :Gizi, teknologi Dan Konsumen. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. Winduwati S, Yohan dan Rifaid MN. 2000. Karakteristik osmosis balik membran spiral wound. Hasil penelitian. Pusat Pengembangan Pengelolaan Limbah Radioaktif. Yami D. 2000. Produksi dan karakterisasi membran mikrofiltrasi dari selulosa mikrobial [Tesis]. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zazouli MA. Nasseri S. Mahvi AH. Gholami M. Mesdaghinia AR. dan Younecian M. 2007. Studies on rejection and fouling of polyamide reverse osmosis membrane in the treatment of water solutions containing humic acids. World applied sciences journal 3: 434-440.
LAMPIRAN
Lampiran 1. Membran modul spiral wound.
Gambar membran modul spiral wound.
Lampiran 2. Data mentah uji kualitas air
Lampiran 3. Data mentah uji mikrobiologi (TPC air).
TBUD Hasil
3,04
xlo4
60800 selIcm2
TBUD Hasil
9,40 xloL 1880 sellcm2
TBUD Hasil
9,20 X~O' 1840 seVcm2