1
LAPORAN HASIL PENELITIAN
RESPON TANAMAN KENTANG (Solanum tuberosum L.) AKIBAT PEMBERIAN MIKROORGANISME LOKAL (MOL) BONGGOL PISANG DI DATARAN MEDIUM
Oleh RIDWAN HANAN MERIYANTO BERLIAN ADE PUTRA
PROGRAM STUDI AGROTEKNOLOGI
FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS TRIDINANTI PALEMBANG 2015
1
2
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan salah satu jenis sayuran subtropis yang terkenal di Indonesia. Daya tarik sayuran ini terletak pada umbi kentang yang kaya karbohidrat dan bernilai gizi tinggi. Di Indonesia kentang dijadikan bahan pangan alternatif atau bahan karbohidrat substitusi, terutama dalam pemenuhan kebutuhan gizi dan pangan masyarakat Indonesia di samping beras (Gunarto, 2003). Kentang merupakan tanaman dikotil yang bersifat semusim karena hanya satu kali berproduksi setelah itu mati, berumur pendek antara 90 sampai 180 hari dan berbentuk semak/herba. Batangnya yang berada di atas permukaan tanah ada yang berwarna hijau, kemerah-merahan, atau ungu tua. Akan tetapi, warna batang ini juga dipengaruhi oleh umur tanaman dan keadaan lingkungan. Pada kesuburan tanah yang lebih baik atau lebih kering, biasanya warna batang tanaman yang lebih tua akan lebih menyolok dan bagian bawah batangnya bisa berkayu, sedangkan batang tanaman muda tidak berkayu sehingga tidak terlalu kuat dan mudah roboh. Kentang (Solanum tuberosum L.) merupakan komoditas hortikultura yang saat ini menjadi bahan pangan alternatif sebagai sumber karbohidrat selain padi, gandum dan jagung. Kandungan gizi kentang per 100 gram umbi yaitu protein 2 g, lemak 0.1 g, karbohidrat 19.1 g, kalsium 11 mg, fosfor 50 mg, besi 0.7 mg,
2
3
serat 0.3 g, vitamin B1 0.09 mg, vitamin C 16 mg dan kalori 83 kal (Idawati, 2012). Luas pertanaman kentang dan hasil di Indonesia setiap tahun cenderung menunjukkan peningkatan. Tercatat rata-rata hasil panen tanaman kentang pada tahun 2003 sebesar 18,90 ton/hektar, dan pada tahun 2004 sebesar 19,83 ton/hektar (Anonim, 2006). Perhatian utama dalam usaha peningkatan produksi kentang di Indonesia yaitu kualitas dan kuantitas bibit kentang masih rendah serta faktor topografi wilayah, dimana daerah dengan ketinggian tempat dan temperatur yang sesuai untuk pertanaman kentang di Indonesia sangat terbatas (Kuntjoro, 2000). Ekstensifikasi lahan pertanian kentang di dataran tinggi tidak dapat dilakukan karena faktor kelestarian lingkungan, sehingga dataran medium menjadi alternatif eksplorasi lahan budidaya kentang. Selama ini budidaya kentang di dataran medium kurang diminati petani karena produktivitasnya lebih rendah dengan biaya perawatan tanaman tinggi (Basuki dan Kusmana, 2005). Di beberapa wilayah di Indonesia, budidaya kentang di dataran medium (300 sampai 700 m dpl) pernah dilakukan, seperti di daerah Magelang, Jawa Tengah, beberapa kecamatan di Tanah Datar, Sumatera Barat, dan DI Yogyakarta pada tahun 1980-an. Menurut Basuki et al. (2009), kendala yang dihadapi petani dalam budidaya kentang di dataran medium Magelang antara lain produktivitas yang rendah, harga bibit mahal, penyakit busuk umbi, dan rendahnya harga jual.
3
4
Dua puluh varietas kentang pernah ditanam di dataran medium di Magelang dan Malang dan 7 di antaranya yaitu Granola, Morene, Nicola, Spunta, Cipanas, Desiree, dan Katela menunjukkan produksi yang cukup tinggi dengan kisaran 12,86-21,15 ton/ha (Sahat & Sulaeman 1989). Produktivitas varietas Granola di dataran medium di Tapanuli Selatan, Provinsi Sumatera Utara mencapai 15,7 ton/ha (Harahap et.al. 2009). Hasil penelitian Prabaningrum et al. (2009) di Kabupaten Majalengka (680 m dpl), Jawa Barat menunjukkan bahwa varietas Granola mampu berproduksi 21 ton/ha. Produktivitas tanaman kentang varietas Granola mampu mencapai hasil yang optimal dengan penggunaan generasi bibit G3 bobot umbi bibit 21 sampai 40 gram yakni 16,97 ton/ha dan penggunaan generasi bibit G4 dengan bobot umbi 41 sampai 60 gram dan >60 gram mampu mencapai 21 ton/ha dan 17,5 ton/ha. Penggunaan generasi bibit G3 dengan bobot umbi bibit 21 sampai 40 gram mampu meningkatkan hasil 29,43% jika dibandingkan dengan bobot umbi bibit <20 gram.
Pada penggunaan generasi bibit G4 dengan bobot umbi bibit 41
sampai 60 gram mampu meningkatkan hasil 36,31%, jika dibandingkan dengan bobot umbi yang berukuran kecil (Wulandari et al., 2014). Umumnya petani dalam mensukseskan usahataninya terutama komoditas hortikultura kentang menggunakan masukan kimia (pupuk dan pestisida) yang sangat tinggi. Kentang memerlukan pupuk anorganik yang cukup banyak seperti Urea 300 kg/ha dan Kalium 200 kg/ha untuk pertumbuhan dan perkembangannya agar diperoleh produksi yang maksimal. Akibat dari prilaku yang demikian ini sudah barang tentu akan berdampak negatif, terutama terjadi pencemaran lingkungan, penurunan kesuburan tanah, resistensi hama dan penyakit, dan
4
5
musnahnya musuh alam. Komponen teknologi budidaya kentang ramah lingkungan yang dapat diimplementasikan antara lain: pemakaian bibit kentang bermutu dan bersertifikat, konservasi lahan, pemakaian mulsa plastik, pemakaian ajir bambu, pemakaian bahan organik, insektisida botani dan jamur pathogen (Harwanto, 2002). Pupuk organik memiliki peranan sangat penting bagi tanah karena dapat mempertahankan dan meningkatkan kesuburan tanah melalui perbaikan sifat kimia, fisika dan biologinya. Pupuk organik juga dapat menggantikan unsur hara yang hilang akibat terbawa oleh tanaman ketika dipanen atau aliran air permukaan (Djuarnani et al., 2005). MOL dapat diaplikasikan pada tanaman sebagai pupuk hayati, sebagai starter/biang pengomposan bahan organik maupun sebagai bahan pestisida hayati terutama sebagai fungisida hayati. Namun keberhasilnya masih bervariasi selain itu kandungan mikroorganismenya juga bervariasi dan sampai sekarang masih belum ada kajian yang menyebutkan apa saja kandungan mikroorganisme, kandungan unsur hara maupun kandungan ZPT/hormon yang terdapat pada suatu MOL. Resep maupun bahan-bahan pembuat MOL sangat bervariasi sehingga kandungan berbagai mikoroganisme, unsur hara maupun hormonya juga dimungkinkan bervariasi juga.
Namun hal ini tidak menjadi masalah, yang
penting aplikasi MOL ini dapat memberikan manfaat yang nyata bagi petani dan mengurangi biaya usahatani serta dapat meningkatkan kemandirian petani kita. Justru kehadiran MOL ini dapat memperkaya alternatif berbagai teknologi tepat guna yang dapat diterapkan oleh petani serta dapat merangsang kreativitas dan inovasi petani (Anonim, 2012).
5
6
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik melakukan penelitian tentang pengaruh pemberian Mikro Organisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) di dataran medium.
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh pemberian Mikro Organisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) di dataran medium. Penelitian ini diharapkan akan menambah pengetahuan masyarakat terhadap pengaruh pemberian Mikro Organisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) di dataran medium.
6
7
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Sistematika Tanaman Kentang Solanum tuberosum atau yang lebih dikenal sebagai kentang merupakan tanaman setahun, bentuk sesungguhnya menyamak dan bersifat menjalar. Batangnya berbentuk segi empat, panjang bisa mencapai 50 sampai 120 cm dan tidak berkayu, batang dan daun berwarna hijau kemerah-merahan atau keunguunguan. Akar tanaman menjalar dan berukuran sangat kecil bahkan sangat halus. Selain mempunyai organ-organ di atas, kentang juga mempunyai organ umbi. Umbi tersebut berasal dari cabang samping yang masuk ke dalam tanah. Cabang ini merupakan tempat untuk menyimpan karbohidrat sehingga membengkak dan bisa dimakan. Umbi bisa mengeluarkan tunas dan nantinya akan membentuk cabang-cabang baru. Kentang termasuk tanaman setahun yang ditanam untuk dipanen umbinya. Umbi kentang merupakan ujung stolon yang membesar dan merupakan organ penyimpanan yang mengandung karbohidrat yang tinggi (Setiadi, 2009) Menurut Samadi (2007) Kentang termasuk jenis tanaman sayuran semusim, berumur pendek dan berbentuk perdu atau semak. Kentang termasuk tanaman semusim karena hanya satu kali berproduksi dan setelah itu mati. Umurnya relatif pendek, hanya 90 sampai 180 hari.
7
8
Menurut Nurainal (2012), Sistematika tumbuhan (taksonomi) tanaman kentang diklasifikasikan sebagai berikut : Kingdom
: Plantae
Divisi
: Spermatophyta
Sub Divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotiledonae
Ordo
: Solanales
Famili
: Solanaceae
Genus
: Solanum
Species
: Solanum tuberosum L.
Menurut Samadi (2007), bagian-bagian penting tanaman kentang adalah sebagai berikut : 1. Daun Tanaman kentang umumnya berdaun rimbun, daunnya terletak berselangseling pada batang tanaman, berbentuk oval agak bulat dan meruncing, dan bertulang daun menyirip seperti duri ikan. Daun berkerut-kerut dan permukaan bagian bawah daun berbulu. Warna daun hijau muda sampai hijau tua hingga kelabu. Ukuran daun sedang dengan tangkai pendek. Daun tanaman berfungsi sebagai tempat proses asimilasi dalam rangka pembentukan karbohidrat, lemak, protein, vitamin, dan mineral. Hasil fotosintesis atau asimilasi digunakan dalam pertumbuhan vegetatif, pertumbuhan generatif, respirasi, dan persediaan makanan.
8
9
2. Batang Batang berbentuk segi empat atau segi lima (tergantung varietasnya), tidak berkayu, dan bertekstur agak keras. Batang kentang umumnya lemah sehingga mudah roboh bila terkena angin kencang. Warna batang umumnya hijau tua dengan pigmen ungu. Batang bercabang-cabang dan setiap cabang ditumbuhi oleh daun-daun yang rimbun. Permukaan batang halus, ruas batang tempat tumbuhnya cabang mengalami penebalan, diameter batang kecil dengan panjang mencapai 1,2 m. Batang tanaman berfungsi sebagai jalan zat hara dari tanah ke daun, juga untuk menyalurkan hasil fotosintesis dari daun ke bagian tanaman yang lain. 3. Akar Tanaman kentang memiliki sistem perakaran tunggang dan serabut. Akar tunggang bisa menembus tanah sampai kedalaman 45 cm, sedangkan akar serabut tumbuh menyebar kearah samping dan menembus datar. Akar tanaman berwarna keputih-putihan dan berukuran sangat kecil. Akar tanaman berfungsi untuk menyerap zat-zat hara yang diperlukan tanaman untuk memperkokoh berdirinya tanaman. 4. Bunga Tanaman kentang ada yang berbunga dan ada juga yang tidak berbunga, tergantung varietasnya. Warna bunga bervariasi, kuning atau ungu.
Kentang varietas Desiree berbunga ungu, varietas Cipanas,
Segunung, dan Cosima bunga dan benang sarinya berwarna kuning sedangkan putiknya berwarna putih.
9
10
Bunga kentang tumbuh dari ketiak daun teratas. Jumlah tandan bunga juga bervariasi.
Bunga kentang berjenis kelamin dua, bunga yang telah
mengalami penyerbukan akan menghasilkan buah dan biji. Buah berbentuk buni dan di dalamnya terdapat banyak biji. 5. Umbi Umbi kentang terbentuk dari cabang samping diantara akar-akar. Umbi berfungsi untuk menyimpan bahan makanan seperti karbohidrat, protein, lemak, vitamin, mineral, dan air. Ukuran, bentuk dan warna umbi kentang bermacam-macam, tergantung varietasnya. Bentuk umbi ada yang bulat, oval agak bulat, dan bulat panjang. Umbi kentang ada yang berwarna kuning, putih, dan merah. Umbi kentang memiliki mata tunas sebagai bahan perkembangbiakan, yang selanjutnya akan dapat menjadi tanaman baru. Selain mengandung zat gizi, umbi kentang mengandung solanin. Zat ini bersifat racun berbahaya bagi yang memakannya. Racun solanin tidak dapat hilang apabila umbi tersembul keluar dari tanah dan terkena sinar matahari. Umbi kentang yang masih mengandung racun solanin berwarna hijau walaupun telah tua. Berdasarkan warna umbinya, kentang dibedakan menjadi 3 golongan berikut : 1. Kentang putih (varietas marita, donate, radosa, diamante dan lain-lain). 2. Kentang kuning (varietas patrones, granola, cipanas, cosmina dan lain-lain). 3. Kentang merah (varietas desiree dan arka).
10
11
Dari ketiga jenis kentang tersebut, yang paling digemari masyarakat dan sangat laku di pasaran adalah kentang kuning. Kentang ini berasa lebih enak, lebih gurih, tidak lembek dan kadar airnya rendah (Samadi, 2007). Granola merupakan varietas unggul, karena produktivitasnya bisa mencapai 30 sampai 35 ton per hektar. Granola juga tahan terhadap penyakit kentang pada umumnya. Bila varietas lain kerusakan akibat penyakit bisa 30%, granola hanya 10%. Umur panen normal adalah 90 hari, meskipun 80 hari sudah bisa dipanen. Warna kulit dan daging umbi kuning dan bentuknya relatif lonjong alias oval (Yulidc, 2011). Komposisi utama umbi kentang terdiri atas 80% air, 18% pati dan 2% protein. Selain mengandung mineral, kalsium, fosfor dan zat besi, umbi kentang juga mengandung beberapa mineral lain yaitu magnesium, kalium, natrium, klorin, sulfur, tembaga, mangan dan kobalt. Umbi kentang dimanfaatkan sebagai bahan pangan baik dalam bentuk segar maupun dalam bentuk olahan (Pitojo, 2004). B. Syarat Tumbuh Tanaman Kentang 1. Iklim Daerah dengan curah hujan rata-rata 1500 mm/tahun sangat sesuai untuk membudidayakan kentang.
Lama penyinaran yang diperlukan tanaman kentang
untuk kegiatan fotosintesis adalah 9 sampai 10 jam/hari. Lama penyinaran juga berpengaruh terhadap waktu dan masa perkembangan umbi. Suhu optimal untuk pertumbuhan kentang adalah 18°C sampai 21°C.
11
Pertumbuhan umbi akan
12
terhambat apabila suhu tanah kurang dari 10°C dan lebih dari 30°C. Kelembaban yang sesuai untuk tanaman kentang adalah 80% sampai 90% (Suryana, 2013). 2. Tanah Secara fisik, tanah yang baik untuk bercocok tanam kentang adalah yang berstruktur remah, gembur, banyak mengandung bahan organik, drainase baik dan memiliki lapisan olah yang dalam. Tanah yang memiliki sifat ini adalah tanah andosol yang terbentuk dari pegunungan-pegunungan.
pH tanah yang sesuai
untuk tanaman kentang bervariasi antara 5 sampai 7 tergantung varietasnya. Tanaman kentang akan tumbuh ideal pada tanah yang memiliki pH antara 5 sampai 5,5.
Daerah yang cocok untuk menanam kentang adalah dataran
tinggi/daerah pegunungan, dengan ketinggian antara 1000 sampai 3000 m dpl. Beberapa varietas kentang dapat ditanam di dataran menengah yaitu 300 sampai 700 m dpl (Suryana, 2013). C. Mikro Organisme Lokal Mikroorganisme lokal (MOL) adalah mikroorganisme yang dimanfaatkan sebagai starter dalam pembuatan pupuk organik padat maupun pupuk cair. Bahan utama MOL terdiri dari beberapa komponen yaitu karbohidrat, glukosa, dan sumber mikroorganisme. Bahan dasar untuk fermentasi larutan MOL dapat berasal dari hasil pertanian, perkebunan, maupun limbah organik rumah tangga. Karbohidrat sebagai sumber nutrisi untuk mikroorganisme dapat diperoleh dari limbah organik seperti air cucian beras, singkong, gandum, rumput gajah, dan daun gamal. Sumber glukosa berasal dari cairan gula merah, gula pasir, dan air
12
13
kelapa, serta sumber mikroorganisme berasal dari kulit buah yang sudah busuk, terasi, keong, nasi basi, dan urin sapi (Hadinata, 2008). Menurut Mulyono (2014), berdasarkan jenis bahan pembuat MOL, terdapat tiga komponen utama yang membuat bakteri tumbuh dan hidup subur, yaitu : 1. Karbohidrat yang dapat diperoleh dari air tajin (air cucian beras), sisa gandum, kentang, jagung, singkong dan nasi yang telah basi. 2. Glukosa yang dapat diperoleh dari bahan yang mengandung gula seperti molase (ampas tebu), gula merah, gula pasir cair, air kelapa dan seluruh bahan yang mengandung gula. 3. Sumber mikroorganisme yang dapat diperoleh dari sisa-sisa buah busuk, terasi, sisa ikan, rebung bambu, berenuk, bonggol pisang dan ramin (cairan isi perut hewan). Menurut beberapa literatur, dalam MOL bonggol pisang mengandung Zat Pengatur Tumbuh Giberellin dan Sitokinin. Selain itu dalam mol bonggol pisang tersebut juga mengandung 9 mikroorganisme yang sangat berguna bagi tanaman yaitu : Lactobacillus sp, Pseudomonas sp, Azospirillium, Azotobacter, Bacillus, Aeromonas, Aspergillus, mikroba pelarut phospat dan mikroba selulotik. Bakteri tersebut mampu mengurai bahan organik termasuk nitrogen, phospat dan kalium dalam bahan organik yang ada dalam tanah menjadi nutrisi yang siap digunakan oleh tanaman. Tidak hanya itu MOL bonggol pisang selain sebagai penghasil hormon sitokinin bisa digunakan sebagai pupuk hayati, dekomposer atau mempercepat proses pengomposan (Toniwinong, 2014).
13
14
Sebenarnya yang bisa dibuat mol bukan hanya bonggol pisang saja tetapi batangnyapun bisa digunakan untuk MOL, tetapi kalau MOL batang pisang manfaatnya tidak sehebat bonggol pisang. MOL batang pisang lebih banyak mengandung unsur hara P atau phospat sehingga banyak digunakan sebagai penambah nutrisi tanaman (Fatahilla, 2013). Menurut Setyaningsih (2009), MOL bonggol pisang memiliki peranan dalam masa pertumbuhan vegetatif tanaman dan tanaman toleran terhadap penyakit. Kadar asam fenolat yang tinggi membantu pengikatan ion-ion Al, Fe dan Ca sehingga membantu ketersediaan P tanah yang berguna pada proses pembungaan dan pembentukan buah. Selain sebagai starter atau dekomposer, MOL juga dapat digunakan sebagai pupuk hayati, pestisida organik dan fungisida dengan dosis yang sangat kecil. Pasalnya, MOL mengandung unsur hara mikro dan makro. Selain itu, kandungan bakterinya berpotensi untuk merombak bahan organik, perangsang pertumbuhan, serta sebagai agen pengendali hama dan penyakit tanaman. Kesempurnaan hasil kerja MOL terbukti dengan kelengkapan unsur hara yang dikandungnya. Meskipun unsur haranya dalam jumlah sedikit, tetapi seluruh kebutuhan unsur mikro dan makro bagi tanaman dapat terpenuhi. Unsur tersebut diantaranya N, P, K, Ca, Mg, Fe, Cu, Zn, Mo dan Bo (Mulyono, 2014). Pemberian larutan MOL berbahan dasar rebung, buah maja, bonggol pisang dan cebreng pada tanaman padi sawah dapat meningkatkan hasil dibandingkan dengan tanpa pemberian larutan MOL (Setianingsih, 2009). Penambahan MOL sebagai dekomposer bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan walaupun
14
15
bahan pengomposan sudah mengandung mikrobia, khususnya yang berperan dalam perombakan bahan kimia (Widawati, 2005). Tabel 1. Analisa unsur hara 8 jenis larutan MOL Kandungan (%) No
Larutan MOL
pH C
N
P2O5
K2O
S
C/N
Fe
Zn
1
Buah papaya
4,01
24,55
1,16
0,05
0,07
0,62
21
3,18
1,27
2
Daun cebreng
4,6
28,86
2,43
0,04
0,05
0,32
12
8,71
3,48
3
Bonggol pisang
3,69
26,82
1,73
0,10
0,13
0,34
16
3,30
1,32
4,59
23,82
1,70
0,07
0,09
0,44
14
5,03
2,01
Buah maja + 4 urine ternak 5
Nasi
4,41
24,92
1,04
0,12
0,13
0,20
24
2,09
0,84
6
Ikan asin
3,66
23,47
1,66
0,32
0,36
0,23
14
3,49
1,40
7
Rebung
3,64
24,92
1,62
0,08
0,09
0,32
15
2,70
1,08
8
Sayuran
3,45
22,77
1,23
0,18
0,21
0,31
19
7,67
3,07
Sumber : Santosa, 2013 Beberapa sumber menyarankan dosis pemakaian Mikro Organisme Lokal untuk tanaman itu berbeda-beda tergantung jenis tanaman dan kendisi di lapangan. Salah satu perusahaan terkemuka yang memproduksi Mikro Organisme Lokal dengan merk dagang POMI menganjurkan dosis pemberian untuk tanaman kentang sebanyak 5 cc sampai 10 cc per liter air atau setara dengan 70 cc sampai 140 cc per tanki semprot (Anonim, 2014). D. Hipotesis Diduga pemberian Mikro Organisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang dengan konsentrasi 1,5 % sebagai akan berpengaruh baik terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman kentang (Solanum tuberosum L.) di dataran medium.
15
16
III. METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu dan Tempat Penelitian ini telah dilaksanakan dari bulan April 2015 sampai dengan bulan Oktober 2015,
yang berlokasi di desa Kota Agung kecamatan Kota Agung
kabupaten Lahat, Sumatera Selatan. Lokasi penelitian berada di ketinggian tempat berkisar 700 m diatas permukaan laut.
B. Bahan dan Alat Bahan-bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah 25 kg bibit kentang varietas Granola (G-2), pupuk kandang (kotoran kambing), Mikro Organisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang, mulsa jerami, ajir, tali plastik, pupuk Za, KCl, NPK Mutiara. Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah cangkul, handsprayer, papan nama, takaran larutan, mangkok, pengukur (meteran dan jangka sorong), alat tulis, kamera, gunting, oven dan timbangan analitik.
C. Metode Penelitian 1. Rancangan Percobaan Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode percobaan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan yang diulang 4 kali. Setiap satuan percobaan terdapat 24 tanaman per petak.
16
17
2. Rancangan Perlakuan Perlakuan yang di uji cobakan yaitu Mikro Organisme Lokal (MOL) Bonggol Pisang dengan konsentrasi sebagai berikut : P0 = Tanpa MOL (Kontrol) P1 = 0,5 % P2 = 1,0 % P3 = 1,5 % P4 = 2,0 % P5 = 2,5 % 3. Rancangan Respon a. Tinggi Tanaman (cm) Pengamatan ini dilakukan dengan cara mengukur tinggi tanaman mulai dari pangkal batang sampai ke titik tumbuh pucuk tanaman. Pengukuran dilakukan mulai umur 5 minggu setelah tanam (mst) dengan interval satu minggu sekali sampai dengan 4 kali pengamatan.
b. Diameter Batang (mm) Pengukuran diameter batang dilakukan pada pangkal batang atau 5 cm dari permukaan tanah.
Pengamatan mulai dilakukan setelah tanaman berumur 5
minggu setelah tanam (mst) dengan interval satu minggu sekali sampai dengan 4 kali pengamatan.
17
18
c. Jumlah Cabang (tangkai) Pengamatan ini dilakukan dengan menghitung jumlah cabang yang terbentuk dari batang utama. Perhitungan dilakukan setelah tanaman berumur 5 MST dengan interval satu minggu sekali sampai dengan 4 kali pengamatan.
d. Umur Panen (hst) Pengamatan terhadap umur panen dilakukan setelah terlihat perubahan fisik pada tanaman yang telah siap panen. Kriteria panen tanaman kentang adalah mulai menguningnya daun dan batang tanaman hingga tampak layu dan kering, kulit umbi sudah tidak mudah terkelupas.
e. Jumlah Umbi (buah) Jumlah umbi dihitung pada saat selesai panen, penghitungan jumlah umbi dilakukan dengan menghitung umbi tanaman sampel pada setiap perlakuan.
f. Berat Umbi (g) Berat umbi ditimbang pada saat selesai panen dari seluruh umbi setiap tanaman sampel. Umbi kentang terlebih dahulu dibersihkan dari tanah yang terangkat bersamaan dengan umbi saat panen lalu ditimbang.
g. Berat Kering Tanaman (g) Berat kering tanaman diperoleh dengan cara menimbang berat tanaman pada dua tanaman sampel untuk setiap unit percobaan. Setelah tanaman dicabut, lalu dibersihkan dan dikeringkan menggunakan oven dengan suhu 70°C selama 48 jam. Pengamatan dilakukan pada akhir penelitian.
18
19 h. Luas Daun (cm2) Penghitungan luas daun dilakukan 3 kali yaitu umur 5 mst, 8 mst dan pada umur 10 mst. Penghitungan luas daun dapat mengunakan Leaf Area Meter (LAM) atau dilakukan dengan cara manual sebagai berikut : 1. Gambar 10 daun di kertas A4/koran. 2. Kertas digunting sesuai pola daun yang telah digambar dan timbang = X 3. Timbang juga berat kertas standar = Y Luas Daun Standar (Z) =
x Luas kertas standar
4. 10 daun tersebut dikeringkan dan ditimbang = Q
x Luas Daun Standar (Z)
Luas Daun =
4. Rancangan Analisis Data hasil penelitian ini dianalisis secara statistik dengan menggunakan analisis keragaman seperti tertera pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2. Analisis Keragaman Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
Keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
Kelompok (K)
K-1
JKK
JKK/DBK
KTK/KTG
Perlakuan (P)
P-1
JKP
JKP/DBP
KTP/KTG
(K-1)(P-1)
JKG
JKG/DBG
K.P-1
JKT
F-Hitung
Galat (G) Total
Sumber : Hanafiah, 2004.
19
20
Pengujian hasil analisis keragaman didasarkan pada ketentuan-ketentuan di bawah ini : a. Jika F hitung lebih besar dari F tabel pada taraf uji 1% maka perlakuan tersebut dinyatakan beda sangat nyata. b. Jika F hitung lebih besar dari F tabel pada taraf uji 5% maka perlakuan tersebut dinyatakan beda nyata. c. Jika F hitung lebih kecil atau sama dengan F tabel pada taraf uji 5% maka perlakuan tersebut dinyatakan beda tidak nyata.
Apabila hasil analisis keragaman menunjukkan pengaruh nyata, maka akan dilakukan uji lanjutan dengan Beda Nyata Jujur (BNJ). Persamaan untuk BNJ adalah sebagai berikut : BNJ = q.α Keterangan : BNJ = Beda Nyata Jujur q.α
= Tabel q pada α 5%
KTG = Kuadrat Tengah Galat r
= Ulangan Untuk menentukan ketelitian dalam pelaksanaan penelitian, maka dihitung
koefisien keragaman berdasarkan persamaan sebagai berikut :
KK =
x 100%
20
21
Keterangan : KK
= Koefisien Keragaman
KTG = Kuadrat Tengah Galat
= Rerata dari seluruh data D. Cara Kerja 1. Persiapan Lahan Kegiatan persiapan lahan tanaman kentang meliputi pengolahan tanah, penentuan arah bedengan, pembuatan bedengan, pembuatan lubang tanam serta pemupukan dasar. Pengolahan tanah dilakukan dengan cara pembajakan atau pencangkulan menggunakan cangkul sedalam kurang lebih 30 cm hingga tanah menjadi gembur. Setelah pembajakan tanah dan penggemburan, dilanjutkan dengan pembuatan bedengan yang dibuat membujur arah timur-barat agar penyebaran cahaya matahari dapat merata mengenai seluruh tanaman serta dibuat juga selokan untuk irigasi atau pengairan. Bedengan yang dibuat berukuran lebar 200 cm x 300 cm dengan tinggi 30 cm dan jarak antar bedengan yang merupakan lebar selokan adalah 40 cm. Setelah bedengan siap, dilakukan pembuatan lubang tanam sesuai dengan jarak tanam yang dipakai yaitu 50 cm x 50 cm, jadi dalam satu petakan didapat empat baris tanaman. Pemupukan dasar adalah kegiatan terakhir dari persiapan lahan. Pupuk dasar yang digunakan terdiri dari pupuk kandang (kotoran kambing) sekitar 0,7 kg/lubang tanam dan pupuk Za 137,5 g/petak, KCl 105 g/petak dan NPK Mutiara 208 g/petak atau setara dengan 100 kg/Ha Za, 75 kg/Ha KCl dan 150 kg/Ha NPK
21
22
Mutiara yang diberikan pada lubang tanam kemudian diaduk dengan tanah hingga tercampur rata.
2. Persiapan bibit Persiapan bibit dilakukan sebelum penanaman. Bibit dipilih yang telah memenuhi kriteria tanam yaitu memiliki 3 tunas, mata tunas berukuran 1 cm sampai 2 cm, bibit masih dalam kondisi segar dan sehat. Bibit diusahakan tidak terkena sinar matahari langsung untuk menghindari stress pra tanam, dalam penelitian ini hanya disisakan satu tunas terbaik yang akan dipelihara hingga panen. Berat umbi yang digunakan sekitar 40 sampai 60 g. Bibit yang digunakan adalah bibit kentang varietas granola (G-2) berasal dari Penangkar Kentang Provinsi Sumatera Selatan desa Segamit Kecamatan Semende Darat Ulu Kabupaten Muara Enim (± 1500 m Dpl). Menurut Samadi (2007), ukuran umbi yang biasa ditanam yaitu kelas I berat umbinya 30 sampai 45 gram atau berdiameter 30 sampai 45 mm, kelas II berat umbinya 45 sampai 60 gram atau berdiameter 45 sampai 55 mm, kelas III berat umbi-nya 60 sampai 80 gram atau berdiameter 55 sampai 65 mm. Jarak tanam tanaman kentang dapat berjarak 25 x 80 cm atau 30 x 70 cm dan populasi tanamannya masing-masing 50.000/ha atau 47.000/ha.
3. Penanaman Penanaman dilakukan satu minggu setelah pemupukan dasar dengan cara membuat lubang pada bedengan yang telah disiapkan dengan kedalaman 5 sampai 8 cm, kemudian bibit dimasukkan dan ditimbun kembali dengan tanah tipis.
22
23
4. Pemeliharaan Kegiatan-kegiatan
pemeliharaan
meliputi
penyiangan,
penyulaman,
pembumbunan dan pemasangan ajir. Penyiangan dilakukan bila telah tumbuh gulma. Penyiangan bertujuan untuk menghindari terjadinya perebutan unsur hara antara gulma dengan tanaman. Penyulaman dilakukan setelah tanaman berumur 15 sampai 20 hst dengan cara mengganti bibit yang tidak tumbuh atau tumbuhnya abnormal dengan bibit yang tumbuhnya normal. Pembumbunan dan pemasangan ajir dilakukan tiga minggu setelah tanam. Setelah pemasangan ajir selesai, setiap tanaman diikatkan pada ajir tersebut agar tanaman tidak merunduk atau rebah ke permukaan tanah.
5. MOL Bonggol Pisang a. Cara pembuatan MOL Bonggol Pisang Alat dan bahan yang dibutuhkan dalam pembuatan MOL Bonggol Pisang adalah cangkul, linggis, karung, parang, lesung, antan, timbangan, baskom, tong, lakban, kain kasa corong, gayung, pH Meter, bonggol pisang segar,air cucian beras, gula merah. Perbandingan campuran bahan yang dipakai yaitu 1 bagian bonggol pisang : 5 bagian air beras : 5% dari air cucian beras untuk gula merah. Bonggol pisang yang sudah dikumpulkan, dikupas (diambil bagian dagingnya saja) kulit luarnya dan dicuci bersih dengan air bersih agar terbebas dari kotoran.
Bonggol pisang yang sudah dibersihkan dirajang kecil-kecil menggunakan pisau/parang, tujuannya untuk memudahkan penumbukan.
Hasil rajangan lalu
ditumbuk hingga halus dan dimasukkan ke dalam tong. Tambahkan air cucian beras yang telah dicampur dengan gula merah dan aduk sampai merata, kemudian tutup
23
24
rapat tong plastik agar bahan tidak terkontaminasi. Biarkan selama ± 15 hari agar terjadi proses fermentasi pada bahan. Setelah 15 hari MOL siap untuk digunakan. Ciriciri MOL yang siap digunakan adalah mempunyai bau harum khas gula, larutan menjadi lebih pekat dan mempunyai pH kurang dari 5.
b. Aplikasi MOL Bonggol Pisang Pengaplikasian MOL Bonggol Pisang mulai dilakukan saat tanaman berumur 4 MST dengan konsentrasi sesuai perlakuan. Aplikasi MOL dilakukan dengan cara menyemprotkan larutan MOL ke seluruh tanaman hingga basah menggunakan handsprayer, dengan interval satu minggu sekali hingga tanaman berumur 7 MST. 6. Panen Panen dilakukan setelah tanaman berumur 70 sampai 73 hari setelah tanam. Secara fisik tanaman kentang sudah dapat dipanen apabila 80% daunnya telah berwarna kekuning-kuningan yang bukan disebabkan serangan penyakit, batang tanaman telah berwarna kekuningan dan agak mengering. Selain itu tanaman yang siap panen kulit umbi akan lekat sekali dengan daging umbi, kulit tidak cepat mengelupas bila digosok dengan jari.
24
25
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Data seluruh peubah yang diamati serta hasil analisis sidik ragamnya disajikan pada lampiran 1 sampai lampiran 38 . Hasil uji F-Hitung dan koefisien keragamannya terhadap semua peubah yang diamati tertera pada tabel 3 berikut ini : Tabel 3. Hasil uji F-Hitung dan koefisien keragaman terhadap semua yang diamati. No 1
2
3
4 5 6 7 8
Peubah yang diamati Tinggi Tanaman (cm) 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST Diameter Batang (mm) 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST Jumlah Cabang (tangkai) 5 MST 6 MST 7 MST 8 MST Umur Panen (hst) Jumlah Umbi (buah) Berat Umbi (g) Berat Kering Tanaman (g) Luas Daun (cm²) 5 MST 8 MST 10 MST F-Hitung 0,05 = 2,90
25
peubah
Hasil Uji F
KK (%)
1,78tn 1,38tn 1,04tn 0,80tn
10,89 10,49 9,79 10,08
1,48tn 1,04tn 1,75tn 2,12tn
11,82 10,43 10,21 9,99
2,71tn 1,55tn 1,64tn 2,14tn 1,00tn 4,24n 2,92n 4,59sn
12,48 10,56 11,47 11,66 0,84 13,52 21,35 9,80
1,29tn 0,91tn 0,72tn 0,01 = 4,56
31,42 8,39 6,89
26
Keterangan : tn
= berpengaruh nyata
n
= berpengaruh nyata
sn
= berpengaruh sangat nyata
KK = Koefisien Keragaman
1. Tinggi Tanaman (cm) Hasil pengamatan tinggi tanaman dan hasil analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 1 sampai lampiran 8. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian Mikro Organisme Lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman.
Secara tabulasi, pengaruh pemberian MOL bonggol pisang
terhadap diameter batang disajikan pada Gambar 1 dibawah ini.
Gambar 1. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap tinggi tanaman (cm) pada berbagai umur.
26
27
2. Diameter Batang (mm) Hasil pengamatan diameter batang dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 9 sampai lampiran 16. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata pada diameter batang pada setiap periode pengamatan. Secara tabulasi, pengaruh pemberian MOL bonggol pisang terhadap diameter batang disajikan pada gambar 2 dibawah ini.
Gambar 2. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap diameter batang (mm) pada berbagai umur.
27
28
3. Jumlah Cabang (tangkai) Hasil pengamatan jumlah cabang dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 17 sampai lampiran 24. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah cabang.
Secara tabulasi, pengaruh pemberian MOL bonggol pisang terhadap
jumlah cabang disajikan pada gambar 3 dibawah ini.
Gambar 3. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap jumlah cabang (tangkai) pada berbagai umur. 4. Umur Panen (hst) Hasil pengamatan umur panen dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 25 dan 26. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap umur panen.
28
29
Secara tabulasi, pengaruh pemberian MOL bonggol pisang terhadap umur panen disajikan pada gambar 4.
Gambar 4. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap umur panen (hst) tanaman kentang.
5. Jumlah Umbi (buah) Hasil pengamatan jumlah umbi dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 27 dan 28. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi. Beda masing-masing perlakuan berdasarkan uji BNJ disajikan pada tabel 4 di bawah ini.
29
30
Tabel 4. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap jumlah umbi (buah) tanaman kentang. Perlakuan
Jumlah umbi (buah)
P4
5,00 a
P0
5,25 ab
P3
5,50 ab
P5
5,75 ab
P2
6,25 ab
P1
7,00 b
BNJ 0,05
1,83
Pada tabel di atas tampak bahwa pemberian MOL bonggol pisang pada konsentrasi 0,5 % (P1) menghasilkan jumlah umbi sebanyak 7,00 yang berbeda nyata terhadap perlakuan P4 dan berbeda tidak nyata terhadap perlakuan lain.
6. Berat Umbi (g) Hasil pengamatan berat umbi dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 29 dan 30. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh nyata terhadap berat umbi.
Beda
masing-masing perlakuan berdasarkan uji BNJ disajikan pada tabel di bawah ini. Tabel 5. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap berat umbi (g) tanaman kentang. Perlakuan
Berat Umbi (g)
P3
248,50 a
P4
291,03 ab
P5
314,48 ab
P0
321,93 ab
P2
364,90 ab
P1
420,15 b
BNJ 0,05
160,46
30
31
Pada tabel 5 tampak bahwa pemberian MOL bonggol pisang pada konsentrasi 0,5 % (P1) menghasilkan berat umbi seberat 420,15 gram yang berbeda nyata terhadap perlakuan P3 dan berbeda tidak nyata terhadap perlakuan lain.
7. Berat Kering Tanaman (g) Hasil pengamatan berat kering tanaman dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 31 dan 32.
Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro
organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering tanaman.
Secara tabulasi, pengaruh pemberian MOL bonggol pisang
terhadap berat kering tanaman disajikan pada tabel 6 dibawah ini. Tabel 6. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap berat kering tanaman (g) tanaman kentang. Perlakuan
Berat Kering Tanaman (g)
P0
17,50 a
P4
19,90 ab
P5
21,80 ab
P1
21,90 ab
P3
21,90 ab
P2
24,00 b
BNJ 0,05
4,76
Pada tabel 6 tampak bahwa pemberian MOL bonggol pisang pada konsentrasi 1,0 % (P2) menghasilkan berat keringtanaman seberat 24,00 gram yang berbeda nyata terhadap perlakuan P0 dan berbeda tidak nyata terhadap perlakuan lain.
31
32 8. Luas Daun (cm2) Hasil pengamatan luas daun dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 31 sampai lampiran 38. Tabel 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap luas daun. Secara tabulasi, pengaruh pemberian MOL bonggol pisang terhadap berat kering tanaman disajikan pada tabel 7 di bawah ini.
Tabel 7. Pengaruh pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang terhadap luas daun (cm2) tanaman kentang. B. Pembahasan Data Hasil uji F-Hitung dan koefisien keragaman terhadap semua peubah yang diamati menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap pertumbuhan vegetatif (tinggi tanaman, diameter dan jumlah cabang), luas daun dan umur panen. Menurut Levy dan Veillux (2007) dalam Prabaningrum et al. (2014) melaporkan bahwa suhu merupakan faktor tunggal yang paling tidak dapat dikendalikan, dan berpengaruh
32
33
terhadap pertumbuhan dan hasil kentang. Berdasarkan data suhu dari BMKG bahwa suhu rata-rata pada awal penelitian 27,9ºC. Pertunasan ubi benih dan munculnya di atas permukaan tanah memerlukan suhu sekitar 12ºC sampai 18ºC. Dengan demikian kentang yang tumbuh pada kondisi sub optimum memiliki laju fotosintesis yang lebih rendah sehingga pertumbuhannya kurang optimum. Hasil rerata tinggi tanaman yang disajikan pada gambar 1 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara tanaman kontrol dengan tanaman yang diberi mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang. Diduga hal ini terjadi karena larutan mikro organisme lokal (MOL) yang diserap tanaman belum memberikan yang optimal pada tinggi tanaman kentang pada awal-awal pertumbuhan Tinggi tanaman dipengaruhi oleh varietas yang ditentukan oleh sifat genetik (Anonim, 2004). Menurut Fatullah dan Asandhi (1992) dalam Amirullah dan Hadiyanti (2014) pertumbuhan tinggi tanaman kentang dipengaruhi oleh jarak tanam, dimana semakin rapat jarak tanam maka laju pertumbuhan tinggi tanaman semakin tinggi. penggunaan jarak tanam dapat berpengaruh terhadap naungan daun, penambahan tinggi tanaman, penurunan jumlah anakan, dan jumlah cabang. Hasil pengamatan diameter batang dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 9 sampai lampiran 16. Hasil rerata diameter batang yang disajikan pada gambar 2 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap diameter batang. Diduga suhu yang tinggi tidak sesuai dengan kriteria suhu yng dikehendaki tanaman kentang menjadi penyebab tidak adanya pengaruh yang nyata pada diameter batang.
33
34
Menurut BMKG Stasiun Klimatologi Klas I (2015), suhu rata-rata di kecamatan Kota Agung selama penelitian dilakukan berkisar antara 27ºC sampai 28ºC (lampiran 42). Hasil pengamatan jumlah cabang dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 17 sampai lampiran 24. Hasil rerata jumlah cabang yang disajikan pada gambar 3 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap jumlah cabang, menunjukkan tidak adanya perbedaan yang signifikan antara tanaman kontrol dengan tanaman yang diberi MOL bonggol pisang. Diduga pertumbuhan tinggi tanaman dan diameter batang turut mempengaruhi jumlah cabang karena batang merupakan tempat melekat dan tumbuhnya cabang.
Tanaman yang cukup tinggi dan memiliki
diameter batang yg besar memungkinkan tumbuhnya cabang yang lebih banyak. Pertumbuhan dan perkembangan tumbuhan sangat tergantung pada sumbersumber yang tersedia di dalam tanah dan di udara. Unsur nitrogen sangat dibutuhkan dalam jumlah yang besar untuk pertumbuhan tanaman. Selain faktor iklim, kandungan unsur hara dari MOL bonggol pisang yang terbatas juga menjadi faktor yang menyebabkan tidak berpengaruh nyatanya pemberian MOL bonggol pisang terhadap tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah cabang dalam penelitian ini. Pemberian MOL bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap umur panen kentang.
Pemanenan dilakukan pada saat tanaman berumur 73 hst
dikarenakan tanaman telah menunjukkan ciri- siap panen, yaitu daun dan batang mulai menguning (layu) lebih dari 80%. Menguning atau layunya daun dan batang bukan karena terserang penyakit, kekurangan unsur hara ataupun akibat
34
35
kekeringan. Hanya saja pada P2 ulangan satu dipanen pada umur 70 hst karena telah menunjukkan ciri panen lebih cepat dibanding percobaan lainnya. Diduga faktor iklim (ketinggian tempat, temperatur yang tinggi dan kelembaban yang rendah) menjadi penyebab lebih cepatnya panen kentang di dataran medium. Dugaan ini diperkuat oleh pernyataan Samadi (2007) dalam Sukendar (2011) bahwa umur panen juga dipengaruhi oleh keadaan iklim setempat. Kondisi iklim yang dingin di bawah 150C pada awal pertumbuhan dapat memperlambat pertunasan sehingga memperpanjang masa pertumbuhan dan umur panen menjadi lebih panjang begirupun sebaliknya. Hasil pengamatan jumlah umbi dan berat umbi serta hasil analisis sidik ragam
yang disajikan pada lampiran 27 sampai lampiraan 30 menunjukkan
bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh nyata terhadap jumlah umbi dan berat umbi, ini terlihat jelas dengan adanya perbedaan yang signifikan antara tanaman kontrol dengan tanaman yang diberi MOL bonggol pisang. Pada tabel 4 dan tabel 5 terlihat bahwa P1 menghasilkan lebih banyak umbi dengan berat tertinggi dibandingkan dengan perlakuan lain. Diduga hal ini terjadi karena tingginya kadar asam fenolat yang terkandung dalam Mol bonggol pisang.
Menurut Setyaningsih (2009), MOL bonggol pisang
memiliki kadar asam fenolat yang tinggi membantu pengikatan ion-ion Al, Fe dan Ca sehingga membantu ketersediaan P tanah yang berguna pada proses pembungaan dan pembentukan buah. Akan tetapi, jumlah umbi dan berat umbi yang dihasilkan dapat pula dipengaruhi oleh kerapatan tanaman.
Kerapatan
mempengaruhi produksi umbi tanaman, jarak tanam sempit akan menghasilkan persentase umbi ukuran kecil yang lebih tinggi rasionya bila dibandingkan dengan
35
36
jarak tanam yang lebar (Anonim, 2004). Lebih lanjut dikatakan Abidin et al. (1984) dalam Amirullah dan Hadiyanti (2014), jika jarak tanam melampaui batas minimum kerapatan tanaman, maka hasil umbi yang dipanen tidak akan meningkat secara menguntungkan.
Hasil pengamatan berat kering tanaman dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 31 dan 32 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh sangat nyata terhadap berat kering tanaman, meskipun dari hasil pengamatan pertumbuhan vegetatif yang meliputi tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah cabang tidak menunjukkan pengaruh yang tidak nyata. Berat kering tanaman tertinggi terlihat pada P2 dengan rerata 24,00 g dan yang terendah terlihat pada P0 (kontrol) dengan rerata 17,50 g. Perlakuan P0 berbeda tidak nyata terhadap P4, P5, P1 dan P3 tetapi berbeda nyata terhadap P2. Hal ini diduga karena bagian batang kentang pada saat panen sudah mulai keras (berkayu) sehingga tinggi tanaman, diameter batang dan jumlah cabang yang tidak menunjukkan perbedaan pada setiap perlakuan tidak mempengaruhi berat kering tanaman. Dari hasil data pengamatan (lampiran 31) terlihat jelas bahwa berat kering tanaman kontrol menunjukkan angka terkecil dibandingkan dengan unit percobaan lain yang diberi MOL bonggol pisang. Hasil pengamatan luas daun dan analisis sidik ragam disajikan pada lampiran 33 sampai lampiran 38 menunjukkan bahwa pemberian mikro organisme lokal (MOL) bonggol pisang berpengaruh tidak nyata terhadap luas daun. Diduga hal ini dipengaruhi oleh suhu yang tinggi yang menyebabkan ukuran daun mengecil untuk mengurangi laju transpirasi yang berlebihan. Hal ini didukung dengan pernyataan Fleisher et al. (2006) dan Wheeler et al. (1986) dalam Handayani
36
37
et.al. (2011) bahwa ukuran daun merupakan salah satu karakter yang dipengaruhi oleh perubahan suhu. Suhu yang lebih tinggi dari suhu optimal menyebabkan ukuran daun mengecil dan luas daun berkurang. Hal ini berhubungan dengan perubahan metabolisme tanaman yang mengarah pada peningkatan toleransi tanaman terhadap suhu tinggi melalui pengurangan kehilangan air dengan cara penurunan luas permukaan transpirasi.
37
38
V. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa pemberian mikro organisme (MOL) bonggol pisang dengan konsentrasi 0,5 % (P1) menunjukkan pengaruh yang lebih baik terhadap rerata jumlah umbi dan berat umbi dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu 7 umbi dengan berat 420,15 g. Pelakuan P2 (konsentrasi 1,0 %) memberikan pengaruh lebih baik terhadap berat kering tanaman dibandingkan dengan perlakuan lain yaitu seberat 24,00 g.
B. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan tentang pengaruh pemberian mikro organisme lokal lain terhadap beberapa varietas tanaman kentang di dataran medium agar didapat hasil yang lebih baik lagi.
38
39
DAFTAR PUSTAKA
Amirullah, J. Dan Hadiyanti, D. (2014). Keragaan Produksi Jarak Tanam dan Penerapan Teknologi Varietas Kentang (Solanum tuberosum L.) Pada Lahan Dataran Tinggi Propinsi Sumatera Selatan. Prosiding Seminar Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014. ISBN : 979-587-529-9. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Selatan. Anonim, 2004. Teknologi Budidaya Kentang Industri Di Lahan Sawah Dataran Medium Kabupaten Sleman D.I.Yogyakarta. Rekomendasi Teknologi Pertanian 2004. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta. Anonim, 2012. Pengembangan Mikro Organisme Lokal (MOL) Untuk Pertanian. BPP PURWOSARI KEDIRI. Diakses dari http://bpppurwoasri.blogspot.com/2012_07_29_archive.html pada tanggal 23 November 2014 pukul 14.24 WIB. Anonim. 2014. Dosis dan Aplikasi POMI HIJAU, PT. Indo AcidatamaTbk. Basuki, R.S. dan Kusmana. 2005. Evaluasi Daya Hasil 7 Genotip Kentang pada Lahan Kering Bekas Sawah Dataran Tinggi Ciwidey. J. Hort. 15 (4) : 248253 Basuki, R.S., Kusmana, dan E. Sofiari. 2009. Identifikasi permasalahan dan peluang perluasan area penanaman kentang di dataran medium. Prosiding Seminar Nasional Pekan Kentang 2008, Lembang 20 s.d 21 Agustus 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. hlm. 376-388. Djuarnani, N., Kristian dan B.S., Setiawan. 2005. Cara Cepat Membuat Kompos. Agromedia Pustaka. Depok. Fatahilla, A. 2013. Kumpulam MOL part III. Diakses dari http://serbatani.blogspot.com/2013/10/kumpulan-mol-part-iii.html pada tanggal 23 November 2014 pukul 14.24 WIB. Gunarto, A. 2003. Pengaruh Penggunaan Ukuran Bibit Terhadap Pertumbuhan, Produksi dan Mutu Umbi Kentang Bibit G 4 (Solanum tuberosum L.). Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. 5 (5): 173 - 179. Hadinata, I. 2008. Membuat Mikroorganisme Lokal. Diakses dari Http://Ivanhadinata.blogspot.com/. pada tanggal 23 November 2014 pukul 14.24 WIB.
39
40
Hanafiah, K.A. 2004. Rancangan Percobaan. Raja Grafindo Persada. Jakarta. Handayani, T., Sofiari, E., Kusmana. 2011. Karakterisasi Morfologi Klon Kentang di Dataran Medium. Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Bandung. Harahap, D., Jamil, A., Ramita, K.E.L. 2009, Pemanfaatan pupuk guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. http://ntb.litbang.deptan.go.id/2006/ TPH/pemanfaatanpupuk.doc. pada tanggal 15 Desember 2014 pukul 14.24 WIB. Harwanto. 2002. Implementasi Budidaya Kentang Ramah Lingkungan. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Jawa Timur. Idawati, N. 2012. Pedoman Lengkap Bertanam Kentang. Pustaka Baru Pres. Yogyakarta. Kuntjoro, A.S. 2000. Produksi Umbi Mini Kentang G0 Bebas Virus melalui Perbanyakan Planlet secara Kultur Jaringan di PT. Intidaya Agrolestari (Inagro) Bogor – Jawa Barat. Skripsi. Jurusan Budi Daya Pertanian Fakultas Pertanian IPB. 62p. Mulyono. 2014. Membuat MOL dan Kompos Dari Sampah Rumah Tangga. PT.AgroMedia Pustaka. Jakarta Selatan. Nurainal, L. 2012. Taksonomi tanaman kentang. Diakses dari http://leniblogs.blogspot.com/2012/12/taksonomi-tanaman-kentang.html pada tanggal 15 Desember 2014 pukul 14.24 WIB. Pitojo, S. 2004. Benih Kentang. Kanisius. Yogyakarta. Prabaningrum, L., Nurtika, N., Gunawan, O.S., Sule, L.H., Hendra, A., Sardin, & Rustina, W. 2009, ‘Pengendalian hama dan penyakit terpadu pada budidaya kentang di dataran medium (300 s.d. 700 m dpl) yang dapat mengurangi penggunaan pestisida sintetik (50%) dengan produktivitas lebih dari 15 ton per hektar, Laporan Hasil Penelitian, Balitsa. Prabaningrum, L., Moekasan, T.K., Sulastri, I., Handayani, T., Sahat, J.P., Sofiari, E., Gunadi, N. 2014. Monografi N0. 34, 2014 : Teknologi Budidaya Kentang di Dataran Medium. ISBN : 978-979-8304-77-4. BALITSA. Bandung. Sahat, S. dan Sulaeman, H., 1989. Pengujian varietas kentang di dataran medium. Bull.Penel.Hort., vol. 18, no.1, Hlm. 23-34. Samadi. 2007. Kentang dan Analisis Usaha Tani. Kanisius. Yogyakarta.
40
41
Santosa, A. 2013. Mengenal macam dan peran mkroorganisme lokal mol dalam budidaya pertanian. Diakses dari http://epetani.pertanian.go.id/berita/mengenal-macam-dan-peran-mikroorganisme-lokal-mol-dalam-budidaya-pertanian-8312 pada tanggal 23 November 2014 pukul 14.24 WIB. Setiadi. 2009. Budidaya Kentang. Penebar Swadaya. Jakarta Setianingsih, R. 2009. Kajian Pemanfaatan Pupuk Organik Cair Mikro Organisme Lokal (MOL) dalam Priming, Umur Bibit dan Peningkatan Daya Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L.): Uji Coba penerapan System of Rice Intensification (SRI). BPSB. Propinsi DIY. Yogyakarta. Suhastyo, A.A. 2011. Studi Mikrobiologi dan Sifat Kimia Mikroorganisme Lokal yang Digunakan pada Budidaya Padi Metode SRI (System of Rice Intensification). Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sukendar. 2011. Budidaya Tanaman Kentang Varietas Granola. Diakses dari http://shukendar.blogspot.com/2011/11/budidaya-tanaman-kentangvarietas.html
Suryana, D. 2013. Menanam kentang. Diakses dari http://books.google.co.id/books?id=ReFzUjOtgSAC&printsec=frontcover &hl=id#v=onepage&q&f=false pada tanggal 15 Desember 2014 pukul 14.24 WIB. Toniwinong, 2014. Teknik Pembuatan MOL Bonggol Pisang. Diakses dari http://inotsetiawan.blogspot.com/2014/01/teknik-pembuatan-mol-bonggolpisang.html pada tanggal 23 November 2013 pukul 14.24 WIB. Widawati, S. 2005. Dayu pacu aktivator Fungi asal Kebun biologi Wamena terhadap kematangan hara kompos, serta jumlah mikroba pelarut fosfat dan penambat nitrogen. Biodiversitas. 6(4): 238-241.
Wulandari, A.N., Heddy, S., Suryanto, A. 2014. Jurnal Produksi Tanaman, Volume 2, Nomor 1, Januari 2014, hlm. 65-72 Yulidc. 2011. Budidaya Kentang. http://www.perpuskita.com/budidaya-kentang/307/ Desember 2014 pukul 14.24 WIB.
41
Diakses dari pada tanggal 15