APLIKASI MODEL SIMULASI UNTUK PREDIKSI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKTIVITAS TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) DI INDONESIA
SALWATI
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi saya yang berjudul “Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia” adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan Komisi Pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun untuk memperoleh gelar program sejenis di Perguruan Tinggi lain mana pun. Sumber informasi yang berasal atau yang dikutip dari karya yang diterbitkan maupun yang tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini. Bogor, 15 Juni 2012
Salwati NRP. G261090041
ABSTRACT SALWATI, Simulation Model Application to Predict Impact of Climate Change on Potato Productivity in Indonesia, Under supervision of HANDOKO, IRSAL LAS, and RINI HIDAYATI. Potato is an important horticulture crop in Indonesia in terms of planted area more than 55.000 ha and its production 864.000 ton. The crop is commonly grown in upland areas above 800 m where runoff and erosion often cause environmental problem whereas the yield is relatively low due to various reasons. The crop growth depends on climatic variables particularly rainfall, solar radiation and temperature. Climate change, particularly temperature increase and rainfall decrease, is expected to adversely impact potato growth with the results of even lower yield of the crop compared to the current yield. In order to develop potato crop simulation model, field experiment at Pacet and Galudra (West Java Province) and Kerinci (Jambi Province) were conducted to derive parameters that are required for model building and validation. The experiments were conducted from December 2009 to September 2011. The model being constructed consists of (1) crop-development submodel, (2) crop-growth submodel, and (3) water-balance submodel. Model was calibrated using data collected from three field experiments. The application includes determining potential yield of potato crop under different climates, both under current condition and under different climate change scenarios. The model was also run at different planting dates to find the maximum yield from which optimum planting date was determined. Result showed that in general validation results using paired t-test suggest that model predictions are not significantly different (P > 0,05) with field measurements at Galudra and Kerinci for variables of periods of developmental phases, biomass of root, stem, leaf and tuber, leaf area index, and soil water content (Granola cultivar) and biomass of stem, tuber and soil water content (Atlantic cultivar). However, graphical test of the relationships between model predictions and field measurements have coefficients of determination (R2) higher than 0,80 for all of variables being tested. The simulation model of development, growth and waterbalance of potato crop could predict climate change impact on potato productivity in several potato production centers in Indonesia (Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Pasuruan, Wonosobo, and Deli Serdang). Predicted potato yields in the six potato production centers using three scenarios of increasing temperature and decreasing rainfall for the year 2020, 2050, and 2080 based on climate change projection in Indonesia for the future (SRES A1) were in the range of 13% – 31%, 25% – 47% and 37% – 63%, respectively. Potato production center in Pangalengan was predicted to experience the biggest decline in yield for all scenarios. Predicted yield of Atlantic variety was 25 ton ha-1, which was higher than Granola variety of 16 ton ha-1. Climate change adaptation options based on simulation of the model are: optimal planting time, use of superior potato varieties that have higher value of RUE, and select application of suitable potato varieties that are more tolerant to high temperatures. Keywords: climate change, productivity, prediction, potato, simulation model
RINGKASAN SALWATI. Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia. Dibimbing oleh: HANDOKO, IRSAL LAS, RINI HIDAYATI. Pertumbuhan tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) tergantung pada unsur-unsur cuaca terutama curah hujan, radiasi surya dan suhu udara. Fluktuasi unsur-unsur cuaca merupakan salah satu penyebab kesenjangan produktivitas kentang saat ini. Perubahan iklim akibat pemanasan global diperkirakan akan membawa dampak yang signifikan terhadap produksi kentang nasional karena tanaman kentang hanya berproduksi tinggi pada daerah bersuhu rendah dan sangat sensitif terhadap perubahan suhu udara. Antisipasi dampak perubahan iklim khususnya peningkatan suhu udara dan fluktuasi curah hujan terhadap produksi kentang nasional memerlukan informasi tentang hubungan antara perubahan unsur-unsur cuaca/iklim tersebut dengan perubahan produksi kentang di Indonesia. Model simulasi tanaman yang mampu menjelaskan pengaruh unsur-unsur cuaca terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang di Indonesia akan bermanfaat untuk memprediksi potensi produksi dan antisipasi dampak perubahan iklim terhadap penurunan produksi pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang yang dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi selama periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang. Model simulasi yang sudah disusun dan divalidasi digunakan untuk memprediksi dan mengantisipasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas (potensi produksi) kentang pada sentrasentra produksi kentang di Indonesia. Percobaan lapang pada tiga lokasi di Pacet dan Galudra, Provinsi Jawa Barat, serta di Kerinci, Provinsi Jambi, dilakukan untuk menunjang penyusunan model, yaitu untuk kalibrasi model (Pacet) dan validasi model (Galudra dan Kerinci). Percobaan lapang dilakukan untuk mendapatkan nilai parameter yang akan digunakan untuk menyusun model, yang mencakup pengukuran unsur-unsur cuaca, pertumbuhan dan perkembangan tanaman, kadar air tanah dan parameter pertumbuhan serta tanah. Model simulasi tanaman kentang disusun setelah mendapatkan nilai-nilai parameter yang diturunkan dari hasil percobaan lapang dan studi literatur. Model simulasi tanaman kentang yang disusun merupakan model mekanistik yang dapat menjelaskan proses-proses yang berhubungan dengan pertumbuhan, perkembangan dan neraca air tanaman kentang sesuai dengan percobaan lapang dan masukan yang diberikan. Selanjutnya, validasi dilakukan dengan menggunakan data hasil pengamatan dan pengukuran pada Percobaan II di daerah Galudra, Jawa Barat, perlakuan J2U1 dan Percobaan III, di daerah Kerinci, Jambi, perlakuan J1V1(varietas Granola) dan J1V2 (varietas Atlantis) Hasil pengujian dengan uji t berpasangan antara model dengan observasi di Galudra dan Kerinci untuk varietas Granola menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) pada peubah umur tanaman, biomassa akar, batang, dan umbi, LAI serta kadar air tanah. Pengujian pada varietas Atlantis menunjukkan
perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) hanya pada biomassa akar dan umbi serta kadar air tanah. Namun demikian, berdasarkan uji grafik hubungan antara model dengan pengukuran lapang menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang lebih besar dari 0,80 untuk semua peubah yang diuji. Berdasarkan validasi model tersebut, model simulasi tanaman kentang mampu menduga umur tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, serta LAI dan kadar air tanah sesuai dengan pengukuran lapang. Model simulasi yang disusun dapat diaplikasikan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia yang dapat digunakan untuk membantu perencanaan guna mengantisipasi dampak perubahan iklim. Prediksi dilakukan menggunakan skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan proyeksi perubahan iklim di Indonesia pada masa yang akan datang (SRESA1). Skenario yang digunakan yaitu : 1) skenario I (tahun 2020): suhu udara naik 1 °C dan curah hujan turun 5%, 2) skenario II (tahun 2050) : suhu naik 1,8 °C, curah hujan turun 10% dan, 3) skenario III (tahun 2080): suhu naik 2,3 °C, curah hujan turun 15%. Hasil prediksi menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C (tahun 2020), 1,8 °C (tahun 2050), serta 2,3 °C (tahun 2080) dibanding kondisi cuaca saat ini, mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan tanaman kentang di Minahasa, Alahan Panjang Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang semakin pendek sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. Umur tanaman yang singkat berdampak pada pengurangan biomassa tanaman yang selanjutnya akan menurunkan hasil (produktivitas) tanaman kentang masing-masing 8% – 28%, 16% – 41%, dan 29% – 57%. Produktivitas kentang mengalami penurunan pada lima sentra produksi kentang masing-masing 2% – 12%, 4% – 27%, dan 8% – 31% akibat penurunan curah hujan sebesar 5%, 10% , dan 15%. Penurunan produktivitas terbesar terjadi di Pasuruan dan dan terkecil di Pangalengan. Penurunan curah hujan pada ketiga skenario di Alahan Panjang tidak menyebabkan terjadi penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan karena air tidak menjadi faktor pembatas, sehingga penurunan curah hujan tidak menyebabkan penurunan biomassa selama masa pertumbuhan tanaman kentang. Hasil model menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan secara bersama-sama mengakibatkan penurunan periode masingmasing fase perkembangan tanaman dan penurunan kadar air tanah, yang akhirnya mengakibatkan pengurangan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Pengurangan biomassa umbi semakin besar pada peningkatan suhu udara yang makin tinggi atau penurunan curah hujan yang makin besar sesuai Skenario I, II dan III. Pada penelitian ini prediksi penurunan produktivitas untuk Skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada ketiga skenario perubahan iklim. Analisis dampak perubahan iklim juga dilakukan dengan mensimulasikan waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang. Analisis dilakukan dengan simulasi waktu tanam tiap 10 hari (dasarian) mulai 1 Januari sampai 31 Desember di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli
Serdang. Prediksi perbedaan waktu tanam terhadap umur tanaman dan produktivitas dianalisis pada keenam sentra produksi kentang tersebut Secara umum umur tanaman kentang yang panjang akan menghasilkan produktivitas tinggi dibandingkan umur tanaman yang pendek. Prediksi waktu tanam kentang (varietas Granola) saat ini di Minahasa menunjukkan produktivitas maksimum (18 ton ha-1) dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I. Di daerah Minahasa tersebut, untuk mencapai produktivitas di atas 15 ton ha-1 penanaman kentang saat ini dapat dilakukan mulai dari Februari III sampai Juni III. Produktivitas di bawah 12 ton ha-1 didapatkan apabila kentang ditanam pada Juli III/III, sehingga pada waktu tanam ini tidak dianjurkan untuk menanam kentang. Sementara itu, produktivitas maksimum (21 ton ha-1) di Alahan Panjang dapat dicapai pada waktu tanam September II sampai Desember III, sedangkan waktu tanam yang lain menghasilkan produktivitas di atas 15 ton ha-1. Produktivitas kentang tertinggi pada sentra-sentra produksi kentang yang lain juga dicapai pada waktu tanam yang berbeda-beda. Dengan menjalankan model berdasarkan waktu tanam tiap dasarian dari Januari hingga Desember, diperoleh produktivitas tiap waktu tanam tersebut yang bervariasi dan waktu tanam optimal didefinisikan sebagai waktu tanam yang menghasilkan produktivitas tertinggi. Waktu tanam optimal pada kondisi peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan Skenario I, II dan III akan menyebabkan penurunan produktivitas kentang pada keenam sentra produksi masing-masing 11% – 29%, 22% – 43%, dan 28% – 57%. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada waktu tanam optimal tersebut pada Skenario II dan III sebesar 43%, dan 57%. Pengaruh perbedaan varietas terhadap hasil tanaman kentang juga diprediksi menggunakan model simulasi untuk periode fase-fase perkembangan serta hasil umbi tanaman. Hasil prediksi menunjukkan varietas Atlatis memerlukan jumlah hari yang lebih lama untuk menyelesaikan masing-masing fase perkembangan tanaman dibanding Granola, sehingga umur kentang varietas Atlantis (116 hari) lebih panjang dari Granola (110 hari) pada tempat dan waktu tanam yang sama. Umur tanaman yang lebih panjang menyebabkan biomassa umbi varietas Atlantis lebih tinggi dari Granola. Produktivitas Atlantis sebesar 25 ton ha-1, sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1. Varietas Atlantis memiliki nilai RUE sebesar 1,79 g MJ-1, sedangkan Granola sebesar 1,12 g MJ-1, sehingga biomassa yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola. Parameter penting dalam perhitungan biomassa menggunakan konsep RUE berbeda-beda antar tanaman maupun varietasnya, sehingga salah satu opsi adaptasi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil simulasi model ini adalah memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi. Di samping itu, skenario peningkatan suhu udara menyebabkan umur tanaman semakin pendek yang mengakibatkan produktivitas kentang rendah. Oleh sebab itu, opsi adaptasi lainnya dapat dilakukan dengan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang. Opsi lain adalah menanam kentang pada dataran yang lebih tinggi, namun opsi ini akan menghadapi kendala keterbatasan lahan termasuk problem lingkungan yang akan diakibatkannya.
© Hak Cipta milik IPB, tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh Karya tulis dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
APLIKASI MODEL SIMULASI UNTUK PREDIKSI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKTIVITAS TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) DI INDONESIA
SALWATI
Disertasi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan
SEKOLAH PASCA SARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012
Penguji Luar Komisi Sidang Tertutup : Dr. Ir. Impron, M.Sc Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA
Sidang Terbuka : Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS
Judul Disertasi
:
Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia
Nama
:
SALWATI
NRP
:
G. 261090041
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Ketua
Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS. Anggota
Dr. Ir. Rini Hidayati, MS. Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Klimatologi Terapan
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc Tanggal Ujian : 11 Juni 2012
Dekan Sekolah Pasca Sarjana
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc. Agr
PRAKATA Alhamdulillahirobbil ‘alamin. Segala puji syukur kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan hidayah-NYA penulis dapat menyelesaikan penelitian dan menyusun Disertasi program Doktor pada program studi Klimatologi Terapan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak Desember 2009 sampai dengan September 2011 dengan judul “Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia”. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan tanaman hortikultura penting yang ditanam lebih dari 55 ribu ha di Indonesia dengan produksi nasional 864 ribu ton. Pertumbuhan tanaman kentang tergantung pada unsur-unsur iklim terutama curah hujan, radiasi matahari dan suhu udara. Perubahan iklim khususnya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan diperkirakan akan berdampak negatif terhadap pertumbuhan dengan produktivitas tanaman kentang. Namun demikian, prediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang di Indonesia belum tersedia sehingga diperlukan model simulasi tanaman kentang untuk analisis dampak perubahan iklim. Model simulasi tanaman kentang yang dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang beragam, diharapkan dapat digunakan untuk meningkatkan produktivitas kentang nasional. Pada kesempatan ini, dengan selesainya penelitian dan penyusunan Disertasi ini, penulis ingin menyampaikan penghargaan kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan dan dukungan, serta kerja sama yang baik. Untuk itu penulis menyampaikan terima kasih yang tidak terhingga kepada : 1.
Prof. Dr. Ir. Handoko, M.Sc., atas kesediaannya menjadi ketua komisi pembimbing. Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, nasehat, arahan, dukungan, bantuan dana, dan kerjasamanya dalam melaksanakan penelitian dan penyusunan disertasi ini.
2.
Prof. Dr. Ir. Irsal Las, MS., dan Dr. Ir. Rini Hidayati, MS., atas kesediaannya menjadi anggota komisi pembimbing. Penulis sampaikan terima kasih atas segala bimbingan, arahan, dan kerjasamanya sehingga penulis dapat menyelesaikan tugas belajar dan menyusun disertasi ini.
3.
Ketua program Studi Klimatologi Terapan Departemen Geofisika dan Meteorologi IPB, atas bimbingan, kerjasama, dan dorongan semangatnya selama penulis menjadi petugas belajar.
4.
Ketua
Komisi
Pembinaan
Tenaga
Badan
Litbang
Penelitian
dan
Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian, Kepala Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi, atas perkenannya kepada penulis untuk melanjutkan dan melaksanakan tugas belajar dan mendapatkan beasiswa. 5.
Dr. Ir. Impron, M.Sc., Dr. Ir. Haris Syahbuddin, DEA., dan Dr. Ir. Sandra Arifin Aziz, MS atas masukan pemikiran, koreksi, dan saran pada waktu sidang tertutup dan terbuka.
6.
Dr. Ir. Yayan Apriyana, M.Sc., Dr. Ir. Gusti Rusmayadi, M.Si., Dr. Ir Aris Pramudia, M.Si atas kerjasama serta masukan pemikiran selama penulis menjadi pertugas belajar dan menyusun disertasi.
7.
Rekan-rekan peneliti dan teknisi di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jambi dan BB-Pasca Panen, Lutfi Izhar, SP. M.Sc., Desi Hernita, SP. MP., Febriyezi, SP. M.Si., Robby Haryanto, bu Kus atas bantuan, dukungan dan kerjasamanya.
8.
Rekan-rekan seperjuangan mahasiswa S3 program Studi Klimatologi Terapan Departemen Geomet IPB, Ir. Yunus S, MS, Erwin Makmur, SP. MS, Ir. Urip Haryoko, M.Si, Ir. Suciantini, M.Si, Adelayda Lumengkewas, SP. M.Si, atas kekompokkan dan kerjasama yang baik selama masa perkuliahan.
9.
Mahasiswa S1 bimbingan Prof. Dr. Ir. Handoko. M.Sc., Taufik Yuliawan, Azim Cholis, S.Si., Hardie Manurung, S.Si., Ria Agustina, S.Si., Titik Qodarsih, S.Si., dan Ariyani, S.Si yang telah bekerjasama dalam berbagai aktivitas penelitian di lapang dan bantuan analisis data dukung disertasi.
10. Pak Jun, Bu Indah, Mbak Wanti, Pak Pono, Mas Aziz, Mas Nandang, dan Pak Udin di Departemen GEOMET atas partisipasinya dan bantuannya dalam berbagai aktifitas kepengurusan akademik 11. Ayahanda Rustam Ya’kub, Ibunda tercinta Hj. Rosni Gani, kakanda Dra. Mega Dewina, Drs. Hadi Erman, Dr. H. Edi Nirwan, Dr. Sri Avrides Swasti, adinda Nela Hayati, SE dan Gusri Zein, SE, atas do’a, kasih sayang, bimbingan, dukungan moril dan materil sampai selesainya tugas belajar.
12. Kerjasama Kemitraan Penelitian Pertanian dan Perguruan Tinggi (KKP3T) DIPA TA. 2010-2011, atas dukungan dana selama penelitian berlangsung. 13. Semua pihak yang tidak disebutkan namanya, yang telah turut berpartisipasi, mendukung selama penulis melaksanakan penelitian. 14. Terakhir, untuk suami tercinta Hendri Yosefina, SE dan anakku tersayang Nayshila Alfiah Safina atas kesabaran dan ketabahannya dalam mendampingi dan menghadapi masa tugas belajar penulis yang sangat tidak mudah untuk ditempuh. Penulis berharap semoga do’a, bimbingan, dukungan, bantuan, dan kerjasama dari berbagai pihak menjadi amal sholeh dan mendapat Ridho dari Allah SWT. Semoga hasil penelitian ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu khususnya di bidang pertanian.
Bogor , 15 Juni 2012 Salwati
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Padang pada tanggal 7 Maret 1973 sebagai anak ketiga dari pasangan Rustam Ya’kub dan Hj. Rosni Gani. Pendidikan sarjana ditempuh di Program Studi Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian, Universitas Andalas lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2001, penulis di terima melanjutkan studi pascasarjana di Program Studi Agroklimatologi, Departemen Geofisika dan Meteorologi FMIPA IPB dan menamatkannya pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan ke program doktor pada Program Studi Klimatologi Terapan diperoleh pada tahun 2009. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian Republik Indonesia. Penulis berkerja sebagai staf Peneliti di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Banda Aceh tahun 1998. Pada tahun 2000 sampai sekarang bekerja sebagai Peneliti Muda di Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jambi. Bidang penelitian yang menjadi fokus peneliti adalah sumberdaya Lahan dan Lingkungan. Satu buah artikel akan diterbitkan Edisi Juni 2012 pada Jurnal Biotropia dengan judul “Soil Water Balance, Biomass and Yield of Patato Crop (Solanum tuberosum L.) Grown in High Altitude Humid Tropics of Indonesia”. Dua artikel sudah diterima pada Jurnal Hortikultura Indonesia berjudul “Perhitungan Kehilangan Air pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) berdasarkan Neraca Air Lahan” dan “Analisis Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) Varietas Granola dan Atlantis. Dua buah artikel sudah diterima pada Jurnal Tanah Tropika Lampung berjudul “Model simulasi Perkembangan, Pertumbuhan, dan Neraca Air Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) pada dataran Tinggi di Indonesia” dan Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Kentang (Solanum tuberosum L.) pada sentra-sentra Produksi di Indonesia” Karya-karya ilmiah ini merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL.................................................................................................... DAFTAR GAMBAR............................................................................................. DAFTAR LAMPIRAN...........................................................................................
xv xviii xix
I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ..................................................................................... 1.2 Tujuan Penelitian................................................................................... 1.3 Keluaran Penelitian................................................................................ 1.4 Manfaan Penelitian................................................................................ 1.5 Kebaharuan (Novelty)............................................................................ 1.6 Ruang Lingkup Penelitian.....................................................................
1 6 6 7 7 9
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Sejarah Perkembangan Tanaman kentang (Solanum tuberosum L)...... 2.2 Morfologi Tanaman Kentang................................................................. 2.3 Syarat Tumbuh Tanaman Kentang........................................................ 2.4 Pengaruh unsur cuaca terhadap Perkembangan dan Pertumbuhan Tanaman Kentang.................................................................................. 2.5 Indeks Luas Daun (LAI)........................................................................ 2.6 Koefisien Pemadaman Tajuk (k)........................................................... 2.7 Berat Kering Tanaman.......................................................................... 2.8 Neraca air.............................................................................................. 2.9 Evapotranspirasi.................................................................................... 2.10 Kadar Air Tanam.................................................................................. 2.11 Kebutuhan Air Tanaman........................................................................ 2.12 Pemodelan Tanaman.............................................................................. 2.13 Fenomena Perubahan Iklim...................................................................
13 13 15 16 18 19 20 20 22 22 23 24 25
III. PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN 3.1 Pendahuluan........................................................................................... 32 3.2 Tujuan Penelitian................................................................................... 34 3.3 Metodologi............................................................................................. 34 3.3.1 Tempat dan Waktu Percobaan .................................................... 36 3.3.2 Bahan dan Alat............................................................................. 35 3.3.3 Rancangan Percobaan.................................................................. 35 3.3.4 Pelaksanaan Penelitian................................................................. 36 3.3.5 Pengukuran Kadar Air Tanah dan Kalibrasi Alat........................ 37 3.3.6 Neraca Air.................................................................................... 38 3.4 Hasil dan Pembahasan........................................................................... 38 3.4.1. Kalibrasi Alat Ukur Kadar Air Tanah........................................ 38 3.4.2. Profil Kadar Air Tanah............................................................... 40 3.4.3. Neraca Air Tanaman Kentang.................................................... 42 3.4.4. Hubungan antara Curah Hujan dan Limpasan Permukaan........ 47 3.5 Kesimpulan............................................................................................ 47
IV. KADAR AIR TANAH, BIOMASSA, DAN HASIL TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) PADA DATARAN TINGGI INDONESIA 4.1 Pendahuluan.............................................................................................. 50 4.2 Tujuan Penelitian...................................................................................... 51 4.3 Metodologi............................................................................................... 51 4.3.1 Tempat dan Waktu Percobaan ...................................................... 51 4.3.2 Bahan dan Alat............................................................................... 51 4.3.3 Rancangan Percobaan..................................................................... 51 4.3.4 Pengukuran Infiltrasi...................................................................... 52 4.3.5 Pengukuran Tanaman..................................................................... 52 4.6.5 Neraca Air...................................................................................... 52 4.4 Hasil ........................................................................................................ 53 4.4.1. Kadar air Tanah dan Neraca Air................................................... 53 3.4.2. Biomassa Tanaman dan Hasil....................................................... 55 4.5 Pembahasan.............................................................................................. 56 4.6 Kesimpulan............................................................................................... 58 V. ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN RADIASI SURYA PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA DAN ATLANTIK 5.1 Pendahuluan............................................................................................. 62 5.2 Tujuan Penelitian..................................................................................... 64 5.3 Metodologi............................................................................................... 64 5.3.1 Pengukuran radiasi Surya dan kalibrasi Alat................................. 64 5.3.2 Biomassa Tanaman kentang........................................................... 65 5.3.3 Indek Luas Daun (LAI).................................................................. 65 5.3.4 Intersepsi Radiasi Surya 65 (Q int )....................................................... 5.3.5 Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya (RUE).................................. 66 5.3.6 Unsur-unsur Cuaca........................................................................ 66 5.4 Hasil dan Pembahasan ............................................................................ 67 5.4.1 Indek Luas Daun (LAI)................................................................. 67 5.4.2 Intersepsi Radiasi Surya................................................................ 69 5.4.3 Hubungan LAI dengan Intersepsi Radiasi Surya.......................... 71 5.4.4 Biomassa Tanaman kentang......................................................... 72 5.4.5 Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya (RUE)................................ 75 5.5 Kesimpulan 78 VI. MODEL SIMULASI PERKEMBANGAN, PERTUMBUHAN DAN NERACA AIR TANAMAN KENTANG PADA DATARAN TINGGI DI INDONESIA 6.1 Pendahuluan............................................................................................. 80 6.2 Tujuan Penelitian..................................................................................... 83 6.3 Asumsi..................................................................................................... 83 6.4 Metodologi.............................................................................................. 84 6.4.1 Tempat dan Waktu......................................................................... 84 6.4.2 Tahapan Penyusunan Model Simulasi Tanaman Kentang............. 84 6.4.2.1 Submodel Perkembangan................................................... 85 6.4.2.2 Submodel Pertumbuhan...................................................... 87 6.4.2.3 Submodel Neraca Air......................................................... 90 6.4.2.4 Parameterisasi Model......................................................... 94 6.4.2.5 Kalibrasi Model.................................................................. 94 6.4.2.6 Validasi Model.................................................................... 95
6.5 Hasil dan Pembahasan.............................................................................. 96 6.5.1 Parameterisasi Model...................................................................... 96 6.5.2 Validasi Submodel Perkembangan, Pertumbuhan, dan 96 Neraca Air Tanaman Kentang......................................................... 6.5.2.1 Submodel Perkembangan Tanaman.................................... 98 6.5.2.2 Submodel Pertumbuhan Tanaman...................................... 99 6.5.2.3 Submodel Neraca Air.......................................................... 103 6.6 Kesimpulan............................................................................................... 104 VII. PREDIKSI DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKSI KENTANG PADA SENTRA-SENTRA PRODUKSI DI INDONESIA 7.1 Pendahuluan............................................................................................. 108 7.2 Tujuan Penelitian..................................................................................... 110 7.3 Metodologi................................................................................................ 110 7.3.1 Metode Prediksi.............................................................................. 110 7.3.2 Skenario Perubahan Iklim di Indonesia.......................................... 111 7.3.3 Analisis Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Kentang di Indonesia...................................................................... 112 7.4 Hasil dan Pembahasan.............................................................................. 113 7.4.1 Prediksi dampak Peningkatan Suhu Udara dan Penurunan 113 Curah Hujan terhadap Hasil Umbi Kentang Varietas Granola...... 7.4.2 Pengaruh Waktu Tanam terhadap Hasil dan Umur Tanaman 118 Kentang.......................................................................................... 7.4.3 Pengaruh Varietas Tanaman Kentang (Granola vs Atlantis) Terhadap Hasil dan Umur Tanaman Kentang............................... 123 7.5 Kesimpulan 124 VIII PEMBAHASAN UMUM......................................................................................127 IX KESIMPULAN DAN SARAN........................................................................... 137 9.1 Kesimpulan ............................................................................................. 137 9.2 Saran ....................................................................................................... 138 DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................... 139 LAMPIRAN .................................................................................................................. 149
DAFTAR TABEL Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3
Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15
Tabel 16
Hasil penelitian penyusunan model simulasi tanaman.................. Skenario SRES berdasarkan storyline......................................... Hasil kalibrasi hubungan antara kadar air tanah (% volume) dengan hambatan listrik (ohm dalam Ω) k pada percobaan pertama, kedua dan ketiga........................................................... Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama pengukuran pada Percobaan I, II dan III....................................... Nilai ETa + Ro, ETp dan Ro pada Percobaan I, II dan III.............. Nilai curah hujan dan limpasan permukaan (Ro) yang terukur pada Percobaan I, II dan III........................................................... Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama percobaan..................................................................................... Intersepsi radiasi surya oleh tajuk tanaman kentang pada Percobaan II dan III..................................................................... Nilai RUE tanaman kentang pada Percobaan II dan III.................. Nilai RUE tanaman kentang hasil-hasil penelitian sebelumnya.... Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam menyusun model simulasi tanaman kentang............................................................ Uji berpasangan t-student peubah-peubah ketiga submodel Percobaan II dan Percobaan III.................................................. Penurunan produktivitas (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara pada enam sentra produksi kentang di Indonesia.......................... Penurunan produktivitas (ton ha-1) akibat penurunan curah hujan pada sentra produksi kentang di Indonesia................................... Penurunan produktivitas (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada sentra produksi kentang di Indonesia................................................................................... Penurunan produktivitas kentang pada waktu tanam optimal di enam sentra produksi kentang akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada Tahun 2020, 2050 dan 2080.............
8 28
39 43 44 47 54 70 76 77 96 97 114 115
117
122
DAFTAR GAMBAR Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5 Gambar 6
Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9
Gambar 10 Gambar 11
Gambar 12
Gambar 13
Gambar 14
Gambar 15
Gambar 16
Gambar 17
Gambar 18
Alur kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian......................... Skenario emisi GRK (CO 2 ) tahun 1990-2100............................. Hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah pada tiga kedalaman pada Percobaan I (a), Percobaan II (b), dan Percobaan III (c)........................................................................ Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST), pada (a) Percobaan I, (b) Percobaan II dan (c) Percobaan III....................................... Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST) pada Percobaan III......... Kadar air tanah total hingga kedalaman 1 m pada semua perlakuan menurut waktu, pada (a) Percobaan I, (b) percobaan II, dan (c) percobaan III............................................................ Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST)....................................... Laju infiltrasi menurut kedalaman tanah ETa + Ro dan curah hujan selama masa pertumbuhan tanaman kentang (26–101 HST). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku....................................................................... Total kadar air tanah sampai kedalaman 1 m untuk semua kombinasi perlakuan berdasarkan waktu................................... Biomassa total pada perlakuan jarak tanam (a), dan perlakuan ukuran umbi (b) selama masa pertumbuhan tanaman kentang. Garis vertikal menunjukkan 1x simpangan baku........................ Hasil umbi pada perlakuan jarak tanam (a), dan perlakuan ukuran umbi (b). Garis vertikal menunjukkan 1x simpangan baku........................................................................................ Nilai LAI selama pengukuran, pada Percobaan II (a), dan Percobaan III (b). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku......................................................................................................... Hubungan antara LAI dengan dengan porsi radiasi surya yang ditransmisikan di bawah tajuk tanaman, pada Percobaan II(a), dan Percobaan III (b)................................................................ Hubungan nilai LAI dengan intersepsi radiasi surya kumulatif pada tajuk tanaman, pada Percobaan II (a), dan Percobaan III (b)........................................................................................... Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan II, (a) perlakuan jarak tanam, (b) perlakuan ukuran umbi bibit. Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku................................. Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan III, (a) perlakuan jarak tanam dan (b) perlakuan varietas. Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku.............................................. Hubungan radiasi surya kumulatif yang diintersepsi tajuk tanaman kentang dengan penambahan biomassa tanaman kentang pada (a) Percobaan II, varietas Granola (G1) dan (b) Percobaan III, varietas Granola (G2) dan Atlantik (G4)..............
11 29
39
41 42
45 53 54
55 55
56
56
67
69
71
73
75
77
Gambar 19 Flow chart submodel perkembangan tanaman kentang.............. Gmabar 20 Diagram Forrester submodel pertumbuhan tanaman kentang...... Gambar 21 Proporsi biomassa yang dialokasikan pada masing-masing organ akar, batang, daun, dan umbi .......................................... Gambar 22 Diagram Forrester submodel neraca air tanaman kentang........... Gambar 23 Perbandingan antara prediksi model dan observasi periode fase perkembangan tanaman di Galudra [Granola] dan kerinci [Granola,Atlantis] (a). Perbandingan plot 1 : 1 (b)...................... Gambar 24 Perbandingan antar prediksi model dan observasi LAI tanaman kentang di Galudra [Granola] dan Kerinci [Granola, Atlantis] (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b)........................................... Gambar 25 Perbandingan antara keluaran model dan observasi biomassa akar, batang, daun, dan umbi tanaman kentang di Galudra varietas Granola (a), Perbandingan plot 1 : 1 (b)........................ Gambar 26 Perbandingan antara prediksi model dan observasi biomassa akar, batang, daun, dan umbi di Kerinci varietas Granola (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b).................................................. Gambar 27 Perbandingan antara prediksi model dan observasi biomassa akar, batang, daun, dan umbi di Kerinci varietas Atlantis (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b)................................................... Gambar 28 Perbandingan antara prediksi model dan observasi kadar air tanah di Galudra dan Kerinci (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b)........................................................................................... Gambar 29 Prediksi periode fase perkembangan tanaman kentang (hari) pada kondisi cuaca saat ini dibandingkan skenario I, skenario II, dan skenario III, pada daerah Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d). Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f)............................................................................... Gambar 30 Biomassa umbi (berat basah) pada kondisi cuaca saat ini dibanding skenario I, II, dan III di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f)........................................................................ Gambar 31 Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang pada kondisi cuaca saat ini di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f). [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang].................................................................................. Gambar 32 pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Minahasa, kondisi saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis: umur tanaman, batang: produktivitas kentang].................................... Gambar 33 Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Alahan Panjang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang]......................... Gambar 34 Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Deli Serdang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman,
86 87 90 91
99
100
101
102
103
104
113
115
119
121
121
batang : produktivitas kentang].......................... 121 Gambar 35 Prediksi fase perkembangan tanaman (hari) varietas Granola dan Atlantis waktu tanam tanggal 14 Maret................................ 123 Gambar 36 Prediksi biomassa umbi kentang varietas Granola dan varietas Altantis waktu tanam tanggal 14................................................ 123
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Lampiran 2 Lampiran 3 Lampiran 4 Lampiran 5 Lampiran 6 Lampiran 7 Lampiran 8 Lampiran 9 Lampiran 10 Lampiran 11 Lampiran 12 Lampiran 13 Lampiran 14 Lampiran 15 Lampiran 16 Lampiran 17 Lampiran 18 Lampiran 19 Lampiran 20 Lampiran 21
Foto-foto Percobaan............................................................... Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan I ( Pacet)........... Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan II ( Galudra)..... Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan III (Kerinci)...... Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang Percobaan II (Galudra)......................................................... Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang Percobaan III (Kerinci)......................................................... Nilai LAI tiap perlakuan Percobaan II (Galudra).................... Nilai LAI tiap perlakuan Percobaan III (Kerinci)..................... Berat kering akar Percobaan I (Pacet)..................................... Berat kering batang Percobaan I (Pacet)................................. Berat kering daun Percobaan I (Pacet).................................... Berat kering umbi Percobaan I (Pacet)................................... Berat kering akar Percobaan II (Galudra)............................... Berat kering batang Percobaan II (Galudra)............................ Berat kering daun Percobaan II (Galudra)............................... Berat kering daun Percobaan II (Galudra)............................... Berat kering akar Percobaan III (Kerinci)............................... Berat kering batang Percobaan III (Kerinci)........................... Berat kering daun Percobaan III (Kerinci).............................. Berat kering umbi Percobaan III (Kerinci).............................. List program pemodelan tanaman kentang
149 150 151 152 153 154 155 155 156 156 156 157 157 158 158 159 159 160 160 161 162
1
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kebutuhan bahan pangan masyarakat Indonesia semakin meningkat sejalan dengan pertambahan jumlah penduduk, sehingga mendorong berbagai upaya untuk peningkatan produksi bahan pangan secara berkelanjutan. Salah satu komoditas sayuran utama dan strategis dalam program ketahanan pangan adalah tanaman kentang (Solanum tuberosum L.). Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2011 mencatat bahwa luas panen kentang di Indonesia sekitar 55 ribu ha dengan produksi nasional 864 ribu ton. Di Indonesia tanaman kentang dikelompokkan dalam komoditas sayuran dan merupakan salah satu komoditas yang mendapat prioritas dalam program penelitian dan pengembangan sayuran dalam rangka mendukung ketahanan pangan dan diversifikasi pangan. Kentang juga merupakan salah satu komoditas sayuran diusahakan oleh sekitar 45 ribu petani, memiliki nilai ekonomi tinggi karena usaha budidaya kentang mampu menghasilkan produksi antara 15 – 30 ton ha-1 dan harga yang relatif stabil (Sawit et al. 1997; Lakoy 2009), serta berpotensi besar sebagai penyedia sumber bahan pangan alternatif. Selain untuk konsumsi, kentang dapat dijadikan bahan baku untuk industri olahan makanan (Temmerman et al. 2002). Peningkatan
jumlah
penduduk
serta
variasi
kegunaan
kentang
mengakibatkan permintaan kentang cenderung meningkat setiap tahun, namun produktivitas masih rendah. Produktivitas kentang Indonesia yang rata-rata 15 ton ha-1 (BPS 2011) masih rendah, apabila dibandingkan dengan rata-rata negara penghasil kentang yaitu 45 ton ha-1 (Gustianty 2008). Potensi kentang di Indonesia menurut hasil penelitian mencapai 35 ton ha-1 (Nurtika 2007), sehingga terjadi senjang (gap) produktivitas yang masih jauh yaitu 20 ton ha-1 (57,1%). Salah satu penyebab terjadinya senjang produktivitas kentang ini adalah faktor fluktuasi unsur-unsur cuaca terutama curah hujan dan suhu udara, sehingga perubahan iklim diduga akan menyebabkan penurunan produksi kentang. Intergovernmental panel on climate change/IPCC (2007) memperkirakan pemanasan global dapat mengakibatkan peningkatan suhu udara di Indonesia
1
2
berkisar antara 2 – 3 oC. Pemanasan global (global warming) adalah suatu gejala peningkatan suhu permukaan bumi yang disebabkan oleh emisi gas rumah kaca (GRK) dari bumi yang terus meningkat, sehingga meningkatkan konsentrasinya di atmosfer selama beberapa dekade terakhir (IPCC 2000; 2007). Peningkatan
konsentrasi GRK di atmosfer menyebabkan
radiasi
gelombang panjang yang dipancarkan permukaan bumi diserap GRK tersebut di atmosfer yang kemudian dipancarkan kembali ke bumi sehingga menyebabkan peningkatan suhu udara global. Aktivitas manusia menyebabkan peningkatan konsentrasi GRK di atmosfer berupa pembakaran bahan bakar fosil dan aktivitas lainnya yang menghasilkan emisi GRK yaitu CO 2 , CH 4 , N 2 O dan halokarbon (kelompok gas yang mengandung florine, klorin dan bromin). Gas-gas tersebut terakumulasi di atmosfer yang menyebabkan peningkatan konsentrasinya sejalan dengan waktu (IPCC 2007). Perubahan iklim global akan mempengaruhi setidaknya tiga unsur iklim dan komponen alam yang sangat erat kaitannya dengan tanaman, yaitu: (a) peningkatan suhu udara yang juga akan berdampak terhadap unsur iklim lain, terutama kelembaban dan dinamika atmosfer, (b) perubahan pola curah hujan dan peningkatan intensitas kejadian iklim ekstrim (anomali iklim) seperti El-Nino dan La-Nina, dan (c) kenaikan tinggi muka air laut akibat pencairan gunung es di kutub utara (Las et al. 2008 ; Paudel et al. 2011). Perubahan iklim akan mempengaruhi curah hujan dan produksi kentang di Indonesia (Boer et al. 2001). Perubahan iklim akan membawa dampak terhadap tanaman kentang yang menyebabkan hasil tanaman semakin rendah (Holden dan Breneton 2006). Hal ini sejalan dengan pendapat Craufurd dan Wheeler (2009), bahwa perubahan iklim dapat membawa dampak terhadap tanaman yang menyebabkan hasil tanaman semakin rendah karena peningkatan suhu udara atau penurunan curah hujan. Iklim adalah unsur utama yang mempengaruhi sistem metabolisme dan fisiologi tanaman, maka perubahan iklim akan berdampak buruk terhadap keberlanjutan pembangunan pertanian (Laux et al. 2010). Namun demikian, berapa besar pengaruh dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang nasional belum diketahui secara tepat dan memerlukan penelitian atau model prediksi kuantitatif yang mampu memprediksi dampak
3
perubahan iklim terhadap produksi kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia. Evaluasi tentang interaksi iklim dan tanaman memerlukan analisis kuantitatif secara komprehensif untuk dapat menjelaskan hubungan keduanya, sehingga prediksi dan antisipasi terhadap perubahan iklim dapat dilakukan. Model simulasi tanaman dapat digunakan untuk keperluan prediksi tersebut dan penelitian ini akan menyusun model simulasi tanaman kentang yang mampu menjelaskan hubungan unsur-unsur cuaca/iklim dengan hasil tanaman kentang di Indoesia. Model selanjutnya digunakan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang nasional. Prediksi tersebut merupakan masukan dalam perencanaan adaptasi budidaya tanaman kentang terhadap perubahan iklim. Proses-proses yang terjadi pada produksi pertanian adalah sesuatu yang berulang, sehingga proses-proses tersebut dapat diidentifikasi untuk selanjutnya diformulasikan menjadi persamaan-persamaan matematik (Handoko 1994). Persamaan-persamaan matematik tersebut dapat disusun secara sistematis dan terintegrasi dalam suatu model simulasi tanaman untuk menggambarkan serta memprediksi perkembangan dan pertumbuhan tanaman sesuai hasil pengamatan lapang. Selanjutnya validasi hasil prediksi model menggunakan data pengamatan empiris diperlukan sebelum model tersebut dapat diaplikasikan. Di samping validasi terhadap output model simulasi tanaman, pengujian setiap persamaan yang digunakan untuk memprediksi tiap proses yang terjadi dalam perkembangan dan pertumbuhan tanaman menjadi sangat penting. Pustaka tidak selalu menyediakan persamaan atau parameter tiap jenis tanaman untuk dapat digunakan dalam menyusun model simulasi. Suatu persamaan atau parameter mungkin menjadi tidak berlaku jika persamaan atau parameter tersebut diturunkan di daerah lain yang mempunyai iklim atau kondisi lingkungan yang jauh berbeda meskipun untuk tanaman yang sama. Oleh sebab itu dalam menyusun model simulasi tanaman, penelitian lapang diperlukan untuk: (1) menurunkan berbagai persamaan dan parameter yang akan digunakan untuk menyusun model, dan (2) melakukan validasi terhadap hasil simulasi model (Marcelis et al. 2006).
4
Setelah tervalidasi, model simulasi tanaman dianggap mampu menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Hasil kentang dapat diprediksi oleh model menggunakan input berupa parameter (tanah dan tanaman) dan peubah-peubah (unsur-unsur iklim) yang berbeda mewakili berbagai daerah dan waktu tanam tertentu. Pendekatan semacam ini dapat menghemat waktu dan biaya sebagai alat analisis dan prediksi kuantitatif serta pemecahan masalah secara integral dalam pertanian dibandingkan dengan penelitian lapang pada banyak wilayah dan variasi waktu tanam. Namun demikian, model simulasi tanaman juga memiliki keterbatasan antara lain tidak dapat menjelaskan serta memprediksi hal-hal yang dipengaruhi selain oleh input model (Handoko 1994). Oleh sebab itu, pemahaman terhadap input, proses serta output model yang disusun menjadi penting guna menjawab permasalahan yang dituangkan dalam tujuan model (Wolf 2002). Sehubungan dengan masalah di atas, ditunjang oleh teknologi dalam bidang komputer yang makin meluas, penelitian lapang makin berkembang ke arah model simulasi dalam bidang pertanian, salah satunya adalah model simulasi untuk tanaman kentang. Tanpa analisis kuantitatif yang dapat menjelaskan interaksi iklim dan tanaman, maka prediksi dan antisipasi terhadap perubahan iklim ini akan sulit dilakukan. Oleh sebab itu, diperlukan model simulasi tanaman untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim (White et al. 2011), yang disusun dalam penelitian ini. Model simulasi tanaman kentang yang disusun dalam penelitian ini menggunakan konsep efisiensi penggunaan radiasi (radiation-use efficiency/RUE untuk memprediksi pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Ketepatan perhitungan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang sangat ditentukan oleh parameter RUE serta perhitungan intersepsi radiasi surya yang ditentukan oleh koefisien pemadaman tajuk (k) tanaman kentang. Nilai RUE berbeda-beda antar tanaman maupun varietasnya. Nilai RUE tanaman kentang pada berbagai varietas dan generasinya yang diusahakan di Indonesia belum banyak tersedia pada pustaka. Penelitian lapang didesain untuk menurunkan parameter-parameter tersebut serta yang lain guna menunjang
5
penyusunan model simulasi tanaman kentang. Penelitian ini akan menurunkan nilai RUE tanaman kentang varietas Granola (G1 dan G2) dan Atlantis (G4). Suhu mempengaruhi kecepatan perkembangan tanaman serta laju respirasi tanaman. Perubahan iklim yang diperkirakan akan meningkatkan suhu udara diduga akan menyebabkan penurunan hasil tanaman kentang yang sangat rentan terhadap peningkatan suhu udara. Pengaruh kenaikan suhu udara dihitung melalui perubahan periode fase-fase perkembangan tanaman yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang menggunakan konsep thermal unit serta melalui peningkatan respirasi pemeliharaan akibat kenaikan suhu tersebut. Tanaman kentang di Indonesia yang pada umumnya dibudidayakan pada ketinggian di atas 800 m dari permukaan laut (dpl) (Sutapradja 2008) yaitu pada daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan yang tinggi. Akibatnya, air sering menjadi masalah serius pada musim hujan karena limpasan permukaan yang diakibatkan. Sebaliknya, pada musim kemarau kadar air tanah yang rendah menjadi kendala untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup tetapi mendapatkan radiasi surya yang tinggi serta meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting. Untuk itu, diperlukan informasi mengenai hubungan curah hujan dan kehilangan air tanah melalui limpasan permukaan dan evapotranspirasi untuk mengetahui informasi dinamika air tanah. Penelitian lapang juga didesain untuk mengkaji hubungan tersebut yang selanjutnya digunakan untuk pemahaman proses dalam penyusunan model simulasi tanaman kentang. Model simulasi tanaman kentang yang disusun akan menggambarkan proses perkembangan dan pertumbuhan tanaman, serta proses neraca air. Satu percobaan lapang di Pacet, Provinsi Jawa Barat, dilakukan untuk menurunkan parameter-parameter model pada proses kalibrasi, serta dua percobaan lapang di Galudra, Provinsi Jawa Barat dan Kerinci, Provinsi Jambi untuk proses validasi model. Setelah model tervalidasi maka model dapat diaplikasikan sebagai alat bantu pengambilan keputusan (decision-support tool) (Goudriaan et al. 1998 ; Holden dan Breneton 2006). Decision-support tool ini dapat meliputi : penentuan potensi produksi pada berbagai wilayah sentra produksi kentang di Indonesia,
6
pemilihan varietas, pemilihan waktu tanam yang optimum, dan yang terpenting untuk simulasi dampak perubahan iklim terhadap hasil tanaman kentang. 1.2. Tujuan Penelitian Tujuan umum penelitian ini adalah untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang yang dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi selama periode perkembangan dan pertumbuhan tanaman kentang. Model simulasi yang sudah disusun dan divalidasi digunakan untuk memprediksi potensi produksi dan antisipasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. Tujuan penelitian ini adalah : 1.
Menetapkan parameter tanah, tanaman melalui percobaan lapang dan beberapa
referensi
serta
pengumpulan
data
iklim,
kemudian
mengintegrasikannya untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan dan neraca air tanaman kentang. 2.
Mendapatkan nilai kadar air tanah untuk menghitung kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pertanaman kentang.
3.
Menurunkan dan mendapatkan nilai efisiensi penggunaan radiasi (RUE) tanaman kentang varietas Granola (G1, G2) dan Atlantis (G4) berdasarkan pertambahan berat kering dan jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang.
4.
Menyusun serta melakukan validasi model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang.
5.
Mengaplikasikan model simulasi tanaman kentang yang sudah disusun untuk memprediksi potensi produksi dan dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia untuk membantu pemilihan opsi-opsi adaptasi dampak perubahan iklim.
1.3. Keluaran Penelitian 1.
Parameter tanah, tanaman, dan cuaca yang didapat dari percobaan lapang dan beberapa referensi serta data cuaca harian.
7
2.
Nilai kadar air tanah, evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pada lahan pertanaman kentang.
3.
Nilai RUE tanaman kentang varietas Granola (G1 dan G2) serta Atlantis (G4).
4.
Model simulasi tanaman kentang yang mampu mensimulasi proses perkembangan, pertumbuhan dan neraca air tanaman kentang berdasarkan variasi unsur-unsur iklim.
5.
Potensi produksi dan prediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas tanaman kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia serta opsi-opsi adaptasi untuk mengantisipasinya.
1.4. Manfaat Penelitian 1.
Pemahaman tentang faktor-faktor penting dalam peningkatan produktivitas kentang.
2.
Pemilihan opsi adaptasi dampak perubahan iklim untuk peningkatan produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia.
3.
Diperolehnya strategi peningkatan produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia.
1.5. Kebaharuan (Novelty) Sedikitnya ada empat hal sebagai kebaharuan (novelty) dalam penelitian yang berjudul : Aplikasi Model Simulasi untuk Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.) di Indonesia yaitu : 1.
Parameter penting yang digunakan untuk menghitung produksi biomassa adalah konsep RUE (ε dalam g MJ-1) yang berbeda-beda antar spesies tanaman maupun varietasnya. Nilai ε tanaman kentang belum banyak tersedia pada pustaka, khususnya yang menghitung total biomassa termasuk umbi kentang. Penelitian ini menemukan nilai ε tanaman kentang varietas Granola (G1, G2) dan Atlantis (G4).
2.
Produksi biomassa akan dipengaruhi oleh faktor ketersediaan air tanaman yang dipenuhi oleh curah hujan. Ketersediaan air tanaman kentang yang dihitung dari intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, evaporasi dan transpirasi
8
tanaman, dan limpasan permukaan (runoff). Penelitian ini menemukan nilai evapotranspirasi aktual (ETa) dan runoff (Ro) selama masa pertumbuhan tanaman kentang sehingga dapat diketahui proporsi kebutuhan air tanaman melalui ETa, kehilangannya berupa Ro serta ketersediaan air dari curah hujan. 3.
Model simulasi tanaman kentang yang disusun dalam penelitian ini merupakan alat prediksi kuantitatif dampak perubahan suhu udara dan curah hujan akibat perubahan iklim terhadap produktivitas tanaman kentang di Indonesia untuk menentukan opsi-opsi adaptasi perubahan iklim.
4.
Terkait dengan fungsi model simulasi ini dapat diaplikasikan sebagai alat analisis kuantitatif dalam pengambilan keputusan (decision-support tool), yang meliputi : penentuan potensi produksi pada berbagai wilayah sentra produksi kentang di Indonesia, pemilihan varietas, dan pemilihan waktu tanam yang optimum.
5.
Keempat hal tersebut di atas diharapkan dapat menyumbangkan informasi, sehingga secara umum dapat membantu petani dan stakeholder dalam meningkatkan produksi tanaman kentang. Beberapa model simulasi tanaman yang sebelumnya telah berhasil
mensimulasikan pertumbuhan tanaman ditunjukkan pada Tabel 1. Tabel 1. Hasil penelitian penyusunan model simulasi tanaman Peneliti Munchow & sinclair (1986) Munchow & sinclair (1991) Amir & Sinclair (1991) Handoko (1992) Wolf (2002)* Djufry (2005) Rusmayadi (2009)
Tanaman Kedelai Jagung Gandum Gandum Kentang Jarak Pagar Jarak Pagar
Keterangan : *) model mengaplikasikan konsentrasi CO 2 terhadap tanaman kentang
Wolf (2002) telah menyusun simulasi pertumbuhan dan hasil kentang di negara Belanda. Model diaplikasikan untuk memprediksi pengaruh konsentrasi CO 2 terhadap pertumbuhan tanaman kentang, namun dalam pertumbuhan dan hasil tanaman kentang dipengaruhi oleh adanya serangan hama dan penyakit.
9
1.6. Ruang Lingkup Penelitian Percobaan lapang yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri tiga percobaan untuk menghitung kadar air tanah, menurunkan nilai RUE dari varietas dan generasi tanaman kentang yang berbeda, menetapkan fase-fase perkembangan tanaman serta mengkaji partisi biomassa pada organ tanaman yaitu akar, batang, daun dan umbi serta untuk validasi model simulasi tanaman kentang. Data yang diperoleh dari percobaan pertama digunakan untuk parameterisasi pada proses kalibrasi submodel perkembangan, pertumbuhan dan neraca air tanaman kentang yang disusun. Data dari percobaan kedua dan ketiga digunakan untuk proses validasi model dari model yang sudah disusun. Data cuaca harian dari ketiga lokasi percobaan yang meliputi curah hujan, suhu udara, radiasi surya, kelembaban udara dan kecepatan angin digunakan sebagai masukan model. Submodel perkembangan mensimulasi perkembangan tanaman dari tanam sampai panen. Laju perkembangan diduga berdasarkan konsep thermal unit dengan menggunakan data suhu udara harian. Pengamatan dilakukan terhadap suhu udara dan fase-fase perkembangan tanaman. Submodel pertumbuhan mensimulasi produksi biomassa tanaman berdasarkan RUE serta faktor ketersediaan air yang dihitung berdasarkan nisbah antara transpirasi aktual dan maksimum. Dalam submodel ini, respirasi dihitung dari fungsi suhu udara dan biomassa masing-masing organ. Radiasi surya di atas dan di bawah tajuk tanaman masing-masing diukur menggunakan sensor radiasi surya solarimeter dan tube solarimeter. Sebelum alat pengukur radiasi surya dipasang di lokasi penelitian, dilakukan kalibrasi alat untuk membandingkan setiap alat dengan input radiasi surya yang sama. Sensor untuk mengukur radiasi surya datang di atas tajuk tanaman (Qo) diletakkan pada ketinggian 1 m di atas tempat terbuka. Sensor untuk mengukur radiasi transmisi (Qτ) diletakkan pada ketinggian 5 cm di atas tanah, di bawah tajuk tanaman kentang. Pengambilan data dilakukan setiap 15 menit masing-masing dengan 3 kali pengukuran data dari pagi (jam 08.00) hingga sore (jam 16.00) hari, kemudian dihitung nilai rata-ratanya. Untuk keperluan penyusunan submodel neraca air nilai kandungan air tanah diukur menggunakan sensor kadar air tanah dengan prinsip hambatan listrik
10
setiap minggu dari tanam hingga panen. Pengukuran dilakukan pada kedalaman 10 cm, 20 cm, 40 cm, 60 cm, 80 cm, dan 100 cm. Oleh karena itu, dalam laporan ini sistematika dibagi secara bertahap dalam beberapa sub judul dengan maksud memberikan keterkaitan antara bagian satu dengan bagian lainnya. Bab I memberikan gambaran umum penelitian secara keseluruhan dan juga dijelaskan tentang tujuan, keluaran, dan manfaat penelitian, kebaharuan (novelty) serta ruang lingkup penelitian. Bab II menjelaskan tentang sintesa tanaman kentang, model simulasi tanaman kentang, dan perubahan iklim (Tinjauan Pustaka). Bab
III
menghitung
kehilangan
air
tanaman
kentang
melalui
evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pada tiga lokasi pertanaman kentang dengan ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Analisis dilakukan menggunakan perhitungan neraca air lahan berdasarkan pengamatan kadar air tanah serta curah hujan pada tiga lokasi pertanaman kentang. Bab IV menjelaskan hubungan antara ketersediaan air tanah dan kehilangan air tanaman kentang yang sudah dianalisis berdasarkan neraca air lahan pada Bagian III dengan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang yang di tanam di salah satu lokasi pertanaman kentang (Pacet). Bab V menurunkan dan mendapatkan nilai RUE tanaman kentang varietas Granola (G1, G2) dan Atlantis (G4) berdasarkan penambahan berat kering dan jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang. Bab VI menjelaskan penyusunan model simulasi tanaman kentang. Dalam bagian ini juga dijelaskan pemanfaatan data percobaan pertama untuk parameterisasi pada proses kalibrasi model. Setelah itu dijelaskan pemanfaatan data percobaan kedua dan ketiga untuk keperluan validasi model. Bab VII adalah aplikasi model simulasi tanaman sebagai alat analisis kuantitatif untuk memprediksi potensi produksi dan dampak perubahan iklim (peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan) terhadap produktivitas tanaman kentang di Indonesia sehingga dapat ditentukan opsi-opsi adaptasi perubahan iklim.
11
Seluruh kegiatan penelitian dalam disertasi ini dirangkum dalam alur penelitian yang ditunjukkan pada Gambar 1. Pembahasan umum dijelaskan pada Bab VIII, kesimpulan dan saran pada Bab IX.
Tujuan model
Permasalahan
Percobaan lapang
Studi literatur
Kalibrasi (Percobaan I)
Penyusunan model Validasi (Percobaan II dan III
Sub model perkembangan
Sub model pertumbuhan
Sub model neraca air
Model tervalidasi • Sentra-sentra produksi • Data cuaca saat ini Prediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang • Skenario SRES A1 Adaptasi perubahan iklim
Gambar 1. Alur kerangka pemikiran pelaksanaan penelitian.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Sejarah Perkembangan Tanaman Kentang (Solanum tuberosum. L) Tanaman kentang (Solanum tuberosum. L) berasal dari daerah sub tropik, tepatnya di pegunungan Andes, Amerika Selatan, perbatasan antara Bolivia dan Peru. Di daerah asalnya, ditemukan lebih dari 5.000 spesies kentang, namun yang paling banyak ditemukan adalah spesies Solanum tuberosum L. Daerah sub tropik mempunyai suhu udara yang relatif rendah, sehingga apabila kentang ditanam di daerah tropik seperti Indonesia, maka tanaman kentang hanya dapat tumbuh secara optimal di daerah dataran tinggi (Huaman 1986). Menurut Permadi (1989), tanaman kentang masuk ke Indonesia pada abad ke 18 dan tumbuh baik pada dataran tinggi (di atas 1.000 m dari permukaan laut). Tanaman kentang pertama kali ditanam di sekitar Cisarua, Kabupaten Bandung dan pada tahun 1811 tanaman kentang telah tersebar luas di Indonesia, terutama di daerah-daerah pegunungan seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Minahasa, Bali, dan Flores. Sebagai bangsa yang masyarakatnya mengkonsumsi beras sebagai makanan pokok, keberadaan kentang sebagai makanan pokok alternatif belum dikenal luas sampai beberapa dekade yang lalu. Meski konsumsi perkapita masih rendah dibanding standar konsumsi kentang rata-rata secara internasional, namun pertumbuhan kentang di Indonesia mengalami pertumbuhan yang meningkat setiap tahunnya. Berdasarkan Sensus Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2010, tingkat konsumsi kentang naik dari 1,73 kilogram per kapita per tahun pada 2009 menjadi 1,84 kilogram per kapita per tahun pada tahun 2010. Kentang bernilai ekonomis tinggi karena memiliki harga cenderung lebih tinggi dibandingkan tanaman sayuran lainnya dan penyimpanan dapat diatur dalam jangka waktu cukup panjang sehingga pada waktu dijual akan mendapatkan harga yang tinggi. 2.2. Morfologi Tanaman Kentang Tanaman kentang merupakan tanaman semusim yang berbentuk semak, termasuk
Divisio
Spermatophyta,
Subdivisio
Angiospermae,
Kelas
Dicotyledonae, Ordo Tubiflorae, Famili Solanaceae, Genus Solanum, dan Spesies 13
14
Solanum tuberosum L. (Beukema 1977). Tanaman ini memiliki umur yang bervariasi antara 70 – 180 hari, dengan tinggi tanaman sekitar 50 – 120 cm dan diameter kanopi sekitar 50 cm (Huaman 1986). Batang tanaman kentang berbentuk segi empat atau segi lima, tergantung pada varietasnya. Batang tanaman tidak berkayu, namun agak keras, umumnya lemah sehingga rentan terhadap angin kencang. Warna batang umumnya hijau tua dengan pigmen ungu. Batang tanaman bercabang-cabang dan setiap cabang ditumbuhi oleh daun-daun yang rimbun. Permukaan batang halus, pada ruas batang tempat tumbuhnya cabang mengalami penebalan. Diameter batang kecil dengan panjang mencapi 1,2 meter (Samadi 2007). Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun dan letak daun berselangseling mengelilingi batang tanaman. Daun berbentuk oval sampai oval agak bulat dengan ujung meruncing dan tulang-tulang daun menyirip. Warna daun hijau muda sampai hijau tua hingga kelabu. Ukuran daun sedang dengan tangkai tidak panjang. Daun berkerut-kerut dan permukaan bagian bawah daun berbulu (Huaman 1986). Tanaman kentang mempunyai sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar serabut umunya tumbuh menyebar (menjalar) ke samping dan menembus tanah dangkal. Akar tanaman berwarna keputih-putihan, halus dan berukuran sangat kecil. Di antara akar-akar tersebut ada yang akan berubah bentuk dan fungsi menjadi bakal umbi (stolon) yang akan menjadi umbi. Tanaman kentang ada yang berbunga ada yang tidak, tergantung varietas. Warna bunga bervariasi, yaitu kuning atau ungu. Pada tanaman kentang yang berbunga, bunga tumbuh dari ketiak daun teratas. Jumlah tandan bunga juga bervariasi sedikit sampai banyak. Umbi terbentuk dari ujung stolon yang membengkak. Umbi kentang merupakan gudang makanan yang terdiri dari karbohidrat, protein, dan mineral yang merupakan hasil fotosintesis. Ukuran, bentuk, dan warna umbi kentang bermacam-macam tergantung varietas. Ukuran umbi bervariasi besar dan kecil. Bentuk umbi ada yang bulat, oval agak bulat (bulat lonjong), dan bulat panjang. Umbi kentang dapat berwarna kuning dan putih. Umbi kentang memiliki mata
15
tunas untuk bahan perkembangbiakan yang selanjutnya dapat menjadi tanaman baru (Sunarjono 1994). 2.3. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang Tanah dan Ketinggian Tempat Tanaman kentang hanya dapat tumbuh dan produktif pada jenis tanah ringan yang mengandung sedikit pasir dan kaya bahan organik. Tanah andosol yang mengandung abu vulkanik dan tanah lempung berpasir merupakan tanah yang cocok untuk tempat tumbuh tanaman kentang. Jenis tanah mempengaruhi kandungan
karbohidrat
umbi
kentang.
Pada
umumnya
kentang
yang
dikembangkan di tanah berlempung mempunyai karbohidrat lebih tinggi dan rasa kentang akan lebih enak. Tanaman kentang tumbuh pada tanah dengan pH antara 5 – 5,5. Pada tanah asam (pH kurang dari 5), tanaman sering mengalami gejala kekurangan unsur Mg dan keracunan Mn sehingga mudah terserang nematoda. pH tanah lebih dari 7 mengakibatkan muncul gejala keracunan unsur K, sehingga umbi mudah terserang penyakit kudis dan tidak laku dijual. Tanaman kentang tumbuh dengan baik di dataran tinggi atau pegunungan dengan ketinggian tempat antara 800 sampai 1.500 m dpl. Kentang yang ditanam pada dataran rendah, di bawah 500 m dpl mengakibatkan kentang sulit membentuk umbi. Walaupun kadang terbentuk umbi, tapi umbi yang terbentuk sangat kecil. Sementara itu, apabila ditanam di atas ketinggian 2.000 m dpl tanaman akan lambat membentuk umbi. Iklim Suhu udara berhubungan erat dengan ketinggian tempat, tiupan angin, serta kelembaban udara. Kelembaban udara berhubungan dengan curah hujan, penguapan tanah. Kentang menghendaki suhu udara 15 – 22 oC dengan suhu optimum 18 – 20 oC, kelembaban udara 80% – 90% (Ewing dan Struick 1995). Tanaman kentang memerlukan banyak air, terutama pada stadia berbunga, tetapi tidak menghendaki hujan lebat yang berlangsung terus menerus. Curah hujan yang cocok untuk pertumbuhan tanaman kentang sebesar 2.000 – 3.000 mm tahun-1. Hujan lebat terus menerus menghambat pancaran radiasi surya,
16
memperlemah energi surya sehingga fotosintesis tidak berlangsung optimal. Hal ini menyebabkan umbi yang terbentuk kecil dan produksi menjadi rendah. Tanaman kentang juga tidak menyukai daerah dengan kondisi mendung dan berkabut. Sebaliknya tanaman ini memerlukan sinar matahari penuh (60% – 80%) untuk fotosintesis. Di daerah berkabut proses fotosintesis terhambat dan mendorong timbulnya penyakit busuk daun yang disebabkan oleh cendawan. Demikian pula angin ribut yang sering terjadi dapat merusak tanaman kentang, sehingga kemampuan membentuk umbi berkurang. 2.4. Pengaruh Unsur Cuaca terhadap Perkembangan dan Pertumbuhan Tanaman Kentang Konsep yang umum digunakan untuk menjelaskan pengaruh suhu terhadap perkembangan tanaman adalah thermal unit. Laju perkembangan tanaman berbanding lurus dengan suhu di atas suhu dasar. Pengaruh suhu terhadap pertumbuhan terutama pada respirasi. Dalam proses respirasi hasil fotosintesis akan dirubah menjadi CO 2 dan H 2 O, sehingga semakin besar respirasi laju pertumbuhan akan berkurang (Handoko 1994). Kentang memiliki lima fase perkembangan tanaman yaitu: 1) tunas, 2) pembentukan organ tanaman, 3) pembentukan umbi, 4) pengisian umbi, dan 5) pematangan umbi (Burns et al. 2005). Setiap periode atau waktu dari fase perkembangan dipengaruhi oleh ketinggian tempat dan suhu udara. Pertumbuhan vegetatif dan produksi suatu tanaman juga tergantung pada interaksi antara tanaman dan keadaan lingkungan di mana tanaman itu tumbuh. Keadaan lingkungan yaitu iklim, tanah dan organisme lainnya. Faktor ini dapat membatasi, mendorong pertumbuhan, dan produksi tanaman, sehingga untuk memperoleh produksi dapat dilakukan dengan pengaturan faktor-faktor lingkungan sebaik mungkin. Menurut Nonnecke (1989) jika selama perkembangan umbi terjadi cekaman suhu yang tinggi, umbi yang dihasilkan akan berbentuk abnormal karena terjadi pertumbuhan baru dari umbi yang telah terbentuk sebelumnya yang disebut pertumbuhan sekunder (retakan-retakan pada umbi, pemanjangan bagian ujung umbi, dan kadang-kadang terjadinya rangkaian umbi). Suhu tinggi, keadaan berawan, dan kelembaban udara rendah akan menghambat pertumbuhan,
17
pembentukan umbi, dan perkembangan bunga. Fluktuasi kelembaban udara yang sangat berbeda antara siang dengan malam akan mengurangi hasil. Jika malam hari kelembaban rendah, suhu udara menjadi tinggi, tanaman akan banyak melakukan respirasi. Pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh curah
hujan
dan
penyebarannya
selama
masa
pertumbuhan.
Selama
pertumbuhannya tanaman kentang menghendaki curah hujan 1000 mm atau setiap bulan rata-rata 200 – 300 mm. Saat kritis bagi tanaman kentang adalah saat ketika dibutuhkan lebih banyak air, yaitu pada permulaan pembentukan stolon dan umbi. Oleh karena itu, untuk mencapai hasil yang tinggi, pada saat itu kadar air tanah pada kedalaman 15 cm dari permukaan tanah tidak boleh kurang dari 56% kapasitas lapang (Nonnecke 1989). Bodlaender (1983) menyatakan bahwa untuk dapat berfotosintesis dengan baik, tanaman memerlukan intensitas cahaya yang tinggi yang diperlukan untuk mengaktifkan
distribusi
asimilat,
memperpanjang
cabang,
dan
untuk
meningkatkan luas serta bobot daun. Meningkatnya cahaya yang dapat diterima tanaman akan mempercepat proses pembentukan umbi dan waktu pembungaan, tetapi intensitas cahaya yang berlebihan dapat menurunkan hasil karena terjadi transpirasi yang tinggi yang tidak dapat diimbangi dengan penyerapan air dari dalam tanah. Oleh karena itu, sel akan kehilangan turgor, stomata menutup dan absorbsi CO 2 berkurang sehingga hasil fotosintesisnya berkurang. Selanjutnya, pertumbuhan dan hasil tanaman kentang juga sangat dipengaruhi oleh radiasi surya. Radiasi surya merupakan sumber tenaga atau penggerak dari segala kehidupan di bumi. Intensitas radiasi yang diterima pada puncak atmosfer bumi (solar constant) besarnya sekitar 1.360 W m-2. Energi radiasi surya tersebut akan diserap oleh permukaan bumi (termasuk atmosfer) yang akan digunakan untuk proses-proses fisika atmosfer, misalnya pemanasan udara dan penguapan. Disamping itu, energi radiasi surya ini juga merupakan sumber energi untuk fotosintesis, tetapi jumlahnya kurang dari 5% dibandingkan untuk proses-proses fisika atmosfer tersebut (Handoko 1994). Radiasi surya yang sampai di permukaan bumi diserap tanaman melalui daun tanaman. Peran daun sebagai medium untuk fotosintesis, respirasi dan
18
transpirasi menyebabkan interaksi dengan lingkungan atmosfer menjadi sangat penting. Besaran yang menggambarkan jumlah radiasi surya yang mampu diserap tanaman adalah indeks luas daun. Indeks luas daun (LAI) menggambarkan rasio luas total permukaan daun terhadap luas proyeksi permukaan lahan yang ternaungi. Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang merupakan selisih antara radiasi yang sampai pada permukaan di atas tajuk tanaman dengan radiasi yang lolos pada permukaan tanah di bawah tajuk tanaman. Banyaknya radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung pada besarnya radiasi yang datang, LAI, kedudukan atau sudut daun dan distribusi daun dalam tajuk (Sitompul 2002). 2.5. Indeks Luas Daun (LAI) Istilah indeks luas daun (LAI) diperkenalkan oleh Watson (1947) yang merupakan nisbah luas daun dengan luas lahan (Dadhwal et al. 2003). Menurut Myneni et al. (1997) karena cahaya matahari tersebar merata, maka LAI secara kasar juga dapat diartikan sebagai ukuran luas daun per unit cahaya matahari yang tersedia. LAI dapat dihitung dengan menggambar bentuk daun pada kertas kemudian kertas diukur dengan planimeter, setelah itu dibuat hubungan antara luas daun dengan berat daun, sehingga luas daun dapat diduga dengan perbandingan antara luas daun dengan berat daun. Semakin tinggi LAI persatuan luas lahan akan meningkatkan penyerapan radiasi oleh tanaman, sehingga proses fotosintesis akan maksimal yang menyebabkan produksi potensial meningkat. Dalam kaitan dengan penyerapan radiasi surya oleh tanaman maka bentuk daun menjadi penting Bentuk daun erat kaitannya dengan varietas. Varietas memiliki keragaman sifat seperti umur, bentuk tajuk dan akar, serta kepekaan atau ketahanan terhadap kekurangan atau kelebihan air, hara, radiasi surya, suhu udara, hama dan penyakit tertentu (Makarim 2009). Selain bentuk daun pengaturan jarak tanam akan memungkinkan penyerapan radiasi oleh tajuk tanaman lebih efisien (Muyan 2010). LAI setiap tanaman berbeda-beda tergantung morfologi daun masingmasing tanaman. Jumlah populasi juga sangat berpengaruh terhadap besarnya
19
nilai LAI. Nilai LAI akan meningkat dengan semakin rapat tanaman, kondisi ini terjadi karena jarak antar tajuk tanaman semakin dekat, sehingga kemampuan tajuk tanaman untuk menutupi permukaan tanah tempat berdirinya tegakan menjadi semakin besar. Menurut Biscoe dan Gallagher (1977) pada beberapa tanaman dengan LAI berkisar 4 – 5 dapat mengintersepsi sekitar 80% radiasi yang datang di atas tajuk, sedangkan untuk tanaman kentang pada nilai LAI sebesar 3 dapat mengintersepsi sekitar 85% radiasi yang datang di atas tajuk. 2.6. Koefisien Pemadaman Tajuk (k) Pemadaman adalah suatu istilah yang mencakup semua kejadian dimana radiasi yang melewati suatu medium akan menjadi lemah atau berkurang intensitasnya. Kemampuan pemadaman cahaya oleh kanopi tanaman dapat diketahui melalui nilai koefisien pemadaman (k). Penyerapan cahaya oleh tanaman akan meningkat seiring dengan meningkatnya nilai k. Koefisien pemadaman tajuk (k) menggambarkan besar kemampuan tajuk dalam mengintersepsi radiasi yang melewati tajuk tanaman dari puncak tajuk menuju permukaan tanah (Boer dan Las 1994). Setiap jenis tanaman memiliki koefisien pemadaman (k) yang berbeda tergantung nilai LAI. Nilai k dipengaruhi oleh sudut datang matahari dan sudut daun serta sebarannya. Jika sudut datang matahari kecil maka hampir seluruh radiasi matahari akan diintersepsi tajuk. Jika sudut daun besar (daun vertikal) sebagian besar radiasi matahari dapat sampai ke dasar tajuk, tetapi jika sudut daunnya kecil (daun horizontal) maka sebagian besar radiasi diintersepsi oleh tajuk bagian atas (Monteith 1975). Koefisien pemadaman tajuk dapat diperoleh dengan menurunkan persamaan Hukum Beer untuk transmisi. Pola pemadaman tajuk sesuai dengan hukum absorbsi Lambert – Beer yang menyatakan bahwa setiap lapisan yang tebalnya sama akan menyerap bagian radiasi yang sama dan yang melewatinya. Intensitas radiasi surya yang diintersepsi akan semakin besar apabila nilai LAI semakin besar. Menurut Baharsjah dalam Bey (1991), LAI tanaman akan terus meningkat hingga mencapai nilai maksimum, yaitu pada akhir pertumbuhan vegetatif yang kemudian akan menurun hingga mencapai panen. Produksi bahan
20
kering terbesar pada suatu tanaman akan dicapai pada saat nilai LAI optimum. Nilai LAI suatu tanaman erat hubungannya dengan berat kering tanaman. 2.7. Berat Kering Tanaman Berat kering tanaman akan meningkat seiring dengan peningkatan nilai LAI, namun bila nilai LAI ini terus meningkat melewati nilai maksimum tanaman maka akan terjadi penurunan berat kering tanaman. Hal ini disebabkan penurunan laju fotosintesis akibat daun yang saling menaungi (Musawir 2005). Berat kering berkorelasi dengan jumlah radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman. Harjadi (1984) menyebutkan bahwa energi yang diserap tanaman ditunjukkan dengan biomassa, yang dinyatakan dalam berat kering tanaman. Oleh karena itu, besarnya radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman berbanding lurus dengan penambahan berat kering. Penambahan berat kering tanaman merupakan respon dari penyerapan energi radiasi matahari (Kumar et al. 2008). Penerimaan radiasi pada masing-masing daun dalam satu tajuk berbeda-beda sesuai dengan penutupan daun dalam tajuk pada ketinggian yang berbeda. Efisiensi penggunaan radiasi surya akan menjadi faktor konversi jumlah radiasi surya menjadi biomassa. 2.8. Neraca Air Pengertian dasar neraca air adalah keseimbangan antara air yang masuk pada suatu kolom air dalam tanah dengan air yang keluar ditambah dengan total air yang tertahan di dalam tanah. Menurut Sosrodarsono danTakeda (1978) neraca air (water balance) merupakan penjelasan mengenai hubungan antara aliran masuk (inflow) dan aliran keluar (outflow) dari proses sirkulasi air untuk suatu periode tertentu di suatu daerah. Thornhtwaite dan Mather (1957) membuat persamaan neraca air yang sederhana menggunakan input hanya dari curah hujan saja. Pada metode ini semua aliran air masuk dan keluar serta nilai kapasitas cadangan air tanah pada lokasi dengan kondisi tanaman tertentu digunakan untuk mendapatkan besarnya kadar air tanah, kehilangan air, surplus, dan defisit. Menurut Nasir (2002) berdasarkan cakupan ruang dan manfaat untuk perencanaan pertanian, disusun neraca air agroklimat dengan tiga model analisis sebagai berikut :
21
1.
Neraca air umum, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama air secara umum.
2.
Neraca air lahan, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah untuk perencanaan pola tanam secara umum.
3.
Neraca air tanaman, untuk mengetahui kondisi agroklimatik terutama dinamika kadar air tanah dan penggunaan air tanaman untuk perencanaan tanaman tiap kultivar. Menurut Hillel (1971) neraca air lahan dapat diartikan sebagai masukan
(input) air, keluaran (output) air dan perubahan simpanan air yang terdapat di dalam tanah pada suatu lingkungan tertentu selama periode waktu tertentu. Nasir (2002) mengemukakan bahwa analisis neraca air lahan memerlukan input data curah hujan (CH), evapotranspirasi potensial (ETp), kandungan air tanah pada kapasitas lapang (KL), dan kandungan air pada titik layu permanen (TLP). Analisis neraca air lahan berguna terutama untuk penggunaan dalam pertanian secara umum. Nasir (2002) mengatakan secara umum manfaat neraca air lahan untuk : 1. Mengetahui kondisi agroklimat terutama dari segi kondisi air 2. Mengetahui periode musim kemarau dan musim hujan berdasarkan keseimbangan antara hujan dan ETp. 3. Memilih jenis tanaman dan mengatur jadwal tanam dan panen serta mengatur kombinasi tanaman tumpang sari. 4. Mengatur pemberian air irigasi baik jumlah maupun waktu sesuai dengan keperluan. Informasi terpenting dari neraca air lahan adalah untuk mengetahui dinamika perubahan kadar air tanah sehingga berguna untuk menyusun strategi pengelolaan usahatani. Perhitungan neraca air lahan merupakan salah satu informasi penting untuk menentukan langkah kegiatan usaha tani dari hari ke hari. Hal ini disebabkan karena tingkat ketersediaan air mampu mempengaruhi pertumbuhan dan produksi tanaman. Jika tanaman mengalami cekaman air, maka pertumbuhan dan produksi akan turun. Penurunan ini akan semakin bertambah jika kejadian iklim dan cuaca yang mengganggu terjadi pada fase pertumbuhan tanaman yang peka terhadap
22
ketersediaan air. Jika peristiwa tersebut terjadi dengan intensitas yang tinggi dan daerah yang luas akan menurunkan produksi dalam jumlah yang besar. 2.9. Evapotranspirasi Perhitungan neraca air sangat ditentukan oleh beberapa komponen, salah satu komponen terpenting dalam perhitungan neraca air adalah evapotranspirasi. Evapotranspirasi adalah proses penguapan atau kehilangan air yang berasal dari permukaan tanah dan permukaan tumbuhan. Keduanya bertanggung jawab terhadap proses kehilangan air tanah di bawah kondisi lapang yang normal. Evapotranspirasi potensial (ETp) merupakan konsep yang dikembangnkan oleh Penman (1948) yang membatasi laju penguapan terbesar dari suatu komunitas tanaman. Evapotranspirasi potensial terjadi jika air tanah mencukupi atau bukan merupakan faktor pembatas, tajuk tanaman menutup secara sempurna, dan tanaman cukup pendek (Handoko 1994). Selanjutnya menurut Handoko (1994) nilai ETa akan lebih kecil dibandingkan nilai ETp pada saat penutupan tajuk belum penuh atau pada saat permukaan tanah mengalami kekeringan. Evapotranspirasi potensial menentukan kebutuhan air tanaman dan ditentukan oleh unsur iklim yang meliputi radiasi surya, suhu dan kelembaban udara serta kecepatan angin. Oleh sebab itu, pengukuran unsur iklim sangat diperlukan
untuk
menghitung
kebutuhan
air
tanaman
berdasarkan
evapotranspirasi potensial serta kadar air tanah oleh curah hujan, sehingga dapat dihitung air irigasi pada suatu lahan. 2.10.
Kadar air Tanah Kadar air tanah dapat dinyatakan dalam persen berat yaitu nisbah massa
air terhadap massa tanah kering yang ditempatinya, atau nisbah volume air terhadap volume tanah dalam kondisi tak terganggu (Murdiyarso 1991). Suplai air yang terjadi selama hujan menyebabkan pori-pori tanah terisi air. Sifat tanah yang mengkerut bila kekeringan menyebabkan banyak celah dan rongga pada tanah tersebut jika terjadi kekeringan. Karena itu, pada awal terjadi hujan kadar air tanah meningkat dengan laju yang cepat disebabkan laju infiltrasi yang tinggi (Asril dan Hidayati 1994). Pola kadar air tanah dalam satu musim tanaman
23
berfluktuasi
tergantung
pada
keseimbangan
antara
curah
hujan
dan
evapotranspirasi. Berbagai cara telah dikembangkan untuk menduga kadar air dalam tanah dan perubahannya dalam suatu periode tertentu, misalnya dengan pengukuran langsung dengan alat pengukur kadar air tanah seperti neutron-probe meter, tensiometer, dan gypsum block meter. Prinsip kerja dari gypsum block meter adalah jumlah air yang terdapat di dalam tanah akan menentukan hambatan perpindahan muatan listrik pada medium tanah. Pengukuran dilakukan melalui medium sepasang elektroda dari bahan logam yang tahan terhadap perubahan elektrokimia yang dimasukkan pada tanah yang diukur. Nilai yang terbaca merupakan nilai impedansi listrik yang selanjutnya dapat diolah menjadi informasi kadar air tanah berdasarkan data kalibrasi. Perbedaan kadar air tanah pada lapisan kedalaman yang sama (berlainan petak) disebabkan oleh perbedaan kehilangan air tanah melalui proses evapotranspirasi dan terdapat perbedaan antara kemampuan menahan air pada tanah yang disebabkan oleh sifat fisika tanah. Apabila suplai air terbatas dan lapisan atas tidak jenuh air, maka aliran air dalam tanah akan berhenti bila tegangan air tanah hampir sama. Apabila suplai air tidak terbatas, maka tanah khususnya lapisan atas dapat jenuh oleh air, dan apabila infiltrasi dan pergerakan air dalam tanah (perkolasi) lebih kecil dari suplai air maka terjadi runoff (Asril dan Hidayati 1994). 2.11.
Kebutuhan Air Tanaman Doorenbos dan Pruitt (1977) mendefinisikan kebutuhan air tanaman
adalah banyaknya air yang diperlukan tanaman untuk menggantikan kehilangan air akibat proses evapotranspirasi pada kondisi air tanah dan kesuburan tanah yang tinggi sehingga dapat mencapai produksi potensial pada lingkungan pertumbuhannya. Kebutuhan air tanaman dipengaruhi oleh kondisi iklim dan tanah. Faktor iklim yang mempengaruhi seperti radiasi surya, suhu udara, kecepatan angin, dan kelembaban udara dalam menentukan evapotranspirasi. Sedangkan faktor tanah yang mempengaruhi seperti tekstur, kedalaman tanah, dan topografi.
24
Kebutuhan air bagi tanaman untuk setiap fase pertumbuhan dan jenis tanaman berbeda (Saragi 2008). Kebutuhan air tanaman umumnya akan meningkat
seiring
dengan
bertambahnya
petumbuhan
tanaman
hingga
pertumbuhan vegetatif maksimum dan kemudian menurun kembali sampai pada tahap panen. 2.12.
Pemodelan Tanaman Pemodelan
merupakan
pendekatan
kuantitatif untuk
memprediksi
perkembangan, pertumbuhan dan hasil tanaman. Aplikasi model simulasi tanaman telah dikembangkan selama dua dekade dengan memanfaatkan simulasi komputer. Menurut Sirotenko (2001) dengan segala keterbatasannya, model mempunyai prospek yang besar sebagai solusi untuk menjelaskan berbagai masalah pada perkembangan tanaman, prediksi hasil, kajian iklim dan tanah, serta kajian perubahan iklim. Salah satu contoh pemanfaatan pemodelan di bidang pertanian adalah model simulasi tanaman. Model simulasi tanaman dapat digunakan untuk merencanakan waktu tanam, penggunaan tanah dan pengelolaan air, evaluasi tanaman, varietas dan teknologi budidaya (Boote dan Jones 1988). Model simulasi dapat menganalisis tingkat risiko iklim terhadap pertumbuhan tanaman, sehingga dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam perluasan wilayah penanaman dan pemilihan sistim usaha tani yang sesuai dengan lokasi (Carberry et al. 1989; Boer dan Las 1994). Model simulasi tanaman juga dapat digunakan untuk mengetahui dan menduga waktu panen, kebutuhan air tanaman mulai dari awal tanam hingga panen. Model simulasi tanaman membutuhkan data cuaca sebagai data dasar. karena pertumbuhan dan perkembangan tanaman sangat dipengaruhi oleh faktor cuaca. Model merupakan konsepsi mental, hubungan empirik atau kumpulan pernyataan-pernyataan
matematik.
Model
dapat
juga
diartikan
sebagai
representasi sederhana dari suatu sistem, sehingga interaksi unsur-unsur yang kompleks dalam suatu sistem dapat diabstraksi dalam bentuk hubungan sebab akibat dari peubah-peubah atau aspek-aspek yang ditetapkan sesuai tujuan model. Model hanya menggambarkan beberapa aspek dari suatu sistem tersebut (Bey
25
1991; Handoko 1996). Analisis sistem adalah studi tentang sistem dan atau organisasi dengan menggunakan azas ilmiah yang menghasilkan suatu konsepsi atau model (Tubiello and Ewert 2002). Handoko (1994) juga mengemukakan bahwa model dapat dipergunakan untuk (1) pemahaman proses (2) prediksi, dan (3) keperluan manajemen. Model simulasi tanaman merupakan penyederhanaan proses dari sejumlah hubungan antara berbagai variabel yang mencakup lingkungan tanaman dan perilaku tanaman dengan menggunakan persamaan matematik atau statistika (Stansel dan Fries 1980 dalam Handoko 1994). Aplikasi model simulasi tanaman dapat digunakan dalam kaitannya dengan issue pemanasan global akibat efek rumah kaca yang menyebabkan terjadinya perubahan iklim. 2.13.
Fenomena Perubahan Iklim
Pemanasan Global Perubahan iklim disebabkan oleh pemanasan global. Pemanasan global adalah peningkatan suhu rata-rata atmosfer di dekat permukaan bumi dan laut selama beberapa dekade terakhir dan proyeksi untuk beberapa waktu yang akan datang. Pengamatan selama 150 tahun terakhir menunjukkan bahwa suhu permukaan bumi mengalami peningkatan sebesar 0,05 oC/dekade. Selama 25 tahun terakhir peningkatan suhu semakin tajam, yaitu sebesar 0,18 oC/dekade. Gejala pemanasan juga terlihat dari peningkatan suhu lautan dan tinggi muka laut, pencairan es serta pengurangan salju di belahan bumi utara (Handoko et al. 2008). Pemanasan global terjadi akibat dari peningkatan efek rumah kaca yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Semakin tinggi konsentrasi gas rumah kaca maka semakin banyak radiasi gelombang panjang dari bumi yang terperangkap di atmosfer dan dipancarkan kembali ke bumi. Hal tersebut menyebabkan peningkatan suhu udara di permukaan bumi. Adanya pemanasan global akan menghasilkan pengaruh nyata terhadap perubahan iklim yang ditandai dengan perubahan karakteristik musim (musim hujan dan musim kemarau).
26
Perubahan Iklim Radiasi matahari memiliki kemampuan untuk menembus atmosfer bumi. Radiasi matahari yang masuk tersebut sebagian akan direfleksikan keluar atmosfer, sebagian lagi akan diabsorpsi oleh benda-benda yang berada di permukaan bumi. Radiasi yang diabsorpsi oleh benda-benda tersebut akan diradiasikan kembali dalam bentuk radiasi gelombang panjang. Sebagian besar gelombang panjang ini tidak dapat melewati atmosfer bumi melainkan akan diabsorpsi oleh atmosfer. Proses tersebut menyebabkan akumulasi energi (bahang) yang akan meningkatkan suhu permukaan bumi. Peningkatan suhu tersebut akan memicu terjadinya perubahan unsur iklim lainnya yang kemudian menyebabkan perubahan iklim (Dasanto dan Impron 2008). Perubahan iklim merupakan suatu kondisi yang ditandai dengan berubahnya pola iklim dunia yang mengakibatkan timbulnya fenomena cuaca yang tidak menentu. Perubahan iklim diindikasikan oleh adanya perubahan variabel iklim, khususnya suhu udara dan curah hujan yang terjadi secara berangsur-angsur dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Perubahan iklim dapat juga diartikan sebagai suatu keadaan berubahnya pola iklim dunia diakibatkan oleh berbagai aktivitas manusia di bumi. Perubahan iklim dipengaruhi langsung atau tidak langsung oleh aktivitas manusia (anthropogenic) ini akan mengubah komposisi atmosfer serta memperbesar keragaman iklim yang teramati pada periode cukup panjang (Trenberth et al. 1995). Aktivitas manusia diyakini sebagai penyebab utama peningkatan konsentrasi gas rumah kaca di atmosfer. Kegiatan manusia, terutama berupa pembakaran bahan bakar fosil dan aktivitas pertanian, menghasilkan emisi berupa gas rumah kaca yaitu CO 2 , CH 4 , N 2 O dan halokarbon (kelompok gas yang mengandung florine, klorin dan bromin). Gas-gas tersebut terakumulasi di atmosfer sehingga menyebabkan peningkatan konsentrasi seiring dengan perjalanan waktu.
27
Perubahan Iklim di Indonesia Menurut hasil penelitian menyatakan bahwa iklim di Indonesia telah berubah. Selama abad 20, suhu rata-rata tahunan meningkat sekitar 0,3 oC sejak tahun 1900 dengan suhu tahun 1990-an merupakan dekade terhangat dalam abad ini. Sementara itu terjadi perubahan cuaca dan musim yang ditandai oleh peningkatan curah hujan di satu wilayah sedangkan wilayah lain terjadi penurunan curah hujan sebesar 2 – 3% dengan pengurangan tertinggi terjadi selama periode bulan Desember – Februari yang merupakan musim terbasah dalam setahun (Hulme dan Sheard 1999). Beberapa kajian untuk wilayah Indonesia juga dilakukan berdasarkan data observasi dengan adanya peningkatan suhu udara dan perubahan curah hujan yang cenderung menurun (Boer et al. 2007 dalam Ministry of Environment 2007; Kaimuddin 2000). Perubahan iklim di masa mendatang dapat diproyeksikan dengan menggunakan model iklim berdasarkan skenario perubahan emisi tertentu. Hasil proyeksi perubahan iklim di Indonesia berdasarkan model mengindikasikan adanya peningkatan suhu udara, penurunan curah hujan di sebagian wilayah sedangkan di wilayah lain mengalami peningkatan (Alfyanti 2011; Kusaeri 2010; Sarah dan Tohari 2009; Susandi et al. 2008; Susandi 2006). Skenario Perubahan Iklim Dalam menghadapi kondisi perubahan iklim, IPCC menerbitkan satu set skenario untuk digunakan dalam laporan yang ketiga (Third Assessment Report/TAR) yang disebut sebagai Special Report on Emission Scenarios (SRES). Skenario SRES dibangun untuk melihat perkembangan masa depan secara konsisten di lingkungan global terhadap produksi emisi GRK dan polutan lain di masa yang akan datang (IPCC 2000). Secara sederhana, ada empat storyline emisi GRK utama yang disusun oleh IPCC. Empat storyline tersebut menggabungkan dua set kecenderungan yang berbeda yaitu antara nilai-nilai ekonomi dan nilai-nilai lingkungan yang dilihat secara global maupun regional. Kondisi tersebut dijelaskan dalam Tabel 2 (IPCC 2000).
28
Tabel 2. Skenario SRES berdasarkan storyline
Globalisasi (dunia yang homogen)
Regionalisasi (dunia yang heterogen)
Lebih difokuskan pada sektor ekonomi A1 Pertumbuhan ekonomi yang cepat. (Grup : A1T/A1B/A1F1) Perkiraan kenaikan suhu udara o tahun 2100 antara 1,4 – 6,4 C A2 Pembangunan ekonomi yang berorientasi regional. Perkiraan kenaikan suhu udara tahun 2100 o antara 2,0 – 5,4 C
Lebih difokuskan pada sektor lingkungan B1 Penanganan lingkungan global yang berkelanjutan. Perkiraan kenaikan suhu udara tahun 2100 o antara 1,1 – 2,9 C B2 Penanganan lingkungan lokal yang berkelanjutan. Perkiraan kenaikan suhu udara tahun 2100 o antara 1,4 – 3,8 C
Skenario emisi grup A1 (SRES A1). SRES A1 menggambarkan bahwa pada masa mendatang pertumbuhan ekonomi terjadi sangat cepat, populasi global meningkat pada pertengahan abad 21 dan akan menurun setelahnya, dan cepatnya pengenalan teknologi baru yang lebih efisien. SRESA1 dibagi menjadi tiga famili yang mengkarakteristikkan pengembangan alternatif teknologi. Pertama adalah A1F1 yang menggunakan bahan bakar fosil secara intensif. Kedua adalah A1B yang menggunakan energi yang seimbang antara bahan bakar fosil dan non-fosil. Terakhir adalah A1T yang menggunakan bahan bakar non-fosil secara intensif. Skenario emisi grup A2 (SRES A2).
Asumsi yang digunakan dalam
SRESA2 adalah bahwa pada masa mendatang kondisi wilayah sangat beragam, kerjasama antar wilayah sangat lemah dan cenderung lebih bersifat individu. Pembangunan ekonomi sangat berorientasi wilayah sehingga akan terjadi fragmentasi antar wilayah baik pertumbuhan, pendapatan perkapita maupun perubahan teknologi. Skenario emisi grup B1 (SRES B1). Skenario grup B1 menggunakan asumsi yang sama seperti pada grup A1. Akan tetapi pada skenario ini ditambah dengan asumsi bahwa terjadi perubahanstruktur ekonomi yang cepat melalui peningkatan
pelayanan
dan
informasi
ekonomi,
menurunnya
intensitas
penggunaan bahan bakar, serta diperkenalkannya teknologi yang bersih dan penggunaan sumberdaya yang lebih efisien. Penekanan pada skenario ini terletak pada penyelesaian masalah global berkaitan dengan ekonomi, sosial dan lingkungan, termasuk peningkatan tingkat kesamaan akan tetapi tanpa ada inisiatif khusus berkaitan dengan perubahan iklim
29
Skenario emisi grup B2 (SRES B2). Skenario ini menekankan pada upaya penyelesaian masalah ekonomi, sosial dan lingkungan secara lokal. Populasi global terus meningkat tetapi dengan laju sedikit lebih rendah dari skenario emisi grup A2, pembangunan ekonomi pada tingkat sedang, perubahan teknologi sedikit lebih lambat Skenario SRES masih digunakan untuk Fourth Assessment Report (AR4) yang dikeluarkan tahun 2007. Dalam Fourth Assessment Report dinyatakan bahwa emisi gas rumah kaca secara global masih akan bertambah dalam beberapa dekade kedepan (Gambar 2) (IPCC 2000). Skenario ini juga berorientasi pada perlindungan lingkungan dan kesamaan sosial yang difokuskan pada tingkat lokal dan regional.
Gambar 2. Skenario emisi GRK (CO 2 ) tahun 1990 – 2100 (sumber: IPCC 2000). Pengaruh Perubahan Iklim terhadap Pertanian Dimulai pada jaman revolusi industri, pembakaran bahan bakar fosil meningkat tajam yang berhubungan dengan peningkatan pertambahan penduduk dunia dan pemakaian bahan fosil serta eksplorasi sumber daya alam. Dalam hubungan ini, gas-gas rumah kaca khususnya CO 2 , CH 4 dan N 2 O meningkat secara tajam yang sering dihubungkan dengan peningkatan suhu udara global mendekati 1 oC (IPCC 2007). Namun demikian, kendala ketersediaan data merupakan hal klasik yang dihadapi negara berkembang seperti Indonesia, sehingga analisis dampak perubahan iklim terhadap berbagai sektor termasuk pertanian menjadi sangat terbatas.
30
Perubahan iklim yang terjadi dapat mempengaruhi sektor kehidupan di bumi, salah satunya pada sektor pertanian (Prihantoro 2008). Perubahan iklim diprediksi akan mempengaruhi produksi pangan di berbagai wilayah di Indonesia (Handoko et al. 2008) sehingga berdampak pada pasokan pangan nasional. Di samping itu, IPCC (2007) memproyeksikan negara-negara berkembang khususnya akan sangat tergantung pada impor pangan. Perubahan iklim diperkirakan akan menimbulkan dampak berupa penurunan produksi dan produktivitas pertanian; penurunan GDP sektor pertanian; fluktuasi harga produk pertanian di pasar dunia; perubahan distribusi geografis dari rejim perdagangan; serta peningkatan kebutuhan pangan penduduk yang makin banyak sehingga berisiko kelaparan dan ketahanan pangan. Diperkirakan 11% dari lahan pertanian di negara-negara berkembang dipengaruhi oleh perubahan iklim, yang berdampak mengurangi produksi bahan pangan biji-bijian pada 65 negara yang telah mengakibatkan 16% penurunan GDP (FAO Committee on Food Security, Report of 31st Session 2005). Fischer et al. (2005) memproyeksi produksi bahan pangan (serealia) dunia akan mengalami penurunan 0,6% hingga 0,9% pada periode 1990 – 2080. Di Asia Tenggara, diproyeksikan penurunan produksi serealia mengalami penurunan 2,5% hingga 7,8%. Dampak adanya perubahan iklim juga akan berpengaruh terhadap produksi dan produktivitas tanaman kentang. Tanaman kentang di Indonesia dibudidayakan pada dataran tinggi di atas 800 m dari permukaan laut (dpl), untuk memenuhi kebutuhan suhu udara yang rendah dengan luasan 55 ribu ha (BPS 2011). Provinsi yang memiliki lahan kentang paling luas adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sulawesi Utara dan Jambi. Perubahan iklim yang akan meningkatkan suhu udara dan penurunan curah hujan diduga akan menurunkan produktivitas dan produksi kentang di Indonesia. Peningkatan suhu udara 1 oC akan setara dengan penurunan ketinggian sekitar 170 m yang berdampak pada penurunan produktivitas lahan kentang, namun hubungan antara interaksi suhu udara dan curah hujan dengan penurunan hasil kentang belum tersedia untuk prediksi dampak perubahan iklim terhadap produksi kentang di Indonesia.
31
31
III.
PERHITUNGAN KEHILANGAN AIR PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) BERDASARKAN NERACA AIR LAHAN 1 ABSTRAK
Penelitian ini menghitung kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual (ETa) dan limpasan permukaan (Ro) berdasarkan neraca air di tiga lokasi pertanaman kentang, dengan ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Percobaan pertama dan kedua dilakukan di Kebun Percobaan Balitbiogen, Pacet dan di Desa Galudra, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Waktu pelaksanaan kedua percobaan ini Desember 2009 sampai Maret 2010 dan Februari sampai Juni 2010. Percobaan ketiga dilakukan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, waktu pelaksanaan Mei sampai September 2011. Metode perhitungan kehilangan air berupa ETa + Ro didasarkan pada neraca air lahan melalui pengukuran curah hujan dan kadar air tanah setiap minggu pada kedalaman 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm. Jika ETa dapat diasumsikan sama dengan ETp (evapotranspirasi potensial) maka kehilangan air berupa Ro dapat dihitung dari selisih ETa + Ro dan ETp. Hasil penelitian menunjukkan perubahan kadar air tanah terbesar dari ketiga percobaan secara umum terjadi hingga kedalaman 60 cm. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80– 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Pada percobaan pertama, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 1.378 mm, yang dihitung dari 75 hari pengukuran, setara dengan 18 mm hari-1. Nilai ini jauh lebih tinggi dibanding ETp sebesar 7 mm/hari. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 11 mm hari-1 disebabkan nilai limpasan permukaan sebesar 816 mm (62%) selama pertumbuhan tanaman yang hal ini berhubungan dengan kemiringan lahan 20%. Pada percobaan kedua, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 260 mm, yang dihitung dari 48 hari pengukuran, setara dengan 5 mm hari-1. Nilai ini sama dengan ETp sebesar 5 mm hari-1 karena tidak terjadi limpasan permukaan yang berhubungan dengan kemiringan lahan yang kecil (<5%). Pada percobaan ketiga, kehilangan air tanaman melalui ETa + Ro sebesar 823 mm, yang dihitung dari 52 hari pengukuran, setara dengan 16 mm hari-1. Nilai ini lebih tinggi dibanding ETp sebesar 8 mm hari-1. Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 8 mm hari-1, disebabkan nilai limpasan permukaan sebesar 407 mm (54%) dan berhubungan dengan kemiringan lahan 10%. Kata kunci : Evapotranspirasi, kadar air, kentang, limpasan permukaan, neraca air. ABSTRACT This research calculates the actual water loss through evapotranspiration (ETa) and runoff (Ro) based on water balance in three potato growing centers, with a variation on altitude and rainfall. The first and second experiment done at Balitbiogen experiment center in Pacet and in Galudra villange, Cianjur, West Java, from December 2009 to March 2010 and February to June 2010. The third 1
Paper telah dikirim dan diterima pada Jurnal Hortiklutura Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Judul : Perhitungan Kehilangan Air pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.). 2012. Salwati, Handoko. Las I, Hidayati R.
31
32
experiment performed in Kerinci regency, Jambi Province, from May to September 2011. Method to calculate water loss in the form of ETa and Ro was based on land water balance through weekly measurements of soil water contents at the depths of 10, 20, 40, 60, 80 and 100 cm. Provided that ETa was equal to ETp (potential evapotranspiration), therefore, water loss as Ro could be calculated as the difference as ETa + Ro and ETp. The result showed there was a major change on soil moisture content in all three experiments generally occurs on 60 cm soil depth. This research calculated water loss through actual evapotranspiration (ETa) and runoff (Ro) of potato crop in three high altitudes and precipitation by using water balance approach. The largest change of soil water content in the three experiments was up to 60 cm soil depth. Change in soil water content below 60 cm soil depth was small and between soil depth of 80– 100 cm there was almost no change. In the first experiment, soil water loss in the form of ETa + Ro was 1.378 mm calculated from 75 days of measurement, which was equivalent to 18 mm day-1. This value was much higher than ETp of 7 mm day-1. The difference between ETa + Ro and ETp as high as 11 mm day-1 was caused by runoff of 816 mm (62%) during the plant growth associated with the slope of the experimental site (20%). In the second experiment, water loss through ETa+Ro was 260 mm calculated from 48 days of measuriment, which was equivalent to ETp of 5 mm day-1. This value was the same as ETp of 5 mm day-1, was due to the absence of runoff related to slight slope of the experimental site (<5%). In the third experiment, ETa + Ro was 823 mm from 52 days of measurement, which was equivalent to 16 mm day-1. This value was higher than ETp of 8 mm day-1. The difference in value of ETa + Ro and ETp (8 mm day1 ), was caused by runoff of 407 mm (54%) and 10% slope of the experimental site. Key words : Evapotranspiration, water content, potato, runoff, water balance 3.1. Pendahuluan Penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup dan meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting. Informasi mengenai dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air melalui evapotranspirasi (aktual) serta aliran permukaan (runoff, Ro) sangat diperlukan (Djufri et al. 2005). Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air pada lahan, menggunakan kadar air tanah dan curah hujan selama pertumbuhan tanaman kentang. Nasir (1993) mendefinisikan neraca air sebagai selisih antara jumlah air yang diterima oleh tanaman dan kehilangan air dari tanaman beserta tanah melalui evapotranspirasi. Sedangkan Ayoade (1983) manyatakan bahwa neraca air adalah suatu ungkapan kuantitatif dari siklus hidrologi dan berbagai komponennya di atas
33
suatu daerah yang spesifik pada periode tertentu. Persamaan neraca air secara umum adalah curah hujan (CH) + irigasi = evapotranspirasi (ETa) + runoff (Ro) + perkolasi ± perubahanan kadar air tanah (dKAT). Dari beberapa defenisi di atas dapat disimpulkan bahwa neraca air merupakan perimbangan antara masukan dan keluaran air disuatu tempat pada periode waktu tertentu. Neraca air dapat dibuat dalam selang waktu harian, mingguan, bulanan maupun musiman tergantung kebutuhan (Annandale et al. 1999). Menurut (Steyn et al. 2007) kebutuhan air tanaman adalah jumlah air yang digunakan untuk memenuhi evapotranspirasi yang dapat dihitung melalui perhitungan neraca air. Xiong (2008) menyatakan bahwa jumlah terbesar dari penggunaan air oleh tanaman adalah untuk evapotranspirasi, yang nilai maksimumnya adalah evapotranspirasi potensial. Sedangkan menurut Biggs et al. (2008) pada prinsipnya evapotranspirasi sama dengan kebutuhan air tanaman, air yang terinfiltrasi juga berfungsi memenuhi kebutuhan untuk evapotranspirasi. Bila curah hujan melebihi evapotranspirasi, air akan disimpan di dalam tanah sampai batas maksimum tanah menyimpan air yang selanjutnya akan digunakan oleh tanaman untuk evapotranspirasi pada waktu yang akan datang. Evapotranspirasi merupakan jumlah air yang hilang dari tanah dan tanaman dalam satuan waktu tertentu yang jumlahnya bergantung pada jenis tanaman, jenis tanah serta kondisi cuaca pada lingkungan sekitar tanaman terutama suhu dan kelembaban (Kirnak dan Short 2001). Evapotranspirasi adalah kombinasi dua proses kehilangan air melalui jalur yang berbeda, yaitu melalui permukaan tanah (evaporasi) dan tanaman (transpirasi). Meskipun evaporasi dan transpirasi terjadi melalui jalur yang berbeda, namun keduanya sangat sulit dibedakan dan terjadi secara simultan (Allen et al. 1998) Ada tiga faktor yang menentukan kecepatan evapotranspirasi yaitu (1) faktor iklim mikro yang mencakup : radiasi netto, suhu, kelembaban dan angin, (2) faktor tanaman yang meliputi jenis tanaman, derajat penutupannya, struktur tanaman, stadia perkembangan sampai masak, keteraturan dan banyaknya stomata, mekanisme menutup dan membukanya stomata, dan (3) faktor tanah yang terdiri dari : kondisi tanah, aerasi tanah, potensial air tanah dan kecepatan air tanah bergerak ke akar tanaman (Seyhan 1995).
34
3.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan nilai kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan pertanaman kentang pada ketinggian tempat dan curah hujan yang berbeda. Analisis yang dilakukan menggunakan neraca air lahan berdasarkan pengamatan kadar air tanah serta curah hujan pada tiga lokasi pertanaman kentang. 3.3. Metodologi 3.3.1. Tempat dan Waktu Percobaan Penelitian ini telah dilaksanakan pada tiga lokasi berbeda, dengan ketinggian tempat di atas 1.000 m dpl (dari permukaan laut) dan kemiringan lahan yang berbeda-beda. Percobaan Pertama Percobaan pertama dilakukan di Kebun Percobaan BBbiogen, Pacet Kabupaten Cianjur dengan luas lahan ± 1.000 m2, pada ketinggian ± 1.150 m dpl, kemiringan lahan ± 20%. Waktu percobaan mulai dari Desember 2009 sampai Maret 2010. Percobaan Kedua Percobaan kedua dilakukan di Desa Galudra, Kecamatan Cugenang, Kabupaten Cianjur, Jawa Barat dengan luas lahan ± 4.000 m2 pada ketinggian ± 1.250 m dpl, kemiringan lahan < 5%. Waktu percobaan mulai dari Februari sampai Juni 2010. Percobaan Ketiga Percobaan ketiga dilakukan di Kabupaten Kerinci, Provinsi Jambi, dengan luas lahan ± 1.200 m2, pada ketinggian ± 1.300 m dpl, kemiringan lahan ± 10%. Waktu penelitian mulai dari Mei sampai September 2011. Kalibrasi alat ukur kadar air tanah dilakukan di Departemen Geofisika dan Meteorologi, FMIPA IPB, Kampus IPB Darmaga sebelum digunakan pada tiga percobaan lapang.
35
3.3.2. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan terdiri dari : 1) bibit kentang varietas Granola (G0, G1, G2) dan Atlantis (G4); 2) pupuk anorganik (Urea, KCl, SP-36) dan organik (pupuk kandang, jerami); 3) insektisida untuk pengendalian hama dan penyakit tanaman; 4) data iklim harian (curah hujan, suhu udara, kelembaban udara, radiasi surya, dan kecepatan angin). Bibit kentang varietas Granola G0 digunakan pada Percobaan I di Pacet, G1 pada Percobaan II di Galudra, sedangkan bibit G2 (Granola) serta G4 (Atlantis) pada Percobaan III di Kerinci. Alat yang digunakan terdiri dari : 1) peralatan penanaman kentang seperti cangkul, parang, sekop, garu, ember, drum, selang air, kantung plastik, tambang; 2) alat pengukur kadar air tanah, yaitu : bor tanah dan sensor pengukur kadar air tanah pada berbagai kedalaman (10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm); 3) stasiun cuaca otomatis pada lokasi penelitian. 3.3.3. Rancangan Percobaan Rancangan Percobaan Pertama Perlakuan terdiri dari tiga ukuran umbi (U1, U2 dan U3) dan dua jarak tanam (J1 dan J2). Percobaan menggunakan rancangan blok terpisah (split-block design) dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai petak utama. Perlakuan jarak tanam (J) dan ukuran bibit (U) adalah sebagai berikut : Jarak tanam (J i ) terdiri dari : J1 = jarak tanam 20 cm x 20 cm J2 = jarak tanam 20 cm x 40 cm. Ukuran bibit (U j ) terdiri dari : U1 = berat bibit antara 1,5 – 3,5 g/butir U2 = berat bibit antara 0,5 – 1,5 g/butir U3 = berat bibit kurang dari 0,5 g/butir Rancangan Percobaan Kedua Perlakuan juga terdiri dari tiga ukuran umbi (U1, U2 dan U3) dan dua jarak tanam (J1 dan J2). Percobaan menggunakan rancangan blok terpisah (splitblock design) dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai petak utama. Perlakuan jarak tanam (J) dan ukuran bibit (U) adalah sebagai berikut : Jarak tanam (J i ) terdiri dari :
36
J1 = jarak tanam 20 cm x 20 cm J2 = jarak tanam 20 cm x 30 cm. Ukuran bibit (U j ) terdiri dari : U1 = berat bibit 10 – 25 g/butir U2 = berat bibit 5 – 10 g/butir U3 = berat bibit kurang dari 5 g/butir Rancangan Percobaan Ketiga Perlakuan terdiri dua varietas (V1 dan V2) dan jarak tanam (J1 dan J2). Percobaan menggunakan rancangan acak kelompok dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai ulangan. Perlakuan jarak tanam (J) dan varietas (V) adalah sebagai berikut : Jarak tanam (J i ) terdiri dari : J1 = jarak tanam 20 cm x 20 cm J2 = jarak tanam 20 cm x 40 cm Varietas (V j ) terdiri dari : V1 = Varietas Granola V2 = Varietas Atlantis Perlakuan yang diterapkan pada percobaan lapang I, II, dan III dalam analisis neraca air ini dianggap sebagai ulangan. 3.3.4. Pelaksanaan Penelitian Pengolahan tanah dilakukan menggunakan traktor dan cangkul sesuai dengan perlakuan, setiap unit percobaan menggunakan empat unit guludan. Pupuk kandang dan sekam jerami dengan dosis 20 ton ha-1, diberikan menurut baris tanam sesuai perlakuan. Pada setiap lubang tanam ditanam satu benih kentang. Pemupukan sesuai dosis anjuran (urea 300 kg ha-1, SP-36 300 kg ha-1, dan KCl 100 kg ha-1), diberikan secara melingkar di sekeliling bibit kentang. Setelah pemberian pupuk dasar bibit kentang ditutupi dengan tanah lapisan atas setebal ± 12 cm dengan menggunakan cangkul, sehingga akan terbentuk guludanguludan memanjang. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan dua kali secara bersamaan pada saat tanaman berumur satu dan dua bulan setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan mengunakan pestisida sesuai tingkat serangan.
37
3.3.5. Pengukuran Kadar Air Tanah dan Kalibrasi Alat Pengukuran kadar air tanah dilakukan menggunakan prinsip hambatan listrik. Alat dipasang pada kedalaman 10 cm, 20 cm, 40 cm, 60 cm, 80 cm dan 100 cm, ditempatkan pada setiap kombinasi perlakuan. Sebelum alat digunakan, dilakukan kalibrasi pada masing-masing kedalaman dan perlakuan. Contoh tanah diambil dari masing-masing kedalaman sekitar 1 kg kemudian dikeringkan dan dioven selama 24 jam pada suhu 105 oC. Tanah kering oven dari masing-masing contoh kemudian dihaluskan dan diayak sehingga diameter partikel tidak lebih dari 1 mm. Hasil ayakan yang sudah ditimbang dimasukkan pada masing-masing gelas plastik yang telah diisi sensor, diberi tanda kedalaman dan perlakuan. Tiap gelas diberi lubang kecil-kecil pada dasarnya untuk drainase air. Tanah tersebut kemudian dimasukkan hingga volume tertentu (V) dan ditimbang, sehingga diperoleh berat kering tanah sebagai berikut : Wd
= Wg,s,d – Wg,s
(1)
Wd = berat kering tanah (g) Wg,s,d = berat gelas, sensor dan berat kering tanah (g) Wg,s = berat gelas dan sensor (g) Masing-masing gelas plastik yang sudah berisi tanah diberi air secara perlahan dan bertahap hingga terjadi drainase serta tanah menjadi jenuh. Setelah tiga hari dilakukan pengukuran pertama, yang dilanjutkan setiap hari hingga tanah menjadi kering. Pengukuran dilakukan terhadap berat masing-masing gelas (gram) dan tahanan, R (ohm) yang terbaca pada AVO meter. Kadar air selanjutnya dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut: θw
= 100 * (Wg,s,w – Wg,s,d) / Wd
θw Wg,s,w Wg,s,d Wd
= = = =
(2)
kadar air tanah secara gravimetri (% w) berat gelas, sensor dan tanah basah (g) berat gelas, sensor dan berat kering tanah g) berat kering tanah (g)
Setelah volume tanah (V) didapatkan dari masing-masing contoh tanah yang dikalibrasi maka nilai tahanan tersebut dapat dikonversi langsung menjadi kadar air secara volumetri (θv).
38
θv = θw . W d / V θv = θw = Wd = V =
(3)
kadar air tanah secara volumetri (% v) kadar air tanah secara gravimetri (% w) berat kering tanah (g) volume tanah (cm3) Data hasil pengukuran kadar air tanah (θv) dan hambatan listrik (R)
selanjutnya diplotkan dan kurva kalibrasi dapat diturunkan menggunakan persamaan yang didapat. 3.3.6. Neraca Air Perhitungan neraca air didasarkan pada masukan (input) dan keluaran (output) air pada lahan tanaman kentang tiap perlakuan. θt sehingga,
= θt-1 + Pt - (ETat + Rot )
ETat + Rot = θt-1 - θt + Pt ETat Rot θt θt-1 Pt
(4) (5)
: evapotranspirasi aktual minggu ke t (mm) : limpasan permukaan minggu ke t (mm) : kadar air tanah minggu ke t (mm) : kadar air tanah minggu ke t-1 (mm) : curah hujan minggu ke t (mm)
3.4. Hasil dan Pembahasan 3.4.1. Kalibrasi Alat Ukur Kadar Air Tanah Kadar air tanah di lapang diukur dengan menggunakan prinsip hambatan listrik, selanjutnya dengan melakukan kalibrasi di Laboratorium dibuat hubungan antara kadar air tanah (% volume) dengan hambatan listrik (kΩ) pada setiap percobaan. Hubungan tersebut ditunjukkan pada Tabel 3. Hubungan antara tahanan listrik (kΩ) dengan kadar air tanah (% volume) dari berbagai perlakuan dan kedalaman tanah pada semua percobaan (Tabel 3) menunjukkan bahwa alat ukur mampu mengukur kisaran kadar air tanah yang lebar (dari basah hingga kering) dengan koefisien determinasi yang sangat tinggi (R2 ≥ 0,89). Contoh hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah di tiga kedalaman Percobaan I, II, dan III juga dapat ditunjukkan oleh Gambar 3.
39
Tabel 3. Hasil kalibrasi hubungan antara kadar air tanah (% volume) dengan hambatan listrik (ohm dalam kΩ) pada percobaan pertama, kedua dan ketiga Kedalaman Tanah (cm)
Percobaan pertama
Percobaan kedua
Percobaan ketiga
Persamaan Kalibrasi
R2
Persamaan Kalibrasi
R2
Persamaan Kalibrasi
R2
10
y= 51,56x-0,43
0,99
y=43,81x-0,4
0,92
y=57,02x-0,71
0,98
20
y=39,83x-0,44
0,98
y=37,26x-0,37
0,89
y=59,78x-0,46
0,95
40
-0,36
y=39,07x
0,97
-0,35
y=61,81x
0,98
-0,99
y=57,82x
0,97
60
y=42,99x-0,40
0,99
y=66,99x-0,35
0,99
y=65,28x-0,53
0,97
80
-0,47
y=29,67x
0,96
-0,34
y=71,14x
0,99
-0,44
y=43,98x
0,97
100
y=42,32x-0,38
0,97
y=54,38x-0,30
0,99
y=51,73x-0,49
0,95
(a)
(b)
(c) Gambar 3. Hubungan antara hambatan listrik dengan kadar air tanah pada tiga kedalaman pada Percobaan I (a), Percobaan II (b), dan Percobaan III (c).
40
Gambar 3 menunjukkan alat pengukur kadar air tanah tersebut dapat digunakan untuk mengukur perubahan kadar air tanah dari berbagai perlakuan pada kedalaman yang berbeda-beda. 3.4.2. Profil Kadar Air Tanah Profil kadar air tanah dari berbagai perlakuan menunjukkan variasi yang sangat beragam antar perlakuan baik pada percobaan pertama, kedua (Gambar 4), maupun ketiga (Gambar 5). Secara umum pada ketiga percobaan perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan kedalaman dengan aktivitas evaporasi dan penyerapan air tertinggi oleh akar tanaman kentang. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan. Fenomena ini juga berhubungan dengan laju infiltrasi yang makin berkurang dengan kedalaman tanah. Akar tanaman kentang memiliki percabangan lebat dan agak dangkal, sekitar 90% berada pada kedalaman 50 – 60 cm dari permukaan tanah, sehingga sampai kedalaman 60 cm ini cenderung rentan terhadap cekaman kekurangan air (Rubatzky dan Yamaguchi 1998). Pernyataan ini sesuai dengan hasil percobaan yang menunjukkan penyerapan air tertinggi oleh akar tanaman kentang terjadi sampai kedalaman 60 cm.
41
(a) (b) Gambar 4. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST), pada Percobaan I (a) dan Percobaan II (b).
42
Gambar 5. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST) pada Percobaan III. 3.4.3. Neraca Air Tanaman Kentang Komponen neraca air yang menunjukkan interaksi antara curah hujan, evapotranspirasi (ETa), limpasan permukaan (Ro), dan kadar air tanah (KAT) dari rata-rata seluruh perlakuan pada ketiga percobaan ditunjukkan pada Tabel 4. Kehilangan air tanaman dalam bentuk ETa + Ro tergantung dari simpanan kadar air tanah (KAT) sebelumnya. Jika tanah dalam kondisi padat maka laju infiltrasi tanah menjadi rendah, sehingga saat curah hujan tinggi air sulit terinfiltrasi ke dalam tanah yang menyebabkan Ro menjadi besar. Sebaliknya, jika tanah gembur maka laju infiltrasi meningkat yang menyebabkan Ro berkurang dan KAT meningkat. Pada penelitian ini nilai KAT bervariasi antar kedalaman pada setiap perlakuan dan antar percobaan. Menurut Biggs et al. (2008) perbedaan KAT pada kedalaman yang sama (berlainan petak) disebabkan oleh perbedaan kehilangan air tanah melalui proses evapotranspirasi dan perbedaan kemampuan menahan air oleh tanah yang disebabkan sifat fisika dan kimia tanah. Evapotranspirasi terdiri dari evaporasi yang merupakan proses penguapan di atas tanah dan transpirasi terjadi pada tanaman melalui stomata (Allen et al. 1998) dan sangat sulit dibedakan proses keduanya melalui pengukuran di lapang. Nilai kehilangan air tanaman kentang dalam percobaan ini dihitung sebagai ETa + Ro (evapotranspirasi aktual ditambah dengan limpasan permukaan).
43
Tabel 4. Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama pengukuran pada Percobaan I, II dan III. Komponen Neraca Air Percobaan I Curah hujan (mm) KAT Awal (mm/m) 1) KAT akhir (mm/m) 2) dKAT ETa + Ro (mm) Rata-rata ETa + Ro (mm)/J1,J2 Rata-rata ETa + Ro (mm) Percobaan II Curah hujan (mm) KAT Awal (mm/m) 3) KAT akhir (mm/m) 4) dKAT Eta + Ro (mm) Rata-rata ETa + Ro (mm)/J1,J2 Rata-rata ETa + Ro (mm) Percobaan III
Perlakuan U1 1.314 319 218 -101 1.415 1.418 1.378 U1 261 273 283 10 251 249 260
J1 U2 1.314 232 197 -35 1.349
J1 U2 261 268 294 26 235
U3 1.314 390 215 - 175 1.489
U3 261 267 267 0 261
U1 1.314 148 116 -32 1.347 1.338
U1 261 330 322 -8 269 270
J2 U2 1.314 291 256 -35 1.350
U3 1.314 202 197 -5 1.319
J2 U2 261 270 248 -22 283
U3 261 248 251 3 258
J1 J2 V1 V2 V1 V2 757 Curah hujan (mm) 757 757 757 KAT Awal (mm/m) 5) 184 369 171 336 KAT akhir (mm/m) 6) 172 292 186 146 dKAT -12 - 77 15 -190 Eta + Ro (mm) 769 834 742 947 Rata-rata ETa + Ro (mm)/J1,J2 802 845 Rata-rata ETa + Ro (mm) 823 Keterangan : 1) pengukuran pada 26 Hari Setelah Tanam (HST), 2) 101 HST, 3) 37 HST, 4) 85 HST, 5) 12 HST, 6) 64 HST.
Perhitungan menggunakan neraca air dalam penelitian ini menghasilkan jumlah ETa dan Ro yang tidak dapat dipisahkan. Untuk mengatasi hal ini, nilai evapotranspirasi (ETa) didekati dari evapotranspirasi potensial (ETp) yang dihitung dengan metode Penman. Dalam hal ini, nilai evapotranspirasi dianggap selalu dalam keadaan maksimum dan air bukan merupakan faktor pembatas. Nilai ETa + Ro, Ro dan ETp selama pengukuran pada Percobaan I, II dan III ditunjukkan pada Tabel 5.
44
Tabel 5. Nilai ETa + Ro, ETp dan Ro pada Percobaan I, II dan III Percobaan
Nilai selama pengukuran
Rata-rata per hari
Percobaan pertama1) Curah hujan (mm) 1.314 17 ETa + Ro (mm) 1.378 18 ETp(mm) 563 7 Ro (mm)* 816 11 Percobaan Kedua2) Curah hujan (mm) 261 5 ETa + Ro (mm) 260 5 ETp (mm) 260** 5** Ro (mm)* 0 0 Percobaan ketiga3) Curah hujan (mm) 757 15 ETa + Ro (mm) 823 16 ETp (mm) 416 8 Ro* 407 8 Keterangan : 1) 75 hari pengukuran, 2) 48 hari pengukuran, 3) 52 hari pengukuran *) Ro yang dihitung dengan asumsi ETa = ETp **) Hasil perhitungan total nilai ETp=307 mm, sehingga nilai ETp dianggap sama dengan ETa + Ro = 260 dan Ro = 0.
Pada Percobaan I, nilai rata-rata ETa + Ro dari semua perlakuan sebesar 1.378 mm (Tabel 4) yang dihitung dari 75 hari pangukuran, atau setara dengan 18 mm hari-1 (Tabel 5). Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata evapotranspirasi potensial (ETp) sebesar 7 mm hari-1 (Tabel 5). Dengan asumsi ETa = ETp, perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 11 mm hari-1 (Tabel 5) merupakan nilai limpasan permukaan (Ro).
Nilai Ro ini erat hubungannya
dengan kemiringan lahan 20% pada lokasi pertanaman kentang tersebut. Kondisi ini menunjukkan curah hujan yang mencapai permukaan tanah sedikit yang terinfiltrasi ke dalam tanah tetapi lebih banyak menjadi limpasan permukaan (Ro). Tabel 5 menunjukkan curah hujan yang tinggi (1.314 mm) pada Percobaan I dengan Eta + Ro (1.378 mm), dan Ro juga tinggi (816 mm) menyebabkan simpanan kadar air selama pertumbuhan tanaman mengalami penurunan. Penurunan besar KAT secara umum terjadi pada semua perlakuan, pada waktu 70 hari setelah tanam. Gambar 6 menunjukkan perubahan kadar air tanah total sampai kedalaman 100 cm menurut waktu dari semua perlakuan pada Percobaan I, II dan III. Kadar air tanah Percobaan I pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 215 – 431 mm m-1 sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 116 – 345 mm m-1.
45
(a)
(b)
(c) Gambar 6.
Kadar air tanah total hingga kedalaman 1 m pada semua perlakuan menurut waktu, pada (a) Percobaan I, (b) percobaan II, dan (c) percobaan III.
Percobaan II, nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 260 mm (Tabel 4) yang dihitung dari 48 hari pangukuran, atau setara dengan 6 mm hari-1 (Tabel 5). Nilai ini sama dengan rata-rata ETp sebesar 5 mm hari-1 (Tabel 5). Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 0 mm.hari-1 (Tabel 5) menunjukkan tidak terjadi limpasan permukaan selama pertumbuhan tanaman disebabkan oleh lahan yang relatif datar (kemiringan kurang dari 5%). Tabel 5 menunjukkan curah hujan yang juga rendah (261 mm) pada Percobaan II, juga menjadi salah satu penyebab tidak terjadi aliran permukaan (Ro = 0). Meskipun curah hujan rendah, ETa + Ro (260 mm), karena Ro (0 mm) pada Percobaan II, menyebabkan simpanan kadar air secara umum cenderung konstan selama pertumbuhan tanaman (Gambar 6). Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 263 – 309 mm m-1, sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 243 – 341 mm m-1.
46
Percobaan III nilai rata-rata ETa + Ro semua perlakuan sebesar 823 mm (Tabel 4) yang dihitung dari 52 hari pangukuran, atau setara dengan 16 mm hari-1 (Tabel 5). Nilai ini jauh lebih tinggi dari rata-rata ETp sebesar 8 mm hari-1 (Tabel 5). Perbedaan nilai antara ETa + Ro dan ETp sebesar 8 mm hari-1 (Tabel 5) tersebut menunjukkan nilai Ro selama pertumbuhan tanaman yang sedikit lebih rendah dari Percobaan I, tetapi lebih tinggi dari Percobaan II. Hal ini berhubungan dengan kemiringan lahan 10%, lebih banyak curah hujan yang terinfiltrasi ke dalam tanah, sehingga lebih sedikit yang menjadi aliran permukaan. Tabel 5 menunjukkan curah hujan sebesar 757 mm pada Percobaan III, ETa + Ro (823 mm), Ro (407 mm) menyebabkan simpanan kadar air secara umum juga menurun selama pertumbuhan tanaman, tapi tidak setinggi penurunan pada Percobaan I (Gambar 6). Kadar air tanah pada perlakuan jarak tanam J1 berkisar antara 158 – 388 mm m-1, sedangkan pada perlakuan J2 berkisar antara 102 – 336 mm m-1. Proses hilangnya air akibat evapotranspirasi merupakan salah satu komponen penting karena dapat mengurangi simpanan air dalam tanah dan tanaman. Ferreira dan Carr (2002) menemukan bahwa evapotranspirasi total (ETa) dari tanaman kentang pada daerah beriklim panas kering di Timur Laut Portugal berkisar 150 – 550 mm, tergantung pada perlakuan irigasi dan masa pertumbuhan. Kisaran ini setara dengan yang ditemukan Onder et al. (2005) yaitu berkisar 166 – 473 mm, akan tetapi jauh lebih kecil dari pada total kehilangan air dalam percobaan I (ETa + Ro = 1.378 mm), Percobaan III (ETa + Ro = 823 mm), yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang besar. Total kehilangan air dalam percobaan II (ETa + Ro = 260 mm) masuk dalam kisaran, yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang kecil atau tidak terjadi limpasan permukaan. Evapotranspirasi dapat menurunkan kadar air tanah yang ada, untuk itu diperlukan upaya penambahan air melalui pengairan tambahan seperti penyiraman dan irigasi. Laureti dan Marras (1995) mendapatkan hubungan linier antara peningkatan hasil tanaman pada aplikasi pemberian air sampai 100% evapotranspirasi.
47
Hubungan antara Curah Hujan dan Limpasan Permukaan Nilai curah hujan dan limpasan permukaan yang diukur pada Percobaan I, II dan III ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6. Nilai curah hujan dan limpasan permukaan (Ro) yang terukur pada Percobaan I, II dan III. Percobaan I Curah hujan (mm) Ro (mm) (%) Percobaan II Curah hujan (mm) Ro (mm) (%) Percobaan III Curah hujan (mm) Ro (mm) (%)
U1J1 1.314 853 65 U1J1 261 0 0 J1V1 757 353 47
U2J1 1.314 787 60 U2J1 261 0 0
Perlakuan U3J1 U1J2 1.314 1.314 927 784 70 60 U3J1 U1J2 261 261 0 0 0 0 J1V2 J2V1 757 757 418 326 55 43
Rata-rata U2J2 1.314 787 60 U2J2 261 0 0
U3J2 1.314 757 58 U3J2 261 0 0 J2V2 757 531 70
1.314 816 62 261 0 0 757 407 54
Tabel 6 menunjukkan curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan I (1.314 mm) menyebabkan limpasan permukaan yang besar, yaitu 816 mm atau 62%. Sebaliknya, curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan II (261 mm) menyebabkan Ro tidak terjadi. Curah hujan yang juga cukup tinggi selama pertumbuhan tanaman kentang pada Percobaan III (757 mm) menyebabkan limpasan permukaan 407 mm atau 54%, tapi tidak setinggi pada Percobaan I. 3.5. Kesimpulan 1.
Pada ketiga percobaan perubahan kadar air tanah terbesar terjadi hingga kedalaman 60 cm yang menunjukkan aktivitas perakaran paling tinggi dalam penyerapan air tanah. Perubahan kadar air tanah di bawah kedalaman 60 cm makin berkurang, dan pada kedalaman 80 – 100 cm hampir tidak terjadi lagi perubahan.
2.
Peningkatan curah hujan menyebabkan kehilangan air yang makin besar khususnya melalui limpasan permukaan (Ro). Perhitungan neraca air lahan pada Percobaan I dengan curah hujan 1.314 mm menghasilkan rata-rata kehilangan air dalam bentuk evapotranspirasi dan limpasan permukaan
48
(ETa + Ro) dari semua perlakuan sebesar 1.378 mm selama 75 hari pengukuran, atau setara dengan 18 mm hari-1. Percobaan II dengan curah hujan 261 mm tidak menghasilkan limpasan permukaan (Ro), melainkan hanya untuk mencukupi kebutuhan air untuk evapotranspirasi tanaman kentang (ETa) sebesar 260 mm selama 48 hari pengukuran, atau setara dengan 5 mm hari-1. Percobaan III dengan curah hujan 757 mm menghasilkan rata-rata ETa + Ro yang lebih rendah dari Percobaan I, yaitu 823 mm selama 52 hari pengukuran atau atau setara dengan 16 mm hari-1. 3.
Curah hujan yang tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan pertama menyebabkan limpasan permukaan yang tinggi, dengan rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 62%. Curah hujan yang juga tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan ketiga menyebabkan limpasan permukaan tidak sebesar Percobaan I, dengan rata-rata persentasi Ro terhadap besarnya curah hujan sebesar 54%. Kondisi curah hujan yang relatif rendah selama masa pertumbuhan tanaman kentang pada percobaan kedua menyebabkan tidak terjadinya aliran permukaan.
49
IV. NERACA AIR TANAH DAN HASIL TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) PADA DATARAN TINGGI TROPIKA BASAH DI INDONESIA 2 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika kadar air tanah pada lahan kentang di dataran tinggi Indonesia, serta hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air tanah melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan menggunakan perhitungan neraca air.Analisis juga dilakukan untuk mendapatkan hubungan antara ketersediaan kadar air tanah dengan pertumbuhan dan hasil tanaman. Perlakuan terdiri dari dua jarak tanam dan tiga ukuran umbi. Kadar air tanah yang terdiri dari 6 kombinasi perlakuan diukur setiap minggu sampai kedalaman 100 cm untuk menghitung hilangnya air melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan. Kehilangan air melalui ETa + Ro lebih tinggi (rata-rata 18 mm hari-1) dibandingkan rata-rata evapotranspirasi potensial/ETp (7 mm hari-1). Meskipun curah hujan tinggi selama masa pertumbuhan tanaman kentang (1.314 mm), evapotranspirasi aktual dapat menurunkan kadar air tanah sampai kedalaman 60 cm, dimana hal ini berkaitan dengan tingginya limpasan permukaan yang disebabkan oleh terbatasnya kapasitas infiltrasi air ke dalam tanah. Total rata-rata ETa + Ro untuk semua perlakuan adalah 1.378 mm yang dibandingkan antar perlakuan. Kadar air tanah yang lebih tinggi menghasilkan biomassa tanaman dan umbi yang lebih besar. Di samping itu, ukuran bibit yang lebih besar menghasilkan biomassa tanaman dan umbi kentang yang lebih besar tanpa tergantung dengan variasi kadar air tanah pada perlakuan. Kata kunci : kentang, evapotranspirasi, limpasan permukaan, tanah, air ABSTRACT This research was aimed to obtain information about the dynamics of soil water content in potato cultivation at high altitude of Indonesia; its relation to rainfall, soil water loss through surface runoff and actual evapotranspiration using water balance calculations, and to find the relationship between the availability of soil water content and crop growth and yield. The treatments consist of two row spacings and three seed size for sowing. Soil water contents of six combination of treatments were measured weekly to the soil depth of 100 cm to calculate water loss by actual evapotranspiration and runoff. Water loss bay ETa + Ro was much higher (average of 18 mm day-1) compared to average potential evapotranspiration (7 mm day-1). Despite high rainfall during the growing season (1.314 mm), actual evapotranspiration could reduce soil water content to 60 cm soil depth due to the high runoff caused by limited capacity of water infiltration into the soil. Total ETa + Ro average for all treatments was 1.378 mm which was comparable among treatments. Higher soil water content resulted in larger crop biomass and higher tuber yield. On the other hand, larger seed size produced 2
Paper telah diterbitkan pada The Southeast Asian Journal of tropical Biology: Biotropia. Vol 19 No. 1. June 2012. Soil Water Balance and Yield of Patato Crop (Solanum tuberosum L.) Grown In High Altitude Humid Tropics of Indonesia. Salwati dan Handoko.
49
50
greater crop biomass and tuber yield irrespective of the variation of soil water contents in the treatments. Keywords: potato, crop, evapotranspiration, runoff, soil, water 4.1. Pendahuluan Tanaman kentang di Indonesia pada umumnya dibudidayakan pada ketinggian lebih dari 800 m dpl (Sutapradja 2008). Total luas lahan pertanaman kentang di Indonesia sekitar 55 ribu ha (BPS 2011) dengan enam provinsi penghasil kentang terbesar yaitu Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Utara, Sumatera Barat, dan Sumatera Selatan (Nurtika 2007). Karena penanaman dilakukan pada daerah pegunungan dengan tingkat kemiringan yang tinggi, air sering menjadi masalah serius pada musim hujan karena limpasan permukaan yang diakibatkan. Sebaliknya, pada musim kemarau kadar air tanah yang rendah menjadi kendala untuk menunjang pertumbuhan tanaman. Oleh sebab itu, penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup tetapi meminimalkan kehilangan air melalui limpasan permukaan merupakan alternatif pengelolaan air yang penting untuk tanaman kentang. Informasi untuk memahami dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan serta kehilangan air melalui limpasan permukaan serta evapotranspirasi sangat diperlukan. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air pada lahan kentang yang memerlukan masukan berupa data curah hujan serta profil kadar air tanah selama pertumbuhan kentang tersebut. Akar tanaman kentang dapat mencapai kedalaman lebih dari 80 cm yang menjadikan tanaman tersebut lebih tahan terhadap cekaman air karena mampu menyerap cadangan air pada lapisan tanah yang lebih dalam di samping lebih efisien terhadap pemberian air irigasi (Stalham & Allen 2001). Penelitian di Turki dengan kisaran suhu harian 7 – 25 oC mendapatkan bahwa pengaruh irigasi terhadap tanaman kentang sangat nyata, namun demikian kehilangan air tanaman melalui evapotranspirasi pada perlakuan irigasi penuh mencapai kisaran 382 – 473 mm, sedangkan pada kontrol (tanpa irigasi) hanya 166 – 226 mm (Onder et al. 2005). Fabeiro et al. (2001), Ferreira dan Goncalves (2007) dan Unlu et al. (2006) juga menemukan bahwa peningkatan hasil umbi merupakan respon penggunaan jumlah air oleh tanaman yang lebih banyak.
51
4.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai dinamika perubahan kadar air tanah pada lahan kentang, serta hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air tanah melalui evapotranspirasi aktual dan limpasan permukaan menggunakan perhitungan neraca air. Analisis juga dilakukan terhadap hubungan antara ketersediaan air tanah dengan pertumbuhan dan hasil tanaman. 4.3. Metodologi 4.3.1. Waktu dan Tempat Percobaan Penelitian dilakukan dari bulan Desember 2009 sampai Maret 2010 di Kebun Percobaan BB-biogen, Pacet-Cipanas, Kabupaten Cianjur. Lahan kentang yang digunakan memiliki kemiringan 20%. Kentang ditanam pada tanggal 14 Desember 2009 dan panen dilakukan pada tanggal 25 Maret 2010. 4.3.2. Bahan dan Peralatan Bahan yang digunakan terdiri dari : 1) bibit kentang G0 varietas Granola; (2) pupuk anorganik (Urea, KCl, SP-36) dan bahan organik (pupuk kandang dan jerami); dan 3) insektisida untuk mengendalikan hama dan penyakit tanaman. Alat yang digunakan terdiri dari : 1) peralatan penanaman kentang seperti cangkul, parang, sekop, garu, ember, drum, selang air, kantung plastik, tambang; 2) alat pengukur kadar air tanah (ring sampler, bor tanah, dan sensor pengukur kadar air tanah pada berbagai kedalaman [10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm]); 3) stasiun cuaca otomatis pada lokasi penelitian. 4.3.3. Rancangan Percobaan Perlakuan terdiri dari tiga ukuran umbi (U1, U2 dan U3) dan dua jarak tanam (J1 dan J2). Percobaan menggunakan rancangan blok terpisah (split-block design) dengan tiga ulangan, dan jarak tanam sebagai petak utama. Perlakuan ukuran bibit (U) dan jarak tanam (J) adalah sebagai berikut : U1 U2 U3
: : :
berat bibit antara 1,5 – 3,5 gram per butir berat bibit antara 0,5 – 1,5 gram per butir berat bibit kurang dari 0,5 gram per butir
52
J1
:
J2
:
jarak tanam 20cm x 20cm atau 3 baris per guludan (lebar guludan 80 cm) jarak tanam 20cm x 40cm atau 2 baris per guludan (lebar guludan 80 cm)
Data pengukuran kadar air tanah (θ v ) and tahanan listrik (R) diplotkan dan kurva kalibrasi diturunkan menggunakan persamaan yang sesuai. 4.3.4. Pengukuran Laju Infiltrasi Laju infiltrasi diukur sekali pada tiap kedalaman (0, 10, 20, 40, 60, 80 dan 100 cm) pada satu titik pengamatan untuk mewakili seluruh perlakuan. Pengukuran dilakukan pada tanggal 17 Februari 2010. Tanah digali menggunakan cangkul sesuai masing-masing kedalaman tersebut kemudian pengukuran dilakukan menggunakan stopwatch dan single-ring infiltrometer. 4.3.5. Pengukuran Tanaman Pengukuran biomassa tanaman (akar, batang dan daun) dilakukan bersamaan dengan pengukuran kadar air tanah. Biomassa diukur melalui pengambilan contoh tanaman dari masing-masing perlakuan dan ulangan, selanjutnya dikeringkan dalam oven pada suhu 80 oC selama 24 jam kemudian ditimbang menggunakan neraca analitik. Pengukuran biomassa tanaman dilakukan setiap minggu dari tanggal 9 Januari sampai 3 Februari 2010 setelah itu tidak ada lagi pengambilan contoh tanaman sampai hasil umbi dari semua perlakuan diukur pada saat panen tanggal 25 Maret 2010. 4.3.6. Neraca Air Perhitungan neraca air didasarkan pada masukan (input) dan keluaran (output) air pada lahan tanaman kentang dari tiap perlakuan, sebagai berikut : θt sehingga, ETat + Rot ETat Rot
=
θt-1 + Pt - (ETat + Rot )
(1)
=
θt-1 - θt + Pt
(2)
: evapotranspirasi aktual minggu ke t (mm) : limpasan permukaan minggu ke t (mm)
53
θt θt-1 Pt
: kadar air tanah minggu ke t (mm) : kadar air tanah minggu ke t-1 (mm) : curah hujan minggu ke t (mm)
4.4. Hasil 4.4.1. Kadar Air Tanah dan Neraca Air Profil kadar air tanah dari berbagai perlakuan menunjukkan variasi yang sangat beragam antar perlakuan (Gambar 7).
Gambar 7. Profil kadar air tanah hingga kedalaman 1 m dari tiga waktu pengukuran, hari setelah tanam (HST) Secara umum perubahan kadar air tanah terbesar terjadi dari permukaan tanah hingga kedalaman 60 cm. Di bawah kedalaman 60 cm, perubahan kadar air tanah makin berkurang dan pada kedalaman 100 cm hampir tidak terjadi perubahan kadar air tanah. Fenomena ini berhubungan dengan laju infiltrasi yang makin berkurang dengan kedalaman tanah (Gambar 8). Pada kedalaman hingga 10 cm, laju infiltrasi mencapai hingga 75 cm jam-1 sedangkan pada kedalaman 60 cm telah berkurang hingga lebih kecil dari 20 cm jam-1. Pada kedalaman 100 cm, laju infiltrasi bahkan telah kurang dari 10 cm jam-1.
54
Gambar 8. Laju infiltrasi menurut kedalaman tanah Karena pergerakan air ke lapisan tanah di bawah 100 cm kecil, maka kehilangan air kumulatif melalui evapotranspirasi aktual (ETa) dan limpasan permukaan (Ro) dapat dihitung menggunakan pendekatan neraca air yang ditunjukkan pada Tabel 7. Namun demikian, perhitungan menggunakan neraca air dalam penelitian ini menghasilkan jumlah ETa + Ro yang tidak dapat dipisahkan. Tabel 7. Perbandingan komponen neraca air antar perlakuan selama percobaan. Komponen Neraca Air
Perlakuan J1 U2 1.314 232 197 -35 1.349
J2 Percobaan I U1 U3 U1 U2 U3 Curah hujan (mm) 1.314 1.314 1.314 1.314 1.314 KAT Awal (mm/m) 1) 319 390 148 291 202 KAT akhir (mm/m) 2) 218 215 116 256 197 dKAT -101 - 175 -32 -35 -5 ETa+Ro (mm) 1.415 1.489 1.347 1.350 1.319 Rata-rata ETa+Ro (mm)/J1,J2 1.418 + 110 1.338 +17 Rata-rata ETa+Ro (mm) 1.378 + 76 Keterangan : 1) pengukuran pada 26 Hari Setelah Tanam (HST), 2)pengukuran pada 101 Hari Setelah Tanam (HST)
Kehilangan air dalam bentuk ETa + Ro dari semua perlakuan berkisar antara 1.319 – 1.415 mm selama 75 hari pengukuran. Perlakuan jarak tanam J1 dan J2 tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap kehilangan air tanaman kentang dengan nilai masing-masing 1.418 + 110 mm dan 1.338 + 17 mm. Selain itu, semua kombinasi perlakuan juga tidak menyebabkan perbedaan yang signifikan terhadap kehilangan air tanaman kentang dengan rata-rata sebesar 1.378 + 76 mm. Oleh karena itu, kehilangan air dari setiap perlakuan dapat diwakili oleh rata-rata nilai ETa + Ro dari semua perlakuan. Jumlah kehilangan
55
air ini lebih tinggi dari total curah hujan selama periode pertumbuhan tanaman kentang sebesar 1.314 mm seperti yang ditunjukkan pada Gambar 9. 1500 ETa+Ro
ET + Ro (mm)
Rainfall
1000
500
0 0
20
40
60
80
100
120
Days after sowing
Gambar 9. ETa + Ro dan curah hujan selama masa pertumbuhan tanaman kentang (26 – 101 HST). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku 4.4.2. Biomassa Tanaman dan Hasil Total kadar air tanah sampai kedalaman 100 cm untuk semua kombinasi perlakuan berdasarkan waktu ditunjukkan pada Gambar 10. Kadar air tanah pada jarak tanam J1 berkisar 215 – 431 mm sedangkan pada J2 berkisar 116 – 315 mm. Dengan demikian, kadar air tanah J1 lebih tinggi dari J2, dan hal ini berhubungan dengan biomassa pada perlakuan J1 (Gambar 11) dan umbi (Gambar 12) yang lebih besar dibandingkan J2. Sebaliknya, ukuran bibit yang lebih besar menghasilkan biomassa tanaman dan umbi yang lebih besar tanpa tergantung pada variasi kadar air tanah antar perlakuan seperti ditunjukkan pada Gambar 10.
Gambar 10. Total kadar air tanah sampai kedalaman 1 m untuk semua kombinasi perlakuan berdasarkan waktu.
56
(a)
(b)
Gambar 11. Biomassa total pada perlakuan jarak tanam (a), dan perlakuan ukuran umbi (b) selama masa pertumbuhan tanaman kentang. Garis vertikal menunjukkan 1x simpangan baku
(a)
(b)
Gambar 12. Hasil umbi pada perlakuan jarak tanam (a), dan perlakuan ukuran umbi (b). Garis vertikal menunjukkan 1x simpangan baku 4.5. Pembahasan Profil kadar air tanah (Gambar 6) menunjukkan bahwa perubahan besar kadar air tanah yang terjadi dekat permukaan tanah berkaitan dengan penyerapan air tanaman pada zona perakaran. Perubahan kadar air tanah pada lapisan yang lebih dalam (lebih dari 60 cm) lebih kecil dari 5% yang berhubungan dengan laju infiltrasi yang makin rendah (< 20 cm jam-1) dibandingkan dengan laju infiltasi yang terjadi di dekat permukaan tanah (> 70 cm jam-1). ETa + Ro dapat diturunkan dari Gambar 9 menghasilkan ETa + Ro harian sebesar 1.378 mm/75 hari = 18 mm hari-1, lebih tinggi dari evapotranspirasi potensial rata-rata (ETp) yang dihitung dengan menggunakan metode penman pada lokasi percobaan sebesar 7 mm hari-1. Perbedaan yang besar antara ETa + Ro dan ETp (11 mm hari-1) disebabkan oleh limpasan permukaan (Ro) yang terjadi selama masa pertumbuhan terkait dengan kemiringan lokasi percobaan
57
(20%). Hal ini menunjukkan bahwa hujan yang sampai ke permukaan tanah tidak terinfiltrasi sampai ke lapisan tanah sebanyak air yang hilang melalui limpasan permukaan. Ferreira dan Carr (2002) menemukan bahwa evapotranspirasi total (ETa) dari tanaman kentang pada daerah beriklim panas kering di Timur Laut Portugal berkisar 150 – 550 mm, tergantung pada perlakuan irigasi dan masa pertumbuhan. Kisaran ini setara dengan yang ditemukan Onder et al. (2005) yaitu berkisar 166 – 473 mm, akan tetapi jauh lebih kecil dari pada total kehilangan air dalam percobaan ini (ETa + Ro = 1.378 mm) yang mengindikasikan jumlah limpasan permukaan yang besar. Dalam hubungan ini, jumlah kehilangan air berupa ETa + Ro (1.378 mm) yang lebih besar dibandingkan curah hujan (1.314 mm) menyebabkan penurunan kadar air tanah pada semua kombinasi perlakuan (Gambar 10), khususnya hingga kedalaman 60 cm dari permukaan tanah. Penurunan kadar air tanah terjadi pada semua kombinasi perlakuan setelah 70 HST (Gambar 10), ketika jumlah kehilangan air kumulatif melebihi curah hujan (Gambar 9). Kadar air tanah pada J1 (215 – 431 mm m-1) yang lebih tinggi dari J2 (116 – 345 mm m-1) menyediakan jumlah air lebih banyak untuk pertumbuhan tanaman pada J1 yang menjelaskan biomassa tanaman yang lebih besar dan hasil panen yang sedikit lebih tinggi pada J1 dari pada J2 (Gambar 11). Hasil ini konsisten dengan hasil penelitian Ierna dan Mauromicale (2006) yang mendapatkan bahwa penurunan ketersediaan air yang mengakibatkan hasil umbi lebih rendah (di lingkungan Mediterania) tidak ditentukan oleh tanggal tanam. Sementara itu, Ahmadi et al. (2010) berpendapat bahwa perbedaan biomassa tanaman dan hasil umbi barangkali disebabkan oleh sensitivitas kentang terhadap cekaman kekeringan disebabkan oleh sistem perakaran kentang yang jarang dan dangkal. Pernyataan ini bertentangan dengan Stalham dan Allen (2001) yang menyatakan bahwa akar kentang dapat mencapai kedalaman 80 cm sehingga memungkinkan untuk bertahan pada kondisi kekurangan air. Kadar air tanah perlakuan J1 yang lebih tinggi dari J2 tidak disebabkan oleh perbedaan jarak tanam antara J1 (20 cm x 20 cm) dan J2 (20 cm x 40 cm), karena J1 dan J2 menghasilkan kehilangan air (ETa + Ro) yang hampir sama. Perbedaan kisaran kadar air tanah disebabkan oleh perbedaan kadar air tanah antar
58
kombinasi perlakuan sejak awal yaitu sekitar saat tanam (Gambar 10). Kadar air tanah yang tinggi tidak selalu menyebabkan biomassa tanaman berukuran besar jika bibit yang ditanam berukuran kecil. Ukuran bibit yang lebih besar (U1>U2>U3) menghasilkan biomassa tanaman yang lebih besar (Gambar 11), seperti yang didapatkan oleh Sutapradja (2008) untuk tanaman kentang yang ditanam pada ketinggian 1.250 m dpl di Lembang, Jawa Barat. Biomassa tanaman
yang lebih besar biasanya
mencerminkan laju pertumbuhan tanaman yang lebih tinggi, yang akhirnya membuat hasil tanaman lebih tinggi. Hal ini menjelaskan berat umbi total lebih besar pada saat panen untuk bibit ukuran besar seperti yang ditunjukkan pada Gambar 12. Penemuan ini sesuai dengan Engels et al. (1993) yang mengemukakan bahwa ukuran bibit yang lebih besar menghasilkan jumlah umbi per area yang lebih banyak dan berat rata-rata per umbi yang lebih besar, sehingga menyebabkan hasil umbi yang lebih tinggi (berat umbi total).
Engels et al.
(1993) juga mengemukakan bahwa umbi berkorelasi positif dengan jumlah batang per area. Bibit yang lebih besar menghasilkan lebih banyak batang yang menjelaskan korelasi antara ukuran bibit dengan hasil umbi. 4.6. Kesimpulan 1.
Perubahan kadar air tanah berhubungan erat dengan curah hujan, limpasan permukaan, dan penggunaan air oleh tanaman (evapotranspirasi) yang terjadi sampai kedalaman 60 cm. Pada kedalaman tanah lebih dari 60 cm, perubahan kadar air relatif kecil yang diakibatkan oleh laju infiltrasi yang makin kecil pada lapisan tanah yang lebih dalam.
2.
Perhitungan neraca air pada penelitian ini menghasilkan nilai kehilangan air dalam bentuk jumlah evapotranspirasi aktual (ETa) dan limpasan permukaan (Ro). Nilai ETa + Ro yang tinggi (18 mm hari-1) menunjukkan limpasan permukaan yang relatif tinggi, lebih besar dari evapotranspirasi potensial (7 mm hari-1). Limpasan permukaan yang besar tidak hanya disebabkan oleh curah hujan yang tinggi tetapi juga oleh kendala laju infiltrasi yang nilainya juga makin berkurang dengan kedalaman tanah.
59
3.
Kadar air tanah bervariasi antar perlakuan yang berhubungan dengan perbedaan biomassa tanaman kentang antara perlakuan jarak tanam (J1 dan J2). Perlakuan J1 (20 cm x 20 cm) memiliki kadar air tanah yang lebih tinggi dari J2 (20 cm x 40 cm), sehingga mengakibatkan biomassa dan umbi J1 lebih besar dari J2 meskipun perbedaan kadar air tanah tersebut tidak disebabkan oleh perlakuan tetapi oleh kadar air tanah awal pada saat penanaman. Akan tetapi, ukuran bibit yang lebih besar menghasilkan biomassa yang besar, menyebabkan hasil umbi yang lebih besar (U1>U2>U3) tanpa dipengaruhi oleh kadar air tanah pada perlakuan-perlakuan tersebut.
4.
Secara keseluruhan, penemuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman kentang merupakan hasil dari interaksi antara ketersediaan kadar air tanah dan kondisi awal tanaman yang diwakili oleh ukuran bibit pada saat penanaman. Biomassa tanaman dengan ukuran yang lebih besar dan hasil umbi yang lebih tinggi akan dihasilkan jika kadar air tanah lebih tersedia dan ukuran bibit lebih besar.
V. ANALISIS EFISIENSI PENGGUNAAN RADIASI SURYA PADA TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) VARIETAS GRANOLA DAN ATLANTIS3 1 ABSTRAK Penelitian ini dilakukan pada dua tempat berbeda yaitu di Galudra Provinsi Jawa Barat (Percobaan II), dan Kerinci Provinsi Jambi (Percobaan III). Analisis dilakukan pada efisiensi penggunaan radiasi surya (RUE) dari tanaman kentang pada perlakuan jarak tanam, ukuran umbi bibit, varietas (Granola dan Atlantis) serta perbedaan generasi antara G1 dan G2 varietas Granola. Jarak tanam yang rapat dan ukuran umbi bibit yang lebih besar menghasilkan pertumbuhan tanaman lebih tinggi yang diukur melalui nilai indeks luas daun (LAI) dan biomassa tanaman. RUE dihitung sebagai nisbah biomassa di atas tanah (RUE AGB ) atau biomassa total termasuk akar dan umbi kentang (RUE biomass ) terhadap radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman. Hasil Percobaan II dan III menunjukkan bahwa intersepsi radiasi surya meningkat seiring dengan peningkatan LAI, yang diikuti pula oleh peningkatan biomassa tanaman. Namun demikian, terdapat perbedaan intersepsi radiasi surya antara varietas Granola dan Atlantis yang ditentukan oleh perbedaan sifat morfologi kedua varietas yang diwakili oleh koefisien pemadaman tajuk (k) dari masing-masing varietas (k Granola = 0,318, k Atlantis = 0,176). Tanaman kentang varietas Granola (G1) memiliki RUE yang lebih tinggi (RUE AGB = 0,63 g MJ-1 dan RUE biomass = 1,37 g MJ-1) dibandingkan varietas yang sama tetapi generasi berikutnya atau G2 (RUE AGB = 0,45 g MJ-1 dan RUE biomass = 1,12 g MJ-1). Namun demikian, varetas Atlantis memiliki RUE lebih tinggi (RUE AGB = 0,72 g MJ-1 dan RUE biomass = 1,79 g MJ-1) dibandingkan varietas Granola baik G2 maupun G1. Intersepsi radiasi surya varietas Atlantis relatif lebih kecil dibandingkan Granola, tetapi Atlantis memiliki pertumbuhan tanaman lebih tinggi karena RUE yang lebih tinggi. Kata kunci :
Kentang, biomassa, intersepsi radiasi, efisiensi penggunaan radiasi, indeks luas daun ABSTRACT
This research was conducted at two different sites, which are Cipanas in West Java Province (Second Experiment), and Kerinci in Jambi Province (Third Experiment). Analysis of radiation use efficiency (RUE) of potato crops was performed for the treatments of row-spacing, seed size, cultivar (Granola and Atlantic), and different generation of G1 and G2 of Granola cultivar. Narrow row-spacing and bigger seed size produce higher crop growth rate that was measured from leaf area index (LAI) and crop biomass. RUE and was calculated as the ratio of above ground biomass (RUE AGB ) or total biomass including roots and tubers (RUE biomass ) and intercepted radiation by the crop canopy. Results of both second and third experiments showed that intercepted radiation increased with LAI followed by crop biomass. However, the difference in intercepted 3
Paper dikirim pada Jurnal Hortikultura Indonesia. Badan Litbang Pertanian. Analisis Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya pada Tanaman Kentang (Solanum tuberosun. L) Varietas Granola dan Atlantis. 2012. Salwati, Handoko, Las I, Hidayati R.
61
62
radiation between Granola and Atlantis cultivars was observed due to different morphological characteristics represented by extinction coefficient (k) of each cultivar (k Granola = 0,318, k Atlantis = 0,176). Granola cultivar of generation G1 had higher RUE (RUE AGB = 0,63 g MJ-1 dan RUE biomass = 1,37 g MJ-1) than the same cultivar of the next generation or G2 (RUE AGB = 0,45 g MJ-1 dan RUE biomass = 1,12 g MJ-1). On the other hand, Atlantis cultivar had higher RUE (RUE AGB = 0,72 g MJ-1 dan RUE biomass = 1,79 g MJ-1) compared with that of Granola cultivar both for G2 and G1. Solar radiation intercepted of Atlantis cultivar was relatively smaller than that of Granola cultivar, but Atlantis cultivar growth was bigger due to its higher RUE. Keywords : Potato, radiation interception, solar radiation, radiation use efficiency 5.1. Pendahuluan Radiasi surya merupakan unsur iklim yang berperan penting pada pertumbuhan dan produktifitas tanaman melalui proses fotosintesis (Kadaja dan Tooming 2004, Gardner 1991) dan klorofil daun menyerap energi radiasi surya pada kisaran panjang gelombang PAR (Photosynthetic Active Radiation) yaitu antara 0,38 – 0,68 µm (Wolf dan Oijen 2002).
Laju fotosintesis meningkat
dengan kerapatan fluks radiasi yang makin tinggi sampai titik kejenuhan cahaya. Nisbah antara peningkatan kerapatan fluks radiasi dengan peningkatan laju fotosintesis disebut efisiensi penggunaan radiasi surya (radiation-use efficiency). (Oijen dan Goudriaan 1997; Richter et al. 2001). Pada tanaman yang tumbuh di lapang radiation-use efficiency (RUE) biasanya dinyatakan dengan nisbah antara penambahan biomassa tanaman dengan jumlah radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman (Handoko 1994). Energi radiasi surya digunakan oleh tanaman untuk melakukan proses fotosintesis dalam menghasilkan biomassa tanaman kentang. Biomassa tanaman berkorelasi dengan jumlah radiasi yang diintersepsi selama pertumbuhan tanaman, berbanding lurus dengan jumlah radasi yang diintersepsi oleh tanaman tersebut (Yuan dan Bland 2003). Proses pengubahan sebanyak mungkin radiasi yang diintersepsi tanaman menjadi biomassa memerlukan RUE yang tinggi (Wolf 2002; Richter et al. 2001). Nilai RUE ini menunjukkan kemampuan tanaman untuk mengkonversi energi radiasi surya yang diterima tanaman menjadi biomassa (Vieira et al. 2009).
63
Selain berhubungan erat dengan pertumbuhan dan produktivitas tanaman, penggunan dan pengukuran nilai RUE merupakan indikator yang sangat membantu untuk memahami konsekuensi kekeringan bagi tanaman dan variasinya menurut umur (Muchow dan Davis 1988; Wolf 2002). Variabilitas iklim dan kondisi defisit air yang terjadi pada kondisi lapang dapat secara langsung menurunkan RUE akibat penurunan aktifitas fotosintesis (Arkebauer et al. 1994). Menurut Sinclair dan Horie (1989) nilai RUE berbeda antar spesies dan bervariasi antar varietas tanaman, tergantung tingkat kejenuhan cahaya pada laju fotosintesis masing-masing tanaman. Perbedaan nilai RUE disebabkan oleh faktor lingkungan dan faktor dalam tanaman itu sendiri (Li et al. 2009).
Menurut
Syarief (2003) yang menyebabkan perbedaan nilai RUE antara lain posisi daun, susunan daun, indeks luas daun, struktur atau jenis pigmen serta ketersediaan air dan hara. Irigasi juga dapat mempengaruhi nilai RUE seperti dinyatakan oleh Li et al. (2009), bahwa irigasi secara berkala dapat meningkatkan nilai RUE, namun pengaruh irigasi tidak sebesar pengaruh jarak tanam. Pengaturan jarak tanam akan memungkinkan penyerapan radiasi surya oleh tajuk yang lebih efisien. Muyan (2010) mengemukaan bahwa pada kondisi penyerapan radiasi penuh maka fotosintess tajuk tanaman menjadi maksimal dengan peningkatan indeks luas daun (LAI). Nilai RUE diturunkan dari penambahan berat kering dan radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman, sehingga faktor-faktor yang mempengaruhi RUE adalah penyerapan radiasi surya, serta tingkat pertumbuhan dan perkembangan tanaman (Vieira et al. 2009). Nilai RUE merupakan parameter penting dalam analisis pengaruh radiasi surya terhadap produksi tanaman (Richter et al. 2001). Berbagai penelitian tentang RUE seringkali menghasilkan nilai yang berbedabeda. Menurut Kiniry et al. (1989) kenaikan nilai RUE dikarenakan penambahan biomassa tanaman yang besar dan dipengaruhi oleh suhu. Selain itu, disebutkan pula beberapa asumsi yang menyebabkan nilai RUE berbeda yaitu sifat optik tajuk tanaman yang diwakili oleh nilai k (koefisien pemadaman tajuk tanaman) memiliki kesalahan yang tinggi dalam persamaan hukum Beer, pengukuran biomassa tanaman tanpa memasukkan berat akar sebagai AGB (Above Ground Biomass), dan laju fotosintesis pada semua daun dianggap sama.
64
Nilai RUE (ε dalam g MJ-1) tanaman kentang belum banyak tersedia pada pustaka, khususnya yang menghitung total biomassa termasuk umbi dalam perhitungannya. Percobaan kedua dan ketiga ini akan menurunkan nilai ε tanaman kentang varietas Granola dari generasi yang berbeda (G1 dan G2) dan varietas Atlantis (G4). 5.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menurunkan dan mendapatkan nilai efisiensi penggunaan radiasi (RUE) tanaman kentang varietas Granola (G1, G2) dan Atlantis (G4) berdasarkan pertambahan berat kering dan jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang. 5.3. Metodologi Percobaan untuk mendapatkan nilai RUE ini dilakukan pada percobaan kedua di Galudra dan ketiga di Kerinci. Metode dan pelaksanaan penelitian pada Percobaan II dan III ini seperti yang sudah dijelaskan pada Bab III. Perlakuan yang diterapkan pada percobaan lapang II dan III dalam mendapatkan nilai RUE dianggap sebagai ulangan. 5.3.1. Pengukuran Radiasi Surya dan Kalibrasi Alat Radiasi surya di atas dan di bawah tajuk tanaman masing-masing diukur menggunakan sensor radiasi surya solarimeter dan tube solarimeter. Sebelum alat pengukur radiasi surya dipasang di lokasi penelitian, dilakukan kalibrasi alat untuk membandingkan setiap alat dengan input radiasi surya yang sama dalam satuan milivolt (mV). Sensor untuk mengukur radiasi surya datang di atas tajuk tanaman (Qo) diletakkan pada ketinggian 1 m di atas tempat terbuka. Sensor untuk mengukur radiasi transmisi (Qτ) diletakkan pada ketinggian 5 cm di atas tanah di bawah tajuk tanaman. Pengambilan data dilakukan setiap 15 menit masing-masing dengan 3 kali pengukuran data dari pagi hari (jam 08.00) hingga sore hari (jam 16.00), kemudian dihitung nilai rata-ratanya.
65
5.3.2. Biomassa Tanaman Kentang Pertumbuhan tanaman yang diukur adalah biomassa (akar, batang, daun, dan umbi), indeks luas daun (LAI). Pengukuran dilakukan tiap minggu. Hasil umbi diukur pada saat panen. Fase perkembangan tanaman yang diamati meliputi waktu tanam, muncul tunas, pembentukan umbi, pengisian umbi, pematangan umbi dan panen. Pengamatan dilakukan setiap hari. Contoh tanaman kentang diambil secara destructive sampling dari setiap blok perlakuan dan ulangan secara acak. Dua tanaman dari masing-masing blok dan kombinasi perlakuan diambil setiap minggu, kemudian dipisahkan antara akar, batang, daun, dan umbi. Biomassa akar, daun, batang, dan umbi didapatkan dari penimbangan masing-masing bagian tanaman tersebut setelah dikeringkan dalam oven pada suhu 70 oC selama 48 jam. Berat kering tanaman selanjutnya dihitung per satuan luas dan ditimbang berdasarkan jarak tanam dari masingmasing contoh tanaman yang diambil. Biomassa tanaman dihitung dari berat kering tanaman (akar, batang, daun, dan umbi) dibagi dengan jarak tanam (g m-2). Panen dilakukan setelah tanaman berumur lebih dari 80 hari setelah tanam (HST), dengan kriteria batang dan daun telah kering serta kulit umbi tidak terlepas jika digesekkan satu dengan yang lainnya. Data yang dikumpulkan waktu panen adalah berat umbi per tanaman dan berat umbi per petak perlakuan. 5.3.3. Indeks Luas Daun (LAI) Nilai indeks luas daun (LAI) dihitung dengan membuat replika beberapa contoh daun kentang pada kertas millimeter block, kemudian ditimbang untuk mengetahui berat replika tersebut dan luasnya. Persamaan dari hubungan berat kering dan luas replika daun selanjutnya digunakan untuk menduga luas daun total dari tajuk tanaman kentang tersebut. LAI dihitung dari nisbah antara luas daun total tersebut dengan luas lahan yang ditempati tanaman yang merupakan perkalian jarak tanam. 5.3.4. Intersepsi Radiasi Surya (Q int ) Radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman dihitung menggunakan hukum Beer yang merupakan fungsi dari radiasi surya yang datang (Q o ) dan LAI (Chang
66
1974). Radiasi intersepsi ini merupakan selisih antara radiasi surya datang di atas tajuk (Q o ) dengan radiasi transmisi di bawah tajuk (Q τ ) : Q int = Q o - Q τ
(1)
Q int = Q o . (1- e –k.LAI)
(2)
k adalah koefisien pemadaman tajuk tanaman. Nilai koefisien pemadaman tajuk tanaman (k) dapat diturunkan dengan mengukur Q o dan Q τ serta LAI yang perhitungannya sebagai berikut : Q τ /Q o = e-k.LAI
(3)
sehingga, k = [ln(Q o /Q τ )]/LAI
(4)
Setelah diketahui nilai k dan LAI pada masing-masing periode pengamatan, perhitungan radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman (Q int ) selama pertumbuhan tanaman dapat dilakukan menggunakan Persamaan 1. Data radiasi surya yang terukur pada stasiun klimatologi terdekat (dalam MJ m-2) digunakan sebagai nilai Q o pada persamaan tersebut. 5.3.5. Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya (RUE) Terdapat hubungan yang linier antara pertambahan berat kering (biomassa) tanaman dengan jumlah radiasi yang diintersepsi. RUE dihitung berdasarkan pertambahan berat kering tanaman selama selang waktu tertentu dibagi dengan total radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman pada selang waktu tersebut. Selang waktu pada penelitian ini adalah per minggu, selanjutnya nilai RUE dihitung sebagai berikut (Edward et al. 1996) : ε = dW/Q int
(5)
ε adalah efisiensi penggunaan radiasi surya (g MJ-1), dW adalah pertambahan berat kering tanaman (g m-2), Q int = radiasi surya kumulatif yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang (MJ m-2). 5.3.6. Unsur-unsur Cuaca Unsur-unsur cuaca pada Percobaan II diperoleh dari stasiun klimatologi Pacet (BB-Biogen) dan Percobaan III diperoleh dari stasiun Klimatologi Kayu Aro. Unsur cuaca harian yang dikumpulkan terdiri dari : curah hujan (mm),
67
intensitas radiasi surya (MJ m-2 hari-1), suhu udara (0C), kelembaban udara (%), dan kecepatan angin (m detik-1). 5.4. Hasil dan Pembahasan 5.4.1. Indeks Luas Daun (LAI) Indeks luas daun (LAI) merupakan salah satu komponen tanaman untuk menyerap radiasi surya dalam proses fotosintesis (Sang et al. 2008). LAI merupakan ukuran yang mewakili jumlah atau luas daun, sehingga menentukan jumlah radiasi surya yang dapat diserap oleh tanaman. Menurut Jongschaap (2006) LAI berfungsi sebagai indikator jaringan hijau daun yang dapat menerima secara efisien radiasi surya. Nilai LAI selama pengukuran pada Percobaan II dan III ditunjukkan pada Gambar 13.
(a) (b) Gambar 13. Nilai LAI selama pengukuran, pada Percobaan II (a), dan Percobaan III (b). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku. Percobaan kedua dan ketiga secara umum menunjukkan nilai LAI meningkat sejalan dengan peningkatan umur tanaman kentang sampai sekitar sembilan dan sebelas MST (minggu setelah tanam). Setelah minggu ke-sembilan dan sebelas (umur tanaman mencapai 70 HST) LAI mulai menurun. Hal ini disebabkan pada umur 70 HST fase pertumbuhan vegetatif mencapai maksimum, ditandai daun kentang mulai mengering dan rontok mendekati umur panen, atau dapat dikatakan pada saat tersebut tanaman sudah mengalami perubahan fase, dari fase vegetatif ke fase pematangan umbi. Pada fase pematangan umbi, LAI cenderung menurun, karena hasil fotosintesis lebih banyak dialokasikan ke umbi. LAI bertambah seiring dengan pertumbuhan tanaman dan mencapai maksimum
68
pada saat pertumbuhan tajuk telah rapat, kemudian turun saat daun gugur memasuki fase panen. Pada Percobaan II, rata-rata nilai LAI pada jarak tanam 20 cm x 20 cm (J1) sebesar 1,54, lebih tinggi dari jarak tanam 20 cm x 30 cm (J2) sebesar 0,90. Demikian pula pada Percobaan II, rata-rata nilai LAI dengan jarak tanam 20 x 20 cm (J1) sebesar 1,87, lebih tinggi dari jarak tanam 20 cm x 40 cm (J2) sebesar 1,25. Jarak tanam berhubungan dengan kerapatan tajuk dan luasan tempat tumbuh kentang. Radiasi yang jatuh di atas tajuk dengan jarak tanam rapat sebagian besar langsung diintersepsi oleh tajuk lapisan atas, lebih sedikit ditransmisikan ke bawah tajuk tanaman kentang. Higashide (2009) menyatakan bahwa LAI merupakan peubah yang sangat baik digunakan untuk menggambarkan distribusi cahaya, yang tidak hanya ditentukan oleh sifat daun, tetapi juga kerapatan daun. Perlakuan ukuran umbi bibit pada Percobaan II berpengaruh terhadap nilai LAI.
LAI pada perlakuan umbi bibit besar, sedang, dan kecil berturut-turut
sebesar 1,43, 1,18, dan 0,69. LAI tinggi pada perlakuan umbi bibit besar, karena semakin besar ukuran umbi bibit, maka akan menghasilkan jumlah batang dan daun lebih banyak, hal ini disebabkan lebih banyak cadangan zat makanan pada umbi yang besar (Sutapradja 2008). Perlakuan varietas pada Percobaan III juga berpengaruh terhadap nilai LAI. LAI varietas Atlantis sebesar 1,73, lebih tinggi dari varietas Granola sebesar 1,39. LAI tinggi pada varietas Atlantis, karena jumlah batang dan daun yang lebih banyak dari Granola. LAI rata-rata varietas Atlantis yang lebih besar akan mengintersepsi radiasi surya lebih besar dibandingkan varietas Granola, sehingga biomassa yang dihasilkan varietas Atlantis juga akan lebih besar. LAI akan menentukan radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang. Penelitian yang dilakukan oleh Winch (2006), menunjukkan pengurangan nilai LAI pada periode pertumbuhan akan mengakibatkan jumlah radiasi surya yang diintersepsi akan berkurang, karena sebagian energi radiasi surya akan jatuh ke tanah. Kapasitas tanaman dalam mengintersepsi radiasi matahari ditentukan oleh LAI, yaitu luas helai daun per satuan luas permukaan tanah (Higashide 2009). Semakin besar LAI, maka semakin besar pula radiasi surya yang dapat diintersepsi untuk dimanfaatkan oleh tumbuhan (Jongshaap 2006).
69
5.4.2. Intersepsi Radiasi Surya Intersepsi radiasi surya oleh tajuk tanaman adalah jumlah energi radiasi surya yang diterima oleh tajuk tanaman dikurangi radiasi surya yang ditransmisikan oleh tajuk tersebut (Vieira et al. 2009). Transmisi radiasi merupakan perbandingan radiasi yang datang di atas tajuk tanaman dengan radiasi yang terukur di bawah tajuk. Radiasi surya yang diintersepsi tanaman tergantung dari radiasi datang yang sampai pada permukaan tajuk tanaman, LAI, kedudukan atau sudut daun dan distribusi daun dalam tajuk (Sitompul 2002). Gambar 14 menunjukkan grafik hubungan antara LAI dengan porsi radiasi surya yang ditransmisikan di bawah tajuk tanaman pada Percobaan II dan III.
Gambar 14. Hubungan antara LAI dengan dengan porsi radiasi surya yang ditransmisikan di bawah tajuk tanaman, pada Percobaan II (a), dan Percobaan III (b). Transmisi radiasi surya pada Percobaan II dan III menurun dengan peningkatan nilai LAI. Nilai LAI semakin besar berarti permukaan daun semakin luas, radiasi yang jatuh di bawah tajuk tanaman akan semakin berkurang sehingga kemampuan untuk mentransmisikan radiasi ke bagian bawah juga semakin berkurang. Hal ini sejalan dengan Higashide (2009) yang menyatakan bahwa nilai LAI pada tanaman tomat meningkat dengan penurunan radiasi transmisi. Radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman kentang pada Percobaan II dan III ini dihitung menggunakan persamaan Beer. Berdasarkan nilai k, LAI dan radiasi surya (Q o ) yang jatuh pada tajuk tanaman kentang yang diwakili oleh data radiasi surya yang terukur pada stasiun klimatologi terdekat, maka dapat dihitung jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang pada Percobaan II dan III. Tabel 8 menunjukkan jumlah radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman kentang setiap minggu pada masing-masing perlakuan.
70
Penggunaan jarak tanam pada dasarnya memberikan ruang guna pertumbuhan tanaman yang baik, mengurangi persaingan antar individu dan daun tanaman. Pada percobaan II terlihat radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman kentang pada jarak tanam 20 cm x 20 cm (J1) lebih besar dibandingkan jarak tanam 20 cm x 30 cm (J2). Pada percobaan III juga secara umum terlihat radiasi yang diintersepsi tanaman kentang pada jarak tanam J1 (20 cm x 20 cm) lebih besar dari jarak tanam J2 (20 cm x 40 cm). Jarak tanam yang lebih renggang menghasilkan lebih banyak radiasi surya yang ditransmisi ke bagian bawah tajuk, sehingga radiasi surya yang diintersepsi tanaman menjadi lebih sedikit. Intersepsi radiasi surya lebih efisien pada pertanaman yang ditanam lebih rapat atau populasi tinggi, sehingga dalam konsep memanen energi surya, jarak tanam, sistem tanam dan arsitek tajuk sangat menentukan (Koesmaryono dan Sugimoto 2005). Tabel 8. Intersepsi radiasi surya oleh tajuk tanaman kentang pada Percobaan II dan III. Perlakuan 4* 8,5 7,2 7,4 7,2 7,7 8,5
U1J1 U2J1 U3J1 U1J2 U2J2 U3J2 Perlakuan
5* 17,5 13,1 11,9 14,5 12,9 13,3
4* 5* J1V1 (Granola) 41,8 38,1 J2V1 (Granola) 29,4 26,6 J1V2 (Atlantis) 42,6 38,5 J2V2 (Atlantis) 30,8 27,9 *) Minggu setelah tanam (MST)
intersepsi radiasi surya (MJ.m-2) Percobaan II (Granola) 6* 7* 8* 9* 27,1 26,4 34,3 53,2 13,3 17,7 23,8 55,2 11,9 19,1 22,7 62,0 18,7 25,3 32,1 34,5 12,8 21,8 31,4 29,3 9,8 23,7 29,9 28,0 Percobaan III 6* 7* 8* 9* 10* 43,3 49,4 45,1 28,6 41,2 27,2 30,5 30,9 19,6 28,2 39,2 44,0 42,4 26,4 36,7 27,0 29,7 32,2 18,2 27,4
10* 29,1 31,8 32,1 19,9 17,2 17,3
11* 25,0 30,9 33,8 18,9 19,0 19,2
11* 56,7 37,8 48,3 34,2
12* 43,3 30,3 37,5 28,0
Hasil penelitian Kooman et al. (1996) menunjukkan bahwa intensitas radiasi surya yang diterima oleh tanaman kentang dipengaruhi oleh musim tanam dan lokasi tanam, sehingga jumlah radiasi yang diintersepsi oleh tanaman kentang akan bervariasi. Menurut Jumin (2002) intersepsi radiasi surya dapat dimanipulasi dengan varietas, morfologi, arsitektur tanaman (tajuk tanaman), dan kerapatan (jumlah populasi) tanaman setiap satuan luas lahan dengan pengaturan jarak tanam.
71
Pada percobaan III jumlah radiasi surya yang diintersepsi varietas Granola (V1) berbeda dibanding varietas Atlantis (V2). Rata-rata nilai radiasi surya yang diintersepsi selama satu musim tanam varietas Granola jarak tanam J1 sebesar 387,7 MJ m-2 dan jarak tanam J2 sebesar 260,6 MJ m-2. Varietas Atlantis dengan jarak tanam J1 dan J2 memiliki nilai intersepsi sebesar 355,6 MJ m-2 dan 255,5 MJ m-2. Jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh varietas Granola lebih besar dibandingkan dengan Atlantis. Hal ini disebabkan oleh morfologi dan karakteristik dari kedua varietas berbeda dalam mengintersepsi radiasi surya yang diwakili oleh nilai k (koefisien pemadaman) yang dihitung dalam percobaan ini yaitu k = 0,318 (Granola) dan k = 0,176 (Atlantis). Hasil ini sesuai dengan pendapat Makarim (2009) yang menyatakan bahwa jumlah radiasi surya yang terintersepsi oleh tanaman dipengaruhi oleh varietas, karena varietas yang berbeda akan memiliki karakteristik atau morfologi tertentu. 5.4.3. Hubungan LAI dengan Intersepsi Radiasi Surya Indeks luas daun (LAI) pada tanaman kentang berhubungan dengan jumlah radiasi surya kumulatif yang diintersepsi oleh tajuk tanaman (Higashide 2009). Gambar 15 menunjukkan hubungan antara LAI dengan radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman kentang pada Percobaan II dan III.
(a) (b) Gambar 15. Hubungan nilai LAI dengan intersepsi radiasi surya kumulatif pada tajuk tanaman, pada Percobaan II (a), dan Percobaan III (b). Intersepsi radiasi surya semakin besar dengan peningkatan nilai LAI sampai mencapai nilai maksimum yaitu pada saat tajuk tanaman menutup rapat permukaan tanah. Intersepsi radiasi surya akan berkurang dengan penurunan nilai
72
LAI seiring dengan bertambahan umur tanaman, karena daun sudah mulai mengering dan rontok. Pada Percobaan II pola hubungan antara LAI dan radiasi yang diintersepsi tajuk pada perlakuan ukuran umbi bibit serupa dengan perlakuan jarak tanam. Pada Gambar 15a terlihat tanaman kentang dengan ukuran umbi bibit kecil mengintersepsi radiasi surya lebih kecil dibandingkan dengan ukuran umbi bibit sedang dan besar, dengan kisaran LAI yang juga lebih kecil dibandingkan dengan ukuran umbi bibit sedang dan besar. Pada percobaan III nilai LAI dari varietas Atlantis rata-rata lebih besar dibandingkan Granola, sehingga seharusnya jumlah radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang varietas Atlantis lebih besar. Namun berdasarkan hasil ini terjadi sebaliknya, varietas Granola mengintersepsi radiasi surya lebih besar. Seperti disebut sebelumnya, hal ini disebabkan oleh karakteristik dan morfologi tajuk dari kedua varietas dalam mentransmisikan radiasi surya sehingga menghasilkan nilai koefisien pemadaman yang berbeda. Tanaman yang ditanam dengan jarak tanam lebih rapat (20 cm x 20 cm) juga mengintersepsi radiasi surya yang lebih banyak dari jarak tanam yang renggang (20 cm x 40 cm), baik pada varietas Granola maupun Atlantis. 5.4.4. Biomassa Tanaman Kentang. Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman dari minggu ke minggu setelah tanam terus meningkat diikuti dengan pertambahan biomassa yang dihasilkan. Hal ini menunjukkan hubungan yang erat antara intersepsi radiasi surya oleh tajuk tanaman dengan biomassa yang didukung oleh hasil penelitian Wajid (2010) yang menyatakan bahwa jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman akan proporsional dengan berat kering (biomassa) tanaman. Rasio antara biomassa dengan radiasi yang diintersepsi tersebut merupakan indikator efisiensi penggunaan radiasi surya oleh tanaman yang secara langsung dapat diukur dari jumlah radiasi yang diintersepsi tajuk tanaman dan biomassa tanaman (Vieira et al. 2009). Kejadian radiasi surya yang mengenai klorofil tanaman, memungkinkan klorofil membentuk bahan kering dalam proses fotosintesis (Gardner et al. 1991).
73
Berat kering tanaman merupakan indikator pertumbuhan yang umum digunakan untuk menggambarkan keseluruhan pertumbuhan tanaman atau suatu organ tertentu (Kooman et al. 1996). Pada tanaman kentang biomassa yang dihasilkan akan dialokasikan ke bagian akar, batang, dan, dan umbi, yang proporsinya tergantung pada fase perkembangan tanaman (Tekalign dan Hammes 2005). Gambar 16 menunjukkan berat kering akar, batang, daun dan umbi menurut perlakuan jarak tanam dan ukuran umbi pada Percobaan II.
(a) (b) Gambar 16. Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan II, perlakuan jarak tanam (a) dan perlakuan ukuran umbi bibit (b). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku
74
Jarak tanam J1 (20 cm x 20 cm) menghasilkan biomassa akar, batang, daun, dan umbi yang lebih tinggi dari jarak tanam J2 (20 cm x 30 cm). Hal ini dikarenakan pada jarak tanam J1 intersepsi radiasi surya lebih besar sehingga biomassa yang dihasilkan lebih tinggi. Ukuran besar umbi bibit juga berpengaruh terhadap biomassa yang dihasilkan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tanaman kentang dengan ukuran umbi besar menghasilkan biomassa akar, batang, daun, dan umbi yang lebih besar dari ukuran umbi sedang dan kecil. Perbedaan hasil ini bisa disebabkan oleh laju pertumbuhan pada tanaman kentang dengan ukuran umbi bibit besar lebih tinggi dibandingkan ukuran umbi bibit sedang dan kecil. Pada pengukuran biomassa umbi, minggu pertama pengukuran belum semua tanaman kentang memiliki umbi. Biomassa umbi yang terukur semakin bertambah tiap minggu seiring dengan semakin besar nilai LAI dan intersepsi radiasi pada tajuk. Biomassa umbi paling tinggi dihasilkan dari tanaman kentang yang berasal dari umbi besar dan jarak tanam 20 cm x 20 cm (U1J1). Hal ini sejalan dengan hasil penelitian Sutapradja (2008), penggunaan umbi bibit yang besar dengan jarak tanam rapat menghasilkan umbi lebih banyak. Semakin besar ukuran umbi bibit, maka semakin banyak pula jumlah tanaman yang dipanen. Gambar 17 menunjukkan berat kering akar, batang, daun dan umbi menurut perlakuan jarak tanam dan varietas pada Percobaan III. Biomassa umbi yang dihasilkan dari varietas Granola dan Atlantis minggu setelah tanam juga terus meningkat. Rata-rata berat umbi kering varietas Atlantis, dengan kadar air sebesar 84%, tiap minggu selama pengukuran berlangsung adalah 184,4 g m-2, lebih besar dari Granola sebesar 140,2 g m-2. Hal ini dikarenakan LAI varietas Atlantis lebih besar dibandingkan varietas Granola. Menurut Shah (2004) produksi kentang secara signifikan ditentukan oleh LAI. Setelah minggu ke sebelas pengukuran memasuki fase matang fisiologi, rata-rata daun tanaman kentang kelihatan kekuning-kuningan,
daun
mulai
gugur,
keseluruhan
hasil
asimilasi
diakumulasikan ke umbi dan pada akhirnya tanaman kering dan mati, pada tahapan ini pertumbuhan umbi maksimum.
75
(a) (b) Gambar 17. Biomassa akar, batang, daun dan umbi pada Percobaan III, perlakuan jarak tanam (a) dan perlakuan varietas (b). Garis vertikal menunjukkan 2x simpangan baku. 5.4.5. Efisiensi Penggunaan Radiasi (RUE) Radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman kentang digunakan untuk pertumbuhan
organ-organ
tanaman
termasuk
produksi
umbi.
Efisiensi
penggunaan radiasi surya (RUE) adalah nisbah antara pertambahan biomassa
76
tanaman dengan radiasi yang diintersepsi oleh tajuk tanaman secara kumulatif (Richter et al. 2001).
Nilai RUE menunjukkan efisiensi radiasi surya yang
digunakan dalam proses fotosintesis tanaman untuk menghasilkan biomassa tanaman. Semakin besar nilai RUE maka semakin efisien tanaman dalam menggunakan radiasi surya dan semakin besar biomassa yang terbentuk (Mondani et al. 2011). Nilai RUE dapat pula digunakan untuk mengevaluasi morfologi tanaman dan pembatasan produksi pada kondisi iklim dan cuaca yang berbeda (Tesfaye et al. 2006). Penelitian yang dilakukan oleh Shah et al. (2004) nilai RI (radiation interception) dan RUE dapat digunakan untuk memprediksi produksi biomassa yang dihasilkan dalam sistem pertanian. Perhitungan nilai RUE pada Percobaan II dan III ini menggunakan data berat kering di atas tanah, yang terdiri dari batang dan daun (above ground biomass/AGB) dan data berat kering total (akar, batang, daun, dan umbi) dari kentang varietas Granola (G1 dan G2) dan Atlantis (G4). Data biomassa yang diamati pada penelitian ini merupakan nilai akumulasi berat kering akar, batang, daun, dan umbi setiap minggu. Perhitungan akumulasi radiasi surya yang terintersepsi juga dilakukan setiap minggu bersamaan dengan pengamatan biomassa tanaman. Gambar 18 menunjukkan grafik hubungan antara radiasi surya yang terintersepsi oleh tajuk tanaman kentang secara kumulatif dengan penambahan biomassa pada Percobaan II dan III. Kemiringan grafik antara biomassa dengan intersepsi radiasi surya menunjukkan RUE. Berdasarkan grafik pada Gambar 18 nilai RUE untuk kentang varietas Granola (G1 dan G2) dan Atlantis (G4) pada Percobaan II dan III ditunjukkan pada Tabel 9. Tabel 9. Nilai RUE tanaman kentang pada Percobaan II dan III. Varietas Granola (G1) Granola (G2) Atlantis (G4)
Nilai RUE (g MJ-1) 0,63 1,37 0,45 1,12 0,72 1,79
Penggunaan data AGB (above ground biomass) Biomassa total AGB(above ground biomass) Biomassa total AGB(above ground biomass) Biomassa total
77
(a)
(b)
Gambar 18. Hubungan radiasi surya kumulatif yang diintersepsi tajuk tanaman kentang dengan penambahan biomassa tanaman kentang pada (a) Percobaan II varietas Granola (G1) dan (b) Percobaan III varietas Granola (G2) dan Atlantis (G4). Tanaman kentang varietas Granola (G1) pada Percobaan II dengan menggunakan data AGB, memiliki nilai RUE sebesar 0,63 g MJ-1. Nilai ini lebih besar dari Granola (G2) yang hanya menghasilkan RUE = 0,45 g MJ-1 namun lebih kecil dari Atlantis (G4) sebesar 0,72 g MJ-1. Demikian juga berdasarkan biomassa total, RUE varietas Granola (G1) memiliki RUE lebih tinggi yaitu 1,37 g MJ-1 dibandingkan Granola (G2) sebesar 1,12 g MJ-1 tetapi lebih rendah dari varietas Atlantis (G4) sebesar 1,79 g MJ-1. Tabel 10. Nilai RUE tanaman kentang hasil-hasil penelitian sebelumnya Peneliti
RUE (g MJ-1)
Radiasi (MJ m-2)
Data yang digunakan
Varietas
Oijen (1991) Nurmala (1999) Suryanto (2005) Rezig at al. (2010) Shah (2010) Mondani et al. (2011)
3,17 1,4 – 6,8 1,4 4,47 – 4,77 1,97 – 2,78 0,97 – 1,10
Global PAR PAR Global PAR PAR
Biomasaa total Biomasaa total Biomasaa total Biomasaa total Biomasaa total Biomasaa total
Bintje dan Granola Granola Granola Spunta Chenopodium album
Keterangan : PAR = Photosynthetically Active Radiation
Hal ini menunjukkan bahwa nilai RUE sangat dipengaruhi oleh karakteristik tanaman, nilainya dapat berbeda meskipun pada varietas yang sama tetapi generasinya yang berbeda seperti ditunjukkan oleh Granola (G1) dan Granola (G2). Nilai RUE kentang varietas Atlantis pada Percobaan III lebih besar dibandingkan dengan varietas Granola. Nilai RUE varietas Atlantis yang lebih
78
besar dibandingkan dengan varietas Granola menunjukkan bahwa meskipun varietas Atlantis mengintersepsi radiasi surya lebih kecil, namun biomassa yang dihasilkan lebih besar. Nilai-nilai RUE yang didapatkan pada percobaan II dan III ini mendekati nilai RUE hasil penelitian sebelumnya, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 10. 5.5. Kesimpulan 1.
Percobaan II menghasilkan rata-rata nilai indeks luas daun (LAI) pada jarak tanam rapat (20 cm x 20 cm) lebih tinggi dari jarak tanam renggang (20 cm x 30 cm) yaitu masing-masing 1,54 dan 0,90; dan Percobaan III juga menghasilkan LAI pada jarak tanam rapat (20 cm x 20 cm) lebih tinggi dari jarak tanam renggang (20 cm x 40 cm) yaitu 1,87 dan 1,25. Radiasi yang jatuh di atas tajuk dengan jarak tanam rapat lebih sedikit ditransmisikan ke bawah tajuk tanaman kentang.
2.
Perbedaan morfologi tanaman pada varietas Granola dan Atlantis yang diwakili koefisien pemadaman (k Granola = 0,318, k Atlantis = 0,176) menentukan jumlah radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman. Pada kondisi yang sama, radiasi surya yang diintersepsi oleh kentang varietas Granola (G2) sebesar 324,1 MJ m-2 lebih besar dibandingkan varietas Atlantis (G4) sebesar 305,6 MJ m-2.
3.
Kentang varietas Granola (G1) pada Percobaan II mendapatkan RUE untuk biomassa di atas tanah (AGB) sebesar 0,63 g MJ-1, sedangkan untuk biomassa total sebesar 1,37 g MJ-1. Nilai RUE pada Percobaan III kentang varietas Granola (G2) untuk AGB sebesar 0,45 g MJ-1 dan untuk biomassa total sebesar 1,12 g MJ-1, sedangkan pada varietas Atlantis (G4) RUE untuk AGB sebesar 0,72 g MJ-1 dan untuk biomassa total sebesar 1,79 g MJ-1. Dengan demikian, tanaman kentang varietas Granola (G1) memiliki RUE yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang sama tetapi generasi berikutnya (G2). Namun demikian, varetas Atlantis memiliki RUE lebih tinggi dibandingkan varietas Granola baik G2 maupun G1.
79
VI. MODEL SIMULASI PERKEMBANGAN, PERTUMBUHAN DAN NERACA AIR TANAMAN KENTANG PADA DATARAN TINGGI DI INDONESIA4 1 ABSTRAK Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang guna memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. Model simulasi tanaman kentang yang disusun menjelaskan mekanisme proses perkembangan dan pertumbuhan yang terjadi selama siklus pertumbuhan tanaman sebagai respon terhadap fluktuasi unsur-unsur cuaca/iklim. Penelitian lapang pada tiga lokasi di Pacet dan Galudra di Provinsi Jawa Barat, serta di Kerinci, Provinsi Jambi dilakukan untuk menunjang penyusunan model tersebut; yaitu untuk kalibrasi model (Pacet) dan validasi model (Galudra dan Kerinci). Hasil pengujian dengan uji t berpasangan antara prediksi model dengan observasi di Galudra dan Kerinci untuk varietas Granola menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) pada peubah umur tanaman, biomassa akar, batang, dan umbi, LAI serta kadar air tanah. Pengujian pada varietas Atlantis menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) pada biomassa akar dan umbi serta kadar air tanah. Namun demikian, berdasarkan uji grafik hubungan antara prediksi model dengan pengukuran lapang menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang lebih besar dari 0,80 untuk semua peubah yang diuji. Berdasarkan validasi model tersebut, model simulasi tanaman kentang mampu menduga umur tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, serta LAI dan kadar air tanah sesuai dengan pengukuran lapang. Kata Kunci : Model, simulasi, pertumbuhan, perkembangan, neraca air, kentang ABSTRACT This research aims to construct a simulation model of development, growth and waterbalance of potato crop. Reasearch also predicts climate change impact on potato productivity in several potato production center in Indonesia. The crop model being constructed explains process mechanism of development and growth during crop life cycle as a response to fluctuation of weather/climatic variables. Three field experiments were conducted at three locations at Pacet and Galudra in West Java Province, and at Kerinci in Jambi Province, to support the model development; for model calibration (Pacet) and model validation (Galudra and Kerinci). Paired t-test between model predictions of Granola variety with observations showed that there were not significant differences (P > 0,05) on all variables tested, except leaf biomass. In Atlantic variety, there were not significant differences (P > 0,05) on root, tuber biomass and soil water content. Based on graphical test of relationship between model predictions and field measurements showed coefficient of determination were (R2) greater than 0,80 for all variables. Generally, results on validation suggested that model predictions 4
Paper telah diterima pada Jurnal Tanah Tropika (JTT) Universitas Lampung. Model simulasi Perkembangan, Pertumbuhan, dan Neraca Air Tanaman Kentang pada Dataran Tinggi di Indonesia. 2012. Salwati, Handoko, Las I, Hidayati R.
79
80
were not significantly different with field measurements at Galudra (Granola variety) and Kerinci (Atlantis and Granola variety) for variable of plant ages, biomass of root, stem, leaf and tuber, leaf area index, and soil water content. Key words: Growth, model, potato, simulation, water balance. 6.1. Pendahuluan Produktivitas kentang Indonesia yang rata-rata 15 ton ha-1 masih rendah, apabila dibandingkan dengan rata-rata negara penghasil kentang yaitu 45 ton ha-1 (Gustianty 2008). Potensi kentang menurut hasil penelitian mencapai 35 ton ha-1 (Nurtika 2007), sehingga terjadi senjang (gap) produktivitas yang masih jauh yaitu 20 ton ha-1 (57,1%). Fluktuasi unsur-unsur cuaca merupakan salah satu penyebab senjang produktivitas kentang sekarang ini. Perubahan iklim yang disebabkan oleh pemanasan global diperkirakan akan membawa dampak yang signifikan terhadap produksi kentang nasional karena tanaman kentang hanya berproduksi tinggi pada daerah bersuhu rendah dan sangat sensitif terhadap perubahan suhu. Antisipasi dampak perubahan iklim khususnya peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produksi kentang nasional memerlukan informasi tentang hubungan antara perubahan unsur-unsur cuaca/iklim tersebut dengan senjang produktivitas kentang di Indonesia. Model simulasi tanaman yang mampu menjelaskan pengaruh unsurunsur cuaca terhadap pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang di Indonesia akan bermanfaat untuk melakukan prediksi dampak perubahan iklim terhadap penurunan produktivitas kentang di berbagai wilayah Indonesia. IPCC (2007) memperkirakan kenaikan suhu di Indonesia sekitar 2 – 3 oC pada tahun 2050. Jika hal ini terjadi maka peningkatan suhu tersebut analog dengan penurunan ketinggian lahan kentang sekitar 300 – 500 m. Hal ini akan berdampak luas, karena saat ini produksi kentang di Indonesia diusahakan di atas 800 m dpl (Sutapradja 2008), sehingga jika kenaikan suhu tersebut akan terjadi maka untuk mempertahankan produksi kentang saat ini lahan kentang akan bergeser pada ketinggian di atas 1.100 m atau bahkan di atas 1.300 m. Akibatnya, luas lahan kentang akan semakin sempit sehingga secara langsung
81
akan menurunkan luas panen dan produksi kentang nasional jika tidak diimbangi oleh peningkatan hasil per satuan luas lahan. Proses yang terjadi pada perkembangan dan pertumbuhan tanaman sangatlah kompleks menyangkut hubungan antara tanah, tanaman, dan iklim. Pemahaman proses yang kompleks tersebut dapat disederhanakan melalui model simulasi tanaman berdasarkan informasi tanah, tanaman dan iklim. Hubungan antara iklim dengan tanaman menempati porsi yang cukup banyak dalam model pertumbuhan tanaman, jika dibandingkan dengan faktor tanah (lahan). Hal ini disebabkan unsur iklim selalu berubah secara diurnal maupun musiman, serta dapat menyebabkan fluktuasi produksi tanaman dari musim ke musim. Perubahan unsur iklim dan hubungannya dengan perkembangan, pertumbuhan, dan hasil tanaman semakin diketahui dan digunakan secara luas setelah
didukung
oleh
perkembangan
teknologi
di
bidang
komputer.
Perkembangan teknologi komputer dan kompleksnya proses perkembangan dan pertumbuhan tanaman di lapang, mendorong pelaksanaan penelitian lapang ini ke pengunaan model simulasi tanaman. Model simulasi tanaman adalah suatu penyederhanaan dari sistem pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang kompleks. Model simulasi tanaman kentang yang disusun diharapkan dapat mendekati kenyataan tentang perkembangan, pertumbuhan dan hasil tanaman di lapang, sehingga dapat digunakan sebagai alat bantu perencanaan pertanian. Model simulasi tanaman yang disusun dikembangkan menggunakan pendekatan mekanisme proses (mekanistik), yang menghubungkan proses fisiologis dan morfologis tanaman sebagai respon terhadap lingkungan fisik tanaman terutama kondisi iklim. Melalui pemanfaatan data iklim, tanah dan tanaman dari hasil penelitian lapang yang mekanisme prosesnya dapat dijelaskan dalam model simulasi tanaman, maka perkembangan, pertumbuhan dan hasil tanaman di suatu wilayah dan waktu tertentu dapat diprediksi. Model simulasi tanaman yang dirancang tetap mempunyai keterbatasan dan merupakan distorsi dari sistem yang sebenarnya. Model harus digunakan secara teliti, cermat dan seksama dengan data yang selengkap mungkin. Namun demikian karena berbagai keuntungan dan manfaat, penggunaan model sebagai analisis kuantitatif untuk berbagai penelitian dan pemecahan masalah sampai saat
82
ini berkembang pesat (Bey 1991). Handoko (1996) menambahkan, model simulasi meskipun memiliki keunggulan, tetap mempunyai keterbatasan karena model dibuat hanya untuk menggambarkan suatu proses atau beberapa proses tertentu dari suatu sistem, sehingga model simulasi tidak akan memberikan hasil yang baik terhadap proses-proses diluar tujuan model. Tujuan utama pembuatan model simulasi tanaman yang bersifat mekanistik pada dasarnya bukan pada ketepatan model, melainkan bagaimana model tersebut dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi dalam sistem yang dimodelkan. Pemodelan tanaman kentang yang disusun dapat didasarkan pada distribusi penggunaan energi radiasi surya oleh tanaman untuk memproduksi bahan kering tanaman kentang (Wolf 2002). Secara implisit diasumsikan bahwa fungsi utama tanaman adalah mengkonversi energi radiasi surya menjadi energi kimia yang lebih stabil melalui fotosintesis, yang dapat segera tersedia apabila dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman (Edward et al. 1986). Bakema (1985) juga menyatakan bahwa model tanaman merupakan suatu gugus persamaan yang menghitung fotosintesis tanaman sebagai fungsi dari data cuaca harian dan luas daun. Hasil panen ditentukan oleh produksi biomassa atau bahan kering tanaman dan merupakan hasil akhir proses fotosintesis (Tekalign 2005). Produksi biomassa (bahan kering tanaman) merupakan fungsi dari PAR (photosynthetically active radiation) yang diintersepsi oleh daun (Myneni et al. 1997). Produksi biomassa berasal dari aliran asimilat yang jumlahnya tergantung pada radiasi datang dan luas daun aktif berfotosintesis (Tekalign 2005). Pemodelan tanaman kentang merupakan pendekatan kuantitatif untuk memprediksi pertumbuhan, perkembangan dan hasil tanaman serta peubah yang berhubungan dengan faktor lingkungan (Monteith 1996; Wolf 2002). Pemodelan hasil tanaman dengan kondisi defisit air dapat menjelaskan perilaku tanaman pada kondisi lapang umumnya, karena efisiensi penggunaan radiasi surya tergantung pada pengaruh defisit air tanah. Arkebauer et al. (1994) juga menyatakan, bahwa perhitungan neraca air tanah harian dapat dihubungkan langsung dengan RUE, pertumbuhan dan hasil tanaman.
83
Penyusunan model simulasi pertumbuhan dan perkembangan serta neraca air tanaman kentang memperhatikan lingkungan tumbuh, kebutuhan air, dan proses fisiologis tanaman kentang itu sendiri. Lahan merupakan faktor lingkungan fisik tanaman kentang dalam skala terbatas yang harus mendapat perhatian, secara relatif masih dapat diperbaiki apabila ternyata kurang sesuai dengan pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Namun iklim merupakan salah satu faktor lingkungan fisik yang belum dapat dikendalikan, kecuali pada kondisi terbatas seperti dalam rumah kaca, dan sangat berpengaruh terhadap pertumbuhan serta produksi tanaman. Model simulasi pertumbuhan, perkembangan dan neraca air tanaman kentang disusun untuk menjelaskan mekanisme proses pertumbuhan yang terjadi selama masa hidup tanaman dan hasil akhir. Model juga akan mensimulasikan komponen-komponen proses yang terjadi selama masa pertumbuhan tanaman seperti neraca air (kadar air tanah), pertumbuhan tanaman (LAI, berat kering akar, batang, daun dan umbi) serta fase-fase perkembangan tanaman. Model simulasi tanaman kentang yang sudah disusun dan sudah diuji keabsahan selanjutnya digunakan untuk mensimulasikan pengaruh perubahan iklim terhadap hasil dan produktivitas tanaman kentang pada berbagai sentra produksi kentang di Indonesia. 6.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menyusun model simulasi perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air tanaman kentang yang dapat menjelaskan mekanisme proses yang terjadi selama periode pertumbuhan dan perkembangan tanaman guna memprediksi potensi produksi dan antisipasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. 6.3. Asumsi Model dipengaruhi oleh unsur-unsur cuaca harian, yaitu : curah hujan, radiasi surya, suhu dan kelembaban udara, serta kecepatan angin. Parameter tanah yang berpengaruh adalah titik layu permanen, kapasitas lapang, sedangkan parameter tanaman yang berpengaruh adalah RUE, spesifik leaf area (SLA), suhu
84
dasar dan thermal unit. Faktor kesuburan tanah dan serangan hama penyakit tanaman diasumsikan tidak mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang yang dimodelkan. 6.4. Metodologi 6.4.1. Tempat dan Waktu Penelitian lapang yang sudah dilakukan pada tiga lokasi di Pacet dan Galudra, Provinsi Jawa Barat, serta di Kerinci, Provinsi Jambi digunakan untuk menunjang penyusunan model, yaitu untuk parameterisasi pada proses kalibrasi (Pacet) dan validasi model (Galudra dan Kerinci). Waktu pelaksanaan dari ketiga percobaan ini mulai dari Desember 2009 sampai September 2011. 6.4.2. Tahapan Penyusunan Model Simulasi Tanaman Kentang Tahap awal dalam penyusunan model simulasi tanaman kentang adalah menentukan tujuan, bentuk serta tingkatan model. Setelah memahami proses yang akan melandasi, ditentukan mekanisme hubungan antar peubah secara jelas. Pembuatan model deskriptif berupa diagram alur sebelum perumusan hubunganhubungan kuantitatif akan sangat membantu dalam pembuatan model atau pemrograman komputer. Diagram alur sangat penting khususnya bila model cukup rumit, sehingga akan mempermudah memahami struktur dan mekanisme beserta faktor-faktor pembatasnya. Diagram alur tersebut dikenal dengan nama Diagram Forrester yang menjelaskan hubungan antar peubah serta aliran massa dan aliran informasi. Aliran informasi merupakan representasi persamaanpersamaan matematis (Gambar 20 dan 22). Model simulasi tanaman kentang yang disusun mempunyai resolusi harian sehingga diperlukan unsur-unsur cuaca harian sebagai masukan yang meliputi : curah hujan (mm hari-1), radiasi surya (MJ m-2 hari-1), suhu udara (oC), kelembaban udara (%),dan kecepatan angin (m detik-1). Masukan model (input variables) adalah keadaan awal (initial variables), parameter (cuaca, tanah dan tanaman) dan peubah luar (unsur-unsur cuaca). Keluaran model adalah : fase perkembangan tanaman, LAI, dan biomassa tanaman (akar, batang, daun, dan umbi), dan komponen neraca air (kadar air tanah, evaporasi dan transpirasi aktual,
85
intersepsi tajuk, dan drainase). Model simulasi tanaman kentang yang disusun terdiri dari tiga submodel, yaitu : (1) submodel perkembangan tanaman, (2) submodel pertumbuhan tanaman, dan (3) submodel neraca air. Submodel perkembangan menduga laju perkembangan tanaman selama periode pertumbuhan tanaman (tanam-panen) berdasarkan konsep thermal unit. Submodel perkembangan akan menentukan pembagian assimilat hasil fotosintesis pada submodel pertumbuhan berdasarkan proporsi biomassa. Persamaan proporsi alokasi biomassa ke berbagai bagian tanaman (akar, batang, daun dan umbi) diturunkan dari percobaan lapang. Keluaran submodel ini memungkinkan prediksi waktu yang diperlukan oleh setiap fase perkembangan, sehingga pada akhirnya dapat ditentukan waktu panen tanaman kentang yang dimodelkan. Submodel
pertumbuhan
mensimulasikan
mekanisme
pertumbuhan
tanaman berdasarkan produksi biomassa yang dihitung dari radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman, yang ditentukan oleh LAI dan radiasi datang di atas tajuk tanaman. Produksi biomassa berkorelasi positif dengan nisbah laju transpirasi aktual dan potensial yang dihitung dalam submodel neraca air. Keluaran submodel pertumbuhan ini adalah jumlah biomassa untuk setiap bagian tanaman (biomassa akar, batang, daun, dan umbi). Submodel neraca air mensimulasikan gerakan air mulai dari curah hujan jatuh di atas tajuk tanaman, diintersepsi tajuk dan jatuh ke atas permukaan tanah, kemudian terinfiltrasi ke dalam lapisan tanah, terjadi perkolasi, penguapan pada permukaan tanah sampai pada transpirasi tanaman. Berdasarkan komponenkomponen neraca air tersebut kandungan air tanah yang mendukung pertumbuhan tanaman dapat diprediksi. 6.4.2.1. Submodel Perkembangan Laju perkembangan dari masing-masing kejadian fenologi tanaman kentang didekati dengan konsep thermal unit (TU). Laju perkembangan tanaman terjadi bila suhu rata-rata harian melebihi suhu dasar (To), yang ditentukan sebesar 10oC. Hubungan antara fase perkembangan tanaman (s) dengan suhu udara dapat dituliskan sebagai berikut :
86
s = ∑(T–To)/TU atau ds = (T – To)/TU, T>To
(1)
o
TU adalah thermal unit (d
C) yang diperlukan untuk mencapai tingkat
perkembangan tertentu. Nilai s akan sama dengan 1 bila tingkat perkembangan tersebut telah tercapai atau pada saat itu∑ (T – To) = TU. Jumlah hari (t) yang diperlukan untuk mencapai fase tersebut dapat ditentukan pada saat s = 1. Berdasarkan pengamatan di lapang kejadian fenologi tanaman kentang dihitung sejak tanam sampai fase pematangan umbi (panen) dan diberi skala 0 – 1, yang dibagi menjadi 5 kejadian yaitu : tanam-muncul tunas (s = 0,16), pembentukan umbi (s = 0,33), pengisian umbi (s = 0,44), pematangan umbi (s = 0,80), dan awal panen (s = 1,00). Fase perkembangan (s) antara masingmasing kejadian fenologi tersebut dihitung dengan mengadopsi persamaan yang dikembangkan Handoko (1994). Flow chat submodel perkembangan ditunjukkan pada Gambar 19. Start
Inisialisasi Tb, TUem,TUveg, TUins,TUbulk,TUmat
S=0 Suhu(i)
NN NN NN NN
S<0.8
YN
S<0.16
YN
S<0.33
YN
S<0.44
YN
Call emergence
Call vegetative
Call inisiasi
Call bulking Jumlah : s=s1+s2+s3+s4+s5
Call mature
TU=TU+(suhu(i)-Tb)
YN
End
Suhu(i)>Tb
NN
Gambar 19. Flow chart submodel perkembangan tanaman kentang
87
6.4.2.2. Submodel Pertumbuhan Pertumbuhan tanaman kentang disimulasi berdasarkan intersepsi energi radiasi surya serta faktor ketersediaan air yang disimulasikan dalam submodel neraca air. Pembagian biomassa (daun, batang, akar, dan umbi) merupakan fungsi fase perkembangan tanaman yang dihitung dalam submodel perkembangan. Selama pertumbuhan, tanaman menggunakan sebagian biomassa akar, batang, daun, dan umbi untuk respirasi pertumbuhan dan respirasi pemeliharaan yang merupakan fungsi berat organ dan suhu udara. Setelah fase vegetatif, seluruh biomassa hasil fotosintesis dialokasikan ke umbi, dan ini mengakibatkan massa daun dan batang menurun sampai panen. Gambar 20 menunjukkan diagram Forrester submodel pertumbuhan tanaman kentang.
Gambar 20. Diagram Forrester submodel pertumbuhan tanaman kentang Keterangan : W = Berat, GDMA = Gross Dry Matter actual, wdf = water deficit factor, Ta = Transpirasi aktual, Tm = Transpirasi maksimum, k = koefisien pemadaman tajuk, ε = efisiensi penggunaan radiasi surya, Rad int = Radiasi intersepsi, T = suhu udara, S = Fase perkembangan tanaman
Indeks Luas Daun (LAI) Indeks Luas Daun (LAI) dalam model menentukan jumlah radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman. LAI juga menentukan intersepsi curah
88
hujan dan laju transpirasi serta evaporasi aktual. LAI merupakan fungsi dari spesific leaf area (SLA) dan massa daun (LW). SLA merupakan parameter yang diturunkan dari data pengukuran luas daun dan massa daun tanaman kentang. LAI dalam submodel pertumbuhan merupakan peubah bantu (auxiliary variable) yang dihitung dari perkalian antara parameter spesific leaf area (SLA) dengan massa daun (LW). LAI = SLA x LW
(2) -1
SLA : spesific leaf area (m g ) LW : massa daun spesifik (g m-1) Produksi Biomassa Produksi biomassa potensial harian dihitung berdasarkan RUE yang disimbulkan dengan ε dalam g MJ-1 dan radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman kentang. Hukum Beer - Lambert digunakan untuk menghitung radiasi intersepsi sebagai berikut (Handoko 1994; Koesmaryono dan Sugimoto 2005) :
Qint = (1− τ ).Qo
(3)
τ = e -k.LAI
(4)
Q int adalah radiasi intersepsi (MJ m-2), Q o adalah radiasi surya di atas tajuk tanaman atau yang terukur di stasiun klimatologi (MJ m-2), dan τ adalah proporsi radiasi surya yang ditransmisikan tajuk tanaman. Nilai k adalah koefisien pemadaman tajuk yang diturunkan dari penelitian lapang berdasarkan pengukuran LAI dan radiasi surya rata-rata di atas dan di bawah tajuk tanaman selama sehari, yang selanjutnya dirata-ratakan selama musim pertumbuhan. Produksi biomassa potensial dihitung berdasarkan hasil kali antara efisiensi penggunaan radiasi (ε) dengan radiasi intersepsi (Q int ) (Handoko 1994; Koesmaryono dan Sugimoto 2005) :
(
)
Bb = ε 1 − e − k .LAI Qo
(5)
B b adalah produksi biomassa potensial (kg ha-1 d-1) dan ε adalah efisiensi penggunaan radiasi (kg MJ-1) yang dihitung menurut Monteith (1977) ; Handoko (1994) ; Koesmaryono dan Sugimoto (2005) :
ε=
dW Q int
(6)
89
dW adalah pertambahan biomassa tanaman (g m-2). Produksi biomassa potensial tersebut menganggap ketersediaan air bukan merupakan faktor pembatas. Produksi biomassa aktual dihitung dengan mempertimbangkan ketersediaan air yang dihitung berdasarkan nisbah antara transpirasi aktual (T a ) dengan nilai maksimumnya (T m ). Perhitungan faktor ketersediaan air (f w ) dan produksi biomassa aktual (B a ) adalah sebagai berikut: Ta Tm Ba = f w • Bb fw =
(7) (8)
B a dalam kg ha-1 d-1. Dalam model, produksi biomassa aktual dibagi antara daun, batang, akar, dan umbi yang perbandingannya tergantung pada fase perkembangan tanaman (s). Sebagian biomassa masing-masing organ akan berkurang melalui respirasi pertumbuhan (R g ) dan respirasi pemeliharaan (R m ) yang dihitung berdasarkan suhu udara dan massa masing-masing organ (Amthor 2000). Pertumbuhan masing-masing organ (x) dihitung dari selisih antara alokasi bahan kering ke organ tanaman dan yang hilang melalui respirasi sebagai berikut (Handoko 1994)
dWx = ηx • Ba − Rg − Rm = ηx (1− kg )Ba − km • Wx • Q10
(9)
Q10 = 2 (T − 20 ) / 10
(10)
dW x adalah penambahan massa organ x (kg ha-1 d-1), R m : respirasi pemeliharaan (kg ha-1 d-1), η x : proposi biomassa yang dialokasikan ke organ x (daun, batang, akar dan umbi), B a : koefisien respirasi pemeliharaan, k g : koefisien respirasi pertumbuhan,
dan k m
:
koefisien respirasi pemeliharaan dan W x : organ x
(kg ha-1). Proporsi Biomassa (ŋx) Proporsi biomassa yang dialokasikan pada masing-masing organ (η x ) dihitung berdasarkan fungsi fase perkembangan tanaman (s) (Handoko 1994) yang didekati secara empiris berdasarkan data observasi lapang tentang pertumbuhan tanaman kentang.
Pada awal pertumbuhan, produksi biomassa
hanya dialokasikan ke daun, batang dan akar dengan alokasi terbanyak pada daun. Sampai pematangan umbi, alokasi biomassa ke daun dan akar berkurang
90
sedangkan alokasi ke batang bertambah dengan fase perkembangan tanaman. Setelah fase pematangan umbi, seluruh produksi biomassa dialokasikan ke umbi (Gardner et al. 1991). Gambar 21a dan 21b menunjukkan proporsi pembagian produksi
biomassa ke
masing-masing
organ
tanaman
menurut
tingkat
perkembangan tanaman kentang varietas Granola dan Atlantis.
Umbi
Umbi
Daun Akar
Batang
Daun Akar
Batang
(a) (b) Gambar 21. Proporsi biomassa yang dialokasikan pada masing-masing organ akar, batang, daun, dan umbi pada Varietas Granola (a) dan Atlantis (b) 4.4.2.3. Submodel Neraca Air Komponen neraca air meliputi curah hujan, intersepsi tajuk, infiltrasi, perkolasi, kadar air tanah, serta evaporasi dan transpirasi aktual. Model ini memerlukan masukan unsur-unsur cuaca harian, yaitu suhu dan kelembaban udara, radiasi surya, kecepatan angin dan curah hujan. Peubah tanaman LAI juga diperlukan, yang disimulasi pada submodel pertumbuhan. Parameter yang digunakan meliputi : kapasitas lapang, titik layu permanen dan parameter penguapan (Ritchie 1972). Gambar 22 menunjukkan Diagram Forrester submodel neraca air. Hujan jatuh pada permukaan tajuk tanaman, sebagian air tertahan tajuk tanaman tersebut (intersepsi) kemudian sisanya jatuh ke permukaan tanah. Air yang diintersepsi tajuk kemudian akan menguap ke atmosfer. Sisanya mengalir sebagai stemflow dan jatuh sebagai troughfall sampai ke permukaan tanah, yang kemudian akan diserap tanah berupa infiltrasi. Jika kandungan air pada lapisan tersebut melebihi kapasitas lapang maka air menuju ke lapisan yang lebih bawah akibat gaya gravitasi sehingga terjadi perkolasi. Proses tersebut akan terjadi sampai lapisan tanah terbawah dan perhitungannya menggunakan metode
91
jungkitan (tipping bucket method). Air yang keluar dari lapisan terbawah tidak dapat dimanfaatkan tanaman dan hilang berupa drainase. Kehilangan air selain melalui intersepsi tajuk dan drainase, juga terjadi melalui evaporasi tanah aktual (Ea) dan transpirasi aktual (Ta). LAI dan kondisi atmosfer yang diwakili evapotranspirasi potensial (ETp) menentukan penguapan tanah maksimum (Em) dan transpirasi maksimum (Tm). Evaporasi tanah aktual dihitung dengan metode dua tahap menurut Ritchie (1972). Apabila air tanah cukup tinggi (tahap-1) laju evaporasi tanah akan maksimum (Em) yang kemudian laju penguapan turun menurut waktu setelah mencapai nilai parameter tertentu (tahap-2). Transpirasi aktual dihitung dari nilai Tm dan faktor ketersediaan air pada tiap lapisan tanah. Jumlah Em dan Tm diasumsikan sama dengan evapotranspirasi potensial (ETp) yang dihitung menggunakan rumus Penman (1948).
Gambar 22. Diagram Forrester submodel neraca air tanaman kentang Keterangan : LAI = indeks luas daun, ETp = evapotranspirasi potensial, Em = evaporasi maksimum, Tm = transpirasi maksimum, Rad = radiasi surya, RH = kelembaban udara, Angin = kecepatan angin, T = suhu udara, Pg = curah hujan bruto, Pn = curah hujan netto, Icn = intersepsi curah hujan, KAT = kadar air tanah, Ea = evaporasi aktual, Pc = perkolasi TLP = titik layu permanen, Ta = transpirasi aktual, KL = kapasitas lapang.
92
Sifat Fisik Tanah Titik layu permanen adalah batas di bawah kadar air tanah tersebut tanaman tidak mampu lagi menyerap air tanah untuk melakukan transpirasi. Potensial air tanah pada titik layu permanen sebesar Ψ = - 15 atm. Sedangkan, kapasitas lapang ditentukan sebesar Ψ = -1/3 atm dan apabila kandungan air tanah lebih besar dari kapasitas lapang, air akan menuju lapisan tanah di bawahnya karena gaya gravitasi yang disebut perkolasi. Perkolasi akan berhenti bila tegangan air tanah mencapai kapasitas lapang atau kurang.
Sifat fisik tanah
lainnya yang diperlukan model berhubungan dengan penguapan, yaitu parameter U dan α menurut Ritchie (1972) yang dapat diperoleh dari nilai pustaka. Intersepsi Tajuk Tanaman Jumlah air hujan yang diintersepsi tajuk tanaman (I c ) ditentukan oleh curah hujan (P) dan indeks luas daun (LAI) sebagai berikut (Zinke 1967): 0 < LAI ≤ 3
I c = min ( LAI , P ) , I c = min (1.27, P) ,
LAI > 3
(11.1) (11.2)
Infiltrasi dan Perkolasi Infiltrasi (I s ) dihitung dari selisih curah hujan (P) dan infiltrasi tajuk tanaman: I s = P − Ic
(12)
Perkolasi dari tiap lapisan tanah (P c ) terjadi apabila kandungan air tanah melebihi kapasitas lapang (θ fc ) yang dihitung dengan metode jungkitan sebagai berikut: Pc = θ − θ fc ,
θ > θ fc
(13)
Pc = 0 ,
θ ≤ θ fc
(14)
Evapotranspirasi Evapotranspirasi potensial (ETp) yang dihitung dengan rumus Penman (1948) dianggap sebagai evapotranspirasi maksimum (ETm). Evaporasi maksimum dan transpirasi maksimum dihitung masing-masing sebanding dengan
93
transmisi dan intersepsi energi radiasi surya melalui tajuk tanaman menggunakan Hukum Beer. Berikut perhitungan Em dan Tm (Handoko 1994) :
{
}
ETm = ETp = ∆Qn + γ ∫ (u )(es − ea ) /{λ (∆ + γ )}
(
Em = ETm e − k ILD
(
)
(15) (16)
)
Tm = 1 − e − k ILD ETm
(17)
∆ adalah kemiringan kurva hubungan antara tekanan uap air jenuh dan suhu udara (Pa K-1), Q n radiasi neto (W m-2), γ tetapan psikrometer, ∫(u) fungsi aerodinamik (MJ m-2 Pa-1), (e s - e a ) defisit tekanan uap air (Pa) dan λ panas spesifik penguapan (2.454 MJ kg-1). Evaporasi Tanah Aktual. Evaporasi tanah aktual (Ea) dihitung menggunakan metode Ritchie (1972) yang terdiri dari dua tingkat evaporasi. Pada tingkat pertama, setelah terjadi hujan, evaporasi aktual sama dengan nilai maksimumnya sampai nilai evaporasi kumulatif mencapai nilai paramater tanah U. Setelah nilai U terlampaui (tahap -2) tanah sudah cukup kering selanjutnya Ea merupakan fungsi waktu pada tahap -2 (t 2 ) dan Em sebagai berikut : Tahap 1:
Ea = Em
Tahap 2:
Ea = α t 2
0.5
− α (t 2 − 1)
0.5
∑ Em < U
(18)
∑ Em ≥ U
(19)
t 2 adalah jumlah hari setelah terjadinya evaporasi tahap-2. Transpirasi Aktual. Transpirasi aktual (Ta) dihitung berdasarkan fungsi transpirasi maksimum (Tm) dan kadar air tanah pada lapisan akar. Model ini terdiri dari satu lapisan tanah sedalam 60 cm, Ta dihitung sebagai fungsi Tm dan kadar air tanah (Handoko, 1994) : Ta = 0, Ta = (θ-θ wp )/{0,4 (θ fc -θ wp )} Ta = Tm,
jika θ < θ wp jika θ wp <θ<θ fc jika θ>θ fc
(20.1) (20.2) (20.3)
θ : kadar air tanah, θ fw : kadar air tanah pada kapasitas lapang dan θ wp : kadar air tanah pada titik layu permanen, Ta laju transpirasi aktual (mm hari-1). Kadar Air Tanah. Perhitungan kadar air tanah dilakukan berdasarkan neraca air yang terdiri dari input dan output sebagai berikut : θ t = θ t-1 + Is t -Pc t - Ea t - Ta t t menyatakan hari pada saat perhitungan dilakukan.
(21)
94
6.4.2.4. Parameterisasi Model Parameter adalah karakteristik dari unsur model yang bersifat konstan selama masa simulasi. Parameter yang digunakan dalam model simulasi tanaman kentang, yaitu : parameter cuaca, tanaman dan tanah yang diperoleh dari data percobaan lapangan dan beberapa referensi yang diperlukan selama simulasi. Parameter Cuaca. Parameter cuaca yang terdiri dari tetapan psikometrik, massa jenis udara panas laten penguapan, kapasitas panas ditetapkan berdasarkan hasil referensi Parameter Tanaman. Efisiensi penggunaan radiasi (ε dalam g MJ-1) diperoleh dari data pengukuran biomassa tanaman dan radiasi yang diintersepsi tajuk. Luas daun spesifik (SLA) diperoleh dari data pengukuran luas daun dan massa daun tanaman kentang. Koefisien respirasi pertumbuhan (kg) dan koefisien respirasi pemeliharaan (km) ditetapkan masing-masing sebesar 0,14 dan 0,015 (Amthor 2000). Suhu dasar (T o ) ditetapkan sebesar 10°C dari hasil kalibrasi model. thermal unit (TU dalam d °C) diperoleh dari pengamatan lapang menurut periode fase perkembangan tanaman kentang mulai tanam sampai panen diturunkan dari hasil percobaan lapang pertama di Pacet-Cipanas, Provinsi Jawa Barat. Parameter Tanah Kapasitas lapang dan titik layu permanen dalam model dibatasi sebagai kadar air tanah pada tegangan air tanah masing-masing sebesar ψ = -30 kpa dan ψ = -1,5 MPa. Parameter yang berhubungan dengan penguapan, yaitu U dan α dapat ditentukan dari nilai K sw (saturated hydroulic conductivity), namun dalam model ini dianggap konstan masing-masing sebesar 12 dan 5,08 (Ritchie 1972). 6.4.2.5. Kalibrasi Model Tahapan kalibrasi adalah mengubah-ubah beberapa atau banyak parameter sampai perbedaan antara nilai pengukuran dengan dugaan model tidak nyata. Nilai parameter dapat diperoleh melalui pendekatan garis regresi dan bentuk persamaan lainnya. Nilai parameter yang diperoleh tersebut dapat menjadi tidak
95
sesuai jika menggunakan data yang lain. Oleh karena itu, model perlu divalidasi sebelum diaplikasikan menggunakan data selain yang telah digunakan untuk kalibrasi. Model dikalibrasi menggunakan data Percobaan I di daerah Pacet, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat, pada perlakuan U1J1. Proses kalibrasi ini akan dapat menghasilkan nilai-nilai parameter model yang sesuai sebelum dilakukan proses validasi model. 6.4.2.6. Validasi Model Validasi model dilakukan dengan membandingkan hasil prediksi model dengan data pengukuran lapang (observasi). Data yang digunakan adalah hasil Percobaan II di daerah Galudra, Kabupaten Cianjur, Provinsi Jawa Barat pada perlakuan J2U1. Data Percobaan III di daerah Kerinci, Provinsi Jambi, pada perlakuan J1V1 (varietas Granola) dan J1V2 (varietas Atlantis) juga digunakan untuk validasi model selanjutnya. Validasi dilakukan dengan dua cara, yaitu uji statistik (uji t berpasangan) dan secara kualitatif menggunakan metode grafik (fitting dan uji 1 : 1). Validasi secara grafik dilakukan dengan membuat plot 1 : 1 antara data prediksi dengan pengukuran. Data hasil prediksi dan pengukuran apabila makin berimpit pada garis 1:1, maka model semakin mendekati hasil pengukuran lapang. Sebaliknya, apabila semakin jauh dari garis 1:1 maka prediksi model makin kurang tepat. Validasi yang lain menggunakan uji statistik berpasangan. Urutan uji berpasangan adalah sebagai berikut (Steel dan Torrie 1991). D i = pi − mi D=
∑D
i
n
2 D 2 − (∑ Di ) ∑ i n SE = n(n − 1)
t=
D SE
(22.1) (22.2)
(23.3)
(23.4)
D i dan D adalah rata-rata antara prediksi (p) dan pengukuran (m), SE adalah galat baku dari perbedaan dan t-student.
Antara model dengan hasil pengukuran
96
berbeda nyata bila (P < 0,05) dan tidak nyata bila (P > 0,05) atau jika t-hitung < t-tabel (software minitab menunjukkan P-value > 5%), maka antara model dengan hasil pengukuran tidak berbeda nyata (sama). 6.5. Hasil dan Pembahasan 6.5.1. Parameterisasi Model Model simulasi tanaman kentang disusun setelah mendapatkan nilai-nilai parameter yang diturunkan dari hasil percobaan lapang pertama di Pacet dan studi literatur. Tabel 11 menunjukkan parameter-parameter yang digunakan sebagai masukan model. Tabel 11. Nilai-nilai parameter yang digunakan dalam menyusun model simulasi tanaman kentang Parameter
Simbol
1. CUACA Tetapan psikometrik Massa jenis udara Panas laten penguapan Kapasitas panas 2. TANAMAN Efisiensi Penggunaan Radiasi Luas Daun Spesifik Koefisien pemadaman Koefisien respirasi pemeliharaan Koefisien respirasi pertumbuhan Thermal unit (Granola/Atlantis) Plant-emergence Vegetative Tuber initiation Tuber bulking Maturation Suhu dasar 3. TANAH Titik layu permanen Kapasitas lapang Tetapan U Tetapan α
Satuan
Nilai
Sumber
γ d air lhv cp
PaoC Kg m-3 MJ kg-1 Pa oC-1
66,1 1.204 2.454 1.010
Lascano (1991) Lascano (1991) Lascano (1991) Lascano (1991)
RUE (Granola) RUE (Atlantis)) SLA k (Granola) k (Atlantis) km kg
g MJ-1 hari-1 g MJ-1 hari-1 ha kg-1 unitless unitless
1,12 1,79 0,005 0,3 0,2 0,015 0,14
Percobaan ini Percobaan ini Percobaan ini Percobaan ini Percobaan ini Amthor (2000) Amthor (2000)
TU1 TU2 TU3 TU4 TU5 Tb
hari 0C hari 0C hari 0C hari 0C hari 0C 0 C
160/168 170/175 110/115 360/378 200/217 10
Percobaan ini Percobaan ini Percobaan ini Percobaan ini Percobaan ini Percobaan ini
TLP KL U α
% % mm mm
28 35 12 5,08
Percobaan ini Percobaan ini Ritchie (1972) Ritchie (1972)
6.5.2. Validasi Submodel Perkembangan, Pertumbuhan, dan Neraca Air Tanaman Kentang Validasi dilakukan dengan membandingkan beberapa peubah-peubah prediksi model dengan hasil pengamatan atau pengukuran lapang (Boote et al.
97
1996; Hoower dan Perry 1989). Validasi menggunakan data hasil pengamatan dan pengukuran Percobaan II di daerah Galudra, Jawa Barat, perlakuan J2U1 dan Percobaan III di daerah Kerinci, Jambi, perlakuan J1V1 dan J1V2. Validasi dengan uji t berpasangan dilakukan untuk ketiga submodel pada peubah-peubah prediksi model. Tabel 12 menunjukkan hasil uji t berpasangan peubah-peubah antara prediksi model dengan hasil pengukuran lapang (observasi). Tabel 12. Uji berpasangan t-student peubah-peubah ketiga submodel Percobaan II dan Percobaan III. Peubah I II
III
I II
I II
III
Submodel Perkembangan Umur tanaman Submodel Pertumbuhan LAI Biomassa akar Biomassa batang Biomassa daun Biomassa umbi Submodel Neraca Air Kadar air tanah (0-60 cm) Submodel Perkembangan Umur tanaman Submodel Pertumbuhan LAI Biomassa akar Biomassa batang Biomassa daun Biomassa umbi
Satuan Percobaan II (Granola)
P-Value
Perbedaan
hari
0,688
tn
unitless kg ha-1 kg ha-1 kg ha-1 kg ha-1
0,061 0,636 0,751 0,015 0,795
tn tn tn n tn
0,061
tn
0,688
tn
0,066 0,669 0,070 0,171 0,804
tn tn tn tn tn
0,041
n
0,043 0,016 0,258 0,042 0,173
n n tn n tn
0,326
tn
mm Percobaan III (Granola) hari unitless kg ha-1 kg ha-1 kg ha-1 kg ha-1 Percobaan III (Atlantis)
Submodel Perkembangan Umur tanaman hari Submodel Pertumbuhan LAI unitless Biomassa akar kg ha-1 Biomassa batang kg ha-1 kg ha-1 Biomassa daun kg ha-1 Biomassa umbi Submodel Neraca Air mm Kadar air tanah (0 – 60 cm) Keterangan : tn = tidak nyata, n = nyata
Hasil pengujian dengan uji t berpasangan antara prediksi model dan observasi pada varietas Granola menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) di hampir semua peubah yang diuji, kecuali pada biomassa daun (Tabel 12). Tabel 12 juga menunjukkan hasil pengujian pada varietas Atlantis yang tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada biomassa akar dan umbi serta kadar air tanah.
98
Berdasarkan hasil uji t peubah-peubah ketiga submodel pada Percobaan II dan III varietas Granola dan Atlantis, menunjukkan bahwa model mampu memprediksi perkembangan, pertumbuhan tanaman dan kadar air tanah sesuai pengukuran lapang. 6.5.2.1. Submodel Perkembangan Tanaman Validasi grafik submodel perkembangan tanaman dilakukan dengan membandingkan umur tanaman pada periode fase perkembangan prediksi model dengan observasi pada Percobaan II dan III.
Fase perkembangan tanaman
kentang yang diamati terdiri dari : fase 1 = tanam - awal muncul tunas, fase 2 = muncul tunas - awal pembentukan umbi, fase 3 = awal pembentukan umbipengisian umbi, fase 4 = awal pengisian umbi - pematangan umbi, dan fase 5 = awal pematangan umbi - awal panen. Validasi secara grafik pada umur tanaman prediksi model dengan observasi di Galudra (Granola) dan Kerinci (Granola, Atlantis) ditunjukkan pada Gambar 23. Hasil uji t berpasangan umur tanaman varietas Granola menunjukkan prediksi model dan observasi tidak berbeda nyata (P>0,05) dan berbeda nyata pada varietas Atlantis (Tabel 12). Pengujian secara grafik (uji 1 : 1) menunjukkan sebaran data menyebar sekitar garis 1 : 1, dengan nilai koefisien determinasi (R2) antara model dengan observasi yang tinggi (R2 > 0,90). Dengan demikian, hasil validasi menyatakan model tidak berbeda nyata dengan pengukuran lapang. Validasi menunjukkan bahwa model mampu memprediksi umur tanaman pada setiap periode fase-fase perkembangan tanaman sesuai pengamatan lapang di Galudra dan Kerinci.
99
(a)
(b)
Gambar 23. Perbandingan antara prediksi model dan observasi umur tanaman di Galudra [Granola] dan kerinci [Granola,Atlantis] (a). Perbandingan plot 1 : 1 (b). 6.5.2.2. Submodel Pertumbuhan Tanaman Indeks Luas Daun (LAI) Uji t berpasangan antara prediksi model dan observasi peubah LAI menunjukkan hasil pengujian tidak berbeda nyata pada varietas Granola dan berbeda nyata pada Atlantis (Tabel 12). Pengujian secara grafik (uji 1 : 1) menunjukkan sebaran data antara prediksi model dengan observasi cenderung menyebar pada garis 1 : 1, kecuali pada akhir pertumbuhan tanaman keluaran model lebih rendah (Gambar 24). Nilai koefisien determinasi (R2) prediksi model dan observasi pada verietas Granola di Galudra cukup tinggi sebesar 0,81. Nilai R2 varietas Granola di Kerinci sebesar 0,89, sedangkan varietas atlantis sebesar 0,93.
100
Gambar 24.
(a) (b) Perbandingan antar prediksi model dan observasi LAI tanaman kentang di Galudra [Granola] dan Kerinci [Granola, Atlantis] (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b).
Biomassa akar, Batang, Daun, dan Umbi Hasil pengujian dengan uji t berpasangan pada biomassa (akar, batang, daun, dan umbi) varietas Granola, menunjukkan prediksi model dan observasi tidak berbeda nyata (P > 0,05). Pengujian pada varietas Atlantis menunjukkan prediksi model dan observasi tidak berbeda nyata (P > 0,05) pada biomassa batang dan umbi, dan berbeda nyata (P < 0,05) pada biomassa akar dan daun. Uji grafik (uji 1 : 1) menunjukkan semua data hasil prediksi model dan observasi banyak menyebar pada garis 1 : 1. Nilai koefisien determinasi (R2) hubungan tersebut untuk biomassa akar, batang, daun, umbi cukup tinggi, yaitu berturutturut di Galudra sebesar : 0,90; 0,89; 0,87; dan 0,86, di Kerinci varietas Granola 0,86; 0,92; 0,97; dan 0,90 dan varietas Atlantis 0,94; 0,92; 0,91; dan 0,95. Validasi menunjukkan model dapat memprediksi LAI, biomassa akar, batang, daun, dan umbi pada kedua varietas sesuai pengukuran lapang di Galudra dan
101
Kerinci. Validasi secara grafik biomassa akar, batang, daun, dan umbi antara prediksi model dengan observasi di Galudra (Granola), Kerinci (Granola dan Atlantis) ditunjukkan pada Gambar 25, 26, dan 27.
(a) Gambar 25.
(b)
Perbandingan antara keluaran model dan observasi biomassa akar, batang, daun, dan umbi tanaman kentang di Galudra varietas Granola (a), Perbandingan plot 1 : 1 (b).
102
(a)
(b)
Gambar 26. Perbandingan antara prediksi model dan observasi biomassa akar, batang, daun, dan umbi di Kerinci varietas Granola (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b).
103
(a)
(b)
Gambar 27. Perbandingan antara prediksi model dan observasi biomassa akar, batang, daun, dan umbi di Kerinci varietas Atlantis (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b). 6.5.2.3. Submodel Neraca Air Pengujian prediksi model pada peubah kadar air tanah dengan uji t berpasangan di Galudra dan Kerinci menunjukkan prediksi model tidak berbeda nyata dengan observasi (Tabel 12). Demikian pula pada uji grafik, sebaran data
104
hasil prediksi model dan observasi banyak menyebar pada garis 1 : 1, dengan nilai R2 yang tinggi yaitu 0,88 (Galudra) dan 0,85 (Kerinci). Validasi secara grafik kadar air tanah prediksi model dengan observasi di Galudra dan Kerinci ditunjukkan pada Gambar 28.
(a)
(b)
Gambar 28. Perbandingan antara prediksi model dan observasi kadar air tanah di Galudra dan Kerinci (a), dan perbandingan plot 1 : 1 (b). Seperti pada submodel perkembangan dan pertumbuhan tanaman, model juga mampu memprediksi fluktuasi kadar air tanah harian selama pertumbuhan tanaman kentang sesuai pengukuran lapang di Galudra dan Kerinci. 6.6. Kesimpulan 1.
Hasil pengujian dengan uji t berpasangan antara prediksi model dan observasi di Galudra dan Kerinci untuk varietas Granola menunjukkan perbedaan yang tidak nyata pada peubah umur tanaman, biomassa akar, batang, dan umbi, LAI serta kadar air tanah. Pengujian pada varietas Atlantis menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P > 0,05) hanya pada biomassa akar dan umbi serta kadar air tanah. Namun demikian, berdasarkan uji grafik hubungan antara prediksi model dengan pengukuran lapang menghasilkan koefisien determinasi (R2) yang lebih besar dari 0,80 untuk semua peubah yang diuji.
105
2.
Berdasarkan validasi tersebut, model simulasi tanaman kentang dapat mensimulasi proses dari setiap periode fase perkembangan tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, serta LAI dan kadar air tanah sesuai dengan pengukuran lapang. Model simulasi yang disusun dapat diaplikasikan untuk memprediksi potensi produksi dan antisipasi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia.
3.
Model yang disusun tetap mempunyai keterbatasan antara lain tidak mensimulasi limpasan permukaan yang umumnya cukup tinggi pada pertanaman kentang. Model yang disusun juga berasumsi unsur hara tanah dalam keadaan cukup dan bukan merupakan faktor pembatas. Hama penyakit tanaman juga dianggap tidak berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman kentang yang dimodelkan. Walaupun dengan keterbatasan yang ada, model simulasi yang disusun dapat diaplikasikan untuk membantu perencanaan seperti antisipasi dampak perubahan iklim akibat kenaikan suhu udara atau perubahan curah hujan terhadap produksi kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia.
VII.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM TERHADAP PRODUKTIVITAS KENTANG PADA SENTRA-SENTRA PRODUKSI DI INDONESIA5 1
ABSTRAK Prediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentrasentra produksi kentang di Indonesia (Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang) dilakukan menggunakan model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dan divalidasi. Prediksi dilakukan menggunakan skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan proyeksi perubahan iklim di Indonesia pada masa yang akan datang (SRESA1). Skenario yang digunakan yaitu : 1) skenario I (tahun 2020): suhu udara naik 1 °C dan curah hujan turun 5%, 2) skenario II (tahun 2050) : suhu naik 1,8 °C, curah hujan turun 10% dan, 3) skenario III (tahun 2080): suhu naik 2,3 °C, curah hujan turun 15%. Hasil simulasi menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan tanaman kentang pada enam sentra produksi kentang semakin pendek, sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. Umur tanaman yang lebih singkat dan penurunan curah hujan sebesar 5%, 10%, dan 15% dapat menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Prediksi penurunan hasil pada keenam sentra produksi kentang ini untuk skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan hasil terbesar pada ketiga skenario perubahan iklim. Simulasi pengaruh waktu tanam terhadap umur dan hasil kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia menunjukkan produktivitas maksimum dapat dicapai pada waktu tanam yang berbeda-beda. Prediksi model simulasi kentang varietas Atlantis vs Granola menunjukkan produktivitas yang diperoleh varietas Atlantis sebesar 25 ton ha-1 (RUE = 1,79 g MJ-1), sedangkan Granola sebesar 16 ton ha-1 (RUE = 1,12 g MJ-1). Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model untuk peningkatan hasil tanaman kentang pada sentra-sentra produksi dapat dilakukan melalui : penentuan waktu tanam yang tepat, memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi, dan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi. Kata kunci: Kentang, perubahan iklim, suhu, curah hujan ABSTRACT Prediction of climate change impact on potato productivity from saveral production centers in Indonesia (Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang) was performed using a crop simulation model that had already been developed and validated. Prediction was done using scenarios of increasing temperature and decreasing rainfall based on climate change projection in Indonesia for the future (SRES A1). The scenario was: 1) scenario I (year of 2020): air temperature rises by 1 ° C and rainfall reduces by 5
Paper telah dikirim pada Jurnal Tanah Tropika (JTT) Universitas Lampung. Judul : Prediksi Dampak perubahan Iklim terhadap Produktivitas Kentang pada Sentra-sentra Produksi di Indonesia. 2012. Salwati, Handoko, Las I, Hidayati R.
107
108
5%, 2) scenario II (year 2050): air temperature rises by 1,8 °C and rainfall decreases by 10% and, 3) scenario III (2080): the temperature rises by 2,3 °C and rainfall reduces by 15%. The results showed that increase in air temperature by 1,0 °C, 1,8 °C, and 2,3 °C compared to current weather conditions, resulted a shorter duration of each developmental phase in six potato production centers. The shorter duration and decreased rainfall by 5%, 10%, and 15% can reduce potato growth and yield. Predicted potato yields in the six potato production centers for scenarios I, II and III were in the range of 13% – 31%, 25% – 47% and 37% – 63%, respectively. Potato production center in Pangalengan was predicted to experience the biggest decline in yield for all scenarios. Simulation of the effect of planting time to crop age and yield in the Indonesia’s potato production centers showed the highest potato yield was achieved at different planting times. Predicted yield of Atlantic variety was 25 ton ha-1 (RUE = 1,79 g MJ-1) whereas Granola variety only 16 ton ha-1 (RUE = 1,12 g MJ-1). Climate change adaptation options based on model application to increase potato yield in all production centers are: optimal planting time, use of superior potato varieties that have higher value of RUE, and select application of suitable potato varieties that are more tolerant to high temperatures. Key words: Potato, climate change, scenarios, productivity 7.1. Pendahuluan Pemanasan global yang disebabkan oleh peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), terutama sejak revolusi industri telah menyebabkan perubahan iklim. Pemanasan global berdampak pada perilaku iklim seperti perubahan curah hujan dan jumlah radiasi surya yang diterima oleh tanaman serta peningkatan suhu udara akan berdampak besar terhadap pertanian, seperti perubahan tindakan agronomis, pola tanam, lama musim pertumbuhan dan hasil (Holden dan Breneton 2006). Gregory et al. (2008) memperkirakan akan terjadi peningkatan suhu udara rata-rata berkisar antara 1,0 – 1,4 oC, selama 30 – 40 tahun. Pemanasan global dalam kurun waktu 50 tahun dapat menyebabkan kenaikan suhu udara sebesar 2 °C (Singh dan Lal 2010). Perubahan iklim diindikasikan oleh adanya variabilitas iklim khususnya peningkatan suhu udara dan perubahan pola curah hujan yang terjadi secara terus menerus dalam jangka waktu yang panjang antara 50 sampai 100 tahun (Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Perubahan iklim sangat berpengaruh terhadap sektor pertanian, yang dapat mengakibatkan penurunan produktivitas tanaman (Holden dan Breneton 2006; Prihantoro 2008).
109
Perubahan suhu udara dan curah hujan, yang erat kaitannya dengan proses fisiologi tanaman seperti fotosintesis, laju pertumbuhan tanaman, serta keseimbangan kandungan air dan nutrisi hara (Meza et al. 2008). Hal ini sejalan dengan pendapat Las et al. (2008) yang menyatakan bahwa tiga faktor utama terkait dengan perubahan iklim global yang akan berdampak terhadap sektor pertanian adalah: (1) perubahan pola hujan dan iklim ekstrim (banjir dan kekeringan), (2) peningkatan suhu udara, dan (3) peningkatan muka air laut. Salah satu dampak perubahan iklim adalah awal musim hujan yang mundur dan periode musim kemarau yang makin panjang. Perubahan pola hujan sudah terjadi pada beberapa wilayah di Indonesia sejak beberapa dekade terakhir, seperti awal musim hujan yang mundur pada beberapa lokasi tetapi lebih cepat pada lokasi lain (Apriyana 2011). Pergeseran pola hujan sangat mempengaruhi sumberdaya dan infrastruktur pertanian, pergeseran waktu taman, musim dan pola tanam, serta degradasi lahan. Model simulasi tanaman yang dihubungkan dengan faktor iklim telah diaplikasikan pada berbagai aspek di penjuru dunia termasuk untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian. Teknologi model simulasi tersebut semakin berkembang dengan pesat selama satu dasawarsa ini (Ying dan Stuik 2010). Model simulasi tanaman merupakan alat analisis kuantitatif dalam upaya untuk menjelaskan permasalahan secara integral dalam bidang pertanian. Poluektov dan Topaj (2001) menyatakan bahwa teknologi pemodelan yang mensimulasikan perkembangan dan pertumbuhan untuk prediksi hasil tanaman dalam hubungannya dengan iklim dapat dimanfaatkan dan dikembangkan lebih lanjut. Perkembangan model simulasi tanaman semakin disadari pentingnya untuk berbagai tujuan, analisis sistem untuk pendekatan suatu masalah secara integral dan terutama sekali untuk antisipasi dampak perubahan iklim. Penelitian terpadu yang melibatkan berbagai disiplin ilmu tanah, agronomi, serta agrometeorologi akan mendukung perkembangan model menjadi lebih efisien dan lebih jelas arah dan sasarannya. Menurut Bey et al. (1991) melalui pendekatan model simulasi tanaman, akan dapat dianalisis dan dipadukan berbagai faktor atau skenario untuk
110
menghasilkan suatu kesimpulan akhir dengan berbagai kemungkinan dalam membuat suatu keputusan. Model simulasi tanaman telah digunakan sebagai alat bantu untuk melakukan prediksi dampak perubahan iklim terhadap sektor pertanian sehingga opsi-opsi adaptasi dapat ditentukan. Model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dalam penelitian ini digunakan untuk memprediksi dampak dari perubahan iklim tersebut terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia. Hasil simulasi dampak perubahan iklim terhadap produksi tanaman ini diharapkan dapat digunakan sebagai dasar perencanaan di wilayah pengembangan baik skala nasional, regional bahkan lebih luas (Travasso dan Delecolle 1995; Supit 1997) untuk melakukan adaptasi perubahan iklim. Tanaman kentang merupakan salah satu tanaman yang diperkirakan akan sangat terpengaruh oleh perubahan iklim. 7.2. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia untuk membantu pemilihan opsi-opsi adaptasi dampak perubahan iklim. 7.3. Metodologi 7.3.1. Metode Prediksi Dampak Perubahan Iklim terhadap Produktivitas Kentang di Indonesia Metode yang digunakan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang di Indonesia yaitu berdasarkan simulasi menggunakan model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dan divalidasi dalam penelitian ini (Bab VI). Model terdiri dari tiga submodel yaitu (1) perkembangan tanaman, (2) pertumbuhan tanaman, dan (3) neraca air lahan, dengan memasukkan parameter tanah dan tanaman serta unsur-unsur cuaca harian yang terdiri dari suhu dan kelembaban udara, radiasi surya, curah hujan dan kecepatan angin. Hasil simulasi akan menunjukkan perbedaan produktivitas kentang pada enam sentra produksi di Indonesia kondisi cuaca saat ini dengan masa mendatang
111
berdasarkan skenario perubahan iklim. Sentra-sentra produksi tersebut adalah : Minahasa (Sulawesi Utara), Alahan Panjang (Sumatera Barat), Pangalengan (Jawa Barat), Pasuruan (Jawa timur), Wonosobo (Jawa Tengah), dan Deli Serdang (Sumatera Utara). Iklim pada masing-masing sentra produksi ini diasumsikan berubah sesuai skenario emisi SRES A1 (IPCC 2007). Dalam hal ini, diasumsikan bahwa unsur-unsur iklim yang berubah hanya suhu udara dan curah hujan sedangkan unsur-unsur iklim lainnya sebagai masukan model (radiasi surya, kelembaban udara dan kecepatan angin) tetap. Asumsi ini merupakan salah satu keterbatasan prediksi dampak perubahan iklim, akibat keterbatasan tingkat pengetahuan dalam memprediksi perubahan unsur-unsur iklim masa depan secara lebih rinci sesuai kebutuhan model. Pada kondisi cuaca saat ini (present condition), model dijalankan menggunakan data yang diperoleh dari stasiun-stasiun klimatologi pada masingmasing sentra produksi. Perubahan iklim berdasarkan skenario SRES/Special Report on Emissions Scenarios (SRES A1) digunakan untuk menduga kenaikan suhu udara dan perubahan curah hujan pada tahun 2020, 2050 dan 2080 pada sentra-sentra
produksi
kentang
tersebut.
Model
kemudian
dijalankan
menggunakan unsur-unsur iklim yang telah berubah tersebut sebagai masukan model dan hasilnya dibandingkan dengan keluaran model pada kondisi cuaca saat ini. Perbedaan produksi tersebut merupakan prediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang di Indonesia. 7.3.2. Skenario Perubahan Iklim di Indonesia Seperti disebut sebelumnya, skenario perubahan iklim pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia dibuat berdasarkan proyeksi suhu udara dan curah hujan untuk wilayah Indonesia berdasarkan skenario emisi SRESA1 untuk tahun 2020, 2050, dan 2080. Hasil proyeksi di Indonesia menunjukkan peningkatan suhu udara untuk tahun 2020, 2050, dan 2080 berturut-turut sebesar 1°C, 1,8 °C, dan 2,3 °C, sedangkan proyeksi curah hujan untuk tahun 2020, 2050, dan 2080 diperkirakan akan mengalami penurunan sampai 15% pada daerah Indonesia bagian Selatan dan pengalami peningkatan pada Indonesia bagian Utara (Hulme dan Sheard 1999). Kaimuddin (2000) menyatakan bahwa selain meningkatkan
112
suhu udara, perubahan iklim di Indonesia dalam periode 1931 – 1990 juga menyebabkan penurunan curah hujan. Pada kajian yang lain, Boer et al. (2007) dalam Ministry of Environment (2007) menyatakan bahwa dari 33 Stasiun Klimatologi di Indonesia mengindikasikan kenaikan suhu udara dalam periode tahun 1981 – 2002. Dengan demikian, kajian ini mengasumsikan peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berlaku untuk seluruh wilayah di Indonesia. Kajian ini menentukan peningkatan suhu udara sebesar : 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C, dan penurunan curah hujan sebesar : 5%, 10%, 15% masing-masing pada tahun 2020, 2050, dan 2080. Berdasarkan proyeksi perubahan iklim di Indonesia tersebut, maka skenario dibuat dengan mengkombinasikan peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan. Skenario tersebut adalah: skenario I : suhu udara naik 1,0 °C dan curah hujan turun 5% (tahun 2020), skenario II : suhu udara naik 1,8 °C dan curah hujan turun 10% (tahun 2050), dan skenario III : suhu udara naik 2,3 °C dan curah hujan turun 15% (tahun 2080). 7.3.3. Analisis Dampak Perubahan Iklim terhadap Produksi Kentang di Indonesia Analisis dilakukan dengan cara membandingkan hasil prediksi model berdasarkan skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan dengan hasil keluaran model menggunakan peubah cuaca pada kondisi saat ini. Analisis dampak peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produktivitas kentang atau peubah yang lain seperti umur tanaman pada masa yang akan datang dapat dilakukan secara kuantitatif menggunakan model tersebut. Analisis dampak perubahan iklim yang akan dilakukan terdiri dari : 1.
Pengaruh peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produktivitas (hasil umbi) tanaman kentang varietas Granola.
2.
Pengaruh waktu tanam terhadap produktivitas dan umur tanaman kentang varietas Granola.
3.
Pengaruh varietas tanaman kentang (Granola vs Atlantis). Analisis dilakukan dengan menjalankan model yang sudah disusun dan
divalidasi. Analisis yang dilakukan tersebut akan digunakan untuk menentukan
113
pilihan opsi adaptasi terhadap perubahan iklim pada sentra-sentra produksi kentang di Indonesia. 7.4. Hasil dan Pembahasan 7.4.1. Dampak Peningkatan Suhu Udara dan Penurunan Curah Hujan terhadap Hasil Umbi Kentang Varietas Granola Dampak Peningkatan Suhu Udara Prediksi umur tanaman kentang pada masing-masing fase perkembangan tanaman varietas Granola di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang pada kondisi cuaca saat ini (7 Agustus) dibandingkan dengan Skenario I, Skenario II, dan Skenario III ditujukkan pada Gambar 29.
Gambar 29.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Prediksi umur tanaman kentang (hari) pada kondisi cuaca saat ini dibandingkan skenario I, skenario II, dan skenario III, di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d). Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f).
114
Gambar 29 menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C pada Skenario I, II, dan III dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan jumlah hari pada masing-masing fase perkembangan tanaman kentang di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang semakin pendek, sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. Umur tanaman kentang yang lebih singkat karena suhu udara yang tinggi menyebabkan biomassa yang diakumulasi selama masa pertumbuhan menjadi berkurang. Pengurangan biomassa tanaman dan umbi selanjutnya akan menurunkan produktivitas tanaman kentang. Tabel 13 menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C pada Skenario I, II, dan III dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan penurunan produktivitas kentang. Tabel 13. Penurunan produktivitas kentang (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara pada enam sentra produksi kentang di Indonesia Suhu udara naik 1 °C
Suhu udara naik 1,8 °C
Suhu udara naik 2,3 °C
Produktivitas saat ini (ton ha-1)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Minahasa
15,1
12,5
17
10,7
29
8,6
43
A. Panjang
19,9
15,7
21
13,1
34
10,4
48
Pangalengan
15,1
10,8
28
8,8
41
6,4
57
Wonosobo
14,2
11,8
17
10,7
24
9,7
32
Pasuran
15.3
12,2
20
10,4
32
8,5
44
Deli Serdang
16,1
14,9
8
13,5
16
11,4
29
Daerah
Hasil prediksi model menunjukkan peningkatan suhu udara 1,0 °C (tahun 2020), 1,8 °C (tahun 2050), dan 2,3 °C (tahun 2080) mengakibatkan penurunan produktivitas kentang pada keenam sentra produksi kentang masing-masing 8% – 28%, 16% – 41%, dan 29% – 57%. Pangalengan diprediksi mengalami penurunan produktivitas terbesar dibanding sentra produksi kentang yang lain, yaitu sebesar 28%, 41%, dan 57% pada skenario I, II, dan III. Sementara itu, Deli Serdang diprediksi mengalami penurunan produktivitas terkecil, yaitu sebesar 8%, 16%, dan 29% pada skenario I, II, dan III dibanding sentra produksi kentang yang lainnya.
115
Dampak Penurunan Curah Hujan Dalam model ini, pertumbuhan tanaman sangat dibatasi oleh jumlah air yang tersedia dalam tanah antara kapasitas lapang dan titik layu permanen. Peningkatan kandungan air tanah akan meningkatkan laju transpirasi yang merupakan indikator ketersediaan air untuk pertumbuhan tanaman. Kondisi ketersediaan air tersebut sangat ditentukan oleh jumlah curah hujan, sehingga penurunan curah hujan dapat mengurangi pertumbuhan dan hasil tanaman. Tabel 14 menunjukkan penurunan curah hujan sebesar 5%, 10%, dan 15% pada Skenario I, II, dan III dibanding kondisi cuaca saat ini mengakibatkan penurunan produktivitas kentang. Tabel 14. Penurunan produktivitas kentang (ton ha-1) akibat penurunan curah hujan pada enam sentra produksi kentang di Indonesia Curah hujan turun 5%
Curah hujan turun 10%
Curah hujan turun 15%
Produktivitas saat ini (ton ha-1)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Minahasa
15,1
14,2
6
13,3
12
12,5
17
A. Panjang
19,9
19,9
0
19,9
0
19,9
0
Pangalengan
15,1
14,6
2
14,6
4
13,9
8
Wonosobo
14,2
12,9
9
12,4
12
11,8
16
Pasuruan
15.3
13,5
12
11,9
22
10,6
31
Deli Serdang
16,1
15,7
3
15,0
7
14,4
11
Daerah
Tabel 14 menunjukkan penurunan produktivitas kentang pada lima sentra produksi kentang masing-masing 2% – 12%, 4% – 27%, dan 8% – 31% akibat penurunan curah hujan sebesar 5% (skenario I), 10% (skenario II), dan 15% (skenario III). Persentase penurunan produktivitas terbesar terjadi di Pasuruan dan terkecil di Pangalengan. Penurunan curah hujan pada ketiga skenario di Alahan panjang tidak menyebabkan penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan karena air tidak menjadi faktor pembatas, sehingga penurunan curah hujan tidak menyebabkan pengurangan biomassa selama masa pertumbuhan tanaman kentang.
116
Dampak Interaksi Peningkatan Suhu Udara dan Penurunan Curah Hujan Pada semua sentra produksi, biomassa umbi turun dengan kenaikan suhu udara dan penurunan curah hujan. Pengurangan biomassa umbi selama masa pertumbuhan pada kondisi cuaca saat ini (7 Agustus) dibandingkan dengan skenario I, II, III pada keenam sentra produksi ditunjukkan pada Gambar 30.
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 30. Biomassa umbi (berat basah) pada kondisi cuaca saat ini dibanding skenario I, II, dan III di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f). Pengurangan biomassa umbi semakin besar pada peningkatan suhu udara yang makin tinggi atau penurunan curah hujan yang makin besar sesuai Skenario I, II dan III. Dari keenam sentra produksi tersebut, pengurangan terbesar terjadi di Pangalengan dan terkecil di Deli Serdang (Tabel 15). Laju pertumbuhan biomassa umbi kentang selama masa pertumbuhan tanaman yang berkurang akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada keenam sentra produksi ini menyebabkan penurunan hasil umbi kentang pada saat panen.
117
Tabel 15. Penurunan produktivitas kentang (ton ha-1) akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada sentra produksi kentang di Indonesia Produktivitas saat ini (ton ha-1)
Skenario I (tahun 2020)
Skenario II (tahun 2050)
Skenario III (tahun 2080)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Produktivitas (ton ha-1)
Penurunan Produktivitas (%)
Minahasa
15,1
11,6
23
9,8
35
7,7
49
A. Panjang
19,9
15,7
21
13,1
34
10,4
48
Pangalengan
15,1
10,8
28
8,2
47
5,5
63
Wonosobo
14,2
12,1
15
10,1
29
8,5
40
Pasuran
15.3
10,6
31
8,1
47
5,9
61
Deli Serdang
16,1
13,9
13
12,2
25
10,2
37
Daerah
Tabel 15 menunjukkan produktivitas dan persentase penurunannya pada keenam sentra produksi akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada ketiga skenario atau Tahun 2020, 2050 dan 2080. Hasil prediksi model menunjukkan bahwa peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan secara bersama-sama
mengakibatkan
perubahan
periode
masing-masing
fase
perkembangan tanaman, penurunan kadar air tanah, yang akhirnya mengakibatkan pengurangan pertumbuhan dan hasil tanaman kentang. Pengurangan pertumbuhan tanaman kentang akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan ini sejalan dengan pendapat Easterling et al. (2007) yang menyatakan, bahwa produksi tanaman akan turun 5% – 8% karena dampak perubahan iklim akibat peningkatan suhu udara dan perubahan pola curah hujan. Pada penelitian ini (Tabel 15) prediksi penurunan produktivitas untuk Skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada ketiga skenario perubahan iklim. Penurunan hasil pertanian dapat mencapai lebih dari 40% apabila suhu naik melebihi 4 oC (Tschirley 2007). Menggunakan model simulasi tanaman, John Sheehy (IRRI 2007) menyatakan kenaikan hasil tanaman padi akibat kenaikan konsentrasi CO 2 75 ppm adalah 0,5 ton ha-1 dan penurunan hasil akibat kenaikan suhu 1°C mencapai 0,6 ton ha-1. Menurut Peng et al. (2004) setiap kenaikan suhu minimum sebesar 1 °C dapat menurunkan hasil tanaman padi sebesar 10%. Pada penelitian ini (Tabel 13) peningkatan suhu rata-rata 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C dapat menurunkan hasil panen kentang di Pangalengan masing-
118
masing 28%, 41% dan 57% dengan asumsi curah hujan tetap. Penurunan curah hujan sebesar 5%, 10%, dan 15% dapat menurunkan hasil panen kentang di Pasuruan masing-masing 12%, 22%, dan 31% (Tabel 14). Jika suhu udara dan curah hujan berubah sesuai Skenario I, II dan III maka produktivitas kentang tersebut di Pangalengan turun menjadi 28%, 47%, dan 63% (Tabel 15) dan di Pasuruan 31%, 47%, dan 61% (tabel 15). 7.4.2. Pengaruh Waktu Tanam terhadap Hasil dan Umur Tanaman Kentang Analisis dampak perubahan iklim juga dilakukan dengan mensimulasikan waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang. Analisis dilakukan dengan simulasi waktu tanam tiap 10 hari (dasarian) mulai 1 Januari sampai 31 Desember di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang. Prediksi pengaruh waktu tanam terhadap umur tanaman dan produktivitas dianalisis pada keenam sentra produksi kentang tersebut (Gambar 31). Secara umum umur tanaman kentang yang panjang akan menghasilkan produktivitas tinggi dibandingkan umur tanaman yang pendek. Prediksi waktu tanam kentang (varietas Granola) saat ini di Minahasa (Gambar 31a) menunjukkan produktivitas maksimum 18 ton ha-1 dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I. Untuk mencapai produktivitas di atas 15 ton ha-1 penanaman kentang saat ini dapat dilakukan mulai dari Februari III sampai Juni III. Produktivitas di bawah 12 ton ha-1 didapatkan apabila kentang ditanam pada Juli III/III, sehingga pada waktu tanam ini tidak dianjurkan untuk menanam kentang. Sementara itu, produktivitas maksimum (21 ton ha-1 ) di Alahan Panjang (Gambar 31b) dapat dicapai pada waktu tanam September II sampai Desember III, sedangkan waktu tanam yang lain menghasilkan produktivitas di atas 15 ton ha-1. Prediksi waktu tanam di Pangalengan (Gambar 31c) menunjukkan produktivitas di atas 16 ton ha-1 diperoleh apabila kentang ditanam pada Januari I sampai Mei I dan Agustus II sampai Desember III. Produktivitas tertinggi di atas 20 ton ha-1 dapat dicapai pada waktu tanam Maret III dan April I. Produktivitas di atas 14 ton ha-1 di Wonosobo diperoleh pada waktu tanam Januari I sampai Maret II dan Oktober I sampai Desember III. Produktivitas tertinggi 16 ton ha-1 dapat
119
dicapai apabila kentang ditanam pada Oktober I sampai November II (Gambar 31d).
(a)
(b)
(c)
(d)
(e)
(f)
Gambar 31. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang pada kondisi cuaca saat ini di Minahasa (a), Alahan Panjang (b), Pangalengan (c), Wonosobo (d), Pasuruan (e), dan Deli Serdang (f). [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang]. Produktivitas di atas 14 ton ha-1 di Pasuruan dapat dicapai pada waktu tanam Januari I sampai Mei I dan September I sampai Desember III. Produktivitas terendah yaitu sekitar 9 ton ha-1 akan didapatkan apabila penanaman dilakukan pada Juli I sampai Agustus III, sehingga pada waktu tanam ini tidak dianjurkan untuk melalukan penanaman kentang di Pasuruan (Gambar 31e). Produktivitas di atas 15 ton ha-1 di Deli Serdang diperoleh pada waktu tanam
120
Januari I sampai Maret II dan Oktober I sampai Oktober III. Produktivitas terendah sampai 6 ton ha-1 didapatkan apabila penanaman dilakukan pada April I sampai Agustus III, sehinga tidak dianjurkan untuk menanam kentang pada waktu tanam ini di Deli Serdang (Gambar 31f). Dengan menjalankan model berdasarkan waktu tanam tiap dasarian dari Januari hingga Desember selama 1 tahun, diperoleh produktivitas tiap waktu tanam tersebut yang bervariasi dan waktu tanam optimal didefinisikan sebagai waktu tanam yang menghasilkan produktivitas tertinggi. Skenario peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan (Skenario I, II dan III) pada simulasi pengaruh waktu tanam juga dilakukan pada sentra produksi kentang. Pengaruh waktu tanam di Minahasa (Gambar 32), Alahan Panjang (Gambar 33), dan Deli Serdang (Gambar 34) menunjukkan peningkatan suhu udara yang makin tinggi sesuai Skenario I, II dan III dibanding kondisi cuaca saat ini menyebabkan umur tanaman semakin pendek dan produktivitas kentang semakin rendah. Penurunan curah hujan akan memperbesar penurunan produktivitas khususnya pada masa pertumbuhan tanaman yang terjadi selama musim kemarau.
(a)
(b)
(c)
(d)
Gambar 32. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Minahasa, kondisi saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis: umur tanaman, batang: produktivitas kentang].
121
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 33. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Alahan Panjang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang].
(a)
(b)
(c) (d) Gambar 34. Pengaruh waktu tanam terhadap umur dan produktivitas kentang di Deli Serdang, kondisi cuaca saat ini (a), skenario I (b), skenario II (c), dan skenario III (d) [garis : umur tanaman, batang : produktivitas kentang].
122
Tabel 16 menunjukkan persentase produktivitas di waktu tanam optimal pada enam sentra produksi dan penurunan produktivitas akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan skenario I (tahun 2020) skenario II (tahun 2050) dan skenario III (tahun 2080). Tabel 16. Penurunan produktivitas kentang pada waktu tanam optimal di enam sentra produksi kentang akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan pada Tahun 2020, 2050 dan 2080 Daerah
Waktu tanam optimal
Produktivi tas saat ini (ton ha-1)
Skenario I (tahun 2020) Produk tivitas (ton ha-1) 14
Produktivitas (ton.ha-1) Skenario II (tahun 2050)
Penurunan Produktivi tas (%)
22
Produk tivitas (ton ha-1) 13
Penurunan Produktivi tas (%)
28
Skenario III (tahun 2080) Produk tivitas (ton ha-1) 10
Penurunan Produktivi tas (%)
Minahasa
Juni I
18
A. Panjang
Desember II
21
16
24
13
38
11
48
Pangalengan
Maret III
21
15
29
12
43
9
57
Wonosobo
Oktober III
16
13
19
11
31
10
38
Pasuruan
September I
18
16
11
14
22
13
28
D. Serdang
Februari III
17
14
18
13
24
11
35
Tabel 16 menunjukkan bahwa dengan pengaturan waktu tanam pada kondisi cuaca saat ini dapat meningkatkan produktivitas di keenam sentra produksi dibanding tanpa pengaturan waktu tanam (Tabel 13, 14, dan 15). Minahasa, Pasuruan dan Pangalengan menunjukkan peningkatan produktivitas yang signifikan dibanding lokasi lain. Waktu tanam optimal pada kondisi peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berdasarkan Skenario I, II dan III (Tabel 16) akan menyebabkan penurunan produktivitas kentang pada keenam sentra produksi masing-masing 11% – 29%, 22% – 43%, dan 28% – 57%. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada waktu tanam optimal tersebut pada Skenario II dan III sebesar 43%, dan 57%. Dari berbagai komoditas pertanian, tanaman hortikultura termasuk tanaman kentang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model terhadap tanaman kentang dapat dilakukan dengan penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup dan meminimalkan kehilangan air.
44
123
7.4.3. Pengaruh Varietas Tanaman Kentang (Granola vs. Atlantis) terhadap Hasil dan Umur Tanaman Kentang Pengaruh perbedaan varietas terhadap hasil tanaman kentang diprediksi menggunakan model simulasi untuk umur tanaman pada masing-masing periode fase perkembangan serta hasil umbi tanaman. Prediksi umur tanaman pada masing-masing periode fase perkembangan tanaman kentang varietas Granola dan Atlantis waktu tanam tanggal 14 Maret ditunjukkan pada Gambar 35, sedangkan perbedaan hasil umbi tanaman kedua varietas ditunjukkan pada Gambar 36.
Gambar 35. Prediksi umur tanaman pada masing-masing fase perkembangan tanaman (hari) varietas Granola dan Atlantis waktu tanam tanggal 14 Maret. Gambar 35 menunjukkan varietas Atlatis memerlukan jumlah hari yang lebih lama untuk menyelesaikan masing-masing fase perkembangan tanaman dibanding Granola, sehingga umur kentang varietas Atlantis (116 hari) lebih panjang dari Granola (110 hari). Umur tanaman yang lebih panjang menyebabkan biomassa umbi varietas Atlantis lebih tinggi dari Granola (Gambar 36).
Gambar 36.
Prediksi biomassa umbi kentang varietas Granola dan varietas Altantis waktu tanam tanggal 14 Maret.
124
Gambar 36 menunjukkan produktivitas Atlantis sebesar 25 ton ha-1, sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1. Dalam hal ini, varietas Atlantis memiliki RUE sebesar 1,79 g MJ-1 sedangkan Granola memiliki RUE sebesar 1,12 g MJ-1, sehingga biomassa yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola.
Nilai RUE tinggi diperlukan oleh tanaman kentang untuk
mengubah radiasi yang diintersepsi sehingga dihasilkan biomassa yang tinggi (Wolf 2002; Richter et al. 2001). Shah et al. (2004) sebelumnya juga menyatakan bahwa parameter yang dapat digunakan untuk melihat produksi suatu tanaman adalah RUE. Parameter penting dalam perhitungan biomassa menggunakan konsep RUE berbeda-beda antar tanaman maupun varietasnya, sehingga salah satu opsi adaptasi yang dapat dilakukan berdasarkan hasil simulasi model ini adalah memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi. Di samping itu, skenario peningkatan suhu udara menyebabkan umur tanaman semakin pendek menyakibatkan produktivitas kentang rendah, sehingga opsi adaptasi lainnya dapat dilakukan dengan memilih varietas kentang yang lebih tolerant terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang. Opsi lain adalah menanam kentang pada dataran yang lebih tinggi, namun opsi ini akan menghadapi kendala keterbatasan lahan termasuk problem lingkungan yang akan diakibatkannya. 7.5. Kesimpulan 1. Peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C, 1,8 °C, dan 2,3 °C pada Tahun 2020, 2050 dan 2080 dibanding kondisi cuaca saat ini di Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang yang mewakili sentra-sentra produksi kentang di Indonesia mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan tanaman kentang semakin pendek, sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. 2.
Umur tanaman yang pendek berdampak pada pengurangan biomassa tanaman yang selanjutnya akan menurunkan hasil (produktivitas) tanaman kentang, masing-masing sebesar 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 61% untuk Skenario I, II dan III.
125
3.
Penurunan curah hujan sebesar 5% (skenario I), 10% (skenario II), dan 15% (skenario III) mengakibatkan penurunan produktivitas kentang pada lima sentra produksi kentang masing-masing 2% – 12%, 4% – 27%, dan 8% – 31%. Alahan Panjang diprediksi tidak mengalami penurunan produktivitas akibat penurunan curah hujan.
4.
Prediksi penurunan produktivitas pada keenam sentra produksi kentang untuk Skenario I (Tahun 2020), II (Tahun 2050) dan III (Tahun 2080) yang merupakan interaksi peningkatan suhu dan curah hujan berkisar masingmasing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi akan mengalami penurunan terbesar pada skenario I dan II yaitu 47%, dan 63%.
5.
Produktivitas maksimum saat ini di Minahasa 18 ton ha-1 (varietas Granola) dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I, di Alahan Panjang dicapai pada waktu tanam Desember II (21 ton ha-1), Pangalengan pada Maret III (21 ton ha-1), Wonosobo pada Oktober III (16 ton ha-1 ), Pasuruan pada September I (18 ton ha-1), dan Deli Serdang pada Februari III (17 ton ha-1).
6.
Penurunan produktivitas pada waktu tanam optimal karena peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan berkisar masing-masing 11% – 29%, 22% – 43%, dan 28% – 57% pada Skenario I, II, dan III. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan terbesar di waktu tanam optimal sebesar 43%, dan 57% pada skenario II dan III.
7.
Varietas Atlantis memiliki RUE sebesar 1,79 g MJ-1 sedangkan Granola sebesar 1,12 g MJ-1, sehingga biomassa yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola. Produktivitas Atlantis sebesar 25 ton ha-1, sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1.
8.
Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model untuk peningkatan produktivitas tanaman kentang di sentra-sentra produksi dapat dilakukan melalui : penentuan waktu tanam yang tepat, memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi, dan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang.
126
VIII. PEMBAHASAN UMUM Unsur-unsur iklim mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang di Indonesia khususnya radiasi surya, suhu udara, dan curah hujan. Radiasi surya menentukan laju pertumbuhan tanaman sebagai energi fotosintesis sedangkan suhu udara terutama mempengaruhi periode fase-fase perkembangan tanaman. Curah hujan mempengaruhi pertumbuhan tanaman melalui ketersediaan air tanah. Pendekatan yang umum digunakan dalam model simulasi tanaman untuk memprediksi pertumbuhan tanaman adalah efisiensi penggunaan radiasi surya (RUE, radiation-use efficiency). Pertumbuhan tanaman dihitung berdasarkan parameter RUE dan jumlah energi radiasi surya yang diintersepsi tanaman. Di samping itu, produksi biomassa akan dipengaruhi oleh faktor ketersediaan air tanaman yang dipenuhi oleh curah hujan. Ketersediaan air tanaman kentang yang ditentukan dari intersepsi hujan oleh tajuk tanaman, evaporasi dan transpirasi tanaman, dan perkolasi dihitung dalam submodel neraca air. Suhu udara mempengaruhi kecepatan perkembangan tanaman serta laju respirasi tanaman. Perubahan iklim yang diperkirakan akan meningkatkan suhu udara diduga akan menyebabkan penurunan produktivitas tanaman termasuk kentang yang akan sangat rentan terhadap peningkatan suhu udara. Fase-fase perkembangan tanaman yang mempengaruhi pertumbuhan tanaman kentang dihitung menggunakan konsep thermal unit berdasarkan suhu udara dalam submodel perkembangan. Parameter tanah, tanaman dan peubah cuaca yang didapatkan dari hasil penelitian lapang, studi pustaka, dan analisis laboratorium digunakan sebagai input untuk menyusun model simulasi pertumbuhan, perkembangan serta neraca air tanaman kentang. Data-data tersebut diambil sesuai dengan kondisi lahan dan iklim setempat, sehingga hasil dari simulasi dapat berbeda antar lokasi. Salah satu kelebihan simulasi adalah nilai fleksibilitas yang dapat digunakan di berbagai sentra produksi kentang di Indonesia berdasarkan peubah iklim setempat dan pengguna yang berkepentingan dapat menganalisis lebih lanjut. Penelitian lapang pada tiga lokasi di Pacet dan Galudra, Provinsi Jawa Barat, serta di Kerinci, Provinsi Jambi dilakukan untuk menunjang penyusunan model, yaitu untuk parameterisasi dalam proses kalibrasi model (Pacet) dan validasi model (Galudra dan Kerinci). 127
128
Penelitian lapang dilakukan untuk mendapatkan nilai RUE dari varietas dan generasi tanaman kentang yang berbeda, mengukur kadar air tanah untuk perhitungan kehilangan air berupa evapotranspirasi dan limpasan permukaan, menetapkan fase-fase perkembangan tanaman serta menduga partisi biomassa pada organ tanaman yaitu akar, batang, daun dan umbi. Selanjutnya, data yang diperoleh dari penelitian pertama, kedua dan ketiga digunakan untuk parameterisasi dalam proses kalibrasi dan validasi model simulasi perkembangan, pertumbuhan dan neraca air tanaman kentang yang disusun. Model simulasi tanaman kentang yang sudah disusun dan sudah divalidasi selanjutnya digunakan untuk memprediksi potensi produksi dan antisipasi dampak perubahan iklim terhadap hasil umbi dan produktivsitas tanaman kentang pada berbagai sentra produksi di Indonesia. Pengukuran kadar air tanah untuk perhitungan kehilangan air berupa evapotranspirasi dan limpasan permukaan pada pertanaman kentang dilakukan pada
ketiga
percobaan,
namun
demikian
limpasan
permukaan
tidak
diperhitungkan dalam penyusunan model ini. Informasi mengenai dinamika air tanah dalam hubungannya dengan curah hujan dan kehilangan air melalui evapotranspirasi aktual (ETa) sangat diperlukan untuk menghitung kebutuhan air tanaman kentang. Informasi tersebut dapat diperoleh melalui analisis neraca air lahan, menggunakan informasi kadar air tanah dan curah hujan selama pertumbuhan tanaman kentang. Penemuan dalam percobaan menunjukkan bahwa pertumbuhan dan hasil tanaman kentang merupakan hasil dari interaksi antara ketersediaan air tanah dan kondisi awal tanaman yang diwakili oleh ukuran bibit pada saat penanaman serta radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman. Biomassa tanaman dengan ukuran yang lebih besar dan hasil umbi yang lebih tinggi akan dihasilkan jika kadar air tanah lebih tersedia dan ukuran bibit lebih besar. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa ketersediaan air tanaman yang dipenuhi oleh curah hujan dalam percobaan ini akan mempengaruhi produksi biomassa. Selanjutnya, produksi biomassa juga sangat dipengaruhi oleh radiasi surya dalam menentukan laju pertumbuhan tanaman sebagai energi fotosintesis.
129
Energi radiasi surya digunakan oleh tanaman kentang untuk melakukan proses fotosintesis dalam menghasilkan biomassa yang dialokasikan ke akar, batang, daun, dan umbi. Laju pertumbuhan organ daun, batang dan akar pada awalnya lambat selama fase tunas muncul di permukaan tanah (after emergence). Hal ini disebabkan penyerapan radiasi yang masih rendah selama tahap awal pertumbuhan karena LAI yang masih kecil. Nisbah antara penambahan biomassa dengan jumlah radiasi surya yang diintersepsi tajuk tanaman kentang merupakan nilai RUE dari tanaman kentang. Nilai RUE menunjukkan kemampuan tanaman untuk mengkonversi energi radiasi surya yang diterima tanaman menjadi biomassa. Semakin besar nilai RUE maka semakin efisien tanaman dalam menggunakan radiasi surya dan semakin besar biomassa yang terbentuk (Acreche 2009; Mondani et al. 2011). Nilai RUE dapat pula digunakan untuk mengevaluasi morfologi dan produksi tanaman pada kondisi iklim dan cuaca yang berbeda (Tesfaye et al. 2006). Tanaman kentang varietas Granola (G1) memiliki RUE yang lebih tinggi dibandingkan varietas yang sama generasi berikutnya (G2). Namun demikian, varietas Atlantis memiliki RUE lebih tinggi dibandingkan varietas Granola baik G2 maupun G1. Penggunaan model simulasi tanaman untuk memprediksi hasil suatu tanaman sebagai fungsi dari cuaca telah dipelajari secara intensif (Hoogenboom 2000). Kebutuhan akan model simulasi tanaman sebagai penyedia perkiraan yang akurat akan keuntungan dan resiko dari alternatif sistem pengelolaan tanaman dengan mengetahui hasil sebelum panen terus meningkat (Bannayan et al. 2003). Model simulasi tanaman kentang yang disusun secara garis besar terdiri dari tiga submodel, yaitu submodel perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air. Model ini merupakan model mekanistik yang dapat menjelaskan proses-proses yang berhubungan dengan pertumbuhan, perkembangan dan neraca air tanaman kentang sesuai dengan percobaan lapang berdasarkan masukan yang diberikan. Penyusunan
ketiga
submodel
telah
divalidasi,
dan
dapat
mensimulasi
perkembangan tanaman, LAI, biomassa, dan kadar air tanah tanaman kentang sesuai pengamatan dan pengukuran lapang. Kentang varietas Granola yang ditanam di daerah Galudra pada tanggal 21 Februari 2010 dengan suhu rata-rata sebesar 21,5 oC memerlukan umur selama 86
130
hari untuk mencapai panen tanggal 22 Mei 2010, sedangkan pada model memerlukan umur selama 88 hari. Kentang varietas Atlantis dan Granola yang ditanam di daerah Kerinci tanggal 22 Mei 2011 dengan suhu udara rata-rata sebesar 19,0 oC, memerlukan umur 115 hari (Atlantis) dan 101 hari (Granola). Sebagai perbandingan, model memprediksi 133 hari (Atlantis) dan 110 hari (Granola). Perbedaan yang nyata untuk varietas Atlantis (uji t menunjukkan perbedaan yang nyata) mungkin disebabkan penggunaan nilai suhu dasar 10 oC untuk semua fase perkembangan dan nilai yang sama untuk kedua varietas yang mungkin kurang tepat. Namun demikian, pengujian menggunakan plot 1:1 menunjukkan sebaran data berada sekitar plot 1:1 dengan nilai R2 > 0,80. Selama pertumbuhan, tanaman menggunakan sebagian biomassa masingmasing organ untuk respirasi pertumbuhan dan respirasi pemeliharaan yang merupakan fungsi berat organ dan suhu udara. Setelah fase vegetatif, seluruh biomassa hasil fotosintesis dialokasikan ke umbi dan ini mengakibatkan massa daun dan batang menurun sampai panen. Hasil pengujian LAI dengan uji t berpasangan antara prediksi model dan observasi menunjukkan hasil pengujian tidak berbeda nyata pada varietas Granola dan berbeda nyata pada Atlantis. Pengujian dengan uji t berpasangan biomassa akar, batang, daun, dan umbi pada varietas Granola antara prediksi model dan observasi tidak berbeda nyata (P > 0,05) kecuali biomassa daun (Galudra) berbeda nyata (P < 0,05). Pengujian biomassa batang dan umbi pada varietas Atlantis menunjukkan prediksi model dan observasi tidak berbeda nyata dan berbeda nyata pada biomassa akar dan daun. Pengujian menggunakan plot 1:1 peubah-peubah pertumbuhan tanaman (LAI, biomassa akar, batang, daun, dan umbi) varietas Granola dan Atlantis menunjukkan sebaran data berada sekitar garis 1:1. Hubungan antara prediksi model dengan observasi memiliki nilai R2 yang juga cukup tinggi (> 0,80). Pengujian ini menunjukkan bahwa meskipun berdasarkan uji t-berpasangan terdapat perbedaan yang nyata antara prediksi model dan pengukuran lapang untuk beberapa variabel yang diuji, namun secara umum model dapat memprediksi komponen pertumbuhan dan hasil tanaman pada kedua varietas.
131
Pengujian menggunakan uji t-berpasangan untuk kadar air tanah daerah Galudra dan Kerinci menunjukkan prediksi model tidak berbeda nyata dengan observasi pada kedua varietas. Di samping itu, sebaran data menyebar sekitar plot 1:1 dengan nilai R2 yang juga cukup tinggi (0,88 dan 0,85). Dengan demikian model dianggap mampu memprediksi fluktuasi kadar air tanah harian selama pertumbuhan tanaman kentang sesuai pengukuran lapang pada daerah Galudra dan Kerinci. Berdasarkan validasi model tersebut, model simulasi tanaman kentang yang disusun dapat mensimulasi proses dari setiap periode fase perkembangan tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, LAI dan kadar air tanah seperti pengukuran lapang. Namun demikian, model mempunyai keterbatasan karena model adalah penyederhanaan sistem sehingga tidak menjelaskan seluruh proses pada sistem tersebut melainkan hanya menggambarkan proses tertentu sesuai tujuan model tersebut. Dalam hal ini model tidak dapat memprediksi pengaruh kesuburan tanah serta serangan hama dan penyakit tanaman. Model simulasi tanaman kentang yang telah disusun ini mempunyai keunggulan sebagai alat analisis kuantitatif dibandingkan hasil penelitian agronomi di lapangan khususnya dalam penghematan waktu dan biaya. Keunggulan lain dari model simulasi kentang ini yaitu dapat diterapkan pada musim dan ketinggian tempat yang berbeda-beda di atas 800 m dpl, asalkan asumsi-asumsi yang ada dipenuhi.
Pernyataan
tersebut sejalan dengan
Soerianegara (1978), bahwa keuntungan penggunaan model dalam penelitian dengan pendekatan analisis sistem, yakni (1) memungkinkan kita melakukan penelitian yang bersifat lintas sektoral dengan ruang lingkup yang lebih luas, (2) mampu menentukan tujuan kegiatan pengelolaan dan perbaikan terhadap sistem yang dihadapi, (3) dapat dipakai untuk melakukan eksperimentasi atau skenario tanpa mengganggu/memberikan perlakuan tertentu terhadap sistem, (4) dapat dipakai untuk menduga kelakuan dan keadaan sistem pada masa mendatang dan atau menyusun suatu skenario yang mungkin terjadi pada sistem tersebut, dan (5) dari segi waktu dan biaya akan lebih efisien.
132
Menurut Penning de Vries (1983), model simulasi sebagai salah satu metode ilmiah memiliki kelebihan-kelebihan sebagai berikut : (1) membantu dalam mendefinisikan dan mengelompokkan pengetahuan yang ada, (2) membantu melokalisir kesenjangan dalam suatu bidang ilmu dan dapat membantu hipotesis secara eksplisit sehingga membantu dalam penentuan prioritas pengkajian, (3) alat untuk membuat informasi operasional yang terpadu, (4) media kerjasama yang efektif di antara ilmuwan dalam berbagai disiplin dan tingkatan ilmu, serta pengembangan model sebagai indikasi kemajuan ilmu pengetahuan dan peningkatan ketepatan prediksi. Model simulasi tanaman kentang ini dapat digunakan untuk memprediksi hasil pada waktu yang akan datang asalkan tersedia data cuaca harian untuk masa yang akan datang pula. Dalam hubungannya dengan perubahan iklim, data untuk masa yang akan datang dapat menggunakan skenario perubahan unsur-unsur iklim terutama suhu udara dan curah hujan. Aplikasi model antara lain dapat digunakan untuk penentuan potensi produksi pada berbagai wilayah sentra produksi kentang di Indonesia, pemilihan varietas, pemilihan waktu tanam yang optimum, dan untuk simulasi dampak perubahan iklim terhadap hasil tanaman kentang. Model simulasi, khususnya model simulasi tanaman kentang meskipun memiliki banyak keunggulan, namun perlu disadari bahwa tiap model mempunyai keterbatasan. Model simulasi tanaman kentang ini hanya dibuat untuk menggambarkan suatu proses atau beberapa proses tertentu dari suatu sistem. Oleh sebab itu model simulasi tidak akan memberikan hasil yang baik terhadap proses-proses di luar tujuan model (Handoko, 1994). Hal tersebut sejalan dengan pendapat Bey (1991) bahwa bagaimanapun baiknya model yang dirancang tetap mempunyai keterbatasan dan merupakan distorsi dari sistem yang sebenarnya. Oleh karena itu, model harus digunakan secara teliti, cermat dan seksama dengan memperhatikan asumsi-asumsi yang mendasarinya. Model simulasi yang mampu menjelaskan mekanisme proses
perkembangan, pertumbuhan, dan neraca air
tanaman kentang dapat dimanfaatkan untuk memprediksi dampak perubahan iklim terhadap produktivitas kentang pada enam sentra produksi kentang di Indonesia. Metode yang digunakan berdasarkan simulasi menggunakan model simulasi tanaman kentang yang telah disusun dan divalidasi dalam penelitian ini.
133
Hasil simulasi menunjukkan perbedaan produktivitas kentang pada enam sentra produksi di Indonesia pada kondisi cuaca saat ini dan masa mendatang terkait perubahan iklim. Sentra-sentra produksi tersebut adalah Minahasa (Sulawesi Utara), Alahan Panjang (Sumatera Barat), Pangalengan (Jawa Barat), Pasuruan (Jawa timur), Wonosobo (Jawa Tengah), dan Deli Serdang (Sumatera Utara), dan Iklim pada masing-masing sentra produksi ini diasumsikan berubah sesuai dengan kondisi perubahan rata-rata suhu udara dan curah hujan menurut skenario emisi SRES A1 (IPCC 2007). Analisis dampak perubahan iklim yang dilakukan dalam penelitian ini terdiri atas : 1.
Pengaruh peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produktivitas (hasil umbi) tanaman kentang varietas Granola.
2.
Pengaruh waktu tanam terhadap produktivitas dan umur tanaman kentang varietas Granola.
3.
Pengaruh varietas tanaman kentang (Granola vs Atlantis). Hasil prediksi menunjukkan peningkatan suhu udara sebesar 1,0 °C (tahun
2020), 1,8 °C (tahun 2050), serta 2,3 °C (tahun 2080) dibanding kondisi cuaca saat ini, mengakibatkan jumlah hari dari masing-masing fase perkembangan tanaman kentang di Minahasa, Alahan Panjang Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang semakin pendek sehingga umur tanaman menjadi lebih singkat. Umur tanaman kentang yang lebih singkat dan suhu udara yang tinggi menyebabkan akumulasi biomassa selama masa pertumbuhan menjadi berkurang, sehingga berdampak pada pengurangan biomassa tanaman yang selanjutnya menurunkan produktivitas tanaman kentang. Hasil prediksi model menunjukkan peningkatan suhu udara 1,0 °C (tahun 2020), 1,8 °C (tahun 2050), dan 2,3 °C (tahun 2080) mengakibatkan penurunan produktivitas kentang pada keenam sentra produksi kentang masing-masing 8% – 28%, 16% – 41%, dan 29% – 57%. Penurunan curah hujan dapat menurunkan pertumbuhan dan hasil tanaman. Skenario penurunan curah hujan pada Skenario I, II, dan III mengakibatkan penurunan produktivitas pada sentra-sentra produksi, kecuali Alahan Panjang. Penurunan curah hujan pada ketiga skenario di Alahan panjang
134
tidak menyebabkan terjadi penurunan produktivitas. Hal ini disebabkan karena air tidak menjadi faktor pembatas, sehingga penurunan curah hujan tidak menyebabkan terjadinya penurunan biomassa umbi selama masa pertumbuhan tanaman kentang. Penurunan produktivitas kentang pada lima sentra produksi kentang masing-masing 2% – 12%, 4% – 27%, dan 8% – 31% akibat penurunan curah hujan sebesar 5% (skenario I), 10% (skenario II), dan 15% (skenario III). Pada semua sentra produksi kentang, penurunan produktivitas semakin besar dengan kenaikan suhu udara dan penurunan curah hujan secara bersamaan. Penurunan produktivitas kentang semakin besar pada peningkatan suhu yang makin tinggi dan penurunan curah hujan yang makin besar sesuai Skenario I, II dan III. Prediksi penurunan produktivitas untuk Skenario I, II dan III berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%. Pangalengan diprediksi mengalami penurunan produktivitas terbesar pada skenario II dan III sebesar 47%, dan 63%. Pengaruh waktu tanam terhadap produktivitas dan umur tanaman kentang varietas Granola menunjukkan produktivitas tertinggi pada enam sentra produksi kentang di Indonesia dicapai pada waktu tanam yang berbeda-beda. Hasil prediksi juga menunjukkan pada waktu tanam optimal akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan akan menyebabkan penurunan produktivitas kentang berkisar masing-masing 11% – 29%, 22% – 43%, dan 28% – 57% pada Skenario I, II, dan III. Pangalengan juga diprediksi akan mengalami penurunan produktivitas terbesar pada waktu tanam optimal sebesar 43%, dan 57% pada skenario II dan III. Hasil prediksi pengaruh varietas tanaman kentang (Granola vs. Atlantis) menunjukkan varietas Atlantis memerlukan jumlah hari yang lebih lama untuk menyelesaikan masing-masing fase perkembangan tanaman dibanding Granola, sehingga umur kentang varietas Atlantis lebih panjang dari Granola. Umur tanaman yang lebih panjang menyebabkan biomassa umbi varietas Atlantis lebih tinggi dari Granola. Prediksi model waktu tanam tanggal 14 Maret menghasilkan produktivitas kentang varietas Atlantis sebesar 25 ton ha-1 sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1.
135
Dari berbagai komoditas pertanian, tanaman hortikultura termasuk tanaman kentang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim. Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model dapat dilakukan dengan penentuan waktu tanam yang tepat untuk mendapatkan ketersediaan air yang cukup dan meminimalkan kehilangan air. Di samping itu, parameter penting dalam pertumbuhan tanaman adalah RUE, sehingga salah satu opsi adaptasi yang dapat dilakukan berdasarkan prediksi model ini adalah memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi. Dalam hal ini, varietas Atlantis memiliki RUE sebesar 1,79 g MJ-1, sedangkan Granola memiliki RUE sebesar 1,12 g MJ-1. Peningkatan suhu udara menyebabkan umur tanaman semakin pendek yang mengakibatkan produktivitas kentang menjadi lebih rendah. Oleh sebab itu, alternatif opsi adaptasi dapat dilakukan dengan memilih varietas kentang yang lebih tolerant terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang. Opsi lain adalah menanam kentang pada dataran yang lebih tinggi, namun opsi ini akan menghadapi kendala keterbatasan lahan termasuk problem lingkungan yang akan diakibatkannya.
136
137
IX. KESIMPULAN DAN SARAN 9.1. Kesimpulan 1.
Model simulasi tanaman kentang yang disusun dapat mensimulasikan umur tanaman kentang pada setiap fase perkembangan tanaman, produksi biomassa dari masing-masing organ tanaman berupa akar, batang, daun, dan umbi, serta LAI dan kadar air tanah sesuai dengan pengukuran lapang. Model simulasi yang disusun dapat diaplikasikan untuk memprediksi dan tindakan antisipasi kejadian dampak perubahan iklim akibat kenaikan suhu udara dan penurunan curah hujan terhadap produksi kentang pada sentra-sentra produksi di Indonesia.
2.
Produktivitas maksimum saat ini di Minahasa 18 ton ha-1 (varietas Granola) dapat dicapai apabila kentang ditanam pada Juni I, di Alahan panjang dicapai pada waktu tanamn Desember II (21 ton ha-1), Pangalengan pada Maret III (21 ton ha-1), Wonosobo pada Oktober III (16 ton ha-1 ), Pasuruan pada September I (18 ton ha-1), dan Deli Serdang pada Februari III (17 ton ha-1).
3.
Simulasi perbedaan waktu tanam pada enam sentra produksi pada ketiga skenario atau Tahun 2020, 2050 dan 2080 juga menunjukkan penurunan produktivitas pada waktu tanam optimal akibat peningkatan suhu udara dan penurunan curah hujan.
4.
Prediksi penurunan produktivitas pada sentra-sentra produksi kentang (Minahasa, Alahan Panjang, Pangalengan, Wonosobo, Pasuruan, dan Deli Serdang) untuk Skenario I (Tahun 2020), II (Tahun 2050) dan III (Tahun 2080) yang merupakan interaksi peningkatan suhu dan curah hujan berkisar masing-masing 13% – 31%, 25% – 47% dan 37% – 63%.
5.
Varietas Atlantis memiliki RUE sebesar 1,79 g MJ-1 sedangkan Granola memiliki RUE sebesar 1,12 g MJ-1, sehingga biomassa umbi yang dihasilkan Atlantis dari prediksi model ini lebih besar dari Granola. Prediksi model pada tanggal 14 Maret menghasilkan produktivitas kentang varietas Atlantis sebesar 25 ton ha-1 sedangkan Granola hanya 16 ton ha-1.
6.
Opsi adaptasi perubahan iklim berdasarkan hasil simulasi model pada sentrasentra produksi dapat dilakukan melalui : penentuan waktu tanam yang tepat,
137
138
memilih varietas kentang unggul yang memiliki nilai RUE tinggi, dan memilih varietas kentang yang lebih toleran terhadap suhu tinggi sehingga memiliki umur lebih panjang. 9.2. Saran 1.
Pengujian model lebih lanjut untuk membuktikan bahwa model dapat diterapkan pada kondisi lingkungan yang beragam masih diperlukan pada wilayah dengan pola curah hujan yang berbeda dan ketinggian tempat di bawah 1.000 m dpl. Pengujian ini dilakukan untuk menghindari ketidaktepatan prediksi model jika kondisi iklimnya sangat jauh berbeda.
2.
Strategi peningkatan produktivitas kentang selain penetapan waktu tanam adalah menetapkan pola tanam atau kalender tanam berdasarkan variabilitas dan perubahan iklim, terutama suhu udara dan curah hujan dengan mempertimbangkan kebiasaan petani kentang dan daya dukung sumberdaya air.
3.
Dukungan kebijakan yang diperlukan pada tingkat petani adalah percepatan diseminasi dan sosialisasi tentang informasi waktu tanam optimal, penggunaan varietas kentang berproduksi tinggi, dan memiliki daya adaptasi terhadap lingkungan dan perubahan iklim, seperti Atlantis di beberapa sentra produksi kentang di Indonesia.
139
DAFTAR PUSTAKA Ahmadi SH, Anderserb MN, Plauborgb RT, Poulsenb CR, Jensenc AR, Sepaskhahd, dan Hansen S. 2010. Effects of irrigation strategies and soils on field grown potatoes: Yeild and water productivity. J. Agric. Water Mngt. 97: 1923 – 1930. Alfyanti R. 2011. Pemanfaatan Luaran RegCM3 untuk Kajian Dampak Perubahan Iklim terhadap Perubahan Waktu dan Pola Tanam Padi di Jawa Barat Skripsi. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Allen RG, Pereira LS, Raes D, Smith M. 1998. Crop evapotranspiraton: guidelines for computing crop water requirements. FAO irrigation and drainage paper, 56. FAO. Rome. Amthor JS. 2000. The McCree-de Wit-Penning de Vries-Thornley Respiration Paradigms: 30 Years Later (Review0. Annals of Botany. 86: 1 – 20 Anandale JG, Benade N, Jovanovie NZ, Steyn JM, Sautoy DUN. 1999. Facilitating irrigation scheduling by means of the soil water balance model, University of pretoria, Submitted to Water Research Commission. Apriyana A. 2011. Penetapan Kalender Tanam Padi berdasarkan Fenomena ENSO (El Nino Southern Oscillation) dan ION (Indian Ocean Dipole) di Wilayah Monsunal dan Equatorial. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Arkebauer TJ, Weiss A, Sinclair TR, Blum A. 1994. In defence of radiation use efficiency: a response to Demetriades-Shah et al. (1992). Agric. For. Meteorol. 68: 221 – 227. Asandhi AA, Gunadi N. 1989. Syarat tumbuh tanaman kentang. Dalam Kentang. Edisi kedua. Balai Penelitian Hortikutura Lembang. Asdak C. 2007. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Asril dan Hidayati R. 1994. Respon Kadar Air Tanah dan Tanaman terhadap Pemberian Air yang Berbeda pada Sistem Tanam Monokultur dan Tumpangsari. J Agrom Indon 21 – 33 (1). Ayoade JO. 1983. Introduction to climatologkfor the tropics. John wiley and Sons. New York. Badan Pusat Statistik (BPS). 2011. Luas Panen, Produksi, dan Produktivitas Kentang. Dalam http://www.bps.go.id Bannayan M, Crout NMJ, Hoogenmoon G. 2003. Application of the CERESwheat Model for Within-Season Prediction of Winter Wheat Yield in the United Kingdom. J. Agron. 95: 114 – 125. Bakema AH, Jansen DM. 1985. Use of simulation model for evaluating of weather effect. Jakarta : International Upland Rice Conference. 19 hlm. Bey A. 1991. Metode Kausal dan Time Series untuk Analisis Data Iklim. Kapita Selekta dalam Agrometeorologi. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Depdikbud. Jakarta. 139
140
Biggs TW, Mishra PK, Turral H. 2008. Evapotranspiration and regional probabilities of soil moisture stress in rainfed crops, southern India. Agric and Forest Meteo 148: 1585 – 1597. Biscoe PV, Gallagher JN. 1977. A Physiological Analysis of Cereal Yield and Production of Dry Matter. Agr. Progress, Vol 53: 34 – 69 Bodlaender KBA. 1983. Influence of temperature, radiation, and photoperiod on development and yield. p.199 – 210. In: The Growth of Potato. Butterworths, London. Boer R, Las I. 1994. Koefisien Pemadaman Tajuk Kedelai pada Beberapa Tingkat Radiasi. J. Agromet, Vol X(1&2): 29. Boer R, Dasanto BD, Suciantini, Mulyani A, Turyanti A, Nasution. 2001. Identifikasi Kualitas Lahan untuk Mendukung Perluasan Areal Pengembangan Sayuran. Laporan Hasil Penelitian Kerjasama Lembaga Penelitan Institut Pertanian Bogor dengan Badan Litbang Pertanian. IPB. Boer R. 2007. Deteksi Perubahan Iklim dan Dampak Sosio-ekonominya. Laporan proyek kerjasama BMG dan IPB. Bogor. Boote KJ, Jones JW, Pickering NB. 1996. Potential uses and limitions of crop models. J. Agron. 88: 704 – 716. Burton WG. 1981. Challenges for stress physiology in potato. Am. Potato J. 58: 3 – 14. Carberry PS, Muchow RC, Mccown RL. 1992. A simulation model of kenaf for assisting fibre industry planning in Northern Australia. IV. Analysis of climatic risks. Australian Journal of Agricultural Research. 44: 713 – 730. Chang J. 1968. Climate and Agricultures, an Ecological Survey. Aldine Publishing Company. Chicago. Charles-Edward DA, Doley D, Rimmington GM. 1986. Modelling Plant Growth and Development. Academic Press. Sydney. 235 p. Craufurd PQ, Wheeler TR. 2009. Climate change and the flowering time of annual crops. J. of Exsperimental Botany. 60: 2529 – 2539. Dadhwal VK., Sehgal VK, Singh RP, Rajak DR. 2003. Wheat yield modeling using satellite remote sensing with weather data: Recent Indian experience. Mausum, 54(1): 253 – 262. Dasanto BD dan Impron. 2008. Upaya Adaptasi Sektor Sumberdaya Air dan Pertanian Untuk Mengurangi Dampak Peubahan Iklim. Makalah Rapat Kerja ELSDA. Jakarta Djufri F, Yanto A, Handoko, Kusmaryono Y. 2005. Pendugaan Defisit Air Tanaman Jarak (Ricinus communis L) Berdasarkan Model Simulasi Dinamika Air Tanah (Prediction Water Deficit of Castor Oil (Ricinus communis L) with Dynamic Soil-Water Simulation). J Agrom Indon 19 (2). Doorenbos J, Pruitt WO. 1977. Guidelines for predicting crop water requirements. FAO Irrigation Drainage Paper No. 24. Rome. 144pp.
141
DwiJadmiko S. 2011. Proyeksi Perubahan Iklim berdasarkan Hasil Keluaran Model Iklim Regional (Studi kasus : Kabupaten Indramayu dan Kabupaten Pacitan. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Engels CR, Bedewy E dan Sattelmacher B. 1993. Effects of weight and planting density of tubers derived from true potato seed on growth and yield of potato crops in Egypt: 2. Tuber yield and tuber size. Field Crops Research, 35: 171 – 182. Ewing PC. Struick EE. 1995. Crop Physiology of Patato (Solanum tuberasum): Respons to Photoperiod and Temperature Relevant To Crop Modelling. Kluwer Academic Publisher. London. Fabeiro C, de Santa Ollala FM, de Juan JA. 2001. Yield and size of deficit irrigated potatoes. Agric. Water Mngt. 48 : 255 – 266. FAO. 2005. “Impact of Climate Change and Diseases on Food Security and Poverty Reduction”. Special event background document for the 31st session of the committee on world food security. Rome, 23 – 26 May 2005. Ferreira TC, Carr MKV. 2002. Responses of potatoes (Solanum tuberosum L.) to irrigation and nitrogen in a hot, dry climate. Field Crops Research 78: 51 – 64. Fischer GM, Shah HV, Velthuizen. 2002. Climate Change and Agricultural Vulnerability. IIASA. Luxemburg, Austria. Foods and Agriculture Organisation (FAO). 2008. The Potato. Dalam http://www.potato2008.org (25/11/2010). Gandar PW, Tanner CB. 1976. Leaf growth, tuber growth, and water potential in potatoes. Crop Sci. 16: 534 – 538. Gardner FP, Pearce RB, Mitchel RL. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Susilo H, Subiyanto, penerjemah. Jakarta: UI-Press. Terjemahan dari : Physiology of crop Plants. 428 hal. Goudriaan J, Marcelis LFM, Heuvelink E. 1998. Modelling biomass production and yield of horticultural crops: a review. Scientia Horticulturae 74: 83 – 111. Government of Alberta Agriculture and Rural Development. 2003. Guide to Commercial Potato Production on the Canadian Prairies. Western Potato Council. Gregory PJ, Johnson SN, Newton AC, Ingram JSI. 2009. Integrating pests and pathogens into the climate change/food security debade. J. of Exsperimental Botany. 60: 2827 – 2838. Gustianty LR. 2008. Kajian tentang Pertumbuhan dan Produksi Kentang (Solanum tuberosum. L) Varietas Granola Asal Biji Botani Melalui Uji Perkecambahan dan Pengaturan Penanaman di Lapangan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Universitas Sumatera Utara. Handoko I. 1994. Dasar Penyusunan dan Aplikasi Model Simulasi Komputer untuk Pertanian. Geomet FMIPA-IPB. Bogor: 112 hal.
142
Handoko I. 1996. Analisis Sistem dan Model Simulasi Komputer untuk Perencanaan Pertanian di Indonesia. Materi Pelatihan (tidak dipublikasikan). Bogor 2 – 6 September 1996. Jurursan Geofisika dan Meteorologi. FMIPA. IPB Bogor. Handoko I, Sugiarto Y, Syaukat Y. 2008. Keterkaitan Perubahan Iklim dan Produksi Pangan Strategis: Telaah kebijakan independen dalam bidang perdagangan dan pembangunan. SEAMEO BIOTROP for Kemitraan partnership. Harjadi M. 1984. Pengantar Agronomi. Jakarta : PT. Gramedia Higashide T. 2009. Light interception by tomato plants (Solanum lycopersicum) grown on a sloped field. J. Agric and forest meteo. 149: 756 – 762. Hillel D. 1971. Soil and Water, Physical Principles and Processes. New York Academic Press. 288p. Holden NM, Breneton AJ. 2006. Adaptation of water and nitrogen management of spring barley and patato as a response to possible climate change in ireland. J. Agric Water Management 82: 297 – 317. Hoogenboom G. 2000. Contribution of agro-meteorology to the simulation of crop production and its applications. J. Agric for Meteorol. 103: 137 – 157 Huaman Z. 1986. Systematic Botany and Morphology of the Potato. Technical Information Bulletin 6. International Potato Centre, Lima, Peru: 22 pp. Hulme M dan Sheard N. 1999. Climate Change Scenarios for Indonesia. Leaflet CRU and WWF. Climatic Research Unit. UEA, Norwich,UK. Ierna A, Mauromicale G. 2006. Physiological and growth response to moderate water deficit of off-season potatoes in a Mediterranean environment. Agric. Water Mngt. 82: 193 – 209. [IPCC] Intergovernmental Panel on Climate Change. 2000. Emission Scenario. A Special Report of Working Group III of the IPCC. Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge University Press [IPCC] Intergovernmental panel on climate change 2007. IPCC Guidelines for National Greenhouse Gas Inventories. IPCC National Greenhouse Gas Inventories Programme. IGES. Japan Jim B, Alyson P, Eric, AS, Joseph T, Christi V. 2005. Potato (Solanum tuberosum L) Case History Group 1. Crop Physiology: PBIO*3310 Jongschaap REE. 2006. Run-time calibration of simulation models by integrating remote sensing estimates of leaf area index and canopy nitrogen. Europ. J. Agro. 24: 316 – 324. Jumin HB. 2002. Dasar-dasar Agronomi. Jakarta: Rineka Cipta. Kadaja J, Tooming H. 2004. Patato production model based on principle of maximum plant productivity. J. Agric and forest meteo. 127: 17 – 33.
143
Kaimuddin. 2000. Kajian Dampak Perubahan Iklim dan Tata Guna Lahan Terhadap Keseimbangan Air Wilayah Sulawesi Selatan. Disertasi. Sekolah Pascasarjana. IPB. Kiniry JR, Jones CA, O’Toole JC, Blanchet R, Cabelguenne M, Spanel DA. 1989. Radiation-Use Efficiency in Biomass Accumulation Prior to Grainfilling for Five Grain-Crop Species. Field Crops Research, 20: 51 – 64 Kirnak, H, Short TH. 2001. An Evaporation Model for Nursery Plant Grown in a Lysimeter Under Field Conditions, Turk J Agric for 25: 57 – 63. [KLH] Kementerian Lingkungan Hidup. 2004. Perubahan iklim global. http://climatechange.menlh.go.id. Koesmaryono Y, Sangaji dan June T. 2002. Akumulasi Panas Tanaman soba (Fogopyrum esculentum cv. Kitaware) pada Dua Ketinggian di Iklim Tropika Basah. J. Agromet 15(1): p8 – 13 Kooman PL, Fahem M, Tegera P, Haverkort HJ. 1996. Effects of Climate on Different Potato Genotypes 1. Radiation Interception, Total and Tuber Dry Matter Production. European Journal of Agronomy. 5: 193 – 205. Koutroubas SD, Papakosta DK, Dioitsinis A. 2000. Water requirement for castor oil crop (Ricinus communis L). In a Mediaterranean climate. J agron adn crop Science. 184: 241 – 253. Kumar A, Pandey V, Shekh AM, Kumar M. 2008. Radiation Use Efficiency and Weather Parameter Influence During Life Cycle of Soybean (Glycine max. [L] Mirrll) Production as Well Accumulation of Dry Matter. AmericanEurasian Journal of Agronomy, 1(2): 41 – 44 Kusaeri H. 2010. Proyeksi Curah Hujan Masa Depan di DAS Cisadane Menggunakan teknik Statistical Downscaling pada Luaran Model Iklim Global (GCM) [Skripsi]. Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor. Lakoy I. W. M. 2009. Strategi Pengembangan Komoditas Kentang di Kabupaten Minahasa Selatan. Tesis. Program Pascasarjana Pertanian, Fakultas Pertanian, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. Las I, Surmaini E, Ruskandar A. 2008. Antisipasi Perubahan Iklim: Inovasi Teknologi dan Arah Penelitian Padi di Indonesia dalam : Prosiding Seminar Nasional Padi 2008. Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Perubahan Iklim Global Mendukung Ketahanan Pangan. Lascano RJ. 1991. Review of models for predicting soil water balance IAHS Publ 199: 443 – 458. Laureti D, Marras G. 1995. Irrigation of castor (Ricinus communis L) in Italy. Eur J Agron. 4: 229 – 235 Laux P, Jackel G, Tingem RM, Kunstmann. 2010. Impact of climate change on agricultural productivity under rainfed conditions in Cameroon-A method to improve attainable crop yield by planting date adaptation. J. Agric and Forest Meteorology 150: 1258 – 1271.
144
Li Q, Liu M, Zhang J, Dong B, Bai Q. 2009. Biomass Accumulation and Radiation Use Efficiency of Winter Wheat Under Deficit Irrigation Regimes. Plant Soil Environ. 55(2 ): 85 – 91 Makarim AK. 2009. Aplikasi Ekofisiologi Dalam Sistem Produksi Padi Berkelanjutan. Pengembangan Inovasi Pertanian 2(1): 14 – 34. Marcelis LFM, Elings A, Bakker MJ, Brajeul E, Dieleman JA, de Visser PHB, Heuvelink E. 2006. Modelling dry matter production and partitioning in sweet pepper. Acta Hortic. 718: 121 – 128. Meza F, Silva D, Vigil H. 2008. Climate change impact on irrigated maize in Mediterranean climates : Evaluation of double cropping as an emerging adaptation alternative. J. Agric System 98: 21 – 30. Ministry of Environment. 2007. Indonesia Country Report: Climate Variability and Climate Change and their Implication. Ministry of Environment, Republic Indonesia, Jakarta Mondani F, Glzardi F, Ahmadvand G, Khorbani R, Moradi R. 2011. Influence Of Weed Competition On Potato Growth, Production And Radiation Use Efficiency. Notulae Scientia Biologicae. 3(3): 42 – 52. Monteith JL. 1975. Vegetation and the Atmosphere. London : Academic Press. Muchow RC, Davis R. 1988. Effect of nitrogen supply on the comparative productivity of maize and sorghum in a semi-arid tropical environment. II. Radiation interception and biomass accumulation. Field Crops Res. 18: 17 – 30. Muchow RC, Sinclair TR. 1986. Water and nitrogen limitation in soybean grain production. II. Field and model analysis. Field Crops Res. 15:143 – 156. Murdiyarso D. 1991. Hubungan Air Tanaman. Kapita Selekta Dalam Agrometeorologi. Bogor. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Musawir A. 2005. Pengurangan Intensitas Radiasi Surya dan Pengaruhnya pada Pertumbuhan dan Produksi Tanaman Kentang (Solanum tuberosum L.). Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Muyan Y. 2010. Efisiensi Penggunaan Radiasi Surya Pada Pertanaman Padi Sawah: Studi Kasus di Daerah Prafi Kabupaten Manokwari Papua Barat. Tesis. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor Myneni RB, Nemani RR, Running SW. 1997. Estimation of global leaf area index and absorbed PAR using radiative transfer models. IEEE Trans. on Geosc. and Rem. Sensing, 35(6): 1380 – 1393. Nasir AA, Effendy S. 2002. Neraca air agroklimatik. Makalah pelatihan bimbingan pengamanan tanaman pangan dari bencana alam. Jurusan Geomet FMIPA IPB. Bogor. Hlm 1 – 23. Nasir AA. 1993. Neraca Air dan Prosedur Analisisnya. Diktat Kuliah. Geofisika dan Meteorologi, FMIPA-IPB. Bogor.
145
Nonnecke LI. 1989. Vegetable production. Van Nostrand Reinhold, Canada. Nurtika N. 2007. Tanggap beberapa varietas kentang (Solanum tuberosum) Oijen VM, Goudriaan J. 1997. Wageningen Group Final Report. European Stress Physiology and Climate Experiment (ESPACE) – Wheat Project Individual Group Report,Wageningen, The Netherlands, 25 pp. Onder S, Caliskanb ME, Ondera D, Caliskan S. 2005. Different irrigation methods and water stress effects on potato yield and yield components. Agric. Water Mngt. 73: 73 – 86 Paudel BC, Sathre R, Gustavsson L, Bengh J, Lundstrom A, Hyvonen R. 2011. Effect of climate change in biomass production and substitution in northcentral Sweden. J. Biomass and Bioenergy 35 : 4340 – 4355. Peng S, Huang J, Sheehy JE, Laza RC, Visperas RM, Zhong X, Centeno GS, Khush GS, Cassman KG. 2004. Rice yields decline with higher night temperature from global warming. Proceeding of National Academy of Science of the United State of America (PNAS) 101:9971 – 9975. Permadi AH. 1989. Asal-usul dan penyebaran kentang. Balai Penelitian Hortikultura, Lembang. Poluektov RA, Topaj AG. 2001. Crop modelling (nostalgia about present orreminiscence about future). J. Agron 93: 653 – 659. Prihantoro F. 2008. Dampak Perubahan Iklim dan Antisipasi Masyarakat Lokal. Yayasan Bintari. Semarang. Raddatz RL, Ash GH, Shaykewich CF, Roberge KA, Graham JL. 1996. First- and second-generation agrometeorological models for the prairies and simulated water-demand for potatoes. Can. J. Soil Sci. 76: 297 – 305. On the Canadian. Richter GM, Jaggard KW, Rowan AC, Mitchell. 2001. Modelling radiation interception and radiation use efficiency for sugar beet under variable climatic stress. J. Agricultural and Forest Meteorology. 109: 13 – 25. Ritchie JT. 1972. Model for predicting evaporation from a row crop with incomplete cover. water resources reseacrh, 8, 1204 – 1213 Rosenberg NJ, McKenney MS, Martin P. 1983. Microclimate : the biological environment. New York : Wiley. Rubatzky EV, Yamaguchi M. 1998. Sayuran Dunia: Prinsip, Produksi dan Gizi, Jilid 1/Vincent. Bandung. Institut Tehnologi Bandung. Samadi B. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Yogyakarta : Kanisius Sang W, Chen S, Li G. 2008. Dynamic of leaf area index and canopy openness of three forest types in a warm temperate zone. Front or China. 2008. 3: 416 – 42. Saragi MF. 2008. Neraca air tanaman untuk perencanaan irigasi lahan sawah (Studi kasus: daerah irigasi kapilaler dan tanam, Kabupaten Klaten-Provinsi Jawa Tengah). Skripsi . Institut Pertanian Bogor, FMIPA. Bogor.
146
Sarah D dan Tohari A. 2009. Pemodelan Perubahan Iklim Daerah Kabupaten Sukabumi Menggunakan MAGICC/SCENGEN. Prosiding Pemaparan Hasil Penelitian Puslit Geoteknologi. LIPI. Bandung. Sosrodarsono S, Takeda K. 1983. Hidrologi untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Jakarta; 226 hal. Sawit, Husen M, Ariani M, setiajie I, Purwantini TB, Supriatna A. 1997. Perubahan Pola Konsumsi Hortikultura di Indonesia. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Litbang Pertanian. Deptan. Bogor. Seyhan E. 1995. Dasar-Dasar hidrologi. Gadjah mada University Press. Yogyakarta Shah SFA, Mckenzie BA, Gaunt RE, Marshall JW, Framton CM. 2004. Effect Of Production Environments On Radiation Interception And Radiation Use Efficiency of Potato (Solanum tuberosum L.) Grown In Canterbury,New Zealand: New Zealand Journal of Crop and Horticultural Science. Vol. 32 : 113 – 119. Sinclair TR & Horie T. 1989. Leaf nitrogen, photosynthesis and crop radiation use efficiency: a review. Crop Sci. 29: 90 – 98. Singh JP, Lal SS. 2010. Climate change and patato production in India. ISPRS Archives XXXVIII-8/W3 Workshop Proceedings: Impact of Climete Change on Agriculture. Sirotenko OD. 2001. Crop Modelling (adv and problems). Agron J. 93: 650 – 653. Sitompul SM. Guritno B. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gadjah Mada University Press. Yokyakarta. Smith O. 1968. Potatoes: Production, Storing, Processing. Connecticut: The AVI Publishing Company, Inc. Soepardi G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Jurusan Tanah. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor. Soerinegara I. 1979. Pengelolaan Sumberdaya Alam II. Sekolah Pasca Sarjana. Jurusan PSL. IPB. Bogor Sosrodarsono S dan Takeda. 1978. Hidrologi Untuk Pengairan. Pradnya Paramita. Yogyakarta Stalham MA, Allen EJ. 2001. Effect of variety, irrigation regime and planting date on depth, rate, duration and density of root growth in the potato (Solanum tuberosum) crop. J Agric Science. Cambridge. 137: 251 – 270. Steel RGD, Torrie JH. 1991. Prinsip dan Prosedur Statistika : suatu pendekatan biometrik. Jakarta. PT. Gramedia Pustaka Utama. Steyn JM, Kabago DM and Annanade JG. 2007. Patato grown and yield responses to irrigation regimes in contrasting seasion of a subtropical region. African crop science conference proceeding. Vol 8: 1647 – 1651.
147
Supit I. 1997. Predicting national wheat yields using a crop simulation and trend models. J. Agric for meteorol 88: 199 – 214. Susandi A, Indriani H, Mamad T, Irma N. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2. Bandung Susandi A. 2006. Bencana Perubahan Iklim Global dan Proyeksi Perubahan Iklim Indonesia. Institut Teknologi Bandung. Bandung. Susandi A, Indriani H, Mamad T, dan Irma N. 2008. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Ketinggian Muka Laut Di Wilayah Banjarmasin. Jurnal Ekonomi Lingkungan Vol.12/No.2. Bandung. Sutapradja H. 2008. Pengaruh jarak tanam dan ukuran umbi bibit terhadap pertumbuhan dan hasil kentang varietas Granola untuk bibit. J. Hort. 18 (2): 155 – 159. Syarief F. 2003. Respon Penggunaan Pupuk Organik dan Anorganik Terhadap Efisiensi Radiasi Surya Pada Tanaman Padi. Skripsi, Departemen Geofisika dan Meteorologi Institut Pertanian Bogor Tekalign T dan Hammes PS. 2005. Growth and productivity of potato as influenced by cultivar and reproductive growth. I. Stomatal conductance, rate of transpiration, net photosynthesis, and dry matter production and allocation. Scientia Horticulturae 105: 13–27. Temmerman LD, Wolf J, Colls J, Bindi M, Fangmeier J, Finnan J, Ojanpera K, Pleijel H. 2002. Effect of climatic conditions on tuber yield (Solanum tuberosum L.) in the European ‘CHIP’ experiments. Europ. J. Agronomy 17: 243 – 255 Tesfaye K, Walker S, Tsubo M. 2006. Radiation interception and radiation use efficiency of three grain legumes under water deficit conditions in a semiarid environment. Europ J. Agroc. 25: 60 – 70. Thornthwaite CW, Mather JR. 1957. Instruction and Table for Computing Potential Evapotranspiration and the Water Balance. Drexel Institute of Technology. Laboratory of Climatology. Centerton, New Jersey, USA. Travaso MI, Delecolle R. 1995. Adaptation of the CERES-Wheat model for large area yield estimation in Argentina. J. Agron 4(3): 347 – 353. Trenberth KE, Houghton JT, Meira Filho LG. 1995. The Climate System : an Overview. In: Climate Change 1995. The Science of Climate Change. Contribution of Working group I to the Second Assesment Report of The Intergovermental Panel on Climate Change. Cambridge University Press. Tschirley J. 2007. Climate Change Adaptation: Planning and Practices. Power Point Keynote Presentation of FAO Environment, Climate change, Bioenergy Division, 10 – 12 September 2007, Rome. Tubiello FN, Ewert F. 2002. Simulating the effects of levated CO on crops: pproaches and applications for climate change. Europ. J. Agronomy 18: 57 – 74.
148
Unlu MR, Kanber, Senyigit U, Onaran H, Diker K. 2006. Trickle and sprinkler irrigation of potato (Solanum tuberosum L.) in the Middle Anatolian Region in Turkey. Agric. Water Mngt. 79: 43 – 71 Vieira MI, Abreu JP, Ferreira ME, Monteiro AA. 2009. Dry matter and area partitioning, radiation interception and radiation-use efficiency in open-field bell pepper. Scientia Horticulturae. 121: 404 – 409. Wajid A, Ahmad A, Khaliq T, Alam S, Hussaun A, Hussain K, Naseem W, Usman M, Ahmad S. 2010. Quantification Of Growth, Yield And Radiation Use Efficiency Of Promising Cotton Cultivars At Varying Nitrogen Levels. Pak. J. Bot. 42(3): 1703 – 1711. White JW, Hoogenboom G, Kimball AB, Wall GW. 2011. Methodologies for simulating impacts of climate change on crop production Field Crops Research 124: 357 – 368. Winch T. 2006. Growing Food a Guide to Food Production. Netherland: Springer Wolf J, Oijen MV. 2002. Model simulation of effects of changes in climate and atmospheric CO 2 and O 3 on tuber yield potential of potato (cv. Bintje) in the European Union. Agric.Ecosys. Environ, in press. Wolf J. 2002. Comparison of two potato simulation models under climate change. I. Model calibration and sensitivity analyses. Clim. Res., in press. Xiong D. 2008. Estimation of Daily Evapotranspiration by Three-Temperatures Model at Large Catchment Scale. The International Archieves of the Photogrammetry, Remote Sensing and Spatial Information Science. Vol .37 Part B8. Yin X, Stuik PC. 2010. Modelling the crop : from system dynamic to systems biology. J. of Exsperimental Botany 61 : 2171 – 2183. Yuan FM, Bland WL. 2003. Light and temperature modulated expolinear growth model for patato (Solanum tuberosum L). J. Agric and forest meteo. 121 : 141 – 151.
Lampiran 1. Foto-foto Percobaan Percobaan II
a) Kentang varietas Granola umur 36 HST
c) Penempatan solarimeter untuk mengukur mengukur radiasi transmisi (Qτ)
b) Kentang varietas Atlantis umur 36
d) Penempatan tube Solarimeter untuk radiasi datang (Q 0 )
e) Kalibrasi alat ukur kadar air tanah di Laboratorium f) Alat ukur kadar air tanah di lapangan yang dipasang pada kedalaman 10, 20, 40, 60, 80, dan 100 cm
150
Lampiran 2. Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan I ( Pacet). Hari
Sensor (kΩ)
Kedalaman U2J2
Tanggal
U3J1
U1J1
U1J2
U2J1
U3J2
(cm)
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
sabtu
10
3.13
3.16
0.53
0.51
0.48
0.48
6.93
6.92
4.28
4.28
5.2
5.17
9 januari 2010
20
3.45
3.45
0.48
0.48
0.38
0.38
4.71
4.71
2.32
2.31
4.61
4.59
40
5.64
5.64
0.5
0.5
1.2
1.2
2.24
2.23
3.01
3.01
2.02
2.02
60
8.96
8.96
1.02
1.02
3.24
3.23
4.35
4.35
5.15
5.19
3.62
3.62
80
7.97
7.97
5.65
5.65
14.15
14.15
24.9
24.9
7.28
7.27
7.69
7.68
100
10.03
10.03
7.09
7.07
36.3
36.2
17.09
17.07
9.95
9.93
27.28
27.8
rabu
10
4.13
4.13
0.48
0.48
0.43
0.43
4.17
4.2
2.28
2.27
2.96
2.96
13 januari 2010
20
3.13
3.14
0.36
0.36
0.27
0.27
5.68
5.71
1.31
1.3
3.4
3.4
40
5.94
5.94
0.43
0.43
0.89
0.89
2.47
2.05
2.11
2.11
1.48
1.48
60
9.14
9.3
0.95
0.94
2.53
2.53
4.12
4.15
2.84
2.83
3.36
3.36
80
8.31
8.31
5.22
5.22
11.84
11.84
20.6
20.6
5.95
5.95
7.39
7.39
100
10.34
10.34
6.61
6.61
31.8
31.8
15.12
15.13
9.05
9.04
24.9
24.9
rabu
10
2.98
2.97
0.52
0.52
0.51
0.5
4.37
4.37
2.78
2.78
2.82
2.82
20 januari 2010
20
3.1
3.1
0.34
0.35
0.28
0.27
5.02
5.02
1
1
2.86
2.86
40
5.55
5.55
0.4
0.4
0.72
0.72
2.92
2.92
1.54
1.54
1.55
1.56
60
7.95
7.95
0.69
0.69
2.52
2.51
3.82
3.82
2.44
2.44
2.97
2.97
80
8.04
8.04
4.86
4.86
11.33
11.32
20
20
5.73
5.73
6.62
6.62
100
9.82
9.82
6.25
6.24
30.8
30.8
14.28
14.27
8.7
8.7
26.2
26.3
rabu
10
3.25
3.24
0.67
0.67
0.74
0.74
4.28
4.28
5.03
5.03
2.05
2.05
27 januari 2010
20
3.41
3.41
0.44
0.45
0.31
0.3
6.97
6.96
1.42
1.46
3.6
3.59
40
6.15
6.16
0.37
0.37
0.76
0.76
3.8
3.79
1.62
1.65
1.7
1.76
60
7.02
7.02
0.63
0.63
2.61
2.61
4.04
4.04
2.39
2.42
2.86
2.85
80
7.48
7.48
4.62
4.62
10.91
10.9
20.7
20.8
5.35
5.39
5.95
5.95
100
9
8.99
6.08
6.08
29.9
29.9
13.44
13.44
9
8.92
23.4
24.5
rabu
10
2.96
2.97
1.53
1.54
1.25
1.24
5.9
5.89
5.2
5.2
2.37
2.37
3 februari 2010
20
2.88
2.89
0.67
0.67
0.37
0.36
9.56
9.55
1.6
1.59
3.49
3.49
40
5.44
2.89
0.38
0.38
0.8
0.79
4.76
4.76
1.53
1.52
1.91
1.88
60
6.3
5.44
0.61
0.61
2.16
2.15
3.92
3.92
1.99
1.99
2.79
2.79
80
6.41
6.39
3.7
3.7
10.89
10.67
18.4
18.4
3.95
3.94
5.22
5.22
100
7.27
7.27
6.11
6.11
31.2
31.2
12.25
12.24
8.73
8.73
23.9
23.8
kamis
10
3.29
3.28
1.83
1.84
0.6
2.02
6.71
6.73
6.64
6.67
3.07
3.08
11 februari 2010
20
3.36
3.35
0.98
0.99
0.43
0.39
8.64
8.67
2.48
2.49
4.27
4.27
40
4.73
4.72
0.4
0.41
0.84
0.79
7.37
7.4
1.68
1.69
1.8
1.81
60
5.61
5.61
0.56
0.58
1.74
1.7
3.87
3.92
1.96
1.95
2.65
2.67
80
5.3
5.29
3.21
3.23
9.87
9.89
17.5
17.5
3.2
3.18
4.41
4.43
100
5.61
5.6
5.84
5.89
30.6
30.5
10.41
10.43
9.05
9.04
21.1
21.1
151
Lampiran 3. Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan II ( Galudra). Tanggal
1 April 2010
9 April 2010
16 April 2010
23 April 2010
30 April 2010
7 Mei 2010
14 Mei 2010
21 Mei 2010
Kedalaman (cm)
Sensor (kΩ) J1U1
J1U2
J1U3
J2U1
J2U2
J2U3
10
23,8
17,58
12,76
5,48
16,56
15,20
20
9,5
11,30
16,56
2,32
11,70
12,13
40
9,98
6,94
12,36
9,25
9,23
14,97
60
5,54
6,62
6,63
5,93
11,89
9,23
80
12,37
14.58
11,64
5,56
9,97
14,49
100
9,64
13,85
9,16
3,79
6,23
10,06
10
24,60
19,30
16,80
6,74
19,23
16,92
20
13,74
11,80
15,14
3,04
14,71
13,34
40
7,24
10,20
14,43
11,94
11,07
18,83
60
7,04
6,05
5,71
7,21
13,42
8,84
80
9,56
13,74
12,85
6,28
13,05
13,86
100
14,50
10,68
10,24
4,29
6,46
10,96
10
17,04
22,90
12,10
7,36
20,23
14,33
20
9,75
9,80
14,42
2,30
9,12
8,25
40
5,83
6,40
10,94
8,00
8,27
12,30
60
6,03
4,60
8,87
5,37
10,95
7,94
80
3,77
11,93
9,87
5,06
10,79
14,86
100
13,08
9,13
8,33
10
18,56
20,3
10,12
3,01 8,74
5,64 16,56
8,72 10,83
20
9,08
9,86
15,63
3,89
9,32
6,06
40
6,29
5,86
10,86
8,26
8,28
11,44
60
6,17
4,62
9,36
5,74
10,77
7,44
80
9,99
11,06
9,23
5,60
10,87
12,07
100 10
10,72 17,17
9,36 21,32
8,55 14,71
3,46 10,15
5,81 17,86
8,75 17,76
20
11,40
9,59
15,73
4,01
13,69
8,57
40
6,02
5,92
11,62
9,50
10,09
15,61
60
6,14
4,59
5,33
6,50
11,81
9,52
80
3,71
11,36
10,25
6,12
11,33
14,34
100 10
12,99
9,89
8,55
3,65
5,86
9,79
19,08
18,48
16,38
11,15
18,67
18,25
20
9,95
12,50
16,75
4,29
11,65
9,50
40
6,07
6,03
12,26
10,38
12,20
15,62
60
4,76
6,28
8,01
7,22
11,76
9,06
80
12,50
4,10
10,81
6,78
11,22
14,20
100
11,08
11,07
8,98
4,11
5,84
10,03
10
19,30
18,86
14,81
10,40
16,73
19,60
20
10,03
8,85
10,88
7,13
9,62
8,87
40
5,38
5,01
9,90
5,41
119,1
9,45
60
6,01
4,19
8,67
6,01
9,74
9,17
80
3,96
10,30
9,01
5,91
10,30
12,76
100
16,10
8,72
7,48
3,35
5,53
8,73
10
18,60
17,40
14,19
9,90
18,23
8,47
20
10,21
8,62
11,23
6,93
9,26
8,39
40
5,78
5,68
10,56
4,56
43,40
14,82
60
6,57
4,37
9,90
6,65
10,33
8,80
80
9,43
11,02
10,19
6,66
10,78
13,54
100
12,14
10,89
8,44
4,35
6,25
9,46
152
Lampiran 4. Hasil pengukuran kadar air tanah Percobaan III ( Kerinci). Tanggal
Kedalaman (cm)
Sensor (kΩ)
26 Mei 2011
10 20 40 60 80 100
J1V1 0,42 0,54 2,45 5,00 3,75 9,09
1 Juni 2011
10
1,32
0,85
0,92
1,95
20
0,75
2,09
3,51
2,16
40
2,90
3,56
2,95
5,20
60
5,43
38,37
12,87
5,20
80
3,67
56,38
15,53
8,97
100
8,90
67,21
15,61
44,44
10
1,20
0,50
1,24
2,35
20
0,75
0,85
3,91
4,15
40
2,65
3,83
4,03
24,86
60
4,52
28,29
38,80
20,57
80
3,72
44,48
32,42
8,95
100
8,55
68,30
30,60
40,55
10
2,99
0,80
0,97
1,65
20
1,20
1,19
1,61
3,00
40
5,29
12,30
1,89
6,58
60
6,59
21,52
9,87
34,18
8 juni 2011
17 Juni 2011
24 Juni 2011
30 Juni 2011
9 Juli 2011
14 Juli 2011
23 juli 2011
J1V2 0,65 0,93 15,08 44,68 39,35 40,72
J2V1 0,87 1,64 1,85 7,12 5,89 5,09
J2V2 1,86 2,36 4,19 25,94 8,99 48,21
80
6,82
25,13
29,07
9,73
100
14,21
29,33
25,85
5,45
10
3,72
1,88
0,91
7,62
20
1,56
3,58
2,45
5,97
40
2,69
8,80
32,30
17,42
60
5,08
33,46
37,07
25,27
80
3,56
27,10
29,95
9,70
100
7,25
30,25
19,32
55,95
10
0,80
2,98
1,41
4,73
20
0,52
7,20
3,45
4,27
40
2,53
10,08
4,36
16,13
60
2,95
12,28
16,96
23,32
80
3,05
17,18
10,74
7,91
100
5,58
17,36
10,73
7,12
10
0,78
1,94
3,04
15,27
20
0,52
3,38
10,48
18,68
40
2,18
5,56
9,20
49,00
60
7,04
72,94
18,80
25,36
80
6,22
49,55
15,51
7,39
100 10 20 40 60 80 100 10 20 40 60 80
12,21 1,50 0,90 3,43 3,70 6,43 14,87 1,22 0,89 2,29 8,96 9,16
58,45 1,76 3,72 4,02 36.87 66,66 53,32 1,61 2,74 5,93 43,13 32.04
11,79 3,60 33,35 153,20 125,82 85,59 103,73 3,02 7,57 14,17 93,85 56,15
31,90 2,56 1,83 4,00 55,59 26,45 145,13 2,30 1,46 4,33 19,72 5,76
153
100
Lampiran 5.
16,96
38,47
58,85
25,62
Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang Percobaan II (Galudra) Nilai Qint/MJ m-2 (Minggu Setelah Tanam)
Perlakuan 5
6
7
8
9
10
11
12
J1U1 1
7.6
12.6
16.0
23.7
41.4
42.8
20.9
20.6
J1U2 1
8.0
14.5
17.3
30.8
34.4
29.7
17.2
20.8
J1U3 1
8.3
11.1
8.2
24.7
31.8
32.1
20.9
23.3
J1U1 2
6.9
16.4
21.5
27.0
22.9
26.3
19.0
17.3
J1U2 2
7.3
11.3
8.3
12.9
28.4
28.9
17.2
17.1
J1U3 2
8.8
15.4
11.4
22.7
27.9
23.8
13.7
15.0
J2U1 1
9.1
21.0
37.9
25.8
44.0
53.2
29.1
25.0
J2U2 1
7.4
12.6
16.4
21.3
29.7
63.4
37.2
36.3
J2U2 1
6.7
11.2
8.2
19.2
28.4
74.8
35.6
36.3
J2U1 2
7.9
14.1
16.4
27.0
24.7
53.2
29.1
25.0
J2U2 2
7.0
13.5
10.2
14.0
17.9
47.1
26.4
25.4
J2U3 2
8.0
19.9
15.5
19.0
17.0
49.2
28.6
31.3
154
Lampiran 6.
Perlakuan J1V1
J1V1
J1V2
J2V2
Radiasi surya yang diintersepsi oleh tajuk tanaman kentang Percobaan III (Kerinci) Nilai Qint/MJ m-2 (Minggu Setelah Tanam)
Ulangan 2
3
4
5
6
7
8
9
10
1
41.8
38.1
39.1
44.1
44.2
28.5
40.6
54.4
42.8
2
41.8
38.2
51.8
60.0
46.0
29.1
42.0
58.4
45.3
3
41.8
38.1
39.1
44.2
45.2
28.4
41.0
57.3
41.7
1
29.4
26.7
27.2
30.6
30.9
19.8
28.2
38.3
27.5
2
29.3
26.5
27.1
30.5
31.1
19.8
28.1
37.7
28.1
3
29.4
26.7
27.2
30.5
30.8
19.3
28.2
37.4
35.5
1
43.0
38.9
39.6
44.4
42.8
26.7
37.1
48.8
37.9
2
43.6
39.4
40.2
45.0
43.4
27.1
37.6
49.5
38.4
3
41.1
37.2
37.9
42.5
40.9
25.5
35.4
46.7
36.2
1
30.4
27.5
23.6
24.8
34.8
16.2
28.6
32.0
29.3
2
31.1
28.1
28.6
32.1
30.9
19.3
26.8
35.3
27.4
3
31.1
28.1
28.7
32.1
31.0
19.3
26.8
35.3
27.4
155
Lampiran 7. Nilai LAI tiap perlakuan Percobaan II (Galudra) Nilai Qint/MJ m-2 (Minggu Setelah Tanam)
Perlakuan 4
5
6
7
8
9
10
11
J2U1
0.28
0.39
0.86
1.12
1.29
1.55
1.32
1.30
J2U2
0.25
0.24
0.74
1.02
1.25
1.31
1.22
1.04
J2U3
0.15
0.20
0.71
0.97
1.15
1.20
1.08
1.00
J1U1
0.46
0.87
1.83
1.99
2.48
2.55
2.44
2.22
J1U2
0.37
0.64
1.23
1.69
2.05
2.23
1.92
1.72
J1U3
0.25
0.50
0.97
1.30
1.85
1.90
1.75
1.65
Lampiran 8. Nilai LAI tiap perlakuan Percobaan III (Kerinci) Nilai LAI (Minggu setelah Tanam) Perlakuan
J1V1
J2V1
J1V2
J2V2
Ulangan 4
5
6
7
8
9
10
11
12
1
0.36
0.46
0.57
0.67
1.27
1.87
2.44
2.82
3.18
2
0.37
0.48
0.59
0.70
1.99
2.33
3.26
4.93
2.65
3
0.37
0.47
0.57
0.67
1.66
1.80
2.61
4.26
2.53
1
0.24
0.27
0.29
0.32
0.99
1.48
1.99
2.60
1.13
2
0.18
0.22
0.26
0.30
1.13
1.52
1.87
2.24
1.46
3
0.25
0.26
0.27
0.29
0.97
1.03
1.96
2.10
2.06
1
0.48
0.55
0.62
0.69
1.66
2.25
3.27
3.86
3.41
2
0.59
0.64
0.69
0.74
1.94
2.92
3.93
3.21
3.78
3
0.12
0.28
0.64
0.99
3.34
4.43
3.53
3.88
4.43
1
0.11
0.13
0.37
0.32
0.85
1.76
2.68
2.84
3.58
2
0.28
0.32
0.35
0.39
1.12
1.62
2.46
2.51
3.08
3
0.29
0.31
0.34
0.36
0.89
2.43
3.21
3.26
2.65
156
Lampiran 9. Berat kering akar Percobaan I (Pacet) Perlakuan 4
Berat kering akar yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) 5 6 7 8 9 10 11
12
U1J1
6.43
16.42
19.25
23.45
26.63
28.16
30.12
31.45
25.67
U1J2
2.79
5.96
15.67
17.11
19.97
20.64
22.75
21.87
18.12
U2J1
4.71
11.38
16.25
19.94
22.21
25.42
26.76
26.90
24.08
U2J2
1.92
5.96
9.04
12.32
17.01
19.84
19.89
23.67
20.70
U3J1
2.43
8.20
9.47
13.19
18.61
19.60
20.10
20.78
18.31
U3J2
2.76
3.74
5.44
9.02
13.05
16.62
17.89
17.90
15.34
Lampiran 10. Berat kering batang Percobaan I (Pacet) Perlakuan 4
Berat kering batang yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) 5 6 7 8 9 10 11
12
U1J1
5.44
18.62
21.26
35.32
68.67
80.48
95.78
99.23
86.67
U2J1
4.55
11.56
14.04
28.73
43.35
55.70
66.76
80.90
76.12
U3J1
1.91
5.64
11.28
23.75
28.80
51.84
58.46
69.80
57.87
U1J2
1.62
5.32
18.21
28.52
34.85
52.65
55.65
67.78
60.98
U2J2
1.33
4.69
7.38
14.76
28.52
42.26
44.34
53.23
48.00
U3J2
1.04
2.97
8.45
10.91
19.80
32.75
42.90
43.12
37.65
Lampiran 11. Berat kering daun Percobaan I (Pacet) Perlakuan 4
Berat kering daun yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) 5 6 7 8 9 10 11
12
U1J1
19.88
86.40
128.17
149.36
202.16
264.81
270.50
245.79
200.13
U2J1
15.76
60.24
93.73
101.88
108.71
117.27
110.23
87.67
75.64
U3J1
7.77
30.99
63.75
93.74
99.86
110.60
115.45
99.90
57.23
U1J2
7.66
29.04
33.21
44.33
102.28
122.58
130.23
115.46
94.80
U2J2
6.95
26.77
66.25
65.22
79.15
95.27
99.78
86.87
58.90
U3J2
4.10
17.45
35.00
31.23
73.56
87.45
92.34
51.23
43.45
157
Lampiran 12. Berat kering umbi Percobaan I (Pacet) 4
Berat kering umbi yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) 5 6 7 8 9 10 11
U1J1
0
0
0
77.6
149.1
227.1
332.1
501.1
489.1
U1J2
0
0
0
9.3
19.9
35.9
166.6
275.1
342.2
U2J2
0
0
0
34.0
49.8
64.7
205.5
257.1
227.7
U2J1
0
0
0
55.2
94.9
133.6
242.3
348.5
394.1
U3J1
0
0
0
38.6
55.5
68.7
192.0
253.6
311.3
U3J2
0
0
0
3.3
20.7
40.7
120.2
158.7
212.3
Perlakuan
12
Lampiran 13. Berat kering akar Percobaan II (Galudra) Berat kering akar yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
5
J1U1
1
8.34
10.78
15.15
2
7.96
11.88
1
5.37
2
J1U2
J1U3
J2U1
J2U2
J2U3
6
7
8
9
10
11
12
24.33
29.04
31.76
35.56
47.56
16.44
20.66
31.63
34.23
36.61
43.36
8.08
9.78
16.56
20.32
27.89
34.01
38.14
2.50
6.59
7.08
15.17
17.90
30.10
33.64
35.31
1
2.21
4.25
6.46
12.53
19.39
24.19
27.77
33.50
2
4.23
5.63
9.37
14.48
16.02
29.19
30.23
37.99
1
4.34
4.30
7.38
11.71
17.36
19.30
27.44
38.83
2
5.56
7.46
9.23
15.11
18.57
21.61
19.56
38.76
1
3.40
5.83
7.58
10.18
16.31
18.90
22.31
34.46
2
1.77
3.20
4.92
9.84
14.57
17.01
22.16
33.42
1
1.17
2.34
5.87
8.16
14.11
16.71
21.94
32.90
2
1.57
3.48
5.98
9.50
15.46
16.16
20.89
30.02
158
Lampiran 14. Berat kering batang Percobaan II (Galudra) Berat kering batang yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
5
J1U1
1
8.61
18.86
37.49
2
11.25
17.90
1
5.54
2
J1U2
J1U3
J2U1
J2U2
J2U3
6
7
8
9
10
11
12
54.08
62.92
66.09
70.47
81.34
33.27
50.54
58.03
63.43
66.53
71.25
14.57
24.42
41.53
53.76
59.40
63.79
71.43
5.75
13.59
28.99
42.76
54.32
55.90
59.73
60.36
1
4.49
12.32
23.58
32.76
44.77
52.35
59.87
67.71
2
6.00
7.15
14.27
35.14
43.26
54.23
55.55
59.01
1
4.45
6.51
17.15
24.10
43.61
50.63
57.78
60.60
2
7.37
9.44
16.20
26.65
38.25
47.99
54.55
58.48
1
3.92
8.97
15.40
20.10
39.12
44.99
50.54
52.50
2
4.32
5.99
13.49
19.91
34.92
46.22
51.88
60.10
1
2.09
3.21
13.22
15.53
28.78
38.18
49.28
51.61
2
2.80
4.87
11.14
18.67
35.15
39.35
46.00
50.16
Lampiran 15. Berat kering daun Percobaan II (Galudra) Berat kering daun yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
5
J1U1
1
22.02
46.03
99.32
2
24.07
41.19
1
19.90
2
J1U2
J1U3
J2U1
J2U2
J2U3
6
7
8
9
10
11
12
106.76
142.45
144.90
139.90
125.32
84.51
93.55
107.15
111.12
105.02
97.58
33.60
69.26
96.85
107.40
123.55
102.66
97.60
17.18
30.50
54.30
72.58
98.92
100.90
90.77
75.71
1
13.82
28.76
48.80
63.56
90.81
94.23
85.55
77.15
2
11.41
21.68
48.46
66.71
95.56
96.76
90.20
88.76
1
11.99
16.90
49.93
62.36
76.79
88.56
71.91
64.98
2
15.93
22.35
36.70
50.12
52.93
67.34
60.90
65.61
1
14.95
14.92
44.19
57.73
76.57
71.23
56.56
49.67
2
9.73
9.68
30.66
45.27
48.94
60.38
66.56
55.03
1
6.86
8.50
41.14
46.50
71.38
65.76
60.62
54.17
2
8.01
11.77
30.04
51.22
44.12
54.90
47.77
46.63
159
Lampiran 16. Berat kering umbi Percobaan II (Galudra) Berat kering umbi yang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
J1U1
1
33.08
2 J1U2
J1U3
J2U1
J2U2
J2U3
5
6
7
8
9
10
11
12
55.40
248.66
345.99
418.27
650.90
734.67
33.08
34.10
87.84
168.95
348.19
400.89
606.41
673.10
34.10
1
27.56
56.02
175.37
283.82
388.38
427.74
506.94
27.56
2
32.77
52.02
121.36
268.46
367.89
419.73
579.63
32.77
1
21.80
36.62
135.73
199.76
202.69
376.90
308.19
21.80
2
21.24
43.59
162.89
254.78
214.07
391.78
589.24
21.24
1
20.07
47.33
178.55
579.75
1389.61 1578.38 2288.01 20.07
2
21.28
50.57
116.45
588.45
1341.25 1679.90 2247.86 21.28
1
16.12
43.94
161.96
463.99
1350.90 1478.90 2090.52 16.12
2
16.20
47.07
107.07
483.20
1276.54 1493.84 2117.06 16.20
1
14.89
33.27
161.03
243.97
860.72
1847.00 1989.15 14.89
2
14.68
44.02
97.60
227.53
950.87
1390.56 2006.09 14.68
Lampiran 17. Berat kering akar Percobaan III (Kerinci) Berat kering akar diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
4
5
6
7
8
9
10
11
J1V1
1
6.85
8.64
13.58
15.43
33.64
34.97
44.71
45.24
2
6.39
7.47
21.91
31.81
43.87
47.25
45.37
46.91
3
5.31
9.13
31.9125
36.32
47.70
50.03
45.55
46.75
1
4.79
7.96
8.73
10.87
12.21
14.12
20.75
28.49
2
5.12
7.27
8.88
9.44
15.45
15.57
18.49
25.46
3
3.90
6.89
10.94
18.46
16.14
16.95
28.19
32.35
1
10.90
13.40
17.52
24.90
28.33
42.61
44.28
51.01
2
13.59
14.61
28.09
30.87
31.14
57.48
57.89
59.68
3
14.18
16.68
24.65
29.88
31.39
38.92
50.50
55.63
1
8.55
12.24
15.28
25.74
33.47
34.85
36.67
38.35
2
7.55
20.52
23.46
25.34
32.08
33.21
39.25
39.29
3
7.77
11.62
14.58
23.42
34.86
40.83
37.44
38.29
J2V1
J1V2
J2V2
160
Lampiran 18. Berat kering batang Percobaan III (Kerinci) Berat kering batang diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
4
5
6
7
8
9
10
11
J1V1
1
6.09
28.81
46.66
50.14
61.39
66.22
75.72
77.92
2
5.59
29.16
52.22
78.14
80.28
86.72
95.74
102.92
3
6.85
30.29
43.42
54.92
64.20
66.14
78.65
84.86
1
4.43
18.23
21.94
27.96
38.89
54.28
57.83
59.25
2
3.18
15.93
37.36
43.61
42.46
43.24
46.34
47.03
3
4.40
22.15
27.24
37.43
41.16
53.63
54.38
55.64
1
11.18
44.43
69.75
72.60
86.06
92.47
93.59
98.51
2
11.81
43.89
54.39
56.34
83.89
87.19
91.21
96.23
3
9.97
40.58
51.48
86.97
84.69
86.34
88.27
103.72
1
8.32
12.49
23.79
42.68
59.57
61.36
63.40
34.95
2
6.36
9.36
28.45
30.30
49.85
54.31
59.45
57.97
3
5.67
15.27
28.72
69.16
77.89
77.86
79.81
25.39
J2V1
J1V2
J2V2
Lampiran 19. Berat kering daun Percobaan III (Kerinci) Berat kering daun diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
4
5
6
7
8
9
10
11
J1V1
1
28.58
43.91
63.94
93.97
122.48
137.89
159.74
146.25
2
29.56
55.00
100.28
116.89
163.92
174.61
133.38
129.11
3
14.40
33.92
41.68
90.60
131.39
140.92
127.43
111.02
1
14.71
35.97
50.00
74.64
99.85
130.69
116.88
89.55
2
13.01
34.89
56.83
76.18
93.83
112.44
73.39
62.35
3
13.79
34.47
48.86
51.98
98.35
105.67
103.54
86.32
1
31.00
64.48
83.39
142.87
164.17
194.17
171.26
157.78
2
34.90
77.40
97.69
146.72
197.48
161.33
189.83
174.96
3
32.01
99.76
168.03
171.45
177.50
195.16
162.64
164.34
1
18.40
26.12
42.51
88.39
134.83
142.55
180.21
151.91
2
17.75
29.60
56.28
81.65
123.74
126.26
154.59
127.99
3
17.02
28.22
44.60
122.09
161.33
163.86
133.47
116.92
J2V1
J1V2
J2V2
161
Lampiran 20. Berat kering umbi Percobaan III (Kerinci) Berat kering umbi diukur pada minggu setelah tanam (gm-2) Perlakuan
Ulangan
4
5
6
7
8
9
10
11
J1V1
1
-
1.12
11.63
37.99
85.19
136.75
387.62
682.05
2
-
1.90
19.47
34.79
97.39
164.27
264.95
688.98
3
-
1.16
22.23
39.06
91.87
197.07
370.18
602.42
1
-
0.55
11.55
24.50
71.33
101.51
141.35
253.13
2
-
0.65
11.12
25.74
95.81
132.71
153.55
236.90
3
-
0.60
12.20
23.56
93.49
142.58
181.01
237.58
1
-
22.17
43.64
102.60
151.21
201.15
331.42
752.15
2
-
26.61
63.87
58.31
195.59
199.13
240.04
673.51
3
-
42.00
97.82
132.97
221.82
253.45
313.79
688.86
1
-
22.14
41.53
47.58
121.61
173.47
197.10
273.32
2
-
29.97
31.09
35.25
151.21
190.91
204.88
297.62
3
-
35.11
71.36
72.98
199.58
210.40
193.81
332.91
J2V1
J1V2
J2V2
Keterangan: - (Contoh tanaman belum memiliki umbi)
162
Lampiran 21. List program pemodelan tanaman kentang Private Sub model_kentang Dim Rain1(1000), RH1(1000), Temp1(1000), Rad1(1000), Wind1(1000), cek(1000) GoSub Parameter GoSub Inisialisasi GoSub Input_Cuaca DAS = 0 For j = 1 To 730 If j < dtanam Then GoTo lompat If s >= 1 Then GoTo lompat DAS = DAS + 1 suhu = (Temp1(j) + dt) RH = RH1(j) Rad = Rad1(j) Angin = Wind1(j) hujan = (Rain1(j)) + (dch * (Rain1(j)) / 100) If j > 365 Then ij = j – 365 GoSub Cuaca GoSub Evaporasi GoSub Perkembangan GoSub Pertumbuhan GoSub Neraca_Air lompat: Next '--------------------------------------------------------------------'MsgBox "Model telah selesai dijalankan, Klik OK untuk Keluar", vbOKOnly, "PESAN" akhir: GoTo tamat '-------------------------------------------------------------Parameter: 'Tanaman LUE = (Val(Text1.Text)) / 1000 'kg/MJ sla = Val(Text2.Text) 'ha/kg tb = Val(Text3.Text) 'o C Tuem = Val(Text4.Text) TUveg = Val(Text5.Text) TUins = Val(Text6.Text) TUbulk = Val(Text7.Text) TUmat = Val(Text8.Text) k = 0.5
163
kg = 0.14 km = 0.01 'Tanah: dlayer = Val(Text9.Text) 'mm FC1 = (Val(Text10.Text)) * dlayer / 100 'mm WP1 = (Val(Text11.Text)) * dlayer / 100 'mm alpha = 5.08 U = 12 'Cuaca: pi = 3.14: gamma = 66.1: lhv = 2.454: dair = 1.204: cp = 1010 alb = 0.25 'albedo rumput Return '-------------------------------------------------------------Inisialisasi: TWawal = (Val(Text12.Text) * 1000) * (100 - 84) / 100 'berat bibit kering per ha (kg/ha) laiawal = Val(Text13.Text) lai = laiawal swc = (Val(Text14.Text)) * (dlayer / 100) 'dalam mm Return '-------------------------------------------------------------'--------------------------------------------------------------------reset: j = 0: Rain1(j) = 0: RH1(j) = 0: Temp1(j) = 0: Rad1(j) = 0: Wind1(j) = 0 DW = 0: AW = 0: BW = 0: UW = 0: TW = 0: s = 0 s1 = 0: s2 = 0: s3 = 0: s4 = 0: s5 = 0 lai = 0: slw = 0: Etm = 0: Tsa = 0: Es = 0 wdf = 0 zzz = 0 Return '--------------------------------------------------------------------Input_Cuaca: Open tinput.Text For Input As #1 Open toutput.Text For Output As #2 Open App.Path & "\perubahan.csv" For Output As #3 j=0 While Not EOF(1) j=j+1 Input #1, Rain1(j), Rad1(j), Temp1(j), RH1(j), Wind1(j) Wend Close #1 Return '--------------------------------------------------------------------Cuaca: 'panjang hari, dlen(hours) d = -23.4 * Cos(2 * pi * (ij + 10) / 365) sinld = Sin(lat * pi / 180) * Sin(d * pi / 180)
164
cosld = Cos(lat * pi / 180) * Cos(d * pi / 180) sinb = Sin(-0.833 * pi / 180) arg = (sinb - sinld) / cosld arccos = 2 * Atn(1) - Atn(arg / Sqr(1 - arg * arg)) dlen = 24 / pi * arccos 'tekanan uap: esat = 6.1078 * Exp(17.239 * suhu / (suhu + 273.3)) Ea = RH * esat / 100 vpd = esat - Ea 'landaian tekanan uap (Pa/C) delta = (47.139 * Exp(0.055129 * suhu)) 'radiasi gelombang panjang (MJ m-2 d-1) sangot = 58.75 * (sinld + cosld) nN = (Rad / sangot - 0.16) / 0.62 RLw = (2 * (10 ^ -9) * ((suhu + 273.3) ^ 4) * (0.56 - 0.08 * Sqr(Ea)) * (0.1 + 0.9 * nN)) 'radiasi neto (MJ m-2 d-1) Rn = (1 - alb) * Rad - RLw 'fungsi aerodinamik (MJ(C m2 d)-1) F1 = 0.64 * (1 + 0.54 * Angin * 1000 / 3600): 'angin dalam km/jam 'evapotranspirasi maksimum 'ETm = (delta * Rn + f1 * vpd * 100) / ((delta + gamma) / lhv) Etm = (delta * Rn + F1 * dair * cp * vpd * 100 / 1000) / ((delta + gamma) * lhv): 'vpd dalam mb diubah jadi kPa If Etm < 0 Then Etm = 0 Return '----------------------------------------------------------------Evaporasi: 'intersepsi tajuk, fint(Zinke, 1967), mm If lai < 3 Then Fint = 0.4233 * lai Else Fint = 1.27 If Fint > hujan Then Fint = hujan 'infiltrasi (INF),mm inf = hujan - Fint '+Irrig tsm = Etm * (1 - Exp(-k * lai)) Esm = Etm - tsm If Esm < 0 Then Esm = 0 If tsm < 0 Then tsm = 0 p = inf If CEs1 >= U Then GoTo stage2 stage1: If p > CEs1 Then CEs1 = 0 Else CEs1 = CEs1 - p cumes1: CEs1 = CEs1 + Esm If CEs1 < U Then Es = Esm Else GoTo transition GoTo bufferevap transition: Es = Esm - 0.4 * (CEs1 - U) CEs2 = 0.6 * (CEs1 - U)
165
times = (CEs2 / alpha) ^ 2 GoTo bufferevap stage2: If p > CEs2 Then GoTo storm times = times + 1 timeso = times - 1 Es = alpha * Sqr(times) - alpha * Sqr(timeso) If p > 0 Then GoTo rained If Es > Esm Then Es = Esm cumes2: CEs2 = CEs2 + Es - p GoTo bufferevap storm: p = p - CEs2 CEs1 = U - p If p > U Then CEs1 = 0 GoTo cumes1 rained: Esx = 0.8 * p If Esx <= Es Then Esx = Es + p If Esx > Esm Then Esx = Esm Es = Esx GoTo cumes2 bufferevap: If swc < 0.5 * WP1 Then Es = 0 Return '----------------------------------------------------------------Perkembangan: If s > 0.8 Then GoTo maturity If s > 0.44 Then GoTo bulking If s > 0.33 Then GoTo inisiasi If s > 0.16 Then GoTo vegetative Dim n1, n2, n3, n4, n5 emergence: s1t = s n1 = n1 + 1 If suhu > tb Then s1 = s1 + 0.16 * (suhu - tb) / Tuem Else GoTo stage If s1 > 0.16 Then s1 = 0.16 If s1 < 0.16 Then GoTo stage vegetative: s2t = s n2 = n2 + 1 If suhu > tb Then s2 = s2 + 0.17 * (suhu - tb) / TUveg Else GoTo stage If s2 > 0.17 Then s2 = 0.17 If s2 < 0.17 Then GoTo stage inisiasi: s3t = s n3 = n3 + 1
166
If suhu > tb Then s3 = s3 + 0.11 * (suhu - tb) / TUins Else GoTo stage If s3 > 0.11 Then s3 = 0.11 If s3 < 0.11 Then GoTo stage bulking: s4t = s n4 = n4 + 1 If suhu > tb Then s4 = s4 + 0.36 * (suhu - tb) / TUbulk Else GoTo stage If s4 > 0.36 Then s4 = 0.36 If s4 < 0.36 Then GoTo stage maturity: s5t = s n5 = n5 + 1 If suhu > tb Then dsmat = 0.2 * (suhu - tb) / TUmat Else dsmat = 0 s5 = s5 + dsmat If s5 > 0.2 Then s5 = 0.2 smat = smat + dsmat stage: s = s1 + s2 + s3 + s4 + s5 If (s1t = s2t) Then s1t = 0 If (s2t = s3t) Then s2t = 0 If (s3t = s4t) Then s3t = 0 If (s4t = s5t) Then s4t = 0 If suhu > tb Then TU = TU + (suhu - tb) Return '----------------------------------------------------------------Pertumbuhan: 'biomasa If s = 0.1 Then nB = 0.3198 * Exp(-0.3173 * s) nA = 0.3319 * Exp(-0.4935 * s) nD = 1 - nS - nR nU = 0 ElseIf s <= 0.44 Then nB = -0.0333 * s + 0.1674 nA = -0.034 * s + 0.0806 nD = -0.0664 * s + 0.3401 nU = 1 - nS - nR - nL ElseIf s <= 0.8 Then nB = -0.0333 * s + 0.1374 nA = -0.034 * s + 0.0706 nD = -0.0664 * s + 0.2 nU = 1 - nS - nR - nL Else nB = 0 nA = 0 nD = 0 nU = 1
167
End If 'radiasi intersepsi Sint = Rad * (1 - Exp(-k * lai)) 'produksi bahan kering potensial (kg ha-1 d-1) GDMp = LUE * Sint * 10 ^ 4: 'lue dalam kg/MJ, Sint dalam MJ/m2 GDMa = (1 - kg) * GDMp * wdf 'respirasi pemeliharaan (kg ha-1 d-1) Q10 = 2 ^ ((suhu - 20) / 10) RmB = km * Q10 * BW: RmA = km * Q10 * AW: RmD = km * Q10 * DW: RmU = km * Q10 * UW 'pembagian biomassa: dBW = nB * GDMa - RmB: dAW = nA * GDMa - RmA: dDW = nD * GDMa - RmD: dUW = nU * GDMa - RmU 'biomassa: BW = BW + dBW AW = BW + dBW DW = DW + dDW UW = UW + dUW TW = BW + AW + DW + UW Return '--------------------------------------------------------------------Neraca_Air: transpirasi: 'penyerapan air relatif (rew) swccrit = WP1 + 0.4 * (FC1 - WP1) rew = (swc - WP1) / (swccrit - WP1) If swc <= WP1 Then rew = 0 If rew > 1 Then rew = 1 'transpirasi aktual (mm) Tsa = tsm * rew If Tsa >= tsm Then Tsa = tsm tsa1 = tsa1 + Tsa swc = swc + inf - Es - Tsa If swc > FC1 Then GoTo runoff GoTo bufferwbal runoff: runoff1 = swc - FC1 swc = FC1 bufferwbal: If swc < 0 Then swc = 0: 'If swe < 0 Then swc = 0 If tsm > 0 Then wdf = Tsa / tsm BW = Round(BW, 2): AW = Round(AW, 2): DW = Round(DW, 2): UW = Round(UW, 2): TW = Round(TW, 2) Write #2, DAS, s, s1t, s2t, s3t, s4t, s5t, lai, BW, AW, DW, UW, TW, swc, FC1, WP1, runoff1, Etm, Tsa, Ea, n1, n2, n3, n4, n5 Write #3, Rain1(j), hujan, Temp1(j), suhu Return tamat:
168
Close #3 Close #2 MsgBox "Model telah selesai dijalankan, Klik OK untuk Keluar", vbOKOnly, "PESAN" mainform.Hide hasilform.Show End Sub