APAKAH INDONESIA PERLU MERATIFIKASI STATUTA ICC? ROMLI ATMASASMITA1 Pengantar Pertanyaan di atas sebagai judul tulisan, sering disampaikan dalam berbagai kesempatan seminar nasional dan regional. Jika merujuk kepada negara peratifikasi saat ini (versi ICC, 114 negara; versi CICC, 116 negara) tampak tidak ada alasan bagi Indonesia untuk tidak meratifikasi Statuta ICC. Namun menghadapi Statuta ICC, masalah yang dihadapi Indonesia tidak cukup hanya bersandar pada kuantitas negara peratifikasi melainkan juga perlu dipertimbangkan aspek-aspek historis, sosiologis, politis, hukum dan aspek ekonomi nasional. Jauh lebih penting dari kelima aspek tersebut, adalah aspek ketahanan dan pertahanan NKRI di tengah-tengah keadilan internasional (International Justice) yang merupakan tujuan pembentukan ICC itu sendiri. Schabas telah memperingatkan bahwa dalam konteks Statuta ICC, asas komplementaritas secara konsepsional dan faktual tidak menempatkan keadilan internasional (international justice) memiliki posisi berdampingan dengan keadilan nasional(national justice); justru sebaliknya, menempatkannya berhadaphadapan satu sama lain. 2 Saya tidak menggunakan judul yang ditawarkan panitia karena masalah pelanggaran HAM Berat dan solusinya melalui pembentukan ICC bukan masalah untung dan rugi melainkan masalah integritas NKRI sebagai negara berdaulat dan sekalgus anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa.. Penggantian topik di atas bukanlah perbedaan semantik belaka melainkan menanamkan suatu filosofi, visi dan misi suatu negara merdeka dan berdaulat serta bebas dari tekanan dan pengaruh internasional terutama dari negara “superpower” di era globalisasi abad 21. Perhatian serius pemerintah Indonesia terhadap Statuta ICC adalah dengan menyelenggarakan diskusi hari ini dan berbagai kajian ahli terhadap Statuta ICC sebagai tindak lanjut adopsi pemerintah Indonesia terhadap Statuta ICC. Wujud nyata komitmen pemerintah Indonesia juga terdapat pada RAN HAM 2009-2014 termasuk program ratifikasi statuta tersebut. Saya menyampaikan terima kasih atas kepercayaan pemerintah khusus Kementrian Koordinator bidang Politik, Hukum, dan Keamanan RI, untuk mengikutsertakan saya dalam diskusi hari ini. Kesempatan yang sama juga telah diberikan Kementrian 1
Gurubesar Hukum Pidana Internasional Unpad William A,Schabar,”An Introduction to the International Criminal Court”; Cambridge University Press; 2001, hlmn 67 2
1
Pertahanan pada tahun 2007 kepada saya untuk menyampaikan pendapat tentang ratifikasi Statuta ICC. Pendapat saya hari ini, adalah revisi atas makalah yang sama dengan judul di atas dan telah disampaikan kepada Bapak Menteri Pertahanan (Yuwono Sudarsono). Untuk selanjutnya dalam makalah ini penyebutan Statuta ICC akan ditulis hanya statuta saja.
=================================
2
A. Karakter, Kedudukan dan Yurisdiksi Statuta International Criminal Court (ICC) Pengakuan atas Statuta ICC sejak draft awal tahun 1974 yang telah disusun oleh Komisi Hukum Internasional PBB dan telah diberlakukan efektif sejak tanggal 17 Juli 2002 telah melalui jalan panjang dengan perdebatan khususnya mengenai eksistensi dan legalitas ICC. Statuta adalah suatu perjanjian internasional pembentukan ICC yang memiliki yurisdiksi untuk memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat (gross violation of human rights) seperti, genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Tujuan Statuta adalah menegakkan hukum internasional terhadap pelanggaran HAM yg berat sehingga dicegah munculnya
impunitas bagi pelaku pelanggaran ham yang
berat di satu sisi, dan di sisi lain bertujuan untuk memberikan perlindungan terhadap korban pelanggaran ham yg berat. Dalam kerangka Hukum Internasional, statuta adalah perjanjian internasional yang memiliki perbedaan karakteristik baik terhadap hukum perjanjian internasional (Vienna Convention on the Law of the Treaty, VCLT tahun 1969) maupun terhadap perjanjian hubungan diplomatik ( Vienna Convention on Diplomatic Relations (1961).3 Perbedaan mencolok yaitu Statuta ICC menganut prinsip “non-impunity” terhadap setiap pelaku genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi; artinya, pemberlakuan ketentuan Statuta tidak terikat pada ketentuan mengenai “imunitas diplomatik” sebagaimana telah diatur dalam ketentuan Pasal 31 Konvensi Wina Tahun 1961 yang memberikan hak imunitas agen diplomatik suatu negara dari tuntutan pidana hukum negara setempat. Statuta berbeda mendasar dengan VCLT (1969) karena statuta bersifat imperatif-represif yang mengenyampingkan reservasi, terhadap setiap negara peratifikasi, serta secara diam-diam atau secara implisit mengenyampingkan pengakuan atas prinsip “state sovereignty” sebagaimana lazimnya terdapat pada setiap perjanjian internasional. Sekalipun Statuta merupakan perjanjian internasional yang bersifat represif (repressive convention) dan merupakan “non-reserved convention” 4 akan tetapi ICC merupakan pelengkap yurisdiksi pengadilan nasional (asas komplementaritas) . dan hanya akan mengambil alih yurisdiksi pengadilan nasional jika pengadilan
4
Pasal 120 Statuta ICC
3
Philip Kirsch, salah satu Hakim Pengadilan Tinggi Australia dan perumus draft Statuta ICC bersama Cherrif Bassiouni; menjelaskan bahwa sejak awal pembahasan draft statuta ICC telah muncul beberapa isu kontroversial (controversial issues) dan sensitif secara politik yaitu adalah mengenai kewenangan ICC terhadap yurisdiksi pengadilan nasional dalam pembahasan draft Statuta ICC. Pada akhir konprensi diplomatik yang membahas draft Statuta tersebut, mayoritas negara telah mengadopsi posisi yang mendukung perkuatan ICC sebagai berikut: 1. The Court (ICC,pen) has “automatic jurisdiction”; hal ini berarti negara peserta telah menyetujui ICC memiliki wewenang untuk memeriksa dan mengadili “core crimes” yaitu genosida, crimes againt humanity, war crimes dan agresi; 2. Prosedur peradilan ICC dapat dimulai oleh Negara peratifikasi (negara pihak) dan Dewan Keamanan (Security Council) , juga dapat dilaksanakan oleh Penuntut (Internasional)-“in pro prio motu”; 3. Konsisten dengan mayoritas pendapat delegasi, yurisdiksi ICC mengenai kejahatan perang termasuk kejahatan perang dalam konflik bersenjata internal (internal armed conflict); 4. Statuta menjamin penghukuman atas kejahatan terhadap perempuan dan anakanak dalam peperangan sebagai kejahatan perang; 5. ICC bukan sub-ordinasi Dewan Keamanan akan tetapi dalam keadaan tertentu diperlukan tenaggat waktu 12 bulan sampai ada persetujuan Dewan Keamanan untuk mencegah ICC “membahayakan” langkah-langkah pasukan Perdamaian dan Keamanan PBB ; 6. Konsisten dengan dukungan kuat mayoritas negara pihak maka tidak dibolehkan ada reservasi terhadap Statuta ICC dan tidak ada alasan penolakan dari negara pihak untuk bekerja sama.5 Keenam kesepakatan final yang merupakan perkuatan atas Statuta ICC di atas belum memberikan jaminan secara politik kepada negara pihak bahwa dalam praktik tidak akan terjadi “intervensi” yurisdiksi ICC ke dalam yurisdiksi pengadilan nasional 5 dan 6 di atas. Kerentanan terhadap jaminan politis dimaksud tercermin dari pernyataan Philippe Kirsch. Q.C sebagai berikut: 55
Otto Triffterer (editor),” Commentary on the Rome Statute of the International Criminal Court: Observer’s Note, Article by Article”; second edition; Verlag C.H.Beck.Hart.Nomos; 2008; introduction (XXXVIII-XXXIX).
4
“ The ICC is intended to take jurisdiction when States are unwilling or unable to bring transgressor to justice. This was the one politically sensitive issue which delegations were able to largely to resolve ...Delegations agreed that the ICC should be able to exercise jurisdiction where no investigation or prosecutions are underway. The more controversial situation was where an investigation was underway but was not genuine” (pen.) Penjelasan di atas menunjukkan betapa tidak mudahnya menyatukan pendapat anggota delegasi mengenai posisi negara pihak terhadap yurisdiksi ICC . Untuk mencegah peradilan nasional yang bermotivasi melindungi pelaku kejahatan yang sesungguhnya di satu sisi dan efektivitas yurisdiksi ICC di sisi lain maka delegasi telah berhasil merumuskan ketentuan yang seimbang yaitu membolehkan ICC menerapkan yurisdiksi terhadap proses peradilan nasional akan tetapi telah bertindak tidak benar (not genuine) dan disepakati dimasukkannya asas komplementaritas (complementarity principle) ke dalam Statuta ICC.6 Dalam konteks ratifikasi Statuta ICC perlu diketahui bahwa, di Asean hanya Kambodja, yang telah meratifikasi, dan anggota DK PBB yang telah meratifikasi adalah, Inggeris dan Perancis. Sedangkan Amerika Serikat, Cina, Rusia, selaku pemegang hak veto dalam DK PBB sampai saat ini tidak meratifikasi statuta tersebut. Negara lain, seperti Israel dan Libya juga tidak meratifikasi statuta tersebut. Negara peratifikasi lain tela mengajukan deklarasi terhadap beberapa ketentuan statuta tersebut. Bahkan AS telah mengadakan Perjanjian Imunitas Bilateral (Bilateral Immunity Arrangment) dengan banyak negara peratifikasi Statuta ICC dengan “memanfaatkan celah hukum dalam statuta yaitu ketentuan Pasal 98 Statuta ICC.7
6
Pasal 17 Statuta ICC Pasal 98 Statuta ICC: di bawah titel :”Cooperation with respect to waiver of immunity and consent to surrender: (1) The Court (ICC,pen,) may not proceed with a request for surrender or assistance which would require the requested State to act inconsistently with its obligation under international law with respect to the State or diplomatic immunity of a person or property of a third State, unless the Court can first obtain the cooperation of that third State for the waiver of the immunity”. (2) The Court may not proceed with a request for surrender which would require the requested State to act inconsistently with its obligaitons under international agreements pursuant to the Court, unless the Court can first obtain the cooperation of the sending State for the giving of consent for surrender. 77
5
B. Asas komplementaritas (complementarity principle) Konsep komplementaritas tercantum dalam para 10 Mukadimah Statuta ICC dan Pasal 1, Pasal 12-15, 17 dan Pasal 18 Statuta ICC. Bassiouni menjelaskan tiga arti dari asas ini yaitu pertama, bahwa asas komplementaritas berkaitan dengan yurisdiksi; adanya relasi sistematis antara organ nasional dan internasional terhadap kejahatan internasional. Kedua, asas komplementaritas ingin menegaskan bahwa tidak ada kevakuman yurisdiksi atas kejahatan internasional; dan ketiga, asas ini bersifat ‘civitas maxima’ artinya meletakkan kewajiban terhadap setiap negara untuk menuntut dan mengekstradisi pelaku kejahatan internasional sebagai wujud akuntabilitas negara, dan diwujudkan dalam harmonisasi penegakan hukum langsung dan tidak langsung.8 Asas komplementaritas dalam Statuta ICC merupakan “mandatory obligation” bagi setiap negara peratifikasi dalam hal terjadi peristiwa pelanggaran HAM berat yang tercantum dalam Pasal 5,6,7, dan Pasal 8 Statuta ICC. Asas komplementaritas dalam Statuta ICC dilandaskan pada pendekatan “opting-in” yaitu penerapan yurisdiksi ICC memerlukan persetujuan dari negara peratifikasi (consent jurisdiction) kecuali jika terdapat fakta bahwa proses peradilan nasional telah berlangsung dengan tujuan untuk melindungi pelaku pelanggaran HAM berat yang sesungguhnya (unwilling atau unable). Pasal 17 tentang asas komplementaritas erat kaitannya dengan Pasal 12, 13 dan Pasal 124 tentang masa peralihan. Ketiga pasal tersebut mutatis mutandis berkaitan dengan Pasal 5 tentang yuridsiksi ICC yang meliputi: genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi. Dalam konteks penerapan Pasal 17 Statuta ICC penting bagi pemerintah Indonesia untuk mencermati benar bunyi ketentuan Pasal 12 tentang “Precondtions to the exercise of jurisdiction” (Prakondisi Yurisdiksi ICC) sebagai berikut: 1. A State which become a Party to this Statute thereby accepts the jurisdiction of the Court with respect to the crimes referred to in article 5. 2. In the case of article 13 paragraph (a) or ( c ) the Court may exercise its jurisdiction if one or more of the following States are Parties to the Statute or have accepted the jurisdiction of the Court in accordance with paragraph 3: 8
Bassiouni dikutip dari Romli Atmasasmita,”Hukum Pidana Internasional Dalam Kerangka Perdmaian dan Keamanan Internasional”; Penerbit Fikahati Aneska; 2010; hlmn 78
6
(a)
The State on the territory of which the conduct in question occurred or, if the crime was committed on board a vessel or aircraft, the State of registration of that vessel or aircraft;
(b)
The State of which the person accused of the crime is a national.
3. If the acceptance of a State which is not a Party to this Statute is required under paragraph 2, that State may, by declaration lodged to the Registrar, accept the exercise of jurisdiction by the Court with respect to the crime in question. The accepting State shall cooperate with the Court without any delay or exception in accordance with Part 9.9 Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2) Statuta ICC merupakan “entry point” (pintu masuk) yurisdiksi ICC ke dalam yurisdiksi nasional yang dilandaskan pada asas “lex locus delicti” yang berlaku universal, dan asas personal (ratione personae). Dalam konteks pemberlakuan Pasal 12 Statuta ICC, contoh konkrit, peristiwa pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor Timur, telah memenuhi ketentuan pasal tersebut yaitu, locus delicti di wilayah Timor Leste, dan pelaku pelanggaran HAM Berat adalah warga negara Indonesia. Fakta peristiwa tersebut menimbulkan konsekuensi hukum sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 12 para 2 (a) dan (b). Bahkan Timor Leste sebagai negara peratifikasi Statuta ICC (Negara Pihak) memiliki posisi hukum yang lebih kuat dibandingkan dengan Indonesia.10 Jika merujuk pada ketentuan Pasal 12 ayat 3 di atas dan jika Indonesia meratifikasi statuta, maka posisi Indonesia dan Timor Leste memiliki hak dan kewajiban yang sama sebagaimana ditentukan dalam statuta, antara lain menyampaikan laporan tahunan kepada Sekjen PBB tentang perkembangan peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di wilayah NKRI baik sebelum dan setelah ratifikasi statuta. Masalah penyelesaian perkara pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor Timur tidak serta merta selesai dengan laporan hasil Komisi Kebenaran dan Persahabatan (KKP) Indonesia- Timor Leste tanggal 31 Maret 2008. Persoalan serius mengenai masalah ini adalah, pertanyaan, sejauh mana kekuatan hukum MOU pembentukan KKP dan hasil laporan KKP tersebut dihubungkan dengan Pasal 53 jo Pasal 64 dan Pasal 71 Konvensi Wina tentang Perjanjian Internasional Tahun 1969? Sekalipun Indonesia tidak pernah meratifikasi konvensi tersebut akan tetapi prinsip-
9
Part 9 International Cooperation and Judicial Assistance
7
prinsip dan substansi konvensi tersebut telah diakomodasi ke dalam UU RI tentang Perjanjian Intenasional. Pasal 53 Konvensi 1969 di bawah titel “Invalidity of treaties”, tentang “ Treaties conflicting with a preemptory norms of general internatila law (jus cogens),berbunyi sebagai berikut: “A treaty is void it, at the time of its conclusion, it conflicts with a preemptory norm of general international law. For the purpose of the present Convention, a preemptory norm of general international law is a norm accepted and recognized by the international community of States as a whole as a norm from which no derogation is permitted and which can be modifieed only by a subsequent norm of general international law having the same character”. Pasal 64 Konvensi Tahun 1969, “Emergence of a new preemptory norm of general international law(jus cogensberbunyi: “If a new preemptory norm of general international law emerges, any existing treaty which is in conflict with that norm becomes void and terminates”. Pasal 71 Konvensi Tahun 1969, “Consequence of the invalidity of a Treaty whic conflicts with a preemptory norm general international law”, berbunyi: “1. In the case of a treaty which is void under article 53 the parties shall : (a) Eliminate as far as possible the consequence of any act performed in relaince on any provision which conflicts with the preemptory norm of general international law; and (b) Bring their mutual relations into conformity with the preemptory norm of general international law. 2. In the case of a treaty which besome void and terminates under article 64, the termination of the treaty: (a) releases the parties from any obligation furter to perform the treaty; (b) does not affect any right, obligation or legal situation of the parties created throug the execution of the treaty prior to its termination; provided that those rights, obligation or situation may thereafter be maintanined only to the extent that their maintenance is not in itself in conflict with the preemptory norm of general international law. Merujuk pada tiga ketentuan Konvensi Hukum Perjanjian Internasional Tahun 1969 di atas, maka pemerintah Indonesia (jika Statuta ICC diratifikasi) bersama Pemerintah
8
Timor Leste wajib melaporkan dan mempertanggungjawabkan laporan hasil KKP kepada Asesembly of the State Parties (Pasal 11 Statuta ICC). Laporan hasil KKP Tanggal 31 Maret Tahun 2008 menyampaikan 5(lima) kesimpulan sebagai berikut: 1. The Commission concluded that gross human rights violation in the form of crimes against humanity did occur in East Timor in 1999 and that these violations included murder, rape and other forms of sexual violence, torture, illegal detention, and forcible transfer and deportation carried out aginst the civilian population; 2. The Commission concluded that there wa institutional responsibility for these violations. 3. In regard to crimes committed in support of the pro-autonomy movement, the Commission concluded that pro-autonomy militia groups, TNI, the Indonesian civilian government, and Polri must all bear institutional responsibility for gross-human rights violation targeted aginst civilians perceived as supporting the pro-independence cause. 4. In regard to crimes commtted in support of the pro-independence movement, the Commission concluded that because of the lack previous systematic judicial investigations of such violations the exact nature and extent of such violation could not be conclusively determined. The Commission also determined that it was nonetheless possible to conclude that pro-independence groups were responsible for gross-human rights violations in the form of illegal detentions that targeted civilians who ere perceived as pro-autonomy support. 5. The Commission concluded that persistent partterns of organized, institutional invlovement in these gross-human rights violations provide the basis for its conclusion about institutional responsibility. It further concluded that becaiuse of the nature and scope of this involvement, from a moral and political perspective the respective states must accept state responsibility for the violations identified in the Report as linked to their institutions.11
11
Final Report of the Commission of The Truth and Friendship (CTF)Indonesia-Timor Leste
9
Dalam kesempatan ini perlu diingatkan bahwa Dewan Keamanan telah mengeluarkan tiga resolusi tentang dugaan pelanggaran HAM di Timor Leste.12 Resolusi Nomor 1264 /1999 Tanggal 15 September 1000 merupakan resolusi yang bersifat memberikan “ultimatum” terhadap pemerintah Indonesia untuk menuntut dan mengadili mereka yang bertanggung jawab atas dugaan pelanggaran Ham Berat di Timor Timur pasca jajak pendapat. Atas dasar resolusi Tahun 1999 telah dibentuk Komisi Ahli Independen oleh Sekjen PBB untuk melaksanakan penyelidikan dan mencari bukti-bukti pelanggaran hak asasi manusia di Timor Timur pasca jajak pendapat. Kesimpulan hasil Komisi tersebut antara lain sebagai berikut: “the Commission has concluded that the prosecution before the Adhoc Court were manifestly inadequate, primarily due to a lack of commitment on the part of the prosecution, as well as to the lack of expertise, experience and training in the subject matter, deficient investigations and inadequate presentation of inculpatory material at trial...Signficantly, investigations and prosecutions were undertaken at a time when It material and moral support for these investigation”.13 Saya menggarisbawahi kesimpulan Komisi Ahli Independen untuk kasus dugaan pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor Timur, yaitu “manifestly inadequate”; “a lack of commitment”, dan “ lack of political will”; kalimat kunci mana merupakan” pekerjaan rumah” pemerintah RI yang saya nilai tidak ringan dan kompleks untuk dapat dipertanggungjawabkan dalam forum DK PBB, jika pemerintah Indonesia tergesa-gesa meratifikasi statuta tersebut. Apalagi pemerintah Timor Lesete sebagai negara peratiikasi telah menyampaikan laporan Komisi Ombudsman kepada DK PBB pada tahun 2007 tentang peristiwa pelanggaran HAM berat pasca jajak pendapat di Timor Timur. Perhatian serius pemerintah Indonesia terhadap tiga kata kunci tersebut di atas tidak terlepas dari beberapa rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia yang tela disampaikan berikut ini. Komisi Ahli Independean menyampaikan 7(tujuh) rekomendasi kepada pemerintah Indonesia sebagai berikut:
12
Resolusi DK PBB Nomor 384/1975; Nomor 3891976; dan Nomor 12641999 Report to the Secretary General of the Commission of Experts to Review the Prosecution of Serious Violations of Human Rights in Timor Leste (the then East Timor) in 1999; 26 May 2005. 13
10
1. Indonesia harus memperkuat kemampuan proses penuntutan dan peradilan dengan memperbantukan Ahli-ahli hukum dan peradilan internasional diutamakan dari kawasan Asia; 2. Indonesia menyediakan penasehat ahli khusus kepada Jaksa Agung dalam bidang hukum pidana internasional, hukum humaniter internasional dan ahli hukum hak asasi manusia; 3. Agar Kejaksaan Agung Indonesia meninjau kembali secara komprehensif penuntutan yang telah dilaksanakan di Pengadilan HAM Adhoc. Jika perlu peradilan ham adhoc dilakukan di tempat kejadian dan terdakwa diadili kembali; 4. Agar pemerintah Indonesia menyampaikan laporan lengkap kepada Sekjen PBB perihal hasil penyidikan berkaitan dengan penuntutan oleh Serious Crime Panel Unit Timor Leste dan merinci alasan-alasan penuntutannaya atau menentukan juga apakah diperlukan peradilan kembali terhadap mereka yang telah diadili di Pengadilan HAM Adhoc; 5. Agar Dewan Keamanan mengeluarkan resolusi di bawah Bab VII Piagam PBB untuk membentuk Mahkamah Adhoc Internasional untuk Timor Leste dan bertempat di negara ketiga; 6. Agar juga dipertimbangkan peradilan internasional untuk Timor Leste; 7. Agar Negara anggota PBB sesuai dengan hukum nasionalnya melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan terhadap orang-orang yang bertanggung jawab atas pelanggaran serius hak asasi manusia di Timor Timur pada tahun 1999.14 Sampai saat ini belum diketahui secara terbuka keterangan pemerintah Indonesia menanggapi 7(tujuh) rekomendasi Komisi Ahli Independen melalui Sekretaris Jenderal PBB yang telah disampaikan pada tahun 2005. Sejalan dengan uraian di atas akan diuraikan posisi ICC terhadap Negara peratifikasi dan Non-peratifikasi di bawah ini.
14
Report to the Secretary General of the Commission of Experts, ibid
11
C. Posisi ICC terhadap Negara Peratifikasi dan Non-Peratifikasi Implementasi yurisdiksi ICC terhadap kedaulatan hukum negara peratifikasi relatif lebih efektif dibandingkan dengan negara non-peratifikasi dengan alasan pertama, terhadap ICC, negara peratifikasi tidak dapat mengajukan resrervasi sehingga setiap negara peratifikasi wajib (mandatory obligation) melaksanakan seluruh ketentuan dalam statuta Kewajiban atas statuta tersebut tidak dapat ditolak atau dihindari dengan alasan bahwa ketentuan ICC bertentangan dengan sistem hukum nasional negara peratifikasi.15 Alasan kedua, statuta tidak mengakui hak imuntas diplomatik kepala negara atau menteri atau pejabat negara lainnya baik di dalam negeri maupun di luar negara ybs. Bagi negara non-peratifikasi, hak imunitas diplomatik masih melekat sepenuhnya dan tidak dapat dipengaruhi oleh keberadaan statuta .Alasan ketiga, ICC memiliki kewenangan untuk menentukan apakah negara peratifikasi tidak memiliki keinginan (unwilling) atau tidak memiliki kemampuan(unable) untuk melaksanakan peradilan atas pelanggaran HAM yang berat secara independen dan bebas dari tekanan dan atau pengaruh apapun.16 Alasan keempat, ICC berwenang untuk memeriksa dan memutus perkara pelanggaran HAM berat yang telah diputus oleh pengadilan nasional yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.17 Alasan kelima, sekalipun secara eksplisit statuta hanya berlaku prospektif (non-retroaktif) akan tetapi kebiasaan dan praktik pembentukan Mahkamah Adhoc terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat sebelum dibentuk ICC telah berjalan sejak pembentukan Mahkamah Adhoc Rwanda (1993) dan Yugoslavia (1994). Sebaliknya sistem hukum pidana Indonesia sesuai dengan asas legalitas
15
Pasal 27 di bawah titel, Part III Observance, Application and Interpretation of Treaties” dalam Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian (UN Convention on the Law of Treaties-VNLT-1969) menegaskan sebagai berikut:” A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty. This rule is without prejudice to article 46. Article 46 di bawah Section 2 “Invalidity of Treaties; menyatakan: (1) A State may not invoke the fact that its consent to be bound by a treaty has been expressed in violation of a provision of its internal law regarding competence to conclude treaties as invalidating its consent unless that violation was manifest and oncerned a rule of its internal law of fundamental importance. (2) A violation is manifest if it would be objectively evident to any State conducting itself in the matter in accordance with normal practice and in good faith. 16 Pasal 17 Statuta ICC 17 Pasal 20 Statuta ICC di bawah titel “Ne bis in idem” menyatakan sebagai berikut: (3) No person who has been tried by another court for a crime referred to in article 6, 7, or 8 shall be tried by the Court with respect to the same conduct unless the proceedings in the other court: (a) were for the purpose of shielding the person concerned from criminal responsibility for crimes within the jurisdiction of the Court; or (b) Otherwise were not conducted independently or impartially in accordance with the norms of due process recognized by international law and were conducted in a manner which, in the circumstances, was inconsistent with an intent to bring the person concerned to justice.
12
(Pasal 1 ayat 1 KUHP) menganut asas non-retroaktif, tidak ada kekecualian; dan menganut asas ne bis in idem (non bis in idem) sesuai Pasal 76 KUHP. Jika pemerintah Indonesia meratifikasi statuta, dan rekomendasi Komisi Ahli ditindanklanjuti dengan resolusi DK PBB, maka terpaksa sistem hukum pidana Indonesia termasuk sistem peradilan pidana Indonesia harus dikesampingkan . Persoalan politik yang dihadapi pemerintah Indonesia pasca ratifikasi statuta tersebut oleh Indonesia adalah kemauan politik dan langkah-langkah strategis agar proses peradilan perkara pelanggaran HAM pasca jajak pendapat di Timor Timur tidak digolongkan ke dalam “unwilling” atau “unable” sebagaimana dicantumkan dalam Pasal 17 statuta.
D. Asas Non-Retroaktif Ketentuan ICC hanya diberlakukan untuk pelanggaran HAM berat setelah terbentuknya ICC (non retro-aktif), akan tetapi terbuka kemungkinan untuk diberlakukan retroaktif, jika didasarkan pada Resolusi Dewan Keamanan PBB, sebagaimana pembentukan Mahkamah Adhoc untuk Yugoslavia, Rwanda, dan Kamboja. Pemberlakuan retroaktif tsb di atas merupakan precedent atas keberhasilan proses peradilan terhadap pejahat perang dunia kedua di Nuremberg dan Tokyo. Pembentukan Mahkamah Adhoc berdasarkan Resolusi Dewan Keamanan PBB (RDKPBB) dan putusan yang telah dilaksanakan merupakan kebiasaan dan praktik hukum internasional atau yurisprudensi yang diakui sebagai salah satu sumber hukum internasional. Atas dasar kebiasaan dan praktik serta yurisprudensi tersebut maka sangat sulit bagi negara peratifikasi statuta untuk menolak
resolusi
DK PBB membentuk Mahkamah Adhoc, dibandingkan dengan negara anggota tetap DK PBB itu sendiri yang memiliki hak veto- sekalipun negara tersebut tidak menjadi negara peratifikasi statuta. Disinilah letak ketidakadilan internasional dalam hal ratifikasi Statuta ICC bagi negara berkembang dibandingkan dengan negara maju. Hal ini pernah ditegaskan oleh Louise Arbour, Jaksa penuntut pada Mahkamah Adhoc, ketika memberikan pendapat terhadap asas komplementaritas sebagai berikut: “...that regime (asas komplementaritas,pen) would work in favour of the rich, developed countries and against poor countries”. Selanjutnya pernyataan Louis Arbour yang memerlukan pertimbangan hati-hati Pemerintah Indonesia, adalah,
13
“Certainly there is a danger that the provisions of Article 17 will become a tool for overly harsh assessment of the judicial machinery in developing countries”.18 Selain pertimbangan di atas, keberadaan ICC masih memiliki kelemahan karena sampai saat ini organisasi ICC di dalam struktur organisasi PBB belum dapat dipastikan apakah merupakan lembaga berdiri sendiri dan independen, seperti International Court of Justice (ICJ) atau lembaga berada di bawah Dewan Keamanan PBB. Satu hal yang pasti dari ketentuan Statuta ICC, ialah bahwa, peranan dan pengaruh DK PBB tidak dapat diragukan yang secara eksplisit terdapat di dalam ketentuan yang menegaskan bahwa, Jaksa Penuntut internasional tidak dapat memulai penyidikannnya di dalam tenggat waktu 12(duabelas) bulan sebelum DK PBB memutuskannya.19 E. Kepentingan Indonesia meratifikasi Statuta ICC Persoalan Statuta ICC bagi Indonesia mengenai apakah Indonesia perlu meratifikasi Statuta ICC dapat dikemukakan beberapa hal sebagai berikut: (1) Di dalam hukum internasional khususnya di dalam Piagam PBB tidak ada satupun ketentuan yang mewajibkan setiap negara anggota PBB untuk mengadopsi dan meratifikasi suatu perjanjian internasional. Pasal 2 para 4 Piagam PBB menyatakan: “ All members shall refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integerity or political independence of any State, or in any other manners inconsistent with the Purpose of the United Nations”. Pasal 2 para 7 menyatakan: “ Nothing contained in the present Charter shall authorize the United Nations to intervene in matters which are essentially within the domestic jurisdiction of any State or shall require the Members to submit such matters to settlement under the present Charter; but this principle shall not prejudice the application of enforcement measures under Chapter VII. Dalam konteks uraian angka 1 di atas, PEMRI harus mengingat kembali penyelesaian berbagai peristiwa pelanggaran HAM (dalam konteks pasca 18
Dikutup dari William A.Schabas,”An Introduction to the International Criminal Court”; Cambridge University Press, 2001, hlmn 68 19 Pasal 16 Statuta ICC di bawah titel “Deferral of Investigation or prosecution; menyatakan: “ No investigation or prosecution may be commenced or proceeded with under this Statute for a period of 12 months after the Security Council, in a resolution adopted under Chapter VII of the Charter of the United Nations, has requested the Court to that effect; that request may be renewed by the Council under the same conditions.
14
ketentuan BAB XA UUD 1945 tentang HAM) di Indonesia sejak peristiwa G 30 S ; Papua ; Trisakti Semanggi; Peristiwa Maluku; dan penyelesaian terhadap peristiwa GAM di Aceh melalui MOU dan kasus pelanggaran HAM di Timor Leste melalui pembentukan KKP yang hasilnya telah dilaporkan kepada Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Timor Leste. Kemungkinan dampak ratifikasi Statuta ICC perlu dipertimbangkan Pemerintah Indonesia adalah terhadap peristiwa pelanggaran HAM berat masa lampau terutama terhadap peristiwa yang telah diselesaikan menurut cara Indonesia dan GAM Aceh dan dengan Pemerintah Timor Leste. 2. Dampak ratifikasi statuta baik di bidang ketatanegaraan, hukum, politik,ekonomi dan sosial 2.1.
Dampak hukum ratifikasi terhadap sistem ketatanegaraan RI pada hakikatnya merupakan “penyerahan kedaulatan hukum NKRI “ kepada ICC untuk memeriksa dan mengadili pelaku pelanggaran HAM berat warga negara Indonesia kepada ICC, terlepas dari status hukum pelaku pejabat publik yang seharusnya memiliki imunitas diplomatik.
2.2.
Dampak yang sangat sensitif dari ratifikasi statuta adalah bahwa secara sadar pemerintah telah mengenyampingkan amanat amanat UUD 1945 yang hanya mengakui dua puncak kekuasaan kehakiman yaitu Mahkamah Agung RI dan Mahkamah Konstitusi RI.
2.3.
Dampak hukum dari ratifikasi Statuta ICC terhadap sistem hukum pidana nasional khususnya dalam peristwa genosida, kejahatan kemanusiaan, kejahatan perang dan agresi; adalah perubahan mendasar asas-asas hukum, norma-norma, kelembagaan dan prosesproses hukum pidana dalam perkara pelanggaran HAM berat di Indonesia kini dan masa yang akan datang. Sistem peradilan Pidana Indonesia pasca ratifikasi akan selalu di bawah “bayang-bayang ICC” dalam hal terjadi pelanggaran HAM berat di wilayah Indonesia dan dilakukan oleh warga negara Indonesia baik militer maupun sipil.
2.4.
Dampak politik dari ratifikasi Statuta ICC, adalah bahwa, pengakuan eksistensi ICC ke dalam yurisdiksi nasional NKRI rentan terhadap instabilitas kehidupan politik nasional di mana pro dan kontra dengan dalih nasionalisme akan berkepanjangan ketika terjadi peristiwa 15
pelanggaran HAM berat. Sedangkan peristiwa pelanggaran HAM berat di masa lampau pada beberapa wilayah NKRI masih belum diselesaikan secara tuntas sehingga kemungkinan tekanan-tekanan internasional dengan dalih “unwilling” atau “unable” akan tetap merupakan isu yang secara langsung atau tidak langsung mempengaruhi perkembangan dan stabilitas di bidang politik, keamanan, ekonomi,keuangan dan perdagangan internasional. 2.5.
Dampak sosial dari ratifikasi ICC, adalah bahwa dengan pengambilalihan suatu peristiwa pelanggaran HAM berat oleh ICC rentan terhadap timbulnya ketidak percayaan masyarakat luas terhadap pemerintah karena dipandang tidak mampu melaksanakan proses peradilan yang independen atas dasar kekuatan hukum nasional yang telah berlaku terhadap pelanggaran HAM berat (UU Nomor 26 tahun 2000). Pengakuan MPI ke dalam yurisdiksi nasional menimbulkan isu nasionalisme yang sangat panas di dalam iklim politik nasional dan akan selalu menjadi beban sejarah NKRI baik kini maupun di masa yad.
F.Solusi Indonesia menghadapi masalah ratifikasi Statuta ICC-suatu saran Merujuk pada uraian pada huruf A sd E di atas, saya menyarankan : Pertama, Pemerintah Indonesia (PEMRI) menunda ratifikasi Statuta ICC dengan pertimbangan dampak-dampak sebagaimana telah diuraikan di atas. Selain pertimbangan tersebut di atas, PEMRI dapat menyatakan pendapat jika diperlukan dalam forum internasional atau pertanyaan negara lain bahwa, peratifikasian Statuta ICC belum diperlukan –sebagaimana halnya negara anggota Asean lainnya- karena Indonesia telah memiliki sistem hukum yang dapat menegakkan perlindungan HAM setiap warga negara dalam keadaan apapun yaitu berdasarkan UUD 1945 Bab XA tentang HAM, UU RI Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM; UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan Pembentukan KOMNAS HAM dan KOMNAS PEREMPUAN dan Komnas Perlindungan Anak. Dalam pelaksanaan ketentuan UU di atas diakui masih ada kelemahan-kelemahan maka kelemahan-kelamahan sisi perundang-undangan perlu dilakukan amandemen melalui sistem hukum nasional dan tidak diperlukan untuk meminta bantuan ICC untuk turut serta menegakkan perlindungan HAM di Indonesia.
16
Kedua, Pemri wajib melakukan revisi atau perubahan terhadap UU RI Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan memasukkan ketentuan tentang Kejahatan perang dan agresi serta memperkuat keberadaan Pengadilan HAM dengan ketentuan Hukum Acara yang spesifik dan khusus dalam memeriksa dan mengaili perkara pelanggaran HAM Berat di Indonesia termaasuk menghapuskan ketentuan kewenangan rektroaktif Pengadilan HAM. Hukum acara pidana spesifik dalam perkara pelanggaran HAM adalah antara lain, rekrutment dan pelatihan bagi jaksa dan hakim khusus untuk perkara pelanggaran HAM berat. Ketiga, Pemerintah Indonesia segera melaksanakan pelatihan-pelatihan tentang konvensi internasional HAM dan Statuta ICC terhadap hakim dan jaksa. Selain itu juga perlu memperkuat pengadilan HAM dengan strtuktur organisasi yang lengkap dan anggaran yang memadai. Keempat, pemerintah Indonesia sejak dini seharusnya membuktikan komitmen politik penyelesaian kasus pelanggaran ham di dalam negeri dengan mendorong dilakukan penyelidikan Komnas HAM secara tuntas dan menunjukkan bahwa pengadilan HAM Indonesia efektif dan efisien dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM. Harus dicatat bahwa, Indonesia satu-satunya negara di seluruh dunia yang memiliki Pengadilan HAM, selain Negara anggota Uni Eropa. Kelima, melakukan kajian secara mendalam terhadap struktur organisasi dan tata kerja KOMNAS HAM dan hubungan kerja dengan Kejaksaan Agung RI serta kewenangan Pengadilan HAM. Keenam, Pemerintah wajib melakukan program sosialisasi secara intensif tentang promosi dan perlindungan HAM terutama terhadap anggota TNI dan Polri oleh para ahli terpilih.
17