APLIKASI MODEL PEMBELAJARAN PROBLEM BASED INTRUCTION (PBI) DENGAN PENDEKATAN JELAJAH ALAM SEKITAR (JAS) KONSEP ZAT ADITIF PADA MAKANAN SISWA KELAS VIII MTs NEGERI BATU MERAH Oleh Napsin Palisoa* Santi Wali** * Dosen Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Pattimura ** Mahasiswa Program Studi Pendidikan Kimia Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan
Abstrak: Untuk menerapkan model pembelajaran ataupun pendekatan pembelajaran dalam pembelajaran IPA terpadu bukanlah segala-galanya, karena masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan suatu pembelajaran, salah satu diantaranya adalah Model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pendekatan JAS yaitu pembelajaran berdasarkan masalah atau “Problem Based Intruction (PBI)”. Selanjutnya beberapa hal yang menjadi pembahasan dalam tulisan ini antara lain: (1) Hakekat Belajar IPA; (2) Jelajah Alam Sekitar (JAS) sebagai Pendekatan Pembelajaran; (3) Model Pembelajaran PBI; (4) Konstruktivisme; (5) Pembelajaran Penemuan; (6) Kemampuan kognitif siswa; (7) Kemampuan Psikomotor Siswa. Kata-kata kunci: Model Pembelajaran Problem Based Intruction (PBI), Pendekatan Jelajah Alam Sekitar (Jas), Konsep Zat Aditif. PENDAHULUAN Dalam pembelajaran IPA terpadu untuk menerapkan model pembelajaran ataupun pendekatan pembelajaran bukanlah segalagalanya. Masih banyak faktor lain yang ikut menentukan keberhasilan suatu pembelajaran. Dangan demikian, pendekatan dalam suatu pelajaran penting, karena dua hal yaitu
(a) penentuan isi dan program, materi pembelajaran, strategi pembelajaran, media pembelajaran, sumber belajar, dan teknik/ bentuk penilaian harus dijiwai oleh pendekatan yang dipilih, dan (b) salah satu acuan untuk menentukan keseluruhan tahapan pengelolaan pembelajaran adalah pendekatan yang dipilih (Mulyani, 2009 : 3). Pendekatan pembelajaran yang inovatif, menarik, mendorong, keaktifan, kerja sama, dan memaksimalkan keterlibatan siswa adalah dengan menerapkan jelajah alam sekitar (JAS). Hal ini disebabkan karena pembelajaran kimia sangat erat dengan hubungan sebab akibat, sehingga diharapkan siswa dapat memahami faktor- faktor atau gejala alam secara rasional, maka perlu dilakukan pengamatan langsung mengenai gejala-gejala tersebut. Dalam ilmu kimia terdapat kumpulan proses dan nilai yang dapat diapliksikan serta dikembangkan dalam kehidupan nyata (Saptono, 2003 : 87). JAS merupakan pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pemanfaatan lingkungan alam sekitar kehidupan siswa, baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya sebagai objek belajar kimia yang fenomenanya dipelajari dengan kerja ilmiah seperti, mengamati, mengumpulkan data, membandingkan, memprediksi, membuat pertanyaan, merancang
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
75
kegiatan, membuat hipotesis, merumumuskan simpulan berdasarkan data dan membuat laporan secara komprehensif (Marianti dan Kartijo, 2005 : 32). Pendekatan JAS juga menekankan pada kegiatan yang pembelajarannya dikaitkan dengan lingkungan alam sekitar kehidupan siswa, sehingga selain dapat membuka wawasan berfikir yang beragam, siswa juga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dengan masalahmasalah kehidupan nyata (Ridlo, 2005: 64). Pendekatan JAS sebagai pendekatan pembelajaran yang dianggap mampu menciptakan siswa yang produktif dan inovatif adalah dengan alasan-alasan berikut: a) sejauh ini pelaksanaan pembelajaran, ceramah masih menjadi pilihan utama guru dalam mengajar, proses sain belum biasa dikembangkan dalam proses pembelajaran. Pembelajaran masih menekankan pada hasil belajar dan bukan kegiatan untuk menguasai proses. Suatu pendekatan pembelajaran yang tidak mengharuskan siswa menghafal fakta-fakta, tetapi dapat mendorong siswa mengkonstruksikan fakta-fakta pengetahuan yang dia peroleh berdasarkan konsep atau prinsip kimia melalui proses eksplorasi dan investigasi. b) pendekatan pembelajaran JAS mengutamakan siswa belajar dari mengalami dan menemukan sendiri dengan memanfaatkan lingkungan fisik, sosial dan budaya yang ada disekitarnya. c) Tuntutan kurikulum bahwa hasil belajar peserta didik berupa perpaduan
antara aspek kognitif, afektif dan psikomotor menuntut suatu pembelajaran yang menekankan keaktifan peserta didik secara fisik, mental, intelektual dan emosional. Pendekatan JAS terdiri atas beberapa komponen yang seyogyanya dilaksanakan secara terpadu. Adapun komponen-komponen JAS adalah Eksplorasi, konstruktivisme, dan proses sains. Dengan melakukan eksplorasi terhadap lingkungannya, seseorang akan berinteraksi dengan fakta yang ada di lingkungan sehingga menemukan pengalaman dan sesuatu yang menimbulkan pertanyaan atau masalah. Dengan adanya masalah manusia akan melakukan kegiatan berpikir untuk mencari pemecahan masalah. Dalam memecahkan masalah tidak berdasar pada perasaan tetapi lebih ke penalaran ilmiah (Suriasumantri, 2000). Lingkungan yang dimaksud disini tidak hanya lingkungan fisik saja, tetapi juga meliputi lingkungan sosial, budaya dan teknologi. Seseorang berinteraksi dengan lingkungannya melalui alat inderanya, melihat, mendengar, menyentuh, mencium dan merasakannya. Menurut Lorsbach & Tobin (dalam Suparno 1997), selama proses berinteraksi dengan lingkungan, seseorang akan memperoleh pengetahuan. Oleh karena dalam pembentukan pengetahuan, menurut Piaget (1970) terdapat dua aspek berpikir yaitu aspek figuratif dan aspek operatif. Aspek operatif lebih penting karena menyangkut operasi intelektual atau sistem transformasi. Berpikir operatif inilah yang memungkinkan seseorang untuk mengembangkan pengetahuannya dari suatu level tertentu ke level yang lebih tinggi.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
76
Proses sains atau proses kegiatan ilmiah dimulai ketika seseorang mengamati sesuatu. Sesuatu diamati karena menarik perhatian, mungkin memunculkan pertanyaan atau permasalahan. Permasalahan ini perlu dipecahkan melalui suatu proses yang disebut metode ilmiah untuk mendapatkan pengetahuan yang disebut ilmu. Menurut Huxley (1964), metode ilmiah merupakan ekspresi mengenai cara bekerjanya pikiran.Sedangkan berpikir adalah suatu kegiatan mental yang menghasilkan pengetahuan. Pengetahuan yang diperoleh dengan metode ilmiah bersifat rassional dan teruji sehingga merupakan pengetahuan yang dapat diandalkan. Metode ilmiah menggabungkan cara berpikir deduktif dan induktif dalam membangun pengetahuan siswa. Selain pendekatan yang digunakan oleh guru sebagai pendidik, model juga merupakan komponen penting dalam pencapaian tujuan suatu proses pembelajaran. Salah satu model pembelajaran yang dapat digunakan dalam pendekatan JAS yaitu pembelajaran berdasarkan masalah atau Problem Based Intruction (PBI). Pembelajaran berdasarkan masalah merupakan pembelajaran dengan melihat masalah pada kehidupan nyata (masalah Otentik) yang dihadapi siswa dan lingkungannya. Model pembelajaran berdasarkan masalah dapat menumbuhkan aktivitas belajar siswa, baik secara kelompok maupun individu (Muslimin, 2000). Konsep zat aditif makanan adalah salah satu konsep mata pelajaran IPA Terpadu yang diajarkan pada siswa SMP kelas VIII semester genap. Dengan kompetensi yaitu
memahami kegunaan bahan kimia dalam kehidupan. Pendekatan JAS dianggap cocok pada konsep zat aditif makanan, karena dengan pendekatan JAS siswa akan mengetahui bagaimana penggunaan zat aditif dalam kehidupan, mengerti bagaimana dampak dari penggunaan zat aditif dan mencari solusi bagaimana menyelesaikan masalah yang ditimbulkan akibat pemakaian zat aditif makanan melalui model pembelajaran berdasarkan masalah (PBI). Keterlibatan siswa dalam menjangkau kondisi lingkungan secara langsung akan membantu siswa mencapai kecakapan kognitif, afektif dan psikomotor, sehingga tujuan pembelajaran dapat tercapai. Hakekat Belajar IPA Ilmu kimia merupakan salah satu materi pada mata pelajaran IPA dan merupakan ilmu yang sangat penting diantara ilmu-Ilmu yang lain. Hal ini disebabkan karena ilmu kimia memberikan suatu pengaruh yang sangat penting untuk mengembangkan ilmu-ilmu terapan lain seperti pertanian, kesehatan dan juga tekhnologi. Karena ada istilah Chemistry is centre of science yang artinya kimia merupakan pusat dari ilmu pengetahuan alam. Mata pelajaran kimia di SMP bertujuan agar peserta didik memiliki kemampuan yaitu: 1. Membentuk sikap positif kepada kimia dengan menyadari keteraturan dan keindahan alam serta mengagungkan kebesaran Tuhan yang Maha Esa. 2. Memupuk sikap ilmiah yaitu jujur, objektif, terbuka, ulet, kritis dan dapat bekerja sama dengan orang lain.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
77
3. Memperoleh pengalaman dalam menerapkan metode ilmiah melalui percobaan atau eksperimen, dimana peserta didik melakukan pengujian hipotesis dengan merancang percobaan melalui pemasangan instrumen, pengambilan, pengelolaan dan penafsiran data, serta menyampaikan hasil percobaan secara lisan dan tertulis. 4. Meningkatkan kesadaran tentang terapan kimia yang dapat bermanfaat dan juga merugikan bagi individu, masyarakat dan lingkungan serta menyadari pentingnya mengelola dan melestarikan lingkungan demi kesejahteraan masyarakat. 5. Memahami konsep, prinsip, hukum, dan teori kimia serta saling keterkaitannya dan penerapannya untuk menyelesaikan masalah dalam kehidupan sehari-hari dan teknologi. Belajar kimia pada hakekatnya mencakup pengetahuan, keterampilan, sikap, dan nilai yang dirumuskan dalam kompetensi kimia yang dimiliki siswa. Mata pelajaran kimia perlu diajarkan untuk tujuan yang lebuh khusus yaitu membekali peserta didik dengan pengetahuan, pemahaman dan sejumlah kemampuan yang di persyaratkan untuk memasuki jenjang pendidikan yang lebih tinggi serta menegembangkan ilmu poengetahuan dan teknologi (Mulyasa, 2007:133134). Jelajah Alam Sekitar (JAS) sebagai Pendekatan Pembelajaran Jelajah alam sekitar merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang menekankan pada pemanfaatan lingkungan alam sekitar kehidupan
siswa, baik lingkungan fisik, sosial, maupun budaya sebagai objek belajar kimia yang fenomenanya dipelajari melalui kerja ilmiah (Marianti dan Kartijo, 2005). Pendekatan JAS dalam penerapannya mencakup hal-hal inovatif, yaitu konstruktivisme, penerapan proses sains, proses inquiry, proses eksplorasi alam sekitar, dan penerapan alternative assessment. Pendekatan JAS merupakan pendekatan kodrat manusia dalam upaya mengenali alam lingkungannya (Ridlo, 2005). Pembelajaran melalui pendekatan JAS memungkinkan siswa mengembangkan potensinya sebagai manusia yang memiliki akal budi. Pendekatan JAS menekankan pada kegiatan belajar yang dikaitkan dengan lingkungan alam sekitar kehidupan siswa dan dunia nyata, sehingga selain dapat membuka wawasan berpikir yang beragam, siswa juga dapat mempelajari berbagai konsep dan cara mengaitkannya dengan masalahmasalah kehidupan nyata. Berdasarkan hal tersebut, maka hasil belajar siswa akan lebih bermakna bagi kehidupannya, sebagai makhluk tuhan, makhluk sosial dan integritas dirinya. Pembelajaran dengan pendekatan JAS, mengajak siswa untuk mengenal objek, gejala dan permasalahannya, menelaah dan menemukan simpulan atau konsep tentang sesuatu yang dipelajarinya (Ridlo, 2005). Konseptual dan pemahaman diperoleh siswa tidak secara langsung dari guru atau buku, akan tetapi melalui kegiatan ilmiah, seperti mengamati, mengumpulkan data, membandingkan, memprediksi, membuat pertanyaan, merancang kegiatan, membuat hipotesis,
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
78
merumuskan simpulan berdasarkan data dan membuat laporan secara komprehensif. Secara langsung siswa melakukan eksplorasi terhadap fenomena alam yang terjadi. Fenomena tersebut dapat ditemui dilingkungan sekeliling siswa atau fenomena alam sehingga akan sangat membantu siswa untuk mengamati sekaligus memahami gejala atau konsep yang terjadi. Model Pembelajaran PBI Lingkungan belajar PBI adalah berpusat pada siswa dan mendorong inkuiri terbuka dan berpikir bebas. Seluruh proses belajar mengajar yang berorientasi PBI adalah membantu siswa untuk menjadi mandiri. Siswa yang mandiri (otonom) yang percaya pada keterampilan intelektual mereka sendiri, memerlukan keterlibatan aktif dalam lingkungan yang berorientasi pada inkuiri. Peran utama guru pada PBI adalah membimbing dan memfasilitasi sehingga siswa dapat belajar berpikir dan memecahkan masalah oleh mereka sendiri (Ibrahim dan Muslimin, 2002). Ibrahim dan Muslimin (2000) menyebutkan bahwa PBI dilandasi oleh 3 hal, yakni (1) teori pembelajaran konstruktivisme, (2) kelas demokratis, dan (3) pembelajaran penemuan. Konstruktivisme Jean Piaget dan Vygotsky merupakan tokoh dalam pengembangan konsep konstruktivisme, dan di atas konsep inilah PBI diletakkan. Menurut Piaget dalam Ibrahim dan Muslimin (2000), anak memiliki rasa ingin tahu bawaan dan secara terus menerus berusaha memahami dunia di sekitarnya. Rasa ingin tahu itu memotivasi mereka
untuk secara aktif membangun tampilan dalam otak mereka tentang lingkungan yang mereka hayati. Pengetahuan yang telah diperoleh secara terus menerus tumbuh dan berubah pada saat siswa menghadapi pengalaman baru yang memaksa mereka membangun dan memodifikasi pengetahuan mereka sendiri. Sementara itu, Vygotsky percaya bahwa interaksi sosial dengan teman lain memacu terbentuknya ide baru dan memperkaya perkembangan intelektual siswa. Menurut Depdiknas (2002), di dalam konstruktivisme ditekankan bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit, yang hasilnya diperluas melalui konteks yang terbatas dan tidak sekonyongkonyong. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengalaman nyata. Dalam proses pembelajaran, siswa membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajarmengajar. Guru hanya berperan sebagai fasilitator dan penyedia kondisi supaya proses belajar bisa berlangsung. Pembelajaran Penemuan Pembelajaran penemuan adalah suatu model pembelajaran yang menekankan pentingnya membantu siswa memahami stuktur atau ide kunci dari suatu disiplin ilmu. Oleh karena itu, perlunya siswa aktif terlibat dalam proses pembelajaran, dan suatu keyakinan bahwa pembelajaran yang sebenarnya terjadi melalui penemuan pribadi (Ibrahim dan Muslimin, 2000). Dalam pembelajaran dengan penemuan, guru harus mendorong siswa untuk memiliki pengalaman dan
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
79
Tahap 1. Orientasi siswa kepada masalah
1. Mengorga nisasi siswa untuk belajar 1. Membantu penyelidik an mandiri, ataupun kelompok
1. Menyajik an hasil karya.
1. Mengana lisis dan mengeva luasi proses pemecah -an masalah
Tingkah laku guru 1. Mengkomunikasikan tujuan pelajaran secara jelas. 2. Menyajikan situasi masalah autentik yang berasal dari permasalahan sains, teknologi, lingkungan atau masyarakat dengan prosedur jelas 1. Mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok belajar. 2. Bersama siswa menetapkan subtopik-subtopik yang spesifik, tugas penyelidikan dan jadwal waktu. 1. Mendorong pertukaran ide pemecahan masalah secara bebas dan penerimaan sepenuhnya ide-ide itu. 2. Mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai atau melaksanakan eksperimen, untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah. 3. Membantu siswa menemukan bahan dan mengingatkan akan tugas-tugas yang harus diselesaikan mereka 1. Membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan, portofolio, model, dll. 2. Membantu siswa untuk berbagi tugas dengan temannya dalam menyajikan hasil karya. 1. Membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan dan proses-proses yang mereka gunakan.
melakukan percobaan yang memungkinkan mereka menemukan prinsip-prinsip untuk diri mereka sendiri. Pembelajaran penemuan memacu rasa ingin tahu siswa, memotivasi mereka untuk melanjutkan pekerjaannya hingga mereka menemukan jawabannya. Siswa juga belajar memecahkan masalah secara mandiri dan ketrampilan berpikir kritis karena mereka harus selalu menganalisis dan menangani informasi. Menurut Arends (1997), PBI terdiri dari 5 tahap utama yang dimulai
dengan guru memperkenalkan siswa pada suatu masalah dan diakhiri dengan penyajian dan analisis hasil kerja siswa. Kelima tahap utama ini disajikan pada Tabel 1. Tabel 1, Sintaks Pembelajaran Berdasarkan Masalah (PBI) Sumber : Nur. Muslimin, 2008
PEMBAHASAN Kemampuan kognitif siswa Data hasil kognitif, dianalisis melalui nilai tes formatif di akhir pembelajaran dan lembar kerja siswa (LKS) pada data kualifikasi tingkat penguasaan LKS tiap kelompok ditampilkan pada Tabel 2. Tabel 2, Kualifikasi Tingkat Pengusaan LKS Pada Tiap Kelompok
Nilai
Hasil Lembar Kerja Siswa (LKS) Nilai Kelompok (%)
Kualifikasi
90100
II
91,42
sangat baik
III I VI V IV -
80,94 85,71 80,71 85,71 70 -
80-89 65-79 <65
Baik Cukup kurang/gagal
Pada Tabel 2 di atas terlihat bahwa pada LKS terdapat satu kelompok dengan kualifikasi sangat baik, yaitu kelompok II, empat kelompok dengan kualifikasi baik yaitu kelompok III, I, V, dan VI, satu kelompok dengan kualifikasi cukup yaitu kelompok IV dan tidak terdapat kelompok dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
80
Kemampuan Afektif Siswa Data kemampuan afektif siswa yang dinilai selama proses pembelajaran dilihat pada Tabel 3. Tabel 3, Data Sikap Siswa Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2 Nilai 80-100 61-80 41-60 20-40 Jlh
Prt I
Prt II
Kualifikasi
Frek 10 20 4 34
Frek 11 21 2 34
sangat baik baik cukup kurang/gagal
Pada Tabel 3, terlihat penilaian sikap yang dinilai melalui lembar penilaian sikap selama dua kali pertemuan. Pada pertemuan pertama terdapat 10 siswa dengan kualifikasi sangat baik, 20 siswa dengan kualifikasi baik, 4 siswa dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal. Pada pertemuan kedua, terdapat 11 siswa dengan kualifikasi sangat baik, 21 siswa dengan kualifikasi baik, 2 siswa dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal. Data kualifikasi siswa pada aspek afektif diperoleh melalui nilai rata-rata persentasi untuk setiap pertemuan terlihat pada Tabel 4. Tabel 4, Kualifikasi Nilai Rata-rata Siswa Pada Aspek Afektif Selama Dua Kali Pertemuan Nilai
Frekuensi
81 – 100 61 – 80 41 – 60 20 – 40 Jumlah
7 26 1 -
Frekuensi (%) Relatif 20,59 76,47 2,94 -
34
100
Kualifikasi sangat baik baik cukup kurang/gagal
Tabel 4, menunjukkan nilai rata-rata nilai siswa aspek afektif pada pertemuan pertama dan kedua. Berdasarkan nilai rata-rata terlihat seluruh siswa mampu memenuhi kriteria penilaian aspek afektif dengan kualifikasi berbeda-beda yaitu sebagai berikut : sebanyak 7 siswa (20,59 %) dengan kualifikasi sangat baik, 26 siswa (76,47%) dengan kualifikasi baik, 1 siswa (2,94%) dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal. Kemampuan Psikomotor Siswa Data kemampuan aspek psikomotor siswa yang dinilai selama proses pembelajaran terlihat pada Tabel 5. Tabel 5, Data Kemampuan Psikomotor Pada Pertemuan 1 dan Pertemuan 2 Pertemuan 1
Pertemuan ke-2
Frek
(%)
Frek
(%)
80-100
11
32
19
56
61-80 41-60 20-40 Jlh
20 3 34
59 9 100
13 2 34
38 6 100
Nilai
Kualifikasi sangat baik baik cukup gagal
Tabel 5, menunjukkan penilaian aspek psikomotor yang dinilai selama dua kali pertemuan. Pada pertemuan pertama terdapat 11 siswa (32,36%) mampu menguasai semua aspek yang dinilai dengan kualifikasi sangat baik, 20 siswa (58,82%) dengan kualifikasi baik, 3 siswa dengan kualifikasi cukup (8,82%) dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal. Pada pertemuan kedua terdapat 19 siswa (55,88%) dengan kualifikasi sangat baik, 13 siswa (38,23%) dengan kualifikasi baik, 2 siswa (5,89%) dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
81
Hasil belajar siswa pada aspek psikomotor dapat digambarkan dengan kualifikasi rata-rata persentase untuk tiap pertemuan ditunjukkan pada Tabel 6. Tabel 6, Kualifikasi nilai rata-rata tingkat penguasaan siswa pada aspek psikomotor selama dua kali pertemuan Nilai
Frekuensi
81 – 100 61 – 80 41 – 60 20 – 40 Jumlah
16 16 2 34
Frekuensi (%) Relatif 47,06 47,06 5,88 100
Kualifikasi sangat baik baik cukup kurang/gagal
Tabel 4.6 menggambarkan nilai ratarata siswa pada aspek psikomotor selama dua kali pertemuan. Berdasarkan nilai rata-rata, terlihat sebanyak 16 siswa (47,06%) dengan kualifikasi sangat baik, 16 siswa (47,06%) dengan kualifikasi baik, 2 siswa (5,88%) dengan kualifikasi cukup dan tidak terdapat siswa dengan kualifikasi kurang atau gagal. Deskripsi Tingkat Penguasaan Siswa Hasil Tes Formatif Tes Formatif adalah tes yang diberikan kepada siswa setelah proses pembelajaran pada suatu materi selama dua kali pertemuan. Data kualifikasi tingkat penguasaan siswa pada tes formatif ditunjukkan pada Tabel 7. Tabel 7 Kualifiksi tingkat penguasan siswa hasil tes formatif Nilai
Frekuensi
90 – 100
12
Frekuensi Relatif (%) 35,25
80 – 89 65 – 79 < 65 Jumlah
16 4 2 34
47,05 11,77 5,89 100
Tabel 7 menunjukkan bahwa hasil tes formatif dengan kualifikasi sangat baik berjumlah 12 siswa (35,25%), kualifikasi baik berjumlah 16 siswa (47,05%), kualifikasi cukup berjumlah 4 siswa (11,77%) dan kualifikasi kurang/gagal berjumlah 2 siswa (5.89%). Nilai akhir (NA) siswa Nilai akhir yang merupakan hasil belajar siswa dapat diketahui setelah dilakukan analisa terhadap persentase tingkat penguasaan siswa pada tes akhir (post-test) (X1) dan persentase tingkat penguasaan nilai proses (X2). Perbedaan tingkat penguasaan siswa pada nilai akhir terlihat pada Tabel 8. Tabel 8, Kualifikasi tingkat penguasaan nilai akhir (NA) siswa Nilai
Frekuensi
90 – 100 80 – 89 65 – 80 <65 Jumlah
3 22 7 2 34
Frekuensi relatif (%) 8,82 64,70 20,59 5,89 100
Kualifikasis sangat baik baik cukup kurang/gagal
Tabel 8 terlihat bahwa sebanyak 3 siswa (8,82%) dengan kualifikasi sangat baik, 22 siswa (64,70%) dengan kualifikasi baik, 7 siswa (20,59%) dengan kualifikasi cukup, 2 siswa (5,89%) dengan kualifkasi kurang atau gagal. Dengan deminkian dapat disimpulkan bahwa terdapat 32 siswa (94,11%) mampu mencapai KKM, sedangkan 2 siswa (5,89%) belum mencapai KKM.
Kualifikasi sangat baik baik cukup gagal
Hasil Belajar Siswa Selama Proses Pembelajaran Selama proses pembelajaran siswa dinilai melalui 3 aspek yaitu (1) aspek kognitif, (2) aspek afektif atau
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
82
sikap dan (3) aspek psikomotor. Aspek kognitif yang dinilai dalam penelitian ini yakni dari hasil lembaran kerja siswa (LKS) selama proses pembelajaran. Hasil penilaian menunjukkan bahwa pada pertemuan kedua terdapat satu kelompok dengan kualifikasi sangat baik yakni kelompok II, dengan kualifikasi baik terdapat 4 kelompok yakni kelompok III, I, V dan VI dan 1 kelompok dengan kualifikasi cukup yakni kelompok IV dan tidak terdapat kelompok dengan kualifikasi kurang atau gagal. Tabel 2 menggambarkan hasil penilaian pada LKS menunjukkan siswa mampu menyesuaikan diri pada pembelajaran dengan menggunakan pendekatan jelajah alam sekitar (JAS) dengan model pembelajaran PBI. Dengan demikian, siswa lebih mudah mengerti informasi yang diberikan dalam LKS pada masing-masing kelompok. Hal ini dibuktikan pada hasil LKS. Sejalan dengan itu, Salvin (1995) dalam Wenno (2008) menyatakan bahwa siswa akan lebih mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit apabila mereka saling mendiskusikan konsepkonsep itu dengan teman-temannya. Siswa juga akan bekerja sama dalam belajar dan bertanggung jawab atas pembelajarannya sendiri. Dalam kelompok dengan kemampuan yang heterogen, siswa belajar bersama dalam kelompok kecil yang membantu satu sama lain serta melatih siswa menerima perbedaan pendapat dan bekerja dengan teman yang berbeda latar belakang (Wenno, 2008; 57-58). Aspek afektif dalam penelitian ini yang dinilai adalah sikap siswa dalam keseriusan, kesopanan dan ketertiban selama pembelajaran yang terkait dengan materi zat aditif
makanan. Aspek afektif adalah ranah yang berkaitan dengan sikap dan nilai. Data padaTabel 3 memuat skor perolehan dan persentase siswa dalam aspek afektif. Pada RPP I terlihat bahwa sebagian besar siswa sudah mampu memenuhi kriteriakriteria dalam penilaian pada aspek afektif dimaksud. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sebagian besar siswa menjaga proses pembelajaran. Siswa juga sopan dalam mengajukan pertanyaan atau menjawab pertanyaan baik dari guru maupun antar sesama teman, walaupun ada beberapa siswa yang kurang sopan dalam penggunaan bahasa. Kerja sama yang baik juga terlihat pada saat siswa melakukan diskusi terkait dengan penemuanpenemuan saat melakukan jelajah alam sekitar maupun dalam menyelesaikan LKS. Beberapa pakar menyatakan bahwa sikap siswa dapat diramalkan perubahannya bila seseorang (siswa) telah memiliki penguasaan kognitif tingkat tinggi (Sudijono, 1995:54). Hasil belajar psikomotor ini merupakan kelanjutan dari hasil belajar kognitif (memahami sesuatu) dan hasil belajar afektif (yang baru tampak dalam bentuk kecenderungankecenderungan dan perilaku). Hasil belajar kognitif dan hasil belajar afektif akan menjadi hasil belajar psikomotor apabila siswa telah menunjukkan perilaku atau perbuatan tertentu sesuai dengan makna yang terkandung dalam ranah kognitif dan ranah afektifnya (Sudijono,1995 : 54). Nilai keterampilan yang dimiliki siswa sangat mendukung lancarnya proses pembelajaran sehingga penilaian keberhasilan belajar siswa harus dilihat secara menyeluruh, tidak hanya
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
83
kognitif tetapi afektif dan psikomotor juga. Hasil Belajar Siswa Pada Tes Formatif (post-test) Keberhasilan siswa dalam mencapai ketuntasan belajar ini disebabkan kerena kegiatan mengajar yang berlangsung dengan semestinya, membuat siswa dapat memahami dan mengerti dengan baik apa yang diajarkan. Seperti yang dikemukakan oleh Ratumanan (2004:10), bahwa belajar merupakan suatu kegiatan mental yang menghasilkan kemampuan baru yang bersifat permanen pada diri siswa. Belajar akan lebih berhasil jika keseluruhan potensi siswa dilibatkan secara optimal. Tujuan dilakukannya tes formatif pada akhir pembelajaran yaitu untuk mengetahui kemampuan kognitif siswa setelah mengikuti proses pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran PBI dengan pendekatan jelajah alam sekitar (JAS). Dari hasil tes formatif menunjukkan bahwa terdapat 32 siswa (94,11%) mencapai kriteria ketuntasan minimal (KKM), sedangkan siswa yang belum atau gagal menguasai indikator pembelajaran sebanyak 2 siswa (5,89%). Hal ini disebabkan karena siswa tersebut tidak serius dalam mengikuti kegiatan belajar mengajar (KBM), dan dalam melaksanakan diskusi tidak memperhatikan materi yang disampaikan dan tidak serius mengerjakan LKS dalam kelompoknya masing-masing. Berdasarkan hasil ini, dapat diketahui bahwa sebagian besar siswa mampu menguasai indikator-indikator pembelajaran, dimana penilaian keberhasilan belajar siswa harus dilihat secara komprehensif, tidak hanya kognitif, tetapi afektif dan
psikomotor juga. Hal ini membuktikan bahwa kemampuan kognitif siswa harus seimbang dengan kemampuan afektif dan psikomotor siswa, sehingga hasil belajar yang diperoleh akan lebih baik. KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian ini maka dapat disimpulkan bahwa sebanyak 32 siswa (94,11%) telah mampu mecapai kriteria ketuntasan minimum (KKM), dan 2 siswa (5,89%) belum mencapai KKM. SUMBER RUJUKAN Arends, 1997. Classroom Instruction and Management, Mc Grow Hill Compagnies Inc, New York. Arikunto S., 2006., Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta. Budimansyah, 2002. Model Pembelajaran dan Penilaian, Rosdakarya, Bandung. Depdiknas, 2002. Kurikulum Berbasis Kompetensi, Depdiknas, Jakarta. Ibrahim, Muslimin, 2000. Pengajaran Berdasarkan Masalah, Unesa, Surabaya. Kunandar, 2007. Guru Profesional Implementasi Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) dan Sukses dalam Sertifikasi Guru, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta. Mariyanti, A., dan Kartijo, 2006. Bunga Rampai Pendekatan Pembelajaran JAS, Jurusan Biologi, FMIPA Unnes, Semarang. Mulyasa, 2007., Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, Rosdakarya, Bandung. Mulyani, M., 2009. Evaluasi Keterampilan Menulis
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
84
Berdasarkan Pembelajaran Kontekstual dan Penilaian Berbasis Kelas, Rajawali Press, Jakarta. Nasution, S.,1983. Sosiologi Pendidikan, Penerbit Jemarres, Bandung. Nur, M., 2005. Pembelajaran Kooperatif, Pusat Sains dan Matematika, Unnesa, Surabaya. Permana. D., 2004. Inti Sari Kimia SMA, CV Pustaka Setia, Bandung. Purba, M., 2007. IPA Kimia Kelas VIII, Erlangga, Jakarta. Ratumanan, T.G., 2004, Belajar dan Pembelajaran, Universitas Press, Surabaya. Ridlo, S., 2005., Pendekatan Jelajah Alam Sekitar (JAS), dipresentasikan pada Seminar dan Lokakarya Pengembangan Kurikulum Pendidikan Biologi dengan Pendekatan Jelajah Alam Sekitar, FMIPA Unnes, Semarang. Sardiman, A.M., 2006. Interaksi dan Motivasi Belajar Mengajar, PT Radja Grafindo Persada, Jakarta. Slavin, R.E., 1995, Cooperative Learning Theory and Practice, Sixth Edition, Allyn Boston dan Balon. Slameto, 2003, Belajar dan Faktor yang Mempengaruhi, PT Rineka Cipta, Jakarta. Sudijono, A., 1995. Pengantar Evaluasi Pendidikan. Rajawali Press,Jakarta Sudjana, N., 1989. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar, Sinar Baru, Bandung. Sukaesih S., Sigit S., Dewi M., dan Siti A., 2005, Kualitas Pembelajaran Siswa Kelas VII SMP Negeri 27 Semarang Konsep Pengelolaan Lingkungan dengan Penerapan
Pendekatan Jelajah Alam Sekitar Model Konseptual Change yang diintegrasikan dengan Alternative Assesment, Unnes Semarang. Suryabrata, S., 1988. Psikologi Kepribadian, Rajawali Press, Jakarta. Suryabrata, S., 2006, Metodologi Penelitian, PT Raja Grafindo Persada.Jakarta Suryasubroto, B., 2002. Proses Belajar Mengajar Di Sekolah, Pustaka Pelajar, Yogyakarta Wenno, I.H., 2008., Strategi Belajar Mengajar Sains Berbasis Kontekstual, Penerbit Inti Media, Yogyakarta.
Jurnal Pendidikan ”Jendela Pengetahuan” Vol ke-5, Cetakan ke-12
85