66 Pengembangan Inovasi Pertanian 1(1), 2008: 66-73
Mewa Ariani et al.
ANALISIS WILAYAH RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS SERTA ALTERNATIF PENANGGULANGANNYA1) Mewa Ariani, H.P.S. Rachman, G.S. Hardono, dan T.B. Purwantini Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Jalan Ahmad Yani No. 70, Bogor 16161
PENDAHULUAN Kesepakatan global Millenium Development Goals (MDGs) menegaskan bahwa pada tahun 2015, setiap negara diharapkan dapat menurunkan kemiskinan dan kelaparan separuh dari kondisi pada tahun 1990 (Statistic Division 2005). Di Indonesia, peningkatan ketahanan pangan telah menjadi salah satu program utama nasional sejak satu dasawarsa lalu. Hal ini membuktikan Indonesia memiliki komitmen kuat mendukung kesepakatan MDGs. Secara khusus, program peningkatan ketahanan pangan juga dimaksudkan untuk mendorong laju peningkatan kualitas sumber daya manusia. Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia hanya menempati urutan ke-112 dari 175 negara pada tahun 2003, merosot dari urutan ke-105 pada tahun 1999 (Irawan 2004). Dari sisi ketersediaan, situasi ketahanan pangan nasional maupun regional relatif baik (Sawit dan Ariani 1997; Ariani et al. 2000: Dewan Ketahanan Pangan dan WFP 2005). Namun, pencapaian prestasi itu tidak dapat menutupi fakta masih ada1)
Naskah disarikan dari bahan Rapat Pimpinan Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Bulan September 2007.
nya rumah tangga rawan pangan. Studi Saliem et al. (2001) menyebutkan, meski memiliki status ketahanan pangan terjamin, di beberapa provinsi masih terdapat rumah tangga rawan pangan dengan proporsi tinggi. Sementara itu, analisis yang dilakukan BPS (Dewan Ketahanan Pangan dan FAO 2005) menyebutkan, lebih dari setengah jumlah kabupaten/kota di Indonesia memiliki prevalensi balita kurang gizi lebih dari 25% dan proporsi penduduk yang mengkonsumsi energi kurang dari 2.100 kal/orang/hari sebesar 64%. Berdasarkan data Departemen Kesehatan, secara nasional terdapat sekitar 27,5% (5 juta) anak balita menderita gizi kurang, 1,5 juta anak di antaranya memiliki status gizi buruk; dan 110 kabupaten/kota mempunyai prevalensi balita gizi kurang (termasuk gizi buruk) di atas 30%. Menurut WHO, prevalensi gizi buruk Indonesia termasuk dalam kategori sangat tinggi (Departemen Kesehatan 2005). Dewan Ketahanan Pangan (DKP) dan World Food Programme (WFP) pada tahun 2005 melakukan pemetaan wilayah rawan pangan dan gizi kronis sampai tingkat kabupaten. Hasil pemetaan menunjukkan bahwa 100 dari 265 kabupaten di Indonesia tergolong rawan pangan dan gizi kronis. Namun, karena pemetaan hanya sam-
68
babkan Kabupaten Jayawijaya berada pada posisi tersebut adalah indikator penduduk miskin, wanita buta huruf, akses penduduk terhadap listrik, akses jalan yang memadai, dan akses penduduk terhadap air bersih. Di sisi lain, berdasarkan indikator berat badan balita di bawah standar, Kabupaten Jayawijaya berada pada kuintil V atau kelompok 20% kabupaten terbaik. Posisi Kabupaten Jayawijaya yang termasuk kategori relatif baik tersebut perlu dipertanyakan. Diduga data yang ada tidak akurat, karena masih banyak data yang tidak masuk (tercatat) akibat keterbatasan sarana transportasi dan telekomunikasi. Terdapat 10 indikator tipe wilayah yang dapat dikumpulkan untuk menambah informasi karakteristik 100 kabupaten rawan pangan dan gizi kronis. Data tipe wilayah yang dapat dihimpun meliputi: (1) produksi padi; (2) produksi palawija; (3) produksi perkebunan; (4) populasi ruminansia; (5) populasi unggas; (6) proporsi rumah tangga petani gurem; (7) proporsi angkatan kerja; (8) proporsi anak umur 7-15 tahun yang tidak bersekolah; (9) pendapatan per kapita; dan (10) pangsa pengeluaran pangan rumah tangga. Adanya data ini menepis anggapan bahwa indikator yang digunakan untuk pembuatan peta sangat terbatas, sesuai ketersediaan data, tanpa memperhatikan kesesuaian indikator dan pengaruhnya terhadap kerawananan pangan dan gizi kronis. Indikator yang digunakan untuk memetakan wilayah rawan pangan dan gizi kronis yang dilakukan oleh DKP dan WFP masih mengandung kelemahan yang perlu disempurnakan. Beberapa aspek yang perlu diperhatikan adalah: (1) indikator yang digunakan untuk menentukan rawan pangan lebih luas ke arah konsep kemiskinan; (2) ketersediaan pangan hanya menghitung produksi padi, jagung, ubi
Mewa Ariani et al.
kayu dan ubi jalar, belum memasukkan sagu atau talas yang banyak dikonsumsi rumah tangga di kawasan timur Indonesia. Selain itu, dalam perhitungan rasio normatif, seharusnya penjumlahan serealia tidak dalam kuantitas kilogram, tetapi dalam bentuk zat gizi (energi) dan dibagi dengan energi dari beras; (3) indikator yang digunakan seharusnya mencerminkan potensi wilayah secara komprehensif; (4) perlu fleksibilitas pengukuran indikator disesuaikan dengan potensi wilayah; dan (5) peningkatan keakuratan data dan perhitungannya.
PEMETAAN KECAMATAN RAWAN PANGAN DAN GIZI KRONIS Indikator yang digunakan untuk pemetaan wilayah rawan pangan dan gizi kronis tingkat kecamatan disesuaikan dengan ketersediaan data dan potensi wilayah, sehingga akan berbeda untuk masing-masing wilayah. Indikator yang digunakan mampu mendeteksi kecamatan rawan pangan dan gizi secara baik. Indikator tersebut adalah: (1) Kabupaten Jayawijaya: produksi tanaman pangan, hortikultura dan kopi, populasi ternak, dan akses jalan; (2) Kabupaten Bondowoso: ketersediaan pangan, luas kerusakan padi, berat badan balita di bawah standar, perempuan buta huruf, akses air bersih dan listrik, penduduk miskin; (3) Kabupaten Sampang: ketersediaan pangan, luas tanam padi terhadap sasaran, luas kerusakan padi, produktivitas padi rata-rata, populasi ternak, kurang energi protein, penduduk miskin, berat badan balita di bawah standar, akses listrik, air bersih dan jalan; (4) Kabupaten Sambas: produksi tanaman pangan dan karet, luas tanam padi terhadap sasaran,
70
keterisolasian wilayah (antardesa/kecamatan/kabupaten) dan (2) pengelolaan sumber daya alam yang lebih baik. Karakteristik wilayah dan rumah tangga rawan pangan dan gizi kronis di Kabupaten Bondowoso dan Sampang dicirikan oleh dominasi lahan tegalan/ladang sebagai basis pertanian. Kondisi sarana dan prasarana kurang memadai sehingga mobilitas penduduk dan pergerakan roda perekonomian menjadi lambat. Selain luasan yang sempit, lahan berupa lahan kering dengan produktivitas rendah. Lapangan kerja di luar pertanian sangat terbatas. Angka kemiskinan di Kabupaten Bondowoso mencapai 39,8% dan di Sampang 42,4%. Pendapatan rata-rata rumah tangga rawan pangan di Bondowoso sekitar Rp552 ribu dan di Sampang Rp474 ribu/ kapita/tahun. Pemilikan aset rumah tangga rawan pangan dan gizi kronis di kedua kabupaten juga kurang memadai, hanya lahan dan ternak dengan jumlah terbatas. Makanan pokok berupa campuran beras dan jagung dengan frekuensi konsumsi dua kali sehari dan keragamannya juga rendah. Kebanyakan rumah tangga tidak memiliki simpanan (cadangan) bahan pangan. Di Kabupaten Bondowoso, kekurangan pangan yang parah terjadi pada bulan Januari Februari (menjelang musim panen padi), sedangkan di Kabupaten Sampang pada bulan Agustus. Rawan pangan dan gizi kronis terutama disebabkan oleh kemiskinan karena kepemilikan lahan yang sempit, sementara lapangan kerja nonpertanian belum berkembang. Penyebab lainnya adalah keterbatasan sumber daya air dan meluasnya lahan kritis, keterbatasan pasar output pertanian dan hasil industri rumah tangga, akses rumah tangga terhadap sumber permodalan untuk usaha terbatas, penge-
Mewa Ariani et al.
tahuan dan keterampilan tenaga kerja rendah, serta kondisi infrastruktur dan sarana transportasi tidak memadai Alternatif kebijakan penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis adalah dengan meningkatkan aksesibilitas terhadap pangan dan mendorong tumbuhnya aktivitas perekonomian di tingkat wilayah dan rumah tangga. Secara rinci, kebijakan jangka pendek meliputi: (1) pemberian bantuan pangan kepada rumah tangga rawan pangan berisiko tinggi; (2) pengembangan paket bantuan sarana produksi pertanian, ternak dan pembiayaan; (3) pengembangan usaha industri yang dapat memanfaatkan potensi sumber daya lokal khususnya hasil-hasil pertanian; dan (4) pemberdayaan kelembagaan pangan dan gizi yang sudah ada di masyarakat. Kebijakan jangka menengah mencakup: (1) peningkatan kapasitas lahan pertanian melalui perluasan areal dan atau peningkatan intensitas tanam; (2) mendorong berkembangnya diversifikasi pertanian dan diversifikasi sumber usaha; (3) pembatasan luas absentee land; (4) peningkatan ketersediaan dan kualitas sarana dan prasarana untuk memperbaiki aksesibilitas wilayah; dan (5) mengembangkan kesadaran sosial masyarakat dalam kegiatan penanggulangan masalah rawan pangan dan gizi. Untuk jangka panjang, kebijakannya meliputi: (1) konservasi dan rehabilitasi daerah tangkapan dan resapan air; dan (2) pengendalian laju pertambahan penduduk. Karakteristik wilayah rawan pangan dan gizi kronis di Kabupaten Sambas dan Landak dicirikan dengan: (1) kawasan budi daya sebagian besar berupa lahan gambut dan dataran rendah dengan curah hujan rendah; (2) kualitas sumber daya manusia (pendidikan, pengetahuan dan keterampilan) rendah; (3) proporsi penduduk mis-
72
masalah sosial dan lingkungan. Oleh karena itu, perencanaan upaya penanggulangan rawan pangan harus mencakup pemecahan masalah yang terkait dengan ketiga aspek tersebut secara terpadu. Fenomena rawan pangan dan gizi kronis juga bersifat laten, sehingga orientasi kebijakan penanggulangan masalah tidak hanya bersifat jangka pendek, tetapi juga harus dilengkapi dengan penanggulangan jangka panjang sebagai respons antisipatif. Berpijak pada hasil analisis kondisi empiris di daerah penelitian maka peningkatan perekonomian daerah harus memperhitungkan aspek penguatan sumbersumber kehidupan dalam jangka panjang yang menjamin terbentuknya ketahanan pangan wilayah dan rumah tangga secara berkelanjutan. Kebijakan dan program yang ditetapkan mampu membangkitkan masyarakat sebagai penggerak berbagai aset dan kebijakan untuk memenuhi kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dan ancaman tanpa menghilangkan jati diri, terutama di Kabupaten Jayawijaya. Peningkatan keragaman konsumsi pangan merupakan salah satu langkah strategis dalam rangka peningkatan ketahanan pangan di tingkat rumah tangga. Hasil analisis regresi skor konsumsi pangan rumah tangga mengindikasikan bahwa faktor aksesibilitas pangan (fisik dan ekonomi) merupakan determinan penting yang perlu mendapat perhatian dalam penyusunan kebijakan penanggulangan rawan pangan dan gizi kronis. Kebijakan untuk meningkatkan aksesibilitas pangan tidak hanya terkait dengan upaya peningkatan produksi pangan dan pendapatan rumah tangga, tetapi juga upaya lain yang mendukung perbaikan distribusi pangan, seperti perbaikan sarana transportasi dan pengaturan sistem
Mewa Ariani et al.
pemasaran pangan yang efisien dan berkeadilan. Satu hal yang perlu mendapat perhatian adalah, pemecahan masalah ketahanan pangan dan kemiskinan tidak dapat hanya ditangani oleh sektor pertanian saja, walaupun jumlah penduduk miskin dan rawan pangan umumnya berada di pedesaan. Upaya pemecahan tersebut memerlukan kerja sama, koordinasi, dan sinergi dari berbagai dinas/instansi terkait, lembaga swadaya masyarakat, swasta, dan partisipasi aktif masyarakat setempat.
DAFTAR PUSTAKA Ariani, M, H.P. Saliem, S.H. Suhartini, Wahida, dan H. Supriadi. 2000. Analisis Kebijaksanaan Ketahanan Pangan Rumah Tangga Berpendapatan Rendah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor. Departemen Kesehatan. 2005. Rencana Aksi Nasional Pencegahan dan Penanggulangan Gizi Buruk 2005-2009. Departemen Kesehatan, Jakarta. Dewan Ketahanan Pangan dan FAO. 2005. Program Pendukung Desentralisasi Ketahanan Pangan Nasional (PSDKP) Tahap I: 2006-2015. Ringkasan Eksekutif. Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta. Dewan Ketahanan Pangan dan WFP. 2005. Peta Kerawanan Pangan Indonesia (Atlas of Food Insecurity in Indonesia). Dewan Ketahanan Pangan, Jakarta. Irawan, P.B. 2004. Peranan Pembangunan Manusia dalam Mendukung Pemantapan Ketahanan Pangan. Widyakarya