PENILAIAN TINGKAT PELAPUKAN, PERKEMBANGAN, DAN KLASIFIKASI TANAH PADA FORMASI GEOLOGI KARANGSAMBUNG DAN KOMPLEK MELANGE LOK ULO DI KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH
Oleh: ANDHIKA NUGRAHENI A24104026
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
SUMMARY ANDHIKA NUGRAHENI. Evaluation of Weathering Stage, Soil Development, and Soil Classification at Karangsambung Formation and Melange Lok Ulo complex in Karangsambung, Kebumen, Central Java. Supervised by HIDAYAT WIRANEGARA and ISKANDAR. Geographically Indonesia is a country that is influenced by Hindia Australia, Eurasia, and Pacific plates interaction. One of the evidence of interaction can be seen in Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. According to Sukendar Asikin (1974), stratigraphy of Karangsambung is Melange Lok Ulo complex, Totogan-Karangsambung formation, Waturondo formation, and Panosogan formation. This research was aimed to study the relation between geologic formation/soil parent material as one of land component with weathering stage, soil development and its soil classification by Soil Taxonomy System. The research was done with soil morphology description of six soil profiles that located in Karangsambung formation (P1 developed on diabas and P6 develop on Shale) and Melange Lok Ulo complex (P2 developed on phylite, P3 developed on chert, P4 developed on marble, and P5 developed on basalt). Besides that, soil sampling, laboratory analysis, evaluation of weathering stage by mineralogical, chemical, and physical methods, and soil classification by Soil Taxonomy were also conducted. Based on the evaluation of weathering stage from mineralogical, chemical, and physical methods, it was obtained that the physical and chemical estimation method is relative analogously, whereas mineralogical method is not. The order of weathering stage sequencly is P4>P1>P5>P3>P2>P6. These soil profiles are categorized as developed profiles. The order of soil development stage was determined by horizon completeness and effective depth of soil. The soil development sequence is P4>P1>P3>P2>P6>P5. Using Soil Taxonomy (USDA, 2006), the soil formed at Karangsambung formation is classified as Typic Dystrudepts, whereas the soil formed at Melange Lok Ulo Complex as Fluventic Dystrudepts and Typic Dystrudepts. Based on this soil classification system, geologic formation has indirect correlation with soil’s name family category, likewise with weathering stage and soil development.
RINGKASAN ANDHIKA NUGRAHENI. Penilaian Tingkat Pelapukan, Perkembangan, dan Klasifikasi Tanah pada Formasi Geologi Karangsambung dan Komplek Melange Lok Ulo di Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Di bawah bimbingan HIDAYAT WIRANEGARA dan ISKANDAR. Secara geografis Indonesia merupakan negara yang dipengaruhi oleh hasil interaksi lempeng Hindia Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik. Salah satu bukti pertemuan lempeng tersebut dapat dilihat di daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Menurut Sukendar Asikin (1974) stratigrafi daerah Karangsambung meliputi Komplek Melange Lok Ulo, Formasi Totogan-Karangsambung, Formasi Waturondo, dan Formasi Panosogan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara formasi geologi/bahan induk sebagai salah satu komponen lahan dengan tingkat pelapukan dan perkembangan tanah serta klasifikasinya menurut Sistem Taksonomi Tanah. Penelitian dilakukan dengan pendiskripsian morfologi enam profil tanah yang terletak pada formasi Karangsambung (P1 di atas batuan diabas dan P6 di atas batuan batu lempung) dan Komplek Melange Lok Ulo (P2 di atas batuan filit, P3 di atas batuan rijang, P4 di atas batuan marmer dan P5 di atas batuan basalt). Selanjutnya dilakukan pengambilan sampel tanah, analisis laboratorium, penilaian tingkat pelapukan tanah secara mineralogi, secara fisik dan secara kimia, serta pengklasifikasian tanah berdasarkan Soil Taxonomy. Berdasarkan penilaian tingkat pelapukan dari segi mineralogi, kimia dan fisika diperoleh hasil bahwa penilaian dari segi mineralogi dan kimia relatif sejalan, sedangkan penilaian dari segi fisik tidak sejalan dengan kedua penilaian yang lain. Adapun urutan tingkat pelapukannya adalah sebagai berikut: P4>P1>P5>P3>P2>P6. Profil-profil ini termasuk profil yang telah berkembang. Urutan tingkat perkembangan profil dilihat dari kelengkapan horison dan kedalaman efektif tanah adalah sebagai berikut: P4>P1>P3>P2>P6>P5. Berdasarkan Soil Taxonomy USDA sampai tingkat subgroup pada formasi geologi Karangsambung ditemukan jenis tanah Typic Dystrudepts, sedangkan pada Komplek Melange Lok Ulo ditemukan dua jenis tanah yaitu Fluventic Dystrudepts dan Typic Dystrudepts. Berdasarkan sistem klasifikasi ini, maka formasi geologi tidak berhubungan langsung dengan nama jenis tanahnya sampai tingkat famili, begitu pula dengan tingkat pelapukan, dan tingkat perkembangannya.
PENILAIAN TINGKAT PELAPUKAN, PERKEMBANGAN, DAN KLASIFIKASI TANAH PADA FORMASI GEOLOGI KARANGSAMBUNG DAN KOMPLEK MELANGE LOK ULO DI KARANGSAMBUNG, KEBUMEN, JAWA TENGAH
Skripsi
sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Pertanian pada Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor
Oleh: ANDHIKA NUGRAHENI A24104026
PROGRAM STUDI ILMU TANAH FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2009
LEMBAR PENGESAHAN Judul Skripsi
: Penilaian Tingkat Pelapukan, Perkembangan, dan Klasifikasi
Tanah
pada
Formasi
Geologi
Karangsambung dan Komplek Melange Lok Ulo di Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah
Nama Mahasiswa
: Andhika Nugraheni
Nomor Pokok
: A24104026
Menyetujui, Dosen Pembimbing I
Dosen Pembimbing II
Ir. Hidayat Wiranegara
Dr. Ir. Iskandar
NIP. 130 536 666
NIP. 131 664 406
Mengetahui, Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Didy Sopandie, M.Agr. NIP. 131 124 019
Tanggal Lulus :
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Sukoharjo, 5 Januari 1987 dari pasangan Bapak H. Sukamto dan Ibu Hj. Sugiyanti. Penulis merupakan anak kedua dari tiga bersaudara. Penulis memulai pendidikan di SD Negeri 1 Jatingarang, Weru, Sukoharjo dan lulus pada tahun 1998. Penulis kemudian melanjutkan ke SLTP Negeri II Weru dan lulus tahun 2001. Pada tahun 2004, penulis lulus dari SMU Negeri 1 Tawangsari dan pada tahun yang sama penulis diterima di Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui jalur USMI. Selama menjadi mahasiswa, penulis pernah menjadi Sekretaris Himpunan Mahasiswa Ilmu Tanah (HMIT) periode 2006/2007, asisten mata kuliah Morfologi dan Klasifikasi Tanah semester 5 tahun ajaran 2006/2007 serta asisten Kartografi dan Sistem Informasi Geografis semester 8 tahun 2007/2008. Selain itu penulis juga pernah ikut berperan sebagai peserta Soil Judging Contest dalam Kongres Nasional IX Himpunan Ilmu Tanah Indonesia di Yogyakarta pada bulan Desember 2007.
KATA PENGANTAR Alhamdulillah penulis panjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan karunia-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada: 1. Ir. Hidayat Wiranegara selaku pembimbing akademik dan pembimbing kesatu dalam penulisan skripsi yang telah banyak memberikan masukan. 2. Dr. Ir. Iskandar selaku pembimbing kedua penulisan skripsi yang telah banyak memberikan masukan. 3. Dr. Ir. Darmawan, M.Sc selaku dosen penguji yang telah banyak memberikan masukan. 4. Kepala Balai Informasi dan Konservasi Kebumian Karangsambung - LIPI, Kebumen yang telah menyediakan fasilitas selama pengambilan sampel tanah. 5. Bapak Sodik, bapak Arif dan bapak Saefudin yang telah banyak membantu dalam pencarian lokasi pengambilan sampel tanah, pencarian literatur serta pengambilan data pendukung di Karangsambung, Kebumen. 6. Ayahanda, Ibunda, mas Agus Nugroho, Agustina Dwi Adianti dan keluarga Om Sriyanto di Bekasi yang telah banyak memberikan nasehat dan dukungan. 7. Andhi dan Ratna selaku teman se-tim penelitian. Terima kasih atas dukungan dan kerjasamanya. 8. Bu Oktori, Bu Yani, dan Pak Mantri yang telah banyak membantu selama penulis berada di laboratorium. Penulis berharap skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis dan semua pihak yang membutuhkan.
Bogor, Februari 2009
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman KATA PENGANTAR .......................................................................
i
DAFTAR ISI ......................................................................................
ii
DAFTAR TABEL ..............................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .........................................................................
v
BAB I. PENDAHULUAN ................................................................
1
1.1 Latar Belakang ....................................................................
1
1.2 Tujuan .................................................................................
2
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA.....................................................
3
2.1 Pengertian Tanah ................................................................
3
2.2 Pelapukan Tanah .................................................................
3
2.3 Proses Pembentukan Tanah ................................................
5
2.4 Perkembangan Tanah..........................................................
6
2.5 Klasifikasi Tanah ................................................................
8
BAB III. BAHAN DAN METODE .................................................
10
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian .............................................
10
3.2 Bahan dan Alat ...................................................................
10
3.3 Metode Penelitian ...............................................................
10
3.4 Penilaian Tingkat Pelapukan ..............................................
11
3.4.1 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Mineralogi ......
11
3.4.2 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Fisik ...............
11
3.4.2 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Kimia..............
12
3.5 Klasifikasi Tanah ................................................................
12
BAB IV. KEADAAN LOKASI PENELITIAN .............................
13
4.1 Lokasi Penelitian ................................................................
13
4.2 Topografi ............................................................................
13
4.3 Geologi ...............................................................................
13
4.4 Vegetasi dan Penggunaan Lahan ........................................
14
4.5 Iklim ....................................................................................
14
BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN ..........................................
17
5.1 Penilaian Tingkat Pelapukan ..............................................
17
5.2 Penilaian Tingkat Perkembangan Tanah ............................
18
5.3 Klasifikasi Tanah ................................................................
19
5.3.1 Profil P1, P5, dan P6.................................................
19
5.3.2 Profil P2, P3, dan P4.................................................
20
5.4 Kaitan Antara Tingkat Pelapukan, Tingkat Perkembangan, dan Hasil Klasifikasi Tanah dengan Formasi Geologi
21
BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN.........................................
24
6.1 Kesimpulan .........................................................................
24
6.2 Saran ...................................................................................
25
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................
26
LAMPIRAN ......................................................................................
27
DAFTAR TABEL No
Halaman Teks
1.
Lokasi Daerah Penelitian ..............................................................
13
2.
Sifat-Sifat yang Menentukan Tingkat Pelapukan .........................
17
3.
Hubungan antara Formasi Geologi dengan Nama Tanah .............
22
Lampiran 1.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P1 ....................................
28
2.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P2 ....................................
28
3.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P3 ....................................
29
4.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P4 ....................................
30
5.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P5 ....................................
31
6.
Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P6 ....................................
31
7.
Data Curah Hujan Daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah Tahun 2002-2007 ..........................................................................
32
8.
Sifat Fisika Profil Tanah di Lokasi Penelitian ..............................
33
9.
Sifat Kimia Profil Tanah di Lokasi Penelitian ..............................
34
10. Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir Total dari Profil Tanah di Lokasi Penelitian.......................................................................................
35
DAFTAR GAMBAR No
Halaman Teks
1. Peta Geologi Daerah Penelitian .......................................................
16
Lampiran 1. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian ................................
36
2. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian ................................
37
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Indonesia merupakan negara yang dipengaruhi oleh hasil interaksi lempeng
Hindia Australia, Eurasia dan lempeng Pasifik, sehingga Indonesia sangat kaya akan gunung berapi, jalur mineralisasi, serta berbagai bentuk fenomena fisik alam. Akibat adanya pertemuan lempeng-lempeng tersebut, Indonesia merupakan salah satu negara paling labil di dunia. Salah satu bukti pertemuan lempeng Samudra Hindia Australia dengan lempeng Benua Eurasia dapat dilihat di daerah Karangsambung, Kebumen, Jawa Tengah. Berbagai jenis batuan tua (batuan beku, sedimen dan metamorf) hasil tumbukan lempeng-lempeng tersebut dapat ditemukan di daerah Karangsambung. Menurut Sukendar Asikin (1974) dalam buku panduan geowisata Karangsambung, stratigrafi daerah Karangsambung meliputi Komplek Melange Lok Ulo, Formasi Totogan-Karangsambung, Formasi Waturondo, dan Formasi Panosogan. Salah satu komplek yang unik di daerah Karangsambung adalah Komplek Melange Lok Ulo, karena di daerah tersebut batuan pra tersier dan tersier awal tercampur aduk secara tektonik, sehingga di daerah tersebut dapat ditemukan batuan beku, sedimen, dan batuan metamorf yang letaknya berdekatan. Suatu formasi geologi selalu menjelaskan waktu atau umur dan jenis batuan atau bahan induk. Meskipun demikian, tanah yang terbentuk di atas suatu formasi geologi belum tentu berasal dari batuan atau bahan induk yang terdapat pada formasi geologi tersebut. Hal ini dijelaskan oleh adanya proses geologi yang relatif baru, seperti terjadinya penutupan formasi geologi tersebut oleh bahanbahan yang lebih muda. Akibatnya memungkinkan dijumpai tanah yang mempunyai susunan mineral berbeda dengan susunan mineral yang terdapat dalam formasi geologi di bawahnya. Batuan sebagai bahan dasar pembentukan tanah mengalami pelapukan baik pelapukan fisik, kimia maupun biologis yang akan menghasilkan bahan induk tanah. Bahan induk tanah ini akan mengalami pelapukan lagi menjadi tanah. Batuan yang menjadi bahan induk tanah memiliki karakteristik yang khas yang
membedakan batuan yang satu dengan batuan yang lainnya. Perbedaan karakteristik batuan akan menyebabkan jenis-jenis tanah dengan daya dukung yang berbeda-beda terhadap tanaman. Berdasarkan proses pembentukannya batuan dapat dibedakan menjadi tiga jenis yaitu batuan beku, batuan sedimen dan batuan metamorf. Ketiga kelompok batuan ini di permukaan bumi akan berinteraksi dengan faktor-faktor lingkungan yang lain misalnya iklim dan organisme, sehingga mengalami perubahan bentuk melalui pelapukan. Dengan proses pelapukan maka permukaan batuan yang keras menjadi hancur dan berubah menjadi tanah. Proses perkembangan tanah akan menghasilkan horison-horison genetik pada tubuh tanah yang bersangkutan. Pada tanah-tanah yang telah berkembang akan ditemukan horison-horison A, B, C sedangkan tanah yang belum berkembang kemungkinan akan ditemukan horison A dan C saja. Pembentukan tanah dipengaruhi oleh lima faktor yaitu bahan induk, iklim, topografi, organisme dan waktu. Lima faktor pembentuk tanah dalam prosesnya saling berpengaruh melalui berbagai reaksi dan taraf intensitasnya, yang akhirnya membentuk tanah tertentu. Pada genesis tanah salah satu faktor dapat mempunyai peranan yang lebih menonjol. Tanah-tanah yang telah terbentuk dapat diklasifikasikan. Sistem pengklasifikasian tanah yang dipakai di Indonesia ada tiga yaitu sistem PPT, FAO UNESCO, dan Sistem Taksonomi Tanah. Namun dalam penelitian ini sistem pengkalsifikasian tanahnya lebih ditekankan pada sistem Taksonomi Tanah karena sistem ini bersifat kuantitatif dan universal.
1.2
Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan antara formasi
geologi/bahan induk tanah sebagai salah satu komponen lahan dengan tingkat pelapukan dan perkembangan tanah serta klasifikasinya menurut Sistem Taksonomi Tanah (2006).
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1
Pengertian Tanah Tanah merupakan suatu benda alam yang tersusun dari padatan (bahan
mineral dan bahan organik), cairan dan gas, yang menempati permukaan daratan, menempati ruang, dan dicirikan oleh salah satu atau kedua berikut: horisonhorison, atau lapisan-lapisan. Horison atau lapisan ini dapat dibedakan dari bahan asalnya sebagai suatu hasil dari proses penambahan, kehilangan, pemindahan, dan transformasi energi dan materi, atau berkemampuan mendukung tanaman berakar di dalam suatu lingkungan alami (Soil Survey Staff, 2006). Sedangkan menurut Jenny (1941 dalam Soepardi, 1983), tanah merupakan fungsi dari iklim, organisme, bahan induk, topografi dan waktu.
2.2
Pelapukan Tanah Pelapukan merupakan suatu proses perubahan batuan/mineral secara fisik
dan kimia. Batuan yang melapuk akan menghasilkan tanah. Proses pelapukan tersebut merupakan disintegrasi dan dekomposisi dari batuan secara fisik dan kimia, yang disebabkan oleh kandungan mineral yang tidak berada pada kondisi yang
seimbang
di
bawah
pengaruh
suhu,
tekanan,
dan
kelembaban
atmosfer/litosfer (Buol, Hole and Mc Cracken, 1973). Menurut Tan (1993) pelapukan adalah disintegrasi dan alterasi batuan dan mineral oleh proses fisik dan kimia. Pelapukan fisik disebabkan oleh tekanan fisik pada batuan dan mineral. Hal ini menyebabkan batuan mengalami disintegrasi menjadi material yang berukuran lebih kecil, tanpa mengalami perubahan komposisi kimia. Pelapukan kimia disebabkan oleh reaksi kimia dan hasil pelapukan mengalami perubahan kimia. Menurut Rachim dan Suwardi (1999), pelapukan tanah adalah perubahan kimia dan fisik batuan dan mineral atau bahan organik segar di atau dekat permukaan bumi atau proses perubahan batuan dan mineral atau bahan organik kepada bentuk-bentuk yang lebih stabil di bawah variasi kelembaban, temperatur, dan aktivitas biologi di permukaan bumi.
Mineral adalah bahan alam homogen dari senyawa anorganik asli, mempunyai susunan kimia tetap dan susunan molekul tertentu dalam bentuk geometrik. Dipandang dari sudut ilmu tanah, mineral penyusun batuan dapat dibagi atas tiga golongan: (1) mineral primer, (2) mineral sekunder, dan (3) mineral aksesori yang terdapat pada hampir semua batuan dan jumlahnya sedikit (Darmawijaya,1990). Mineral primer adalah mineral yang langsung terbentuk dari pengkristalan senyawa-senyawa dalam magma akibat penurunan suhu. Sedangkan mineral sekunder adalah mineral berukuran halus (2µm), terbentuk pada waktu proses pembentukan tanah, merupakan hasil pelapukan kimiawi dari mineral primer ataupun hasil pembentukan baru dalam proses pembentukan tanah sehingga mempunyai susunan kimia dan struktur yang berbeda dengan mineral yang dilapuk (Agus, Fahmuddin, et al; 2004). Goldich (1938 dalam Buol, et al; 1973) mengemukakan deret stabilitas mineral terhadap pelapukan sebagai berikut:
Olivin Ca-Feldspar
Piroksen
Na-Feldspar
Amphibol
K-Feldspar Biotit
Muskovit
Kuarsa
Berdasarkan deret stabilitas mineral tersebut dapat dibedakan mineral yang mudah lapuk dan sukar lapuk. Mineral mudah lapuk yaitu mineral yang mudah melepaskan unsur-unsur penyusunnya karena proses pelapukan. Yang tergolong dalam mineral mudah lapuk yaitu olivin, gelas volkan, hiperstin, augit, dan
plagioklas. Sedangkan mineral tahan lapuk (resisten) yaitu kelompok mineral yang tahan terhadap pelapukan fisik maupun kimia. Yang tergolong dalam mineral resisten adalah kuarsa, ilmenit, rutil, dan zirkon (Agus, Fahmuddin, et al; 2004). Makin besar jumlah ikatan Si-O dengan rangkaian jumlah tetrahedra silika yang semakin besar melalui penggunaan bersama atom oksigen, makin besar pula ketahanannya terhadap pelapukan (Tan, 1991).
2.3
Proses Pembentukan Tanah Batuan yang berada di perut bumi, secara geologis merupakan cikal bakal
bahan induk yang sangat menentukan proses pembentukan tanah dan bentang alam (landscape) yang juga dipengaruhi oleh beberapa faktor lain, yakni: iklim, organisme, proses geomorfik yang dominan dan waktu. Dengan demikian logis apabila pada masing-masing formasi geologi akan menghasilkan jenis tanah dan tipe bentukan lahan yang berbeda-beda pula tergantung intensitas faktor yang dominan dalam proses genesisnya. Selanjutnya dengan kondisi jenis tanah dan bentuk lahan yang berbeda ini, akan menghasilkan tutupan vegetasi alami yang berbeda pula, sehingga bentuk ekosistemnya pun akan beragam karakteristik dan keunikannya. Suatu formasi geologi selalu menjelaskan waktu atau umur dan jenis batuan atau bahan induk. Meskipun demikian, tanah yang terbentuk di atas suatu formasi geologi belum tentu berasal dari batuan atau bahan induk yang terdapat pada formasi geologi tersebut. Hal ini dijelaskan oleh adanya proses geologi yang relatif baru, seperti terjadinya penutupan formasi geologi tersebut oleh bahanbahan yang lebih muda. Akibatnya memungkinkan dijumpai tanah yang mempunyai susunan mineral berbeda dengan susunan mineral yang terdapat dalam formasi geologi di bawahnya. Proses pembentukan tanah merupakan suatu masalah biologi dan kimia yang rumit dan biasanya sulit untuk digambarkan dengan reaksi tunggal. Reaksireaksi dapat terjadi secara serempak atau dapat terlibat sederetan reaksi yang berlangsung berurutan. Simonson (1959) menyatakan bahwa pedon tanah terbentuk oleh usaha gabungan dari penambahan bahan-bahan anorganik dan
organik ke permukaan tanah, transformasi senyawa-senyawa di dalam tanah, dan pemindahan komponen-komponen di tanah tersebut (Tan, 1991).
2.4
Perkembangan Tanah Proses perkembangan tanah akan menghasilkan horison-horison genetik
pada tubuh tanah yang bersangkutan. Pada tanah-tanah yang telah berkembang akan ditemukan horison-horison A, B, C sedangkan tanah yang belum berkembang kemungkinan akan ditemukan horison A dan C saja. Menurut Hardjowigeno (2003), proses perkembangan tanah ada empat tahap, yaitu: 1. Tanah muda Pada tingkat ini proses pembentukan tanah terutama berupa proses pelapukan bahan organik dan bahan mineral, pencampuran bahan organik dan bahan mineral di permukaaan tanah, serta pembentukan struktur tanah karena pengaruh bahan organik (sebagai perekat). Hasilnya adalah pembentukkan horison A dari horison C. Sifat tanah masih didominasi oleh sifat-sifat bahan induknya. Termasuk tanah muda adalah tanah Entisol. 2. Tanah dewasa Dengan proses lebih lanjut, maka tanah-tanah muda dapat diubah menjadi tanah dewasa yaitu dengan proses pembentukkan horison B. Horison B terbentuk akibat penimbunan liat (iluviasi) dari lapisan atas ke lapisan bawah. Pada tingkat ini tanah mempunyai kemampuan berproduksi tinggi, karena unsur hara di dalam tanah cukup tersedia sebagai hasil dari pelapukan mineral, sedang pencucian unsur hara belum lanjut. Jenis tanah yang termasuk dalam tingkat ini antara lain Inceptisol, Andisol, Mollisol, Vertisol. 3. Tanah tua Dengan meningkatnya umur, maka proses pembentukan profil tanah berjalan lebih lanjut sehingga terjadi perubahan lebih nyata pada horison A dan B serta terbentuklah horison-horison A, E, EB, BE, Bt (Bs), BC, atau A, AB, BA, Bo, BC, dsb. Tanah menjadi sangat masam, sangat
lapuk, dan kandungan bahan organik lebih rendah dari tanah dewasa. Akumulasi liat atau seskuioksida di horison B sangat nyata sehingga membentuk horison argilik (Bt) atau horison spodik (Bs). Apabila tidak ada pencucian liat atau seskuioksida, maka horison E tidak terbentuk sedangkan di horison B tidak terjadi penimbunan liat atau seskuioksida. Walaupun demikian, proses pelapukan berjalan lanjut, sehingga mineral mudah lapuk tinggal sedikit dan terbentuklah banyak oksida-oksida besi dan aluminium. Horison ini disebut horison oksik (Bo). Jenis-jenis tanah yang menurut perkembangan horisonnya disebut tanah tua adalah Ultisol, Spodosol, dan Oksisol. Suatu tanah dikatakan memiliki horison argilik jika tanah tersebut memiliki karakteristik sebagai berikut adanya selaput tipis liat menyelimuti dinding pori, adanya liat terorientasi menghubungkan butir-butir pasir, apabila sebagian horison eluvial memilki fraksi halus dengan kandungan liat total kurang dari 15%, maka horison argilik harus mengandung minimal 3% liat lebih banyak, apabila sebagian horison eluvial memilki fraksi halus dengan kandungan liat total kurang dari 1540%, maka horison argilik harus mengandung minimal 1.2 kali liat lebih banyak dibandingkan horison eluvial, apabila sebagian horison eluvial memilki fraksi halus dengan kandungan liat total 40% atau lebih, maka horison argilik harus mengandung minimal 8% liat lebih banyak. Suatu tanah dikatakan memiliki horison spodik maka horison tersebut harus memiliki bahan spodik 85% atau lebih di dalam suatu lapisan setebal 2.5 cm atau lebih. Bahan spodik adalah bahan tanah mineral yang tidak memiliki semua siat-sifat horizon argilik atau kandik, di dominasi oleh bahan amorf aktif yang bersifat iluvial, dan tersusun dari bahan organik dan aluminium, dengan atau tanpa senyawa besi. Sedangkan tanah dikatakan memiliki horison oksik jika memiliki ketebalan 30 cm atau lebih dan KTK sebesar 16 cmol(+) per kg liat atau kurang (dengan ekstraksi NH4OAc, pH 7) (Soil Survey Staff, 2006).
Berbagai kondisi yang menghambat perkembangan profil tanah: 1. Curah hujan rendah (pelapukan rendah, material terlarut yang tercuci sedikit). 2. Kelembaban relatif rendah (pertumbuhan mikroorganisme seperti alga, fungi, lichenes rendah). 3. Bahan induk mengandung kuarsa yang tinggi dengan kandungan debu dan liat yang rendah (pelapukan lambat, gerakan koloid rendah). 4. Kandungan liat tinggi (aerasi jelek, pergerakan air lambat). 5. Bahan induk resisten misal quarsite (pelapukan lambat). 6. Kelerengan tinggi (erosi menyebabkan hilangnya lapisan top soil, pengambilan air tanah rendah) 7. Suhu dingin (semua aktivitas pelapukan dan mikroba lambat). 8. Akumulasi material secara konstan (material baru menyebabkan perkembangan tanah menjadi baru). (Anonim, 2008)
2.4
Klasifikasi Tanah Menurut Sopher dan Baird (1978 dalam Rachim, 2001), klasifikasi tanah
adalah penggolongan tanah secara sistematik ke dalam kelas-kelas atas dasar sifatsifatnya. Sistem pengklasifikasian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem Taksonomi Tanah. Sistem ini merupakan suatu sistem klasifikasi tanah yang bersifat universal. Hampir semua negara di dunia menggunakan sistem ini untuk mengklasifikasikan tanah, meskipun ada sistem lain seperti FAO UNESCO. Indonesia sendiri memiliki sistem klasifikasi tanah tersendiri yaitu Sistem Pusat Penelitian Tanah (1983) yang masih dipakai hingga sekarang. Sistem Taksonomi Tanah dapat diterima semua pihak karena dalam pengklasifikasian tanah berdasarkan pada sifat tanah yang ditemukan di lapangan yang dapat diukur secara kuantitatif yang berhubungan dengan genesis tanah yang membentuk morfologi tanah tersebut, sehingga sistem ini bersifat terbuka untuk tanah-tanah baru yang berbeda dengan tanah-tanah yang ditemukan sebelumnya. Pengkelasan tanah didasarkan pada sifat-sifat tanah dan faktor lingkungan yang cukup berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman. Dalam hal ini,
pengkelasan tanah ditentukan oleh ada tidaknya dan jenis horison penciri klasifikasi, serta sifat penciri klasifikasi yang dimiliki oleh masing-masing tanah. Horison penciri klasifikasi mencakup epipedon dan horison bawah penciri, sedangkan sifat penciri klasifikasi meliputi sifat-sifat penting hasil pedogenesis dan yang mempengaruhi proses pedogenesis. Berdasarkan aturan dalam Taksonomi Tanah nama tanah sudah dapat menunjukkan sifatnya yang pokok, serta dimana kedudukannya secara kategori. Kategori itu sendiri dapat dibagi menjadi kategori tinggi (order, suborder, great group, dan subgroup) dan kategori rendah (family dan series). Kategori tinggi dicirikan oleh sifat-sifat yang lebih umum, baik sebaran maupun pengaruhnya terhadap proses genesis atau pertumbuhan tanaman. Sementara itu, kategori rendah lebih ditentukan oleh sifat-sifat yang berkaitan dengan pertumbuhan tanaman (Soil Survey Staff, 2006).
BAB III BAHAN DAN METODE 3.1
Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu penelitian lapang di
Laboratorium Alam Geologi Karangsambung (LIPI Karangsambung) dan analisis tanah di laboratorium Departemen Ilmu Tanah dan Sumberdaya Lahan IPB. Penelitian lapang dan pengambilan sampel tanah dilaksanakan selama satu minggu mulai tanggal 13-19 Februari 2008, sedangkan penelitian di laboratorium dilaksanakan mulai tanggal 25 Februari-17 Desember 2008.
3.2
Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah contoh tanah utuh,
contoh tanah terganggu dan bahan-bahan untuk analisis sifat fisik, kimia tanah dan mineralogi. Alat-alat yang digunakan antara lain : (1) pengamatan lapang dan pengambilan contoh tanah: sekop, pisau lapang, munsel, meteran, abneylevel, GPS, ring sample, cutter, plastik, karet, alumunium foil, HCl, dan H2O2, (2) alatalat analisis sifat fisik, kimia tanah dan mikroskop polarisasi, dan (3) alat-alat tulis: buku, pensil, bolpoin, spidol, kertas label, penggaris dan penghapus.
3.3
Metode Penelitian Penelitian lapang dilakukan pada profil-profil tanah yang berkembang dari
batuan beku, sedimen, dan metamorfik. Pada masing-masing jenis batuan diamati 2 profil tanah, kemudian dilakukan deskripsi pada profil-profil tanah tersebut. Profil P1 dibuat di atas tanah yang berkembang dari batuan diabas (batuan beku), profil P2 di atas batuan filit (batuan metamorf), profil P3 di atas batuan rijang (batuan sedimen), profil P4 di atas batuan marmer (batuan metamorf), profil P5 di atas batuan basalt (batuan beku), dan profil P6 di atas batuan batu lempung (batuan sedimen).
Parameter morfologi yang diamati adalah horisonisasi, warna, struktur, tekstur, konsistensi, perakaran, dan faktor lingkungan seperti fisiografi, kemiringan lereng, vegetasi, serta iklim. Contoh tanah dari setiap lapisan pada masing-masing profil tanah diambil sebanyak 2 kg untuk dianalisis laboratorium, sedangkan untuk analisis sifat fisik (bobot isi dan kadar air) contoh tanah diambil dengan menggunakan ring sample pada kedalaman 0-30 cm dan 30-60 cm, pengambilan contoh tanah ini dilakukan secara duplo. Analisis fisik tanah meliputi tekstur tanah (metode pipet), bobot isi dan kadar air. Analisis kimia meliputi pH H2O (1:1) dan KCl (1:1), C-organik (metode Walkey & Black, P-tersedia (metode Bray 1), N-total (metode Kjeldhal), Al-dd, KTK dengan NH4OAc pH 7 dan analisis basa-basa dengan NH4OAc pH 7. Selain analisis sifat fisik dan kimia juga dilakukan analisis mineral fraksi pasir menggunakan metode garis. Analisis fraksi pasir ini digunakan untuk mengetahui peluang ditemukannya mineral mudah lapuk dan mineral sukar lapuk (resisten) dalam 100 butir mineral pasir. Analisis ini dilakukan dengan menggunakan mikroskop polarisasi.
3.4
Penilaian Tingkat Pelapukan
3.4.1 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Mineralogi Penilaian tingkat pelapukan secara mineralogi ditentukan berdasarkan jumlah mineral tahan lapuk dan mudah lapuk yang terkandung di dalam tanah. Semakin banyak jumlah mineral mudah lapuk, maka tingkat pelapukan tanah tersebut semakin lanjut. Tanah-tanah yang relatif tua memiliki kandungan mineral tahan lapuk yang tinggi.
3.4.2 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Fisik Penilaian tingkat pelapukan secra fisik ditentukan berdasarkan nisbah antara debu dengan liat yang terdapat dalam tanah. Semakin rendah nilai nisbah debu dengan liat dalam tanah tersebut, maka tingkat pelapukan tanah semakin lanjut. Bahan induk yang melapuk akan berubah ukurannya, yaitu akan semakin halus ukurannya dengan meningkatnya tingkat pelapukan.
3.4.3 Penilaian Tingkat Pelapukan Secara Kimia Tanah-tanah yang sudah mengalami pelapukan lanjut umumnya didominasi oleh mineral-mineral sekunder berukuran liat, seperti oksida-oksida besi dan aluminium. Mineral-mineral tersebut memiliki KTK yang rendah.
3.5
Klasifikasi Tanah Pengklasifikasian dan penamaan tanah dilakukan pada setiap profil tanah
berdasarkan pengamatan lapang dan hasil analisis sifat kimia di laboratorium. Sistem pengklasifikasian yang digunakan dalam penelitian ini adalah sistem Taksonomi Tanah (Soil Survey Staff, 2006).
BAB IV KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN 4.1
Lokasi penelitian Penelitian ini dilakukan pada 6 profil pewakil di daerah Kebumen, Jawa
Tengah. Adapun lokasi pembuatan profil dan koordinat geografisnya dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Lokasi Daerah Penelitian
Profil
Lokasi
Koordinat Geografis
P1
Desa Karangsambung, Kecamatan Karangsambung
109o40’11.8” BT 07o32’28.9” LS
P2
Desa Wonotirto, Kecamatan Karanggayam
109o39’57.5” BT 07o32’29.2” LS
P3
Desa Wonotirto, Kecamatan Karanggayam
109o39’56.6” BT 07o32’28.7” LS
P4
Desa Totogan, Kecamatan Karangsambung
109o40’31.2” BT 07o31’27.9” LS
P5
Desa Wonotirto, Kecamatan Karanggayam
109o40’04.1” BT 07o32’00.7” LS
P6
Desa Karangsambung, Kecamatan Karangsambung
109o40’17.1” BT 07o32’32.9” LS
4.2
Topografi Daerah penelitian merupakan daerah pertemuan antara lempeng Samudera
Hindia Australia dengan Lempeng Benua Eurasia. Daerah penelitian didominasi oleh topografi berbukit dan bergunung.
4.3
Geologi Berdasarkan informasi dari peta geologi lembar Kebumen, Jawa skala
1:100.000 daerah Karangsambung terdiri dari empat formasi geologi, yaitu
Komplek Melange Lok Ulo, Formasi Karangsambung-Totogan, Formasi Waturondo, dan Formasi Panosogan (Asikin, Handoyo, Busono & Gafoer, 1992). Komplek Melange Lok Ulo merupakan satuan batuan bancuh dari berbagai macam batuan sedimen, batuan beku, dan batuan metamorf. Umur Komplek Melange berkisar antara kapur akhir hingga Paleosen. Formasi KarangsambungTotogan tersusun oleh kelompok batuan sedimen yang tercampur aduk karena proses pelongsoran gaya berat. Bongkah-bongkah batuan sedimen berukuran centimeter hingga ratusan meter tersebar secara acak dalam masa dasar lempung hitam bersisik. Umur Formasi Karangsambung ini sekitar Eosen Oligosen. Formasi Waturanda tersusun oleh breksi vulkanik serta batu pasir dalam perulangan pelapisan yang tebal. Formasi ini diendapkan sebagai endapan turbidit, berumur Miosen awal. Formasi Panosogan terletak selaras di atas Formasi Waturanda, tersusun oleh perlapisan tipis hingga sedang berupa batu pasir, batu lempung, kalkarenit, napal tufaan dan tufa. Bagian bawah Formasi Panosogan dicirikan oleh perlapisan batu pasir-batu lempung, kearah atas komponen karbonatnya semakin tinggi. Daerah penelitian ini terletak pada formasi Karangsambung (Profil P1 dan P6) dan Komplek Melange Lok Ulo (Profil P2, P3, P4, dan P5) (Gambar 1).
4.4
Vegetasi dan Penggunaan lahan Vegetasi yang ditemukan pada profil P1 yaitu albasia, pisang, jati, dan
kelapa. Pada profil P2 dan P3 ditemukan pisang, jati, kelapa. Selain tanaman tersebut pada profil P2 juga ditemukan bambu. Pada profil P4 ditemukan bambu, jati, pisang, talas. Sedangkan pada profil P5 ditemukan pinus dan pada profil P6 ditemukan pisang, albasia, rambutan, nangka, dan jati. Selain vegetasi-vegetasi tersebut juga ditemukan vegetasi khusus yaitu Melastoma sp yang ditemukan pada profil P3, P5, dan P6.
4.5
Iklim Faktor iklim yang berpengaruh besar pada pembentukan tanah di daerah
tropik adalah suhu dan curah hujan. Berdasarkan data iklim di Balai Pengelolaan Air enam tahun terakhir (2002-2007), curah hujan rata-rata per bulan 244.43 mm,
dengan jumlah rata-rata hujan tiap bulannya 7.6 hari hujan dimana curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember (648.5 mm/tahun) dan curah hujan terendah terjadi pada bulan Juli-September (21.5 mm/tahun). Dari data yang dicatat di stasiun pengamatan Sempor diketahui suhu rata-rata 26.74oC.
Gambar 1. Peta Geologi Daerah Penelitian
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1
Penilaian Tingkat Pelapukan Tanah Penilaian tingkat pelapukan tanah ini ditinjau dari segi mineralogi, fisik dan
kimia. Adapun sifat-sifat yang menentukan tingkat pelapukan profil-profil tanah ini (profil P1 berkembang dari batuan diabas, P2 batuan filit, P3 batuan rijang, P4 batuan marmer, P5 batuan basalt, dan P6 batuan batu lempung) dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Sifat-Sifat yang Menentukan Tingkat Pelapukan
Metode Mineralogi
Kimia
Sifat Tanah Jumlah Mineral Mudah Lapuk Jumlah Mineral Sukar Lapuk KTK (me/100g)
P1
P2
Profil P3 P4
39
63
55
37
50
65
61
37
45
63
50
35
P5
P6
29.97 28.13 38.60 13.16 16.15 28.10
Fisik Nisbah Debu/Liat 1.97 1.38 1.81 0.67 Keterangan: Nilai dihitung atas hasil rata-rata beberapa horison
0.96
2.59
Penilaian tingkat pelapukan tanah secara mineralogi didasarkan kepada prinsip bahwa semakin banyak mineral sukar lapuk dijumpai dalam tanah, menunjukkan bahwa tanah tersebut telah mengalami pelapukan lanjut. Adapun mineral yang mudah lapuk antara lain bahan lapukan, gelas volkan, augit, apatit, hiperstin, diopsida, dan andesine, sedangkan mineral yang sukar lapuk antara lain: kuarsa keruh, kuarsa jernih, magnetit, gibsit, dan konkresi besi. Urutan tingkat pelapukan tanah di lokasi penelitian dari segi mineralogi adalah sebagai berikut: P4>P1>P5>P3>P2>P6. Penilaian tingkat pelapukan tanah secara kimia dapat dilihat dari segi kapasitas tukar kation (KTK). Urutan tingkat pelapukan tanahnya adalah sebagai berikut: P4>P5>P6>P2>P1>P3. Semakin rendah nilai KTK tanah maka tingkat pelapukannya semakin lanjut. Hal ini dikarenakan tanahtanah yang telah mengalami pelapukan lanjut, umumnya didominasi oleh mineral-
mineral sekunder berukuran liat, seperti oksida-oksida besi dan alumunium. Penilaian tingkat pelapukan tanah secara fisik dilihat dari nisbah debu/liat menunjukkan bahwa tingkat pelapukan tanah memiliki urutan P4>P5>P2>P3>P1>P6. Semakin kecil nisbah debu/liat berarti semakin lanjut tingkat pelapukan tanah tersebut. Bahan induk tanah akan berubah ukurannya menjadi semakin halus dengan meningkatnya tingkat pelapukan. Penilaian dari segi fisik dan kimia relatif sejalan, sedangkan penilaian dari segi mineralogi tidak sejalan dengan kedua penilaian yang lain. Hal ini bisa disebabkan oleh adanya satu proses yang lebih menghambat atau mendorong proses pelapukan, misalnya proses pencucian. Proses pencucian ini mengakibatkan sifat fisik dan kimia tanah berubah. Urutan tingkat pelapukan dari segi mineralogi relatif lebih bersifat stabil dan langgeng. Hal ini berkaitan dengan definisi pelapukan itu sendiri, yaitu transformasi mineral-mineral dalam batuan menjadi bentuk yang lebih stabil di bawah kondisi suhu, tekanan, dan kelembaban permukaan bumi (Rachim dan Suwardi, 1999). Berdasarkan hasil penilaian ini dapat diketahui bahwa profil P4 yang berada di atas batuan marmer merupakan profil yang telah mengalami pelapukan lanjut, sedangkan profil P6 yang berada di atas batuan batu lempung merupakan profil yang tingkat pelapukannya paling muda. Hal ini disebabkan pada profil P6 memiliki jumlah mineral mudah lapuk paling banyak, sedangkan P4 memiliki jumlah mineral mudah lapuk paling sedikit dan mineral sukar lapuknya banyak.
5.2
Penilaian Tingkat Perkembangan Tanah Proses perkembangan tanah akan menghasilkan horison-horison genetik pada
tubuh tanah yang bersangkutan. Pada tanah-tanah yang telah berkembang akan ditemukan horison-horison A, B, C, sedangkan tanah yang belum berkembang kemungkinan akan ditemukan horison A dan C saja. Dilihat dari kelengkapan horison genetik, profil-profil tanah yang diteliti termasuk tanah yang telah berkembang karena keenamnya telah memiliki membentuk horison A, B, dan C. Untuk membedakan tingkat perkembangan pada profil-profil tersebut digunakan sifat lain untuk menentukan tingkat perkembangan tanah seperti ketebalan atau kedalaman efektif. Semakin dalam kedalaman efektif/solum, maka tanah
tersebut semakin berkembang. Berdasarkan hasil deskripsi profil, profil P1 memiliki kedalaman efektif 107 cm, P3 100 cm, P4 120 cm dan belum ditemukan bahan induk. Pada profil P1 dan P3 sudah ditemukan horison peralihan dengan bahan induk (horison BC). Sedangkan profil P2 126.5 cm, P5 121 cm, dan P6 123 cm sudah ditemukan bahan induk. Oleh karena itu urutan tingkat perkembangan profil tanah jika dilihat dari tebal kedalaman efektif adalah sebagai berikut: P4>P1>P3>P2>P6>P5. Profil P4 yang berada di atas batuan induk marmer telah mengalami perkembangan tanah paling lanjut, sedangkan profil P5 yang berada di atas batuan basalt, tingkat perkembangan tanahnya paling muda. Hal ini disebabkan karena pada profil P4 selain belum ditemukan bahan induk, pada profil ini juga belum ditemukan adanya horison peralihan. Horison C pada profil ini letaknya masih lebih dalam lagi dari kedalaman penampang profil yang dibuat. Hal ini menunjukkan bahwa profil P4 tingkat perkembangan tanahnya paling lanjut, sedangkan untuk profil P5 memiliki kedalaman efektif yang lebih dangkal dibandingkan profil lainnya dan sudah ditemukan adanya horison C. Hal ini menunjukkan bahwa profil tersebut perkembangan tanahnya masih muda.
5.3
Klasifikasi Tanah
5.3.1 Profil P1, P5, dan P6 Berdasarkan Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2006) diketahui bahwa profil-profil tanah ini memiliki epipedon okrik karena memiliki value warna atau kroma yang terlalu tinggi dan tidak memenuhi definisi dari tujuh epipedon yang lainnya. Disamping itu profil tanah ini juga memiliki horison penciri kambik yang merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih, mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus, dan menunjukkan gejalagejala bukti adanya alterasi dalam bentuk mempunyai struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah dan mempunyai kandungan liat lebih tinggi dibandingkan horison yang terletak di bawahnya. Dengan ciri-ciri tersebut maka tanah ini dimasukkan ke dalam ordo Inceptisol. Berdasarkan data curah hujan, daerah Karangsambung termasuk dalam regim kelembaban udik yaitu suatu regim kelembaban tanah dimana penampang kontrol
kelembaban tanah tidak kering di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif dalam tahun-tahun normal, sehingga pada tingkat subordo termasuk dalam Udepts. Kejenuhan basa tanah ini tidak lebih dari 60% dan tidak memiliki sifat lain dari subordo, sehingga dimasukkan dalam great group Dystrudepts. Tidak terdapatnya sifat lain selain sifat inti dari great group, sehingga tanah pada profil P1, P5, dan P6 dimasukkan ke dalam subgroup Typic Dystrudepts. Pada profil P1 dan P5, dalam fraksi yang berdiameter kurang dari 75 mm, terdapat 15% atau lebih partikel-partikel berukuran 0.1 sampai 75 mm dan fraksi tanah halusnya, mengandung liat 18-35%, sedangkan pada profil P6 fraksi yang berdiameter kurang dari 75 mm terdapat kurang dari 15% partikel-partikel berdiameter 0.1 sampai 75 mm. Regim suhu profil-profil tanah tersebut dimasukkan ke dalam regim suhu isohipertermik, aktivitas pertukaran kation profil P1 dan P6 lebih besar dari 0.60, sedangkan pada profil P5 antara 0.40-0.60. Oleh sebab itu profil P1 dimasukkan ke dalam famili Typic Dystrudepts, berlempung halus, isohipertermik, superaktif. Profil P5 dimasukkan ke dalam famili Typic Dystrudepts, berlempung halus, isohipertermik, aktif dan profil P6 dimasukkan ke dalam famili Typic Dystrudepts, berdebu halus, isohipertermik, superaktif.
5.3.2 Profil P2, P3, dan P4 Berdasarkan Keys to Soil Taxonomy (Soil Survey Staff, 2006) menunjukkan profil-profil tanah P2, P3, dan P4 memiliki epipedon okrik karena memiliki value warna atau kroma yang terlalu tinggi dan tidak memenuhi definisi dari tujuh epipedon yang lainnya. Disamping itu juga profil-profil tanah ini memiliki horison penciri kambik yang merupakan horison alterasi yang ketebalannya 15 cm atau lebih, mempunyai tekstur pasir sangat halus, pasir sangat halus berlempung, atau yang lebih halus, dan menunjukkan gejala-gejala bukti adanya alterasi dalam bentuk mempunyai struktur tanah atau tidak memiliki struktur batuan pada lebih dari setengah volume tanah dan mempunyai kandungan liat lebih tinggi dibandingkan horison yang terletak di bawahnya. Dengan ciri-ciri tersebut maka tanah ini dimasukkan ke dalam ordo Inceptisol.
Berdasarkan data curah hujan, daerah Karangsambung termasuk dalam regim kelembaban udik yaitu suatu regim kelembaban tanah dimana penampang kontrol kelembaban tanah tidak kering di sebarang bagiannya, selama 90 hari kumulatif dalam tahun-tahun normal, sehingga pada tingkat subordo termasuk dalam Udepts. Kejenuhan basa tanah ini tidak lebih dari 60% dan tidak memiliki sifat lain dari subordo, sehingga dimasukkan dalam great group Dystrudepts. Adanya penurunan kadar karbon organik secara tidak teratur di antara kedalaman 25 cm dan 125 cm di bawah permukaan tanah mineral, maka subgroupnya dimasukkan ke dalam Fluventic Dystrudepts. Pada profil P3 dan P4, dalam fraksi yang berdiameter kurang dari 75 mm, terdapat 15% atau lebih partikel-partikel berukuran 0.1 sampai 75 mm dan fraksi tanah halusnya, mengandung liat 18-35%, sedangkan pada profil P2 fraksi yang berdiameter kurang dari 75 mm terdapat kurang dari 15% partikel-partikel berdiameter 0.1 sampai 75 mm. Regim suhu profil-profil tanah tersebut dimasukkan ke dalam regim suhu isohipertermik, aktivitas pertukaran kation profil P2 dan P3 lebih besar dari 0.60, sedangkan pada profil P4 0.24-0.40. Oleh sebab itu profil P2 dimasukkan ke dalam famili Fluventic Dystrudepts, berdebu halus, isohipertermik, superaktif. Profil P3 dimasukkan ke dalam famili Fluventic Dystrudepts, berlempung halus, isohipertermik, superaktif. dan profil P4 dimasukkan ke dalam famili Fluventic Dystrudepts, berlempung halus, isohipertermik, semiaktif.
5.4
Kaitan Antara Tingkat Pelapukan, Tingkat Perkembangan, dan Hasil Klasifikasi Tanah dengan Formasi Geologi
Suatu formasi geologi selalu menjelaskan waktu atau umur dan jenis batuan atau bahan induk. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui bahwa dalam satu formasi geologi menghasilkan jenis tanah yang sama yaitu Inceptisol. Namun, jika dilihat sampai tingkat famili, nama tanah dalam satu formasi geologi belum tentu menghasilkan nama tanah yang sama karena tanah tidak hanya dibentuk oleh proses geologi saja, tetapi tanah merupakan fungsi dari topografi, bahan induk, organisme, iklim, dan waktu. Faktor tersebut saling berinteraksi satu sama lainnya. Tanah yang terletak dalam formasi
geologi yang sama belum tentu memiliki tingkat pelapukan yang sama. Hal ini disebabkan karena tanah-tanah tersebut dapat saja berasal dari bahan induk yang berbeda. Profil-profil tanah yang diteliti menunjukkan adanya proses vulkanisasi. Proses ini ditunjukkan oleh adanya mineral mudah lapuk (gelas volkan) pada fraksi pasirnya. Berdasarkan sistem klasifikasi tanah ini, maka formasi geologi tidak berhubungan langsung dengan jenis tanahnya sampai tingkat famili, begitu pula dengan tingkat pelapukan, dan tingkat perkembangan tanahnya.
Tabel 3. Hubungan antara Formasi Geologi dengan Nama Tanah
Profil
Formasi Geologi
Batuan Induk
Nama Tanah
Kedalaman efektif (cm)
P1
Karangsambung
Batuan beku
Typic Dystrudepts
107
P2
Melange Lok Ulo
Batuan metamorf
Fluventic Dystrudepts
126.5
P3
Melange Lok Ulo
Batuan sedimen
Fluventic Dystrudepts
100
P4
Melange Lok Ulo
Batuan metamorf
Fluventic Dystrudepts
120
P5
Melange Lok Ulo
Batuan beku
Typic Dystrudepts
121
P6
Karangsambung
Batuan sedimen
Typic Dystrudepts
123
Profil-profil tanah yang diteliti termasuk tanah dewasa karena pada profil-profil ini telah mengalami proses perkembangan lebih lanjut dari tanah muda, yaitu terjadi proses pembentukan horison B. Horison B terbentuk akibat penimbunan liat dari lapisan atas ke lapisan bawah. Jenis tanah yang termasuk dalam tingkat ini antara lain Inceptisol, Andisol, Mollisol, Vertisol, dsb. Penilaian tingkat pelapukan pada profil-profil tanah tersebut menunjukkan urutan P4>P1>P5>P3>P2>P6, sedangkan jika dilihat dari tingkat perkembangan tanah urutannya adalah P4>P1>P3>P2>P6>P5. Hal ini menunjukkan bahwa penilaian tingkat pelapukan relatif sejalan dengan perkembangan tanah. Menurut Mohr dan Van Baren (1960), tingkat perkembangan tanah dapat diketahui dari kadar mineral resisten dan mineral non resisten. Semakin tinggi mineral resisten dan semakin rendah mineral non resisten, maka tanah semakin berkembang. Ini berarti tingkat perkembangan tanah
sejalan dengan tingkat pelapukannya. Perkembangan tanah juga dipengaruhi oleh lereng, dimana tanah yang berada pada lereng bawah yang berbentuk cekung umumnya mempunyai kedalaman solum yang dalam. Sedikit perbedaan antara tingkat pelapukan dan perkembangan tanah pada profil-profil ini diduga akibat pengaruh lereng. Pada profil P3 yang berada di atas batuan rijang, tingkat perkembangan profilnya lebih berkembang daripada profil P5 yang berada di atas batuan basalt karena profil P3 terletak pada lereng bawah sehingga terjadi penimbunan dari bahan di atasnya, akibatnya kedalaman efektif/solum tanah lebih dalam. Pada profil P5 (berada di atas batuan basalt) dan P6 (berada di atas batuan batu lempung) terletak pada lereng yang curam, dan berbentuk cembung menyebabkan aliran air ke bawah menjadi dipercepat, sehingga air yang masuk ke dalam solum tanah sedikit, akibatnya proses pencucian liat sedikit. Disamping itu dengan adanya lereng yang sangat curam ini juga menyebabkan adanya erosi sehingga lapisan atas tanah hilang, kedalaman efektif/solum tanah menjadi dangkal.
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1
Kesimpulan
1. Penilaian tingkat pelapukan tanah di lokasi penelitian ditinjau dari segi mineralogi menunjukkan urutan P4>P1>P5>P3>P2>P6, penilaian tingkat pelapukan dari segi kimia adalah P4>P5>P6>P2>P1>P3. Penilaian tingkat pelapukan dari segi fisik adalah P4>P5>P2>P3>P1>P6. Penilaian tingkat pelapukan tanah dari segi fisik dan kimia relatif sejalan, sedangkan penilaian dari segi mineralogi tidak sejalan dengan kedua penilaian yang lain. Urutan tingkat pelapukan dari segi mineralogi relatif lebih stabil dan langgeng. Oleh karena itu urutan tingkat pelapukan dari segi mineralogi lah yang dipakai dalam menentukan tingkat pelapukan profilprofil tanah di lokasi penelitian. Profil P4 yang berada di atas batuan marmer memiliki tingkat pelapukan paling lanjut, sedangkan profil P6 yang berada di atas batuan batu lempung, tingkat pelapukannya paling muda. 2. Tingkat perkembangan tanah daerah penelitian dilihat dari kelengkapan horison genetik dan ketebalan solumnya memiliki urutan P4>P1>P3>P2>P6>P5. Profil P4 yang berada di atas batuan marmer telah mengalami perkembangan paling lanjut, sedangkan profil P5 yang berada di atas batuan basalt, tingkat perkembangannya masih muda. 3. Untuk daerah penelitian formasi geologi tidak berhubungan langsung dengan jenis tanah. Hal ini disebabkan karena adanya proses vulkanisasi yang lebih baru di atas batuan induknya. Proses vulkanisasi ini ditunjukkan oleh adanya mineral mudah lapuk (gelas volkan) pada fraksi pasirnya. 4. Formasi geologi juga tidak berhubungan langsung dengan tingkat pelapukan dan perkembangan tanah. Hal ini dikarenakan profil-profil tanah tersebut diambil pada hamparan lahan yang berbeda. Adanya perbedaan topografi (faktor lereng) dapat menyebabkan proses pedogenesis yang berbeda.
6.2
Saran Untuk menilai hubungan antara formasi geologi dengan tingkat pelapukan, tingkat
perkembangan, dan klasifikasi tanah maka faktor-faktor lain selain bahan induk di lokasi penelitian harus homogen.
DAFTAR PUSTAKA Agus, Fahmuddin, Abdurachman Adimihardja, Sarwono Hardjowigeno, Achmad Mudzakir Fagi, dan Wiwik Hartatik. 2004. Tanah Sawah. Diakses dari http://balittanah.litbang.deptan.go.id pada tanggal 6 Januari 2009 jam 10.39 WIB. Anonim. 2009. Pembentukan Tanah. Diakses dari http://elisa.ugm.ac.id pada tanggal 7 Januari jam 09.23 WIB. Asikin S, A. Handoyo, H. Busono & S. Gafoer. 1992. Geologi Lembar Kebumen, Jawa. Departemen Pertambangan dan Energi, Direktorat Jendral Geologi dan Sumberdaya Mineral, Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi. Indonesia. Boul, S.W, F.D. Hole and R.J. Mc Cracken. 1973. Soil Genesis and Clasification. Iowa State University Press. Darmawijaya, M.I. 1990. Klasifikasi Tanah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Goeswono, Soepardi. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu-Ilmu Tanah. Bogor. Hardjowigeno, S. 1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Akademika Pressindo. Jakarta. Kim, H. Tan. 1991. Dasar-Dasar Kimia Tanah. Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Kim, H. Tan. 1993. Principles of Soil Chemistry. Second Edition. Marcel Dekker, Inc. New York. Mohr, E.C. I & Van Baren. 1960. Tropical Soil. Chapter VI. Mineral Assosiation in Soil. Bruxelles. Rachim, D.A. dan Suwardi. 1999. Morfologi dan Klasifikasi Tanah. Jurusan tanah, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Soil Survey Staff. 2006. Keys to Soil Taxonomy.10th Edition. United States Departement of Agriculture.
LAMPIRAN
Tabel Lampiran 1. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P1 Lokasi
: Karangsambung, Kebumen
Batuan induk
: Diabas (batuan beku dalam)
Fisiografi
: Berbukit, intrusi, elevasi 95 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Albasia, pisang, jati, kelapa
Sifat-sifat morfologi tanah Kedalaman (cm) 0-18
Simbol
Uraian
A1
Coklat (7.5 YR 4/4), lempung berliat, struktur gumpal membulat, halus, lemah, gembur (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus cukup banyak, akar sedang cukup banyak, batas berombak, jelas. Coklat (7,5 YR 4/4), lempung, struktur gumpal membulat, halus, lemah, gembur (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus cukup banyak, akar sedang cukup banyak, batas berombak, baur. Kuning kemerahan (7,5 YR 6/6), lempung berliat, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus sedikit, akar sedang sedikit, batas rata, baur. Kuning kemerahan (7.5 YR 6/8), lempung berliat, struktur gumpal bersudut, sedang, sedang , teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus sedikit, akar sedang sedikit, batas berombak, jelas. Kuning kemerahan (7.5 YR 6/8), lempung liat berpasir, struktur gumpal bersudut, sedang, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas berombak.
18-44
A2
44-62
AB
62-88
B
88-107
BC
Tabel Lampiran 2. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P2 Lokasi
: Wonotirto, Karanggayam, Kebumen
Batuan induk
: Filit (batuan metamorf)
Fisiografi
: Tektonik (daerah kontak antara rijang dan filit), elevasi 92 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Bambu, pisang, jati, kelapa
Sifat-sifat morfologi tanah Kedalaman (cm) 0-12
Simbol
Uraian
A
Coklat kekuningan (10 YR 5/8), lempung liat berdebu, struktur gumpal membulat, halus, lemah, gembur (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), akar halus sedikit, batas rata, baur. Kuning kecoklatan (10 YR 6/8), liat berdebu, struktur gumpal membulat, sedang, lemah, teguh (lembab), lekat dan agak plastis (basah), batas rata, baur. Merah kekuningan (5 YR 5/6), liat berdebu, struktur gumpal bersudut, sedang, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata, baur. Merah kekuningan (5 YR 5/6), liat berdebu, struktur gumpal bersudut, halus, sedang , teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata, jelas. Kuning (10 YR 7/6), lempung liat berdebu, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata, jelas. Kuning kemerahan terang (2,5 YR 6/4), lempung, struktur granular, gembur (lembab), batas rata.
12-36
B1
36-57
B2.1
57-84
B2.2
84-101
BC
101-126.5
C
Tabel Lampiran 3. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P3 Lokasi : Wonotirto, Karanggayam, Kebumen Batuan induk
: Rijang (batuan sedimen)
Fisiografi
: Tektonik (daerah kontak antara rijang dan filit), elevasi 97 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Jati, pisang, kelapa
Vegetasi khusus
: Melastoma sp
Sifat-sifat morfologi tanah Kedalaman (cm) 0-22
Simbol
Uraian
A1
Coklat kuat (7,5 YR 5/6), lempung, struktur gumpal membulat, sedang, lemah, gembur (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), akar halus sedikit, batas rata, baur. Coklat (7,5 YR 5/4), lempung berliat, struktur gumpal membulat, sedang, lemah, gembur (lembab), lekat dan agak plastis (basah), batas rata, jelas. Kuning (10 YR 7/6), lempung, struktur gumpal membulat, sangat halus, lemah, gembur (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), batas rata, jelas. Coklat (7,5 YR 4/4), lempung, struktur gumpal bersudut, halus, sedang , teguh (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), batas rata, jelas. Coklat (7,5 YR 4/4), lempung berdebu, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), batas rata.
22-50
A2
50-72
AB
72-84
B
84-100
BC
Tabel Lampiran 4. Hasil deskripsi Sifat Morfologi Profil P4 Lokasi
: Totogan , Karangsambung, Kebumen
Batuan induk
: Marmer (batuan metamorf)
Fisiografi
: Tektonik, elevasi 183 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Bambu, jati, pisang, talas
Sifat-sifat morfologi tanah Kedalaman (cm) 0-24
Simbol
Uraian
A1
24-51
AB
51-72
B1.1
72-108
B1.2
108-120
B2
Coklat gelap (7,5 YR 3/4), liat, struktur gumpal membulat, halus, lemah, gembur (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), akar halus sedikit, batas rata, baur. Coklat gelap (7,5 YR 3/4), liat, struktur gumpal membulat, sedang, lemah, teguh (lembab), agak lekat dan agak plastis (basah), akar halus sedikit, batas rata, jelas. Coklat kuat (7,5 YR 5/6), liat, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata, baur. Coklat kuat (7,5 YR 5/6), liat, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata, baur. Coklat (7,5 YR 5/4), liat, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), batas rata.
Tabel Lampiran 5. Hasil Deskripsi Sifat Morfologi Profil P5 Lokasi
: Wonotirto, Karanggayam, Kebumen
Batuan induk
: Basalt (batuan beku)
Fisiografi
: Tektonik, elevasi 99 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperature
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Pinus
Vegetasi khusus
: Melastoma sp
Sifat-sifat morfologi tanah Kedalaman (cm) 0-27
Simbol
Uraian
A
Kuning kemerahan (7,5 YR 5/8), liat, struktur gumpal membulat, halus, lemah, gembur (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus sedikit, batas berombak, baur. Merah terang (2,5 YR 7/8), lempung liat berdebu, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus sedikit, batas berombak, jelas. Coklat kemerahan (5 YR 5/3), lempung liat berdebu, struktur gumpal bersudut, halus, sedang, teguh (lembab), lekat dan plastis (basah), akar halus sedikit, batas berombak, jelas. Kuning kemerahan (5 YR 7/6), lempung berliat, struktur granular, gembur (lembab), tidak lekat dan tidak plastis (basah), batas berombak, jelas. Merah terang (2,5 YR 7/6), lempung berliat, struktur granular, gembur (lembab), tidak lekat dan tidak plastis (basah), batas berombak.
27-54
AB
54-69
B
69-100
C1
100-121
C2
Tabel Lampiran 6. Hasil Deskripsi Morfologi Profil P6 Lokasi
: Karangsambung, Karangsambung, Kebumen
Batuan induk
: Batu lempung bersisik (batuan sedimen)
Fisiografi
: Tektonik, elevasi 86 m dml
Topografi
: Berbukit
Regim temperatur
: Isohipertermik
Regim kelembaban
: Udik
Kelas drainase
: Baik
Vegetasi
: Pisang, albasia, rambutan, nangka, jati
Vegetasi khusus
: Melastoma sp
Sifat-sifat morfologi tanah Kedalaman (cm) 0-20
Simbol
Uraian
A
Coklat (7,5 YR 5/4), lempung liat berdebu, struktur gumpal membulat, sedang, lemah, gembur (lembab), sangat lekat dan sangat plastis (basah), akar halus banyak, batas berombak, baur. Coklat kuat (7,5 YR 5/6), liat berdebu, struktur gumpal membulat, sedang, lemah, gembur (lembab), sangat lekat dan sangat plastis (basah), akar halus sedang, batas berombak, baur. Kuning kecoklatan (10 YR 5/4), lempung liat berdebu, struktur gumpal membulat, sedang, lemah, teguh (lembab), sangat lekat dan plastis (basah), akar halus sedikit, batas berombak, jelas. Coklat merah terang (2,5 YR 6/3), liat, struktur granular, gembur (lembab), batas rata.
20-39
B
39-57
BC
57-123
C
Tabel Lampiran 7. Data Curah Hujan Daerah Karangsambung, Kebumen Tahun 2002-2007 Bulan
2002
2003
2004
2005
2006
2007
Januari
89
433
689
315
404
222
Februari
199
713
190
521
460
446
Maret
329
771
586
331
202
354
April
358
141
90
175
460
502
Mei
112
126
153
0
75
215
Juni
20
4
49
118
0
64
Juli
3
0
145
93
0
0
Agustus
0
0
0
41
0
0
September
0
0
3
102
0
0
Oktober
0
274
54
259
16
178
November
789
396
767
295
69
308
Desember
758
792
732
621
456
532
Tabel Lampiran 8. Sifat Fisika Profil Tanah di Lokasi penelitian Profil
P1
P2
P3
P4
P5
P6
Tekstur (%) Kedalaman Tekstur Struktur Konsistensi BI (g/cm3) Warna Tanah (cm) Tanah Tanah Tanah Liat Debu Pasir A1 0-18 26.79 31.20 42.02 CL 1.18 sb Gembur 7.5 YR 4/4 A2 18-44 21.56 33.46 44.98 L sb Gembur 7.5 YR 4/4 AB 44-62 28.05 43.67 28.28 CL ab Teguh 7.5 YR 6/6 B 62-88 26.84 45.93 27.23 CL ab Teguh 7.5 YR 6/8 BC 88-107 23.37 28.34 48.29 SCL ab Teguh 7.5 YR 6/8 A 0-12 29.03 52.26 18.71 SiCL 1.23 sb Gembur 10 YR 5/8 B1 12-36 43.12 45.93 10.95 SiC sb Teguh 10 YR 6/8 B2.1 36-57 40.94 48.72 10.34 SiC ab Teguh 5 YR 5/6 B2.2 57-84 45.16 48.16 6.67 SiC ab Teguh 5 YR 5/6 BC 84-101 31.78 53.60 14.62 SiCL ab Teguh 10 YR 7/6 C 101-126.5 16.22 43.90 39.89 L g Gembur 2.5 YR 6/4 A1 0-22 24.67 45.38 29.95 L 1.01 sb Gembur 7.5 YR 5/6 A2 22-50 33.35 35.06 31.59 CL sb Gembur 7,5 YR 5/4 AB 50-72 17.34 45.39 37.27 L sb Gembur 10 YR 7/6 B 72-84 20.79 47.25 31.97 L ab Teguh 7.5 YR 4/4 BC 84-100 21.60 55.33 23.07 SiL ab Teguh 7.5 YR 4/4 A 0-24 51.84 27.27 20.90 C 1.07 sb Gembur 7.5 YR 3/4 AB 24-51 52.12 26.70 21.19 C sb Teguh 7.5 YR 3/4 B1.1 51-72 46.22 36.62 17.16 C ab Teguh 7.5 YR 5/6 B1.2 72-108 45.41 35.59 19.00 C ab Teguh 7.5 YR 5/6 B2 108-120 43.93 36.54 19.53 C ab Teguh 7.5 YR 5/4 A 0-27 44.95 36.50 18.55 C 1.13 sb Gembur 7.5 YR 5/8 AB 27-54 32.22 50.34 17.45 SiCL ab Teguh 2.5 YR 7/8 B 54-69 39.36 44.87 15.87 SiCL ab Teguh 5 YR 5/3 C1 69-100 34.12 22.96 42.92 CL g Gembur 5 YR 7/6 C2 100-121 33.49 25.40 41.11 CL g Gembur 2.5 YR 7/6 A 0-20 38.19 50.55 11.27 SiCL 1.05 sb Gembur 7.5 YR 5/4 B 20-39 41.10 47.37 11.53 SiC sb Gembur 7.5 YR 5/6 BC 39-57 29.90 59.98 10.52 SiCL sb Teguh 10 YR 5/4 C 57-123 18.10 77.28 4.62 C g Gembur 2.5 YR 6/3 Keterangan: C-liat, L-lempung, CL-lempung berliat, SiC-lempung berdebu, SiL-lempung berdebu, SiCL-lempung liat berdebu, SCL-lempung liat berpasir, Sb-gumpal membulat, ab-gumpal bersudut, g-granular
Horison
Tabel Lampiran 9. Sifat Kimia Profil Tanah di Lokasi Penelitian Profil
P1
P2
P3
P4
P5
P6
Kedalaman (cm)
pH H2O
pH KCl
C-org (%)
BO (%)
Al-dd (me/100g)
N-total (%)
P-tersedia (ppm)
Ca (me/100g)
Mg (me/100g)
K (me/100g)
Na (me/100g)
KTK (me/100g)
KB (%)
0-18 18-44 44-62 62-88 88-107 0-12 12-36 36-57 57-84 84-101 101-126.5
5.46 5.77 5.55 5.53 5.82 4.61 4.72 4.90 5.45 5.68 5.70
3.67 3.91 3.73 3.76 3.74 3.38 3.55 3.77 4.47 4.37 3.90
1.01 0.70 0.50 0.20 0.20 1.88 2.09 1.26 0.94 1.15 1.26
1.75 1.23 0.88 0.35 0.35 3.28 3.64 2.19 1.64 2.00 2.19
0.33 0.24 0.19 0.14 0.19 3.65 1.38 0.69 0.10 0.10 0.34
0.07 0.06 0.04 0.04 0.02 0.10 0.09 0.11 0.07 0.07 0.06
2.50 2.34 2.11 2.18 2.26 4.41 2.17 2.07 2.08 2.08 5.03
1.75 1.70 0.18 2.10 21.17 0.11 0.55 1.64 0.96 1.64 0.96
7.63 8.18 10.54 7.89 6.14 8.87 6.61 7.75 13.69 8.90 6.16
0.14 0.44 0.34 0.25 0.27 0.33 0.46 0.20 0.46 0.25 0.26
0.24 0.30 0.37 0.33 0.32 0.18 0.24 0.18 0.33 0.34 0.30
30.66 30.91 39.24 43.89 33.43 30.32 29.02 33.47 29.01 36.89 38.99
31.94 34.36 29.26 24.19 83.64 31.43 27.18 29.31 53.38 30.27 19.76
0-22 22-50 50-72 72-84 84-100 0-24 24-51 51-72 72-108 108-120 0-27 27-54 54-69 69-100 100-121 0-20 20-39 39-57 57-123
5.19 5.41 5.34 5.45 5.32 5.78 5.72 5.72 5.51 5.46 4.61 4.66 4.53 4.84 4.80 5.07 5.26 5.47 5.97
3.73 3.67 3.52 3.46 3.47 4.75 4.72 4.71 4.47 4.42 3.37 3.38 3.38 3.56 3.47 3.58 3.94 4.05 4.22
1.14 0.52 0.62 0.31 1.35 2.13 1.52 2.13 1.73 1.22 0.70 0.50 0.40 0.40 0.40 1.15 0.73 0.73 0.10
1.99 0.90 1.08 0.54 2.35 3.71 2.65 3.71 3.01 2.12 1.22 0.87 0.70 0.35 0.35 2.01 1.28 1.28 0.18
0.88 0.78 0.78 0.93 0.88 0.05 Tr 0.05 0.14 0.14 4.79 5.17 3.71 1.79 2.40 0.74 0.10 0.15 0.15
0.07 0.06 0.06 0.04 0.04 0.15 0.14 0.11 0.12 0.11 0.09 0.07 0.08 0.04 0.02 0.08 0.07 0.07 0.02
3.54 2.82 2.25 2.66 2.98 3.24 2.79 2.56 2.57 3.06 9.92 2.96 3.27 4.60 3.25 3.02 2.26 2.22 35.66
0.54 1.22 1.22 0.41 11.40 0.78 0.70 0.53 0.62 0.49 0.85 0.87 0.70 0.50 0.61 26.34 2.74 3.43 4.25
11.54 15.16 16.51 17.42 21.04 1.28 1.02 0.95 1.46 1.51 6.37 7.24 5.72 3.57 4.63 14.86 6.63 9.15 17.15
0.41 0.30 0.21 0.42 0.07 0.31 0.70 0.37 0.25 0.09 0.48 0.34 0.49 0.13 0.34 0.73 0.02 0.14 0.57
0.28 0.27 0.24 0.55 0.44 0.22 0.35 0.26 0.49 0.14 0.26 0.28 0.27 0.18 0.24 0.48 0.30 0.30 0.46
40.76 42.06 39.19 47.12 45.29 17.19 17.45 17.19 18.72 17.19 27.42 28.17 22.90 14.38 18.14 44.62 46.31 46.05 55.00
31.45 40.43 46.56 40.03 72.99 15.12 15.91 10.32 13.58 13.00 29.12 31.16 31.50 30.57 32.21 93.20 21.00 28.36 40.94
Apatit*
Hyperstane*
Diopsida*
Amfibol
Magnetit
Gibsit
Mineral Liat*
Andesin*
Konkresi Besi
Kapur
P6
Augit*
P5
Ortoklas
P4
Plagioklas*
P3
Gelas Volkan*
P2
Bahan Lapukan*
P1
Kedalaman (cm)
Kuarsa Jernih
Profil
Kuarsa Keruh
Tabel Lampiran 10. Hasil Analisis Mineral Fraksi Pasir Total dari Profil Tanah di Lokasi Penelitian
0-18 18-44 44-62 62-88 88-107 0-12 12-36 36-57 57-84 84-101 101-126.5 0-22 22-50 50-72 72-84 84-100 0-24 24-51 51-72 72-108 108-120 0-27 27-54 54-69 69-100 100-121 0-20 20-39 39-57 57-123
35 40 33 44 30 29 16 16 16 2 5 16 11 4 12 13 18 23 18 30 18 21 49 22 26 18 18 27 22 8
5 6 8 8 1 1 8 2 11 7 1 Sd Sd 4 Sd 3 1 9 6 11 7 2 6 14 6 4 9 7 9 2
9 10 22 19 31 40 45 42 40 71 91 36 51 68 46 56 7 9 23 5 21 45 29 41 57 64 22 21 33 74
Sd Sd Sd Sd 1 Sd Sd Sd 1 Sd Sd 1 -
1 3 3 6 7 3 1 2 1 1 2 18 13 12 11 19 -
1 sd 5 1 Sd Sd 1 -
15 10 4 9 12 3 5 3 4 1
sd sd sd sd sd -
5 5 2 2 4 Sd 1 2 1 2 Sd Sd Sd Sd 1 Sd 1 5 1 3 6 1 4 6 1 -
1 -
1 3 Sd 4 6 7 3 1 4 1 5 1 Sd 2 6 12 10 5 7 3 Sd Sd 1 Sd 2 4 4 2
17 11 13 7 11 11 13 19 17 7 1 9 10 4 20 8 27 12 9 17 10 2 1 Sd Sd 1 11 12 12 3
1 1 2 2 3 2 2 3 2 2 Sd 6 3 9 5 6 15 2 1 6 9 15 5 7 6 2 Sd 5
12 11 13 2
8 10 11 6 1 4 Sd Sd 2 Sd 1 2 2 2 3 1 -
2 1 5 1 3 3 Sd 6 1 6 26 25 12 11 9 2 2 2 2 2 16 3 5 2 5 Sd Sd 1 3
1 -
1 Sd 1 2 8 8 4 14 8 2 1 1 15 10 5 1
Lampiran Gambar 1. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian
Profil P1 (Di atas batuan diabas)
Profil P2 (Di atas batuan filit)
Profil P3 (Di atas batuan rijang)
Lampiran Gambar 2. Penampang Profil Tanah di Lokasi Penelitian
Profil P4 (Di atas batuan marmer)
Profil P5 (Di atas batuan basalt)
Profil P6 (Di atas batuan batu lempung)