Antisemitisme Modern dalam Pembongkaran Sinagog Surabaya: Psikologi Politik Multikulturalisme1 Febby Risti Widjayanto Universitas Airlangga
[email protected] Abstract Antisemitism movement by joined member of muslim interest group reflected in the seal of the only Synagogue in Surabaya. This seal affects the way of the government of Surabaya on stipulating this building as cultural heritage. The trigger of the protest is the stereotype toward Jews which is in political psychology study known as groupthink. The scare of the Synagogue’s resident who is Jewish community remained themselves concealed, thus they evaded to have contact with outsider parties including the government of Surabaya. The government of Surabaya who doesn’t approach the Jewish community through multiculturalism psychology eventually ignoring the Synagogue-related research to postpone the legalization of cultural heritage status of synagogue. While the worried resident asked for larger amount of budgetary for synagogue’s maintenance and for the sake of their safety. However the 4-year abandonment caused the building was demolished by the owner’s intent and sold it to real estate businessman due to the high business value of the area. Keywords: Antisemitism, muslim organization, political psychology, multicultural psychology. Abstrak Gerakan antisemitisme oleh gabungan organisasi kemasyarakatan (ormas) islam yang tercermin dalam aksi penyegelan bangunan sinagog di Surabaya mempengaruhi pemerintah kota Surabaya dalam menetapkan bangunan ini sebagai cagar budaya. Pemicu penyegelan sinagog adalah stereotipe terhadap Yahudi dalam psikologi politik yang disebut dengan groupthink. Ketakutan penghuni yang merupakan anggota komunitas Yahudi Surabaya (Israelitische Gemeente Surabaya) membuat mereka menutup diri dengan pihak luar dan menghindari interaksi dengan pemerintah kota Surabaya. Pemerintah kota Surabaya yang tidak melakukan pendekatan secara psikologi multikulturualisme dengan komunitas Yahudi akhirnya melakukan pembiaran, mengabaikan kajian dan penelitian tentang bangunan sinagog. Ketakutan penghuni menyebabkan penghuni meminta alokasi dana yang lebih tinggi dan jaminan keselamatan jika sinagog ditetapkan sebagai cagar budaya. Namun pembiaran selama empat tahun (2009-2013) akhirnya membuat penghuni merobohkan bangunan sinagog dan menjualnya kepada pengusaha karena alasan keamanan dan nilai jual yang lebih tinggi. Kata kunci: Antisemitisme, ormas islam, psikologi politik, psikologi multikulturalisme. 1 Jurnal ini merupakan hasil dari penulisan skripsi penulis
1
Pendahuluan Gerakan anti-Yahudi yang memprotes penyerangan Israel ke Palestina di tahun 2009 melancarkan aksi pemboikotan tempat peribadatan umat Yahudi yang disebut dengan sinagog (synagogue) di jalan Kayun Surabaya. Aksi protes massa ini dilakukan oleh gabungan organisasi kemasyarakatan (ormas) Islam Jawa Timur di bawah koordinasi Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur. Rumah sinagog tercatat sebagai salah satu bangunan cagar budaya dengan status sebagai “Diduga Bangunan Cagar Budaya" sesuai dengan Surat Keputusan Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Surabaya No. 646/1654/436.6.14/2009 tertanggal 16 April 2009. Semenjak tahun 2005, rumah ibadah ini sudah tidak aktif digunakan sebagai tempat peribadatan dan pertemuan komunitas Yahudi Surabaya. Sebagai cagar budaya warisan pemerintah kolonial Belanda, maka peruntukannya sebagai aset berharga pariwisata kota Surabaya (Istanto, 2013). Sebagai bangunan cagar budaya, sinagog mendapat perlindungan hukum untuk dijaga dan dipertahankan. Meskipun fungsionalitasnya hanya sebagai bangunan cagar budaya, namun di tahun yang sama pula, sinagog ini ditutup dan disegel oleh kelompok ormas islam yang menolak Israel dengan memboikot atribut-atribut Israel seperti membakar bendera Israel, memboikot produk Israel, dan menyegel rumah ibadah sinagog. Gerakan anti-Yahudi ini dalam bahasa akademik dan politik dikenal sebagai gerakan antisemitisme. Penutupan sinagog di Surabaya adalah bentuk gerakan antisemitisme di tingkat kota. Desakan kelompok kepentingan seperti gabungan ormas islam terhadap penyegelan sinagog menjadi permasalahan yang tidak terjamah semenjak empat tahun silam. Sehingga tidak banyak literatur dan informasi yang dapat diketahui dari kasus ini yang pada akhirnya berakhir dengan pembongkaran seluruh bangunan sinagog. Permasalahan ini menjadi relevan jika diulas menggunakan teori psikologi politik dan multikulturalisme. Penekanan peneliti untuk mengurainya dengan teori psikologi politik karena aksi kelompok tidak dapat dilepaskan dari persepsi dan stereotipe terhadap Israel dan Yahudi dalam pandangan kelompok organisasi kemasyarakatan islam. Psikologi politik juga mampu membaca skenario di balik pembuatan keputusan atas penetapan sinagog sebagai bangunan cagar budaya dan pengaruh kelompok anti-Yahudi terhadap keruntuhan bangunan ini. Sedangkan dinamika psikologi multikulturalisme mengandung dimensi politik yang sangat kental. Kelompok mayoritas selalu memiliki dorongan untuk menguasai dan mengendalikan kelompok minoritas (Wong dan Wong, 2006). Kekhasan- kekhasan yang ada pada setiap kelompok justru tidak dijadikan sebagai keunggulan politik yang justru menjadikan proses-proses politik kaya akan pandangan, melainkan ancaman dan usaha untuk mengakhiri kelompok minoritas. Dalam situasi seperti ini, otoritas netral yang seharusnya bekerja sebagai fasilitator
2
konflik interkultural, terdesak untuk memecahkan persoalan interkultural yang mengancam kewibawaan otoritas tersebut. Otoritas yang disebut dengan pemerintah memiliki tanggung jawab untuk membekali institusi dengan wawasan kultur yang memadai, holistik, dan arif dalam mendekati kelompok-kelompok mayoritas dan minoritas untuk mengkomunikasikan jalan perdamaian. Ketika aktivitas penegakan otoritas terganggu, maka pemerintah tidak bisa tinggal diam dan menunggu, membiarkan proses berjalan dengan sendirinya. Dengan kata lain, pemerintah juga sedang mendapat tekanan untuk mempertahankan kewibawaannya— atau pemerintah gagal dalam menegakkan otoritasnya sebagaimana yang tercantum dalam peraturan perundangan. Pembahasan Antisemitisme dalam pembongkaran sinagog dapat ditelusuri dengan membagi peristiwa pembongkaran sinagog menjadi beberapa tahapan proses. Tahapan tersebut terdiri dari tahapan pra-penyegelan, tahapan penyegelan sinagog oleh ormas islam, tahapan pengusulan sinagog sebagai bangunan cagar budaya, tahapan pembongkaran sinagog, dan tahapan pasca pembongkaran sinagog. Tahapan pra-penyegelan adalah pandangan yang berkembang luas di komunitas masyarakat dengan jumlah penduduk muslim yang cukup signifikan bahwa kebencian terhadap Yahudi dan Israel adalah sebuah kepercayaan untuk menentang kekejaman Israel terhadap Palestina. Keterlibatan emosi yang dalam dan bersentuhan dengan sendi solidaritas agama membuat komunitas anti-Yahudi dan Israel memboikot seluruh atribut yang berhubungan dengan Israel dan Yahudi, termasuk bangunan sinagog. Tahapan pertama: penyegelan sinagog Massa yang bergejolak karena pandangan buruk terhadap Yahudi dan Israel menggelar aksi arakan massal untuk memboikot dan mencopot atribut-atribut Yahudi dan Israel. Akibat pengaruh sentimensi pada tahap pra-penyegelan, massa dari ormas Islam yang dibakar oleh kebencian terhadap Yahudi dan Israel menyasar rumah bangunan sinagog yang dipandang sebagai simbol keberadaan Yahudi dan kejahatan Israel yang harus ditindak. Kebencian yang menjadi bahan bakar dalam memboikot sinagog berasal dari stereotipe dan prasangka terhadap Yahudi yang berkembang di tengah komunitas masyarakat muslim menyamakan Yahudi dalam satu terma umum – Yahudi adalah zionis Israel. Kesulitan dalam membedakan Yahudi dalam terma etnis, religi, dan politis berakibat pada penyamarataan Yahudi dengan zionis Israel yang kejam dan bengis. Sedangkan komunitas Yahudi yang mendiami bangunan sinagog adalah Yahudi dalam pengertian etnis dan agama yang tidak memiliki afiliasi politik dengan Israel. Pengaruh stereotipe dan prasangka dari kelompok terhadap kelompok lain membuat tindakan penyegelan menjadi lebih mudah diterima dan disebarluaskan. Gejala ini dapat dijelaskan dalam teori psikologi politik tentang kelompok dan stereotipe. Tahapan kedua: pengusulan sinagog sebagai bangunan cagar budaya Usulan untuk menjadikan bangunan sinagog sebagai cagar budaya datang dari keprihatinan komunitas pengamat dan pecinta bangunan tua di Surabaya. Sejarah keberagamana yang ada di Surabaya adalah sebuah nilai sosial yang sangat tinggi
3
karena bangunan sinagog menyimpan sejarah tentang bagaimana masyarakat Surabaya yang juga berpenduduk muslim pernah hidup berdampingan dengan komunitas Yahudi. Pengusulan sinagog sebagai cagar budaya memiliki alasan untuk melindungi warisan budaya kolonial termasuk nilai histori, seni bangunan, dan kehidupan sosial yang plural yang pernah membingkai wajah Surabaya. Pengusulan sebagai bangunan cagar budaya adalah upaya untuk menjaga dan melindungi bangunan tua. Namun karena pemerintah kota Surabaya tidak menjadikan sinagog sebagai daftar bangunan prioritas yang harus segera disahkan statusnya dari “SK Diduga” menjadi “SK Walikota” disebabkan karena kurangnya data dan penelitian terhadap bangunan ini yang menjadikan proses penetapannya ditangguhkan dalam jangka waktu empat tahun (2009 hingga tahun 2013). Proses yang tertunda hingga akhirnya membuat bangunan sinagog terbengkalai dan berakhir dengan pembongkaran. Kurangnya pengetahuan dalam mendekati pemilik sinagog membuat pemerintah menjadi salah langkah dan membuat pemerintah terjebak dalam posisi pembiaran atas bangunan cagar budaya. Tahapan ketiga: pembongkaran sinagog Peristiwa puncak dari serangkaian gerakan anstisemitisme adalah momentum pembongkaran sinagog di tahun 2013. Kelambanan pemerintah dalam menetapkan bangunan ini menyebabkan penghuni sinagog menghindari kontak dengan pihak luar termasuk dengan pemeirntah kota Surabaya karena ketakutan jika keselamatan dan keamanannya terancam. Pembongkaran sinagog dilatarbelakangi karena pertimbangan keamanan dari penghuni sinagog dan alasan kalkulasi ekonomi dari nilai jual bangunan dan tanah yang lebih tinggi ketimbang jika hanya difungsikan sebagai bangunan cagar budaya. Permintaan penghuni akan pendanaan yang lebih besar kepada pemerintah kota Surabaya dari segi keamanan tidak terpenuhi sehingga membuat pemilik lebih memilih untuk merobohkan bangunan dan menjualnya ke orang lain. Lambannya pemerintah dalam mengumpulkan data tentang bangunan sinagog semakin memperlambat penetapan sinagog sebagai cagar budaya. Kurangnya penelitian tentang bangunan sinagog juga dilatarbelakangi oleh cara pendekatan pemerintah kota Surabaya kepada penghuni sinagog. Pemerintah yang akhirnya memilih untuk membiarkan bangunan ini selama empat tahun tidak melakukan upaya pendekatan yang lebih intens dan mendalam untuk merengkuh penghuni sinagog yang serba ketakutan untuk berinteraksi dengan pihak luar. Pendekatan yang luput dilakukan oleh pemerintah adalah pendekatan yang kurang menyentuh segi kultur yang disebut dengan psikologi multikulturalisme. Pendekatan pemerintah yang tidak sensitif kultur membuat penghuni sinagog semakin menghindari kontak dengan pihak luar. Tahapan keempat: pasca pembongkaran sinagog Tahapan yang terakhir adalah pasca perobohan sinagog yang melibatkan peran otoritas pemerintah kota Surabaya yang bertanggung jawab sebagai penjaga dan pelindung bangunan cagar budaya di Surabaya. Pascaperistiwa perobohan sinagog, pemerintah kota Surabaya kembali meninjau peraturan tentang cagar budaya dan praktik implementasi dari
4
perundangan tentang cagar budaya. Setelah pemerintah kota Surabaya merasa kecolongan karena terdapat satu bangunan cagar budaya yang roboh maka pemerintah dengan cepat bergerak untuk memperbaiki celah dalam mempertahankan bangunan cagar budaya. Kelambanan pemerintah – termasuk absennya upaya untuk mendekati penghuni sinagog dan memperjuangkan status bangunan cagar budaya sinagog tidak ditempuh dengan pendekatan yang massif sehingga pembiaran pun terjadi. Akibat pembongkaran sinagog, berita ini menjadi salah satu fakta yang mencengangkan sekaligus mengkhawatirkan atas penjagaan bangunan cagar budaya. Diiringi dengan desakan kelompok-kelompok pecinta cagar budaya, pemerintah kota Surabaya akhirnya mengambil tindakan untuk mengusut kasus bangunan sinagog secara hukum agar kejadian serupa tidak terulang di kemudian hari mengingat tanggung jawab Pemerintah Kota Surabaya sangat besar dalam menjaga dan melindungi bangunan cagar budaya seperti yang diamanatkan oleh Undang-undang cagar budaya dan Peraturan Daerah Kota Surabaya. Psikologi Politik Ormas Islam dan Komunitas Yahudi Dalam psikologi politik tentang kelompok menurut Durkheim (1938) gabungan ormas Islam terdiri dari individu-individu yang seringkali bertingkah laku berbeda ketika mereka bergabung bersama dibandingkan dengan ketika individi- individu ini bertindak sendirian. Karakteristik struktural gabungan ormas islam dalam psikologi sosial adalah sekumpulan orang-orang yang saling memiliki dan saling tergantung satu sama lain. Dijelaskan dalam Moreland (1987) ormas Islam sebagai sebuah sarana integrasi sosial – di mana menjadi ajang pertunjukkan atas kualitas tertentu dari seorang individu pada tingkat tertentu. Tingkatan kualitas ini ditunjukkan dengan kesadaran individu dalam gabungan ormas islam untuk terintegrasi dalam aksi penyegelan sinagog. Individu-indiviu yang tergabung dalam gabungan ormas Islam berpikir dan bertindak sebagai sebuah kelompok, yaitu kelompok ormas islam yang menentang Yahudi dan Israel. Menurut studi Johnson et al., (2005) gabungan kelompok ormas islam memiliki kecenderungan untuk memenuhi kebutuhan akan identitas, yaitu mengembangkan gabungan ormas islam untuk diikuti oleh lebih banyak ormas-ormas Islam yang mempertegas identitas mereka sebagai kelompok yang anti Yahudi dan Israel. Gabungan kelompok ini dipengaruhi oleh koherensi kelompok. Dasgupta dan Banji (1999) menyebutkan koherensi kelompok ditentukan oleh persepsi yang dibangun bersama untuk mempertahankan keutuhan kelompok tersebut. Individuindividu yang turut ikut dalam aksi penyegelan sinagog tidak memahami tentang histori kaum Yahudi di Surabaya. Kesepakatan atas kedangkalan pandangan terhadap Yahudi menjadi perekat di antara ormas-ormas Islam bahwa mereka adalah kelompok solidaritas yang anti-Yahudi dan Israel.
5
Penjabaran Jost et al., (2004) tentang struktur dan dimensionalitas sikap negatif antarkelompok memberikan pandangan yang menarik ketika prasangka terhadap Yahudi mengalami evolusi yang sangat rapi dalam struktur kelompok gabungan ormas Islam dan menjadi nilai tersendiri yang cukup ampuh dalam menyatukan kelompok dan membulatkan suara. Artinya ialah bagi kelompok yang ingin terintegrasi dengan label solidaritas keagamaan, maka penerimaan struktur adalah syarat utama agar dapat menjadi bagian dalam kelompok. Struktur yang secara terus-menerus direproduksi, dipertahankan, dan disosialisasikan menjadi tertanam dan mengakar sangat kuat. Struktur yang menaungi kehidupan kelompok gabungan ormas islam bekerja dengan maksimal ketika mendapat daya dukungan dari dimensi yang menyebabkan rentang struktur semakin luas. Dimensi pembelaan terhadap Palestina adalah dimensi politik yang mendapat respon dari struktur dengan sangat baik. Janis (1972) menyoroti keputusan politik besar berasal dari konsensus atas gaya pemikiran irasional yang digulirkan atas nama konformitas kelompok. Keputusan ormas islam untuk menutup bangunan sinagog dan disertai dengan aksi pembakaran bendera Israel adalah keputusan yang buruk karena tidak berdasarkan pada kajian terhadap sinagog tersebut. Artinya ialah perbekalan yang tidak memadai menekan rasionalitas dalam melihat Yahudi secara proporsional dan menggunakan gaya pemikiran tersebut untuk melancarkan aksi. Irasionalitas dalam pembuatan keputusan kelompok disebut dengan groupthink. Beberapa karakteristik groupthink gabungan kelompok ormas Islam yang dengan mudah terbaca adalah: (1) pertama, adanya tekanan kuat yang menyebabkan anggota gabungan kelompok ormas islam merasa harus menyesuaikan diri dengan sebuah keputusan untuk turut serta dalam aksi penyegelan bangunan sinagog – agar tidak mendapat sangsi, pengucilan, dan terus dapat mempertahankan komitmen mereka untuk konform dengan kelompok atas nama solidaritas keagamaan – jika sesama muslim adalah saudara, (2) kedua penyensoran diri (self-censorship) terjadi ketika terdapat anggota kelompok gabungan ormas islam mengkritik keputusan bersama, mereka yang tidak menyetujui akan diitekan secara tidak langusng untuk tidak mengutarakan ekspresi ketidaksetujuan atas keputusan untuk menyerbu sinagog, (3) ketiga ialah penjaga pikiran (mindguards) – tim kecil yang mempersiapkan aksi juga bertindak sebagai penjaga dan pengendali pikiran gabungan kelompok ormas islam untuk tetap mempertahankan keadaan – dimana para anggota gabungan ormas islam tetap tidak melakukan kajian terhadap bangunan sinagog Surabaya karena dapat mengganggu arus keberlangsungan keputusan penyerbuan sinagog tersebut, (4) keempat adalah kebulatan suara yang semu (apparent-unamity) mengenai pendapat, semua anggota kelompok tampak menyetujui satu sama lain ketika kebulatan suara sebenarnya berasal dari suara tunggal yaitu koordinator aksi yang mengartikulasikan solidaritas keagamaan yang membuat semua anggota kelompok ormas islam tampak menyetujui satu sama lain, (5) gejala kelima ialah ilusi tentang kekebalan (illusions of invulnerability) – gabungan ormas islam membayangkan ilusi tentang kekebalan bahwa tidak akan ada kelompok yang dapat menghentikan aksi mereka, penilaian mereka tentang Yahudi adalah kenyataan yang tidak dapat dibantah, (6) keenam yaitu ilusi tentang moralitas (illusions of morality) membuat gabungan kelompok ormas islam meyakini bahwa jalan penyerbuan, kerusuhan, protes adalah moralitas kelompok yang tidak
6
perlu dipertanyakan lagi. Kandungan moral dari keputusan untuk menyerbu bangunan sinagog adalah moralitas kelompok yang baik, tidak konfliktual karena disusun oleh elit – pemegang jabatan tinggi atau MUI sebagai koordinator yang telah mempertimbangkan kebenaran moral, (7) ketujuh adalah persepsi yang bias tentang kelompok lain (biased perception of other group), persepsi yang bias terhadap Yahudi adalah persepsi yang menyebabkan keputusan kelompok berujung pada kedelapan (8) yaitu kegagalan konyol (fiasco) karena ketidaktahuan tentang Yahudi dan perkembangan sinagog di Surabaya sehingga aksi protes terhadap Yahudi menjadi tidak tepat sasaran karena kelompok yang mereka protes adalah kelompok etnik-religik yang tidak berafiliasi dengan Israel, kecerobohan (blunders) dapat terjadi ketika aksi gabungan kelompok ormas islam mendapat sorotan dari media-media internasional yang memotret dan merekam aksi penyerbuan tersebut ketika sasarnnya tidak tepat serta menimbulkan bencana (debacle) yaitu kegoncangan relasi sosial penghuni komplek bangunan sinagog yang memiliki ketakutan tersendiri terhadap ormas islam. Pembuatan keputusan semacam ini diarahkan pada Yahudi dan diaktifkan karena stereotipe terhadap yahudi yang berkembang bahwa Yahudi adalah golongan pendusta, licik, haus kekuasaan, protokapitalis dan penipu ulung (Mitten, 1994; Wodak, 1997). Stereotipe yang direkognisi oleh gabungan ormas Islam dalam pandangan Wodak et al., (2001) tersebut membawa penegasan bagi gabungan ormas Islam untuk menyerang sinagog yang merupakan atribut Yahudi dan Israel. Psikologi Politik Multikulturalisme Tipe pendekatan yang dapat merengkuh pemilik dan penghuni sinagog sayangnya tidak digunakan oleh pemerintah kota Surabaya dalam upaya mendukung otoritasnya sebagai penjaga bangunan cagar budaya. Rumusan Leong dan Wong (2003)dalam Wong dan Wong (2006) menunjukkan jikapendekatan multikulturalisme adalah gerakan sosial yang menghargai hak asasi manusia secara global. Hak asasi manusia dijunjung pula oleh pemerintah kota sebagai bagian dari komunitas global yang mendukung nilai-nilai keamanan, kesetaraan, dan perdamaian. Multikulturalisme dalam pandangan kebijakan sosial-politik bertujuan untuk mempromosikan keberagaman, inklusivitas, dan kesetaraan melalui nilai-nilai perbedaan etnis dan warisan budaya. Kebijakan pemerintah kota Surabaya yang menangguhkan pemrosesan kenaikan status cagar budaya bangunan sinagog adalah cerminan kebijakan sosial-politik yang memperhatikan prinsip perbedaan etnis dan warisan budaya yang juga harus dihargai dan dihormati. Dengan kebijakan seperti ini, pemerintah kota bermaksud untuk mengabsahkan diversitas dan inklusifitas dengan tujuan untuk menerima sebuah kebudayaan sebagai entitas yang setara. Konseling yang berdampak lebih luas juga dapat dipraktikkan seperti yang diintrodusir oleh Ibrahin (1991: 17) dalam Wong dan Wong (2006: 30) bagaimana pentingnya konseling yang juga melibatkan masyarakat luas diluar subjek kultur yang harus ditangani oleh pemerintah kota agar masyarakat semakin menyadari tentang pandangan lain tentang komunitas etnik-religik Yahudi yang berkembang di tengah- tengah mereka. Pemerintah kota perlu untuk mengeksekusi pendekatan multikultural sebagai alat
7
untuk menghadapi ketergantungan etnisitas, budaya, ssejarah sosial- politik dari pihakpihak yang terlibat. Pandangan mutlikultural bagi pemerintah kota akan memberikan perspektif untuk menggali lebih dalam tentang perbedaan pandangan individual sebagai hasil dari interaksi kelompok. Individu dalam komunitas Yahudi mendapatkan tempat yang penting karena melalui individu ini termuat titik berangkat yang esensial karena latar belakang etnis. Empat prakondisi yang harus dipenuhi oleh pemerintah kota Surabaya dalam merangkul komunitas yang hendak dimaksudkan agar terintegrasi dengan dan patuh pada otoritas pemerintah kota Surabaya. Tujuan dari keterlibatan komunitas Yahudi adalah untuk membentuk iklim konsultasi yang lebih ramah budaya dan menerima keberagaman sebagai penyelesaian masalah yang diinisiasi oleh pemerintah kota (Wong dan Wong, 2006). (1) Kondisi pertama yang harus dipenuhi adalah kebutuhan akan pengetahuan tentag latar belakang budaya – pemerintah kota Surabaya dituntut untuk lebih pro-aktif dalam membekali otoritasnya dengan pengetahuan budaya yang mumpuni sebagai mekanisme pertahanan otoritas tunggal untuk mengenal lebih baik karakteristik wilayah yang menjadi cakupan pemerintahan, dan menjadi otoritas yang serba mengetahui hampir seluruh hal yang terjadi di dalam suatu wilayah otoritas – untuk memperteguh kedudukan pemerintah kota bahwa hanya otoritas ini lah yang sah untuk memaksa dan mnejamin terlaksananya regulasi diantara semua warga masyarakat. Kerangka pemikiran dalam kebijakan multikulturalisme menganjurkan pemerintah kota untuk mengetahui lebih banyak tentang kultur klien. Merujuk pada Brown (1997), Ingraham (2000), Jackson dan Hayes (1993), Ramirez et al., (1998), Westermeyer dan Hausman (1974). Pengayaan kultur oleh pemerintah kota Surabaya dengan mengakrabkan diri dengan sejarah komunitas Yahudi di Surabaya akan banyak membantu pemerintah dalam menghadapi klien (komunitas Yahudi yang takut akan orang asing) – jika pemerintah memahami kultur yang berkembang dalam komunitas Yahudi maka pemerintah kota akan memiliki keleluasaan lebih, empati, dan kedekatan emosional yang perlahan dibangun sebagai usaha untuk mnejlain hubungan antara the ruler dan the ruled. Eksposur oleh pemerintah kota mengenai Yahudi membuat komunitas Yahudi lebih merasa tenang, tidak merasa cemas dan was-was karena pemerintah kota telah mencoba merengkuh komunitas Yahudi sehingga mereka merasa tidak ada yang perlu dikhawatirkan karena otoritas pemerintah kota adalah institusi yang terbuka dan sekaligus pelindung hukum yang bertanggung jawab. Kultur yang perlu dipahami oleh pemerintah kota ialah bagaimana sistem kekerabatan Yahudi berkembang, karena ini mencakup asal mula menetapnya mereka di Surabaya, migrasi keluarga, ikatan kekeluargaan yang terjalin untuk memastikan bahwa mereka memiliki rasa aman untuk bergerak dan berpindah, mereka memiliki hak yang sama untuk hidup, untuk mendapatkan rasa aman dan damai ketika pemerintah kota mencoba mempertahankan otoritasnya, maka pemerintah mengimbanginnya dengan menawarkan opsi-opsi perlindungan sebagai hasil dari pematangan pengetahuan akan kultur komunitas Yahudi. Persepsi tentang pendidikan juga penting untuk diketahui tentang sistem berpikir komunitas dan bagaimana cara komunitas ini bertahan hidup diwilayah
8
otoritas pemerintah kota Surabaya, bagaimana komunitas ini juga menikmati kebijakan-kebijakan pemerintah kota dibidang pendidikan – apakah perlakuannya sama, ataukah mendapatkan diskriminasi. Sementara itu dalam Lynch (2004) menyebutkan kultur yang harus dipahami dan menjadi pekerjaan pemerintah adalah intervensi dan polapola komunikasi. Pola intervensi sebagaimana yang dipahami oleh komunitas adalah kultur yang memainkan peran penting dalam pendekatan pemerintah kota dengan komunitas Yahudi di Surabaya. Bagaimana komunitas memaknai intervensi sebagai upaya untuk meningkatkan rasa aman, terbuka untuk merekah, dan bukan sebagai upaya yang justru membahayakan keselamatan komunitas. Karena semakin komunitas menutup diri dengan otoritas yang ada, maka potensi keamanan komunitas juga riskan terhadap gangguan karena pemerintah kota merasa tidak ada yang perlu dibenahi melalui intervensi otoritas pemerintah kota. Sedangkan pola-pola komunikasi juga utama mengingat komunitas Yahudi di Surabaya tinggal di tengah-tengah tetangga yang lebih banyak menganut agama islam, sehingga pola interaksi yang terjadi dpaat diketahui dengan bagaimana komunitas Yahudi menjalin hubungan dengan tetangga untuk memberikan ketenangan pada mereka bahwa komunitas tidak mendapat resistensi dari masyarakat sekitar, melainkan mendapatkan penerimaan yang baik dari masyarakat, tokoh masyarakat, bahwa sebenarnya komunitas ini juga tidak pasif dan menghindar, namun pernah membentuk hubungan yang baik dengan tetangga yang artinya terdapat usaha lebih pula dari komunitas untuk berbaur dengan masyarakat dan menganggap bahwa semakin banyak masyarakat yang mengetahui tentang keberadaan mereka, maka akan lebih banyak informasi yang tersebar, dengan begitu mereka sebenarnya telah menerapkan komunikasi aktif kepada pihak-pihak yang tinggal di sekitar komunitas. Selanjutnya tanggung jawab konsultan adalah berkomunikasi lintas kultur. Konsultan memiliki pengaruh dan wibawa untuk cukup cakap dalam menyesuaikan gaya berkomunikasi yang sensitif terhadap perbedaan inter-kultural (Harris, 1991; Miranda, 1993; Ramirez et al., 1998; Tarver, Behring, dan Gelinas, 1996; Jackson dan Hayes, 1993; Westermeyer dan Hausman, 1974). Otoritas pemerintah kota berperan dalam mendesain gaya berkomunikasi dalam ruang-ruang publik seperti pidato dan orasi, komunikasi nonverbal, kontak mata dari personal konsultan yang tergabung dalam tim cagar budaya maupun pihak yang berasal dari dinas kebudayaan dan pariwisata, ekspresi wajah yang tidak sarat prasangka, bahasa tubuh menjadi perhatian penting tentang hal-hal mikro yang mempengaruhi respon komunitas Yahudi yang ketakutan ini. Menurut Lateer dan Curtis (1991) karena bahasa yang dipakai untuk menyampaikan pesan-pesan otoritas dan norma politik adalah pilihan yang jika tidak diaplikasikan dengan tepat maka akan berbalik menjadi hambatan dalam berkomunikasi. Sedangkan hambatan dalam berkomunikasi adalah elemen yang harus dihindari untuk memperlancar proses pendekatan pemerintah kota dengan komunitas Yahudi yang skeptis dengan pihak-pihak luar. Prakondisi selanjutnya adalah tingkat kedekatan yang dibangun dari hubungan interpersonal antara konsultan dengan klien. Sedangkan menurut Brown (1997), Ingraham (2000), Lateer dan Curtis (1991), perbedaan budaya memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kualitas hubungan antara konsultan dengan klien, pendekatan multikulturalisme mempersyaratkan konsultan mengadakan suatu hubungan dalam nuansa konsultasi yang
9
menitikberatkan pada sensitivitas kultur (Brown, 1997; Ingraham, 2000; Lateer dan Curtis, 1991). Derajat sensitivtas kultur yang dimiliki oleh pemerintah kota Surabaya menentukan kualitas kedekatan pemerintah kota Surabaya dengan komunitas Yahudi untuk membangun sebuah kedekatan hubungan yang berkesinambungan. Sehingga pengadaan hubungan dalam konsultasi menekankan pada kepekaan pemerintah kota Surabaya terhadap “menjadi Yahudi” di Surabaya agar dapat meningkatkan kedekatan diantara dua pihak, karena kepekaan mnejadi kunci untuk menyerahkan – ketika pemerintah kota peduli terhadap kultur komunitas Yahudi yang mereka kembangkan, nuansa konsultasi akan dapat membentuk hubungan yang memiliki intimasi yang lebih tinggi, karena komunitas Yahudi menganggap bahwa pemerintah kota adalah institusi yang memperhatikan keberadaan mereka, menimbulkan perasaan untuk turut terintegrasi dan patuh di bawah otoritas pemerintah kota Surabaya. Dengan kata lain, sebenarnya pemerintah kota Surabaya hendak memaksakan otoritasnya namun dengan jalan yang lebih personal, menyentuh, meninggalkan kesan kekuasaan yang halus dan perhatian untuk sebuah tujuan yaitu ketegasan otoritas. Kombinasi seperti ini yang akan tercipta dalam mewarnai hubungan pemerintah kota Surabaya dengan komunitas Yahudi di Surabaya (Westermeyer dan Hausman, 1974). Prakondisi terakhir bagi Duncan (1995) dan Gibbs (1985) dalam menciptakan pendekatan multikulturalisme adalah perguliran isu-isu multikulturalisme yang ditunjukkan pada setiap proses tahapan konsultasi. Isu-isu tentang Yahudi yang banyak mendapat stereotipe negatif disikapi oleh pemerintah kota Surabaya dengan arif dan memperhatikan proporsionalitas pemberitaan untuk menjaga setiap tahapan konsultasi bahwa pemerintah berkomitmen penuh untuk berbaur dengan komunitas Yahudi di Surabaya. Pengendalian atas stereotipe harus diimbangi dengan pemahaman bahwa Yahudi sama halnya dengan elemen masyarakat lain, memiliki kelebihan dan kekurangan sebagai konsekuensisetiap kultur. Konsistensi pemerintah dalam menjaga standar-standar multikultur yang digunakan sebagai pendekatan akan memastikan bahwa pendekatan multikulturalisme akan berjalan sesuai dengan agenda otoritas pemerintah kota Surabaya, untuk mencapai sebuah tujuan yaitu mempertahankan bangunan cagar budaya. Penekanan pada prinsip ini adalah tuntutan ats kemampuan personal dari konsultan yang peka dengan gaya-gaya komunikasi tertentu yang sebenarnya mengandung tujuan tertentu dari otoritas pemerintah kota Surabaya. Sedangkan gaya-gaya komunikasi yang spesifik akan menumbuhkan kesadaran komunitas Yahudi di Surabaya yang berorientasi pada hubungan kerja yang kolaboratif (Duncan, 1995; Gibbs, 1985). Sehingga capaian yang diagendakan untuk melibatkan komunitas Yahudi di Surabaya adalah wujud kerja kolaborasi dalam menjaga bangunan cagar budaya sinagog. Model pembuatan keputusan untuk tidak mengeluarkan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) berdasarkan rekomendasi dari tim ahli cagar budaya sebagai tanggapan atas perobohan sinagog ini merupakan model pembuatan keputusan yang diperkenalkan oleh Graham Allison (1967). Model keputusan untuk menahan pengeluaran Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah model keputusan Graham Allison yang ketiga yakni keputusan ialah sebuah hasil dari politik birokrasional dari permainan tawar-menawar. Penahanan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) adalah sebuah keputusuan yang dipilih oleh pemerintah kota
10
Surabaya akibat adanya tekanan dari berbagai pihak yang menaruh perhatian pada permasalahan bangunan cagar budaya. Tekanan dan desakan itu berasal dari komunitas pemerhati cagar budaya seperti Serikat Poesaka Soerabaja (Surabaya Heritage Society) dan Tim 11 Von Faber Surabaya. Penutup Kesimpulan Ketakutan secara psikologis mantan penghuni bangunan sinagog oleh aksi antisemitisme yang disebabkan oleh pemikiran kelompok (groupthink) organisasi kemasyarakatan islam terhadap kelompok Yahudi yaitu stereotipe dan prasangka menyebabkan ruang gerak kelompok Yahudi penghuni sinagog terbatas. Sehingga demi alasan keamanan, kelompok Yahudi memilih untuk menghindari kontak dengan pihak luar termasuk pemerintah Kota Surabaya dan merobohkan bangunan sinagog untuk menghindari protes massa anti-Yahudi. Sentimensi terhadap kelompok Yahudi yang datang dari organisasi kemasyarakatan islam mempengaruhi kinerja Pemerintah Kota Surabaya dalam menetapkan sinagog sebagai bangunan cagar budaya. Kelambanan kerja selama empat tahun yang tidak membuahkan hasil disebabkan karena tidak adanya kajian dan penelitian tentang sinagog dan Yahudi di Surabaya. Minimnya penelitian membuat Pemerintah masih terpengaruh dengan prasangka sosial dan stereotipe terhadap kelompok Yahudi. Akibatnya pendekatan yang dilakukan terhadap penghuni sinagog tidak berdasarkan sensitivitas multikulturalisme – karena pengetahuan kultur yang juga terbatas. Daftar Pustaka Buku Avner, F. (2008) Antisemitism: A History And Psychoanalysis of Contemporary Hatred. Connecticut: Praeger Publishers. Blaine, B. ( 2007) Understanding the Psychology of Diversity. London: Sage Publications. Bungin, B. Ed. ( 2008) Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Rajawali Pers Chanes, J. (2004) Antisemitism. Oxford: ABC Clio Cottam, M., Uhler, B., Mastors, E. and Preston, T. (2004) Introduction to Political Psychology. New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates Publishers. Elster, J. (1993) Political Psychology. Cambridge: The Press Syndicate University of Cambridge.
11
Garaudy, R. (1995) Zionis Sebuah Gerakan Keagamaan dan Politik, terj. Moelia Radja Siregar. Jakarta: Gema Insani Press Harrison, L. (2001) Political Research. London: Routledge. Holsti, K.J. (1988) Politik Internasional: Kerangka untuk Analisis, Edisi Keempat Jilid 2, terj. M. Tahir Azhary. Jakarta: Penerbit Erlangga. Jackson, R. and Sorensen, G. ( 2005) Pengantar Studi Hubungan Internasional, terj. Deden Suryadipura. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Jost, J. T. and Sidanius, J. (2004) Political Psychology. New York: Psychology Press. Kuklinski, J. (2002) Thinking about Political Psychology. New York: Cambridge University Press. Lott, B. (2010) Multiculturalism and Diversity. Sussex: Blackwell Publishing. Maccoby, H. (2006) Antisemitism and Modernity. New York: Routledge. Ma'oz, M. ed. (2011) Muslim Attitudes to Jews and Israel. Sussex: Sussex Academic Express. McDermott, R. (2009) Political Psychology in International Relations. Michigan: University of Michigan Press. Muluk, H. (2012) Pengantar Psikologi Politik Edisi Kedua. Rajawali Pers: Jakarta. Prastowo, A. ed. (2011) Memahami Metode-metode Penelitian. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media. Reisigl, M. and Wodak, R. (2001) Discourse and Discrimination: Rhetorics of Racism and Antisemitism. New York: Routledge. Sears, D., Huddy, L. and Jervis, R. (2003) Oxford Handbook of Political Psychology. New York: Oxford University Press. Surbakti, R. (1992) Memahami Ilmu Politik. Jakarta: Grasindo. Wong, P. and Wong, L. eds. (2006) Handbook of Multicultural Perspectives on Stress and Coping. 2nd ed. New York: Springer Science Business Media. Haddler, J. Translations of Antisemitism: Jews, The Chinese, and Violence in Colonial And Post-Colonial Indonesia. Indonesia and the Malay World, 32 (94). pp.0.
12
Reid, A. 2010. Jewish-Conspiracy Theories in Southeast Asia. Indonesia and The Malay World, [Online] 38 (112). pp.373-385. Available at: http://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/13639811.2010.513848?journalCode=ci mw20#.UryrstIW00k [Accessed on 26 October 2013]. Samsuri, S., Teologi Humanis Yahudi Abangan: Pengalaman Herbert Feith. Jurnal Esensia, 3 (2). pp.99-121 Siegel, J. 2010. Kiblat and The Mediatic Jew. Indonesia, [Online] 69 (110). pp.9-40. Available at: http://cip.cornell.edu/DPubS?service=UI&version=1.0&verb=Display&handle=seap.i ndo/1106943308 [Accessed on 19 September 2013]. Armandhanu, D. “Kemlu: Indonesia Tidak Akui Israel”. Jumat, 13 Mei 2011. http://dunia.news.viva.co.id/news/read/220251-kemlu--indonesia-tidak-akui-israel Assegaf, F. 2013. Jejak Yahudi di Indonesia. Merdeka Online, [Internet] 29 may 2013. p0. Available at: http://m.merdeka.com/khas/jejak-yahudi-di-indonesia-lobi- zionis-diindonesia-1.html. [Accessed 8 September 2013]. Harsaputra, I. 2013. Surabaya's only Synagogue Torn Down. The Jakarta Post, [Internet] 16 September 2013. p16. Available at: http://www.thejakartaglobe.com/news/javas-lastsynagogue-torn-down/. [Accessed 10 October 2013]. Kershner, I. and Khodary, T. 2009. Israeli troops Launch Attack on Gaza. The New York Times, [Internet] 3 January 2009. p4. Available at: http://www.nytimes.com/2009/01/04/world/middleeast/04mideast.html?pagewanted= all&_r=0. [Accessed 3 May 2013]. Lenakoly, S. 2009. Serbu Peribadatan Yahudi, Ormas Islam Bakar Bendera Israel. Detik News, [Internet] 7 January 2009. p466. Available at: http://news.detik.com/surabaya/read/2009/01/07/111017/1064336/466/serbu- peribadatanyahudi-ormas-islam-bakar-bendera-israel. [Accessed 3 July 2013]. Onishi, N. 2010. In Silver of Indonesia, Public Embrace of Judaism. The New York Times, [Internet] 22 November 2010. p23. Available at: http://www.nytimes.com/2010/11/23/world/asia/23indo.html?nl=todaysheadlines&em c=a22&_r=0. [Accessed 30 September 2013]. Pasandaran, C. 2013. Java's Last Synagogue Torn Down. The Jakarta Globe, [Internet] 15 June 2013. p0. Available at: http://www.thejakartaglobe.com/news/javas-last-synagogue-torn-down/. [Accessed 3 July 2013].
13
Congressional Research Service 2009, Israel and Hamas: Conflict in Gaza (20082009), CRS Report for Congress, US Foreign Aid to the Palestinians Harris, S. 1993. Yahudi sebagai Simbol dalam Wacana Islam Indonesia Masa kini. Yogyakarta. 17 October 1993, DIAN Institute: Yogyakarta. Adams, W. J. et al, 2005. France. Microsoft Encarta Reference Library. [CD ROM]. USA: Microsoft Co. Microsoft Encarta Premium (2006) [Computer Software][15 September 2013] Anonymous. The Virtual Jewish World. [Online] (Updated 22 November 2013) Available at: http://www.jewishvirtuallibrary.org/jsource/vjw/indonesia.html [Accessed 3 December 2013]. Anonymous. World Jewish Congress. [Online] (Updated 6 December 2013) Available at: http://www.worldjewishcongress.org/es/communities/show?id=9 [Accessed 6 December 2013]. Anoymous. Wikimapia. [Online] (Updated 6 December 2013) Available at: http://wikimapia.org/5066764/Synagogue [Accessed 6 December 2013]. Champagne, J. and Aziz, T. Latitudes Magazine Bali. [Online] (Updated 10 January 2003) Available at: http://eamusic.dartmouth.edu/~larry/misc_writings/jew_indonesia/latitudes.html [Accessed 3 December 2013]. Herdiawan, J. Catatan dan Renungan Junanto Herdiawan. [Online] (Updated 14 December 2013) Available at: http://junantoherdiawan.com/2013/06/09/robohnya- sinagogyahudi-di-surabaya/ [Accessed 26 December 2013]. Kamah, I. BALTYRA. [Online] (Updated 25 December 2013) Available at: http://baltyra.com/2012/05/03/rivka/ [Accessed 13 December 2013]. Polansky, L. The Surabaya, Indonesia Jewish Community. [Online] [Updated 10 November 2013] Available at: http://eamusic.dartmouth.edu/~larry/misc_writings/jew_indonesia/surabaya.html [Accessed 3 December 2013] Shimoni, G. Kosher Food. [Online] (Updated 6 December 2013) Available at: http://kosherfood.about.com/od/s/g/sephardim.htm [Accessed 6 December 2013]. Peraturan Daerah Kota Surabaya Tahun 2005. (Nomor 5), Surabaya: Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Surabaya Undang-undang Cagar Budaya Tahun 2010. (Nomor 10), Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia.
14
Undang-undang Organisasi Kemasyarakatan Tahun 2013. (Nomor 17), Jakarta: Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur (Video Recording) 2009, Aksi MUI Palestine, Bagian Hubungan Masyarakat Majelis Ulama Indonesia Jawa Timur Kharismawati, A. 2008. Perkembangan Antisemitisme: dalam perspektif Hubungan Internasional. Skripsi. Universitas Airlangga Suciu, M. 2008. Sign of Anti-Semitism in Indonesia. Master Thesis. University of Sydney.
15