APLIKASI GETAH DUA GENOTIPE PEPAYA BETINA SEBAGAI BIOFUNGISIDA UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT ANTRAKNOSA

APLIKASI GETAH DUA GENOTIPE PEPAYA BETINA SEBAGAI BIOFUNGISIDA UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby) PADA CABAI MERAH BESAR (Capsicum annum L.)

OLEH: DEDI PURNOMO A44103003

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

ABSTRAK DEDI PURNOMO. Aplikasi Getah Dua Genotipe Pepaya Betina sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby) pada Cabai Merah Besar (Capsicum Annum L.). Dibimbing Oleh BONNY P. W. SOEKARNO. Penyakit antraknosa (Colletotrichum capsici) merupakan salah satu permasalahan utama pada pertanaman cabai di Indonesia yang menyerang di pertanaman maupun di penyimpanan. Pada penelitian ini telah dievaluasi pemanfaatan dua genotipe getah pepaya betina untuk mengendalikan penyakit antraknosa, sehingga diharapkan dapat mengganti penggunaan fungisida sintetik. Penelitian dilaksanakan di Laboratorium Mikologi Tumbuhan, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor dan Pusat Kajian Buah Tropika, Tajur, Bogor. Buah cabai varietas Hot Chili didapat dari Cipetey, Sukabumi, Jawa Barat. Getah pepaya betina diambil dari tanaman pepaya genotipe IPB-10 dan IPB-02. Penelitian terdiri dari isolasi C. capsici, penyadapan getah pepaya di PKBT, pengujian getah pepaya betina secara in-vitro dengan uji pertumbuhan koloni, pengujian getah pepaya betina secara in-vivo dengan uji kuratif dan preventif. Rancangan percobaan menggunakan rancangan acak lengkap. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dengan program Statistical Analysis System (SAS). Selanjutnya tiap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji jarak berganda Duncan untuk melihat perbedaan tiap perlakuan pada taraf 5 %. Hasil pengamatan menunjukkan aplikasi getah pepaya betina mampu menekan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici dan menurunkan susut bobot buah cabai secara signifikan. Aplikasi getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 memiliki kemampuan yang sama dalam mengendalikan penyakit antraknosa. Aplikasi getah pepaya betina IPB-10 konsentrasi 1% merupakan perlakuan terbaik pada uji in-vitro dengan daya hambat tertinggi sebesar 28.18%. Sedangkan pada uji in-vivo aplikasi getah pepaya IPB-10 konsentrasi 4% merupakan perlakuan terbaik dalam menurunkan masa inkubasi, kejadian penyakit dan intensitas penyakit antraknosa serta susut bobot buah cabai. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa getah pepaya betina secara efektif dapat menghambat serangan C.capsici secara in-vitro dan in-vivo. Sehingga berdasarkan hal tersebut getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 dapat dijadikan sebagai alternatif pengendalian penyakit antraknosa.

APLIKASI GETAH DUA GENOTIPE PEPAYA BETINA SEBAGAI BIOFUNGISIDA UNTUK MENGENDALIKAN PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum Capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby) PADA CABAI MERAH BESAR (Capsicum annum )

Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor

OLEH: DEDI PURNOMO A44103003

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2008

Judul

: APLIKASI GETAH DUA GENOTIPE PEPAYA BETINA SEBAGAI

BIOFUNGISIDA

UNTUK

MENGENDALIKAN

PENYAKIT ANTRAKNOSA (Colletotrichum capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby) PADA CABAI MERAH BESAR (Capsicum annum L.) Nama

: DEDI PURNOMO

NRP

: A44103003

Menyetujui, Pembimbing

Dr. Ir. Bonny Poernomo W.S., M.S NIP. 131 803 655

Mengetahui Dekan Fakultas Pertanian

Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M. Agr NIP. 131 124 019

Tanggal Lulus

:

RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Cirebon, Jawa Barat pada tanggal 9 April 1985. penulis merupakan anak kelima dari tujuh bersaudara dari pasangan Bapak Rusgani dan Ibu Nanih Roniyah. Tahun 1997 penulis lulus dari sekolah Dasar Negeri Pesisir Lama Cirebon, tahun 2000 penulis lulus dari Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 13 Cirebon, selanjutnya penulis lulus dari Sekolah Menengah Umum Negeri 4 Cirebon pada tahun 2003. Tahun 2003 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB sebagai mahasiswa Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian. Selama kuliah di IPB penulis aktif di Himasita (Biro Pengembangan Profesi 2003-2004) DKM AN-Naml (2004-2005), DKM Al-Hurriyyah (20052006). Penulis juga pernah menjadi asisten dosen Entomologi Serangga (20042005) dan Dasar-dasar Perlindungan Tanaman (2005-2006). Pengalaman magang penulis adalah sebagai asisten diperpustakaan (2004), R&D Syngenta Cikampek (2005), Mitra Kerja Senior Residen (2005-2006), Kuliah Kerja Profesi di Desa Larangan, Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Senior Residen (2006-2008), mengajar privat (2007-2008). Karya tulis yang pernah dibuat: Bakteri Gram Negatif dalam Mengendalikan Patogen Tanaman (Tugas 2004), Potensi Getah Pepaya Betina sebagai Biofungisida untuk Penanganan Pasca Panen Buah Pepaya (PKMI 2005), Pemanfaatan Getah Pepaya Betina sebagai Biofungisida dalam Pengelolaan Pasca Panen untuk Pengendalian Penyakit Antraknosa (Colletotrichum spp.) pada Buah Segar (LKTM LH 2006), Pemanfaatan Getah Pepaya Betina Untuk Mengendalikan Ulat Spodoptera litura pada Bawang Merah (LKTM 2007), Pembuatan Kompos dan Pengendalian Penyakit Akar Gada pada Tanaman Caisim Menggunakan Bakteri Rhyzosfer Rumput Gajah (LIIM 2006). Penelitian yang pernah dilakukan adalah sebagai berikut: Keefektifan Bakteri Rhizosfer Rumput Gajah dalam Pembuatan Kompos dan Pengendalian penyakit Akar Gada (Plasmodiophora brassicae) pada Tanaman Cruciferae (2007), Fermentasi Cangkang Rajungan Dan Tepung Jamur Tiram Untuk Mengendalikan Penyakit Bercak Ungu ( Alternaria porrii) Dan Layu Fusarium (Fusarium oxysporum) Pada Tanaman Bawang Merah (2007), Getah Pepaya Betina sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa Colletotrichum capsici (syd.) Bult. Et. Bisby pada cabai (2007), Pemanfaatan Tepung Kerabang Telur sebagai Sumber Ca untuk Pertumbuhan dan Perkembangan Tanaman Tomat (2007), Pemanfaatan Limbah Kulit Rajungan Untuk Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren (2007). Prestasi yang pernah diraih penulis adalah kandidat mahasiswa berprestasi (20042005 dan 2005-2006), Finalis PKMI (2005), Finalis LKTM (2006), Medali Emas PKMP (2006), Finalis LKTM LH (2006), Juara 1 LIIM (2006), Finalis LKTM (2007), Peraih PKMP Terbanyak (4 Proposal pada tahun 2007), Juara 2 Lomba Linnean Games pada Kongres Perhimpunan Entomologi Indonesia (PEI) di Bali pada tahun 2007.

PRAKATA Puji syukur saya panjatkan kepada kehadirat Allah SWT, atas segala nikmat-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Aplikasi Dua Genotipe Getah Pepaya Betina sebagai Biofungisida untuk Mengendalikan Penyakit Antraknosa (Colletotrichum capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby) pada Cabai Merah Besar (Capsicum Annum )” sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian pada Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor. Penulis mengucapkan terima kasih pada: 1. Ibu dan Ayah atas kesederhanaanya dalam membesarkanku, kakaku iyung, pepeng, ende, dede, dan adiku aneng, apong atas kasih sayangnya dalam memberikan semangat bagiku untuk kuliah. 2. Dr. Ir. Bonny Poernomo Wahyu Soekarno, MS sebagai dosen pembimbing skripsi dan sebagai bapak atas segala bimbingan, nasehat, dan semangatnya. 3. Dr. Ir. Damayanti Adidharma sebagai dosen penguji yang banyak memberi saran dan masukan untuk perbaikan skripsi dan pesan moral bagi penulis. 4. Ibu Tatik, Ibu Yunik, Mba Ani, Aping (Saudara Angkat Penulis), Bapak Purnama, Bapak Yayi, Bapak Swastiko (Dosen DPT), Bapak Ujang (PT Pijar), Ibu Erma, Ibu Sri, Ibu Tuti, Ibu Eka (Guru SMU4), Pranitasari&keluarga, Bapak Frans (Bapak Angkat penulis) atas bantuannya memudahkan penulis kuliah di IPB baik materil dan spiritual. 5. Dr. Ir. Sriani Suji Prihati, MS, Prof. Ir. Meiti SS, MS Ph.D, Bapak Dadang, Bapak Eman, Bapak Ade, Bapak Wawan atas perizinan dan fasilitas penggunaan laboratorium Mikologi dan Kebun PKBT. Dan Ibu Yeni Agromikrobiologi BPPT atas bantuannya dalam pembuatan isolat C. capsici. 6. Arief Rakhman Hakim, Neli, Edah, Eti, Yayah, Heri, Makdum, Stevi, Yuli, Irawan, Ado, Andi, David, Dimas, Yayat, Roni, Ikbal, Irwan, Into&keluarga, Edwin, Ica, Ratih, Eneng, Fadjar&keluarga, Budiyarto, Achid&motornya, Jaelani, Mas Mustholih, Mas Desna, Helmi, Mba Rita, Mba Devin, Erik, Zepri, Aryo, Bram, Ferdes, Mukhtar, Usman, Dian, Febri, Sofian, Aris, Mas Budi, Mas Zul, Anni (KFC), Evrin, Wacih, Nur, Desi, Arum, Hesti, Fatma, Vira, tiwi, Eni, Nia, Mala, Daus, Intan, Tika, Aida, Mas Ipang, Ema, Nanin, Nunu, Adi, Iwan, dan Mega, atas persahabatan yang membuat hidupku menjadi berwarna. 7. Adik-adiku di Asrama Kris, Diki, Didi, Yudis, Wahyu, Ddaonk, Tenyom, Tofa, Mukhlas, Anom, Kiki, Riza, Rozak, Dedi, Musang, Imus, Kiki, Awi, Ios, Gita, Ikbal, Ian, Faris, Ai, Baim, Ilyas, Wawan, Adim, Djunaedi, Helmi, Reza (RT 09), dan Furqon (RT 10), Oci dan adik-adiku yang lain yang tidak dapat disebutkan namannya yang selalu membawa keceriaan bagi penulis.. Penulis menyadari dalam penyusunan tugas akhir ini masih jauh dari kata sempurna, maka segala kritik dan saran penyempurnaan sangat diharapkan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pihak-pihak yang membutuhkan. Bogor, Januari 2008 Dedi Purnomo

DAFTAR ISI Halaman PENDAHULUAN ......................................................................................

1

Latar Belakang ....................................................................................

1

Tujuan Penelitian ...............................................................................

3

TINJAUAN PUSTAKA .............................................................................

4

Cabai Merah Besar (Capsicum annum L)............................................

4

Colletotrichum capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby .....................................

7

Pengendalian penyakit antraknosa ......................................................

9

Getah Pepaya Betina sebagai Alternatif Fungisida Sintetik ................

10

BAHAN DAN METODE ...........................................................................

13

Waktu dan Tempat .............................................................................

13

Bahan dan Alat Penelitian ..................................................................

13

Penyadapan Getah Pepaya Betina .......................................................

13

Penyediaan Isolat C. capsici ..............................................................

14

Pengujian Getah Pepaya Betina .........................................................

14

Pengujian In Vitro ........................................................................ Pengujian In Vivo ........................................................................ Uji Kuratif ............................................................................. Uji Preventif ..........................................................................

14 14 14 15

Pengamatan ........................................................................................

15

Persen Penghambatan ................................................................... Masa Inkubasi ............................................................................... Kejadian Penyakit .......................................................................... Intensitas Penyakit ......................................................................... Susut Bobot Buah Cabai ................................................................

15 16 16 16 17

Analisis Statistik ................................................................................

18

HASIL DAN PEMBAHASAN ....................................................................

19

Hasil Pengamatan ................................................................................

19

Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Secara in-vitro............... Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Secara in-vivo................ Uji Kuratif ..................................................................................... Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa ............................................. Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Intensitas Penyakit Antraknosa ............................................

19 21 21 21 22

Uji Preventif .................................................................................. Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Masa Inkubasi C. capsici ............................................................... Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa ............................................. Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Intensitas Penyakit Antraknosa ............................................ Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Susut Bobot Buah Cabai ......................................................

23 23 23 24 25

Pembahasan ........................................................................................

26

Uji in-vitro ..................................................................................... Uji in-vivo ..................................................................................... Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Susut Bobot Buah Cabai ............................................................... Pengaruh Konsentrasi dan Genotipe Getah Pepaya Betina ..........

26 27 27 28

KESIMPULAN DAN SARAN ....................................................................

30

Kesimpulan .........................................................................................

30

Saran ....................................................................................................

30

DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................

31

LAMPIRAN ................................................................................................

38

DAFTAR TABEL Halaman 1. Tabel 1

Permintaan cabai tahun 2002-2004 .........................................

5

2. Tabel 2

Perkembangan Permintaan Industri Pengolahan Terhadap Cabai Di Indonesia Tahun 1999-2003 .....................................

6

3. Tabel 3

Permintaan ekspor cabai merah Indonesia tahun 1999-2004...

6

4. Tabel 4

Daya hambat getah pepaya betina terhadap pertumbuhan koloni C. capsici ...............................................

20

Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap masa inkubasi penyakit C. capsici dengan uji preventif ..................

23

Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap persentase Susut bobot buah cabai dengan perlakuan uji preventif dan kuratif .......................................................................................

25

5. Tabel 5 6. Tabel 6

DAFTAR GAMBAR Halaman 1. Gambar 1 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap pertumbuhan koloni C. capsici ......................................................................

19

2. Gambar 2 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap pertumbuhan koloni C. capsici pada akhir pengamatan (7 HSP) ..................

20

3. Gambar 3 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina pada buah cabai .........

21

4. Gambar 4 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit antraknosa dengan uji kuratif......................

22

5. Gambar 5 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit antraknosa dengan uji kuratif ....................

22

6. Gambar 6 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit antraknosa dengan uji preventif .................

24

7. Gambar 7 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit antraknosa dengan uji preventif ...............

24

LAMPIRAN Halaman 1. Lampiran 1 Pertumbuhan koloni C. capsici pada berbagai konsentrasi getah pepaya .........................................................................

39

2. Lampiran 2 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit C. capsici dengan uji kuratif ..................................

39

3. Lampiran 3 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit C. capsici dengan uji kuratif ..................................

40

4. Lampiran 4 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit C. capsici dengan uji preventif ..............................

40

5. Lampiran 5 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit C. capsici dengan uji preventif .............................

41

PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia negara yang kita cintai merupakan negara agraris yang mayoritas penduduknya bermata pencaharian sebagai petani. Tanaman sayuran merupakan salah satu komoditas pertanian yang banyak dibudidayakan oleh petani Indonesia. Produksi sayuran di Indonesia merupakan yang terbesar ketiga setelah Australia dan Cina dengan produksi sayuran pada tahun 2000 sebesar 7.072.136 ton (BPS 2007). Cabai (Capsicum annum L) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang banyak dibudidayakan oleh petani di Indonesia karena memiliki harga jual yang tinggi (Prajnanta 2004) dan memiliki beberapa manfaat kesehatan yang salah satunya adalah zat capsaicin yang berfungsi dalam mengendalikan penyakit kanker (Kilham 2006). Konsumen cabai segar terus meningkat seiring pertumbuhan populasi penduduk Indonesia, karena berbagai produk makanan banyak menggunakan cabai sebagai bahan bakunya. Dengan asumsi tingkat konsumsi rata-rata 0,37 kg/kapita/bulan dan konsumsi cabai 80% dari jumlah penduduk yang diperkirakan mencapai 224 juta orang pada 2006, maka konsumsi cabai di Indonesia sebesar 66.304 ton/bulan atau 795.648 ton/tahun. Pada saat itu asumsi harga cabai Rp10.000/kg, maka laba yang diperoleh petani sebesar Rp 114 juta-Rp172 juta/ha. Akan tetapi nilai ekonomi cabai yang tinggi tidak diikuti dengan peningkatan produktivitasnya. Sampai tahun 2004 produktivitas cabai di Indonesia baru mencapai 4,22 Ton/Ha (DEPTAN 2006) dari total potensinya 1530 ton/ha (Rubatzky & Yamanguchi 1995), 16 Ton/Ha (Duriat 1996). Salah satu kendala utama dalam sistem produksi cabai di Indonesia adalah gangguan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici. Penyakit antraknosa dapat menurunkan produksi cabai sebesar 50-100% (BPH 1993), 75% (Kusandriani & Permadi 1996), dan berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Kompas (Januari 2005) ratusan hektar tanaman cabai di Sipiriok, Sulawesi mengalami gagal panen akibat penyakit antraknosa.

Upaya pengendalian penyakit antraknosa yang dilakukan sampai saat ini adalah aplikasi fungisida sintetik karena dianggap praktis, mudah didapat, dan menunjukkan efek yang cepat. Adiyoga dan Soetiarso (1999) melaporkan 80% petani sayuran menggunakan pestisida untuk mengendalikan penyakit tanaman. Akan tetapi aplikasi fungisida tersebut sering meninggalkan residu yang berbahaya terhadap lingkungan dan kesehatan manusia bila terkonsumsi manusia bersama buah cabai segar atau olahan (Duriat 1994). Salah satu fungisida yang banyak digunakan dalam pengendalian antraknosa pada cabai adalah karbofuran. Menurut Kamrin et al. (1997) karbofuran dapat tersimpan di Air Susu Ibu (ASI), sehingga apabila ASI tersebut terkonsumsi oleh bayi dapat dapat mengakibatkan gangguan kesehatan seperti gangguan syaraf dan menurunkan pertumbuhan serta perkembangan mental anak. Dampak lain dari residu fungisida adalah penolakan ekspor oleh banyak negara tujuan ekspor atas produk-produk cabai yang mengandung residu fungisida dan pestisida lain (Caswell & Modjusca 1996). Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman biodiversity yang tinggi. Sampai saat ini Indonesia memiliki lebih dari 350.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menghasilkan berbagai produk metabolit sekunder dengan jumlah 100.000 dari 1.000.000 senyawa kimia yang memiliki fungsi adaptif sebagai pertahanan diri, simbiosis, polinasi dan lain-lain (Surjadi 2005). Penggunaan bahan-bahan alami yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan fungisida sintetik yang sering disebut fungisida nabati atau biofungisida (Kardinan 2002) hal ini dikarenakan fungisida nabati mudah terdegradasi sehingga tidak meninggalkan residu (Hamijaya 2005). Salah satu bahan alam yang mempunyai potensi sebagai senyawa antimikroba atau fungisida nabati adalah getah pepaya. Getah pepaya merupakan salah satu metabolit sekunder yang mengandung enzim kitinase (Azarkan et al. 1997). Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Hutari (2005) getah pepaya betina dapat mengendalikan penyakit antraknosa (Colletotrichum gloeosporioides) pada buah pepaya karena kandungan enzim kitinase yang bersifat mendegradasikan kitin, sehingga kitin glukal yang merupakan penyusun dinding sel miselium cendawan dan konidia mengalami kerusakkan setelah diberi getah pepaya (Adikaram et al. 1998).

Pemanfaatan getah pepaya dilaporkan tidak menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan manusia. Menurut Sunarintyas (2005) getah pepaya tidak menyebabkan reaksi sitotoksisitas dan hipersensitif yaitu kerusakan jaringan karena senyawa beracun. Getah pepaya juga tidak menimbulkan efek residu, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Konno et al. (2004) toksisitas getah pepaya ini hilang setelah dilakukan pencucian. Pepaya memiliki tiga jenis buah yaitu jantan, betina, dan hermafrodit. Pada umumnya buah yang dikonsumsi adalah buah hermafrodit karena memiliki daging buah yang besar dan rasa yang enak (PKBT 2004). Untuk meningkatkan nilai ekonomis dari tanaman pepaya maka dalam penelitian ini dimanfaatkan buah pepaya betina, karena pepaya jenis ini kulitnya tebal, buahnya sedikit, rasanya yang tidak enak, dan tidak laku untuk dijual di supermarket (Kalie 2001), tetapi memiliki potensi menghasilkan getah pepaya dalam jumlah yang besar dibandingkan dengan buah pepaya hermafrodit (Sabari 2001). Pemanfaatan tanaman pepaya umumnya dibagi menjadi dua yaitu sebagai penghasil papain dan diproduksi untuk konsumsi manusia. Perbedaan ini merupakan perbedaan genotipe pada tanaman pepaya. Perbedaan genotipe menyebabkan fungsi fisiologis getah yang dihasilkan juga berbeda (Iriani 1991). Getah pepaya khusus papain memiliki nilai proteolitik yang lebih tinggi dibandingkan yang diproduksi untuk konsumsi manusia. Tanaman pepaya khusus papain yang merupakan koleksi IPB adalah pepaya IPB-10 sedangkan untuk tanaman pepaya yang khusus dikonsumsi adalah IPB-02 (Lukitasari 2004; Yuniar 2005). Getah Pepaya yang dihasilkan dari kedua genotipe ini dapat digunakan untuk melihat efektifitasnya dalam mengendalikan penyakit antraknosa.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan menguji getah pepaya betina dari dua genotipe pepaya yaitu pepaya IPB-10 dan IPB-02 dengan perlakuan konsentrasi dalam menghambat pertumbuhan dan perkembangan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici pada buah cabai merah besar (Capsicum annum L.).

TINJAUAN PUSTAKA Cabai Merah Besar (Capsicum annum L) Tanaman cabai merah besar sudah dikenal oleh penduduk Mexico sejak zaman Aztek yaitu sekitar 7000 tahun sebelum masehi. Kemudian cabai menyebar dengan cepat melalui perdagangan di Amerika Tengah, Amerika Selatan, dan India Barat. Pada masa sekarang ini cabai dapat ditemukan di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Mexico, Guatemala, Amerika Selatan, Kepulauan Karibia, India, Indonesia, Thailand, Vietnam, Burma, Malaysia, China, Korea, Turki, dan beberapa di Eropa dan Afrika (Killham 2006). Cabai merah Besar (Capsicum annuum L.) termasuk ke dalam famili Solanaceae. Terdapat sekitar 2030 spesies yang termasuk ke dalam genus Capsicum, diantaranya adalah lima spesies yang telah dibudidayakan, yaitu : C. baccatum, C. pubescens, C. annuum, C. chinense dan C. Frutescent (DEPTAN 2004). Tanaman cabai memiliki percabangan berbentuk semak, batangnya berkayu, tipe percabangan tegak atau menyebar dengan karakter yang berbedabeda tergantung spesiesnya. Tinggi tanaman 0-5 m berdaun tunggal dengan helai daun berbentuk ovate atau lanceolate, warna hijau muda atau hijau tua, struktur perakaran tanaman cabai diawali dari akar tunggang yang sangat kuat yang bercabang-cabang ke samping dengan akar-akar rambut, bunga sempurna. Mahkota bunga berwarna putih dengan 5 helaian setiap bunga (Cott 2002). Cabai membutuhkan kelembaban 60-89% untuk pertumbuhannya (Kusandriani & Sumarna 1993). Cabai mengandung berbagai macam senyawa yang berguna bagi kesehatan manusia. Sun et al. (2007) melaporkan cabai mengandung antioksidan yang berfungsi untuk menjaga tubuh dari serangan radikal bebas. Kandungan terbesar antioksidan ini adalah pada cabai hijau. Cabai juga mengandung Lasparaginase dan Capsaicin yang berperan sebagai zat anti kanker (Kilham 2006; Bano & Sivaramakrishnan 1980). Produktivitas cabai di Indonesia fluktuatif. DEPTAN (2006) melaporkan produktivitas cabai tahun 2000-2004 adalah 4.17, 4.07, 4.21, 6.05, 5.66 ton/ha. Permintaan

terhadap

cabai

selalu

meningkat

setiap

tahunnya

seiiring

bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia. Tabel 1 menunjukkan rata-rata permintaan cabai di Indonesia sampai tahun 2004 adalah 2.76 kg/tahun/kapita dengan konsumsi total 589.395 ton/tahun. Jumlah ini terus meningkat sampai pada tahun 2006 konsumsinya meningkat menjadi 66.304 ton/bulan atau 795.648 ton/tahun. Tabel 1 Permintaan cabai tahun 2002-2004 Tahun

Produksi (Ton)

Konsumsi Penduduk (1000 x Orang)

Per kapita

Total/tahun

(kg/tahun)

(Ton)

2002

635.089

210.736

2.760

581.631

2003

1.066.722

213.550

2.780

593.669

2004

1.100.514

216.381

2.740

592.884

2.760

589.395

rata-rata Keterangan

934.108

: Direktorat Jenderal Tanaman Pangan hortikultura 2005

Permintaan terhadap cabai tidak hanya dari konsumen rumah tangga tetapi juga dari industri (Soetiarso & Ameriana 1996). Tabel 2 menunjukkan total permintaan cabai dari tahun 1999-2003 meningkat setiap tahunnya. Meningkatnya permintaan terhadap cabai ini dikarenakan semakin meningkatnya industriindustri yang menggunakan bahan baku cabai. Industri kecap merupakan konsumen industri yang membutuh cabai terbesar diantara yang lainnya dengan konsumsi pada tahun 2003 yaitu sebesar 19.112 ton lebih besar dibandingkan pada tahun 2001 dan 2002 hanya sebesar 9.251 ton dan 9.851 ton. Permintaan terhadap cabai juga datang dari pasar luar negeri dan menunjukkan angka yang fluktuatif. BPS (2004) melaporkan ekspor cabai tahun 1999-2001 selalu meningkat dengan nilai ekspor tertinggi pada tahun 2001 yaitu sebesar 1.001,8 ton dan mengalami penurunan yang drastis pada tahun 2002 yaitu hanya sebesar 450.5 ton (Tabel 3).

Tabel 2 Perkembangan Permintaan Industri Pengolahan Terhadap Cabai Di Indonesia Tahun 1999-2003 Kelompok Industri Pengolahan

Permintaan (Ton) 1999

2000

2001

2002

2003

8

7

1. Industri Pengasinan / Pemanisan Buah-buahan dan sayuran

-

2. Industri Pelumatan Buah-buahan dan Sayuran

-

3. Industri Makanan, Mie, Bihun, Soun, Sphagetti dan sejenisnya

46

4. Industri kecap

-

-

9251

5. Industri Makanan dari Kedelai dan kacang-kacangan

-

-

5

6. Industri Kerupuk

16

18

93

110

50

7. Industri Bumbu Masak

9

12

28

3

27

8. Industri Petis dan Terasi

5

9

22

45

91

76

1858

9470

Total Keterangan

-

-

1760

11

273

469

59

60

108

108

9851 19112 -

10398 19871

: BPS 2004a

Tabel 3 Permintaan ekspor cabai merah Indonesia tahun 1999-2004

Keterangan

7

Tahun

Jumlah Ekspor (Ton)

1999

604.4

2000

612.7

2001

1001.8

2002

450.5

2003

466.9

2004 : BPS 2004b

916.6

Colletotrichum capsici (Syd.) Bult. Et. Bisby Patogen penyebab penyakit merupakan salah satu organisme pengganggu tanaman (OPT) yang mempengaruhi fungsi fisiologis tanaman. Fungsi fisiologis tanaman merupakan rangkaian aktifitas pada tanaman untuk melangsungkan hidup salah satunya adalah fotosintesis. Fotosintesis adalah proses pembentukkan energi dari CO2 dan H2O, selanjutnya energi yang dihasilkan digunakan untuk pembentukkan organ tanaman, salah satunya adalah pembentukan buah (Pantastico 1986). Adanya gangguan fungsi fisiologis yang disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman menyebabkan tanaman sulit untuk berbuah bahkan sampai tidak menghasilkan buah. Hal ini yang menyebabkan organisme pengganggu tanaman berperan penting dalam dunia pertanian karena dapat mengurangi hasil produksi pertanian (Sinaga 2003). Cendawan merupakan salah satu OPT yang dilaporkan banyak menyerang tanaman hortikultura (Gafur 2003). Cendawan yang menyerang tanaman hortikultura pada umumnya adalah Botryodiplodia sp., Fusarium sp., Chepalosporium sp., dan yang sering menyebabkan penyusutan hasil produksi adalah Colletotrichum sp penyebab penyakit antraknosa yang menyerang baik pada saat prapanen, penyimpanan (di pedagang pengumpul), dan saat pemasaran (di pasar buah dan pasar swalayan) (Prabawati 1991). Penyakit antraknosa pada cabai disebabkan oleh Colletotrichum capsici telah banyak dilaporkan menyebabkan penurunan hasil produksi tanaman cabai baik di Indonesia maupun di luar negeri. Di Kenya penyakit antraknosa menyebabkan penurunan hasil panen sebesar 75-80 % (Ferreira & Boley tanpa tahun) dan Di Thailand dilaporkan penyakit antraknosa menyerang 9 dari 17 varietas cabai (Widjaya 1991). Penyakit antraknosa di Indonesia menurunkan produksi tanaman cabai sebesar 50-100% (BPH 1993), 75% (Kusandriani & Permadi 1996) dan berdasarkan laporan yang dihimpun oleh Kompas (Januari 2005) ratusan hektar tanaman cabai di Sipiriok, Sulawesi mengalami gagal panen akibat penyakit antraknosa. Penyakit antraknosa yang disebabkan termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes ordo Melanconiales. Cendawan ini mempunyai hifa berseptat, konidia berbentuk tabung dengan ujung-ujung yang tumpul, kadang-kadang

berbentuk jorong dengan ujung membulat dan dasar sempit terpancung, hialin, tidak bersekat, bersel satu, berukuran 9-24 x 3-6 µm, terbentuk pada konidiofor yang tidak bersekat, bersel satu, hialin atau cokelat pucat. Cendawan yang termasuk ke dalam kelas Deuteromycetes ini memiliki miselium yang berkembang sempurna dan bercabang. Reproduksi struktur seksual jarang terjadi, bila diketahui dapat bereproduksi seksual maka dimasukkaan kedalam kelas Ascomycetes atau Basidiomycetes (Semangun 2000). Colletotrichum sp. menyebabkan dua tipe gejala pada buah yaitu antraknosa dan bercak cokelat. Pada buah-buah yang menjelang matang terlihat gejala khas yaitu bercak-bercak hitam pada bagian kulit, yang sedikit demi sedikit melekuk dan bersatu kemudian daging buah membusuk cekung ke arah dalam buah (Prabawati et al. 1991). Infeksi C. capsici pada cabai terdiri dari beberapa tahap, dimulai ketika buah masih dalam masa perkembangan di pohon. Infeksi diawali dengan adhesi spora dan hifa pada permukaan buah yang pada umumnya melalui percikan air hujan (Mercure et al. 1994), selain itu cendawan ini juga dapat menyerang melalui batang, ranting, daun, dan Bergstrom and Nicholson (1992) melaporkan bahwa cendawan ini dapat menyerang melalui akar. Setelah melekat, pada umumnya cendawan akan tetap pada periode laten dan belum menunjukan gejala sampai buah mencapai masa klimakterik dan dapat memberikan nutrisi untuk pertumbuhan cendawan selanjutnya (Prabawati et al. 1991), hal ini dikarenakan pada saat buah masih muda mengandung senyawa anti cendawan salah satunya enzim esterase yang terdapat pada permukaan buah cabai yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan cendawan (Ardi 2000; Kim et al. 2001). Setelah buah mengalami pemasakan, spora berkecambah membentuk tabung kecambah dan menempel sangat kuat pada permukaan jaringan tanaman, kemudian pada ujung tabung kecambah terbentuk apresorium (Bailey et al. 1992), kemudian terbentuk hifa penetrasi untuk melakukan penetrasi kedalam jaringan tanaman dan struktur infeksi primer terbentuk setelah hifa penetrasi masuk (Arroyo et al. 2005). Tahap selanjutnya adalah proses pengenalan, pensinyalan, pengembangan hifa infeksi dan haustoria dalam jaringan inang, serta patogenesis dan akhirnya melakukan kolonisasi (Pring et al. 1995).

C. capsici mensekresikan berbagai macam enzim untuk memudahkan proses infeksi pada tanaman. Enzim ini terlibat dalam interaksi eksternal dan internal. Interaksi eksternal adalah interaksi awal patogen menyerang inangnya yaitu pada saat proses penempelan dan perkecambahan spora (Gafur 2003). Patogen mengeluarkan glikoprotein yang berfungsi sebagai pelekat konidia pada inang dan menghambat enzim pelindung tanaman (Nicholson 1992), selain itu enzim-enzim seperti kitin deasetilase (Tsigos & Bouriotis 1995) dan pektat liase (Wei et al. 2002) juga membantu dalam proses penetrasi pada dinding sel inang oleh hifa penetrasi. Selain enzim tenaga fisik berupa tekanan turgor konidia dapat berperan dalam proses infeksi tanaman (Chen et al. 2004).

Pengendalian Penyakit Antraknosa Pestisida sintetik adalah bahan-bahan kimia yang bersifat racun yang dapat menghambat pertumbuhan dan perkembangan, tingkah laku, perkembang biakan, kesehatan, mempengaruhi hormon, penghambat makan, membuat mandul, sebagai pemikat, penolak, dan aktifitas lainnya yang dapat mempengaruhi organisme pengganggu tanaman (Kardinan 2002). Pestisida sintetik masih umum digunakan untuk mengendalikan penyakit antraknosa pada tanaman sayuran (Adiyoga & Soetiarso 1999). Fungisida sintetik banyak digunakan oleh petani karena memiliki periode pengendalian panjang, cepat menurunkan penyakit, mudah dan praktis untuk digunakan, mudah dan praktis disimpan, dan mudah untuk mendapatkannya. Fungisida yang sering digunakan untuk mengendalikan penyakit antraknosa adalah derosol 60 WP yang dicampur dengan dithane 80 WP, fungisida berbahan aktif propineb, zineb, benlate, manzate, benomyl, dan meneb dengan aplikasi pencelupan selama 5-10 menit. Prabawati (1991) dan Prajnanta (2004) melaporkan fungisida prockloraz dan kombinasi benomyl dan mancozeb efektif untuk mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh C. capsici. Menurut semangun (1996) fungisida berbahan aktif mancozeb merupakan fungisida organik kontak yang mengandung unsur mangan (Mn) dan seng (Zn) yang berperan sebagai agens pengkelat sehingga sintesis protein dan metabolisme didalam sel cendawan terganggu.

Penggunaan fungisida sintetik yang berlebihan dapat menimbulkan dampak negatif bagi manusia dan lingkungan (Duriat 1994). Hal ini disebabkan adanya residu yang masih tertinggal setelah perlakuan, sebagai contoh hasil deteksi dipasaran baik di produsen, pasar grosir, pasar eceran tradisional serta pasar swalayan di bogor menunjukkan bahwa pada beberapa jenis sayuran mengandung residu pestisida diatas ambang aman (Harun et al. 1996; Ameriana et al. 2000). Residu pestisida ini menimbulkan gangguan bagi kesehatan manusia, seperti yang dilaporkan Sudibyaningsih (1991) bahwa fungisida dapat menimbulkan gangguan syaraf, ginjal, metabolisme enzim dan efek karsinogenik. Selain itu pada beberapa jenis bahan aktif yang terkandung dalam fungisida dapat tersimpan pada air susu ibu sehingga apabila terkonsumsi oleh balita dapat memperlambat pertumbuhan dan daya kembang otaknya (Kamrin 1997).

Getah Pepaya Betina sebagai Alternatif Fungisida Sintetik Meningkatnya perlindungan bagi konsumen rumah tangga dan industri terhadap residu pestisida (Soetiarso dan Majawisastra 1994), adanya permintaan pelabelan produk bebas pestisida di pasaran eropa (Caswell & Modjusca 1996), dan semakin meningkatnya konsumen memilih sayuran bebas pestisida yang didasarkan atas motivasi hidup sehat, risiko keracunan, pengetahuan yang meningkat (Ameriana et al. 2006) diperlukan suatu alternatif pengendalian yang efektif dalam mengendalikan penyakit antraknosa namun aman bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki keragaman biodiversity yang tinggi. Indonesia memiliki lebih dari 350.000 spesies tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menghasilkan berbagai produk yang salah satunya adalah metabolit sekunder dengan jumlah 100.000 dari 1.000.000 senyawa kimia. Senyawa kimia tersebut memiliki fungsi adaptif sebagai pertahanan diri, simbiosis, polinasi dan lain-lain (Surjadi 2005). Penggunaan bahan-bahan yang berasal dari tumbuhan dapat digunakan sebagai salah satu alternatif penggunaan fungisida sintetik yang sering disebut fungisida nabati atau biofungisida yang ramah lingkungan (Kardinan 2002) karena mudah terdegradasi sehingga tidak menimbulkan residu (Hamijaya 2005). Salah satu contoh manfaat tumbuhan

tingkat tinggi yaitu sebagai penghasil enzim kitinase yang dapat berfungsi sebagai penghambat pertumbuhan cendawan karena dinding selnya tersusun atas selulosa dan kitin (Agrios 2005). Getah pepaya merupakan salah satu contoh metabolit sekunder yang memiliki potensi dalam mengendalikan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh Colletotricum gloeosporioides. Getah pepaya ini mengandung enzim kitinase (enzim pengurai kitin) yang dapat mendegradasikan dinding sel cendawan yang tersusun dari kitin (Azarkan 1997). Getah pepaya berupa cairan kental berwarna putih susu dan lengket dengan berat jenis 1,038 g/cm3, kadar air 82,02% dan kandungan aktivitas proteolitiknya 307,8 MCU (Sabari et al. 2001a). Getah pepaya mengandung berbagai enzim diantaranya adalah peptidase A, peptidase B, papain, cimo papaine, karikain, glisil hidrolase, glisil endopeptidase (Azarkan et al. 1997), glutamine cyclotransferase (Zerhouni et al. 1998), lipase (Steinke 2001 & Dhuique 2001), glutamine cyclase (Azarkan et al. 2002), dan cysteine protease (Konno 2004). Peranan getah pepaya terhadap Colletotrichum capsici penyebab penyakit antraknosa adalah adanya enzim kitinase yang dapat mendegradasi kitin pada dinding selnya. Dinding hifa Colletotrichum sp. memiliki tekstur mikrofibril yang terbuat dari kitin (β-1,4 N asetilglukosamin). Kitinase dalam getah pepaya tersusun dari rantai ikatan N-asetil-β-D-glukosaminidase. Berdasarkan hal tersebut kitin-glukal yang tersusun dalam dinding sel miselium dan konidia C capsici mengalami kerusakan setelah diberi getah pepaya (Azarkan 1997 & Adikaram et al 1998). Lebih lanjut Karunaratne (1996) melaporkan bahwa dinding sel konidia yang dilarutkan dalam getah pepaya mengalami kerusakan dalam waktu 60 detik dan selanjutnya mengalami kehancuran dalam waktu 10 menit. Kehilangan bentuk terjadi setelah 30 menit. Pepaya memiliki tiga jenis buah yaitu jantan, betina, dan hermafrodit. Pada umumnya buah yang dikonsumsi baik di pasar dalam negeri maupun pasar ekspor adalah yang hermafrodit karena memiliki daging buah yang tebal, dan rasanya enak (Chan 1992; Kurnia 2005). Lebih lanjut hasil laporan PKBT (2004) menunjukkan bahwa sifat-sifat buah yang diinginkan untuk konsumsi segar adalah buah berasal dari bunga hermafrodit, ukuran buah kecil-medium (0.5-1

kg/buah) dan besar (lebih besar 3 kg), warna daging buah jingga-merah, warna kulit buah hijau-merah-jingga diselanya, rongga buah kecil (edible portion tinggi), kulit buah halus, bentuk lonjong, tekstur padat, dan rasa manis dengan aroma yang khas. Buah pepaya betina kurang disukai karena pepaya jenis ini kulitnya tebal, buahnya sedikit, rasanya yang tidak enak, dan tidak laku untuk dijual di supermarket sedangkan jantan tidak menghasilkan buah (Kalie 2000). Perbedaan sumber benih menghasilkan jenis tanaman yang berbeda pula. Buah bagian tengah dan ujung menghasilkan tanaman hermafrodit yang lebih banyak dibandingkan pada bagian pangkal dengan perbandingan 2:1 sampai 3:1 (Arifeni 2002; Maknani 2004). Lebih lanjut Sunarjono (1987) melaporkan bahwa tanaman hermafrodit dapat dihasilkan dari benih yang berasal dari 1/3 ujung sebanyak 75%, 1/3 tengah 65%, dan 1/3 pangkal 50%.

BAHAN DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Mikologi, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor untuk pengujian invitro dan invivo, dan Kebun Pusat Kajian Buah Tropika SEAMEO BIOTROP Tajur Bogor sebagai keperluan pengambilan getah pepaya betina IPB-2 dan IPB10 Penelilitian ini dilaksanakan pada bulan Agustus sampai dengan November 2007.

Bahan dan Alat Penelitian Bahan yang digunakan dalam penelitian antara lain: isolat murni C. capsici yang diisolasi dari buah cabai berasal dari pasar. Pepaya betina IPB-2 dan IPB-10 sebagai sumber getah, media tumbuh (Potato Dextrose Agar) PDA, NaOCl 1%, dan fungisida mankozeb 80 WP. Alat yang digunakan antara lain: alat sadap dari bambu yang ujungnya diberi cuter, termos es, cork borer, sarung tangan, cawan petri, gelas ukur, tabung erlemeyer, nampan.

Penyadapan Getah Pepaya Betina Buah pepaya betina yang digunakan adalah buah yang telah berumur 60 hari setelah antesis (penyerbukan) karena keadaan buah seperti ini masih belum masak dan kandungan getah pada tahap maksimum (Lukitasari 2004). Buah disadap dengan alat sadap yang terdiri dari pisau sadap (dari mata pisau Cutter) dan gagang pisau (dari bilah bambu yang diraut) berukuran panjang x lebar x tinggi = 35 cm x 1 cm x 0,4 cm), jarak antar bidang sadapan tersebar merata (Sabari et al. 2001). Getah yang didapat ditampung dengan tabung erlenmeyer. Penyadapan dilakukan pagi-pagi sekitar pukul 05:00-08:00 untuk menghindari kerusakan akibat sinar matahari (Nainggolan 2003).

Penyediaan Isolat (C. capsici) Isolat C. capsici diperoleh dari buah cabai dengan metode isolasi potongan jaringan. Metode pemotongan jaringan dilakukan dengan melakukan pemotongan jaringan cabai yang menunjukkan gejala dan sebagian lagi tidak menunjukkan gejala, selanjutnya potongan jaringan direndam dengan NaOCl 1% selama 1 menit, lalu dibilas dengan air steril dan dikering anginkan pada kertas saring steril. Potongan jaringan buah cabai tersebut selanjutnya ditumbuhkan pada medium PDA (potato dextrose agar) dalam cawan petri dan diinkubasi pada suhu ruang dengan penyinaran NUV 12 jam terang -12 jam gelap. Koloni C. capsici dimurnikan pada medium PDA. Semua kegiatan isolasi C. capsici dilakukan dalam kondisi aseptik di laminar air flow.

Pengujian Getah Pepaya Betina Pengujian In Vitro Pengujian pertumbuhan koloni dilakukan dengan uji daya hambat, yakni kemampuan getah pepaya dalam menghambat pertumbuhan koloni C. capsici dalam media PDA. Getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 masing-masing dicampur dengan PDA yang masih cair pada suhu +500C sehingga terbentuk konsentrasi campuran 1%, 2%, dan 4% (b/v). Selanjutnya isolat murni C. capsici berdiameter 0,5 cm ditumbuhkan pada media PDA yang sudah dicampur getah pepaya sebagai kontrol negatif isolat C. capsici ditumbuhkan pada media PDA tanpa penambahan getah pepaya sedangkan untuk kontrol positif isolat C. capsici ditumbuhkan pada media PDA yang dicampur dengan fungisida mankozeb dengan konsentrasi 0.2% (b/v).

Pengujian In Vivo Uji Kuratif Uji kuratif dilakukan untuk mengetahui kemampuan getah pepaya betina dalam meningkatkan ketahanan buah cabai terhadap penyakit antraknosa. Cabai yang berwarna merah disterilisasi dengan alkohol 70% dikeringanginkan kemudian diinokulasi dengan metode penyemprotan suspensi 106 konidia C. capsici didiamkan sampai terlihat adanya gejala penyakit antraknosa kemudian

cabai direndam dalam suspensi getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 dengan konsentrasi masing-masing 1%, 2%, dan 4% selama 10 menit, kemudian dikering anginkan dan dimasukan ke dalam nampan yang ditutup dengan alumunium foil dan plastik dan diinkubasi selama tujuh hari. Tiap hari dilakukan pengamatan terhadap perkembangan penyakit antraknosa yang muncul. Tiap perlakuan diulang sebanyak lima kali dan setiap ulangan terdiri dari sepuluh cabai.

Uji Preventif Uji preventif dilakukan untuk mengetahui kemampuan getah pepaya betina dalam mencegah infeksi penyakit antraknosa pada buah cabai. Cabai disterilisasi dengan alkohol 70% kemudian direndam dalam suspensi getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 dengan konsentrasi masing-masing 1%, 2%, dan 4% selama 10 menit, kemudian dikering anginkan dan dimasukan ke dalam nampan yang ditutup dengan alumunium foil dan plastik. Setelah disimpan selama satu hari buah cabai diinokulasi dengan metode penyemprotan suspensi 106 konidia C. capsici dan diikbubasi selama tujuh hari. Tiap hari dilakukan pengamatan gejala yang muncul. Tiap perlakuan diulang sebanyak lima kali dan setiap ulangan terdiri dari sepuluh cabai.

Pengamatan Persen Penghambatan Persen penghambatan dilakukan untuk mengetahui pengaruh getah pepaya betina terhadap pertumbuhan C. capsici dalam cawan petri selama 7 HSP dengan menggunakan rumus: Daya hambat = Ø K1 – Ø P1 x 100% Ø K1 Keterangan: Ø

K1= diameter koloni kontrol

Ø

P1= diameter koloni perlakuan

Masa Inkubasi Masa inkubasi merupakan waktu yang diperlukan patogen untuk melakukan infeksi dihitung berdasarkan waktu gejala pertama muncul pada buah cabai setelah inokulasi.

Kejadian Penyakit Kejadian penyakit adalah banyaknya buah yang terserang penyakit per jumlah buah yang diamati. Kejadian Penyakit dihitung sebagai berikut: KP

=

n N

x 100%

Keterangan: %KP = Kejadian Penyakit n

= Jumlah buah cabai yang memperlihatkan gejala penyakit antraknosa

N

= Jumlah buah cabai yang diamati dalam setiap perlakuan

Intensitas Penyakit Intensitas penyakit adalah perkembangan keparahan penyakit pada inang. Skor gejala menurut kelas luas bercak terhadap inokulasi buatan maupun alami Colletotrichum capsici dengan metode Swart 1999 dengan modifikasi sebagai berikut: 0 = Tidak ada bercak 1=0%

< Persentase Bercak < 10 %

2 =10 %

< Persentase Bercak < 25 %

3 = 25 % < Persentase Bercak < 50 % 4 = 50 % < Persentase Bercak < 75 % 5 = 75%

< Persentase Bercak

Intensitas serangan Colletotrichum capsici dihitung berdasarkan skor luas bercak, kemudian diidentifikasi berdasarkan kriteria ketahanan tanaman terhadap penyakit, yaitu: IS

=

∑(nxV) ZxN

x 100%

Keterangan IS= Intensitas serangan n = Jumlah buah setiap kelas bercak V = nilai skor setiap kelas bercak N = jumlah buah yang diamati Z = nilai skor kelas luas bercak yang tertinggi Kriteria ketahanan tanaman berdasarkan intensitas serangan Colletotrichum capsici berdasarkan Sinaga et al (1992) dengan modifikasi dalam Suryotomo (2002) sebagai berikut: Kriteria

Intensitas Serangan (%)

Imun (i)

0

Sangat tahan (st)

0

<

IS

<

5

Tahan (t)

5

<

IS

<

10

Rentan (r)

10

<

IS

<

30

Sangat rentan (sr)

30

<

IS

<

100

Susut Bobot Buah Cabai Pengukuran susut bobot dilakukan dengan menimbang buah cabai sebelum dan sesudah pengamatan dengan rumus: %B

=

Keterangan: %B

= Persentase susut bobot

b1

= bobot awal

b2

= bobot akhir

b1-b2 b1

x

100%

Analisis Statistik Percobaan dilakukan dengan menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Pada uji in-vitro terdapat delapan perlakuan yang terdiri dari enam perlakuan getah pepaya, kontrol negatif tanpa perlakuan, dan kontrol positif fungisida sintetik dengan tujuh ulangan. Pada uji in-vivo terdapat delapan perlakuan yang terdiri dari enam perlakuan getah pepaya, satu kontrol negatif tanpa perlakuan, dan kontrol poitif fungisida sintetik dengan uji kuratif dan preventifdengan lima ulangan dan masing-masing ulangan terdapat sepuluh buah cabai. Data yang diperoleh dianalisis menggunakan analisis sidik ragam dengan program Statistical Analysis System (SAS). Selanjutnya tiap perlakuan yang berpengaruh nyata dilakukan uji jarak berganda Duncan untuk melihat perbedaan tiap perlakuan pada taraf 5 %.

HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Pengamatan Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Secara in-vitro Aplikasi getah pepaya betina pada media tumbuh PDA dengan berbagai konsentrasi mempengaruhi secara signifikan terhadap pertumbuhan cendawan C. capsici dibandingkan kontrol negatif. Gambar 1 dan tabel lampiran 1 menunjukkan pertumbuhan koloni C. capsici pada media PDA yang diberi perlakuan getah pepaya lebih lambat dibandingkan kontrol negatif. Pada akhir pengamatan hari ke-7 diameter koloni C. capsici pada berbagai konsentrasi getah pepaya berkisar 59.4 mm sampai 67.9 mm lebih rendah dibandingkan kontrol negatif 83.1 mm. Pengaruh getah pepaya betina antar genotipe tidak berbeda nyata terhadap pertumbuhan koloni C. capsici, hal ini menunjukkan bahwa getah pepaya betina baik IPB-10 maupun IPB-02 mempunyai potensi sebagai

Diameter Koloni (mm)

biofungisida untuk mengendalikan pertumbuhan C. capsici. 90 80 70 60 50 40 30 20 10 0

IPB-10 1% IPB-10 2% IPB-10 4% IPB-02 1% IPB-02 2% IPB-02 4% Kontrol negatif Kontrol positif 1 2 3 4 5 6 7 HSP HSP HSP HSP HSP HSP HSP Waktu Pengamatan (HSP)

Gambar 1 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap pertumbuhan koloni C. capsici Indikator potensi getah pepaya betina sebagai biofungisida antara lain diukur dari daya hambat getah pepaya terhadap pertumbuhan koloni C. capsici. Gambar 2 menunjukkan pertumbuhan koloni kontrol pada akhir pengamatan (7 HSP) menutupi seluruh permukaan media dibandingkan perlakuan getah pepaya betina yang memperlihatkan adanya penekanan pertumbuhan koloni C. capsici.

Fungisida

IPB-02 1%

IPB-02 2%

IPB-02 4%

Kontrol

IPB-10 1%

IPB-10 2%

IPB-10 4%

Gambar 2 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap pertumbuhan koloni C. capsici pada akhir pengamatan (7HSP) Daya hambat getah pepaya betina terhadap pertumbuhan C. capsici berkisar 18%-28% (Tabel 4). Perlakuan getah pepaya betina IPB-10 pada konsentrasi 1% menunjukkan daya hambat yang paling tinggi yaitu sebesar 28.2%, sedangkan penelitian yang dilakukan oleh Hutari (2005) menunjukkan perlakuan getah pepaya betina pada konsentrasi 3% merupakan konsentrasi yang paling efektif untuk menghambat pertumbuhan C. gloeosporioides. Tabel 4 Daya hambat getah pepaya betina terhadap pertumbuhan koloni C. capsici Persentase Penghambatan (%) Perlakuan 1 HSP 2 HSP 3 HSP 4 HSP 5 HSP 6 HSP 7 HSP IPB-10 1%

14.7 b

27.4 b

31.7 b 30.4 bc 25.3 b 20.9 b 28.2 b*

IPB-10 2%

15.0 b

27.3 b

31.9 b 32.9 b

IPB-10 4%

12.8 b

29.7 ab 31.7 b 30.3 bc 25.7 b 20.7 b 23.8 bc

IPB-02 1%

12.4 b

31.2 ab 31.1 b 27.6 bc 21.5 b 16.1 b 18.2 c

IPB-02 2%

9.3 b

IPB-02 4%

12.4 b

33.4 ab 32.0 b 30.5 bc 20.4 b 20.8 b 23.7 bc

K. Positif

38.1 a

43.1 a

*

25.6 b

23.5 b 22.0 c 47.1 a 50.7 a

26.1 b 21.8 b 23.5 bc

19.9 b 18.5 b 26.3 bc 51.5 a 52.5 a 49.2 a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).

Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Secara in-vivo Aplikasi getah pepaya secara in-vivo baik perlakuan kuratif maupun preventif mampu mengurangi serangan penyakit antraknosa (Gambar 3). Gejala awal penyakit antraknosa pada buah cabai berupa titik kecil berwarna kehitaman yang lama-kelamaan membesar dan membentuk lekukan. Pada lekukan tersebut terdapat struktur berwarna kehitaman yang disebut seta yang merupakan ciri khas C. capsici. Gejala lebih lanjut dari penyakit antraknosa menyebabkan buah menjadi kering atau keriput.

Aplikasi Getah Pepaya Betina

Kontrol

Gambar 3 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina pada buah cabai

Uji Kuratif Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa Aplikasi getah pepaya betina pada buah cabai secara uji kuratif mampu mengurangi kejadian penyakit antraknosa (C. capsici) secara signifikan. Gambar 4 dan Tabel lampiran 2 menunjukkan buah cabai yang diberi perlakuan getah pepaya betina menunjukkan kejadian penyakit antraknosa yang lebih rendah dibandingkan dengan kontrol negatif dan tidak berbeda nyata dengan kontrol positif. Aplikasi getah pepaya betina masing-masing perlakuan genotipe IPB-10 dan IPB-02 tidak berbeda nyata dalam menurunkan kejadian penyakit antraknosa. Perlakuan IPB-10 pada konsentrasi 4% merupakan konsentrasi paling efektif menekan kejadian penyakit antraknosa pada buah cabai.

Kejadian Penyakit (%)

70 IPB-10 1% IPB-10 2%

60 50

IPB-10 4% IPB-02 1%

40

IPB-02 2% IPB-02 4%

30 20

Kontrol Negatif Kontrol Positif

10 0 3 hsp

4 hsp

5 hsp

6 hsp

Waktu Pengamatan (HSP)

Gambar 4 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit antraknosa dengan uji kuratif Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Intensitas Penyakit Antraknosa Aplikasi getah pepaya betina pada buah cabai secara uji kuratif mampu menekan intensitas penyakit antraknosa secara signifikan. Gambar 5 dan Tabel lampiran 3 menunjukkan bahwa intensitas penyakit antraknosa pada buah cabai yang diaplikasikan getah pepaya betina lebih rendah dibandingkan kontrol negatif bahkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol positif. Perlakuan IPB-02 konsentrasi 4% menunjukkan tingkat intensitas paling rendah.

Intensitas Penyakit (%)

25

IPB-10 1% IPB-10 2%

20

IPB-10 4% 15

IPB-02 1% IPB-02 2%

10

IPB-02 4% Kontrol Negatif

5

Kontrol Positif

0 3 hsp

4 hsp

5 hsp

6 hsp

Waktu Pengamatan (HSP)

Gambar 5 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit antraknosa dengan uji kuratif

Uji Preventif Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Masa Inkubasi C. capsici Aplikasi getah pepaya betina pada buah cabai secara preventif dengan berbagai konsentrasi tidak menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap masa inkubasi C. capsici pada buah cabai. Meskipun demikian ada kecenderungan buah cabai yang diberi perlakuan getah pepaya betina menunjukkan masa inkubasi yang lebih lama yaitu 4.77-5.17 hari dibandingkan dengan kontrol negatif yang hanya 4.37 hari (Tabel 5). Perlakuan getah pepaya betina IPB-10 pada konsentrasi 4% menunjukkan masa inkubasi yang paling lama yaitu 5.17 hari mendekati kontrol positif yaitu 5.26 hari. Tabel 5 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap masa inkubasi C. capsici dengan uji preventif Perlakuan

*

Masa Inkubasi

IPB-10 1%

4.77

a*

IPB-10 2%

5.15

a

IPB-10 4%

5.17

a

IPB-02 1%

4.92

a

IPB-02 2%

4.81

a

IPB-02 4%

5.05

a

Kontrol Negatif

4.37

a

Kontrol Positif

5.26

a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).

Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Kejadian Penyakit Antraknosa Aplikasi getah pepaya betina pada buah cabai secara uji preventif menunjukkan pengaruh signifikan terhadap kejadian penyakit antraknosa. Gambar 6 dan Tabel lampiran 4) menunjukkan kejadian penyakit antraknosa pada buah cabai yang diberi perlakuan getah pepaya lebih rendah dibandingkan dengan kontrol negatif bahkan pada perlakuan IPB-10 dan IPB-02 konsentrasi 2% dan 4% lebih rendah dari kontrol positif. Genotipe IPB-10 dan IPB-02 tidak mempengaruhi efektifitas getah pepaya dalam menurunkan kejadian penyakit.

Perlakuan getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 konsentrasi 4% menunjukkan tingkat kejadian penyakit yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya. Kejadian Penyakit (%)

70

IPB-10 1% IPB-10 2%

60 50

IPB-10 4% IPB-02 1%

40 30

IPB-02 2% IPB-02 4%

20

Kontrol Negatif Kontrol Positif

10 0 3 hsp

4 hsp

5 hsp

6 hsp

Waktu Pengamatan (HSP)

Gambar 6 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit antraknosa dengan uji preventif Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Intensitas Penyakit Antraknosa Aplikasi getah pepaya betina pada buah cabai secara uji preventif mampu menekan intensitas penyakit antraknosa secara signifikan. Gambar 7 dan Tabel lampiran 5 menunjukkan bahwa intensitas penyakit antraknosa pada buah cabai yang diaplikasikan getah pepaya betina lebih rendah dibandingkan kontrol negatif bahkan tidak berbeda nyata dengan perlakuan kontrol positif. Perlakuan IPB-02 konsentrasi 2% menunjukkan tingkat intensitas paling rendah.

Intensitas Penyakit (%)

25 20

IPB-10 1% IPB-10 2%

15

IPB-10 4% IPB-02 1%

10

IPB-02 2% IPB-02 4%

5

Kontrol Negatif Kontrol Positif

0 3 hsp

4 hsp

5 hsp

6 hsp

Waktu Pengamatan (HSP)

Gambar 7 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit antraknosa dengan uji preventif

Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Susut Bobot Buah Cabai Pengaruh getah pepaya betina secara uji kuratif maupun preventif pada buah cabai menunjukkan pengaruh yang signifikan terhadap susut bobot buah cabai dibandingkan kontrol negatif, kecuali pada perlakuan getah pepaya betina IPB-02 pada berbagai konsentrasi (Tabel 6). Tabel 6 Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap persentase susut bobot buah cabai dengan perlakuan uji preventif dan kuratif Perlakuan

% Susut Bobot Uji

Kuratif

Preventif

IPB-10 1%

9.54 ab*

8.96 b*

IPB-10 2%

6.99 b

7.37 b

IPB-10 4%

9.00 b

8.68 b

IPB-02 1%

10.60 ab

9.58 b

IPB-02 2%

11.30 ab

10.79 ab

IPB-02 4%

9.73 ab

9.59 b

Kontrol Negatif *

% Susut Bobot Uji

14.10 a

14.97 a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).

Susut bobot buah cabai yang diberi perlakuan getah pepaya betina secara kuratif adalah 6.99%-11.3% dibandingkan pada terhadap kontrol negatif 14.1%, sedangkan pada perlakuan secara uji preventif adalah 7.37%-10.79% lebih rendah dibandingkan kontrol negatif sebesar 14.97%. meskipun perbedaan genotipe tidak mempengaruhi efektifitas getah pepaya betina terhadap penurunan susut bobot buah cabai, tetapi getah pepaya betina IPB-10 cenderung lebih baik untuk mengurangi penurunan susut bobot buah cabai dibandingkan kontrol negatif maupun kontrol positif pada aplikasi secara kuratif maupun preventif. Perlakuan IPB-10 konsentrasi 2% baik pada uji kuratif maupun uji preventif menunjukkan susut bobot yang paling rendah dibandingkan perlakuan lainnya.

Pembahasan Uji in-vitro Aplikasi getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 pada media tumbuh menunjukkan bahwa getah mempunyai potensi untuk menekan pertumbuhan C. capsici secara signifikan. Hutari (2005) yang melaporkan bahwa getah pepaya betina IPB-12 mampu menekan pertumbuhan C. gloeosporioides pada buah pepaya. Senyawa proteolitik yang terkandung dalam getah diduga mempunyai peran penting dalam menekan pertumbuhan C. capsici (Muhidin 1999). Nilai proteolitik pada getah pepaya dipengaruhi oleh kandungan enzim yang ada didalamnya. Semakin banyak kandungan enzim maka nilai proteolitiknya semakin tinggi (Adikaram et al. 1998). Azarkan et al. (1997) melaporkan getah pepaya mengandung enzim seperti kitinase, protease, dan glikosil hidrolase. Selain itu Cycle et al. (1964) dalam Yamamoto (1975) melaporkan getah pepaya mengandung enzim papain, khimopapain, dan lisozim dengan komposisi 20%, 45%, dan 20%. Kitinase merupakan salah satu enzim getah pepaya yang dikandung dalam memiliki peran penting dalam proteksi tanaman (El-Katatny et al. 2001; Fahn 1991). Wang et al. (2005) melaporkan kitinase mampu menghidrolisis ikatan β1,4 antar subunit N-Aseltilglukosamina (NacGlc) pada polimer kitin sebagai salah satu komponen dinding sel hifa cendawan sehingga menghambat pertumbuhan hifa. Lebih lanjut Karunaratne (1996) melaporkan dinding sel konidia yang dilarutkan dalam getah pepaya mengalami kerusakan dalam waktu 60 detik dan selanjutnya mengalami kehancuran dalam waktu 10 menit serta kehilangan bentuk terjadi setelah 30 menit. Pengaruh kitinase pada cendawan patogen pernah dilaporkan oleh Pudjihartati et al. (2006); Zhang et al. (2001) yang menyatakan bahwa peningkatan kandungan kitinase pada jaringan kacang tanah mampu mengurangi serangan patogen Sclerotium rolfsii yang memiliki kandungan kitin 12-31% pada dinding selnya. Berdasarkan cara kerja hidrolisis, kitinase dikelompokan menjadi tiga tipe utama yaitu (i) endokitinase yang memotong secara acak polimer kitin secara internal sehingga menghasilkan oligomer pendek, (ii) eksokitinase (1,4-β-kitobiosidase), yang memotong unit trimer kitobiosa pada

ujung terminal polimer kitin, dan (iii) N-asetilglukosamidase, yang memotong unit monomer pada ujung terminal polimer kitin (Brusberg et al. 1996 ).

Uji in-vivo Aplikasi getah pepaya betina pada uji in-vivo pada buah cabai secara kuratif maupun preventif memberikan pengaruh yang signifikan menekan perkembangan penyakit antraknosa. Perlakuan getah pepaya betina IPB-10 dan IPB-02 dapat meningkatkan ketahanan buah karena menunjukkan nilai kejadian penyakit dan nilai intensitas penyakit antraknosa lebih rendah dibandingkan kontrol negatif dengan nilai kejadian penyakit tinggi dan nilai intensitas penyakit lebih dari 10% (Sinaga et al. (1992) dalam Suryotomo (2002)). Oku (1994) dan Neuhaus (1999) melaporkan peranan kitinase pada ketahanan tanaman terhadap serangan patogen melalui dua cara yaitu: (i) menghambat pertumbuhan cendawan secara langsung menghidrolisis dinding miselia cendawan dan (ii) melalui pelepasan elisitor endogen oleh aktifitas kitinase yang kemudian memacu reaksi ketahanan sistemik (systemic acquired resistance/ SAR) pada inang. Selain itu diduga getah pepaya dapat meningkatkan kandungan lignin pada buah sehingga dapat menghambat infeksi dan penetrasi patogen kejaringan buah buah (Photchanachai et al. 2006).

Pengaruh Aplikasi Getah Pepaya Betina Terhadap Susut Bobot Buah Cabai Susut bobot buah cabai pada penelitian ini diduga disebabkan oleh aktivitas cendawan C. capsici dan aktivitas pematangan buah. Menurut Chiang & Lee (1983) dan Eckert (1996), pertumbuhan cendawan pada buah yang disimpan akan mempercepat kerusakan buah, meningkatkan proses respirasi pada buah sehingga

proses

degradasi

senyawa-senyawa

makromolekul

menjadi

mikromolekul dan molekul-molekul terlarut menjadi cepat hal ini yang mengakibatkan kehilangan bobot buah cabai. Susut bobot buah cabai akibat aktivitas pematangan buah diduga karena adanya proses perubahan komponenkomponen kimia buah seiring bertambahnya umur buah. Energi fotosintat lebih banyak digunakan untuk mengubah pati menjadi sukrosa, mendegradasi klorofil buah untuk memunculkan pigmen lain, meningkatkan etilen dan kadar air buah

serta berbagai proses perubahan kimia lain yang menyebabkan kematangan buah (Pantastico 1986). Rendahnya susut bobot pada buah cabai yang diaplikasikan getah pepaya betina diduga karena adanya penekanan terhadap laju respirasi. Penghambatan laju respirasi terjadi diduga pada saat pencelupan buah cairan masuk ke dalam stomata yang membuka sebagian atau seluruhnya sehingga stomata tersumbat dan membatasi transport O2 dan CO2 yang dihasilkan serta mengurangi penguapan atau membatasi kehilangan air (Bepete et al. 1993), laju respirasi yang rendah ini dapat menurunkan susut bobot buah dan meningkatkan daya simpan (Broto 1993). Penelitian yang sering dilakukan untuk menekan susut bobot buah adalah penggunaan polyester sukrosa dan pelilinan. Suhardi dan Yuniarti (1996) melaporkan penggunaan polyester sukrosa dapat memperpanjang daya simpan pada buah apel. Pelilinan juga dapat mengurangi susut bobot buah. Elson (1985) dalam Drake et al. (1987) melaporkan pelilinan dapat menghambat CO2 dan etilen serta memberikan lapisan pada buah sehingga menyebabkan terjadinya hambatan metabolisme dalam buah melalui perubahan zat pektin tidak larut menjadi zat pektin terlarut. Menurut Pantastico (1996) pelilinan dapat mencegah kehilangan air 30 – 50% dari kondisi umum. Lebih lanjut Suhaidi (2003) melaporkan aplikasi pelilinan dan pencelupan fungisida benlate dapat mengurangi susut bobot pada buah. Pengaruh Konsentrasi dan Genotipe Getah Pepaya Betina Konsentrasi optimum getah pepaya betina dalam mengendalikan penyakit antraknosa antar perlakuan in-vitro dan in-vivo berbeda. Secara umum aplikasi getah pepaya betina IPB-10 konsentrasi 1% pada uji in-vitro menunjukkan daya hambat yang paling baik dibanding perlakuan lainnya. Sedangkan pada uji in-vivo aplikasi getah pepaya betina IPB-10 konsentrasi 4% dapat menurunkan masa inkubasi, kejadian penyakit, intensitas penyakit, dan susut bobot buah cabai paling baik. Peningkatan konsentrasi pada uji in-vitro tidak berbanding lurus dengan peningkatan daya hambat, sedangkan pada uji in-vivo secara umum peningkatan konsentrasi berbanding lurus dengan peningkatan kemampuan getah pepaya betina dalam menekan penyakit antraknosa C. capsici.

Pada umumnya semakin tinggi konsentrasi suatu formulasi maka semakin tinggi pula bahan aktif yang dikandung sehingga kemampuannya dalam menekan patogen akan lebih optimum (Gunawan 2006; Mulya 1997). Hal yang terjadi pada perlakuan in-vitro diduga adanya penurunan kemampuan getah pepaya dalam menekan pertumbuhan C. capsici yang salah satunya disebabkan oleh kurang optimalnya suhu pada saat perlakuan. Getah pepaya banyak mengandung berbagai macam enzim dengan suhu optimum yang berbeda-beda. Muchtadi (1992) dan Nurhidayati (2003) melaporkan khimopapain masih stabil pada suhu 750C sedangkan papain hanya optimum pada suhu 450C lebih lanjut Harini dan Septariningrum (2003) melaporkan enzim kitinase memiliki kondisi optimum pada suhu hanya 350C. Oksidasi juga dapat menyebabkan inaktivasi enzim pada getah pepaya. Dwinastiti (1991) dan Ferdani (2002) melaporkan papain salah satu enzim pada getah pepaya sangat peka terhadap reaksi oksidasi. Reaksi ini terlihat dari adanya perubahan bentuk getah dari fase cair menjadi padat. Fungisida dalam penelitian ini menunjukkan daya hambat yang paling tinggi. Penelitian ini menggunakan fungisida berbahan aktif mankozeb yang telah banyak dilaporkan efektif dalam mengendalikan patogen penyebab penyakit pada berbagai jenis tanaman sayuran (Prabawati et al. 1991). Menurut Semangun (1996) fungisida berbahan aktif mancozeb merupakan fungisida organik kontak yang mengandung unsur mangan (Mn) dan seng (Zn) yang berperan sebagai agens pengkelat sehingga sintesis protein dan metabolisme didalam sel cendawan terganggu. Sehingga cendawan mengalami kematian. Secara umum perlakuan getah pepaya betina IPB-10 lebih efektif dalam menghambat pertumbuhan C. capsici. Hal ini diduga karena adanya perbedaan nilai proteolitik yang dimiliki pada masing-masing getah pepaya. Lukitasari (2004) melaporkan bahwa aktivitas proteolitik IPB-02 hanya mencapai 690.17 MCU/g lebih rendah bila dibandingkan dengan IPB-10 yang mencapai 1102.34 MCU/g (Yuniar 2005). Perbedaan nilai proteolitik ini dapat menimbulkan perbedaan sifat fisiko kimia yang berbeda (Iriani 1991) dimana semakin tinggi nilai proteolitiknya maka semakin tinggi kemampuan daya hambat terhadap C. capsici.

KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Aplikasi getah pepaya betina mampu menekan penyakit antraknosa yang disebabkan oleh cendawan Colletotrichum capsici dan menurunkan susut bobot buah cabai secara signifikan. Aplikasi getah pepaya betina IPB-10 cenderung lebih baik mengendalikan penyakit antraknosa pada buah cabai dibandingkan getah pepaya betina IPB-02, meskipun diantara kedua genotipe tersebut tidak berbeda nyata. Aplikasi getah pepaya betina IPB-10 konsentrasi 1% merupakan perlakuan terbaik pada uji in-vitro dengan daya hambat tertinggi sebesar 28.18%. Sedangkan pada uji in-vivo aplikasi getah pepaya IPB-10 konsentrasi 4% merupakan perlakuan terbaik dalam menurunkan masa inkubasi, kejadian penyakit, dan intensitas penyakit antraknosa serta susut bobot buah cabai.

Saran Perlu dilakukan pengujian terhadap waktu dan tempat penyimpanan serta formulasi getah pepaya betina dalam mengendalikan penyakit antraknosa Colletotrichum capsici.

DAFTAR PUSTAKA Adikaram NKB, Karunaratne A, Indrakeerthi SRP, Menike PR. 1998. Resistance of immature papaya (Carica papaya L.) fruit to fungal infection: an interview. p.121-128. Di dalam: Johnson, G.I., E. Highley and D.C. Joyce (Eds.). Disease Resistance in Fruit. Proceedings of an International Workshop. Held at Chiang Mai, Thailand. 18-21 May 1997. Australian Centre for International Agricultural Research. Canberra. Adiyoga W, Soetiarso TA. 1999. Strategi petani dalam mengelola risiko pada usahatani cabai. Jurnal Hortikultura 8(4):1299-1311. Agrios. 2005. Plant Pathologi. New York: Academic Press. Ameriana M, Adiyoga W, Basuki RS, dan Suryaningsih E. 2000. Kepedulian konsumen terhadap sayuran bebas residu pestisida: Kasus pada sayuran tomat dan kubis. Jurnal Hortikultura 9(4):366-377. Ameriana M, Natawidjaja RS, Arief B, Rusidi, dan Karmana MH. 2006. Faktor.faktor yang mempengaruhi kepedulian terhadap sayuran aman residu pestisida (kasus pada buah tomat dikota bandung). Jurnal hortikultura. 16(1):77-86. Ardi R, Kobiler I, Keen NT, Prusky D. 2000. Involvement of epicatechin biosynthesis in the activation of the mechanism of resistance of avocado fruits to Colletotricum gloeosporioides. Physiological and Molecular Plant Pathology 269-285. agricola.nal.usda.gov/ [8 Desember 2007]. Arifeni F. 2004. Karakterisasi sifat-sifat morfologi dan kimiawi pada dua genotipe tanaman pepaya (Carica papaya L) dengan perbedaan sumber benih dalam buah [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Arroyo FT, Moreno J, García-Herdugo G, Santos BDl, Barrau C, Porras M, Blanco C, Romero F. 2005. Ultrastructure of the early stages of Colletotrichum acutatum infection of strawberry tissues. Canadian Journal of Botany 83(5):491-500(10). Azarkan M, et al. 1997. Carica papaya latex is a rich source of a class II chitinase. Phytochemistry 46 (8):1319-1325. agricola.nal.usda.gov/ [1 Desember 2007]. Bailey JA, O’Connell RJ, Pring RJ, Nash C. 1992. Infection strategies of Colletotrichum species. In Colletotrichum: Biology, Pathology, and Control, pp. 88-120. Edited by J. A. Bailey & M. J. Jeger. Wallingford: CAB International. Bano M, Sivaramakrishnan VM. 1980. Preparation and properties of Lasparaginase from green chillies ( Capsicum annum L .). J. Biosci 2(4):291297.

Bepete M, Nanguo N, Jackson JF. 1993. The effect of sucrose ester Coating on ambient temperature storage of several fruits. Di dalam: Champ BR, Highley E, and Jhonson GI (Ed.). Postharvest handling of tropical fruits. ACIAR Proceeding No. 50. ACIAR, Canberra, Australia. P:427-429. Bergstrom and Nicholson, 1992. In: Colletotrichum Biology, Pathology and Control. Bailey JA, Jeger MJ. Eds. Pp 374-393. [BPH] Balai Penelitian Hortikultura. 1993. Materi Latihan PHT Tanaman Sayuran untuk Staf PT Sarana Agro Pratama: Kerja sama Balai Penelitian Hortikultura Lembang dengan PT Sarana Agro Pratama. hlm 112-113. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2004a. BPS Sub Direktorat Industri Sedang dan Besar Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2004b. Statistika Perdagangan Luar Negeri Indonesia 2004. Jakarta. [BPS] Biro Pusat Statistik. 2007. Data produksi sayuran Indonesia. http://www.deptan.go.id/bdexim/ [1 Desember 2007]. Broto W. 1993. Metode penanganan segar buah-buahan dan sayuran dalam skala industri. Info Hortikultura. 1(1): 26-38. Brusberg MB, Nes IF, Eijsink VGH. 1996. Comparative studies of chitinases A and B from Serratia marcescens. Microbiology. 142:1581-1589. Caswell JA, Modjusca EM. 1996. Using informational labeling to influence the market quality in food products. Amer. J. Agric. Econ 78:1248-1253. Chan YK. 1992. Development of F1 Hybrids for papaya (Carica papaya L) Seed Production and performance of F1 hybrids. Disertasi , Universiti of Malaya Malaysia 34p. Chen Z, Nunes MA, Silva MC, and Rodrigues CJ. 2004. Appressorium turgor pressure of Colletotrichum kahawae might have a role in coffee cuticle penetration. Mycologia 96(6):199–1208. Chiang N, Lee N. 1983. The Effect of Washing and Chemical Treatment Upon The Rates of Respiration and Decay of Detached Bananas. Taiwan Univ. Coll.Agric. Spec. Publ. No. 13. Cott TCD. 2002. Botanical Name: Capsicum annum var. Minimum, Solanaceae. Western Materia Medica. [DEPTAN] Departemen Pertanian. 2006. Produktivitas Cabai Indonesia. Departemen Pertanian http://www.deptan.go.id. [1 Desember 2007]. Dhuique-Mayer C, et al. 2001. Biocatalytic properties of lipase in crude latex from babaco fruit (Carica pentagona). Biotechnology Letters 23 (13): 10211024 [jurnal on line]. agricola.nal.usda.gov/ [8 Desember 2007]. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan hortikultura. 2005. Informasi produksi dan konsumsi tanaman pangan dan hortikultura. Departemen Pertanian Jakarta.

Drake SR, Felman JK, Nelson JW. 1987. Postharvest use of sucrose polyesters for extending the self-live of stored ‘Golden Delicious’ apples. J. Food Sci. 52(5): 1283-1285. Duriat AS. 1994. Efikasi fungisida terhadap penyakit antraknosa (Colletotricum capsici) pada buah cabai (Capsicum annum). Buletin Penelitian hortikultura. 19(2):112:120. Duriat AS. 1996. Teknologi Produksi Cabai Merah. Bandung: Balai Penelitian Tanaman Sayuran Lembang. Dwinastiti. 1992. Pengaruh varietas dan penambahan NaCl pada getah pepaya terhadap rendemen dan mutu papain [Skripsi]. Bogor: Teknologi Industri. Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Eckert, J.Q., 1996. Penyakit Tanaman Budidaya Tropika dan Cara-cara Pengendaliannya, dalam Pantastico (Ed), Fisiologi Pasca Panen. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. El katatny MH, Gudjelj M, Robra KH, Elnaghy MA, Gubitz GM. 2001. Production of chitinase and β-1-3-glucanase by Trichoderma harzianum for control of phytopathology fungus sclerotium rolfsii. Abs Food Technol Biotechnol 38:1-21. Fahn A. 1991. Yogyakarta.

Anatomi Tumbuhan.

Gadjah Mada University Press.

Ferdani I. 2002. Pengaruh Natrium Sitrat, Sistein dan Natrium Metabisulfit terhadap aktivitas proteolitik papain kasar [Skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Ferreria FA dan Boley RA. Tanpa tahun. Colletotrichum coffeanum. University of Hawaii at Manoa. Gafur A. 2003. Aspek fisiologis dan biokimiawi infeksi patogen tumbuhan. Jurnal Hama dan Penyakit Tumbuhan Tropika Vol 3 (1): 21-28. Gunawan OS. 2006. Mikroba Antagonis untuk pengendalian penyakit antraknos pada cabai merah. Jurnal Hortikultura 6(3):303:308. Hamijaya MZ dan Asikin A. 2005. Teknologi ”Indiggenous” dalam mengendalikan hama padi di Kalimantan Selatan. Dalam Simposium Nasional, Ketahanan dan Keamanan Pangan pada Era Otonomi dan Globalisasi. Bogor 22 November 2005. Harini N dan Septariningrum D. 2003. Karakterisasi enzim chitinase hasil isolasi dari kultur murni bakteri Vibrio alginolyticus. FP Universitas Muhammadiyah Malang. Harun Y, Sutamihardja RTM, Partoatmodjo S, dan Soeriaatmadja RE. 1996. Telaah residu pestisida pada sayuran yang dijual di pasar swalayan dan pasar bogor. Jurnal Hortikultura 6(1):71-79. Hutari ST. 2005. Pengaruh getah papaya dan fungisida mankozeb dengan kombinasi perlakuan suhu terhadap perkembangan penyakit antraknosa

(Colletotrichum gloeosporioides) pada buah papaya IPB-1(Carica papaya L.) [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Iriani ES. 1991. Pengaruh varietas buah pepaya dan metode pemurnian terhadap pemurnian mutu papain yang dihasilkan [skripsi]. Bogor: Departemen Teknologi Industri, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kalie MB. 2001. Bertanam Pepaya. Jakarta: Penebar Swadaya. Kamrin MA. 1997. PESTICIDE PROFILES: Toxicity, Environmental, Impact, and Fate. New York: Lewis Publisher. Karunaratne AM, Kodikara N, Adikaram NKB. 1996. A pesticide-free approach to control postharvest diseases of papaya (Carica papaya L.) and increase shelf life. Proceedings of International Conference on Tropical Fruits. Kuala Lumpur, Malaysia; 23-26 Jul 1996. hal 353-359. Kardinan. 2002. Pestisida Nabati Ramuan dan Aplikasi. Jakarta: Penebar Swadaya. Kilham C. 2006. Chiles, The Hottest Health Promoters. [on line]. http://www.medicinehunter.com/HerbsArticles.htm [1 Desember 2007]. Kim YS, Lee HH, Ko IMK, Song ICE, Bae ICY, Lee YH, and JunOh B. 2001. Inhibition of Fungal Appressorium Formation by Pepper ( Capsicum annuum) Esterase. [MPMI] Molecular Plant-Microbe Interactions 14(1):8085 American Phytopathological Society. Konno K, et al. 2004. Papain protects papaya trees from hervivorous insects: role of cysteine proteases in latex. Plant Journal 37 (3): 370-378 [jurnal on line]. agricola.nal.usda.gov/ [1 Desember 2007]. Kurnia T. 2005. Analisis preferensi konsumen rumah tangga dan katering terhadap buah pepaya (Carica papaya L) dan implikasinya pada segmentasi pasar di Wilayah Bogor [skripsi]. Bogor: Departemen Sosial Ekonomi Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Kusandriani Y, Permadi AH. 1996. Pemuliaan Tanaman Cabai. Monograf Teknologi Produksi Cabai Merah.

Dalam

Kusandriani Y, Sumarna A. 1993. Respon varietas pada beberapa tingkat kelembaban tanah. Buletin Penelitian Hortikultura. 25(1):1-8. Lukitasari D. 2004. Studi produksi papain enam genotipe pepaya (Carica papaya L.) [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Maknani KT. 2004. Evaluasi karakter morfologi dan determinasi tipe seks secara konvensional 6 genotipe pepaya (Carica papaya L) [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Mercure EW, Kunoh H, Nicholson RL. 1994. Adhesion of Colletotrichum graminicola conidia to corn leaves : a requirement for disease development. Physiol Mol Plant Pathol 45:407-420.

Muchtadi D, Palupi NS, Astawan M. 1992. Proses Pengolahan Daging. Hal:7275. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Muhidin D. 1999. Agroindustri Papain dan Pektin. Jakarta: Penebar Swadaya. Mulya K. 1997. Penekanan perkembangan penyakit layu bakteri tomat oleh pseudomonas fluorescens pfg. Jurnal Hortikultura 7(2): 685-691. Nainggolan RJ. 2003. Pengaruh NaCl terhadap sifat fisik dan kimia crude papain pada berbagai metode pengeringan. Jurnal Ilmiah Pertanian Hortikultura 38 (2): 90-96. Neuhaus JM. 1999. Plant Chitinases (PR-3, PR-4, PR-8, PR-11). Di dalam: Datta SK, Muthukrishman S, (ed). Pathogenesis. Related Proteins in Plants. London: CRC Pr. Hlm 77-105. Nicholson, R. L. (1992). Colletotrichum graminicola and anthracnose diseases of maize and sorghum. In Colletotrichum - Biology, Pathology and Control, pp. 186-202. Edited by J. A. Bailey & M. J. Jeger. Wallingford: CAB International. Nurhidayati T. 2003. Pengaruh konsentrasi enzim papain dan suhu fermentasi terhadap kualitas keju cottage. Kappa 4(1): 13-17. Oku H. 1994. Plant pathogenesis and disease control. London: Lewis Pub. Pantastico EB. 1986. Fisiologi pasca panen Penanganan dan Pemanfaatan Buahbuahan dan Sayur-sayuran Tropika (terjemahan Kamariyani). Yogyakarta: Gajah Mada university Press. Pantastico EB. 1996. Fisiologi Pasca Panen. Gadjah Mada University Press,., Yogyakarta. Photchanachai S, Singkaew J, and Thamthong J. 2006. Effects of chitosan seed treatment on colletotrichum sp. and seedling growth of chili cv. ´jinda´. ishs acta horticulturae 712: iv international conference on managing quality in chains. the integrated view on fruits and vegetables quality. [PKBT] Pusat Kajian Buah Tropika. 2004. Laporan Riset Unggulan Strategis Nasional: Pengembangan Buah-buahan Unggulan Indonesia. PKBT-Bogor. Prabawati S, Sjaifullah, Dwi A. 1991. Cendawan penyebab kerusakan buah pepaya selama penyimpanan dan pemasaran serta pengendaliannya. Jurnal Hortikultura 1(3): 47-53. Prajnanta F. 2004. Mengatasi Permasalahan Bertanam Cabai. Jakarta: Penebar Swadaya. Pring RJ, Nash C, Zakaria M, Bailey JA. 1995. Infection process and host range of Colletotrichum capsici. Jurnal Physiological and molecular plant pathology 46(2):137-152. http://www.nal.usda.gov/

Pudjihartati E, Siswanto, Ilyas S, dan Sudarsono. 2006. Aktivitas enzim kitinase pada kacang tanah yang sehat dan yang terinfeksi Sclerotium rolfsii. Hayati 13(2):73-78. Rubatzky VE, Yamanguchi M. 1995. Sayuran dunia: prinsip, produksi dan gizi (terjemahan). Bandung: ITB Press. Sabari SD, Broto W, Mulyani T, Yuni S, Pratikno S. 2001. Perbaikan teknologi penyadapan dan pengawetan getah pepaya segar untuk produksi papain. Jurnal Hortikultura 11(3):196-206. Semangun H. 1996. Pengantar Ilmu Penyakit Tumbuhan. Yogyakarta: Gadjah Mada University Pres. Sinaga MS. 2003. Dasar-dasar Penyakit Tumbuhan. Jakarta: Penebar Swadaya. Sudibyaningsih T. 1990. Residu pestisida Diazinon dalam daun kubis dari saat panen sampai penanganan sebelum dikonsumsi. Majalah Ilmiah Unsoed. XV (5):105-112. Suhaidi I. 2003. Pengaruh pencelupan benlate dan pelapisan lilin terhadap mutu buah pisang barangan selama penyimpanan. Sumatera Utara: Jurusan Teknologi Pertanian. Fakultas Pertanian. Universitas Sumatera Utara. Suhardi, Yuniarti. 1996. Penggunaan polyester sukrosa untuk memperpanjang daya simpan buah apel kultivar rome beauty. Jurnal Hortikultura. 6(3): 303-308. Sun T, Xu Z, Wu CT, Janes M, Prinyawiwatkul W. 2007. Antioxidant activities of different colored sweet bell peppers (Capsicum annuum L.). Journal of Food Science. 72(2):S98-S102. http://www.blackwell-synergy.com/ [5 Desember 2007]. Sunarjono H. 1987. Ilmu Produksi Tanaman Buah-buahan. Bandung:Sinar Baru. Sunarintyas S. 2005. Peran papain pada pelepasan plak gigitiruan serta sifat biokompatibilitas. [email protected]. [1 Desember 2007]. Surjadi H. 2005. Potensi keanekaragaman hayati Indonesia harus menjadi unggulan pembangunan ekonomi. http://www.depkes.go.id/downloads/pestisida.pdf. [1 Desember 2007]. Suryotomo B. 2002. Kajian tingkat ketahanan cabai merah (Capsicum annum L.) terhadap penyakit antraknosa [tesis]. Program Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Soetiarso TA, Ameriana M. 1996. Kajian system pemenuhan kebutuhan bahan baku cabai pada industri pengolahan makanan di provinsi jawa barat. Jurnal Hortikultura 6(4):402-410. Soetiarso TA, Majawisastra W. 1994. Preferensi konsumen rumah tangga terhadap kualitas cabai merah. Buletin Penelitian hortikultura. 27(1):42-50. Steinke G, Weitkamp P, Klein E, Mukherjee KD. 2001. High-yield preparation of wax esters via lipase-catalyzed esterification using fatty acids and

alcohols from crambe and camelina oils. Journal of Agricultural and Food Chemistry 49 (2): 647-651. agricola.nal.usda.gov/ [8 Desember 2007]. Swart GM. 1999. Comparative Study of Colletotrichum gloesporioides from Avocado and Mango [disertation]. Faculty of Biological and Agricultural Sciences. Departement of Mikrobiology and Plant Pathology. University of Pretoria. Tsigos I and Bouriotis V. 1995. Purification and Characterization of Chitin Deacetylase from Colletotrichum lindemuthianum. The Journal Of Biological Chemistry 270(44):26286-26291. Wang S, Wu J, Rau P, Ng TB, Ye X. 2005. A chitinase with antifungal activity from the mung bean. Protein Expr purif 40: 230-236. Wei Y, Shih J, Li J, Goodwin PH. 2002. Two pectin lyase genes, pnl-1 and pnl2, from Colletotrichum gloeosporioides f. sp. malvae differ in a cellulosebinding domain and in their expression during infection of Malva pusilla. Microbiology 148:2149–2157. Widjaya ES. 1991. Resistance of peper to anthracnose caused by Colletotrichum capsici. ARC Training. AVRDC Kasetsart University Kamphaeng Saen Campus Nakhon Pathom Thailand. Yamamoto A. 1975. Proteolytic Enzymes. P. 124-174. In G. Reed (ed). Enzymes in Food Processing. Academic Press. New York. Yuniar. 2005. Uji produksi dan kualitas papain kasar lima genotipe pepaya (Carica papaya L.) [skripsi]. Bogor: Departemen Budidaya Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Zhang M, Melouk HA, Chenault K, El rassi Z. 2001. Determination of cellular carbohydrate in peanut fungal pathogens and bakers yeast by capillary electrophoresis and electromatography. J. Agric. Food. Chem. 49:52655269. Zerhouni S, et al. 1998. Purification and characterization of papaya glutamine cyclotransferase, a plant enzyme highly resistant to chemical, acid and thermal denaturation. InternationalJournal of Biochemistry and Biophysics 1387 (1/2): 275-290. agricola.nal.usda.gov/ [8 Desember 2007].

LAMPIRAN

Lampiran 1 Pertumbuhan koloni C. capsici pada berbagai konsentrasi getah pepaya Diameter Koloni (mm) Perlakuan 1 HSP 2 HSP 3 HSP 4 HSP 5 HSP 6 HSP 7 HSP IPB-10 1%

13.8 ca

17.3 b

24.9 b

35.5 bc

44.3 b

54.2 b

59.4 c

IPB-10 2%

13.7 c

17.4 b

24.9 b

34.4 c

43.9 b

53.6 b

63.4 bc

IPB-10 4%

14.1 bc

16.7 b

24.9 b

35.8 bc

44.2 b

54.7 b

63.4 bc

IPB-02 1%

14.1 bc

16.4 b

25.1 b

37.1 bc

46.6 b

57.5 b

67.9 b

IPB-02 2%

14.6 b

17.8 b

27.9 b

39.9 b

47.4 b

55.8 b

61.0 bc

IPB-02 4%

14.1 bc

15.9 b

24.9 b

35.6 bc

47.5 b

54.6 b

63.4 bc

Kontrol negatif

16.2 a

24.4 a

37.1 a

51.6 a

59.9 a

69.4 a

83.1 a

Kontrol positif

10.0 d

13.6 c

19.4 c

25.3 d

28.9 c

32.8 c

42.3 d

a

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).

Lampiran 2

Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit antraknosa dengan uji kuratif Kejadian Penyakit (%) Perlakuan 3 hsp 4 hsp 5 hsp 6 hsp

a

IPB-10 1%

4 aa

10 a

48 a

48 ab

IPB-10 2%

8 a

12 a

30 a

30 b

IPB-10 4%

0 a

10 a

22 a

26 b

IPB-02 1%

0 a

2 a

26 a

30 b

IPB-02 2%

4 a

8 a

26 a

32 b

IPB-02 4%

4 a

8 a

26 a

30 b

Kontrol Negatif

12 a

18 a

34 a

62 a

Kontrol Positif

6 a

14 a

20 a

26 b

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).

Lampiran 3 Perlakuan

a

Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit aantraknosa dengan uji kuratif Intensitas Penyakit (%) 3 hsp

4 hsp

5 hsp

6 hsp

IPB-10 1%

1.6 a*

2.8 a

13.2 a

16.4 ab

IPB-10 2%

2 a

3.2 a

8 a

13.2 ab

IPB-10 4%

0 a

2 a

7.6 a

9.6 b

IPB-02 1%

0 a

0.8 a

5.6 a

8.4 b

IPB-02 2%

0.8 a

2 a

8 a

IPB-02 4%

1.2 a

2 a

6.4 a

8 b

Kontrol Negatif

3.2 a

5.6 a

13.2 a

19.6 a

Kontrol Positif

1.6 a

3.2 a

5.2 a

10 ab

10 ab

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).

Lampiran 4

Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap kejadian penyakit antraknosa dengan uji preventif Perlakuan Kejadian Penyakit (%)

a

3 hsp

4 hsp

5 hsp

6 hsp

IPB-10 1%

12 a

14 b

30 b

42 aba

IPB-10 2%

2 b

2 b

18 b

24 b

IPB-10 4%

2 b

4 b

20 b

22 b

IPB-02 1%

8 ab

12 b

36 ab

40 ab

IPB-02 2%

4 b

4 b

20 b

26 b

IPB-02 4%

2 b

6 b

16 b

22 b

Kontrol Negatif

16 a

26 a

54 a

58 a

Kontrol Positif

2 b

4 b

14 b

34 ab

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).

Lampiran 5 Perlakuan

a

Pengaruh aplikasi getah pepaya betina terhadap intensitas penyakit antraknosa dengan uji preventif Intensitas Penyakit (%) 3 hsp

4 hsp

5 hsp

IPB-10 1%

3.6 aa

5.6 a

10.4 ab

IPB-10 2%

0.4 a

0.4 b

IPB-10 4%

1.2 a

IPB-02 1%

6 hsp 17.2 ab

4 b

8.4 bc

1.6 ab

5.2 b

8 bc

3.2 a

4.8 ab

10.4 ab

IPB-02 2%

0.8 a

0.8 ab

4 b

6.8 c

IPB-02 4%

0.4 a

1.6 ab

4 b

7.6 bc

Kontrol Negatif

3.2 a

5.2 ab

14.8 a

Kontrol Positif

0.4 a

1.2 ab

3.2 b

13.2 bc

22.8 a 8.8 bc

Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama menunjukan tidak berbeda nyata dengan menggunakan uji selang ganda Duncan (α=5%).