PERILAKU TRENGGILING (Manis javanica Desmarest, 1822) DI PENANGKARAN PURWODADI, DELI SERDANG, SUMATERA UTARA (Pangolin Behaviour in Captive Breeding at Purwodadi, Deli Serdang, North Sumatra)* Reny Sawitri, M. Bismark1, dan/and Mariana Takandjandji2 Pusat Litbang Konservasi dan Rehabilitasi Jl. Gunung Batu No. 5 PO BOX 165 Telp. 0251 863234; 7520067; Fax 0251-8638111 e-mail:
[email protected];
[email protected] [email protected] *Diterima: 21 Maret 2011; Disetujui: 28 Agustus 2012 Hendra, Pratiwi, Abdullah, Tajudin
ABSTRACT In nature, pangolin population trends to decrease because of illegal hunting. In order to protect them, it needs to anticipate with captive breeding. The purpos of this research was to provide information and to analyze the pangolin behaviour ensure the success of captive breeding. The method was interview with the keeper, observation of the pangolin and the cages. Numbers of pangolin used in the research were 11 individual. Parameters used were behaviour of moving, sleeping and feeding. The size of the cages were 2 m x 5 m x 2 m. The behaviour of the pangolin were walking (3.51%), coming to food (2.72%), climbing (2.23%), and standing (0.64%). Position of sleeping behaviour was rounded (5.82%), and then following as supine (2.45%) and stretching of body (0.82%). This condition relates with sleeping position or life protected in the nature from predators. Drinking activities (3.44%) was more than eating behaviour (2.79%), urinoir (1.53%), and defecation behaviour (1.4%). Keywords: Pangolin, behaviour, captive breeding
ABSTRAK Populasi trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) di alam cenderung menurun akibat perburuan ilegal, sehingga perlu diantisipasi dengan penangkaran. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendapatkan informasi yang terkait dengan perilaku trenggiling dalam upaya peningkatan keberhasilan penangkaran. Metode yang digunakan adalah wawancara dan pengamatan langsung terhadap perilaku trenggiling. Kandang yang digunakan berukuran 2 m x 5 m x 2 m. Analisis data yang digunakan adalah analisis deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perilaku yang dilakukan trenggiling dalam kandang adalah bergerak, tidur, makan, di mana perilaku bergerak yang dilakukan adalah aktivitas berjalan (3,51%), mendatangi pakan (2,72%), memanjat (2,23%), dan berdiri (0,64%). Posisi perilaku tidur yang paling banyak dilakukan adalah melingkar (5,82%), terlentang (2,45%), dan memanjangkan tubuh (0,82%). Perilaku makan yang lebih banyak dilakukan adalah minum (3,44%), makan (2,79%), urinasi (1,53%), dan defekasi (1,4%). Kata kunci: Trenggiling, perilaku, penangkaran
I. PENDAHULUAN Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822) merupakan jenis mamalia yang masuk dalam daftar jenis satwa dilindungi di Indonesia dan terdaftar pada Appendix II CITES (IUCN, 2008). Perburuan liar terhadap satwa ini semakin meningkat, sehingga populasi di alam menurun secara drastis. Hal ini didorong de--ngan kondisi perdagangan trenggiling di Indonesia semakin marak sejak tahun 2000-an dan informasi terbaru terjadi pa-
da awal Mei 2012 di mana petugas Balai Karantina Kelas II Cilegon-Banten menemukan truk boks pendingin thermo king yang ditinggalkan oleh pemiliknya di area parkir Pelabuhan Merak, berisi 4.124,12 kilogram daging beku trenggiling dan sisik 31,36 kilogram trenggiling (Hamzah, 2012). Temuan tersebut merugikan negara sebanyak 8,23 milyar terutama apabila sudah menjadi daging siap saji di rumah makan China. Volume ekspor trenggiling secara ilegal dalam sa285
Vol. 9 No. 3 : 285-297, 2012
tu bulan terakhir mencapai 10-20 ton dengan omzet ratusan milyar rupiah. Nilai ekonomis penjualan trenggiling sangat tinggi yaitu harga daging trenggiling di Indonesia sekitar Rp 250.000,- per kilogram. Harga daging trenggiling di pasar internasional mencapai $ 112 AS per kilogram (sekitar Rp 1 juta) dan harga jual daging trenggiling di restoran mencapai $ 210 AS per kilogram (sekitar Rp 1,9 juta). Harga sisik trenggiling mencapai $ 1 AS per keping. Berdasarkan nilai jual yang tinggi tersebut, masyarakat berusaha untuk memenuhi permintaan ekspor dengan melakukan perburuan ilegal, sehingga populasi trenggiling di alam cenderung menurun lebih dari 50% dalam waktu 15 tahun terakhir (Adiseno, 2008). Kepunahan trenggiling pada umumnya disebabkan oleh tingkah laku manusia yang tidak bertanggungjawab. Perburuan liar dan penjualan trenggiling secara ilegal menyebabkan berkurangnya populasi di alam. Di samping itu, hutan yang merupakan habitat trenggiling, banyak dijadikan sebagai lahan perkebunan untuk mencukupi kebutuhan pangan manusia, sehingga habitat sebagai tempat hidup trenggiling yang layak, sudah hampir tidak ada lagi. Mengatasi penurunan populasi trenggiling di alam, perlu diantisipasi dengan melakukan penangkaran sebagai upaya untuk mempertahankan populasi yang mulai terancam punah. Prinsip yang harus diperhatikan dalam upaya penangkaran adalah memenuhi kebutuhan trenggiling untuk hidup layak dengan mengkondisikan lingkungan seperti pada habitat alami, sehingga trenggiling dapat bereproduksi dengan baik. Selain itu, keberhasilan upaya penangkaran trenggiling sangat didukung oleh pengetahuan dasar tentang pola perilaku yang dibutuhkan untuk pemenuhan kebutuhan hidup satwa tersebut. Pengetahuan tentang cara pemberian pakan dan perilaku makan merupakan faktor penentu yang sangat penting untuk mempertahankan populasi satwaliar tersebut. Menurut Suratmo (1979), 286
pemahaman tentang perilaku perlu diketahui untuk dapat menguasai ilmu atau pengetahuan tentang ekologi populasi dan pakan dalam rangka untuk mendapatkan keahlian dalam pembinaan populasi. Hafez (1969) melaporkan bahwa perilaku satwa (animal behaviour) bersifat genetis tetapi dapat berubah disesuaikan dengan pengaruh lingkungan dan proses belajar (learning process). Menurut Tanudimadja dan Kusumamihardja (1985), perilaku merupakan suatu aktivitas yang perlu melibatkan fungsi fisiologis dan setiap perilaku melibatkan penerimaan rangsangan melalui panca indera dan perubahan rangsangan menjadi aktivitas neural, aksi integrasi susunan syaraf, dan akhirnya aktivitas berbagai organ motorik, baik internal maupun eksternal. Perilaku satwa adalah respon atau ekspresi satwa oleh adanya rangsangan atau stimulus yang mempengaruhinya. Rangsangan tersebut terdiri dari dua macam, yaitu rangsangan dalam dan luar. Rangsangan dalam adalah faktor fisiologis sekresi hormon dan dorongan alat insentif sebagai akibat aktivititas. Rangsangan luar dapat berbentuk suara, pandangan, tenaga mekanis, dan rangsangan kimia (Mukhtar, 1986). Informasi mengenai perilaku trenggiling di penangkaran masih sangat terbatas, padahal perilaku dapat memberikan gambaran dan informasi tentang pakan (cara makan, konsumsi, waktu pemberian makan dan pola makan), tidur (posisi dan cara tidur, waktu tidur), dan bergerak (berjalan, memanjat, berdiri). Informasi ini dapat menunjang sistem penangkaran yang lebih baik, sehingga populasi trenggiling di masa yang akan datang setidaknya dapat dipertahankan dan lebih dikembangkan lagi. Tujuan penelitian adalah untuk memperoleh informasi tentang perilaku trenggiling dalam kandang agar dapat meningkatkan keberhasilan penangkaran. Informasi yang diperoleh diharapkan mampu memberikan gambaran tentang pengelolaan dan penangkaran trenggiling bagi
Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)…(R. Sawitri, dkk.)
pengusaha atau masyarakat yang berminat menangkarkan satwa ini agar efektif dan efisien, sehingga dapat berkembang lebih baik untuk mempertahankan populasi dari kepunahan.
II. BAHAN DAN METODE A. Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian dilaksanakan di penangkaran trenggiling, UD Multi Jaya Abadi, Desa Purwodadi, Kecamatan Sunggal, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara selama bulan Juli 2010. B. Bahan dan Alat Penelitian Bahan dan alat yang dipergunakan dalam penelitian adalah 11 individu trenggiling yang ditempatkan di dalam kandang secara individual dan atau berpasangan, jenis pakan, piring tempat pakan, bak yang digunakan sebagai tempat minum dan berendam atau bersembunyi, alat tulis, kamera, jam, dan thermo-hygro. C. Metode Penelitian 1.
Data yang Dikumpulkan
Teknik pengumpulan data dilakukan melalui wawancara dan pengamatan langsung untuk mengumpulkan data dan informasi tentang perilaku bergerak, tidur, dan makan. Data dan informasi yang diperoleh diharapkan dapat menunjang keberhasilan penangkaran trenggiling di lingkungan buatan. Perilaku bergerak yang diamati berupa aktivitas berjalan, mendatangi pakan, memanjat, dan berdiri. Perilaku ini dianggap penting karena berhubungan dengan persiapan sarana prasarana yang dibutuhkan trenggiling dalam melakukan aktivitas bergerak. Pengamatan perilaku bergerak meliputi frekuensi setiap aktivitas, rata-rata aktivitas, dan frekuensi relatif. Berjalan adalah aktivitas aktif yang dilakukan dengan cara berpindah tempat di lantai, sedangkan memanjat dilakukan
dari lantai dan naik ke atas ranting pohon atau kawat ram pada kandang. Mendatangi pakan adalah aktivitas mendekati pakan yang diberikan oleh petugas. Perilaku tidur pada trenggiling meliputi aktivitas melingkar, terlentang, dan memanjangkan tubuh. Pengamatan perilaku tidur pada trenggiling meliputi frekuensi aktivitas, rata-rata aktivitas, dan frekuensi relatif. Perilaku ini penting untuk mengetahui waktu, tempat, cara tidur trenggiling, dan aktivitas yang dilakukan pada saat tidur. Perilaku tidur mempunyai aktivitas pasif yang dilakukan secara stasionery dan mata terpejam dengan posisi tubuh melingkar, terlentang, memanjangkan tubuh, baik di lantai ataupun di atas kawat ram. Aktivitas ini dilakukan sepanjang siang hari sampai matahari terbenam, namun apabila cuaca panas maka satwa ini akan bangun untuk sekedar membasahi tubuhnya dengan mencelupkan muka dan badannya ke dalam bak air. Perilaku makan meliputi aktivitas makan, minum, defekasi (buang air besar), dan urinasi (buang air kecil). Aktivitas makan adalah aktivitas yang dilakukan dengan cara mendatangi tempat makan atau piring lalu mengkonsumsi pakan. Pakan yang dikonsumsi adalah untuk memperoleh energi yang diperlukan untuk beraktivitas. Untuk memperoleh energi tersebut diperlukan tempat yang khusus untuk melakukan aktivitas. Aktivitas makan perlu diketahui karena berhubungan dengan sarana dan prasarana yang digunakan. Minum merupakan aktivitas yang dilakukan dengan cara menjulurkan lidah dalam air. Defekasi adalah aktivitas membuang metabolisme dalam bentuk padat, sedangkan urinasi dilakukan dengan cara membuang metabolisme dalam bentuk cair. Data yang dikumpulkan diharapkan dapat menunjang keberhasilan penangkaran trenggiling di lingkungan buatan. Pengamatan perilaku trenggiling dilakukan mulai pukul 18.00 sampai pukul 23.00, kemudian dilanjutkan lagi dari pu287
Vol. 9 No. 3 : 285-297, 2012
kul 06.00 sampai pukul 18.00. Hal ini dilakukan karena trenggiling termasuk satwa nokturnal yang mulai beraktivitas pada malam hari dan siang hari lebih banyak melakukan aktivitas tidur, diselingi dengan aktivitas bergerak. Aktivitas bergerak dilakukan apabila kondisi lingkungan kurang nyaman misalnya cuaca yang cukup panas atau terjadi keributan, baik oleh ternak yang ada di sekitar lokasi (ayam, menthok, angsa) maupun oleh suara manusia. 2. Analisis Data Perilaku trenggiling diamati dan dianalisis berdasarkan kepentingannya dalam menunjang keberhasilan penangkaran. Frekuensi setiap aktivitas trenggiling dicatat dan dianalisis dengan menggunakan formula Sudjana (1992) sebagai berikut: F = Fi1 + Fi2 + Fi3 + ......Fin Dimana : F = Frekuensi Fi1,2,3, .......in = Frekuensi suatu aktivitas
Untuk mengetahui rata-rata setiap aktivitas digunakan rumus : Rata-rata aktivitas
=
Jumlah aktivitas dalam kandang Jumlah hari pengamatan
Frekuensi relatif aktivitas menggunakan rumus : Frel
=
Frekuensi suatu aktivitas Frekuensi seluruh aktivitas
=
fi fa
x 100 %
atau Frel
x 100 %
Dimana: Frel = Frekuensi relatif fi = Frekuensi suatu aktivitas, dan fa = Frekuensi seluruh aktivitas
III. HASIL DAN PEMBAHASAN A. Sarana dan Prasarana Kandang UD Multi Jaya Abadi Medan melakukan kegiatan usaha penangkaran trenggiling sejak tahun 2009, yang sebelum288
nya merupakan pengembangan dari penangkaran di kota Sibolga. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu sebanyak 11 buah, masing-masing berukuran 2 m x 5 m x 2 m (Gambar 1). Kandang dilengkapi dengan ember bak yang sebagiannya dipotong sebagai tempat tidur, ember bak berisi air minum atau untuk mendinginkan badan di saat suhu cukup tinggi dan udara panas, piring pakan serta ranting pohon mati sebagai tempat untuk memanjat. Pagar kandang terbuat dari teralis besi dilapisi kawat ram atau harmonika, disekat dengan dinding beton serta atap dari asbes. Pintu kandang berukuran 1 m x 1 m, menggunakan kunci gembok dan selot untuk keamanan. Beberapa kandang dipasang CCTV (Closed Circuit Television) guna memonitor aktivitas trenggiling yang sulit diamati, seperti perkawinan dan kelahiran anak. Bahan kandang berupa teralis dan kawat ram atau harmonika perlu dipelihara dan diperiksa secara rutin agar tidak ada yang menonjol ke luar, karena trenggiling seringkali memanjat, sehingga bagian kulit yang tidak bersisik, tidak terluka atau infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Kondisi kandang yang demikian disesuaikan dengan kebutuhan trenggiling untuk beraktivitas di alam, yaitu memanjat pohon untuk mencari pakan, tidur serta lubang sebagai tempat tidur (Nowak, 1999). Sarana dan prasarana kandang yang tersedia dianggap cukup memenuhi syarat untuk melakukan aktivitas. Hal ini terlihat dari keberhasilan trenggiling beradaptasi dengan lingkungan kandang melalui reproduksi di mana dari tiga individu betina dewasa, ternyata dapat melahirkan anak pada bulan Maret dan Juli 2010 (Gambar 2). Menurut Alikodra (1990), satwaliar mempunyai berbagai perilaku dan proses fisiologis untuk menyesuaikan diri dengan keadaan lingkungannya, sedangkan menurut Suratmo (1979), perilaku merupakan suatu ekspresi satwa yang disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang
Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)…(R. Sawitri, dkk.)
Gambar (Figure) 1. Kandang trenggiling di lokasi penangkaran UD Multi Jaya Abadi Medan (Pangolin cages in captive breeding of UD Multi Jaya Abadi Medan)
Gambar (Figure) 2. Anak trenggiling yang lahir bulan Maret dan Juli (Pangolin infant birth on March and July)
mempengaruhi dari dalam dan luar tubuh satwa. Pengaruh luar tubuh satwa tersebut di antaranya adalah suhu udara, seperti yang terjadi pada trenggiling yang ada di penangkaran. Hal ini merupakan faktor yang sangat penting dan perlu diperhatikan karena akan mempengaruhi aktivitas trenggiling di penangkaran. Tingkat kebisingan yang ditimbulkan oleh suara yang berasal dari lingkungan sekitar, seperti suara satwa atau ternak dan suara manusia akan mengganggu aktivitas trenggiling dan sering membuat trenggiling ketakutan dan stres, terutama yang masih baru. Kehadiran orang baru juga merupakan hal yang mengganggu dan akan mempengaruhi aktivitas trenggiling. Selain itu, keadaan suhu dan kelembaban udara di lingkungan sekitar merupakan faktor yang dapat mempengaruhi aktivitas trenggiling.
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa rata-rata suhu udara di UD Multi Jaya pada pagi hari (jam 07.00) adalah 31,20C dengan kelembaban 71,6%, siang hari (jam 13.00) sekitar 36,50C dengan kelembaban 57,2%, dan sore hari (jam 17.00) sebesar 33,50C dengan kelembaban 70,4%. Keadaan suhu yang cukup tinggi ini mempengaruhi perilaku trenggiling di dalam kandang. Suhu yang tinggi dan kelembaban yang rendah pada siang hari menyebabkan trenggiling tidak banyak melakukan lokomosi atau bergerak dan banyak melakukan aktivitas istrahat. Di alam, trenggiling umumnya tidur di dalam lubang dan suhu dalam lubang berkisar antara 29-310C dengan kelembaban 66-75%. B. Perilaku Trenggiling Pengamatan dan pencatatan perilaku dilakukan dengan mengklasifikasikan ke 289
Vol. 9 No. 3 : 285-297, 2012
dalam jenis perilaku bergerak, tidur dan makan mulai dari awal kegiatan berupa aktivitas gerak hingga berakhirnya aktivitas yaitu tidur. Pola penggunaan waktu harian ternyata bervariasi secara individu menurut umur, siklus biologi, status sosial, musim, dan karakteristik ekologi habitat (Santosa, 1993). 1. Perilaku Bergerak Perilaku bergerak berupa aktivitas berjalan, mendatangi pakan, memanjat dan berdiri.Aktivitas berjalan yaituaktivitas berpindah tempat di atas lantai menggunakan keempat tungkai dan dilakukan segera setelah bangun dari tidur, kemudian menuju tempat pakan atau minum atau sekedar berjalan memeriksa lingkungan sekitar. Aktivitas berjalan menuju tempat pakan atau minum dipengaruhi oleh suhu yang cukup tinggi dalam kandang dan sebagai bentuk adaptasi tingkah laku terhadap perubahan suhu pada pagi, siang, dan sore hari serta suatu mekanisme untuk mengimbangkan suhu tubuh dengan lingkungan (Novriyanti, 2011). Aktivitas memanjat dilakukan dengan gerakan vertikal dari lantai atau kandang bagian bawah lalu naik ke atas batang pohon atau kawat ram pada kandang bagian atas, menggunakan variasi antara keempat tungkainya. Kedua kaki depan digu-
Gambar (Figure) 3. Trenggiling berpasangan (The couple of pangolin)
290
nakan untuk menarik tubuhnya ke atas dan kedua kaki belakang digunakan untuk mendorong tubuhnya dari bawah. Aktivitas ini banyak dilakukan, baik di kandang individu maupun berpasangan. Trenggiling yang berpasangan, terlihat jantannya lebih aktif bergerak memanjat kawat naik-turun. Hal ini dilakukan untuk melatih otot kaki, karena kedua kakinya sangat bermanfaat pada saat menaiki betina. Aktivitas memanjat pada trenggiling betina umumnya dilakukan untuk menghindari sang jantan yang masih berkeinginan untuk kawin sementara betinanya telah bunting dan badannya bertambah besar (Gambar 3). Kondisi ini sesuai dengan status sosial dan siklus biologi (Santosa, 1993). Aktivitas berdiri lebih banyak dilakukan oleh trenggiling jantan dalam kandang individu yakni apabila merasa terganggu oleh gangguan, baik suara maupun gerakan dengan cara membaui (Gambar 4). Aktivitas berdiri dilakukan dengan dua kaki belakang dan menegakkan tubuh, yang bertujuan mengamati lingkungan sekitar dengan cara mendengus atau membaui. Hal ini sesuai dengan sifat trenggiling sebagai satwa soliter (Medway, 1969), sehingga kehadiran sesuatu yang baru akan sangat mengganggu.
Gambar (Figure) 4. Trenggiling sedang berdiri (Pangolin of standing position)
Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)…(R. Sawitri, dkk.)
Mendatangi pakan adalah aktivitas mendekati pakan atau minum yang diberikan, dilakukan bersamaan dengan membersihkan tubuh dengan cara mandi di bak air yang umumnya dilakukan setelah defekasi. Hasil analisis menunjukkan rata-rata frekuensi relatif dari perilaku bergerak yang dilakukan oleh trenggiling (Gambar 5) yakni berjalan (3,51%), mendatangi pakan (2,72%), memanjat (2,23%), dan berdiri (0,64%). 2. Perilaku Tidur Pengamatan perilaku tidur pada trenggiling di dalam kandang berlangsung lama dengan frekuensi yang kecil dan biasanya dilakukan sepanjang siang sampai sore hari. Trenggiling lebih banyak tidur pada siang hari, sehingga di penangkaran satwa ini tetap sebagai satwa yang nokturnal sebagaimana di alam (Medway, 1969). Aktivitas ini dilakukan sepanjang siang hari sampai matahari terbenam. Apabila cuaca panas, satwa ini akan bangun untuk sekedar membasahi tubuhnya dengan mencelupkan muka dan badannya ke dalam bak air, kemudian kembali tidur.
Posisi tidur yang paling umum dilakukan trenggiling di penangkaran adalah melingkar (5,82%), terlentang (2,45%), sedangkan memanjangkan tubuh (0,82%) hanya dijumpai pada satu trenggiling dengan kelainan (tidak memiliki ekor) sehingga tidak dapat melingkarkan badannya (Gambar 6). Saat melingkar, badan digulung seperti bola kemudian kepala dan keempat kakinya menyentuh perut. Posisi tidur melingkar yang umum dilakukan trenggiling adalah untuk menghindari adanya gangguan dengan cara menyembunyikan kepala dan bagian tubuh lainnya (Gambar 7) yang sangat lunak dan tidak bersisik (Abdurahim, 2006). Saat terlentang, trenggiling ada di atas lantai kemudian kakinya mencengkeram kawat, ekor ditekuk ke dalam dan lidahnya dijulurkan terutama pada saat panas terik, bahkan trenggiling sering mengeluarkan air ludah (saliva) yang lengket dari mulutnya. Posisi tidur terlentang (2,45%) di lantai lebih banyak dijumpai pada trenggiling jantan remaja sambil berpegangan pada kawat ram. Hal ini berkaitan dengan perilaku urinasi agar tidak terganjal dan langsung menyemprot ke atas (Gambar 8).
4 3,5 3
3.51
2,5 2.72 2
2.23
1,5 1 0,5
0.64
0 Berjalan (walking) Mendatangi Pakan (coming to food)
Memanjat (climbing)
Berdiri (standing)
Gambar (Figure) 5. Frekuensi relatif perilaku bergerak pada trenggiling di penangkaran (Relative frequency of moving behaviour of pangolin in captive breeding)
291
Vol. 9 No. 3 : 285-297, 2012
7 6 5
5.82
4 3 2
2.45
1 0.82 0 Melingkar (rounded)
Terlentang (supine)
Memanjangkan tubuh (stretching of body)
Gambar (Figure) 6. Frekuensi relatif perilaku tidur pada trenggiling di penangkaran (Relative frequency of sleeping behaviour of pangolin in captive breeding)
Gambar (Figure) 7. Salah satu posisi tidur trenggiling (Sleeping position of pangolin)
Selain itu, pada saat cuaca panas dan suhu tinggi trenggiling biasanya tidur di dalam bak air untuk mendinginkan badan sebagai salah satu bentuk adaptasi tubuh terhadap lingkungan kandang (Gambar 9). Hal ini dilakukan agar trenggiling tidak mengalami dehidrasi. Oleh karena itu, di dalam kandang harus disediakan bak atau kolam yang berisi air untuk mendinginkan suhu tubuh. Posisi tidur melingkar lebih banyak dilakukan oleh trenggiling betina ataupun yang berpasangan, di mana mereka saling 292
Gambar (Figure) 8. Posisi tidur jantan remaja (Sleeping position of juvenile male)
melingkarkan badan dan menyusupkan kepala satu sama lain terutama pada betina yang sedang bunting (Gambar 10). Posisi tidur ini dimaksudkan untuk melindungi kebuntingannya. Kondisi yang demikian dapat ditandai sebagai suatu bentuk sosial dengan terjadinya interaksi antar trenggiling di dalam kandang berpasangan. Pasangan yang belum kawin, di dalam satu kandang mereka akan tidur masing-masing secara terpisah satu sama lainnya.
Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)…(R. Sawitri, dkk.)
Gambar (Figure) 9. Posisi berendam dalam air (Sleeping position of pangolin, sub-merged in the water)
Aktivitas tidur pada trenggiling di penangkaran yang pakannya telah terpenuhi, dilakukan lebih dari 12 jam pada siang dan malam hari setelah makan. Trenggiling di alam, aktivitas tidur dilakukan hanya siang hari dan hampir sepanjang malam mereka melakukan kegiatan berjalan untuk mencari pakan, bahkan apabila ketersedian pakan agak jarang trenggiling akan mencari pakan sampai pagi hari sekitar jam 9.00-10.00 (Bismark, 2009). 3. Perilaku Makan Perilaku makan pada satwa meliputi bahan makanan yang dikonsumsi, baik cair maupun padat dan polanya berhubungan dengan anatomi dan fisiologi. Sebelum mengkonsumsi pakan, trenggiling mendengus dan menciumi pakan lalu menjulurkan lidahnya secara cepat dan kadang-kadang kedua kaki depan dimasukkan ke dalam tempat makan. Menurut Suratmo (1979), perilaku makan berhubungan dengan ketersediaan pakan, habitat atau lingkungan, musim, gangguan, kondisi biologis, dan cara makan. Demikian pula menurut Warsono (2002) bahwa perilaku makan dipengaruhi oleh faktor genetik, suhu lingkungan, jenis pakan yang tersedia, dan habitat. Pengamatan perilaku ini berhubungan langsung dengan aktivitas makan, yaitu bagaimana
Gambar (Figure) 10. Posisi tidur trenggiling berpasangan (Sleeping position of couples)
cara trenggiling mengambil pakan, aktivitas minum yaitu memasukkan air atau cairan ke dalam tubuh melewati mulut, aktivitas defekasi yaitu mengeluarkan kotoran dalam bentuk padat, dan aktivitas urinasi yaitu mengeluarkan kotoran berbentuk cair. Menurut Tomaszewska et al. (1991), tingkah laku makan, minum, dan kegiatan lain yang berhubungan dengan hal tersebut (defekasi dan urinasi), digolongkan ke dalam tingkah laku ingestif. Trenggiling di penangkaran UD Multi Jaya Abadi Medan diberi pakan kroto yang dicampur dedak dan jagung halus. Umumnya kroto yang dikonsumsi lebih dahulu dan apabila kroto sudah mulai berkurang, trenggiling tidak mau mengkonsumsinya lagi. Sering terlihat pakan ditumpahkan ke lantai kemudian lidahnya dijulurkan untuk mencari dan mengambil sisa kroto yang terdapat dalam campuran pakan tersebut. Church (1976) dalam Pratiwi (2008) mengatakan, hewan memiliki sifat seleksi yang cukup tinggi terhadap pakan yang tersedia, sehingga akan lebih banyak memakan jenis pakan yang paling disukainya. Perilaku makan trenggiling di penangkaran merupakan aktivitas harian yang berpengaruh terhadap keberhasilan kegiatan penangkaran trenggiling. Hal ini berkaitan dengan tindakan pengelolaan seperti teknik penangkaran trenggiling, baik 293
Vol. 9 No. 3 : 285-297, 2012
secara individual maupun berpasangan, jenis pakan, waktu dan perilaku makan serta kondisi biologis trenggiling (Novriyanti, 2011). Kondisi biologis trenggiling sangat berpengaruh terhadap perilaku makan terutama pada yang berpasangan. Hal ini dipengaruhi oleh interaksi sosial trenggiling jantan dan betina serta kondisinya yang dalam keadaan bunting atau tidak, usia trenggiling yang masih muda atau remaja serta sehat atau tidaknya satwa tersebut. Selain itu, iklim yang sangat ekstrim akan berpengaruh pula terhadap konsumsi pakan, apabila iklim panas maka konsumsinya akan menurun, sebaliknya apabila iklim dingin maka jumlah konsumsi akan meningkat (Tomaszewska et al., 1991). Pakan dikonsumsi untuk memperoleh energi yang diperlukan untuk beraktivitas. Guna memperoleh energi tersebut, diperlukan tempat yang khusus untuk melakukan aktivitas. Oleh karena itu, fasilitas kandang harus disesuaikan dengan kebiasaan trenggiling, misalnya atap kandang tidak menggunakan bahan yang panas sehingga perilakunya tidak terganggu.
Aktivitas minum dipengaruhi oleh kondisi cuaca panas dan suhu tinggi sehingga trenggiling lebih sering minum. Kondisi ini berlainan dengan situasi di alam, di mana lingkungannya lebih dingin dan sesuai dengan suhu tubuh trenggiling seperti pada lubang dalam tanah atau pohon (Nowak, 1999). Aktivitas minum dilakukan dengan cara kepala dimasukkan ke dalam bak air kemudian lidah dijulurkan dengan cara menyerap, kadang-kadang kedua kaki depan dimasukkan dalam bak air. Defekasi dan urinasi dilakukan setiap hari secara tidak bersamaan dengan frekuensi secara keseluruhan seperti pada Gambar 11. Trenggiling di kandang penangkaran, baik individual maupun berpasangan lebih banyak melakukan aktivitas minum (3,44%) dibandingkan makan (2,79%), dan urinasi lebih banyak (1,53%) dibanding defekasi (1,4%). Hal ini berhubungan erat dengan jenis pakan trenggiling yakni berupa dedak padi, tepung jagung, dan kroto. Campuran pakan ini menuntut trenggiling untuk minum setiap selesai makan. Selain itu, struktur lidah trenggiling cukup panjang (15-20 cm) dan
4 3,5 3.44
3 2,5
2.79
2 1,5 1.4
1
1.53
0,5 0 Makan (eating)
Minum (drinking)
Defekasi (defecation)
Urinasi (urinoir)
Gambar (Figure) 11. Frekuensi relatif perilaku makan pada trenggiling di penangkaran (Relative frequency of eating behaviour of pangolin in captive breeding)
294
Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)…(R. Sawitri, dkk.)
Gambar (Figure) 12. Trenggiling sedang minum (Pangolin of drinking position)
berlendir sehingga apabila terkena pakan bertepung akan menempel (Nisa, 2005). Di samping itu, kebutuhan minum juga disebabkan cuaca panas dan suhu tinggi walaupun di malam hari. Kebutuhan air selain untuk minum, juga dilakukan untuk mendinginkan tubuh dengan memasukkan kepala sampai kuping ke bak air (Gambar 12). Karena kondisi biologisnya yang membutuhkan asupan pakan untuk kebutuhan anak di dalam rahimnya, trenggiling betina yang sedang bunting di kandang berpasangan lebih banyak makan dibanding pasangan jantan. Dalam setiap aktivitasnya, trenggiling jantan cenderung hanya ingin mengawini betina dengan cara membangunkan betina yang sedang tidur dan kemudian mengikutinya dari belakang serta mencoba menaikinya. Jumlah pakan yang dikonsumsi dan frekuensi makan pada anak ataupun remaja trenggiling, tidak banyak karena mereka lebih banyak bergerak dan tidur. Aktivitas defekasi dan urinasi dilakukan hampir tidak bersamaan. Defekasi umumnya dilakukan setelah bangun tidur atau setelah makan, baik di lantai maupun di tempat minum. Apabila defekasi dilakukan di tempat minum, trenggiling tidak akan menggunakannya lagi untuk minum, sehingga bak air untuk minum dan tempat defekasi sangat diperlukan. Perilaku dan posisi tubuh trenggiling saat melaku-
Gambar (Figure) 13. Pasangan trenggiling sedang makan (Couples of pan at eating position)
kan defekasi seperti posisi ketika melakukan urinasi, yaitu dilakukan dengan cara setengah duduk atau jongkok. Pada saat penelitian, faeces yang dikeluarkan kadang tidak normal, yaitu berbentuk cair dan lembek. Bentuk faeces yang normal pada umumnya padat dan berbentuk panjang lonjong. Hasil pengamatan menunjukkan aktivitas defekasi cukup banyak dilakukan pada pagi hari dibandingkan malam hari. Tingginya aktivitas defekasi pada pagi hari disebabkan oleh hasil metabolisme konsumsi pakan pada malam tidak langsung dicerna oleh tubuh, sehingga dikeluarkan pada pagi hari. Aktivitas urinasi biasanya terjadi setelah defekasi, meski tidak selalu demikian. Saat trenggiling terbangun, sebelum melakukan aktivitas lain, yang dilakukan pertama kali adalah urinasi dan defekasi. Total nilai aktivitas urinasi sebesar 1,53% lebih tinggi dari aktivitas defekasi. Nilai ini mempunyai urutan ketiga terbesar dalam hasil persentase aktivitas yang berhubungan dengan makan. Tingginya aktivitas urinasi trenggiling dibanding defekasi pada penelitian ini karena metabolisme air yang diminum atau tergantung pada zat nutrien pakan yang dikonsumsi. Konsumsi air yang terdapat dalam zat nutrien pakan akan termetabolisme dan dikeluarkan lewat urine. Perilaku trenggiling saat melakukan aktivitas urinasi yaitu dengan cara jongkok atau setengah duduk. Biasa295
Vol. 9 No. 3 : 285-297, 2012
nya betina melakukannya di lantai sedangkan yang jantan melakukan sambil memanjat sehingga air kencingnya memancar hingga 1,5-2,5 m.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan 1.
2.
3.
4.
Sarana dan prasarana di kandang penangkaran sesuai dengan kebutuhan trenggiling di alam sehingga mempermudah adaptasi dengan lingkungan buatan dan beraktivitas harian guna keberhasilan proses produksi maupun reproduksi. Perilaku bergerak yang paling banyak dilakukan adalah berjalan, diikuti oleh aktivitas mendatangi pakan, memanjat, dan yang terendah adalah aktivitas berdiri yang merupakan respon tubuh trenggiling terhadap pengaruh dari luar seperti suhu, gangguan dan adaptasi tubuh terhadap lingkungan. Perilaku tidur paling banyak dilakukan pada siang hari dan posisi tertinggi adalah melingkar sesuai dengan perilakunya di alam dalam rangka menjaga bagian tubuh yang lemah, dari gangguan predator. Perilaku makan lebih sedikit dilakukan dibanding minum karena berkaitan dengan jenis pakan dan respon tubuh trenggiling terhadap suhu di kandang penangkaran yang cukup tinggi. Demikian juga aktivitas urinasi lebih tinggi dibandingkan dengan defekasi.
B. Saran 1.
296
Sarana dan prasarana kandang trenggiling hendaknya disesuaikan dengan kebutuhan untuk beraktivitas, misalnya atap sebaiknya terbuat dari bahan yang tidak panas, kawat atau besi sebaiknya tidak kasar atau tajam karena bagian kulit trenggiling yang
2.
tidak bersisik sangat peka dan mudah luka, tiang cor tidak terlalu licin; kawat, besi serta ranting pohon tidak tajam sehingga trenggiling tidak terluka pada saat memanjat, lantai bagian bawah dicor sedalam 2 m sehingga trenggiling bisa ngerong atau masuk ke dalam tanah tanpa harus khawatir hilang. Perlu alat bantu berupa CCTV untuk mengamati perilaku perkembangbiakan yang meliputi perjodohan, perkawinan, dan kelahiran anak.
DAFTAR PUSTAKA Abdurahim. (2006). Salah satu jenis satwa dilindungi yang ada di Pegunungan Meratus. Banjarbaru: Yayasan Cakrawala Hijau Indonesia. Adiseno. (2008, Oktober 20 ). Belasan trenggiling dari Mentawai disita. Sinar Harapan. Alikodra, H. S. (1990). Teknik pengelolaan satwaliar, dalam rangka mempertahankan keanekaragaman hayati Indonesia. Bogor: Yayasan Penerbit Fakultas Kehutanan IPB. Bismark, M. (2009). Penangkaran trenggiling di Hutan Penelitian Dramaga (Laporan Tahunan). Bogor: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam (unpublished). Hafez, E. S. (Ed). (1969). The behaviour of domestic animals (2nd). Baltimore : Williams & Withins Co. Hamzah, E. (2012, Juni 15). Menteri Kehutanan musnahkan 12,7 ton trenggiling ilegal. Retrieved from http: //www.tempo.co/read/news/2012/0 6/15/090410826/MenteriKehutanan-Musnahkan-127-TonTenggiling-Ilegal. Medway, L. (1969). The wild mammals of Malaya. London: Oxford University Press. IUCN. (2008, October 30). IUCN Red list of threatened species. Retreived from www.iucnredlist.org.
Perilaku Trenggiling (Manis javanica Desmarest, 1822)…(R. Sawitri, dkk.)
Mukhtar, A. S. (1986). Dasar-dasar ilmu tingkah laku satwa (Ethologi). Bogor: Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam, Departemen Kehutanan. Nisa, C. (2005). Morphological studies of the stomach of Malayan Pangolin Manis javanica (Graduate School). Bogor: Agricultural University, Bogor. Novriyanti. (2011). Kajian manajemen penangkaran, tingkat konsumsi, palatabilitas pakan, dan aktivitas harian trenggiling (Manis javanica) di penangkaran UD. Multi Jaya Abadi Sumatera Utara (Skripsi). Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Nowak, R. (1999). Walkers mammals on the World (6th). Baltimore: Johns Hopkins University Press. Pratiwi, N. A. (2008). Aktivitas pola makan dan pemilihan pakan pada lutung kelabu betina (Trachypithecus cristatus, Raffles 1812) di Pusat Penyelamatan Satwa Gadog Ciawi – Bogor (Skripsi). Program Studi Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Santosa, Y. (1993). Strategi kuantitatif untuk pendugaan beberapa parameter demografi dan kuota pemanenan populasi satwaliar berdasarkan pendekatan ekologi perilaku. Studi kasus terhadap populasi rusa jawa (Cervus timorensis) di Pulau Peucang (Laporan Penelitian). Fakultas Kehutanan, IPB. Bogor. Sudjana, M. A. (1992). Disain dan analisis eksperimen. Bandung: Tarsito. Suratmo, F. G. (1979). Prinsip dasar tingkah laku satwaliar. Bogor: Institut Pertanian Bogor Press. Tanudimadja, K., & Kusumamihardja, S. (1985). Perilaku hewan ternak. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Tomaszewska, M.W, Sutama, I. K., Chaniago, T. D. (1991). Reproduksi, tingkah laku, dan produksi ternak di Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Warsono, I. U. (2002). Pola tingkah laku makan dan kawin burung kasuari (Casuarrius sp.) dalam penangkaran di Taman Burung dan Taman Anggrek Biak. Retrieved from http: //rudict.tripod.com/Sem 1-023.
297