PROSIDING SEMINAR NASIONAL REKAYASA KIMIA DAN PROSES 2004 ISSN : 1411 - 4216
PENGARUH KONSENTRASI BIOMASSA TERHADAP POLA PENGENDAPAN LUMPUR AKTIF DARI SISTEM PENGOLAHAN LIMBAH CAIR INDUSTRI TEKSTIL Ignasius D.A. Sutapa, Sofyandi & Hoerunisa Pusat Penelitian Limnologi – LIPI, Kompleks LIPI – Cibinong Jl. Prof. Dody Tisna Amidjaja, PO. BOX 454, Cibinong – BOGOR Tel./Fax. : 021 – 8757071 / 021 – 8757076, Email :
[email protected] Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh konsentrasi biomassa terhadap pola pengendapan dari lumpur aktif yang secara langsung akan menentukan nilai SV30 dan SVI. Penelitian dilakukan dengan menggunakan lumpur aktif dari sistem pengolahan limbah cair industri tekstil PT. UNITEX. Untuk mendapatkan konsentrasi awal lumpur aktif yang cukup tinggi (kisaran 6000mg/l), telah dilakukan pengonsentrasian lumpur dari bak aerasi selama sekitar 60 menit pengendapan. Konsentrasi oksigen terlarut dikembalikan pada level semula antara 1 – 2 mg/l. Pengukuran volume lumpur dicatat selama 120 menit dalam gelas ukur 1000ml, untuk konsentrasi biomassa berbeda. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengendapan lumpur sangat tergantung pada konsentrasi biomassa. Pada konsentrasi biomassa di atas 4000 mg/l, lumpur mengendap sangat lambat dengan nilai SV30 di atas 700 ml, dengan kecenderungan menurun sampai 60 menit. Di bawah konsentrasi 3500 mg/l, lumpur dapat mengendap relatif cepat dengan rata-rata 15 menit untuk mencapai nilai SV30 yang stabil. Dari grafik hubungan antara volume lumpur dan konsentrasi biomassa (MLLS) terlihat bahwa SV meningkat apabila MLLS semakin tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa bagian linear dari grafik SVI
vs MLSS yang terbentuk terletak antara 2.5 s/d 4.5 g/l. Hal ini dapat menjelaskan bahwa SV30 yang biasanya dipakai untuk menetukan kualitas pengendapan, sesuai dengan zone konsentrasi tersebut. Apabila dilihat dari kecenderungan yang relatif searah antara SVI dengan MLSS untuk ke 4 waktu tersebut, maka peluang untuk digunakannya SVI 10, SVI 20 SVI, 30 dan SVI 60 hampir sama dalam mendeteksi kualitas pengendapan lumpur aktif. Kata kunci : lumpur aktif, SV30, SVI 1. Pendahuluan Pengolahan air limbah dengan sistem lumpur aktif paling banyak dipakai saat ini baik untuk industri maupun domestik. Sistem yang menggunakan campuran mikroorganisme dalam menurunkan kadar organik dalam air limbah, memerlukan introduksi oksigen dari udara ke dalam media lumpur tersebut untuk menopang pertumbuhannya. Bioflokulasi yang merupakan tahap kunci keberhasilan penggunaan sistem lumpur aktif dalam mengolah limbah cair, masih belum dipahami secara baik meskipun telah banyak penelitian dilakukan. Hal ini disebabkan karena sistem ini merupakan sistem yang kompleks yang melibatkan beberapa parameter berbeda (fisik, kimia-biokimia, biologi) dalam mendiskripsikan karakteristiknya secara lengkap. Dari beberapa penelitian secara fisik didapatkan informasi bahwa dalam pembentukan flok lumpur aktif terdapat dua macam struktur, yaitu mikrostruktur dan makrostruktur (Sezgin, 1978). Mikrostruktur dipengaruhi oleh adhesi mikrobiologis, pembentukan agregat, dan bioflokulasi. Hal ini merupakan dasar pembentukan flok lumpur aktif, karena bila suatu mikroorganisma tidak mampu bergabung dengan mikroorganisma lainnya, maka endapan (sedimen) yang terdiri dari kumpulan mikroorganisma tidak akan terbentuk. Pada sistem lumpur aktif yang hanya terdiri dari bakteri pembentuk flok (floc forming bacteria), flok yang terbentuk adalah mikrostruktur. Flok yang terbentuk ini biasanya kecil (maksimal berdiameter 75 µm). Bioflokulasi yang terbentuk tersebut tidak normal, sehingga menyebabkan kekeruhan yang tinggi. Pada sistem dengan waktu tinggal rata-rata yang lama dapat menyebabkan kondisi flok yang dikenal dengan pin floc atau pin point floc (Sezgin, 1978; Palm, 1980). JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
H-6-1
Pembentukan flok makrostruktur pada sistem lumpur aktif dipengaruhi oleh mikroorganisma berfilamen. Mikroorganisma ini membentuk suatu hubungan atau ikatan diantara flok-flok yang terbentuk oleh bakteri pembentuk flok. Jumlah mikroorganisma berfilamen yang besar dapat menyebabkan ukuran flok yang besar terbentuk, karena mikroorganisma berfilamen tersebut membentuk suatu ikatan yang kuat. Hal ini dapat menyebabkan kekeruhan akan semakin kecil pada sistem lumpur aktif. Apabila terlalu banyak mikrorganisma berfilamen dibandingkan mikroorganisma pembentuk flok maka akan menyebabkan suatu kondisi yang disebut bulking, dimana padatan lumpur aktif sulit dipisahkan dari cairannya. Sehingga supaya terbentuk flok lumpur aktif yang normal, harus seimbang antara mikrostruktur dengan makrostruktur yang terbentuk. Dengan kata lain jumlah mikroorganisma pembentuk flok harus seimbang dengan mikroorganisma berfilamen. Tahap pemisahan biomassa/air bersih merupakan salah satu tahap yang sangat penting (kunci) agar sistem pengolahan limbah cair dengan sistem lumpur aktif dapat berfungsi dengan baik. Tahap ini yang dilakukan dengan fenomena pengendapan sederhana, sering terhalangi oleh buruknya kemampuan untuk tersedimentasi dari lumpur aktif yang menyebabkan tidak berfungsinya sistem seperti penolakan biomassa dan/atau kesulitan untuk mengkonsentrasikan lumpur. Istilah anglo-saxon "bulking" sering/biasa digunakan untuk mendiskripsikan tipe situasi ini yang perlu untuk dihindari. Sludge Volume Index (SVI) yang digunakan untuk menilai secara cepat kualitas pengendapan dari lumpur aktif sering mengalami kendala. Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh konsentrasi biomassa terhadap pola pengendapan dari lumpur aktif yang secara langsung akan menentukan nilai SV30 dan SVI. Penelitian dilakukan dengan menggunakan lumpur aktif dari sistem pengolahan limbah cair industri tekstil PT. UNITEX. 2. Metode Penelitian Parameter fisiko-kimiawi yang diukur merupakan parameter operasional pada sistem pengolahan limbah. Pengukuran dilakukan bersamaan dengan waktu pengambilan sampel. Parameter operasional yang diukur meliputi pH, temperatur, SV30, MLSS, SVI, nitrat, ortho-fosfat, dan COD. 2.1. Penentuan pH pH dan temperatur diukur bersama-sama dengan menggunakan pH meter HI 9025 (Hanna Instruments). Diambil 30 ml sampel lumpur aktif, ditempatkan dalam gelas beker. Kemudian elektrode pH meter dicelupkan ke dalam sampel, dibiarkan beberapa saat sampai nilainya stabil. Pengukuran dilakukan dengan 3 kali ulangan. 2.2. Penentuan temperatur Temperatur limbah diukur dengan menggunakan pH meter bersama-sama dengan pengukuran pH. Sebanyak 30 ml sampel lumpur aktif ditempatkan dalam gelas beker. Kemudian pada pH meter diset untuk mode pH dan temperatur. Elektrode pH meter dicelupkan ke dalam sampel dan ditunggu beberapa saat sampai angka yang terbaca konstan. 2.3. Penentuan SV30 SV30 atau volume lumpur (ml/l) adalah banyaknya lumpur yang dapat mengendap tiap 1 l cairan limbah, dalam waktu 30 menit. SV30 diukur dengan mengambil 1 l cairan limbah, dimasukkan dalam kerucut Imhoff. Setelah 30 menit diukur volume lumpur yang dapat mengendap (APHA, 1994). 2.4. Penentuan MLSS MLSS atau bahan padat tersuspensi (mg/l) adalah banyaknya bahan padat yang tersuspensi dalam cairan limbah. MLSS ditentukan berdasarkan metode gravimetri. Diambil 50 ml sampel limbah, kemudian disaring dengan kertas saring yang telah diketahui berat keringnya. Kertas saring dan filtrat dikeringkan dalam oven dengan temperatur 102°C selama 24 jam. Setelah beratnya konstan, kertas saring dan filtrat ditimbang untuk mengetahui berat keringnya. MLSS dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (APHA, 1994) :
1000 MLSS = (a – b) x mg/l V Keterangan: a = berat kering kertas saring + filtrat (mg) b = berat kering kertas saring (mg) V = volume sampel limbah (ml) JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
(1)
H-6-2
2.5. Penentuan SVI SVI atau indeks pengendapan lumpur (ml/g) adalah nilai yang menyatakan volume lumpur yang dapat mengendap tiap 1 g lumpur. SVI dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut (APHA, 1994): SV30 x 1000 SVI = ml/g MLSS
(2)
Keterangan: SV30 MLSS
= =
volume pengendapan lumpur (ml/l) bahan padat tersuspensi (mg/l)
3. Hasil dan Pembahasan 3.1. Pola Pengendapan Kondisi awal lumpur aktif sebelum dilakukan pengukuran adalah sebagai berikut : MLSS berada pada kisaran 5.9 g/l, pH 8.49, DO 0.87 dan suhu 25 derajat Celsius. Telah dilakukan pengenceran untuk medapatkan 10 konsentrasi berbeda dengan cara mengurangi volume lumpur sebanyak 100 ml, kemudian diganti dengan volume yang sama dengan air yang keluar dari ionstalasi di akhir proses. Pencatatan terhadap volume lumpur yang mengendap dalam gelas ukur 1000 ml dilakukan selama 1 jam. Pola pengendapan lumpur ditampilkan dalam gambar 1 dan 2. Terlihat bahwa untuk konsentrasi 4 s/d 5.9 g/l, lumpur aktif mengendap dengan perlahan secara proporsional sampai menit ke 60. Semakin rendah konsentrasi awal, maka volume lumpur semakin kecil, atau dengan kata lain lumpur relatif lebih mudah mengendap. Kecapatan mengendap naik cukup signifikan bila konsentrasi awal lumpur aktif di bawah 4 g/l. Untuk mencapai volume di bawah 600 ml hanya diperlukan waktu sekitar 20 menit, sedangkan untuk konsentrasi di atas 4 g/l dibutuhkan waktu 60 menit. Hasil ini mengindikasikan bahwa semakin besar konsentrasi lumpur, maka jarak antara partikel-partikel di dalam lumpur sangat dekat sehingga pemampatan dengan gaya gravitasi semakin sulit terjadi. Sebaliknya apabila konsentrasi lumpur rendah, partikel-partikel lumpur masih memiliki jarak/ruang yang cukup sehingga memungkinkan pemampatan dengan gravitasi. Untuk mengetahui persentasi volume lumpur yang mengendap pada waktu t tertentu, maka dapat dihitung berdasarkan selisih volume terhadap volume mula-mula dikalikan 100%. Tabel 1 merangkum hasil perhitungan persentasi lumpur yang mengendap untuk t = 3, 10, 20, 30 dan 60 menit. Terlihat dalam tabel 1 bahwa persentase volume lumpur cenderung meningkat apabila konsentrasi awal lumpur menurun. Pada konsentrasi awal 5.9 g/l, persentasi maksimal yang dicapai hanya 6 % untuk t = 60 menit. Sedangkan pada t = 3 menit praktis tidak mengendap sama sekali. Sementara pada konsentrasi awal 3.5 g/l, diperlukan waktu 30 menit untuk mencapai 50 % dari volume awalnya. Sedangkan pada konsentrasi awal lumpur 2.5 g/l, persentasi sebesar 53 % sudah dapat dicapai pada menit ke 3. Nilai persentasi volume lumpur yang mengendap di atas 50 persen ini yang biasanya diambil sebagai kisaran dalam menentukan SVI dengan basis SV30. Tabel 1.: Persentasi volume lumpur aktif yang mengendap X (g/l) 5,9 5,5 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1
t = 3 menit 0 1 1,5 2,5 4 18 33 53 65 81
t = 10 menit 1,5 2 3 5,5 9 28 56 66 76 88
t = 20 menit 2,5 3,5 5 10,5 18 43 60 71 80 90
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
t = 30 menit 3 5 8,5 18 28 51 64 75 82 92
t= 60 menit 6 12 19 38 45 62 69 78 84 92 H-6-3
Volume Lumpur (ml/l)
1200 X (5,9 g/l)
1000
X (5,5 g/l)
800
X (5,0 g/l)
600
X (4,5 g/l) X (4,0 g/l)
400 200 0 0
10
20
30
40
50
60
70
t (menit)
Gambar 1.: Variasi nilai volume lumpur terhadap waktu
Volume Lumpur (ml/l)
1200 X (3,5 g/l)
1000
X (3,0 g/l)
800
X (2,5 g/l)
600
X (2,0 g/l) X (1,0 g/l)
400 200 0 0
10
20
30
40
50
60
70
t (menit)
Gambar 2.: Variasi nilai volume lumpur terhadap waktu 3.2. Pengaruh Konsentrasi Terhadap SV dan SVI Sludge Volume (SV) merupakan volume lumpur yang mengendap pada waktu tertentu. SV ini bermanfaat untuk menentukan SVI. Biasanya digunakan SV30 atau SV setelah pengendapan selama 30 menit. Penggunaan SV30 ini perlu dicermati mengingat nilai SV sangat tergantung dari konsentrasi awal lumpur aktif yang digunakan. Sebagaimana terlihat dalam tabel 2 dan gambar 3, nilai SV untuk waktu t = 10, 20, 30 dan 60 menit menurun apabila konsentrasi awal lumpur semakin rendah. Untuk konsentrasi yang sama nilai SV dari t = 10 ke t = 60 cenderung menurun mengikuti pola pengendapan yang sudah dibahas sebelumnya. Dari data tersebut dalam tabel 2, sebenarnya tidak ada SV yang spesifik mengingat nilainya berubah sesuai dengan konsentrasi, kecuali pada konsentrasi awal lumpur 1 g/l, SV30 dan SV 60 mempunyai nilai yang sama sebesar 80 ml/l. Namun demikian ada kecenderungan huhungan linear antara SV30 dengan SV untuk t = 10, 20 dan 60 menit seperti yang diperlihatkan dalam gambar 4, terutama untuk JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
H-6-4
konsentrasi awal lumpur aktif di bawah 4.5 g/l. Hubungan ini akan sangat bermanfaat untuk memprediksi SV 30 atau SV60 dengan hanya menentukan SV10 atau SV20 dengan waktu yang relatif lebih singkat. Tabel 2.: Nilai SV pada t = 10, 20, 30 dan 60 menit MLLS (g/l) 5,9 5,5 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1
SV 10 (ml/l) 985 980 970 945 910 720 440 340 240 120
SV 20 (ml/l) 975 965 950 895 820 570 400 290 200 100
SV 30 (ml/l) 970 950 915 820 720 490 360 250 180 80
SV 60 (ml/l) 940 880 810 620 550 380 310 220 160 80
Volume Lumpur (ml)
1200 1000 V10
800
V20
600
V30
400
V60
200 0 0
2
4
6
8
MLLS (g/l)
Gambar 3.: Variasi nilai volume lumpur terhadap MLLS
1200
SV (ml/l)
SV 10
1000
SV 20
800
SV 30 SV 60
600 400 200 0 0
200 400
600 800 1000 1200 SV30 (ml/l)
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
H-6-5
Gambar 4.: Hubungan antara SV10, SV20 dan SV60 dengan SV30 Sludge Volume Index (SVI) merupakan parameter teknis yang penting untuk menetukan kualitas pengendapan dari lumpur aktif. SVI biasanya ditentukan berdasarkan SV30 sebagaimana telah dijelaskan dalam paragraf sebelumnya. Tabel 3 merangkum nilai SVI pada t = 10, 20, 30 dan 60 menit pada konsentrasi lumpur yang berbeda. Tabel ini menunjukkan bahwa nilai SVI saangat tergantung dari konsentrasi awal lumpur aktif. Sebagaimana diperlihatkanh dalam gambar 5, SV10 – SV60 relatif konstan untuk konsentrasi 1 – 2 g/l, kemudian naik secara proporsional antara 2.5 – 4.5 g/l dan turun kembalai untuk konsentrasi yang lebih tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa bagian linear dari grafik SVI vs MLSS yang terbentuk terletak antara 2.5 s/d 4.5 g/l. Hal ini dapat menjelaskan bahwa SV30 yang biasanya dipakai untuk menetukan kualitas pengendapan, sesuai dengan zone konsentrasi tersebut. Apabila dilihat dari kecenderungan yang relatif searah antara SVI dengan MLSS untuk ke 4 waktu tersebut, maka peluang untuk digunakannya SVI 10, SVI 20 SVI, 30 dan SVI 60 hampir sama dalam mendeteksi kualitas pengendapan lumpur aktif. Tabel 3.: Nilai SVI pada t = 10, 20, 30 dan 60 menit X (g/l) 5,9 5,5 5 4,5 4 3,5 3 2,5 2 1
SVI 10 166,95 178,18 194,00 210,00 227,50 205,71 146,67 136,00 120,00 120,00
SVI 20 165,25 175,45 190,00 198,89 205,00 162,86 133,33 116,00 100,00 100,00
SVI 30 164,41 172,73 183,00 182,22 180,00 140,00 120,00 100,00 90,00 80,00
SVI 60 159,32 160,00 162,00 137,78 137,50 108,57 103,33 88,00 80,00 80,00
250,00
SVI (ml/g)
200,00 150,00 SV10
100,00
SV20
50,00
SV30 SV60
0,00 0
2
4
6
8
MLLS (g/l)
Gambar 5.: Variasi nilai SVI terhadap MLLS 4. Kesimpulan Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pengendapan lumpur sangat tergantung pada konsentrasi biomassa. Pada konsentrasi biomassa di atas 4000 mg/l, lumpur mengendap sangat lambat dengan nilai SV30 di atas 700 ml, dengan kecenderungan menurun sampai 60 menit. Di bawah konsentrasi 3500 mg/l, lumpur JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
H-6-6
dapat mengendap relatif cepat dengan rata-rata 15 menit untuk mencapai nilai SV30 yang stabil. Dari grafik hubungan antara volume lumpur dan konsentrasi biomassa (MLLS) terlihat bahwa SV meningkat apabila MLLS semakin tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa bagian linear dari grafik SVI vs MLSS yang
terbentuk terletak antara 2.5 s/d 4.5 g/l. Hal ini dapat menjelaskan bahwa SVI 30 yang biasanya dipakai untuk menetukan kualitas pengendapan, sesuai dengan zone konsentrasi tersebut. Apabila dilihat dari kecenderungan yang relatif searah antara SVI dengan MLSS, maka peluang untuk digunakannya SVI 10, SVI 20 SVI, 30 dan SVI 60 hampir sama dalam mendeteksi kualitas pengendapan lumpur aktif. Daftar Pustaka EDELINE F. (1993) : "L'epuration biologique des eaux.", Techniques et Documentation, Cebedoc editeur, Lavoisier. ERIKSSON L, HARDIN A.M. (1984) : "Settling properties of activated sludge related to floc structure.", Water Science and Technology, Vol.16, 55-67. ERIKSSON L, ALM B. (1991) : "Study of floculation mechanisms by observing effects of a com-plexation agent on activated sludge properties.", Water Science and Technology, Vol.24, 21-28. FORSTER C.F. (1976) : "Acti-vated sludge surfaces in relation to the sludge volume index.", Wat. S. A., Vol.2, 119-125. JENKINS D., RICHARD M. GG., DAIGGER G.T. (1986) : "Manual of the causes and control of activated sludge bulking and foaming.", Water Research Com-mission, USEPA. PALM J.C., JENKINS D., PARKER D.S. (1980) : "Rela-tionship between organic loading, dissolved oxygen concentration and sludge settleability in the completely mixte activated sludge process.", Journal of Water Pollu-tion Control Federation, Vol.52, 2484-2506. PAVONI J.L., TENNEY M.W., ECHELBERGER Jr. W.F. (1972) : "Bacterial exocellular po-lymers and biological flocula-tion.", Journal of Water Pollution Control Federation, Vol.44, No.3, 414-431. ROCHE N. (1989) : "Influence de l'hydrodynamique des bassin d'ae-rations sur la decantabilite des boues activees.", PhD Thesis, INPL, Nancy-France. PALM J.C., JENKINS D., PARKER D.S. (1980) : “Relationship between organic loading, disolved oxygen concentration and sludge settleability in the completely mixte activated sludge process.” JWPCF, vol. 52., 2484-2506
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG
H-6-7