ANALISIS ZONA PESISIR TERDAMPAK BERDASARKAN MODEL DISPERSI THERMAL DARI AIR BUANGAN SISTEM AIR PENDINGIN PT. BADAK NGL DI PERAIRAN BONTANG KALIMANTAN TIMUR
KASMAN
PENGELOLAAN SUMBERDAYA PESISIR DAN LAUTAN SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2011
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI
Saya yang bertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul : Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.
Bogor, Juli 2011
Kasman C261060071
ABSTRAK Simulasi buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk memprediksi pola sebaran suhu telah dilakukan dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3D dengan mengaplikasikan model POM (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu (∆t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T 0 = 28 oC dan S 0 = 32 ‰. Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan nilai korelasi 0.97 untuk verifikasi elevasi, korelasi 0.90 untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama serta korelasi 0.87 saat bulan perbani. Hasil simulasi menunjukkan perbedaan pola sebaran suhu permukaan paling ekstrim ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum. Perbedaan terutama terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 oC saat surut maksimum dan 35 oC saat pasang maksimum (ΔT=6 oC). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun C yakni sekitar 2.54 oC untuk skenario musim kemarau dan 2.32 oC untuk skenario musim hujan. Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dan terumbu karang dipelajari dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, di mana waktu observasi lapangan untuk fitoplankton disesuaikan dengan waktu cuplik model. Hasil penelitian menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan, jumlah spesies dan indeks keanekaragaman fitoplankton. Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 oC, di mana pada suhu ini jumlah spesies, kelimpahan dan indeks keanekaragaman fitoplankton sangat kecil dibandingkan dengan fitoplankton pada suhu alami. Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu sampai 35.3 oC akibat buangan air pendingin menyebabkan kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 oC di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang. Kata Kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang
ABSTRACT Simulation of cooling-water discharges from PT. Badak NGL was conducted to predict the pattern of thermal dispersion by using hydrodynamic model and 3-D thermal transport by applying POM model (Princeton Ocean Model) (Mellor 2003). Driving forces used in this model were tides, flows of cooling water discharge and rivers discharge. Choice of time step (∆t)=0.5 second, with 118 grids (west-east) and 187 grids (north-south), grid size Δx=Δy=30 m. Initial value : u=v=ζ=0, T 0 =28 oC and S 0 =32 ‰. Verification of elevation and temperature between results of models and direct measurement showed a good suitability with correlation value was 0.97 for elevation verification, correlation 0.90 and 0.87 for thermal verification during spring and neap tides, respectively. Results of simulation revealed the most extreme difference in pattern of surface thermal dispersion that found during spring tide for sampling condition of maximum tide and ebb. Distinct difference was especially found at station 8 (mixing point) i.e. 41 oC during maximum ebb and 35 oC during maximum high tide. Whereas, significantly high thermal difference between upper layer and bottom layer was found at station C i.e. around 2.54 oC for dry season scenario and 2.32 oC for wet season scenario. Effects of elevated water temperature from a thermal discharge on phytoplankton and coral reef was studied by using simulation results, where field observation for phytoplankton was adjusted with the time of output model. The results showed the negative correlation between temperature with abundance, the number of species and diversity index of phytoplankton. Impact of increase in temperature on the phytoplankton is mainly found in the waters with temperature > 37.91 oC, where at this temperature the number of species, abundance and diversity index of phytoplankton is very small compared with phytoplankton at natural temperature. As for coral reefs results simulation sampled at a location where the coral reefs found. The results showed that the increase of temperature up to 35.3 oC due discharge of cooling water caused the death of the coral reefs. While the temperature rise up to 33.3 oC in front of the Sieca Island cause damage to death of coral reefs. Keywords : POM model, cooling-water and rivers discharges, thermal dispersion, phytoplankton, coral reef
RINGKASAN KASMAN. 2011. Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur. Dibimbing oleh ISMUDI MUCHSIN, ZAINAL ARIFIN, ARIO DAMAR, and I WAYAN NURJAYA. Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju metabolisme organisme dan mengurangi konsentrasi oksigen terlarut (Poornima et al. 2005) sehingga dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O 2 tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003). Model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Maderich et al. 2008) serta dapat memprediksi dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000). PT. Badak NGL membuang air pendingin ke perairan Bontang dengan debit buangan air pendingin cukup besar yakni train A-F sebesar 141 000 m3/jam, train G sekitar 34 359 m3/jam, train H sebesar 36 254 m3/jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar, suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar 43.89 oC saat pasang dan 45.56 oC saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin train G terukur 40 oC pada saat pasang dan 40.56 oC pada saat surut (Pertamina 2003). Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi dan menggunakan hasil model tersebut untuk menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL. Metode dalam penelitian meliputi : (i) survei lapangan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk penetapan untuk daerah model; (ii) identifikasi kondisi sebaran biota laut yang terdapat dalam daerah model; (iii) simulasi pola sebaran suhu buangan air pendingin dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model), dimana gaya pembangkit yang digunakan dalam model adalah pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Pemilihan langkah waktu (∆t)=0.5 detik, dengan 118 grid (barat-timur) dan 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m. Nilai awal : u=v=ζ=0, T 0 = 28 oC dan S 0 = 32 ‰. Simulasi model terdiri dari 4 skenario yakni : skenario musim kemarau dan musim hujan masing-masing untuk kondisi pasut purnama dan perbani; (iv) analisis dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang dengan menggunakan hasil simulasi model dispersi thermal; (v) rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir yang meliputi pengelolaan buangan air pendingin serta arahan kebijakan terkait suhu buangan air pendingin. Verifikasi elevasi dan suhu antara hasil model dengan hasil pengukuran menunjukkan kesesuaian yang baik dengan koefisien korelasi (r) 0.97, kesalahan relatif rata-rata (MRE) 1.32% untuk verifikasi elevasi, r 0.90, MRE 5.17 % untuk verifikasi suhu permukaan pada saat bulan purnama dan r 0.87, MRE 7.12% saat bulan perbani. Verifikasi suhu dalam arah vertikal juga menunjukkan kesesuaian yang baik yakni layer-1 r 0.83, MRE 1.56%; layer-2 r 0.79, MRE 2.08%; layer-3
r 0.73, MRE 2.36%; dan layer-4 r 0.71, MRE 2.94%. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu baik arah horizontal (permukaan) maupun arah vertikal untuk empat kondisi cuplik hasil model (air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum) baik untuk skenario musim hujan maupun musim kemarau. Perbedaan suhu paling dinamis ditemukan pada saat purnama untuk kondisi cuplik pasang maksimum dan surut maksimum terlihat pada Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) yakni 41 oC saat surut maksimum dan 34.25 oC saat pasang maksimum (ΔT=6 oC). Adapun perbedaan suhu antara lapisan atas dan lapisan bawah yang cukup besar ditemukan di Stasiun 8 yakni sekitar 2.54 oC untuk skenario musim kemarau dan 2.32 oC untuk skenario musim hujan. Perbedaan suhu antara outfall 1, kolam pendingin (700 m dari outfall 1), Muara Kanal Pendingin (zona terdampak) (2 100 m dari outfall 1) dan perairan depan Pulau Sieca (3 200 m dari outfall 1) bervariasi menurut kondisi cuplik, dengan kisaran suhu berturut-turut sebagai berikut : 43.54-44.00 oC, 41.5-43.2 oC, 34.25-41.02 oC dan 32.23-33.21 oC. Dengan demikian perbedaan suhu antara kolam pendingin dengan Muara Kanal Pendingin berkisar antara 0.48-8.95 oC, perbedaan tertinggi tercatat saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum dan terendah pada saat pasang maksimum. Sementara perbedaan suhu antara Muara Kanal Pendingin dengan Pulau Sieca berkisar antara 1.04-8.79 oC, tertinggi pada saat purnama untuk waktu cuplik surut maksimum. Selanjutnya dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dianalisis dengan menggunakan hasil model dispersi thermal, dimana waktu dan lokasi pengambilan sampel fitoplankton disesuaikan dengan waktu dan titik cuplik hasil model. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata untuk empat kondisi pengambilan sampel, yang berarti bahwa jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut dan musim. Hasil penelitian juga menunjukkan adanya korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton. Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang nyata antara jumlah spesies Stasiun Kontrol dengan Stasiun A, B dan C. Demikian pula analisis kelimpahan fitoplankton menunjukkan tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan fitoplankton di Stasiun Kontrol dengan stasiun lainnya, kecuali pada Stasiun A, B dan C. Hal ini berarti jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton pada A, B dan C dipengaruhi oleh tingginya suhu di stasiun tersebut, dalam hal ini dampak kenaikan suhu terhadap jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton terutama ditemukan pada perairan dengan suhu >37.91 oC. Sementara untuk terumbu karang hasil simulasi dicuplik pada lokasi di mana ditemukan adanya terumbu karang. Hasil analisis menunjukkan bahwa kenaikan suhu sampai 35.3 oC akibat buangan air pendingin menyebabkan kematian total terumbu karang, hal ini ditemukan pada terumbu karang di Sekambing Muara. Sementara kenaikan suhu hingga 33.3 oC di depan Pulau Sieca menyebabkan kerusakan sedang hingga kematian terhadap terumbu karang. Kata kunci : model POM, buangan air pendingin dan debit sungai, sebaran suhu, fitoplankton, terumbu karang
@Hak Cipta milik IPB, tahun 2011 Hak Cipta dilindungi Undang-undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB
ANALISIS ZONA PESISIR TERDAMPAK BERDASARKAN MODEL DISPERSI THERMAL DARI AIR BUANGAN SISTEM AIR PENDINGIN PT. BADAK NGL DI PERAIRAN BONTANG, KALIMANTAN TIMUR
KASMAN
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2011
Penguji pada Ujian Tertutup : Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phil Dr. Ir. Tri Prartono, M.Sc Penguji pada Ujian Terbuka : Ir. Nurul Jannah, MM, PhD Dr. Ir. Endhay Kusnendar, MS
Judul Disertasi
: Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur
Nama
: Kasman
NRP
: C261060071
Program Studi
: Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Disetujui Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin Ketua
Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc Anggota
Dr. Ir. Ario Damar, MSi Anggota
Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc Anggota
Diketahui, Ketua Program Studi
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA
Dr. Ir. Dahrul Syah, M.Sc.Agr
Tanggal Ujian : 19 Mei 2011
Tanggal Lulus : .................................
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT Tuhan semesta alam karena berkat rahmat dan petunjuk-Nya sehingga Disertasi ini dapat diselesaikan. Sejak awal penyusunan disertasi ini penulis telah diperhadapkan pada berbagai permasalahan baik yang bersifat teknis maupun non-teknis. Namun berkat usaha yang tidak pernah mati dan adanya berbagai dukungan dari pembimbing maka draft disertasi ini dapat dirampungkan. Karena itu, penulis menyampaikan rasa terima kasih yang sebesarbesarnya kepada Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin selaku pembimbing utama dalam penelitian ini yang secara bijaksana telah memberi pandangan yang luas dalam penulisan proposal ini. Demikian juga rasa terima kasih yang dalam saya sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Zainal Arifin, MSc, Dr. Ir. Ario Damar, M.Si dan Dr. Ir. I Wayan Nurjaya, MSc, selaku pembimbing anggota yang telah banyak memberi masukan dan solusi terhadap permasalahan-permasalahan yang penulis hadapi dalam penulisan disertasi ini. Rasa hormat yang setinggi-tingginya dan terimakasih yang sedalamdalamnya penulis sampaikan kepada Bapak Dr. Ir. Unggul Aktani, MSc (almarhum) atas jasa-jasanya membimbing penulis selama ini baik yang bersifat akademik maupun spirituil. Semoga amal baik beliau diterima di sisi Allah SWT, diampuni segala dosanya dan diberi tempat yang mulia di sisi-Nya, amin. Akhirnya penulis menyadari bahwa disertasi ini masih jauh dari kesempurnaan, sehingga sangat diharapkan adanya kritik dan saran membangun dalam rangka perbaikan yang lebih komprehensif.
Bogor,
Juli 2011
Kasman
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Sila-sila, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat pada tanggal 24 Maret 1974. Penulis adalah anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan keluarga Bapak H. Muhammad Kasim (Alm) dan Ibu Hj. St. Fatimah. Setelah lulus dari SMA Negeri 1 Polewali Tahun 1992 penulis kemudian melanjutkan pendidikan strata-1 pada Jurusan Kimia, Fakultas MIPA, Universitas Hasanuddin. Pada Tahun 2003 penulis melanjutkan pendidikan magister pada Program Studi Oseanografi, Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM), Institut Teknologi Bandung, lulus pada tahun 2006. Pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan program doktor pada program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. Penulis bekerja sebagai staf pengajar Fakultas Teknik Universitas Trunaya Bontang sejak tahun 2002, dengan bidang keilmuan berkonsentrasi pada pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Selain sebagai tenaga pengajar, penulis juga aktif dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang pendidikan dan pengelolaan wilayah pesisir. Analisis Zona Pesisir Terdampak Berdasarkan Model Dispersi Thermal dari Air Buangan Sistem Air Pendingin PT. Badak NGL di Perairan Bontang, Kalimantan Timur merupakan karya ilmiah yang sebagian muatannya diselesaikan di Tokyo University of Marine Science and Technology (TUMSAT), Jepang. Hal ini berkat diberikannya kesempatan bagi penulis untuk mengikuti Program Sandwich dari Direktorat Pendidikan Tinggi Republik Indonesia tahun 2009 di Universitas tersebut.
Glossaries :
Ambient level
= suhu alami
BML
= Baku Mutu Lingkungan
ANOVA
= Analysis of Variance
CFL
= Courant-Friedrichs-Levy
Cooling Water
= air buangan dari proses pendingin
Grid
= Teknik penyusunan cell dalam model
Intake
= lokasi dimana air laut diambil sebagai air pendingin
Isotherm
= garis yang menghubungkan nilai suhu yang sama
Kepmen LH
= Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Layer
= Lapisan berdasarkan kedalaman perairan
LNG
= Liquefied Natural Gas
LPG
= Liquefied Petroleum Gas
MRE
= Mean Relative Error
Mixing point
= Daerah dimana terjadi percampuran antara air buangan dengan air laut
ORITIDE
= Ocean Research Institute TIDE
Outfall
= lokasi dimana buangan air pendingin dilepas ke perairan
Outlet
= titik dimana buangan air pendingin keluar pertama kali dari pipa sistem pendingin
Permen LH
= Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup
POM
= Princeton Ocean Model
SK Gubernur
= Surat Keputusan Gubernur
Titik cuplik
= titik dimana hasil model diprint hasilnya
Train
= kilang dimana terjadi proses pencairan gas
TC
= titik cuplik
Waktu cuplik
= waktu dimana hasil model diprint hasilnya
DAFTAR ISI Halaman
1
2
3
DAFTAR TABEL...................................................................................
xvii
DAFTAR GAMBAR..............................................................................
xix
DAFTAR LAMPIRAN .........................................................................
xxv
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1.2 Perumusan Masalah........................................................................... 1.3 Tujuan Penelitian............................................................................... 1.4 Manfaat Penelitian............................................................................. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian................................................................. 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian...........................................................
1 2 3 3 3 3
TINJAUAN PUSTAKA 1.1 Gambaran Umum Kota Bontang..................................................... 1.1.1 Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi..................... 1.1.2 Kondisi Pasang Surut............................................................ 1.1.3 Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang................................. 1.1.4 Kondisi abiotik Perairan Bontang…………………………. 1.2 Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL........................................ 1.3 Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya…………... 1.3.1 Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya… 1.3.2 Pengaruh Limbah Panas terhadap Biota Laut…….............. 1.3.2.1 Terumbu Karang....................................................... 1.3.2.2 Fitoplankton.............................................................. 1.4 Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia…………………… 1.5 Model Dispersi Thermal.................................................................. 1.5.1 Model Hidrodinamika 3-Dimensi......................................... 1.5.1.1 Persamaan-persamaan Dasar................................... 1.5.1.2 Implementasi Teknik Mode Pemisah...................... 1.5.1.3 Penyusunan Grid...................................................... 1.5.1.4 Penentuan Langkah Waktu……………………….. 1.5.1.5 Syarat Batas (Boundary Condition)……………….
5 6 7 7 8 9 11 11 11 11 15 20 22 23 23 27 27 28 29
METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian........................................................... 3.2 Daerah Model.................................................................................. 3.3 Pendekatan Penelitian..................................................................... 3.4 Tahapan Pelaksanaan Studi............................................................. 3.4.1 Tahap Persiapan………………………………………….. 3.4.2 Tahap Penelitian Lapangan………………………………. 3.4.2.1 Survei oseanografi dan debit sungai……………... 3.4.2.2 Analisis sumberdaya pesisir……………………… 3.5 Desain dan Skenario Model………………………………………
31 31 33 36 36 36 36 39 41
xiii
xiv
3.6 3.7 3.8 3.9 3.10 4
3.5.1 Desain Simulasi Model Hidrodinamika…………………... 3.5.2 Elevasi Pasang Surut di Batas Terbuka Model...................... Verifikasi Hasil Model ………………………………………….. Data Simulasi.................................................................................. Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton.............. Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang........ Analisis Zona Pesisir Berdasarkan Kenaikan Suhu Perairan……..
41 43 43 45 46 46 47
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian…………………………. 49 4.1.1 Kondisi Pasang Surut……………………………………… 49 4.1.2 Hasil Pengukuran Suhu……………………………………. 50 4.1.2.1 Suhu Permukaan………………………………….. 50 4.1.2.2 Suhu Arah Vertikal………………………………. 51 4.1.3 Kondisi Sungai di Wilayah Penelitian…………………….. 51 4.2 Verifikasi Model………………………………………………….. 52 4.2.1 Verifikasi Elevasi Pasang Surut…………………………… 52 4.2.2 Verifikasi Suhu …………………………………………… 53 4.2.2.1 Verifikasi Suhu Permukaan……………………….. 53 4.2.2.2 Verifikasi Suhu Arah Vertikal.……………………. 55 4.2.3 Verifikasi Pola Arus……………………………………...... 56 4.3 Profil Suhu Hasil Model…………………………………………... 57 4.3.1 Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Pasut Perbani........ 58 4.3.1.1 Struktur Vertikal Suhu…………………………….. 58 4.3.1.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan…………………….. 60 4.3.2 Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Pasut Purnama…... 66 4.3.2.1 Struktur Vertikal Suhu…………………………….. 66 4.3.2.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan…………………….. 68 4.3.3 Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Pasut Perbani……… 73 4.3.3.1 Struktur Vertikal Suhu……………………………... 73 4.3.3.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan……………………... 75 4.3.4 Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Pasut Perbani ........... 79 4.3.4.1 Struktur Vertikal Suhu……………………………... 79 4.3.4.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan……………………... 81 4.4 Kualitas Buangan Air Pendingin..................................................... 85 4.5 Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL.................................. 86 4.6 Struktur Vertikal Suhu dan Kondisi Fitoplankton di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton……………………………….. 90 4.6.1 Stasiun A …………………………………………………… 90 4.6.1.1 Musim Kemarau……………………………………. 90 4.6.1.2 Musim Hujan……………………………………….. 93 4.6.2 Stasiun B …………………………………………………… 95 4.6.2.1 Musim Kemarau……………………………………. 95 4.6.2.2 Musim Hujan……………………………………….. 96 4.6.3 Stasiun C …………………………………………………… 98 4.6.3.1 Musim Kemarau……………………………………. 98 4.6.3.2 Musim Hujan……………………………………….. 100 4.6.4 Stasiun D …………………………………………………… 102
xv
4.6.4.1 Musim Kemarau…………………………………….. 4.6.4.2 Musim Hujan………………………………………... 4.6.5 Stasiun E ……………………………………………………. 4.6.5.1 Musim Kemarau…………………………………….. 4.6.5.2 Musim Hujan……………………………………….. 4.6.6 Stasiun F …………………………………………………… 4.6.6.1 Musim Kemarau…………………………………….. 4.6.6.2 Musim Hujan………………………………………... 4.6.7 Stasiun G (Stasiun Kontrol)………………………………… 4.6.7.1 Musim Kemarau…………………………………….. 4.6.7.2 Musim Hujan………………………………………... 4.6.8 Stasiun H …………………………………………………… 4.6.8.1 Musim Kemarau…………………………………….. 4.6.8.2 Musim Hujan………………………………………... 4.7 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton………… 4.7.1 Profil Suhu di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton 4.7.2 Analisis Spesies Fitoplankton…………………………….. 4.7.2.1 Profil Spesies berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim……………………………………………. 4.7.2.2 Pengaruh Suhu terhadap Jumlah Spesies Fitoplankton……………………………………… 4.7.3 Analisis Kelimpahan Fitoplankton………………………... 4.7.3.1 Kelimpahan Fitoplankton berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim………………………………... 4.7.3.2 Pengaruh Suhu terhadap Kelimpahan Fitoplankton……………………………………… 4.8 Analisis Terumbu Karang……………………………………….. 4.8.1 Kondisi Terumbu Karang yang Tidak Terkena Dampak…. 4.8.1.1 Pulau Beras Basah……………………………….. 4.8.1.2 Pulau Melahing…………………………………... 4.8.2 Kondisi Terumbu Karang yang Terkena Dampak………. 4.8.2.1 Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca……………………………….. 4.8.2.2 Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca... 4.8.2.3 Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara……………………………….. 4.8.2.4 Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara… 4.9 Analisis Kondisi Perairan Berdasarkan Kriteria Suhu untuk Fitoplankton……………………………………………………... 4.9.1 Kondisi Menuju Pasang…………………………............... 4.9.2 Kondisi Pasang Maksimum...……………………............... 4.9.3 Kondisi Menuju Surut...…………………………............... 4.9.4 Kondisi Surut Maksimum.………………………............... 4.10 Arahan Pengelolaan………………………………………………. 4.10.1 Menurunkan Suhu Buangan Air Pendingin……………... 4.10.2 Pendalaman Kolam Pendingin………..…………………. 4.10.3 Perluasan Kolam Pendingin……………………………... 4.10.4 Pelebaran Kanal Pendingin………………………………
102 104 105 105 107 109 109 110 112 112 114 115 115 117 119 119 120 120 121 127 127 128 131 131 131 132 133 133 137 138 141 142 143 144 146 148 150 150 154 156 157
xvi
4.10.5 Regulasi Buangan Air Pendingin…..……………………. 4.11 Implikasi Buangan Air Pendingin terhadap Tata Ruang Kota Bontang…………………………………………………………... 5
158 162
KESIMPULAN DAN SARAN 5.1 Kesimpulan………………………………………………..……. 165 5.2 Saran……………………………………………………………… 165 DAFTAR PUSTAKA………………………………………………….. 167 LAMPIRAN
DAFTAR TABEL
Halaman 1
Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang....
9
2
Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang……………………………..
15
Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan…………………………………………………..
17
Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton………………………………..
17
Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004………………………….
21
Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu………………………………………………
22
Karakter komponen harmonik pasut di Pelabuhan Sekangat, Bontang, 13 September 2008 – 11 Oktober 2008…………………...
50
Suhu dan debit rata-rata beberapa sungai yang bermuara ke lokasi penelitian pada musim hujan dan kemarau…………………………..
52
Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret dan September 2009.................................................
87
Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Maret 2009…………………………………………………………………..
88
Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL, Agustus 2009…………………………………………………………………..
89
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………...
91
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun A pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
94
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………...
95
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
98
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………...
99
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
101
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………...
102
3
4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
xvii
xviii
19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
105
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………...
106
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
107
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………..............
110
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
111
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………...
113
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
114
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)…………………...
117
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2)………………………….
118
Jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun………………………....
126
Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun……………………………………………………....
130
Kondisi suhu hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan…………………………………………....
136
Kondisi suhu hasil simulasi di Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan…………………………………………...
141
Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik pada saat pasut purnama……………………………………………………………….
151
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1
Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, 2001-2007………….
6
2
Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, 2001-2007..
7
3
Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang...............................................................................................
8
Nilai suhu yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002……………………………….
10
Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya……………………………………………………………..
11
6
Sistem Koordinat Sigma-σ………………………………………….
24
7
Langkah waktu dari teknik mode-splitting........................................
27
8
Sistem Grid 3-Dimensi untuk mode eksternal dalam model POM…
27
9
Sistem Grid 2-Dimensi untuk mode internal dalam model POM…..
28
10
Peta administrasi wilayah Kota Bontang……………………………
31
11
Daerah model lokasi penelitian……………………………………..
32
12
Diagram Kerangka Pemikiran Rencana Penelitian………………….
34
13
Diagram Alir Program POM………………………………………..
35
14
Stasiun pengukuran suhu permukaan, suhu arah vertikal, elevasi muka laut dan debit sungai………………………………………….
37
Stasiun pengambilan sampel fitoplankton dan pengamatan terumbu karang………………………………………………………………..
40
4 5
15 16
Data elevasi muka laut hasil pengukuran di Pelabuhan Baltim……..
17
Verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan……………………………………………………………..
53
Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat purnama pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 3 Oktober 2008………………………………………………
54
Verifikasi suhu permukaan antara hasil pengukuran dengan hasil simulasi saat perbani pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 10 Oktober 2008……………………………………………..
55
Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan untuk lapisan permukaan, 5-7 Oktober 2008………………………..
55
Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 2 m, 5-7 Oktober 2008…………………………….
55
18
19
20 21 22
Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan
xix
49
xx
23 24 25 26
27
28
29
30 31
32
33
34
35 36
37
pada kedalaman 4 m, 5-7 Oktober 2008…………………………….
56
Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dan hasil pengukuran lapangan pada kedalaman 6 m, 5-7 Oktober 2008…………………………….
56
Verifikasi pola arus pada saat air surut antara : (a) hasil pengamatan dengan (b) hasil model………………………………………………
57
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani……………………………………………….
58
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang………………...
61
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum……………..
62
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut…………………...
64
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum……………….
65
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama………………………………………………
67
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang……………….
69
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum……………
70
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut………………….
72
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum……………...
73
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani………………………………………………..
74
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang………………...
76
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum……………..
77
xxi
xxi
38
39
40 41
42
43
44
45
46 47 48 49
50 51
52 53
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut…………………...
78
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum……………….
79
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama………………………………………………
80
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang……………….
82
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum……………
83
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut………………….
84
Pola sebaran suhu hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum……………...
85
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A pada musim kemarau (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………………………………………………...
91
Pola arus permukaan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani…..
92
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.
93
Pola arus permukaan pada musim hujan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani..
94
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………………………………………………………………
96
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani
97
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………………………………………………………………
99
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani
101
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………………………………………………...
103
xxii
54
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.
104
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………………………………………………………………
106
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani………………………………………………………..
108
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………………………………………………………………
109
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani..
111
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G (a) kondisi pasut purnama; (b) kondisi pasut perbani………………………………………………………...
113
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani………………………………………………………………
115
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim purnama di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani……………………………………………………………....
116
Profil suhu vertikal saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani
118
63
Profil suhu beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim..
119
64
Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim…………………………………………….
120
Profil suhu dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel…………………………..
122
66
Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim…..
127
67
Profil suhu dan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel…………………………..
129
Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah.........................................................................................
132
Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Melahing.............................................................................................
132
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2…………………………..
133
Struktur vertikal suhu pada musim kemarau saat purnama untuk titik cuplik (a) PA1 (b) PA2…………………………………………
135
55
56
57
58 59
60
61
62
65
68 69 70 71
xxiii
xxiii
72 73 74 75 76 77 78 79
80
81
82
83
84
85
86
87
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2…………………………………...
136
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2…………………………
136
Histogram penutupan substrat dasar terumbu karang di depan Pulau Sieca....................................................................................................
137
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………………………….
138
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2…………………….......
139
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2…………………………………..
139
Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2………………………...
140
Kondisi perairan pada saat air menuju pasang menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...………………………………….
144
Kondisi perairan pada saat air pasang maksimum menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...………………………………….
145
Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air menuju surut berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004…………………………………….
147
Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air surut maksimum berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004...…………………….
149
Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat purnama dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 oC (b) suhu 44 oC…………….
153
Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat perbani dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38 oC (b) suhu 44 oC………………………...
154
Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pendalaman kolam pendingin (a) setelah pendalaman menjadi 4 m (b) sebelum pendalaman…………
155
Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah perluasan kolam pendingin (a) setelah perluasan kolam pendingin (b) sebelum perluasan kolam pendingin…………………………………………………………….
156
Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pelebaran kanal pendingin (a) setelah pelebaran kanal (b) sebelum pelebaran kanal ……...……….
158
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 2
3 4
Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Tanjung Limau selama 29 hari (29 piantan)………………………………………….
173
Sebaran suhu permukaan hasil pengukuran saat purnama (3 Oktober 2008) dan saat perbani (10 Oktober 2008) di beberapa stasiun pengamatan………………………………………………….
175
Hasil pengukuran suhu (oC) dalam arah vertikal di Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin)……………………………………………
176
Suhu permukaan hasil simulasi pada titik verifikasi………………..
178
o
5
Suhu ( C) hasil simulasi per-layer pada titik verifikasi model……..
179
6
Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret 2008 dan September 2008.............................................
180
Hasil pengukuran kualitas air laut di sekitar PT Badak NGL (Maret 2008)………………………………………………………………...
181
Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (September 2008)………………………………………………………………...
181
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……………………………………………………
183
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……………………………………………………….
183
11
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau……………………………………………………
184
12
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan……………………………………………………….
184
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………………
185
Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun C untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………………….
185
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun D untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………………
186
Jumlah Jenis dan Kelimpahan Plankton di Stasiun D saat air pasang dan air surut untuk kondisi purnama pada musim hujan………….
187
7 8 9
10
13 14 15 16 17
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk
xxv
xxvi
kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………………
188
Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun E untuk kondisi perbani pada musim hujan………………………………..
188
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………………
189
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………………….
189
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………………
190
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………………….
191
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau………………
192
Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan………………….
193
25
Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton)……………..
194
26
Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel……………………….
196
27
Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton)………………...
198
28
Kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel……………………………...
199
Foto kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi survei…………
200
18 19 20 21 22 23 24
29
1. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Studi tentang buangan air pendingin dari sistem air pendingin (cooling water system) dengan menggunakan integrasi model hidrodinamika dan model dispersi thermal 3-dimensi telah mampu mensimulasi keadaan stratifikasi perairan dan menjelaskan distribusi kenaikan suhu secara temporal dan spasial (Shahidi et al. 2010; Maderich et al. 2008), serta digunakan untuk menilai dampak ekonomi yang ditimbulkan oleh meningkatnya suhu perairan akibat aktifitas industri (You dan Li 2009; Abbaspour et al. 2005). Banyak kesulitan yang ditemukan dalam observasi langsung terhadap karakteristik distribusi kenaikan suhu dapat dikurangi dengan menggunakan model numerik. Model dapat menjelaskan proses dinamik selama periode observasi lapangan dengan simulasi dan dapat memprediksi dampak kenaikan suhu berdasarkan berbagai skenario hipotetis kondisi alam (Wu et al. 2001, Hamrick dan Mills 2000). Adanya kegiatan PT. Badak NGL di Pesisir Bontang yang membuang air pendingin ke perairan memerlukan kajian terhadap pola sebaran suhu mengingat debit buangan air pendingin beberapa train yang beroperasi di perusahaan tersebut cukup besar yakni train A-F sebesar 141 000 m3/jam, train G sekitar 34 359 m3/jam, train H sebesar 36 254 m3/jam (Pertamina 2003). Selain debit yang besar, suhu buangan air pendingin tersebut tercatat juga tinggi yang berdasarkan hasil pengukuran menunjukkan suhu air di muara kanal pendingin train A-F sebesar 43.89oC saat pasang dan 45.56oC saat surut sedangkan di lokasi muara pendingin train G terukur 40oC pada saat pasang dan 40.56oC pada saat surut (Pertamina 2003). Buangan limbah air pendingin di perairan tropis dengan kisaran suhu tersebut berpotensi merusak kehidupan biota laut, karena biota tropis hidup pada suhu yang dekat dengan batas atas toleransi suhu (Roessler dan Zieman 1969; Kolehmainen et al. 1974). Suhu merupakan salah satu variable lingkungan paling penting yang mempengaruhi keberlangsungan hidup, pertumbuhan dan reproduksi organisme akuatik. Peningkatan suhu air laut dapat menyebabkan meningkatnya laju metabolisme
organisme
dan
mengurangi
konsentrasi
oksigen
terlarut
2
(Poornima et al. 2005). Apabila kadar O 2 sedikit saat suhu air naik, maka hal tersebut dapat mengakibatkan makhluk hidup dalam air mati karena kebutuhan O 2 tinggi sedangkan yang tersedia sedikit (Effendi 2003). Sumberdaya pesisir yang kemungkinan terkena dampak akibat naiknya suhu perairan yang disebabkan oleh buangan air pendingin dari PT. Badak NGL di Perairan Bontang diantaranya adalah mangrove, terumbu karang, plankton, bentos dan lain-lain. Biota laut ini secara langsung terpapar oleh buangan air pendingin yang menyebabkan kerusakan dengan tingkat yang berbeda-beda tergantung jarak mereka terhadap sumber buangan air pendingin (outfall) dan kemampuan bertahan terhadap kenaikan suhu (Pertamina 2003). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kenaikan suhu 2°C diatas suhu maksimum tahunan dapat menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella) pada terumbu karang dan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang (Coles et al. 1976). Adapun untuk fitoplankton, kenaikan suhu hingga 3.4-5.9oC menyebabkan terjadinya pengurangan jumlah klorofil-a sekitar 15-50% (Poernima et al. 2005). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam penelitian ini dilakukan simulasi dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi untuk melihat pola sebaran suhu dari buangan air pendingin ke badan air serta melakukan identifikasi sumberdaya pesisir yang ada di sekitar PT. Badak NGL. Selanjutnya pola sebaran suhu yang diperoleh dari hasil simulasi digunakan untuk menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap sumberdaya pesisir tersebut. 1.2
Perumusan Masalah Tingginya suhu buangan air pendingin (cooling water) PT. Badak NGL
yang dilepas ke Perairan Bontang dapat menyebabkan terganggunya berbagai biota laut yang ada di sekitarnya. Di antara biota laut yang berpotensi terkena dampak dari kenaikan suhu perairan tersebut adalah terumbu karang, lamun, mangrove, bentos, berbagai jenis ikan, plankton dan lain-lain. Untuk meminimalkan dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka perlu diketahui kondisi suhu dimana biota laut tersebut ditemukan. Berdasarkan hal tersebut, maka beberapa permasalahan yang harus dipecahkan adalah :
3
1. Bagaimana pola sebaran suhu yang terjadi akibat adanya buangan air pendingin yang dilepaskan ke Perairan Bontang oleh PT. Badak NGL. 2. Bagaimana dampak yang ditimbulkan oleh buangan air pendingin dari proses industri terhadap terumbu karang dan fitoplankton di sekitarnya. 3. Bagaimana kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL menurut Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004. 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang timbul pada wilayah penelitian, maka penelitian ini bertujuan untuk : 1. Menganalisis pola sebaran suhu dengan menggunakan model hidrodinamika dan dispersi thermal 3-dimensi di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL. 2. Menganalisis dampak kenaikan suhu perairan terhadap fitoplankton dan terumbu karang yang ada di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan menggunakan hasil model dispersi thermal 3-dimensi. 3. Menganalisis kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL berdasarkan hasil analisis kenaikan suhu dan dampaknya terhadap fitoplankton dan terumbu karang serta menganalisis luasan perairan yang terkena dampak menurut baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004. 1.4 Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dalam hal : 1. Pengembangan ilmu khususnya bidang biofisik kelautan dalam pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. 2. Memberi kontribusi bagi pemerintah daerah dalam menyusun strategi pembangunan di wilayah perairan sekitar kawasan air buangan PT. Badak NGL secara optimal dan berkelanjutan. 3. Menjadi acuan bagi perusahaan yang menggunakan sistem air pendingin misalnya PLTU dalam mengelola buangan air pendingin yang dihasilkan, dengan kata lain memudahkan manajemen perusahaan dalam pengelolaan dan pemantauan lingkungan perairan di sekitarnya. 4. Memberi kontribusi bagi pihak yang berkompeten merumuskan regulasi tentang buangan air pendingin ke wilayah perairan.
4
1.5 Ruang Lingkup Penelitian Pola sebaran suhu dikaji dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model) yang dikembangkan oleh Mellor 2003. Model ini telah digunakan secara luas dalam mempelajari daerah pesisir dan laut karena akurat dan efisien (Aoki dan Isobe 2007). Dalam penelitian ini digunakan gaya pembangkit pasang surut, debit buangan air pendingin dan debit sungai. Tidak dimasukkanya angin sebagai gaya pembangkit model mengingat daerah model merupakan perairan semi tertutup (semi enclosed) sehingga stress permukaan yang ditimbulkan oleh angin dapat diabaikan. Hal yang sama juga telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, diantaranya oleh Aoki dan Isobe 2007 di Teluk Fukuoka, Shahidi et al. 2010 di Teluk Persia, Maderich et al. 2008 di Sungai Waal dan beberapa penelitian lainnya. Wilayah studi dibatasi dengan memperhatikan aspek keterwakilan wilayah terkena dampak, potensial kena dampak, dan tidak terkena dampak di sekitar wilayah pembuangan air pendingin proses industri PT. Badak NGL. Dalam penelitian ini analisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut yang berada di sekitar buangan air pendingin dibatasi pada terumbu karang dan fitoplankton. Hal ini didasarkan pada pertimbangan bahwa hasil model 3-dimensi yang digunakan dapat menjelaskan kondisi suhu kedua biota laut tersebut, dimana sebaran suhu arah horizontal hasil model dapat menjelaskan kondisi fitoplankton, sementara arah vertikal dapat menjelaskan kondisi suhu di zona terumbu karang. 1.6 Kebaruan (Novelty) Penelitian Penelitian ini melakukan sinkronisasi antara model fisis dengan analisis biota laut untuk digunakan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan. Hal ini merupakan sesuatu yang baru mengingat selama ini antara permodelan fisis dengan analisis biota laut dilakukan secara parsial. Kebaruan ini semakin nyata mengingat metode sinkronisasi tersebut diimplementasikan dalam paradigma ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir secara terpadu.
5
2. TINJAUAN PUSTAKA
Penelitian yang berhubungan dengan kenaikan suhu di wilayah penelitian telah banyak dilakukan baik oleh manajemen perusahaan PT. Badak NGL, Pemerintah Kota Bontang, maupun oleh peneliti dari berbagai perguruan tinggi. Walaupun demikian dari hasil penelusuran literatur, penulis belum menemukan adanya penelitian tentang model dispersi thermal secara spesifik yang mengarah pada dampak buangan air pendingin industri terhadap ekosistem di sekitarnya dan bagaimana
menggunakan
hasil
model
dispersi
thermal
tersebut
untuk
menganalisis dampak kenaikan suhu terhadap biota laut. 2.1 Gambaran Umum Kota Bontang Kota Bontang merupakan sebuah kota kecil yang terletak di wilayah Provinsi Kalimantan Timur. Luas wilayah Kota Bontang hanya ±49 757 Ha yang terdiri dari daratan seluas ±14 780 Ha (29.70%) dan lautan seluas ±34 977 Ha (70.30%) dengan panjang garis pantai 24.4 km. Wilayah administrasi Kota Bontang dapat dijelaskan sebagai berikut : 1. Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur 2. Sebelah Timur berbatasan dengan Selat Makassar, Kalimantan Timur 3. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Marangkayu Kabupaten Kutai Kertanegara, Kalimantan Timur 4. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Teluk Pandan Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur Luas daratan Kota Bontang 14 780 Ha, meliputi : Kawasan Hutan Lindung seluas 5 950 Ha (11.96%), PT. Pupuk Kaltim 2 010 Ha (4.04%), PT. Badak NGL 1 572 Ha (3.15%) dan kawasan pemukiman penduduk seluas 5 248 Ha (10.56%). Wilayah ini dilalui oleh garis khatulistiwa yang beriklim tropika basah, yakni wilayah tropis yang beriklim panas tetapi memiliki curah hujan yang tinggi dengan suhu udara bervariasi antara 24-33oC. Hasil interpretasi peta rupa bumi menunjukkan bahwa Kota bontang didominasi oleh bentuk wilayah yang datar hingga bergelombang dengan
6
kemiringan lahan antara 0-8%. Hasil survei lapangan menunjukkan bahwa penutupan vegetasi berupa kebun campuran, semak belukar, alang-alang dan hutan sekunder dapat dijumpai di semua kecamatan, sedangkan hutan bakau hanya dijumpai di Kecamantan Bontang Utara dan Kecamatan Bontang Selatan di sekitar bibir pantai dan pulau-pulau kecil (Bappeda Kota Bontang 2005). 2.1.1 Kondisi Umum Meteorologi dan Oseanografi Kota Bontang dipengaruhi oleh iklim muson tropis, dimana periode muson barat daya terjadi sekitar bulan Desember-Februari dan muson tenggara dari JuniAgustus, periode waktu lainnya merupakan periode transisi. Pada periode MaretMei angin bergerak dari arah baratdaya ke tenggara, dan pada periode SeptemberNopember bergerak dari arah tenggara ke baratdaya. Muson baratdaya biasa disebut dengan muson basah atau musim penghujan, dimana angin bertiup dari arah baratdaya ke tenggara membawa hujan lebat. Sebaliknya, muson tenggara dicirikan dengan kondisi yang kering, sehingga disebut muson kering atau musim kemarau. Namun fenomena ini tampaknya tidak terjadi di daerah Bontang, hal ini karena di daerah studi tidak ada perbedaan musim yang jelas antara musim penghujan dan musim kemarau, yaitu dicirikan oleh terjadinya hujan hampir sepanjang tahun (Gambar 1).
Gambar 1
Jumlah curah hujan bulanan di Kota Bontang, periode 2001-2007 (Sumber : Lab. PT. Badak NGL 2008).
Curah hujan bulanan tercatat berfluktuasi dari tahun ke tahun namun secara rata-rata jumlah curah hujan agak rendah selama bulan Juli-September (Gambar 2). Fenomena ketidakteraturan curah hujan di daerah Bontang diduga
7
berkaitan dengan aktifitas PT. Pupuk Kalimantan Timur yang memproduksi urea dan amonia. Selama proses produksi kemungkinan ada komponen urea atau amonia yang lolos ke udara sebagai debu dan merupakan partikel yang baik sebagai inti kondensasi uap air. Kondisi ini akan mempercepat terjadinya hujan di wilayah Bontang karena presipitasi atau hujan sangat tergantung pada keberadaan uap air, sedangkan inti kondensasi dalam hal ini debu-debu urea selalu siap. Dengan demikian maka dapat dimaklumi bila jumlah curah hujan tidak menentu setiap bulannya atau dengan kata lain berfluktuasi (Sasongko dan Rahmat 2004).
Gambar 2 Jumlah curah hujan rata-rata bulanan di Kota Bontang, periode 20012007 (Sumber : hasil olah data Lab. PT. Badak NGL 2008). 2.1.2
Kondisi Pasang Surut Kondisi pasang surut di Perairan Bontang dijelaskan berdasarkan hasil
pengamatan pasang surut yang dilakukan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang Tahun 2008 dan dari peramalan pasang surut global yang disebut ORITIDE yang dikembangkan oleh Ocean Reserch Institut (ORI), University of Tokyo, bekerjasama dengan National Astronomical Observatory (NAO), JAPAN untuk tahun yang sama. Indeks Formzahl (F) dari hasil pengamatan dan peramalan tersebut adalah sebesar 0.37. Nilai indeks demikian digolongkan sebagai tipe pasang surut campuran dominasi ganda (mixed tide, predominantly semi-diurnal) (Wyrtki 1961). 2.1.3 Kondisi Alami Suhu Perairan Bontang Pengukuran suhu di Perairan Bontang menunjukkan sebaran yang cenderung homogen atau tidak banyak berbeda yakni bervariasi antara 28.3-29oC untuk sebaran arah horizontal dan secara vertikal bervariasi antara 28.3-29.1oC
8
dari permukaan hingga kedalaman 41 m. Hasil pengukuran suhu secara vertikal menunjukkan bahwa di perairan ini terdapat lapisan yang homogen sampai kedalaman 10-15 meter dengan suhu sekitar 29oC (Pertamina 2003). 2.1.4 Kondisi Abiotik Perairan Bontang Hasil survei kondisi abiotik pada beberapa lokasi di Perairan Bontang menunjukkan nilai yang relatif sama untuk beberapa parameter baik parameter fisik maupun kimia. Parameter yang relatif berbeda secara ekstrim dari beberapa lokasi pengamatan adalah parameter suhu di Stasiun a1 (Gambar 3), yakni berbeda sekitar 8-11oC dibanding dengan suhu di stasiun lain. Stasiun a1 merupakan outlet buangan air pendingin PT. Badak NGL.
e1
d1 g1 h1 i1
Bontang
j1
a1 c1
b1
f1
Keterangan : Stasiun : a1=Outlet PT. Badak; b1=P. Beras Basah; c1=P. Tihik-tihik; d1=P. Segajah; e1=P. Gusung; f1=Pelabuhan PT. Indominco; g1=Muara Bontang Kuala; h1=Tambak Bontang Kuala; i1=Sungai Api-api
Gambar 3
Stasiun pengamatan beberapa parameter fisik dan kimia di Perairan Bontang (sumber : DKP Kota Bontang 2005).
9
Hasil survei beberapa parameter abiotik dibeberapa stasiun yang dianggap dapat mewakili Perairan Bontang dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1 Hasil pengukuran beberapa parameter abiotik di Perairan Bontang No
Parameter
a1
b1
c1
d1
Stasiun e1 f1
g1
h1
i1
1
Suhu (oC)
38
29
29
30
30
30
27
29
27
2
Salinitas (‰)
31
33
33
34
34
32
12
30
5
3
pH
7.7
7.9
7.8
7.8
7.8
7.7
7.6
7.7
7.4
4
DO (gr/l)
7.2
7.6
7.8
7.8
7.6
7.7
8.6
5.3
7.9
5
Arus (m/detik)
0.3
0.6
0.8
0.5
1.1
0.7
0.4
0
0
6
Kecerahan (m)
3
3.8
4
3.5
2.5
3
0.5
0.3
0.3
(sumber : DKP Kota Bontang 2007)
2.2
Buangan Air Pendingin PT. Badak NGL Dari hasil pengukuran suhu saat survei tanggal 11 Juli 2002 di sekitar
LNG Badak, ditemukan bahwa suhu pada buangan (outfall) Train A/B (Stasiun 1), Train C/D (Stasiun 2) dan Train E/F (Stasiun 3) bervariasi antara 45.1-45.3oC. Suhu air pada outfall Train G/H (Stasiun 4) adalah 41.5oC baik saat air pasang maupun saat air surut. Sebelum masuk ke kanal pendinginan, air pendingin dari outfall Train A/B/C/D/E/F bergabung sepanjang sejauh lebih kurang 3 km melalui Stasiun 5, 6 dan 7 lalu masuk ke kolam pendingin melalui Stasiun 8. Setelah mengalir sekitar 1 km, suhu mulai turun menjadi 44oC di Stasiun 7 dan setelah tiba di muara kanal Train A/B/C/D/E/F (Stasiun 8) suhu telah mengalami penurunan sampai 43oC saat air pasang dan 42.5oC saat air surut. Adapun muara kanal G/H (Stasiun 9) suhu telah mengalami penurunan dengan suhu rata-rata 38oC tahun 2000-2001 (Gambar 4). Pada Stasiun 13 yang merupakan muara dimana buangan air pendingin memasuki perairan Teluk Bontang, suhu air pada saat survei berkurang menjadi 30.5oC (saat air pasang) dan 32.3oC (saat air surut). Hasil pengukuran pada Stasiun 13 yang dilakukan sejak 1997-2002 menunjukkan suhu yang konsisten yakni berkisar antara 32.3-42oC, dengan suhu rata-rata tahun 2000-2001 sebesar 38.98oC saat air surut dan 35.15oC saat air pasang (Pertamina 2003).
10
Laut 16 5
3 1
2
6
Darat 4
7 Darat
15
9 10
8
Laut
12 11 Darat 14
13
Keterangan : 1. Outfall Train A/B 2. Outfall Train C/D 3. Outfall Train E/F 4. Outfall Train G/H 5. Jembatan TOP 6. Jembatan TON 7. Sebelah barat Plant #34 8. Muara kanal Train A/B/C/D/E/F 9. Muara Air Pendingin Train G/H
Gambar 4
10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18.
17
18
Muara Sungai Sekambing Pelabuhan Sekambing Baltim Pertemuan Air Pendingin Train A-H Muara Sungai Sekangat Sebelah Selatan Loading Dock II Basin Cooling Water Intake Pantai Sebelah Barat Berbas Perairan Sekitar Pulau Tihi-Tihi Perairan Sekitar Pulau Selangan
Nilai suhu (oC) yang terukur pada titik-titik stasiun pengamatan hasil pengukuran saat pasang 11 Juli 2002 (Sumber : Pertamina 2003).
11
2.3
Studi tentang Buangan Air Pendingin dan Dampaknya
2.3.1 Model Numerik Buangan Air Pendingin PLTU Suralaya Sebaran buangan air pendingin yang dihasilkan oleh PLTU Suralaya telah disimulasikan dengan menggunakan model numerik. Sebaran peningkatan suhu di Perairan PLTU/PLTGU Tambak Lorok dilakukan dengan skenario kondisi angin calm, ∆T outlet sebesar 9oC dan debit outlet sebesar 26.49 m3/dt, dengan suhu alami 29oC. Hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi yakni saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Hasil yang diperoleh menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik tersebut. Pola sebaran suhu untuk keempat kondisi cuplik dapat dilihat pada Gambar 5 di bawah.
KONDISI PASUT
KONDISI PASUT
PERBANI
PERBANI
KONDISI PASUT
KONDISI PASUT
PERBANI
Gambar 5
2.3.2
PERBANI
Pola distribusi sebaran peningkatan suhu perairan di sekitar PLTU Suralaya (Sumber : Mihardja 2006).
Pengaruh Limbah Panas terhadap beberapa Biota Laut
2.3.2.1 Terumbu karang Terumbu karang merupakan ekosistem yang hampir ditemukan di seluruh perairan dunia, meskipun hanya di perairan tropis dapat berkembang dengan baik. Distribusi dan stabilitas ekosistem terumbu karang bergantung pada beberapa
12
parameter fisika, diantaranya adalah suhu. Pada umumnya terumbu karang tumbuh secara optimal pada kisaran suhu antara 25-29oC, namun suhu diluar kisaran tersebut masih bias ditolerir oleh spesies tertentu dari terumbu karang untuk dapat berkembang biak dengan baik (Dahuri et al. 2001). Terumbu karang merupakan salah satu ekosistem yang rentan terhadap kenaikan suhu perairan. Respon terumbu karang terhadap tekanan lingkungan berupa kenaikan suhu dapat dikelompokkan menjadi : (1) respon fisiologis secara langsung terhadap faktor tunggal, (2) respon interaktif terhadap beberapa faktor lingkungan, (3) akibat tidak langsung yang terjadi pada interaksi komunitas (Smith dan Buddemeier 1992). Peningkatan suhu perairan diyakini menjadi pemicu terjadinya pemutihan (bleaching) terumbu karang dan organisma lainnya yang bersimbiosis dengan zooxanthella dan selanjutnya akan dapat menyebabkan kematian. Namun menurut Smith dan Buddemeier (1992) kepekaan terumbu karang terhadap suhu sangat adaptif, tergantung spesies dan tergantung pula pada sejarah panjang fluktuasi suhu lingkungan sekitarnya. Faktor suhu yang dapat menyebabkan terjadinya pemutihan apabila mengalami kenaikan 3-4°C di atas suhu maksimum alami selama 2-3 hari pemaparan atau sekitar 1-2°C selama pemaparan beberapa minggu. Selanjutnya dinyatakan bila suhu naik sampai lebih dari 4°C maka akan menyebabkan kematian lebih dari 90% populasi terumbu hanya dalam beberapa hari (Smith dan Buddemeier 1992). Sub-lethal efek suhu pada terumbu karang dapat terjadi pada penurunan respon makan, menurunkan laju reproduksi, menambah pengeluaran lendir, mempercepat keluarnya simbion zooxanthelae dan menurunkan perbandingan fotosintesis/respirasi (Grigg dan Dollar 1990). Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33.5oC. Akan tetapi pengaruh suhu terhadap binatang karang yang harus dihindari adalah adanya perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level), karena menurut Neudecker (1981) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat mematikannya.
13
Suhu dapat mempengaruhi tingkah laku makan bagi karang. Pada umumnya karang kehilangan kemampuan untuk menangkap makanan pada suhu diatas 33.5oC dan dibawah 16.5oC. Walaupun terdapat beberapa karang yang dapat bertahan hidup pada suhu yang tinggi, seperti jenis Acropora yang dapat hidup pada perairan dengan kisaran suhu musiman 16-40oC. Pada dasarnya pengaruh suhu yang mematikan binatang karang bukan suhu yang ekstrim, yaitu suhu minimum dan maksimum saja, namun lebih kepada perubahan suhu secara mendadak dari suhu alami (ambient level). Menurut Neudecker (1981) perubahan suhu secara mendadak sekitar 4-6oC di bawah atau di atas ambient level dapat mengurangi pertumbuhan karang bahkan dapat mematikannya. Salah satu akibat dari tekanan yang terjadi pada terumbu karang adalah peristiwa pemutihan karang (coral bleaching). Pemutihan Karang (menjadi pudar atau berwarna putih salju) terjadi akibat degenerasi atau hilangnya zooxanthellae dari jaringan karang. Dalam keadaan normal, jumlah zooxanthellae berubah sesuai dengan musim sebagaimana penyesuaian karang terhadap lingkungannya (Brown et al. 1999). Tekanan penyebab pemutihan karang antara lain tingginya suhu air laut yang tidak normal, tingginya tingkat sinar ultraviolet, kurangnya cahaya, tingginya tingkat kekeruhan, sedimentasi air, penyakit, kadar garam yang tidak normal dan polusi. Selain perubahan suhu, perubahan salinitas juga dapat mempengaruhi kelangsungan hidup terumbu karang. Brown et al. 1999 menjelaskan bahwa curah hujan yang tinggi dan aliran material permukaan dari daratan (mainland runoff) dapat membunuh terumbu karang melalui peningkatan sedimen dan terjadinya penurunan salinitas air laut. Efek selanjutnya adalah kelebihan zat hara (nutrient overload) berkontribusi terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang melimpah (overgrowth) terhadap karang. Meskipun beberapa karang dapat dijumpai di lautan subtropis tetapi spesies yang membentuk karang hanya terdapat di daerah tropis. Kehidupan karang di lautan dibatasi oleh kedalaman yang biasanya kurang dari 25m dan oleh area yang mempunyai suhu rata-rata minimum dalam setahun sebesar 10oC. Pertumbuhan maksimum terumbu karang terjadi pada kedalaman kurang dari 10m
14
dan suhu sekitar 25oC sampai 29oC. Karena sifat hidup inilah maka terumbu karang banyak dijumpai di Indonesia (Hutabarat dan Evans 1984). Coles (1985) mempelajari dampak peningkatan suhu pada keberhasilan “settlement” dari larva planula karang di sekitar pembangkit tenaga listrik di Hawai. Berdasarkaan kepadatan settlement dari juvenile pada berbagai gradient suhu Coles (1985) menyimpulkan suhu optimum jangka pendek 33°C sampai 34°C untuk planula (Poillopora damicornis) menetap di Hawai yang berkisar antara 6-7°C lebih tinggi daripada suhu maksimum tahunan sebesar 27°C di perairan lepas pantai Hawai. Kenaikan suhu 6-7°C bagi planula karang di wilayah yang suhu ambien maksimumnya lebih tinggi dari Hawai untuk spesies karang sejenis atau lainnya mungkin dapat dihipotesiskan bahwa respon dari planula karang akan bergeser sesuai dengan kondisi suhu lingkungannya. Suhu ambien normal terumbu karang di ASEAN termasuk Indonesia adalah 28-30°C. Karang dewasa lebih sensitif terhadap kenaikan suhu, dimana kenaikan suhu sebesar 3-5°C diatas suhu ambien telah terbukti mempengaruhi kehidupan karang dewasa di berbagai wilayah geografik (Coles 1975; Neudecker 1981). Neudecker (1981) mempelajari pertumbuhan dan kelulusan hidup berbagai spesies karang batu yang dipapar pada limbah air pendingin pembangkit tenaga listrik di Guam. Peningkatan suhu 4-6°C di atas suhu ambien mempengaruhi pertumbuhan karang, dimana spesies karang yang tumbuhnya lambat lebih tahan terhadap kenaikan suhu daripada spesies karang yang tumbuhnya cepat. Coles (1975) melakukan studi dampak limbah bahang Electrical Company Kobe Generating Station, Hawai selama 2 tahun terhadap terumbu karang, hasilnya menunjukkan bahwa suhu absolut atas yang berkepanjangan jauh lebih kritis sebagai faktor yang menyebabkan kerusakan dan kematian daripada kenaikan suhu yang cepat di atas suhu lethal atas yakni 34ºC (4ºC diatas suhu ambien) Coles et al. (1976) mempelajari intensitas dan durasi kenaikan suhu alami maksimum dari berbagai jenis karang tropis (Eniwetak, Atoll, Marshall Islands) dan subtropis (Kaneohe Bay, Oahu, Hawai). Paparan dalam waktu lama pada suhu di atas 32.7°C, menemukan bahwa suhu tersebut mendekati nilai kritis. Suhu maksimum ambien tahunan di Hawai 26.5°C, sementara suhu di Eniwetak 2°C
15
lebih tinggi daripada di Hawai. Kenaikan suhu 2°C di atas suhu maksimum tahunan ternyata menyebabkan efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella), sedangkan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di kedua lokasi. Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang disajikan dalam Tabel 2. Tabel 2
Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap terumbu karang Lokasi
Taxon/ Ekosistem
ΔT (ºC)
Terumbu karang Terumbu karang
West Indies Kahe Point, Hawai
Terumbu karang
Kahe Point, Hawai
5-6
Karang
Tanguisson Point, Guam
6-8
3-4
Jenis Dampak Hilangnya pigmen zooxanthella, dan mortalitas tinggi Kematian karang pada +4-5 oC, efek sublethal pada +2-3 oC Kematian karang
Suhu kritis (oC) 36
32-33
(Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984)
2.3.2.2
Fitoplankton
2.3.2.2.1 Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Salah satu parameter perairan yang berperan penting dalam menentukan keberadaan fitoplankton adalah suhu. Distribusi suhu di permukaan laut sangat berpengaruh terhadap komposisi dan ukuran fitoplankton (Bouman et al. 2003). Suhu berpengaruh langsung terhadap laju fotosintesis pada tumbuh-tumbuhan, sementara pada hewan berpengaruh terhadap proses fisiologi khususnya derajat metabolisme dan siklus reproduksi. Selain itu suhu dapat berperan dalam menentukan suksesi jenis fitoplankton pada suatu perairan. Suhu berpengaruh tidak langsung terhadap kelarutan CO 2 yang digunakan untuk fotosintesis dan kelarutan O 2 yang digunakan untuk respirasi hewan-hewan laut. Daya larut O 2 akan berkurang dengan meningkatnya suhu perairan. Toleransi terhadap suhu bervariasi pada setiap spesies. Adaptasi organisme dapat terjadi
16
terhadap perubahan suhu yang lebih tinggi atau lebih rendah dari suhu normalnya (Poornima et al. 2005). Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplanton terutama dapat ditemukan di sekitar industri yang membuang air pendingin mereka ke perairan di sekitarnya. Hasil penelitian yang dilakukan di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Atom Madras di India menunjukkan bahwa fitoplankton dan klorofil-a mengalami penurunan selama melewati sistem air pendingin (cooling water system) dari tempat pengambilan air laut (intake) ke tempat pembuangan air pendingin (outfall), sementara pada daerah percampuran (mixing point) jumlah klorofil-a mengalami recovery secara signifikan. Suhu intake tercatat maksimum 29.6oC pada bulan Maret dan minimum pada bulan Januari yakni 26.9oC. Adapun suhu di outfall menunjukkan ∆T bervariasi antara 7.3-9.3oC dan pada daerah mixing point ∆T bervariasi antara 3.4-5.9oC (Poernima et al. 2005) Jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton di outfall berkurang antara 35-70% dibandingkan dengan di intake. Sementara pada daerah mixing point klorofil-a dan jumlah fitoplankton hanya berkurang sekitar 15-50% dibandingkan dengan di intake (Poernima et al. 2005). Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton juga dilakukan dengan uji laboratorium, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa fitoplankton yang berada pada suhu 42oC dengan waktu kontak 15-30 menit tidak menyebabkan perubahan signifikan dalam kandungan klorofil-a dibandingkan dengan suhu kontrol (28oC). Percobaan laboratorium juga menunjukkan dalam waktu kontak tersebut produktifitas primer fitoplankton mengalami pengurangan sebesar 19% dibandingkan dengan suhu kontrol (Poernima et al. 2005). Penelitian sejenis juga telah dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan. Perbedaan suhu antara daerah intake dan suhu daerah outfall sepanjang musim dari Pembangkit Listrik ini adalah ±10oC. Hasil penelitian menunjukkan Klorofil-a fitoplankton di daerah intake secara signifikan lebih besar dibandingkan dengan yang ditemukan di daerah outfall. Perbedaan antara daerah intake dan daerah outfall paling besar terjadi pada musim semi, dimana nilai rata-rata klorofil-a fitoplankton di daerah intake sebesar 0.67 mg m-3 sedangkan di daerah outfall sebesar 0.44 mg m-3 (Chuang et al. 2009).
17
Hasil penelitian tentang dampak buangan air pendingin terhadap fitoplankton menunjukkan bahwa buangan air pendingin tidak mempengaruhi sebaran parameter lingkungan yang lain seperti salinitas, pH, DO dan nutrien (nitrat, nitrit, amoniak, posfat dan silikat) di perairan pesisir (Poernima et al. 2005). Tidak ada perbedaan signifikan dalam monitoring faktor-faktor lingkungan yang dideteksi antara daerah intake sampai outfall kecuali suhu air (Chuang et al. 2009). Variabel lingkungan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan disajikan dalam Tabel 3. Tabel 3 Variabel lingkungan (n=12) yang diukur setiap tiga bulan di daerah intake dan outfall Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir di Teluk Kuosheng, Taiwan Intake
Site Water temperature (oC) Salinity (psu) DO (mgL-1) pH Linght extinction (m-1)
Outlet
Winter
Spring
Summer
Autumn
Winter
Spring
Summer
Autumn
18.7±0.5 33.0±1.0 7.6±0.2 7.8±0.0 1.1±0.2
24.4±2.0 35.0±0.0 73±0.5 7.3±0.0 1.1±0.2
28.0±2.1 32.6±1.4 6.1±0.2 8.2±0.0 1.4±0.2
24.2±1.3 33.2±1.6 6.7±0.4 8.4±0.1 1.1±0.1
28.2±0.6 35.0±0.0 6.8±0.2 7.8±0.0 1.1±0.5
32.3±1.7 35.3±0.3 6.0±0.4 7.3±0.0 1.3±0.3
38.8±1.0 32.7±0.9 5.7±0.2 7.9±0.1 1.1±0.3
33.8±2.1 34.0±0.1 6.0±0.2 8.3±0.0 0.9±0.2
(Sumber : Chuang et al. 2009)
Beberapa eksperimen dan studi lapangan pada beberapa lokasi yang telah dilakukan untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu terhadap kehidupan fitoplankton diberikan dalam Tabel 4. Tabel 4
Beberapa hasil eksperimen dan studi lapangan tentang pengaruh kenaikan suhu terhadap fitoplankton
Taxon/ Ekosistem
Lokasi
Fitoplankton
Mediteranean MartiguesPonteau
Diatom :
Eksperimen
ΔT (ºC) 7
10
Gyrosigma spenceri
17
Jenis Dampak
Suhu kritis (oC)
Berkurangnya 10-60% jumlah sel Tidak ada, T 0 =12 oC Tidak ada, T 0 =16 oC
39
(Sumber : diadaptasi dari GESAMP 1984)
2.3.2.2.2 Faktor Lain yang dapat Mempengaruhi Fitoplankton Salah satu faktor yang mempengaruhi keberadaan fitoplankton secara langsung atau tidak langsung adalah karakteristik hidrooseanografi termasuk sifat
18
fisik perairan. Perairan pantai menunjukkan variabilitas fitoplankton yang sangat tinggi, hal ini disebabkan perairan pantai memiliki dinamika fisik yang kompleks yang dicirikan sebagai perairan dangkal, kaya nutrien, dan adanya pengaruh arus pasang surut serta penerima beban sungai (May et al. 2003). a. Distribusi dan Ketersediaan Nutrien N, P dan Si Secara spasial, distribusi vertikal nutrient N, P dan Si pada kolom air memiliki nilai yang rendah di lapisan permukaan laut dan berlimpah di lapisan lebih dalam (Thurman 1993). Penyebab rendahnya nutrient di permukaan karena diserap oleh alga dan bakteri di zona fotik. Adapun sebaran horizontal, nutrien memiliki konsentrasi yang lebih tinggi di daerah paparan benua (dekat daratan) jika dibandingkan dengan di luar paparan benua (laut lepas) (Zuzuki at al. 1997). Distribusi nutrien secara temporal berhubungan dengan proses-proses fisika seperti percampuran vertikal dan upwelling. Kelimpahan klorofil-a di Selat Malaka sangat ditentukan oleh terbentuk tidaknya tidal front di Perairan tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa proses fisika berupa gaya turbulensi yang cukup besar di suatu perairan merupakan salah satu faktor yang menentukan kesuburan suatu perairan (Kasman 2006). b.
Intensitas Cahaya Cahaya matahari merupakan salah satu faktor fisika utama yang
mengontrol produksi fitoplankton dalam perairan. Cahaya berfungsi sebagai sumber energi pada proses fotosintesis (Lalli dan Pearsons 1995). Makin dalam penetrasi cahaya pada kolom perairan maka lapisan dimana proses fotosintesis dapat berlangsung akan semakin besar, dengan demikian konsentrasi oksigen terlarut masih memiliki nilai yang tinggi pada kolom air yang lebih dalam. Proses fotosintesis fitoplankton hanya dapat berlangsung bila ada cahaya pada kolom perairan. Hasil fotosintesis yang cukup besar dapat ditemukan mulai dari lapisan permukaan sampai ke kedalaman dengan nilai intensitas cahaya minimum 1%, lapisan ini disebut zona eufotik (Nontji 1984). Kedalaman lapisan ini dapat dihitung dengan menggunakan Hukum Lambert-Beer (Parsons et al. 1984) yakni dengan menghitung koefisien peredupan cahaya sampai pada kedalaman dengan intensitas cahaya tinggal 1%.
19
Zona di bawah dari zona tersebut adalah kedalaman kompensasi (titik kompensasi) dengan intensitas cahaya tinggal 1% dari intensitas cahaya permukaan. Pada lapisan ini laju fotosintesis sama dengan laju respirasi. Zona di bawah titik kompensasi disebut zona disfotik yang mempunyai laju fotosintesis lebih kecil dari laju respirasi. Perubahan laju fotosintesis merupakan hasil dari respon fitoplankton terhadap variabilitas cahaya (Hood et al. 1991). c.
Kekeruhan Kekeruhan (turbidity) merupakan gambaran sifat optic air dari suatu
perairan yang ditentukan berdasarkan banyaknya cahaya yang dipancarkan dan diabsorpsi oleh partikel-partikel yang ada dalam air. Kekeruhan disebabkan oleh bahan organik maupun anorganik tersuspensi dan terlarut seperti lumpur pasir halus plankton dan mikroorganisme. Kekeruhan mempengaruhi penetrasi cahaya ke dalam kolom perairan yang selanjutnya akan menurunkan produktivitas fitoplankton pada perairan. d. Karakteristik Hidrodinamika Oseanografi (Flushing) Pada sistem akuatik yang mengandung biomassa hidup, nutrient, zat pencemar, gas-gas terlarut dan partikel tersuspensi yang terbawa dalam medium fluida, maka proses-proses hidrodinamika yang mengangkut air beserta material yang dikandungnya penting untuk dipahami. Salah satu yang berhubungan dengan hal itu adalah pemahaman tentang flushing time. Flushing time adalah waktu yang diperlukan suatu badan perairan untuk bergerak ke suatu badan perairan lainnya (Sumich 1992). Hal ini berarti bahwa dengan adanya pergerakan air menyebabkan material lainnya ikut terbawa dalam aliran tersebut. Implikasi dari pergerakan air tersebut menyebabkan terjadinya perubahan biota perairan seperti kelimpahan fitoplankton dari waktu ke waktu. fitoplankton memiliki kelimpahan yang rendah di daerah muara karena adanya pembilasan yang cepat dari arus-arus riverin ke arah laut. Salah satu faktor penting penyebab terjadinya flushing adalah pasang surut. Pada saat pasang, plankton perairan pantai dapat terbawa memasuki estuaria, sementara pada saat surut plankton (termasuk jenis-jenis payau) dapat terbawa ke laut. Fenomena flushing ini yang menyebabkan kelimpahan fitoplankton menjadi berfluktuasi.
20
e.
Salinitas Salinitas mempunyai peranan penting terhadap keberadaan fitoplankton di
perairan. Salinitas selain dapat mempengaruhi proses produksi fitoplankton (Baroon et al. 2003), juga dapat merubah struktur komunitas fitoplankton sejalan dengan perubahan salinitas (Ayadi et al. 2004 dalam Tambaru 2008). Laju fotosintesis fitoplankton yang hanya mampu bertahan pada salinitas rendah (stenohaline) di daerah estuari sangat dipengaruhi oleh variasi salinitas di daerah tersebut. Salinitas yang sesuai bagi fitoplankton untuk dapat bertahan hidup dan memperbanyak diri serta aktif melaksanakan proses fotosintesis adalah di atas 20‰ (Sachlan 1972). 2.4
Regulasi Buangan Air Pendingin di Indonesia Pengelolaan buangan air pendingin (cooling water) di Indonesia cukup
mendapat perhatian, hal ini dibuktikan dengan dikeluarkannya beberapa peraturan yang menetapkan baku mutu parameter suhu. Untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut pemerintah dalam hal ini Menteri Negara Lingkungan Hidup telah melakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak lingkungan laut dengan menetapkan baku mutu air laut termasuk baku mutu parameter suhu untuk biota laut yang ditetapkan melalui Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Lampiran 3 (Tabel 5). Keputusan Menteri tersebut memberi batasan bagi perusahaan yang beroperasi di wilayah pesisir agar tidak membuang limbah pada perairan yang ditemukan adanya biota laut di atas ambang batas yang telah ditetapkan. Meskipun demikian, kebijakan ini menimbulkan masalah dalam implementasinya mengingat aktifitas industri di wilayah pesisir selama ini menggunakan baku mutu yang ditetapkan oleh pemerintah daerah setempat yang bersifat sangat longgar, sehingga beberapa industri telah melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri tersebut. Untuk menangani masalah ini, pemerintah kemudian mengaturnya di dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Pasal 5 (2) yang berbunyi ”Dalam hal daerah telah menetapkan baku mutu air laut lebih longgar sebelum ditetapkannya keputusan ini, maka baku mutu air laut tersebut perlu disesuaikan dengan
21
keputusan ini selambat-lambatnya dalam jangka waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya Keputusan ini”. Dalam hal ini pemerintah daerah harus segera melakukan evaluasi terhadap Surat Keputusan tentang Baku Mutu Air Laut yang selama ini diberlakukan untuk disesuaikan dengan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup di atas. Tabel 5 Baku mutu air laut berdasarkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 No
Parameter
Satuan
Baku mutu coral : >5 mangrove : lamun : >3 alami3
1
Kecerahan a
m
2
Suhu c
o
C
alami 3( c) coral : 28 – 30 (c) mangrove: 28-32 (c) lamun: 28-30 (c)
3
Salinitas e
%o
alami 3( e) coral: 33-34 (e) mangrove: s/d 34 (e) lamun: 33-34 (e)
4
Oksigen terlarut (DO)
mg/l
>5
5
BOD5
mg/l
20
(Sumber : Diadaptasi dari Lampiran 3 Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) Keterangan : 2. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim) a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2 oC dari suhu alami e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata musiman
Masalah lain yang timbul berkaitan dengan buangan air pendingin adalah adanya kebijakan pemerintah khusus bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu, dalam hal ini Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu (Tabel 6). Peraturan ini pada kasus
22
tertentu akan bertentangan dengan Kepmen LH No. 51 tahun 2004 terutama terkait penetapan baku mutu parameter suhu dengan kadar maksimum 45oC. Pertentangan tersebut terjadi ketika outlet di mana buangan air pendingin dilepas dengan suhu tinggi oleh suatu perusahan terletak pada lokasi di mana ditemukan adanya kehidupan biota laut seperti terumbu karang, mangrove dan lainnya. Dalam kasus semacam ini disatu sisi perusahaan telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan dalam Permen LH No. 4 Tahun 2007 (suhu maksimum 45oC), namun di sisi lain telah melanggar baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (kenaikan suhu <2oC). Tabel 6
Baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu.
No
JENIS AIR LIMBAH
PARAMETER
KADAR MAKSIMUM
METODE PENGUKURAN
1
Air Limbah Proses
Minyak dan Lemak
25 mg/L
SNI 06-6989.10-2004
Residu Chlorine
2 mg/L
Standard Method 4500-Cl
Suhu
45oC
SNI 06-6989.23-2005
pH
6-9
SNI 06-6989.11-2004
(sumber : Permen LH No. 4 Tahun 2007) Keterangan : Apabila air limbah drainase tercampur dengan air limbah proses, maka campuran air limbah tersebut harus memenuhi baku mutu air limbah proses
2.5
Model Dispersi Thermal Model merupakan suatu abstraksi dari realitas, yang menunjukkan
hubungan langsung maupun tidak langsung serta kaitan timbal balik dalam istilah sebab akibat (Eriyatno 1999). Suatu model tidak lain merupakan seperangkat anggapan (asumsi) mengenai suatu sistem yang rumit, sebagai usaha untuk memahami dunia nyata yang memiliki sifat beragam. Dari batasan-batasan tersebut, dapat dinyatakan bahwa mempelajari sistem sangat diperlukan pengembangan model guna menemukan peubah-peubah (variabel) penting dan tepat, serta menemukan hubungan-hubungan antar peubah di dalam sistem tersebut. Model dispersi thermal telah dijadikan sebagai salah satu alat pendukung dalam tahap disain perusahaan yang bertujuan untuk menentukan metode dan penempatan yang optimal dari intake buangan air pendingin (cooling water) dan
23
untuk menghindari naiknya suhu alami diatas baku mutu yang diizinkan. Karena itu model merupakan suatu alat yang wajib bagi perusahaan untuk mendapatkan surat izin operasional melalui studi penilaian dampak buangan air pendingin yang berkenaan dengan dibebaskannya panas ke lingkungan terutama pada air permukaan (Maderich et al. 2008). 2.5.1 Model Hidrodinamika 3-Dimensi Studi ini mengikuti prinsip Numerical Ocean Model yang telah dikembangkan oleh Mellor (1987) yaitu penyelesaian numerik dengan menggunakan persamaan primitif 3-dimensi model POM atau dikenal sebagai Princeton Ocean Model. Beberapa prinsip dasar dalam model POM adalah : -
Menggunakan model koordinat sigma (σ), yang diskalakan terhadap kedalaman kolom air.
-
Koefisien percampuran vertikal dihitung dengan sub model olakan (turbulensi) tertutup.
-
Menggunakan sistem kisi Arakawa C pada kisi horizontal dimaksudkan untuk meningkatkan stabilitas.
-
Menggunakan skema eksplisit dalam perhitungan arah horizontal, dan skema implisit untuk arah vertikal.
-
Menggunakan model pemisah langkah waktu dalam memperhitungkan elevasi permukaan. Oleh karena itu, dalam perhitungan model dipisahkan dalam dua bagian, yakni : pertama, pada bagian internal dilakukan perhitungan untuk dua dimensi dengan langkah waktu lebih pendek yang dibatasi oleh kondisi stabilitas. Kedua, bagian eksternal, melakukan perhitungan untuk tiga dimensi menggunakan langkah waktu lebih panjang, juga didasarkan pada kondisi stabilitas dan laju gelombang eksternal.
2.5.1.1 Persamaan-persamaan Dasar Di dalam model POM dilakukan transformasi persamaan pengatur dalam arah vertikal dari sistem koordinat kartesian ke koordinat-σ. Transformasi ini dibuat untuk mendapatkan hasil simulasi yang lebih baik di lapisan permukaan dan dasar. Sistem koordinat ini akan mengikuti bentuk topografi dasar perairan sebagaimana terlihat pada Gambar 6.
24
Persamaan transformasi yang digunakan adalah: z −η x* = x; y* = y; σ = , t* = t H +η
(2.1)
dimana x, y, z adalah koordinat kartesian; D = H + η adalah kedalaman total dengan H(x,y) adalah topografi dasar dan η(x,y,t) adalah elevasi permukaan air. Koordinat-σ merubah interval kolom air dari permukaan (z = η) ke dasar (z = -H) menjadi kedalaman yang seragam dari 0 sampai -1. η Z =0
σ=0
z = H(x,y)
σ = -1
Gambar 6 Sistem Koordinat Sigma-σ (Sumber : Mellor 1998). Persamaan-persamaan pembangun model sirkulasi arus 3-Dimensi yang sudah ditransformasikan kedalam sistem koordinat -σ adalah : Persamaan kontinuitas: ∂DU ∂DV ∂ω ∂η + + + =0 ∂x ∂y ∂σ ∂t
(2.2)
Persamaan gerak dalam arah x ,y, dan z : ∂UD ∂U 2 D ∂UVD ∂Uω + + + − fVD + ∂t ∂x ∂y ∂σ ∂η gD 2 0 ∂ρ ′ σ ′ ∂D ∂ρ ′ ∂ K M ∂U gD + − dσ = + Fx ∫ ∂x ∂σ D ∂σ ρ 0 σ ∂x D ∂x ∂σ ∂VD ∂UVD ∂V 2 D ∂Vω + + + + fUD + ∂t ∂x ∂y ∂σ ∂ K M ∂V ∂η gD 2 0 ∂ρ ′ σ ′ ∂D ∂ρ ′ + Fy gD + − dσ = ∫ ∂σ D ∂σ ∂y ρ 0 σ ∂y D ∂y ∂σ
ρg = −
∂P ∂z
Persamaan transpor suhu :
(2.3)
(2.4a)
(2.4b)
25
∂ K H ∂T ∂R ∂TD ∂TUD ∂TVD ∂Tω = + FT − + + + ∂σ D ∂σ ∂z ∂σ ∂y ∂x ∂t
(2.5)
Persamaan transpor salinitas : ∂ K H ∂S ∂SD ∂SUD ∂SVD ∂Sω = + FS + + + ∂σ D ∂σ ∂σ ∂y ∂x ∂t
(2.6)
dimana : U dan V ω t f g η
ρo
ρ′
KM F x dan F y T S KH F T dan F S R
: : : : : : : : : : : : : : :
masing-masing komponen kecepatan arus untuk arah x dan y; kecepatan vertikal dalam koordinat-σ ; waktu; parameter Coriolis; percepatan gravitasi; elevasi permukaan air; densitas referensi air; nilai fluktuasi dari densitas air; viskositas eddy vertikal; suku difusi dan viskositas horisontal dalam arah x dan y; suhu; salinitas; koefisien difusivitas eddy vertikal untuk suhu dan salinitas; suku difusi dan viskositas horisontal untuk suhu dan salinitas; fluks radiasi gelombang pendek.
Persamaan (2.3) dan (2.4) mengandung suku perubahan lokal kecepatan, adveksi, pengaruh coriolis, gradien tekanan, gradiens densitas, tegangan (stress) permukaan dan dasar, serta olakan. Persamaan (2.5) merupakan persamaan untuk suhu yang mengandung suku perubahan lokal suhu, adveksi, difusi horisontal, difusi vertikal, dan pengaruh fluks radiasi gelombang pendek (R). Persamaan (2.6) merupakan persamaan untuk salinitas yang mengandung suku perubahan lokal salinitas, adveksi, difusi horizontal, dan difusi horizontal. Simbol ω pada persamaan di atas merupakan kecepatan horizontal dalam koordinat-σ. Secara fisis ω adalah komponen kecepatan normal ke permukaan sigma (σ). Kecepatan arus dalam arah vertikal di dalam koordinat Cartesian adalah : ∂D ∂η ∂D ∂η ∂D ∂η + σ + + W = ω + U σ + + V σ ∂ ∂ ∂ ∂ x x ∂t ∂t y y
(2.7)
Model POM menggunakan teknik penyelesaian mode pemisah (modesplitting technique) yang berguna untuk mereduksi sejumlah besar pekerjaan
26
komputasi dalam model 3D. Langkah waktu (time step) perhitungan dalam teknik ini ada dua macam, yaitu: langkah waktu pendek dipakai untuk menyelesaikan persamaan dua dimensi (2D) yang dintegrasikan secara horizontal (mode eksternal) dan langkah waktu yang lebih panjang dipakai untuk persamaan tiga dimensi (mode internal). Mode eksternal diselesaikan dengan menggunakan persamaan yang diintegrasikan terhadap kedalaman, yaitu: Persamaan kontinuitas: ∂DU ∂DV ∂η + + =0 ∂x ∂y ∂t
(2.8)
Persamaan gerak dalam arah x dan y : ∂U ∂U 2 ∂U V ∂η τ sx − τ bx + + − fV = − g + + AH ∆U ∂t ∂x ∂y ∂x ρ0 D
(2.9)
∂V ∂U V ∂V 2 ∂η τ sy − τ by + + + fU = − g + + AH ∆V ∂t ∂x ∂y ρ0 D ∂y
(2.10)
dimana: U
dan V
τ sx dan τ sy
τ bx dan τ by AH ∆=
∂2 ∂x 2
+
∂2 ∂y 2
: komponen kecepatan arus yang dirata-ratakan terhadap kedalaman masing-masing untuk arah x dan y; : stress permukaan masing-masing untuk arah x dan y; : stress dasar masing-masing untuk arah x dan y; : viskositas eddy horizontal; : operator Laplace 2-dimensi.
2.5.1.2 Implementasi Teknik Mode Pemisah Komputasi dari persamaan-persamaan di atas dilakukan dalam dua tahap, yaitu : perhitungan 2D (mode eksternal, Persamaan 2.8, 2.9, dan 2.10) dengan menggunakan langkah waktu pendek (∆t 2 D ) yang sesuai dengan kriteria CFL (Courant-Frederick-Lewy), dan perhitungan 3D (mode internal, Persamaan. 2.2, 2.3, 2.4, dan 2.7) dengan menggunakan langkah waktu yang lebih panjang (∆t 3D ) , dimana ∆t 3D = M∆t 2 D . Biasanya M bernilai antara 10 sampai 80 (Mellor 1998). Dengan kata lain perhitungan 3D tidak perlu dilakukan untuk setiap langkah waktu (∆t 2 D ) , tetapi setiap (∆t 3D ) sehingga dapat mempercepat proses perhitungan.
27
Ilustrasi sederhana dari iterasi waktu perhitungan model 2D dan 3D diperlihatkan pada Gambar 7.
Gambar 7 Langkah waktu dari teknik mode-splitting (Sumber : Mellor 1998). 2.5.1.3 Penyusunan Grid Penyusunan grid (staggered grid) untuk mode eksternal dan mode internal dapat dilihat pada Gambar 8 dan Gambar 9. Diagram dalam gambar-gambar tersebut berguna untuk mengerti sistem perhitungan horisontal maupun perhitungan vertikal.
Gambar 8 Sistem Grid 3-Dimensi untuk mode eksternal dalam model POM (Sumber : Hydroqual 2002).
28
Tampak mendatar
Tampak vertikal
Gambar 9 Sistem Grid 2-Dimensi untuk mode internal dalam model POM (Sumber : Hydroqual 2002). 2.5.1.4
Penentuan Langkah Waktu Penentuan langkah waktu untuk perhitungan persamaan dalam mode
eksternal (vertically integrated) dilakukan berdasarkan pada syarat stabilitas komputasi Courant-Friedrichs-Levy (CFL) dengan perumusan sebagai berikut : 1 1 1 + 2 ∆t E ≤ 2 Ct ∂x ∂y
−1 / 2
(2.11)
dimana C t = 2(gH)1/2 + U max ; U max adalah kecepatan maksimum yang mungkin terjadi. Terdapat syarat-syarat pemilihan langkah waktu yang lain namun untuk kepraktisan maka digunakan syarat stabilitas CFL yang cukup ketat. Pembatasan langkah waktu yang digunakan model POM umumnya 90 % sesuai dengan syarat stabilitas ini. Mode internal mempunyai langkah waktu yang lebih panjang selama efek mode eksternal telah dihilangkan. Kriteria penentuan langkah waktu yang digunakan untuk mode ini analog dengan mode eksternal: 1 1 1 ∆t I ≤ + 2 2 C t ∂x ∂y
−1 / 2
(2.12)
dimana C t = 2C + U max ; C t adalah kecepatan maksimum gelombang gravitasi internal yang umumnya dalam orde 2 m/detik, dan U max adalah kecepatan advektif
29
maksimum. Untuk kondisi lautan tertentu, perbandingan antara langkah waktu internal dan langkah waktu eksternal ∆t I /∆t E = DTI/DTE adalah sebesar 50-80. Terdapat pembatasan tambahan dalam penentuan langkah waktu mode internal karena dilibatkannya difusi horisontal dari momentum atau disimbolkan dalam skalar A = A M atau A = A H . Kriteria yang digunakan adalah: 1 1 1 ∆t I ≤ + 2 2 4 A ∆x ∆y
−1
(2.13)
Kriteria penentuan langkah waktu mode internal akibat adanya rotasi adalah ∆t <
1 1 = f 2Ω sin Φ
(2.14)
dimana Ω adalah kecepatan sudut rotasi bumi (rad/det) dan Φ adalah lintang tempat (o). Dua kriteria penentuan langkah waktu diatas tidak seketat kriteria penentuan langkah waktu berdasarkan kriteria CFL. 2.5.1.5
Syarat Batas (Boundary Condition)
2.5.1.5.1
Syarat Batas Lateral
Pada batas darat digunakan syarat batas tertutup dimana kecepatan yang datang tegak lurus pantai sama dengan nol (zero flow normal), sedangkan pada batas terbuka digunakan syarat batas radiasi Sommerfeld berdasarkan teknik penjalaran gelombang. Pendekatan syarat batas radiasi tersebut direpresentasikan oleh persamaan adveksi berikut (Chapman 1985 dalam Hadi 2000), ∂φ ∂φ ±c =0 ∂x ∂t
(2.15)
dimana φ dapat merupakan kecepatan arus atau elevasi permukaan air, dan c adalah kecepatan adveksi dan kecepatan fasa. Tanda pada bagian atas dan bawah (+ dan -) masing-masing bersesuaian dengan batas terbuka pada sisi kanan dan kiri. Bentuk numerik dari persamaan (2.15) dapat ditulis sebagai,
φ Bn +1 + φ Bn −1 2∆t
(φ n +1 + φ Bn −1 ± c B =0 ∆ x
(2.16)
dimana subskrip B menyatakan batas, dan superskrip n-1, n, n+1 menyatakan tingkat waktu.
30
Selanjutnya persamaan (2.16) dapat ditulis dengan,
φ Bn +1 = [φ Bn −1 (1 − µ ) + 2 µφ Bn±1 ]/(1 + µ )
(2.17)
dimana φBn +1 adalah nilai yang diprediksi di batas (dapat merupakan kecepatan arus atau elevasi permukaan air). Dalam penelitian karena kasus sirkulasi dibangkitkan oleh pasut, elevasi diberikan dibatas. 2.5.1.5.2 Syarat Batas Vertikal Syarat batas permukaan (σ = 0) dan dasar (σ = -1) dalam system σkoordinat dapat ditulis sebagai, ω(x,y,0,t) = ω(x,y,-1,t)=0
(2.16)
Di dasar laut, syarat batas yang digunakan adalah :
ρK M ∂U ∂V h h 2 2 1/ 2 + = (τ x ,τ y ) = ρCz [U h + Vh ] (U h , Vh ), di σ = -1 D ∂σ ∂σ
(2.17)
dimana U h dan V h adalah kecepatan dekat dasar, C z adalah koefisien gesekan dasar.
31
3. METODOLOGI PENELITIAN 3.1 Waktu dan Lokasi Penelitian Penelitian ini dimulai pada bulan Maret 2008 sampai Oktober 2010 di wilayah Perairan Bontang, Kotamadya Bontang, Provinsi Kalimantan Timur, yang secara geografis terletak pada posisi antara 0º01’21”-0º14’ Lintang Utara dan 117º23’-117º38’ Bujur Timur (Gambar 10). o 117o28’ 117o30’ 117o32’ 117o34’ 117o36’ 117 38’ BT Kabupaten Kutai Timur
0o12’
117o26’
0o08’ 0o02’ LU
0o04’
0o06’
Selat Makassar
0o10’
Kabupaten Kutai Timur
Kabupaten Kutai Kartanegara
Gambar 10 Peta administrasi wilayah Kota Bontang dan daerah model (dalam kotak hitam) (Sumber : DKP Kota Bontang 2005). 3.2
Daerah Model Penelitian ini dilakukan di perairan sekitar buangan air pendingin (cooling
water) PT. Badak NGL. Daerah model meliputi zona terkena dampak dan tidak terkena dampak kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL
32
(Gambar 11). Adapun batas wilayah dan letak geografis daerah model adalah sebagai berikut : Sebelah Utara
: Pantai Marina (00 06’5” LU)
Sebelah Selatan
: Kelurahan Bontang Lestari (00 02’0” LU)
Sebelah Barat
: Kelurahan Bontang Lestari (1170 27’0” BT)
Sebelah Timur
: Selat Makassar (1170 30’ BT ) 1
PT. Badak NGL
7
8
2 3
4 Kel. Bontang Lestari
Lintang Utara (derajat)
Selat Makassar
16
8
5
16
8 8
4
6 8
4 8
9
Kel. Bontang Lestari
4
Bujur Timur (derajat)
Keterangan : 1 = kanal pendingin train A-F (outfall 1) 2 = kanal pendingin train G/H (outfall 2) 3 = kolam pendingin 4 = kanal pendingin train A-H 5 = Muara Kanal Pendingin
6 = Pulau Sieca 7 = Pantai Marina 8 = Intake 9 = Teluk Nyerakat
Gambar 11 Daerah model dan kontur batimetri (dalam meter) lokasi penelitian. Penetapan daerah model di atas didasarkan pada hasil survei awal yang menunjukkan bahwa daerah ini dapat merepresentasikan zona terkena dampak
33
dan zona yang tidak terkena dampak kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL. Luas wilayah penelitian adalah sekitar 1 986 ha, dimana untuk arah utara-selatan sekitar 5 610 m dan arah barat-timur sekitar 3 540 m. 3.3 Pendekatan Penelitian Kerangka utama penelitian ini adalah bahwa dengan mengetahui pola sebaran suhu di wilayah perairan, maka dapat diprediksi gangguan yang dapat ditimbulkan dengan masuknya buangan air pendingin pada suatu perairan, sehingga upaya untuk mencegah rusaknya lingkungan perairan akibat buangan air pendingin tersebut dapat dilakukan (Maderich et al. 2008). Adapun sistematika penelitian ini adalah sebagai berikut. Langkah pertama, melakukan pengukuran suhu di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL untuk memperoleh data lapangan tentang pola sebaran dan kenaikan suhu perairan akibat adanya buangan air pendingin tersebut. Data ini untuk menentukan zona pesisir yang kena dampak dan tidak kena dampak, sehingga penetapan untuk daerah model dapat dilakukan. Langkah kedua, melakukan identifikasi kondisi sebaran biota laut yang terdapat dalam daerah model. Dalam penelitian ini identifikasi dilakukan terhadap fitoplankton dan terumbu karang. Langkah ketiga, melakukan simulasi pola sebaran suhu buangan air pendingin (cooling water) dengan menggunakan model POM (Princeton Ocean Model). Dari hasil simulasi diperoleh informasi tentang pola dan magnitude suhu di wilayah studi. Langkah keempat, menganalisis dampak yang ditimbulkan oleh kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang dengan menggunakan hasil simulasi model dispersi thermal. Langkah kelima, membuat rekomendasi pengelolaan wilayah pesisir yang meliputi pengelolaan buangan air pendingin serta arahan kebijakan terkait suhu buangan air pendingin (cooling water). Pengelolaan buangan air pendingin dilakukan dengan membuat skenario debit dan suhu buangan air pendingin ketika memasuki wilayah perairan, sementara arahan kebijakan didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap terumbu karang dan fitoplankton. Diagram kerangka pemikiran penelitian dapat dilihat pada Gambar 12 dan diagram alir POM pada Gambar 13.
34
PERSIAPAN : - PUSTAKA - KOORDINASI - PERIZINAN - SURVEI AWAL PENETAPAN BATAS WILAYAH STUDI
INDUSTRI
INPUT
BUANGAN AIR PENDINGIN
Model POM PROSES verifikasi
OUTPUT
POLA SEBARAN
ZONA BELUM TERDAMPAK
ZONA TERDAMPAK
ANALISIS BIOTA LAUT
FITOPLANKTON
ZONA TIDAK TERDAMPAK
SKENARIO INPUT MODEL
Waktu dan T. Cuplik
TERUMBU KARANG
PROFIL SUHU
KONDISI BIOTA LAUT overlay DAMPAK KENAIKAN SUHU PADA BIOTA LAUT LUAS PERAIRAN TERKENA DAMPAK BERDASARKAN HASIL PENELITIAN
LUAS PERAIRAN TERKENA DAMPAK BERDASARKAN KEPMEN LH NO. 51 2004
REKOMENDASI PENGELOLAAN
Gambar 12
Diagram Kerangka Pemikiran Rencana Penelitian.
35
START Set Parameters Initial Values
9000 Print
ADVCT BAROPG 8000 IEXT=1,I
STOP
Compute EL Adjust Integral of U,V to match UT, VT VERTVL BCOND(5) ADVQ(Q2) ADVQ(Q2L) PROFQ BCOND(6) ADVT(T) ADVT(S) PROF(T) PROF(T) BCOND(4) ADVU ADVV PROFU PROFV BCOND(3)
BCOND(1)
ADVAVE
Compute UA, VA
Compute UT, VT For use in Internal Mode BCOND(2)
8000
STOP
Gambar 13 Diagram Alir Program model POM (Sumber : Mellor 1998).
36
3.4
Tahapan Pelaksanaan Studi
3.4.1
Tahap Persiapan Kegiatan pada tahap ini meliputi survei lokasi pra penelitian yang
dilakukan sejak Maret 2008 sampai Juli 2008, survei ini telah menghasilkan penentuan stasiun pengamatan yang dianggap dapat mewakili wilayah penelitian. Selain itu dilakukan studi pustaka berkaitan dengan kondisi lokasi penelitian terutama aspek lingkungan. Pengurusan perizinan untuk akses memasuki wilayah operasional PT. Badak NGL yang mencakup wilayah penelitian ini merupakan bagian penting dari tahap persiapan. 3.4.2 Tahap Penelitian Lapangan Kegiatan pada tahap ini meliputi survei lapangan untuk pengumpulan data yang diperlukan dalam penelitian. Survei dilakukan pada stasiun pengamatan yang telah ditentukan yakni di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dan beberapa lokasi yang dianggap dapat mewakili daerah yang tidak terkena dampak buangan limbah air pendingin (Gambar 14). 3.4.2.1 Survei Oseanografi dan Debit Sungai a.
Pengukuran elevasi muka laut Elevasi muka laut diukur di Pelabuhan Sekangat (Stasiun 12) dengan
menggunakan mistar pasut yang dipancang di tiang pelabuhan setelah sebelumnya diketahui posisi muka laut pada saat surut maksimum. Pengukuran ini dilakukan selama 29 hari yakni sejak 13 September 2008 sampai dengan 11 Oktober 2008 di Pelabuhan Sekangat, dengan interval waktu pencatatan 1 jam. Dalam studi ini penentuan muka laut rata-rata pasang surut di wilayah penelitian dilakukan dengan menggunakan metode admiralty, dimana permukaan air laut rata-rata diperoleh dengan menghitung komponen harmonik pasut. Adapun klasifikasi sifat pasut di lokasi tersebut ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl, dengan persamaan sebagai berikut : Nilai Formzahl (F) K1 : M2 : S2 : O1 :
Komponen luni bulan harian Komponen utama bulan (pasut ganda) Komponen utama matahari (pasut ganda) Komponen utama matahari harian
(3.1)
37
PT. Badak NGL
2
4
5
6
3
7
s1
SI Kel. Bontang Lestari
Lintang Utara (derajat)
Selat Makassar
1
10 s2
9
8 11
13 14 15
12 s3
s5
Kel. Bontang Lestari
s4
Bujur Timur (derajat)
Keterangan : = Stasiun pengukuran suhu permukaan = Stasiun pengukuran suhu permukaan dan elevasi muka laut = Stasiun pengukuran suhu permukaan dan suhu arah vertikal = Stasiun pemantauan debit sungai = Titik running ramalan pasut ORITIDE
Gambar 14 Stasiun pengukuran suhu permukaan, suhu arah vertikal, elevasi muka laut dan debit sungai. b.
Pengukuran suhu permukaan Pengukuran suhu permukaan dilakukan pada Stasiun 1 (outfall 1) sampai
Stasiun 15 (belakang Pulau Sieca). Pengukuran suhu permukaan dilakukan dua kali yakni pada bulan purnama dan bulan perbani dengan menggunakan SCT meter YSI model 33. Pengukuran suhu permukaan untuk kondisi pasut purnama dilakukan pada tanggal 3 Oktober 2008 jam 08.00 pada saat air pasang sampai jam 15.00. Sementara untuk kondisi pasut perbani dilakukan pada tanggal 10
38
Oktober 2008 jam 08.00 sampai jam 15.00. Pengukuran dilakukan dengan mengambil Stasiun 1 sebagai titik awal pengukuran, kemudian dilanjutkan ke stasiun berikutnya sesuai nomor urut stasiun sebagaimana ditunjukkan dalam Gambar 14. Mengingat data ini selanjutnya akan digunakan untuk verifikasi hasil model, maka pengukuran dilakukan dengan memperhitungkan waktu dari stasiun pertama sampai stasiun terakhir agar distorsi antara waktu simulasi dengan waktu pengambilan data dapat diminimalkan. Dalam hal ini pengukuran suhu dilakukan dengan selang waktu 30 menit dari stasiun satu ke stasiun berikutnya. c.
Pengukuran suhu menurut kedalaman Pengukuran suhu arah vertikal dilakukan di Stasiun 8 pada kedalaman 6
meter selama 48 jam yang dimulai pada tanggal 5 Oktober 2008 jam 09.00 sampai 7 Oktober 2008 jam 09.00 menggunakan CTD SBE19. Pencatatan suhu dilakukan pada setiap kedalaman 1 meter setiap jam. d.
Pengukuran debit sungai Debit sungai adalah volume aliran yang mengalir pada suatu penampang
basah persatuan waktu (m3/det). Debit sungai terutama di sekitar PT. Badak NGL merupakan faktor yang cukup berpengaruh terhadap pola sebaran suhu akibat adanya buangan limbah air pendingin dari perusahaan ini. Penentuan besar debit dari suatu penampang sungai sebagai data input model dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan pendekatan persamaan berikut : Q = A.V
(3.2)
Keterangan : Q = debit (m3/det) V = Kecepatan aliran rata-rata (m/det) A = luas penampang basah (m2) (Soewarno 1991)
Pengukururan debit sungai dilakukan
pada lima muara sungai, yakni
Sungai Sekambing (s1), Sungai Muara Sekambing (s2), Sungai Baltim (s3), Sungai Nyerakat (s4) dan Sungai Selangan (s5) (Gambar 14). Pengukuran suhu dan debit sungai dilakukan dua kali yakni pada Tanggal 12 Mei 2008 dan 19 Oktober 2008. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui suhu dan debit sungai ratarata untuk musim kemarau dan musim hujan.
39
3.4.2.2 Analisis Sumberdaya Pesisir Untuk mengetahui dampak kenaikan suhu akibat adanya buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka inventarisasi terhadap biota laut yang ada di sekitar perusahaan perlu dilakukan. Diantara biota laut yang diamati dalam penelitian ini adalah terumbu karang dan fitoplankton. a.
Survei dan Pengamatan Terumbu Karang Survei dan pengamatan terumbu karang dilakukan pada tanggal 19 dan 20
Oktober 2010 pada beberapa lokasi yang dapat mewakili zona terkena dampak dan tidak terkena dampak. Pengamatan zona terkena dampak dilakukan pada Stasiun I dan H, sementara zona yang tidak terkena dampak dilakukan di sekitar Pulau Melahing dan Pulau Beras Basa (Gambar 15). Data kondisi terumbu karang diamati secara visual melalui kegiatan penyelaman dan didokumentasi dengan menggunakan “underwater camera”. Kondisi terumbu karang diukur dengan mencari nilai tingkat penutupan karang hidup (percent coverage) berdasarkan metode bentuk pertumbuhan (Benthic Life-form Transect). Pengamatan dilakukan dengan menarik garis transek sepanjang 50 meter pada kedalaman 3 meter sesuai dengan kontur kedalaman. Pemilihan stasiun pengamatan (transek) didasarkan pada sampling pertimbangan, yaitu dipilih pada areal terumbu karang yang kondisinya paling bagus berdasarkan “manta tow” (English et al. 1994). Nilai persen tutupan karang hidup, sebagai penduga kondisi terumbu karang dapat dikategorikan sebagai berikut : Sangat bagus : persen tutupan karang hidup antara 75-100% Bagus
: persen tutupan karang hidup antara 50-74.9%
Sedang
: persen tutupan karang hidup antara 25-49.9%
Buruk
: persen tutupan karang hidup antara 0-24.9 %
b.
Lokasi dan Metode Sampling Fitoplankton Lokasi sampling fitoplankton ditentukan berdasarkan hasil simulasi model
dispersi thermal yang dilakukan untuk verifikasi model. Hal ini dimaksudkan agar lokasi sampling yang dipilih dapat mewakili perairan baik yang terkena dampak maupun yang tidak terkena dampak kenaikan suhu akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL. Dalam hal ini dipilih 8 stasiun, dimana 2 stasiun berada dalam kolam pendingin, 3 di depan muara kanal pendingin, 1 di dekat Pulau Sieca dan 2
40
lainnya di laut. Lokasi pengambilan sampel fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 15.
Selat Makassar
PT. Badak NGL H P.Melahing
A B
G C
Kel. Bontang Lestari
Lintang Utara (derajat)
P.B.Basa
D D SM1
I SM2
PA1
J
E
PA2
F
Kel. Bontang Lestari
Bujur Timur (derajat)
Keterangan : = Stasiun pengambilan sampel fitoplankton = Stasiun pengamatan terumbu karang dalam daerah model = Stasiun pengamatan terumbu karang pada suhu alami = Titik cuplik hasil model
Gambar 15 Stasiun pengambilan sampel fitoplankton dan pengamatan terumbu karang Selain penentuan lokasi sampling, waktu pengambilan sampel juga dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian antara waktu cuplik hasil model dengan waktu pengambilan sampel. Untuk itu pengambilan sampel dari stasiun satu ke stasiun lainnya dilakukan dengan selang waktu 30 menit atau 1 jam, agar dapat disesuaikan dengan langkah waktu simulasi.
41
Metode Sampling Fitoplankton Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan sebanyak empat kali untuk empat kondisi pada masing-masing stasiun, yakni : Kondisi I (musim kemarau saat pasut purnama) dilakukan pada tanggal 20 Agustus 2009; Kondisi II (musim kemarau saat pasut perbani) dilakukan pada tanggal 28 Agustus 2009; Kondisi III (musim hujan saat purnama) dilakukan pada tanggal 20 Maret 2010; Kondisi IV (musim hujan saat perbani) dilakukan pada tanggal 28 Maret 2010. Pengambilan sampel fitoplankton dilakukan dengan menggunakan jaring plankton ukuran mesh 20µm dan berdiameter 20 cm hingga diperoleh 100 ml dari 100 liter air, kemudian diawetkan dengan lugol 4%. Identifikasi fitoplankton dilakukan hingga tingkat genus menggunakan mikroskop binokuler dan bilik Sedwgwick Rafter counting cell. Acuan identifikasi fitoplankton dengan menggunakan buku Yamaji 1979 dan buku Jomes 1997. Kelimpahan fitoplankton dilakukan dengan menggunakan metode mikrotransect menurut Sachlan (1972) dan dihitung berdasarkan rumus : N = Σ {A/B x C/D x 1/E x ni}
(3.3)
Keterangan : N = Jumlah plankton tiap liter A = Luas cover glass B = Luas lapang pandang C = Volume sampel setelah disaring (ml)
D = Volume sampel yang diamati (ml) E = Volume sampel yang diambil (liter) ni = Jumlah jenis i yang ditemukan
3.5
Desain dan Skenario Model
3.5.1
Desain Simulasi Model Hidrodinamika Penelitian ini menggunakan model hidrodinamika dan transpor suhu 3-
dimensi untuk melihat sebaran suhu baik horizontal maupun vertikal. Gaya pembangkit (driving forces) yang digunakan adalah elevasi muka laut, debit buangan air pendingin dan debit air sungai, dengan langkah waktu ∆t = 0.5 detik, dibagi dalam 4 lapisan (layer) arah vertikal, 118 grid (barat-timur), 187 grid (utara-selatan), ukuran grid Δx=Δy=30 m dengan sistem kisi “Arakawa C” pada kisi horizontal untuk meningkatkan stabilitas. Nilai awal : u=v=ζ=0 (diasumsikan pada saat mulai simulasi perairan berada dalam keadaan tenang), T 0 (T alami ) = 28oC dan S 0 = 32‰. Perlakuan di syarat batas : batas terbuka, kecepatan arus pada
42
sel terluar sama dengan kecepatan pada sel sebelah dalamnya (gradien kecepatan arus dianggap sangat kecil sehingga dapat diabaikan). Pada batas tertutup, digunakan kondisi batas semi-slip, yakni kecepatan arus dalam arah tegak lurus pantai sama dengan nol, sedangkan kecepatan arus tangensialnya tidak harus nol. Adapun skenario model yang digunakan adalah sebagai berikut : 1. Simulasi dengan inputan data pasut dan angin konstan. Dilakukan selama 30 hari dengan menggunakan input pasut yang diperoleh dari ramalan pasut ORITIDE yang waktunya disesuaikan dengan data hasil pengukuran. Selanjutnya dalam model diskenariokan pencuplikan hasil simulasi untuk : -
verifikasi elevasi muka laut
-
verifikasi suhu dan salinitas permukaan
-
verifikasi suhu berdasarkan kedalaman (struktur suhu arah vertikal)
2. Simulasi selama 30 hari dilakukan dengan input pasut ORITIDE bulan Agustus 2009, debit buangan air pendingin dan limpasan air sungai dengan pendekatan debit air sungai pada musim kemarau. Dalam simulasi model dilakukan beberapa pencuplikan hasil simulasi diantaranya : -
Hasil simulasi model dicuplik untuk kondisi pasut purnama dan pasut perbani pada saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Hal ini dimaksudkan untuk menggambarkan pola sebaran suhu, pola arus dan pola sebaran salinitas permukaan pada musim kemarau untuk masing-masing kondisi tersebut. Selain itu output tersebut juga untuk mengetahui struktur vertikal suhu dan salinitas pada lokasi yang ditemukan adanya terumbu karang.
-
Hasil simulasi dicuplik berdasarkan waktu dan stasiun pengambilan sampel fitoplankton. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui struktur vertikal suhu dan salinitas di stasiun pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau serta pola arus pada saat bersamaan.
3. Skenario dibuat sama dengan skenario kedua dengan pendekatan debit air sungai pada musim hujan dan input pasut ORITIDE bulan Maret 2010. Demikian pula hasil simulasi dicuplik untuk kondisi pasut purnama dan pasut perbani pada saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan
43
surut maksimum. Selanjutnya pencuplikan hasil simulasi dilakukan dengan prinsip yang sama dengan skenario 2. 4. Simulasi dengan skenario perubahan volume input debit dan suhu buangan air pendingin. Hal ini dimaksudkan untuk mengetahui pengaruh volume dan suhu buangan air pedingin terhadap luas wilayah yang terkena dampak kenaikan suhu. 3.5.2 Elevasi Pasang Surut di Batas Terbuka Model Data elevasi muka laut untuk syarat batas terbuka model merupakan data yang diperoleh dari ramalan pasut ORITIDE. Adapun pemberian nilai awal (initial value) untuk elevasi muka laut diberikan pada syarat batas terbuka model yang diperoleh pada titik koordinat SI (Gambar 14). 3.6
Verifikasi Hasil Simulasi Untuk mengetahui apakah suatu model dapat dijadikan sebagai representasi
realitas atau tidak, maka model tersebut perlu diuji keabsahannya melalui verifikasi hasil model dengan kondisi faktual objektif di lapangan. Tingkat kesesuaian antara hasil simulasi dengan hasil pengukuran ditentukan berdasarkan uji statistik berikut : a.
Uji Korelasi Uji statistik ini harus dilakukan untuk memenuhi persyarakat model matematis: sesama peubah bebas tidak boleh saling berkorelasi, sedangkan antara peubah tidak bebas dengan peubah bebas harus ada korelasi yang kuat (baik positif maupun negatif). Persamaan 3.2 merupakan persamaan uji korelasi yang mempunyai nilai r (-1≤ r ≤ +1).
Nilai r yang mendekati -1 mempunyai arti bahwa kedua peubah tersebut saling berkorelasi negatif (peningkatan nilai salah satu peubah akan menyebabkan penurunan nilai peubah lainnya). Sebaliknya, jika nilai r yang mendekati +1 mempunyai arti bahwa kedua peubah tersebut saling berkorelasi positif (peningkatan nilai salah satu peubah akan menyebabkan peningkatan nilai
44
peubah lainnya). Jika nilai r mendekati 0, tidak terdapat korelasi antara kedua peubah tersebut. b.
Mean Relative Error (MRE)
Keterangan : RE = Relative Error (%) MRE = Mean Relative Error C = data hasil simulasi
X = data lapangan n = jumlah data
Dalam penelitian ini verifikasi hasil model dilakukan terhadap elevasi pasang surut, suhu permukaan dan suhu vertikal serta verifikasi pola arus permukaan yang diperoleh dari hasil pengukuran. 1)
Verifikasi elevasi muka laut Elevasi muka laut hasil simulasi diverifikasi dengan data elevasi pasang surut hasil pengukuran di lapangan, dimana elevasi muka laut hasil simulasi dicuplik pada waktu dan titik yang sama dengan waktu dan titik pengukuran di lapangan. Verifikasi dilakukan dengan melakukan uji korelasi dan menghitung nilai Mean Relative Error (MRE) dari keduanya.
2) Verifikasi suhu Dalam penelitian ini verifikasi hasil simulasi sebaran suhu dilakukan untuk arah horizontal dan arah vertikal. dimana suhu hasil simulasi dicuplik pada waktu dan titik yang sama dengan waktu dan titik pengukuran di lapangan. Adapun data untuk verifikasi arah horizontal dilakukan pada stasiun 1 sampai stasiun 15 dan untuk arah vertikal dilakukan pada stasiun 8 (Gambar 13). Verifikasi dilakukan dengan melakukan uji korelasi dan menghitung nilai Mean Relative Error (MRE) dari keduanya. 3) Verifikasi arus Untuk mengetahui bahwa pola arus hasil model dapat mewakili pola arus empirik wilayah model, maka pola arus hasil model diverifikasi dengan pola arus hasil pengamatan. Dalam hal ini digunakan data yang diperoleh dari
45
Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang dan dari hasil pemantauan lingkungan hidup PT. Badak NGL. 3.7 Data Simulasi Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dikumpulkan melalui metode survei lapang (visual recall). Data input yang digunakan dalam simulasi model hidrodinamika dan transpor suhu adalah data batimetri daerah model, data elevasi muka laut di batas terbuka, data debit buangan air pendingin (cooling water) dan data debit air sungai yang memasuki Perairan Bontang. 1)
Batimetri Data batimetri (peta kedalaman) perairan yang digunakan untuk model diperoleh dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Bontang, data DISHIDROS dan data pengukuran PT. Badak NGL. Data ini selanjutnya diolah dengan menggunakan software Transform versi 3.3 dan software PFE (Programmer’s File Editor) 32-bit edisi 0.07 untuk memperoleh data batimetri sesuai dengan batas daerah model yang ditentukan (Gambar 11).
2)
Data elevasi muka laut di batas terbuka model Data elevasi muka laut yang digunakan sebagai input di syarat batas terbuka model diperoleh dari hasil running program ORITIDE dengan memasukkan titik koordinat yang dikehendaki.
3)
Data debit air buangan (cooling water) Data besarnya debit buangan air pendingin setiap saat yang memasuki wilayah perairan Bontang diperoleh dari PT. Badak NGL. Debit air buangan PT. Badak NGL adalah sebagai berikut (Pertamina 2003) : Train A-F sebesar 141 000 m3/jam Train G sebesar 34 359 m3/jam Train H sebesar 36 254 m3/jam Total debit dalam detik = 58.78 m3/detik Data ini selanjutnya digunakan sebagai input di titik outfall untuk simulasi model (Gambar 11), dimana untuk outfall 1 input debit sebesar 40 m3/det dan pada outfall 2 sebesar 20 m3/det.
46
3.8 Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Dalam penelitian ini dilakukan analisis pengaruh kenaikan suhu perairan, pasang surut dan musim terhadap fitoplankton. Untuk mengetahui apakah musim dan pola pasang surut berpengaruh terhadap fitoplankton maka dilakukan uji statistik menggunakan ANOVA dua arah (two-way ANOVA) dengan hipotesa awal (H 0 ) adalah tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton untuk empat kondisi pengambilan sampel fitoplankton pada tingkat kesalahan 5% atau pada tingkat kepercayaan 95%. Kondisi pasut yang dianalisis adalah kondisi pada saat pasut purnama dan pasut perbani, masingmasing untuk musim hujan dan musim kemarau. Dengan demikian ada empat kondisi yang dianalisis, yakni : Kondisi I, musim kemarau pada saat pasut purnama, Kondisi II, musim kemarau saat pasut perbani, Kondisi III, musim hujan saat pasut purnama dan Kondisi IV, musim hujan saat perbani. Sementara untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu perairan akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dilakukan dengan menggunakan uji ANOVA satu arah (one-way ANOVA) dengan hipotesa awal (H o ) adalah tidak terdapat perbedaan nyata antara kelimpahan dan jumlah spesies fitoplankton di stasiun yang mengalami kenaikan suhu dengan stasiun kontrol pada tingkat kesalahan 5% atau pada tingkat kepercayaan 95%. Analisis dengan menggunakan ANOVA telah banyak digunakan diantaranya dalam Saravanan et al. 2008 untuk membedakan populasi bakteri pada beberapa lokasi dengan suhu yang berbeda di sekitar pembangkit listrik tenaga nuklir. Poernima et al. 2005 dan Poernima et al. 2006 juga menggunakan ANOVA untuk menentukan perbedaan respon produktifitas fitoplankton terhadap suhu. 3.9
Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Terumbu Karang Dalam penelitian ini analisis pengaruh suhu terhadap terumbu karang
dilakukan dengan mencuplik suhu hasil model pada titik dimana terumbu karang ditemukan (Gambar 15).
Suhu hasil simulasi dicuplik untuk empat kondisi,
yakni : Kondisi I, musim kemarau pada saat pasut purnama, Kondisi II, musim kemarau saat pasut perbani, Kondisi III, musim hujan saat pasut purnama dan Kondisi IV, musim hujan saat perbani. Pengaruh kenaikan suhu akibat buangan
47
air pendingin PT. Badak NGL terhadap terumbu karang dilakukan dengan menganalisis kondisi terumbu karang yang diperoleh dari hasil pengamatan berdasarkan karakteristik suhu yang diperoleh dari hasil simulasi. Selain itu kondisi terumbu karang yang mengalami kenaikan suhu dibandingkan dengan kondisi terumbu karang yang ditemukan pada kondisi suhu alami perairan. 3.10
Analisis Zona Pesisir Berdasarkan Kenaikan Suhu Perairan Dalam penelitian ini digunakan beberapa kriteria suhu perairan untuk
menentukan kondisi perairan, kriteria tersebut adalah : 1. Penentuan kondisi perairan berdasarkan pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut yang menetapkan diperbolehkannya terjadi perubahan suhu sampai dengan <2oC dari suhu alami, baik untuk perairan pelabuhan, wisata bahari maupun untuk biota laut. 2. Penentuan kondisi perairan berdasarkan kenaikan suhu perairan dan hasil analisis dampak kenaikan suhu akibat adanya buangan air pendingin dari PT. Badak NGL terhadap fitoplankton dan terumbu karang.
48
49
4. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Kondisi Oseanografi Wilayah Penelitian
4.1.1 Kondisi Pasang Surut Hasil pengamatan pasang surut di Perairan Bontang yang dilakukan selama 29 hari (29 piantan) sejak 13 September 2008-11 Oktober 2008 di Pelabuhan Sekangat dengan pencatatan setiap jam dapat dilihat pada Lampiran 1, sementara pola sinusoidal disajikan pada Gambar 16.
Gambar 16 Data elevasi muka laut hasil pengukuran di Pelabuhan Baltim. Berdasarkan analisis data hasil pengamatan diketahui bahwa perbedaan kedudukan air tinggi dengan air rendah atau tunggang air (range of tide) mencapai 2.37 m, dimana air tinggi (high water) mencapai puncaknya pada kedudukan 1.32 m dari muka air rata-rata (mean sea level) pada saat bulan purnama sementara kedudukan terendah (low water) berada di titik 1.07 m dari mean sea level juga tercatat pada saat bulan purnama. Penelitian ini menggunakan Metode Admiralty dalam menentuan muka laut rata-rata pasang surut di wilayah penelitian, dimana permukaan air laut rata-rata diperoleh dengan menghitung komponen harmonik pasut. Adapun hasil perhitungan komponen harmonik pasut dengan menggunakan Metode Admiralty disajikan dalam Tabel 7 berikut.
50
Tabel 7 Karakter komponen harmonik pasut di Pelabuhan Sekangat, Kota Bontang, 13 September 2008-11 Oktober 2008
A cm G
So
M2
S2
N2
K2
K1
O1
P1
M4
MS4
206.9
55.3
36.7
8.5
8.4
21.2
13.1
7.0
1.3
0.5
157.6
206.2
150.6
206.2
276.2
256.0
276.2
350.5
114.6
Sumber : Hasil analisis (2008) Keterangan : A : Amplitudo G : Beda fase M2 : Komponen utama bulan (pasut ganda) P1 : Komponen utama bulan harian S2 : Komponen utama matahari (pasut ganda) K2 : Komponen luni bulan ganda N2 : Komponen eliptik besar bulan (pasut ganda) K1 : Komponen luni bulan harian M4 : Komponen utama perempat harian MS4 : Komponen perairan dangkal bulan-matahari perempat harian O1 : Komponen utama matahari harian
Tabel di atas menunjukkan bahwa komponen harmonik pasut dominan adalah M2 (principal lunar) (Pond and Pickard, 1981). Adapun klasifikasi sifat pasut di lokasi tersebut ditentukan dengan menggunakan rumus Formzahl, sebagaimana diberikan pada persamaan (3.1). Dengan memasukkan nilai amplitudo komponen pasut kedalam persamaan (3.1), maka diperoleh nilai F = 0.37. Nilai ini menunjukkan bahwa tipe pasut di perairan Bontang adalah tipe pasang campuran (ganda dominan) dimana pasang surut dalam waktu 24 jam terjadi dua kali air tinggi dan dua kali air rendah (semi diurnal tide). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Wirtky 1961. 4.1.2
Hasil Pengukuran Suhu
4.1.2.1 Suhu Permukaan Hasil pengukuran suhu permukaan pada beberapa stasiun pengamatan menunjukkan adanya kenaikan suhu perairan akibat adanya buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan pola sebaran yang berbeda pada saat air pasang dan saat air surut baik pada pasut purnama maupun pasut perbani. Dalam hal ini sebagian stasiun menunjukkan suhu yang lebih tinggi pada saat purnama dibanding saat perbani,
51
sementara pada beberapa stasiun lainnya menunjukkan sebaliknya. Fenomena ini menunjukkan bahwa kondisi pasang surut sangat menentukan pola sebaran suhu di Perairan Bontang akibat adanya buangan air pendingin dari perusahaan tersebut. Suhu yang lebih tinggi pada saat air pasang dibanding saat air surut ditemukan di Pelabuhan Baltim (Stasiun 3), Sekambing Bulu (Stasiun 5), Sekambing Muara 1 (Stasiun 10) dan Sekambing Muara 2 (Stasiun 11). Tingginya suhu pada saat air pasang dibanding saat air surut di Stasiun 3 dan 5 disebabkan oleh adanya gerakan massa air dari laut ke dalam kolam pendingin sehingga massa air panas yang keluar dari outfall terdorong ke stasiun tersebut. Adapun kenaikan suhu pada Stasiun 10 dan 11 disebabkan oleh adanya dorongan massa air yang keluar dari muara kanal pendingin ke arah stasiun tersebut akibat air pasang. Stasiun lainnya mengalami peningkatan suhu yang lebih tinggi pada saat air surut disebabkan aliran massa air pendingin yang keluar dari outfall bergerak ke stasiun-stasiun tersebut mengikuti air yang sedang surut. Dalam hal ini luas perairan yang mengalami kenaikan suhu yang lebih tinggi terjadi pada saat air surut. Hasil pengukuran suhu permukaan dan hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 2. 4.1.2.2
Suhu Arah Vertikal Hasil pengukuran suhu arah vertikal di Stasiun 8 menunjukkan adanya lapisan
terstratifikasi di lokasi ini, dimana suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi daripada suhu di lapisan bawahnya. Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Wu et al. 2001, yang didasari oleh teori bahwa air dengan densitas lebih rendah berada di atas massa air yang berdensitas lebih tinggi. Suhu pada setiap lapisan juga senantiasa berubah menurut kondisi pasang surut dengan fenomena suhu lebih tinggi pada saat air surut dan lebih rendah pada saat air pasang. Suhu arah vertikal hasil pengukuran dapat dilihat pada Lampiran 3. 4.1.3 Kondisi Sungai di Wilayah Penelitian Hasil pengukuran menunjukkan bahwa kondisi kelima sungai yang bermuara ke daerah model memiliki karakteristik yang hampir sama dalam hal debit dan suhu air baik untuk musim hujan maupun musim kemarau. Hal ini disebabkan selain
52
karena sungai-sungai tersebut memiliki luas penampang yang kecil, juga karena kondisi hulu dari sungai-sungai tersebut relatif sama. Tabel 8 di bawah menunjukkan suhu dan debit sungai rata-rata untuk musim kemarau dan musim hujan. Tabel 8 Suhu dan debit rata-rata beberapa sungai yang bermuara ke lokasi penelitian pada musim hujan dan musim kemarau Musim Hujan St.
Muara Sungai
Musim Kemarau
Suhu rata-rata (oC)
Debit rata-rata (m3/det)
Suhu rata-rata (oC)
Debit rata-rata (m3/det)
s1
Baltim
25.05
0.50
25.10
0.20
s2
Muara Sekambing
25.00
1.00
25.00
0.50
s3
Sekangat
25.10
1.10
25.05
0.50
s4
Nyerakat
25.00
1.00
25.10
0.20
s5
Selangan
25.10
1.00
25.20
0.50
Sumber : Hasil pengamatan (2008)
4.2
Verifikasi Model
4.2.1 Verifikasi Elevasi Pasang Surut Hasil verifikasi untuk elevasi pasang surut menunjukkan bahwa elevasi dan fasa hasil simulasi secara umum telah mempunyai kesesuaian yang cukup baik dengan elevasi dan fasa dari data hasil pengukuran di lapangan, dimana antara hasil simulasi dengan data lapangan menunjukkan elevasi dan fasa dengan besaran dan pola yang relatif sama. Amplitudo hasil simulasi jika dibandingkan dengan amplitudo hasil pengukuran menunjukkan selisih yang cukup kecil dengan rata-rata 0.11 m, nilai korelasi 0.97 dan Kesalahan Relatif Rata-rata (Mean Relative Error/MRE) 1.32% dengan persamaan regresi y = 0.927x - 0.044. Perbedaan antara hasil simulasi dan hasil observasi kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan data batimetri, tidak dimasukkannya angin sebagai gaya pembangkit (driving force) dalam model, atau karena keterbatasan model yang digunakan. Hasil verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan disajikan dalam Gambar 17 di bawah. Dengan demikian model ini dianggap cukup representatif untuk menggambarkan kondisi pasang surut di wilayah model.
53
Gambar 17 Verifikasi elevasi pasang surut antara hasil model dan data lapangan. 4.2.2
Verifikasi Suhu Secara umum pola sebaran dan besaran suhu hasil pengukuran di lapangan
baik arah horizontal maupun arah vertikal menunjukkan kedekatan yang baik dengan pola sebaran dan besaran suhu hasil simulasi. Dengan demikian model hidrodinamika dan transpor suhu POM 3-Dimensi dapat digunakan untuk menggambarkan kondisi suhu di wilayah penelitian. Hasil verifikasi suhu baik suhu permukaan maupun struktur vertikal suhu diuraikan pada bagian berikut. 4.2.2.1 Verifikasi Suhu Permukaan Verifikasi suhu permukaan hasil model dengan suhu permukaan hasil pengukuran pada saat purnama dan pada saat perbani dapat dilihat pada Gambar 18 dan 19 pada beberapa stasiun pengamatan. Hasil verifikasi menunjukkan kedekatan yang baik, dimana nilai korelasi untuk kondisi purnama sebesar 0.90, MRE 5.17 % dengan persamaan regresi y = 0.851x + 5.170. Sementara pada saat perbani nilai korelasi yang diperoleh adalah 0.87, MRE 7.12% dengan persamaan regresi y = 1.391x - 15.22. Selisih suhu terbesar dengan hasil simulasi lebih tinggi dibanding hasil pengukuran ditemukan di Stasiun 5 (Sekambing Bulu) yakni 4.3 oC pada saat purnama dan 4.8 oC pada saat perbani. Selisih suhu yang cukup besar ini disebabkan oleh adanya aliran sungai yang bermuara ke Sekambing Bulu namun tidak
54
dimasukkan sebagai input dalam model. Sungai tersebut meskipun tidak sebesar dengan sungai yang lain namun pada waktu tertentu cukup berpengaruh terhadap suhu perairan di Sekambing Bulu akibat limpasan air sungai yang relatif lebih dingin. Suhu permukaan hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 4.
stasiun waktu
Gambar 18
Verifikasi suhu permukaan antara hasil simulasi dengan hasil observasi saat purnama pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 3 Oktober 2008.
stasiun waktu
Gambar 19
Verifikasi suhu permukaan antara hasil simulasi dengan hasil observasi saat perbani pada beberapa stasiun pengamatan yang diukur 10 Oktober 2008.
Selain faktor tersebut, secara umum perbedaan antara hasil simulasi dan hasil pengukuran disebabkan oleh faktor teknis yakni sulitnya menyamakan antara waktu cuplik model dengan pangambilan data lapangan.
55
4.2.2.2 Verifikasi Suhu Arah Vertikal Verifikasi suhu dalam arah vertikal menunjukkan adanya kesesuaian yang baik antara suhu hasil simulasi dan suhu hasil observasi baik pada lapisan permukaan maupun pada lapisan bawah, dimana untuk layer-1 korelasi 0.83, MRE 1.56%, layer-2 korelasi 0.79, MRE 2.08%, layer-3 korelasi 0.73, MRE 2.36%, dan layer-4 korelasi 0.71, MRE 2.94%. Persamaan regresi untuk layer-1, 2, 3 dan 4 masingmasing adalah y = 1,007x – 0,613, y = 0,702x + 10,68, y = 0.877x + 4.568 dan y = 0.666x + 11.68. Perbedaan nilai korelasi untuk tiap kedalaman kemungkinan disebabkan oleh keterbatasan data input batimetri atau input data debit buangan air pendingin. Hasil verifikasi untuk masing-masing layer diberikan dalam Gambar 20, 21, 22 dan 23 di bawah ini. Adapun suhu arah vertikal hasil simulasi dapat dilihat pada Lampiran 5.
jam tanggal
Gambar 20 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi untuk lapisan permukaan, 5-7 Oktober 2008.
jam tanggal
Gambar 21 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 2 m, 5-7 Oktober 2008.
56
jam tanggal
Gambar 22
Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 4 m, 5-7 Oktober 2008.
jam tanggal
Gambar 23 Hasil verifikasi suhu hasil simulasi dengan hasil observasi pada kedalaman 6 m, 5-7 Oktober 2008. 4.2.2.3
Verifikasi Pola Arus Pola arus permukaan hasil model menunjukkan kesesuaian yang baik dengan
hasil pengamatan, dimana pada saat surut menuju pasang, pola arus permukaan di Teluk Bontang bergerak dari timur ke arah PT. Badak NGL sementara pada kondisi pasang menuju surut arus bergerak menjauhi PT. Badak NGL menuju Selat Makassar (DKP Bontang 2007). Kondisi tersebut sesuai dengan pola arus hasil model yang dicuplik untuk kondisi air menuju pasang dan saat air menuju surut. Selain itu pola aliran air panas pada saat air surut hasil pengamatan PT. Badak NGL 2008 (Gambar 24a) juga menunjukkan pola yang sama dengan pola arus hasil model yang dicuplik pada saat air surut (Gambar 24b).
57
(a)
(b)
DARATAN
P. SIECA
Sumber : PT. Badak NGL 2008
(c)
(d)
DARATAN
P. SIECA
Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : = aliran air panas dominan saat surut = aliran air panas dengan volume lebih kecil
= arah arus saat pasang = aliran air laut dengan volume kecil
Gambar 24 Verifikasi pola arus pada saat air surut antara : (a) hasil pengamatan dengan (b) hasil model, untuk kondisi saat air surut dan antara (c) hasil pengamatan dengan (d) hasil model, untuk kondisi saat air pasang.
58
4.3
Profil Suhu Hasil Model Secara umum hasil model menunjukkan pola sebaran suhu akibat buangan air
pendingin PT Badak NGL relatif sama untuk skenario musim kemarau (Agustus 2009) dengan skenario musim hujan (Maret 2010). Perbedaan pola sebaran suhu terlihat untuk empat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum) pada saat pasut purnama. Demikian pula untuk empat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum) pada saat pasut perbani menunjukkan pola sebaran suhu yang berbeda untuk keempat kondisi cuplik tersebut, meskipun tidak sebesar pada saat pasut purnama. Penjelasan tentang hal ini diuraikan lebih lanjut pada bagian berikut. 4.3.1
Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Kondisi Pasut Perbani
4.3.1.1 Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi sebaran suhu dengan menggunakan model POM 3-Dimensi menunjukkan adanya perbedaan suhu permukaan dengan suhu di lapisan bawah, dimana suhu pada lapisan permukaan relatif lebih besar dan pada lapisan bawah relatif lebih kecil. Hasil simulasi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Kolluru et al. 2003. Besarnya perbedaan suhu secara vertikal ini bervariasi menurut jarak dari sumber buangan air pendingin. Gambar 25 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 dan 2 menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44oC, untuk titik cuplik 3 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu vertikal yang kecil yakni 0.04-0.09oC, dan titik cuplik 8 dan 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal. Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.5oC dimana suhu permukaan adalah 41.54oC dan pada lapisan bawah 41.07oC. Perbedaan suhu yang lebih besar ditunjukkan pada titik cuplik 11, 12 dan 13 dengan variasi suhu secara vertikal bervariasi antara 1.29-2.54oC, dengan suhu permukaan bervariasi antara 35.1637.95oC dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.87-35.41oC. Sementara untuk titik cuplik selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu
59
permukaan bervariasi antara 34.22-32.23oC dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.61-32.22oC. Outfall 1
Muara Kanal
P. Sieca
0
kedalaman (m)
-2 -4 -6
Dasar Perairan Dasar Perairan
-8 -10 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20
titik cuplik
( oC )
Keterangan : Titik Cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = 1 050 m
TC 6 = 1 170 m TC 7 = 1 350 m TC 8 = 1 620 m TC 9 = 1 800 m TC 10= 2 160 m
TC 11 = 2 310 m TC 12 = 2 520 m TC 13 = 2 580 m TC 14 = 2 700 m TC 15= 2 880 m
TC 16= 3 000 m TC 17= 3 180 m TC 18= 3 300 m TC 19= 3 450 m TC 20= 3 540 m
Gambar 25 Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani. Dengan demikian struktur vertikal suhu dari buangan air pendingin ke laut lepas dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni lapisan homogen dan lapisan terstratifikasi, dimana lapisan homogen ditemukan mulai dari outfall buangan air pendingin sampai ke muara kanal dan dari bagian tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca. Adapun lapisan terstratifikasi ditemukan di muara kanal sampai ke bagian tengah laut lepas, dengan daerah permukaan relatif lebih luas. Lapisan homogen yang terjadi pada kolam pendingin sampai di muara kanal pendingin terjadi karena perairan ini cukup dangkal sehingga dengan proses difusi dan gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh arus pasang surut menyebabkan air dapat bercampur secara homogen. Sementara lapisan homogen yang terbentuk pada bagian
60
tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca disebabkan massa air panas dari buangan air pendingin telah mengalami proses pendinginan baik oleh proses difusi maupun oleh besarnya gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh pasut begitu keluar dari muara kanal pendingin, sehingga suhu ketika sampai di lokasi tersebut telah mendekati suhu alami perairan dan cenderung bersifat homogen. Adapun struktur vetikal suhu dari muara kanal pendingin sampai bagian tengah perairan menunjukkan terjadinya lapisan terstratifikasi disebabkan tiga faktor utama, yakni : pertama, dalam kaitan dengan suhu, air memiliki sifat dimana massa air dengan suhu lebih tinggi akan cenderung berada di lapisan bagian atas massa air yang bersuhu lebih rendah. Kedua, proses percampuran antara massa air panas dan air dingin oleh gaya turbulensi tidak cukup kuat, sementara proses difusi tidak efektif untuk kondisi yang dinamis dimana pergantian massa air terjadi cukup cepat. Ketiga, adanya perubahan kedalaman dari muara kanal pendingin ke laut, menyebabkan massa air panas dari muara kanal pendingin ketika masuk ke laut hanya berada pada lapisan atas tidak sampai ke dasar perairan. 4.3.1.2
Pola Sebaran Suhu Permukaan Secara umum pola sebaran suhu untuk pasut perbani menunjukkan pola dan
besaran yang relatif sama untuk keempat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum). Hal ini disebabkan oleh perubahan elevasi muka laut yang cenderung kecil pada pasut perbani untuk keempat kondisi tersebut. Selisih elevasi muka laut untuk kondisi pasang maksimum dan surut maksimum terbesar yang tercatat dari hasil pengamatan adalah 0.72 m. Kondisi ini menyebabkan gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh pasang surut relatif sama sehingga pola sebaran suhu relatif sama. Penjelasan tentang hal ini diuraikan berdasarkan hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik sebagai berikut. 4.3.1.2.1
Kondisi Menuju Pasang
Pola sebaran suhu pada saat air menuju pasang dapat dilihat pada Gambar 26, dimana suhu dari outfall 1 buangan air pendingin hingga muara outfall 1 adalah
61
sebesar 44oC. Hal ini dapat diketahui dari pola garis isoterm yang menunjukkan suhu yang sama sepanjang garis tersebut. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam pendingin) suhu bervariasi antara 38-43oC, dimana suhu 38oC ditemukan di daerah aliran Sungai Sekambing, suhu 39oC ditemukan di muara Sungai Sekambing, dan radius 30 m dari muara sungai suhu menjadi 40oC. Suhu di muara Sungai Sekambing relatif lebih dingin karena adanya limpasan air sungai dengan massa air yang lebih
Lintang Utara (derajat)
dingin.
42
43
40 42
40
31
30
32 35
33
34 33
30
( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 26 Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang. Suhu perairan dalam kanal hingga ujung kanal pendingin bervariasi antara 4142oC. Selanjutnya setelah keluar ke muara kanal pendingin suhu mengalami penurunan secara gradual hingga mencapai suhu alami perairan. Berdasarkan garis isoterm pada bagian tengah perairan diketahui bahwa buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah selatan daerah
62
model. Hal ini disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang. 4.3.1.2.2 Kondisi Pasang Maksimum Pola sebaran suhu pada saat air pasang maksimum dapat dilihat pada Gambar 27. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola sebaran suhu pada saar air pasang maksimum sama dengan pola pada saat air menuju pasang, dimana garis isoterm menunjukkan pola yang sama. Meskipun demikian dari hasil simulasi diketahui bahwa untuk titik cuplik yang sama di sekitar muara Sungai Sekambing, suhu pada saat air menuju pasang relatif lebih besar dibanding pada saat air pasang maksimum. Hal ini disebabkan pada kondisi air pasang maksimum massa air dari Sungai Sekambing yang lebih dingin lebih sedikit yang sampai ke muara sungai dibanding
Lintang Utara (derajat)
pada saat air menuju pasang.
40 42 43 42
40
31
30
32 33
35 34 33
30 ( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 27 Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.
63
Pola isotherm yang sama antara kondisi air menuju pasang dengan pasang maksimum juga ditemukan di muara kanal pendingin, meskipun menunjukkan fenomena yang sebaliknya. Adapun hasil simulasi untuk titik cuplik yang sama di muara kanal pendingin menunjukkan nilai suhu yang tinggi pada saat air pasang maksimum dibanding dengan saat air menuju pasang. Hal ini disebabkan massa air yang lebih dingin dari laut yang sampai ke muara kanal pendingin pada saat pasang maksimum lebih besar dibanding pada saat air menuju pasang. Suhu di kanal pendingin bervariasi antara 41-42oC, dimana suhu 41oC ditemukan di muara kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian terdispersi ke arah utara, selatan dan timur perairan. Suhu dari di luar kanal pendingin pada kondisi ini bervariasi antara 41oC sampai suhu alami perairan. Pada kondisi pasang maksimum panas lebih terdispersi ke bagian selatan perairan mengikuti pola arus permukaan. Gambar di atas juga menunjukkan bahwa garis isoterm pada bagian tengah perairan untuk kondisi pasang maksimum memiliki pola yang sama dengan kondisi menuju pasang, dimana buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah selatan daerah model. Hal ini juga disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang. 4.3.1.2.3 Kondisi Menuju Surut Pola sebaran suhu pada kondisi pasut menuju surut dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar tersebut menunjukkan bahwa pola sebaran suhu pada saar air menuju surut hampir sama dengan pola pada kondisi air menuju pasang. Meskipun demikian dari hasil simulasi diketahui bahwa untuk titik cuplik yang sama di sekitar muara Sungai Sekambing, suhu pada saat air menuju surut relatif lebih kecil dibanding pada saat air pasang maksimum. Hal ini disebabkan pada kondisi air menuju surut massa air dari Sungai Sekambing lebih dominan di daerah ini, sementara massa air dari kolam pendingin cenderung tidak sebesar pada saat pasang maksimum. Suhu dari outfall 1 buangan air pendingin hingga muara outfall 1 bersifat homogen dengan suhu sebesar 44oC. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam
64
pendingin) suhu bervariasi antara 39-43oC, dimana suhu 39oC ditemukan di daerah aliran Sungai Sekambing, suhu 39oC ditemukan di muara Sungai Sekambing, dan radius 30 m dari muara sungai suhu menjadi 40oC. Suhu di kanal pendingin bervariasi antara 41-42oC, dimana suhu 41oC ditemukan di muara kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian terdispersi ke arah utara, selatan dan timur perairan. Suhu di luar kanal pendingin pada kondisi ini bervariasi antara 41oC sampai suhu alami perairan. Pada kondisi menuju surut, panas lebih terdispersi ke bagian selatan perairan
Lintang Utara (derajat)
mengikuti pola arus permukaan.
42 43 42
40
41 32 35
31
30
33
34 33
( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 28 Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut. Garis isotherm pada bagian tengah perairan untuk kondisi menuju surut memiliki pola yang sama dengan kondisi pasang maksimum, dimana buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah
65
selatan daerah model. Hal ini juga disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang. 4.3.1.2.4 Kondisi surut maksimum Pola sebaran suhu pada kondisi surut maksimum menunjukkan pola yang sama dengan kondisi pasut menuju surut (Gambar 29), dimana suhu dari outfall 1 limbah air pendingin hingga muara outfall 1 bersifat homogen dengan suhu sebesar 44oC. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam pendingin) suhu bervariasi antara 39-43oC, dimana suhu 39oC ditemukan di daerah aliran Sungai Sekambing, suhu 39oC ditemukan di muara Sungai Sekambing, dan radius 30 m dari muara sungai suhu
Lintang Utara (derajat)
menjadi 40oC.
42
43
40 42
41
31 35
30
32 33
34 33
30 ( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 29 Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum. Suhu di kanal pendingin bervariasi antara 41-42oC, dimana suhu 41oC ditemukan di muara kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa
66
panas kemudian terdispersi ke arah utara, selatan dan timur perairan. Suhu di luar kanal pendingin pada kondisi ini bervariasi antara 41oC sampai suhu alami perairan. Pada kondisi surut maksimum, panas terdispersi dengan luasan lebih kecil di wilayah perairan dibanding dengan kondisi menuju surut. Hal ini dapat dilihat pada isoterm di belakang Pulau Sieca, dimana isoterm dengan suhu 30oC untuk kondisi pasut menuju surut menunjukkan cakupan yang lebih luas daripada kondisi surut maksimum. 4.3.2
Profil Suhu pada Musim Kemarau untuk Kondisi Pasut Purnama
4.3.2.1 Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu dengan kondisi cuplik yang sama (surut menuju pasang), menunjukkan adanya kesamaan pola untuk kondisi perbani dan kondisi purnama namum mempunyai besaran yang berbeda. Perbedaan suhu dengan stasiun cuplik yang sama untuk kedua kondisi pasut ini bervariasi antara 0.01-0.60oC, dimana suhu pada kondisi pasut purnama relatif lebih besar untuk stasiun cuplik dari kolam pendingin sampai hulu kanal pendingin. Selanjutnya di laut lepas, sebaran suhu baik horizontal maupun vertikal untuk kondisi pasut perbani lebih besar dibanding kondisi pasut purnama untuk stasiun cuplik yang sama. Sama dengan kondisi perbani, besarnya perbedaan suhu secara vertikal bervariasi menurut jarak dari sumber limbah air pendingin. Gambar 30 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 dan 2 menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44oC (=pasut perbani), untuk titik cuplik 3 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu yang kecil yakni 0.04-0.09oC (=pasut perbani) dan titik cuplik 8 dan 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal (=pasut perbani). Meskipun variasi suhu antara pasut perbani sama dengan pasut purnama, namun nilai suhu pada saat purnama lebih besar dibanding saat pasut perbani. Hal ini disebabkan karena hasil simulasi untuk pasut perbani dicuplik pada saat air pasang sedangkan untuk pasut purnama dicuplik pada saat air surut, sehingga massa air laut dari muara kanal lebih banyak yang masuk sampai ke titik cuplik ini pada pasut perbani dibandingkan pasut purnama.
67
Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.4oC (<pasut perbani) dimana suhu permukaan adalah 41.6oC (>pasut perbani) dan pada lapisan bawah 41.2oC (>pasut perbani). Variasi suhu lebih besar pada saat perbani menunjukkan adanya fenomena pasang surut yang berbeda antara waktu cuplik saat purnama dengan saat perbani. Sementara nilai suhu pada saat purnama lebih besar disebabkan karena hasil simulasi untuk pasut perbani dicuplik pada saat air pasang sedangkan untuk pasut purnama dicuplik pada saat air surut. Outfall 1
P. Sieca
Muara Kanal
dasar perairan
dasar perairan
Dasar Perairan Dasar Perairan
( oC )
Keterangan : titik cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = 1 050 m
TC 6 = 1 170 m TC 7 = 1 350 m TC 8 = 1 620 m TC 9 = 1 800 m TC 10= 2 160 m
TC 11 = 2 310 m TC 12 = 2 520 m TC 13 = 2 580 m TC 14 = 2 700 m TC 15= 2 880 m
TC 16= 3 000 m TC 17= 3 180 m TC 18= 3 300 m TC 19= 3 450 m TC 20= 3 540 m
Gambar 30 Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama. Perbedaan suhu yang lebih besar ditunjukkan pada titik cuplik 11, 12 dan 13 dengan variasi suhu secara vertikal bervariasi antara 1.52-2.57oC (>pasut perbani),
68
dengan suhu permukaan bervariasi antara 35.09-37.89oC (<pasut perbani) dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.57-35.24oC (<pasut perbani). Variasi suhu arah vertikal pada saat purnama lebih besar dibanding saat perbani pada titik cuplik ini juga disebabkan oleh perbedaan waktu cuplik kedua kondisi pasut tersebut. Sementara suhu permukaan pada saat purnama lebih kecil dibanding saat perbani disebabkan limpasan air dari laut ke titik cuplik ini pada saat purnama lebih besar. Sementara untuk titik cuplik selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu permukaan bervariasi antara 34.6-31.97oC dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.5-31.9oC. Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika pola dispersi thermal di Perairan Bontang sangat ditentukan oleh pasut. Dengan demikian struktur vertikal suhu dari sumber buangan air pendingin ke laut lepas untuk waktu cuplik pasut purnama juga dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni lapisan homogen dan lapisan terstratifikasi. Lapisan homogen ditemukan mulai dari outfall buangan limbah air pendingin sampai ke muara kanal dan dari bagian tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca. Adapun lapisan terstratifikasi ditemukan di muara kanal sampai ke bagian tengah laut lepas. 4.3.2.2
Pola Sebaran Suhu Permukaan Secara umum pola sebaran suhu untuk pasut purnama menunjukkan pola dan
besaran yang relatif berbeda untuk keempat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum). Hal ini disebabkan oleh perubahan elevasi muka laut yang cenderung besar pada pasut purnama untuk keempat kondisi tersebut. Selisih elevasi muka laut untuk kondisi pasang maksimum dan surut maksimum terbesar yang tercatat dari hasil pengamatan adalah 2.37 m. Kondisi ini menyebabkan gaya turbulensi yang ditimbulkan oleh pasang surut relatif berbeda untuk keempat kondisi cuplik tersebut sehingga pola sebaran suhu juga relatif berbeda. Penjelasan tentang hal ini diuraikan berdasarkan hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik sebagai berikut. 4.3.2.2.1 Kondisi Menuju Pasang Pola sebaran suhu pada kondisi menuju pasang menunjukkan adanya perbedaan suhu dibeberapa lokasi dalam kolam pendingin (lihat Gambar 31). Dimana
69
suhu di muara Sungai Sekambing Baltim (Sekambing Baltim I) mencapai 39oC, selanjutnya radius 30 meter dari muara sungai suhu berkisar antara 39-40oC dan suhu 40-41oC ditemukan dalam radius 30–60 meter dari muara sungai. Adapun suhu di Sekambing Baltim II (60-120 m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran 4042oC dan selanjutnya kisaran suhu 41-43oC ditemukan di Sekambing Baltim III.
Lintang Utara (derajat)
40 42 43 42
38
30 31
35
32 34 33
( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 31
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang.
Suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju pasang berada dalam kisaran 41-42oC, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara 42-43oC. Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara 38-41oC, dimana suhu 38oC ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 41oC ditemukan di hulu kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian lebih banyak terdispersi ke arah selatan menuju Selat Nyerakat.
70
Di depan muara kanal hingga radius 30 meter suhu tercatat mengalami penurunan menjadi 37oC termasuk di sebagian Sekambing Muara I yang sebagian lagi menunjukkan suhu antara 32-37oC. Adapun Sekambing Muara II mempunyai kisaran suhu antara 34-35oC, dan dari Sekambing Muara II hingga bagian dalam Teluk Sekangat suhu terus mengalami penurunan yang bervariasi antara 30-34oC. Sementara itu di depan Pulau Sieca suhu bervariasi antara 31-32oC, dan di belakang Pulau ini suhu berada pada kondisi alami yakni berkisar antara 29-30oC. 4.3.2.2.2 Kondisi Pasang Maksimum Pola sebaran suhu pada kondisi pasang maksimum menunjukkan pola yang sama dengan kondisi menuju pasang terutama suhu dalam kolam pendingin, namun demikian suhu pada kondisi pasang maksimum menunjukkan nilai yang relatif lebih
Lintang Utara (derajat)
rendah pada stasiun yang sama (Gambar 32).
42
40 41
43 42
41
35 34 32
30 31
33
( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 32
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.
71
Pada kondisi pasang maksimum, suhu di muara Sungai Sekambing mencapai 38oC, selanjutnya radius 30 meter dari muara sungai suhu berkisar antara 39-40oC dan suhu 40-41oC ditemukan dalam radius 30-60 meter dari muara sungai. Adapun suhu di Sekambing Baltim II (60-120 m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran 40-42oC dan selanjutnya kisaran suhu 41-43oC ditemukan di Sekambing Baltim III. Suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju pasang berada dalam kisaran 41-42oC, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara 42-43oC. Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara 35-41 oC, suhu 35oC ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 41oC ditemukan di hulu kanal pendingin. Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian lebih banyak terdispersi ke arah selatan menuju Selat Nyerakat. Di depan muara kanal hingga radius 30 meter suhu tercatat mengalami penurunan menjadi 34oC termasuk di sebagian Sekambing Muara I yang sebagian lagi menunjukkan suhu antara 30-35oC. Adapun Sekambing Muara II mempunyai kisaran suhu antara 33-34oC, dan dari Sekambing Muara II hingga bagian dalam Teluk Sekangat suhu terus mengalami penurunan yang bervariasi antara 30-33oC. 4.3.2.2.3
Kondisi Menuju Surut
Pada kondisi menuju surut massa buangan air pendingin lebih jauh terdorong dari outfal, yang ditandai oleh naiknya suhu di dalam kolam pendingin dan di muara kanal pendingin (Gambar 33). Hal ini diakibatkan oleh pergerakan massa air menuju laut lepas pada kondisi pasut menuju surut. Namun demikian suhu di hulu Sungai Sekambing justru menunjukkan adanya penurunan suhu mencapai 36oC, hal ini disebabkan oleh limpasan air sungai dengan suhu lebih rendah lebih terdorong masuk ke kolam pendingin. Adapun suhu di Sekambing Baltim II (60-120 m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran 4042oC dan selanjutnya kisaran suhu 41-42oC ditemukan di Sekambing Baltim III. Sementara suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju surut berada dalam kisaran 41-42oC, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara 42-43oC.
72
Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara 41-42oC, suhu 41oC ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 42oC ditemukan di hulu kanal pendingin.
Lintang Utara (derajat)
43 42
40
31
41
30
32 34 33
32
30
( oC )
31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 33
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut.
Dari muara kanal pendingin kelihatan bahwa panas kemudian lebih banyak terdispersi ke arah timur menuju Pulau Sieca yang menyebabkan suhu di depan pulau ini bervariasi antara 32-33oC, sementara suhu di belakang pulau tercatat bervariasi antara 29-30oC. Adapun suhu di Sekambing Muara I bervariasi antara 36-40oC, Sekambing Muara II mempunyai kisaran suhu antara 33-34oC, dan dari Sekambing Muara II hingga bagian dalam Teluk Sekangat suhu terus mengalami penurunan yang bervariasi antara 30-33oC. 4.3.2.2.4
Kondisi Surut Maksimum
Pada kondisi surut maksimum kolam pendingin mengalami kenaikan suhu, hal ini dapat dilihat dari perubahan isoterm dengan suhu 42oC lebih melebar sampai
73
ke Sekambing Bulu, demikian pula isoterm dengan suhu 43oC lebih meluas ke arah kanal pendingin. Gambar 34 di bawah menunjukkan bahwa pola suhu di wilayah Sekambing Baltim I, II dan III pada kondisi surut hampir sama dengan pola pada kondisi pasut sebelumnya, meskipun nilai suhu lebih tinggi pada kondisi surut maksimum untuk titik yang sama.
40
Lintang Utara (derajat)
42 43
42
41
32
35 34
31
30
33
32 31
30
( oC )
31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 34
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim kemarau untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum.
Sementara itu di Sekambing Muara I menunjukkan suhu bervariasi antara 3340oC, Sekambing Muara II bervariasi antara 33-35oC, Teluk Sekangat bervariasi antara 29-33oC, bagian depan Pulau Sieca 31-32oC dan bagian belakang Pulau Sieca bervariasi antara suhu alami sampai suhu 30oC.
74
4.3.3
Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Kondisi Pasut Perbani
4.3.3.1 Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu pada musim hujan berdasarkan hasil simulasi dengan menggunakan model POM 3-Dimensi menunjukkan adanya perairan terstratifikasi dimana terjadi perbedaan suhu secara vertikal. Sama dengan pada musim kemarau, pada musim hujan juga ditemukan bahwa perbedaan suhu secara vertikal bervariasi menurut jarak dari sumber limbah air pendingin. Gambar 35 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 sampai 2 atau sekitar 210 meter dari outfall menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44oC, untuk titik cuplik 3 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu yang kecil yakni 0.04-0.10oC (> musim kemarau), dan titik cuplik 8 sampai 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal. Outfall 1
Muara Kanal
Dasar perairan
P. Sieca
Dasar perairan
Dasar Perairan
Dasar Perairan
( oC )
Keterangan : titik cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 6 = 1 170 m TC 11 = 2 310 m TC 2 = 420 m TC 7 = 1 350 m TC 12 = 2 520 m TC 3 = 750 m TC 8 = 1 620 m TC 13 = 2 580 m TC 4 = 930 m TC 9 = 1 800 m TC 14 = 2 700 m TC 5 = 1 050 m TC 10= 2 160 m TC 15= 2 880 m
Gambar 35
TC 16= 3 000 m TC 17= 3 180 m TC 18= 3 300 m TC 19= 3 450 m TC 20= 3 540 m
Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani.
75
Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.41oC (<musim kemarau) dimana suhu permukaan adalah 41.45oC (<musim kemarau) dan pada lapisan bawah 41.04oC (<musim kemarau). Perbedaan ini disebabkan oleh adanya limpasan air sungai dengan debit yang berbeda, baik dari Sungai Baltim maupun dari Sungai Sekambing Muara, dimana debit sungai pada musim hujan lebih besar dari musim kemarau. Perbedaan suhu yang lebih besar ditunjukkan pada titik cuplik 11 sampai 13 dengan variasi suhu secara vertikal bervariasi antara 1.20-2.32oC (>musim kemarau). Sementara untuk grid selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu permukaan bervariasi antara 35.10-32.43oC (>musim kemarau) dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 34.28-32.40oC (>musim kemarau). Dengan demikian struktur vertikal suhu dari sumber limbah air pendingin ke laut lepas dapat dikelompokkan menjadi 2 bagian yakni lapisan homogen dan lapisan terstratifikasi, dimana lapisan homogen ditemukan mulai dari outfall buangan limbah air pendingin sampai ke muara kanal dan dari bagian tengah laut lepas sampai ke Pulau Sieca. Adapun lapisan terstratifikasi ditemukan di muara kanal sampai ke bagian tengah laut lepas. 4.3.3.2 Pola Sebaran Suhu Permukaan Secara umum pola sebaran suhu untuk pasut perbani menunjukkan pola dan besaran yang relatif sama untuk keempat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum). Hal ini disebabkan oleh perubahan elevasi yang relatif kecil pada pasut perbani untuk keempat kondisi tersebut. Meskipun demikian ditemukan adanya perbedaan nilai suhu pada stasiun yang sama pada lokasi tertentu antara musim kemarau dan musim hujan untuk kondisi pasut perbani, dimana suhu pada musim kemarau relatif lebih besar dibandingkan dengan pada musim hujan. Hal ini disebabkan pada skenario musim hujan debit sungai relatif besar dibandingkan dengan skenario musim kemarau.
76
4.3.3.2.1 Kondisi Menuju Pasang Pola sebaran suhu pada saat air menuju pasang dapat dilihat pada Gambar 36, dimana suhu dari outfall 1 buangan air pendingin hingga muara outfall 1 adalah sebesar 44oC (=musim kemarau). Hal ini dapat diketahui dari pola garis isoterm yang menunjukkan suhu yang sama sepanjang garis tersebut. Sementara untuk Sekambing Baltim (kolam pendingin) suhu bervariasi antara 38-43oC sama dengan musim kemarau, meskipun pola isoterm dari keduanya menunjukkan adanya perbedaan. Hal ini terutama terlihat pada pola isoterm dengan suhu 42oC, dimana sebaran suhu pada musim kemarau dengan suhu 42oC memiliki luasan yang lebih besar dibanding musim hujan. Perbedaan tersebut kemungkinan disebabkan oleh adanya limpasan air yang lebih dingin dari Sungai Sekambing yang relatif lebih besar pada musim hujan
Lintang Utara (derajat)
dibanding pada musim kemarau.
42
40
43 42
41
31
30
32 35 34
33
33 32
31
30
( oC )
31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 36
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju pasang.
77
Suhu perairan dalam kanal hingga ujung kanal pendingin bervariasi antara 4142oC (=musim kemarau). Selanjutnya setelah keluar ke muara kanal pendingin suhu mengalami penurunan secara gradual hingga mencapai suhu alami perairan. Berdasarkan garis isoterm pada bagian tengah perairan diketahui bahwa buangan air pendingin setelah keluar dari muara kanal pendingin cenderung terdispersi ke arah selatan daerah model. Hal ini disebabkan adanya limpasan air dari laut lepas yang memasuki perairan ini pada saat air menuju pasang. 4.3.3.2.2
Kondisi Pasang Maksimum
Hasil model sebaran suhu menunjukkan adanya perbedaan sebaran suhu pada musim hujan dan musim kemarau baik dalam kolam pendingin, maupun setelah
Lintang Utara (derajat)
keluar dari muara kanal pendingin (Gambar 37).
41
43
41 42
41
31
30
32
35 33 34 33 32
30
( oC )
31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 37
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.
78
Perbedaan yang nyata terlihat pada isoterm di Sungai Sekambing, dimana suhu pada musim hujan di lokasi ini lebih rendah akibat adanya limpasan air sungai dengan debit yang lebih besar masuk ke kolam pendingin. Hal yang sama terlihat dibagian tengah kolam pendingin, pada musim hujan isoterm bernilai 42oC tidak sampai ke Sekambing Bulu, yang berarti suhu pada musim ini relatif lebih kecil. Di luar kanal pendingin, pola sebaran suhu pada musim hujan menunjukkan pola yang relatif sama dengan pada musim kemarau, meskipun demikian nampak bahwa cakupan luasan dengan suhu lebih tinggi ditemukan lebih luas pada musim kemarau. Hal ini jelas terlihat pada isoterm di Teluk Nyerakat, depan dan belakang Pulau Sieca. 4.3.3.2.3 Kondisi Menuju Surut Pola sebaran suhu pada saat air menuju surut dapat dilihat pada Gambar 38.
Lintang Utara (derajat)
Pada kondisi ini massa buangan air pendingin lebih jauh terdorong dari outfall.
41
43
40 41
42
41
31
30
32 35
33
34 33 32
30
( oC )
31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 38 Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air menuju surut.
79
Suhu di Sekambing Baltim II (60-120 m dari muara sungai) suhu berada dalam kisaran 40-42oC dan selanjutnya kisaran suhu 41-42oC ditemukan di Sekambing Baltim III. Sementara suhu di Sekambing Bulu I pada kondisi pasut menuju surut berada dalam kisaran 41-42oC, sementara di Sekambing Bulu II suhu berkisar antara 42-43oC. Adapun suhu di kanal pendingin bervariasi antara 41-42oC, suhu 41oC ditemukan di muara kanal pendingin dan suhu 42oC ditemukan di hulu kanal pendingin. 4.3.3.2.4 Kondisi Surut Maksimum Pola sebaran suhu pada saat air surut maksimu dapat dilihat pada Gambar 39.
Lintang Utara (derajat)
Pada kondisi ini massa buangan air pendingin lebih jauh terdorong dari outfall.
41
43 42
40 41
30
41
31 35
32 33
34 33 32
30
( oC )
31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 39
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani yang dicuplik pada saat air surut maksimum.
Besarnya debit air sungai yang memasuki perairan pada musim hujan dibanding musim kemarau mengakibatkan luasan sebaran suhu pada musim hujan
80
lebih kecil. Hal ini disebabkan air pendingin dengan suhu tinggi yang keluar dari outfall bercampur dengan air dingin dari sungai, sehingga suhu air pendingin tersebut menjadi turun dan luasan perairan yang terpapar juga menjadi lebih kecil dibanding musim kemarau. 4.3.4
Profil Suhu pada Musim Hujan untuk Kondisi Pasut Purnama
4.3.4.1 Struktur Vertikal Suhu Untuk mengetahui pengaruh musim terhadap pola dispersi thermal di Perairan Bontang, maka dilakukan perbandingan antara hasil simulasi pada musim kemarau dengan musim hujan untuk kondisi pasut yang sama, dalam hal ini pasut purnama. Sama dengan pada musim kemarau, besarnya perbedaan suhu secara vertikal pada musim hujan juga bervariasi menurut jarak dari sumber buangan air pendingin. Gambar 40 di bawah menjelaskan bahwa untuk titik cuplik 1 dan 2 menunjukkan lapisan homogen dengan suhu sebesar 44oC (=musim kemarau). Adapun untuk titik cuplik 3 pada musim hujan menunjukkan lapisan homogen sementara pada musim kemarau tidak. Untuk titik cuplik 4 sampai 7 menunjukkan adanya variasi suhu yang kecil yakni 0.03-0.08oC (<musim kemarau) dan titik cuplik 8 dan 9 menunjukkan adanya lapisan homogen secara vertikal (=musim kemarau). Perbedaan suhu secara vertikal di muara kanal (titik cuplik 10) menunjukkan adanya variasi suhu yang cukup besar yakni sekitar 0.1 oC (<musim kemarau) dimana suhu permukaan adalah 41.33oC (<musim kemarau) dan pada lapisan bawah 41.23oC (>musim kemarau). Variasi suhu arah vertikal, suhu permukaan yang lebih kecil dan suhu pada lapisan bawah yang lebih besar pada musim hujan dibandingkan dengan pada musim kemarau di titik cuplik ini menunjukkan adanya pengaruh limpasan air sungai terhadap suhu Perairan Bontang meskipun sangat kecil. Pada titik cuplik 11, 12 dan 13, variasi suhu secara vertikal bervariasi antara 1.58-3.65oC (>musim kemarau), dengan suhu permukaan bervariasi antara 35.1138.87oC (>musim kemarau) dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.53-35.22oC (<musim kemarau). Variasi suhu arah vertikal pada musim hujan lebih besar dibanding pada musim kemarau pada titik cuplik ini menunjukkan limpasan air
81
sungai yang memasuki perairan Bontang bergerak ke dasar perairan, yang mengakibatkan suhu di lapisan bawah lebih rendah pada musim hujan. Outfall 1
P. Sieca
Muara Kanal
Dasar Perairan Dasar perairan
Dasar perairan
Dasar Perairan
( oC )
Keterangan : titik cuplik (TC) menunjukkan jarak suatu titik dari outfall 1 TC 1 = 30 m TC 2 = 420 m TC 3 = 750 m TC 4 = 930 m TC 5 = 1 050 m
Gambar 40
TC 6 = 1 170 m TC 7 = 1 350 m TC 8 = 1 620 m TC 9 = 1 800 m TC 10= 2 160 m
TC 11 = 2 310 m TC 12 = 2 520 m TC 13 = 2 580 m TC 14 = 2 700 m TC 15= 2 880 m
TC 16= 3 000 m TC 17= 3 180 m TC 18= 3 300 m TC 19= 3 450 m TC 20= 3 540 m
Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama.
Sementara untuk titik cuplik selanjutnya menunjukkan lapisan yang cenderung homogen dengan suhu permukaan bervariasi antara 34.6-31.97oC dan suhu lapisan bawah bervariasi antara 33.5-31.9oC. Kondisi ini menunjukkan bahwa dinamika pola dispersi thermal di Perairan Bontang sangat ditentukan oleh pasut. 4.3.4.2
Pola Sebaran Suhu Permukaan Berbeda dengan pola sebaran suhu permukaan pada saat pasut perbani, pada
saat pasut purnama ditemukan adanya perbedaan yang ekstrim untuk empat kondisi cuplik (menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum)
82
terurama perbedaan antara saat air pasang dengan saat air surut. Hal ini disebabkan oleh adanya perbedaan tunggang pasut yang cukup besar untuk ke-4 kondisi cuplik tersebut pada saat pasut purnama. Perbedaan ini menyebabkan proses turbulensi dan pergeseran massa air relatif sangat dinamis. 4.3.4.2.1 Kondisi Menuju Pasang Pola sebaran suhu permukaan pada saat purnama untuk kondisi menuju pasang menunjukkan adanya limpasan air dari laut lepas ke wilayah pantai, akibatnya massa air panas dari outfall terdorong kembali ke arah kolam pendingin, hal ini dapat dilihat dengan rendahnya suhu di muara kanal pendingin dari suhu normal yakni 38oC (Gambar 41). Sementara di bagian selatan daerah model nampak massa air panas lebih terdorong ke arah Teluk Nyerakat, sebaliknya di bagian utara massa air panas
Lintang Utara (derajat)
cenderung terdorong ke arah muara kanal pendingin.
40 41
43 42
41
38 30 35
31 32
34 33
( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 41
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju pasang.
83
4.3.4.2.2 Kondisi Pasang Maksimum Rendahnya suhu di muara kanal pendingin (35oC) pada kondisi pasang maksimum menunjukkan massa air panas dari outfall semakin terdorong kembali ke arah kolam pendingin oleh massa air dari laut lepas. Demikian pula massa air panas di bagian utara daerah model terdorong ke muara kanal pendingin terlihat dari pola isoterm dengan suhu tinggi bergerak ke arah utara (Gambar 42). Sementara massa air panas di dalam kolam pendingin semakin terdorong ke arah muara Sungai Sekambing yang menyebabkan suhu di daerah ini meningkat dari suhu sebelumnya. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan pola isoterm antara Gambar 40 dengan Gambar 41, dimana Gambar 41 menunjukkan pola isoterm dengan nilai 42oC cenderung lebih terdorong kearah outfall dan isoterm 41oC lebih terdorong ke muara Sungai Sekambing dibandingkan dengan Gambar 40.
Lintang Utara (derajat)
40 41
42 41
35 35 34
30 31 32
32
33
( oC )
32 31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 42
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air pasang maksimum.
84
4.3.4.2.3 Kondisi Menuju Surut Pola sebaran suhu permukaan pada saat menuju surut ditunjukkan dalam Gambar 43 berikut. Pada kondisi ini terlihat bahwa massa buangan air pendingin lebih terdorong ke muara kanal dan laut lepas. Hal ini diketahui dengan meningkatnya suhu di muara kanal pendingin (41oC) dan bergesernya isoterm ke arah laut lepas. Adapun pola sebaran suhu di bagian selatan model menunjukkan pergeseran ke arah utara model.
Lintang Utara (derajat)
41
40 43 41 42
31
41
30
32
35 33 32 31
30
31
( oC )
30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 43
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air menuju surut.
Pada saat air menuju surut pola sebaran suhu cenderung bergeser ke arah selatan. Hal ini dapat diketahui dengan membandingkan pola sebaran suhu pada Gambar 42 dengan gambar sebelumnya untuk kondisi musim hujan saat pasut purnama. Terlihat bahwa pada Gambar 42 pola isoterm suhu 30oC di selatan lebih bergeser ke utara, sedangkan isoterm 30oC di utara relatif bergeser ke selatan.
85
4.3.4.2.4 Kondisi Surut Maksimum Pada saat surut maksimum terlihat bahwa massa air panas semakin jauh terdorong ke arah laut lepas, hal ini tampak dari isoterm yang bergeser ke arah laut lepas. Sebaliknya pola sebaran suhu di bagian selatan semakin bergeser ke arah utara (Gambar 44). Suhu dalam kolam pendingin mengalami kenaikan, hal ini dapat dilihat dari perubahan isoterm dengan suhu 42oC lebih melebar sampai ke Sekambing Bulu, demikian pula isoterm dengan suhu 43oC lebih meluas ke arah kanal pendingin.
Lintang Utara (derajat)
41
43
41 42
41
31 35
30
32 30
34 33 32
( oC )
31 30
Bujur Timur (derajat)
Gambar 44
Pola sebaran suhu (oC) hasil simulasi sebagai dampak pembuangan air pendingin ke lingkungan pada musim hujan untuk kondisi pasut purnama yang dicuplik pada saat air surut maksimum.
4.4 Kualitas Buangan Air Pendingin Parameter utama untuk limbah air pendingin adalah suhu, salinitas, pH, klorin dan minyak/lemak. Berdasarkan hasil pemantauan yang dilakukan pada tahun 2008 dan 2009 untuk musim hujan dan musim kemarau diketahui bahwa parameterparameter tersebut semuanya masih memenuhi standar Baku Mutu Lingkungan
86
(BML) berdasarkan SK Gubernur Kalimantan Timur No. 6 Tahun 2002 Lampiran I. Meskipun demikian, salah satu parameter limbah air pendingin yaitu suhu menunjukkan perbedaan yang relatif besar dengan suhu alami air laut yakni sekitar 12-14oC. Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin untuk musim hujan dan musim kemarau tahun 2008 dapat dilihat pada Lampiran 6. Adapun kualitas air pendingin tahun 2009 disajikan dalam Tabel 9 di bawah. Dari hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin di atas, diketahui bahwa parameter yang paling melampaui kondisi ambien perairan adalah parameter suhu. Kondisi yang sama juga ditunjukkan dari hasil pemantauan kualitas abiotik perairan oleh Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang tahun 2007 (Tabel 1), dimana parameter suhu di outlet PT. Badak NGL menunjukkan nilai yang jauh lebih besar dari suhu alami perairan. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa kondisi sumberdaya pesisir di sekitar PT. Badak NGL sangat ditentukan oleh adanya kenaikan suhu akibat buangan air pendingin dari perusahaan tersebut. Untuk itu penelitian ini dibatasi pada analisis dampak kenaikan suhu perairan akibat adanya buangan air pendingin terhadap fitoplankton dan terumbu karang. 4.5 Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL Untuk menguatkan hipotesis bahwa suhu memiliki peranan yang paling dominan terhadap keberadaan biota laut di perairan sekitar PT. Badak NGL, maka dilakukan pengukuran berbagai parameter kualitas air dengan memilih stasiun pengukuran di dalam lokasi penelitian dan di sekitar lokasi penelitian yang tidak terkena dampak oleh limbah tersebut. Dalam hal ini pengukuran kualitas air dilakukan di Muara Kanal Pendingin (MKP) untuk mewakili wilayah yang kena dampak secara langsung, Cooling Water Intake (CWI) untuk mewakili wilayah yang relatif kena dampak dan Berbas Barat Pantai (BBP) untuk mewakili wilayah yang tidak kena dampak. Hasil pengukuran berbagai parameter kualitas air sepanjang tahun pada musim hujan di lokasi penelitian menunjukkan bahwa secara umum wilayah ini masih berada dalam Baku Mutu Lingkungan yang telah ditetapkan berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I, baik pasang maupun surut.
87
Tabel 9
Hasil pemantauan kualitas buangan air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret dan September 2009
No
Parameter
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
Kode Sampel A/B C/D E/F G/H Bulan Maret 2009 Kondisi Air Laut Pasang o C 42.5 43.6 43.0 40.0 ‰ 31.6 31.9 31.8 31.4 8.18 8.29 8.25 8.15 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l 2 2 2 1 Kondisi Air Laut Surut o C 41.5 42.8 43.3 42.9 ‰ 31.1 31.2 31.4 31.2 8.20 8.05 8.15 8.15 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l 2 1 3 1 Bulan Agustus 2009 Kondisi Air Laut Pasang o C 42.5 42.9 44.4 43.2 ‰ 31.0 31.0 31.0 31.0 mg/l 7.97 8.01 8.00 8.00 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l 2 2 2 1 Kondisi Air Laut Surut o C 41.6 42.8 43.2 42.2 ‰ 31.5 31.2 31.2 32.5 8.12 8.10 8.20 8.00 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l 1 2 2 2
Satuan
MKP
BML
39.0 31.6 8.17 0.01 2
45 alami 6-9 2 25
38.4 30.2 8.30 ttd 2
45 alami 6-9 2 25
39.0 31.0 8.07 0.01 2
45 alami 6-9 2 25
38.58 32 8.11 ttd 1
45 alami 6-9 2 25
Sumber : PT. Badak NGL 2009 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi BML=Baku Mutu Lingkungan (SK Gubernur Kalimantan Timur No. 26 Tahun 2002 Lampiran I) A/B = Outfall train A & B; C/D = Outfall train C & D; E/F = Outfall train E & F; G/H = Outfall train G & H; MKP = Muara Kanal Pendingin (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)
Perbandingan antara parameter kualitas air dalam daerah model dengan parameter kualitas air di sekitar daerah model menunjukkan nilai yang relatif sama kecuali parameter suhu yang berbeda secara ekstrim. Kondisi ini dapat dilihat dalam Tabel 10 untuk Maret 2009 dan dalam Lampiran 7 untuk kondisi air laut Maret 2008.
88
Tabel 10 Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di sekitar PT. Badak NGL Bulan Maret 2009 Sampel No
Parameter
Satuan
Air Laut Pasang
Air Laut Surut
BML
MKP
BBP
CWI
MKP
BBP
CWI
34.0
31.6
31.0
39.8
31.5
30.2
alami
Fisika o
1
Suhu
2
Bau
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
3
Sampah
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
4
Lapisan minyak
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
/ oo
31.7
30.5
32.5
30.7
27.9
31.8
alami
m
5.00
2.75
4.00
3.30
2.00
3.40
8.26
8.29
8.30
8.19
7.95
8.27
6–9
5
Salinitas
6
Kecerahan
C
o
Kimia
7
pH
8
H2S
mg/l
0.02
0.02
0.03
0.02
0.03
0.03
0.03
9
NH 3 N
mg/l
0.01
0.02
0.02
0.06
0.06
0.05
1
10
DO
mg/l
7.24
6.67
6.95
6.94
6.16
6.94
>4
11
BOD 5
mg/l
8.60
8.45
7.25
7.18
7.80
7.14
45
12
COD
mg/l
54.22
52.10
48.45
50.76
58.45
60.12
80
13
PO 4 -P
mg/l
0.02
0.04
0.03
0.01
0.04
0.02
-
14
Lemak
mg/l
1
1
1
2
2
ttd
5
15
Total Phenol
mg/l
0.38
0.39
0.42
0.35
0.36
0.40
-
16 17 18 19 20
Hidrokarbon
mg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
PCB
mg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
Tri Butil Tin
µg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
-
Raksa (Hg)
mg/l
0.9
Seng (Zn)
mg/l
0.027
0.8 0.027
1.1 0.032
1.0 0.019
1.0 0.028
ttd 0.022
3 0.1
Sumber : PT. Badak NGL 2009 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi = sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)
Kondisi yang sama ditunjukkan pada musim kemarau, dimana parameter kualitas air relatif masih berada dalam kriteria Baku Mutu Lingkungan kecuali suhu.
89
Kondisi ini dapat dilihat dalam Tabel 11 untuk bulan Agustus 2009 dan pada Lampiran 8 untuk kondisi September 2008. Tabel 11 Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (Agustus 2009) Sampel No
Parameter
Satuan
Air Laut Pasang
Air Laut Surut
BML
MKP
BBP
CWI
MKP
BBP
CWI
37.5
30.9
30.1
38.5
30.3
29.7
alami
Fisika o
1
Suhu
2
Bau
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
3
Sampah
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
4
Lapisan minyak
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
/ oo
32.5
31.0
32.0
31.2
31.2
30
alami
m
3.15
2.0
5.5
3.75
1.5
5.2
-
8.12
7.93
8.22
7.72
7.67
5.58
6-9
5
Salinitas
6
Kecerahan
o
C
Kimia 7
pH
8
H2S
mg/l
0.2
0.12
0.16
0.02
0.24
0.08
0.03
9
NH 3 N
mg/l
0.06
0.07
0.08
0.06
0.09
0.08
1
10
DO
mg/l
7.15
7.16
8.24
6.61
6.18
7.85
>4
11
BOD 5
mg/l
8.60
9.45
7.34
8.23
7.90
6.80
45
12
COD
mg/l
54.64
58.45
49.90
54.31
54.35
56.64
80
13
PO 4 -P
mg/l
0.02
0.04
0.01
0.04
0.04
0.03
-
14
Lemak
mg/l
2.50
1.50
2.50
4.50
4.00
4.50
5
15
Total Phenol
mg/l
0.03
0.03
0.02
0.02
0.03
0.02
-
16
Deterjen
mg/l
ttd
0.01
ttd
ttd
ttd
ttd
1
17
Hidrokarbon
mg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
-
18 19 20 21
PCB
mg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
-
Tri Butil Tin
mg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
-
Raksa (Hg)
µg/l
2.5
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
3
Seng (Zn)
mg/l
0.032
0.031
0.031
0.029
0.032
0.028
0.1
Sumber : PT. Badak NGL 2009 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi = sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)
90
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa parameter kualitas air yang paling dominan mempengaruhi kualitas lingkungan perairan akibat adanya buangan air pendingin dari PT. Badak NGL ke laut adalah parameter suhu. 4.6
Struktur Vertikal Suhu dan Kondisi Fitoplankton di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton Untuk mengetahui dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dengan
menggunakan model dispersi thermal, maka waktu dan titik cuplik simulasi untuk struktur vertikal suhu dan pola arus disesuaikan dengan waktu dan titik pengambilan sampel fitoplankton. Dalam hal ini periode cuplik hasil simulasi dilakukan untuk 2 musim yakni bulan Agustus 2009 (musim kemarau) dan Maret 2010 (musim hujan) dengan memperhatikan kondisi pasut purnama atau perbani. Pola arus hasil simulasi dalam penelitian ini dicuplik untuk setiap kondisi pengambilan sampel fitoplankton. Namun demikian, dalam disertasi ini gambar pola arus dari hasil cuplik tersebut tidak ditampilkan kecuali pada Stasiun A. 4.6.1
Stasiun A
4.6.1.1
Musim Kemarau
4.6.1.1.1 Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun A pada bulan Agustus 2009 (musim kemarau) menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani, dimana suhu pada lapisan permukaan lebih besar daripada lapisan di bawahnya. Untuk menyesuaikan dengan waktu pengambilan sampel fitoplankton, maka hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) = 347 040 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 10.00 (purnama) saat air pasang dan iint = 483 840 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 08.00 (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Ada perbedaan antara suhu hasil simulasi dengan suhu hasil pengukuran, dimana suhu permukaan hasil simulasi pada saat purnama adalah 42.29oC lebih besar dari suhu hasil pengukuran yakni 42.00oC. Demikian pula pada saat perbani terdapat perbedaan dimana suhu permukaan hasil simulasi adalah 42.08oC sedangkan hasil
91
pengukuran sebesar 42.01oC. Struktur vertikal suhu pada musim kemarau dapat dilihat pada Gambar 45 di bawah. (b)
(a)
28 Agustus 2009 jam 08.00 iint.eq. 483 840
20 Agustus 2009 jam 10.00 iint.eq. 347 040
Gambar 45 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A pada musim kemarau (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani. Sementara suhu rata-rata di Stasiun A hasil simulasi pada musim kemarau diberikan dalam Tabel 12 berikut. Suhu rata-rata ini diperoleh dari hasil cuplik empat kondisi pasut yakni pada saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum. Tabel 12 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun A pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun A 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 42.29 41.69 41.55 42.44 41.89
42.18
42.03
42.12
Suhu rata-rata (oC) 41.99 42.06
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
Hasil simulasi pola arus pada saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau saat pasut purnama menunjukkan arus bergerak dari laut ke Muara Kanal dan masuk ke Kolam Pendingin yang berarti kondisi perairan sedang pasang,
92
sementara saat pasut perbani pola arus menunjukkan arah sebaliknya. Adapun pola arus hasil simulasi untuk kedua kondisi tersebut dapat dilihat pada Gambar 46. (b)
Latitude (degree)
Latitude (degree)
(a)
= 0,00 – 0.05 m/s
= 0,00 – 0.05 m/s
> 0,05 – 0,10 m/s
> 0,05 – 0,10 m/s
> 0,10 – vmax m/s
> 0,10 – vmax m/s
Longitude (degree)
Longitude (degree)
Gambar 46 Pola arus permukaan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani. 4.6.1.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 42.08oC ditemukan sebanyak 4 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 228 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak dari arah Muara Kanal Pendingin ke Outfall 1 dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Sementara untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 42.29oC jumlah jenis yang ditemukan ada 2 dengan kelimpahan sebanyak 76 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus di Stasiun A pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung berbalik arah dari Outfall 1 ke Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.02-0.04 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis
93
demikian sangat kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama (lihat Lampiran 9). Di Stasiun A jumlah jenis yang ditemukan relatif sedikit mengingat terjadi kenaikan suhu yang sangat tinggi di stasiun ini yakni mencapai 14oC dari suhu ambien (ΔT=14oC). Sementara jumlah jenis dan kelimpahan pada waktu sampling purnama lebih besar dari waktu sampling perbani disebabkan karena pada waktu sampling purnama terjadi pasang sehingga kemungkinan ada perpindahan fitoplankton yang dibawah oleh arus dari arah Muara Kanal Pendingin ke stasiun ini. 4.6.1.2
Musim Hujan
4.6.1.2.1 Struktur Vertikal Suhu Pada musim hujan hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni 347 040 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 10.00 saat air pasang (purnama), sedangkan pada kondisi perbani dilakukan saat air surut dicuplik pada langkah waktu internal (iint) = 483 840 atau tanggal 28 Maret 2010 jam 08.00. Berbeda dengan musim kemarau, pada musim hujan suhu permukaan lebih kecil daripada suhu pada lapisan bawah, yakni 0.01oC saat purnama dan 0.04oC saat perbani. Kondisi ini dapat dilihat pada Gambar 47. (b)
(a)
20 Maret 2010 jam 10.00 iint.eq. 347 040
28 Maret 2010 jam 08.00 iint.eq. 483 840
Gambar 47 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.
94
Sementara suhu rata-rata di Stasiun A hasil simulasi pada musim hujan diberikan dalam Tabel 13 berikut. Tabel 13 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun A pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun A 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 41.84 41.53 42.14 42.54 42.17
41.98
41.95
42.28
Suhu rata-rata (oC) 42.01 42.10
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
Adapun pola arus hasil simulasi pada musim kemarau dapat dilihat pada Gambar 48 berikut.
Latitude (degree)
Latitude (degree)
(a) (b)
= 0,00 – 0.05 m/s > 0,05 – 0,10 m/s > 0,10 – vmax m/s
Longitude (degree)
= 0,00 – 0.05 m/s > 0,05 – 0,10 m/s > 0,10 – vmax m/s
Longitude (degree)
Gambar 48 Pola arus permukaan pada musim hujan saat pengambilan sampel fitoplankton di Stasiun A (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. 4.6.1.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton di Stasiun A pada bulan Maret 2010 (musim hujan) untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 41.84oC ditemukan sebanyak 4 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 176 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae
95
dan Cyanophyceae (Lampiran 10). Pada saat pengambilan sampel, pola arus di stasiun ini cenderung bergerak dari arah Outfall 1 ke Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Adapun kondisi cuplik perbani dengan suhu 42.32oC jumlah jenis yang ditemukan ada 3 dengan kelimpahan 114 ind/liter yang juga terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus di Stasiun A pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung berbalik arah dari Outfall 1 ke Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.02-0.04 m/det. Sama dengan musim kemarau, pada musim hujan di stasiun ini juga mengalami kenaikan suhu yang sangat tinggi yakni ΔT=±14oC. Faktor inilah yang kemungkinan menyebabkan fitoplankton yang ditemukan di stasiun ini relatif kecil jika dibanding dengan Stasiun Kontrol. 4.6.2
Stasiun B
4.6.2.1
Musim Kemarau
4.6.2.1.1 Struktur Vertikal Suhu Untuk Stasiun B hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) = 347 400 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 10.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 484 200 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 08.30 (perbani) saat air surut masingmasing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun B pada waktu cuplik menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani, dimana suhu pada lapisan permukaan lebih besar daripada lapisan di bawahnya, yakni 0.29oC saat purnama dan 0.24oC saat perbani (Gambar 49). Sementara suhu rata-rata di Stasiun B hasil simulasi pada musim kemarau diberikan dalam Tabel 14 berikut. Tabel 14 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun B pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun B 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 41.12 41.08 41.10 41.00 41.19
41.17
41.14
41.12
Suhu rata-rata (oC) 41.08 41.15
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
96
(b)
(a)
20 Agustus 2009 jam 10.30 iint.eq. 347 400
28 Agustus 2009 jam 08.30 iint.eq. 484 200
Gambar 49 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani 4.6.2.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 41.10oC teridentifikasi sebanyak 3 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 472 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae (Lampiran 11). Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini cenderung bergerak ke arah sungai dengan kecepatan berkisar antara 0.0-0.01 m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 41.19oC jumlah jenis yang ditemukan ada 4 dengan kelimpahan 770 ind/liter dan hanya terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus di Stasiun ini pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung bergerak kearah Kolam Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian sangat kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama. 4.6.2.2
Musim Hujan
4.6.2.2.1 Struktur Vertikal Suhu Di Stasiun B pada musim hujan, hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni
97
347 400 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 10.30 (purnama) saat air pasang dan iint=484 200 atau tanggal 28 Maret 2010 jam 08.30 (perbani) saat air surut. Hasil simulasi pada waktu cuplik menunjukkan adanya perbedaan suhu antara lapisan permukaan dengan lapisan bawah baik saat air pasang maupun saat air surut. Pada saat air pasang suhu permukaan mencapai 41.06oC dan pada lapisan bawah 40.96oC, sementara pada saat air surut suhu menjadi lebih rendah yakni 41.17oC dan lapisan bawah sebesar 41.04oC. Struktur verikal suhu pada saat air pasang dan saat air surut dapat dilihat pada Gambar 50. (a)
(b)
20 Maret 2010 jam 10.30 iint.eq. 347 400
28 Maret 2010 jam 08.30 iint.eq. 484 200
Gambar 50 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun B (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Gambar di atas menunjukkan suhu lapisan permukaan pada saat air pasang lebih tinggi daripada saat air surut. Hal ini disebabkan oleh adanya dorongan massa air dari kolam pendingin dengan suhu yang lebih tinggi ke arah muara sungai. Dengan kata lain pada saat air pasang suhu air di Stasiun B lebih dominan dipengaruhi oleh massa air yang keluar dari Outfall 1, sementara pada saat air surut suhu kemungkinan sedikit dipengaruhi oleh adanya limpasan air dari laut yang masuk melalui kanal pendingin dengan suhu yang relatif lebih dingin.
98
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 15 berikut. Tabel 15 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun B pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun B 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 41.06 41.08 41.05 41.04 41.15
41.17
41.14
41.12
Suhu rata-rata (oC) 41.06 41.15
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
4.6.2.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton di Stasiun B untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 41.06oC ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 728 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 12). Pada saat pengambilan sampel, pola arus di stasiun ini cenderung bergerak ke arah sungai dengan kecepatan berkisar antara 0.00-0.01 m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 41.17oC jumlah jenis yang ditemukan ada 4 dengan kelimpahan 280 ind/liter yang juga terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus di Stasiun B pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah kolam pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian sangat kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama. Di stasiun B pada waktu sampling fitoplankton menunjukkan kenaikan suhu yang cukup tinggi yakni ΔT=±13oC. 4.6.3
Stasiun C
4.6.3.1
Musim Kemarau
4.6.3.1.1 Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun C pada musim kemarau dan musim hujan menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani (Gambar 50). Untuk Stasiun C pada musim kemarau hasil simulasi dicuplik
99
pada langkah waktu internal (iint) 347 760 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 11.00 (purnama) saat air pasang dan iint = 484 560 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 09.00 (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Hasil simulasi pada waktu cuplik pasut purnama menunjukkan adanya lapisan yang relatif homogen (mixed layer), dimana teradapat perbedaan suhu yang sangat kecil anatara lapisan atas dengan lapisan bawah (Gambar 51a). Sementara waktu cuplik pasut perbani menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi (Gambar 51b). (b)
(a)
28 Agustus 2009 jam 09.00 iint.eq. 484 560
20 Agustus 2009 jam 11.00 iint.eq. 347 760
Gambar 51 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 16 berikut. Tabel 16 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun C pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun C 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 35.22 34.03 39.22 40.83 38.55
40.15
39.51
39.44
Suhu rata-rata (oC) 37.33 39.41
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
100
4.6.3.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 36.95oC teridentifikasi sebanyak 7 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 988 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 13). Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.05-0.10 m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 37.91oC jumlah jenis yang ditemukan ada 5 dengan kelimpahan 608 ind/liter terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus di stasiun ini pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung bergerak ke arah Pulau Sieca dengan kecepatan berkisar antara 0.010.03 m/det. Kenaikan suhu di Stasiun C bervariasi cukup ekstrim yakni ΔT=±7oC pada waktu sampling purnama dan ΔT=±11oC pada waktu sampling perbani. 4.6.3.2
Musim Hujan
4.6.3.2.1 Struktur Vertikal Suhu Pada musim hujan, hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni 347 760 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 11.00 (purnama) saat air pasang dan iint = 484 560 atau tanggal 28 Maret 2010 jam 09.00 (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan terbentuknya lapisan homogen (mixed layer) untuk kondisi cuplik pasut purnama, dimana perbedaan suhu antara lapisan permukaan dan lapisan bawah relatif kecil. Fenomena suhu dilapisan permukaan tinggi, kemudian lebih rendah pada layer 2 dan 3 dan selanjutnya naik lagi mendekati suhu permukaan pada layer 4 (Gambar 52a) disebabkan oleh adanya pertemuan massa air yang berasal dari arah Outfall dengan massa air dari laut dengan kecepatan arus yang berbeda. Sementara pada kondisi cuplik pasut perbani, struktur vertikal suhu menunjukkan perbedaan suhu yang besar antara lapisan permukaan dan lapisan di bawahnya (Gambar 52b).
101
(a)
(b)
20 Maret 2010 jam 11.00 iint.eq. 347 760
28 Maret 2010 jam 09.00 iint.eq. 484 560
Gambar 52 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun C (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Adapun suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 17 berikut. Tabel 17 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun C pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) Suhu rata-rata Stasiun C (oC) MP PM MS SM 1 34.9 34.02 40.78 40.9 37.65 2
39.4
38.63
38.72
40.36
39.28
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
4.6.3.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 34.09oC ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 760 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.04 m/det (Lampiran 14).
102
Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 40.14oC jumlah jenis yang ditemukan ada 3 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 475 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian juga masih tergolong kecil bila dibandingkan dengan Stasiun Kontrol (Stasiun G) untuk kondisi cuplik yang sama. Pola arus di stasiun ini pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus cenderung bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.03 m/det. Kenaikan suhu di stasiun C pada musim hujan bervariasi cukup ekstrim yakni ΔT=±6 oC pada waktu sampling purnama dan ΔT=±12 oC pada waktu sampling perbani. 4.6.4
Stasiun D
4.6.4.1
Musim Kemarau
4.6.4.1.1 Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun D pada musim kemarau menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi baik pada saat purnama maupun saat perbani (Gambar 53). Untuk Stasiun D pada musim kemarau hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) 348 120 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 11.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 484 920 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 09.30 (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 18 berikut. Tabel 18 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun D pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun 4 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 35.62 34.9 34.13 33.99 35.18
34.75
34.76
35.46
Suhu rata-rata (oC) 34.66 35.04
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
103
(b)
(a)
20 Agustus 2009 jam 11.30 iint.eq. 348 120
28 Agustus 2009 jam 09.30 iint.eq. 484 920
Gambar 53 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D (a) kondisi pasang purnama; (b) kondisi surut perbani. 4.6.4.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 35.38oC teridentifikasi sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1805 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Sungai dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun D dapat dilihat dalam Lampiran 15. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 34.72oC jumlah jenis yang ditemukan ada 12 dengan kelimpahan 4085 ind/liter dan juga hanya terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak menjauhi garis pantai dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kedekatan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol.
104
4.6.4.2
Musim Hujan
4.6.4.2.1 Struktur Vertikal Suhu Untuk menunjukkan struktur vertikal suhu di Stasiun D pada saat pengambilan sampel fitoplankton, maka hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan langkah waktu internal untuk musim kemarau yakni 348 120 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 11.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 484 920 atau tanggal 28 Maret 2009 jam 09.30 (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan suhu yang relatif kecil antara lapisan permukaan dan lapisan bawah baik saat purnama maupun saat perbani (Gambar 54). Suhu pada lapisan permukaan pada waktu cuplik purnama lebih kecil dari waktu cuplik perbani disebabkan karena pada waktu cuplik purnama kondisi air sedang menuju surut, sehingga ada pengaruh limpasan air sungai terhadap suhu di Stasiun D ini. Sebaliknya, pada waktu cuplik perbani kondisi air bergerak dari surut menuju pasang, sehingga terjadi dorongan massa air yang keluar dari Muara Kanal Pendingin ke Stasiun D, akibatnya suhu menjadi lebih tinggi di Stasiun tersebut. (b)
(a)
20 Maret 2010 jam 11.30 iint.eq. 348 120
28 Maret 2010 jam 09.30 iint.eq. 484 920
Gambar 54 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.
105
Adapun suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 19 berikut. Tabel 19 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun D pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun D 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 35.3 34.32 33.75 34.29 35.44
35.25
35.15
35.25
Suhu rata-rata (oC) 34.42 35.27
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
4.6.4.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 34.80oC ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1425 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak menjauhi muara sungai dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 35.35oC jumlah jenis yang ditemukan ada 7 dengan kelimpahan 1425 ind/liter 2280 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke muara sungai dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.03 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun D dapat dilihat dalam Lampiran 16. 4.6.5
Stasiun E
4.6.5.1
Musim Kemarau
4.6.5.1.1 Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) 348 480 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 12.00 (purnama) saat air pasang dan iint = 485 280 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 10.00 (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Di Stasiun E ditemukan adanya lapisan terstaritifikasi baik pada saat purnama maupun saat
106
perbani, dimana suhu permukaan menunjukkan perbedaan yang relatif besar yakni ±1oC untuk kedua kondisi tersebut (Gambar 55). (a)
(b)
28 Agustus 2009 jam 10.00 iint.eq. 485 280
20 Agustus 2009 jam 12.00 iint.eq. 348 480
Gambar 55 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Adapun suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 20 berikut. Tabel 20 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun E pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun E 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 34.28 32.66 32.97 33.94 34.15
34.29
34
34.74
Suhu rata-rata (oC) 33.46 34.30
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
4.6.5.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 33.01oC ditemukan sebanyak 4 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 190 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar
107
antara 0.03-0.05 m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E dapat dilihat dalam Lampiran 17. Sementara untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 34.24oC jumlah jenis yang ditemukan ada 3 dengan kelimpahan 304 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak meninggalkan Muara Kanal Pendingin menuju Pulau Sieca dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. 4.6.5.2
Musim Hujan
4.6.5.2.1 Struktur Vertikal Suhu dan Pola Arus Permukaan Penentuan struktur vertikal suhu di Stasiun E pada saat pengambilan sampel fitoplankton dilakukan dengan mencuplik hasil simulasi pada langkah waktu internal (iint) sama dengan 348 480 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 12.00 (purnama) saat kondisi air
pasang dan iint = 485 280 atau tanggal 28 Maret 2009 jam 10.00
(perbani) saat kondisi air surut. Hasil simulasi menunjukkan adanya lapisan terstratifikasi di Stasiun E untuk waktu cuplik saat pasut purnama dimana suhu permukaan tercatat lebih tinggi yakni 32.50oC sementara suhu pada lapisan bawah 31.66oC (Gambar 56a). Demikian pula untuk waktu cuplik pasut perbani menunjukkan fenomena yang sama dengan perbedaan suhu antara lapisan permukaan dengan lapisan bawah tercatat sebesar 0.71oC (Gambar 56b). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 21 berikut. Tabel 21 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun E pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun E 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 33.1 32.65 33.19 34.53 34.71
34.25
34.15
34.94
Suhu rata-rata (oC) 33.37 34.51
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
108
(b)
(a)
20 Maret 2010 jam 12.00 iint.eq. 348 480
28 Maret 2010 jam 10.00 iint.eq. 485 280
Gambar 56 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun E (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. 4.6.5.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 32.5oC ditemukan sebanyak 5 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1456 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.03-0.05 m/det. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o
34.85 C sebanyak 4 jenis dengan kelimpahan 916 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 18). Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian relatif lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. Hasil simulasi yang diperoleh menunjukkan bahwa pada saat pengambilan sampel pola arus bergerak dari arah selatan (Muara Kanal Pendingin) ke arah utara (Teluk Nyerakat) dengan kecepatan berkisar antara 0.02-0.05 m/det.
109
4.6.6
Stasiun F
4.6.6.1
Musim Kemarau
4.6.6.1.1 Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) 348 840 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 12.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 485 640 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 10.30 (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun F untuk waktu cuplik purnama dan waktu cuplik perbani cenderung membentuk lapisan homogen (mixed layer), dimana selisih suhu permukaan dengan lapisan di bawahnya sangat kecil. Struktur vertikal suhu di Stasiun F pada saat pengambilan sampel fitoplankton dapat dilihat pada Gambar 57. (a)
(b)
20 Agustus 2009 jam 12.30 iint.eq. 348 840
28 Agustus 2009 jam 10.30 iint.eq. 485 640
Gambar 57 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) menunjukkan bahwa pada stasiun ini masih terpengaruh oleh adanya buangan air pendingin. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F diberikan dalam Tabel 22.
110
Tabel 22 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun F pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun F 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 32.61 32.33 32.85 32.94 33.29
33.32
33.34
33.24
Suhu rata-rata (oC) 32.68 33.30
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
4.6.6.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 31.28oC ditemukan sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1558 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Jumlah jenis fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah Thallasiotrix sp. kemudian Nitzchia sp. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin dengan kecepatan berkisar antara 0.05-0.10 m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun F dapat dilihat dalam Lampiran 19. Jumlah jenis yang ditemukan pada kondisi cuplik perbani pada saat pasang dengan suhu 33.32oC ada sebanyak 5 jenis dengan kelimpahan 1558 ind/liter dan 722 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Jumlah jenis fitoplankton yang paling banyak ditemukan adalah pada kondisi ini Nitzchia sp. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah Pulau Sieca dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian lebih rendah dari jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. 4.6.6.2
Musim Hujan
4.6.6.2.1 Struktur Vertikal Suhu Penentuan struktur vertikal suhu di Stasiun F pada saat pengambilan sampel fitoplankton dilakukan dengan mencuplik hasil simulasi pada langkah waktu internal (iint) sama dengan 348 840 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 12.30 (purnama) saat air pasang dan iint=485 640 atau tanggal 28 Maret 2009 jam 10.30 (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di Stasiun F pada
111
saat purnama cenderung homogen, dimana selisih suhu permukaan dengan lapisan di bawahnya sangat kecil yakni 0.06oC. Sementara hasil simulasi pada saat perbani menunjukkan adanya lapisan homogen pada stasiun F dengan suhu sebesar 33.18oC. Struktur vertikal suhu di Stasiun F pada saat pengambilan sampel fitoplankton dalam musim hujan dapat dilihat pada Gambar 58. (a)
(b)
20 Maret 2010 jam 12.30 iint.eq. 348 840
28 Maret 2010 jam 10.30 iint.eq. 485 640
Gambar 58 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) menunjukkan bahwa pada Stasiun F masih dipengaruhi oleh buangan air pendingin (melebihi suhu alami perairan). Suhu ratarata hasil simulasi di Stasiun F diberikan dalam Tabel 23 berikut. Tabel 23 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun F 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 31.23 32.63 31.97 32.89 33.18
33.23
33.25
33.18
Suhu rata-rata (oC) 32.38 33.21
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
112
4.6.6.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 32.51oC ditemukan sebanyak 7 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 570 ind/liter dan terdiri dari Bacillariophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah Pulau Sieca yang menunjukkan air sedang menuju surut dengan kecepatan berkisar antara 0.05-0.10 m/det. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun F dapat dilihat dalam Lampiran 20. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 33.18oC ada sebanyak 9 jenis dengan kelimpahan 1824 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah Muara Kanal Pendingin yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kesamaan dengan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. 4.6.7
Stasiun G (Stasiun Kontrol) Stasiun G dijadikan sebagai Stasiun Kontrol mengingat stasiun ini relatif
paling tidak terpengaruh oleh aktifitas manusia (antrophogenic) baik di darat maupun di laut. Hal ini terjadi karena Stasiun G masih berada dalam kawasan yang senantiasa dipantau oleh patroli laut PT. Badak NGL.Selain itu stasiun ini juga tidak berada di sekitar muara sungai sehingga tidak terpengaruh oleh kandungan yang mungkin terbawa oleh aliran air sungai. 4.6.7.1
Musim Kemarau
4.6.7.1.1 Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) 350 280 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 14.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 487 080 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 12.30 (perbani) saat air surut masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di Stasiun G hasil simulasi
113
menunjukkan terbentuknya lapisan homogen (mixed layer) baik untuk waktu cuplik pasut purnama maupun waktu cuplik pasut perbani. Hasil simulasi juga menunjukkan bahwa suhu pada waktu cuplik purnama sedikit lebih kecil dibanding suhu waktu cuplik perbani yakni masing-masing 28.29oC dan 28.31oC. Struktur vertikal suhu di Stasiun G hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 59. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) menunjukkan bahwa pada Stasiun F tidak dipengaruhi oleh buangan air pendingin (sama dengan suhu alami perairan). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun F diberikan dalam Tabel 24. (a)
(b)
20 Agustus 2009 jam 14.30 iint.eq. 350 280
28 Agustus 2009 jam 12.30 iint.eq. 487 080
Gambar 59 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G (a) kondisi pasut purnama; (b) kondisi pasut perbani. Tabel 24 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun G pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun G 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 28.29 28.29 28.29 28.29 28.31
28.31
28.31
28.3
Suhu rata-rata (oC) 28.29 28.31
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
114
4.6.7.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 28.29oC ditemukan sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 2130 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah utara stasiun yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara 0.00-0.10 m/det. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o
28.31 C ada 6 jenis dengan kelimpahan 1615 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah utara yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara 0.00-0.01 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kesamaan dengan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun Kontrol. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim kemarau di Stasiun G dapat dilihat dalam Lampiran 21. 4.6.7.2
Musim Hujan
4.6.7.2.1 Struktur Vertikal Suhu Struktur vertikal suhu di Stasiun G pada saat pengambilan sampel fitoplankton ditunjukkan dengan mencuplik hasil simulasi pada langkah waktu internal (iint) sama dengan 350 280 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 14.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 487 080 atau tanggal 28 Maret 2009 jam 12.30 (perbani) saat air surut. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 25 berikut. Tabel 25 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun G pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun G 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 28.29 28.29 28.29 28.29 28.29
28.29
28.3
28.28
Suhu rata-rata (oC) 28.29 28.29
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
115
Struktur vertikal suhu pada musim hujan di Stasiun G hasil simulasi untuk waktu cuplik purnama dan perbani menunjukkan adanya lapisan homogen dengan nilai suhu yang sama yakni 28.29oC (Gambar 60). (a)
(b)
20 Maret 2010 jam 14.30 iint.eq. 350 280
28 Maret 2010 jam 12.30 iint.eq. 487 080
Gambar 60 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. 4.6.7.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 28.29oC ditemukan sebanyak 9 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1064 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah timur stasiun yang menunjukkan air sedang dalam kondisi pasang dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Adapun untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 28.29oC jumlah jenis yang ditemukan ada 11 dengan kelimpahan 2565 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak ke arah pantai yang menunjukkan air sedang dalam kondisi menuju pasang dengan kecepatan berkisar antara 0.01-0.02 m/det. Fitoplankton dengan jumlah jenis demikian memiliki kesamaan dengan jumlah jenis yang ditemukan di Stasiun
116
Kontrol. Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton pada musim hujan di Stasiun G dapat dilihat dalam Lampiran 22. 4.6.8
Stasiun H
4.6.8.1
Musim Kemarau
4.6.8.1.1 Struktur Vertikal Suhu Hasil simulasi dicuplik pada langkah waktu internal (iint) 349 560 atau tanggal 20 Agustus 2009 jam 13.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 486 360 atau tanggal 28 Agustus 2009 jam 11.30 (perbani) masing-masing untuk mewakili musim kemarau pada kondisi pasut purnama dan pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun H hasil simulasi relatif homogen (mixed layer) baik untuk waktu cuplik pasut purnama maupun waktu cuplik pasut perbani, dimana perbedaan antara suhu lapisan atas dengan suhu lapisan bawah relative kecil yakni sekitar 0.07oC untuk pasut purnama dan 0.35oC untuk pasut perbani. Struktur vertikal suhu di Stasiun H hasil simulasi dapat dilihat pada Gambar 61. (a)
(b)
20 Agustus 2009 jam 13.30 iint.eq. 349 560
28 Agustus 2009 jam 11.30 iint.eq. 486 360
Gambar 61 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim purnama di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani.
117
Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun H pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (a) dan perbani (b) menunjukkan bahwa pada Stasiun H tidak dipengaruhi oleh buangan air pendingin (sama dengan suhu alami perairan). Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun H pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (a) dan perbani (b) diberikan dalam Tabel 26 berikut. Tabel 26 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun H pada musim kemarau untuk kondisi cuplik purnama (a) dan perbani (b) Stasiun H 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 29.48 28.55 28.98 30.16 28.9
29.47
29.14
29.15
Suhu rata-rata (oC) 29.29 29.17
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
4.6.8.1.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 28.51oC ditemukan sebanyak 9 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1425 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 23). Pada saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah timur stasiun (Selat Malaka) dengan kecepatan berkisar antara 0.03-0.05 m/det. Sementara itu untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu 28.56oC jumlah jenis yang ditemukan ada 9 dengan kelimpahan 6939 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak dari arah Pulau Sieca ke arah utara stasiun dengan kecepatan 0.02-0.03 m/det. 4.6.8.2
Musim Hujan
4.6.8.2.1 Struktur Vertikal Suhu dan Pola Arus Permukaan Struktur vertikal suhu di Stasiun H pada saat pengambilan sampel fitoplankton diperoleh dari hasil simulasi yang dicuplik pada langkah waktu internal (iint) sama dengan 349 560 atau tanggal 20 Maret 2010 jam 13.30 (purnama) saat air pasang dan iint = 486 360 atau tanggal 28 Maret 2009 jam 11.30 (perbani) saat air surut. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan suhu antara lapisan atas dan
118
lapisan bawah sebesar 0.28oC pada saat purnama dan 0.29oC pada saat perbani (Gambar 62). (a)
(b)
28 Maret 2010 jam 11.30 iint.eq. 486 360
20 Maret 2010 jam 13.30 iint.eq. 349 560
Gambar 62 Profil suhu vertikal (oC) saat pengambilan sampel fitoplankton pada musim hujan di Stasiun H (a) kondisi purnama; (b) kondisi perbani. Suhu rata-rata hasil simulasi di Stasiun H pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) diberikan dalam Tabel 27 berikut. Tabel 27 Suhu rata-rata (oC) hasil simulasi di Stasiun H pada musim hujan untuk kondisi cuplik purnama (1) dan perbani (2) Stasiun H 1 2
Suhu pada masing-masing kondisi cuplik (oC) MP PM MS SM 28.81 28.6 29.67 30.2 29.15
28.93
28.93
29.61
Suhu rata-rata (oC) 29.32 29.16
Keterangan : MP=menuju pasang; PM=pasang maksimum; MS=menuju surut; SM=surut maksimum
4.6.8.2.2 Kondisi Fitoplankton Jumlah jenis fitoplankton untuk kondisi cuplik purnama dengan suhu mencapai 28.77oC ditemukan sebanyak 8 jenis fitoplankton dengan kelimpahan 1330 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae (Lampiran 24). Pada
119
saat pengambilan sampel pola arus di stasiun ini bergerak ke arah timur stasiun (Selat Malaka) dengan kecepatan berkisar antara 0.03-0.05 m/det. Jumlah jenis yang ditemukan untuk kondisi cuplik perbani dengan suhu o
29.01 C ada sebanyak 11 jenis dengan kelimpahan 5040 ind/liter yang terdiri dari Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Pola arus pada saat pengambilan sampel menunjukkan arus bergerak dari arah Pulau Sieca ke arah utara stasiun dengan kecepatan 0.02-0.03 m/det. 4.7
Analisis Dampak Kenaikan Suhu terhadap Fitoplankton Dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dalam penelitian ini dianalisis
dengan menghitung jumlah spesies dan keanekaragaman fitoplankton pada suatu stasiun dan pada saat bersamaan suhu di stasiun tersebut diketahui. Analisis dilakukan selain untuk mengetahui dampak kenaikan suhu juga untuk mengetahui pengaruh musim dan kondisi pasang surut terhadap jumlah spesies dan keanekaragaman fitoplankton. 4.7.1
Profil Suhu di Stasiun Pengambilan Sampel Fitoplankton Profil suhu pada 8 stasiun pengambilan sampel fitoplankton dapat dilihat pada
Gambar 63 di bawah.
Gambar 63 Profil suhu (oC) beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim. Profil suhu dicuplik untuk empat kondisi yakni musim kemarau saat purnama, musim kemarau saat perbani, musim hujan saat purnama dan musim hujan saat perbani. Perbedaan suhu yang relatif kecil untuk keempat kondisi cuplik ditemukan
120
pada Stasiun A, B, G dan H. Hal ini menunjukkan bahwa pada Stasiun A dan B suhu tidak dipengaruhi oleh musim dan sedikit dipengaruhi oleh pasang surut. Tingginya suhu di Stasiun A dan B untuk keempat kondisi tersebut juga menunjukkan bahwa massa air di stasiun ini lebih didominasi oleh air yang berasal dari buangan air pendingin. Untuk Stasiun G dan H perbedaan suhu yang relatif kecil juga menunjukkan kecilnya pengaruh musim pada stasiun ini, namun sepanjang tahun massa air di stasiun ini hampir tidak dipengaruhi oleh massa air dari buangan air pendingin. Perbedaan suhu yang lebih besar ditemukan pada Stasiun D, E dan F dengan selisih mencapai 0.6oC untuk Stasiun D dan E serta 1.15oC pada Stasiun F. Perbedaan suhu untuk keempat kondisi cuplik terbesar ditemukan pada Stasiun C dengan selisih mencapai 6oC. 4.7.2
Analisis Jumlah Spesies Fitoplankton
4.7.2.1 Profil Spesies Fitoplankton Berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim Hasil uji ANOVA menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara keempat kondisi cuplik, yang berarti bahwa jumlah spesies tidak dipengaruhi oleh kondisi pasang surut dan musim. Tabel hasil uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 25. Adapun jumlah spesies pada beberapa stasiun pengambilan sampel fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim disajikan dalam Gambar 64 di bawah.
Gambar 64 Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun berdasarkan kondisi pasut dan musim.
121
Setelah diketahui bahwa pengaruh musim (musim hujan dan musim kemarau) dan kondisi pasut (pasut purnama dan pasut perbani) pada saat pengambilan sampel fitoplankton tidak berpengaruh terhadap jumlah spesies, selanjutnya diuji pengaruh suhu terhadap jumlah spesies fitoplankton yang ditemukan pada masing-masing stasiun pengamatan tersebut. Adapun hasil analisis pengaruh suhu terhadap jumlah spesies akan dijelaskan pada bagian berikut. 4.7.2.2 Pengaruh Suhu terhadap Jumlah Spesies Fitoplankton Jumlah total spesies yang ditemukan selama penelitian adalah 39 spesies yang didominasi oleh Bacillariophyceae diikuti oleh Cyanophyceae. Hal yang sama dilaporkan oleh Naik et al. 2009 yang menemukan dominansi Bacillariophycea di Perairan Mahanadi, India. Bacillariophyceae dominan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL kemungkinan karena fitoplankton dari kelas ini bersifat eurythermal yakni dapat bertahan pada interval suhu yang luas (Huang et al. 2004). Hasil analisis menunjukkan nilai korelasi antara suhu dengan jumlah spesies fitoplankton untuk kondisi I (musim kemarau saat purnama) adalah -0.62, untuk kondisi II (musim kemarau saat perbani) -0.56, untuk kondisi III (musim hujan saat purnama) -0.56 dan untuk kondisi IV (musim hujan saat perbani) sebesar -0.84. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Li et al. 2011 yang melaporkan kontribusi diatom (Bacillariophyceae) pada jumlah total fitoplankton memiliki korelasi negatif yang signifikan (R2>0.65). Perbedaan nilai korelasi untuk keempat kondisi tersebut disebabkan oleh adanya variasi suhu pada stasiun yang sama pada saat pengambilan sampel fitoplankton. Adapun penjelasan tentang adanya variasi suhu pada stasiun yang sama telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Gambar 65 di bawah menunjukkan hubungan antara suhu dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel. Adapun hasil uji ANOVA untuk masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan adanya perbedaan nyata, yang berarti ada perbedaan jumlah spesies akibat pengaruh suhu pada stasiun pengamatan tersebut, sehingga perlu dianalisis lebih lanjut untuk mengetahui stasiun mana saja yang jumlah spesiesnya berbeda
122
nyata dengan Stasiun Kontrol. Jumlah spesies fitoplankton pada stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel disajikan pada Lampiran 26.
Gambar 65 Profil suhu (oC) dan jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel
123
Hasil uji ANOVA juga menunjukkan adanya perbedaan yang nyata antara jumlah spesies Stasiun Kontrol dengan Stasiun A, B dan C. Hal ini berarti jumlah spesies pada Stasiun A, B dan C dipengaruhi oleh suhu. Sementara untuk Stasiun D, E, F dan H menunjukkan adanya kesamaan jumlah spesies dengan Stasiun Kontrol. Analisis pengaruh suhu terhadap jumlah spesies fitoplankton lebih lanjut diuraikan berdasarkan karakteristik suhu pada masing-masing stasiun pengamatan. Jumlah spesies untuk masing-masing stasiun juga bervariasi. Stasiun A dengan suhu rata-rata 42.13oC ditemukan jumlah spesies bervariasi antara 2-4 spesies yang berasal dari kelas Bacillariophyceae dengan jumlah total spesies sebanyak 6 spesies yakni Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Hemialus sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Thallasiotrix sp. Stasiun B dengan suhu rata-rata 41.13oC ditemukan jumlah spesies antara 3-5 spesies dari kelas Bacillariophyceae dengan jumlah total spesies sebanyak 6 spesies yakni Chaetoceros sp., Coscinodiscus sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Thallasiosira sp. Spesies yang ditemukan baik di Stasiun A maupun di Stasiun B adalah Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., dan Navicula sp. Untuk Stasiun C dengan suhu maksimun 40.14oC, minimum 34.09oC dan rata-rata 37.52oC ditemukan 3-7 jenis fitoplankton dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 12 spesies masing-masing 10 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan 2 spesies dari kelas Cyanophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Navicula sp., Nitzchia sp., Pleurosigma sp., Streptotheca sp., Synedra sp., Tabellaria sp., Thallasiosira sp., Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dan Spirulina sp. dari kelas Cyanophyceae. Namun demikian dari hasil pengamatan diketahui bahwa pada suhu 34.09-36.95oC ditemukan 5-7 spesies dan suhu antara 37.91-40.14 oC ditemukan 3-5 spesies. Jumlah spesies di Stasiun D tidak berbeda nyata dengan Stasiun Kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa untuk suhu perairan antara 34.80-35.38oC tidak mempengaruhi jumlah spesies fitoplankton di stasiun tersebut. Jumlah spesies di Stasiun D dengan suhu maksimum 35.38oC, minimum 34.72oC dan rata-rata 35.06oC
124
ditemukan sebanyak 5-12 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 18 spesies masing-masing 16 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan 2 spesies dari kelas Cyanophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Bacillaria sp., Bacteriastrum sp., Chaetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Diatoma sp., Dithylium sol, Gyrosigma sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Pinnularia sp., Pleurosigma sp.,
Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan
frauenfeldii dari kelas
Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Jumlah spesies yang ditemukan di Stasiun E dengan suhu maksimum 34.85oC, minimum 32.24oC dan rata-rata 33.65oC bervariasi antara 5-7 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 13 spesies masing-masing 12 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan 2 spesies dari kelas Cyanophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Biddulphia sp., Chetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cymbella sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2, Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Stasiun F dengan suhu maksimum 33.32oC, minimum 32.28oC dan rata-rata 32.83oC, jumlah spesies yang ditemukan bervariasi antara 6-9 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies yang ditemukan di stasiun ini adalah 13 spesies masing-masing 11 spesies dari kelas Bacillariophyceae. Adapun spesies yang ditemukan adalah Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Eucampia sp., Hemialus sp., Milosera sp., Navicula sp., Nitzchia sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan Thallasiosira sp. Stasiun Kontrol (Stasiun G) menunjukkan suhu alami rata-rata perairan yakni 28.3
o
C ditemukan jumlah spesies bervariasi antara 6-11 spesies dari kelas
Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies ada 19, yakni : Bacteriastrum
sp.,
Odontella
sp.,
Chaetoceros
sp.1,
Chaetoceros
sp.2,
Chaetoceros sp.3, Chaetoceros sp.4, Chaetoceros sp.5, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Coscinodiscus sp.3, Coscinodiscus sp.4, Dithylium sp.,
125
Eucampia sp., Navicula sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2 dan Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Stasiun H dengan suhu maksimum 28.51oC, minimum 29.01oC dan rata-rata 28.71oC ditemukan jumlah spesies bervariasi antara 8-11 spesies dari kelas Bacillariophyceae dan Cyanophyceae. Jumlah total spesies ada 15, yakni : Chaetoceros sp.1, Chaetoceros sp.2, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Cymbella sp., Frustulia sp., Louderia sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Rhizosolenia sp., Synedra sp.1 dan Thallasi osira sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae. Tabel 28 di bawah menunjukkan jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun. Dari tabel tersebut dapat dijelaskan bahwa untuk perairan dengan suhu antara 37.91-42.32oC dapat ditemukan jumlah spesies yang jauh lebih sedikit (6 spesies) dibandingkan dengan jumlah spesies pada suhu alami (15-19 spesies). Untuk suhu perairan antara 31.28-36.95oC ditemukan jumlah spesies yang hampir sama dengan jumlah spesies pada suhu alami yakni antara 11-18 spesies. Dengan
demikian
jumlah
spesies
fitoplankton di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL hanya dipengaruhi oleh o kenaikan suhu >37.91oC ∆T>8.61 ( C). Sementara suhu antara 31.28-36.95oC
(∆T<7.65oC) tidak menunjukkan penurunan jumlah spesies secara signifikan. Semua spesies yang ditemukan pada kisaran suhu antara 37.91-42.32 oC juga ditemukan pada kisaran suhu dibawahnya. Sementara spesies yang ditemukan pada kisaran suhu antara 31.28-36.95oC dan tidak ditemukan pada suhu >37.91oC ada sebanyak 12 spesies, yakni : Streptotecha sp.,
Tabellaria sp., Chaetoceros sp.,
Bacillaria sp., Bacteriastrum sp., Diatoma sp., Dithylium sp., Gyrosigma sp., Pinnularia sp., Pleurosigma sp., Eucampia sp., Milosera sp. Spesies yang ditemukan hampir disemua stasiun adalah Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Hemialus sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Thallasiotrix
sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.,
Thallasiosira sp., dan Pleurosigma sp. Hal ini menunjukkan bahwa fitoplankton ini bersifat mampu bertahan hidup pada range suhu yang panjang (eurythermal).
126
Tabel 28 Jumlah total dan jenis spesies yang ditemukan berdasarkan klasifikasi suhu perairan di beberapa stasiun Stasiun
Klasifikasi suhu (oC)
Jumlah spesies
Nama spesies yang ditemukan
A
41.84-42.32
6
Coscinodiscus sp., Cyclotella sp., Hemialus sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Thallasiotrix sp.
B
41.06-41.19
6
Cyclotella sp., Coscinodiscus sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Thallasiosira sp
C1
37.91-40.14
6
Coscinodiscus sp., Pleurosigma sp., Synedra sp., Nitzchia sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dan Spirulina sp. dari kelas Cyanophyceae
11
Navicula sp., Streptotheca sp., Tabellaria sp., Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Thallasiotrix sp., Thallasiosira sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae
18
Bacillaria sp., Bacteriastrum sp., Chaetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cyclotella sp, Diatoma sp., Dithylium sp., Gyrosigma sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Pinnularia sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae
12
Odontella sp., Chetoceros sp., Coscinodiscus sp., Cymbella sp., Nitzchia sp., Navicula sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2, Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae.
11
Chaetocesros sp., Coscinodiscus sp., Eucampia sp., Hemialus sp., Milosera sp., Navicula sp., Nitzchia sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp., Thallasiosira sp.
19
Bacteriastrum sp., Odontella sp., Chaetoceros sp.1, Chaetoceros sp.2, Chaetoceros sp.3, Chaetoceros sp.4, Chaetoceros sp.5, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Coscinodiscus sp.3, Coscinodiscus sp.4, Dithylium sp., Eucampia sp., Navicula sp., Pleurosigma sp., Rhizosolenia sp., Synedra sp.1, Synedra sp.2 dan Thallasiotrix sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae
15
Chaetoceros sp.1, Chaetoceros sp.2, Coscinodiscus sp.1, Coscinodiscus sp.2, Cymbella sp., Frustulia sp., Louderia sp., Navicula sp., Nitzchia sp.1, Nitzchia sp.2, Rhizosolenia sp., Synedra sp. dan Thallasiosira sp. dari kelas Bacillariophyceae serta Lyngbia sp. dan Oscillatoria sp. dari kelas Cyanophyceae
C2
D
E
F
G
H
34.09-36.95
34.72-35.38
32.50-34.85
31.28-33.32
28.29-28.31
28.51-30.01
127
Berdasarkan hasil analisis tersebut, maka dapat diketahui bahwa jumlah spesies sangat dipengaruhi oleh suhu perairan, dimana jumlah spesies berkurang dengan meningkatnya suhu perairan, dalam hal ini pengaruh suhu terhadap jumlah spesies secara signifikan terutama terlihat pada suhu >37.91oC (∆T>8.61 oC). Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Poernima et al, 2005 yang meneliti dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Atom Madras, Teluk Bengal, India dan Chuang et al. 2009 yang meneliti pengaruh buangan air pendingin di sekitar Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir II, Teluk Kuoseng, Taiwan. Keduanya menemukan bahwa peningkatan suhu perairan berkorelasi negatif dengan kelimpahan klorofil-a. 4.7.3
Analisis Kelimpahan Fitoplankton
4.7.3.1 Kelimpahan Fitoplankton Berdasarkan Kondisi Pasut dan Musim Hasil uji F (ANOVA) menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelimpahan untuk keempat kondisi pengambilan sampel fitoplankton (Tabel hasil uji ANOVA dapat dilihat pada Lampiran 27). Hal ini berarti bahwa musim dan kondisi pasut tidak berpengaruh nyata terhadap kelimpahan fitoplankton. Kelimpahan fitoplankton pada stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel dapat dilihat pada Lampiran 28. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim disajikan dalam Gambar 66 di bawah.
Gambar 66 Kelimpahan fitoplankton berdasarkan kondisi pasut dan musim.
128
4.7.3.2
Pengaruh Suhu terhadap Kelimpahan Fitoplankton Hasil uji ANOVA untuk masing-masing stasiun pengamatan menunjukkan
adanya perbedaan nyata, yang berarti ada perbedaan kelimpahan akibat pengaruh suhu pada stasiun pengamatan tersebut, sehingga perlu analisis lebih lanjut untuk mengetahui stasiun mana saja yang kelimpahannya berbeda nyata dengan Stasiun Kontrol. Hasil uji ANOVA menunjukkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antara kelimpahan fitoplankton di Stasiun Kontrol dengan stasiun lainnya, kecuali pada Stasiun A, B dan C. Hal ini menunjukkan bahwa tingginya suhu di stasiun A, B dan C berpengaruh terhadap kelimpahan fitoplankton. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sejenis yang telah dilakukan oleh peneliti sebelumnya, dimana hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan suhu perairan berkorelasi negatif dengan kelimpahan klorofil-a (Poernima et al, 2005, Poernima et al. 2006, Chuang et al. 2009). Dalam hal ini Naik et al. 2009 melaporkan adanya korelasi positif antara kelimpahan fitoplankton dengan klorofil-a. Oleh karena itu penelitian ini mengasumsikan bahwa jumlah klorofil-a juga berkorelasi positif dengan kelimpahan fitoplankton. Pengaruh suhu terhadap kelimpahan fitoplankton menunjukkan bahwa semakin tinggi suhu perairan maka kelimpahan fitoplankton akan berkurang. Hal ini diketahui dari hasil uji statistik dengan menghitung nilai korelasi antara parameter suhu dengan kelimpahan fitoplankton, dimana terjadi korelasi negatif antara suhu dengan kelimpahan untuk empat kondisi sampling. Hasil analisis menunjukkan nilai korelasi antara suhu dengan kelimpahan fitoplankton untuk kondisi I (musim kemarau saat purnama) adalah -0.76, untuk kondisi II (musim kemarau saat perbani) -0.67, untuk kondisi III (musim hujan saat purnama) -0.45 dan untuk kondisi IV (musim hujan saat perbani) sebesar -0.89. Perbedaan nilai korelasi untuk keempat kondisi tersebut disebabkan oleh adanya variasi suhu pada stasiun yang sama pada saat pengambilan sampel fitoplankton. Adapun penjelasan tentang adanya variasi suhu pada stasiun yang sama telah dijelaskan pada bagian sebelumnya. Gambar 67 menunjukkan hubungan antara suhu
129
dengan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel.
Gambar 67 Profil suhu (oC) dan kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun untuk empat kondisi pengambilan sampel.
130
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian Poernima et al. 2005 yang melaporkan bahwa jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton di outfall berkurang antara 3570% dibandingkan dengan di intake, dimana ∆T antara outfall dan intake bervariasi antara 7.3-9.3oC. Sementara pada daerah mixing point klorofil-a dan jumlah fitoplankton hanya berkurang sekitar 15-50% dibandingkan dengan di intake, dimana ∆T keduanya bervariasi antara 3.4-5.9oC. Demikian pula hasil penelitian yang dilakukan oleh Chuang et al. 2009 juga menunjukkan hal yang sama, dimana antara outlet dan intake dengan ∆T bervariasi 8-12oC memiliki nilai rata-rata klorofil-a yang berbeda yakni 0.67 mg m-3 di daerah intake dan 0.44 mg m-3 di daerah outlet. Kelimpahan fitoplankton untuk klasifikasi suhu perairan antara 37.91-42.32oC (Stasiun A, B dan C1) jauh lebih rendah dibandingkan dengan kelimpahan pada suhu alami perairan (Stasiun G dan H). Sementara untuk klasifikasi suhu antara 34.0936.95oC (Stasiun C2 dan D) menunjukkan kelimpahan yang relatif sama dengan kelimpahan pada suhu alami perairan. Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun disajikan pada Tabel 29. Tabel 29 Kelimpahan fitoplankton berdasarkan klasifikasi suhu perairan pada beberapa stasiun Stasiun
Klasifikasi suhu (oC)
Kelimpahan (ind/ltr)
A
41.84-42.32
76-228
B
41.06-41.19
280-770
C1
37.91-40.14
475-988
C2
34.09-36.95
608-760
D
34.72-35.38
1425-4085
E
32.50-34.85
741-1456
F
31.28-33.32
570-1824
G
28.29-28.31
1064-2565
H
28.51-30.01
1330-5040
131
4.8
Analisis Terumbu Karang Ekosistem terumbu karang tersebar hampir di seluruh bagian pesisir dan
pulau-pulau Kota Bontang. Pada umumnya ekosistem terumbu karang di kawasan pesisir dan laut Bontang yang berada dalam radius 1.5-2 mil laut dan berhadapan dengan pabrik PKT dan PT. Badak NGL, rata-rata persentase tutupan karang dalam kategori sedang (berkisar 30-50%). Sedangkan untuk lokasi yang lebih dari 2 mil laut, persentase tutupan karang lebih dari 50% (DKP Bontang 2007). Hasil survei menunjukkan bahwa jenis-jenis karang yang ditemukan diantaranya adalah karang (Hard Coral) dan karang lunak (Soft Coral). Secara umum karang keras lebih dominan ditemukan dibanding karang lunak. Beberapa jenis karang keras yang ditemukan yaitu Acropora, Montiphora euphylia, Plerogyra, Fungia, Heliofungia, Caulastrea, Pectinia, Goniopora, Millepora. Selanjutnya untuk mengetahui pengaruh kenaikan suhu terhadap ekosistem terumbu karang, maka dilakukan survei terhadap terumbu karang yang berada dalam wilayah terdampak dan yang tidak kena dampak kenaikan suhu (perairan dengan suhu alami) oleh adanya buangan limbah air pendingin PT. Badak NGL. Untuk merepresentasikan kondisi terumbu karang sebagai pembanding untuk terumbu karang yang terkena dampak kenaikan suhu dari buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka dipilih lokasi terumbu karang yang hidup pada suhu alami perairan dan tidak tereksploitasi secara berlebihan oleh aktifitas manusia. Karena itu dalam penelitian ini dipilih terumbu karang yang berada di Pulau Beras Basah dan Pulau Melahing (Gambar 15), yang akan diuraikan pada bagian berikut. 4.8.1
Kondisi Terumbu Karang yang Tidak Terkena Dampak
4.8.1.1 Pulau Beras Basah Pengamatan substrat dasar terumbu karang di Pulau Beras Basah dilakukan pada satu titik pengamatan. Pada titik pengamatan ini diperoleh nilai tutupan karang keras atau karang hidup sebesar 49.34%. Bentuk pertumbuhan karang yang banyak dijumpai pada daerah ini adalah bentuk pertumbuhan
Coral Submassive, Coral Massive,
Acropora Tabulate, dan Acropora Branching. Sedangkan genus karangnya berupa
132
Echinopora, Pachyseris, Porites, Pectinia dan Acropora. Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah disajikan dalam Gambar 68 di bawah. Kondisi terumbu karang di Pulau Beras Basah disajikan pada Lampiran 29.
Gambar 68
Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah.
4.8.1.2 Pulau Melahing Hasil pengamatan terumbu karang di lokasi Melahing menunjukkan nilai tutupan karang hidup sebesar 51% dan tergolong kedalam kondisi baik atau sehat menurut Gomez dan Yap (1988). Bentuk pertumbuhan karang yang banyak dijumpai pada daerah ini adalah bentuk pertumbuhan Coral Foliose, Coral Branching, dan Coral Soliter. Sedangkan genus karangnya berupa Echinopora, Pachyseris, Porites, Fungia dan Acropora. Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Pulau Beras Basah disajikan dalam Gambar 69 di bawah. Dokumentasi kondisi terumbu karang di Pulau Melahing dapat dilihat pada Lampiran 13.
Gambar 69 Histogram Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di Melahing.
133
4.8.2
Kondisi Terumbu Karang yang Terkena Dampak Berdasarkan hasil survei yang dilakukan, diketahui bahwa ada dua lokasi
yang terkena dampak dimana ditemukan adanya terumbu karang. Kedua lokasi tersebut adalah di depan Pulau Sieca dan di Sekambing Muara (Gambar 15). Adapun profil suhu dan kondisi terumbu karang di kedua lokasi tersebut akan diuraikan pada bagian berikut. 4.8.2.1
Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca
4.8.2.1.1 Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau saat Perbani Profil suhu di depan Pulau Sieca dimana ditemukan adanya terumbu karang diperoleh dari hasil simulasi yang dicuplik pada dua titik, yakni dibagian selatan (PA2) dan bagian utara (PA1) Stasiun J (Gambar 15). Struktur vertikal suhu di depan Pulau Sieca menunjukkan adanya perbedaan suhu antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya. Perbedaan suhu tersebut relatif kecil, dimana untuk Pulau Sieca A1=0.01oC dan Pulau Sieca A2=0.05oC. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 70. (a)
(b)
Gambar 70 Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2
134
Adanya perbedaan suhu antara lapisan permukaan (upper layer) dan lapisan bawah (lower layer) dengan suhu yang lebih rendah pada lapisan bawah, menunjukkan bahwa pada lokasi ini masih ditemukan adanya pengaruh buangan air pendingin meskipun relatif kecil. 4.8.2.1.2
Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau saat Purnama
Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di depan Pulau Sieca saat pasut purnama memiliki pola yang sama dengan pada saat pasut perbani, dimana keduanya memiliki suhu yang berbeda antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya (stratificated). Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan di Pulau Sieca A1=0.01oC (=saat perbani) dan di Pulau Sieca A2=0.01oC (<saat perbani). Struktur vertikal suhu untuk masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 71. (a)
(b)
Gambar 71
Struktur vertikal suhu (oC) pada musim kemarau saat purnama untuk titik cuplik (a) PA1 (b) PA2.
4.8.2.1.3
Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Perbani
Hasil simulasi menunjukkan bahwa struktur vertikal suhu di depan Pulau Sieca pada musim hujan untuk kondisi pasut perbani memiliki pola yang sama
135
dengan pada musim kemarau untuk kondisi pasut yang sama, dimana terdapat perbedaan yang sangat kecil antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya. Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan pada saat perbani di titik cuplik PA1=0.01oC (=musim kemarau) dan pada titik cuplik PA2=0.04oC (<musim kemarau). Dengan kata lain terbentuk lapisan homogen (mixed layer) baik pada titik cuplik PA1 maupun pada titik cuplik PA2. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing titik cuplik dapat dilihat pada Gambar 72. (a)
(b)
Gambar 72
4.8.2.1.4
Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2. Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Purnama
Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan di titik cuplik PA2 adalah homogen (musim kemarau = 0.01oC). Struktur vertikal suhu yang unik pada musim hujan ditemukan di titik cuplik PA2, dimana suhu pada lapisan atas sama dengan suhu pada lapisan bawah namun lebih kecil dari suhu pada lapisan tengah (middle layer). Fenomena ini
136
kemungkinan terjadi akibat adanya pertemuan massa air dari arah muara kanal pendingin dengan massa air dari laut. Struktur vertikal suhu hasil simulasi untuk kondisi cuplik di atas menunjukkan bahwa pengaruh musim di depan Pulau Sieca dimana ditemukan terumbu karang relatif kecil. Hal ini juga terlihat dari suhu permukaan yang relatif sama untuk kedua kondisi tersebut. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing titik cuplik dapat dilihat pada Gambar 73. Sementara Kondisi suhu hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan disajikan dalam Tabel 30. (b)
(a)
Gambar 73 Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) PA1 (b) PA2. Tabel 30
Kondisi suhu (oC) hasil simulasi di depan Pulau Sieca untuk musim kemarau dan musim hujan Suhu (oC) Musim Kemarau
Lokasi
Perbani
Musim Hujan
Purnama min
max
33.3
ratarata 33.2
32.1
31.8
31.8
30.4
min
max
P. Sieca A1
33.2
P. Sieca A2
31.5
Perbani min
max
32.9
ratarata 32.5
33.0
31.9
31.2
31.5
Purnama min
max
33.2
ratarata 33.1
32.2
32.7
ratarata 32.4
31.8
31.6
30.3
31.8
31.1
Suhu rata-rata sepanjang tahun = 32.11 oC
137
4.8.2.2 Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca Pengamatan substrat dasar terumbu karang dilakukan di depan Pulau Sieca dengan kedalaman ±4 meter. Di lokasi ini ditemukan nilai penutupan karang hidup (Hard Coral) sebesar 6.48%. Untuk jenis karang lunak (Soft coral) memiliki nilai sebesar 18,78%. Bentuk pertumbuhan karang yang banyak dijumpai berupa Coral Massive dan Acropora Brancing. Penutupan Substrat Dasar Terumbu Karang di depan Pulau Sieca disajikan dalam Gambar 74 di bawah. Dokumentasi kondisi terumbu karang di Depan Pulau Sieca dapat dilihat pada Lampiran 8.
Gambar 74 Histogram penutupan substrat dasar terumbu karang di depan Pulau Sieca Hasil pengamatan tersebut menunjukkan bahwa kondisi terumbu karang di Perairan Bontang untuk perairan dengan suhu maksimum 33.3oC, suhu minimum 30.3oC dan suhu rata-rata 32.11oC sepanjang tahun, memiliki tutupan karang hidup yang lebih kecil dibandingkan dengan tutupan karang di perairan yang memiliki suhu alami (terumbu karang di Beras Basah dan Melahing). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu perairan sampai 33.3oC (∆T=4 -5oC) akibat baungan air pendingin PT. Badak NGL dapat mempengaruhi kehidupan terumbu karang di perairan tersebut. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Coles 1975 dan Neudecker 1981 yang menyatakan bahwa kenaikan suhu sebesar 3-5°C diatas suhu ambien telah terbukti mempengaruhi kehidupan karang dewasa di berbagai wilayah geografik.
138
4.8.2.3
Profil Suhu dan Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara
4.8.2.3.1 Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau Saat Perbani Struktur vertikal suhu di Sekambing Muara dimana ditemukan adanya terumbu karang diperoleh dari hasil simulasi yang dicuplik pada dua titik, yakni di bagian selatan (SM1) dan bagian utara (SM2) Stasiun I (Gambar 15). Struktur vertikal suhu menunjukkan adanya perbedaan suhu yang relatif kecil antara lapisan permukaan dengan lapisan di bawahnya. Dalam hal ini suhu pada lapisan permukan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu pada lapisan di bawahnya yang bervariasi antara 0.06-0.09oC. Gambar 75 di bawah menunjukkan Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik SM1 dan SM2. (b)
(a)
Gambar 75 Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim kemarau saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2. 4.8.2.3.2
Struktur Vertikal Suhu pada Musim Kemarau Saat Purnama
Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan di SM1 sekitar 0.1oC (<saat perbani) dan SM2 = 0.05oC (<saat perbani), dimana suhu pada lapisan permukaan lebih tinggi dibandingkan dengan suhu di lapisan bawah. Struktur vertikal suhu hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik SM1 dan SM2 dapat dilihat pada Gambar 76 di bawah.
139
(a)(a)
(b)
Gambar 76 Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim kemarau saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2 4.8.2.3.3
Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Perbani
Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan pada saat perbani di Sekambing Muara 1 sekitar 0.11oC (<musim kemarau) dan Sekambing Muara 2 = 0.09oC (>musim kemarau). Struktur vertikal suhu untuk masing-masing lokasi dapat dilihat pada Gambar 77. (a)
Gambar 77
(b)
Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim hujan saat perbani pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2
140
4.8.2.3.4
Struktur Vertikal Suhu pada Musim Hujan Saat Purnama
Perbedaan suhu untuk lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) pada musim hujan pada titik cuplik SM1 sekitar 0.11oC (>musim kemarau), sementara pada titik cuplik SM2=0.05oC (=musim kemarau). Dengan kata lain terbentuk lapisan yang relatif homogen pada titik cuplik SM1 dan SM2. Struktur vertikal suhu hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik yang menunjukkan adanya perbedaan suhu yang sangat kecil antara lapisan permukaan (upper layer) dengan lapisan bawah (lower layer) sebagaimana diuraikan di atas, mengindikasikan bahwa pengaruh musim di Sekambing Muara di mana ditemukan terumbu karang sangat kecil. Dengan kata lain adanya limpasan air sungai dari Sungai Muara Sekambing tidak berpengaruh terhadap kondisi perairan di lokasi ini. Hal ini juga terlihat dari adanya nilai suhu yang relatif sama untuk keempat kondisi tersebut. Struktur vertikal suhu untuk masing-masing titik cuplik dapat dilihat pada Gambar 78. Sementara Kondisi suhu hasil simulasi di Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan disajikan dalam Tabel 31. (a)
(b)
Gambar 78 Struktur vertikal suhu (oC) hasil simulasi pada musim hujan saat purnama pada titik cuplik (a) SM1 (b) SM2.
141
Tabel 31 Kondisi suhu (oC) hasil simulasi Sekambing Muara untuk musim kemarau dan musim hujan Suhu (oC) Musim Kemarau Lokasi
Perbani
S. Muara 1 S. Muara 2
Musim Hujan
Purnama
Perbani
Purnama
min
max
ratarata
min
max
ratarata
Min
max
ratarata
min
max
ratarata
34.8 34.4
35.3 34.7
35.0 34.6
33.2 33.3
34.9 34,4
34.1 33.8
34.7 34.2
35.1 34.6
34.9 34.4
33.1 33.2
34.8 34.3
34.0 33.7
Suhu rata-rata sepanjang tahun = 34.31oC
4.8.2.4
Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara Hasil survei yang dilakukan terhadap terumbu karang di Sekambing Muara
menunjukkan kondisi terumbu karang di lokasi ini telah mengalami kematian secara keseluruhan. Kematian terumbu karang di lokasi ini dapat dipastikan disebabkan oleh adanya kenaikan suhu yang tinggi sebagai akibat adanya buangan air pendingin dari PT. Badak NGL. Lokasi ini merupakan lokasi yang terisolir dari aktifitas penduduk akibat adanya pengawasan dari pihak perusahaan, sehingga kematian terumbu karang di lokasi ini tidak berhubungan dengan eksploitasi terumbu karang oleh penduduk seperti yang terjadi pada lokasi lain di Perairan Bontang. Kesimpulan akan matinya terumbu karang akibat kenaikan suhu perairan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, mengingat suhu ambien normal terumbu karang di ASEAN termasuk Indonesia menurut Neudecker 1981 adalah 28-30°C. Selain itu Coles et al 1976 menemukan bahwa kenaikan suhu hingga 4-5°C diatas suhu ambien menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di daerah tropis (Eniwetak, Atoll, Marshall Islands) dan subtropis (Kaneohe Bay, Hawai). Berdasarkan hal tersebut maka dapat disimpulkan bahwa kenaikan suhu perairan akibat buangan air pendingin PT. Badak NGL dengan suhu maksimum 35.30oC, suhu minimum 33.20oC dan suhu rata-rata 34.31oC (∆T=5-6oC) sepanjang tahun di Sekambing Muara telah mengakibatkan kematian terumbu karang secara keseluruhan di lokasi tersebut. Dokumentasi kondisi terumbu karang di Sekambing Muara dapat dilihat pada Lampiran 13.
142
4.9 Analisis Kondisi Perairan Berdasarkan Kriteria Suhu untuk Fitoplankton Untuk mengetahui kondisi perairan akibat buangan air pendingin, maka penentuan kriteria perairan dalam penelitian ini mengacu pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut dan hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton dan terumbu karang sebagaimana yang telah dibahas dalam subbab 4.7 dan 4.8, serta beberapa referensi dari penelitian sebelumnya. Adapun kriteria tersebut ditetapkan sebagai berikut : 1. Batas zona terdampak adalah suhu >37.90oC (∆T>9.60oC). Nilai ini didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton yang menunjukkan adanya perbedaaan yang nyata antara fitoplankton pada Stasiun Kontrol (suhu alami) dengan fitoplankton pada suhu >37.90oC. Selain itu nilai ini juga didasarkan pada hasil penelitian Poernima et al. 2005 yang menunjukkan jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton berkurang 35-70% dengan kenaikan suhu ∆T>7.3-9.3oC dan Chuang et al. 2009 yang menemukan klorofil-a fitoplankton berkurang secara signifikan dengan kenaikan suhu ±10oC. 2. Batas zona potensial besar kena dampak berkisar 34.00-37.90oC (∆T>5.70oC). Nilai ini didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton yang menunjukkan jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton relatif berkurang dan Laporan Gesamp 1984 yang menunjukkan berkurangnya jumlah sel fitoplankton 10-60% dengan meningkatnya suhu hingga 7oC . 3. Batas zona potensial kena dampak berkisar antara 31.30-34.00oC. Nilai ini didasarkan pada hasil analisis dampak kenaikan suhu terhadap fitoplankton yang telah dilakukan dan hasil penelitian Poernima et al. 2005 yang menunjukkan jumlah klorofil-a dan jumlah sel fitoplankton berkurang 15-50% dengan kenaikan suhu 3.4-5.9oC, serta hasil penelitian Li et al. 2011 yang menemukan berkurangnya diatom dari 82.0% menjadi 53.1% akibat peningkatan suhu 3.7oC dari suhu ambien. 4. Batas zona terdampak adalah pada suhu >30.30 oC (∆T>2.00oC). Hal ini didasarkan pada Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 tentang baku mutu air laut yang menetapkan diperbolehkannya terjadi perubahan suhu sampai dengan <2oC dari
143
suhu alami baik untuk perairan pelabuhan, wisata bahari maupun untuk biota laut. Sementara suhu alami Perairan Bontang berkisar antara 28.30-29.30oC. Mengingat pola sebaran suhu di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut, maka analisis kondisi perairan dilakukan dengan melihat pola sebaran suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk 4 kondisi cuplik dengan perbedaan yang relatif ekstrim untuk masing-masing kondisi seperti telah dibahas dalam subbab 4.3 sebelumnya. Keempat kondisi tersebut adalah saat air menuju pasang, pasang maksimum, menuju surut dan surut maksimum, yang dicuplik pada saat pasut purnama. 4.9.1 Kondisi Menuju Pasang Hasil simulasi menujukkan bahwa pada kondisi air menuju pasang kondisi Perairan Bontang yang terkena dampak kenaikan suhu lebih cenderung ke arah selatan perairan (Teluk Nyerakat), hal ini disebabkan adanya pergerakan massa air dari laut yang mengangkut buangan air pendingin yang keluar dari muara kanal pendingin ke wilayah ini. Kawasan zona terdampak (>37.90oC) hanya ditemukan tepat di ujung muara kanal pendingin, sementara zona yang berpotensi besar terkena dampak (34.00-37.90oC) lebih cenderung menyebar ke arah selatan daerah model (Gambar 79). Hasil simulasi juga menunjukkan zona terdampak berdasarkan baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No.51 Tahun 2004 (30.30oC) lebih luas sekitar ±17.19 Ha dibandingkan dengan luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air menuju pasang pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel 32.
Lintang Utara (derajat)
144
37.90
30.30 31.30
34.00
31.30 30.30
Bujur Timur (derajat)
Keterangan : suhu <30.30oC (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak (31.30-34.00oC) zona berpotensi besar terkena dampak (34.00-37.90oC) zona terdampak (>37.90oC)
Gambar 79 Kondisi perairan pada saat air menuju pasang menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004. 4.9.2 Kondisi Pasang Maksimum Kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL pada saat air pasang maksimum untuk pasut purnama dapat dilihat pada Gambar 80 di bawah.
Lintang Utara (derajat)
145
37.90
34.00
30.30 31.30
31.30 30.30
Bujur Timur (derajat)
Keterangan : suhu <30.30oC (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak (31.30-34.00oC) zona berpotensi besar terkena dampak (34.00-37.90oC) zona terdampak (>37.90oC)
Gambar 80 Kondisi perairan pada saat air pasang maksimum menurut kriteria suhu berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004. Berbeda dengan saat air menuju pasang, pada saat air pasang maksimum wilayah perairan yang terkena dampak kenaikan suhu (>37.90oC) bergeser ke arah kolam pendingin sampai ke ujung kanal pendingin, sementara zona yang berpotensi
146
besar terkena dampak (34.00-37.90oC) lebih menyempit ke arah muara kanal pendingin. Fenomena ini terjadi akibat adanya pengaruh air pasang yang bergerak dari arah lepas pantai (offshore) menuju kolam pendingin yang semakin kuat dan menyebabkan buangan air pendingin lebih terdorong masuk ke dalam kolam pendingin. Hasil analisis luasan zona terdampak pada saat air pasang maksimum menunjukkan adanya perbedaan luasan antara zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur dengan zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 sekitar ±7.1 Ha. Luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur untuk kondisi cuplik pasang maksimum lebih kecil ±46.425 Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik menuju pasang, sementara luas zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 pada saat air pasang maksimum lebih kecil ±56.51 Ha dibandingkan dengan saat air menuju pasang. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas perairan yang terkena dampak secara keseluruhan pada saat pasang maksimum lebih kecil dibandingkan dengan saat air menuju pasang. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air pasang maksimum pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel 32. 4.9.3
Kondisi Menuju Surut Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada saat air menuju surut, wilayah
perairan yang terkena dampak kenaikan suhu (>37.90oC) bergeser lebih jauh dari muara kanal pendingin dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan pasang maksmimum. Sementara zona yang berpotensi besar terkena dampak (34.00-37.90oC) lebih menyempit ke arah muara kanal pendingin dibanding saat air menuju surut, namun lebih luas dibanding dengan saat air pasang maksimum (Gambar 81). Hasil analisis luasan zona terdampak pada saat air menuju surut menunjukkan adanya perbedaan luasan antara zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur dengan zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 sekitar ±15.095 Ha. Luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan
147
studi literatur untuk kondisi cuplik ini lebih kecil ±32.57 Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik menuju pasang namun lebih luas ±13.855 dibandingkan dengan
Lintang Utara (derajat)
kondisi cuplik saat air pasang maksimum.
30.30 37.90 34.00
31.30
30.30 31.30 30.30
Bujur Timur (derajat)
Keterangan : suhu <30.30oC (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak (31.30-34.00oC) zona berpotensi besar terkena dampak (34.00-37.90oC) zona terdampak (>37.90oC)
Gambar 81
Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air menuju surut berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004.
148
Luas zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 pada saat air menuju surut lebih kecil ±34.665 Ha dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan lebih besar ±21.845 Ha dibandingkan dengan saat air pasang maksimum. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas perairan yang terkena dampak secara keseluruhan pada saat menuju surut lebih kecil dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan lebih luas dibandingkan dengan saat air mencapai pasang maksimum. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air menuju surut pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel 32. 4.9.4
Kondisi Surut Maksimum Hasil simulasi menunjukkan bahwa pada saat air surut maksimum, wilayah
perairan yang terkena dampak kenaikan suhu (>37.90oC) bergeser lebih jauh dari muara kanal pendingin dibandingkan dengan ketiga kondisi cuplik sebelumnya. Demikian pula zona yang berpotensi besar terkena dampak (34.00-37.90oC) untuk kondisi ini lebih luas dibanding saat air menuju surut dan saat air pasang maksimum namun lebih kecil dibanding dengan saat air menuju pasang. Gambar 82 di bawah menunjukkan bahwa pada saat surut maksimum pola isotherm untuk kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 di bagian timur daerah model lebih bergeser menuju offshore, hal ini disebabkan massa air pada saat air surut bergerak menjauhi garis pantai ke arah timur perairan. Sementara pola isotherm di Teluk Nyerakat menunjukkan adanya pergeserak ke arah utara, hal ini disebabkan oleh adanya pergerakan massa air dari ujung Teluk Nyerakat yang lebih dangkal ke arah utara daerah model yang lebih dalam. Hasil analisis luasan zona terdampak pada saat air surut maksimum menunjukkan adanya perbedaan luasan antara zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur dengan zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 sekitar ± 24.30 Ha. Luas zona terdampak berdasarkan hasil analisis dan studi literatur untuk kondisi cuplik ini lebih kecil ±17.43 Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik menuju pasang namun lebih luas
149
±28.995 Ha dibandingkan dengan kondisi cuplik saat air pasang maksimum serta
Lintang Utara (derajat)
lebih luas ±15.14 Ha untuk kondisi air surut maksimum.
30.30 31.30 37.90 34.00
37.90 30.30 31.30 30.30
Bujur Timur (derajat)
Keterangan : suhu <30.30oC (baku mutu berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004) zona berpotensi kena dampak (31.30-34.00oC) zona berpotensi besar terkena dampak (34.00-37.90oC) zona terdampak (>37.90oC)
Gambar 82 Kondisi perairan menurut kriteria suhu pada saat air surut maksimum berdasarkan hasil analisis dan studi literatur serta berdasarkan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004. Luas zona terdampak berdasarkan kriteria baku mutu Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 pada saat air surut maksimum lebih kecil ±10.32 Ha dibandingkan
150
dengan saat air menuju pasang dan lebih luas ±46.19 Ha dibandingkan dengan saat air pasang maksimum serta lebih luas ±24.345 Ha dibandingkan dengan saat air menuju surut. Dengan demikian dapat diketahui bahwa luas perairan yang terkena dampak secara keseluruhan pada saat air surut maksimum lebih kecil dibandingkan dengan saat air menuju pasang dan lebih luas dibandingkan dengan saat air pasang maksimum dan menuju surut. Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk kondisi cuplik saat air surut maksimum pada saat pasut purnama dapat dilihat pada Tabel 32. 4.10
Arahan Pengelolaan Hasil analisis pengaruh suhu terhadap terumbu karang dan fitoplankton
menunjukkan bahwa kenaikan suhu akibat buangan air pendingin (cooling water) PT. Badak NGL di Perairan Bontang mengakibatkan menurunnya kualitas perairan yang berdampak pada terganggunya komunitas fitoplankton dan terumbu karang di perairan tersebut. Untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan oleh buangan air pendingin tersebut, maka perlu upaya untuk mengurangi tingkat kenaikan suhu akibat buangan air pendingin tersebut. Sementara pencegahan dampak dari buangan air pendingin dapat dilakukan dengan menerapkan atau membuat regulasi yang ketat yang disesuaikan dengan karakteristik wilayah pesisir dimana buangan air pendingin itu dibuang. Beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk mengurangi tingkat kenaikan suhu perairan akibat buangan air pendingin diantaranya adalah sebagai berikut : 4.10.1 Menurunkan Suhu Buangan Air Pendingin Sistem air pendingin (cooling water system) yang digunakan oleh PT Badak NGL adalah sistem sekali alir atau dikenal sebagai “once through system”. Syarat utama dari pemilihan sistem sekali alir adalah tersedianya sumber air pendingin dalam jumlah besar, seperti air laut, danau, atau sungai besar. Pada sistem ini PT. Badak NGL menggunakan air laut untuk mendinginkan proses-proses di dalam pabrik.
151
Tabel 32 Luas perairan berdasarkan kriteria kenaikan suhu yang diperoleh dari hasil simulasi untuk empat kondisi cuplik pada saat pasut purnama Luas Perairan (Ha)
No
Kondisi Perairan
1
Zona terdampak
±65.250
±55.250
±66.450
±68.755
2
Zona berpotensi besar terkena dampak
±50.625
±14.275
±11.250
±30.665
3
Zona berpotensi terdampak
±140.500
±140.470
±146.105
±139.525
Total luasan 4
Baku mutu (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004)
Keterangan : MP = Kondisi air menuju pasang PM = Kondisi air pasang maksimum MS = Kondisi air menuju surut SM = Kondisi air surut maksimum
152
MP
±256.375 ±273.565
PM
±209.950 ±217.055
MS
±223.805 ±238.900
SM
±238.945 ±263.245
153
Setelah melalui sistem pendingin, air laut yang telah mengalami kenaikan suhu tersebut selanjutnya dibuang kelaut melalui outfall yang telah disediakan. Kenaikan suhu air laut setelah melalui sistem pendingin berbeda-beda tergantung teknologi sistem pendingin yang digunakan. PT. Badak NGL dalam hal ini menggunakan dua teknologi sistem pendingin dengan suhu buangan air pendingin yang berbeda. Untuk Train A-F menggunakan teknologi yang menghasilkan suhu buangan air pendingin di outfall sebesar 45.1-45.3oC (pemilihan 44oC dalam input model disesuaikan dengan daerah model) , sementara Train G-H menghasilkan suhu buangan air pendingin sebesar 41.5oC (pemilihan 38.00oC dalam input model disesuaikan dengan daerah model). Atas dasar tersebut penelitian ini mengkaji pola sebaran suhu dan dampaknya jika suhu buangan air pendingin dari Train A-F diturunkan hingga sama dengan Train G-H. Untuk mengetahui pola sebaran suhu jika suhu buangan air pendingin diturunkan maka dilakukan simulasi menggunakan input buangan air pendingin dengan suhu yang lebih rendah dari suhu yang sebenarnya. Gambar 83a dan 83b serta 84a dan 84b di bawah diperoleh dari hasil simulasi untuk skenario musim hujan pada saat purnama dan saat perbani dengan mengubah input buangan air pendingin dari suhu 44oC menjadi 38oC, sementara input parameter-parameter lain seperti input debit air sungai, salinitas, pasut serta perlakuan di syarat batas terbuka dibuat sama. Penurunan suhu yang cukup signifikan juga terjadi di Sekambing Muara lokasi dimana ditemukan adanya terumbu karang dari rata-rata 34oC menjadi 32oC. Kisaran suhu ini memungkinkan terumbu karang dapat bertahan hidup sebagaimana terumbu karang yang berada di depan Pulau Sieca. Dengan kata lain penurunan suhu sebesar 6oC dari buangan air pendingin PT. Badak NGL akan dapat mengurangi dampak kerusakan terhadap ekosistem di sekitarnya khususnya terumbu karang, meskipun Coles et al. 1976 menemukan adanya efek sublethal (hilangnya pigmen zooxanthella) akibat kenaikan suhu 2°C di atas suhu maksimum tahunan, sedangkan kenaikan 4-5°C menyebabkan kematian pada sebagian besar jenis karang di daerah tropis dan subtropis.
154
Lintang Utara (derajat)
(a)
(b)
42 43 41 41 42
36 37
33
29
34
30
32
31
30 31
29
32 29 33 31 32
30
31 30 29
29 28 27
Bujur Timur (derajat)
Bujur Timur (derajat)
( oC )
Gambar 83 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat purnama dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38oC (b) suhu 44oC Perbandingan pola isotherm antara Gambar 83a dengan 83b dan antara 84a dengan 84b di atas menunjukkan bahwa dengan menurunkan suhu buangan air pendingin sebesar 6oC (38oC), maka suhu di dalam Kolam Pendingin dan di Muara Kanal Pendingin dapat diturunkan hingga 6oC dari suhu eksisting.
155
Lintang Utara (derajat)
(a)
(b) 41 43 42 42 41
36 37 35
29 30
36
31
41
29
32 33
31 35
32
30
34 33
31
30
29
32
30
31 29 30
29 28
Bujur Timur (derajat)
Bujur Timur (derajat)
( oC )
Gambar 84 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario musim hujan saat perbani dengan input suhu buangan air pendingin yang berbeda (a) suhu 38oC (b) suhu 44oC 4.9.2
Pendalaman Kolam Pendingin Pengaruh pendalaman kolam pendingin dari 2 m menjadi 4 m terhadap
sebaran suhu di perairan sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dapat diketahui dengan membandingkan Gambar 85a dan 85b di bawah. Dimana Gambar 85a menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario setelah dilakukan pendalaman, sementara Gambar 85b menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi sebelum dilakukan pendalaman. Hasil simulasi menunjukkan adanya perbedaan pola sebaran suhu antara sebelum dan sesudah pendalaman kolam pendingin. Perbedaan terutama terlihat di dalam kolam dan di muara kanal pendingin dengan suhu lebih rendah untuk kondisi setelah dilakukan pendalaman. Dimana pada bagian tengah kolam pendingin pada
156
skenario setelah dilakukan pendalaman suhu dominan adalah 42oC sementara untuk skenario sebelum pendalaman suhu dominan di lokasi ini adalah 41oC (perhatikan garis isothermal untuk masing-masing gambar). Kondisi yang sama juga ditemukan di Muara Kanal Pendingin, dimana suhu di lokasi ini lebih rendah untuk skenario setelah pendalaman. Penurunan suhu akibat pendalaman kolam pendingin ini terjadi karena massa air laut yang berasal dari muara kanal pendingin yang masuk ke dalam kolam pendingin lebih besar sementara volume buangan air pendingin tetap sehingga proses percampuran buangan air pendingin dengan air yang lebih dingin tersebut semakin banyak terjadi.
Lintang Utara (derajat)
(a)
41
(b)
43 41 42
42 43
40 42
29 41 32 36 33 35 34
41 36 35 34
33 32
29 30
30 31
32 33
31
29
33
29
30
30
32
31 30 29
31 30 29
Bujur Timur (derajat)
Bujur Timur (derajat)
( oC )
Gambar 85 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pendalaman kolam pendingin (a) setelah pendalaman menjadi 4 m (b) sebelum pendalaman
157
4.10.3
Perluasan Kolam Pendingin Pengaruh perluasan kolam pendingin terhadap sebaran suhu di perairan
sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL dapat diketahui dengan membandingkan Gambar 86a dan 86b di bawah. Dimana Gambar 86a menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario setelah dilakukan perluasan kolam pendingin, sementara Gambar 86b menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi sebelum dilakukan perluasan kolam pendingin.
Lintang Utara (derajat)
(a)
(b)
40
41
42
39 37
42
38 37 35
40
30
30 31
31 32
34
32
35 33 34
33 332 32 32 31
31 30
30
Bujur Timur (derajat)
Bujur Timur (derajat)
( oC )
Gambar 86 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah perluasan kolam pendingin (a) setelah perluasan kolam pendingin (b) sebelum perluasan kolam pendingin Komparasi dari kedua gambar tersebut menunjukkan adanya penurunan suhu yang relatif besar setelah dilakukan perluasan kolam pendingin, hal ini terutama
158
terlihat pada pola isotherm di muara kanal pendingin dimana sebelum perluasan suhu yang tercatat adalah 40 oC dan setelah perluasan suhu tercatat turun menjadi 37 oC. Penurunan suhu ini disebabkan oleh volume buangan air pendingin yang sampai ke muara kanal setelah perluasan kolam pendingin lebih kecil dibandingkan sebelum perluasan kanal, dimana dengan perluasan kolam pendingin maka sebagian massa air pendingin akan bergerak mengisi kolam pendingin yang telah diperluas tersebut. 4.10.4 Pelebaran Kanal Pendingin Untuk mengetahui pengaruh pelebaran kanal pendingin terhadap sebaran suhu di perairan sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL, maka dilakukan simulasi dengan input data dimana kanal pendingin dilebarkan dan selanjutnya hasil simulasi tersebut dibandingkan dengan hasil simulasi sebelum pelebaran kanal pendingin. Gambar 87a di bawah menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi untuk skenario setelah dilakukan pelebaran kanal pendingin, sementara Gambar 87b menunjukkan pola sebaran suhu hasil simulasi sebelum dilakukan pelebaran kanal pendingin. Perbandingan antara Gambar 87a dengan Gambar 87b di bawah menunjukkan terjadinya penurunan suhu yang cukup signifikan dengan melakukan pelebaran kanal. Penurunan suhu ini dapat dilihat terutama di muara kanal pendingin, dimana pola isotherm yang tercatat sebelum pelebaran kanal (87b) adalah 39oC dan setelah pelebaran kanal suhu turun menjadi 36oC (87a), dengan kata lain terjadi penurunan suhu hingga ±3oC setelah dilakukan pelebaran kanal. Terjadinya penurunan suhu setelah dilakukan pelebaran kanal pendingin disebabkan oleh adanya pengaruh gaya pasut (T) yang cukup kuat sebanding dengan limpasan air dari buangan air pendingin (RR) yang menyebabkan muara kanal berosilasi. Energi pasut yang kuat dan melawan gesekan dasar akan menimbulkan turbulen eddy. Turbulen eddy yang terjadi kehilangan energi kinetik melawan gradien densitas sehingga meningkatkan energi potensial kolom air laut. Turbulen eddy mengangkat air laut ke atas dan energi potensial membawa air tawar ke bawah. Dalam hal ini terjadi proses dua arah (2 ways process) sehingga menyebabkan terjadinya percampuran yang lebih kuat antara buangan air pendingin dengan air laut.
159
Lintang Utara (derajat)
(a)
(b)
42
42
42
38
39
30
36
31
35
30 31
35
32 33
32 34
34
33
33 32
32
31 30
31 30
Bujur Timur (derajat)
Bujur Timur (derajat)
( oC )
Gambar 87 Perbandingan pola sebaran suhu hasil simulasi antara kondisi eksisting dengan kondisi setelah pelebaran kanal pendingin (a) setelah pelebaran kanal pendingin (b) sebelum pelebaran kanal pendingin 4.10.5
Regulasi Buangan Air Pendingin Selama ini PT. Badak NGL melakukan evaluasi hasil pemantauan kualitas air
limbah dengan menggunakan Baku Mutu Lingkungan (BML) yang mengacu pada SK Gubernur Kalimantan Timur No. 26 Tahun 2002 Lampiran I butir 30 (Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Pengilangan LNG dan LPG Terpadu) (PT. Badak NGL 2008). SK Gubernur ini diberlakukan dari outfall buangan air pendingin sampai Muara Kanal Pendingin. Hal ini karena pihak perusahaan menganggap wilayah tersebut masih merupakan bagian dari proses pengolahan buangan air pendingin.
160
SK Gubernur Kaltim No. 26 Tahun 2002 ini menetapkan baku mutu limbah cair untuk parameter suhu bagi kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu sebesar 45oC. Penetapan baku mutu untuk parameter suhu dalam SK Gubernur ini masih memenuhi kriteria baku mutu untuk parameter suhu yang diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 4 Tahun 2007 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu, yang menetapkan batas suhu maksimum yang sama yakni 45oC. Dengan demikian suhu buangan air pendingin PT. Badak NGL yang mencapai suhu 42oC dalam kolam pendingin dan 41oC di muara kanal pendingin (zona terdampak) dianggap memenuhi standar baku mutu yang ada. Penerapan SK Gubernur Kaltim oleh PT. Badak NGL dalam pemantauan kualitas air limbah di dalam Kolam Pendingin sampai Muara Kanal Pendingin ini bertentangan dengan Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 terutama Lampiran III (untuk Biota Laut) mengingat di lokasi buangan air pendingin tersebut terdapat biota laut yakni mangrove. Dimana dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran III hanya diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami, dalam kasus ini suhu alami Perairan Bontang berkisar antara 28.3-29.3oC. Dengan kata lain kenaikan suhu air laut di Kolam Pendingin sampai Muara Kanal Pendingin telah jauh melampaui baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH ini. Dampak yang ditimbulkan dari pemberlakuan SK Gubernur di dalam Kolam Pendingin sampai Muara Kanal Pendingin adalah terganggunya ekosistem mangrove. Hal ini didasarkan pada dokumen Pertamina 2003 yang melaporkan bahwa sekitar 75 000 m2 mangrove mengalami kematian akibat buangan air pendingin, dengan rincian panjang areal mangrove (antara Sekambing Baltim sampai pertemuan outfall kanal A-H) yang mati 1 500 m dan lebar sekitar 50 m. Selain itu pemberlakuan SK Gubernur tersebut juga berdampak pada terganggunya komunitas fitoplankton di Kolam Pendingin, sebagaimana telah dijelaskan pada bagian sebelumnya dari penelitian ini. Dengan demikian pemberlakuan regulasi untuk limbah cair dalam hal ini buangan air pendingin PT.
161
Badak NGL khususnya parameter suhu perlu dievaluasi kembali oleh pihak yang berkompeten. Berbeda dengan evaluasi Baku Mutu Limbah Cair, untuk evaluasi hasil pemantauan kualitas air laut, PT. Badak NGL menerapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup No. 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut Lampiran I (untuk Perairan Pelabuhan) (PT. Badak NGL 2008). Kepmen LH ini diberlakukan pada perairan di luar Muara Kanal Pendingin, termasuk pelabuhan dan sekitarnya. Baku Mutu yang ditetapkan untuk parameter suhu dalam Lampiran I (untuk Perairan Pelabuhan) dan Lampiran III (untuk Biota Laut) dari Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 adalah sama yakni diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami. Dengan demikian dalam penelitian ini tidak dipermasalahkan penggunaan Lampiran I tersebut untuk evaluasi kualitas air laut meskipun terdapat permasalahan mengingat perairan yang di dalamnya terdapat biota laut lebih luas dibandingkan dengan luas pelabuhan PT. Badak NGL itu sendiri. Berdasarkan hasil simulasi dan hasil pengukuran yang diperoleh untuk parameter suhu, maka jika Kepmen LH tersebut diberlakukan, setengah daerah model telah melebihi baku mutu yang telah ditetapkan dalam Kepmen LH tersebut (lihat pola isotherm pada gambar-gambar bagian Subbab 4.3). Dimana suhu yang diperbolehkan di Perairan Bontang menurut penafsiran Kepmen LH ini adalah >31.3oC (suhu alami Perairan Bontang berkisar antara 28.3-29.3oC). Terdapat dua sisi yang perlu ditinjau dalam kasus ini, yakni : dari sisi teknologi, rancangan pembuangan air pendingin dari perusahaan sudah mencapai titik keekonomisan. Pada titik ini, kenaikan temperatur air paling rendah selama proses pembuangan panas sudah tertentu. Pertimbangan utama penetapan kenaikan temperatur air adalah dimensi alat pembuangan panas yang disebut sebagai kondensor. Jika kenaikan ini terlalu rendah atau diturunkan, dimensi kondensor akan menjadi sangat besar yang menyebabkan biaya produksi gas menjadi tinggi (Ardiansyah 2006). Di sisi lain, pembuangan panas oleh perusahaan ke lingkungan akan menyebabkan terganggunya biota di sekitarnya.
162
Salah satu yang menjadi landasan pertimbangan dikeluarkannya Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 adalah untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan laut dengan melakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak lingkungan laut (Kepmen LH No. 51 Tahun 2004). Dalam hal ini untuk meminimalisasi dampak negatif dari buangan air pendingin, keputusan tersebut mensyaratkan kenaikan temperatur maksimal untuk biota laut sebesar 2°C. Jadi dalam hal ini, terdapat dua sisi yang saling bertolak belakang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kenaikan suhu hingga 35.30oC (∆T=6 7oC) di Sekambing Muara telah menyebabkan kematian terhadap terumbu karang, sementara kenaikan suhu sampai 33.30oC (∆T=4-5oC) hanya menyebabkan gangguan sedang hingga matinya terumbu karang. Sementara untuk fitoplankton, gangguan terhadap komunitas ini terjadi pada perairan yang mengalami kenaikan suhu hingga 37.91oC (∆T=9.61 -10.61oC). Dengan demikian baku mutu untuk parameter suhu yang diatur dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 yang menetapkan hanya diperbolehkan terjadi perubahan suhu <2oC dari suhu alami untuk biota laut menurut hasil penelitian ini terlalu ketat khususnya bagi terumbu karang dan fitoplankton. Berdasarkan hasil penelitian diatas (hasil simulasi pola sebaran suhu) dan kondisi faktual di lokasi penelitian, maka suhu di perairan dimana buangan air pendingin dilepas (outfall 1 dan outfall 2) perlu dilihat sebagai suhu ambien karena selain wilayah perairan ini masih dipengaruhi oleh kondisi pasang surut perairan sehingga tidak dapat dikategorikan sabagai bagian dari Instalasi Pengelolaan Air Limbah (IPAL), di perairan ini juga ditemukan adanya biota laut. Sehingga peraturan yang harus diterapkan berkaitan dengan suhu buangan air pendingin adalah peraturan yang memandang wilayah perairan tersebut berkedudukan sebagai perairan dengan suhu ambien. Dalam konteks ini peraturan yang tepat diberlakukan di wilayah buangan air pendingin (outfall 1 dan outfall 2) tersebut adalah Kepmen LH No. 52 Tahun 2004 yang membatasi kenaikan suhu akibat buangan air pendingin maksimal 2 o
C dari suhu alami perairan. Terkait adanya dua regulasi yang mengatur tentang buangan air pendingin dan
lingkungan perairan seperti diuraikan diatas, maka PT. Badak NGL dalam perspektif
163
Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 04 Tahun 2007 tentang baku mutu air limbah bagi usaha dan/atau kegiatan pengilangan LNG dan LPG terpadu, masih memenuhi standar suhu maksimum yang ditetapkan yakni suhu maksimum 45oC. Namun dalam perspektif Kepmen LH No. 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut yang hanya memperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2oC dari suhu alami, keberadaan buangan air pendingin PT. Badak NGL tersebut menjadi bermasalah, hal ini disebabkan oleh fakta yang menunjukkan bahwa terjadi kenaikan suhu >2oC (melebihi baku mutu) akibat buangan air pendingin ke perairan dengan suhu ambien. Dengan kata lain dalam kasus ini disatu sisi PT. Badak NGL telah memenuhi baku mutu yang telah ditetapkan dalam Permen LH No. 4 Tahun 2007 (suhu maksimum 45oC), namun di sisi lain tidak memenuhi baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 (kenaikan suhu <2oC). 4.11
Implikasi Buangan Air Pendingin Terhadap Tata Ruang Kota Bontang Luas wilayah Kota Bontang relatif sangat kecil yakni ±49 757Ha yang terdiri
dari daratan seluas ±14 780Ha (29.70%) dan lautan seluas 34 977Ha (70.30%). Wilayah daratannya hampir tidak memiliki potensi sumberdaya alam yang dapat dikembangkan, selain karena sebagian besar diantaranya merupakan wilayah perusahaan, hutan lindung dan permukiman, juga karena memiliki tingkat kesuburan tanah yang relatif kurang baik. Satu-satunya potensi sumberdaya alam yang dimiliki Kota Bontang adalah wilayah pesisir dan laut yang kaya akan sumber daya laut seperti ikan, rumput laut, padang lamun, hutan mangrove, teripang, dan biota laut lainnya. Kondisi inilah yang menjadikan pemerintah Kota Bontang menjadikan sektor kelautan sebagai sumberdaya alternatif untuk pembangunan Kota Bontang secara berkelanjutan. Optimalisasi pemanfaatan sumberdaya pesisir dan lautan Kota Bontang dapat dilakukan dengan memperhatikan segala aspek yang dapat mempengaruhi kualitas sumberdaya wilayah perairan baik langsung maupun tidak langsung. Dalam hal ini eksistensi PT. Badak NGL sebagai perusahaan yang membuang limbahnya berupa air pendingin (cooling water) ke wilayah perairan perlu dikaji untuk selanjutnya
164
dipertimbangkan dalam penyusunan tata ruang Kota Bontang, sehingga pemanfaatan ruang dapat dioptimalkan sebaik mungkin. Hasil simulasi dengan menggunakan model POM berupa pola dispersi panas secara spasial dan temporal yang diperoleh dapat dijadikan sebagai acuan dalam pemanfaatan ruang di sekitar buangan air pendingin secara optimal. Dalam hal ini hasil simulasi dapat memberi informasi tentang identifikasi ruang pesisir mana yang masih dapat dimanfaatkan dan yang tidak dapat dimanfaatkan. Dalam perspektif buangan air pendingin, dapat diketahui bahwa untuk kawasan Teluk Nyerakat dari tengah hingga ujung teluk masih memiliki kondisi suhu yang relatif sama dengan suhu alami perairan sehingga potensi pemanfaatan ruang untuk aktifitas budidaya masih baik seperti budidaya rumput laut seperti yang dilakukan saat ini. Demikian pula dengan perairan di bagian utara daerah model masih dapat dilakukan pemanfaatan terbatas tanpa terganggu oleh pengaruh fluktuasi kenaikan suhu. Sementara untuk perairan di depan muara kanal pendingin hingga Pulau Sieca (arah timur) dan sebelum memasuki Teluk Nyerakat (arah selatan) dengan kondisi suhu yang relatif lebih tinggi dari suhu alami perairan hanya dapat dimanfaatkan untuk kegiatan tertentu yang tidak beresiko terhadap fluktuasi kenaikan suhu perairan. Optimalisasi pemanfaatan ruang di sekitar buangan air pendingin dapat pula dilakukan dengan menggunakan buangan air pendingin tersebut untuk aktifitas budidaya perairan. Hal ini dapat dilakukan mengingat beberapa jenis ikan memerlukan kondisi suhu yang stabil untuk dapat tumbuh secara optimal. Pemanfaatan buangan air pendingin untuk budidaya ikan telah dilakukan untuk kepentingan komersial
pada sebuah kanal buangan pembangkit listrik di Teluk
Colorado, Texas Barat (Pilgrim 1975). Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan energi panas dari buangan air pendingin dengan mengkonversi energi tersebut untuk mengontrol suhu yang tepat bagi pertumbuhan ikan selama musim gugur, musim dingin
dan
musim
semi.
165
166
5. KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
1. Pola sebaran suhu permukaan dan struktur vertikal suhu akibat buangan air pendingin (cooling water) di Perairan Bontang sangat dipengaruhi oleh kondisi pasang surut perairan terutama pada saat pasut purnama, dimana pada saat surut massa buangan air pendingin dominan bergerak ke arah lepas pantai (offshore), sementara pada saat pasang bergerak ke arah kolam pendingin. 2. Kenaikan suhu perairan di sekitar PT. Badak NGL pada level tertentu berdampak negatif terhadap fitoplankton dan terumbu karang. Kenaikan suhu perairan hingga 37.91oC menyebabkan berkurangnya jumlah spesies dan kelimpahan fitoplankton secara signifikan. Sementara suhu rata-rata tahunan sebesar 34.31oC dengan suhu maksimum 35.3oC dan suhu minimum 33.2oC menyebabkan kematian terumbu karang, dan suhu rata-rata tahunan sebesar 32.11oC dengan suhu maksimum 33.3oC dan suhu minimum 30.3oC menyebabkan kerusakan sedang hingga mati. 3. Kondisi perairan di sekitar buangan air pendingin PT. Badak NGL menunjukkan adanya zona terdampak baik berdasarkan hasil analisis maupun berdasarkan baku mutu yang ditetapkan dalam Kepmen LH No. 51 Tahun 2004 dengan luasan yang berbeda untuk setiap kondisi pasut.
5.2 Saran 1. Perlu pengembangan model dispersi thermal dengan mengintegrasikan indikatorindikator biota laut dalam model untuk merumuskan kebijakan yang efisien berhubungan dengan buangan air pendingin (cooling water) di wilayah pesisir. 2. Metode penelitian ini perlu diterapkan pada daerah dimana terdapat biota laut yang lebih kompleks di sekitar buangan air pendingin, sehingga konsep pengelolaan wilayah pesisir dengan metode ini dapat dirumuskan secara lebih komprehensif.
165
167
3. Perlu kajian yang lebih komprehensif tentang buangan air pendingin (cooling water) terutama berkaitan dengan parameter suhu sehingga dalam tataran aplikasi tidak saling kontradiktif antara peraturan yang satu dengan peraturan lainnya.
168
DAFTAR PUSTAKA
Abbaspour, M., A.H. Javid, P. Moghimi, and K. Kayhan. 2005. Modeling of Thermal Pollution in Coastal Area and its Economical and Environmental Assessment. Journal of Environmental Scince and Technology 2: 13-26. Aoki, K., A. Isobe. 2007. Application of Finite Volume Coastal Ocean Model to Hindcasting the Wind-Induced Sea-Level Variation in Fukuoka Bay. Journal of Oceanography 63: 333-339. Ardiansyah, W. 2006. Pengaruh Kenaikan Temperatur Air Pendingin terhadap Karakteristik Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Workshop Dampak Sirkulasi Air Pendingin pada Ekosistem Laut. Bandung. Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Kota Bontang (Bappeda Kota Bontang). 2005. Penyusunan Master Plan Kawasan Pesisir Kota Bontang. Bontang. Barron, S., C. Weber, R. Marino, E. Davidson, G. Tomasky and R. Howart. 2002. Effect of Varying Salinity on Phytoplankton Growth in a Low-Salinity Coastal Pond Under Two Nutrient Conditions. Biology Bulletin 203: 260-261 Bouman, H. A., T. Platt, S. Sathyendranath, W. K. W. Li, V. Stuart, C. F Yaco, H. Maasss, E. P. W. Horne, O. Ulloa, V. Lutz, and M. Kyewalyangan. 2003. Temperature as Indicator of Optical Properties and Community Structure of Marine Phytoplankton: Implications for Remote Sensing. Journal of Marine Ecology 258: 19-30. Brown, B. E., I. Ambarsari, M.E. Warner, W.K. Fitt, R.P. Dunne, S.W. Gibb, and D.G. Cummings. 1999. Diurnal changes in photochemical efficiency and xanthophyll concentrations in shallow water reef corals: evidence for photoinhibition and photoprotection. Coral Reefs 18: 99-105. Chuang, Y., H. Yang, and H. Lin. 2009. Effect of a Thermal Discharge from a Nuclear Power Plant on Phytoplankton and Periphyton in Subtropical Coastal Waters. Journal of Sea Research 61: 197-205. Coles, S.L. 1985. The effect of elevated temperature on reef coral planula settlement as related to power station entraintment. Proceedings of the Fifth International Coral Reff Congress 4: 171-176. Coles, S.L. 1975. Comparasion of effects of elevated Temperature fluctuations on reef corals at Kahe Point, Oahu. Pacific Science 29: 15-18 Coles, S.L., P.L. Jokiel and C.R. Lewis. 1976. Thermal Tolerance in Tropical Versus Subtropical Pacific Reef Corals. Pacific Science 30: 159-166.
169
Dahuri R, J. Rais, P.G. Sapta, M. Sitepu. 2001. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara terpadu (Edisi Revisi). Saptodadi. Jakarta. Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Bontang (DKP Kota Bontang). 2007. Penyusunan Database Pesisir dan Laut Kota Bontang. Bontang Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan Sumber Daya dan 167 Lingkungan Perairan. Kanisius. Yogyakarta English, S., C. Wilkinson, and Baker. 1994. Survey Manual for Tropical Marine Resources. ASEAN-Australia Marine Science Project: Living Coastal Resources. Australian Institute of Marine Science, Townsville. Australia. Eriyatno. 1999. Ilmu Sistem: Meningkatkan Mutu dan Efektivitas Manajemen. IPB Press. Bogor GESAMP. 1984. Thermal Discharge in the Environment. Report of studies GESAMP (24) : 44. Grigg, R.W. & S.J. Dollar. 1990. Natural and Anthropogenic Disturbance on Coral Reefs. In: Coral reefs (Z. Dubinsky ed.). Science Publisher. 21: 439-452. Hadi, S. 2000. Pengembangan Model Matematik dan Penerapan SIG untuk Menunjang Rencana Strategis Penanggulangan Tumpahan Minyak Di Selat Malaka, Selat Lombok dan Selat Makassar. Laporan Akhir RUT VII, Kantor Menteri Negara Riset dan Teknologi, Dewan Riset Nasional Hamrick, J.M. & W.B. Mills. 2000. Analysis of Water Temperatures in Conowingo Pond as Influenced by the Peach Bottom Atomic Power Plant Thermal Discharge. Journal of Environmental Science and Policy 3: 197-209. Hood, R.R., M.R. Abbott and A. Huyer. 1991. Phytoplankton and Photosinthetic Light Response in the Coastal Transition Zone off Nothern California in June 1987. Journal of Geophysical Research 96: 766-780. HydroQual, Inc. 2002. User Manual a Primer for POM, Version 1.3, Mahwah, New Jersey, USA. Huang, L., W. Jian, X. Song, X. Huang, S. Liu, P. Qian, K. Yin, and M. Wu. 2004. Spesies Diversity and Distribution for Phytoplankton of the Pearl River Estuary During Rainy and Dry Season. Marine Pollution 49: 588-596. Hutabarat, S., S.M. Evans. 2008. Pengantar Oseanografi. UI-Press. Jakarta. Jomes, C. 1979. Identifying Marine Phytoplankton, Academic Press Harcourt Brace and Company, San Diego California. Kasman. 2006. Prediksi Tidal Front di Selat Malaka. Tesis. Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral, Institut Teknologi Bandung, Bandung. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 51 Tahun 2004 tentang Baku Mutu Air Laut.
170
Kolehmainen, S.E., T.O. Morgan, and R. Castro. 1974. Mangrove Root Communities in a Thermally Altered Area in Guayanita Bay, Puerto Rico. Proceeding Aec. Conference. 730505: 371-390. Laboratorium PT. Badak NGL (Lab. PT Badak NGL). 2008. Laporan Data Curah Hujan. Bontang. Lalli, C.M., and T.R. Pearsons. 1995. Biologycal Oceanography, an Introduction. Butterworth-Heinemann, Oxford. Li, T., S. Liu, L. Huang, H. Huang, J. Lian, Y. Yan, and S. Lin., 2011. Diatom to Dinoflagellate Shift in the Summer Phytoplankton Community in a Bay Impacted by Nuclear Power Plant Thermal Effluent. Marine Ecology Progress Series 424: 75-85 Ma, S.W.Y., C.S.W. Kueh, G.W.L. Chiu, S.R. Wild, and J.Y. Yip., 1999. Environmental Management of Coastal Cooling Water Discharges in Hong Kong. Water Science and Technology 38: 8-9. Mellor, G.L., 2003. Users Guide for a Three-Dimensional, Primitive Equation, Numerical Ocean Model, Program in Atmospheric and Oceanic Sciences, Princeton University. Mihardja D.K., 2006. Presentasi Seminar Dampak Sirkulasi Air Pendingin terhadap Ekosistem Laut, Aula Barat ITB. Maderich, V., R. Bezhenar, I. Brovchenko, R. Heling, H. Jenner, A. Kuschan, Koshebutskyy, and K. Terletska. 2008. Development and Application of 3D Numerical Model THREETOX to the Prediction of Cooling Water Transport and Mixing. Hydrological Process 22: 1000-1013. May, C.L, J.R. Koseff, L.V. Lucas, J.E. Cloern, and D.H. Schoellhamer. 2003. Effects of Spatial and Temporal Variability of Turbidity on Phytoplankton Blooms. Journal of Marine Ecology Progress 254: 111-128. Naik, S., B.C. Acharya and A. Mohapatra. 2009. Seasonal Variations of Phytoplankton in Mahanadi Estuary, East Coast of India. Indian Journal of Marine Science 38: 184-190 Nontji, A. 1984. Biomassa dan Produktifitas Fitoplankton di Perairan Teluk Jakarta serta Keterkaitannya dengan Factor-Faktor Lingkungan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Neudecker, S. 1981. Growth and survival of scleractinion corals exposed to thermal effluents at Guam. Proc. Fourth International Coral Reef Symposium. Manila, Philippines. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup (Permen LH) Nomor 4 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Air Limbah Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Minyak dan Gas serta Panas Bumi. Pilgrim, L. 1975. Aquaculture in Power Plant Effluent. Texas Water Resources 1: 11
171
Poornima, E.H., M. Rajadurai, T.S. Rao, B. Anupkumar, R. Rajamohan, S.V. Narasimhan, V.N.R. Rao, V.P. Venugopalan. 2005. Effect of Thermal Discharge from a Tropical Coastal Power Plant on Phytoplankton. Journal of Thermal Biology 30: 307-316 Poornima, E.H., M. Rajadurai, V.N.R. Rao, S.V. Narasimhan, V.P. Venugopalan. 2006. Use of Coastal Waters as Condenser Coolant in Electric Power Plants : Impact on Phytoplankton and Primary Productivity. Journal of Thermal Biology 31: 556-564 Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi (Pertamina). 2003. Proyek Perluasan Kilang LNG (Train-I), Bontang – Kalimantan Timur. Laporan Akhir Analisis Dampak Lingkungan. Jakarta PT. Badak NGL. 2008. Laporan Akhir, Pemantauan Lingkungan Hidup di PT. Badak NGL Bontang Tahun 2008. Bontang PT. Badak NGL. 2009. Laporan Akhir, Pemantauan Lingkungan Hidup di PT. Badak NGL Bontang Tahun 2009. Bontang Roessler, W.W. and J.C. Zieman Jr. 1969. The effects of thermal additions on the biota of southern Biscayne Bay, Florida. Prociding Gulf Caribbean 22: 183189. Sahlan, M. 1972. Planktonologi. Correspondence Cource Centre. Direktorat Jenderal Perikanan, Departemen Pertanian, Jakarta. Saravanan, P., A.M. Priya, B. Sundarakrisnan, V.P. Venugopalan. 2008. Effect of Thermal Discharge from Nuclear Power Plant on Culturable Bacteria at a Tropical Coastal Location in India. Journal of Thermal Biology 33: 385-394 Sasongko dan Rahmat. 2004. Pemetaan sebaran amonia dan debu urea di udara sekitar PT Pupuk Kaltim, Kota Bontang, Propinsi Kalimantan Timur. Kerjasama antara PT Pupuk Kaltim Tbk dengan Pusat Penelitian Lingkungan Hidup, Lembaga Penelitian, Universitas Diponegoro. Shahidi, A.E., M.J. Zoghi, M. Saeedi. 2010. An Alternative Data Driven Approach for Prediction of Thermal Discharge Initial Dilution Using Tee Diffusers. International Journal Environmental Science and Technology. 7(1): 29-36. Smith, S.V., and R.W. Buddemeier. 1992. Global Change and Coral Reef Ecosystems. Annual Revolution Ecologycal System 23: 89-118. Soewarno. 1991. Hidrologi. Pengukuran dan Pengolahan Data Aliran Sungai (Hidrometri). Nova. Bandung Sumich, J.L. 1992. An Introduction to The Biology Marine Life. Fifth Edition. WCB WM.C. Brown Publisher. Tambaru, R. 2008. Dinamika Komunitas Fitoplankton Dalam Kaitannya dengan Produktifitas Perairan di Perairan Pesisir Maros, Sulawesi Selatan. Disertasi. Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor.
172
Thurman, H.V. 1993. Essential of Oceanography. Macmillan Publishing Company. Wyrtki, K. 1961. Physical Oceanography of the Southeast Asian Water. Naga Report (2) University of California, Scripps Institution of Oceanography, La Jalla, California. Wu, J., E.M. Buchak, J.E. Edinger, and V.S. Kolluru. 2001. Simulation of Cooling Water Discharges from Power Plants. Journal of Environmental Management 61: 77-92. Yamaji, I. 1979. Ilustration of the Marine Plankton of Japan. Hoikusha Publishing Co. Osaka Japan. You, J., H. Li. 2009. CFD-Based Prediction on Thermal Pollution. Journal of Environtal Science&Technology 978: 1-4 Zuzuki, K., N. Handa, H. Kiyosawa, and J. Ishizaka. 1997. Temporal and Spatial Distribution of Phytoplankton Pigment in the Central Pacific Ocean along 175 oE during the Boreal Summers of 1992 and 1993. Journal of Oceanography 53: 383-396.
Lampiran 1. Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Sekangat selama 29 hari (29 piantan) Latitude : 00o 45’ 17.6” N Longitude : 117o 28’ 40.9” E Kedalaman laut : 0.9 m diukur pada saat surut maksimum Jam
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
13-Sep-08
161
181
216
248
272
280
268
246
211
172
148
133
132
144
174
210
243
253
249
231
202
165
139
127
14-Sep-08
134
163
202
239
276
295
289
268
229
189
143
115
114
134
161
202
247
270
275
257
225
182
140
113
15-Sep-08
108
130
172
215
264
293
305
285
248
201
149
119
107
120
145
190
243
282
298
289
255
206
153
114
16-Sep-08
96
108
145
198
246
292
309
302
268
218
160
128
102
110
134
183
235
286
315
317
288
246
195
141
17-Sep-08
103
105
125
173
224
268
297
308
288
246
187
136
103
100
121
159
218
270
309
329
309
274
223
165
18-Sep-08
122
100
109
137
190
239
268
292
280
251
195
152
118
96
102
140
196
250
298
326
320
290
247
204
19-Sep-08
140
121
125
137
165
208
239
265
273
245
213
176
136
98
102
130
172
226
279
314
323
303
286
243
20-Sep-08
180
157
138
119
154
196
227
249
254
244
214
187
144
108
90
109
155
206
256
289
310
309
285
257
21-Sep-08
202
179
150
155
160
182
201
214
224
232
222
197
164
127
125
133
162
194
212
259
285
296
288
266
22-Sep-08
238
204
183
179
172
180
193
209
218
217
206
193
167
158
149
156
146
180
212
226
250
264
270
264
23-Sep-08
251
245
228
216
200
198
202
204
188
192
191
188
185
181
169
153
164
176
181
204
216
229
240
244
24-Sep-08
239
238
241
236
229
216
211
202
190
179
173
175
179
189
193
184
195
194
189
187
197
198
201
211
25-Sep-08
225
247
249
250
252
243
224
209
190
167
162
156
164
183
208
215
216
221
209
201
181
177
171
169
26-Sep-08
194
224
251
264
277
271
252
231
189
169
148
147
179
200
230
252
253
241
231
220
185
160
138
157
27-Sep-08
168
188
229
264
292
298
279
251
205
184
156
130
139
156
201
236
274
280
271
243
207
169
147
129
28-Sep-08
133
169
211
253
288
302
281
267
215
185
148
121
110
135
185
232
274
299
297
275
235
185
139
118
29-Sep-08
116
139
177
225
275
306
296
283
240
196
150
118
114
133
167
217
257
302
319
305
265
220
162
120
30-Sep-08
105
142
184
221
250
287
300
289
156
140
131
123
103
137
157
198
250
306
323
311
240
191
154
112
Tanggal
173
Lampiran 1. (Lanjutan) Hasil Pengukuran Pasang Surut di Pelabuhan Sekangat selama 29 hari (29 piantan) Latitude : 00o 45’ 17.6” N Longitude : 117o 28’ 40.9” E Kedalaman laut : 0.9 m diukur pada saat surut maksimum Jam
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
01-Oct-08
101
114
139
173
220
252
290
295
270
244
216
198
171
145
101
176
262
292
314
326
302
286
204
163
02-Oct-08
116
132
157
181
212
249
276
285
267
241
205
153
115
100
155
195
224
265
299
327
311
292
237
183
03-Oct-08
137
139
156
186
203
228
252
268
289
246
205
172
134
107
129
151
183
245
295
313
316
295
269
221
04-Oct-08
161
168
171
179
187
207
233
249
259
246
212
179
148
135
131
151
187
230
271
300
306
295
268
240
05-Oct-08
199
160
134
155
181
201
227
237
245
247
224
194
162
143
131
144
173
217
248
281
292
288
265
252
06-Oct-08
210
201
187
176
191
204
219
237
228
300
211
182
168
148
144
151
166
182
235
253
272
279
267
254
07-Oct-08
228
212
205
189
191
208
200
214
221
191
199
185
179
152
160
168
177
194
217
238
249
258
255
248
08-Oct-08
233
228
223
231
212
207
204
209
212
203
197
190
185
179
181
185
194
200
208
216
224
235
231
228
09-Oct-08
221
214
219
227
233
221
202
208
193
185
188
192
197
191
200
196
182
189
194
201
207
205
204
200
10-Oct-08
223
231
237
224
215
210
221
202
154
159
161
168
179
192
208
229
231
227
217
206
189
185
180
187
11-Oct-08
207
228
235
232
217
224
239
211
179
160
150
159
178
198
245
256
253
250
239
211
187
168
154
160
Tanggal
174
175
Lampiran 2 Sebaran suhu permukaan hasil pengukuran saat purnama (3 Oktober 2008) dan saat perbani (10 Oktober 2008) di beberapa stasiun pengamatan No
Stasiun
Koordinat
1
Outfall 1
N: 00o06’11.8” E:117o25’48.4”
2
Outfall 2
N: 00o05’51.3” E:117o27’27.6”
3
Pelabuhan Baltim
Suhu (oC) Waktu Purnama Perbani 8:00 43.7 44.0 8:30
38.4
38.3
o
o
9:00
36.5
36.2
o
o
N: 00 04’32.5” E:117 26’28.8”
4
Muara Outfall 1
N: 00 05’12.5” E:117 26’58.2”
9:30
43.3
43.7
5
Sekambing Bulu
N: 00o05’51.8” E:117o25’47.9”
10:00
39.6
39.4
6
Muara outfall 1 dan 2
N: 00o04’31.5” E:117o27’28.8”
10:30
41.0
41.1
7
Kanal Pendingin
N: 00o04’52.4” E:117o27’30.2”
11:00
39.0
41.0
8
M. Kanal Pendingin
N: 00o04’22.4” E:117o28’18.8”
11:30
35.4
41.0
o
o
9
Depan Dermaga
N: 00 04’23.5” E:117 28’38.2”
12:00
31.5
34.1
10
Sekambing Muara 1
N: 00o04’12.8” E:117o27’58.8”
12:30
35.2
34.5
11
Sekambing Muara 2
N: 00o03’58.5” E:117o28’18.4”
13:00
34.1
34.0
12
Teluk Sekangat
N: 00o03’12.8” E:117o26’57.6”
13:30
31.0
31.3
13
Stasiun 13
N: 00o03’56.8” E:117o28’28.8”
14:00
33.0
35.2
14
Pulau Sieca Depan
N: 00o03’42.6” E:117o28’40.5”
14:30
30.3
32.0
15:00
28.7
30.4
15
Pulau Sieca Belakang
o
o
N: 00 03’14.4” E:117 29’44.5”
176
Lampiran 3 Hasil pengukuran suhu (oC) dalam arah vertikal di Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) Latitude : 00o 05’ 00.6” N Longitude : 117o 28’ 41.9” E Kedalaman laut : 8 meter Waktu (jam)
Kedalaman (m) 0
2
4
6
Waktu (jam)
Kedalaman (m) 0
2
4
6
9:00
39.4 39.3 38.2 36.3
9:00
40.0 37.1 38.7 36.1
10:00
39.7 39.3 38.7 36.9
10:00
40.0 37.3 39.0 36.4
11:00
39.4 39.0 38.7 36.9
11:00
40.0 38.9 38.9 37.0
12:00
40.0 38.2 37.9 36.7
12:00
40.0 39.0 37.2 37.0
13:00
39.2 37.0 37.3 36.5
13:00
39.5 37.5 36.9 36.8
14:00
37.0 35.0 37.0 35.2
14:00
38.8 36.1 36.1 35.4
15:00
35.7 35.0 35.4 34.1
15:00
36.0 34.1 34.2 35.3
16:00
33.0 34.0 34.5 33.1
16:00
35.0 32.4 33.2 36.0
17:00
33.0 34.0 34.0 34.0
17:00
34.0 36.0 34.5 36.2
18:00
33.0 34.2 33.2 34.2
18:00
33.9 37.2 34.6 34.1
19:00
34.0 33.1 35.4 34.5
19:00
33.0 37.5 35.1 33.2
20:00
39.0 35.2 36.1 34.5
20:00
35.0 38.1 37.2 32.5
21:00
39.2 35.2 36.9 36.2
21:00
37.0 38.5 38.4 33.1
22:00
40.0 37.5 37.1 36.7
22:00
38.0 39.1 39.0 34.1
23:00
40.0 38.0 38.5 36.9
23:00
39.0 39.1 39.0 35.1
0:00
40.0 37.8 37.5 37.0
0:00
39.0 39.1 37.2 35.7
1:00
40.0 39.1 36.2 36.8
1:00
39.0 37.2 36.5 35.8
2:00
39.2 35.6 35.1 36.3
2:00
38.0 36.5 35.2 35.9
177
Lampiran 3 : (Lanjutan) Hasil pengukuran suhu (oC) dalam arah vertikal di Stasiun 8 (Muara Kanal Pendingin) 3:00
36.5 35.7 35.0 34.7
3:00
37.0 37.0 34.1 36.4
4:00
34.0 34.5 33.4 33.7
4:00
35.0 34.5 36.4 36.2
5:00
33.0 34.3 33.2 33.5
5:00
34.0 34.5 36.4 35.2
6:00
35.0 33.2 34.1 33.0
6:00
35.0 33.2 37.4 34.5
7:00
39.0 34.2 37.1 34.4
7:00
40.0 33.5 37.3 34.4
8:00
39.5 36.5 37.9 35.5
8:00
40.0 35.2 38.3 35.6
178
Lampiran 4 Suhu permukaan hasil simulasi pada titik verifikasi No
Stasiun
Suhu (oC) Purnama Perbani
1
Outfall 1
44
44
2
Outfall 2
39.1
39.2
3
Pelabuhan Baltim
36.4
35.4
4
Muara Outfall 1
43.7
43.9
5
Sekambing Bulu
41.7
41.6
6
Muara Outfall 1&2
41.6
41.4
7
Pertengahan Kanal
38.3
41.3
8
Muara Kanal
34.7
41.3
9
Depan Pelabuhan
30.3
32.6
10
Sekambing Muara 1
34.5
33.3
11
Sekambing Muara 2
33.9
33.9
12
Teluk Sekangat
31.4
30.2
13
Stasiun 13
32.1
33.1
14
Pulau Sieca Depan
31.8
31.8
15
Pulau Sieca Belakang
29.2
30.0
179
Lampiran 5
Suhu (oC) hasil simulasi per-layer pada titik verifikasi model
Hari Suhu hasil simulasi per-layer Hari Suhu hasil simulasi per-layer ke-1 ke-2 (Jam) (Jam) 1 2 3 4 1 2 3 4 9:00
39.92 39.10 38.66 35.51
9:00
39.87 38.97 38.53 35.44
10:00 39.99 39.31 38.92 35.96 10:00 39.97 39.26 38.86 35.87 11:00 39.98 39.30 38.93 36.28 11:00 39.98 39.32 38.95 36.23 12:00 39.76 38.96 38.62 36.39 12:00 39.86 39.11 38.76 36.41 13:00 38.90 37.98 37.70 36.21 13:00 39.28 38.40 38.09 36.33 14:00 37.06 36.32 36.16 35.68 14:00 37.78 36.94 36.74 35.93 15:00 35.08 34.65 34.60 34.68 15:00 35.70 35.20 35.12 35.08 16:00 33.97 33.61 33.59 33.70 16:00 34.30 33.92 33.89 34.02 17:00 33.38 33.13 33.10 33.11 17:00 33.56 33.26 33.23 33.29 18:00 33.17 33.03 33.01 32.84 18:00 33.20 33.01 32.99 32.90 19:00 34.70 34.22 34.06 33.04 19:00 33.38 33.25 33.21 32.83 20:00 39.12 37.59 37.08 34.13 20:00 37.70 36.30 35.89 33.58 21:00 39.82 38.74 38.23 34.86 21:00 39.57 38.26 37.74 34.55 22:00 39.96 39.17 38.72 35.44 22:00 39.87 38.93 38.46 35.15 23:00 40.01 39.31 38.90 35.93 23:00 39.96 39.19 38.77 35.67 0:00
39.97 39.21 38.84 36.21
0:00
39.97 39.21 38.82 36.05
1:00
39.64 38.73 38.39 36.26
1:00
39.80 38.93 38.58 36.21
2:00
38.64 37.67 37.40 36.04
2:00
39.15 38.19 37.88 36.14
3:00
37.05 36.28 36.12 35.55
3:00
37.91 37.01 36.79 35.82
4:00
35.58 35.12 35.04 34.85
4:00
36.50 35.85 35.71 35.28
5:00
34.87 34.53 34.47 34.26
5:00
35.61 35.14 35.05 34.73
6:00
35.96 35.21 35.03 34.24
6:00
36.02 35.35 35.19 34.53
7:00
38.30 36.94 36.57 34.64
7:00
37.85 36.64 36.32 34.74
8:00
39.48 38.28 37.82 35.02
8:00
39.21 37.97 37.55 35.05
180
Lampiran 6 Hasil pemantauan kualitas limbah air pendingin PT. Badak NGL Bulan Maret 2008 dan September 2008 No
Parameter
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
1 2 3 4 5
Suhu Salinitas pH Klorin (Cl 2 ) Minyak/Lemak
Kode Sampel A/B C/D E/F G/H Bulan Maret 2008 Kondisi Air Laut Pasang o C 42.7 42.8 44.1 42.5 ‰ 31.4 31.4 31.3 31.3 7.46 7.53 7.59 7.56 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l td 0.5 0.5 ttd Kondisi Air Laut Surut o C 42.6 42.3 43.7 41.5 ‰ 31.2 31.1 31.1 30.9 7.48 7.47 7.49 7.49 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l ttd ttd ttd ttd Bulan September 2008 Kondisi Air Laut Pasang o C 42.2 42.3 43.1 42.1 ‰ 31.2 31.2 31.1 31.3 7.56 7.54 7.6 7.62 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l ttd ttd ttd ttd Kondisi Air Laut Surut o C 42.8 42.7 43.2 41.2 ‰ 31.1 31.2 30.4 31.1 7.58 7.57 7.58 7.59 mg/l ttd ttd ttd ttd mg/l ttd ttd ttd ttd
Satuan
MKP
BML
41.9 31.5 7.61 ttd ttd
45 alami 6-9 2 25
39.8 31.2 7.48 ttd ttd
45 alami 6-9 2 25
41.3 31.3 7.66 ttd ttd
45 alami 6-9 2 25
40.2 31.1 7.8 ttd ttd
45 alami 6-9 2 25
Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi BML=Baku Mutu Lingkungan (SK Gubernur Kalimantan Timur No. 26 Tahun 2002 Lampiran I) A/B = Outfall train A & B, C/D = Outfall train C & D, E/F = Outfall train E & F, G/H = Outfall train G & H, MKP = Muara Kanal Pendingin (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)
181
Lampiran 7
Hasil pengukuran kualitas air laut di sekitar PT Badak NGL (Maret 2008) Sampel
No
Parameter
Satuan
Air Laut Pasang
Air Laut Surut
BML
MKP
BBP
CWI
MKP
BBP
CWI
40.0
31.0
28.0
40.0
29.8
28.8
alami
Fisika o
1
Suhu
2
Bau
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
tidak
3
Sampah
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
4
Lapisan minyak
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
nihil
/ oo
31.6
31.5
31.5
30.4
30.2
30.4
alami
m
2.37
1.2 (d)
2.94
2.22
1.0 (d)
2.85
8.40
6.66
8.43
8.35
6.64
8.32
6–9
5
Salinitas
6
Kecerahan
o
C
Kimia 8
pH
9
H2S
mg/l
0.32
0.32
0.96
0.32
0.96
0.32
0.03
10
NH 3 -N
mg/l
0.15
0.14
0.12
0.14
0.24
0.11
1
11
DO
mg/l
7.96
4.96
7.24
5.98
5.62
7.5
>4
12
BOD 5
mg/l
4.40
6.20
4.10
4.10
5.20
3.80
45
13
COD
mg/l
56.50
55.40
52.60
48.60
50.25
52.40
80
14
PO 4 -P
mg/l
0.01
0.03
0.01
0.02
0.04
0.03
15
Lemak
mg/l
1
1
1
2
2
1
5
16 17 18 19
Total Phenol
mg/l
0.34
0.37
0.17
0.36
0.27
0.34
-
Deterjen
mg/l
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
ttd
1
Raksa (Hg)
µg/l
0.001
ttd
0.002
ttd
ttd
ttd
3
Seng (Zn)
mg/l
0.10
0.08
0.16
0.10
0.03
0.16
0.1
Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : Ttd = tidak terdeteksi = sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai, CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)
182
Lampiran 8
Hasil Pengukuran Kualitas Air Laut di PT Badak NGL (September 2008) Sampel
No
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14
15 16 17 18
Parameter
Satuan
Air Laut Pasang MKP BBP CWI
Air Laut Surut MKP BBP CWI
BML
29.8 tidak nihil nihil 32.7
38.8 tidak nihil nihil 32.6 2.49
30.3 tidak nihil nihil 30.0 2.10
29.7 tidak nihil nihil 32.2 2.20
alami tidak nihil nihil alami
4.15
29.8 tidak nihil nihil 33.5 4.30
7.62 0.32 0.10
7.93 0.32 0.02
7.47 0.48 0.02
7.16 0.48 0.18
7.79
6–9 0.03 1 5 >4 45 80
Fisika Suhu Bau Sampah Lapisan minyak Salinitas Kecerahan Kimia pH H2S NH 3 N Lemak DO BOD 5 COD
/ oo m
34.3 tidak nihil nihil 32.2 3.69
mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l mg/l
7.42 0.16 0.06 ttd 6.12 6.60 64.75
ttd
ttd
ttd
ttd
5.86 9.30 63.10
6.95 6.15 58.90
5.81 6.15 52.90
5.16 7.80 55.38
0.48 0.01 ttd 6.94 5.70 58.60
PO 4 -P
mg/l
0.02
0.03
0.03
0.02
0.04
0.03
Total Phenol Deterjen Raksa (Hg) Seng (Zn)
mg/l mg/l µg/l mg/l
0.30 0.40 1.20 0.11
0.27
0.45
0.32
0.41
0.44
0.61 1.40
0.28 1.30
0.58 1.40
0.71 1.50
0.23 1.50
0.10
0.08
0.07
0.10
0.09
o
C
o
Sumber : PT. Badak NGL 2008 Keterangan : Ttd = Tidak terdeteksi = Sangat kecil BML=Baku Mutu Lingkungan (KepMen LH No. 51 Tahun 2004 Lampiran I) MKP = Muara Kanal Pendingin, BBP = Berbas Barat Pantai, CWI = Cooling Water Intake (Letak masing-masing stasiun dapat dilihat pada Gambar 4)
1 3 0.1
183
Lampiran 9 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp. Cyclotella sp. Hemialus sp. Nitzchia sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Jumlah Jenis Kelimpahan
Stasiun A Purnama Perbani
114 38 38
38 38
38 4 228
2 76
Lampiran 10 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun A saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Navicula sp. Thallasiotrix sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun A Purnama Perbani
19 19 90 48 4 176
38 38 38 3 114
184
Lampiran 11 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Coscinodiscus sp.3 Coscinodiscus sp.4 Synedra sp. Thallasiosira sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun B Purnama Perbani
427 26 19 3 472
570 95 95 10 4 770
Lampiran 12 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun B saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp. Navicula sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp.1 Synedra sp.2 Cyanophyceae Lyngbia sp. Jumlah Jenis Kelimpahan
Stasiun B Purnama Perbani
56 168 112 56
112 56 56 56
336 5 728
4 280
185
Lampiran 13 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun C saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Coscinodiscus sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Pleurosigma sp. Streptotheca sp. Synedra sp. Tabellaria sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Spirulina sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Lampiran 14
Stasiun C Purnama Perbani
228 228 38 152 152 76
254 50
114 7 988
114 114 5 608
76 -
Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun C saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan
Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetocesros sp. Coscinodiscus sp. Nitzchia sp. Synedra sp. Thallasiotrix sp. Thallasiosira sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun C Purnama Perbani
38 285 285 114 38 5 760
95 95 285 3 475
186
Lampiran 15 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun D saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Bacillaria sp. Chaetoceros sp. Cyclotella sp. Coscinodiscus sp. Diatoma sp. Dithylium sp. Gyrosigma sp. Navicula sp. Nitzchia sp.1 Nitzchia sp.2 Pinnularia sp. Pleurosigma sp. Synedra sp. Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun D Purnama Perbani
475 95 95 285 95 95 -
190 190 1140 95 190 285 855 475 95 285 190 95
285 380 8 1805
12 4085
187
Lampiran 16 Jumlah Jenis dan Kelimpahan Plankton di Stasiun D saat air pasang dan air surut untuk kondisi purnama pada musim hujan Jenis
Stasiun D Purnama
Perbani
Fitoplankton Bacillariophyceae Bacteriastrum sp. Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Diatoma sp. Gyrosigma sp. Navicula sp. Pleurosigma sp. Rhizosolenia sp. Synedra ocus Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Jumlah Jenis
95 95 95 -
285 1045 475 95 95 190 95
570 570 5
7
Kelimpahan (ind/ltr)
1425
2280
188
Lampiran 17 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun E saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Biddulphia sp. Chetoceros sp. Coscinodiscus sp. Cymbella sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Lyngbia sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun E Purnama Perbani
38 58 38 152 152 76 -
152 276 224 152
224 7 740
114 224 6 1140
Lampiran 18 Jumlah Jenis dan Kelimpahan fitoplankton di Stasiun E saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Biddulphia sp. Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Synedra sp.1 Synedra sp.2 Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun E Purnama Perbani
56 224 224 112 -
20 168 280 38
616 224 6 1456
410 5 916
189
Lampiran 19 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetocesros sp. Coscinodiscus sp. Eucampia sp. Milosera sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp. Thallasiotrix sp. Thallasiosira sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun F Purnama Perbani
114 228 38 380 76 266 418 38 8 1558
76 38 38 114 38 380 6 722
Lampiran 20 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun F saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chetocesros sp. Coscinodiscus sp. Hemialus sp. Milosera sp. Navicula sp. Nitzchia sp. Pleurosigma sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun F Purnama Perbani
76 76 76 38 152 76 76 7 570
532 38 114 114 38 266 38 456 228 9 1824
190
Lampiran 21 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Bacteriastrum sp. Biddulphia sp. Chaetoceros sp. Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Coscinodiscus sp.3 Coscinodiscus sp.4 Dithylium sp. Synedra ocus Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun G Purnama
Perbani
71 71 71 923 710 71 142 -
95 2850 1425 2375 95 95
71 8
6
2130
1615
191
Lampiran 22 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun G saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Bacteriastrum sp. Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Chaetoceros sp.3 Chaetoceros sp.4 Chaetoceros sp.5 Coscinodiscus sp.1 Coscinodiscus sp.2 Eucampia sp. Navicula sp. Pleurosigma sp. Rhizosolenia sp. Synedra sp.1 Synedra sp.2 Thallasiotrix sp. Cyanophyceae Oscillatoria sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun G Purnama Perbani
56 448 112 56 56 56 112 112 -
168 896 1960 112 280 168 56 112 224 952
56 9 1064
112 11 2565
192
Lampiran 23 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun H saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim kemarau Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Coscinodiscus sp. Cymbella sp. Frustulia sp. Louderia sp. Navicula sp. Nitzchia sp.1 Nitzchia sp.2 Rhizosolenia sp. Synedra sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun H Purnama Perbani
95 95 95 95 95 190 190
1960 694 380 380 952 952 380 -
285 285 9 1425
285 952 9 6935
193
Lampiran 24 Jumlah jenis dan kelimpahan fitoplankton di Stasiun H saat air pasang dan saat air surut untuk kondisi purnama dan perbani pada musim hujan Jenis Fitoplankton Bacillariophyceae Chaetoceros sp.1 Chaetoceros sp.2 Coscinodiscus sp. Cymbella sp. Frustulia sp. Navicula sp. Nitzchia sp.1 Nitzchia sp.2 Rhizosolenia sp. Synedra sp. Thallasiosira sp. Cyanophyceae Lyngbia sp. Oscillatoria sp. Jumlah Jenis Kelimpahan (ind/ltr)
Stasiun H Purnama Perbani
95 95 95 190 95 190 -
1960 855 95 190 800 380 190 190 95
190 380 8 1330
190 95 11 5040
194
Lampiran 25 Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton) Pengaruh pasang surut dan suhu terhadap jumlah spesies fitoplankton ANOVA Source of Variation Rows Columns Error
SS 136.375 2.125 61.375
df
MS F P-value F crit 7 19.48214 6.665988 0.000317 2.487578 3 0.708333 0.242363 0.865789 3.072467 21 2.922619
Total 199.875 31 Keterangan : Rows = analisis pengaruh suhu terhadap fitoplankton Columns = analisis pengaruh pasut terhadap kelimpahan fitoplankton
Pengaruh suhu terhadap jumlah spesies (pengujian antara stasiun pengamatan dengan stasiun kontrol) Stasiun A dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 55.125 15.75
Total
70.875
df 1 6
MS 55.125 2.625
F 21
P-value F crit 0.00376 5.987378
MS 40.5 2.5
F 16.2
P-value F crit 0.00692 5.987378
MS 24.5 3.5
F
7
Stasiun B dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 40.5 15
df 1 6
55.5
7
Stasiun C dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 24.5 21 45.5
df 1 6 7
P-value F crit 7 0.038245 5.987378
195
Lampiran 25 (Lanjutan) Tabel hasil uji ANOVA (jumlah spesies fitoplankton) Stasiun D dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 0.5 39
df 1 6
39.5
MS F P-value F crit 0.5 0.076923 0.790819 5.987378 6.5
7
Stasiun E dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 12.5 15
df 1 6
27.5
MS 12.5 2.5
F
P-value F crit 5 0.066707 5.987378
7
Stasiun F dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS
df
MS
2 18
1 6
20
7
F P-value F crit 2 0.666667 0.445416 5.987378 3
Stasiun H dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 1.125 17.75 18.875
df
MS F P-value F crit 1 1.125 0.380282 0.560108 5.987378 6 2.958333 7
196
Lampiran 26 Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel
Stasiun A B C D E F G H
Koordinat N: 00o05’12.5” E: 117o27’48.8” N: 00o05’28.2” E: 117o28’02.0” N: 00o05’00.6” E: 117o28’41.9” N: 00o05’00.2” E: 117o28’40.9” N: 00o05’01.4” E: 117o28’41.9” N: 00o05’00.1” E: 117o29’12.5” N: 00o05’00.6” E: 117o2’41.9” N: 00o06’10.8” E: 117o28’51.8”
Keterangan : I = Musim kemarau saat pasut purnama II = Musim kemarau saat pasut perbani III = Musim hujan saat pasut purnama IV = Musim hujan saat pasut perbani
Kedalaman (m)
Jumlah spesies fitoplankton pada beberapa kondisi I II III IV
1.75
4
2
4
3
2.03
3
4
5
4
6.12
7
5
5
3
3.24
8
12
5
7
7.87
4
3
5
4
4.25
8
6
7
9
3.12
8
6
9
11
8.12
9
9
8
11
197
Lampiran 27 Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton) Pengaruh pasang surut dan suhu terhadap kelimpahan fitoplankton ANOVA Source of Variation Rows Columns Error
SS 37201039 6204515 24010341
df
MS F P-value F crit 7 5314434 4.648127 0.002819 2.487578 3 2068172 1.808871 0.176444 3.072467 21 1143350
Total 67415895 31 Keterangan : Rows = analisis pengaruh suhu terhadap fitoplankton Columns = analisis pengaruh pasut terhadap kelimpahan fitoplankton
Pengaruh suhu terhadap kelimpahan fitoplankton (pengujian antara stasiun pengamatan dengan stasiun kontrol) Stasiun A dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 5746050 1276000
Total
7022050
df
MS F P-value F crit 1 5746050 27.019044 0.002018777 5.98737758 6 212666.67 7
Stasiun B dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 3281922 1420920
Total
4702842
df
MS 1 3281922 6 236820
F P-value F crit 13.8583 0.009821 5.987378
7
Stasiun C dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups Total
SS 2579856 1407870 3987726
df
MS F P-value F crit 1 2579856 10.99472 0.016088 5.987378 6 234645 7
198
Lampiran 27 (Lanjutan) Tabel hasil uji ANOVA (kelimpahan fitoplankton) Stasiun D dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 616605.1 5420746
Total
6037351
df
MS F P-value F crit 1 616605.1 0.682495 0.440336 5.987378 6 903457.6 7
Stasiun E dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 1217580 1548148
Total
2765728
df
MS F P-value F crit 1 1217580 4.718852 0.072831 5.987378 6 258024.6 7
Stasiun F dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 911250 2401432
Total
3312682
df
MS F 1 911250 2.276767 6 400238.7
P-value F crit 0.18206 5.987378
7
Stasiun H dengan Stasiun G ANOVA Source of Variation Between Groups Within Groups
SS 6763842 24314602
Total
31078444
df
MS F P-value F crit 1 6763842 1.669081 0.243909 5.987378 6 4052434 7
199
Lampiran 28 Kelimpahan fitoplankton pada beberapa stasiun pengamatan untuk beberapa kondisi pengambilan sampel
Stasiun A B C D E F G H
Koordinat N: 00o05’12.5” E: 117o27’48.8” N: 00o05’28.2” E: 117o28’02.0” N: 00o05’00.6” E: 117o28’41.9” N: 00o05’00.2” E: 117o28’40.9” N: 00o05’01.4” E: 117o28’41.9” N: 00o05’00.1” E: 117o29’12.5” N: 00o05’00.6” E: 117o2’41.9” N: 00o06’10.8” E: 117o28’51.8”
Keterangan : I = Musim kemarau saat pasut purnama II = Musim kemarau saat pasut perbani III = Musim hujan saat pasut purnama IV = Musim hujan saat pasut perbani
Kelimpahan fitoplankton pada beberapa kondisi I
II
III
IV
228
76
176
114
472
770
728
280
608
988
760
475
1805
4085
1425
2280
741
1140
1456
916
1558
722
570
1824
2130
1615
1064
2565
1425
6935
1330
5040
200
Lampiran 29 Foto kondisi terumbu karang pada beberapa lokasi survei
Foto Kondisi Terumbu Karang di Pulau Beras Basah
Foto Kondisi Terumbu Karang di Pulau Melahing
Foto Kondisi Terumbu Karang di Depan Pulau Sieca
201
Foto Kondisi Terumbu Karang di Sekambing Muara