JURNAL PSIKOLOGI TABULARASA VOLUME 9, NO.1, APRIL 2014: 15-29_______________________________________________________________
Kepercayaan Politik Mahasiswa Santri terhadap Kiai dalam Perspektif Psikologi Perkembangan Taufiqurrahman Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang
Fathul Himam Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada
Abstract This Research with the phenomenological approach aimed to understand meaning of political trust of mahasiswa santri and knowing the psychological processes underlying, by describe meaning of relationship between mahasiswa santri and Kiai in the social system in pesantren as the basis of political relationships that occur in it. This study used in-depth interviews to collect data from 5 respondents. Collection of respondents used snow-ball technique. The validity of our results used the intersubjective validity. The results showed that students’ political trust against Kiai was the form of identification based on paternalistic interpersonal relationships. Paternalism bring political inklusivisme that is strengthened by the judge of competency consistency and performance of kiai as political leaders. Keywords: political trust, identification, interpersonal relationships, political inklusivisme Abstrak Penelitian dengan pendekatan fenomenologi ini bertujuan untuk memahami pemaknaan kepecayaan politik mahasiwa dan mengetahui proses-proses psikologis yang mendasarinya dengan melihat pemaknaan hubungan mahasiwa satri dengan kiai dalam sistem sosial yang ada di pesantren sebagai basis hubungan politik yang terjadi di dalamnya. Penelitian ini menggunakan wawancara yang mendalam untuk mengumpulkan data dari 5 responden. Pengumpulan responden dengan menggunakan teknik snow-ball. Validitas hasil penelitian dengan menggunakan intersubjective validity. Hasil penelitian memperlihatkan bahwa kepercayaan politik mahasiswa santri terhadap kiai merupakan bentuk identifikasi yang didasarkan pada relasi interpersonal yang paternalistik. Paternalisme melahirkan inklusivisme politik dalam kelompok yang dikuatkan oleh penilain terhadap konsistensi kompetensi dan performansi kiai sebagai pemimpin politik. Kata kunci: kepercayaan politik, identifikasi, relasi interpersonal, inklusivisme politik
Pengantar1 Peran
kiai
dalam
Bupati yang notabene adalah kiai, yakni sistem
Kabupaten
sosial
Bangkalan,
Pamekasan,
dan
masyarakat Madura tidak hanya sebagai
Sumenep. Satu Kabupaten lainnya, yakni
pemimpin
menjadi
Sampang menempati posisi sebagai Wakil
pemimpin politik. Keberadaan kiai sebagai
Bupati. Keberhasilan Kiai menduduki pucuk
tokoh politik dapat dilihat dengan nyata pada
pemerintahan
pimpinan pemerintahan empat kabupaten yang
kemenangan politik dalam pemilihan langsung
ada di Madura. Tiga Kabupaten dipimpin oleh
yang diselenggarakan di Kabupaten masing-
agama,
namun
juga
tersebut
merupakan
hasil
masing.
Korespondensi mengenai artikel ini dapat dilakukan dengan menghubungi: Taufiqurrahman, S.Psi., MA. Fakultas Psikologi Universitas Merdeka Malang. Jl. Terusan Raya Dieng 62-64, Malang, (0341) 578820. Email:
[email protected]
Fakta tersebut seolah menegaskan bahwa kiai tidak hanya berperan sebagai tokoh (pemimpin) agama, tetapi juga berperan 15
TAUFIQURRAHMAN
sebagai tokoh (pemimpin) politik. Keberadaan
santrinya.
kiai sebagai tokoh politik tidak lepas dari
kepercayaan (politik) terkait dengan konsep
modal sosial yang dimilikinya. Sebagai ulama
modal
dalam
cooperation.
konteks
sosio-kultural
masyarakat
Misztal
sosial,
menyatakan
civil
society
Syarif
bahwa
dan
social
(2007)
dalam
dan
penelitiannya memperlihatkan politik santri
kekuasaan informal yang besar (Mansurnoor,
masih beorientasi pada kepatuhan terhadap
1990). Bahkan, kiai bisa lebih berpengaruh
kiai yang mempertahankan pesona sebagai
dari pejabat pemerintah. Pejabat pemerintah,
sosok religious-charismatic melalui simbol-
terutama bagian bawah, hanya berfungsi
simbol kapatuhan yang dibingkai nilai moral
sebagai pejabat administrasi (de Jonge, 1989).
agama dalam mempertahankan kepatuhan
Madura
kiai
mempunyai
pengaruh
Modal sosial paling nyata yang dimiliki
satrinya.
Dalam
hal
Zakiah
Faturochman
merupakan pemimpin pesantren. Dalam sistem
kepercayaan yang kuat kaum santri, khususnya
pendidikan
di kalangan NU, terhadap kiainya seolah-olah
kiai
merupakan
legitimate authority. Kiai sebagai pemegang
juga
dan
kiai adalah keberadaan pesantren, dimana kia pesantren,
(2004)
ini
menyebutkan
sebagai bentuk kepercayaan buta.
otoritas yang sah di pesantren mendapat
Kepercayaan politik terhadap kiai yang
penegasan secara doktrinal dari kitab Ta’lim
lahir dari norma kepatuhan dengan sendirinya
Muta’alim.
menjadi tuntutan bagi semua santri, termasuk
Salah
satu
doktrin
tersebut,
misalnya kiai adalah penguasa ilmu yang harus
santri
dihormati dan dimuliakan santri-santrinya
perguruan
yang sedang menjadi hamba-hamba ilmu.
penelitian ini disebut sebagai mahasiswa
Bentuk penghormatan dan pemuliaan ini
santri. Seperti mahasiswa pada umumnya,
adalah mengikuti perintah dan permintaannya
mahasiswa santri rata-rata berusia 18-24 tahun.
(Dhofier, 1982). Kiai sebagai otoritas dalam
Dalam perspektif psikologi perkembangan usia
sistem
pesantren
tersebut dikategorikan sebagai tahapan remaja
merupakan jaringan kultural yang terbangun
akhir. Mönks, Knoers, dan Haditono (2001)
sejak lama dalam konteks kesejarahan Islam di
menyatakan awal masa remaja dimulai 12
Indonesia mengidentifikasi antara santri dan
tahun dan remaja akhir dimulai sekitar umur
kiai terdapat sebuah pola relasi emosional
18 tahun sampai 24 tahun.
sosial
dalam
budaya
layaknya tradisi feudal (Geertz, 1983). Pola
relasi
emosional
yang
tinggi
Sebagai dengan
menempuh
perkembangan,
satu
yang
fase
pendidikan dalam
dalam
di
konteks
proses
tahapan remaja seringkali
menempatkan kiai sebagai legitimate authority
disebut sebagai masa transisi dari masa anak-
dalam budaya pesantren tersebut merupakan
anak ke masa dewasa. Fase transisi ini ditandai
modal
untuk
hasrat untuk melepaskan pengaruh otoritas
dari
yang sebelumnya determinan dalam hidupnya.
sosial
mendapatkan 16
yang
dimiliki
kepercayaan
kiai politik
JURNAL PSIKOLOGI
KEPERCAYAAN POLITIK MAHASISWA SANTRI TERHADAP KIAI
Monks, dkk. (2001) menjelaskan bahwa
lingkungan mahasiwa santri di pesantren yang
remaja diliputi penuh dengan cita-cita akan
menuntut kepatuhan (sebagai norma) kepada
kehidupan yang bebas, mandiri lepas dari
otoritas (kiai). Kontradiksi tersebut menjadi
ikatan rumah dan lingkungannya.
dasar pemikiran dalam penelitian ini yang
Kecenderungan remaja untuk bersikap otonom
tersebut
tidak
lepas
dari
perkembangan pemikiran remaja yang dalam
ditujukan
untuk
mengetahui
bagaimana
pemaknaan kepercayaan politik mahasiswa santri terhadap kiai.
perspektif psikologi perkembangan kognitif diklasifikasikan oleh Piaget sebagai tahapan operasional formal. Tahapan ini ditunjukkan oleh kemampuan untuk berpikir abstrak yang ditandai dengan kemampuan individu untuk melakukan
penalaran
hipotetik-deduktif
(Papalia dkk, 2010). Mereka juga peka tentang politik dan sikap mereka terhadap aturanaturan perilaku juga berbeda dari yang ada pada anak-anak yang lebih muda usianya. Ketika seorang remaja berpendapat bahwa aturan tertentu yang telah digariskan tidak bisa dijalankan,
ia
cenderung
mengusulkan
Menjadi mahasiswa bagi sebagian besar remaja akhir dalam masyarakat modern adalah untuk
mendukung
kemampuan
berpikirnya. Dalam hal ini, Montgomery dan Cote (2003) menjelaskan bahwa perguruan tinggi
merupakan
kedewasaan. periode
jalur
Perkuliahan
penemuan
pertumbuhan
pribadi,
Rotterr (1980) dan Luhman (1988) mengartikan kepercayaan sebagai harapan seseorang terhadap orang lain dan sistem sosial.
Miller
dan
Rempel
(2004)
mendefinisikan kepercayaan sebagai sejumlah pengharapan kognitif dan emotif terhadap apa yang akan terjadi dimasa depan. Scanzoni (1979) mendeskripsikan kepercayaan sebagai bentuk harapan seseorang untuk menata dan menyerahkan aktivitas kepada orang lain dengan mengharapkan kepuasan. Mayer dkk (1995) menyebutkan faktor dari kepercayaan;
perubahan (Salkind, 2004).
pilihan
Kepercayaan Politik
penting
menuju
dapat
menjadi
intelektual terutama
dan dalam
keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, serta penalaran moral. Hasrat untuk bebas dan mandiri dalam kehidupannya yang disangga cara berpikir
kemampuan (ability), kebajikan (benevolence), dan integritas (integrity). Merujuk pada ulasan tentang konsep kepercayaan di atas, maka pada dasarnya kepercayaan politik tidak berbeda dengan kepercayaan pada umumnya. Kepercayaan politik dalam konseptualisasinya menfokuskan pada keterkaitan politik berserta variannya dengan kepercayaan. Seperti dalam penjelasan Miztal (2001) bahwa kepercayaan politik dapat diartikan sebagai kepercayaan individu terhadap komponen-komponen sistem politik yang berlaku saat ini.
hipotetik-deduktif, bertolak belakang dengan JURNAL PSIKOLOGI
17
TAUFIQURRAHMAN
Kepercayaan politik terjadi jika warga
dalam masyarakat melalui keanggotaannya
pembuat
dalam entitas sosial tertentu (paguyuban,
kebijakan dan/atau pemimpin politik mampu
kelompok arisan, asosiasi tertentu). Partha dan
menepati janji politiknya, efesien, adil, dan
Ismail (1999) mendefinisikan modal sosial
jujur (Blind, 2006). Citrin (1974) menyebut
sebagai hubungan-hubungan yang tercipta dan
kepercayaan politik sebagai bentuk evaluasi
norma-norma yang membentuk kualitas dan
kualitas etis dari pimpinan politik, bukan sitem
kuantitas hubungan sosial dalam masyarakat
politik. Zhang dan Wang (2010) menerangkan
dalam spektrum yang luas, yaitu sebagai
kepercayaan
pemerintah
perekat sosial (social glue) yang menjaga
ditentukan oleh kesesuaian kebijakan yang
kesatuan anggota kelompok secara bersama-
dihasilkan dengan harapan masyarakat secara
sama.
menilai
insitusi
pemerintahan,
politik
kepada
Schyn & Koop (2010) menjelaskan
umum. Miztal (2001 menjelaskan keperayaan
politik sangat terkait dengan modal sosial,
sosial,
karena memang dunia politik tidak bisa
masyarakat sipil, dan kerjasama sosial. Putnam
dipisahkan dari dunia sosial. Modal sosial
(1993) mendefinisikan modal sosial sebagai
dengan sendirinya
suatu nilai mutual trust (kepercayaan) antara
menjadi modal politik.
anggota masyarakat dan masyarakat terhadap
(1993) menjelaskan bahwa modal politik
pemimpinnya.
merupakan
adalah pemberian kekuasaan/sumber daya
institusi sosial yang melibatkan jaringan
untuk merealisasikan hal-hal yang dapat
terkait
dengan
konsep
Modal
sosial
norma-norma
(networks), kepercayaan
sosial
modal
(social
(norms),
dan
trust)
yang
mendorong kolaborasi sosial (koordinasi dan Prusak dan Cohen (2001) menjelasakan modal sosial sebagai setiap hubungan yang terjadi dan diikat oleh suatu kepercayaan kesaling
pengertian
understanding),
dan
(shared
yang
value)
nilai-nilai mengikat
bertransformasi Hick dan Misra
mewujudkan kepentingan. Kiai dan Politik Keterlibatan kiai dalam praktik politik
kooperasi) untuk kepentingan bersama.
(trust),
dapat
(mutual bersama anggota
kelompok untuk membuat kemungkinan aksi bersama dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Bourdieu (1986) menegaskan tentang modal sosial mengacu pada keuntungan dan
bukanlah
tema
baru
dalam
konfigurasi
kehidupan bernegara di Indonesia. Pada zaman penjajahan Belanda banyak kiai yang berperan sebagai pemimpin gerakan anti penjajahan
(Kurasawa,
1993).
Peristiwa
penentangan sosial-politik terhadap penguasa kolonial, menurut laporan pemerintah Belanda sendiri, dipelopori oleh para kiai sebagai pemuka agama, para haji dan guru-guru ngaji (Kartodirdjo, 1981).
kesempatan yang didapatkan seseorang di 18
JURNAL PSIKOLOGI
KEPERCAYAAN POLITIK MAHASISWA SANTRI TERHADAP KIAI
Fadhillah (2007) menyebutkan bentuk
modal sosial bagi kiai. Boudieu (1986)
dan orientasi aktifitas politik kiai dapat
menjelaskan modal hubungan sosial yang
dibedakan menjadi tiga kategori: pertama, tipe
jika
budaya
dukungan-dukungan
politik
kiai
pesantren
parokial
diperlukan
akan
memberikan
yang
bermanfaat.
(apathies). Kedua, budaya politik kiai sebagai
Raffo dan Revees (2000) juga menjelaskan
patisipan pasif. Ketiga, budaya politik kiai
bahwa modal sosial terkait erat dengan
partisipan, yaitu kiai pesantren yang berperan
komunitarianisme,
aktif dalam berbagai kegiatan politik.
romantisnya
Dalam area penelitian ini, kiai tidak hanya sebagai ulama yang mengajarkan
dengan
tentang
ikatan
pandangan lokal
dan
solidaritas berbasis tradisi. Syarif
(2007)
melakukan
penelitian
Madura
dengan pendekatan fenomenologi tentang
mempunyai pengaruh dan kekuasaan informal
dinamika politik kiai dan santri dalam pilkada
yang besar (Mansurnoor, 1990). Kiai bisa
Pamekasan menemukan; pertama, formula
lebih berpengaruh dari pejabat pemerintah.
politik
Pejabat pemerintah, terutama bagian bawah,
mempertahankan otoritas kepemimpianannya
hanya berfungsi sebagai pejabat administrasi
terhadap santri bertumpu pada dua kekuatan
(De Jonge, 1989).
yaitu; traditional dan charismatic domination.
agama.
Dalam
masyarakat
kiai
yang
digunakan
dalam
Dalam lingkungan pesantren, selain
Dari perilaku politik santri tersebut ditemukan
sebagai ulama yang mengajarkan agama
tiga tipologi politik santri yaitu : santri patuh
kepada
mutlak,
santri,
sekaligus
kiai
merupakan
pemimpin.
Sehingga
pemilik santri
santri
patuh
semu,
dan
santri
prismatic.
mengidentifikasi kiai sebagai figur yang penuh kharisma dan wakil atau pengganti orang tua (Mufid, 1993). Kiai adalah model (uswah) dari sikap dan tingkah laku santri. Proses
sosialisasi
berlangsung
di
dan
pesantren
interaksi
yang
memungkinkan
santri melakukan imitasi terhadap sikap dan tingkah-laku
kiai.
Santri
juga
dapat
mengidentifikasi kiai sebagai figur ideal sebagai penyambung silsilah keilmuan para ulama pewaris ilmu masa kejayaan Islam di masa lalu (Wahid, 1988). Peran kiai sebagai tokoh agama dan pempimpin pesantren merupakan bentuk JURNAL PSIKOLOGI
Mahasiswa Santri Perspektif Psikologi Perkembangan Seperti
mahasiswa
pada
umumnya,
mahasiswa santri rata-rata berusia 18-24 tahun. Dalam perspektif psikologi perkembangan usia tersebut dikategorikan sebagai tahapan remaja akhir. Monks dkk (2001) menyatakan awal masa remaja dimulai 12 tahun dan remaja akhir dimulai sekitar umur 18 tahun sampai 24 tahun. Santrock (2003) menyebutkan remaja dimulai dari usia sekitar 10-13 tahun yang disebut remaja awal dan berakhir usia 18-22 tahun yang disebut remaja akhir.
19
TAUFIQURRAHMAN
Menurut Mönks dkk (2001) remaja
Secara keseluruhan perspektif teoritik
secara mental tidak suka lagi asal menurut atau
yang diuraikan sebelumnya dapat dijadikan
patuh pada orang tua. Remaja dimasa ini
kerangka konsep dalam membangun rumusan
diliputi penuh dengan cita-cita akan kehidupan
permasalahan penelitian ini yang dirumuskan
yang bebas, mandiri lepas dari ikatan rumah
dalam grand tour question yaitu bagaimana
dan lingkungannya. Steinberg dan Silverberg
makna
(1986) ada
empat proses perkembangan
mahasiswa santri kepada kiai?
kemandirian
remaja,
yaitu:
de-idealized,
pengalaman
Untuk
kepercayaan
memperdalam
politik
grand
tour
authority figure as people, non-dependency,
question tersebut maka dijabarkan sub-
dan Individuated.
pertanyaan sebagai berikut: 1) bagaimana
Piaget mengkategorikan tahap remaja
dinamika
psikologis
(pemaknaan)
relasi
sebagai tahapan operasional formal yang
kepatuhan santri dengan kiai sebagai basis etis
ditandai
dari kepercayaan politik santri terhadap kiai?;
oleh
mempertimbangkan
kemampuan berbagai
untuk
kemungkinan
2)
dinamika
bagaimana
individu
psikologis
pemecahan masalah atas suatu masalah.
pengalaman
sebagai
Mereka juga peka tentang politik dan sikap
kepercayaan politik kepada kiai dalam
mereka terhadap aturan-aturan perilaku juga
menyalurkan
berbeda dari yang ada pada anak-anak yang
(aspirasi) politiknya?
(berpartisipasi)
pemberi hak-hak
lebih muda usianya. Ketika seorang remaja berpendapat bahwa aturan tertentu yang telah digariskan tidak bisa dijalankan, ia cenderung mengusulkan perubahan (Salkind, 2004). Bagi remaja, perkuliahan dapat menjadi periode
penemuan
pertumbuhan
pribadi,
intelektual terutama
dan dalam
keterampilan verbal dan kuantitatif, berpikir kritis, serta penalaran moral (Montgomery & Cote, 2003). Pengalaman perguruan tinggi dapat mengarah ke perubahan fundamental dalam cara berpikir mahasiswa (Fischer dan Pruyne, 2003). Mahasiswa memiliki cara berpikir mereka bergerak maju dari kekakuan ke fleksibelitas dan akhirnya ke berbagai komitmen yang dipilih secara bebas (Perry, 1970) 20
Metode Penelitian
ini
menggunakan
pendekatan fenomenologi yang disebut Giorgi (1970) sebagai phenomenological psychology yang bertujuan untuk menghasilkan deskripsi yang akurat dari pengalaman hidup manusia. Pendekatan ini sangat mengedepankan apa yang dialami langsung dari seseorang (firsthand experience). Mengikuti metode filsafat fenomelogi
yang
dirumuskan
Husserl,
Moustakas memberikan pejelasan tentang beberapa
proses
inti
dalam
penelitian
fenomenologi : epoche, phenomenological reduction, imaginative variation, dan synthesis of meanings and essences (Moustakas, 1994).
JURNAL PSIKOLOGI
KEPERCAYAAN POLITIK MAHASISWA SANTRI TERHADAP KIAI
untuk
Responden Penelitian
membangun
sebuah
Individual
Responden dipilih dengan menggunakan
Structural Description tentang pengalaman
prosedur purposive sampling dan diperoleh
yang dijelaskan dengan Imaginative Variation,
dengan cara snow-ball, yaitu melalui referensi
mebangun
sebuah
dari seorang relasi/teman atau responden ke
Description
tentang
arti
dan
esensi
responden yang lain, dan seterusnya. Jumlah
pengalaman
sehingga
dihasilkan
sebuah
responden yang berkisar antara 3 (tiga) sampai
Composite
Description
yang
10 (sepuluh) ini dirasa sudah cukup karena
kelompok secara keseluruhan.
Textural-Structural
mewakili
telah memenuhi persyaratan metodologi untuk Teknik Verifikasi
penelitian fenomenologi (Dukes, 1984). Sesuai dengan tema penelitian ini, responden
dalam
penelitian
ini
adalah
mahasiswa yang studi di beberapa perguruan tinggi dan tinggal di pondok pesantren (santri) dalam wilayah Kabupaten Pamekasan, yang dalam
penelitian
ini
disebut
sebagai
Validasi melakukan
akhir
dilakukan
intersubjective
validity
dengan yaitu
pengujian kembali (testing out) pemahaman peneliti dengan pemahaman responden melalui interaksi sosial yang timbal balik (back - and forth) (Creswell, 1993).
mahasiswa santri. Hasil Instrumen Pengumpulan Data
Temuan penelitian ini menunjukkan peneliti
kepercayaan politik mahasiswa santri terhadap
menggunakan metode wawancara mendalam
kiai merupakan bentuk identifikasi terhadap
(in-depth
(1994)
kiai. Identifikasi disini merujuk pada konsep
dapat
konformitas dalam psikologi sosial dimana
dilakukan dalam tiga bentuk yaitu wawancara
identifikasi dikonsepsikan sebagai puncak
informal, pertanyaan terbuka, dan wawancara
kompromi dan kepatuhan mahasiswa santri
yang berpedoman pada pertanyaan peneliti.
yang memposisikan diri sebagai anggota
Dalam
penelitian
interview).
mengemukakan
ini,
Moustakas
bahwa
wawancara
kelompok terhadap kiai yang ditempatkan Prosedur Analisis Data
sebagai pimpinan kelompok.
Moustakas (1994) menyajikan salah satu model
analisis
data
fenomenologi
yaitu
modifikasi dari Van Kaam yakni; pendaftaran dan pengelompokkan Awal (Horizonalizing), melakukan
reduksi
dan
eliminasi
untuk
Secara terperinci komponen pembentuk (invariant constituent) fenomena identifikasi dapat dideskripsikan secara tekstural (tekstural description)
yang
juga
disertai
dengan
penjelasan (deskripsi) struktural berikut ini.
menentukan komponen pembentuk (Invariant Constituents), membangun sebuah Individual Textural
Description
JURNAL PSIKOLOGI
tentang pengalaman 21
TAUFIQURRAHMAN
Responden Memiliki Latar Belakang Keluarga
ustadz memiliki posisi yang berbeda dalam
Santri
penilaian responden. Ustadz bagi responden
Semua responden menyatakan dirinya
pada dasarnya juga santri yang lebih senior
sebagai keluarga santri, dimana ada anggota
dan lebih pintar daripada santri lainnya dan
keluarga yang juga pernah dan sedang
juga masih belajar ilmu agama (kitab) kepada
mengenyam pendidikan pesantren. Keluarga
kiai.
merupakan lingkungan sosial pertama dan
Deskripsi
tersebut
dapat
dijelaskan
utama bagi responden untuk bersosialisasi.
sebagai deskripsi motivasi responden masuk
Keluarga sendiri berada di dalam sistem sosial
dan tinggal di pesantren dan dapat dilihat
yang
sebagai konteks yang melatari hubungan sosial
memiliki
nilai-nilai
budaya
yang
diwariskan dari generasi ke generasi.
antara
Pengataman yang dilakukan peneliti terhadap
keluarga
santri
di
Pamekasan
santri
dan kiai yang terjadi
di
lingkungan pesantren termasuk pola interaksi yang berlaku di dalamnya.
memperlihatkan santri-santri yang sedang menempuh pendidikan (mondok) di pesantren
Makna Relasi Interpersonal dengan Kiai Hubungan
berasal dari keluarga yang anggota keluarga lainnya, terutama orang tuanya juga pernah menempuh pendidikan di pesantren. Dengan demikian, belajar di pesantren merupakan nilai budaya pada sebagian orang tua dalam masyarakat
Madura
(Pamekasan)
yang
sosial
yang
dijalin
responden dengan kiai merupakan hubungan yang bertujuan untuk belajar agama sehingga dapat dimaknai sebagai relasi interpersonal. Dalam penelitian ini relasi interpersonal tersebut
dapat
dilihat
dari
pemaknaan
responden yang secara seragam menilai kiai
ditransmisikan kepada anak-anaknya.
adalah guru yang mengajarkan beragam ilmu Kebutuhan dan Tuntutan Belajar Agama di
keagamaan
Pesantren
keagamaan yang diselenggarakan di pesantren.
Selain
peran
kajian-kajian
kitab
responden
Selain sebagai guru, kiai dianggap responden
menyatakan masuk pesantren juga karena
sebagai pengganti orang tua selama tinggal di
keinginannya sendiri yang didasarkan pada
pesantren. Pemaknaan terhadap kiai tersebut
kebutuhan untuk belajar ilmu agama, serta
merupakan persepsi interpersonal yang secara
tuntutan (kewajiban) dari agama itu sendiri.
bersamaan
Kebutuhan
agama
konsep dirinya sebagai santri yang memiliki
dirasakan oleh responden terpenuhi melalui
kewajiban untuk selalu hormat dan taat kepada
kajian-kajian
kiai.
dan
keluarga,
melalui
tuntutan kitab
belajar
keagamaan
yang
diselenggarakan di pesantren yang diajarkan oleh kiai dan ustadz. Namun antara kiai dan
22
responden
juga
merumuskan
Dari rumusan pemaknaan interpersonal terhadap
kiai
dan
konsep
diri
tersebut
JURNAL PSIKOLOGI
KEPERCAYAAN POLITIK MAHASISWA SANTRI TERHADAP KIAI
menjelaskan
bagaimana
Dalam interaksi pembelajaran, tugas
responden
memerankan diri sebagai murid dan kiai
responden
diperankan
mendengarkan
sebagai
guru
dalam
konteks
sebagai
pembelajar
dan menyimak
hanya
apa yang
pembelajaran ilmu keagamaan di pesantren.
disampaikan oleh kiai dan tidak pernah
Walaupun dalam prakteknya tidak hanya kiai
bertanya pada kiai tentang apa yang tidak
yang mengajarkan ilmu kegamaan dalam
dipahami. Tiga ragam alasan yang mucul;
pengajian kitab, namun bagi responden kiai
pertama, tidak ada sesi (waktu) tanya jawab.
merupakan
Kedua,
otoritas
tunggal
dalam
ilmu
responden
merasa
apa
yang
keagamaan dengan predikatnya sebagai ulama.
disampaikan oleh kiai sudah jelas dan bisa
Sehingga
relasi
dipahami dengan baik. Ketiga, responden tidak
interpersonal responden dengan kiai adalah
memiliki keberanian untuk bertanya kepada
relasi murid dan guru, dalam hal ini kiai juga
kiai.
dapat
dijelaskan
makna
Pola interaksi yang dijalani responden
dapat disebut sebagai pemimpin dalam sistem
tersebut menandakan ekspresi sikap submisif
pembelajaran di pesantren. Kepemimpinan kiai di pesantren juga
yang ditunjukkannya dengan responden
sebagai
menyatakan
dapat dilihat dari peran kiai sebagai pengganti
bahwa
santri
orang tua bagi responden selama tinggal di
canggung dan tidak wajar serta kurang etis
pesantren. Sebagai penganti orang tua, kiai
melakukan
disebut responden sebagai pengasuh, dimana
Percakapan antara responden dengan kiai
dalam sistem oragnisai sosial di pesantren
terjadi hanya jika kiai yang berinisiatif atau
pengasuh secara strukural menempati posisi
menginginkannya.
paling tinggi. Sruktur sosial yang dilandasi
interaksi yang dijalani responden dengan kiai
oleh nilai moral untuk hormat dan taat kepada
juga tidak disertai oleh perilaku asertif yang
kiai sebagai pemimpin menunjukkan struktur
dinyatakan
sosial yang terbangun di pesantren bersifat
ketidakberaniannya untuk menanyakan kepada
paternalistik.
kiai tentang apa yang tidak dipahaminya pada
percakapan
merasa
dengan
Selain
sikap
kiai.
submisif,
responden
dengan
saat pengajian kitab. Dinamika Interaksi dengan Kiai
Dinamika interaksi yang terjadi tersebut
Intensitas pertemuan responden dengan kai hanya terjadi pada saat pengajian kitab dengan kiai sebagai pengajarnya dan tidak pernah
melakukan
percakapan
langsung
dengan kiai. Karena dalam interaksi sosial di pesantren hal itu tidak biasa terjadi.
menjadi
yang
menguatkan
sikap
paternalisme responden dalam menjalin relasi interpersonal
dengan
kiai
di
pesantren.
Paternalisme dalam struktur sosial di pesantren dengan sendirinya menjadi modal sosial bagi kiai. Modal sosial yang terbentuk melalui peran
JURNAL PSIKOLOGI
varian
kiai
yang
ditempatkan
sebagai 23
TAUFIQURRAHMAN
pemimpin yang disertai oleh nilai-nilai yang
kompentensi dan performansi kiai sebagai
mewajibkan untuk dihormati dan ditaati oleh
pemimpin politik. Kompetensi kiai sebagai
responden sebagai santri.
pemimpin
politik
terlihat
dari
atribusi
responden terhadap keterlibatan kiai dalam Pengalaman Dukungan Politik terhadap Kiai Dalam kehidupan politik, responden menyalurkan aspirasi politiknya kepada kiai. Pada waktu pemilihan umum kepala daerah (Pemilukada) Pamekasan ada tiga pasang calon Bupati dan Wakil Bupati yang maju untuk mengikuti pemilihan yang salah satuya berasal dari kalangan kiai. Sebagai santri, responden memberikan dukungan politiknya terhadap calon yang berasal dari kalangan kiai. Bentuk dukungan yang diberikan adalah dukungan
langsung dan
Dukungan
langsung
tidak langsung.
diberikan
responden
dengan menggunakan hak pilihnya dengan memilih calon yang berasal dari kalangan kiai. Dukungan tidak langsung yang diberikan oleh responden terhadap pencalonan kiai menjadi bupati adalah dengan berpartisipasi atau turut serta menggalang dukungan untuk kiai. Penggalangan dukungan yang dilakukan responden adalah mengajak keluarga dan teman-teman
dekatnya
dengan
mengajak
mereka mengikuti kampanye, berdiskusi dan melalui SMS.
politik
praktis.
merupakan bentuk evaluasi resonden terhadap kinerja kiai selama menjabat bupati. a) Kompetensi kiai sebagai pemimpin politik Predikat ulama yang disandang kiai merupakan
potensi
menjadikan
kiai
yang
memiliki
mampu kompetensi
sebagai pemimpin politik yang diyakini akan selalu berpegang teguh pada nilai-nilai agama.
Sehingga
kiai
dapat
menjadi
pemimpin politik yang dapat memberikan contoh perilaku yang baik bagi masyarakat. Selain keteladanan tersebut, sebagai ulama
menurut
responden
kiai
juga
memiliki kompetensi lainnya untuk menjadi pemimpin agama
Pertama,
politik.
yang
kepemimpinan responden
menjadi kiiai kiai
nilai-nilai
basis
karakter
dalam
pandangan
akan
membawa
kemaslahatan ummat. Kedua, pandangan tersebut didukung oleh rekam jejak kiai sebagai
pemuka
memberikan (terutama)
Politik
agama
ceramah
yang
sering
kegamaan
pada
dengan
masyarakat
kecil.
Ketiga, sebagai tokoh agama, kiai memiliki jaringan luas termasuk dengan kalangan
Kepercayaan politik responden yang diimplementasikan dalam bentuk dukungan politik yang diberikan kepada kiai juga tidak
24
performansi
masyarakat luas sehingga kiai dinilai dekat
Penilaian terhadap Kiai sebagai Pemimpin
lepas
Sedangkan
dari
penilaian
responden
terhadap
pemerintahan
sehingga
kiai
diyakini
mengetahui tata kelola pemerintahan dari jaringannya tersebut. Keempat, ditengah stigma politik kotor dalam praktek politik JURNAL PSIKOLOGI
KEPERCAYAAN POLITIK MAHASISWA SANTRI TERHADAP KIAI
selama ini, kiai mampu berpolitik yang
otomatis dalam kancah politik pun responden
beretika sesuai dengan nilai-nilai yang ada
mengkategorikan
dalam ajaran agama.
politik dalam kelompoknya sedangkan dari
b) Performansi kiai sebagai pemimpin politik Performansi kiai sebagai pemimpin
kiai
sebagai
pemimpin
kalangan yang bukan kiai dikategorikan sebagai bukan kelompok politiknya (political
dari
outgroup). Kategorisasi tersebut menghasilkan
pencapaian-pencapain yang telah dilakukan
sikap mengunggulkan kelompoknya (ingroup
kiai selama menjabat Bupati. Pertama, di
favoritism) yang berujung pada inklusivisme
bidang pemerintahan kiai dapat mengelola
dengan menganggap kiai sebagai pemimpin
pemerintahan dengan baik. Kedua, di
politik akan selalu lebih baik dari pemimpin
bidang pendidikan kiai memiliki perhatian
politik yang bukan dari kalangan kiai.
politik
dilihat
oleh
responden
terhadap
pengembangan
Ketiga,
pembangunan
mengalami
pendidikan. infrastruktur
peningkatan
selama
kiai
Reaksi Emosi terhadap Kemenangan Politik Tercapainya harapan politik dengan
menjabat. Keempat, selama kiai menjabat
kemenangan
politik
Bupati menurut responden ada usaha-usaha
keberhasilan
kiai
untuk
sebagai bupati menghasilkan emosi yang
meningkatkan
kesejahteraan
yang
meraih
ditandai jabatan
oleh politik
menyenangan bagi responden berupa rasa
masyarakat. performansi
senang, puas dan bangga. Reaksi emosi
tersebut menunjukkan kiai sebagai pemimpin
responden tersebut merupakan konsekuensi
politik
dari kepercayaan politik yang memiliki unsur
Deskripsi
penilaian
(Bupati)
menjalankan
bagi
responden
tugas-tugas
atau
telah
tanggung
harapan
di
dalamnya.
Responden
jawabya dengan baik. Penilaian ini selaras
memberikan
dengan penilaian terhadap kompetensi kiai
diimplementasikan dalam bentuk dukungan
sebagai pemimpin politik yang diuraikan
politik memiliki harapan agar kiai memenangi
sebelumnya.
pemilihan politik yang diselenggarakan.
Dengan
demikiaan,
bagi
kepercayaan
politik
yang yang
responden ada konsistensi antara kompetensi dan
performansi
politik.
kiai
Penilaian
sebagai
terhadap
pemimpin konsistensi
Diskusi Berdasarkan
hasil
intersubjective
penguat bagi responden dalam memberikan
kepercayaan politik mahasiswa santri terhadap
kepercayaan politiknya.
kiai dalam penelitian ini diketahui sebagai
Kategorisasi Kelompok dalam Politik
hasil identifikasi. Kelman (1958) menjelaskan
sebagai
yang menempatkan
pemimpin
JURNAL PSIKOLOGI
kelompoknya
secara
dan
kepemimpinan politik kiai tersebut menjadi
Responden
validity
wawancara
konsisten
kiai
identifikasi sebagai puncak dari kompromi dan
secara
kepatuhan terhadap pemimpin. Identifikasi 25
TAUFIQURRAHMAN
mahasiswa
santri
merupakan
pengaruh
sosial
melalui
dampak hubungan
pandangan romantisnya tentang ikatan lokal dan solidaritas bebasis tradisi. Fenomena
interpersonal dengan kiai di pesantren. Relasi
identifikasi
responden
interpersonal yang menempatkan kiai sebagai
terhadap kiai yang menjadi modal sosial dalam
pemimpin kelompok dan mahasiswa santri
kancah politik bagi kiai merupakan fenomena
menempatkan diri sebagai anggota kelompok.
yang
menjelaskan
dinamika
kepercayaan
dalam
politik responden terhadap kiai. Penjelasan
responden
tersebut menurut Dirks dan Ferrin (2002)
menempatkan dirinya pada posisi sub-ordinat
merupakan penjelasan dari relationship-based
dalam pola relasi yang dijalaninya dengan kiai,
perspective.
sedangkan
pada posisi
kepercayaan politik yang didasarkan oleh
superior. Mahasiwa santri yang berada pada
relasi interpersonal responden dengan kiai
posisi sub-ordinat diikat oleh norma yang
dalam
mewajibkannya untuk hormat dan taat kepada
politik berdasarkan relasi dalam kelompok ini
kiai.
psikologi
memiliki konsekuensi munculnya kategori
perkembangan Santrock (1996) menjelaskan
kelompok atau sosial dalam batas ingroup dan
bahwa struktur kekuasaan orang dewasa
outgroup. Pola katetegorisasi sosial tersebut
menempatkan remaja dalam posisi submisif,
menciptakan
yang membatasi pilihan mereka, mendorong
kelompok
timbulnya ketergantungan. Padavic dan Ernest
menyatakan kiai yang merupakan pimpinan
(1994) menyebutkan bahwa hormat dan taat
dari kelompoknya sebagai calon bupati yang
yang melandasi hubungan tersebut disebut
lebih baik daripada calon lain yang bukan
sebagai hubungan yang paternalistik.
berasal dari kalangan kiai (ingroup favoritism).
Sebagai struktur
anggota
sosial
di
kelompok
pesantren,
kiai ditempatkan
Dalam
perspektif
Kewajiban untuk hormat dan taat kepada
Perspektif
kelompok
ini
(ingroup).
sikap yang
melihat
Kepercayaan
inklusivitas ditunjukkan
dalam dengan
Selain relationship-based perspective,
identifikasi
Dirks dan Ferrin (2002) juga merumuskan
responden terhadap kiai dalam pemaknaan
character-based perspective untuk melihat
relasi
cenderung
pemaknaan kepercayaan politik responden
paternalistik merupakan bentuk modal sosial
kepada kiai. Dengan perspektif ini kepercayan
bagi kiai. Boudieu (1986) menjelaskan
politik responden dilihat melalui penilaian
modal hubungan sosial yang jika diperlukan
terhadap
akan memberikan dukungan-dukungan yang
performansi kiai sebagai pemimpin politik.
bermanfaat. Raffo dan Revees (2000) yang
Zhang
dan
Wang
(2010)
menyebutkan modal sosial terkait erat
kepercayaan
politik
kepada
dengan
ditentukan oleh kesesuaian kebijakan yang
kiai
26
merupakan
fenomena
interpersonalnya
yang
komunitarianisme,
dengan
konsistensi
kompetensi
dan
menjelaskan pemerintah
JURNAL PSIKOLOGI
KEPERCAYAAN POLITIK MAHASISWA SANTRI TERHADAP KIAI
dihasilkan dengan harapan masyarakat secara umum.
Perilaku sumbmisif dan tidak asertif mahasiswa santri dalam perspektif psikologi
Kecenderungan responden yang tidak (berpikir)
kritis
dalam
memberikan
kepercayaan politiknya karena sebagai remaja
perkembangan merupakan kosekuensi dari pengaruh kiai yang sangat kuat sebagai otoritas dalam struktur sosial di pesantren.
dalam konsep identitas yang dirumuskan
Hubungan yang paternalistik tersebut
Marcia (1980) bahwa responden sebagai
dengan sendirinya menjadi modal sosial bagi
mahasiswa santri memiliki status identitas:
kiai untuk mendapatkan kepercayaan politik
foreclosure (komitmen tanpa krisis).
dari mahasiwa santri yang termanivestasikan dalam bentuk dukungan politik. Kepercayaan
Kesimpulan Hasil
penelitian
ini
secara
spesifik
politik
dihasilkan
dari
identifikasi mahasiswa santri terhadap kiai
mendeskripsikan dinamika psikologis yang
memiliki
mengkonstitusi kepercayaan politik mahasiswa
kelompok dalam batas ingroup-outgroup yang
santri terhadap kiai. Kepercayaan politik
berimplikasi pada inklusivisme yang ditandai
mahasiswa santri terhadap kiai merupakan
dengan
bentuk identifikasi mahasiswa sanri terhadap
(ingroup
kiai.
ditempatkan sebagai pemimpin kelompok
konsekuensi
sikap
adanya
mengunggulkan
favoritism),
yakni
kategori
kelompok kiai
yang
Deskripsi dinamika identifikasi dalam
dalam struktur sosial di pesantren dianggap
pemaknaan relasi interpersonal mahasiswa
pemimpin politik yang lebih baik daripada
santri dengan kiai yang ditransformasikan
pemimpin politik yang bukan dari kalangan
menjadi
kiai.
kepercayaan
politik
dapat
Kepercayaan politik yang dihasilkan dari
disimpulkan sebagai berikut. Hubungan interpersonal yang dijalin mahasiwa
santri
paternalistik,
dengan
dimana
kiai
bersifat
mahasiswa
santri
menempatkan diri sebagai anggota kelompok memiliki kewajiban untuk hormat dan taat
identifikasi tersebut dikuatkan oleh penilaian responden terhadap konsistensi kompetensi dan
performansi
kiai
sebagai
pemimpin
politik. Identifikasi sebagai fenomena psikologis
yang
dalam kepercayaan politik mahasiswa santri
ditempatkan sebagai pemimpin kelompok
terhadap kiai dalam perspektif psikologi
yang berimbas pada pola interaksi yang
perkembangan menunjukkan mahasiswa santri
dijalani
sebagai remaja akhir memiliki status identitias:
(sebagai
nilai
etis)
responden
kepada
yang
kiai
cenderung
menunjukkan prilaku submisif dan tidak
foreclosure (komitmen tanpa krisis).
asertif.
JURNAL PSIKOLOGI
27
TAUFIQURRAHMAN
Kepustakaan Blind, Peri K. (2006). Building trust in government in the twenty-first century: Review of literature and emerging issues. Disampaikan pada 7th Global Forum on Reinventing Government Building Trust in Government, Vienna Austria, 26-29 June. Bourdieu, P. (1986). The forms of capital. In John G. Richardson. Handbook of Theoryand Research for the Sociology of Education. New York: Greenwood Press. Citrin, J. (1974). Comment: The political relevance of trust in government. The American Political Science Review, 68(3), 973-988. Creswell, J. W. (2003). Research design: Qualitative, quantitative, and mixed methods approach. Thousand Oaks, CA: Sage Publications. De Jonge, H. (1989). Madura dalam empat zaman: Pedagang, perkembangan ekonomi dan Islam. Jakarta: Gramedia. Dhofier, Z. (1982). Tradisi pesantren; Studi tentang pandangan hidup kiai. Jakarta: LP3ES. Dirks, K.T. & Ferrin, D. L. (2002) Trust in leadership: Meta-analytic finding and implication of research and practice. Journal of Applied Psychology, 71 (3), 500-507. Dukes, S. (1984). phenomenological methodology in the human science. Journal of Religion and Health, 23 (3), 197-203. Fadhillah, A. (2007). Budaya politik kiai pedesaan, studi kasus di kabupaten Lamongan, Al-Qolam, 24 (1), 37-54. Fischer, K. W. & Pruyne, E. (2003). Reflective thinking in adulthood. In J. Demick & C. Andreoletti (Eds.). Handbook of Adult Development. Newyork: Plenum Press.
28
Geertz, C. (1981). Abangan, santri, priyayi dalam masyarakat Jawa (A. Mahasin, Pengalih bhs.). Jakarta: Pustaka Jaya. Giorgi, A. (1970). Toward phenomenologically based research in Journal of psychology. Phenomenological Psycology, 1, 75-98. Hicks, A. M. & Misran, L. (1993). Political resources and the growth of welfare in affluent capitalist democracies, 19601982. The American Journal of Sociology 99, 668-710. Kartodirdjo, S. (1984). Pemberontakan petani Banten 1888 (Alih bahasa oleh Hasan Basari). Jakarta: Dunia Pustaka jaya. Kelman, H.C. (1958). Compliance, identification, and internalization: Three processes of attitude change. The Journal of Conflict Resolution, 2 (1), 5160. Kurasawa, (1993). Mobilitas dan kontrol sosial: Studi tentang perubahan sosial di pedesaan Jawa 1942-1945 (Alih Bahasa oleh Hermawan Sulistyo). Jakarta: PT Gramedia Widiasarana Indonesia. Luhman, N. (1988). Familiarity, confidence, trust: Problems & alternatives. In D. Gambetta, Trust: Making and Breaking Cooperative Relations. Cambridge, MA: Oxford University Press. Mansurnoor, I. A. (1990). Islam in an Indonesian word ulama of Madura. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Marcia, J. E. (1980). Identity in adolescence. In J. Kroger (Ed.), Handbook of adolescent psychology. New York: Wiley. Mayer, R. C., Davis, J. H. & Schoorman, F. D. (1995). An integrative model of organizational trust. Academy of Management Review, 20, 709–734. Miller, P. J. E. & Rempel, J. K. (2004). Trust and partner-enhancing attributions in close relationships. Personality and JURNAL PSIKOLOGI
KEPERCAYAAN POLITIK MAHASISWA SANTRI TERHADAP KIAI
Social Psychology Bulletin, 30(6), 695705.
development in social capital theory. Journal of Youth Studies, 3 (2), 147-166
Misztal, B. (2001). Trust & cooperation: The democratic public sphere. Journal of Sociology, 37(4), 371-386.
Rotter, J. B. (1980). Interpersonal trust, trustworthiness & gullibility. New York: Holt, Rinehart & Winston.
Mönks, F. J., Knoers, A. M. P. & Haditono, S. R. (2001). Psikologi perkembangan: Pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Salkind, N.J. (2004). An Introduction to theories of human development. New Delhi: Sage Publication.
Montgomery, M. J. & Cote, J. E. (2003). College as a transition to adulthood. In G. R. Adams and M. D. Berzonsky (eds.) Blackwell Handbook of Adolescence. Malden MA : Blackwell Publishing. Moustakas, C. (1994). Phenomenological research method. Thousand oaks, California: Sage Publications, Inc.
Santrock, J. B. (2003). Adolescence: Perkembangan masa remaja edisi keenam Alih Bahasa: Achmad Chusairi dan Juda Damanik. Jakarta: Erlangga. Scanzoni, J. (1979). Social exchange and behavioral interdependence. In R. L. Burgess & T.L. Huston, Social Exchange in Developing Relationships. New York: Academic Press.
Mufid, (1993). Pesantren dalam sistem pendidikan nasional. Jakarta: INIS.
Schyns, P. & Koop, C. (2010). Political distrust and social capital in Europe and the USA. Social Indicators Research, 96, 145–167
Padavic, I. & Ernest, W. R. (1994). Paternalism as a component of managerial strategy. Social Science Journal, 31 (4), 389-405.
Steinberg, L. & Silverberg, S. B. (1986). The vicissitudes of autonomy in early adolescence. Child Development, 57, 841–851.
Papalia, D., Old, S.W. & Feldman, R. D. (2010). Human development. New York: Mc Graww Hill.
Syarif, Z. (2007). Dinamika politik kiai dan santri dalam pilkada Pamekasan. Disertasi, tidak diterbitkan, IAIN Sunan Ampel, Surabaya.
Partha, D. & Ismail, S. (1999). Social capital a multifaceted perspective. Washington DC: The World Bank. Perry, W. G. (1970). Forms of intellectual and ethical development in the college years: a scheme. New York: Holt, Rinehart and Winston. Prusack, L. & Cohen, D. (2001). How to invest in social capital, Harvard Business Review, 79(6), 87-93. Putnam, R. D. (1993). The prosperous community: social capital and public life. The American Prospect, 4 (13), 1118.
Wahid, A. (1988). Pesantren sebagai subkultur. Dalam Dawam Rahardjo (Ed.), Pesantren dan Pembaharuan. Jakarta: LP3ES. Zakiah, L. & Faturrochman (2004). Kepercayaam santri pada kiai. Buletin Fakultas Psikologi UGM, 12 (1), 33-43. Zhang, Q. & Wang, E. (2010). Local political trust, the antecedents an effect on earthquake victim’s choice for allocation of resource. Social Behavior and Personality, 38(7), 929-940.
Raffo, C. & Revees, M. (2000). Youth transition and social exclusion: JURNAL PSIKOLOGI
29