PEMANFAATAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica) DAN LUMPUR AKTIF PABRIK TEKSTIL DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU
MUMPUNI CYNTIA PRATIWI
SKRIPSI
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa usulan penelitian yang berjudul: Pemanfaatan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Lumpur Aktif Pabrik Tekstil dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu adalah benar merupakan hasil karya saya sendiri dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, Juni 2010
Mumpuni Cyntia Pratiwi C24052936
RINGKASAN
Mumpuni Cyntia Pratiwi. C24052936. Pemanfaatan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Lumpur Aktif Pabrik Tekstil dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu. Dibawah bimbingan I Nyoman N. Suryadiputra. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji efektifitas pengolahan limbah cair industri tahu dalam menurunkan kandungan bahan organik, dengan menggunakan mekanisme SBR yang ditambahkan tanaman air Kangkung (Ipomoea aquatica). Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Sumberdaya Perairan, pada November – Desember 2009. Pengambilan limbah cair tahu dilakukan di Pabrik Tahu Bandung Ashor, Cibanteng dan Lumpur Aktif Pabrik Tekstil di PT. UNITEX. Parameter yang diamati berupa parameter fisika (suhu, TSS, Kekeruhan dan DHL) dan parameter kimia (pH, DO, BOD dan COD). Untuk beberapa parameter fisika seperti suhu, DHL, TSS, dan kekeruhan nilainya telah memenuhi baku mutu badan air penerima dan juga baku mutu limbah cair tahu, baik setelah mengalami pengenceran dan terlebih setelah mengalami perlakuan dengan menggunakan kangkung dan lumpur aktif serta pengaerasian. Sebelum mengalami pengenceran, suhu limbah cair tahu berkisar antara 42,4 – 45,3 o C. Setelah diencerkan, suhu turun menjadi 28,7 o C. Setelah mengalami proses pengolahan, pada akhir pengamatan suhu berkisar antara 26,525 – 26,6 oC. Untuk limbah cair tahu yang belum diolah masih berada di bawah baku mutu yaitu sebesar 1935 μS/cm. Setelah mengalami pengenceran, nilai DHL turun menjadi 475 μS/cm. Pada akhir pengamatan, nilai DHL berkisar antara 112,5 – 195 μS/cm. Nilai padatan tersuspensi total atau Total Suspended Solid (TSS) sebesar 718.75 mg/L lebih besar dari baku mutunya yaitu sebesar 400 mg/L. Setelah mengalami pengenceran nilai turun menjadi 48 mg/L. Pada akhir pengamatan, nilai TSS berkisar antara 112,5 – 195 μS/cm. Untuk nilai kekeruhan, sesudah pengenceran nilainya menjadi 10 NTU. Untuk parameter kimia, parameter yang telah memenuhi baku mutu hanya pH dan DO saja, sedangkan untuk BOD dan COD belum memenuhi baku mutu menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III. Untuk nilai pH sebelum pengenceran sebesar 5, 25 dan sesudah pengenceran sebesar 5,92. Pada akhir pengamatan, nilai pH menjadi jauh lebih baik yaitu sebesar 7,6. Nilai DO sebelum pengenceran berkisar antara 4 – 4,2 mg/L dan sesudah pengenceran menjadi 4,3 mg/L. Pada akhir pengamatan, nilai DO menjadi sekitar 6,53 – 7, 4 mg/L. Untuk BOD dan COD, nilai keduanya setelah mengalami pengenceran pun masih berada di atas baku mutu karena nilai awalnya yang terlalu tinggi. Adapun konsentrasinya setelah mengalami perlakuan dan aerasi, turun menjadi 4,33 – 5,3 mg/L untuk BOD dan turun menjadi 9,35 – 11,9 mg/L untuk COD. Secara umum, semua parameter yang diamati tidak mengalami perbedaan yang signifikan antar perlakuan kecuali untuk nilai DO. Variasi nilai dan fluktuasi yang terjadi sepanjang pengamatan cenderung dipengaruhi adanya aerasi.
PEMANFAATAN KANGKUNG AIR (Ipomoea aquatica) DAN LUMPUR AKTIF PABRIK TEKSTIL DALAM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR TAHU
MUMPUNI CYNTIA PRATIWI C24052936
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Perikanan pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan
DEPARTEMEN MANAJEMEN SUMBERDAYA PERAIRAN FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2010
PENGESAHAN SKRIPSI
Judul
: Pemanfaatan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Lumpur Aktif Pabrik Tekstil dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu
Nama Mahasiswa
: Mumpuni Cyntia Pratiwi
NRP
: C24052936
Program Studi
: Manajemen Sumberdaya Perairan
Menyetujui, Pembimbing I
Ir. I Nyoman N. Suryadiputra NIP 19561121 198111 1 001
Mengetahui, Ketua Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan
Dr. Ir. Yusli Wardiatno, M. Sc NIP 19660728 199103 1 002
Tanggal Ujian : 19 April 2010
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Skripsi yang berjudul “Pemanfaatan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Lumpur Aktif Pabrik Tekstil dalam Pengolahan Limbah Cair”. Skripsi ini disusun sebagai hasil penelitian yang dilaksanakan pada bulan November 2009 dan merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Penulis menyadari adanya ketidaksempurnaan dalam penulisan skripsi ini. Semoga skripsi ini dapat memberikan sumbangsih bagi ilmu pengetahuan serta bagi upaya pengelolaan lingkungan perairan dan perikanan.
Bogor, Juni 2010
Penulis
i
UCAPAN TERIMA KASIH
Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada : 1.
Ir. I. Nyoman Ngurah Suryadiputra selaku dosen pembimbing I yang telah banyak memberikan bimbingan, masukan, dan saran selama pelaksanaan penelitian dan penyusunan skripsi ini.
2.
Ir. Agustinus Samosir , M.Phil. selaku penguji dari komisi pendidikan dan Ir. Sigid Hariyadi , M.Sc selaku penguji tamu.
3.
Majariana Krisanti, S.Pi, M.Si selaku pembimbing akademik yang telah memberikan banyak masukan selama masa perkuliahan.
4.
Keluarga tercinta; Bapak, Mamah,
adik-adikku Ananta dan Marina atas
kasih sayang, doa, pengorbanan, serta dukungan semangatnya. 5.
Seluruh staff Tata Usaha, staf Laboratorium Produktivitas Lingkungan dan Perairan, civitas Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan serta seluruh teman-teman MSP terutama MSP 42 yang tidak bisa disebutkan satu-persatu atas semua bantuan dan dukungan yang telah diberikan kepada penulis dalam menyelesaikan tugas akhir ini.
ii
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Jambi, pada tanggal 2 November 1987, merupakan anak pertama dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Ir. Sambas Mulyana, MS dan Ibu Dra. Encah Wiharsah. Pendidikan formal pertama diawali dari TK Al-Azhar Jambi (1993), SDN 47/IV Kota Jambi (1999), SMPN 7 Kota Jambi (2002), dan SMAN 1 Jambi (2005). Pada tahun 2005 penulis diterima di IPB melalui jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Setelah setahun melewati tahap Tingkat Persiapan Bersama, penulis diterima di Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Selama mengikuti perkuliahan penulis berkesempatan mengikuti kerja magang di Unit IPAL PDAM Kota Bandung, serta menjadi asisten luar biasa pada mata kuliah Ekologi Perairan (2007), Penerapan Komputer (2007-2008), Planktonologi (2008), Limnologi (2009), Pengkajian Stok Ikan (2009), dan Manajemen Sumberdaya Perikanan (2009). Penulis juga aktif dalam divisi Akademik pada HIMASPER (Himpunan Mahasiswa Manajemen Sumberdaya Perairan) periode 2007/2008. Penulis juga aktif mengikuti seminar dan berpartisipasi dalam kepanitiaan di lingkungan kampus IPB. Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor, penulis menyusun skripsi dengan judul
“Pemanfaatan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan
Lumpur Aktif Pabrik Tekstil dalam Pengolahan Limbah Cair Tahu”.
iii
DAFTAR ISI
Halaman DAFTAR TABEL ...........................................................................................
vi
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... vii DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. viii 1. PENDAHULUAN ...................................................................................... 1.1. 1.2. 1.3. 1.4.
1
Latar Belakang .................................................................................... Rumusan Masalah ............................................................................. Tujuan Penelitian ............................................................................... Manfaat Penelitian ............................................................................
1 3 5 6
2. TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................. 2.1. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu ......................................... 2.2. Pengenceran Air Limbah Tahu Sebelum Diolah ............................. 2.3. Kangkung (Ipomoea aquatica) .............................................................. 2.4. Pengolahan Limbah ........................................................................... 2.4.1. Sequential Batch Reactor (SBR) dan Pengolahan Air Limbah Secara Konvensioanal ....................................................................... 2.4.2 Proses Penguraian Bahan Organik oleh Bakteri ..................... 2.5. Lumpur aktif dari PT. UNITEX ........................................................
7 7 12 12 14
3. METODE PENELITIAN ........................................................................... 3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian .............................................................. 3.2. Alat dan Bahan ................................................................................... 3.3. Pengambilan dan Penanganan Air Contoh ..................................... 3.3.1. Pengambilan dan Penanganan Limbah Cair Industri Tahu . 3.3.2. Pengenceran Limbah Cair Tahu................................................ . 3.3.3. Persiapan Wadah ..................................................................... 3.3.4. Persiapan Tanaman yang Digunakan .................................... 3.3.5. Persiapan Lumpur Aktif .......................................................... 3.3.6. Pelaksanaan Penelitian ............................................................ 3.4. Analisis Data ...................................................................................... 3.4.1. Metode analisis kualitas fisika – kimia air .............................. 3.4.2. Persentase perubahan nilai karakteristik limbah ................... 3.4.3. Penentuan perubahan bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica) ....................................................................... 3.4.4. Analisis parameter pertumbuhan kangkung air .................... 3.4.5. Analisis rancangan .................................................................... 3.4.5.1 Rancangan acak kelompok ........................................... 3.4.5.2 Uji lanjut BNT ................................................................
19 19 19 19 19 19 20 20 20 21 25 25 26
iv
14 16 17
26 26 27 27 28
4. HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................................. 4.1. Kualitas Fisika-Kimia Air Limbah Tahu Selama Penelitian Pendahuluan......................................................................................... 4.2. Kualitas Fisika-Kimia Air Limbah Tahu Sebelum Diolah dan Setelah Diencerkan .............................................................................. 4.3. Kualitas fisika – kimia air limbah tahu setelah diolah ..................... 4.3.1. Parameter fisika air limbah ...................................................... 4.3.1.1. Suhu ................................................................................ 4.3.1.2. DHL................................................................................. 4.3.1.3. TSS ................................................................................... 4.3.1.4 Kekeruhan ....................................................................... 4.3.2. Parameter kimia air limbah ...................................................... 4.3.2.1 pH..................................................................................... 4.3.2.2 DO dan BOD ................................................................... 4.3.2.3 COD ................................................................................. 4.4. Perubahan Bobot Basah Kangkung Air (Ipomoea aquatica) ............. 4.5. Pengaruh pengenceran pada kualitas air limbah.............................. 4.6. Pemanfaatan limbah industri tahu ....................................................
30 30 31 36 36 36 37 39 40 41 41 43 46 47 50 52
5. KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 53 5.1. Kesimpulan ........................................................................................ 53 5.2. Saran ................................................................................................... 54 DAFTAR PUSTAKA .................................................................................... 55 LAMPIRAN ................................................................................................... 58
v
DAFTAR TABEL
Tabel
Halaman
1. Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu Putih dan Tahu Kuning (Departemen Pertanian 2009) ................................................................ 9 2. Persentase kandungan zat setiap 100 gram kedelai ............................ 10 3. Daftar Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian ................ 24 4. Metode analisis kualitas fisika-kimia air ............................................ 25 5. Analisis sidik ragam RAK .................................................................... 28 6. Perbandingan nilai sejumlah parameter pada beberapa jenis pengenceran............................................................................................... . 30 7. Kualitas limbah cair tahu sebelum dan setelah proses pengenceran 33 8. Perbandingan pertambahan bobot basah kangkung berdasarkan waktu retensi dan jenis limbah ............................................................. 49 9. Perbandingan pengolahan limbah cair tahu dengan menggunakan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) ............................................................................... 51
vi
DAFTAR GAMBAR
Gambar
Halaman
1. Skema rumusan masalah pengolahan limbah cair industri tahu dengan menggunakan tanaman air .......................................................
4
2. Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah (Sugiharto, 1987) .................................................................................... 7 3. Kangkung (Ipomoea aquatica) (Wikipedia 2009) .................................. 13 4. Skema pengolahan air limbah dengan metode Sequential Batch Reactor (SBR) (Al- Rekabi et al. 2007) ................................................................. 15 5. Skema pengolahan air limbah konvensional (Metcalf dan Eddy 2003 in Ishartanto 2009) ...................................... 15 6. Mekanisme penghilangan bahan organik oleh bakteri (CRS Group Engineers 1978 in Ismanto 2005)................................... .... 17 7. Rancangan penelitian ....................................................................... ........ 22 8 . Grafik nilai rataan suhu selama penelitian ......................................... 37 9. Grafik nilai rataan DHL selama penelitian............................................ 38 10. Grafik nilai rataan TSS selama penelitian ........................................... 39 11. Grafik nilai rataan kekeruhan selama penelitian ............................... 40 12. Grafik nilai rataan pH selama penelitian........................................... ... 42 13. Grafik nilai rataan DO selama penelitian ............................................ 43 14. Grafik nilai rataan BOD selama penelitian .......................................... 44 15. Grafik nilai rataan COD selama penelitian ......................................... 46 16. Diagram batang rataan bobot basah kangkung (Ipomoea aquatica) ... 48 17. Akar tanaman kangkung air (Ipomoea aquatica) .................................. 50
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1. Prosedur pengukuran parameter fisika-kimia air limbah ..................... 59 2. Diagram alir pembuatan tahu ................................................................... 62 3. Foto lokasi pengambilan sampel penelitian ............................................. 63 4. Foto alat dan bahan yang digunakan dalam pengukuran parameter fisikakimia air limbah .......................................................................................... 64 5. Hasil penelitian pendahuluan.................................................................... 66 6. Baku mutu .................................................................................................. 67 7. Data parameter kualitas fisika-kimia hasil pengamatan .......................... 69
viii
1. PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Meningkatnya jumlah penduduk turut berpengaruh pada permintaan
sumber protein nabati sebagai salah satu alternatif pemenuhan gizi yang cenderung lebih terjangkau dibandingkan sumber protein hewani. Salah satu sumber protein nabati yang banyak dikonsumsi oleh penduduk Indonesia adalah tahu. Industri tahu sendiri merupakan industri pangan yang banyak menggunakan air dalam proses produksinya baik itu sebagai bahan pencuci kedelai, pendingin, maupun sebagai bahan baku produksi dan menghasilkan limbah cair yang mengandung bahan organik yang tinggi. Limbah cair industri tahu memiliki kadar COD (Chemical Oxygen Demand) sekitar 1940-4800 mg/L, BOD (Biochemical Oxygen Demand) sekitar 1070-2600 mg/L, TSS (Total Suspended Solid) sekitar 2100-3800 mg/L, dan pH sekitar 4,5 – 5,7 (Nuriswanto 1995 in Sudaryati et al. 2008). Dengan kondisi seperti itu, limbah cair industri tahu yang dibuang tanpa pengolahan lebih lanjut akan menimbulkan beberapa permasalahan bagi lingkungan. Biasanya permasalahan yang timbul berupa pengendapan dan peruraian bahan organik pada badan perairan penerima limbah yang akhirnya memperburuk kualitas air. Parameter kualitas air yang dipengaruhi diantaranya
meningkatnya kekeruhan air,
tingginya kandungan bahan organik, berkembangnya bakteri patogen, serta timbulnya bau busuk akibat bahan organik terurai dalam kondisi anaerobik. Secara umum, pencemaran perairan oleh limbah cair industri tahu akan menurunkan kandungan oksigen terlarut di air (akibat terurainya bahan organik) dan akhirnya tercipta suasana anaerobik yang akan mengganggu ekosistem dan kehidupan di dalam perairan . Dalam upaya mengatasi permasalahan di atas, diperlukan adanya pengolahan limbah yang sesuai. Menurut Sugiharto (1987), tujuan utama pengolahan air limbah adalah untuk mengurangi kadar bahan organik (BOD dan COD), partikel tersuspensi, serta membunuh organisme patogen. Selain itu,
2
diperlukan juga tambahan pengolahan untuk menghilangkan nutrisi (unsur nutrien), komponen beracun serta bahan yang tidak dapat didegradasi agar konsentrasi bahan-bahan pencemar ini kadarnya
menjadi rendah dan tidak
membahayakan kehidupan di dalam perairan. Untuk itu diperlukan pengolahan secara bertahap agar bahan pencemar tersebut dapat dikurangi konsentrasinya. Salah satu metode pengolahan yang dapat dilakukan adalah melalui mekanisme SBR (Sequential Batch Reactor) dengan menggunakan tanaman air. Menurut Al-rekabi (2007), mekanisme SBR layak dipertimbangkan untuk mengolah limbah karena dapat digunakan dalam wilayah yang luasnya terbatas, dapat menyesuaikan dengan berbagai kondisi kandungan oksigen, dapat memanfaatkan lahan pengolahan yang telah lebih dulu ada dan dipergunakan untuk jenis pengolahan yang lain, dan juga lebih efektif dari segi biaya. Selain itu, mekanisme yang merupakan bentuk modern dari sistem isi dan ambil (fill and draw) dan terdiri dari satu tangki pengolahan atau lebih dan masing-masing mampu menstabilkan limbah dan pemisahan padatan. Adapun untuk pemilihan dan penambahan tanaman air, sebagaimana dinyatakan Wuhrmann (1976) in Dhahiyat (1990), kehadiran tanaman air di perairan akan mempercepat penurunan kadar bahan organik, karena disamping melakukan absorbsi dalam bentuk ion, tanaman air juga menyumbang oksigen yang diperlukan bakteri dalam proses oksidasi/dekomposisi aerobik. Rice (1916) in Welch (1952) turut menyatakan bahwa akar tanaman air selain berperan sebagai pelekat dan penambat (habitat) bagi mikroorganisme decomposer di habitatnya, juga memiliki fungsi fisiologis dalam menyerap nitrat dan bahanbahan lain dari dasar perairan walaupun tidak sebanyak yang diserap oleh batang tanaman itu sendiri. Penggunaan lumpur aktif dari IPAL pabrik tekstil sebagai salah satu pembeda dalam perlakuan ini karena sebagaimana dijelaskan oleh Sutapa (2000), sistem lumpur aktif merupakan teknik yang paling banyak dipakai dalam pengolahan air limbah. Prinsip teknik ini adalah menginteraksikan dalam sebuah reaktor biologis teraerasi, air limbah dengan mikroorganisme tersuspensi yang memakan polusi tersebut. Dalam lumpur aktif pabrik tekstil umum dijumpai mikroorganisme seperti Zooglea, Pseudomonas, Flavobacterium, Alcaligenes, Bacillus, Achromobacter, Corynebacterium, Comomonas, Brevibacterium, dan Acinetobacter,
3
disamping itu ada pula mikroorganisme berfilamen, yaitu Sphaerotilus dan Beggiatoa, Vitreoscilla yang dapat menyebabkan sludge bulking sebagaimana disebutkan oleh Herlambang (2010). Sejauh ini beberapa penelitian telah dilakukan dengan menggunakan tanaman air, bakteri ataupun kombinasi keduanya dalam menurunkan bahan organik pada berbagai jenis limbah, baik itu domestik maupun limbah industri. Tanaman air yang saat ini banyak digunakan dalam pengolahan air limbah diantaranya adalah Eceng Gondok ( Eichhornia crassipes ), Gulma Itik (Lemna minor),
Kayu Apu (Pistia stratiotes),
dan Kangkung (Ipomoea aquatica)
sebagaimana telah dilakukan oleh Mursalin (2007), Apriadi (2008), Ismanto (2006) dan Ulfah (2009). Apriadi (2008) dan Ulfah (2009) juga mengkombinasikan tanaman air dengan bakteri yaitu Bacillus sp., untuk mengolah limbah kantin. Sehubungan dengan hal di atas, maka dilakukan percobaan untuk mengolah limbah cair industri tahu dengan menggunakan kombinasi perlakuan aerasi, penambahan lumpur aktif dari IPAL industri tekstil, dan kangkung air (Ipomoea aquatica). Penelitian ini menggunakan kangkung (Ipomoea aquatica) sebagai bahan uji karena
mudah dalam pemeliharaan dan pembudidayaan.
Selain itu, kangkung telah lama dikenal masyarakat dan dikonsumsi sebagai sayuran.
1.2.
Rumusan Masalah Industri tahu menghasilkan limbah dalam dua jenis yaitu limbah padat
(berupa ampas tahu) dan limbah cair. Limbah cair berupa air keruh berwarna putih yang apabila dilepas ke lingkungan tanpa melewati pengolahan terlebih dahulu
akan mengakibatkan peningkatan BOD, COD maupun TSS.
Ketiga
parameter ini pada umumnya akan melampaui baku mutu kualitas air penerima di mana air limbah tersebut dibuang.
4
Limbah Cair Industri Tahu
Pengolahan Awal Melalui pengendapan (Fisik) Lumpur/ampas tahu yang dapat digunakan untuk pakan ternak dll Tanaman Air (Biologi) Dengan mekanisme SBR
Bahan Organik Turun ?
Air limbah olahan
Belum memenuhi baku
Biomassa Tanaman Air, dipanen / konsumsi
Telah memenuhi baku
Badan air penerima limbah
Gambar 1. Skema perumusan masalah pengolahan limbah cair industri tahu dengan menggunakan tanaman air
Hasil pengolahan limbah cair industri tahu secara biologis dengan menggunakan tanaman air, dengan maksud menghasilkan air limbah olahan yang telah sesuai baku mutu dan tidak menimbulkan pencemaran lingkungan.. Sebelum dilakukan pengolahan air limbah tahu, dengan menggunakan tanaman air, diperlukan pengolahan pendahuluan/awal (seperti pengendapan) untuk mengurangi partikel-partikel yang berukuran besar (ampas) serta meminimalisir tingkat kekeruhan limbah dan kandungan BOD atau COD-nya sehingga layak diolah secara biologis.
5
Dengan tingginya kandungan bahan organik dalam limbah cair industri tahu
tersebut,
maka diperlukan pasokan oksigen
yang
cukup
untuk
menguraikannya Pasokan oksigen dapat diperoleh dari hasil fotosintesa oleh tanaman air dan melalui difusi oksigen dari udara langsung ke dalam air dan dari tunas yang berhubungan dengan udara ke akar atau rhizoma. Selain itu pada
akar
tanaman
air
tersebut
terdapat
bakteri
yang
mampu
memecah/menguraikan bahan organik menjadi bahan anorganik (misal N dan P) yang dapat dimanfaatkan sebagai hara bagi pertumbuhan tanaman air itu sendiri dan ini akan berimplikasi pada peningkatan biomassanya.
Kondisi
demikian menggambarkan adanya simbiosis antara bakteri yang menempel pada akar tanaman air (menguraikan bahan organik menjadi anorganik), dengan tanaman air yang memasok oksigen untuk digunakan oleh bakteri dalam merombak bahan organik. Selain pasokan oksigen yang bersumber dari tanaman air tersebut, penambahan oksigen melalui aerasi juga turut meningkatkan kelarutan oksigen yang bermanfaat dalam penguraian bahan organik. Lumpur aktif yang berasal dari limbah tekstil juga diharapkan membantu dalam proses penguraian tersebut. Perlakuan berupa penambahan aerasi, lumpur aktif, dan kangkung air (Ipomoea aquatica) dalam percobaan mengolah limbah cair industri tahu ini dapat dilihat pengaruhnya melalui perubahan parameter kualitas air limbah sebelum dan sesudah pengolahan. Nilai hasil olahan yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan baku mutu air limbah industri yang telah ditetapkan.
1.3.
Tujuan Penelitian Mengkaji efektifitas pengolahan limbah cair industri tahu dalam
menurunkan kandungan bahan organik, dengan menggunakan mekanisme SBR (Sequential Batch Reactor) yang ditambahkan tanaman Kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif dari IPAL industri tekstil.
6
1.4.
Manfaat Penelitian Manfaat penelitian ini adalah untuk: 1. Sebagai alternatif pengolahan limbah cair industri tahu yang murah dan ramah lingkungan dengan hasil akhir berupa mutu air limbah yang lebih baik dan biomasa kangkung yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan
2. Memanfaatkan hasil samping (by product) dari instalasi pengolahan air limbah industri tekstil (berupa lumpur aktif) sebagai agen perombak bahan organik pada industri tahu.
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Karakteristik Limbah Cair Industri Tahu Limbah merupakan zat sisa atau bahan yang dihasilkan dari proses
pembuatan produk dari suatu industri yang kurang memiliki nilai guna (Pareira 2009). Jumlah aliran air limbah yang berasal dari industri sangat bervariasi tergantung dari jenis dan besar kecilnya industri, pengawasan pada proses industri, derajat penggunaan air dan metoda pengolahan air limbah yang digunakan. Jumlah air limbah yang dihasilkan oleh industri yang tidak menggunakan proses basah diperkirakan sekitar 50 m3/ha/hari. Sebagai patokan dapat dipergunakan pertimbangan bahwa 85 – 95 % dari jumlah air yang dipergunakan tersebut akan menjadi air limbah, sedangkan apabila industri tersebut memanfaatkan kembali air limbahnya maka jumlah air limbah akan lebih sedikit (Sugiharto 1987). Sesuai dengan sumber asalnya, maka air limbah mempunyai komposisi, kualitas dan kuantitas yang sangat bervariasi dari setiap tempat dan setiap saat, tetapi secara garis besar dapat dilakukan pengelompokkan berdasarkan zat-zat yang terkandung di dalam air limbah sebagaimana dijelaskan oleh skema berikut.
Air Limbah Air (99,9%)
Bahan Padat (0,1%)
Organik
Anorganik
Gambar 2. Skema pengelompokan bahan yang terkandung di dalam air limbah (Sugiharto 1987)
8
Limbah industri tahu adalah limbah yang dihasilkan dalam proses pembuatan tahu maupun pada saat pencucian kedelai. Sumber limbah pabrik tahu berasal dari proses perendaman kedelai serta proses pemisahan jonjot-jonjot tahu. Limbah yang dihasilkan berupa limbah padat dan cair. Limbah cair yang dihasilkan mengandung padatan tersuspensi maupun terlarut, akan mengalami perubahan fisika, kimia, dan biologi yang akan menghasilkan zat beracun atau menciptakan media untuk tumbuhnya mikroorganisme. Adapun limbah padat yang biasa disebut ampas tahu dapat diolah kembali menjadi oncom atau dapat dimanfaatkan sebagai makanan ternak, seperti ayam, bebek, sapi, kambing , dan sebagainya (Pareira 2009). Industri tahu merupakan industri yang banyak menggunakan air dalam proses produksinya, baik sebagai bahan pencuci, pendingin dan bahan baku produksi. Air yang digunakan dalam proses produksi tahu sekitar 25 L per 1 kg bahan baku kedelai. Kedelai sebagai bahan baku tahu, mengandung protein (34,9%), karbohidrat (34,8%), lemak (18,1%) dan bahan-bahan nutrisi lainnya. Akibatnya, limbah cair yang dihasilkan dapat mengandung bahan organik yang tinggi. Bahan organik dalam limbah cair merupakan media yang baik untuk pertumbuhan mikroba. Oleh karena itu, limbah cair industri tahu merupakan salah satu sumber pencemar biologis, sehingga dibutuhkan pengolahan limbah yang memadai (Sudaryati et.al. 2008). Limbah cair industri tahu mengandung bahan organik yang tinggi sehingga bila terurai akan menimbulkan bau yang tidak sedap. Limbah cair dari proses produksi tahu kuning berwarna kuning keruh dan berbau rebusan kedelai jika masih segar, sedangkan limbah cair dari proses produksi tahu putih berwarna putih keruh dengan bau kedelai jika masih segar (Departemen Pertanian 2009). Adapun karakterisik limbah cair industri tahu putih dan kuning dapat dilihat pada Tabel 1.
9
Tabel 1. Karakteristik Limbah cair industri tahu Putih dan Tahu Kuning Parameter Satuan Tahu Putih Tahu Kuning
Jumlah Limbah Cair DO BOD
liter
mg/L mg/L
< 100 kg/hari 150 430
> 100 kg/hari > 1000 L
1,5 – 2,2 1,93 2800 4100 4300 pH 3,4 – 3,8 3,56 TSS mg/L 615 > 640 629 Sumber : Departemen Pertanian 2009
< 100 kg/hari 460 - 780
> 100 kg/hari > 2000
1,3 – 1,5 3500 4600 3,8 – 3,9 716 - 760
1,2 5800 3,66 > 800
Untuk limbah cair industri tahu ada dua hal yang perlu diperhatikan yakni karakteristik fisik dan kimia. Karakteristik fisik meliputi padatan total tersuspensi, suhu, warna, dan bau. Karakteristik kimia meliputi bahan organik, bahan anorganik dan gas (Departemen Pertanian 2009). Proses pembuatan tahu dan jenis limbah yang dihasilkan dapat dilihat pada Lampiran 2. Suhu limbah cair buangan industri tahu berasal dari proses pemasakan kedelai. Suhu limbah cair industri tahu pada umumnya lebih tinggi dari air bakunya, yaitu 40ºC sampai 46ºC. Tingginya suhu buangan tersebut akan mempengaruhi lingkungan perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan (Departemen Pertanian 2009). Bahan-bahan organik yang terkandung di dalam air buangan industri tahu pada umumnya sangat tinggi. Senyawa-senyawa organik di dalam air buangan tersebut berisikan antara lain protein, karbohidrat, lemak dan minyak. Tingginya bahan organik dalam limbah cair ini akan menyulitkan pengelolaan limbah, karena beberapa zat sulit diuraikan oleh mikroorganisme (Rossiana 2006). Adapun persentase kandungan zat-zat tersebut dapat dilihat pada Tabel 2
10
Tabel 2. Persentase kandungan zat setiap 100 gram kedelai Komponen Kadar (%) Protein 35-45 Lemak 18-32 Karbohidrat 12-30 Air 7 Sumber : Rossiana 2006 Menurut Welch (1952), dekomposisi bahan organik (secara aerobik) oleh mikroorganisme di air merupakan salah satu hal yang dapat menurunkan kelarutan oksigen selain adanya respirasi oleh tanaman air. Persediaan oksigen terlarut yang mencukupi merupakan salah satu syarat utama untuk hidup bagi organisme akuatik. Oleh karena itu, proses pemakaian oksigen memerlukan pertimbangan yang hati-hati. Sumber oksigen terlarut di air berasal dari difusi atmosfer ke dalam air dan melalui fotosintesis oleh tanaman. Difusi oksigen dari atmosfer ke dalam air , selain diakibatkan oleh adanya perbedaan suhu air dan udara, juga terjadi ketika air mengalami kontak dengan udara melalui gelombang, riak, maupun air terjun. Menurut
Jeffries dan Mills (1996) in Effendi (2003), pada siang hari,
pelepasan oksigen oleh proses fotosintesis yang berlangsung intensif pada lapisan eufotik lebih besar daripada oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi. Pada malam hari, fotosintesis berhenti tetapi respirasi terus berlangsung. Kadar oksigen maksimum terjadi pada sore hari, sedangkan kadar minimum terjadi pada malam/dini hari. Fluktuasi harian oksigen dapat mempengaruhi parameter yang lain. Selain akibat proses respirasi tumbuhan dan hewan, hilangnya oksigen di perairan juga terjadi karena oksigen dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik (Boyd 1988 in Effendi 2003).
Miller (1998) in Khiatuddin (2003) menyatakan bahwa kadar
oksigen terlarut lebih rendah dari 4,5 mg/L tergolong tercemar berat. Dalam menentukan besarnya kandungan bahan organik digunakan beberapa teknik pengujian seperti BOD (Biochemical Oxygen Demand), COD (Chemical Oxygen Demand) dan TOM (Total Organic Meter). Uji BOD merupakan parameter yang sering digunakan untuk mengetahui tingkat pencemaran bahan organik, baik dari industri ataupun dari rumah tangga (Welch 1992 in Rossiana
11
2006). Air dengan BOD tinggi menunjukkan kandungan bahan organik yang tinggi (untuk bahan organik yang dapat terurai secara biologis), sehingga dibutuhkan sejumlah oksigen yang cukup besar untuk mendekomposisi bahan organik tersebut. Apabila kadar bahan organik terlalu besar sementara kadar oksigen tidak memadai, maka akan terjadi defisiensi oksigen sehingga tidak mampu mendukung kehidupan organisme yang membutuhkan oksigen (Suyasa dan Dwijani 2007). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. Nilai BOD limbah industri dapat mencapai 25.000 mg. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l, sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200
mg/l
dan
pada
limbah
industri
dapat
mencapai
60000
mg/l
(UNESCO/WHO/UNEP 1992 in Effendi 2003). Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Laju dekomposisi bahan organik turut dipengaruhi pH sebagaimana dipengaruhi pula oleh suhu, ketersediaan oksigen, dan sifat bahan organik. Preferensi pH berbeda-beda pada mikroorganisme yang berbeda, akan tetapi secara umum, bakteri pendekomposisi tumbuh dengan baik pada kondisi netral hingga agak sedikit basa. Bahan organik pun terdekomposisi lebih cepat pada kondisi netral atau basa dibandingkan dengan pada kondisi asam (Boyd 1982) Adapun padatan tersuspensi total atau Total Suspended Solid (TSS) adalah bahan-bahan tersuspensi (diameter > 1 μm) yang tertahan pada saringan millipore dengan diameter pori 0,45 μm. TSS diantaranya dapat terdiri atas lumpur, pasir halus, partikel organik mati yang halus (debris) serta jasad-jasad renik akuatik lainnya. Nilai TSS yang berlebihan akan berpengaruh pada peningkatan kekeruhan yang selanjutnya akan menghambat penetrasi cahaya matahari ke kolom perairan dan akhirnya berpengaruh terhahadap proses fotosintesis perairan. (Effendi 2003). Alabaster dan Lloyd (1982) in
Effendi
(2003), menyatakan bahwa nilai TSS yang lebih kecil dari 25 mg/L tidak berpengaruh terhadap kepentingan perikanan, untuk nilai antara 25 – 80 mg/L sedikit berpengaruh, 81-400 kurang baik bagi kepentingan perikanan, dan TSS yang lebih besar dari 400 mg/L tidak baik bagi kepentingan perikanan.
12
2.2.
Pengenceran Air Limbah Tahu Sebelum Diolah Dhahiyat (1990) menyebutkan bahwa diperlukan suatu upaya untuk
menanggulangi permasalahan limbah cair tahu agar kualitas perairan pun dapat terjaga. Pada penelitian yang dilakukan oleh Dhahiyat (1990), sebelum dibuang ke perairan terlebih dahulu limbah dimasukkan ke kolam yang ditanami eceng gondok yang memanfaatkan tingginya kandungan hara limbah tersebut. Limbah cair tahu yang menjadi media pun terlebih dahulu diencerkan sebanyak 8 kali, dengan maksud untuk menyesuaikan nilai pH agar eceng gondok dapat tumbuh baik. Pengolahan limbah sendiri merupakan upaya terakhir dalam sistem penanganan limbah setelah sebelumnya dilakukan optimasi proses produksi dan pengurangan serta pemanfaatan limbah. Pengolahan limbah dimaksudkan untuk menurunkan tingkat cemaran yang terdapat dalam limbah sehingga aman untuk dibuang ke lingkungan (Departemen Pertanian 2009). Kapasitas produksi, teknik pengolahan kedelai, dan penggunaan air akan mempengaruhi karakteristik limbah yang dihasilkan. Pengrajin yang kapasitas produksinya kecil akan menghasilkan limbah cair dengan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan dengan pengrajin tahu kapasitas besar (Departemen Pertanian 2009). Adapun proses dalam mengolah air limbah adalah sebagai berikut yaitu: secara fisik, biologi dan kimia. Untuk suatu jenis air limbah tertentu, ketiga jenis proses dan alat pengolahan tersebut dapat diaplikasikan secara sendiri-sendiri atau dikombinasikan. Pilihan mengenai teknologi pengolahan dan alat yang digunakan seharusnya dapat mempertimbangkan aspek teknis, ekonomi dan pengelolaannya.
2.3.
Kangkung (Ipomoea aquatica) Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.), merupakan sejenis tumbuhan yang
termasuk jenis sayur-sayuran dan ditanam sebagai makanan. Kangkung banyak terdapat di kawasan Asia dan merupakan tumbuhan yang dapat dijumpai hampir dimana-mana terutama di kawasan berair (Wikipedia 2009). Menurut Backer dan Backhuzen (1965) in Rini (1998), kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk)
13
merupakan tanaman hijau yang termasuk famili Convolvulaceae, tanaman tahunan (perennial) yang tumbuhnya merambat atau membelit, batang panjang, berlubang dan berair, tangkai daun tebal dan berlubang, helaian daun berubahubah dalam bentuk dan ukuran serta bunganya berbentuk corong.
Gambar 3. Kangkung (Ipomoea aquatica) Sumber : Wikipedia (2009) Berikut merupakan klasifikasi ilmiah untuk Kangkung (Ipomoea aquatica Forsk.), Kingdom
: Plantae
Divisi
: Magnoliphyta
Klas
: Magnoliopsida
Ordo
: Solanales
Famili
: Convolvulaceae
Genus
: Ipomoea
Spesies
: Ipomoea aquatica Forssk.
Tanaman kangkung tidak memerlukan persyaratan tumbuh yang sulit, tetapi membutuhkan sinar matahari yang cukup. Di tempat yang mengandung bahan organik tinggi, tanaman ini akan tumbuh subur dengan kisaran pH 5.5-6.5 (Ismanto 2005). Menurut Rini (1998), faktor terpenting dalam pertumbuhan kangkung adalah suhu. Di daerah tropika basah, kangkung dapat tumbuh dengan baik pada suhu 28 – 35 tumbuh pada suhu 30-40
o
o
C. Untuk daerah savanna, kangkung dapat
C pada musim panas dan pada suhu 20-30o C pada
14
musim dingin, sedangkan untuk daerah pegunungan kangkung dapat tumbuh cukup baik pada suhu 15-30o C. Faktor yang juga sangat penting dalam pertumbuhan kangkung adalah kekeruhan. Kekeruhan merupakan penggambaran sifat optik air yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut (misalnya lumpur dan pasir halus), maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis dan Cornwell 1991 in Effendi 2003). Menurut Sugiharto (1987), kekeruhan akan menghambat penyerapan cahaya matahari di air sehingga akan mengurangi produksi oksigen yang dihasilkan tanaman. Air yang keruh akan menyebabkan batang kangkung membusuk dan akhinya mati. Hujan dengan intensitas 3-4 hari / minggu dapat merusak tanaman kangkung (Irwan 1994 in Rini 1998). Adapun perbanyakan tanaman kangkung dapat dilakukan dengan cara stek sebagaimana disebutkan oleh Samson (1972) in Rini (1998).
2.4 .
Pengolahan Limbah
2.4.1.
Sequential Batch Reactor (SBR) dan pengolahan air limbah konvensional Penelitian menggunakan metoda SBR dengan agen pengurai berupa
lumpur aktif yang berasal dari hasil samping (by product) instalasi pengolahan air limbah textil PT UNITEX di Bogor. Sequential Batch Ractor (SBR) merupakan metode pengolahan air limbah dalam satu wadah pengolahan, yaitu dengan menambahkan lumpur aktif (berisikan bakteri) kedalam air limbah lalu diaerasi dalam jangka waktu tertentu. Setelah periode/masa aerasi mencukupi, kemudian aerator dimatikan dan dilanjutkan dengan proses pengendapan lumpur aktif pada wadah yang sama. Air limbah olahan dari metode SBR akan dibuang ke alam setelah memenuhi baku mutu air olahan yang ditetapkan pemerintah. Air olahan dibuang dengan cara memisahkannya dari lumpur aktif yang telah mengendap. Secara skematis proses SBR dapat dilihat pada Gambar 4.
15
Gambar 4. Skema pengolahan air limbah dengan metode Sequential Batch Reactor (SBR) Sumber : Al-Rekabi et al. (2007)
Pada instalasi pengolahan air limbah (IPAL) konvensional, dimana air limbah yang dihasilkan berlangsung secara kontinyu (24 jam sehari, 7 hari seminggu dan seterusnya.), proses aerasi dan pengendapan lumpur aktif dilakukan secara serentak dan berlangsung kontinyu pada wadah-wadah yang berbeda. Sebagian lumpur aktif pada bak pengendap (clarifier) harus dikembalikan ke dalam bak aerasi (sebagai RAS/Returned Activated Sludge) dan sebagian dibuang (sebagai WAS/Wasting Activated Sludge). Lihat Gambar 5 di bawah ini.
Gambar 5. Skema Pengolahan air limbah konvensional Sumber : (Metcalf and Eddy 1991)
16
2.4.2.
Proses penguraian bahan organik oleh bakteri Mekanisme penghilangan bahan organik dalam air limbah berlangsung
melalui tiga proses, yaitu : 1. Transfer Bakteri mengubah bahan organik karbon di air limbah menjadi karbondioksida, air, amonia, dan energi (proses katabolisme). Bahan organik terlarut (dari jenis biodegradable) akan langsung terserap ke dalam sel bakteri melalui dinding sel atau membran bakteri (proses absorbsi). Jika bahan organik di perairan dalam bentuk partikulat atau suspensi koloid maka pengambilan bahan organik oleh bakteri berlangsung secara adsorbsi, yaitu lewat proses penempelan bahan organik di permukaan dinding sel bakteri. Mekanisme / tahapan “transfer” dalam instalasi pengolahan air limbah secara biologis, akan berlangsung dalam bak aerasi dan untuk menciptakan kondisi aerobik, oksigen ditambahkan melalui aerator. 2. Konversi Proses ini merupakan kelanjutan dari proses transfer. Pada proses ini terjadi perubahan dari ketersediaan makanan di air limbah menjadi sel-sel bakteri baru / berkembang biak, menggunakan energi yang diperoleh dari proses transfer (proses anabolisme). 3. Flokulasi Proses ini menggambarkan bahwa jika bakteri telah kenyang dan aktivitasnya menurun, maka bakteri ini akan tenggelam (mengendap di dasar) pada kondisi air yang tenang. Dalam instalasi pengolahan air limbah secara biologis konvensional yang menggunakan lumpur aktif, peristiwa pengendapan bakteri (lumpur aktif) biasanya berlangsung dalam bak pengendap (clarifier). Supernatan dari bak pengendap ini (jika kualitasnya telah memenuhi baku mutu) kemudian dibuang ke perairan alami, sedangkan bakteri/lumpur aktif yang
telah mengendap,
balik/return sludge)
sebagian
akan
dikembalikan
(sebagai lumpur
ke dalam bak aerasi (untuk meneruskan tugas-tugas
„konversi‟ seperti telah dijelaskan di atas), sedangkan sebagian lagi akan dibuang sebagai limbah padat biologis (wasting sludge), lihat Gambar 4.
Yang terakhir
17
disebutkan ini dapat digunakan sebagai pupuk organik tanaman hias atau tanaman lain yang dapat dikonsumsi manusia sejauh tidak mengandung bahanbahan yang berbahaya.
Gambar 6. Mekanisme penghilangan bahan organik oleh bakteri (CRS Group Engineers 1978 in Ismanto 2005) 2.5.
Lumpur Aktif dari PT. UNITEX. Lumpur aktif yang dipergunakan dalam penelitian ini bersumber dari
tangki aerasi. Menurut Suryani (2010), Proses pengolahan biologi air limbah berlangsung pada tangki aerasi 1 (tangki berbentuk oval), tangki aerasi 2 dan 3 (berbentuk empat persegi panjang). Dalam tangki aerasi, air limbah bercampur dengan massa mikroorganisme (lumpur aktif) dan terjadi penguraian bahan organik serta pembentukan sel-sel mikroorganisme baru.
Pada proses
penguraian bahan organik oleh lumpur aktif diperlukan suplai oksigen yang memadai. Menurut Clark et al. (1977) in Suryani (2010), pengolahan biologi dengan lumpur aktif menunjukkan efisiensi terbaik (sekitar 91 %) dalam menghilangkan BOD. Proses lumpur aktif pada tangki aerasi IPAL PT.UNITEX dapat berjalan dengan
baik
berdasarkan
parameter
yang
dapat
digunakan
untuk
menggambarkan kondisi lumpur aktif dalam menentukan keberhasilan unit pengolahan air limbah biologi serta keberadaan jenis-jenis mikroorganisme. Bila dihubungkan dengan rantai makanan bakteri- ciliata, lumpur aktif PT. UNITEX menunjukkan bahwa bakteri telah memanfaatkan bahan organik yang terkandung dalam air limbah.
18
Menurut
Suryani
(2010),
pengolahan
air
limbah
PT.
UNITEX
menghasilkan produk sampingan berupa lumpur atau sludge. Lumpur yang dihasilkan dari sistem pengolahan air limbah PT. UNITEX, dibedakan menjadi dua, yaitu lumpur kimia dan lumpur biologi. Lumpur kimia berasal dari pemisahan hasil perlakuan proses kimia, sedangkan lumpur biologi berasal dari perlakuan proses biologi. Lumpur kimia yang dihasilkan sebanyak 20 ton/bulan kemudian mengalami proses pemadatan yang kemudian disimpan dalam tempat penampungan sementara untuk selanjutnya dibawa ke PPLI (Prasadha Pemusnah Limbah Industri) untuk dilakukan penanganan limbah B3.
3. METODE PENELITIAN
3.1.
Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan pada bulan November - Desember 2009.
Bertempat di Laboratorium Produktivitas dan Lingkungan Perairan (Proling) Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, FPIK – IPB.
3.2.
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang akan digunakan dalam pengolahan air limbah dan
analisis kualitas air dicantumkan pada Tabel 3.
3.3.
Pengambilan dan Penanganan Air Contoh
3.3.1.
Pengambilan dan penanganan limbah cair industri tahu Limbah cair industri tahu diambil sejumlah yang diperlukan dan diukur
parameter fisik dan
kimianya seperti suhu, pH, DO, BOD, COD, dan TSS.
Sebelum diencerkan dengan menggunakan air tandon untuk kemudian digunakan dalam penelitian, limbah cair tahu didiamkan selama satu hari. Pengenceran terhadap limbah cair tahu dimaksudkan agar kadar bahan organik pada air limbah yang akan diolah secara biologi layak untuk diolah. Tata cara pengamatan parameter pada sampel dapat dilihat pada Lampiran 1.
3.3.2.
Pengenceran air limbah tahu Sebelum dilakukan penelitian utama, limbah cair tahu diencerkan
terlebih dulu. Nilai koefisien pengenceran ditentukan setelah proses penelitian pendahuluan. Penelitian pendahuluan melibatkan proses pengukuran parameter fisika dan kimia limbah cair tahu. Pengukuran dilakukan dalam beberapa tahap pengenceran. Dimulai dari tanpa pengenceran sama sekali (0 kali), 5 kali, 10 kali, 100 kali, dan 500 kali. Dari tahapan tersebut diketahui bahwa dengan
20
pengenceran dibawah 100 kali, maka kadar bahan organik yang terukur melalui nilai BOD dan COD sangatlah tinggi. Hal tersebut akan mempersulit pengolahan secara aerob sebagaimana dijelaskan oleh Departemen Pertanian (2009) yang menyatakan bahwa apabila BOD air limbah tidak melebihi 400 mg/L proses aerob masih dapat dianggap lebih ekonomis dari anaerob sedangkan pada BOD lebih tinggi dari 40000 mg/L, proses anaeroblah yang lebih ekonomis. Dari sampel yang diambil, walaupun nilai BOD telah berada dibawah 400 mg/L, nilai COD sampel masih cukup tinggi sehingga diperlukan pengenceran lebih lanjut. Adapun pengenceran dilakukan sebesar 150 kali dengan 1 bagian limbah cair tahu dan 149 bagian air tandon. Baik limbah cair tahu maupun air tandon, didiamkan terlebih dahulu selama satu hari.
3.3.3.
Persiapan wadah Penelitian ini menggunakan baskom plastik hitam sejumlah 12 buah.
Setiap wadah berdiameter 31 cm dengan ketinggian 25 cm. Wadah kemudian diletakkan di tempat yang memiliki intensitas cahaya yang cukup dan terlindung dari air hujan. Urutan penempatan wadah dilakukan secara acak.
3.3.4.
Persiapan tanaman yang digunakan Tanaman air yang digunakan dalam penelitian ini adalah kangkung air
(Ipomoea aquatica) yang diambil di kolam yang berlokasi di Desa Babakan, Kecamatan Dramaga.
Menurut Ismanto (2005), luas penutupan kangkung
sebesar 70 % terhadap wadah pengolahan, terbukti telah mampu menurunkan kandungan bahan pencemar organik cukup baik. Kangkung air tersebut harus dibersihkan dari lumpur yang menempel, kemudian sebelum ditimbang bobot basahnya, kangkung harus dikeringkan terlebih dahulu dengan menggunakan kertas koran.
3.3.5.
Persiapan lumpur aktif Lumpur aktif yang digunakan berasal dari endapan lumpur (by product)
pengolahan biologi pada instalasi pengolahan air limbah tekstil PT UNITEX
21
Lumpur yang digunakan adalah lumpur segar (sebanyak 25 ml) untuk masingmasing wadah yang diberikan perlakuan lumpur aktif . Wadah yang digunakan berupa baskom plastik berwarna hitam berukuran ± 19 L dan diisi limbah cair tahu yang telah diencerkan sebanyak 15 L.
3.3.6.
Pelaksanaan penelitian Penelitian ini berupa percobaan yang dilakukan sebanyak tiga perlakuan.
Setiap perlakuan memiliki empat kali ulangan (lihat Gambar 7). Pelakuan yang digunakan berupa kontrol yang berarti hanya limbah cair tahu yang diencerkan tanpa penambahan apapun, limbah cair tahu yang dincerkan dengan penambahan kangkung air (Ipomoea aquatica) saja, serta limbah cair tahu yang dincerkan dengan penambahan kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif dari PT UNITEX. Penelitian menggunakan metoda pengolahan air secara SBR (seperti telah diuraikan dalam Tinjauan Pustaka). Lokasi pengambilan sampel kangkung, limbah cair tahu, dan lumpur aktif dapat dilihat pada Lampiran 3.
22
1
1
2
1
2
2
3
3
3
4
Kontrol
Sumber Listrik
Perlakuan dengan kangkung air (Ipomoea aquatica)
Aerator
Perlakuan Lumpur Aktif dari Pabrik Tekstil PT. UNITEX + kangkung air (Ipomoea aquatica) *) 1, 2, 3, 4 = ulangan Gambar 7. Rancangan Penelitian
4
4
23
Penelitian utama dilakukan setelah limbah cair tahu melalui proses pengenceran, sebagaimana dijelaskan pada bagian 3.3.2. Adapun tahapan dalam proses penelitian utama adalah sebagai berikut. 1. Penempatan wadah Dilakukan secara acak, dengan asumsi intensitas cahaya matahari sama pada setiap wadah. 2. Pemasangan aerator Setiap wadah dihubungkan dengan aerator melalui dua buah selang. Aerator tersebut dirangkai sedemikian rupa agar dapat dihidupkan secara serentak pada semua wadah percobaan. 3. Pengisian wadah Setiap wadah diisi dengan limbah cair tahu yang telah diencerkan. Kemudian ditambahkan kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif sesuai dengan perlakuan yang diinginkan. Sehingga kemudian tersusun 12 wadah, dengan tiga perlakuan yaitu kontrol, perlakuan dengan penambahan kangkung air (Ipomoea aquatica) saja, dan perlakuan dengan penambahan kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif. Masing-masing perlakuan terdiri atas 4 wadah ulangan. 4. Pengambilan air contoh. Setelah wadah terisi, dilakukan pengaerasian secara terus menerus hingga waktu pengambilan air contoh pada masing-masing wadah dilakukan. Setiap pengambilan air contoh, aerator dimatikan selama sekitar 30 – 60 menit. Hal ini dimaksudkan agar, air contoh yang terambil adalah supernatant. Untuk pengambilan sampel awal, dilakukan
dalam selang
waktu
dua hari, sedangkan
untuk
selanjutnya pengambilan sampel berlangsung setiap empat hari sekali hingga hari keempatbelas. 5. Penanganan air contoh Selain pengamatan secara insitu berupa, suhu, pH, dan DO, dilakukan pengamatan di laboratorium untuk parameter seperti kekeruhan, TSS, DHL, BOD, dan COD
24
Tabel 3. Daftar Alat dan bahan yang digunakan dalam penelitian Kegiatan
Alat
Bahan
Pelaksanaan penelitian
Wadah
uji,
timbangan Air limbah pabrik tahu
digital, pipet volumetrik, skala rumah tangga, kangkung air (Ipomoea
bulb, aerator
aquatica), lumpur aktif industri tekstil Pengukuran suhu
Termometer
Pengukuran TSS
Vacuum
pump,
dessikator,
oven, Kertas saring Millipore
timbangan 0,45 μm, akuades
digital Pengukuran kekeruhan
Turbidimeter
-
Pengukuran DHL
SCT-meter
-
Pengukuran pH
pH meter
-
Pengukuran DO
DO meter
-
Pengukuran BOD
BOD
inkubator,
gelas
piala,
aerator, Sulfamic acid, MnSO4,
botol BOD, NaOH-KI,H2SO4 pekat,
buret, plastik hitam
amilum,akuades, nutrien
Pengukuran COD
Buret,
Erlenmeyer,
mohr
pipet H2SO4 pekat, K2Cr2O7 0,025 N, FAS 0,025 N, ferroin, akuades
Perhitungan berat basah Timbangan digital
Kangkung air (Ipomoea
kangkung air
aquatica), kertas koran
Sebagian gambar alat dan bahan yang digunakan dapat dilihat pada Lampiran 4. Percobaan ini mengadaptasi konsep rawa buatan (constructive wetlands). Menurut Haslam (1990) in
Khiatuddin (2003), ketika air yang tercemar
memasuki rawa, berbagai jenis organisme mikro dan tumbuhan air yang hidup dalam rawa akan menyerap dan mencerna sebagian bahan pencemar. Selain itu, tumbuhan rawa juga berfungsi secara tidak langsung dalam proses pembersihan air, yaitu mendukung kehidupan organisme mikro pengurai limbah. Batang,
25
cabang, dan daun tanaman akuatik yang berada di dalam genangan air akan memperluas area tempat organisme mikro menempel. Akar tumbuhan akuatik juga mengeluarkan oksigen sehingga akan terbentuk zona rizosfer yang kaya oksigen.
3.4.
Analisis Data
3.4.1 Metode analisis kualitas fisika – kimia air Untuk mengetahui kemampuan berbagai perlakuan dalam mereduksi bahan pencemar organik yang terkandung dalam limbah cair tahu, maka dilakukan pengukuran beberapa parameter sebagaimana tercantum pada Tabel 4. Pengukuran paramater tersebut dilakukan sesuai lama aerasi yang diterapkan.
Tabel 4. Metode analisis kualitas fisika-kimia air Parameter Alat/Metode FISIKA Suhu Termometer
KIMIA
Unit o C
Keterangan insitu
TSS
Gravimetri
mg/L
laboratorium
Kekeruhan
Turbidy meter
NTU
Laboratorium
DHL
SCT-meter
μS/cm
Laboratorium
BOD
Titrasi Winkler
mg/L
Laboratorium
COD
Titrasi FAS
mg/L
Laboratorium
DO
DO-meter
mg/L
Insitu
pH
pH- meter
Insitu
26
3.4.2.
Persentase perubahan nilai karakteristik limbah Persentase perubahan konsentrasi beberapa parameter kualitas air
dihitung untuk mengetahui besarnya perubahan yang terjadi pada saat awal (air limbah sebelum diolah) dan saat sesudah limbah diolah, dengan rumus sebagai berikut : a
% Perubahan
b
100 %
a
Keterangan: a = nilai konsentrasi parameter tertentu kualitas air pada saat sebelum diolah untuk masing-masing perlakuan b = nilai konsentrasi parameter tertentu kualitas air pada saat sesudah diolah untuk masing-masing perlakuan
3.4.3.
Penentuan perubahan bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica) Bobot awal (B0, dalam gram) dan bobot akhir (Bt, dalam gram) diukur,
kemudian pertambahan bobot (Δ Bt, dalam gram ) dihitung dengan rumus sebagai berikut : BT
3.4.4.
BT
B0
Analisis parameter pertumbuhan kangkung air Analisis parameter pertumbuhan kangkung air dihitung dengan
menentukan besarnya laju pertumbuhan relative (Relative Growth Rate, RGR), sebagaimana dijelaskan oleh Mitchell (1974) in Rini (1998) berikut ini : RGR
LnXt
LnXo t
Keterangan : Xt Xo t RGR
= bobot basah setelah waktu ke-t (gram) = bobot basah awal (gram) = waktu (hari) = Pertumbuhan spesifik harian (%)
27
3.4.5.
Analisis rancangan
3.4.5.1. Rancangan acak kelompok Analisis rancangan diperlukan untuk menyusun perlakuan-perlakuan yang ada sesuai dengan tujuan penelitian (Mattjik dan Sumertajaya 2006). Analisis rancangan yang digunakan pada penelitian ini adalah rancangan acak kelompok (RAK). Pada penelitian ini, empat media yang berbeda sebagai perlakuan dan lima kali waktu pengamatan sebagai kelompok. Rumus umum Rancangan acak kelompok adalah sebagai berikut (Mattjik dan Sumertajaya 2006) : Yij = μ + αi + βj + εij Keterangan : Y ij : Nilai respon pada faktor perlakuan taraf ke-i, dan faktor waktu taraf ke-j μ : Rataan umum αi : Pengaruh perlakuan taraf ke-i βj : Pengaruh kelompok waktu taraf ke-j ε ij : Pengaruh acak pada perlakuan taraf ke-i kelompok waktu taraf ke-j
Analisis data mengunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) biasanya disajikan dalam bentuk tabel sidik ragam atau disebut tabel ANOVA (Tabel 4). Pengaruh perlakuan terhadap penurunan konsentrasi bahan organik serta terhadap beberapa konsentrasi parameter kualitas air yang diukur dapat dilihat dengan uji hipotesis antara lain : Pengaruh perlakuan : H0: α1 = ... = αa = 0 (perlakuan tidak berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi bahan organik serta terhadap perubahan beberapa konsentrasi parameter kualitas air) H1: paling sedikit ada satu i dimana αi ≠ 0 (perlakuan berpengaruh terhadap penurunan konsentrasi bahan organik serta terhadap perubahan beberapa konsentrasi parameter kualitas air)
28
Tabel 5. Analisis sidik ragam RAK Sumber
Derajat
Jumlah
Kuadrat
keragaman
Bebas
Kuadrat
Tengah
(DB)
(JK)
(KT)
Fhitung
Ftabel
Perlakuan
t-1
JKP
KTP
KTP/KTS
F(0,05;DBP;DBS)
Kelompok
r-1
JKK
KTK
KTK/KTS
F(0,05;DBK;DBS)
Sisa
(t-1)(r-1)
JKS
KTS
Total
tr-1
JKT
Kesimpulan dilihat dari tabel ANOVA. Kesimpulan yang dapat diambil adalah sebagai berikut : • Jika Fhitung > Ftabel : maka tolak H0, berarti minimal ada satu perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0,05. • Jika Fhitung ≤ Ftabel : maka terima H0, berarti tidak ada perlakuan memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada taraf kepercayaan 0,05. Untuk melihat perlakuan dan kelompok waktu yang memberikan pengaruh berbeda nyata, maka dilakukan uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil).
3.4.5.2. Uji lanjut BNT (Beda Nyata Terkecil) Uji BNT digunakan untuk menguji perlakuan secara berpasangpasangan. Jika masing-masing perlakuan memiliki ulangan yang sama, maka untuk semua pasangan perlakuan hanya diperlukan satu nilai BNT. Hipotesis metode BNT adalah sebagai berikut : H0 : μ1 = μ2 ; H1 : μ1 ≠ μ2, dengan μ adalah rataan umum. Nilai BNT dinyatakan dengan rumus : BNT
(t
/ 2
, dbS ).(
2
KTS
)
n
Keterangan : BNT tα/2 KTS dbS n
= beda nyata terkecil = nilai t tabel pada selang kepercayaan α/2 (α = 0,05) = kuadrat tengah sisa = derajat bebas sisa = jumlah ulangan
29
Kriteria pengambilan keputusannya adalah jika beda absolut dari dua perlakuan lebih besar dari BNT (|Yi-Yi‟| > BNT) maka dapat disimpulkan bahwa kedua perlakuan tersebut berbeda nyata pada taraf α (tolak H0).
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kualitas Fisika Kimia Limbah Cair Tahu Selama Penelitian Pendahuluan Sebelum
dilakukan
pengolahan
inti
dengan
pengenceran
dan
penggunaan Kangkung Air serta lumpur aktif, terlebih dahulu dilakukan penelitian pendahuluan untuk mengetahui kualitas limbah cair tahu secara umum dari pabrik tersebut. Terutama untuk mengetahui nilai suhu, TSS, serta pH. Hasil tersebut dapat dilihat pada Lampiran 5. Selain itu dilakukan pula berbagai jenis pengenceran untuk mengetahui kadar pengenceran yang sesuai. Sebagaimana terlihat pada Tabel 6. di bawah ini. Tabel 6. Perbandingan Nilai Sejumlah Parameter pada Beberapa Jenis Pengenceran Parameter Satuan Banyaknya Pengenceran Baku
Baku
Tanpa
5
Mutu 1)
Mutu Pengenceran kali
100
150
kali
kali
2)
DHL
µS/cm 2250 **
-
1940
710
660
475
Kekeruhan NTU
5 ***
-
450
70
-
10
BOD
mg/l
6*
300
1758
350
18
9,92
COD
mg/L
50*
150
17158
3500
175
97,84
Keterangan : Baku Mutu 1) * Berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut. ** Berdasarkan Perda Jawa Barat No. 39 Tahun 2000 Golongan C *** Berdasarkan PPRI No. 20 Tahun 1990 Golongan A Baku Mutu 2) Standar Baku Mutu Limbah Cair Tahu menurut BBLH (1998) in Arsil dan Supriyanto (2007). Sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5b.
31
Terlihat dari Tabel 6. bahwa seiring dengan bertambahnya pengenceran, konsentrasi bahan terlarut di dalam zat pencemar akan semakin berkurang. Untuk beberapa parameter tertentu mungkin pengenceran tidak terlalu berpengaruh, akan tetapi pada parameter untuk pengukuran bahan organik seperti COD, pengenceran sebanyak 100 kali baru menunjukkan hasil yaitu sebesar 175 mg/L. Nilai tersebut masih berada di luar rentang baku mutunya, baik untuk baku mutu badan air penerima sesuai PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III maupun untuk baku mutu limbah cair tahu menurut BBLH (1995). Selain itu dengan nilai COD yang lebih rendah diharapkan proses pengolahan secara aerob dapat berlangusng dengan baik.
4.2.
Kualitas Fisika dan Kimia Limbah Cair Tahu Sebelum Diolah dan Setelah
Diencerkan
Limbah tahu yang dipergunakan dalam penelitian ini berasal dari industri tahu skala rumah tangga yang sebagian besar produksinya berupa tahu kuning. Industri ini memproduksi sekitar 17500 potong tahu berukuran kecil dan mengkonsumsi air bersih sekitar 7000-8000 L setiap harinya untuk mengolah 3,5 – 4 kwintal kedelai. Berdasarkan data dari Departemen Pertanian (2009), untuk industri tahu kuning yang memproduksi > 100 kg / hari maka limbah cair yang dihasilkan sekitar 2000 L dengan kadar pH sekitar 3, 66; TSS > 800 mg/L, DO sekitar 1,2 mg/L dan BOD sekitar 5800 mg/L. Menurut Nurhasan dan Pramudyanto (1991) in Arsil dan Supriyanto (2007) , setiap kuintal kedelai yang digunakan untuk pembuatan tahu menghasilkan air limbah 1500-2000 L, sehingga untuk 3,5 – 4 kuintal kedelai mampu menghasilkan limbah cair sebanyak 5250 – 8000 L. Dengan kondisi tersebut, limbah cair tahu yang dibuang tanpa pengolahan lebih lanjut akan menimbulkan beberapa permasalahan bagi lingkungan. Biasanya permasalahan yang timbul adalah berupa pengendapan dan peruraian bahan organiK yang jika kondisinya anaerob menimbulkan bau busuk dan timbulnya gas-gas berbahaya seperti H2S, CH4. Akibat lain, diantaranya adalah terjadinya pendangkalan, keruhnya air, dan berkembangnya bakteri patogen.
32
Selain itu juga perlu diperhatikan beban (load) yang masuk ke badan air penerima. Berdasarkan data penggunaan kedelai dan air limbah yang dihasilkan, beban yang berasal dari kegiatan industri tahu contoh dan masuk ke perairan diperkirakan sebesar 2kg/ton untuk TSS, 6kg/ton untuk BOD dan 3 kg/ton untuk COD. Apabila dibandingkan dengan beban maksimum menurut BBLH (1995) yaitu sebesar 2kg/ton untuk TSS, 6kg/ton untuk BOD dan 3 kg/ton untuk COD, maka dapat diartikan bahwa beban yang masuk telah mencapai batas maksimum dan dikhawatirkan apabila hal ini tidak segera diatasi akan mengganggu kemampuan badan air penerima untuk melakukan pemulihan Secara umum, sebagaimana disebutkan oleh Fardiaz (2003) in Sudaryati
et.al. (2008), pencemaran perairan oleh limbah cair tersebut akan menurunkan laju fotosintesis dan menurunkan kandungan oksigen terlarut yang pada akhirnya akan mengganggu ekosistem perairan tersebut dan kondisi dalam air menjadi anaerobik. Oleh karena itu diperlukan adanya pengolahan air limbah tahu yang sesuai agar ketika dibuang ke perairan, kadar bahan organiknya sudah berkurang dan diharapkan telah sesuai dengan baku mutu badan air penerima menurut peruntukkannya. Hasil analisis air limbah tahu yang belum diolah sebelum digunakan dalam penelitian inti, hampir semua parameternya melampaui baku mutu yang ditetapkan pemerintah. Adapun parameter yang nilainya berada di luar rentang baku mutu adalah suhu, TSS, pH, BOD dan COD. Untuk nilai oksigen terlarut (DO, Dissolved Oxygen), meskipun nilainya masih berada di atas ambang baku mutu minimum, namun kadarnya sudah cukup rendah dibanding kadar yang umum dijumpai di perairan umum yang tidak tercemar (lihat tabel 7).
33
Tabel 7. Kualitas limbah cair tahu sebelum dan setelah proses pengenceran Parameter
Satuan
Baku Mutu 1)
Baku Mutu 2)
Limbah Cair Tahu Sebelum diencerkan
Limbah Cair Tahu sesudah diencerkan
42.4 - 45.3
28.7
Parameter Fisika Suhu DHL
o
C
deviasi 3 *
μS/cm
1935
TSS
mg/L
2250 ** 400 *
Kekeruhan
NTU
5 ***
Parameter Kimia pH
-
6-9 *
DO
mg/L
3*
BOD
mg/L
6*
COD
mg/L
50 *
718.75
475 48
10
10
5.25
5.92
4 - 4.2
4.3
300
1758
9.92
150
17158
97.84
100
6-9
Keterangan : Baku Mutu 1) * Berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III yaitu air yang peruntukannya dapat digunakan untuk pembudidayaan ikan air tawar, peternakan, air untuk mengairi pertamanan, dan atau peruntukan lain yang mempersyaratkan air yang sama dengan kegunaan tersebut. ** Berdasarkan Perda Jawa Barat No. 39 Tahun 2000 Golongan C *** Berdasarkan PPRI No. 20 Tahun 1990 Golongan A Baku Mutu 2) Standar Baku Mutu Limbah Cair Tahu menurut BBLH (1998) in Arsil dan Supriyanto (2007). Sebagaimana tercantum dalam Lampiran 5b. Dari tabel 7 diatas terlihat bahwa suhu air limbah tahu adalah sebesar 42.4 - 45.3 o C dan melampaui baku mutu berdasarkan PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III, yang berarti apabila limbah cair tahu yang belum diencerkan tersebut dibuang ke perairan, maka akan mengganggu peruntukan perairan tersebut, dalam hal ini peruntukan perikanan. Suhu air yang relatif panas ini dihasilkan dari proses pemasakan kedelai. Tingginya suhu buangan tersebut akan mempengaruhi lingkungan perairan yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap kehidupan biologis, kelarutan oksigen dan gas lain, kerapatan air, viskositas, dan tegangan permukaan (Departemen Pertanian 2009). Apabila suhu tersebut tidak diturunkan, maka kemungkinan proses pengolahan limbah cair
34
tahu, khususnya secara biologi, tidak dapat berjalan dengan baik karena peran mikroorganisme tidak maksimal dan rendahnya kelarutan oksigen (akibat suhu yang tinggi) sebagai faktor utama dalam penguraian bahan pencemar juga akan terganggu. Setelah diencerkan, sebanyak 150 kali, suhu limbah cair tahu turun menjadi 28.7 o C. Daya hantar listrik (DHL) yang terkandung dalam limbah cair tahu yang belum diolah yaitu sebesar 1935 μS/cm masih berada di bawah baku mutu yang ditetapkan pemerintah, yaitu sebesar 2250 μS/cm . Nilai DHL merupakan gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh terhadap nilai DHL. Nilai DHL tersebut berhubungan erat dengan nilai padatan terlarut total atau Total Dissolved Solid (TDS). Nilai TDS dapat diperkirakan dengan mengalikan nilai DHL dengan bilangan 0,55 – 0,75 (Canadian Water Quality Guidelines, 1987 in Effendi, 2003). Pada limbah cair tahu, bahan-bahan yang memberi kontribusi terhadap nilai DHL adalah pengunaan cuka (CH3COOH), garam, batu tahu (CaSO4), maupun kunyit yang digunakan sebagai pengawet alami. Hasil pengenceran terhadap limbah cair tahu (sebanyak 150 kali) menyebabkan turunnya nilai DHL menjadi 475 μS/cm. Hal ini disebabkan oleh penurunan konsentrasi ion terlarut. Nilai padatan tersuspensi total atau Total Suspended Solid (TSS) air limbah tahu sebelum diencerkan adalah sebesar 718.75 mg/L, nilai ini hampir dua kali lebih besar dari baku mutu menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III yaitu sebesar 400 mg/L dan juga lebih besar dari standar baku mutu limbah cair tahu menurut BBLH (1998) in Arsil dan Supriyanto (2007) yaitu sebesar 100 mg/L. . t. Nilai tersebut menunjukkan bahwa dalam proses produksinya, industri tahu ini belum mampu meminimalisir masukan limbah yang umumnya berasal dari sisasisa ampas tahu yang terbuang/terbawa bersama limbah cairnya. Adapun setelah diencerkan nilai TSS tersebut turun menjadi 48 mg/L Nilai pH pada limbah cair tahu yang belum diolah adalah sebesar 5,25. dan ini masih berada diluar nilai baku mutu sebesar 6-9.
Namun setelah
diencerkan, nilai pH meningkat menjadi 5,92. Rendahnya nilai pH pada air limbah tahu disebabkan oleh adanya penggunaan cuka di dalam proses
35
pembuatan tahu. Menurut Boyd (1982), nilai pH akan berpengaruh pada laju dekomposisi bahan organik. Pada air yang nilai pH nya asam, proses dekomposisi bahan organik akan lebih lambat dibandingkan pada pH netral atau sedikit basa. Dari kenyataan demikian, maka air limbah tahu, sebelum diolah, sebaiknya di naikkan dulu pHnya, misal dengan penambahan kapur. Nilai oksigen telarut atau Dissolved Oxygen (DO) pada limbah cair tahu sebelum di olah bernilai 4 - 4.2 mg/L. Adanya pengenceran (sebesar 150 kali) terhadap air limbah ini ternyata tidak menimbulkan kenaikan DO yang cukup berarti, yaitu hanya menjadi 4,3 mg/l. Namun demikian nilai DO baik sebelum maupun setelah diencerkan telah berada sedikit di atas nilai minimal baku mutu yaitu sebesar 3 mg/L. Menurut Miller (1998) in Khiatuddin (2003) , dengan nilai 4 - 4.2 mg/L, air libah tahu dapat dikategorikan telah mengalami tingkat pencemaran berat. Nilai oksigen terlarut sangat mempengaruhi penguraian bahan organik karena oksigen dimanfaatkan oleh mikroba untuk mengoksidasi bahan organik. Apabila oksigen yang tersedia tidak mencukupi maka proses pendekomposisian
tidak
dapat
berlangsung secara anaerob).
berlangsung
dengan
sempurna
(yaitu
Proses pendekomposisian secara anaerob
berlangsung lambat dan menghasilkan produk yang masih berupa bahan organik. Nilai BOD (Biochemical Oxygen Demand) dan COD (Chemical Oxygen Demand) limbah cair tahu yang belum diolah ternyata sangat tinggi , yaitu 1758 mg/L (untuk BOD) dan 17.158 mg/L (untuk COD). Kedua nilai ini jauh berada di atas baku mutu menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III (yaitu sebesar 6 mg/L untuk BOD dan 50 mg/L untuk COD) serta standar baku mutu untul limbah cair industri tahu sebesar 300 mg/L untuk BOD dan 150 mg/L untuk COD (BBLH 1998 in Arsil dan Supriyanto 2007). Namun setelah diencerkan, nilai BOD ini telah turun secara nyata menjadi 9,92 mg/l dan COD menjadi 97,84 mg/L. Nilai BOD dan COD yang demikian tinggi pada limbah cair tahu yang belum diencerkan, menggambarkan betapa pekatnya bahan organik yang terkandung di dalamnya (di duga berasal dari bahan baku tahu berupa kedele dan adanya penggunaan cuka). Sehingga untuk mengolah limbah cair semacam ini secara biologi-aerobik akan sangat sulit, kecuali disertai pengolahan anaerobik yang berlangsung lambat.
36
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa meskipun pengenceran terhadap limbah cair tahu sebanyak 150 kali telah berhasil menurunkan konsentrasi semua parameter pencemar kualitas air, namun tidak semua parameter tersebut telah berada di atas kelayakan baku mutu yang ditetapkan pemerintah.
Nilai kekeruhan, pH, BOD dan COD air limbah yang telah
diencerkan ternyata masih berada di atas baku mutu menurut PPRI No. 82 Tahun 2001 Kelas III . Sehingga dengan demikian, melalui penelitian ini, diperlukan
pengolahan
lebih
lanjut
agar
keempat
parameter
di
atas
konsentrasinya dapat berada pada batas kelayakan baku mutu yang ditetapkan pemerintah sebelum dibuang ke perairan umum.
4.3.
Kualitas Fisika – Kimia Air Limbah Tahu Setelah Diolah Data hasil pengukuran parameter kualitas fisika – kimia limbah cair tahu
untuk masing-masing perlakuan dan lamanya waktu aerasi sejak sebelum diolah hingga setelah diolah secara rinci dapat dilihat pada Lampiran 7.
4.3.1.
Parameter fisika air limbah
4.3.1.1. Suhu Pada gambar 8 terlihat bahwa suhu air limbah tahu saat telah diencerkan (awal, atau hari ke 0) hingga mengalami berbagai perlakuan pengolahan
selama 14 hari, telah berada pada kisaran baku mutu yang
ditetapkan pemerintah (Kelas III menurut PPRI No. 82 Tahun 2001), yaitu sudah layak dibuang ke perairan umum. Suhu air selama waktu pengolahan memperlihatkan adanya fluktuasi, namun semua ini diduga bersifat alami sebagai akibat adanya variasi cuaca di sekitar lokasi penelitian.
37
Suhu 32
Suhu (Celcius)
30 Kontrol 28
Kangkung
26
Kangkung-Lumpur Aktif Baku Mutu * Min
24
Baku Mutu * Max 22 20 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Hari Pengamatan
Gambar 8 . Grafik nilai rataan suhu selama penelitian Menurut standar baku mutu limbah cair tahu (Baku Mutu **), nilai suhu limbah cair tahu yang diencerkan telah sesuai dengan standar tersebut karena berada di bawah suhu 38 o C. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,0305 atau Sig. P > 0,05 . Hal ini berarti nilai suhu tidak berbeda nyata antar perlakuan. Untuk kelima waktu pengaerasian, nilai signifikan p sebesar 2,46 x 10
-13
atau Sig p <
0,05. Berarti nilai suhu berbeda nyata antar waktu pengaerasian (Lampiran 7).
4.3.1.2. DHL (Daya Hantar Listrik) Nilai DHL merupakan gambaran numerik dari kemampuan air untuk meneruskan aliran listrik. Semakin banyak garam-garam terlarut yang dapat terionisasi, semakin tinggi pula nilai DHL. Reaktivitas, bilangan valensi, dan konsentrasi ion-ion terlarut sangat berpengaruh terhadap nilai DHL (Effendi 2003).
38
Gambar 9. Grafik nilai rataan DHL selama penelitian
Terlihat dari grafik di atas bahwa nilai DHL mengalami penurunan sejak awal pengamatan. Nilai DHL menggambarkan keberadaan ion-ion terlarut di perairan berupa bahan anorganik/mineral. Fluktuasi nilai DHL diduga disebabkan oleh penguraian bahan organik menjadi bahan anorganik, pemanfaatan bahan anorganik/mineral tersebut oleh tanaman air, serta adanya sedikit tambahan dari kandungan lumpur aktif. Secara umum, nilai DHL dari ketiga perlakuan telah memenuhi baku mutu berdasarkan Perda Jabar No. 39 Th 2000 dan dikategorikan aman untuk kegiatan perikanan. Menurut Levlin (2008), keragaman nilai DHL dalam air limbah dapat disebabkan oleh adalanya keragaman kandungan ion. Ion yang mempengaruhi nilai DHL adalah hidrogen (H+), hidroksida (OH-) dan nutrien seperti fosfat dan nitrat. Kontribusi ion fosfat pada DHL bergantung pada kadar pH. Aguado et al (2006), Murer och Gujer (1995) in Levin (2008) menyatakan bahwa proses utama yang mengurangi nilai DHL dalam pengolahan air limbah adalah pengurangan nutrien secara biologis (Biological Nutrient Removal). Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,0880 atau Sig P > 0,05. Hal ini berarti nilai DHL tidak berbeda nyata untuk ketiga perlakuan. Berbeda halnya dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu pengaerasian.
39
Dengan nilai 4,21 x 10-6 atau Sig P < 0,05, menunjukkan bahwa kelima waktu pengaerasian memiliki nilai DHL yang berbeda nyata (Lampiran 7).
4.3.1.3. TSS (Total Suspended Solid) Padatan tersuspensi total atau Total Suspended Solid (TSS) mengandung zat-zat organik yang pada umumnya terdiri dari protein, gangga, dan bakteri (Ginting 2007).
Gambar 10 . Grafik nilai rataan TSS selama penelitian
Grafik diatas menunjukkan bahwa selama penelitian berlangsung, nilai TSS telah berada dalam rentang baku mutu dan tergolong aman untuk kegiatan perikanan menurut PPRI No. 82 tahun 2001 (400 mg/L) dan juga telah sesuai dengan dari standar baku mutu limbah cair tahu menurut BBLH (1998) in Arsil dan Supriyanto (2007) yaitu sebesar 100 mg/L . Hal ini turut dipengaruhi pengenceran pada pengolahan limbah awal. Nilai TSS yang fluktuatif selain disebabkan oleh kandungan bahan penyusun limbah itu sendiri dan mikroorganisme di dalamnya juga diduga dipengaruhi oleh masukan tanaman air yang mati dan terurai dalam media olahan terutama pada pengamatan terakhir.
40
Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,4670 yang berarti nilai Sig p > 0,05 menunjukkan bahwa ketiga perlakuan tersebut tidak memberikan nilai TSS yang berbeda nyata. Untuk nilai signifikan p pada waktu pengaerasian sebesar 2, 74 x 10
-6-
yang berarti nilai sig nifikan p < 0,05,
menunjukkan bahwa pengaruh waktu pengaerasian memberikan nilai TSS yang berbeda nyata (Lampiran 7.).
4.3.1.4. Kekeruhan Kekeruhan merupakan salah satu sifat optik
yang ditentukan
berdasarkan banyaknya cahaya yang diserap dan dipancarkan oleh bahan-bahan yang terdapat dalm air. Kekeruhan disebabkan oleh adanya bahan organik dan anorganik yang tersuspensi dan terlarut, maupun bahan anorganik dan organik yang berupa plankton dan mikroorganisme lain (APHA 1976; Davis dan Cornwell 1991 in Effendi 2003).
Kekeruhan 12
Kekeruhan (NTU)
10 Kontrol
8
Kangkung
6
Kangkung-Lumpur Aktif
4
Baku Mutu
2 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Hari Pengamatan ke-
Gambar 11 . Grafik nilai rataan kekeruhan selama penelitian
Berdasarkan grafik di atas, pada awal pengamatan nilai kekeruhan sangat besar dan berada di atas baku mutu menurut PPRI No. 20 Tahun 1990 untuk Golongan A. Setelah diberi perlakuan dan diaerasi, berangsur-angsur nilai
41
kekeruhan turun. Hal ini diduga bahan-bahan yang tersuspensi telah mengendap,
sebagaimana menurut
Effendi
(2003),
padatan
tersuspensi
berkorelasi positif dengan kekeruhan, sehingga ketika supernatant diambil, kondisinya telah cukup jernih. Akan tetapi, tidak demikian halnya dengan padatan terlarut. Tingginya padatan terlarut tidak selalu diikuti dengan kekeruhan yang tinggi. Nilai kekeruhan yang cukup rendah juga berpengaruh terhadap pertumbuhan kangkung karena kekeruhan merupakan faktor yang sangat penting dalam pertumbuhan kangkung. Batang kangkung dapat membusuk dan mati apabila air yang dijadikan media adalah air yang keruh. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,1234 atau Sig. p > 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar pH tidak berbeda nyata antar ketiga perlakuan. Berbeda halnya dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu pengaerasian yang menunjukkan nilai Sig p < 0,05.
4.3.2
Parameter kimia air limbah
4.3.2.1. pH Pada umumnya, bakteri tumbuh dengan baik pada pH netral dan alkalis, sedangkan jamur menyukai pH asam. Oleh karena itu, proses penguraian bahan organik berlangsung lebih cepat pada kondisi pH netral dan alkalis (Effendi 2003).
42
pH 10 9 Kontrol
Nilai pH
8
Kangkung
7
Kangkung-Lumpur Aktif 6
Baku Mutu Max
5
Baku Mutu Min
4 3 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Hari Pengamatan ke-
Gambar 12. Grafik nilai rataan pH selama penelitian
Grafik di atas menunjukkan bahwa selama penelitian berlangsung, pH cenderung mengalami kenaikan. Pada pengamatan pertama, kadar pH masih berada sedikit di luar rentang baku mutu. Untuk pengamatan kedua dan seterusnya, kadar
pH telah sesuai dengan baku mutu. Hal ini diduga
disebabkan oleh adanya pengaruh dari difusi langsung dari udara, pengaerasian dan juga penambahan tanaman air pada media olahan limbah. Oksigen terlarut yang masuk melalui proses-proses tersebut berperan dalam reaksi kimia yang terjadi, sehingga berangsur-angsur pH yang semula asam lebih mengarah ke netral atau alkalis. Dalam kondisi netral atau alkalis tersebut, bakteri pun lebih mudah hidup, sehingga proses penguraian bahan organik pun menjadi lebih optimal. Selain itu menurut Dhahiyat (1990), perubahan pH dari asam menjadi cenderung alkalis disebabkan adanya penguraian bahan organik yaitu protein menjadi ammonia yang bersifat alkalis. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,9989 atau Sig. p > 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa kadar pH tidak berbeda nyata antar ketiga perlakuan. Berbeda halnya dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu pengaerasian yang menunjukkan nilai Sig p < 0,05, yang berarti bahwa kadar pH berbeda nyata antar waktu pengaerasian (Lampiran 4).
43
4.3.2.2. Oksigen terlarut / Dissolved oxygen (DO) dan Biochemical Oxygen Demand (BOD) Kadar oksigen terlarut dipengaruhi oleh suhu, salinitas, turbulensi, dan tekanan atmosfer. Selain itu
kadar oksigen terlarut juga berfluktuasi secara
harian dan musiman, tergantung pada percampuran, pergerakan massa air, aktivitas fotosintesis, respirasi, dan limbah yang masuk ke badan air (Effendi 2003). Peningkatan suhu sebesar 1o C akan meningkatkan konsumsi oksigen sekitar 10 % (Brown 1987 in Effendi 2003). Dekomposisi bahan organik dan oksidasi bahan anorganik dapat mengurangi kadar oksigen terlarut hingga mencapai nol (anaerob) (Effendi 2003).
DO
Nilai DO (mg/L)
9 8 7 6
Kontrol
5 4
Kangkung
3 2
Baku Mutu
Kangkung-Lumpur Aktif
1 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Hari Pengamatan ke-
Gambar 13 . Grafik nilai rataan DO selama penelitian
Terlihat dari grafik di atas bahwa kadar oksigen terlarut mengalami fluktuasi akan tetapi tidak terlalu signifikan. Secara umum, kadar oksigen terlarut yang diperoleh selama penelitian telah berada di atas batas minimal menurut baku mutu PPRI No. 82 Tahun 2001 Untuk Kelas III. Di awal pengamatan, oksigen terlarut berada pada nilai terendah. Pada pengamatan berikutnya, nilai oksigen terlarut mengalami kenaikan dan cenderung stabil. Hal tersebut diduga dipengaruhi oleh faktor aerasi yang memungkinkan terjadinya difusi oksigen melalui proses turbulensi. Selain itu, proses fotosisntesis yang
44
dilakukan tanaman air juga turut mempengaruhi oksigen terlarut yang masuk ke media olahan. Akar tanaman air juga mengeluarkan oksigen, sehingga akan terbentuk zona rizosfer yang kaya akan oksigen di seluruh permukaan rambut akar. Oksigen tersebut mengalir ke akar melalui batang setelah berdifusi dari atmosfer melalui pori-pori daun (Brix 1987 in Khiatuddin 2003). Proses pendekomposisian bahan organik mempengaruhi turunnya kadar oksigen terlarut. Ketika sebuah senyawa kompleks masuk ke dalam perairan, maka proses kimia yang terjadi adalah penguraian senyawa kompleks tersebut menjadi senyawa yang sederhana. Proses ini dilakukan oleh mikroorganisme aerob yang menyerap oksigen dalam jumlah besar (Khiatuddin 2003). Proses respirasi oleh tanaman air juga menurunkan kelarutan oksigen (Welch 1952). Sehingga dapat dilihat dalam grafik bahwa untuk perlakuan dengan penambahan tanaman air berupa kangkung, cenderung memiliki kelarutan oksigen yang lebih rendah dibandingkan dengan perlakuan kontrol. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,0245 yang berarti nilai Sig.p < 0,05. Hal tersebut menunjukkan bahwa nilai oksigen terlarut berbeda nyata untuk ketiga perlakuan. Hal serupa ditunjukkan oleh nilai signifikan p untuk kelima waktu pengaerasian dengan nilai 0,0042.
Gambar 14 . Grafik nilai rataan BOD selama penelitian
45
BOD menggambarkan jumlah oksigen terlarut yang dibutuhkan oleh organisme pengurai aerob untuk menurunkan bahan organik dalam jangka wkatu tertentu pada suhu konstan 20 OC. Ini berarti semakin tinggi nilai BOD semakin tercemar air tersebut, karena proses penguraian bahan organik akan semakin banyak menghabiskan oksigen terlarut (Khiatuddin 2003).
Grafik di
atas menunjukkan bahwa pada awal penelitian, kadar BOD masih lebih tinggi dari baku mutu menurut PPRI No.82 tahun 2001 sebesar 6 mg/L tetapi sudah berada di bawah dari standar baku mutu limbah cair tahu menurut BBLH (1998) in
Arsil dan Supriyanto (2007) sebesar 300 mg/L.
Hal tersebut diduga
disebabkan oleh tingginya bahan organik yang terkandung dalam limbah cair tahu
sementara kadar oksigen terlarut yang dibutuhkan belum mencukupi.
Kondisi tersebut menyebabkan mikroba yang dapat menguraikan bahan organik tersebut belum optimal dalam jumlah maupun kemampuan mendekomposisi. Menurut CIESE (2009), nitrat dan fosfat berkontribusi dalam tingginya kadar BOD dan berperan sebagai unsur hara bagi tanaman untuk tumbuh dengan cepat. Ketika tanaman tumbuh dengan cepat, maka tanaman tersebut akan mati dengan cepat pula. Hal ini berperan dalam penambahan bahan organik yang kemudian akan didekomposisi oleh bakteri. Suhu perairan juga berperan dalam peningkatan nilai BOD mengingat laju fotosintesis alga dan tanaman air akan meningkat seiring dengan penambahan suhu yang kemudian akan berimplikasi terhadap siklus hidup tanaman tersebut. Pada perlakuan dengan tambahan kangkung dan lumpur aktif, kadar BOD cenderung lebih tinggi karena selain adanya pengaruh bahan organik terlarut yang banyak terdapat pada limbah tahu seperti asam amino, peptida, dan protein, kadar BOD juga dipengaruhi oleh adanya bahan organik tersuspensi berupa sisa-sisa tanaman air dan hewan yang telah mati. Pada bak kontrol, nilai BOD memiliki pola yang sama walaupun nilainya lebih kecil hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya bahan organik yang disebabkan oleh mikroorganisme yang telah mati dan berakumulasi. Menurut Gerardi (2006), dalam limbah juga terdapat mikroorganisme berupa bakteri yang berperan penting dalam proses pengolahan limbah. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,4612 ( p > 0,05)
46
yang berarti nilai BOD tidak berbeda nyata. Berbeda halnya dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu pengaerasian yang menunjukkan nilai p < 0,05 yaitu sebesar 4,2594 x 10-9 .
4.3.2.3. COD (Chemical Oxygen Demand) COD (Chemical Oxygen Demand) merupakan penggambaran jumlah total oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis maupun yang sukar didegradasi secara biologis menjadi CO2 dan H2O (Effendi 2003). Pengukuran COD dilakukan untuk mengatasi kendala dalam pengukuran BOD seperti adanya racum atau logam tertentu yang menghambat mikroba yang menjadi agen utama pendekomposisian bahan organik.
COD 160
Nilai COD (mg/L)
140 120
Kontrol
100
Kangkung
80
Kangkung-Lumpur Aktif
60
Baku Mutu*
40
Baku Mutu**
20 0 0
2
4
6
8
10
12
14
16
Hari Pengamatan ke-
Gambar 15. Grafik rataan nilai COD selama penelitian
Grafik diatas menunjukkan gambaran umum penurunan nilai COD selama penelitian. Nilai COD yang diperoleh masih berada di atas baku mutu (*) menurut PPRI No. 82 tahun 2001 yaitu sebesar 50 mg/L walaupun mengalami penurunan yang cukup signifikan apabila dibandingkan dengan awal penelitian. Hal tersebut disebabkan oleh tingginya kandungan bahan organik pada limbah cair tahu baik yang dapat terurai secara biologis maupun yang tidak. Akan
47
tetapi, secara umum, setelah mengalami proses pengenceran dan selama penelitian, nilai COD berada di bawah standar baku mutu limbah cair tahu menurut BBLH (1998) in Arsil dan Supriyanto (2007) yaitu sebesar 150 mg/L. Nilai COD pada perlakuan kontrol cenderung lebih rendah dibandingkan dengan dua perlakuan lainnya yaitu perlakuan kangkung dan perlakuan kangkung-lumpur aktif. Pada perlakuan kangkung, nilai COD turut dipengaruhi oleh sisa-sisa tanaman air yang masuk ke media pengamatan dan juga mikroba yang telah mati terutama mikroba yang hidup di akar tanaman air tersebut. Pada perlakuan dengan tambahan lumpur aktif, nilai COD cenderung lebih tinggi. Mengingat lumpur aktif yang digunakan berasal dari kegiatan industri tekstil, maka diduga terdapat tambahan logam berat dan bahan-bahan beracun lainnya yang dapat mengganggu kegiatan pendekompoisisian oleh mikroba. Mikroba yang hidup di perakaran tanaman air pun dapat terganggu oleh keberadaan racun dan logam tersebut sehingga akhirnya mati dan berkontribusi terhadap tingginya nilai COD. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk ketiga perlakuan sebesar 0,6547 (p > 0,05) yang berarti bahwa nilai COD untuk ketiga perlakuan tidak berbeda nyata. Berbeda halnya dengan nilai signifikan p untuk kelima waktu pengaerasian yang menunjukkan nilai < 0,05 sehingga nilai COD berbeda nyata untuk kelima waktu pengaerasian (Lampiran 7.).
4.4.
Perubahan bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica) Menurut Stowell (2000) in Yusuf (2008), tanaman air memiliki
kemampuan secara umum untuk menetralisir komponen-komponen tertentu dalam perairan, dan hal tersebut sangat bermanfaat dalam proses pengolahan limbah cair. Hal tersebut diperkuat oleh Reed (2005) in Yusuf (2008), proses pengolahan limbah cair dalam kolam yang menggunakan tanaman air terjadi proses penyaringan dan penyerapan oleh akar dan batang tanaman air, proses pertukaran dan penyerapan ion, serta berperan dalam menstabilkan pengaruh iklim, angin, cahaya matahari, dan suhu
48
Biomassa Kangkung (gr)
Bobot Basah Kangkung 150 125 100 W0
75
W14
50 25 0 Kangkung
Kangkung-Lumpur Aktif Perlakuan
Gambar 16. Diagram batang rataan bobot basah kangkung ((Ipomoea aquatica) selama penelitian
Dari diagram di atas terlihat bahwa biomassa kangkung mengalami penambahan selama penelitian. Hal tersebut diduga disebabkan oleh adanya pemebentukan jaringan-jaringan baru baik berupa, daun, batang, maupun akar. Kandungan unsur hara dalam limbah cair tahu yang diperoleh dari hasil penguraian bahan organik oleh mikroorganisme diserap oleh kangkung dan dijadikan sebagai sumber untuk pembentukan jaringan baru tersebut. Selain itu, suhu dan pH lingkungan yang sesuai juga membantu pertumbuhan kangkung tersebut. Di tempat yang mengandung bahan organik tinggi, tanaman ini akan tumbuh subur dengan kisaran pH 5.5-6.5 (Ismanto 2005). Menurut Rini (1998), faktor terpenting dalam pertumbuhan kangkung adalah suhu. Di daerah tropika basah, kangkung dapat tumbuh dengan baik pada suhu 28 – 35 o C. Pada perlakuan kangkung maupun kangkung-lumpur aktif tidak terdapat perbedaan pada pertambahan biomassa yang signifikan. Diduga bahwa penambahan lumpur aktif tidak terlalu berpengaruh dalam penguraian bahan organik menjadi bahan anorganik/unsur hara yang dapat diserap oleh kangkung tersebut. Akan tetapi apabila pengolahan dengan lumpur aktif pabrik tekstil ditambahkan dalam skala besar, maka kangkung yang ditumbuhkan dalam media tersebut tidak dapat dikonsumsi mengingat dalam kandungan
49
lumpur aktif tersebut terkandung bahan-bahan yang dalam konsentrasi tertentu dapat membahayakan kesehatan. Berdasarkan hasil uji F dengan selang kepercayaan 95 % (α 0,05) diperoleh nilai signifikan p untuk kedua perlakuan sebesar 0,6234 yang berarti p > 0,05 sehingga pertambahan biomassa tidak berbeda nyata pada kedua perlakuan (Lampiran 7.) Tabel 8. Perbandingan pertambahan bobot basah kangkung berdasarkan waktu retensi dan jenis limbah Sumber Jenis Limbah Waktu Perlakuan % Pertambahan Retensi Bobot Basah RataRata Rini Limbah PT. 1 hari Kangkung air 5.87 (5.87 % per (Ipomoea aquatica) hari) (1998) INAGRO 3 hari Kangkung air 3.06 (1.02 % per (Ipomoea aquatica) hari) 6 hari Kangkung air 2.17 (0.36% per (Ipomoea aquatica) hari) Ulfa (2009)
Limbah kantin 3 hari buatan 3 hari
Penulis (2010)
Limbah cair 14 hari tahu yang diencerkan 14 hari
Kangkung air (Ipomoea aquatica) Kangkung air (Ipomoea aquatica) – Bacillus sp. Kangkung air (Ipomoea aquatica)
8 (2.67 % per hari) 5.2 (1.73 % per hari) 25.55 (1.83 % per hari)
Kangkung air 25.04 (1.79 % per (Ipomoea aquatica) hari) + Lumpur aktif
Tabel 8 diatas menyajikan perbandingan % pertambahan bobot basah Kangkung air rata-rata (Ipomoea aquatica) yang dilihat berdasarkan jenis limbah sebagai media tumbuhnya, waktu retensi, dan perlakuan dalam tiap pengolahan limbah. Terlihat bahwa semakin lama waktu retensi, bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica) cenderung mengalami peningkatan. Pada pengolahan limbah PT. INAGRO, pertambahan bobot basah Kangkung air (Ipomoea aquatica), cenderung menurun seiring dengan bertambahnya waktu retensi. Hal ini diduga disebabkan oleh penurunan nutrien yang bermanfaat bagi pertumbuhan kangkung karena telah dimanfaatkan untuk pertumbuhan dan adaptasi pada
50
waktu retensi awal atau dijadikan cadangan nutrien untuk pertumbuhan pada waktu selanjutnya. Pada pengolahan limbah kantin dan kimbah cair tahu, persentase pertambahan bobot basah rata-rata cenderung meningkat. Hal ini diduga terkait dengan cukupnya nutrien yang dibutuhkan oleh Kangkung air (Ipomoea aquatica). Pada kedua pengolahan limbah tersebut juga ditambahkan pengaerasian yang sangat berguna dalam menyuplai oksigen dan secara tidak langsung membantu proses pendekomposisian bahan organik hingga akhirnya dapat diserap oleh Kangkung air (Ipomoea aquatica), dalam bentuk unsur hara. Persentase penambahan bobot basah rata-rata yang semakin besar seiring dengan bertambahnya waktu retensi juga terkait dengan adanya penambahan jaringan, terutama di bagian akar.
Gambar 17. Akar tanaman Kangkung Air (Ipomoea aquatica) Sumber : http:// http://dolite.blogspot.com/2009_10_01_archive.html
4.5.
Pengaruh pengenceran pada kualitas air limbah Kualitas air limbah ditentukan dari banyaknya parameter dalam limbah
dan konsentrasi setiap parameter. Semakin banyak volume air yang bercampur dengan limbah maka semakin kecil konsentrasi pencemar. Volume air akan menentukan konsentrasi bahan pencemar. Bahan pencemar dari suatu pabrik tergantung kepada banyaknya bahan-bahan yang terbuang. Dengan asumsi bahwa semua terkendali dengan baik Pengendalian hanya terbatas pada bahan pencemar tidak dapat dihindari, maka konsentrasi bahan pencemar telah dapat diperkirakan
jumlahnya.
Penambahan
volume
air hanya menyebabkan
51
kosnentrasi turun. Dengan kata lain, pengenceran menyebabkan konsentrasi turun (Rahayu, 2009). Dari hasil pengenceran yang dilakukan sebanyak 150 kali dalam penelitian ini, hampir semua parameter fisika dan kimia telah memenuhi baku mutu, kecuali untuk BOD dan COD. Pengenceran dilakukan agar kualitas limbah tersebut sesuai untuk media tumbuh mikroorganisme dan juga kangkung Air (Ipomoea aquatica). Sebagai pembanding dapat dilihat pada penelitian yang dilakukan oleh Dhahiyat (1990), dengan menggunakan tanaman air berupa Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dalam pengolahan limbah cair tahu. Limbah
tahu tersebut mengalami
pengenceran sebanyak 8 kali dengan maksud menyesuaikan pH limbah yang semula asam menjadi netral sehingga Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) dapat tumbuh dengan baik. Perbandingan kedua penelitian tersebut, dapat dilihat pada Tabel. 9 berikut. Tabel 9. Perbandingan pengolahan limbah cair tahu dengan menggunakan Kangkung Air (Ipomoea aquatica) dan Eceng Gondok (Eichhornia crassipes) Sumber
Jenis tanaman air
Waktu retensi
Luas penutupan
Efektivitas penurunan BOD
Penulis (2010)
Kangkung Air (Ipomoea aquatica)
Dua minggu
70 %
47,25 %
Efektivitas Penuruna n COD 87,89 %
Dhahiyat (1990)
Eceng Gondok (Eichhornia crassipes)
Satu minggu
50 %
84,6 %
55,62 %
Ket
(+) Lumpur Aktif
Dalam aplikasi di kehidupan nyata, pengenceran limbah tidak boleh dilakukan apabila dimaksudkan untuk mengurangi nilai konsentrasi bahan pencemar sebelum dibuang ke perairan sebagaimana tercantum dalam pasal 17 (2) Peraturan Pemerintah No 20 Tahun 1990 Tentang Pengendalian Pencemaran Air. Selain itu apabila pengenceran terlalu besar akan dibutuhkan air dalam jumlah yang cukup besar. Hal ini berdampak pada peningkatan biaya penyediaan air sehingga mengurangi efisiensi biaya produksi.
52
4.6.
Pemanfaatan limbah industri tahu Limbah tahu terdiri dari limbah cair dan limbah padat. Limbah padat
sudah banyak dimanfaatkan menjadi pakan ternak, bahan baku pembuatan oncom, ataupun tempe gembus.
Berbeda dengan limbah padat yang telah
banyak dimanfaatkan, limbah cair tahu pada umumnya langsung dibuang begitu saja ke perairan. Dengan rata-rata limbah cair yang dihasilkan sebesar 3000 – 5000 liter untuk setiap pengolahan 1 ton tahu, maka pencemaran yang disebabkan oleh limbah cair tahu akan sangat besar. Selain mempengaruhi perairan tempat limbah tersebut dibuang, simpanan air tanah juga akan terkena dampaknya (Raliby et al. 2009). Limbah cair tahu mempunyai kandungan metana lebih dari 50%, sehingga sangat memungkinkan sebagai bahan baku sumber energi biogas. Secara reguler waktu yang diperlukan untuk memfermentasi limbah cair tahu menjadi gasbio mencapai 3 minggu tergantung pada kualitas limbahnya. Gas metana merupakan bahan dasar pembuatan biogas. Biogas adalah gas pembusukan bahan organik oleh bakteri pada kondisi anaerob. Gas ini tidak berbau, tidak berwarna, dan sangat mudah terbakar. Biogas sebanyak 1000 ft3 (28,32 m3) mempunyai nilai pembakaran yang sama dengan galon (1 US gallon = 3,785 liter) butana atau 5,2 gallon gasolin (bensin) atau 4,6 gallon minyak diesel. Untuk memasak pada rumah tangga dengan 4-5 anggota keluarga cukup 150 ft3 per hari (Dewanto 2008 in Raliby et al. 2009).
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1.
Kesimpulan Secara umum, dengan pengenceran sebanyak 150 kali sebagai perlakuan
pendahuluan, seluruh parameter fisika dan kimia pada limbah cair tahu telah sesuai dengan baku mutu. Pengenceran tersebut dimaksudkan agar parameter fisika kimia yang ada telah sesuai dengan syarat kondisi yang dibutuhkan untuk pertumbuhan Kangkung Air (Ipomoea aquatica), dan pertumbuhan mikroorganisme agar proses pengolahan limbah cair tahu ini dapat berlangusng dengan baik. Jumlah pengenceran yang dilakukan tidak selalu persis sama untuk limbah cair tahu yang berasal dari pabrik yang berbeda terkait dengan perbedaan bahan baku dan juga proses yang terjadi di dalamnya. Adapun dari ketiga perlakuan dalam pengolahan limbah, kontrol, kangkung air (Ipomoea aquatica), serta kombinasi antara kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif, tidak terlihat adanya perbedaan yang signifikan tetapi selama 14 hari pengamatan terlihat perubahan dalam nilai dan konsentrasi parameter fisika dan kimia yang diamati. Diduga pengaruh aerasi yang diberikan secara kontinyu berkontribusi dalam perubahan nilai dan konsentrasi parameterparameter tersebut meskipun perlakuan yang diterapkan berbeda-beda. Dari pengamatan terhadap bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica), terdapat pertambahan bobot selama masa pengamatan. Hal ini diduga terkait dengan pemanfaatan nutrien yang merupakan hasil dari dekomposisi bahan organik pada limbah cair tahu. Berdasarkan hal tersebut dapat disimpulkan bahwa, kangkung air (Ipomoea aquatica) dapat digunakan dalam mengolah limbah cair tahu setelah limbah tersebut diencerkan terlebih dahulu. Adapun kombinasi antara kangkung air (Ipomoea aquatica) dan lumpur aktif pabrik tekstil ternyata tidak terlalu signifikan pengaruhnya dengan perlakuan tanpa penambahan lumpur aktif. Terlihat dari bobot basah kangkung air (Ipomoea aquatica) dan parameter fisika kimia limbah yang tidak terlalu berbeda.
54 5.2.
Saran Mengujicobakan
pengaruh
kangkung
air
(Ipomoea
aquatica)
pada
pengenceran serta waktu retensi yang berbeda agar dapat diketahui pemanfaatan kangkung air (Ipomoea aquatica) dalam mengolah limbah cair tahu secara lebih optimal. Untuk penerapan dalam kegiatan pengolahan limbah pada industri tahu, mengingat karakteristik limbah cairnya yang cukup sulit diolah, pengenceran yang cukup tinggi akan berdampak pada kebutuhan jumlah air yang cukup besar sehingga diperlukan kombinasi dari jenis pengolahan limbah misalnya secara fisik dan biologi agar pengolahan lebih efektif dan efisien. Selain itu diperlukan pula perbaikan dalam proses pembuatan tahu itu sendiri agar limbah yang dihasilkan bisa diminimalisir. Selain itu perlu juga diperhatikan standar baku mutu yang dipergunakan, agar sesuai dengan standar limbah industri dan juga standar peruntukan perairan yang menjadi tempat pembuangan limbah cair dari kegiatan industri tersebut.
55
DAFTAR PUSTAKA Al-Rekabi WS, Qiang He, Qiang Wei Wu. 2007. Review on sequencing batch reactors. Pakistan Journal of Nutrition, 6 (1): 11-19, 2007. APHA. 2005. Standard Methods for Exemination of Water and Wastewater. 21st ed. APHA (American Public Health Association), AWWA (American Water Works Association), and WPCF (Water Pollution Control Federation). Washington D.C. Apriadi T. 2008. Kombinasi Bakteri dan tumbuhan air sebagai bioremediator dalam mereduksi kandungan bahan organik limbah kantin [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. 75 hlm. Arsil P, Supriyanto. 2007. Pengolahan limbah cair dari industri pengolahan tahu secara biofiltrasi menggunakan Enceng Gondong (Eichhornia crassipes (Mart.) Solms). [terhubung berkala]. http://iirc.ipb.ac.id. [30 Mei 2010]. Boyd CE. 1982. Water quality management for pond fish culture. Elsevier Scientific Publishing Company. Amsterdam, Netherlands. 318 p. CIESE. 2009. Biological Oxygen Demand. http://www.stevens.edu. [7 September 2009].
[terhubung
berkala].
Departemen Pertanian . 2009. Draft Pedoman Desain Teknik IPAL Agroindustri. [terhubung berkala]. http://agribisnis.deptan.go.id [24 Oktober 2009] Dhahiyat Y. 1990. Kandungan limbah cair pabrik tahu dan pengolahannya dengan eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms.) [tesis]. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Dolite. 2009. Organ tumbuhan. [terhubung berkala]. http://dolite.blogspot.com. [6 Juni 2010]. Effendi H. 2003. Telaah kualitas air. Kanisius. Yogyakarta. Indonesia. Esti & Sediadi A. 2000. Tentang pengolahan pangan : Tahu. [terhubung berkala]. http://www.ristek.go.id [5 Juli 2009] Gerardi MH. 2006. Wastewater bacteria. [terhubung berkala]. media.wiley.com. [24 Mei 2009] Ginting P. 2007. Sistem pengelolaan lingkungan dan limbah industri. Yrama Widya. Jakarta, Indonesia.
56 Herlambang A. 2010. Teknologi pengolahan limbah tekstil dengan sistem lumpur aktif. [terhubung berkala]. http://www.kelair.bppt.go.id [3 Maret 2010]. Ismanto NF. 2005. Pemanfaatan eceng gondok (Eichhornia crassipes), kayu apu (Pistia stratiotes), dan kangkung (Ipomoea aquatica) secara bertahap dalam memperbaiki kualitas air limbah kantin [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. Khiatuddin M. 2003. Melestarikan sumber daya air dengan teknologi rawa buatan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Indonesia. Levin E. 2008. Conductivity measurements for controlling municipal wastewater treatment. [terhubung berkala]. http://www.lwr.kth.se [2 Pebruari 2010] Mattjik AA & Sumertajaya IM. 2006. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi SAS dan Minitab. IPB Press. Bogor. 282 hlm. Metcalf & Eddy. 1991. Wastewater engineering treatment, disposal, and reuse. 3 rd edition. McGraw-Hill Companies, Inc. New York. Mursalin. 2007. Pemanfaatan kayu apu (Pistia stratiotes), kiambang (Salvinia molesta), dan gulma itik (Lemna minor) dalam memperbaiki kondisi air limbah kantin [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. 46 hlm . Pareira BM. 2009. Penerapan prinsip waste to product dalam pengelolaan limbah pabrik tahu. [terhubung berkala]. http://onlinebuku.com [25 Juni 2009] Raliby O, Rusdjijati R, & Rosyidi I. 2009. Pengolahan limbah cair tahu menjadi biogas sebagai bahan bakar alternatif pada industri pengolahan tahu. [terhubung berkala]. http://www.balitbangjateng.go.id [31 Oktober 2009]. Rini Z. 1998.Pemanfaatan kangkung air (Ipomoea aquatica Forsk.) unruk mengolah limbah cair PT. Intidaya Agrolestari, Bogor [skripsi]. Program Studi Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Rossiana N. 2006. Uji toksisitas limbah cair tahu Sumedang terhadap reproduksi Daphnia carinata KING. Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Sudaryati NLG, Kasa IW, & Suyasa IWB. 2008. Pemanfaatan sedimen perairan tercemar sebagai bahan Lumpur aktif dalam pengolahan limbah cair industri tahu. Ecothropic, 3 (1):21-29. [terhubung berkala]. http://ejournal.unud.ac.id [10 Maret 2009] Sugiharto. 1987. Dasar-dasar pengolahan air limbah. UI-Press. Jakarta, Indonesia
57 Suryani N. 2010. Kajian Efisiensi Sistem Pengolahan Air Limbah PT. UNITEX Serta Dampaknya Terhadap Perairan. [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. 90 hlm Sutapa IDA. 2000. Teori bioflokulasi sebagai dasar pengelolaan sistem lumpur aktif. Jurnal Studi Pembangunan, Kemasyarakatan dan Lingkungan, 2(1) 76-83. Suyasa IWB & Dwijani W. 2007. Kemampuan sistem saringan pasir-tanaman menurunkan nilai BOD dan COD air tercemar limbah pencelupan. Ecothropic. 2(1):1-7. Sweking. 2001. Laju penutupan permukaan air oleh eceng gondok (Eichornia crassipes Mart) dan kapu-kapu (Pistia stratiotes L.) di Danau Teluk Kameloh. Central Kalimantan Fisheries. 2(2): 51-58. Ulfah WN. 2009. Pengolahan air limbah kantin secara biologi : suatu kajian terhadap efektivitas penggunaan Bacillus sp. dan kangkung air (Ipomoea aquatica) [skripsi]. Departemen Manajemen Sumberdaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Insitut Pertanian Bogor. Bogor. 65 hlm. Vaillant N, Monnet F, Sallanon H, Coudret A, & Hitmi A. 2004. Use of commercial plant species in a hydroponic sistem to treat domestic wastewaters. J.Environment Quality. 33: 695-702. Welch PS. 1952. Limnology. McGraw-Hill Book Company, Inc. New York, USA. p. 304-305 Yusuf G. 2008. Bioremediasi limbah rumah tangga dengan sistem simulasi tanaman air.. Jurnal Bumi Lestari, 8 (2) 136-144. [terhubung berkala]. http://ejournal.unud.ac.id [22 Mei 2009] Wetzel RG. 2001. Limnology : Lake and River Ecosistems, 3rd edition. Academic Press. San Diego, California, USA. xvi- 1006 p.
58
59
LAMPIRAN Lampiran 1. Prosedur pengukuran parameter fisika-kimia air limbah (APHA 2005) A. Prosedur penentuan TSS (Total Suspended Solid) 1. Siapkan filter (Milliopore dengan porositas 0,45µm) dan vaccum pump, Saring 6 x 10 ml aquades 2. Keringkan kertas saring dalam oven selama satu jam pada suhu 103 - 1050C, Dinginkan dalam dessikator lalu timbang (B mg) 3. Ambil 50 ml air contoh, kemudian saring dengan kertas saring yang sudah ditimbang 4. Keringkan filter dan residu dalam oven selama satu jam pada suhu 103 - 1050C, Dinginkan dalam dessikator lalu timbang (A mg) Rumus : TSS =
(A – B) x (1000/ml contoh)
B. Prosedur penentuan pH 1. Siapkan pH-meter digital, lalu kalibrasi alat tersebut 2. Tekan power, mode, 2nd, nilainya sesuaikan dengan larutan buffer yang dipakai untuk kalibrasi 3. Setelah sesuai nilainya, bilas elektroda dengan aquades, bersihkan kemudian masukkan ke dalam air contoh 4. Tunggu sampai tanda ready muncul, Catat nilai pH-nya 5. Bilas pH-meter setalah digunakan dan sebelum digunakan untuk mengukur air contoh yang lain C. Prosedur penentuan DO (Dissolved Oxygen) 1. Siapkan DO meter, Pilih mode untuk mengukur DO 2. Bilas probe dengan aquades, keringkan dengan tissue 3. Masukkan ke dalam air contoh 4. Catat nilai DO yang diperoleh 5. Bilas DO meter setelah digunakan dan sebelum digunakan untuk mengukur air contoh yang lain
60
D. Prosedur penentuan BOD5 1. Ambil air contoh secukupnya, lalu encerkan air contoh dengan menggunakan aquades, 2. Aerasi air contoh yang telah diencerkan selama kurang lebih 15 menit 3. Masukkan air contoh yang telah melalui prosedur 1 dan 2 kedalam botol BOD terang dan gelap sampai penuh, Air dalam botol BOD terang segera dianalisis kadar oksigen terlarutnya (DO0), Air dalam botol BOD gelap diinkubasi dalam inkubator pada suhu 20 0C, Setelah 5 hari, tentukan kadar oksigen terlarutnya (DO5), Penentuan DO ini bisa dilakukan dengan cara titrimetrik atau dengan menggunakan DO meter, 4. Buat blanko dengan perlakuan seperti air contoh Rumus : BOD (mg/l) = (DO0 - DO5) x faktor pengenceran Keterangan : DO0 = Kandungan O2 pada saat awal (mg/l) DO5 = Kandungan O2 setelah hari ke-5 (mg/l) E. Prosedur penentuan COD (titrimetri) 1. Pipet 10 ml air contoh, masukkan ke dalam erlenmeyer 2. Tambahkan 5 ml K2Cr2O7 0,025 N, aduk 3. Masukkan H2SO4 (15 ml) 4. Tutup erlenmeyer dengan kaca arloji untuk mencegah masuknya material asing, diamkan selam 30 menit 5. Setelah selesai buka tutupnya lalu dinginkan 6. Encerkan larutan contoh dengan 7,5 ml aquades 7. Tambahkan 2 – 3 tetes indikator feroin, kemudian titrasi kelebihan K2Cr2O7 menggunakan FAS 0,025 N (Ferrous Amonium Sulfat) sampai berubah warna dari kuning – oranye atau biru – kehijauan menjadi merah – kecoklatan, Catat ml titran (A ml) 8. Larutan blanko (10 ml aquades + prosedur 2 – 7 di atas), catat ml titran (B ml) Rumus :
61
COD (mg/l) = Keterangan : A = ml FAS yang terpakai untuk blanko B = ml FAS yang terpakai untuk air contoh M = Molaritas FAS (0,025 N) 8000 = miliekuivalen bobot oksigen x 1000 (ml/l)
Untuk mendapatkan nilai COD yang mendekati hasil cara penentuan standar, nilai COD dari hasil perhitungan disubsitusikan kedalam persamaan regresi : Y = 3,02 + 1,505 X Y = nilai COD dengan metode standar X = nilai COD yang diperoleh dengan titrimetri
62 Lampiran 2. Diagram Alir Pembuatan Tahu
Air untuk mencuci
Air limbah + kulit ari Air limbah
Air untuk mencuci Air limbah Air limbah
Panas
Air limbah sisa proses pengendapan
Sumber : Esti & Sediadi A. (2000)
63 Lampiran 3. Foto Lokasi Pengambilan Sampel Penelitian
Lokasi pengambilan kangkung
Pabrik Tahu
Lokasi pengambilan sampel
Lokasi pengambilan lumpur aktif
64 Lampiran 4. Foto alat dan bahan yang digunakan dalam pengukuran parameter fisika –kimia air limbah
65
Lanjutan Lampiran 4.
66 Lampiran 5. Hasil penelitian pendahuluan a. Tanggal 3 Agustus 2009 (TSS) NO
Jam ke1 2 3 4
0 48 72 96
Wo (gr) 0.0844 0.0895 0.0881 0.0891
Wt (gr) 0.0916 0.0964 0.0928 0.0939
TSS 1.028.571 985.7143 940 960
b. Tanggal September 2009 -TSS Tanggal Jam ke- Wo (gr) Wt(gr) TSS(mg/L) 4 0 0.0842 0.0905 787.5 0.0814 0.0866 650 7 72 0.0792 0.0859 837.5 0.0792 0.0871 987.5 8 96 0.0775 0.0831 700 0.0782 0.0843 762.5 10 144 0.0786 0.0856 875 0.0791 0.0885 1175 -Suhu Tanggal Jam Ke4 7 8 10
0 72 96 144
-pH Tanggal Jam Ke4 7 8 10
0 72 96 144
Suhu (ºC) 42.9 27.3 27 27.3
pH
-DO (Dissolved Oxygen) Tanggal Jam KeDO (mg/L) 4 0 7 72 8 96 10 144
4.45 4.18 4.17 4.19
3.4 1.1 1 1
718.75 912.5 731.25 1025
67 Lampiran 6. Baku mutu a. PPRI No. 82 tahun 2001
68
(Lanjutan Lampiran 6.) b.Standar baku mutu limbah cair tahu Parameter Kadar maksimum (mg/L) COD BOD TSS pH
150 300 100 6-9
Sumber : BBLH (1998) in Arsil dan Supriyanto (2007)
Beban pencemaran maksimum (kg/ton) 3 6 2 -
69 Lampiran 7. Data parameter kualitas fisika-kimia hasil pengamatan A. Data nilai suhu pengamatan a. Data mentah nilai suhu (oC) pengamatan Waktu Pengamatan (HARI) Perlakuan 0 2 6 10 K1 28,7 23,6 26,1 27,8 K2 28,7 23,6 26,3 28 K3 28,7 23,7 26,2 28,3 K4 28,7 23,6 27 28,9 Rata-rata 28,7 23,625 26,4 28,25 Kang1 28,7 23,7 26,4 28,1 Kang2 28,7 23,9 25,9 27,7 Kang3 28,7 23,7 26,5 28 Kang4 28,7 23,6 27,1 28,9 Rata-rata 28,7 23,725 26,475 28,175 KLA1 28,7 23,7 26,4 28,1 KLA2 28,7 23,8 26,2 27,8 KLA3 28,7 23,6 27,1 28,8 KLA4 28,7 23,6 26,6 28,4 Rata-rata 28,7 23,675 26,575 28,275
14 26,4 26,4 26,7 26,9 26,6 26,4 26,3 26,7 26,7 26,525 26,5 26,4 26,8 26,7 26,6
b. Rata-rata dan persen perubahan nilai suhu pengamatan Waktu Pengamatan (HARI) Perlakuan 0 2 6 10 14 Kontrol 28,7 23,625 26,4 28,25 26,6 % 17,68293 8,013937 -19,5767 -0,75758 Kangkung 28,7 23,725 26,475 28,175 26,525 % 17,33449 -11,5911 -6,42115 5,856256 KangkungLumpur Aktif 28,7 23,675 26,575 28,275 26,6 % 17,50871 -12,2492 -6,39699 5,923961 c. Tabel sidik ragam ANOVA Source of Variation SS Rows 0,007583 Columns 46,67625 Error 0,022 Total
46,70583
df 2 4 8 14
MS 0,003792 11,66906 0,00275
F 1,378788 4243,295
P-value 0,305846 2,46E-13
F crit 4,45897 3,837853
70 d. Uji lanjut BNT BNT = 0,0675 AWAL 2 HARI 6 HARI 10 HARI 14 HARI AWAL 2 HARI 5,0250 6 HARI 2,2167 2,8083 10 HARI 0,4667 4,5583 1,7500 14 HARI 2,1250 2,9000 0,0917 1,6583 B. Data nilai DHL pengamatan a. Data mentah nilai DHL (μS/cm) pengamatan Waktu Pengamatan (HARI) Perlakuan 0 2 6 10 K1 475 135,3 170 360 K2 475 93,8 260 190 K3 475 115,1 140 140 K4 475 120,8 260 450 Rata-rata 475 116,25 207,5 285 Kang1 475 137,7 130 120 Kang2 475 65,2 150 130 Kang3 475 122,3 170 140 Kang4 475 137,4 150 310 Rata-rata 475 115,65 150 175 KLA1 475 126,9 150 220 KLA2 475 118,2 190 120 KLA3 475 122,4 270 110 KLA4 475 120,1 250 270 Rata-rata 475 121,9 215 180
14 210 200 190 180 195 100 70 90 190 112,5 110 120 170 110 127,5
b, Rata-rata dan persen perubahan nilai DHL pengamatan Waktu Pengamatan (HARI) Perlakuan 0 2 6 10 14 Kontrol 475 116,25 207,5 285 195 % 75,52632 56,31579 40 58,94737 Kangkung 475 115,65 225 175 112,5 % 75,65263 52,63158 63,15789 76,31579 Kangkung-Lumpur Aktif 475 121,9 215 180 127,5 % 74,33684 54,73684 62,10526 73,15789
71 c.Tabel sidik ragam ANOVA Source of Variation SS Rows 6434,623 Columns 244824,8 Error 7697,492 Total
258956,9
df 2 4 8
MS 3217,312 61206,2 962,1865
F P-value 3,34375 0,088017 63,61157 4,21E-06
F crit 4,45897 3,837853
14
d. Uji lanjut BNT AWAL 2 HARI 6 HARI 10 HARI 14 HARI AWAL 2 HARI 357,0667 6 HARI 284,1667 284,1667 10 HARI 261,6667 261,6667 22,5 14 HARI 330 27,06667 45,83333 68,33333 C. Data nilai TSS pengamatan a. Data mentah nilai TSS (mg/L) pengamatan Waktu Pengamatan (HARI) Perlakuan 0 2 6 10 K1 48 8 10 4 K2 48 10 6 6 K3 48 8 4 10 K4 48 6 2 6 48 Rata-rata 8 5,5 6,5 Kang1 48 10 2 4 Kang2 48 8 2 6 Kang3 48 8 2 10 Kang4 48 6 2 6 48 Rata-rata 8 2 6,5 KLA1 48 10 6 0 KLA2 48 8 2 2 KLA3 48 8 4 4 KLA4 48 4 2 10 48 Rata-rata 7,5 3,5 4
14 20 4 20 36 20 8 20 16 2 11,5 64 28 10 8 27,5
72 b. Rata-rata dan persen perubahan nilai TSS pengamatan Waktu Pengamatan (HARI) Perlakuan 0 2 6 10 14 Kontrol 48 8 5,5 6,5 20 % 83,33333 88,54167 86,45833 58,33333 Kangkung 48 8 2 6,5 11,5 % 83,33333 95,83333 86,45833 76,04167 Kangkung-Lumpur Aktif 48 7,5 3,5 4 27,5 % 84,375 92,70833 91,66667 42,70833 c. Tabel sidik ragam ANOVA Source of Variation SS Rows 24,03333 Columns 4075,067 Error 114,6333 Total
4213,733
df MS F 2 12,01667 0,838616 4 1018,767 71,09741 8 14,32917
P-value 0,467041 2,74E-06
F crit 4,45897 3,837853
14
d. Uji lanjut BNT BNT = 47,3000 AWAL 2 HARI 6 HARI 10 HARI 14 HARI AWAL 2 HARI 165,975 6 HARI 114,1667 51,80833 10 HARI 39,16667 126,8083 75 14 HARI 123,3333 42,64167 9,166667 84,16667
73 D. Data nilai kekeruhan pengamatan a. Data mentah nilai kekeruhan pengamatan Waktu Pengamatan Perlakuan 0 2 6 10 K1 10 3 0,9 1 K2 10 3 0,6 1,3 K3 10 2,5 0,6 1 K4 10 2,5 0,8 0,8 Rata-rata 10 2,75 0,725 1,025 Kang1 10 3,5 0,6 1,1 Kang2 10 3 0,6 0,6 Kang3 10 2,5 0,6 1,1 Kang4 10 3 1 1,5 Rata-rata 10 3 0,7 1,075 KLA1 10 3,5 1 0,8 KLA2 10 2,5 1 1,1 KLA3 10 3 1 1 KLA4 10 2,5 0,6 1,3 Rata-rata 10 2,875 0,9 1,05
14 1 1 1 1,5 1,125 2 2 1 1 1,5 2,5 1,5 1 1 1,5
b. Rata-rata dan persen perubahan nilai kekeruhan pengamatan Waktu Pengamatan (HARI) Perlakuan 0 2 6 10 14 Kontrol 10 2,75 0,725 1,025 1,125 % 72,5 92,75 89,75 88,75 Kangkung 10 3 0,7 1,075 1,5 % 70 93 89,25 85 KangkungLumpur Aktif 10 2,875 0,9 1,05 1,5 % 71,25 91 89,5 85 c. Tabel sidik ragam ANOVA Source of Variation SS Rows 0,061 Columns 180,5348 Error 0,089 Total
180,6848
d. Uji lanjut BNT AWAL AWAL 2 HARI 6 HARI 10 HARI 14 HARI
df MS F 2 0,0305 2,741573 4 45,13369 4056,961 8 0,011125 14
2 HARI 7,125 9,225 8,95 8,625
P-value F crit 0,123935291 4,45897 2,94618E-13 3,837853
2,1 1,825 1,5
6 HARI
0,275 0,6
10 HARI
0,325
14 HARI
74
E. Data nilai pH pengamatan a. Data mentah nilai pH pengamatan Perlakuan
0
Waktu Pengamatan (HARI) 2 6 10
14
K1
5,92
6,81
7,4
6,83
7,86
K2
5,92
6,61
7,46
7,82
7,91
K3 K4
5,92 5,92
6,84 6,85
7,31 7,31
7,78 7,84
7,81 7,62
Rata-rata
5,92
6,7775
7,37
7,5675
7,8
Kang1
5,92
6,62
7,44
7,1
7,61
Kang2 Kang3 Kang4 Rata-rata
5,92 5,92 5,92 5,92
6,71 6,85 6,92 6,775
7,2 7,39 7,37 7,35
7,8 8,01 7,89 7,7
7,5 7,84 7,81 7,69
KLA1 KLA2
5,92 5,92
6,7 6,78
7,4 7,27
7,98 7,53
7,67 7,73
KLA3 KLA4
5,92 5,92
6,91 6,86
7,3 7,28
7,89 7,8
7,65 7,35
Rata-rata
5,92
6,8125
7,3125
7,8
7,6
b. Rata-rata dan persen perubahan nilai pH pengamatan Perlakuan
0
Kontrol
5,92
% Kangkung
5,92
% Kangkung-Lumpur Aktif
5,92
% c. Tabel sidik ragam Source of Variation SS
df
Rows Columns Error
1,3E-05 6,75456 0,04984
2 4 8
Total
6,80442
14
Waktu Pengamatan (HARI) 2 6 10
14
6,7775
7,37
7,5675
7,8
-14,485
-24,493
-27,829
-31,757
6,775
7,35
7,7
7,69
-14,443
-24,155
-30,068
-29,899
6,8125
7,3125
7,8
7,6
-15,076
-23,522
-31,757
-28,378
MS
F
P-value
F crit
6,7E-06 1,68864 0,00623
0,00107 271,045
0,99893 1,4E-08
4,45897 3,83785
75 d. Uji lanjut BNT BNT = 0,1016 AWAL
2 HARI
6 HARI
10 HARI
14 HARI
AWAL 2 HARI
0,8683
6 HARI
1,4242
0,5558
10 HARI
1,7692
0,9008
0,3450
14 HARI
1,7767
0,9083
0,3525
0,0075
F. Data nilai DO pengamatan a. Data mentah nilai suhu (mg/L) pengamatan Perlakuan
0
Waktu Pengamatan (HARI) 2 6 10
14
K1 K2 K3 K4
4,3 4,3 4,3 4,3
7,802 7,80518 8,97434 7,79236
7,66384 7,47997 7,66558 7,0943
6,5423 7,66697 7,66558 8,02776
6,48391 7,5913 7,59431 7,96559
Rata-rata
4,3
8,09347
7,47592
7,47565
7,40878
Kang1 Kang2 Kang3 Kang4
4,3 4,3 4,3 4,3
7,0218 7,78964 6,43043 6,23625
6,72923 6,53193 6,72272 5,41612
7,66384 7,27844 6,72272 5,97641
7,59152 7,22442 6,66742 5,92699
Rata-rata
4,3
6,86953
6,35
6,91035
6,85259
KLA1
4,3
7,40773
6,91226
5,97817
5,92748
KLA2 KLA3 KLA4
4,3 4,3 4,3
8,19459 7,01516 8,58683
6,54429 6,16263 6,54583
6,35731 7,09636 6,91988
6,29751 7,03607 6,85369
Rata-rata
4,3
7,80108
6,54125
6,58793
6,52869
b. Rata-rata dan persen perubahan nilai DO pengamatan DO Perlakuan
0
Waktu Pengamatan (HARI) 2 6 10
14
Kontrol %
4,3
8,09347 -88,22
7,47592 -73,859
7,47565 -73,852
7,40878 -72,297
Kangkung
4,3
6,86953
6,35
6,91035
6,85259
-59,756
-47,674
-60,706
-59,363
7,80108 -81,42
6,54125 -52,122
6,58793 -53,208
6,52869 -51,83
% KangkungLumpur Aktif %
4,3
76 c. Tabel sidik ragam Source of Variation SS
df
MS
F
P-value
F crit
6,11353 42,2877
0,02447 2E-05
4,45897 3,83785
Rows Columns
1,41644 19,5952
2 4
0,70822 4,89879
Error
0,92676
8
0,11584
Total
21,9384
14
d. Uji lanjut BNT BNT = 0,4383 10 AWAL 2 HARI 6 HARI HARI AWAL 2 HARI 6 HARI 10 HARI 14 HARI
14 HARI
3,2880 3,2880
0,7990
2,4891 2,6300
0,5967 0,6580
0,2023 0,1410
0,0613
G. Data nilai BOD pengamatan a. Data mentah nilai BOD (mg/L) pengamatan BOD Perlakuan
Waktu Pengamatan (HARI) 0 2 6 10
14
K1 K2 K3
9,91504 9,91504 9,91504
6,61804 6,99944 7,97101
3,69037 2,52188 0,40776
0,38938 4,67532 2,53108
4,90746 4,54779 2,76512
K4
9,91504
8,56484
0,76931
0,77973
5,0971
Rata-rata
9,91504
7,53833
1,84733
2,09388
4,32937
Kang1 Kang2
9,91504 9,91504
7,39215 7,00756
1,76679 2,51672
4,08552 4,67214
6,19148 3,28547
Kang3 Kang4 Rata-rata
9,91504 9,91504 9,91504
7,39448 7,19867 7,24821
2,90505 0,3913 1,89497
0,02277 1,35615 2,53414
6,45437 4,99129 5,23065
KLA1 KLA2
9,91504 9,91504
8,17362 7,20106
2,12256 1,93903
2,72562 2,13906
5,38329 5,19784
KLA3
9,91504
7,97842
1,54489
1,75291
4,37117
KLA4 Rata-rata
9,91504 9,91504
8,17213 7,88131
0,5675 1,54349
2,337 2,23865
6,21456 5,29171
77 b. Rata-rata dan persen perubahan nilai BOD pengamatan Perlakuan
0
Waktu Pengamatan (HARI) 2 6 10
14
Kontrol %
9,91504
7,53833 23,9707
1,84733 81,3684
2,09388 78,8818
4,32937 56,3354
Kangkung % Kangkung-Lumpur Aktif
9,91504
7,24821 26,8968
1,89497 80,888
2,53414 74,4414
5,23065 47,2453
9,91504
7,88131
1,54349
2,23865
5,29171
20,5116
84,4328
77,4217
46,6294
df MS 2 0,084136 4 36,07092 8 0,098341
F 0,855557 366,7942
% c. Tabel sidik ragam ANOVA Source of Variation SS Rows 0,168273 Columns 144,2837 Error 0,786728 Total
145,2387
P-value F crit 0,460557247 4,45897 4,30591E-09 3,837853
14
d. Uji lanjut BNT BNT = 68,5181 AWAL
2 HARI
AWAL 2 HARI 6 HARI
2.359087121 8.153108625
5.79402
10 HARI 14 HARI
7.628033169 4.96446101
5.26895 2.60537
6 HARI
0.525075 3.188648
10 HARI
2.66357
14 HARI
78 H. Data nilai COD pengamatan a. Data mentah nilai COD (mg/L) pengamatan Perlakuan
0
Waktu Pengamatan (HARI) 2 6 10
14
K1
97.835
39.14
9.1604
4.5551
9.1604
K2 K3
97.835 97.835
51.18 42.15
24.5114 15.3008
32.1869 21.4412
4.5551 19.9061
K4 Rata-rata
97.835 97.835
60.21 48.17
21.4412 17.6035
4.5551 15.6846
22.0552 13.9192
Kang1
97.835
42.15
27.5816
19.9061
11.4631
Kang2 Kang3
97.835 97.835
48.17 48.17
22.9763 21.4412
7.6253 7.6253
13.7657 14.5333
Kang4 Rata-rata
97.835 97.835
30.11 42.15
36.7922 27.1978
22.9763 14.5333
7.6253 11.8468
KLA1 KLA2
97.835 97.835
45.16 30.11
9.1604 21.4412
26.0465 32.1869
10.6955 12.2306
KLA3 KLA4 Rata-rata
97.835 97.835 97.835
51.18 81.28 51.9325
18.371 38.3273 21.825
7.6253 26.0465 22.9763
9.1604 5.32265 9.35229
b. Rata-rata dan persen perubahan nilai COD pengamatan Perlakuan
0
Kontrol
97.835
17.6035
15.6846
13.9192
50.764
82.007
83.9683
85.7728
97.835
42.15 56.9173
27.1978 72.2003
14.5333 85.1451
11.8468 87.891
97.835
51.9325
21.825
22.9763
9.35229
46.9183
77.6921
76.5153
90.4408
% c. Tabel sidik ragam ANOVA Source of Variation SS Rows 333140,2 Columns 3,38E+08 Error 2981778 Total
3,42E+08
14
48.17
% Kangkung % Kangkung-Lumpur Aktif
Waktu Pengamatan (HARI) 2 6 10
df
MS F P-value 2 166570,1 0,446901 0,654651177 4 84559740 226,8706 2,89523E-08 8 372722,3
14
F crit 4,45897 3,837853
79 d. Uji lanjut BNT BNT = 5,9356 AWAL 2 HARI 6 HARI 10 HARI 14 HARI AWAL 2 HARI 50,4175 6 HARI 75,6263 25,2088 10 HARI 80,1036 29,6861 4,47737 14 HARI 86,1289 35,7114 10,50264 6,02527 I. Data Perubahan Bobot Kangkung (Ipomoea aquatica) a. Data mentah bobot Kangkung (Ipomoea aquatica) (gram) selama pengamatan Bobot Awal Bobot Akhir Pertambahan Perlakuan Satuan (Wo) (Wt) Bobot (ΔW) Kangkung1 gram 100,5 135,7 35,2 Kangkung2 gram 122,6 150,3 27,7 Kangkung3 gram 103,9 138,2 34,3 Kangkung4 gram 104 116,9 12,9 Rata-rata gram 107,75 135,275 27,525 KangkungLumpurAktif1 gram 115,8 138,4 22,6 KangkungLumpurAktif2 gram 84 105,4 21,4 KangkungLumpurAktif3 gram 74 94,5 20,5 KangkungLumpurAktif4 gram 116,8 150,1 33,3 Rata-rata gram 97,65 122,1 24,45 b. Tabel sidik ragam ANOVA Source of Variation SS Between Groups 18,91125 Within Groups 425,3775 Total
444,2888
df
MS
1
18,91125
6
70,89625
7
F 0,266745
P-value 0,623999
F crit 5,987378
80