Aplikasi Teknologi Membran dalam Pengolahan Air Terproduksi untuk Discharge dan Reuse Katrin Andina Teknik Kimia, ITB, Jl. Ganesha No. 10, Bandung, Indonesia
[email protected]
Abstrak Tidak dapat dipungkiri bahwa sumber energi utama yang digunakan manusia adalah bahan bakar fosil. Untuk memperoleh bahan bakar tersebut, diperlukan pengeboran yang akan menghasilkan air sebagai produk samping. Air terproduksi mengandung kontaminan-kontaminan yang dapat membahayakan lingkungan. Oleh karena itu, air terproduksi haruslah diolah terlebih dahulu sebelum dibuang maupun digunakan kembali. Pada awalnya, pengolahan air terproduksi sudah dilakukan oleh industri minyak secara konvensional dengan dilakukannya proses fisik dan kimiawi terhadap air terproduksi. Namun seiring dengan berkembangnya teknologi membran, proses membran mulai disoroti dan kemudian digunakan dalam proses pengolahan air terproduksi tersebut. Dalam makalah ini, akan dijelaskan lebih lanjut mengenai pengolahan primer dan pengolahan sekunder – yang keduanya merupakan tahap pretreatment dan bertujuan untuk menghindari proses fouling pada membran dan – serta pengolahan dengan menggunakan teknologi membran. Teknologi membran pada perbaikan air terproduksi akan berfokus pada jenis membran yang menggunakan tekanan sebagai gaya dorongnya, yakni mikrofiltrasi (MF) yang digunakan untuk pretreatment, ultrafiltrasi (UF) untuk discharge, nanofiltrasi (NF) dan reverse osmosis (RO) untuk keperluan reuse, serta aplikasi-aplikasinya yang disertai dengan hasilhasil percobaan. Selain itu, akan dibahas pula mengenai membran distilasi (MD) yang berbasis perbedaan termal dan forward osmosis (FO) sebagai teknologi membran yang berpotensial pada pengolahan air terproduksi. Kata kunci: air terproduksi, industri minyak, teknologi membran, pengolahan limbah 1. Pendahuluan
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam setiap aktivitas di kehidupan yang manusia jalani bergantung pada energi. Dari sekian banyak sumber energi, bahan bakar fosil merupakan sumber energi yang paling banyak digunakan selama lebih dari satu abad bahkan sampai sekarang untuk keberlangsungan hidup manusia. Bahan bakar fosil adalah senyawa hidrokarbon, seperti batu bara, minyak, gas alam. Dari bahan bakar fosil, kecuali batu bara, seperti minyak, gas, dan Coal Bed Methane (CBM), dihasilkan dengan proses pengeboran bumi untuk memperoleh sumber energi hidrokarbon tersebut. Pada proses pengeboran, dihasilkan air yang merupakan produk samping. Air tersebut dihasilkan bersamaan dengan pengeboran minyak dan gas, yang biasa disebut dengan air terproduksi. Volume dari air yang diperoleh
pada pengeboran minyak biasanya lebih banyak daripada volume air yang didapat pada pengeboran gas. Semakin lama umur reservoir atau lubuk penyimpanan yang digunakan, semakin banyak volume air yang diperoleh. Skema perolehan air dari pengeboran gas dan minyak dapat dilihat pada Gambar 1. Karena air yang diperoleh adalah bagian dari pembentukan alami, maka komponen pada air tersebut ditentukan dari formasi geologi naturalnya. Air hasil pengeboran biasanya bersifat asam dengan bermacam-macam ion mineral yang terkandung di dalamnya. Minyak mentah dan gas yang diperoleh dari pengeboran kemudian dilakukan proses pemurnian atau perbaikan sebelum digunakan akhirnya agar produk yang digunakan memiliki kualitas yang baik. Pada proses pemurnian tersebut, air limbah juga diproduksi dengan skala yang cukup besar
dan biasa disebut air proses (Gambar 1). Perbedaan utama antara air terproduksi dan
Sebelum teknologi membran berkembang, pengolahan air terproduksi dilakukan dengan cara konvensional, yakni dengan pemisahan fisik air dan minyak menggunakan gravitasi. Karena dampak dari air terproduksi yang cukup besar pada lingkungan, regulasi yang diberjalankan semakin ketat (Wenten dan Khoiruddin, 2014; Witze, 2015). Oleh karena itu, banyak perusahaan minyak yang mengusahakan untuk mencapai keadaan pembuangan senyawa-senyawa yang tidak membahayakan lingkungan. Dapat disimpulkan bahwa pengolahan air terproduksi yang efisien harus mampu memenuhi target untuk membersihkan air polusi dan memperoleh kembali air yang telah dimurnikan untuk penggunaan yang bermanfaat ke depannya. Dari semua teknologi pemurnian air yang ada, teknologi membran dapat menjadi metode yang dapat memenuhi kriteria-kriteria untuk produk akhir air yang diinginkan dengan biaya yang efektif karena teknologi membran sederhana dalam operasinya, memiliki efisiensi yang tinggi terhadap bahan baku dan potensi daur ulang, mudah di scale up khususnya pada modul tubular, dll. (Wenten, 2014). Maka dari itu, tujuan dari penggunaan membran adalah untuk mengurangi dan menyelesaikan kompleksitas dari material organik pada tahap pretreatment untuk mengurangi proses fouling pada membran. Diharapkan dengan adanya teknologi membran yang semakin berkembang, air terproduksi dan air proses dapat diolah menjadi air yang aman bagi lingkungan atau bahkan digunakan lebih lanjut pada proses-proses lain.
Gambar 1. Diagram proses pada industri minyak dan gas (diadaptasi dari Munirasu dkk, 2016)
air proses adalah air terproduksi mengandung banyak ion mineral yang terlarut, sedangkan air proses lebih sedikit mengandung ion inorganik (mineral). Maka dari itu, yang membedakan antara air terproduksi dan air proses adalah konsentrasi polutan yang terkandung di dalamnya. Konsentrasi polutan tersebut akan menentukan bagaimana pengolahan air tersebut akan dilakukan. Secara umum, air terproduksi mengandung garam yang cukup tinggi, sedangkan air proses mengandung material organik (Igunnu dan Chen, 2012). Secara umum, pengolahan untuk air terproduksi dapat dibagi menjadi tiga kelas berdasarkan tingkat separasi makro dan molekular. (1) Penghilangan material organik yang larut. (2) Penghilangan material inorganik yang larut. Jika terdapat komponen yang besifat radioaktif, maka harus dilakukan pengolahan khusus. (3) Penghilangan partikel seperti partikel tersuspensi, lempung, dan pasir. Pengolahan air terproduksi melibatkan pengolahan primer, sekunder, dan tersier.
2. Pengolahan Primer dan Sekunder Air Terproduksi dari Lahan Minyak Pada mulanya, penggunaan teknologi membran untuk pengolahan air terproduksi tidak begitu sukses karena tingginya komponen-komponen yang dapat menyebabkan fouling pada pengolahannya (Igunnu dan Chen, 2012). Untuk mengatasi masalah tersebut, maka tahap pretreatment sebelum umpan menuju proses membran merupakan aspek yang paling penting dalam
2
pengolahan air ter. Tahap pretreatment tersebut dibagi menjadi dua, yaitu pengolahan primer dan pengolahan sekunder. Pengolahan primer yakni screening, sedimentasi yang dibantu oleh gaya gravitasi, demulsifikasi (Deng dkk, 2005), koagulasi, adsorpsi, presipitasi, dan flotasi (Zhang dkk, 2005). Sedangkan pengolahan sekunder yakni penghapusan komponen terlarut melalui pengolahan kimiawi dan biologisnya. Pengolahan kimiawi dapat berupa oksidasi, yang di dalamnya termasuk proses oksidasi terdepan, oksidasi biologis, elektrodialisis, elektrokoagulasi, elektroflokulasi (Wang dkk, 2014), dll. Sedangkan pengolahan biologis berupa filter yang meresap dan pengolahan dengan bantuan zat pengangkut yang teraktivasi. Bahkan baru-baru ini, pengolahan biologis yang dikombinasikan dengan membran menghasilkan teknologi membran bioreaktor (Munirasu dkk, 2016). Tujuan dari pengolahan primer dan sekunder adalah untuk mengurangi kadar polutan serendah mungkin dengan biaya seefektif mungkin. Pada beberapa kasus, lebih dari satu dari pengolahan primer maupun disekunder dikombinasikan untuk mengolah air terproduksi untuk mencapai hasil yang lebih baik. Salah satu kombinasi pengolahan primer dan sekunder yang pernah diuji coba adalah pengolahan minyak pada air yang dilakukan dengan mengkombinasikan flotasi udara yang terinduksi sebagai pengolahan primer dan proses fotofenton sebagai pengolahan sekunder (da Silva dkk, 2015). Minyak mentah dicampur dengan air salin sintetis untuk meniru air terproduksi. Hasil efluen sintetis yang dihasilkan mengandung 300 ppm minyak. Dengan menggunakan surfaktan non-ionik, konten minyak pada efluen dapat dihilangkan sampai 90%. Sisa ~35 ppm minyak di air dapat dihilangkan dengan proses fotofenton dengan menggunakan H2O2 dan FeSO4.7H2O. pH dijaga sehingga tetap pada nilai 3 degan penambahan H2SO4. Melalui percobaan, didapat bahwa kombinasi 10 menit flotasi dan 45 menit proses foto fenton, 99% minyak pada efluen dapat dihilangkan.
Urutan dari proses yang berlangsung pada pretreatment juga berdampak pada hasil akhir produk dari proses. Contohnya adalah efek dari softening pada elektrokoagulasi untuk pengolahan air produk (Esmaeilirad dkk, 2015). pH pada proses softening dimanipulisasi dengan penambahan NaOH dan HCl. Sekitar 99% dari penghilangan turbiditas dicapai dengan softening kemudian elektrokoagulasi, sedangkan jika elektrokoagulasi dilakukan sebelum softening, akan didapat konversi sebesar 88%. Selain itu, tahap pretreatment juga turut menentukan keefektifan dari pengolahan air terproduksi. Proses-proses pada tahap pretreatment tersebut dapat dikombinasikan untuk mencapai pengolahan air terproduksi yang lebih baik. Hal tersebut telah dibuktikan pada tiga tahap proses kombinasi dari elektrokoagulasi, spouted bed bioreactor (SBBR), dan adsorpsi pada karbon teraktivasi (El Naas dkk, 2014). Ketiga metode tersebut divariasikan. Sebagai proses yang berjalan sendiri (hanya satu metode), tidak ada dari ketiga metode tersebut yang memenuhi kriteria produk dari pengolahan air. Mulamula, dilakukan elektrokoagulasi yang kemudian diikuti oleh adsorpsi dan terakhir SBBR. Kombinasi tersebut dapat menghilangkan 85% COD. Jika urutan kombinasi menjadi adsorpsi – elektrokoagulasi – SBBR, maka 95% COD akan berhasil dipisahkan. Kombinasi terakhir adalah SBBR – elektrokoagulasi – adsorpsi, di mana kombinasi metode ini dapat menghilangkan 97% COD. Dapat disimpulkan bahwa untuk pengolahan primer dan sekunder air terproduksi, banyak teknologi-teknologi yang telah bekerja secara efektif yang sudah diaplikasikan. Setelah pemilahan dan pemisahan air berdasarkan gravitasi, pengolahan kimiawi dengan bantuan koagulan dapat merupakan pilihan yang baik untuk mengurangi kontaminan agar menghasilkan umpan yang baik untuk proses filtrasi membran berikutnya. Berdasarkan sifat alami air terproduksi, khususnya untuk air terproduksi yang tidak terlalu beracun,
3
pengolahan biologi dapat menjadi metode yang hemat biaya. Mengingat pengembangan-pengembangan teknologi yang terus dilakukan, proses oksidasi dan membran bioreaktor dapat juga menjadi alternatif yang baik untuk ke depannya. Penggunaan MBR dapat mengeliminasi masalah-masalah dalam pengolahan air terproduksi, seperti konsentrasi biomassa yang rendah dan terbawanya padatan suspensi yang halus (Wenten dkk, 2014a).
v=
Prinsip dasar dari pemisahan komponenkomponen menggunakan membran adalah dengan pengelompokan komponenkomponen tersebut. Pengelompokan tersebut biasanya didasarkan pada ukuran dari komponen yang hendak diseleksi. Membran yang digunakan pada pemisahan dapat berupa organik, seperti polimer sintetik, dan inorganik, seperti keramik. Berdasarkan ukurannya, membran dapat dibagi menjadi mikrofiltrasi (MF), ultrafiltrasi (UF), nanofiltrasi (NF), dan reverse osmosis (RO). Ukuran pori dari membran semipermeabel tersebut semakin menurun dari MF, UF, NF, dan akhirnya RO. Semakin kecil ukuran pori, semakin besar tekanan hidrostatik yang terjadi pada lapisan (Wenten dan Khoiruddin, 2014). Karena adanya perbedaan ukuran pori, dapat disimpulkan bahwa tekanan hidrostatik akan semakin meningkat dari MF, UF, NF, dan RO. Pada MF dan UF, operasi berlangsung berdasarkan mekanisme aliran konvektif pori (Hukum Darcy), sedangkan operasi pada RO berlangsung berdasarkan mekanisme difusi larutan (Hukum Fick). Membran NF berada antara laju pori dan mekanisme difusi (Baker, 2004).
Tabel 1. Membran Berdasarkan Tekanan (Sumber: Wenten dkk, 2014b) Membran MF UF NF RO
Ukuran Pori 0.1-10 𝜇𝑚 2-100 nm <2 nm <2 nm
Tekanan <2 bar 1-10 bar 10-25 bar >15 bar
Bentuk Pori simetris asimetris komposit asimetris/ komposit
Gambar 2. Bentuk Pori pada Membran (Sumber: Wenten, 2016)
Persamaan hukum Darcy:
k.A.Dh L
(2)
Seperti namanya, mikrofiltrasi beroperasi pada ukuran pori 0.1-10 𝜇𝑚 sehingga MF dapat menolak partikel tersuspensi, bakteri, dll. namun mengizinkan virus, ion divalen, dll. untuk melewati lapisan membran. Ukuran pori ultrafiltasi yaitu pada rentang 2100 nm dan lapisan dapat menolak makromolekul koloid dan virus, namun ionion terlarut masih dapat melewati lapisan membran. Pada nanofiltrasi, ukuran pori dimana operasi akan berlangsung secara ideal adalah pada rentang 0.5-1nm. Membran NF akan menolak ion divalen dan multivalen, seperti Al3+, Fe2+, SO42-, dll. dan meneruskan ion monovalen, seperti Na+, Cl-, dll. Sedangkan karena reverse osmosis berlangsung secara difusi, maka RO yang ideal akan menolak semua ion monovalen dan hanya meneruskan molekul air hingga 99%.
3. Pengolahan Air Terproduksi dari Lahan Minyak dengan Teknologi Membran
q=
D.A.Dp d
Selain ukuran pori, perbedaan utama dari MF, UF, NF, dan RO adalah proses preparasi membran yang dilakukan. Mikrofiltrasi dan ultrafitrasi menggunakan membran integral, dan pada beberapa membran UF memiliki
(1)
Persamaan hukum Fick:
4
pori yang asimetrik (Gambar 2). Di sisi lain, membran nanofiltrasi dan reverse osmosis terbuat dari komposit di mana biasanya lapisan pemisah paling atas dibuat dari polimer yang membentuk ikatan crosslink – di mana semakin banyak ikatan crosslink, semakin kuat polimer tersebut (Gambar 3). Pada kondisi nyatanya, membran-membran tersebut tidak dapat bekerja secara ideal. Hal yang mempengaruhi kinerja atau performansi dari membran yaitu konsentrasi polarisasi dan fouling membran (Beier, 2007).
meningkatkan fluks air. Karena terbentuk lapisan minyak yang bersifat hidrofobik pada membran, maka terjadi fouling.
Gambar 4. Cross flow filtration (Sumber: http://www.xtractfiltrationsystems.com/)
Dari peristiwa di atas, dapat disimpulkan bahwa penggunaan MF saja dalam pengolahan air terproduksi tidak cukup untuk memenuhi kriteria produk akhir air yang diinginkan. Hal tersebut dikarenakan ukuran pori yang relatif besar sehingga kurang selektif pada komponen-komponen yang memiliki ukuran lebih kecil. Terlebih lagi, membran MF cenderung untuk mengalami fouling. Adanya fouling menyebabkan fluks permeat menurun. Untuk mengatasi hal tersebut, perlu dilakukan pembersihan (cleaning) dengan cara backwashing, yaitu mengalirkan solven pembersih dengan arah yang berlawanan dari kinerja membran. Namun seiring dengan perkembangan penemuan-penemuan proses MF, telah dilakukan beberapa uji coba untuk peningkatan penggunaan MF dalam pengolahan air terproduksi dengan menggunakan bermacam jenis bahan membran ataupun mengkombinasikan beberapa proses. Salah satu contoh penemuan tersebut adalah integrasi dari coalescer bed dan membran MF (Motta dkk, 2014). Resin kation digunakan pada pembentukan coalescer bed dengan membran polieterimida bermodul hollow fiber dengan luas permeasi 0.5 m2. Pada kondisi yang optimum, efisiensi penghilangan minyak dari air mencapai 93100% di mana konsentrasi minyak dan gas pada efluen akhir adalah antara 0.1 dan 14.8 mg/L. Mula-mula, coalescer bed menghilangkan setengah dari minyak dan gas. Sisa minyak dan gas kemudian dihilangkan dengan proses membran.
Gambar 3. Crosslinking (merah) pada polimer (biru) menghasilkan satu molekul polimer yang besar (diadaptasi dari Walker dkk, 1994)
4. Mikrofiltrasi (MF) Mikrofiltrasi merupakan proses penyaringan partikulat berdasarkan ukuran membran. Ukuran pori untuk MF adalah sekitar 0.1 𝜇𝑚 atau lebih (Mulder, 1996). Karena ukuran porinya yang relatif besar, proses MF dapat dikelompokkan ke dalam tahap pretreatment, agar proses UF, NF, dan RO selanjutnya dapat berjalan lebih efektif dan menghasilkan produk yang lebih baik. Membran MF akan memisahkan partikel tersuspensi dengan diameter yang lebih besar dari ukuran pori MF yang digunakan. Pada mulanya, pengolahan air produk sintesis dari minyak mentah (250-1000 ppm) dengan membran MF menggunakan bahan keramik (Li dan Lee, 2009) dan poliakrilonitril (PAN). Melalui observasi, semakin tinggi konsentrasi minyak, semakin rendah fluks air dan kecepatan cross flow (Gambar 4). Yang menarik adalah, penambahan partikel tersuspensi pada umpan akan meningkatkan fluks akhir dari membran tersebut. Diduga bahwa partikel tersuspensi tersebut menyerap minyak dan merusak lapisan minyak pada membran, sehingga
5
Kombinasi ini dapat dijadikan pretreatment yang efektif dalam mengurangi masalah operasional, seperti fouling pada UF dan RO. Dapat disimpulkan bahwa MF dapat digunakan sebagai pengolahan air terproduksi yang efektif secara biaya. MF dilakukan setelah menghilangkan komponenkomponen jenuh pada minyak dengan melalui pengolahan primer, yakni sedimentasi, koagulasi, flokulasi & sedimentasi. Proses MF juga dapat secara efektif menghilangkan butiran-butiran minyak yang terdispersi dan partikulat lainnya yang ukurannya lebih besar dari 100 nm. Namun, butiran-butiran dan partikulat yang lebih kecil dapat melalui membran MF, maka dari itu, membran UF dapat digunakan. Kekurangan mayor MF adalah ketidakmampuannya untuk menyisihkan komponen-komponen terlarut.
percobaan ini, akan dibandingkan membran yang tidak termodifikasi dengan membran yang dimofikasi dengan atom transfer radical polymerization (ATRP). Air terproduksi sintetis yang digunakan terdiri dari minyak kacang kedelai (5g/L) dan NaCl (0.5g/L). Didapat bahwa membran termodifikasi menunjukkan fluks air ang lebih rendah daripada membran UF yang tidak termodifikasi. Hal ini dikarenakan adanya pelapisan (coverage) dari grafted polimer. Namun demikian, fluks air kotor pada membran termodifikasi jauh lebih sedikit dibandingkan pada membran yang tidak dimodifikasi. Hal yang menarik adalah bahwa membran termodifikasi dapat mencapai perolehan 100% fluks permeat dengan cara mengalirkan air dingin, sedangkan pada membran tak termodifikasi hanya mencapai perolehan 81% dari fluks awal. Efisiensi penghilangan TOC pada membran tak termodifikasi adalah >94%, dan 100% pada membran termodifikasi. Maka dari itu, membran termodifikasi jauh lebih baik berdasarkan perolehan fluksnya. Hal yang penting yang perlu diingat adalah bahwa sifat fisika dan kimia dari membran mempengaruhi keefektifan dari pemisahan. Selain itu, kondisi-kondisi operasi juga merupakan faktor penentu dalam penggunaan praktis teknologi membran. Kondisi-kondisi operasi tersebut berupa temperatur (T), tekanan transmembran (TMP), laju cross flow (CFV) pada fluks permeat, resistansi fouling, dan penolakan TOC. Berdasarkan studi, tekanan transmembran memiliki dampak yang sangat tinggi pada fluks permeat dan resistansi fouling, sedangkan laju cross flow memiliki dampak lebih dalam penghilangan TOC. Eksperimen dan metodologi desain faktorial penuh digunakan lebih lanjut untuk mengoptimasi dan mengetahui dampakdampak dari setiap kondisi operasi. Untuk membran PAN350 UF (Shahabadi dan Reyhani, 2014), didapat bahwa: (i) untuk fluks permeat: TMP > T > CFV > T-TMP > T-CFV, (ii) untuk resistansi fouling: TMP > T > CFV > T-TMP > T-CFV > TMP-CFV, (iii) untuk penolakan TOC > CFV > T > TMP
5. Ultrafiltrasi (UF) Proses ultrafiltrasi adalah salah satu metode yang digunakan untuk menghilangkan minyak dari air limbah pada industri minyak. Membran biasanya terdiri dari asimetrik berpori dengan ukuran pori 1100 nm. Pada membran UF, tekanan hidrostatik akan memaksa cairan untuk menembus membran semipermeabel. Tekanan yang digunakan berkisar antara 1-10 bar. Sama seperti MF, prinsip pemisahan pada mebran UF adalah mekanisme sieving. Beberapa keuntungan UF adalah klarifikasi dan disinfeksi (menggantikan proses konvensional), automasi yang sederhana, kualitas air yang dihasilkan bagus dan konstan tanpa pengaruh dari air umpan, dll. (Wenten dan Aryanti, 2014). Namun, karena tingginya fluks permeat, sangat mudah terjadi fouling pada membran UF. Cara yang paling efektif dalam mengurangi fouling adalah membuat permukaan membran lebih hidrofilik dan mengurangi kekasaran lapisan. Penemuan-penemuan juga telah dilakukan untuk meningkatkan kinerja UF pada pengolahan air terproduksi. Salah satunya adalah dengan menggunakan membran selulosa yang hidrofilik dan tahan terhadap fouling (Wandera dkk, 2011). Pada
6
> TMP-CFV > T-TMP. Dengan menggunakan kondisi-kondisi operasi yang erbaik, 100% minyak, 100% TSS, 99% turbiditas, dan sekitar 50% TOC dapat berhasil dihilangkan dari air terproduksi. Hasil ini menunjukkan bahwa adalah penting untuk mengoptimasi parameter-parameter operas untuk mendapatkan kualitas air terproduksi yang paling baik. Pada operasi optimisasi yang serupa, pengolahan air limbah dari unit Tehran API digunakan untuk proses UF pada kondisi operasi yang berbeda dan hasil permeatnya dibandingkan dengan hasil discharge air terproduksi dari pengolahan biologi (Salahi dkk, 2012). Dua jenis komersial membran UF, PAN dan PSf dipelajari pada skala pilot untuk optimisasi. Setelah mempelajari efek TMP, CFV, pH, dan temperatur, ditemukan bahwa kondisi optimumnya adalah TMP– 3bar, CFV–1 m/s, T–40℃, dan pH–9. Membran PAN menunjukkan fluks air dan resistansi fouling yang lebih baik dibandingkan membran PSf. Penggunaan EDTA untuk agen pembersih dan SDS sebagai surfaktan diketahui efektif untuk mengembalikan fluks permeasi hingga 90%. Dengan menggunakan parameter-parameter lain, kecuali penyisihan COD, terbukti bahwa proses UF lebih baik daripada pengolahan biologi. Jadi, proses UF dapat menjadi teknologi membran yang efektif untuk pengolahan air terproduksi, khususnya untuk air terproduksi yang kadar salinasinya rendah dan tidak terlalu beracun. Jika air terproduksi tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan, maka cukup dengan UF saja kualitas air terproduksi sudah mendekati batas discharge yang diperbolehkan, misalnya pada industri minyak lepas pantai. Pada kondisi yang lebih praktikal, proses UF dapat menjadi proses yang penting sebelum air terproduksi diolah pada membran NF dan RO, sehingga akhirnya didapat air yang lebih jernih dan dapat digunakan kembali, seperti irigasi ataupun untuk ternak. Pengembanganpengembangan pada membran UF berfokus utama pada pengurangan intensitas fouling, sehingga diharapkan membran UF dapat
bekerja lebih optimal untuk keperluan mengolah air terproduksi maupun umpan lainnya yang hendak diolah. 6. Nanofiltrasi (NF) dan Reverse Osmosis (RO) Membran NF dan RO beroperasi pada tekanan yang lebih tinggi daripada membran MF dan UF. Pada membran RO, fluks permeat berbanding proporsional terhadap tekanan operasi, sedangkan permeasi garam tidak bergantung pada tekanan. Maka dari itu, membran akan lebih selektif jika dioperasikan pada tekanan tinggi. Kedua membran, baik NF dan RO, bekerja secara efektif dalam menghilangkan mineral inorganik. Perbedaan dari membran NF dan RO adalah selektivitasnya (Wenten dkk, 2014b). Membran RO menolak semua ion terlarut, baik monovalen, divalen, dan polivalen, sedangkan membran NF memperbolehkan ion monovalen, seperti Na+, Cl-, untuk melewati membran. Kebanyakan membran NF dan RO terbuat dari komposit lapis tipis. Karena membran ini sangat selektif pada tekanan tinggi, membran NF dan RO sangat mudah terjadi fouling. Maka dari itu, umpan yang diberikan saat NF dan RO harus relatif bersih dari partikel tersuspensi, lempung, dll. Sebelum umpan memasuki proses NF dan RO, umpan dilalui melalui tahap pretreatment. Efek dari tahap pretreatment tersebut telah dipelajari melalui uji coba mengenai desalinasi dari oil sands processaffected water (OSPW) (Kim dkk, 2011). Pengolahan air produk dilakukan dengan menggunakan membran komersial NF dan RO dari GE-Osmonics. Pada percobaan tersebut, dilakukan tiga cara yang berbeda, koagulasi-flokulasi-sedimentasi (CFS) – untuk mengetahui hasil produk yang akhirnya akan saling dibandingkan. Ketiga metode dari prosedur pretreatment tersebut adalah: (1) material padatan pada air terproduksi mengendap hanya dengan bantuan gravitasi, (2) pada OSPW dilakukan CFS dengan ditambahi koagulan alum sebagai pretreatment, (3) pada OSPW
7
dilakukan CFS, alum, koagulan poli(dimetildialilamoniumklorida). Setelah proses berlangsung selama 4-5 jam, umpan membran yang tidak melalui proses pretreatment akan mengalami reduksi fluks sebanyak 80% atau bahkan lebih. Dengan menggunakan gravitasi (cara ke-1), reduksi fluks yang terjadi sebesar 50%. Sedangkan pada cara ke-2 dan ke-3, reduksi fluks di bawah 40%. Namun demikian, tahap pretreatment saja tidak dapat mengurangi kadar COD dan TDS dari umpan air sehingga reduksi fouling dapat terjadi karena adanya penghilangan padatan melalui proses CFS pada pretreatment. Dari keempat membran yang dipelajari, membran dengan alum dapat mencapai 98.5% desalinasi OSPW. Pembersih kimia digunakan untuk menghilangkan lapisan fouling pada membran. Hasil yang diperoleh pun sesuai dengan harapan, yaitu bahwa penyaringan langsung pada pengolahan air terproduksi tanpa pretreatment menyebabkan terjadinya fouling pada membran. Walaupun fluks permeasi meningkat dengan peningkatan TMP, penurunan fluks semakin tajam pada TMP yang bernilai tinggi, sedangkan semakin meningkat CFV, maka semakin rendah fouling yang terjadi pada membran NF dan RO. Sehingga dapat disimpulkan bahwa adalah benar perlu adanya tahap pretreatment agar membran NF dan RO dapat bekerja dengan lebih baik (mengurangi frekuensi terjadinya fouling). Alih-alih proses NF atau RO berdiri sendiri, kombinasi dari membran NF dan RO dengan membran UF dan MF juga dapat dilakukan untuk mewujudkan pengolahan air yang lebih efektif. Contohnya adalah kombinasi membran UF yang termodifikasi dengan membran RO untuk pengolahan dari air flowback (Miller dkk, 2013). Membran UF dan RO dimodifikasi melalui polimerisasi in situ dengan dopamin untuk membuat permukaan membran lebih hidrofilik dan tahan terhadap fouling. Membran UF polidopamin tersebut dimofidikasi lebih lanjut dengan mereaksikannya dengan PEGNH2. Membran polidopamin-PEG tersebut menunjukkan fluks permeat yang realtif lebih
tinggi, tekanan yang lebih rendah, serta meningkatkan efisiensi pembersihan dibandingkan dengan membran UF yang tidak dimodifikasi. Membran RO yang dimodifikasi dengan polidopamin juga menunjukkan penolakan garam yang lebih tinggi daripada membran RO tak termodifikasi. Pada studi skala pilot, penggunaan membran RO yang dikombinasikan dengan tiga jenis tahap pretreatment yang berbeda dilaporkan dapat mengolah air terproduksi dari Coal-bed methane (CBM) (Qian dkk, 2012). Beberapa tahap pretreatment, yakni Manganese sand filter, sand filter, dan membran UF digunakan sebelum umpan air terproduksi memasuki pengolahan secara RO. Manganese sand filter menyisihkan Fe dan Mn hingga 100%, yang mula-mula terdapat 0.22 dan 0.04 ppm pada air terproduksi. Selain itu, manganese sand filter menurunkan turbiditas hingga 97%. Kombinasi dari sand filter, UF, dan terakhir RO menunjukkan penyisihan total turbiditas dan ion F-. Penyisihan 98% TDS, 81,6% COD, 85,4% NH3, dan 96,99% ion Cl- juga dilaporkan tersisihkan dari kombinasi pengolahan tersebut. Hasil tersebut ternyata sesuai dengan model teoritis yang dibuat untuk memprediksi performansi membran. Yang menarik adalah, hasil tersebut menunjukkan bahwa air yang telah diolah tersebut memenuhi standar air minum di China. Jadi secara garis besar dapat disimpulkan bahwa penggunaan NF dapat menjadi sangat selektif pada industri miyak dan gas. Banyak pengeboran minyak tersebut menggunakan air segar untuk menjaga tekanan dan memompa minyak keluar. Untuk tujuan ini, kualitas air bisa saja tidak terlalu baik. Air segar tersebut harus bebas dari korosi, blocking pori, dan ion-ion yang scale forming. Agar kriteria tersebut dapat dicapai, maka digunakan air laut yang bebas dari ionion yang telah disebutkan di atas untuk pengeboran minyak lepas pantai. Membran NF kemudian dapat bekerja efektif dalam menyisihkan ion-ion multivalen yang dapat menyebabkan masalah. Hal yang penting
8
untuk diperhatikan adalah bahwa tekanan operasi pada membran NF lebih kecil, sehingga biaya operasinya pun lebih kecil jika dibandingkan dengan membran RO.
basah suatu membran, semakin efektif proses MD tersebut. Terlebih lagi, jika tekanan uap senyawa organik tersebut rendah (mudah menguap), maka senyawa tersebut akan dengan lebih mudah melalui lapisan membran pada MD. Selain itu, gas-gas yang terlarut pun akan mudah melewati membran MD. Maka dari itu, umpan dari proses MD harus diusahakan mengandung sesedikit mungkin senyawa organik, terutama komponen yang memiliki titik didih yang rendah, agar proses MD berjalan lebih efektif. Jika tidak demikian, permeat yang diperoleh akan tetap mengandung material organik dan gas-gas terlarut yang akan membutuhkan pengolahan lebih lanjut sebelum digunakan atau dikonsumsi. Terdapat 4 mode operasi yang terdapat pada proses MD: (1) Direct contact MD (DCMD), (2) Air gap MD (AGMD), (3) Sweep gas MD (SGMD) and (4) Vacuum MD (VMD). Seperti namanya, umpan dan permeat pada DCMD berkontak langsung dengan membran. Pada VMD, alih-alih mensirkulasi air dingin pada bagian permeat, keadaan vakum diaplikasian dan uap yang dihasilkan menjadi condensed. Pada AGMD, jarak udara dibentuk antara membran dan permukaan kondensasi. Pada SGMD, air dingin disirkulasikan pada sisi permeat agar mengumpulkan uap-uap yang terbentuk. Dari semua kombinasi tersebut, hanya sisi permeat yang divariasikan bergantung pada metode kondensasinya. Sisi umpan dibuat sama untuk semua proses, yaitu dengan menggunakan air panas. Sisi permeat seharusnya 20℃ lebih dingin dari sisi umpan agar distilasi berjalan efektif. Forward osmosis (FO) adalah teknologi membran lain yang akhir-akhir ini juga mulai mendapat perhatian untuk pengolahan air terproduksi (Cath dkk, 2006). Pada proses RO, tekanan harus diaplikasikan untuk mengatasi tekanan osmotik umpan agar molekul air dapat dipaksa untuk melewati membran. Kebalikan dari RO, pada FO sisi permeat terdiri dari larutan yang mengandung tekanan osmotik yang lebih tinggi. Pemisahan pada FO berlangsung secara alami karena adanya perbedaan
7. Desalinasi Termal dan Forward Osmosis (FO) untuk Pengolahan Air Terproduksi Teknologi desalinisasi yang muncul awal adalah desalinasi termal. Dua metode desalinasi termal yan masih digunakan adalah multistage flash distillation (MSF) dan multiple effect distillation (Munirasu dkk, 2016). Kedua metode distilasi tersebut dapat memisahkan komponen dengan skala yang sangat besar dan operasi yang cukup lama, di mana di beberapa kasus mencapai 20 tahun. Namun demikian, teknologi tersebut sangatlah mahal dan cukup menggunakan banyak energi. Karena latar belakang demikianlah, inovasi-inovasi teknologi membran dikembangkan secara terus menerus. Salah satu teknik desalinasi termal yang dirasakan paling efektif adalah membran distilasi (MD) (Wang dan Chung, 2015). Membran distilasi memperlukan panas untuk beroperasi. Di mana MF, UF, NF, dan RO menggunakan tekanan sebagai gaya dorongnya, MD menggunakan perbedaan termal antara umpan dan permeat sebagai gaya dorongnya. MD berpotensi menjadi metode pengolahan air terproduksi yang baik karena tingginya perolehan air yang dihasilkan. Pada operasi membran yang berbasis tekanan, membran akan memisahkan polutan dari air sehingga akhirnya dihasilkan permeat dan retentat yang berkonsentrasi tinggi. Retentat yang berkonsentrasi tinggi lama-kelamaan akan mengganggu proses pemisahan. Namun, karena MD beroperasi memanfaatkan perbedaan temperatur, konsentrasi rententat yang tinggi tidak akan mengganggu pemisahan tersebut. Maka dari itu, MD dapat digunakan untuk tahap terakhir untuk perolehan air dari konsentrasi garam yang tinggi (Maab dkk, 2012, 2013) Namun demikian, kehadiran senyawa organik akan mengganggu proses MD. Senyawa organik akan memberi dampak pada sifat pembasahan dari membran. Semakin tidak
9
tekanan antara umpan dan larutan pendorong. Semakin besar perbedaan tekanan osmotik antara umpan dan larutan, semakin efisien pemisahan dapat berlangsung. Karena air produk mengandung TDS yang cukup tinggi, maka dari itu larutan pendorong tersebut harus memiliki konten garam yang lebih tinggi daripada umpan dari air produk. Larutan pendorong tersebut dapat berupa NaCl dan MgSO4 hingga senyawa-senyawa kimia baru, seperti garam termolitik, pelarut yang polaritasnya dapat ditentukan (Shaffer dkk, 2013). FO beroperasi pada tekanan yang rendah, biasanya pada kondisi umum, sehingga fouling yang terjadi lebih sedikit daripada RO. Selama proses FO, larutan pendorong semakin encer karena terjadinya osmosis sehingga larutan tersebut harus diregenerasi (ditambah agar konsentrasinya meningkat). Karena air terproduksi mengandung TDS yang tinggi, di beberapa kasus, MD dapat menjadi alternatif yang feasible untuk regenerasi dari larutan pendorong tersebut. Kombinasi dari FO dan MD untuk perolehan air dari air terproduksi sintetis kemudian diujikan (Zhang dkk, 2014). Membran yang digunakan adalah hollow fiber TFC untuk FO dan PVDF untuk MD. 2M NaCl digunakan sebagai larutan pendorong pada proses FO, dan umpannya adalah air minyak (4000 ppm) dengan 1000 ppm asam asetat. Hasil menunjukkan bahwa >99.9% minyak dan ~80% asam asetat ditolak pada FO. MD selanjutnya menunjukkan 99.9% penolakan garam dan 47% penolakan asam asetat pada suhu 60℃. Hal-hal yang telah diuraikan di atas adalah hasil-hasil yang menjajikan untuk menggunakan manfaat daru kombinasi FO dan MD. Karena air terproduksi termasuk air limbah yang sulit diolah, kombinasi FO dan MD dapat dipelajari lebih lanjut untuk aplikasi praktikal di masa depan. Pada proses MD, membran komersial yang sudah ada memiliki fluks permeasi air yang cukup rendah, sehingga perlu adanya peningkatan sehingga proses tersebut dapat berlangsung lebih ekonomis dan efisien.
Secara keseluruhan, agar pengolahan air terproduksi dapat berjalan dengan sukses, selain dari keefektifan setiap proses membran, biaya operasi dapat pula menjadi faktor yang menentukan. Contohnya adalah, biaya operasi air laut untuk membran RO adalah kurang dari 25%, sedangkan 30-50% untuk membran UF karena adanya fouling yang tinggi pada mebran UF (Baker, 2004). Proses mikrofiltrasi adalah proses yang baik dan memiliki harga yang bersaing. Selain biaya produksi membran, konidisi operasi dan desain modul membran juga merupakan peran yang penting dalam menentukan biaya akhir. Misalnya adalah modul tekanan tinggi lebih mahal dengan modul tekanan rendah, serta modul hollow fiber lebih murah dibandingkan spiral wound. Namun demikian, parameter yang paling penting dalam menentukan keefektifan dan umur dari proses membran adalah kualitas dari umpan air terproduksi. Maka dari itu, dalam memilih proses membran, adalah baik untuk memeriksa segala kondisi untuk dapat menentukan membran dan kondisi operasi mana yang sesuai dengan permasalahan. 8. Kesimpulan Kerumitan dan kesulitan dalam pengolahan air terproduksi maupun air proses menjadi air – yang kadar kontaminasinya memenuhi regulasi yang berlaku – pada industri minyak dan gas membuat pengolahan air terproduksi dan air proses adalah salah satu proses yang penting dan sulit. Sebelum teknologi membran berkembang, industri minyak menggunakan proses fisika dan kimia untuk memurnikan air terproduksi tersebut. Namun, seiring dengan perkembangan teknologi membran, teknologi membran menarik perhatian industri-industri minyak tersebut dan membran dapat menjadi salah satu cara efektif yang dapat menyelesaikan permasalahan tersebut. Secara keseluruhan, pengolahan air dan tujuan akhir dari pengolahan air dapat dilihat pada Gambar 5. Secara umum, pengolahan air terproduksi menggunakan teknologi membran yang berbasis tekanan, yaitu mikrofiltasi,
10
ultrafiltrasi, nanofiltrasi, dan reverse osmosis. Selain berbasis tekanan, penggunaan membran pada pengolahan air juga dapat berbasis perbedaan temperatur, yakni membran distilasi, sedangkan untuk proses pemisahan alami yang sedang disoroti adalah forward osmosis. Air terproduksi
Pengolahan primer •Secara kimiawi •Secara biologi dan sekunder Teknologi Membran
•Ultrafiltrasi -> discharge •NF dan RO-> reuse
Gambar 5. Skema pengolahan air terproduksi (diadaptasi dari Munirasu dkk, 2016)
Akhir kata, peran engineering pada teknologi membran adalah untuk mengoptimasi segala proses yang ada dengan menggunakan biaya yang paling efektif dan efisien. Proses membran yang disiapkan juga harus tahan terhadap fouling serta menghasilkan produk pengolahan air yang baik. Daftar Notasi q A k
∆h L v D ∆p d
laju aliran [m3/s] luas permukaan [m2] koefisien permeabilitas [m/s] perbedaan pressure head [m] panjang tabung hidraulik [m] laju difusi [kg.m2/s3] koefisien difusi [m2/s] perbedaan tekanan [kg.m/s2] ketebalan lapisan [m]
11
Daftar Pustaka
References
REFERENCES Baker, R.W. (Ed.), (2004). Membrane Technologoy and Applications. Second ed. John Wiley % Sons, West Sussex, Inggris. Beier, S.P. (2007). Pressure Driven Membrane Processes, 2nd Edition. BookBoon, Inggris. 4-19. Cath, T., Childress, A., Elimelech, M., (2006). Forward Osmosis: Principles, Applications, and Recend Developments. J. Membr. Sci. 281, 70-87. da Silva, S.S., Chiavone-Filho, O., de Barros Neto, E.L., Nascimento, C.A., (2012). Integration of Processes Induced Air Flotation and Photo-Fenton for Treatment of Residual Waters Contaminated with Xylene. J. Hazard. Mater. 199-200, 151-157. Deng, S., Yu, G., Jiang, Z., Zhang, R., Ting, Y.P., (2005), Destabilization og Oil Droplets in Produced Water from ASP Flooding. Colloids Surf., A: Physicochem. Eng. Aspect 252, 113-119 Esmaeilirad, N., Carlson, K., Omuur Ozbek. P., (2015). Influence of Softening Sequencing on Electrocoagulation Treatment of Produced Water. J. Hazard. Mater. 283. 721-729. Igunnu, E.T., Chen, G.Z., (2012). Produced Water Treatment Technologies. Int J. Low-Carbon Technology. 9, 157-177. Kim, E.S., Liu, Y., Gamal El-Din, M., (2011). The Effects of Pretreatment on Nanofiltration and Reverse Osmosis Membrane Filtration for Desalination of Oil Sands Process-Affected Water. Sep. Purif. Technol. 81, 418-428. Li, L., Lee, R., (2009). Purification of Produced Water by Ceramic Membranes: Material Screening, Process Design and Economics. Sepc. Sci. Tecjmol. 44, 3455-3484. Maab H., Francis, L., Al-saadi, A., Aubry, C., Ghaffour, N., Amy, G.L., Nunes, S.P., (2012). Synthesis and Fabrication of Nanostructured Hydrophobic Polyazole Membranes for Loew-Energy Water Recovery. J. Membr. Sci. 423-424, 11-19. Maab H., Francis, L., Al-saadi, A., Aubry, C., Ghaffour, N., Amy, G.L., Nunes, S.P., (2013). Polyazole hollow fiber membranes for direct contact membrane distillation. Ind. Eng. Chem. Res. 52, 1042510429. Miller, D.J., Huang, X., Li, H., Kasemset, S., Lee, A., Agnihotri, D., Hayes, T., Paul, D.R., Freeman, B.D., (2013). Fouling-Resistant Membranes for the Treatment of Flowback Water from Hydraulic Shale Fracturing: A Pilot Study. J. Membr. Sci. 437, 265-275. Motta, A., Borges,C., Esquerre, K., Kiperstok, A., (2014). Oil Produced Water Treatment for Oil Removal by an Integration of Coalescer Bed and Microfiltration Membrane Processes. J. Membr. Sci. 469. 371-381. Mulder, M., (1996). Basic Principles of Membrane Technology. Kluwer academic Publishers, Dordrecht, Netherlands. Munirasu, S., Haija, M.A., Banat, F., (2016). Use of Membran Technology for Oil Field and Refinery Produced Water Treatment – A Review. 184-199. Qian, Z., Liu, X., Yu, Z., Zhang, H., Ju, Y., (2012). A pilot-scale demonstration of Reverse Osmosis Unit for Treatment of Coal-Bed Methane Co-Produced Water and Its Modeling. Chin. J. Chem. Eng. 20, 302-311. Salahi, A., Mohammadi, T., Rahmat Pour, A., Rekabdar, F., (2012). Oily Wastewater Treatment Using Ultrafiltration. Desalin. Water Treat. 6, 289-298. Shaffer, D.L., Arias Chavez, L.H., Ben-Sasson, M., Romero-Vargas Castrillon, S., Yip, N.Y., Elimelech, M., (2013). Desalination and Reuse of High-Salinity Shale Gas Produced Water: Drivers, Technologies, and Future Directions. Environ. Sci. Technol. 47, 9569-9683. Shahabadi, S.M.S., Reyhani. A. (2014). Optimization of Operating Conditions in Ultrafiltration Process for Produced WaterTreatment via Full Factorial Design Methodology. Sep. Purif. Technol. 132, 50-61. Walker, A.K., Markoski, L.J., Deeter, G.A., Moore, J.S. (1994). Crosslinking chemistry for highperformance polymer networks. 5012-5013.
12
Wandera, D., Wickramasinghe, S.R., Husson, S.M., (2011). Modification and Characterization of Ultrafiltration Membranes for Treatment of Produced Water. J. Membr. Sci. 373, 178-188. Wang, P., Chung T.S., (2015). Recent Advances in Membrane Distillation Processes: Membrane Developemnt, Configuration Design and Application Exploring. J. Membr. Sci. 474, 39-56. Wang, Y., Yan, J.N., Li, Z.Y., Wang, L.G., Wu, J., Tao, Y., You, L.C., (2014). The Mechanism of Removing the Organic Matter in Heavy Oil Sewage by the Electric Flocculation Method. Pet. Sci. Technol. 32, 1529-1536. Wenten, I.G., (2014). “Intensifikasi Proses Berbasis Membran.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Wenten, I.G.; Aryanti, P.T.P.; Khoiruddin; (2014). “Teknologi Membran dalam Pengolahan Limbah.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Wenten, I.G.; Aryanti, P.T.P.; (2014). “Ultrafiltrasi dan Aplikasinya.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Wenten, I.G.; Hakim, A.N.; Aryanti, P.T.P.; (2014 a). “Bioreaktor Membran untuk Pengolahan Limbah Industri.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Wenten, I.G.; Khoiruddin; Hakim, A.N.; (2014 b). “Pengantar Teknologi Membran.” Teknik Kimia Institut Teknologi Bandung. Zhang, J.C., Wang, Y.H. Song, L.F., Hu, J.Y., Ong, S.L., Ng, W.J., Lee, L.Y., (2005). Feasibility Investigation of Refinery Wastewater Treatment by Combination of PACs and Coagulant with Ultrafiltration. Desalination 174, 247-256. Zhang, S., Wang, P., Fu, X., Chung, T.S., (2014). Sustainable Water Recovery from Oily Wastewater via Forward Osmosis-Membran Distillation (FO-MD). Water Res. 52, 112-121.
13