ap membantu saya. Saya mungkin berutang nyawa padanya." Kami sampai di kaki tangga. "Apakah dia mengingatkan Anda?" "Dia takkan berbuat begitu. Sayalah yang harus mengingatnya." Aku berkata, "Oke, Kapten. Urusan utang budi ini sungguh mulia. Dan saya mendukung harmoni antarsuku bangsa. Tapi sementara itu, ada kemungkinan bahwa dia
membunuh Cheryl Austin, mencuri kaset-kaset video, dan merapikan apartemen wanita muda itu. Bagi saya, Eddie Sakamura kelihatan seperti pecandu narkotika yang mengalami korslet. Tingkah lakunya mencurigakan. Dan kita malah pergi. Membiarkan dia begitu saja." "Betul." Kami terus berjalan. Aku merenung, dan semakin cenias. Aku berkata, "Sebenarnya, secara resmi sayalah yang memimpin penyidikan ini." "Sebenarnya Graham yang bertanggung jawab." "Yeah, oke. Tapi kita akan kelihatan seperti orang tolol kalau ternyata dia pelakunya." Connor mendesah, seakan-akan kehilangan kesabaran. "Baiklah, mari kita bahas kasus ini sesual jalan pikiran Anda. Eddie membunuh Cheryl Austin, oke?" "Oke." "Dia bisa menemuinya kapan saja, tapi dia memutuskan untuk berhubungan di meja rapat, dan kemudian membunuhnya. Setelah itu dia turun ke lobi, dan berlagak sebagai eksekutif Nakamoto, biarpun penampilan Eddie Sakamura sama sekali bukan seperti eksekutif. Tapi kita anggap saja penyamarannya sukses. Dia berhasil menyuruh
petugas keamanan pulang lebih awal. Dia mengambil kaset-kaset video itu. Dia keluar dari ruang keamanan tepat pada waktu Phillips datang, kemudian dia pergi ke apartemen Cheryl untuk merapikannya. Tapi entah kenapa dia menambahkan foto dirinya, menyelipkannya ke bingkai cermin. Lalu dia mampir di Bora Bora, dan memberitahu semua orang bahwa dia akan menghadiri sebuah pesta di Hollywood. Kita menemukannya di sana, di sebuah ruangan tanpa perabot, sedang merayu wanita berambut merah.
Begitukah Anda membaca kejadian malam ini?" Aku diam saja. Jika diungkapkan seperti itu, kecurigaanku tampaknya memang tidak beralasan. Tapi di pihak lain... "Saya hanya bisa berharap bahwa bukan dia pelakunya." "Begitu juga saya." Kami sampai di tepi jalan. Salah satu petugas parkir bergegas datang untuk mengambil mobil kami. "Caranya menceritakan hal-hal tadi," kataku, misalnya bagaimana dia menutup kepala Cheryl Austin dengan kantong plastik - mengerikan." "Oh, itu tidak berarti apa-apa," ujar Connor. "Anda harus ingat, Jepang tidak terpengaruh oleh ajaran Freud maupun ajaran Nasrani. Mereka tidak merasa berdosa atau malu mengenai seks. Tak ada masalah dengan homoseksualitas atau seks yang menyimpang. Mereka bersikap apa adanya. Ada orang yang suka ini, ada yang suka itu, apa bedanya. Orang Jepang tak pernah memahami kenapa kita ribut-ribut mengenai fungsi biologis yang begitu sederhana. Mereka menganggap kita tertalu kaku dalam hal seks. Dan memang ada benarnya." Connor melirik jam tangannya. Sebuah mobil patroli keamanan swasta berhenti.
Seorang petugas berseragam menyembulkan kepalanya dari jendela. "Hei, ada masalah di pesta di atas sana?" "Masalah apa?" "Perkelahian. Kami menerima laporan mengenai perkelahian." "Saya tidak tahu," ujar Connor. "Lebih baik Anda ke sana untuk memastikannya."
Petugas itu turun dari mobil, menarik celananya yang agak merosot, lalu mulai menaiki tangga. Connor menoleh ke belakang, menatap tembok yang tinggi. "Anda sadar bahwa sekarang ini lebih banyak petugas keamanan swasta dibandingkan petugas polisi? Semua orang membangun benteng dan menyewa petugas satpam. Tapi di Jepang, kita bisa pergi ke taman di tengah malam buta, duduk di bangku, dan takkan terjadi apa-apa. Kita aman sepenuhnya, siang dan malam. Kita bisa pergi ke mana saja. Kita tak perlu takut dirampok, dianiaya, atau dibunuh. Kita tidak selalu menoleh ke belakang, tidak selalu dihantui perasaan waswas. Keamanan kita adalah keamanan seluruh masyarakat. Kita bebas. Perasaan ini benar-benar menyenangkan. Di sini semua orang harus mengurung diri. Mengunci pintu. Mengunci mobil. Orang yang terus-menerus mengurung diri hidup seperti di penjara. Tidak masuk akal. Tapi keadaan ini sudah berlangsung begitu lama, sehingga orang Amerika sudah lupa bagaimana nikmatnya kalau kita merasa benar-benar aman. Baiklah. Mobil kita sudah datang. Sekarang kita ke markas divisi." Kami baru saja mulai menggelinding, ketika operator DHD memanggil, "Letnan Smith," ia berkata, "ada tugas untuk Special Services."
"Saya sedang sibuk," kataku. "Apakah bisa ditangani oleh petugas cadangan?" "Letnan Smith, beberapa petugas patroli minta bantuan Special Services untuk kasus TP di wilayah sembilan belas." Ia sedang memberitahuku bahwa ada masalah dengan seorang tamu penting. "Saya mengerti," aku membalas, "tapi saya sedang menangani kasus lain. Serahkan saja kepada petugas cadangan."
"Tapi lokasinya di Sunset Plaza Drive. Bukankah Anda berada di..." "Ya," kataku. Sekarang aku mengerti mengapa ia begitu ngotot. Kejadian itu berjarak hanya beberapa blok saja. "Oke, apa masalahnya?" "Kasus MDKM yang melibatkan TP. Dilaporkan sebagai tingkat P plus satu. Nama belakang adalab Rowe." "Oke," kataku. "Kami segera ke sana." Aku mengembalikan gagang dan memutar mobil. "Menarik," Connor berkomentar. "Tingkat P plus satu apakah itu berarti Pemerintah Amerika?" "Ya," jawabku. "Senator Rowe?" "Sepertinya begitu," kataku. "Mengemudi dalam keadaan mabuk."
Bab 17
SEDAN Lincoln berwarna hitam itu berhenti di pekarangan sebuah rumah di bagian Sunset Drive Plaza yang curam. Dua mobil patroli berhenti di tepi jalan, dengan lampu berwarna merah berkedap-kedip. Di pekarangan, setengah lusin orang herdiri di sebelah sedan Lincoln. Seorang pria bermantel mandi, dengan tangan terlipat di depan dada; beberapa gadis dengan rok mini berkilaukilau; seorang pria tampan berambut pirang, berusia empat puluhan, berpakaian tuksedo; serta seorang pria yang lebih muda dengan setelan jas warna biru, yang kukenali sebagai pemuda yang ikut masuk ke lift bersama Senator Rowe tadi.
Para petugas patroli telah mengeluarkan kamera video. Sebuah lampu menyilaukan diarahkan kepada Senator Rowe. Ia sedang bersandar pada spakbor depan sedan Lincoln, sambil melindungi wajahnya dari cahaya dengan sebelah tangan. Ia mencaci maki keras-keras ketika Connor dan aku mendekat. Pria bermantel mandi menghampiri kami dan berkata, "Saya ingin tahu siapa yang akan bertanggung jawab." "Tunggu sebentar, Sir." Aku terus berjalan. "Dia tidak bisa menghancurkan pekarangan saya seperti ini. Saya menuntut ganti rugi." "Harap bersabar sejenak, Sir." "Dia mengagetkan istri saya, dan istri saya menderita kanker." Aku berkata, "Sir, beri saya satu menit saja, dan setelah itu saya akan bicara dengan Anda." "Kanker telinga," ia menegaskan. "Telinga." "Ya, Sir. Baik, Sir." Aku terus berjalan ke arah sedan Lincoln dan lampu yang terang benderang.
Ketika aku melewati asisten Senator Rowe, ia ikut berjalan di sampingku dan berkata, "Saya dapat menjelaskan semuanya, Detektif " Usianya sekitar tiga puluh, dengan wajah tampan berkesan lembut yang lazim ditemui di kalangan anggota staf Kongres. "Sebentar," kataku. "Saya ingin bicara dengan Senator Rowe dulu." "Beliau sedang tidak enak badan," ujar asistennya. "Beliau sangat letih." Ia menghalangiku. Aku hanya berputar sedikit. Ia segera bergegas menyusulku. "Jet lag,
itu masalahnya. Beliau terkena jet lag." "Saya harus bicara dengannya," kataku, lalu melangkah ke cahaya yang terang. Rowe masih mengangkat sebelah tangan. Aku berkata, "Senator Rowe?" "Matikan lampu keparat itu, persetan," Rowe mengumpat. Ia demikian mabuk, sehingga ucapannya sukar dimengerti. "Senator Rowe," kataku. "Kelihatannya saya terpaksa minta Anda..." "Ah, persetan kau." "Senator Rowe," kataku. "Matikan kamera keparat itu." Aku menoleh ke arah petugas patroli dan memberi isyarat padanya. Dengan enggan ia mematikan kamera. Lampu pun dipadamkan. "Astaga," ujar Rowe. Akhirnya ia menurunkan tangan. Ia
menatapku dengan mata muram. "Sialan, ada apa ini?" Aku memperkenalkan diri. "Kalau begitu, kenapa Anda tidak berbuat sesuatu mengenai kebun binatang brengsek ini, heh?" balas Rowe. "Saya mau pulang ke hotel saya.” "Saya mengerti, Senator." "Entah apa..." Ia melambaikan tangan asal saja. "Apa masalahnya di sini'?" "Senator, apakah Anda yang mengemudikan mobil ini tadi?" "Persetan. Mengemudi." ia berbalik badan. "Jerry? Jelaskan pada mereka!"
Jerry segera melangkah maju. "Saya sangat menyesal atas semuanya ini," ia berkata dengan lancar. "Bapak Senator sedang tidak enak badan. Beliau baru kembali dari Tokyo semalam. Jet lag. Beliau sangat letih." "Siapa yang mengemudikan mobil itu?" aku bertanya. "Saya," si asisten berkata. Salah satu gadis tadi tertawa cekikikan. "Bukan, bukan dia," pria bermantel mandi berseru dari seberang mobil. "Dia yang menyopir. Dan dia tidak sanggup keluar tanpa terjatuh." "Astaga, persetan semuanya," Senator Rowe berkata sambil menggosok-gosok kepala. "Detektif," ujar asistennya. "Saya yang duduk di belakang kemudi tadi. Anda dapat menanyakannya kepada kedua wanita ini." Ia menoleh ke arah kedua gadis bergaun pesta. Memberi isyarat mata. "Bohong. Dia bohong," seru pria bermantel mandi. "Tidak, itu memang benar," pria tampan bertuksedo angkat bicara. Kulitnya kecoklatan dan sikapnya santai,
seakan-akan sudah terbiasa bahwa semua perintahnya ditaati. Kemungkinan besar orang Wall Street. Ia tidak memperkenalkan diri. "Saya yang mengemudikan mobil ini," Jerry menegaskan. "Semuanya brengsek," Rowe bergumam. "Saya mau pulang ke hotel." "Apakah ada yang cedera?" tanyaku. "Tak ada yang cedera," ujar Jerry. "Semuanya baik-baik saja."
Aku bertanya pada petugas polisi yang berdiri di belakangku. "Kejadian ini akan dilaporkan sebagai kasus satu-sepuluh?" Satu-sepuluh merupakan kode untuk kerusakan harta tak bergerak akibat kecelakaan kendaraan bermotor. "Tidak perlu," salah seorang petugas patroli berkata padaku. "Yang terlibat hanya satu mobil, dan jumlah kerugiannya tidak seberapa." Laporan baru dibuat jika jumlah kerugian melebihi dua ratus dolar. "Ini cuma kasus lima-nol-satu. Terserah Anda, mau dilaporkan atau tidak." Aku memutuskan tidak. Salah satu hal yang kita pelajari di Special Services adalah SAR, situational appropriate response, tindakan yang sesuai keadaan SAR berarti bahwa dalam kasus yang melibatkan pejabat terpilih atau orang terkenal, kita membiarkannya saja, kecuali jika ada yang hendak menggugat. Dalam praktek, itu berarti tak ada penangkapan selain untuk tindak pidana yang tergolong berat. Aku berkata pada asisten Senator Rowe, "Catat nama dan alamat pemilik pekarangan ini, agar Anda dapat mengurus pemberian ganti rugi." "Dia sudah tahu nama dan alamat saya," ujar pria
bermantel mandi. "Tapi saya ingin tahu, apa yang akan dilakukan olehnya?" "Saya sudah memberitahunya bahwa kami akan membayar ganti rugi atas semua kerusakan yang terjadi," kata Jerry. "Hal itu sudah saya katakan padanya. Tapi rupanya dia masih..." "Persetan, lihat itu; semua tanamannya rusak tergilas. Dan dia menderita kanker, kanker telinga." "Sebentar, Sir," aku berkata kepada asisten Senator
Rowe. "Siapa yang akan mengemudi sekarang?" "Saya," katanya. "Dia," ujar Senator Rowe sambil mengangguk. "Jerry. Kau pegang kemudi." Aku berkata kepada asistennya, "Baiklah. Saya minta Anda menjalani tes kadar alkohol dulu." "Tentu, ya ....” "Dan tolong perlihatkan SIM Anda." "Oke." Jerry meniup alat penguji kadar alkohol dan menyerahkan SIM-nya padaku. SIM itu dikeluarkan di Texas. Gerrold D. Hardin, 34 tahun. Beralamat di Austin, Texas. Aku mencatat keterangan-keterangan itu, lalu mengembalikan SIM-nya. "Baiklah, Mr. Hardin. Untuk malam ini saya serahkan Senator Rowe ke bawah penjagaan Anda." "Terima kasih, Letnan. Saya menghargai pengertian Anda." Pria bermantel mandi berkata, Anda mau melepaskan dia?" "Tunggu sebentar, Sir," aku berkata kepada Hardin. "Tolong berikan kartu nama Anda kepada tuan ini, dan
hubungi dia. Saya minta urusan ini diselesaikan secara memuaskan." "Tentu saja. Ya." Hardin meraih ke dalam saku untuk mengambil kartu nama. Ia menarik sesuatu berwarna putih, yang tampak seperti saputangan. Cepat-cepat ia memasukkannya kembali ke dalam saku, lalu menyerahkan
kartu nama kepada pria bermantel mandi "Anda harus mengganti semua tanaman begonia." "Baik, Sir," ujar Hardin. “Semuanya." "Ya. Baiklah, Sir." Senator menegakkan badan. Ia terhuyung-huyung di kegelapan. malam. "Begonia keparat," katanya. "Astaga, malam yang brengsek. Anda punya istri?” "Tidak," kataku. “Saya punya," ujar Rowe. "Begonia keparat. Sialan." "Lewat sini, Sir," kata Hardin. Ia membantu Rowe duduk di kursi depan. Kedua wanita muda duduk di bangku belakang, di kiri-kanan pria tampan bertuksedo. Hardin menyelinap ke balik kemudi dan minta kunci mobil dari Rdwe. Aku menoleh dan memperhatikan mobil-mobil patroli berangkat. Ketika aku berbalik lagi, Hardin membuka jendela dan menatapku "Terima kasih atas bantuan. Anda." "Hati-hati di perjalanan, Mr. Hardin," aku berpesan. Ia memundurkan. mobil dari pekarangan, melindas bunga-bunga lain. "Dan semua bunga iris," seru pria bermantel mandi, ketika mobil Senator Rowe mulai melaju di jalanan. "Saya melihatnya dengan. mata kepala sendiri. Orang yang satu lagi yang pegang setir tadi, dan dia mabuk."
Aku berkata, "Ini kartu nama saya. Kalau Anda merasa penyelesaian masalah ini tidak memuaskan, silakan hubungi saya."
Ia mengamati kartu namaku, menggeleng-geleng, lalu kembali ke dalam rumah Connor dan aku masuk ke mobil. Kami menuruni bukit. Connor berkata, "Anda dapat keterangan mengenai asisten itu?" "Ya," kataku. "Apa yang ada di sakunya?" "Menurut saya, sebuah celana dalam wanita." "Menurut saya juga begitu," ujar Connor.
Kami tak mampu berbuat apa-apa. Sebenarnya aku ingin membalikkan bajingan sombong itu, mendorongnya ke mobil, dan menggeledahnya di tempat. Tapi kami sadar bahwa tak ada yang dapat kami lakukan. Kami tidak mempunyai alasan kuat untuk menggeledah Hardin, atau menangkapnya. Ia laki-laki muda yang mengendarai mobil dengan dua wanita muda di bangku belakang, yang masing-masing mungkin saja tidak mengenakan celana dalam, serta senator AS di kursi depan. Satu-satunya tindakan yang masuk akal adalah membiarkan mereka pergi. Tetapi aku sudah mulai bosan membiarkan orang-orang pergi begitu saja. Pesawat telepon berdering. Aku menekan tombol pengeras suara. "Letnan Smith." "Hei, Kawan." Ternyata Graham. "Aku lagi di kamar mayat, dan coba tebak? Ada orang Jepang yang memohon-mohon supaya boleh mengikuti autopsi. Percaya
tidak, dia mau duduk di sini dan mengamati semuanya. Dia
kalang kabut karena autopsi dimulai tanpa dia. Tapi hasil pemeriksaan lab sudah mulai masuk. Keadaannya tidak menguntungkan bagi Nippon Central. Kelihatannya pelakunya orang Jepang. Jadi bagaimana, kau ke sini, tidak?" Aku melirik ke arah Connor. Ia mengangguk. "Kami segera ke sana," kataku.
Jalan tercepat untuk mencapai kamar mayat adalah melalui ruang gawat-darurat di County General Hospital. Ketika kami lewat, seorang pria kulit hitam yang berlumuran darah duduk di tandunya dan berteriak-teriak, "Bunuh Sri Paus! Bunuh Sri Paus! Persetan dengan dia!" Sepertinya ia berada di bawah pengaruh narkotika. Setengah lusin tenaga paramedik beduang untuk membaringkannya. Ia mengalami luka tembak di bahu dan tangan. Cipratan darah membasahi lantai dan dindingdinding ruang gawat-darurat. Seorang petugas kebersihan tampak sibuk mengelap semuanya. Selasar dipenuhi orang kulit hitam dan Latin. Beberapa dari mereka memangku anak. Semuanya memalingkan wajah dari lap yang merah karena darah. Dari ujung selasar masih terdengar seseorang menjerit-jerit. Kami masuk ke lift. Hening. Connor berkata, "Satu pembunuhan setiap dua puluh menit. Pemerkosaan setiap tujuh menit. Anak kecil terbunuh setiap empat jam Tak ada negara lain yang tahan dengan tingkat kekerasan setinggi ini." Pintu lift membuka. Dibandingkan dengan ruang gawat-darurat, suasana di selasar kamar mayat di basement
terasa tenteram. Aku mencium bau formaidehida. Kami
menuju meja, tempat Harry Landon yang kurus sedang membungkuk, mempelajari beberapa berkas, sambil makan roti. Ia tidak menegakkan badan. "Halo." "Hei, Harry." "Apa yang membawa kalian ke sini? Autopsi Austin?" "Yeah." "Mereka sudah mulai setengah jam yang lalu. Sepertinya kasus itu cukup mendesak, ya?" "Kenapa?" "Komandan membangunkan Dr. Tim dan minta agar autopsi dilaksanakan dengan segera. Dia sempat dibentak-bentak. Kalian tahu sendiri bagaimana Dr. Tim." Harry Landon tersenyum. "Dan mereka juga memanggil banyak orang lab. Kalian pernah dengar autopsi lengkap di tengah malam buta? Coba bayangkan, berapa jumlah uang lembur yang harus dibayar untuk ini?" Aku berkata, "Dan bagaimana dengan Graham?" "Dia ada di sekitar sini. Dia dikejar-kejar oleh orang Jepang. Terus dibayang-bayangi. Setiap setengah jam, orang Jepang itu bertanya apakah dia boleh meminjam telepon, dan dia menelepon seseorang. Bicara dalam bahasa Jepang. Setelah itu dia kembali mengusik Graham. Dia bilang mau menyaksikan autopsi. Kalian percaya itu? Terus Memaksa, Memaksa. Oke, kira-kira sepuluh menit yang lalu si Jepang menelepon untuk terakhir kah. Aku kebetulan lagi di meja ini. Aku melihat wajahnya. Matanya tiba-tiba membelalak, seakan-akan dia tidak percaya pada apa yang baru saja didengarnya. Dan kemudian dia berlari keluar dari sini. Benar-benar lari." "Dan di mana autopsi ini dilaksanakan?"
"Ruang Dua.” "Thanks, Harry.
"Tutup pintu " "Hai, Tim," aku berkata ketika kami memasuki ruang autopsi. Tim Yoshimura, yang dipanggil Dr. Tim oleh semua orang, berdiri membungkuk, di sebuah meja stainless steel. Meski sudah pukul 01.40 dini hari, ia berpakaian rapi sekali, seperti biasanya. Rambutnya tersisir rapi. Dasinya terikat rapi. Beberapa pena tampak berderet di kantong baju lab yang terseterika licin. "Kalian tidak dengar?" "Akan kututup, Tim." Pintu itu sebenarnya menutup secara otomatis, tapi rupanya itu masih kurang cepat bagi Dr. Tim. "Aku tak ingin orang Jepang itu menuju ke sini. Itu saja." "Dia sudah pergi, Tim." "Oh, sudah pergi? Tapi siapa tahu dia kembali lagi nanti. Dia benar-benar ngotot dan menjengkelkan. Kadang-kadang orang Jepang memang menyebalkan." Aku berkata, "Aku tak menyangka kau berpandangan seperti itu, Tim." "Oh, aku bukan orang Jepang," ia berkata dengan serius. "Aku orang Amerika keturunan Jepang. Artinya, di mata mereka aku termasuk gaijin. Kalau aku pergi ke Jepang, aku diperlakukan seperti orang asing. Tampangku tidak penting, aku lahir di Torrance - itulah yang paling
menentukan." Ia menoleh ke belakang. "Siapa yang kauajak ke sini? John Connor? Sudah lama kita tidak ketemu, John."
"Hai, Tim." Connor dan aku menghampiri meja operasi. Aku bisa melihat bahwa pembedahan sudah berjalan cukup jauh. Irisan berbentuk huruf Y sudah dilakukan, dan sejumlah organ telah dikeluarkan dan diletakkan dengan rapi pada beberapa baki stainless steel. "Sekarang tolong beritahukan padaku kenapa kasus ini begitu penting," ujar Tim. "Graham begitu kesal, sehingga tak mau menceritakan apa apa. Dia pergi ke lab di sebelah untuk melihat hasil-hasil yang pertama. Tapi aku tetap ingin tahu kenapa aku sampai dibangunkan untuk urusan. ini. Sebenarnya malam ini Mark yang bertugas, tapi rupanya dia belum cukup senior. Dan petugas pemeriksa mayat tentu saja sedang di luar kota, mengikuti konferensi di San Franciseo. Setelah punya pacar baru, dia selalu ke luar kota. Jadi aku yang dipanggil. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali aku dibangunkan." "Tidak ingat?" kataku. Dr. Tim selalu sangat teliti, dan daya ingatnya pun luar biasa. "Terakhir kali, tiga tahun lalu. Tapi itu untuk membantu. Sebagian besar staf di sini terserang flu, dan kasus-kasus sudah mulai menumpuk. Suatu malam kami akhirnya kehabisan tempat. Mayat-mayat di dalam kantong jenazah terpaksa dibiarkan tergeletak di lantai. Ditumpuk-tumpuk. Tak ada pilihan lain. Baunya menyengat sekali. Tapi aku tidak ingat kapan terakhir kali aku dibangunkan. karena kasus yang peka dari segi politik. Seperti yang ini." Connor berkata, "Kami pun tidak tahu persis apa latar belakang kasus ini." "Kalau begitu, sebaiknya kalian segera cari jawabannya.
Aku dapat tekanan dari segala arah. Petugas pemeriksa mayat menelepon dari San Francisco, dan dia terus berkata, 'Kerjakan sekarang juga, malam ini, dan kerjakan sampai
tuntas.' Aku bilang, 'Oke, Bill.' Lalu dia bilang, 'Tim, jangan sampai ada kesalahan. Kerjakan dengan hati-hati, ambil foto banyak-banyak, dan buat catatan banyak-banyak. Buat dokumentasi selengkap-lengkapnya. Pakai dua kamera. Soalnya aku punya firasat bahwa semua orang yang berhubungan. dengan kasus ini bisa mendapat kesulitan besar.' Nah, jadi masuk akal, kan, kalau aku bertanya-tanya?" Connor berkata, "Jam berapa kau dihubungi?" "Kira-kira jam setengah sebelas, atau sebelas." "Petugas pemeriksa mayat memberitahumu siapa yang menelepon dia?" "Tidak. Tapi biasanya satu dari dua orang: kalau bukan Kepala Polisi, Wall Kota." Tim mengamati hati, menarik-narik cupingnya, lalu meletakkannya di baki stainless steel. Asistennya memotret setiap organ, Ialu memindahkannya. "Oke. Apa yang kautemukan?" "Terus terang, sejauh ini temuan yang paling menarik berada di bagian luar tubuhnya," kata Dr. Tim. "Dia memakai rias wajah tebal untuk menutupi serangkaian luka memar. Umur luka-luka itu berbeda-beda. Tanpa grafik spektroskopik untuk sisa penguraian hemoglobin di tempat luka, aku menaksir luka-luka memar itu berumur sampai dua minggu. Mungkin lebih. Konsisten dengan pola trauma kronis pada tulang tengkuk. Kurasa sudah jelas: yang kita hadapi ini adalah kasus asphyxia seksual.” "Dia mengidap kelainan seksual?" "Yeah. Begitulah."
Kelly telah menduganya. Dan ternyata ia benar.
"Kelainan ini lebih sering dijumpai pada pria, tapi juga terdapat pada wanita. Orang yang bersangkutan hanya terangsang jika mengalami kekurangan oksigen akibat pencekikan. Mereka minta dicekik oleh partner mereka, atau kepalanya di tutup dengan kantong plastik. Jika tidak ada partner, mereka kadang-kadang mengikatkan tali pada leher, lalu menggantung diri sambil metakukan masturbasi. Untuk mencapai efek yang diinginkan, mereka harus dicekik sampai hampir pingsan. Jadi mudah sekali untuk melakukan kesalahan dan melangkah terlalu jauh. Dan ini memang sering terjadi." "Dan dalam kasus ini?" Tim mengangkat bahu. "Hmm, yang kutemukan di sini konsisten dengan sindrom asphyxia seksual. yang berlangsung sudah cukup lama. Aku juga menemukan sperma di dalam vagina dan luka lecet pada bibir vagina sebelah luar, yang menunjukkan hubungan seks secara paksa pada malam kematiannya." Connor berkata, "Kau yakin luka-luka lecet di vaginanya terjadi sebelum dia tewas?" "Oh, ya. Luka-luka itu jelas-jelas terjadi pada waktu dia masih hidup. Aku bisa memastikan bahwa dia berhubungan seks dengan paksa sebelum meninggal." "Maksudmu, dia diperkosa?" "Tidak. Coba lihat, luka-luka lecet ini tidak parah, dan tidak ada tanda-tanda yang mendukung dugaanmu pada bagian-bagian lain dari tubuhnya. Bahkan tidak ada tanda-tanda bahwa dia
melakukan perlawanan. Berdasarkan temuan ini, aku menyimpulkan bahwa dia mengalami penetrasi vagina secara dini, tanpa pelumasan memadai pada labia ekstemal."
Aku berkata, "Maksudmu, dia kurang basah?" Tim menyeringai. "Hmm. Dengan bahasa orang awam, ya." "Berapa lama sebelum dia tewas luka-luka ini timbul?" "Bisa satu sampai dua jam. Bukan di sekitar waktu kematiannya. Ini dapat diketahui dari pelebaran pembuluh darah dan pembengkakan di daerah-daerah yang bersangkutan. Seandainya dia meninggal tidak lama setelah mengalami luka, aliran darah terhenti, dan pembengkakannya terbatas atau bahkan tidak ada sama sekali. Tapi dalam kasus ini, seperti yang kalian lihat sendiri, pembengkakannya cukup jelas." "Dan sperma yang kautemukan?" "Sampelnya sudah dikirim ke lab. Berikut semua cairan tubuh yang biasa." Ia mengangkat bahu. "Kita terpaksa bersabar. Sekarang tolong jelaskan semuanya ini, oke? Soalnya, aku mendapat kesan bahwa cepat atau lambat wanita muda ini pasti akan menemui kesulitan. Maksudnya, dia manis, tapi ada yang tidak beres dengannya. Jadi... kenapa dia begitu penting? Kenapa aku dibangunkan tengah malam untuk melakukan autopsi lengkap terhadap
wanita muda dengan kelainan seksual?" Aku berkata, "Aku juga tidak tahu." "Ayolah. Kalian tidak adil," ujar Dr. Tim. "Aku sudah membeberkan apa yang kuketahui. Sekarang giliran kalian." "Kau hanya berkelakar," kata Connor. "Persetan," balas Tim. "Kalian berutang padaku. Ayolah."
"Peter tidak bohong," Connor berkata. "Kami hanya tahu bahwa pembunuhan ini terjadi bersamaan dengan resepsi besar yang diadakan oleh orang-orang Jepang, dan mereka ingin segera menuntaskannya." "Pantas," kata Tim. "Terakhir kali kami dibuat kalang kabut di sini adalah waktu ada kasus yang menyangkut Konsulat Jepang. Kalian. masib ingat kasus penculikan Takashima? Barangkali kalian memang tidak ingat; kasus itu memang tidak sempat masuk koran. Orang-orang Jepang berhasil meredamnya. Pokoknya, seorang petugas satpam terbunuh dalam keadaan mencurigakan, dan selama dua hari, kami dikejar-kejar terus. Aku benar-benar tak menyangka bahwa pengaruh mereka begitu kuat. Kami ditelepon oleh Senator Rowe, dengan berbagai instruksi. Oleh Gubemur. Semua orang menelepon ke sini. Mereka benar-benar punya pengaruh." "Tentu saja mereka punya pengaruh. Mereka bayar cukup banyak untuk itu," ujar Graham sambil memasuki ruangan. "Tutup pintu," kata Tim. "Tapi kali ini segala pengaruh mereka takkan ada artinya," Graham melanjutkan. "Sebab kali ini mereka takkan bisa berkelit. Pembunuhan telah terjadi: dan
berdasarkan hasil pemeriksaan lab sejauh ini, kita bisa memastikan bahwa pembunuhnya orang Jepang."
Bab 18
LAB patologi di sebelah berupa sebuah ruangan besar yang diterangi oleh beberapa baris lampu neon. Sederetan
mikroskop tampak ditata dengan rapi. Tetapi berhubung sudah larut malam, hanya dua teknisi lab bekerja di ruangan besar itu. Dan Graham berdiri di samping mereka, memperhatikan mereka dengan rasa puas. “Silakan lihat sendiri. Mereka menemukan bulu pubic pria, keriting sedang, berpenampang bulat telur, hampir bisa dipastikan berasal dari orang Asia. Analisis pertama terhadap air mani adalah golongan darah: AB, relatif jarang ditemui pada orang kaukasoid, tetapi cukup umum di kalangan orang Asia. Analisis pertama terhadap protein dalam cairan sperma menunjukkan hasil negatif untuk tanda genetik untuk... apa namanya?” “Etanol dehidrogenase," ujar salah satu Petugas lab. "Betul. Etanol dehidrogenase. Nama sebuah enzim. Tidak dimiliki oleh orang Jepang. Dan tidak ditemukan dalam cairan sperma ini. Lalu ada faktor Diego, yang merupakan protein darah. Nah, Masih ada beberapa tes lagi, tapi sepertinya sudah jelas bahwa cewek itu berhubungan seks secara paksa dengan laki-laki Jepang sebelum dibunuh olehnya." "Yang pasti, kau menemukan sperma orang Jepang di dalam vaginanya," kata Connor. "Itu saja." "Astaga," ujar Graham. "Sperma Jepang, rambut pubic Jepang, faktor darah Jepang. Semuanya menunjukkan
bahwa pelakunya orang Jepang." Ia telah menggelar beberapa foto dari tempat kejadian, yang memperlihatkan Cheryl terbaring di meja rapat. Graham mulai berjalan mondar-mandir di depan foto-foto itu. "Aku tahu kalian ke mana tadi, dan aku tahu kalian cuma buang-buang waktu," katanya. "Kalian mencari kaset-kaset
video itu, tapi semuanya sudah hilang, betul, tidak? Lalu kalian pergi ke apar temennya: tapi ternyata sudah dirapikan sebelum kalian sampai di sana. Dan ini sudah sewajarnya terjadi kalau pelakunya orang Jepang. Semuanya sudah jelas." Graham menunjuk foto-foto di hadapannya. "Ini korbannya. Cheryl Austin dari Texas. Cantik. Segar. Potongan badan bagus. Seorang aktris. Pernah tampil dalam beberapa iklan. Mungkin iklan Nissan. Sama sajalah. Dia bertemu beberapa orang. Membuka hubungan. Lalu dicantumkan di sebuah daftar. Sejauh ini oke?" "Oke," aku berkata pada Graham. Connor sedang mengamati foto-foto itu dengan saksama. "Entah bagaimana caranya, pokoknya keadaan keuangan Cheryl cukup baik, sehingga dia bisa memakai gaun Yamamoto untuk menghadiri resepsi peresmian Nakamoto Tower. Dia datang bersama seorang pria, mungkin temannya, mungkin penata rambutnya. Berjenggot. Barangkali dia mengenal beberapa tamu lain, mungkin juga tidak. Tapi kemudian ada orang penting yang mengajaknya menyelinap keluar sebentar. Cheryl setuju naik ke lantai atas. Kenapa tidak? Cewek ini suka petualangan. Dia suka bahaya. Dia mencari ketegangan. Jadi dia naik - mungkin dengan orang itu, mungkin sendiri. Pokoknya, mereka
bertemu di atas, lalu mencari-cari tempat. Sebuah tempat yang menggairahkan. Dan mereka memutuskan kemungkinan besar si pria, dia yang memutuskannya untuk berhubungan di meja rapat direksi. Mereka mulai bersanggama, makin lama makin seru, sampai keadaan tak terkendali lagi. Si pria mungkin terlalu bernafsu, atau mungkin juga dia punya kelainan... pokoknya, dia mencekik leher Cheryl sedikit terlalu keras. Dan Cheryl mati. Oke?"
"Ya." "Pria itu kelabakan. Dia naik untuk berhubungan seks, tapi sayangnya dia membunuh cewek itu. Jadi, apa yang dilakukannya? Apa yang bisa dia lakukan? Dia turun lagi, bergabung dengan para tamu, dan karena dia samurai penting, dia memberitahu salah satu anak buahnya bahwa dia punya masalah kecil. Tanpa sengaja dia telah mencekik seorang pelacur sampai mati. Sangat tidak menguntungkan dengan jadwal bisnisnya yang padat. Jadi, para anak buahnya berlari ke sana kemari dan membereskan semuanya. Mereka mengamankan semua bukti yang memberatkan dari lantai di atas. Mereka mengambil kaset-kaset video. Mereka pergi ke apartemen si pelacur dan menggeledah tempat itu. Semuanya tidak seberapa sulit, tapi butuh waktu. Jadi, seseorang harus menghalang-halangi polisi. Dan itu tugas si pengacara keparat, Ishiguro. Dia menghalang-halangi kita selama satu
setengah jam. Nah. Bagaimana kedengarannya?" Tak ada yang berkomentar ketika ia mengakhiri uraiannya. Aku menunggu sampai Connor angkat bicara. "Hmm, aku angkat topi, Tom," Connor akhirnya berkata. "Dalam banyak hal, urut-urutan kejadian yang kaugambarkan memang masuk akal." “Memang begitu kejadiannya," Graham menggeram. Pesawat telepon berdering. Salah satu petugas lab bertanya, "Ada yang bernama Kapten Connor di sini?" Connor pergi untuk menjawab telepon. Graham berkata padaku, "Percayalah, orang Jepang yang membunuh cewek itu. Dan kita akan menemukannya dan mengulitinya. Ya, mengulitinya." Aku berkata, "Kenapa kau begitu sentimen terhadap
mereka?" Graham menatapku sambil merengut. Ia berkata, "Apa maksudmu?" "Kenapa kau begitu benci pada orang Jepang?" "Hei," ujar Graham. "Dengar baik-baik, Petey-san. Aku tidak benci pada siapa pun. Aku hanya menjalankan tugasku. Orang hitam, orang putih, orang Jepang, semuanya sama saja bagiku." "Oke, Tom." Malam sudah larut. Aku tidak ingin berdebat. "Tidak, persetan. Kaupikir aku penuh prasangka terhadap mereka."
"Lupakan saja, Tom." "Persetan. Kita tidak akan melupakannya. Apalagi sekarang. Begini, Petey-san. Kau berhasil mendapat pekerjaan sebagai petugas penghubung, bukan begitu?" "Betul, Tom." "Dan kenapa kau melamar pekerjaan itu? Karena kekagumanmu terhadap kebudayaan Jepang?" "Hmm, waktu itu aku bekerja di bagian hubungan pers..." "Bukan, bukan, omong kosong. Kau melamar," kata Graham, "karena ada uang tunjangan khusus, itu sebabnya, bukan? Dua-tiga ribu dalam setahun. Tunjangan pendidikan. Dananya berasal dari Yayasan Persahabatan Jepang-Amerika. Dan oleh Departemen digunakan sebagai tunjangan pendidikan, diberikan kepada para petugas agar mereka bisa mengikuti pendidikan bahasa dan kebudayaan Jepang. Nah. Bagaimana kabarnya pendidikan ini, Petey-san?"
"Aku masih belajar.” "Berapa kali?" "Sekali seminggu." "Sekali seminggu. Dan kalau kau tidak datang, apakah tunjangannya dihapus?" "Tidak." "Memang tidak. Malah tidak ada pengaruh sama sekali apakah kau muncul di tempat kursus atau tidak. Asal tahu saja, Kawan, kau sudah terima uang suap. Kau punya tiga
ribu dolar di kantong, dan uangnya datang langsung dari Negeri Matahari Terbit. Tentu saja jumlahnya tidak seberapa. Kau tidak bisa dibeli dengan tiga ribu dolar, bukan? Tentu saja tidak." "Hei, Tom..." "Masalahnya, mereka tidak berniat membelimu. Mereka hanya mempengaruhimu. Mereka ingin agar kau berpikir dua kali. Agar kau cenderung berada di pihak mereka. Dan kenapa tidak? Ini memang watak manusia. Mereka membuat hidupmu sedikit lebih nyaman. Mereka mengangkat tingkat kesejahteraanmu. Keluargamu. Anak perempuanmu. Mereka membantumu, jadi kenapa kau tidak membantu mereka. Bukan begitu, Petey-san?" "Bukan, bukan begitu," kataku. Aku mulai marah. "Oh, ya," ujar Graham. "Sebab begitulah aturan mainnya. Memang, kau bisa saja menyangkal. Kau bisa bilang itu tidak benar. Tapi nyatanya? Kau hanya bisa bersih kalau kau memang bersih. Kalau kau tidak mengambil keuntungan, kalau kau tidak mendapatkan apa-apa, baru kau boleh bicara. Kalau kau dibayar oleh mereka, kau jadi milik mereka."
"Brengsek, nanti dulu..." "Jadi, jangan sok beri ceramah tentang kebencian. Negeri ini sedang berperang, dan ada yang mengerti, ada yang berpihak kepada musuh. Seperti di Perang Dunia II, beberapa orang dibayar oleh Jerman untuk
mempromosikan propaganda Nazi. Koran-koran di New York memuat tajuk rencana yang berasal langsung dari mulut Adolf Hitler. Kadang-kadang orang-orang bahkan tidak menyadarinya. Tapi itulah yang terjadi. Begitulah keadaan di masa perang. Dan kau termasuk kaki tangan mereka." Aku bersyukur bahwa Connor kembali pada saat itu. Graham dan aku hampir saja baku hantam, ketika Connor berkata dengan tenang, "Nah, sekadar supaya semuanya jelas, Tom. Menurut skenario yang kaususun, setelah Cheryl Austin terbunuh, apa yang terjadi dengan kaset-kaset video, itu?" "Oh, persetan, kaset-kaset itu sudah raib," ujar Graham, "dan takkan muncul lagi." "Hmm, menarik. Sebab aku baru saja menerima telepon dari markas divisi. Rupanya Mr. Ishiguro sedang berada di sana. Dan dia membawa sekotak kaset video untukku." -
Connor dan aku segera menuju markas. Graham menggunakan mobilnya sendiri. Aku berkata, "Kenapa Anda berpendapat bahwa orang-orang Jepang itu tak mungkin mendekati Graham?" "Pamannya," jawab Connor. "Dia tawanan perang dalam Perang Dunia II. Dia dibawa ke Tokyo, dan setelah itu tak pernah ada kabar lagi darinya. Seusai perang, ayah Graham pergi ke sana untuk mencari tahu apa yang terjadi dengan
saudaranya. Kemudian timbul banyak pertanyaan tidak menyenangkan mengenai apa yang terjadi. Anda mungkin tahu bahwa sejumlah prajurit Amerika tewas dalam eksperimen-eksperimen kedokteran di Jepang. Konon hati mereka dihidangkan kepada para bawahan mereka sebagai
lelucon, hal-hal seperti itulah." "Tidak, saya tidak tahu," kataku. "Saya rasa semua orang lebih suka melupakan masa itu," ujar Connor. "Barangkali memang lebih baik begitu. Negeri itu sudah berubah sekarang.” “Apa yang diributkan Graham tadi?" "Tunjangan saya sebagai petugas penghubung." Connor berkata, "Waktu itu Anda bercerita bahwa jumlahnya lima puluh dolar seminggu." "Sedikit lebih banyak dari itu." "Seberapa banyak?" "Sekitar seratus dolar seminggu. Lima ribu lima ratus setahun. Tapi itu sudah termasuk uang kursus, uang buku, biaya transpor, baby si”er, semuanya." "Oke, Anda dapat lima ribu dolar," ujar Connor. Lalu kenapa?" "Graham menuduh bahwa saya terpengaruh oleh uang itu. Bahwa saya telah dibeli oleh orang-orang Jepang." Connor berkata, "Hmm, mereka memang berusaha. Dan cara mereka sangat halus." "Mereka juga mencoba mempengaruhi Anda?" "Oh, tentu." Ia terdiam. "Dan saya sering menerima pemberian mereka. Memberi hadiah untuk menjaga
hubungan baik sudah mendarah daging pada orang Jepang. Ini tidak berbeda jauh dari kebiasaan kita mengundang atasan kita untuk makan malam. Iktikad baik tetap iktikad baik. Tapi kita tidak mengundang atasan kita jika ada kesempatan untuk memperoleh promosi. Cara yang tepat adalah mengundangnya pada awal hubungan kita, pada waktu belum ada yang dipertaruhkan. Pada waktu itu, kita hanya menunjukkan iktikad baik. Sama halnya dengan
orang Jepang. Mereka percaya bahwa hadiah harus diberikan pada saat awal, sehingga tidak merupakan usaha suap, tapi sekadar hadiah saja. Menjalin hubungan sebelum ada tekanan." "Dan menurut Anda itu benar?" "Menurut saya, itulah kenyataan." "Apakah orang mungkin jadi korup karena itu?" Connor menatapku dan bertanya, "Menurut Anda?" Aku butuh waktu lama untuk menjawabnya. "Ya, saya kira mungkin saja." Ia mulai tertawa. "Hmm, syukurlah,” katanya, "sebab kalau tidak, orang-orang Jepang itu ternyata telah membuang-buang uang dengan sia-sia." "Apa yang lucu?" "Kebingungan Anda, Kohai." "Menurut Graham, kita sedang berperang." Connor berkata, "Itu memang benar. Kita sedang berperang melawan Jepang. Tapi coba kita lihat kejutan apa lagi yang telah disiapkan Mr. Ishiguro untuk kita."
Bab 19
SEPERTI biasa, suasana ruang tunggu di lantai lima markas divisi detektif di pusat kota tetap sibuk, meski jam sudah menunjukkan pukul dua dini hari. Para detektif mondar-mandir di antara WTS jalanan dan pecandu narkotika yang ditahan untuk interogasi; di pojok ruangan, seorang pria dengan jas santai bermotif kotak-kotak sedang berseru, "Kubilang diam, brengsek!" berulang-ulang kepada petugas wanita yang membawa clipboard. Di tengah-tengah kebisingan dan keramaian itu, Masao
Ishiguro seakan-akan salah masuk. Dengan setelan jas biru bergaris-garis, ia duduk di pojok, merundukkan kepala, merapatkan lutut. Ia memangku sebuah kardus. Ketika melihat kami, ia segera berdiri. Ia membungkuk rendah-rendah sambil menempelkan kedua tangan ke paha, suatu sikap yang sangat formal. Selama beberapa detik ia terdiam dalam po sisi itu. Kemudian ia segera membungkuk lagi, dan kali ini menunggu sambil menatap lantai, sampai Connor menyapanya dalam bahasa Jepang. Jawaban Ishiguro, juga dalam bahasa Jepang, bernada tenang dan penuh hormat. Pandangannya tetap tertuju ke lantai. Tom Graham menarikku ke pinggir. "Ya ampun," katanya. "Sepertinya dia baru saja memberikan pengakuan lengkap." "Yeah, mungkin saja," kataku. Tapi aku tidak yakin. Aku sudah sempat menyaksikan kepandaian Ishiguro dalam bersandiwara. Aku memperhatikan Connor ketika ia berbicara dengan
Ishiguro. Orang Jepang itu masih juga membungkuk. Matanya tetap tertuju ke bawah. "Tak kusangka dia orangnya," ujar Graham. "Sama sekali tak kusangka." "Kenapa?" "Kau bercanda? Setelah menghabisi cewek itu, dia tetap berada di ruangan itu dan malah menyuruh-nyuruh kita. Bajingan itu punya saraf baja. Tapi coba lihat dia sekarang. Astaga, dia sudah hampir menangis." Memang benar, kedua mata Ishiguro mulai berkaca-kaca. Connor mengambil kardus itu dan berbalik, berjalan melintasi ruangan ke arah kami. "Tolong urus ini. Saya akan
menerima pernyataan dari Ishiguro." "Jadi," kata Graham, "dia mengaku?" "Mengaku?" "Mengaku membunuh Cheryl Austin." "Tidak," ujar Connor. "Apa yang membuatmu berpikir begitu?" "Habis, dia membungkuk-bungkuk seperti itu." "Itu hanya sumimasen," Connor menjelaskan. "Jangan ditanggapi terlalu serius." "Dia hampir menangis," kata Graham. "Hanya karena dia merasa itu menguntungkan baginya." "Dia tidak mengaku?" "Tidak. Tapi dia akhirnya mengetahui bahwa kaset-kaset itu memang diambil. Ini berarti dia telah melakukan kesalahan besar dengan ucapannya yang keras di hadapan
Wali Kota. Sekarang dia bisa dikenai tuduhan menggelapkan barang bukti. Izin prakteknya sebagai pengacara bisa dicabut. Perusahaan tempatnya bekerja akan kehilangan muka. Ishiguro berada dalam kesulitan besar, dan dia pun menyadarinya." Aku berkata, "Ah, karena itu dia bersikap merendah?" "Ya. Di Jepang, kalau kita melakukan kesalahan, tindakan terbaik adalah mendatangi
pihak berwajib dan menunjukkan penyesalan mendalam, lalu meminta maaf, dan berjanji takkan mengulangi kesalahan itu. Sebenarnya hanya proforma, tapi pihak berwajib akan terkesan karena kita telah menarik pelajaran. Itu yang dinamakan sumimasen: permohonan maaf tanpa akhir. Versi Jepang dari memohon kemurahan hati pengadilan. Dianggap sebagai cara terbaik untuk mendapatkan keringanan. Dan itulah yang sedang dilakukan Ishiguro." "Maksudnya, dia hanya berpura-pura," ujar Graham. Sorot matanya menjadi keras. "Ya dan tidak. Sulit menjelaskannya. Begini saja. Coba putar kaset-kaset ini. Ishiguro membawa salah satu alat perekam, sebab format kaset-kaset ini lain dari yang biasa. Dia takut kita tidak bisa menyaksikan rekamannya. Oke?" Aku membuka kardus yang diserahkan oleh Connor. Di dalamnya terdapat dua puluh kaset delapan milimeter yang mirip kaset musik. Aku juga melihat kotak kecil, kira-kira seukuran walkman - alat perekam yang dibawa Ishiguro. Lengkap dengan kabel sambungan ke pesawat TV. "Oke," kataku. "Coba kita lihat."
Rekaman pertama yang memperlihatkan lantai 46
diambil dari salah satu kamera atrium, dengan sudut pandang ke bawah. Pada rekaman itu tampak orang-orang yang sedang bekerja, seperti pada hari kerja biasa. Kami melewati bagian itu. Berkas sinar matahari yang masuk melalui jendela menyapu lantai, membentuk busur, kemudian menghilang. Berangsur-angsur cahaya yang
mengenai lantai terlihat memudar ketika hari mulai gelap. Satu per satu lampu meja dinyalakan. Para karyawan mulai agak santai. Akhirnya mereka mulai meninggalkan rueja masing-masing, pulang, satu demi satu. Ketika jumlah orang semakin berkurang, kami melihat hal lain. Kini kamera bergerak sesekali, mengikuti karyawan yang lewat di bawah. Tetapi dalam kesempatan lain, kamera itu tetap diam. Akhirnya kami menyadari bahwa kamera tersebut dilengkapi sistem fokus dan pelacakan otomatis. Jika terjadi banyak gerakan di depan lensa-beberapa orang yang menuju arah yang berbeda-beda, kameranya diam saja. Tapi jika hanya ada satu orang, kamera akan mengikuti gerakan orang itu. "Ajaib," Graham berkomentar. "Tapi masuk akal untuk kamera keamanan," kataku. "Mereka harus lebih berhati-hati terhadap satu orang daripada terhadap sekelompok orang." Kami melihat lampu malam mulai menyala. Semua meja telah kosong. Kini rekaman yang kami saksikan berkedap-kedip dengan cepat, hampir seperti stroboskop. "Ada apa dengan kaset ini?" tanya Graham curiga. "Jangan-jangan mereka telah mengutak-atiknya." "Entahlah. Tunggu, bukan itu. Lihat jam di dinding sana." Pada dinding di seberang ruangan terdapat sebuah jam. Jarum menitnya tampak berputar dengan cepat dari pukul
19.30 ke pukul 20.00. "Mereka memadatkan waktu," aku menyimpulkan. "Apa-apaan ini? Pemutaran slide?" Aku mengangguk. "Kemungkinan, kalau dalam jangka waktu tertentu tidak ada orang yang di deteksi, kameranya hanya membuat satu frame setiap sepuluh atau dua puluh
detik, sampai..." "Hei. Apa itu?" Kedap-kedip di layar mendadak berhenti. Kamera mulai bergerak ke kanan, memperlihatkan ruangan yang kosong. Tak seorang pun tampak. Hanya meja-meja kosong dan sejumlah lampu malam yang kelihatan terang benderang dalam rekaman itu. "Mungkin ada sensor lebar," kataku, "dengan daya pantau melebihi batas gambar. Kalau bukan itu, mungkin kameranya digerakkan secara manual, oleh petugas satpam di suatu tempat. Mungkin di bawah, di ruang keamanan." Kamera kini mengarah ke pintu-pintu lift. Pintu-pintu terletak di sebelah kanan, di bayang-bayang gelap, di bawah langit-langit rendah yang menghalangi pandangan kami. "Jeez, gelap benar. Ada orang di sana?" "Aku tidak bisa lihat apa-apa," kataku' Gambar di layar kabur sejenak lalu jelas kembali, berulang-ulang. "Sepertinya sistem autofokusnya kewalahan. Mungkin karena tidak tahu apa yang harus difokus. Mungkin langit-langit rendah itu yang mengganggu. Kamera videoku di rumah juga sering begitu. Fokusnya kacau kalau tidak
jelas apa yang kubidik." "Jadi kameranya berusaha memfokus sesuatu? Soalnya aku tidak bisa lihat apa-apa. Semuanya gelap gulita." "Hei, lihat. Ada orang di sana. Kakinya kelihatan. Samar-samar." "Astaga," ujar Graham. "Itu dia. Berdiri di depan lift. Eh, tunggu. Sekarang dia mulai bergerak." Sesaat kemudian, Cheryl Austin melangkah maju, dan
untuk pertama kali kami melihatnya dengan jelas.
Ia sangat cantik dan penuh percaya diri. Tanpa ragu-ragu ia melintasi ruangan. Gerak-geriknya mantap, terarah, tanpa sikap sembrono yang biasa diperlihatkan anak muda. "Astaga, cantiknya," kata Graham. Cheryl Austin bertubuh jangkung dan langsing, rambutnya yang pirang dan dipotong pendek semakin memperkuat kesan tinggi. Sikapnya tegak. Ia berputar pelan-pelan, memandang berkeliling, seakan-akan ruangan itu merupakan miliknya. "Aku hampir tak percaya kita bisa melihat ini,” Graham berkomentar. Aku mengerti maksudnya. Inilah wanita muda yang mati terbunuh beberapa jam sebelumnya. Kini kami melihatnya dalam rekaman video, mengelilingi ruangan, hanya beberapa menit menjelang kematiannya. Di layar TV, Chery meraih sebuan pemberian kertas dari salah satu meja, memutarnya, mengembalikannya ke tempat semula. Ia membuka tas, menutupnya lagi. Ia menatap jam tangannya.
"Dia mulai gelisah." "Dia tidak suka disuruh menunggu," kata Graham. "Dan kujamin dia juga tidak terbiasa menunggu. Cewek seperti dia, mana mungkin?" Ia mulai mengetuk-ngetuk meja dengan irama tetap. Rasanya aku mengenali irama itu.
Ia mengangguk-ang,gukkan kepala, mengikuti irama. Graham menatap layar sambil mengerutkan kening. "Apakah dia sedang bicara? Dia mengatakan sesuatu?" "Kelihatannya begitu," kataku. Samar-samar mulutnya tampak bergerak-gerak. Dan tiba-tiba semuanya menjadi jelas. Aku menyadari bahwa aku dapat membaca gerakan bibirnya. "I chew my nails and I twiddle my thumbs. I'm real nervous but it sure is fun. Oh, baby, you drive me crazy... " "Astaga," kata Graham. "Kau benar. Dari mana kau tahu?" "Goodness, gracious, great balls of..." Cheryl berhenti menyanyi. Ia berbalik ke arah lift. "Ah. Ini yang kita tunggu-tunggu." Cheryl berjalan ke lift. Begitu sampai di bawah langit-langit rendah tadi, ia mendekap pria yang baru muncul. Mereka berpelukan dan berciuman. Kami melihat lengan si pria merangkul Cheryl, tapi wajahnya terlindung dari pandangan. “Sial," Graham mengumpat. “Jangan khawatir," kataku. "Sebentar lagi kita akan melihatnya. Kalau bukan lewat kamera ini, lewat kamera lain. Tapi aku yakin itu bukan orang yang baru dijumpainya. Sepertinya dia sudah akrab dengan orang itu." "Kecuali kalau dia memang benar-benar ramah. Yeah,
lihat. Orang itu tidak buang-buang waktu." Tangan pria itu bergerak naik, mengangkat rok Cheryl. Ia meremas-remas pantatnya. Cheryl Austin mendekapnya dengan erat. Pelukan mereka penuh gairah. Bersama-sama mereka berjalan ke tengah ruangan, berputar pelan-pelan. Kini laki-laki itu membelakangi kami. Rok Cheryl telah ter-
angkat sampai ke pinggangnya. Cheryl meraba-raba selangkangan teman kencannya. Mereka se tengah berjalan, setengah terhuyung-huyung ke meja terdekat. Si laki-laki memaksanya ke meja, dan tiba-tiba Cheryl memprotes, mendorong-dorong. "Eh, eh. Jangan cepat-cepat," ujar Graham. "Rupanya cewek ini punya harga diri juga." Aku meragukannya. Cheryl seakan-akan sengaja mengelabuinya, lalu berubah pikiran. Aku memperhatikan bahwa sikapnya berubah hampir seketika. Aku mulai curiga bahwa sejak pertama ia hanya bersandiwara, bahwa gairahnya hanya pura pura saja. Tapi tampaknya pria itu tidak terlalu heran. Sambil duduk di meja, Cheryl terus mendorong-dorongnya. Pria itu mundur sedikit. Ia masih membelakangi kami. Kami tetap tak dapat melihat wajahnya. Begitu ia melangkah mundur, sikap Cheryl berubah lagi. Perlahan-lahan ia turun dari meja dan merapikan rok, menoleh, menggoyang-goyangkan tubuh dengan cara menantang. Kami melihat telinga dan bagian samping wajah teman kencannya. Rahangnya tampak bergerak gerak. Ia sedang berbicara dengan Cheryl. Cheryl tersenyum dan melangkah maju, merangkulnya. Kemudian mereka mulai berciuman lagi, saling meraba-raba. Berjalan pelan-pelan melintasi ruang an, menuju ruang rapat. . "Ah. Jadi dia yang memilih ruang rapat?" "Entahlah."
"Sial, mukanya belum kelihatan juga.” Kini mereka berada hampir di tengah-tengah ruangan, dan kamera hampir tepat di atas mereka. Hanya bagian atas kepala pria itu yang terlihat. Aku berkata, "Menurutmu, apakah dia kelihatan seperti
orang Jepang?" "Brengsek. Mana mukanya? Ada berapa kamera lagi di ruangan itu?" "Empat." "Hmm. Berarti mukanya pasti terekam. Bajingan itu tak mungkin lolos." Aku berkata, "Tom, sepertinya laki-laki ini cukup tinggi. Dia kelihatan lebih tinggi dari Cheryl. Dan Cheryl termasuk jangkung." "Mana kelihatan dari sudut seperti ini? Aku tidak lihat apa-apa, kecuali bahwa dia pakai jas. Oke. Mereka sudah menuju ruang rapat." Ketika mereka menghampiri ruangan itu, Cheryl tiba-tiba mulai memberontak. "Oh-oh," kata Graham. "Dia marah lagi. Angin-anginan sekali." Pria itu mendekapnya,dengan erat. Cheryl berbalik, berusaha rnelepaskan diri. Pria itu setengah menggendongnya, setengah menyeretnya ke ruang rapat. Di ambang pintu, Cheryl berbalik sekali lagi, berpegangan pada kusen, meronta-ronta. "Tasnya jatuh di situ?" "Mungkin. Semuanya samar-samar."
Ruang rapat terletak tepat di seberang kamera, sehingga kami dapat melihat seluruh ruangan. Tetapi bagian dalamnya gelap sekali, sehingga Cheryl dan teman
kencannya hanya tampak sebagai siluet di hadapan lampu-lampu gedung-gedung pencakar langit di luar jendela. Pria itu mengangkatnya dan mendudukkannya di meja, memutarnya sampai telentang. Cheryl bersikap pasif, pasrah ketika pria itu menyibakkan roknya. Ia malah bergerak mendekat. Kemudian teman kencannya membuat gerakan mendadak, dan sesuatu terlihat terbang. "Itu celana dalamnya." Sepertinya celana dalam itu jatuh ke lantai, tetap sukar untuk memastikannya. Wamanya hitam, atau warna gelap lainnya. Berarti bukan Senator Rowe, aku berkata dalam hati. "Celana dalamnya sudah tidak ada waktu aku sampai di sana," ujar Graham sambil menatap monitor. "Brengsek, ini jelas-jelas penggelapan barang bukti." Ia menggosok-gosok tangan. "Kalau kau punya saham Nakamoto, Kawan, sebaiknya kaujual saja. Sebab besok sore sudah tak ada harganya." Di layar, Cheryl masih menunggu, sementara teman kencannya mengutak-atik ritsleting celana. Tiba-tiba ia berusaha duduk tegak dan menamparnya dengan keras. Graham berkata, "Ah, sudah mulai ramai. Sedikit bumbu." Pria itu menangkap tangannya, dan mencoba mencium Cheryl, tetapi Cheryl melawan, membuang muka. Ia dipaksa telentang lagi. Ia menahan seluruh berat badan teman kencannya. Kakinya menendang-nendang. Kedua siluet itu bersatu dan berpisah. Sukar untuk
mengatakan apa yang sedang terjadi. Sepertinya Cheryl terus berusaha duduk tegak, sedangkan pria itu terus mendorong ke belakang. Ia menahan Cheryl dengan
sebelah tangan di dadanya, sementara Cheryl menendang-nendang sambil meronta-ronta. Cheryl tetap telentang di meja, tetapi adegan itu lebih melelahkan daripada merangsang. Pikiranku terusik oleh pemandangan yang kulihat. Apakah ini memang pemerkosaan? Ataukah Cheryl hanya berpura-pura? Cheryl terus menendang-nendang dan meronta-ronta, tetapi ia tidak berhasil membebaskan diri. Pria itu mungkin lebih kuat dari Cheryl, tapi aku yakin Cheryl dapat mendorongnya jika ia memang berniat demikian. Dan kadang-kadang kedua tangan Cheryl seakan-akan merangkul leher pria itu, bukannya mendorongnya mundur. Namun memang sukar untuk memastikannya. "Oh-oh. Ada masalah." Pria itu menghentikan gerak maju-mundur yang berirama. Di bawahnya, Cheryl tampak lemas. Kedua tangannya merosot, jatuh ke meja. Kakinya terkulai. Graham berkata, "Ini yang kita tunggu-tunggu?" "Entahlah." Pria itu menepuk-nepuk pipi Cheryl, lalu mengguncang-guncangkannya dengan lebih keras. Sepertinya ia berbicara dengannya. Ia tetap di tempat selama beberapa saat, mungkin tiga puluh detik, dan kemudian ia
menjauhinya. Cheryl tergeletak di meja. Pria itu berjalan mengelilinginya. Ia bergerak pelan-pelan, seakan-akan tak percaya. Kemudian ia menoleh ke kiri, seolah-olah mendengar sesuatu. Sesaat ia berdiri seperti terpaku, lalu mengambil
keputusan. Ia mulai sibuk, berputar-putar, mencari-cari secara sistematis. Ia memungut sesuatu dari lantai. "Celana dalam tadi." "Dia sendiri yang mengambilnya," ujar Graham. "Sialan." Kini pria itu bergerak mengelilingi Cheryl, dan membungkuk sejenak. "Sedang apa dia?" "Entahlah. Aku tidak bisa lihat apa-apa." "Brengsek." Pria itu kembali berdiri tegak dan meninggalkan ruang rapat, kembali ke atrium. Ia tidak lagi tampak sebagai siluet. Kini ada kesempatan untuk mengidentifikasinya. Namun ia memandang ke arah ruang rapat. Ke arah wanita muda yang telah tewas. "Hei, Bung," kata Graham kepada gambar di monitor. "Lihat ke sini, Bung. Ayo. Sebentar saja." Di layar, pandangan pria itu tetap terarah pada Cheryl ketika ia berjalan beberapa langkah ke atrium. Kemudian ia cepat-cepat berjalan ke arah kiri. "Dia tidak kembali ke lift," kataku. "Tapi aku tidak bisa lihat mukanya." "Mau ke mana dia?" "Di ujung sana ada tangga," ujar Graham. "Tangga kebakaran." "Kenapa dia ke sana, bukannya ke lift?"
"Mana aku tahu. Aku cuma ingin lihat mukanya. Sekali
saja " Kini pria itu berada di sebelah kiri kamera, dan meskipun ia tak lagi memalingkan wajah, kami hanya dapat melihat telinga kiri dan tulang pipinya. Ia berjalan dengan terburu-buru. Tak lama lagi ia akan menghilang dari pandangan, di bawah langit-langit rendah di ujung ruangan. "Ah, sialan! Sudut ini tidak membantu sama sekali. Kita lihat kaset lain saja." "Tunggu sebentar," kataku.
Pria itu mengarah ke sebuah lorong gelap yang mestinya menuju tangga. Tetapi sebelum memasuki lorong itu, ia melewati sebuah cermin dengan bingkai bersepuh emas yang tergantung di dinding. Ia melewatinya, tepat sebelum ditelan oleh kegelapan di dalam lorong. “Itu! “ "Bagaimana caranya mengheintikan ini?" Dengan tergesa-gesa aku meenekan beberapa tombol pada alat perekam, sampai akhirnya menemukan tombol stop. Rekaman itu kumundurkan sedikit, lalu kuputar lagi. Sekali lagi pria itu berjalan ke arah lorong, langkah-langkahnya panjang, cepat. Ia melewati cermin, dan sepintas lalu - satu frame saja – kami melihat wajahnya terpantul - melihatnya dengan jelas sekali - dan aku menekan tombol untuk membekukan gambar. "Bingo," kataku “Jepang keparat," ujar Graham. "Apa kubilang?" Terpantul di cermin adalah wajah sang pembunuh ketika ia hendak menuju tangga. Kami tidak mendapat kesulitan
untuk mengenali wajah tegang itu sebagai wajah Eddie Sakamura.
Bab 20
"BIAR aku saja," Graham berkata. "Ini kasusku. Aku yang akan menangkap bajingan itu." "Tentu," kata Connor. "Maksudnya," ujar Graham, "aku lebih suka pergi sendiri." "Tentu," kata Connor. "Ini kasusmu, Tom. Lakukanlah yang kauanggap terbaik." Connor menuliskan alamat Eddie Sakamura untuknya. "Aku bukannya tidak berterima kasih atas bantuanmu," kata Graham. "Tapi aku lebih suka menanganinya sendiri. Nah, biar jelas, kalian sudah bicara dengan orang ini tadi malam, tapi kalian tidak menahannya?" "Betul." "Hmm, jangan khawatir," ujar Graham. "Soal ini takkan kusinggung dalam laporanku nanti. Pokoknya, kalian tak perlu cemas, aku janji." Graham sedang bermurah hati. Ia gembira karena akan menangkap Eddie Sakamura. Ia melirik jam tangannya. "Wow, kurang dari enam jam sejak laporan pertama diterima, dan kita sudah mendapatkan pembunuhnya. Lumayan juga." "Kita belum mendapatkan pembunuhnya," kata Connor. "Kalau aku jadi kau, aku akan segera menangkapnya." "Aku sudah mau berangkat," ujar Graham.
"Oh, Tom," kata Connor ketika Graham menuju pintu. "Eddie Sakamura memang aneh, tapi dia bukan orang yang suka menggunakan kekerasan. Aku sangsi bahwa dia punya
senjata. Kemungkinan besar dia bahkan tidak punya pistol. Dia pulang dari pesta bersama si Rambut Merah tadi. Kurasa mereka sedang di tempat tidur sekarang. Kurasa dia sebaiknya ditangkap dalam keadaan hidup." "Hei," kata Graham, "ada apa dengan kalian berdua?" "Sekadar usul saja," ujar Connor. "Kaupikir aku akan menembak bajingan kecil itu?" "Kau akan ke sana bersama beberapa mobil patroli, bukan?" balas Connor. "Para petugas mungkin terpancing emosi. Aku hanya berharap agar kau waspada." "Hei. Thanks," kata Graham, lalu pergi. Badannya begitu lebar, sehingga ia terpaksa berjalan agak miring agar dapat melewati pintu. Aku memperhatikannya. "Kenapa Anda membiarkannya pergi sendiri?" Connor mengangkat bahu. "Ini kasusnya." "Tapi sepanjang malam Anda terus menangani kasus ini. Kenapa sekarang Anda berhenti?" Connor berkata, "Biarkan Graham saja yang menikmati hasilnya. Lagi pula, apa hubungannya dengan kita? Saya petugas polisi yang sedang cuti tanpa batas. Dan Anda hanya petugas penghubung yang korup." Ia menunjuk kaset video. "Anda bisa memutarnya dulu, sebelum Anda mengantar saya pulang?" "Tentu." Aku memundurkan pita sampai ke awal. "Barangkali kita bisa minum kopi sekalian," kata Connor.
"Orang-orang di lab SID selalu punya persediaan kopi enak. Paling tidak, dulunya begitu." Aku berkata, "Bagaimana kalau saya mengambil kopi sementara Anda menyaksikan rekaman ini?" “Terima kasih, Kohai," ujar Connor.
“Kembali." Aku mulai memutar rekaman video, lalu berbalik. “Oh, Kohai. Mumpung Anda ke sana, tolong tanyakan pada petugas jaga, fasilitas video apa saja yang dimiliki Departemen..Sebab semua kaset ini harus digandakan. Dan mungkin ada frame-frame tertentu yang perlu dicetak. Terutama jika ada masalah mengenai penangkapan Sakamura. Siapa tahu ada plhak luar yang menganggapnya sebagai pelecehan terhadap orang Jepang. Kita mungkin perlu mengedarkan foto. Untuk membela diri." Saran itu memang masuk akal. "Oke," kataku "Nanti saya tanyakan." "Saya biasa minum kopi tanpa susu, dengan satu sendok gula." Ia berbalik dan mengamati layar monitor.
Scientific Investigation Division, atau SID, terletak di basement Parker Center. Ketika aku sampai di sana sudah pukul dua dini hari, dan sebagian besar seksi sudah tutup. Jadwal kerja SID tak berbeda dari kantor-kantor pada umumnya, masuk jam sembilan, pulang jam lima. Memang, tim-tim SID juga bekerja pada malam hari, mengumpulkan barang-barang bukti di tempat-tempat kejadian perkara, tetapi semuanya disimpan di dalam lemari-lemari sampai keesokan paginya, atau di markas, atau di salah satu divisi. Aku mendatangi mesin pembuat kopi di kafetaria kecil di
sebelah Kamar Gelap. Di sekitar ruangan itu terdapat tanda-tanda peringatan bertulisan ANDA SUDAH MENCUCI TANGAN? dan JANGAN BAHAYAKAN REKAN-REKAN ANDA. CUCI TANGAN DULU. Peringatan peringatan ini dipasang karena tim-tim SID kerap memakai zat-zat beracun, terutama bagian kriminalistik. Begitu banyak air raksa,
warangan, dan krom digunakan, sehingga di zaman dulu ada petugas yang jatuh sakit akibat minum dari gelas plastik yang hanya tersentuh oleh petugas lab yang lain. Tetapi sekarang orang-orang sudah lebih berhati-hati; aku mengambil dua gelas kopi dan kembali ke meja. Petugas jaga malam, Jackic Levin sedang bertugas, seorang wanita berbadan pendek gemuk. Kakinya dinaikkan ke meja. Ia mengenakan celana ketat dan rambut palsu berwarna jingga. Meski penampilannya aneh, ia diakui sebagai pencetak foto terbaik di seluruh Departemen. Ia sedang membaca majalah Modern Bride. Aku berkata, "Mau coba sekali lagi, Jackie?" "Hei, bukan aku," balasnya. "Anakku." "Siapa calon suaminya?" "Bagaimana kalau kita bicara tentang hal yang menyenangkan saja?" katanya. "Kaubawakan kopi untukku?" "Sori," jawabku. "Tapi aku ada pertanyaan untukmu. Siapa yang menangani barang bukti berupa rekaman video di sini?" "Rekaman video?" "Rekaman dari kamera keamanan. Siapa yang menganalisisnya, mencetak foto, dan sebagainya?" "Hmm, kami jarang mendapat tugas seperti itu," kata
Jackie. "Dulu pernah ditangani oleh bagian elektronika, tapi kurasa mereka sudah berhenti. Sekarang semua video diserahkan ke Valley atau ke Medlar Hall." Ia duduk tegak,
membalik-balik halaman sebuah direktori. "Kalau mau, kau bisa menghubungi Bill Harrelson di Medlar. Tapi kalau ada hal khusus, kami biasa minta tolong ke JPL atau ke Advanced Imaging Lab di U.S.C. Kau mau nomor telepon mereka, atau mau lewat Harrelson?" Nada suaranya memberitahuku mana yang harus kupilih. "Aku minta nomor telepon saja." "Yeah, aku juga, kalau aku jadi kau." Aku mencatat nomor-nomor itu, lalu kembali ke markas divisi. Connor telah selesai menyaksikan rekaman video, dan sedang memutarnya maju mundur di bagian di mana wajah Eddie Sakamura muncul di cermin. "Bagaimana?" kataku. "Ini memang Eddie." Ia tampak tenang, hampir tak peduli. Ia meraih gelas plastik yang kubawa dan menghirup kopinya. "Huh, payah." "Yeah, memang." "Dulu jauh lebih enak." Connor meletakkan gelas plastik, mematikan alat perekam, berdiri, dan meregangkan badan. "Hmm, rasanya sudah cukup untuk malam ini. Bagaimana kalau kita tidur dulu? Besok pagi saya ada janji main golf di Sunset Hills." "Oke," kataku. Aku mengembalikan kaset-kaset video ke dalam kardus, lalu memastikan alat perekamnya. Connor berkata, "Apa yang akan Anda lakukan dengan kaset-kaset ini?"
"Saya simpan di lemari barang bukti." Connor berkata, "Ini rekaman asli. Dan kita tidak punya duplikat." "Saya tahu, tapi baru besok saya bisa memperoleh duplikat."
"Justru itu. Kenapa tidak Anda bawa saja?" "Maksudnya, dibawa pulang?" Pihak Departemen sudah sering mengeluarkan larangan untuk membawa barang bukti ke rumah. Singkatnya hal itu melanggar peraturan. Ia mengangkat bahu. "Saya takkan mau mengambil fisiko. Bawalah kaset-kaset itu, dan besok Anda sendiri yang menangani pembuatan duplikat." Aku menjepit kardus itu di bawah lengan dan berkata, "Anda khawatir bahwa seseorang di sini akan..." "Tentu saja tidak," Connor memotong. "Tapi barang bukti ini sangat menentukan, dan kita tak ingin seseorang melewati lemari barang bukti sambil membawa magnet besar sementara kita sedang tidur nyenyak, bukan?" Akhirnya kuputuskan untuk membawa pulang kaset-kaset itu. Ketika keluar, kami melewati Ishiguro yang masih duduk di sana. Tampaknya ia menyesal sekali. Connor mengatakan sesuatu dalam bahasa Jepang. Ishiguro langsung berdiri, membungkuk, lalu bergegas pergi. "Apakah dia benar-benar setakut itu?" "Ya," kata Connor. Ishiguro menyusuri lorong, mendahului kami. Ke palanya tertunduk. Ia hampir menyerupai karikatur seseorang yang sedang dihantui ketakutan. "Kenapa?" aku bertanya. "Dia sudah cukup lama tinggal
di sini. Mestinya dia tahu bahwa kita tidak punya dasar kuat untuk menuduhnya menahan barang bukti, apalagi untuk menuntut Nakamoto."
"Bukan itu masalahnya," kata Connor. "Dia tidak merisaukan persoalan hukum. Dia takut menimbulkan skandal. Sebab itulah yang akan terjadi seandainya kita berada di Jepang." Kami melewati tikungan. Ishiguro berdiri di depan deretan lift, menunggu. Kami ikut menunggu. Suasananya serba canggung. Lift pertama tiba, dan Ishiguro melangkah ke samping agar kami bisa masuk. Ketika pintu menutup, aku masih sempat melihatnya membungkuk ke arah kami. Lift mulai turunnya dan Connor berkata, "Dia Jepang, riwayat perusahaannya bisa tamat untuk selama-lamanya.” "Kenapa?" "Karena di Jepang, skandal merupakan cara yang paling umum digunakan untuk mengubah hierarki. Untuk menyingkirkan lawan yang kuat. Di sana, itu merupakan hal biasa. Kita menemukan suatu kelemahan, dan kita bocorkan kepada pers, atau kepada penyelidik dari pihak pemerintah. Ini selalu diikuti dengan skandal, dan orang atau organisasi bersangkutan akan hancur. Dengan cara inilah skandal Recruit menjatuhkan Takeshita dari kedudukannya sebagai perdana menteri. Atau skandal-skandal keuangan menjatuhkan Perdana Menteri Tanaka di tahun tujuh puluhan. Sama seperti orang-orang Jepang menggasak General Electric beberapa tahun lalu." "Mereka menggasak General Electric?" "Lewat skandal Yokogawa. Anda pernah mendengar beritanya? Tidak? Hmm, ini contoh klasik mengenai siasat
Jepang. Beberapa tahun lalu, General Electric merupakan produsen peralatan scanning terbaik untuk rumah sakit di seluruh dunia. GE lalu membentuk anak perusahaan, Yokogawa Medical, untuk memasarkan peralatan tersebut di Jepang. Dan GE menjalankan usaha ini dengan cara Jepang, menekan biaya lebih rendah dari saingan-saingannya untuk merebut pangsa pasar, menyediakan layanan purnajual yang sangat baik, menjamu klien – termasuk memberi tiket pesawat dan traveller's checky kepada calon pembeli yang potensial. Kita menyebutnya suap, tetapi di Jepang ini merupakan hal biasa. Dalam waktu singkat Yokogawa berhasil meraih pangsa pasar terbesar, dan mengalahkan perusahaan-perusahaan Jepang seperti Toshiba. Perusahaan-perusahaan Jepang tidak menyukainya, dan
mereka mengeluhkan persaingan tidak sehat. Dan suatu hari petugas-petugas pemerintah melakukan razia di kantor-kantor Yokogawa dan menemukan bukti-bukti mengenai penyuapan. Mereka menangkap beberapa pegawai Yokogawa dan mencoreng nama perusahaan itu dengan skandal. Tingkat penjualan GE tidak terlalu terpengaruh. Dan tidak menjadi masalah bahwa beberapa perusahaan Jepang menempuh cara yang sama. Karena satu dan lain hal, perusahaan asinglah yang ditindak. Sangat mengherankan bagaimana itu bisa terjadi." Aku berkata, "Seburuk itukah keadaannya?" "Orang Jepang bisa sangat keras," kata Connor. "Mereka menyamakan bisnis dengan perang, dan mereka tidak asal bicara saja. Di zaman dulu, jika warga Jepang membeli mobil buatan Amerika, dia akan diperiksa oleh petugas pajak. Jadi, dalam waktu singkat tak ada lagi yang membeli mobil buatan Amerika. Para pejabat hanya mengangkat bahu, mereka tak berdaya. Pasar mereka terbukti. Bukan
salah mereka bahwa tak ada yang menginginkan mobil Amerika. Rintangannya seakan akan tanpa akhir. Setiap mobil impor harus diuji di pelabuhan untuk memastikan bahwa mobil tersebut memenuhi peraturan mengenai gas buang. Ski impor dulu dilarang, sebab saIju di Jepan konon lebih basah dibandingkan dengan salju di Eropa atau Amerika. Begitulah mereka memperlakukan negara-negara lain, jadi tidak mengherankan bahwa mereka khawatir dibalas dengan cara yang sama.” "Jadi, Ishiguro sedang menunggu skandal? Karena itu yang akan terjadi di Jepang?" "Ya. Dia takut riwayat Nakamoto akan tamat dengan sekali pukul. Tapi saya menyangsikannya. Kemungkinan
besar, besok semuanya akan berjalan seperti biasa di Los Angeles."
Aku mengantar Connor ke apartemennya. Ketika ia turun dari mobil, aku berkata, "Pengalaman malam ini sangat menarik, Kapten. Terima kasih atas waktu yang Anda sediakan untuk saya." "Kembali," kata Connor. "Kalau Anda memerlukan bantuan lagi, silakan telepon saya kapan saja." "Mudah-mudahan acara golf Anda besok tidak terlalu pagi. " "Sebenarnya kami mulai jam tujuh, tapi kebutuhan tidur orang seusia saya sudah berkurang. Saya akan bermain di Sunset Hills." "Bukankah itu klub Jepang?" Pembelian Sunset Hills Country Club oleh orang Jepang belum lama ini sempat menggemparkan L.A. Lapangan golf di West Los Angeles
dibeli dengan harga yang luar biasa: 200 juta dolar di tahun
1990. Ketika itu, pemiliknya yang baru berjanji bahwa takkan ada perubahan. Tapi sekarang jumlah anggota Amerika pelan-pelan dikurangi dengan cara yang sangat sederhana: setiap kali orang Amerika mengundurkan diri, tempatnya ditawarkan kepada orang Jepang. Di Tokyo, keanggotaan Sunset Hills dijual seharga satu juta dolar, dan itu masih dianggap murah; daftar tunggunya panjang sekali. "Hmm," ujar Connor, "saya akan bermain dengan beberapa orang Jepang." "Seberapa sering Anda bermain golf dengan mereka?"
"Orang-orang Jepang keranjingan golf. Saya berusaha menyempatkan diri bermain dua kali seminggu. Kadang-kadang kita mendengar hal-hal yang menarik. Selamat malam, Kohai." "Selamat malam, Kapten." Aku pulang.
Aku baru hendak memasuki Santa Monica freeway ketika telepon berdering. Ternyata operator DHD. "Letnan, ada panggilan untuk Special Services. Petugas di lapangan minta bantuan petugas penghubung." Aku menghela napas. "Oke." Si operator menyebutkan nomor telepon mobil. "Hei, Kawan." Ternyata Graham. Aku berkata, "Hai, Tom." "Kau sudah sendirian?" "Yeah. Aku sedang dalam perjalanan pulang. Kenapa?"
"Aku pikir-pikir," ujar Graham, "mungkin ada baiknya kalau petugas penghubung ikut dalam penggerebekan ini." "Kukira kau ingin menanganinya seorang diri." "Yeah, ehm, mungkin kau bisa ke sini dan membantu. Sekadar untuk memastikan bahwa semuanya berjalan sesuai peraturan." Aku berkata, "Kau butuh perlindungan?" "Hei, kau mau bantu atau tidak?" "Beres, Tom. Aku segera ke sana."
"Kami tunggu sampai kau datang."
Bab 21
EDDIE SAKAMURA tinggal di sebuah rumah kecil, di salah satu jalan sempit dan berkelok-kelok di perbukitan Hollywood, di atas freeway 101. Pukul 02.45 dini hari aku melewati sebuah tikungan dan melihat dua mobil patroli dengan lampu dipadamkan, serta mobil Graham yang berwarna coklat, berhenti di satu sisi jalan. Graham berdiri bersama para petugas patroli. Ia sedang merokok. Aku harus mundur sekitar dua belas meter untuk mendapatkan tempat parkir. Kemudian aku menghampiri mereka. Kami menatap rumah Eddie yang dibangun di atas garasi, sebuah rumah dengan dua kamar tidur, dengan dinding diplester putih, dari tahun 1940-an. Lampu-lampu tampak menyala, dan kami mendengar Frank Sinatra sedang bernyanyi. Graham berkata, "Dia tidak sendirian. Ada beberapa cewek di atas sana.
Aku berkata, "Bagaimana rencanamu?" "Para petugas patroli menunggu di sini," ujar Graham. "Aku sudah mewanti-wanti mereka supaya tidak menembak, jadi jangan khawatir. Kau dan aku naik ke sana untuk menangkapnya." Sebuah tangga terjal naik dari garasi ke rumah. "Oke. Kau dari depan dan aku dari belakang?“ "Jangan," kata Graham. "Aku ingin kau ikut bersamaku, Kawan. Dia tidak berbahaya, bukan?" Aku melihat siluet seorang wanita lewat di salah satu jendela. Sepertinya ia sedang telanjang. “Seharusnya tidak," kataku.
"Oke, kalau begitu, kita mulai saja." Kami berbaris satu-satu ketika menaiki tangga. Frank Sinatra sedang menyanyikan My Way Kami mendengar suara tawa wanita. Sepertinya ada lebih dari satu. "Moga-moga ada narkotika berserakan." Menurutku, kemungkinannya cukup besar. Kami sampai di puncak tangga, membungkuk, agar tidak terlihat dari jendela. Pintu depan rumah Eddie bergaya Spanyol, berat dan kokoh. Graham berhenti sejenak. Aku bergerak beberapa langkah ke arah belakang ruma