APLIKASI MODEL RENKO UNTUK MEMPREDIKSI POLA PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF DI SEDIMENTASI AKHIR PADA SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL
YONGKI RIANSONI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
RINGKASAN YONGKI RIANSONI.F351030201. Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur aktif di Sedimentasi Akhir pada Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil (Studi Kasus di PT. X Bogor). Dibawah Bimbingan NASTITI SISWI INDRASTI, SUKARDI and IGNASIUS DWI ATMANA SUTAPA.2007. Penelitian bertujuan untuk mengidentifikasi zona pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir. Hal ini sangat dibutuhkan untuk menanggulangi masalah terbawanya lumpur ke outlet sedimentasi akhir (carry over) dan sulit mengendapnya lumpur (bulking). Penelitian dilakukan dengan menggunakan sampel lumpur aktif dari sistem pengolahan limbah cair industri tekstil PT. X Bogor. Data Eksperimen diperoleh dengan melakukan pengukuran pengendapan volume lumpur selama 120 menit dalam gelas ukur 1000 ml untuk nilai konsentrasi yang berbeda. Sampel di rehomogenisasi sebelumnya dengan aerator sehingga dapat diasumsikan tidak terjadi penurunan DO (Dissolved Oxigen) secara signifikan. Untuk memperoleh konsentrasi yang lebih rendah sebagian lumpur dalam gelas ukur tersebut digantikan oleh air supernatan secara seimbang. Prosedur di atas dilakukan sampai sepuluh kurva pengendapan terbentuk. Kemudian untuk memperoleh variasi konsentrasi yang lebih luas dilakukan metode yang sama terhadap beberapa kondisi berikut yaitu kondisi 1 merupakan lumpur tanpa pengonsentrasian terlebih dulu, kondisi 2 merupakan lumpur dengan pengonsentrasian terlebih dulu selama 1 jam dan kondisi 3 merupakan lumpur dengan pengonsentrasian terlebih dulu selama 2 jam. Pengkondisian dan eksperimen pengendapan dilakukan dalam suhu ruang. Untuk memperoleh struktur model yang sesuai maka data volume yang mengendap hasil eksperimen dikonversi ke dalam bentuk tinggi lumpur yang mengendap. Identifikasi zona pengendapan pada penelitian ini dilakukan berdasarkan modifikasi parameter model Renko berikut ini : C ( X 2 + β )ho C ( X 2 + β ) h o − t α X /(( X + β ) h ) . Parameter model yang h (t , h o ) = )e +( 2
αX
αX
o
diperoleh ternyata mampu mempercepat identifikasi zona pengendapan tanpa harus melakukan eksperimen yang lama. Hasil penelitian diperoleh bahwa tiap kondisi yang berbeda teridentifikasi beberapa karakteristik lumpur. Dalam satu kondisi bisa teridentifikasi beberapa karakteristik lumpur yang berbeda berdasarkan nilai standar indeks volume lumpur aktif (Sludge Volume Index). Berdasarkan nilai SVI dapat diidentifikasi 3 zona pengendapan yaitu zona normal mempunyai nilai SVI antara 70-120, zona antara mempunyai nilai SVI antara 120-150 dan zona bulking mempunyai nilai SVI di atas 150. Model mampu menghasilkan konstanta parameter zona pengendapan secara berurutan untuk zona normal; zona antara; zona bulking; yaitu α (0,0039;0.0028;0.0018), β (-0.3345;-0.2100;0.3580), C (2.8e-04;2.5-04;2.9.04 ). Grafik model memperlihatkan bentuk pola pengendapan yang mampu mendekati kondisi eksperimen. Hasil Validasi model berdasarkan nilai MSE (Mean Square Error) mencatat persentase tingkat kesalahan dibawah 2.0 % untuk semua kondisi dan dibawah 5.0 % untuk ketiga zona yang teridentifikasi. Persentase nilai MSE yang masih di bawah 5.0 % menunjukan model valid dalam menggambarkan hasil eksperimen. Hasil ini jelas meningkatkan efektifitas sistem pengolahan limbah cair dengan lumpur aktif dalam penanggulangan permasalahan terbawanya lumpur dan pengendapan yang sulit disedimentasi akhir.
ABSTRACT YONGKI RIANSONI.F351030201. Application of Renko Model to predict Activated Sludge Settling of Textile Wastewater Treatment in The Final Sedimentation. Under the direction of NASTITI SISWI INDRASTI, SUKARDI and IGNASIUS DWI ATMANA SUTAPA.2007. The aim of this research is to gain the best activated sludge settling models in the final sedimentation. This research is important for describing the settled behavior of tropical sludge such as Indonesian sludge to solved bulking and carry over problems. Sample sludge was derived from the textiles wastewater treatment PT. X Bogor. Experimental data was collected from batch settling test with 1000 ml cylinder glass. Sample sludge was re-homogenized with aerator therefore it can be assumed there was no significant DO lost. To set up an experiment at lower sludge concentration, part of the sludge in the device was subsequently replaced by supernatant and a new settling curve was recorded. This procedure repeated until ten settling curves were recorded. Then to get wide interval concentration (4000-8000 mg/l), the sludge being settled in the same method for various conditions which are: 1st condition identified as a sample sludge without further concentrated; 2nd condition identified as a sample sludge which concentrated for 1 hour and 3rd condition as a sample sludge which concentrated for 2 hour before begin the experiment. The storage and settling experiments were performed at room temperature. In order to build appropriate models structure, experimental sludge settling data volume was converted to sludge settling height. This experiment was used the basic formulation models proposed by Renko (1996) which identified settling of the sludge blanket interface as a function of time as: C ( X 2 + β )ho C ( X 2 + β ) h o − t α X /(( X + β ) h ) . This model described the h (t , h o ) = )e +( 2
αX
αX
o
relationship between settling sludge blanket interface, sludge concentration and settling time. The result of this research identified difference sludge characteristic in every conditions. In one condition can be identified several characteristic based on difference value of Sludge Volume Index. Based on SVI we can identified three interval zone phenomenon characterized which are normal zone as settling zone with SVI between 70-120, transition zone as settling zone with SVI between 120-150, and Bulking zone as settling zone with SVI above 150. All described difference settling characteristics and curves. The system result these parameter respectively according to identified zone as : normal zone( α :0.0039; β :-0.3345; C:2.8e-04), transition zone( α :0.0028; β :-0.2100; C:2.5e-04) and bulking zone( α :0.0018; β :-0.3580; C:2.9e-04). The curve describe that models could follow behavior of settling sludge. It proved with minimal percentage Mean Square Error (MSE) of all condition less than 2.0 % and for all zone identified less than 5.0%. It means that models have high validity to explain the experimental behavior. These values certainly improved the wastewater treatment system to solve the carry over and bulking problems occurred in the final sedimentation. Key words: activated sludge, settling models, settling curves, final sedimentation
© Hak Cipta Milik LIPI-Limnologi, dan Institut Pertanian Bogor, tahun 2007 Hak cipta dilindungi Diperbolehkan mengutip dan memperbanyak sebagian atau seluruhnya dengan menuliskan sumbernya untuk tujuan non komersial guna pengembangan IPTEK
APLIKASI MODEL RENKO UNTUK MEMPREDIKSI POLA PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF DI SEDIMENTASI AKHIR PADA SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL
YONGKI RIANSONI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains Pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2007
SURAT PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil merupakan gagasan atau hasil penelitian saya sendiri, dengan arahan Komisi Pembimbing kecuali dengan jelas ditunjukkan rujukannya. Tesis ini belum pernah diajukan untuk memperoleh gelar atau capaian akademik lainnya pada program sejenis di perguruan tinggi lain. Semua data dan informasi yang digunakan atau dikutip dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Mei 2007
Yongki Riansoni F351030201
Judul penelitian
Nama NIM
: Aplikasi Model Renko untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil : Yongki Riansoni : F351030201
Disetujui Komisi Pembimbing
Dr.Ir. Nastiti S. Indrasti Ketua
Dr.Ir. Sukardi, MM
Dr. Ignasius D.A.Sutapa
Anggota
Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Teknologi Industri Pertanian
Dr.Ir. Irawadi Jamaran
Prof.Dr.Ir.Khairil Anwar Notodiputro, MS
Tanggal Ujian : 25 Mei 2007
Tanggal Lulus :
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala karunia dan rahmatNya sehingga makalah tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih penulis adalah pengolahan limbah industri dengan judul Aplikasi Model Renko Untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti. S. Indrasti, Bapak Dr. Sukardi., MM dan Bapak Dr. Ignasius D.A. Sutapa selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan pada saudarasaudaraku Laurenciana Sampebatu, Nida el Husna, M. Fuad, Jumbriah, Ibu Nurul Asni, Iphov K Sarwana, Krishna Swasti, Rina Susanti, Ari, atas dorongan dan bantuannya. Terima kasih untuk teman-teman TIP 2003 atas sarannya. Terimakasih sangat untuk Tri Asih Dewi Agustina, Sari evyanti, Rumiyanti Anggini, Dessy Christin, Nissa, Pyan, mas Supri dan mantan penghuni pondok Agathis, pondok serena dan pondok koe atas kebersamaan dan masukannya yang berharga. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk Papap, mama, Niko, Icha dan seluruh keluargaku atas doa dan dorongannya. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga tesis ini diterima dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Bogor, Mei 2007
Yongki Riansoni
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada Tanggal 24 April 1979 dari ayah Seprianes Yosep,SPd dan Ibu Euis Maria. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Padjadjaran Program studi Peternakan, Jurusan Produksi ternak, Fakultas Peternakan.Lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan menempuh pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dengan memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis pernah menjadi Asisten Peneliti pada proyek Solid Waste Management On Farm kerjasama UNPAD dan KUD Cipanas Garut pada tahun 2002. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Peneliti PT. Suwon Jakarta dalam Analisis Pengembangan Program Unit Pemukiman Transmigrasi Tertinggal Se-Indonesia, kerjasama dengan Depnakertrans RI tahun 2005. Pada Tahun 2005 sampai Januari 2006 pernah bekerja sebagai Trainer Consultan of Human Resource Development PT.Fuji Bijak Prestasi Jakarta dan sebagai staff di Lembaga Riset Center For Indonesia Transform Studies (CITRAS) Jakarta. Saat ini penulis bekerja sebagai training koordinator di Risktec-Hess IndonesiaPangkah Gresik. Selama mengikuti program S2, penulis aktif di Forum Pasca sarjana IPB, dan Lembaga Swadaya Masyarakat PUKAT BANGSA Bogor. Penulis pernah menulis artikel tentang IPTEK dan Pengembangan Masyarakat di Koran Mitra Bangsa dan Buletin Cerah.
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah Bapa atas segala karunia dan rahmatNya sehingga makalah tesis ini dapat diselesaikan. Tema yang dipilih penulis adalah pengolahan limbah industri dengan judul Aplikasi Model Renko Untuk Memprediksi Pola Pengendapan Lumpur Aktif di Sedimentasi Akhir pada Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil. Terima kasih penulis ucapkan kepada Ibu Dr. Nastiti. S. Indrasti, Bapak Dr. Sukardi., MM dan Bapak Dr. Ignasius D.A. Sutapa selaku komisi pembimbing. Disamping itu, penghargaan penulis sampaikan pada saudarasaudaraku Laurenciana Sampebatu, Nida el Husna, M. Fuad, Jumbriah, Ibu Nurul Asni, Iphov K Sarwana, Krishna Swasti, Rina Susanti, Ari, atas dorongan dan bantuannya. Terima kasih untuk teman-teman TIP 2003 atas sarannya. Terimakasih sangat untuk Tri Asih Dewi Agustina, Sari evyanti, Rumiyanti Anggini, Dessy Christin, Nissa, Pyan, mas Supri dan mantan penghuni pondok Agathis, pondok serena dan pondok koe atas kebersamaan dan masukannya yang berharga. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan untuk Papap, mama, Niko, Icha dan seluruh keluargaku atas doa dan dorongannya. Ucapan terima kasih juga untuk semua pihak yang membantu yang tak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga tesis ini diterima dan menghasilkan sesuatu yang bermanfaat.
Bogor, Mei 2007
Yongki Riansoni
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bandung pada Tanggal 24 April 1979 dari ayah Seprianes Yosep,SPd dan Ibu Euis Maria. Penulis merupakan putra pertama dari tiga bersaudara. Pendidikan Sarjana ditempuh di Universitas Padjadjaran Program studi Peternakan, Jurusan Produksi ternak, Fakultas Peternakan.Lulus pada tahun 2003. Pada tahun yang sama penulis berkesempatan menempuh pendidikan pascasarjana di Institut Pertanian Bogor dengan memilih Program Studi Teknologi Industri Pertanian, Fakultas Teknologi Pertanian. Penulis pernah menjadi Asisten Peneliti pada proyek Solid Waste Management On Farm kerjasama UNPAD dan KUD Cipanas Garut pada tahun 2002. Penulis juga berkesempatan menjadi Asisten Peneliti PT. Suwon Jakarta dalam Analisis Pengembangan Program Unit Pemukiman Transmigrasi Tertinggal Se-Indonesia, kerjasama dengan Depnakertrans RI tahun 2005. Pada Tahun 2005 sampai Januari 2006 pernah bekerja sebagai Trainer Consultan of Human Resource Development PT.Fuji Bijak Prestasi Jakarta dan sebagai staff di Lembaga Riset Center For Indonesia Transform Studies (CITRAS) Jakarta. Saat ini penulis bekerja sebagai training koordinator di Risktec-Hess IndonesiaPangkah Gresik. Selama mengikuti program S2, penulis aktif di Forum Pasca sarjana IPB, dan Lembaga Swadaya Masyarakat PUKAT BANGSA Bogor. Penulis pernah menulis artikel tentang IPTEK dan Pengembangan Masyarakat di Koran Mitra Bangsa dan Buletin Cerah.
DAFTAR ISI Halaman
DAFTAR ISI ........................................................................................... DAFTAR TABEL .................................................................................... DAFTAR GAMBAR ............................................................................... DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................
i iii iv vii
I.
PENDAHULUAN .................................................................. I.1. Latar belakang ............................................................... I.2. Tujuan Penelitian ........................................................... I.3. Ruang Lingkup............................................................... I.4. Manfaat Penelitian ......................................................... I.5. Waktu dan Tempat Penelitian ........................................
1 1 2 3 3 3
II.
TINJAUAN PUSTAKA ......................................................... II.1. Sumber Limbah Cair Industri ........................................ II.1.1. Gambaran Proses Produksi ................................. II.1.2. Asal Limbah Cair.................................................. II.2. Pengelolaan Limbah Cair Tekstil ................................. II.2.1. Langkah-langkah Pengelolaan Limbah ............... II.2.2. Jenis-Jenis Pengolahan Limbah .......................... II.3. Baku Mutu dan Instalasi Pengolahan Limbah .............. II.3.1. Baku Mutu Limbah Cair Tekstil ............................ II.3.2. Instalasi Pengolahan Limbah ............................... II.4. Pengolahan Limbah Cair dengan Lumpur aktif ............ II.4.1. Sistem Lumpur Aktif ............................................. II.4.2. Proses Koagulasi Flokulasi .................................. II.4.3. Proses Sedimentasi ............................................. II.4.4. Karakteristik Flok ................................................. II.5. Prediksi Pola Pengendapan Lumpur ............................ II.5.1. Teori Pemodelan Sistem ..................................... II.5.2. Pemodelan sistem untuk memprediksi Pengendapan Lumpur .........................................
4 4 4 4 6 6 8 8 8 9 10 10 11 13 15 18 18
METODOLOGI PENELITIAN .............................................. III.1. Prosedur Penelitian ..................................................... III.1.1. Penentuan pH dan Temperatur ......................... III.1.2. Penentuan DO ................................................... III.1.3. Penentuan SV30 ................................................ III.1.4. Penentuan MLSS ............................................... III.1.5. Penentuan SVI ................................................... III.1.6. Penurunan Volume Lumpur ............................... III.1.7. Penentuan Ketinggian Lumpur .......................... III.2. Tahapan Pembuatan Model ........................................ III.2.1. Penurunan Persamaan Model ...........................
22 22 22 22 22 22 23 23 24 24 26
III.
i
19
IV.
V.
III.2.2. Verifikasi Model ................................................. III.2.3. Validasi Model ................................................... III.3. Pengembangan Program komputasi ........................... III.3.1. Tampilan Program ............................................ III.3.2. Sumber Data ..................................................... III.3.3. Optimasi dan Validasi ....................................... III.3.4. Output hasil perhitungan ................................... III.3.5. Simulasi ............................................................ III.3.6. Time series ......................................................
26 26 27 27 28 28 29 29 30
HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................ IV.1. Penentuan Parameter Fisika dan kimia ...................... IV.2. Pola Pengendapan Berdasarkan Efek Pengonsentrasian. ....................................................... IV.2.1. Kondisi 1 ........................................................... IV.2.2. Kondisi 2 ........................................................... IV.2.3 Kondisi 3 ........................................................... IV.3. Fenomena Zona Pengendapan ................................... IV.3.1. Identifikasi Zona Pengendapan ......................... IV.3.2. Karakteristik Zona Pengendapan ...................... IV.4. Pembahasan ............................................................... IV.4.1. Pengaruh Perlakuan terhadap Parameter Model IV.4.2. Verifikasi Parameter Model .............................. IV.4.2.1. Verifikasi Model Kondisi 1 ................... IV.4.2.2. Verifikasi Model Kondisi 2 ................... IV.4.2.3. Verifikasi Model Kondisi 3 ................... IV.4.3. Verifikasi Model Terhadap Zona Pengendapan IV.4.3.1. Verifikasi Model Zona Normal ............. IV.4.3.2. Verifikasi Model Zona Antara .............. IV.4.3.3. Verifikasi Model Zona Bulking ............. IV.4.4. Validasi Model Berdasarkan Efek Pengkonsentrasian ......................................... IV.4.4.1. Validasi Model Kondisi 1 ..................... IV.4.4.2. Validasi Model Kondisi 2 ..................... IV.4.4.3. Validasi Model Kondisi 3 ..................... IV.4.5. Validasi Model berdasarkan zona pengendapan IV.4.5.1. Validasi Model Nona Normal ............... IV.4.5.2. Validasi Model Zona Antara ................ IV.4.5.3. Validasi Model Zona Bulking ...............
31 31 32 32 34 37 41 41 42 46 46 47 47 50 53 55 56 56 59 62 62 62 63 63 63 64 64
KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ V.1. Kesimpulan .................................................................. V.2. Saran...........................................................................
65 65 66
DAFTAR PUSTAKA ............................................................ LAMPIRAN ..........................................................................
67 69
ii
DAFTAR TABEL Halaman 1
Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil yang sudah beroperasi .........................................................................
9
2
Parameter kondisi awal lumpur aktif............................................
31
3
Persentase volume lumpur yang mengendap untuk t=3 menit sampai t=50 menit .....................................................................
34
Persentase volume lumpur yang mengendap untuk t= 60 menit sampai t=120 menit ...................................................................
34
Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 3 menit sampai t= 50 menit .....................................................................
37
Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 60 menit sampai t= 120 menit ...................................................................
37
Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 3 menit sampai t= 50 menit .....................................................................
40
Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 60 menit sampai t= 120 menit ....................................................................
41
4
5
6
7
8
9
Zona pengendapan berdasarkan tipe flok yang berbeda tiap kondisi 42
10
Pengaruh pengonsentrasian terhadap nilai error model .............
47
11
Pengaruh pengonsentrasian terhadap parameter model ...........
47
12
Hasil verifikasi model pengendapan lumpur aktif berdasarkan zona pengendapan ......................................................................
56
Persentase nilai MSE hasil validasi dengan data baru pada berbagai kondisi ..........................................................................
62
Persentase nilai MSE hasil validasi dengan data baru pada berbagai zona pengendapan .......................................................
63
13
14
iii
DAFTAR GAMBAR Halaman 1
Diagram Alir Proses Produksi Tekstil .......................................
5
2
Sistem penanganan limbah cair dengan lumpur aktif...............
11
3
Skema konseptual pola pengendapan lumpur aktif..................
14
4
Skema umum fase pengendapan lumpur terflokulasi ..............
15
5
Tipe Flok Berdasarkan Keberadaan Filamennya .....................
17
6
Kerangka kerja pengambilan data ketinggian lumpur, konsentrasi,dan waktu pengendapan lumpur aktif ..................
24
Tahapan pembuatan model simulasi pola pengendapan Lumpur aktif pada sistem pengolahan limbah cair tekstil ........
25
8
Hubungan antar parameter pengendapan yang terlibat ...........
26
9
Tampilan awal program simulasi pola pengendapan lumpur aktif
28
10
Tampilan komputasi sumber data ............................................
29
11
Tampilan kolom optimasi dan validasi model ...........................
29
12
Tampilan data plot grafik dan output perhitungan excel ...........
30
13
Tampilan simulasi parameter pengendapan ...........................
30
14
Tampilan kolom time series polapengendapan ........................
30
15
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.5 g/l – 4.0 g/l.......................
32
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 1.0 g/l – 2.0 g/l.......................
32
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 4.5 g/l – 6.5 g/l.......................
35
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 1.7 g/l – 4.0 g/l.......................
35
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 6.0 g/l – 8.0 g/l.......................
38
7
16
17
18
19
iv
20
21
22
23
24
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.9 g/l – 5.6 g/l ......................
38
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.7 g/l sampai 4.0 g/l .............
43
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 0.5 g/l – 2.4 g/l.......................
43
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.8 g/l – 4.1 g/l.......................
45
Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 0.6 g/l – 2.0 g/l......................
45
25
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 4.0 g/l. 48
26
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 3.0 g/l. 48
27
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 2.0 g/l. 49
28
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondiai 1 dengan konsentrasi 1.0 g/l. 49
29
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 6.5 g/l. 51
30
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 4.5 g/l. 51
31
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 3.2 g/l. 52
32
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 1.7 g/l. 52
33
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 8.0 g/l. 53
34
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 6.0 g/l. 54
35
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 3.9 g/l. 54
v
36
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 2.9 g/l. 55
37
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 4.0 g/l untuk zona antara ......................................................................................
56
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 3.0 g/l untuk zona antara. ......................................................................................
57
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 2.0 g/l untuk zona antara. ......................................................................................
57
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 1.0 g/l untuk zona antara. ......................................................................................
58
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 4.0 g/l untuk zona bulking. .....................................................................................
59
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 3.0 g/l untuk zona bulking. .....................................................................................
60
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 2.0 g/l untuk zona bulking. .....................................................................................
60
Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 1.1 g/l untuk zona bulking ......................................................................................
61
38
39
40
41
42
43
44
vi
DAFTAR LAMPIRAN Halaman 1
Baku mutu limbah cair industri tekstil bagi industri baru dan semua industri yang mulai produksi th.1995 ............................
71
2
Skema Pengolahan Limbah PT X Bogor ..................................
72
3
Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 1 di setiap konsentrasi pengamatan
73
Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 1 di setiap konsentrasi pengamatan
73
Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 2 di setiap konsentrasi pengamatan
74
Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 2 di setiap konsentrasi pengamatan
74
Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 3 di setiap konsentrasi pengamatan
75
Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 3 di setiap konsentrasi pengamatan
75
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 4.0 g/l ........
76
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 3.5 g/l ........
76
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 3.0 g/l ........
77
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.8 g/l ........
77
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.5 g/l ........
78
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.0 g/l ........
78
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.8 g/l ........
79
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
vii
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
27
28
29
30
31
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.6 g/l ........
79
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.0 g/l ........
80
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 4.0 g/l.........
80
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.7 g/l......... .
81
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.4 g/l......... .
81
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.0 g/l......... .
82
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.7 g/l......... .
82
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.4 g/l......... .
83
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.0 g/l......... .
83
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 1.5 g/l......... .
84
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 1.0 g/l......... .
84
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 0.5 g/l......... .
85
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 4.1 g/l ....... .
85
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.6 g/l ....... .
86
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.3 g/l ....... .
86
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.0 g/l .......
87
viii
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.8 g/l ....... .
87
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.5 g/l ....... .
88
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.0 g/l ....... .
88
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 1.5 g/l ....... .
89
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 1.1 g/l ....... .
89
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 0.7 g/l ....... .
90
Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model kondisi 1 ...................................................................................
90
Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model kondisi 1 ...................................................................................
91
Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model kondisi 2 ...................................................................................
91
Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model kondisi 2 ...................................................................................
92
Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model kondisi 3 ...................................................................................
92
Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model kondisi 3 ...................................................................................
93
Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model zona normal ..............................................................................
93
Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model zona normal ..............................................................................
94
Grafik perbandingan ketinggian model dan data baru 1 zona normal ..............................................................................
94
Grafik perbandingan ketinggian model dan data baru 2 zona normal ..............................................................................
95
ix
48
49
Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model zona antara ..............................................................................
95
Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model zona antara ..............................................................................
96
x
I. PENDAHULUAN I.1. Latar Belakang Masalah pencemaran lingkungan yang disebabkan oleh limbah cair industri merupakan salah satu dampak negatif dari semakin berkembangnya sektor industri. Masalah ini akan menjadi serius bila tidak mendapatkan penanganan yang baik dari pihak industri yang terkait. Dampak pencemaran dapat mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem di lingkungan sekitar industri, karena banyak bahan pencemar hasil produksi industri yang sulit terdegradasi oleh mikroorganisme pengurai di dalam tanah atau perairan. Limbah cair industri yang berasal dari industri tekstil merupakan salah satu limbah yang mengandung banyak bahan pencemar yang sulit terurai di lingkungan. Umumnya limbah tersebut mengandung bahan berupa padatan tersuspensi, bahan terapung dan bahan terlarut. Rata-rata limbah cair tekstil mengandung 750 mg/L padatan tersuspensi, dan 500 mg/L BOD (Biochemical Oxigen Demand), dengan perbandingan COD (Chemical Oxigen Demand) : BOD berkisar antara 1,5 : 1 sampai 3 : 1 (Potter.,et al,1994; www.menlh.go.id). Pengolahan limbah cair industri dibutuhkan untuk mengurangi kadar bahan pencemar hasil produksi industri sampai tingkat yang aman dibuang ke lingkungan. Salah satu sistem pengolahan limbah cair yang sering digunakan oleh industri termasuk industri tekstil untuk menghilangkan bahan-bahan pencemar organik terlarut maupun koloidal adalah sistem dengan menggunakan lumpur aktif (activated sludge system). Salah satu keunggulan sistem ini adalah kualitas efluen atau output limbah yang baik dengan pengurangan COD dan BOD bisa mencapai lebih dari 90 % bahkan lebih (www.Forlink,2000). Sistem lumpur aktif merupakan suatu pengolahan limbah cair industri secara biologis dengan unit pengolahan utama berupa gumpalan partikel tersuspensi yang mengandung campuran
mikroorganisme aerobik yang
dihasilkan melalui aerasi (Frobisher,1962 dalam Said, 1994). Pada sistem ini, mikroorganisme tumbuh dalam flok lumpur yang terdispersi. Di dalam flok inilah terjadi proses degradasi dan pemisahan komponen limbah (www.Forlink,2000). Salah satu tahap yang sangat penting dalam sistem pengolahan limbah cair lumpur aktif adalah tahapan pemisahan biomassa (lumpur) dengan air supernatan (efluen) di sedimentasi akhir. Keberhasilan tahapan ini menentukan output akhir sistem. Secara umum tahapan ini dilakukan dengan memanfaatkan fenomena pengendapan sederhana (gravitasional). Pada tahapan ini partikel
1
padatan lumpur mengendap ke bawah karena mempunyai berat yang lebih besar sehingga membentuk dua lapisan yaitu bagian atas air supernatan dan bagian bawah padatan lumpur. Proses fisik pada tahapan ini sering terhambat oleh kemampuan tersedimentasinya lumpur yang buruk dan sulitnya terkonsentrasi sehingga berakibat lumpur sulit mengendap (bulking) dan sebagian terbawa ke outlet (carry over). Hasil penelitian Sutapa (2004) memperlihatkan bahwa kesulitan tersebut disebabkan oleh karakteristik flok lumpur yang mengandung jumlah mikroorganisme
berfilamen
mikroorganisme
pembentuk
penyebab flok.
kekeruhan
Keseimbangan
lebih antara
tinggi
dibanding
mikroorganisme
berfilamen dan mikroorganisme pembentuk flok yang merupakan inti dari sistem degradasi aerobik lumpur aktif sangat diperlukan agar permasalahan di atas tidak terjadi dan sistem mampu menghasilkan kualitas efluen yang tinggi (penurunan BOD dan COD > 90 %). Tahapan proses pengendapan tersebut membentuk suatu pola secara kontinyu terhadap waktu. Dengan menggambarkan pola pengendapan tersebut diharapkan mampu mempercepat penanggulangan apabila terjadi masalah seperti kondisi bulking dan carry over. Prediksi terhadap pola pengendapan di atas dilakukan dengan pendekatan pemodelan. Pemodelan mampu menirukan suatu gejala atau proses yang terjadi dan merupakan representasi dari kondisi aktual suatu sistem (Muhammadi et al.,2001). Berdasarkan latar belakang di atas maka penelitian ini sangat penting untuk mengetahui pola pengendapan yang terjadi. Model berperan memprediksi pola pengendapan secara cepat sehingga mampu mendeteksi permasalahan bulking dan carry over di sedimentasi akhir lebih dini. Hal ini sangat bermanfaat untuk penanggulangan lebih lanjut pada sistem pengolahan limbah cair di industri pengguna sistem lumpur aktif.
I.2. Tujuan Penelitian 1. Identifikasi pola pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir (Final Sedimentation) pada sistem pengolahan limbah cair industri tekstil 2. Menguji Model Renko untuk memprediksi pola pengendapan lumpur aktif yang teridentifikasi di sedimentasi akhir (Final Sedimentation) pada sistem pengolahan limbah cair industri tekstil
2
I.3. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini dilakukan dalam konteks kajian aplikasi model pengendapan lumpur aktif pada sistem pengolahan limbah cair industri tekstil. Aspek yang dikaji dititikberatkan pada pemodelan pola pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir berdasarkan parameter ketinggian lumpur yang mengendap, konsentrasi mix larutan tersuspensi (mixed liquor suspended solids) dan SVI (Sludge Volume Index) terhadap waktu pengendapan yang secara langsung berpengaruh pada kecepatan pengendapan lumpur aktif.
I.4. Kegunaan Penelitian Penelitian diharapkan memberikan manfaat berupa : 1.
Alat bantu untuk mendeteksi kondisi proses pengendapan di sedimentasi akhir dalam sistem pengolahan limbah cair industri tekstil dengan menggunakan lumpur aktif.
2. Alat penunjang untuk memprediksi pola pengendapan di sedimentasi akhir dalam sistem pengolahan limbah cair industri tekstil dengan menggunakan lumpur aktif.
I.5. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia(LIPI) Limnologi Cibinong pada bulan Mei - Desember 2005. Pengambilan sampel lumpur aktif dan analisa pengendapan dilakukan di Industri tekstil PT. X Tajur Bogor.
3
II. TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Sumber Limbah Cair Industri Tekstil II.1.1. Gambaran Proses Produksi Pada dasarnya proses produksi tekstil adalah merubah serat buatan maupun alami (kapas) menjadi barang jadi tekstil. Serat kapas tersebut dibersihkan
sebelum
disatukan
menjadi
benang,
kemudian
pemintalan
mengubah serat menjadi benang. Sebelum proses penenunan dan perajutan, benang buatan maupun kapas dikanji agar serat menjadi kuat dan kaku. Zat kanji yang biasa digunakan adalah pati, perekat gelatin, getah polivinil alkohol (PVA), karboksimetil selulosa (CMC) (Potter,et al.,1994). Untuk lebih jelas mengenai proses yang dilakukan industri tekstil secara umum dapat dilihat pada diagram alir proses pada Gambar 1.
II.1.2. Asal Limbah Cair Limbah cair dihasilkan dari proses pengkanjian, proses penghilangan kanji, pengelantangan, pemasakan, merserisasi, pewarnaan, pencetakan, dan proses penyempurnaan tekstil (www.menlh.go.id,2003). Larutan penghilang kanji mengandung zat kimia pengkanji dan penghilang kanji-pati, PVA, CMC, enzim, asam.
Penghilangan
kanji
biasanya
memberikan
BOD
paling
banyak
dibandingkan dengan proses-proses lain. Pemasakan dan merserisasi kapas serta pemucatan semua kain adalah sumber-sumber limbah cair yang menghasilkan asam, basa, COD, BOD dan padatan tersuspensi dan zat-zat kimia. Proses-proses ini menghasilkan limbah cair dengan volume besar, pH yang sangat bervariasi, dan beban pencemaran yang tergantung pada proses dan zat kimia yang digunakan. Pewarnaan dan pembilasan menghasilkan air limbah yang berwarna dengan COD tinggi, dan bahan-bahan lain dari zat warna yang dipakai, seperti fenol dan logam (Potter.,et al,1994). Limbah yang diolah pada Instalasi pengolahan air limbah (IPAL) PT. X berbentuk limbah padat dan cair yang berasal dari operasional proses produksi maupun kegiatan penunjang lainnya. Limbah padat berasal dari sampah, kapaskapas dari blowing, benang dan serat-serat kain yang tidak terpakai. Biasanya penanganannya dibakar. Limbah cair berasal dari proses produksi seperti penenunan dan dyeing (pencelupan). Beberapa bahan kimia yang sering dipakai untuk pengolahan limbah cair di perusahaan ini adalah : Kanji, sunmor, polimer
4
PN-372,Op-604,antifoam,zat warna,NaOH,Na2S2O4, CH3COOH, FeSO4, Ca(OH)2, Al2SO3, zat aditif penyempurna kain.
Gambar 1. Diagram Alir Proses Produksi Tekstil (Potter,et al.,1994)
5
II.2. Pengelolaan Limbah Cair Tekstil II.2.1. Langkah-langkah Pengelolaan Limbah Limbah cair merupakan masalah utama dalam pengendalian dampak lingkungan industri tekstil karena memberikan dampak yang paling luas. Hal ini disebabkan
oleh
karakteristik fisik maupun
karakteristik
kimianya yang
memberikan dampak negatif yang tinggi terhadap lingkungan. Kerusakan lingkungan ini dapat dikurangi apabila dilakukan penanganan dan pengelolaan yang tepat. Untuk mendapatkan hasil yang efektif dan efisien perlu upaya pengelolaan secara terpadu dimulai dengan upaya minimisasi limbah (waste minimization), pengolahan limbah (waste treatment), hingga pembuangan limbah (disposal) (www.menlh.go.id,2003). Minimisasi limbah adalah pengelolaan sebelum proses produksi dengan meminimalkan volume limbah, konsentrasi dan toksisitas bahan kimiawi yang dipakai. Sedangkan pengolahan limbah adalah pengelolaan limbah cair setelah proses produksi dengan menghilangkan atau menurunkan kadar bahan pencemar yang terkandung di dalam limbah cair sehingga memenuhi syarat untuk dapat dibuang (memenuhi baku mutu yang ditetapkan). Limbah hasil pengolahan kemudian dibuang ke lingkungan. Dalam pengelolaan limbah cair industri tekstil ada beberapa langkah untuk mengurangi (minimisasi) beban pencemaran. Langkah pertama adalah program pengelolaan air yang efektif dalam pabrik, dengan menggunakan : • Pengukur dan pengatur laju alir • Pengendalian permukaan cairan untuk mengurangi tumpahan • Pemeliharaan alat dan pengendalian kebocoran • Pengurangan pemakaian air masing-masing proses • Otomatisasi proses atau pengendalian proses operasi secara cermat • Penggunaan kembali alir limbah proses yang satu untuk penambahan (make-up) dalam proses lain (misalnya limbah merserisasi untuk membuat penangas pemasakan atau penggelantangan) • Proses kontinyu lebih baik dari pada proses batch (tidak kontinyu) • Pembilasan dengan aliran berlawanan Langkah berikutnya adalah penggantian dan pengurangan pemakaian zat kimia
6
dengan langkah sebagai berikut: • Penggantian kanji dengan kanji buatan untuk mengurangi BOD • Penggelantangan
dengan
peroksida
menghasilkan
limbah
yang
kadarnya kurang kuat daripada penggelantangan pemasakan hipoklorit. • Penggantian zat-zat pendispersi dan pengemulsi yang menghasilkan BOD tinggi dengan yang BOD-nya lebih rendah. Langkah lainnya adalah mengurangi zat warna yang dipakai. Zat ini menentukan sifat dan kadar limbah proses pewarnaan. Pewarna dengan dasar pelarut harus diganti pewarna dengan dasar air untuk mengurangi banyaknya fenol dalam limbah. Bila digunakan pewarna yang mengandung logam seperti krom, mungkin diperlukan reduksi kimia dan pengendapan dalam pengolahan limbahnya. Proses penghilangan logam menghasilkan lumpur yang sukar diolah dan sukar dibuang. Jika pabrik menggunakan pewarnaan secara terbatas dan menggunakan pewarna tanpa krom atau logam lain, maka limbah sering diolah dengan pengolahan biologi saja, sesudah penetralan dan ekualisasi. Adapun proses pengolahan limbahnya terdiri dari beberapa tahapan diantaranya sebagai berikut (www.Forlink,2000): 1. Pemisahan padatan kasar yaitu sisa serat dan padatan kasar lainnya 2. Segregrasi, hal ini dilakukan apabila air limbah dari suatu proses tertentu mempuyai sifat yang spesifik, mempunyai beban pencemaran yang sangat tinggi dibandingkan dengan air limbah dari proses lainnya, atau bersifat racun (toxic), sehingga apabila digabungkan akan memberatkan atau menyulitkan proses pengolahan. 3. Ekualisasi
untuk
menghomogenkan
konsentrasi
zat
pencemar,
temperatur dan sebagainya, serta untuk menyamakan laju alir/debit atau menghindari /mengurangi fluktuasi laju alir. 4. Penghilangan /penurunan atau penghancuran bahan organik terdispersi. 5. Penghilangan bahan organik dan anorganik terlarut. Tahap satu, dua dan tiga merupakan Pre-treatment. Tahap ini tidak
banyak
memberikan efek penurunan COD, BOD, tetapi lebih banyak ditujukan untuk membantu
kelancaran
dan
meningkatkan
efektifitas
tahap
pengolahan
selanjutnya yaitu tahap empat dan lima (www.menLH.go.id,2003).
7
II.2.2. Jenis-Jenis Pengolahan Limbah Pengolahan limbah cair yang saat ini banyak dilakukan oleh pabrik tekstil adalah pengolahan kimiawi yaitu dengan koagulasi-flokulasi menggunakan bahan kimia, pengolahan biologis dengan lagoon dan lumpur aktif atau gabungan keduanya. Bahan kimia (koagulan) yang banyak digunakan untuk pengolahan kimiawi adalah ferosulfat, kapur, alum, PAC dan polielektrolit (Shuval,1977 dalam Mas’ud, 1995). Pada beberapa pabrik cara ini dilanjutkan dengan melewatkan air limbah melalui Zeolit (suatu batuan alam) dan arang aktif (karbon aktif). Cara koagulasi umumnya berhasil menurunkan kadar bahan organik (COD, BOD) sebanyak, 40-70 %, Zeolit dapat menurunkan COD 10-40%, dan karbon aktif dapat menurunkan COD 10-60 % (www.Forlink,2000). Limbah hasil dari pengolahan kimiawi sebagai tahapan pengolahan pertama (primary treatment) dapat dicampur dengan semua aliran limbah yang lain untuk dilanjutkan ke pengolahan biologi sebagai penanganan sekunder (secondary treatment). Hal ini diperlukan untuk meningkatkan kualitas efluen yang dihasilkan, dengan penanganan biologis akan terpisah 85-95% bahan organik didalam limbah industri (Tyoso,1991). Pengolahan biologis dilakukan untuk memisahkan senyawa organik koloidal dan yang terlarut melalui metabolisme mikrobial, sistem ini mengubah senyawa organik yang biodegradable di dalam larutan menjadi senyawa organik yang tersuspensi dan terflokulasi sehingga dapat dipisahkan dengan proses sedimentasi (Tyoso,1991). Dengan memanfaatkan aktivitas mikroba biologi maka bahan-bahan yang ada dalam air limbah dapat dihancurkan menjadi bahan yang mudah dipisahkan dan memberi efek pencemaran rendah sesuai dengan baku mutu yang ditentukan.
II.3. Baku Mutu dan Instalasi Pengolahan Limbah II.3.1. Baku Mutu Limbah Cair Tekstil Untuk menjamin terpeliharanya sumber daya air dari pembuangan limbah industri, pemerintah dalam hal ini Menteri Negara KLH telah menetapkan baku mutu limbah cair yang dituangkan dalam Keputusan Menteri Negara KLH Nomor: Kep-03/KLH/ II/1991. Parameter utama pencemaran air untuk industri tekstil adalah TSS (Total Solid Suspended), BOD, COD, krom total, fenol, pH dan warna. Parameter lain yang perlu diperhatikan adalah laju alir (debit) dan beban
8
limbah, disamping itu kandungan logam seperti sulfida,amonia nitrogen, seng, tembaga, timbal dan Nikel dan bahan pencemar seperti benzena, naftalen, kloroetilena, kloroetana, dan ftalat. Parameter ini dijadikan acuan batas maksimal limbah boleh dihasilkan oleh suatu industri atau sering disebut juga baku mutu limbah. Tabel 1 memperlihatkan baku mutu limbah cair untuk industri tekstil yang sudah beroperasi. Tabel 1 Baku mutu limbah cair untuk industri tekstil yang sudah beroperasi Parameter
Kadar maksimum
Beban pencemaran
(mg/l)
maksimum (kg/ton)
BOD 5
85
12,75
COD
250
37,5
TSS
50
9
Fenol Total
1
0,15
Krom Total
2
0,3
Minyak Dan Lemak
5
0,75 3
Ph 6,0 - 9,0; Debit limbah cair maksimum : 150 m /ton produk tekstil
( www.menLh.go.id,2003)
II.3.2. Instalasi Pengolahan Limbah Pengolahan limbah cair seperti yang telah dijelaskan di atas meliputi beberapa tahap pengolahan tergantung dari karakteristik limbah cairnya. Seperti halnya proses pengolahan limbah cair pada umumnya, PT. X mengolah limbah cairnya dengan beberapa tahapan yaitu pre-treatment, primer, sekunder dan tersier. Tahap pre-treatment bertujuan menurunkan beban limbah yang sangat tinggi baik padatan terapung, padatan organik dan minyak. Tahap primer bertujuan untuk menghilangkan padatan tersuspensi, selanjutnya tahapan sekunder melanjutkan penghilangan padatan organik dan suspensi sedangkan tahap tersier bertujuan memperbaiki kualitas efluen agar layak dibuang ke lingkungan. Limbah cair dari bagian dyeing masuk kedalam kolam air umum dan air warna, kemudian air limbah tersebut disaring oleh screen (saringan) kasar kemudian saringan halus untuk menghilangkan padatan-padatan limbah. Limbah kemudian dialirkan ke cooling tower (pendingin), hal ini bertujuan agar air limbah yang memasuki kolam aerasi tidak mematikan organisme, lalu ditampung dalam bak ekualisasi.
9
Selanjutnya limbah dipompa masuk ke dalam tanki koagulasi. Dalam tanki ini limbah diproses menggunakan koagulan ferro sulfat (Fe2SO4) atau Al2(SO4)3.18H2O) yang berfungsi untuk pengikat warna. Kemudian ditambahkan polimer sebagai flokulan agar terbentuk endapan flok. Selanjutnya limbah dimasukkan ke dalam bak sedimentasi I, sebagai bagian awal pengendapan limbah. Hasilnya ditampung di bak intermediet sebelum dialirkan ke kolam aerasi. Dalam kolam aerasi ini ditambahkan asupan oksigen untuk mendukung pertumbuhan mikroorganisme. Dengan proses biologis, aktivitas mikroorganisme dalam lumpur aktif mampu memotong-motong rangkaian limbah rantai panjang dan menetralkannya. Hasil dari proses ini dialirkan ke tanki sedimentasi II untuk proses pengendapan. Sebagian hasil pengendapan dialirkan kembali (return sludge) ke kolam aerasi untuk menjaga kestabilan mikroorganisme. Sebagian lagi ke sedimentasi III untuk proses pengendapan lanjutan setelah sebelumnya ditambahkan koagulan. Sebagian kecil lainnya di buang sebagai waste atau masuk ke belt press untuk dijadikan batu bata. Hasilnya efluen yang layak dibuang ke lingkungan.
II.4.
Pengolahan Limbah Cair dengan Lumpur Aktif Proses pengolahan limbah secara biologis merupakan metode yang
memanfaatkan mikroorganisme untuk menguraikan material yang terkandung didalam
air
limbah.
Mikroorganisme
sendiri
selain
menguraikan
dan
menghilangkan kandungan material, juga menjadikan material yang terurai tadi sebagai tempat perkembangbiakannya (Tyoso,1991). Salah satu metode pengolahan limbah secara biologis yang sering dipakai adalah sistem lumpur aktif (Eckenfelder,1989;Tyoso,1991).
II.4.1. Sistem Lumpur aktif Lumpur aktif (activated sludge) adalah gumpalan partikel tersuspensi yang mengandung campuran mikroorganisme aerobik yang dihasilkan melalui proses aerasi (Frobisher,1962 dalam Said, 1994). Adapun jenis Mikrorganisme yang terdapat dalam lumpur aktif diantaranya adalah bakteri, fungi, protozoa serta beberapa metazoa. Sistem lumpur aktif mampu menstabilkan zat-zat organik terlarut sampai tingkat kadar yang rendah dalam waktu yang relatif singkat, percepatan terjadi karena massa mikroorganisme membentuk flok-flok zat biologis padat pada
10
konsentrasi tinggi yang relatif tetap. Kestabilan konsentrasi diperoleh dengan mengembalikan sebagian lumpur dari klarifier akhir ke tangki aerasi, selain juga mendorong terjadinya inokulasi lumpur aktif terus menerus agar waktu tinggal lumpur lebih panjang dan mikroorganisme mampu beradaptasi dengan nutrien yang ada (Tyoso,1991). Tujuan dari proses lumpur aktif sebenarnya adalah untuk memisahkan bahan organik terlarut dan yang tidak terlarut dari limbah dan mengkonversikan material tersebut menjadi suspensi flokulan mikrobial yang siap diendapkan dengan teknik pemisahan padatan cairan secara gravitasi (Eckenfelder,1989). Secara umum proses lumpur aktif dapat dilihat pada Gambar 2. Pada Gambar 2 dapat dijelaskan bahwa Influen merupakan input limbah cair hasil dari suatu proses, kemudian diintroduksi oksigen atau disebut dengan aerasi dalam suatu tanki untuk mempercepat terjadinya kontak antara limbah organik dan mikroorganisme untuk pembentukan flok (bioflokulasi). Flok yang terbentuk diendapkan secara gravitasi di tanki sedimentasi sehingga dihasilkan supernatan yang keluar melalui effluen dan padatan lumpur di dasar tanki. Sebagian besar padatan lumpur kemudian dikembalikan ke tanki aerasi untuk menjaga kestabilan serta sebagian kecil dibuang (waste disposal) (Tyoso,1991). INFLUEN
EFFLUEN BIOFLOKULASI SEDIMENTASI AERASI
LUMPUR YANG DIKEMBALIKAN LUMPUR YANG DIBUANG
Gambar 2 Sistem penanganan limbah cair dengan lumpur aktif (Tyoso,1991). II.4.2. Proses Koagulasi – Flokulasi Proses koagulasi – flokulasi banyak dipengaruhi oleh mekanisme fisik dan kimia, dari media airnya maupun partikel-partikel yang menyebabkan kekeruhan. Proses ini merupakan salah satu penanganan primer (Primary treatment) pada limbah cair yang tercemar berat oleh bahan-bahan kimia
11
berbahaya seperti logam dan lainnya agar memperkecil beban organiknya saat dilakukan proses selanjutnya secara biologis. Proses ini secara umum bertujuan memisahkan partikel-partikel tersuspensi dan koloid yang dengan gravitasi atau secara mekanis biasa tidak mampu mengatasi batas tolak-menolak antara partikel yang bermuatan sama, agar terjadi penggabungan maka gaya tolak menolak harus diperkecil dengan cara penambahan koagulan (Eckenfelder,1989). Koagulan adalah bahan kimia yang mempunyai kemampuan untuk menetralisir muatan partikel koloid dan mampu mengikat partikel-partikel tersebut membentuk gumpalan atau flok (Mas’ud,1995). Dengan cara ini, koagulan digunakan untuk menggumpalkan bahan-bahan yang ada dalam air limbah menjadi flok yang mudah untuk dipisahkan yaitu dengan cara diendapkan, diapungkan dan disaring (www.Forlink,2000). Flokulasi didefinisikan sebagai suatu proses penggabungan atau penggumpalan partikel-partikel koloid yang telah mengalami destabilisasi pada proses koagulasi sehingga terbentuk flok yang lebih besar dan berat dengan demikian mudah untuk mengendap. Bridgwater dan Mumford (1979) dalam Mas’ud (1995) menambahkan bahwa bentuk kumpulan flok yaitu seperti bunga karang dengan permukaan luas, sehingga mampu mengadsorpsi bahan-bahan halus dari larutan, oleh karena itu kumpulan flok tersebut juga mampu dalam penghilangan warna, kekeruhan, bahan-bahan organik dan bakteri dalam larutan. Flokulan merupakan polimer yang terdiri dari monomer-monomer yang bermuatan listrik atau mengandung gugus yang dapat terionisasi. Flokulan mampu menetralisir muatan, adsorpsi dan pembentukan jembatan antar partikel. Bila molekul flokulan bersentuhan dengan partikel koloid, maka beberapa gugusnya akan terserap pada permukaan partikel dan sisanya tetap berada di dalam larutan. Jika partikel kedua terikat pula pada bagian lain rantai polimer tersebut maka terjadi penggabungan partikel dimana polimernya berfungsi sebagai jembatan. Adapun gradien di dalam cairan akan mengakibatkan kontak antar partikel, dan karena pergerakan partikel akan terjadi saling benturan dan mengakibatkan penggabungan antar mikroflok halus menjadi flok-flok besar. Secara garis besar tahap pembentukan flok tersebut adalah proses destabilisasi partikel koloid, pembentukan mikroflok, penggabungan mikroflok dan pembentukan makroflok. Tahap destabilisasi dan pembentukan mikroflok terjadi pada proses koagulasi dan tahap penggabungan mikroflok dan pembentukan makroflok terjadi selama proses flokulasi. Proses Koagulasi –
12
Flokulasi mampu menetralkan kandungan kimiawi yang sangat tinggi menjadi lebih rendah, proses ini sangat berperan dalam menunjang tahap selanjutnya yaitu proses aerasi secara biologis dengan demikian larutan limbah dapat dipisahkan secara lebih mudah.
II.4.3. Proses Sedimentasi Lumpur Aktif Dalam proses lumpur aktif, polutan organik diserap oleh mikroorganisme dalam tanki aerasi. Mikroorganisme ini secara essensial adalah lumpur aktif itu sendiri. Akan tetapi tanpa sedimentasi atau pemisahan lumpur dari larutannya, proses pengolahan tidak akan efektif sama sekali. Untuk alasan tersebut maka pengendapan gravitasi (sedimentasi) pada tanki kedua (secondary tank) merupakan bagian yang sangat penting dalam sistem pengolahan lumpur aktif (Nathanson,1997; James, 1994). Sedimentasi adalah proses pemisahan dari air, partikel larutan yang lebih berat dari air dengan pengendapan secara gravitasi, sedimentasi digunakan untuk memisahkan flok biologis dan memproduksi effluen yang lebih jernih (Metcalf and Eddy,1991). Bila lumpur tidak cepat mengendap, beberapa akan terbawa ke efluen dan akan menyebabkan pencemaran pada air supernatan yang diperoleh (Nathanson,1997). Pada beberapa kasus setelah proses sedimentasi dilakukan penambahan koagulan (bahan kimia yang meningkatkan flokulasi dan menyebabkan penggendapan flok (Schoeder,1977). Dalam beberapa kondisi, proses sedimentasi sering terhambat. Alasan utamanya adalah pesatnya pertumbuhan bakteri berfilamen atau berserabut, secara subur di tanki aerasi dan membuat lumpur menjadi halus dan ringan. Lumpur berfilamen yang tumbuh secara berlebihan seperti ini lambat mengendap, sehingga supernatan yang jernih tidak akan diperoleh di akhir proses, Kondisi ini sering disebut dengan bulking (Nathanson,1997). Kondisi bulking seperti ini bisa dikontrol dan dibatasi dengan melakukan penyesuaian pada konsentrasi MLSS dan rasio F/M. Penyesuaian akan efektif bila diketahui pola pengendapan lumpur aktif. Pola pengendapan mampu diidentifikasi berdasarkan nilai kualitas pengendapan lumpur yang disebut Sludge Volume Index (SVI) (Metcalf dan Eddy,1991). Penyesuaian diperoleh dengan mengembalikan lumpur dari tanki sedimentasi kedua ke aerasi dan pengaturan konsentrasi MLSS yang mempunyai SVI yang tinggi (Nathanson,1997).
13
Dalam penangangan limbah cair industri dengan menggunakan sistem lumpur aktif, bila konsentrasi dari larutan padat (suspended solid) sangat tinggi, mencapai > 500 mg/l, partikel limbah tidak mengendap secara independen, flok partikel melekat bersama dan massa partikel mengendap membentuk lapisan yang
berbeda
antara
flok
lumpur
dan
supernatan
(Schoeder,1977;
Eckenfelder,1989). Dengan asumsi kecepatan pengendapan proporsional dengan konsentrasi
padatan limbah dan tidak ada interaksi mekanis antar
partikel, secara konseptual pola pengendapan berikut dapat menjelaskan sistem yang terjadi :
Gambar 3 Skema konseptual pola pengendapan lumpur aktif (Eckenfelder,1989; Metcalf and Eddy,1991) Pada skema konseptual di atas, selama periode pengendapan maka kecepatan mengendap lumpur dalam keadaan yang sama. Daerah A menggambarkan konsentrasi awal dari partikel lumpur yang teraerasi (kondisi I), bersamaan dengan terjadinya pengendapan partikel padatan mengendap di daerah D secara konstan, dan terbentuk daerah C sebagai daerah transisi dan daerah supernatan B (kondisi II). Pada kondisi III terjadi hal yang sama dengan padatan yang mengendap lebih banyak (daerah D) dan supernatan yang meningkat (daerah B) serta penurunan daerah A. Kemudian kecepatan pengendapan akan menurun karena meningkatnya densitas dan viskositas larutan di sekitar partikel dan kondisi IV pun terbentuk dimana partikel lumpur sudah mengendap penuh (daerah D) sehingga antara padatan dan air supernatan (daerah B) terlihat jelas (Eckenfelder,1989;Metcalf dan Eddy,1991). Fenomena yang ditunjukan pada Gambar 3 menjadi dasar identifikasi kurva fase mengendapnya lumpur yang terflokulasi. Pada konsentrasi awal yang seragam lumpur mengendap dengan kecepatan yang seragam pula. Ada tiga fase pengendapan yang terbentuk yaitu fase zona, fase transisi dan fase
14
pemadatan (Eckenfelder,1989). Skema umum fase pengendapan lumpur
Tinggi permukaan lumpur
disajikan pada Gambar 4.
Fase zona
Fase Transisi Fase pemadatan
Waktu pengendapan
Gambar 4 Skema umum fase pengendapan lumpur terflokulasi. (Eckenfelder,1989)
Seperti halnya kondisi yang terjadi di lapangan ada interaksi antar partikel dan konsentrasi biomassa yang tidak mengendap sempurna ke dasar tanki (bulking) yang berpengaruh terhadap turunnya kecepatan mengendap lumpur. Hal ini yang menyebabkan efektifitas dan kualitas effluen menjadi rendah. Diyakini akibat pengaruh di atas proses pengendapan membentuk suatu pola yang kontinyu terhadap waktu. Skema fase pengendapan 4 menjadi dasar pemikiran dilakukan penelitian ini. Asumsi dasar
yang dipergunakan adalah
pengaruh dari faktor lingkungan seperti pH, suhu dan lainnya dianggap konstan.
II.4.4. Karakteristik Flok Dalam Sistem lumpur aktif mikroorganisme bersama-sama dengan partikel-partikel terlarut dalam limbah membentuk flok sebagai unit operasional dasar lumpur aktif yang sering disebut dengan proses Bioflokulasi. Dari beberapa penelitian secara fisik didapatkan informasi bahwa dalam pembentukan flok lumpur aktif terdapat dua macam struktur, yaitu mikrostruktur dan makrostruktur (Sezgin, 1978 dalam Sutapa, 2004). Mikrostruktur dipengaruhi oleh adhesi mikrobiologis, pembentukan agregat, dan bioflokulasi. Hal ini merupakan dasar pembentukan flok lumpur aktif, karena
bila
suatu
mikroorganisma
tidak
mampu
bergabung
dengan
mikroorganisma lainnya, maka endapan (sedimen) yang terdiri dari kumpulan mikroorganisme tidak akan terbentuk. Pada sistem lumpur aktif yang hanya terdiri dari bakteri pembentuk flok (floc forming bacteria), flok yang terbentuk
15
adalah mikrostruktur. Pembentukan flok makrostruktur pada sistem lumpur aktif dipengaruhi oleh mikroorganisma berfilamen. Mikroorganisma ini membentuk suatu hubungan atau ikatan diantara flok-flok yang terbentuk oleh bakteri pembentuk flok (Sutapa, 2004). Dalam pembentukan flok tersebut, mikroorganisme yang paling berperan adalah bakteri (hampir 95% dari total biomassa lumpur aktif). Ada dua kelompok bakteri yang paling dominan yaitu bakteri pembentuk flok serta bakteri berfilamen. Jenis
bakteri
seperti
Zooglea
ragimera,
Flavobacterium,
Pseudomonas,
Alcaligenes dan Achromobacter merupakan bakteri pembentuk flok, sementara jenis
Flavobacterium
ferrugenum,
Nocardia,
Sphaerotilus
natans,
Haliscomenobacter hydrosis, Microthrix parvicella merupakan bakteri berfilamen (Jenkins et al.,1993). Berdasarkan keberadaan bakteri filamennya terdapat 3 tipe flok yang terbentuk dalam lumpur aktif yaitu : 1. Flok Normal atau flok ideal Pada flok normal ini pertumbuhan bakteri filamen seimbang dengan bakteri pembentuk flok. Bakteri filamen berada didalam flok, sebagian kecil membentuk juluran keluar dari flok (gambar 5a). Flok yang terbentuk kokoh dan besar sehingga menghasilkan supernatan yang jernih dengan nilai Sludge Volume Index berkisar antara 70- 120 ml/g. 2. Pinpoint flok Pada tipe flok ini hanya terdapat sedikit atau bahkan tidak terdapat bakteri filamen (Gambar 5b). Floknya berukuran kecil dan rapuh, mudah terpecah oleh adanya turbulensi dalam bak aerasi. Flok sulit untuk mengendap, meghasilkan supernatan yang keruh, nilai SVI rendah yaitu di bawah 70 ml/g. 3. Flok Bulking Bakteri filamen sangat banyak, tumbuh di dalam dan diluar flok (Gambar 5c). Bakteri filamen menyebabkan struktur flok menjadi difus, atau terjadi ikatan (bridging) antar flok. Flok sukar untuk mengendap, nilai SVI tinggi yaitu di atas 150 ml/g sehingga menghasilkan bulking.
16
a. flok normal
b. Pinpoint flok
c. Flok bulking
Gambar 5 Tipe Flok Berdasarkan Keberadaan Filamennya. (Jenkins et al.,1993) Didalam flok, bakteri filamen berperan sebagai backbone atau kerangka dasar flok. Bakteri filamen memberi bentuk dan kekuatan pada flok. Sezgin dalam Jenkins et al. (1993). Menemukan bentuk flok berubah dari sferis pada saat jumlah bakteri filamen sedikit, menjadi silindris pada saat jumlah bakteri filamen banyak. Hal ini menandakan bahwa pertumbuhan flok searah dengan pertumbuhan bakteri filamen. Bulking
digambarkan
sebagai
keadaan
limbah
yang
sulit
untuk
mengendap sehingga pada aliran keluarnya tetap mengandung senyawa organik tinggi. Dilihat dari segi struktur, bulking mengacu pada pertumbuhan flok makrostruktur dengan jumlah bakteri filamen yang sangat banyak (Gray,1995). Bakteri ini menyebabkan partikel-partikel flok sulit untuk bergabung membentuk massa flok yang lebih besar sehingga sulit mengendap. Selain komposisi limbah, kondisi operasional dan design sistem mempengaruhi terjadinya bulking. Sehingga perlu upaya mengoptimalkan performa kondisi operasional dan design sistemnya. Prediksi terhadap performa tangki sedimentasi kedua sangat sulit dilakukan dikarenakan keheterogenan larutan limbah. Kesulitan tersebut mampu diatasi dengan membuat pemodelan sistem terhadap design dan performa proses yang terjadi pada tanki tersebut. Menurut James (1994), ada dua faktor yang paling berpengaruh terhadap performa proses di tanki sedimentasi yaitu : (1) Konsentrasi dari larutan limbah (2) Bahan yang terflokulasi dari partikel limbah tersebut. Pemodelan sistem mampu mengidentifikasi dengan tepat kedua faktor di atas.
17
II.5. Prediksi Pola Pengendapan Lumpur II.5.1. Teori Pemodelan Sistem Sistem menurut Manetsch dan Park (1979) dalam Eryatno (1998) adalah suatu gugus dari elemen yang saling berhubungan dan terorganisasi untuk mencapai suatu tujuan atau suatu gugus dari tujuan-tujuan. Dalam sistem terjadi penyatuan dari komponen-komponen yang bekerja yang berinteraksi teratur dan saling bergantung satu sama lain (Muhammadi et al.,2001; Marimin, 2004). Banyaknya kriteria kompleks yang harus diperhatikan dalam sistem penanganan limbah menyebabkan penelitian eksperimen sulit dilakukan terutama dalam memprediksi kualitas air maupun air limbah (James,1994). Kriteria yang komplek menyebabkan parameter yang dikaji sangat beragam. Oleh karena keragaman yang tinggi maka tidak mungkin dikaji oleh satu atau dua metode spesiifik saja, dalam hal ini kesisteman diperlukan untuk memadukan setiap proses dan elemen yang bekerja (Eryatno,1998; Muhammadi et al.,2001 Marimin, 2004). Dalam pendekatan kesisteman digunakan model untuk merepresentasikan kondisi di lapangan. Model dapat dikatakan sebagai suatu perwakilan atau abtraksi dari sebuah objek atau situasi aktual. Mantulangi (1993) menyatakan bahwa model adalah bentuk informasi tentang kumpulan sistem dengan tujuan mempelajari sistem tersebut. Model memperlihatkan hubungan-hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat. Model juga disebut sebagai suatu bentuk yang dibuat untuk menirukan suatu gejala atau proses yang terjadi atau merupakan representasi dari kondisi aktual suatu sistem (Muhammadi et al.,2001). Suatu model yang berbeda untuk sistem yang sama dapat diperoleh dengan melakukan analisis yang berbeda dalam sistem tersebut. Dasar utama pengembangan model adalah untuk menemukan peubahpeubah apa yang penting dan tepat sehingga pengkajian terhadap hubunganhubungan yang terdapat diantara peubah dapat dikaji. Teknik kualitatif seperti regresi dan simulasi digunakan untuk mempelajari keterkaitan antar parameter peubah dalam sebuah model (Eryatno,1998). Simulasi adalah suatu aktivitas dimana pengkaji dapat menarik kesimpulan tentang perilaku dari suatu sistem melalui penelaahan perilaku model yang selaras, dimana hubungan sebab akibatnya sama atau seperti keadaan pada sistem yang sebenarnya (Eryatno,1998). Secara singkatnya merupakan peniruan perilaku suatu gejala atau proses yang bertujuan untuk memahami
18
perilaku tersebut dan membuat analisis serta peramalan perilaku gejala atau proses di masa datang (Muhammadi et al.,2001). Sedangkan Mantulangi (1993), menyatakan bahwa simulasi merupakan model matematika yang dapat menjelaskan perilaku sistem dalam suatu lintasan waktu. Melalui observasi perilaku model matematika pada lintasan waktu tersebut, analis dapat menduga perilaku sistem yang sebenarnya. Di dalam metode simulasi dicoba untuk ditemukan model yang cocok dengan persolan yang dihadapi. Perumusan persoalan dan pembuatan model dilakukan berdasarkan keadaan masalah yang dihadapi. Di dalam simulasi model untuk masalah yang satu kemungkinan akan berbeda dengan model untuk masalah lainnya. Keuntungan dari simulasi model adalah fleksibilitasnya yang tinggi sehingga dapat digunakan untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi (Mantulangi,1993).
II.5.2. Pemodelan Sistem untuk Memprediksi Pengendapan Lumpur Pola pengendapan lumpur aktif mampu diidentifikasi apabila diketahui kecepatan pengendapan lumpur tersebut. Kecepatan pengendapan tersebut berubah terus tergantung dari waktu dan konsentrasi lumpur dan faktor-faktor biologis lumpur. Sampai saat ini belum ada yang mampu memadukan faktorfaktor biologis yang berpengaruh terhadap pengendapan lumpur aktif secara komprehensif sehingga menjadi sebuah formula. Hal ini disebabkan banyaknya faktor yang terkait. Oleh karena itu dilakukan pendekatan model untuk mendefinisikan hubungan dalam proses pengendapan lumpur aktif. Model yang banyak digunakan untuk menentukan hubungan kecepatan pengendapan zona lumpur pada berbagai konsentrasi adalah model Vesilind (1986 )[persamaan 1] yang mengandung 2 parameter konstan: Vo dan n. Untuk memperoleh parameter Vesilind dilakukan percobaan pengenceran yang lama, menghamburkan tenaga dan menghasilkan data yang menyebar (Vanderhasselt dan
Vanrolleghem,
2000).
Beberapa
pendekatan
lain
dilakukan
untuk
menghubungkan indeks volume lumpur (SVI,SSVI) dengan parameter Vo dan n melalui fungsi empirik. Hubungan tersebut bisa diperoleh dengan mengambil data eksperimen yang banyak dari SVI dan parameter Vesilind. Akan tetapi hubungan tersebut masih dipertanyakan validitasnya dikarenakan kecepatan pengendapan zona lumpur dengan stirrer (Vzs) dipengaruhi oleh faktor-faktor
19
yang tidak berhubungan dengan parameter Vesilind ataupun SVI (Vanderhasselt dan Vanrolleghem, 2000). Model lain yang digunakan untuk memprediksi kecepatan pengendapan lumpur adalah model yang diajukan oleh Takacs et al (1991)[persamaan 2]. Model ini mampu mendeskripsikan konsentrasi yang rendah dengan lebih baik dibanding model Vesilind. Model Takacs sering disebut sebagai persamaan dua eksponensial (Renko, 1998). Kelemahan model ini adalah banyaknya parameter (5 parameter) yang diperoleh sehingga tidak praktis digunakan di lapangan. Penelitian lanjutan mengenai kecepatan pengendapan juga dilakukan oleh Renko (1998)[persamaan 3]. Model ini mampu mengatasi kelemahan model Takacs dengan parameter yang lebih sedikit. Model Renko juga mampu mengidentifikasi hubungan antara SSVI dan kecepatan pengendapan zona.
Vs = V0 e − nX
.......................................................................................................[1]
Dimana, Vs
: Kecepatan pengendapan zona (m.h-1)
V0
: Kecepatan pengendapan maksimum (m.h-1)
n
: Parameter Konstanta Vesilind (m3.kg-1)
X
: Konsentrasi lumpur aktif (m-3.kg).
Vsj = V0e
− rh X hj
− V0e
− rp X
p j
.........................................................................................[2]
0 ≤ Vsj ≤ V0 '
Dimana, Vsj
: Kecepatan pengendapan dari partikel padat pada layer j
V0
: Kecepatan pengendapan maksimum
V0 '
: Kecepatan pengendapan maksimum (praktis)
rh , rp
: Parameter pengendapan Takacs yang menggambarkan pengendapan
padatan rh
: Parameter pengendapan Takacs yang berhubungan dengan komponen yang menghambat pengendapan.
rp
: Parameter pengendapan Takacs yang berhubungan dengan konsentrasi rendah dan komponen larutan yang lambat mengendap.
20
X * = X j − X min Xj
: Konsentrasi padatan di layer j
X min = f ns xin X min
: Konsentrasi padatan minimum yang dicapai di tiap layer
xin
: Konsentrasi padatan yang masuk sedimentasi kedua
f ns
: Fraksi yang tidak mengendap (non-settleable) dari xin
h(t , ho ) =
C ( X 2 + β )ho C ( X 2 + β )ho −tαX /(( X 2 + β ) ho ) ..............................................[3] +( )e αX αX
Dimana,
h(t , ho )
: Tinggi permukaan lumpur saat waktu t (m)
ho
: Tinggi awal permukaan lumpur (m)
t
: Waktu (h)
X
: Konsentrasi lumpur aktif (m-3.kg)
α ,β , C
: Parameter pengendapan lumpur aktif dengan satuan secara berurutan (m.h-1), (m-6.kg-2), (m-2.kg.h-1)
Penelitian ini lebih difokuskan pada pengembangan model Renko dengan menggunakan jenis lumpur limbah tekstil yang sampai saat ini belum banyak diketahui. Alasan pengambilan model ini adalah parameter model Renko yang lebih sedikit dan mampu menggambarkan konsentrasi yang rendah dengan lebih baik. Adapun yang membedakan penelitian ini dengan penelitian Renko selain perbedaan jenis lumpur, penelitian ini juga menggunakan metode pengambilan sampel yang lebih sederhana jika dibandingkan dengan metode Renko sehingga lebih praktis digunakan di lapangan.
21
III. METODOLOGI PENELITIAN
III. 1.
Prosedur Penelitian Penelitian dilakukan dengan mencatat secara penuh data kurva
pengendapan lumpur dengan parameter fisiko-kimiawi untuk pembuatan modelnya. Sampel lumpur diambil
dari outlet tanki aerasi secukupnya, dan
dimasukan kedalam wadah penampung. Parameter fisiko-kimiawi yang diukur merupakan parameter operasional pada sistem pengolahan limbah. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan waktu pengambilan sampel. Parameter operasional yang diukur meliputi pH, temperatur, DO, MLSS, kemudian dihitung SV (sludge Volume) dan SVI. Penyimpanan lumpur dan pengukuran parameter dilakukan pada suhu ruang.
III. 1.1. Penentuan pH dan Temperatur Temperatur dan pH diukur bersama-sama dengan menggunakan pH meter HI 9025 (Hanna Instruments). Diambil 30 ml sampel lumpur aktif, ditempatkan dalam gelas beker. Kemudian elektrode pH meter dicelupkan ke dalam sampel, dibiarkan beberapa saat sampai nilainya stabil. Pengukuran dilakukan dengan 3 kali ulangan.
III.1.2. Penentuan DO DO (Disolved Oksigen) adalah banyaknya oksigen yang terkandung dalam cairan limbah. Alat yang digunakan dalam mengukur DO ini adalah DO meter tipe OM14, tingkat ketelitian alat ini mencapai 0.01. DO diukur dengan mencelupkan ke dalam sampel yang telah diambil.
III.1.3. Penentuan SV30 SV30 atau volume lumpur (ml/l) adalah banyaknya lumpur yang dapat mengendap tiap 1 liter cairan limbah, dalam waktu 30 menit. SV30 diukur dengan mengambil 1 liter cairan limbah, dimasukkan dalam kerucut Imhoff. Setelah 30 menit diukur volume lumpur yang dapat mengendap (APHA, 1994).
III.1.4. Penentuan MLSS MLSS atau bahan padat tersuspensi (mg/l) adalah banyaknya bahan padat yang tersuspensi dalam cairan limbah. MLSS ditentukan berdasarkan
22
metode gravimetri. Diambil 50 ml sampel limbah, kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui berat keringnya. Kertas saring dan filtrat dikeringkan dalam oven dengan temperatur 102°C selama 24 jam. Setelah beratnya konstan, kertas saring dan filtrat ditimbang untuk mengetahui berat keringnya. MLSS dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (APHA, 1994) :
MLSS = (a − b ) ×
1000 V
mg/l ................................................... [4]
Keterangan: a b V
= = =
berat kering kertas saring + filtrat (mg) berat kering kertas saring (mg) volume sampel limbah (ml)
III.1.5. Penentuan SVI SVI atau indeks pengendapan lumpur (ml/g) adalah nilai yang menyatakan volume lumpur yang dapat mengendap tiap 1 g lumpur. SVI dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (APHA, 1994):
SVI =
SV30 x1000 ml/g .................................................................[5] MLSS
Keterangan: SV30 MLSS
= =
volume pengendapan lumpur (ml/l) bahan padat tersuspensi (mg/l)
III.1.6. Penentuan Volume Volume lumpur yang mengendap diukur dengan menggunakan gelas ukur 1000 ml dan stop watch untuk menghitung waktu pengendapannya. Konsentrasi yang lebih rendah diperoleh dengan mengambil 100 ml lumpur dalam gelas ukur dan kelipatannya digantikan oleh air supernatan dari outlet pembuangan akhir sejumlah yang sama. Prosedur ini dilakukan terus sampai 10 kurva pengendapan terbentuk. Untuk mengetahui pengaruh konsentrasi terhadap pola pengendapan dilakukan pengonsentrasian lumpur dengan tiga kondisi yaitu kondisi 1 merupakan sampel lumpur yang dianalisa tanpa pengonsentrasian terlebih dahulu, kondisi 2 merupakan sampel lumpur yang dianalisa setelah dilakukan pengonsentrasian selama 1 jam dan kondisi 3 merupakan sampel lumpur yang dianalisa setelah pengonsentrasian selama 2 jam. Untuk lebih jelas mengenai kerangka kerja pengambilan data dapat dilihat pada Gambar 6.
23
Mulai
Lumpur dari outlet bak aerasi
Kondisi 1 tanpa pengonsentrasian
Kondisi 2 Pengonsentrasian 1 jam
Kondisi 3 Pengonsentrasian 2 jam
Lumpur diencerkan dalam gelas ukur 1000 mL untuk mendapatkan 10 variasi konsentrasi
Dihitung volume lumpur yang mengendap selama 2 jam dari 10 variasi konsentrasi tersebut
Dihitung konversi volume lumpur yang mengendap menjadi ketinggian lumpur
Selesai
Gambar 6 Kerangka kerja pengambilan data volume , konsentrasi,dan waktu pengendapan lumpur aktif. III.1.7. Penentuan Ketinggian Untuk
keperluan
pembuatan
model
maka
volume
lumpur
yang
mengendap dikonversikan ke ketinggian dengan persamaan :
h = V / A ...................................................................................................[6] Dimana,
h
: Tinggi lumpur (m)
V
: Volume lumpur yang mengendap (ml)
A ( π .r 2 )
: Luas penampang tabung (m2)
III.2. Tahapan Pembuatan Aplikasi Model Tahapan kerja pembuatan aplikasi model pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir ini disajikan pada gambar 7. Untuk memperoleh persamaan model maka dilakukan beberapa tahapan penting diantaranya formulasi permasalahan, pada tahap ini dilakukan identifikasi permasalahan, yang meliputi
24
pemilihan masalah dan identifikasi tujuan. Tahap ini diperlukan agar terbentuk model realistik dan sederhana.Tahap berikutnya adalah review latar belakang teoritis. Dalam tahap ini dilakukan pengumpulan sumber literatur yang berhubungan dengan sistem serta mereview teori-teori yang berkaitan dengan berbagai parameter dalam sistem. Tahap ketiga adalah pengumpulan dan analisis data. Pengumpulan data sekunder diperoleh dari buku referensi, jurnal, laporan penelitian sebelumnya yang berhubungan, serta data primer dari hasil percobaan di lapangan dan laboratorium. Mulai
Formulasi permasalahan
Review latar belakang teoritis
Pengumpulan dan analisis data
Formulasi persamaan matematika
Tidak Ok?
ya Pembuatan struktur model
Tidak Ok?
ya Verifikasi model
Validasi model
Ok?
Tidak ya Selesai
Gambar 7 Tahapan pembuatan aplikasi model pola pengendapan lumpur aktif pada sistem pegolahan limbah cair tekstil.
25
Analisis data keragaman proses dilakukan dengan pendekatan analisis statistika menggunakan software Mathlab dan Microsoft excel. Tahap keempat adalah Penyusunan persamaan matematika. Pada tahap ini hasil analisis data yang dihubungkan dengan latar belakang teoritis kemudian disusun persamaan matematika yang sesuai. Tahap kelima adalah pembuatan struktur model. Pada tahap ini dilakukan identifikasi terhadap variabel pembentuk model kemudian digabungkan dalam bentuk diagram yang lebih besar. Hal ini membantu untuk mengetahui alur informasi serta kesulitan yang dihadapi (James,1994). Tahap keenam adalah verifikasi parameter model. Pada tahap ini program komputasi yang digunakan mampu mengoptimasi parameter model yang terbentuk. Tahap ketujuh adalah validasi model. Pada tahap ini parameter model yang diperoleh di cek ulang dengan data eksperimen yang baru untuk mengevaluasi apakah parameter model yang diperoleh mampu menjelaskan kondisi eksperimen.
III.2.1. Modifikasi persamaan model Renko Untuk pembentukan struktur model, dilakukan modifikasi terhadap persamaan Renko yang disesuaikan dengan kondisi eksperimen. Gambar 8 memperlihatkan hubungan antar parameter pengendapan yang terlibat di sedimentasi akhir.
A m2 Vo 1000 ml
Influen
Effluen
Lumpur kembali
Volume Lumpur yang mengendap (V) ml
Gambar 8 Hubungan antar parameter pengendapan yang terlibat Keterangan : Lumpur kembali
Vo
: Lumpur aktif yang dikembalikan ke tanki aerasi untuk menjaga kestabilan proses degradasi limbah : Rata-rata limbah cair ke tanki aerasi : Rata-rata air supernatan yang aman dibuang ke lingkungan : Volume lumpur yang mengendap dalam 1 liter tabung ukur (ml) : Volume awal lumpur yang diendapkan (1000ml)
A
: Luas permukaan tabung (m2)
Influen Efluen V
26
Berdasarkan persamaan 3 dan 6 maka tinggi pengendapan lumpur sebagai fungsi waktu dari persamaan model Renko dapat dimodifikasi sebagai berikut:
V C ( X 2 + β ) ho C ( X 2 + β ) h o − tα X V +( (t , 0 ) = )e A A αX αX
/(( X
2
+ β ) ho )
..................[7]
III.2.2. Verifikasi model Verifikasi model dilakukan untuk melihat apakah model mampu digunakan untuk menggambarkan hasil eksperimen yang dihasilkan. Verifikasi dilakukan dengan memasukan data eksperimen ke dalam model Renko sehingga diperoleh nilai parameter model baru untuk memprediksi pola pengendapan yang terbbentuk.
III.2.3. Validasi model Validasi model dilakukan untuk mengevaluasi apakah model yang telah dikembangkan
mewakili
kondisi
sebenarnya.
Validasi
dilakukan
dengan
membandingkan hasil model dengan data eksperimen baru sehingga dapat diketahui apakah model masih relevan atau tidak. Alat ukur yang digunakan yaitu dengan melihat nilai MSE (Mean Square Error). MSE mampu menilai tingkat kesalahan yang dibuat dengan membandingkan rangkaian data model dan data eksperimen.
III.3. Pengembangan program komputasi III.3.1. Tampilan Program Model aplikasi untuk memprediksi pola pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir ini dirancang dan dikembangkan dalam suatu paket program yang di beri nama SIMULASI POLA PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF. Paket program komputasi ini dirancang dengan menggunakan Mathlab 7.01. Aplikasi model pola pengendapan lumpur aktif ini mampu menggambarkan ketiga kondisi perlakuan pengonsentrasian. Tampilan awal program dapat dilihat pada gambar berikut :
27
2
3
4
6
1
7
5
Gambar 9 Tampilan awal program simulasi pola pengendapan lumpur aktif.
Tampilan program di atas terdiri dari beberapa kolom yaitu : 1. Kolom Sumber data 2. Kolom Optimasi model 3. kolom Validasi model 4. Kolom Plot grafik 5. Kolom simulasi dan time series 6. Kolom tulis output hasil optimasi ke dalam bentuk excel 7. Kolom Output grafik
III.3.2. Sumber data Sumber data berasal dari data eksperimen dalam exel yang mewakili tiga kondisi yang ada. Kolom sheet memuat ulangan data yang dilakukan pada setiap kondisi. Kolom Waktu, Volume, MLSS memuat range data dalam exel untuk parameter waktu, volume dan konsentrasi yang diperoleh.
28
Gambar 10 Tampilan komputasi sumber data.
III.3.3. Optimasi dan Validasi Optimasi dan Validasi memuat
perhitungan terhadap parameter-
parameter pengendapan yang dicari, nilai batasan konsentrasi maksimum yang mampu di deteksi model, dan nilai eror dari model yang terbentuk. Validasi model membandingkan model yang terbentuk dengan model dari rangkaian data yang baru. Nilai MSE yang kecil memperlihatkan model masih relevan atau tidak.
Gambar 11 Tampilan kolom optimasi dan validasi model.
III.3.4. Output Hasil Perhitungan Output hasil perhitungan terdiri dari nilai hasil perhitungan serta plot grafiknya. Kolom plot grafik juga memuat plot untuk tiap rangkaian data yang diperoleh. Kolom tulis variabel ke file output exel memuat konversi hasil perhitungan dengan jenis data keluaran mathlab menjadi keluaran excel yang lebih mudah digunakan.
29
Gambar 12 Tampilan data plot grafik dan output perhitungan excel.
III.3.5. Simulasi Simulasi memuat nilai simulasi parameter pengendapan dari berbagai konsentrasi (X) dan waktu (t) yang mampu diprediksi model. Kolom ini mampu diisi dengan nilai tebakan X dan t sesuai yang diinginkan dalam batasan X maksimal.
Gambar 13 Tampilan simulasi parameter pengendapan.
III.3.6. Time Series Kolom time series memuat plot grafik dari hasil simulasi dengan mengikuti urutan waktu. Pada kolom ini bisa terlihat kecepatan pengendapan lumpur di beberapa titik parameter.
Gambar 14 Tampilan kolom time series polapengendapan.
30
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
IV.1. Penentuan Parameter Fisika dan Kimia Kondisi awal lumpur aktif setiap kondisi dianalisis sebelum dilakukan pengonsentrasian (sub bab III.1.6). Diperoleh data untuk kondisi 1, nilai MLSS sekitar 4 g/L, kondisi 2 berkisar antara 5,6 g/L-7,0 g/L dan kondisi 3 sekitar 8 g/L. Peningkatan konsentrasi lumpur pada kondisi 2 dan 3 merupakan dampak dari pengkonsentrasian lumpur selama 1-2 jam yang merupakan perlakuan. Suhu dari ketiga kondisi berkisar antara 280C – 350C. Pada kondisi 1, suhu berkisar antara 300C - 350C sedangkan pada kondisi 2 dan 3 terjadi penurunan suhu dibandingkan kondisi 1 rata-rata sekitar 1-20C. Kisaran suhu tersebut merupakan suhu normal yang dicapai dalam pengolahan limbah lumpur aktif khususnya di daerah tropis. Untuk lebih jelas mengenai parameter-parameter ini dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Parameter kondisi awal lumpur aktif Kondisi 1
Kondisi 2
Kondisi 3
Parameter
*
1
2
3
1
2
3
1
2
3
MLSS(mg/L)
4000
4000
4100
6500
0
5600
7000
8000
8000
8000
Suhu( C)
30.0
30.0
29.8
30.9
29.3
30.0
27.0
28.0
28.0
DO(mg/L)
1.82
1.96
1.23
0.74
0.65
0.96
0.75
0.46
0.65
pH
7.04
7.03
7.46
7.23
7.40
7.26
7.59
7.24
7.43
1,2,3 = analisa pengendapan
Pengaruh perlakuan menurunkan DO (oksigen terlarut) jika dibandingkan dengan kondisi 1 sekitar 1.34-1.82. Pada kondisi dua mempunyai nilai yaitu 0.650.96 dan sekitar 0.46-0.75 pada kondisi tiga. Lamanya waktu pengkonsentrasian diluar sistem menyebabkan kadar oksigen dan tingkat kelarutan tidak bisa dipertahankan secara konstan. Alasan lainnya yaitu dengan konsentrasi yang tinggi maka
diperlukan
oksigen
yang
lebih
tinggi
agar
keseimbangan
pertumbuhan mikroorganisme dalam media terjaga. Untuk Menjaga DO tidak terlalu turun maka telah dibantu dengan aerator pada saat pengkonsentrasian dan penngadukan. Hal ini berhasil menahan turunnya DO secara signifikan. Nilai awal pH pada setiap kondisi relatif sama yaitu sekitar 7.0-7.6. Nilai pH tersebut masih tergolong normal dan berada dalam ambang batas baku mutu kualitas limbah industri tekstil yang diizinkan pemerintah dengan kisaran pH 6.0 - 9.0.
31
IV.2. Pola Pengendapan Berdasarkan Efek Pengkonsentrasian Hasil pengamatan pola pengendapan lumpur aktif pada berbagai kondisi berdasarkan efek pengkonsentrasian dapat dilihat di bawah ini. IV.2.1. Kondisi 1 Kondisi ini mempunyai konsentrasi awal rata-rata 4,0 g/L. Hasil pengamatan terhadap pola pengendapan lumpur disajikan pada Gambar 15 dan 16. 1000
800
volume(ml)
x= 4.0 g/l 600
x= 3.5 g/l x= 3.0 g/l x= 2.8 g/l
400
x= 2.5 g/l 200
0 0
20
40
60
80
100
120
140
t (menit)
Gambar 15 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.5 g/l – 4.0 g/l. 1000
800
volume(ml)
x= 2.0 g/l 600
x= 1.8 g/l x= 1.6 g/l x= 1.4 g/l
400
x= 1.0 g/l 200
0 0
20
40
60
80
100
120
140
t (menit)
Gambar 16 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 1.0 g/l – 2.0 g/l. Pada Gambar 15 dan 16 terlihat bahwa lumpur aktif mengendap dengan sangat cepat dibandingkan dengan konsentrasi awalnya. Pada konsentrasi awal 2.5 g/l - 4 g/l lumpur aktif mengendap dengan perlahan secara proporsional
32
sampai menit ke 60. Semakin rendah konsentrasi awal, maka volume lumpur yang mengendap semakin kecil, atau dengan kata lain lumpur relatif lebih mudah mengendap. Kecepatan mengendap naik cukup signifikan bila konsentrasi awal lumpur aktif di bawah 2 g/l. Untuk mencapai volume di bawah 200 ml hanya diperlukan waktu kurang dari 10 menit, sedangkan untuk konsentrasi di atas 2 g/l dibutuhkan waktu 30 menit. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin besar konsentrasi lumpur, maka jarak antara partikel-partikel di dalam lumpur sangat dekat sehingga terjadi saling kontak antar partikel. Akibat saling kontak ini terbentuk lapisan-lapisan. Lapisan paling bawah menahan lapisan di atasnya sehingga
kecepatan
mengendap
lumpur
menurun.
Sebaliknya
apabila
konsentrasi lumpur rendah, partikel-partikel lumpur masih memiliki jarak/ruang yang cukup sehingga memungkinkan kecepatannya masih bisa di pertahankan. Pada Tabel 3 dan 4 terlihat bahwa persentase volume lumpur cenderung meningkat apabila konsentrasi awal lumpur menurun. Pada konsentrasi awal 4.0 g/l, persentasi maksimal yang dicapai sekitar 75 % untuk t = 60 menit dan 80% untuk t=120 menit. Sedangkan pada t = 3 menit mencapai persentase 34%. Persentase penurunan volume lumpur > 50 % pada kondisi ini bahkan dicapai masih dalam tahapan fase zona. Pada konsentrasi di bawah 2.5 g/l fase zona dicapai maksimal selama interval kurang dari satu menit. Kemudian pada konsentrasi 2.5 g/l - 4 g/l tahapan fase transisi dicapai maksimal selama interval 15 menit sedangkan pada konsentrasi di bawah 2.5 g/l dicapai maksimal selama interval 3 menit sebelum keduanya masuk fase pemadatan. Hasil ini mengindikasikan bahwa pada kondisi 1 memperlihatkan kualitas pengendapan lumpur yang sangat baik. Nilai persentase penurunan volume lumpur > 50 % berdasarkan konsentrasi awal ini biasanya dijadikan kisaran dalam menentukan kualitas pengendapan dengan basis SVI (Sutapa,2004). Untuk mengetahui persentasi volume lumpur yang mengendap pada waktu (t) tertentu, maka dapat dihitung berdasarkan selisih volume terhadap volume mula-mula dikalikan 100%. Tabel 3 dan 4 merangkum hasil perhitungan persentasi volume lumpur yang mengendap untuk t = 3, 5, 10, 20, 30,40, sampai 50 menit. dan t = 60, 70,80,90,100,110, sampai 120 menit.
33
Tabel 3 Persentase volume lumpur yang mengendap untuk t=3 menit sampai t=50 menit MLSS (g/L)
4.0 3.5 3.0 2.8 2.5 2.0 1.8 1.6 1.4 1.0
3
Menit ke5 10 15 20 25 Volume lumpur yang mengendap(%)
30
40
50
34 42 53 58 63 69 78 83 87 91
49 54 61 66 70 76 81 86 89 93
70 73 78 81 82 85 86 91 92 95
72 76 79 82 83 86 87 91 92 95
74 77 80 82 84 87 88 91 93 95
59 63 68 71 75 79 82 89 91 94
64 67 72 77 78 81 83 90 92 95
66 69 72 78 79 83 84 90 92 95
68 71 76 80 81 84 85 90 92 95
Tabel 4 Persentase volume lumpur yang mengendap untuk t= 60 menit sampai t=120 menit MLSS (g/L)
60
4.0 3.5 3.0 2.8 2.5 2.0 1.8 1.6 1.4 1.0
75 78 81 83 84 87 88 91 93 95
Menit ke70 80 90 100 Volume lumpur yang mengendap(%) 76 78 82 83 84 87 88 91 93 95
77 79 82 84 85 87 89 91 93 95
78 80 82 84 85 87 89 91 93 95
79 81 83 84 85 87 89 91 93 95
110
120
80 81 83 84 85 87 89 91 93 95
80 81 83 84 85 87 89 91 93 95
IV.2.2. Kondisi 2 Kondisi ini merupakan representasi kondisi sistem pengolahan bila diberlakukan input beban tinggi terhadap sistem. Pengkonsentrasian lumpur dimaksudkan untuk memperoleh konsentrasi yang lebih tinggi.Konsentrasi awal diperoleh 6.5 g/l. Hasil pengamatan terhadap pola pengendapan lumpur kondisi 2 disajikan pada Gambar 17 dan 18.
34
1000
800
Volume(ml)
x=6.5 g/l 600
x=6.0 g/l x=5.5 g/l x=5.0 g/l
400
x=4.5 g/l 200
0 0
20
40
60
80
100
120
140
t (menit)
Gambar 17 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 4.5 g/l – 6.5 g/l. 1000
800
volume(ml)
x=4.0 g/l 600
x=3.2 g/l x=2.5 g/l x= 2.0 g/l
400
x=1.7 g/l 200
0 0
20
40
60
80
100
120
140
t(menit)
Gambar 18 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 1.7 g/l – 4.0 g/l. Pada Gambar 17 dan 18 terlihat fenomena menarik yang sangat berbeda dengan kondisi 1. Konsentrasi tinggi sekitar 5 g/l - 6.5 g/l penurunannya terlihat mendekati pola linier, sementara konsentrasi rendah ≤ 4.5 g/l terlihat polanya lebih eksponensial. Hal ini menarik untuk dikaji lebih jauh karena dalam hal ini menjadi indikasi terjadi beberapa fenomena yang berhubungan dengan konsentrasi lumpur dan proses yang terjadi didalam sistem pengolahan lumpur aktif
tersebut.
Salah
satu
kemungkinan
alasannya
adalah
terjadinya
ketidakseimbangan konsentrasi bakteri dalam sistem lumpur aktif. Faktor
35
dominasi salah satu bakteri pembentuk lumpur aktif bisa menyebabkan kecepatan lumpur menurun tajam. Kecepatan pengendapan lumpur aktif pada konsentrasi rendah < 4.0 g/l tercatat bergerak lebih cepat dibandingkan dengan konsentrasi ≥ 4.0 g/l. Pada konsentrasi ≥ 4.0 g/l dibutuhkan waktu 50 menit untuk mencapai volume lumpur 600 ml sementara pada konsentrasi < 4.0 g/l dapat dicapai dalam waktu 10 menit saja. Ini mengindikasikan bahwa konsentrasi lumpur aktif berbanding terbalik dengan kecepatan pengendapan. Semakin tinggi konsentrasi lumpur aktif maka kecepatan pengendapan semakin rendah, begitu pula sebaliknya. Pada Tabel 5 dan 6 dapat dilihat bahwa untuk konsentrasi awal 5- 6.5 g/l persentase volume lumpur yang dicapai < 50 % diperoleh di sepanjang waktu pengamatan, bahkan pada konsentrasi 6.5 g/l tidak mengendap sama sekali pada 3 menit awal. Persentase maksimal yang bisa diperoleh pada konsentrasi 5 g/l adalah sekitar 43 % saja. Hal ini mengindikasikan lumpur tidak mampu mengendap secara baik. Pada konsentrasi 4-4.5 g/l ternyata membutuhkan waktu 90 menit untuk mencapai persentase volume lumpur aktif > 50 %. Hasil ini diperoleh karena belum cukup ruang antar partikel yang terbentuk sehingga butuh waktu yang cukup lama untuk memperoleh persentase tersebut. Sementara pada konsentrasi < 4 g/l hanya dibutuhkan waktu kurang dari 20 menit saja untuk mampu mencapainya. Hal ini tentu saja semakin menjelaskan bahwa pada konsentrasi yang rendah, partikel-partikel lumpur mempunyai ruang yang cukup untuk mengendap secara gravitasi. Pada konsentrasi ≥ 4.0 g/l bahkan hampir tidak teridentifikasi apakah terbentuk fase zona dan fase transisi di sepanjang waktu pengamatan. Hal ini diduga karena cukup sulitnya lumpur mengandap. Pada konsentrasi di bawah 4.0 g/l baru terlihat fase zona mampu dicapai maksimal selama 10 menit kemudian fase transisi selama 40 menit kemudian menit berikutnya masuk fase pemadatan. Selanjutnya untuk konsentrasi berikutnya interval fase zona dan fase transisi semakin menurun dan fase pemadatan semakin meningkat. Hal tersebut menjadi indikasi bahwa pada kondisi ini lumpur cukup sulit mengendap terutama pada konsentrasi tinggi. Pola pengendapan yang terbentuk berbeda dengan kondisi sebelumnya. Tabel 5 dan 6 merangkum hasil perhitungan persentase volume lumpur aktif di sepanjang waktu pengamatan selama 120 menit pada kondisi ini. Pada tabel dapat dilihat bahwa pada kondisi 2 penurunan persentase volume lumpur aktif terjadi cukup lambat dibandingkan konsentrasi awalnya.
36
Tabel 5 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 3 menit sampai t= 50 menit Menit ke-
MLSS (g/L)
3
6.5
0
5 10 15 20 25 Volume lumpur yang mengendap(%) 0.5
1.5
2
2.5
30
40
50
3
3.5
5
7.5
6
0.5
1
2
2.5
3
4
4.5
7.5
10
5.5
1
2
2.5
3
4
5
6
10
13
5
2
3
4
6
7
9
11
20
22
4.5
4
5
8
12
15
18
22
32.5
35.5
4
6
7
15
20
24
28
32
35
40
3.2
17
25
40
47
51
55
58
62
66
2.5
39
50
61
65
68
69
71
75
77.5
2
62
68
74
77
78.5
80
82
83
83
1.7
79
84
87
89
90
90
90
90
90
Tabel 6 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 60 menit sampai t= 120 menit MLSS (g/L)
6.5 6 5.5 5 4.5 4 3.2 2.5 2 1.7
Menit ke60
9 14 15 25 40 42 68 81 84.5 90
70 80 90 100 Volume lumpur yang mengendap(%) 10 16 17 29 44 44 70 82 84.5 90
11 18 22 32 47 48 71 83 85 90
12 20 24 36 50.5 51 72 83.5 85 90
14 22.5 25 39 52 65 73 84 85.5 90
110
120
15 25 26 41 54 68.5 74 85 86 90
15.5 25 26.5 43 55 69 74.5 85 86 90
IV.2.3. Kondisi 3 Kondisi ini merupakan representasi kondisi sistem pengolahan bila diberlakukan input beban tinggi terhadap sistem. Dengan tujuan yang sama dengan kondisi 2 maka dilakukan pengkonsentrasian lumpur selama 2 jam. Waktu tersebut diasumsikan sebagai batas maksimal kendali proses yang diberlakukan pada sistem. Apabila dilakukan lebih dari batas tersebut proses dianggap tidak efisien dengan dasar pertimbangan performa design operasional
37
tanki. Konsentrasi awal diperoleh 8 g/l. Untuk lebih jelas mengenai pola pengendapan pada kondisi 3, dapat dilihat pada Gambar 19 dan 20. 1200
1000
volume(ml)
800
x=8 g/l x=7.8 g/l x=7.5 g/l
600
x=6.7 g/l x=6.0 g/l
400
200
0 0
20
40
60
80
100
120
140
t(menit)
Gambar 19 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 6.0 g/l – 8.0 g/l. 1200
1000
volume(ml)
800
x=5.6 g/l x=5.0 g/l x=3.9 g/l
600
x=3.4 g/l x=2.9 g/l
400
200
0 0
20
40
60
80
100
120
140
t(menit)
Gambar 20 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.9 g/l – 5.6 g/l. Gambar 19 dan 20 memperlihatkan pola pengendapan yang lebih melebar dibanding kondisi-kondisi sebelumnya. Gambar 19 memperlihatkan pada konsentrasi 4.0 – 5.6 g/l lumpur mengendap sangat perlahan. untuk mencapai volume 600 ml dibutuhkan waktu 120 menit. Sementara untuk konsentrasi 1.0 – 3.5 g/l hanya membutuhkan waktu 10 menit saja untuk mencapai volume tersebut. Flok bulking yang terjadi pada konsentrasi yang tinggi mempengaruhi kecepatan mengendapnya.Pada konsentrasi ≥ 4.0 g/l lumpur
38
bahkan hanya dapat mencapai persentase penurunan volume 50 % dalam waktu 2 jam. Hal ini jelas menandakan lumpur sulit mengendap. Pada Gambar 19 terlihat pada konsentrasi 6.7 – 8 g/l l, dalam 60 menit pertama penurunan volume maksimal yang dapat dicapai hanya sekitar 100 ml saja. Pada t= 120 menit rentang konsentrasi ini hanya mampu mencapai volume 800 ml atau dengan kata lain menurun 200 ml saja (21 %nya saja). Terlihat pula bentuk yang dihasilkan mendekati pola linier. Pada konsentrasi 5-6 g/l terlihat untuk mencapai volume 800 ml dicapai dalam waktu maksimal 40 menit. Sementara konsentrasi < 5 g/l mampu dicapai hanya dalam waktu < 20 menit saja. Pada Konsentrasi < 4.0 g/l tersebut memperlihatkan pengendapan yang lebih baik akan tetapi masih sangat lambat dibanding kondisi sebelumnya. Pada Tabel 7 dan 8 dapat dilihat bahwa untuk konsentrasi sekitar 5.6-8.0 g/l persentase volume lumpur yang diperoleh bahkan tidak mampu mencapai 50 % sampai menit terakhir eksperimen sehingga pada konsentrasi tersebut tidak teridentifikasi fase zona dan fase transisi. Pada konsentrasi 8.0 g/l lumpur bahkan tidak mengendap sama sekali selama 15 menit pertama. Pada konsentrasi di bawah 4.0 g/l terlihat pengendapan yang lebih baik, fase zona dan fase transisi dapat teridentifikasi walaupun dengan rentang waktu yang sangat pendek serta fase pemadatan yang lebih panjang dibanding dua kondisi sebelumnya. Kondisi ini menjelaskan pada konsentrasi tinggi ruang antar partikel sudah sangat rapat sehingga tidak memungkinkan terjadi pengendapan secara gravitasi. Kondisi ini yang sering disebut dengan kondisi bulking dan mengakibatkan lumpur sulit mengendap hingga saat sistem bekerja lumpur terbawa ke outlet (carry over).
Kondisi ini jelas membuat limbah tidak layak
dibuang ke lingkungan karena masih mempunyai beban kimia yang tinggi dan sulit terdegradasi oleh lingkungan. Tabel 7 mencatat untuk konsentrasi 5 g/l, lumpur yang mengendap mencapai persentase di atas volume 50 % mulai menit ke 50, sementara untuk konsentrasi < 4.0 g/l persentase tersebut dicapai lebih cepat yaitu mulai menit ke 15. Hasil ini menegaskan kecepatan pengendapan sedikit membaik pada konsentrasi < 4 g/l. Tetapi secara keseluruhan kualitas pengendapan yang dicapai pada kondisi ini masih sangat buruk. Pada ketiga kondisi di atas (1,2 dan 3) dapat dirangkum beberapa fenomena yang menarik. Semakin tinggi konsentrasi awal lumpur maka semakin lambat lumpur mengendap dan begitu juga sebaliknya. terlihat bahwa pada rata-
39
rata konsentrasi ≤ 4.0 g/l lumpur mempunyai kecepatan pengendapan yang cukup baik, sementara konsentrasi di atas itu lumpur lambat mengendap. Hasil pengamatan juga memperlihatkan waktu yang bervariasi untuk mencapai persentase volume pengendapan 50 %. Persentase penurunan volume lumpur tergantung dari konsentrasi awal lumpur tersebut. Hasil perhitungan persentase volume lumpur yang mengendap sangat berguna untuk menentukan acuan SV (Sludge Volume) yang biasanya diambil pada t= 30 menit sebagai bagian dari perhitungan SVI (sludge Volume Indeks). SVI inilah yang digunakan untuk menentukan kualitas pengendapan dalam sistem pengolahan lumpur aktif. Dari ketiga kondisi tersebut pada konsentrasi > 4.0 g/l volume pengendapan 50% tidak mampu di capai sedangkan pada konsentrasi < 4.0 g/l ternyata mampu dicapai dengan baik. Tabel 7 dan 8 merangkum hasil perhitungan persentase volume lumpur aktif di sepanjang waktu pengamatan selama 120 menit pada kondisi ini. Tabel 7 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 3 menit sampai t= 50 menit MLSS (g/L)
8 7.8 7.5 6.7 6 5.6 5 3.9 3.4 2.9
Menit ke10 15 20 25 Volume lumpur yang mengendap(%)
3
5
0 0 1 1.5 1.5 2 3 30 48 68
0 0 2 2 2.5 3.5 9 39 57 76
0 1 2.5 3 5 9 12 42 66 80
0 1.5 2 3 6 11 14 54 70 83
1 3 4 5 8 15 37 57 72 86
1.5 4 5 6 12 20 41 60 73 87
30
2 5 6 7 17 26 46 63 74 88
40
2.5 6 8 9 20 30 49 65 76 89
50
3 8 9 11 25 36 53 68 79 89
40
Tabel 8 Persentase volume lumpur aktif yang mengendap dari t= 60 menit sampai t= 120 menit MLSS (g/L)
8 7.8 7.5 6.7 6 5.6 5 3.9 3.4 2.9
Menit ke60
3.5 9 8 12 27 39 56 70 79 89
70 80 90 100 Volume lumpur yang mengendap(%) 4 10 11 14 29 41 57 71 79 90
4 11 13 15.5 31 43 59 72 80 90
5 12 14 17 32 45 61 73 81 90
5 13 15 18 33 47 63 74 82 90
110
6 14 17 20 34 48 65 75 85 90
120
7 15 18 21 35 49 66 75 86 91
Pola pengendapan yang berbeda terbentuk dari ketiga kondisi. Pada kondisi 1 mampu teridentifikasi ketiga fase pengendapan yang terbentuk dengan inteval waktu yang cukup baik untuk fase zona dan fase transisi serta interval fase pemadatan sekitar 80 menit. Pada kondisi 2 fase pengendapan hanya teridentifikasi pada konsentrasi < 4.0 g/l dengan fase zona dan fase transisi yang lebih pendek serta fase pemadatan yang lebih panjang dibanding kondisi 1. pada kondisi 3 hampir sama polanya dengan kondisi 2 dengan fase pemadatan yang sedikit lebih panjang dibanding dua kondisi sebelumnya. Untuk mendeduksi pola pengendapan yang terbentuk pada setiap kondisi agar bisa diidentifikasi secara kuantitatif maka dilakukan pendekatan SVI berdasarkan asumsi Jenskin (1993) dan Morley (1996) pada setiap kondisi perlakuan. IV.3.
Fenomena Zona Pengendapan
IV.3.1. Identifikasi Zona Pengendapan Beberapa fenomena menarik terbentuk setelah dilakukan pengukuran. Perbedaan SVI yang mencolok pada tiap kondisi membentuk flok-flok yang berbeda. Perbedaan tersebut diidentifikasi menjadi interval zona yang berbeda. Berdasarkan nilai SVI pada konsentrasi awalnya diperoleh asumsi Zona normal mempunyai nilai SVI 70-120 ml/g. Zona antara mempunyai nilai SVI 120-150 ml/g dan Zona Bulking mempunyai SVI > 150 ml/g. Zona interval tersebut dimungkinkan karena perbedaan dominasi mikroorganisme dalam sistem lumpur aktif. Dalam kasus ini rasio antara bakteri pembentuk flok dan bakteri filamen.
41
Hal ini diperkuat oleh penelitian Jenkins (1993) yang menyatakan ada tiga jenis flok yang berbeda terbentuk dalam sistem lumpur aktif (gambar 5). Setiap jenis flok tersebut mempunyai nilai SVI yang berbeda secara signifikan. Tabel 10 merangkum zona interval yang terbentuk pada masing-masing kondisi. Tabel 9 Zona pengendapan berdasarkan tipe flok yang berbeda tiap kondisi Kondisi 1
Kondisi 3
Kondisi 2
Parameter normal
antara
bulking
antara
bulking
antara
antara
antara
antara
MLSS(mg/l)
4000
4000
4100
6500
5600
7000
8000
8000
8000
SV30(ml/l)
300
490
695
965
960
960
980
980
970
SVI (ml/g)
75.0
122.5
169.5
148.5
171.4
137.1
122.5
122.5
121.3
Tabel 9 memperlihatkan hubungan yang tidak berbanding lurus antara konsentrasi dan nilai SVI. Semakin tinggi konsentrasi MLSS belum tentu diikuti oleh meningkatnya nilai SVI. Tabel di atas juga memperlihatkan terjadi berbagai karaktristik flok yang berbeda pada setiap kondisi.
IV.3.2. Karakteristik Zona Pengendapan Tabel 9 mencatat
tiga karakteristik zona interval yang berbeda
berdasarkan nilai SVI yang diperoleh sebagai berikut : 1. Zona normal Sebagaimana yang telah dibahas sebelumnya, interval zona ini terbentuk berdasarkan nilai SVI yang diperoleh sebesar 75.0 ml/g. Jenkins (1993), menerangkan flok yang terbentuk dengan nilai SVI berkisar antara 70- 120 ml/g adalah flok normal atau flok ideal. Pada flok normal ini pertumbuhan bakteri filamen seimbang dengan bakteri pembentuk flok. Bakteri filamen berada didalam flok, sebagian kecil membentuk juluran keluar dari flok (gambar 5a). Flok yang terbentuk kokoh dan besar sehingga menghasilkan supernatan yang jernih. Gambar 15 dan 16 merupakan pola pengendapan yang termasuk pada zona ini. Hasil ini mengindikasikan bahwa zona normal memperlihatkan kualitas pengendapan lumpur yang sangat baik.
42
2. Zona antara Hasil pengamatan pola pengendapan zona antara disajikan pada Gambar 21 dan 22. 1000
volume(mL)
800 x=4.0 g/l x=3.7 g/l
600
x=3.4 g/l 400
x=3.0 g/l x= 2.7 g/l
200 0 0
20
40
60
80
100
120
140
t(menit)
Gambar 21 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.7 g/l sampai 4.0 g/l. 1200
volume(mL)
1000 x=2.4 g/l
800
x=2.0 g/l x=1.5 g/l
600
x=1.0 g/l
400
x=0.5 g/l
200 0 0
20
40
60
80
100
120
140
t(menit)
Gambar 22 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 0.5 g/l – 2.4 g/l. Zona interval ini terbentuk berdasarkan nilai SVI awal yang diperoleh yaitu sebesar 122.5 ml/g. Nilai ini berada pada kisaran zona yang polanya sudah sangat berbeda dengan zona normal sehingga cenderung mempunyai pola yang termasuk dalam zona antara. Zona ini terbentuk dengan nilai SVI berkisar antara 120-150 ml/g. Pada zona ini pertumbuhan bakteri filamen sedikit lebih banyak
43
dibandingkan
dengan
bakteri
pembentuk
flok
sehingga
kecepatan
pengendapannya mulai menurun. Bakteri filamen semakin banyak membentuk juluran keluar dari flok. Flok yang terbentuk mulai rapuh dan ukurannya pun lebih kecil dibanding flok normal. Zona ini merupakan zona transisi dari flok ideal menjadi flok bulking yang sulit mengendap. Perubahan tersebut berimplikasi terhadap kecepatan pengendapan sistem lumpur aktif yang semakin menurun. Gambar 21 dan 22 memperlihatkan bahwa dibandingkan dengan zona normal maka terjadi penurunan kecepatan pengendapan dibandingkan dengan konsentrasi awalnya secara signifikan. Penurunan kecepatan pengendapan terjadi dikarenakan kondisi mikrobiologis flok yang mulai terjadi ikatan antar flok (bridging) sehingga ruang antar partikel flok menjadi sempit dan mengakibatkan flok lumpur sulit mengendap. Hal ini memperlihatkan lumpur pada zona antara mengendap
lebih
lambat
dibandingkan
zona
sebelumnya.
Berdasarkan
konsentrasi awalnya, persentase penurunan volume lumpur > 50 % dicapai maksimal dalam 30 menit dan menjelang berakhirnya tahapan fase transisi. Pada konsentrasi di atas 2.5 g/l tahapan fase zona dicapai maksimal selama interval 10 menit sedangkan pada konsentrasi di bawah 2.5 g/l mampu dicapai maksimal selama interval kurang dari satu menit. Tahapan fase transisi pada konsentrasi di atas 2.5 g/l dicapai maksimal selama interval 30 menit sedangkan pada konsentrasi di bawah 2.5 g/l tahapan ini mampu dicapai maksimal selama interval 5 menit sebelum keduanya masuk fase pemadatan. Hasil ini mengindikasikan pengendapan lumpur yang terhambat. Ini diakibatkan proses bioflokulasi yang tidak seimbang mulai terjadi. Akan tetapi secara praktis persentase penurunan volume lumpur > 50 % berdasarkan konsentrasi awalnya dalam waktu 30 menit pada zona ini masih dianggap cukup baik dalam operasional proses pengendapan dengan sistem lumpur aktif.
3. Zona Bulking Hasil pengamatan pola pengendapan zona bulking disajikan pada Gambar 23 dan 24.
44
1200
volume(ml)
1000 x=4.1 g/l
800
x=3.6 g/l 600
x=3.3 g/l x=3.0 g/l
400
x=2.8 g/l
200 0 0
20
40
60
80
t (menit)
Gambar 23 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 2.8 g/l – 4.1 g/l. 1200
volume (ml)
1000 x=2.5 g/l
800
x=2.0 g/l x=1.5 g/l
600
x=1.1 g/l 400
x=0.7 g/l
200 0 0
20
40
60
80
t (menit)
Gambar 24 Grafik volume lumpur yang mengendap berdasarkan waktu pengendapan pada konsentrasi 0.6 g/l – 2.0 g/l. Zona ini terbentuk berdasarkan nilai SVI awal yang diperoleh sebesar 169.5 ml/g. Nilai ini berada pada kisaran zona yang polanya sudah sangat berbeda dengan zona normal ataupun antara sehingga mempunyai pola yang termasuk dalam zona Bulking. Zona ini terbentuk dengan nilai SVI berkisar >150 mg/l.
Pada zona ini jumlah bakteri filamen jauh lebih banyak dibandingkan
dengan bakteri pembentuk flok baik didalam dan diluar flok (lihat gambar 5c) sehingga menyebabkan kecepatan pengendapannya menurun dengan drastis. Jenskin (1993) menjelaskan bahwa pada zona ini bakteri filamen mnyebabkan
45
struktur flok menjadi difus dan terjadi ikatan anta flok (bridging) yang menyebabkan flok sukar mengendap. Pada Gambar 23 dan 24 dapat dilihat bahwa bila dibandingkan dengan zona normal dan zona antara maka terlihat terjadinya penurunan kecepatan pengendapan
secara
signifikan.
Penurunan
kecepatan
pengendapan
dikarenakan kondisi mikrobiologis flok yang terjadi pada zona ini. seringnya terjadi kontak antar partikel flok sehingga banyak terjadi ikatan antar flok (bridging) mengakibatkan flok sulit mengendap. Lapisan yang terbentuk akibat ikatan antar flok tersebut menahan lapisan yang berada di atasnya sehingga kecepatannya berkurang. Pada zona ini terlihat pola pengendapan yang lebih lambat lagi dibandingkan dua zona inteval sebelumnya. Zona bulking mencatat penurunan volume lumpur > 50 % berdasarkan konsentrasi awalnya dicapai maksimal dalam waktu lebih dari 60 menit dan sudah termasuk dalam tahapan fase pemadatan. Pada konsentrasi di atas 2.5 g/l fase zona dicapai maksimal selama inteval 15 menit sedangkan konsentrasi di bawah 2.5 g/l dicapai maksimal selama interval kurang dari 3 menit. Fase transisi pada konsentrasi di atas 2.5 g/l dicapai maksimal selama inteval 30 menit sedangkan pada konsentrasi di bawah 2.5 g/l fase ini mampu dicapai maksimal selama interval 10 menit sebelum keduanya masuk fase pemadatan. Hasil ini mengindikasikan pengendapan lumpur yang buruk. IV.4.
Pembahasan
IV.4.1. Pengaruh Pengonsentrasian terhadap Parameter Model Perlakuan yang dilakukan dengan mengonsentrasikan lumpur (kondisi 1, kondisi 2 dan kondisi 3) memperlihatkan pengaruh yang signifikan terhadap parameter model . Hal ini menjelaskan bahwa tinggi dan rendahnya konsentrasi awal lumpur sangat mempengaruhi nilai SVI dari lumpur aktif. Tabel 10 memperlihatkan bahwa semakin tinggi nilai SVI akibat pengonsentrasian maka nilai
rata-rata
errornya
(Mean
Square
Error)
semakin
besar.
Hal
ini
memungkinkan nilai parameter model yang telah diperoleh bisa dijadikan acuan dalam menentukan kualitas pengendapan berdasarkan konsentrasi lumpur. Peningkatan kesalahan model disebabkan keragaman yang tinggi pada tiap kondisi.Tabel 10 juga memperlihatkan bahwa tidak ada hubungan yang positif secara langsung antara konsentrasi MLSS dengan nilai MSE. Semakin tinggi konsentrasi tidak meningkatkan nilai MSE pada model.
46
Tabel 10 Pengaruh pengonsentrasian terhadap nilai error model Kondisi
MLSS
SVI
MSE
(mg/l)
(ml/g)
(%)
1
4000
75
0.81
2
6500
148.5
1.69
3
8000
122.5
1.40
Untuk melihat pengaruhnya terhadap parameter model maka dilakukan verifikasi dengan memasukan nilai hasil pengamatan ke dalam persamaan model. Kemudian dilihat grafik kedekatan antara model dan hasil eksperimen pada setiap kondisi perlakuan. IV.4.2. Verifikasi Parameter Model Penelitian sebelumnya oleh Vesilind (1969), Takacs (1989), dan Renko (1998)
diperoleh
parameter-parameter
kunci
dalam
menentukan
model
kecepatan pengendapan lumpur aktif yaitu konsentrasi lumpur (MLSS), ukuran flok, waktu tinggal lumpur dan volume lumpur yang mengendap atau ketinggian lapisan lumpur yang mengendap. Berdasarkan modifikasi model Renko, hubungan antara tinggi lumpur dengan waktu pengendapan dan konsentrasi lumpur diperoleh melalui persamaan [7]. Untuk mendapatkan nilai parameter model α , β , C berdasarkan struktur model persamaan [7] maka dilakukan verifikasi terhadap data eksperimen yang diperoleh. Hasil yang diperoleh dari hubungan tersebut berdasarkan efek pengonsentrasian sebagai berikut : Tabel 11 Pengaruh pengonsentrasian terhadap parameter model PARAMETER KONDISI
α
β
C
Ho
Xmax
MSE
1
0.00392
-0.3345
2.80E-04
0.25984
14.116
0.00805
2
0.00067
-2.4276
9.56E-05
0.25984
6.9659
0.01688
3
0.00075
-0.7003
9.91E-05
0.25984
7.5178
0.01405
47
IV.4.2.1.
Verifikasi Model Kondisi 1
Berdasarkan persamaan [7] dan Tabel 11 maka diperoleh persamaan 8 sebagai modifikasi dari dampak perlakuan kondisi 1. Model persamaannya sebagai berikut :
h(t , ho ) =
2.8e −04 (X 2 − 0.33446)h o 2.8e −04 (X 2 − 0.33446)h o −t 0.00392 X /(( X 2 − 0.33446 ) ho ) +( )e 0.00392X 0.00392X
Untuk melihat apakah model tersebut mampu mendekati perilaku eksperimen yang dihasilkan maka dilakukan perbandingan pola antara keduanya. Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi ini, disajikan pada Gambar 25-28.
Gambar 25 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 4.0 g/l.
48
Gambar 26 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 3.0 g/l.
Gambar 27 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 1 dengan konsentrasi 2.0 g/l.
49
Gambar 28 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondiai 1 dengan konsentrasi 1.0 g/l. Gambar 25-28 menyajikan contoh perbandingan perilaku model dan eksperimen pada zona normal pada konsentrasi MLSS 4.0 g/l, 3.0 g/l, 2.0 g/l dan 1.4 g/l. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa model mampu mengikuti perilaku eksperimen. Pada konsentrasi 4.0 g/l
model mampu mendekati perilaku
eksperimen mulai ho sampai ketinggian 0.15 m di sepanjang fase zona. model mulai melebar sejak menit ke 10 saat masuk fase transisi selama interval 30 menit sebelum masuk fase pemadatan pada menit ke 40. Pada konsentrasi 3.0 g/l memperlihatkan kecenderungan yang lebih baik. Model mampu mengikuti perilaku eksperimen dari ketinggian ho sampai 0.13 m pada fase zona. Model juga mampu mengikuti eksperimen saat masuk fase transisi selama interval 5 menit kemudian mulai melebar sampai akhir masa transisi pada menit 40. Model sempat berimpit dengan eksperimen selama interval 20 menit pada fase pemadatan sebelum mulai melebar kembali setelah menit ke 60. Pada konsentrasi 2.0 g/l model dengan baik mengikuti perilaku eksperimen melewati fase zona dan fase transisi. Model hanya cenderung sedikit melebar mulai menit ke 40 pada fase pemadatan. Pada konsentrasi 1.4 g/l perilaku model bahkan mampu meniru perilaku eksperimen hampir di sepanjang waktu pengamatan dan melewati seluruh fase pengendapan dengan mulus. Hal ini menegaskan bahwa pada konsentrasi yang rendah kurva model mampu mengikuti kurva perilaku eksperimen sedikit lebih baik dibanding konsentrasi yang tinggi. Pada Tabel 11 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk zona normal sebesar 0.00805.
50
Nilai tersebut sangat kecil sehingga dapat dikatakan model mempunyai persentase tingkat kesalahan rata-rata sebesar 0,81 %. Dengan kata lain, secara keseluruhan model valid mendekati perilaku eksperimen dengan persentase sampai 99,19 %.
IV.4.2.2. Verifikasi Model Kondisi 2 Berdasarkan persamaan 7 dan Tabel 11 maka diperoleh persamaan 9 yang merupakan modifikasi persamaan model sebagai dampak perlakuan kondisi 2. Model persamaannya sebagai berikut :
h(t , ho ) =
9.56e −05 ( X 2 − 2.4276)ho 9.56e −05 ( X 2 − 2.4276)ho −t 0.00067 X /(( X 2 − 2.4276) ho ) )e +( 0.00067 X 0.00067 X
Untuk lebih jelas mengenai perbandingan hubungan antara tinggi dan waktu pengendapan pada setiap konsentrasi baik untuk eksperimen maupun model pada kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 29 - 32 :
Gambar 29 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 6.5 g/l.
51
Gambar 30 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 4.5 g/l.
Gambar 31 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 3.2 g/l.
52
Gambar 32 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 2 dengan konsentrasi 1.7 g/l. Gambar 29-32 menyajikan contoh perbandingan model dan eksperimen tinggi lumpur yang mengendap kondisi 2 terhadap waktu pengendapan pada konsentrasi MLSS 6.5 g/l, 4.5 g/l, 2.5 g/l dan 1.7 g/l. Pada konsentrasi 6.5 g/l model mampu mendekati eksperimen. kecepatan pengendapannya memang sangat lambat tetapi pola linier yang terbentuk mampu diikuti model dengan baik.Hal ini menegaskan bahwa model mampu memahami pola linier eksperimen yang terbentuk. Setelah mencapai konsentrasi 4.5 g/l model mulai melebar. Grafik model berimpit di ketingggian 0.15m - 0.17 m selama 20 menit dan kemudian melebar kembali. Pada konsentrasi di bawah 4.0 g/l, pola eksperimen yang cenderung eksponensial mampu didekati model dengan cukup mulus. Walau ada jarak antara grafik model dan eksperimen tetapi kecenderungannya mampu ditiru dengan baik. Pada Tabel 11 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk kondisi 2 sebesar 0.01688. dengan kata lain model mempunyai tingkat kesalahan rata-rata sebesar 1,69 %. Nilai tersebut masih sangat kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menirukan kondisi eksperimen sampai 98,31 % nya. Dengan demikian dikatakan model pada kondisi ini mempunyai validitas yang tinggi.
53
IV.4.2.3. Verifikasi Model Kondisi 3 Berdasarkan persamaan 7 dan Tabel 11 maka diperoleh persamaan 10 yang merupakan modifikasi persamaan model sebagai dampak perlakuan kondisi 3. Model persamaannya sebagai berikut :
h(t , ho ) =
9.91e −05 ( X 2 − 7.0032)ho 9.91e −05 ( X 2 − 7.0032)ho −t 0.000745 X /(( X 2 −7.0032) ho ) )e +( 0.000745 X 0.000745 X
Untuk lebih jelas mengenai perbandingan hubungan antara tinggi dan waktu pengendapan pada setiap konsentrasi baik untuk eksperimen maupun model, dapat dilihat pada Gambar 33- 36 .
Gambar 33 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 8.0 g/l.
54
Gambar 34 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 6.0 g/l.
Gambar 35 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 3.9 g/l.
55
Gambar 36 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada kondisi 3 dengan konsentrasi 2.9 g/l. Pada Gambar 33-36 menyajikan contoh perbandingan model dan eksperimen tinggi lumpur yang mengendap kondisi 3 terhadap waktu pengendapan pada konsentrasi MLSS 8.0 g/l, 5.0 g/l, 3.9 g/l dan 2.9 g/l. pola pada kondisi 3 hampir sama dengan kondisi 2. Pada konsentrasi 6 g/l -8.0 g/l pola linier eksperimen dengan tepat mampu didekati model. Saat pola mulai cenderung eksponensial model mulai melebar seperti terlihat pada gambar 33. model kemudian mulai mampu mendekati pola eksponensial eksperimen pada konsentrasi di bawah 4.0 g/l seperti yang terlihat pada gambar 34 dan 35. Hal ini kembali menegaskan bahwa pada kondisi ini model mampu dengan baik memahami perilaku eksperimen. Pada Tabel 11 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk kondisi 3 sebesar 0.0140. dengan kata lain model mempunyai tingkat kesalahan rata-rata sebesar 1,40 %. Nilai tersebut masih sangat kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menirukan kondisi eksperimen sampai 98,6 % nya. Dengan demikian dikatakan model pada kondisi ini mempunyai validitas yang tinggi. IV.4.3. Verifikasi Model terhadap Zona Pengendapan Verifikasi model juga dilakukan terhadap zona pengendapan yang terbentuk untuk melihat keandalan model dalam menjelaskan fenomena yang terjadi. Hasil verifikasi model pada setiap zona yang terbentuk disajikan sebagai berikut :
56
Tabel 12 Hasil verifikasi model pengendapan lumpur aktif berdasarkan zona pengendapan
ZONA Normal Antara Bulking
IV.4.3.1.
PARAMETER C ho
α
β
0.00392
-0.3345
0.00028
0.00283
-0.2100
0.00025
0.00180
-0.3580
0.00029
Xmax
MSE
0.25984
14.116
0.0081
0.25984
11.285
0.0148
0.25984
6.358
0.0228
Verifikasi model zona normal
Berdasarkan Tabel 12 maka hasil model pola pengendapan zona normal diperoleh persamaan 8. Hasil persamaannya telah dijelaskan pada paragraf 5.9.2.1. sebelumnya.
IV.4.3.2.
Verifikasi model zona antara
Berdasarkan persamaan 7 dan Tabel 16 maka diperoleh persamaan 11 sebagai persamaan model zona antara. Model persamaannya sebagai berikut :
h(t , ho ) =
2.5e −04 ( X 2 − 0.21002)ho 2.5e −04 ( X 2 − 0.21002)ho −t 0.00283 X /(( X 2 −0.21002) ho ) )e +( 0.00283 X 0.00283 X
Untuk lebih jelas mengenai perbandingan hubungan antara tinggi dan waktu pengendapan pada setiap konsentrasi baik untuk eksperimen maupun model zona antara dapat dilihat pada Gambar 37-40 .
Gambar 37 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 4.0 g/l untuk zona antara.
57
Gambar 38 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 3.0 g/l untuk kondisi 1 zona antara.
Gambar 39 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 2.0 g/l untuk zona antara.
58
Gambar 40 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 1.0 g/l untuk zona antara. Model pada zona ini memperlihatkan kemampuan mengikuti perilaku eksperimen dengan cukup baik. Gambar 37-40 menyajikan contoh perbandingan perilaku model dan eksperimen pada zona antara pada konsentrasi MLSS 4.0 g/l, 3.0 g/l, 2.0 g/l dan 1.0 g/l. Pada Gambar tersebut terlihat bahwa pada konsentrasi 4.0 g/l model mampu mengikuti perilaku eksperimen pada fase zona dengan mulus. Sepanjang fase transisi selama interval 30 menit model mulai memperlihatkan kecenderungan melebar dibanding perilaku eksperimen. Sempat berimpit saat masuk fase pemadatan pada menit ke 40, dan kembali cenderung melebar sepanjang fase pemadatan. Kecenderungan yang sama terlihat pada konsentrasi 3.0 g/l, model mampu mengikuti perilaku eksperimen melewati fase zona kemudian mulai melebar di sepanjang fase transisi. Model mempunyai kecenderungan sedikit lebih baik dibanding konsentrasi sebelumnya pada fase pemadatan. Pada konsentrasi 2.0 g/l, model mampu mengikuti eksperimen dari ho sampai ketinggian 0.07 m melewati fase zona dan awal fase transisi. 2 menit setelah masuk fase transisi model mulai melebar sampai akhir fase transisi. Kemudian model mampu mendekati perilaku eksperimen yang mulai konstan sejak menit ke 40 disepanjang fase pemadatan. Seperti pada zona sebelumnya pada konsentrasi rendah yaitu 1.0 g/l model memperlihatkan kecenderungan
59
yang lebih baik. Pada konsentrasi ini model mampu mengikuti perilaku eksperimen melewati seluruh fase pengendapan dengan mulus. Pada Tabel 12 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk zona antara sebesar 0.0148. Dengan kata lain model mempunyai persentase tingkat kesalahan rata-rata sebesar 1,48 %. Nilai tersebut masih kecil sehingga dapat dikatakan secara keseluruhan model valid mendekati perilaku eksperimen sampai 98,52 %. Terjadi peningkatan nilai error bila dibandingkan dengan zona normal. Pada zona ini keragaman perilaku eksperimen lebih tinggi jika dibandingkan zona sebelumnya dikarenakan kendala proses yang terjadi.
IV.4.3.3.
Verifikasi model zona bulking
Berdasarkan persamaan 7 dan Tabel 12 maka diperoleh persamaan 12 sebagai persamaan model pada kondisi ini. Model persamaannya sebagai berikut :
h(t , ho ) =
2.9e −04 ( X 2 − 0.30257)ho 2.5e −04 ( X 2 − 0.30257)ho −t 0.002 X /(( X 2 −0.30257 ) ho ) +( )e 0.002 X 0.002 X
Untuk lebih jelas mengenai perbandingan hubungan antara tinggi dan waktu pengendapan pada setiap konsentrasi baik untuk eksperimen maupun model zona bulking dapat dilihat pada Gambar 41-44 .
Gambar 41 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 4.0 g/l untuk zona bulking.
60
Gambar 42 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 3.0 g/l untuk kondisi 1 zona bulking.
Gambar 43 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 2.0 g/l untuk zona bulking.
61
Gambar 44 Contoh perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada konsentrasi 1.1 g/l untuk zona bulking. Gambar 40-44 menyajikan contoh perbandingan perilaku model dan eksperimen pada zona bulking pada konsentrasi MLSS 4.1 g/l, 3.0 g/l, 2.0 g/l dan 1.1 g/l. Pada gambar 40 terlihat bahwa pada konsentrasi 4.0 g/l model kesulitan mendekati perilaku eksperimen sepanjang fase zona dan fase transisi. Model mampu memperlihatkan kecenderungan yang lebih baik setelah masuk fase pemadatan tetapi masih sangat
melebar bila dibandingkan pada konsentrasi
yang sama dengan dua zona sebelumnya. Pada konsentrasi 3.0 g/l model memperlihatkan kecenderungan mendekati perilaku eksperimen pada fase zona dan mulus mengikuti perilaku eksperimen sejak menit ke 10 sampai menit ke 25 pada fase transisi dan kembali cenderung melebar saat masuk fase pemadatan. Pada
konsentrasi 2.0 g/l, model kesulitan mendekati perilaku eksperimen.
Hampir di sepanjang fase pengendapan model sulit mengikuti perilaku eksperimen. Hal yang berbeda terlihat pada konsentrasi 1.1 g/l. Pada konsentrasi ini model mampu mengikuti kecenderungan perilaku eksperimen di sepanjang fase pengendapan. Gambaran di atas memperlihatkan bahwa pada zona bulking perilaku eksperimen sangat beragam. Pada konsentrasi tertentu model mampu mengikutinya dengan baik tetapi pada konsentrasi lain cukup kesulitan. Pada Tabel 12 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk pola pengendapan zona bulking sebesar 0.0228. Dengan kata lain model mempunyai persentase tingkat kesalahan rata-rata sebesar 2,28 %. Nilai tersebut masih cukup kecil sehingga dapat dikatakan model valid mendekati perilaku eksperimen
62
sampai 97,72 %. Terjadi peningkatan nilai error bila dibandingkan dengan zona normal maupun zona antara. Hal ini cukup jelas karena keragaman perilaku eksperimen lebih tinggi dibanding dua zona sebelumnya.
IV.4.4. Validasi Model berdasarkan Efek Pengonsentrasian Validasi model dilakukan untuk mengevaluasi apakah model yang telah dikembangkan
mewakili
kondisi
sebenarnya.
Validasi
dilakukan
dengan
membandingkan hasil model dengan data eksperimen baru sehingga dapat diketahui apakah model masih relevan atau tidak. Untuk melihat apakah model dapat mendekati kondisi eksperimen dapat dilihat dari nilai MSE (Mean Square Error). Model semakin relevan bila nilai MSEnya mendekati nol atau dalam artian lain antara data model dengan data eksperimen yang dibandingkan hampir tidak mengalami deviasi sehingga model dikatakan valid. Dilakukan validasi dengan dua data eksperimen yang baru. Tabel 13 menyajikan persentase nilai MSE dari hasil
validasi
dengan
dua
data
eksperimen
baru
berdasarkan
efek
pengonsentrasian. Tabel 13 Persentase nilai MSE hasil validasi dengan data baru pada berbagai kondisi Validasi 1 (%) Data baru 1 Data baru 2
IV.4.4.1.
0.56 0.74
Kondisi 2 (%) 1.69 1.98
3 (%) 1.59 1.15
Validasi model Kondisi 1
Pada Tabel 13 diperoleh persentase nilai MSE (Mean Square Error) untuk kondisi 1 setelah di validasi dengan data baru sebesar 0,56 % dan 0,74 %. Nilai tersebut sangat kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menjelaskan kondisi eksperimen sampai 99,44% dan 99,26 %. Berdasarkan nilai MSE tersebut model dikatakan mampu memahami perilaku eksperimen. Model dianggap valid dan layak digunakan.
IV.4.4.2.
Validasi model Kondisi 2
Pada Tabel 13 diperoleh persentase nilai MSE (Mean Square Error) untuk kondisi 2 setelah di validasi dengan data baru sebesar 1,69 % dan 1,98 %. Nilai tersebut masih kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menjelaskan
63
kondisi eksperimen sampai 98,31% dan 98,02 %. Terjadi peningkatan nilai error bila dibandingkan dengan kondisi 1. Hal ini terjadi karena peningkatan nilai SVI pada kondisi ini. Pada kondisi ini pengendapan lumpur terhambat karena proses bioflokulasi yang tidak seimbang. Ketidakseimbangan ini menyebabkan nilai SVI yang diperoleh meningkat dibanding dengan kondisi 1. Berdasarkan nilai MSE tersebut model dikatakan masih mampu memahami perilaku eksperimen. Model dianggap valid dan layak digunakan.
IV.4.4.3.
Validasi model Kondisi 3
Pada Tabel 13 diperoleh persentase nilai MSE (Mean Square Error) untuk kondisi 3 setelah di validasi dengan data baru sebesar 1,59 % dan 1,15 %. Nilai tersebut masih kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menjelaskan kondisi perlakuan sampai 98,41% dan 98,85%. Terjadi peningkatan nilai error bila dibandingkan dengan kondisi 1. Penjelasan yang sama dengan kondisi 2 menjadi alasan utama yaitu peningkatan nilai SVI yang cukup tinggi yang menyebabkan peningkatan nilai error. Berdasarkan nilai MSE tersebut model dikatakan masih mampu memahami perilaku eksperimen. Model dianggap valid dan layak digunakan.
IV.4.5. Validasi Model berdasarkan zona pengendapan Metode yang sama dilakukan terhadap zona pengendapan yang teridentifikasi. Hasil validasi model berdasarkan zona pengendapan dapat dilihat pada Tabel 14 dibawah ini : Tabel 14 Persentase nilai MSE hasil validasi dengan data baru pada berbagai zona pengendapan Validasi Normal (%) Data baru 1 Data baru 2
IV.4.5.1.
Zona Pengendapan Antara (%)
0.55 0.74
1.26 4.49
Bulking (%) 1.77 4.14
Validasi model zona Normal
Pada Tabel 14 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk zona normal setelah divalidasi dengan data baru sebesar 0,55 % dan 0,74 %. Nilai tersebut sangat kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menjelaskan kondisi zona normal sampai 99,45% dan 99,26 %. Berdasarkan nilai MSE
64
tersebut model dikatakan mampu mendekati perilaku zona normal. Model dianggap valid dan layak digunakan.
IV.4.5.2.
Validasi model zona Antara
Pada Tabel 14 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk zona normal setelah disimulasikan dengan data baru sebesar 0.0126 dan 0.0449. Dengan kata lain model mempunyai persentase tingkat kesalahan rata-rata sebesar 1,26 % dan 4,49 %. Nilai tersebut sangat kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menjelaskan kondisi zona antara sampai 98,74% dan 95,51 %. Berdasarkan nilai MSE tersebut model dikatakan mampu mendekati perilaku zona antara. Model dianggap valid dan layak digunakan.
IV.4.5.3.
Validasi model zona Bulking
Pada Tabel 14 diperoleh nilai MSE (Mean Square Error) untuk zona normal setelah disimulasikan dengan data baru sebesar 0.0177 dan 0.414. Dengan kata lain model mempunyai persentase tingkat kesalahan rata-rata sebesar 1,77 % dan 4,14 %. Nilai tersebut cukup kecil sehingga dapat dikatakan model mampu menjelaskan kondisi zona bulking sampai 98,23% dan 95,86 %. Berdasarkan nilai MSE tersebut model dikatakan mampu mendekati perilaku zona bulking. Model dianggap valid dan layak digunakan.
65
V. KESIMPULAN DAN SARAN
V.1. Kesimpulan Hasil penelitian terhadap pola pengendapan lumpur aktif menjelaskan adanya pengaruh perlakuan pengonsentrasian terhadap pola pengendapan. Semakin tinggi konsentrasi awal lumpur maka semakin sulit lumpur mengendap. Hal ini dapat dijelaskan bahwa pada konsentrasi yang tinggi (> 4000 mg/l) ruang antar partikel lebih sempit, hal ini menyebabkan antar partikel sering terjadi kontak. Akibat saling kontak terbentuk lapisan-lapisan lumpur dimana lapisan lumpur
paling bawah menahan lapisan di atasnya sehingga kecepatannya
berkurang. Hasil penelitian mengidentifikasi tiga kondisi perlakuan yaitu kondisi 1,2, dan 3 mempunyai pola pengendapan yang berbeda. Perbedaan terjadi karena nilai SVI (Sludge Volume Index) yang berbeda pada tiap kondisi. Berdasarkan karakteristik flok yang berbeda pada masing-masing kondisi, hasil penelitian juga mampu mengidentifikasi tiga karakteristik zona pengendapan (Jenskins,1993) yaitu zona normal ; zona antara ; dan zona bulking dengan nilai SVI secara berurutan sebagai berikut :75 ml/g;122.5 ml/g ;dan 169.5 ml/g. Zona pengendapan ini memperlihatkan pola pengendapan yang khas sehingga bisa dijadikan acuan untuk menilai kualitas pengendapan. Semakin tinggi nilai SVI maka kecepatan pengendapan semakin rendah. Kecepatan pengendapan terhambat karena ketidakseimbangan proses bioflokulasi yang terjadi dalam sistem. Identifikasi terhadap ketiga zona tersebut mempermudah penanganan masalah bulking dan carry over melalui penyesuaian parameter pengendapan yang lebih terukur. Hasil verifikasi model menggunakan paket program simulasi pola pengendapan lumpur aktif dengan software Mathlab 7.01, diperoleh model pengendapan untuk tiga kondisi yang berbeda dengan nilai parameter berikut ini: kondisi 1 ( α :0.00392; β :-0.3345; C:2.8e-04), kondisi 2 ( α :0.00067; β :-0.4276; C:9.56e-04) dan zona bulking ( α :0.00075; β :-0.7003; C:9.91e-04). Hasil verifikasi memperlihatkan tiap kondisi mempunyai nilai parameter model yang berbeda. Hal ini menjelaskan adanya pengaruh pengonsentrasian terhadap parameter model. Hasil verifikasi model terhadap zona pengendapan lumpur aktif diperoleh nilai parameter model secara berurutan sebagai berikut : zona normal
66
( α :0.0039; β :-0.3345; C:2.8e-04), zona antara ( α :0.0028; β :-0.2100; C:2.5e-04) dan zona bulking ( α :0.0018; β :-0.3580; C:2.9e-04). Hasil ini memperlihatkan tiap zona mempunyai nilai parameter model yang berbeda. Hal ini menjelaskan adanya pengaruh nilai SVI terhadap parameter model. Hasil validasi model dengan menggunakan rangkaian data baru berdasarkan nilai MSE (Mean Square Error) terhadap ketiga kondisi diperoleh persentase tingkat kesalahan yang kurang dari 2.0 %. Dengan demikian disimpulkan model dianggap valid dan layak digunakan untuk mengambarkan kondisi pola pengendapan lumpur aktif. Hasil validasi model berdasarkan nilai MSE yang dihasilkan untuk setiap zona pengendapan mempunyai persentase rata-rata tingkat kesalahan dibawah 5.0 %. Nilai tersebut masih sangat kecil sehingga dapat disimpulkan bahwa model valid dan mempunyai keandalan yang tinggi untuk menjelaskan zona pengendapan yang terjadi. Hasil validasi pada berbagai kondisi dan zona pengendapan di atas menjelaskan model yang dihasilkan valid dan layak untuk memprediksi pola pengendapan lumpur aktif di sedimentasi akhir.
V.2. Saran 1. Perlu dilakukan kajian lanjutan untuk seluruh unit sistem lumpur aktif sehingga mampu mewakili kondisi sistem secara lebih lengkap. 2. Perlu dilakukan penelitian lanjutan mengenai komposisi lumpur aktif lokal Indonesia dengan membandingkan jenis lumpur aktif di industri lain.
67
DAFTAR PUSTAKA
Agung, J. 1987. Model Simulasi Sistem Pengendalian Diskrit Linier Pada Penanganan Limbah Cair Agroindustri. Skripsi Fakultas Teknologi Pertanian. IPB. Bogor. Eckenfelder, W.W. 1989. Industrial Water Polution Control 2nd Ed. McGraw-Hill Publishing Company. New York. Eriyatno.1998. Ilmu Sistem. Meningkatkan Mutu Dan Efektifitas Manajemen. IPB Press. Bogor Gray, N.F.1995. Wastewater Treatment Biology.p.470-474. In W.A.Neirenberg [Ed.]. Encyclopedia of Environmental Biology .Vol.3. Academic Press,Inc.San Diego. Jenkins, D.,M.G.Richard, and G.T. Daiger.1993.Manual of The Causes and Control of Activated Sludge Bulking and Foaming.2nded.Lewis Publ.,Inc.Michigan. James, A. 1994. An Introduction To Water Quality Modelling. John Wiley and Sons. Chicester. Mantulangi, T.I.S. 1993. Simulasi Penentuan Parameter Perancangan Bioreaktor Untuk Penanganan Limbah Cair Secara Aerobik. Skripsi FakultasTeknologi pertanian. IPB. Bogor. Marimin. 2004. Teknik Dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Grasindo. Jakarta. Mas’ud,N. 1995. Pengaruh Beban Organik Dan Nutrisi Tambahan (N Dan P) Terhadap Hasil Pengolahan Limbah Cair Industri Pulp-Kertas(Terpadu) Dengan Proses Lumpur Aktif. Tesis . Program pascasarjana. PSL IPB dan USU. Bogor. Metcalf and Eddy. 1991. Wastewater Engineering. Treatment,Disposal,And Reuse 3rd Ed. Mcgraw-Hill Inc. New York. Muhammadi., E. Aminullah, B.Soesilo. 2001. Analisis Sistem Dinamis. UMJ Press. Jakarta. Nathanson, J.A. 1997. Basic Environmental Technology. Water Supply,Waste Management, And Polution Control 2nd Ed. Prentice Hall. New Jersey. Potter, C., M.Soepawardi, A.Gani. 1994. Limbah Cair Berbagai Industri Di Indonesia.Sumber,Pengendalian,Baku Mutu. Project Of The Ministry Of State For Environment, Republic Of Indonesia And Dalhousie University Canada. Environmental Management Development In Indonesia (EMDI). Jakarta
68
Renko, E.K.1998. Modelling hindered batch settling part I: a model for linking zone settling velocity and stirred sludge volume index. Wat.Res. vol.34, No.2. Helsinki. Said, E.G. 1994. Penanganan Dan Pemanfaatan Limbah Industri Kelapa Sawit. Badan Kerjasama Pusat Studi Lingkungan Riset Unggulan Terpadu. IPB. Bogor. Schroeder, E.D. 1977. Water And Waste Water Treatment. McGraw-Hill Publishing Company. New york. Snape, J.B., I.J. Dunn, J.Ingham, J.E.Prenosil.1995. Dynamics of Environmental Bioprocesses. Moddeling and Simulation. VCH Verlagsgesellschaft. Weinheim. Germany. Sutapa, I.D.A., Sofyandi, Hoerunisa. 2004. Pengaruh Konsentrasi Biomassa Terhadap Pola Pengendapan Lumpur Aktif Dari Sistem Pengolahan Limbah Cair Industri Tekstil. Makalah Seminar Nasional Rekayasa Kimia Dan Proses di Semarang. Puslit Limnologi- LIPI. Cibinong. Bogor. Screkovic, G and Hall,E.R. 2000. Computer Simulation of Activated Sludge Clarifier in Pulp and Paper Sector. Sustainable Forest Management Network. Edmonton. Alberta. Tebutt, T.Y. 1990. Principles of Water Quality Control. University of Birmingham. Birmingham. Tyoso, B.W. 1991. Dasar-Dasar Penanganan Limbah Industri, dalam Kursus Singkat Penanganan Limbah Industri. PAU-Bioteknologi UGM.Yogyakarta. 1991. Pengantar Sistem Dan Modeling Pengolahan Air Limbah Industri, dalam Kursus Singkat Penanganan Limbah Industri. PAUBioteknologi UGM.Yogyakarta. Vanderhasselt, A and P.A.Vanrolleghem. 1999. Estimation Of Sludge Sendimentation Parameter From Single Batch Settling Curve. Pergamon. Elsevier science. Great Britain. http://www.forlink.dml.or.id/pterapb/textile/awal.htm.2000 http://www.menlh.go.id/Limbahcair tekstil.htm.2003 http://www.menlh.go.id/usaha-kecil/olah/index.htm.2003 http://www.web.telecom.cz/aquanova/definition.htm.2004
69
Lampiran 1. Baku mutu limbah cair industri tekstil bagi industri baru dan semua industri yang mulai produksi th.1995 (Sumber : Potter et al,1994)
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM LIBAH CAIR TOTAL
pencucian
perekatan
pengikisan,
pemucatan/
(mg/ l)
kapas,
(sizing)
pemasakan
bleaching
pemintalan
desizing
(kiering,
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM(KG/TON) - PROSES
penenunan
merserisasi
pengelanta-
pencetakan
ngan/
(printing)
bleaching
scouring)
BOD 5
55
0,4
0,6
1,5
0,8
0,7
1,2
0,4
COD
120
0,8
1,2
3
1,8
1,6
2,5
0,8
PTT
50
0,5
0,5
1,4
0,8
0,7
1
0,3
FENOL TOTAL
0,5
0,004
0,005
0,012
0,01
0,008
0,02
0,005
KROM TOTAL(Cr)
0,8
-
-
-
-
-
0,05
0,01
8
0,05
0,1
0,2
0,14
0,12
0,2
0,05
0,3
0,002
0,005
0,007
0,005
0,004
0,006
0,002
AMONIA TOTAL(sbg N) SULFIDA(sebagai S)
pH 6.0 - 9.0
Debit limbah cair maks: Pencucian kapas,pemintalan, penenunan 7 m3/ton produk kain
Perekatan(sizing,desizing)
Pengikisan, pemasakan (kiering,Scouring)
Pemucatan (bleaching)
Merserasi
Pewarnaan (Dyeing)
10 m3/ton produk kain
24 m3/ton produk kain
18 m3/ton produk kain
15 m3/ton produk kain
20 m3/ton produk kain
Pencetakan (Printing)
6 m3/ton produk kain
71
Lampiran 1. Baku mutu limbah cair industri tekstil bagi industri baru dan semua industri yang mulai produksi th.1995 PARAMETER
KADAR MAKSIMUM LIBAH CAIR TOTAL (mg/ l)
BEBAN PENCEMARAN MAKSIMUM(KG/TON) - PROSES PENCUCIAN
PEREKATAN
PENGIKISAN,
PEMUCATAN/
KAPAS,
(SIZING)
PEMASAKAN
BLEACHING
PEMINTALAN
DESIZING
(KIERING,
PENENUNAN
MERSERISASI
PENGELANTA-
PERCETAKAN
NGAN/
(PRINTING)
BLEACHING
SCOURING)
BOD 5
55
0,4
0,6
1,5
0,8
0,7
1,2
0,4
COD
120
0,8
1,2
3
1,8
1,6
2,5
0,8
PTT
50
0,5
0,5
1,4
0,8
0,7
1
0,3
FENOL TOTAL
0,5
0,004
0,005
0,012
0,01
0,008
0,02
0,005
KROM TOTAL(Cr)
0,8
-
-
-
-
-
0,05
0,01
AMONIA TOTAL(sbg N)
8 0,3
0,05 0,002
0,1 0,005
0,2 0,007
0,14 0,005
0,12 0,004
0,2 0,006
0,05 0,002
SULFIDA(sebagai S)
pH 6.0 - 9.0 Debit limbah cair maks: Pencucian kapas,pemintalan, penenunan
: 7 m3/ton produk kain
Perekatan(sizing,desizing)
: 10 m3/ton produk kain
Pengikisan, pemasakan (kiering,Scouring)
: 24 m3/ton produk kain
Pemucatan (bleaching)
: 18 m3/ton produk kain
Merserasi
: 15 m3/ton produk kain
Pewarnaan (Dyeing)
: 20 m3/ton produk kain
Pencetakan (Printing)
: 6 m3/ton produk kain
(Sumber : Potter et al,1994)
71
Lampiran 3 Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 1 di setiap konsentrasi pengamatan
Lampiran 4 Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan Pada kondisi 1 di setiap konsentrasi pengamatan
73
Lampiran 5 Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 2 di setiap konsentrasi pengamatan
Lampiran 6 Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 2 di setiap konsentrasi pengamatan
74
Lampiran 7
Grafik volume lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 3 di setiap konsentrasi pengamatan
Lampiran 8
Grafik tinggi lumpur yang mengendap terhadap waktu pengendapan pada kondisi 3 di setiap konsentrasi pengamatan
75
Lampiran 9 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 4.0 g/l
Lampiran 10 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 3.5 g/l
76
Lampiran 11 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 3.0 g/l
Lampiran 12 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.8 g/l
77
Lampiran 13 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.5 g/l
Lampiran 14 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 2.0 g/l
78
Lampiran 15 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.8 g/l
Lampiran 16 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.6 g/l
79
Lampiran 17 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona normal dengan konsentrasi 1.0 g/l
Lampiran 18 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 4.0 g/l
80
Lampiran 19 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.7 g/l
Lampiran 20 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.4 g/l
81
Lampiran 21 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 3.0 g/l
Lampiran 22 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.7 g/l
82
Lampiran 23 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.4 g/l
Lampiran 24 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 2.0 g/l
83
Lampiran 25 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 1.5 g/l
Lampiran 26 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 1.0 g/l
84
Lampiran 27 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona antara dengan konsentrasi 0.5 g/l
Lampiran 28 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 4.1 g/l
85
Lampiran 29 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.6 g/l
Lampiran 30 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.3 g/l
86
Lampiran 31 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 3.0 g/l
Lampiran 32 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.8 g/l
87
Lampiran 33 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.5 g/l
Lampiran 34 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 2.0 g/l
88
Lampiran 35 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 1.5 g/l
Lampiran 36 Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 1.1 g/l
89
Lampiran 37
Perbandingan pola pengendapan yang dihasilkan eksperimen dan model pada zona bulking dengan konsentrasi 0.7 g/l
Lampiran 38 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada kondisi 1
90
Lampiran 39 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada kondisi 1
Lampiran 40 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada kondisi 2
91
Lampiran 41 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada kondisi 2
Lampiran 42 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada kondisi 3
92
Lampiran 43 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada kondisi 3
Lampiran 44 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada zona normal
93
Lampiran 45 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada zona normal
Lampiran 46 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada zona antara
94
Lampiran 47 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada zona antara
Lampiran 48 Data ketinggian pengendapan baru 1 untuk validasi model pada zona bulking
95
Lampiran 49 Data ketinggian pengendapan baru 2 untuk validasi model pada zona bulking
96