ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” DI MAJALAH PANTAU Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)
Oleh Tia Agnes Astuti NIM: 106051101943
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
LEMBAR PERNYATAAN Dengan ini saya menyatakan bahwa: 1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar strata 1 di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penelitian ini telah saya cantumkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi yang berlaku di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Ciputat, 14 Maret 2011
Tia Agnes Astuti
ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” DI MAJALAH PANTAU
Skripsi Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I)
Oleh
Tia Agnes Astuti NIM: 106051101943
Pembimbing
Dr. Arief Subhan, M.A NIP. 196601101993031004
KONSENTRASI JURNALISTIK JURUSAN KOMUNIKASI DAN PENYIARAN ISLAM FAKULTAS ILMU DAKWAH DAN ILMU KOMUNIKASI UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432 H./2011 M.
PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi berjudul ANALISIS WACANA VAN DIJK TERHADAP BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” DI MAJALAH PANTAU telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Ilmu Sosial Islam (S.Kom.I.) pada Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam dan Konsentrasi Jurnalistik.
Jakarta, 18 Maret 2011
Sidang Munaqasyah Ketua merangkap anggota,
Sekretaris merangkap anggota,
Wahidin Saputra, M.A NIP 19700903 199603 1 001
Ade Rina Farida, M.Si NIP 19770513 200701 2 018 Anggota,
Penguji 1
Penguji 2
Rully Nasrullah, M.Si NIP 19750318 200801 1 008
Rubiyanah, M.A NIP 19730822 199803 2 001 Pembimbing
Dr. Arief Subhan, M.A NIP 19660110 199303 1 004
ABSTRAK Tia Agnes Astuti/ 106051101943 Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Pada Majalah Pantau Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama untuk genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di Amerika Serikat, di mana reportase dilakukan secara mendalam, dan penulisannya dengan gaya sastrawi. Tom Wolfe pun menyebutnya sebagai new journalism (jurnalisme baru). Di Indonesia, Majalah Pantau adalah majalah pertama di Indonesia yang secara sadar menerapkan jurnalisme sastrawi ini dari tahun 2000. “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini ini diakui Andreas Harsono (penanggung jawab Majalah Pantau) sebagai salah satu naskah terbaik yang dimiliki oleh Pantau. Untuk mengetahui pengemasan berita dalam teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau maka diperlukan rumusan masalah. Adapun rumusan masalahnya yaitu Bagaimanakah wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksikan? Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau? Wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” dikonstruksikan dapat dilihat dari penggunaan kata atau bahasa dalam teks, penggunaan narasumber yang dipakai oleh penulis, serta konstruksi dari segi kognisi dan konteks sosial penulis yang ikut mengkonstruksi teks tersebut. Teori yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan paradigma konstruktivisisme. Paradigma itu ada tiga, paradigma positivisme-empiris, paradigma konstruktivisme, dan paradigma kritis. Peneliti menggunakan konstruktivisme karena dengan pola berpikir konstruksitivis ini menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran tentang realitas. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis wacana model Teun van Dijk. Van Dijk membagi wacananya ke dalam tiga dimensi yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Van Dijk tidak hanya meneliti perihal wacana teks yang dikonstruksikan saja tapi juga mental dari pengarang serta menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat. Chik Rini mengambil perspektif dari sudut pandang atau angle wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa Simpang Kraft pada Mei 1999. Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” tidak semata diambil dari realitas apa adanya. Tapi, ada beberapa pihak di belakang wacana teks tersebut yang turut mengkonstruksi teks tersebut. Teks tidak lahir secara positivis namun konstruktivis. Dari penjelasan singkat di atas, bisa diambil kesimpulan bahwa teks tidak lahir dari realitas yang diambil apa adanya namun realitas dari peristiwa tersebut dikonstruksi oleh pihak di belakang wacana teks tersebut. Sama halnya seperti peristiwa Simpang Kraft yang direportase oleh Chik Rini. Peristiwa Simpang Kraft itu tidak terjadi karena alamiah bentrokan belaka, namun dibangun oleh pihak GAM dan militer Indonesia yang menorehkan satu kali lagi peristiwa berdarah di Aceh. i
KATA PENGANTAR Segala puji serta syukur, saya panjatkan kepada Allah SWT, Tuhan semesta alam yang telah memberikan limpahan karunia, ridho-Nya, dan ribuan nikmat kepada semua makhluk di bumi ini. Shalawat serta salam senantiasa kita curahkan kepada Rasulullah SAW yang telah membawa ummatnya menuju jalan kebenaran. Atas berkat kenikmatan itulah, saya masih diberikan nikmat sehat dan bernafas, menghirup udara sampai detik ini sehingga saya bisa menyelesaikan skripsi ini guna mendaparkan gelar Sarjana Sosial Islam (S.Kom.I). Dalam menyelesaikan skripsi ini, tentunya masih terdapat banyak kekurangan namun skripsi ini tidak akan selesai tanpa bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Maka dari itu, pada kesempatan ini peneliti ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada: 1. Dr. Arief Subhan, M.A selaku Dekan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi sekaligus sebagai pembimbing dalam skripsi ini. 2. Rubiyanah, M.A. sebagai Ketua Konsentrasi Jurnalistik dan Ade Rina sebagai sekretaris Konsentrasi Jurnalistik. Terima kasih atas bantuan dan dukungannya. 3. Siti Nurbaya Ruslan sebagai pembimbing kedua, tempat konsultasi skripsi saya. Makasih banyak atas bantuan dan dukungannya selama penyusunan skripsi ini. 4. Para dosen, karyawan, dan staf Tata Usaha Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi, dan juga seluruh staf pengurus UIN Syarif Hidayatullah Jakarta selama peneliti kuliah di kampus UIN. ii
5. Kepada Yayasan Pantau yang telah membantu peneliti, Andreas Harsono, Imam Sofwan serta Chik Rini yang bersedia meluangkan waktunya untuk wawancara selama dua jam. 6. Secara khusus dan paling utama adalah kepada kedua orang tua, Sri Wiratno dan Nurzullah yang telah memberikan kasih sayang, motivasi, dukungan, tekanan untuk segera cepat menyelesaikan, dan bersikap demokratis kepada saya atas pilihan dan apa yang saya inginkan dalam hidup ini. Jasa kalian tidak akan sanggup saya ganti dengan apa pun. Kepada kedua orang tua saya, skripsi ini dipersembahkan. 7. Kepada kakak dan adik laki-laki saya, Tyo Zulfan Amri dan Muhamad Fa’iz Al Magribhi. 8. Untuk seseorang yang peneliti kenal dari awal Propesa UIN 2006 hingga kini, yang membuat bahagia sekaligus sedih dalam waktu bersamaan. Untukmu semangat terus, melajulah perahu kertasku, dan gapai impianmu! 9. Sahabat saya, Mimi Fahmiyah yang rela mendengarkan curahan peneliti selama di kampus ini, yang rela berbagi kosannya jika peneliti menginap, yang sudah mencoba memahami peneliti kala sedih. Kamu berarti sob! Kita wisuda April. Horeeeeeee!!! 10. Kepada teman-teman sekelas seperjuangan Jurnalistik Angkatan 2006 makasih atas kebersamaannya selama lima tahun ini (Lisa, Yuni, Yikki, Jendral, Novita, Dita, Ira, Ina, Yanti, Caca, Putri, Aida, Sarah, Rere, Nina, Ardi, Gesta, Deden, Wage, Irham, Abi, Jaka, Topan, Deros) khususnya bagi kalian pada masa akhir ini, Danang, Rara, Eka, Jose, Eki, Meler, Ben,
iii
Ogi, Edi Mahmud, Risni yang belum wisuda, ayo semangat terus, nyusul wisuda cepetan! 11. Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) INSTITUT UIN Jakarta, kepada organisasi ini peneliti mengenal dunia persma dan wartawan kampus, memberikan kesempatan untuk menjadi pemimpin redaksi (pemred), dan mengajarkan beragam ilmu dari awal masuk menjadi reporter magang tahun 2006 hingga akhir ada di kampus. Apa pun yang terjadi, terima kasih INSTITUT. 12. Kepada KKN Kelompok 100 tahun 2009 lalu, makasih atas sebulan kenangannya di Malang. Akhirnya, peneliti hanya mampu mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu peneliti baik secara langsung maupun tidak langsung. Semoga Allah SWT semakin menambah rahmat dan karunia-Nya kepada kita semua. Peneliti mohon maaf bila terdapat kesalahan dalam penulisan karya ilmiah ini, Harapan peneliti, semoga skripsi ini dapat bermanfaat untuk para pembacanya, Aamiin Yaa Robbal Aalamiin. Wassalam Jakarta, 15 Maret 2011
Peneliti
iv
DAFTAR ISI ABSTRAK ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ....................................................................................... ii DAFTAR ISI ...................................................................................................... v DAFTAR TABEL ............................................................................................. vii DAFTAR GAMBAR ......................................................................................... viii BAB I
PENDAHULUAN A. B. C. D. E. F.
BAB II
Latar Belakang Masalah ............................................................. 1 Batasan dan Rumusan Masalah .................................................. 6 Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................. 6 Metodologi Penelitian ................................................................ 8 Tinjauan Pustaka ........................................................................ 14 Sistematika Penulisan ................................................................ 15
KAJIAN TEORETIS A. Analisis Wacana .......................................................................... 17 1. Pengertian Analisis Wacana .................................................. 17 2. Analisis Wacana Model Teun Van Dijk ............................... 20 3. Kerangka Analisis van Dijk .................................................. 25 a. Dimensi Teks .................................................................. 25 b. Dimensi Kognisi Sosial .................................................. 28 c. Dimensi Konteks Sosial .................................................. 29 B. Konseptualisasi Berita ................................................................ 30 1. Pengertian Berita .................................................................. 30 2. Nilai-Nilai Berita .................................................................. 31 3. Jurnalisme Naratif ................................................................ 32 C. Jurnalisme Sastrawi ..................................................................... 35 1. Konstruksi Adegan Demi Adegan ....................................... 38 2. Pencatatan Dialog Secara Utuh ............................................ 39 3. Sudut Pandang Orang Ketiga ............................................... 39 4. Mencatat Secara Detil .......................................................... 40
BAB III
GAMBARAN UMUM A. Majalah Pantau ........................................................................... 41 1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya ............................... 41 2. Visi dan Misi Majalah Pantau ............................................. 55 3. Struktur Organisasi Majalah Pantau ..................................... 57 4. Rubrikasi Majalah Pantau ................................................... 58 v
5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau ................................. 60 B. Biografi Penulis dan Sinopsis Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau ............................................................ 62 1. Biografi Chik Rini ............................................................... 62 2. Sinopsis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ................... 64 BAB IV
HASIL PENELITIAN A. Hasil Penelitian Berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau ....................................................................... 71 1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ........... 71 a. Analisis Teks Adegan 1 ................................................... 73 b. Analisis Teks Adegan 2 ................................................... 77 c. Analisis Teks Adegan 3 ................................................... 81 d. Analisis Teks Adegan 4 ................................................... 85 e. Analisis Teks Adegan 5 ................................................... 88 f. Analisis Teks Adegan 6 ................................................... 91 g. Analisis Teks Adegan 7 ................................................... 95 h. Analisis Teks Adegan 8 ................................................... 98 i. Analisisis Teks Adegan 9 ................................................. 105 j. Analisis Teks Adegan 10 .................................................. 109 k. Analisis Teks Adegan 11 ................................................. 114 2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ................................................................................... 119 a. Strategi dalam Memahami Peristiwa ............................... 121 b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa .................. 124 3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ................................................................................... 127 a. Praktik Kekuasaan ........................................................... 128 b. Akses Memengaruhi Wacana .......................................... 128
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 131 B. Saran ............................................................................................ 132
DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................... 133 LAMPIRAN-LAMPIRAN .............................................................................. 136
vi
DAFTAR TABEL Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk .............................................. 24 Tabel 2. Struktur Teks Van Dijk ........................................................................ 25 Tabel 3. Elemen Teks Wacana Van Dijk ........................................................... 25 Tabel 4. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk .............................................. 29 Tabel 5. Proses Keredaksian Majalah Pantau .................................................... 60 Tabel 6. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1 .............................................. 76 Tabel 7. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2 .............................................. 80 Tabel 8. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3 .............................................. 84 Tabel 9. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4 .............................................. 87 Tabel 10. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5 ............................................ 90 Tabel 11. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6 ............................................ 94 Tabel 12. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7 ............................................ 97 Tabel 13. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8 ............................................ 103 Tabel 14. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9 ............................................ 108 Tabel 15. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10 .......................................... 112 Tabel 16. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11 .......................................... 117 Tabel 17. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk ............................................ 126
vii
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram Model Analisis Van Dijk ................................................... 24 Gambar 2. Struktur Organisasi Yayasan Pantau ................................................ 58
viii
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH Asep Saeful Muhtadi dalam buku “Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik” mengemukakan bahwa secara umum, medium jurnalistik baik media cetak maupun elektronik, keduanya memiliki fungsi yang sama yaitu menyiarkan informasi. Ini merupakan fungsi utama media massa. Sebab masyarakat membeli media tersebut karena memerlukan informasi tentang berbagai hal yang terjadi di dunia ini. Fungsi kedua dari media massa yaitu mendidik. Karena media massa menyajikan pesan-pesan atau tulisan-tulisan yang mengandung pengetahuan dan dijadikan media pendidikan massa. Ketiga, menghibur. Media massa biasanya menyajikan rubrikrubrik atau program-program yang bersifat hiburan. Dan fungsi yang keempat yaitu memengaruhi. Dalam hal ini, pers memegang peranan penting dalam tatanan kehidupan masyarakat. Pers dapat melakukan kontrol sosial secara bebas dan bertanggung jawab. Penerbitan pers khususnya surat kabar, hampir semuanya menyediakan kolom atau rubrik untuk berita meski dengan kapasitasnya masing-masing. Ini merupakan perwujudan dari institusi pers sebagai lembaga kontrol sosial. Berita dalam penerbitan pers dapat berasal dari
1
2
masyarakat luas, wartawan yang meliput dan menuliskannya maupun manajemen redaksi yang mengkonstruksi berita-berita tersebut.1 Serta keberadaan jurnalistik atau pers yang dianggap sebagai the fourth estate (kekuatan keempat) dalam sistem kenegaraan, setelah legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Sebagai pilar keempat itu, media massa cetak maupun elektronik dapat dimanfaatkan sebagai penyalur aspirasi rakyat, pembentuk opini umum atau publik, alat penekan yang dapat ikut memengaruhi dan mewarnai kebijakan politik negara, dan pembela kebenaran dan keadilan.2 Sebab media, selain berfungsi sebagai alat untuk menyampaikan pesan-pesan seperti dinyatakan oleh Marshall Mc Luhan, media tersebut juga telah menjadikan dirinya sendiri sebagai pesan. Apa yang diterima publik dari media adalah sesuatu yang akan menjadi miliknya. Apa yang dianggap penting oleh media, karena keampuhannya, juga akan dianggap penting oleh publik.3 Bill Kovach, Ketua Commitee of Concerned Journalist yaitu lembaga kewartawanan yang peduli kepada publik di Amerika Serikat, ia menyatakan bahwa
setidaknya ada sembilan elemen jurnalime dalam
media massa. Ia mengutarakan hal ini dalam buku “Sembilan Elemen Jurnalisme,” di antaranya; media harus mengungkapkan kebenaran dalam pemberitaannya, media harus loyal kepada masyarakat, media harus menjunjung disiplin verifikasi, media harus bisa menjaga independensi terhadap sumber berita, media harus bisa menjadi pemantau pemerintah, 1
Totok Djuroto, Manajemen Penerbitan Pers, (Bandung: Rosda, 2004), h. 67 Zaenuddin HM, The Journalist, (Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007), h. 5-6 3 Asep Saeful Muhtadi, Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik, (Jakarta: Logos, 1999), h. 3 2
3
media harus menyediakan forum publik untuk kritik maupun dukungan warga, media harus berupaya membuat hal yang penting, menarik dan relevan, media harus menjaga agar berita tetap komprehensif dan proporsional, serta menulis berita dengan hati nurani.4 Kesembilan elemen dalam jurnalisme inilah yang menjadi pedoman bagi pekerja media dalam menjalankan tugasnya. Sesuai dengan fungsi pers tersebut, pers bergerak sesuai dengan jalur idealisme jurnalistik. Namun, pers juga memiliki daya saing dalam perusahan media yang mengakibatkan harus memiliki visi misi yang berbeda, konten atau isi media yang berbeda serta gaya penulisan yang menarik pula. Pada umunya, gaya penulisan berita konvensional terdapat dua yaitu straight news dan feature. Namun, sesuai dengan perkembangan media massa baik di Amerika Serikat maupun di Indonesia, narrative reporting atau penulisan narasi mulai diterapkan, khususnya dalam media cetak. Tapi tidak semua media cetak menggunakannya kecuali majalah. Seperti Majalah Tempo, Gatra, Trust dan sebagainya yang menerapkannya karena memiliki halaman yang lebih luas dan reportase lebih mendalam dibandingkan surat kabar harian. Sama halnya dengan Majalah Pantau. Sejak tahun 2000, Majalah Pantau mencoba menerapkan tulisan dengan genre literary journalism (jurnalisme sastrawi). Jurnalisme sastrawi merupakan salah satu dari tiga nama buat genre atau gerakan tertentu dalam jurnalisme yang berkembang di 4
69
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, (Yogyakarta: ANDI, 2005), h. 68-
4
Amerika Serikat di mana reportase dikerjakan secara mendalam, penulisan dilakukan menggunakan gaya sastrawi, sehingga hasilnya enak dibaca. Tom Wolfe, wartawan cum-novelis, pada 1960-an memperkenalkan genre ini dengan nama new journalism (jurnalisme baru).5 Jurnalisme baru sebenarnya bukan fiksi. Perbedaannya dengan fiksi, kalau fiksi imajinatif sementara jurnalisme baru tetap mendasarkan pada fakta-faka di lapangan. Jurnalisme baru bisa dikatakan berhasil dan mencapai
tujuannya
jika pembaca mengatakan, “Saya membaca
laporanmu enak seperti tulisan fiksi.” Elemen-eleman yang selama ini ada dalam jurnalisme lama adalah kesetiaan total. Artinya, jurnalis tetap mengandalkan proses peliputan seperti dia meliput berita, hanya menuntut keterlibatan total dalam tulisannya. Jurnalisme baru mencoba membongkar “isi kepala” narasumber sebanyak mungkin. Sementara itu, untuk memberikan deskripsi dan data lain, membutuhkan sisi lain peliputan, misalnya orang ketiga.6 Oleh karena itu, pada 2008 lalu, Yayasan Pantau menerbitkan kumpulan naskah terbaik jurnalisme sastrawi yang pernah terbit di Majalah Pantau. Dengan judul, “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat” yang diterbitkan Yayasan Pantau dan Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan penyunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono. Dalam kumpulan laporan jurnalisme sastrawi tersebut, terdapat peristiwa menarik yang diambil menjadi studi kasus analisis dalam 5
Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, (Jakarta: KPG, 2008), h. VII 6 Nurudin, Jurnalisme Masa Kini, (Jakarta: Rajawali Press, 2009), h. 182
5
penelitian ini yaitu tulisan berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini. Chik Rini adalah wartawan freelance di Banda Aceh yang mencoba merekam kembali peristiwa yang terjadi di Simpang Kraft atau Simpang KAA, dekat Lhokseumawe, sejak Desember 2001 lalu. Ia mewawancarai banyak narasumber dari saksi-saksi mata yang sudah sulit terlacak keberadaannya. Dari Jakarta, Medan, Lhokseumawe, dan Banda Aceh. Selama lima bulan, ia meliput dan mengerjakan laporan ini, namun ia mendapati banyak versi baik itu dari segi wartawan, masyarakat sipil, serta pihak militer Indonesia. Tidak bisa disangka provinsi Banda Aceh yang terkenal sebagai kota Serambi Mekkah ini pernah mengalami sejarah peristiwa berdarah kelam yang terjadi di Simpang Kraft antara militer, masyarakat sipil, serta Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Rini yang mengadopsi naskah “Hiroshima” karya John Hersey ke dalam tulisannya dapat dikatakan berhasil melaporkan kembali peristiwa tersebut dengan menggunakan genre jurnalisme sastrawi. Andreas Harsono, editor dari naskah tersebut juga mengatakan bahwa “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” adalah salah satu naskah jurnalisme sastrawi terbaik yang dimiliki oleh Majalah Pantau sepanjang masa hidup Pantau. Dari latar belakang permasalahan yang dipaparkan di atas, maka peneliti tertarik meneliti dengan judul, “Analisis Wacana Van Dijk Terhadap Berita “Sebuah Kegilaan Di Simpang Kraft” Di Majalah Pantau.”
6
B. BATASAN DAN RUMUSAN MASALAH Agar batasan masalah ini lebih terarah dan fokus maka permasalahan yang dikaji dibatasi terhadap analisis wacana teks yang terdapat dalam pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini di Majalah Pantau Tahun III Edisi 025-Mei 2002 kemudian dibukukan pada tahun 2008 dalam bentuk antologi berjudul“Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat” edisi revisi dengan penyunting Andreas Harsono dan Budi Setiyono, diterbitkan oleh Yayasan Pantau. Penelitian ini dengan menggunakan paradigma konstruktivis dengan pisau analisis wacana model Teun van Dijk. Adapun rumusan masalah dari penelitian ini, yaitu: 1. Bagaimanakah wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksikan? 2. Bagaimanakah dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau?
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Tujuan Penelitian Berdasarkan batasan dan rumusan masalah di atas, maka penelitian ini mempunyai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui wacana teks yang dikonstruksi oleh penulis yang terdapat dalam pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau.
7
2. Untuk mengetahui dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam wacana pemberitaan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi positif bagi pengembangan wacana keilmuan tentang gejala sosial yang terjadi sehari-hari di sekitar kita. Seperti, peristiwa-peristiwa yang luput dari perhatian kita dan hilang begitu saja dari sejarah, sama halnya seperti peristiwa Simpang Kraft ini. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan bisa menambah pengetahuan bagi akademisi, praktisi, mahasiswa jurnalistik dan kepada pembaca pada umumnya serta dapat bermanfaat bagi seluruh lapisan masyarakat. Khususnya bagi mahasiswa/i jurnalistik yang ingin mempelajari jurnalisme sastrawi. Dengan membaca “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini ini kita dapat mempelajari empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan oleh Tom Wolfe.
8
D. METODOLOGI PENELITIAN 1. Paradigma Penelitian Lexy J. Moleong yang mengutip pernyataan Bogdan dan Bilken menyatakan
bahwa
paradigma
adalah
kumpulan
proposisi
yang
mengarahkan cara berpikir dalam penelitian.7 Maksudnya, paradigma merupakan salah satu metode atau cara berpikir yang digunakan oleh peneliti dalam melakukan penelitian baik itu pra maupun pasca penelitian. Paradigma ini dilakukan supaya peneliti tidak keluar dari jalur cara berpikir penelitiannya. Dalam studi mengenai bahasa, ada beberapa paradigma dalam analisisnya
yaitu
paradigma
positivisme-empiris,
paradigma
konstruktivisme dan paradigma kritis. Dalam
penelitian
ini,
peneliti
menggunakan
paradigma
konstruktivisme. Dalam paradigma konstruktivisme, bahasa tidak lagi hanya dilihat sebagai alat untuk memahami realitas objektif belaka dan yang
dipisahkan
dari
subjek
sebagai
penyampai
pernyataan.
Konstruktivisme justru menganggap subjek sebagai faktor sentral dalam kegiatan wacana serta hubungan-hubungan sosialnya.8 Paradigma konstruksionis memperhatikan interaksi kedua belah pihak, komunikator dan komunikan untuk menciptakan pemaknaan atau tafsiran dari suatu pesan. Paradigma konstruktivis menekankan pada politik pemaknaan dan proses bagaimana seseorang membuat gambaran
7
Lexy J.Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: PT Remaja Rosda karya, Cetakan kedelapan 1997) h. 30 8 Eriyanto, Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media, (Yogyakarta: LKiS,Cet VII Februari 2009), h. 5
9
tentang realitas. Paradigma ini memandang kegiatan komunikasi sebagai proses yang dinamis. Titik perhatian tidak terletak pada bagaimana seseorang mengirimkan pesan, melainkan bagaimana masing-masing pihak yang terlibat dalam lalu lintas komunikasi produksi pesan tersebut dan mempertukarkan maknanya. Dalam paradigma konstruktivisme ini adalah cara berpikir bagi peneliti dalam penelitiannya, bahwa segala peristiwa maupun berita yang ada tidak lahir sebagai realitas murni saja namun di balik realitas peristiwa yang dibangun terdapat orang-orang tertentu yang turut mengkonstruksi berita. Oleh karena itu, analisis wacana dimaksudkan sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu. Maka, dalam penelitian ini ingin mengetahui lebih jauh dari wacana yang terbentuk dalam peristiwa Simpang Kraft tersebut. 2. Metode Penelitian Sebagai karya ilmiah, setiap pembahasan menggunakan metode untuk menganalisa dan mendeskripsikan suatu masalah. Metode itu sendiri berfungsi sebagai landasan dalam mengelaborasi suatu masalah, sehingga suatu masalah dapat diuraikan dan dijelaskan dengan gamblang dan dapat dipahami. Bogdan dan Taylor yang dikutip Lexy J.Moleong mendefinisikan metodologi kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.9
9
Lexy, Metodologi Penelitian Kualitatif, h. 3
10
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan pisau analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun A. van Dijk. Pendekatan kualitatif ini memusatkan perhatian pada prinsip-prinsip umum yang mendasari perwujudan sebuah makna dari gejala-gejala sosial di dalam masyarakat.10 Sedangkan analisis wacana didefinisikan sebagai suatu
upaya
pengungkapan maksud tersembunyi dari sang subjek yang mengemukakan suatu pernyataan. Metode analisis wacana berbeda dengan analisis isi kualitatif yang lebih menekankan pada pertanyaan apa (what), analisis wacana lebih melihat kepada bagaimana (how) dari suatu pesan atau teks komunikasi. Melalui analisis wacana kita bukan hanya mengetahui bagaimana isi teks berita, tetapi bagaimana juga pesan itu disampaikan. Lewat kata, frase, kalimat, metafora macam apa suatu berita disampaikan. Dengan melihat bagaimana bangunan struktur kebahasaan tersebut, analisis wacana lebih bisa 11 3. Tahapan Penelitian a. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data ini dilakukan dengan berbagai cara, di antaranya: a) Observasi Teks Observasi atau pengamatan langsung dilakukan kepada teks yang akan diteliti. Dalam pengertian psikologik, observasi atau disebut 10 11
Burhan Bungin, Sosiologi Komunikasi, (Jakarta: Kencana, 2007), h.23 Alex Sobur, Analisis Teks Media, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006), h.68
11
dengan pengamatan meliputi kegiatan pemuatan perhatian terhadap sesuatu objek dengan menggunakan seluruh alat indera.12 Maka kegiatan
observasi
ini
dilakukan
dengan
cara
mencari
dan
menghimpun berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” b) Wawancara Wawancara dilakukan sebagai metode pengumpulan data yang digunakan
untuk
memperoleh
informasi
langsung
dari
narasumbernya.13 Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan teknik wawancara terstruktur yaitu wawancara yang dilakukan dengan terstruktur atau tersusun sesuai dengan pertanyaan-pertanyaan yang telah disiapkan terlebih dahulu. Wawancara ini dilakukan sebagai pendukung bagi kognisi sosial serta konteks sosial dalam analisis wacana van Dijk. Dalam hal ini, wawancara dilakukan kepada tiga orang yang berkepentingan dalam skripsi ini. Pertama, kepada Chik Rini selaku wartawan sekaligus penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Wawancara ini sangat diperlukan karena untuk mengetahui unsur kognisi sosial atau mental dari wartawan dalam memilih isu tersebut serta situasi ketika ia menuliskannya. Kedua, Andreas Harsono sebagai penanggung jawab dari Majalah Pantau dan editor dari naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Ketiga, Imam Sofwan selaku redaksi dari
12
Suharsimi Arikunto, Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek, Cet Ke-5, (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002), h. 133 13 Deddy Mulyana, Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya, (Bandung: Rosdakarya, 2006), h. 35
12
Yayasan Pantau untuk mengetahui sejarah perkembangan Majalah Pantau hingga menjadi Yayasan Pantau seperti sekarang ini. c) Dokumentasi Dokumentasi
dapat
dilakukan
dengan
mengumpulkan,
membaca dan mempelajari berbagai bentuk data tertulis (buku, majalah, atau jurnal) yang terdapat di perpustakaan, internet atau instansi lain yang dapat dijadikan analisis dalam penelitian ini. Peneliti mengumpulkan data yang berhubungan dengan analisis wacana.
b. Teknik Pengolahan Data Setelah data terkumpul dan dikelompokkan sesuai dengan tujuan penelitian untuk dianalisis dan diberikan interpretasi dengan cara
mengklasifikasikannya
dengan
kerangka
teori
kemudian
disimpulkan. a). Analisis Data Setelah data diperoleh, maka selanjutnya adalah melakukan analisis data. Setelah diperoleh wacana yang akan dianalisis, maka sebagai rujukan adalah dengan menggunakan analisis wacana model Teun van Dijk yang terdiri dari tiga elemen yaitu dimensi teks, kognisi sosial, dan konteks sosial. Dari beberapa teknik analisis data, peneliti merasa perlu meneliti wacana dengan menggunakan teknik van Dijk. Karena selain menganalisis dari struktur teks, analisa ini juga menukik kepada elemen kognisi sosial (mental wartawan dalam memahami peristiwa)
13
serta konteks sosial (menganalisa wacana yang berkembang di masyarakat). Teknik ini dirasa cocok dibandingkan dengan analisis wacana (discourse analysis) lainnya yang lebih mengarah kepada ideologi yang dikemukakan oleh Norman Fairclough atau tentang kekuasaan kaum mayoritas kepada kaum minoritas oleh Theo Van Leewen dkk. Karena dalam penelitian ini, lebih ingin membongkar mengenai konstruksi realitas dalam dimensi wacana teks berita tersebut, serta dengan kedua unsur wacana van Dijk lainnya. Dalam teknik analisis wacana van Dijk ini, terdapat tiga elemen ini yaitu, pertama, dimensi teks yang terdiri dari struktur makro, yaitu makna global dari suatu teks yang dapat diamati dati topik atau tema yang
diangkat
oleh
suatu
teks,
elemennya
adalah
tematik.
Superstruktur, yaitu kerangka suatu teks, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan, elemennya adalah skematik. Struktur mikro, makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks, elemennya adalah semantik, sintaksis, stalistik dan retoris. Kedua, yaitu kognisi sosial yaitu bagaimana wartawan atau penulis mengetahui dan memahami peristiwa yang sedang digarapnya. Ketiga, konteks sosial yaitu mengetahui apa yang sedang terjadi di masyarakat, dan dampak di masyarakat setelah adanya pemberitaan tersebut.
14
E. TINJAUAN PUSTAKA Penulisan dalam penelitian ini mengacu kepada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis dan Disertasi) karya Hamid Nasuhi dkk yang diterbitkan oleh CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) Universitas Islam Negeri UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sedangkan dalam penyusunan skripsi ini, sebelum peneliti menyusunnya lebih lanjut maka terlebih dahulu, peneliti menelusuri koleksi skripsi-skripsi di Perpustakaan Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) dan Perpustakaan Utama UIN Jakarta. Maksud pengkajian ini adalah agar data diketahui bahwa apa yang diteliti sekarang tidak sama dengan skripsi-skripsi sebelumnya. Di kedua perpustakaan tersebut, banyak skripsi yang menggunakan analisis wacana van Dijk sebagai pisau analisisnya. Namun, tidak banyak yang menggunakan paradigma konstruktivis sebagai cara berpikir. Selain itu, tidak ada objek penelitian yang menggunakan teks genre jurnalisme sastrawi. Adapun beberapa tinjauan pustaka tersebut ialah: 1. Skripsi
karya
Sofwan
Tamami
(104051101959),
mahasiswa
Konsentrasi Jurnalistik Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta Angkatan 2004 dengan judul “Analisis Wacana Pemberitaan Film FITNA Karya Geert Wilders di Harian Umum Republika (Edisi 29-4 April 2008).” Perbedaan skripsi ini dengan yang diteliti terletak pada objek penelitiannya. Skripsi Sofwan meneliti pemberitaan Film FITNA karya Greert Wilders dan kelebihannya yaitu pada paradigma penelitian yang digunakan.
15
2. Skripsi karya Yul Shella K.A. (105051001992), mahasiswi jurusan Komunikasi Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul “Analisis Wacana Berita Pemilu 2009 Pada Harian Seputar Indonesia: Studi Pemberitaan KPU Sebelum Pemilu Legislatif.” Perbedaannya terletak pada objek yang diteliti. Yul Shella meneliti berita Pemilu 2009 di Harian Seputar Indonesia. 3. Skripsi karya Astri Putriyani (103051028444), mahasiswi jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Ilmu Dakwah dan Ilmu Komunikasi (FIDKOM) UIN Jakarta dengan judul “Analisis Wacana Rubrik “Media dan Kita” Majalah UMMI Edisi Juli-Oktober 2009.” Perbedaannya tetap pada objek yang diteliti yaitu Rubrik “Media dan Kita” Majalah UMMI. Kelebihannya, waktu penelitian dari JuliOktober (empat bulan) adalah waktu yang lama.
F. SISTEMATIKA PENULISAN Secara sistematis penulisan skripsi ini dibagi menjadi lima bab. Setiap bab terdiri dari sub-sub yang memiliki keterkaitan satu sama lainnya. Untuk lebih jelasnya peneliti uraikan sebagai berikut: Bab I Pendahuluan terdiri dari latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, metodologi penelitian, tinjaun pustaka, dan sistematika penulisan. Bab II Kajian Teoritis menguraikan mengenai kajian teoritis mengenai analisis wacana yang dikembangkan oleh Teun van Dijk
16
dengan rincian pengertian dari discourse analysis (analisis wacana) serta skema model wacana van Dijk. Dilanjutkan dengan konseptualisasi berita dan penjelasan genre jurnalisme sastrawi. Bab III Gambaran Umum Majalah Pantau memaparkan mengenai sejarah berdiri dan perkembangan Majalah Pantau, visi dan misi Majalah Pantau, struktur organisasi Majalah Pantau dan Yayasan Pantau, rubrikasi Majalah Pantau, alur kinerja redaksi Majalah Pantau serta konsep-konsep umum pada Majalah Pantau yang ditemukan peneliti dalam sumber-sumber pendukung. Selain itu juga, peneliti memberikan gambaran umum mengenai profil Chik Rini dan sinopsis dari naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Bab IV Hasil Penelitian ini berisi mengenai penjelasan hasil penelitian yang diperoleh peneliti dalam penelitiannya. Bab V Penutup ini berisi kesimpulan dan saran dari peneliti mengenai hal-hal yang telah dibahas oleh peneliti dalam skripsi ini.
BAB II KAJIAN TEORITIS
A. ANALISIS WACANA 1. Pengertian Analisis Wacana Pengertian analisis wacana terdiri dari dua kata, yaitu analisis dan wacana. Analisis menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah penyelidikan terhadap suatu peristiwa, penjelasan sesudah dikaji sebaikbaiknya, penguraian suatu pokok atas berbagai bagian, serta penguraian karya sastra atau unsur-unsurnya untuk memahami pertalian antar unsur tersebut.1 Secara etimologi istilah wacana berasal dari bahasa Sansekerta wac/wak/uak yang memiliki arti „berkata‟ atau „berucap‟. Kemudian kata tersebut mengalami perubahan menjadi wacana. Kata „ana‟ yang berada di belakang adalah bentuk sufiks (akhiran) yang bermakna „membendakan‟ (nominalisasi). Dengan demikian, kata wacana dapat dikatakan sebagai perkataan atau tuturan.2 Namun, istilah wacana diperkenalkan dan digunakan oleh para ahli linguis (ahli bahasa) di Indonesia sebagai terjemahan dari istilah bahasa Inggris, „discourse‟. Kata „deiscourse‟ sendiri berasal dari bahasa Latin,
1
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1 1988),
h.32 2
Deddy Mulyana, Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis Wacana, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005), h.3
17
18
discursus (lari ke sana lari ke mari). Kata ini diturunkan dari kata „dis‟ (dan/ dalam arah yang berbeda-beda) dan kata „currere‟ (lari).3 Dalam Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, terdapat tiga makna dari istilah wacana. Pertama, percakapan, ucapan, dan tutur. Kedua, keseluruhan tutur atau cakapan yang merupakan satu kesatuan. Ketiga, satuan bahasa terbesar, terlengkap yang realisasinya pada bentuk karangan yang utuh, seperti novel, buku, dan artikel.4 Definisi klasik wacana berasal dari asumsi-asumsi formalis (dalam istilah Hymes 1974b, “struktural”), mereka berpendapat bahwa wacana adalah “bahasa di atas kalimat atau di atas klausa” (Stubbs 1983:1).5 Van Dijk (1985:4) mengamati bahwa karakteristik deskripsi struktural wacana pada beberapa perbedaan unit, kategori bentuk sistematik atau hubungan-hubungan yang berbeda. Lanjutnya, menurut van Dijk, penelitian atas wacana tidak cukup hanya atas dasar dimensi teks semata, karena teks tersebut merupakan hasil praktik produksi yang harus diamati juga. Van Dijk menyatakan bahwa wacana itu sebenarnya adalah bangunan teoritis yang abstrak (the abstract theoritical construct) dengan begitu wacana belum dapat dilihat sebagai perwujudan wacana adalah teks.6
3
Dede Oetomo, Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana, (Yogyakarta: Kanisius,
1993), h.3 4
Peter Salim dan Yenny Salim, Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer, (Jakarta: Modern English Press, Edisi Ke-3 2002), h.1709 5 Deborah Schiffrin, Ancangan Kajian Wacana, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 28 6 Abdul Rani, Analisis Wacana Sebuah Kajian, (Malang: Bayu Media, 2004), h. 4
19
Secara ringkas atau sederhana, teori wacana mencoba menjelaskan terjadinya sebuah peristiwa seperti terbentuknya sebuah kalimat atau pernyataan. Wacana sebagai upaya untuk mengungkap makna yang tersirat dari subjek yang mengungkapkan pernyataan tersebut. Caranya, adalah dengan meletakkan posisi pada si pembicara dengan mengikuti struktur makna dari pembicara tersebut. Jika dicoba untuk merumuskan, analisis wacana adalah studi tentang struktur pesan dalam komunikasi. Dalam pandangan Littlejohn, bahwa menulis dan bahkan bentuk-bentuk non verbal dapat dianggap wacana. Menurutnya, terdapat beberapa untai analisis wacana, bersamasama menggunakan seperangkat perhatian (Littlejohn: 1996). Pertama, seluruhnya mengenai cara-cara wacana disusun, prinsip yang digunakan oleh komunikator untuk menghasilkan dan memahami percakapan atau tipe-tipe pesan lainnya. Kedua, wacana dipandang sebaga aksi. Ia adalah cara melakukan segala hal, biasanya dengan kata-kata. Ahli analisis wacana berasumsi bahwa pengguna bahasa mengetahui bukan hanya aturan-aturan tata bahasa kalimat, namun juga aturan-aturan untuk menggunakan unit-unit yang lebih besar dalam menyelesaikan tujuantujuan pragmatik dalam situasi sosial. Ketiga, analisis wacana adalah suatu pencarian prinsip-prinsip yang digunakan oleh komunikator aktual dari perspektif mereka; ia tidak memerdulikan ciri atau sifat psikologis
20
tersembunyi atau fungsi otak, namun terhadap problema percakapan sehari-hari yang kita kelola dan kita pecahkan.7 Littlejohn lebih mengarahkan wacana kepada aturan-aturan tata bahasa yang hadir dalam proses berkomunikasi. Secara otomatis, lebih terarah kepada makna pesan yang disampaikan oleh komunikator. Maka, tetap saja dalam penelitian lebih terarah kepada tokoh van Dijk, yang lebih memaksudkan bahwa analisis wacana sebagai suatu analisis untuk membongkar maksud-maksud dan makna-makna tertentu.
2. Analisis Wacana Model Teun van Dijk Dalam buku “Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media” karangan
Eriyanto,
di
dalamnya
mengembangkan analisis wacana.
terdapat
tokoh-tokoh
yang
Tokoh-tokoh yang terkenal dan
dikemukakan oleh Eriyanto tersebut, di antaranya Roger Fowler dkk (1979), Norman Fairclough (1998) yaitu mengenai wacana tentang ideologi, Sara Mills (1992) yang menitikberatkan perhatian kepada wacana mengenai feminisme, Theo van Leeuwen (1986) adalah analisis yang diperuntukkan untuk mendeteksi dan meneliti bagaimana suatu kelompok atau seseorang dimarjinalkan posisinya dalam suatu wacana. Dari banyaknya tokoh yang mengembangkan analisis wacana, model van Dijklah yang paling sering dipakai dalam berbagai penelitian teks media. Meski penelitian-penelitian wacana yang sering diteliti oleh van Dijk adalah mengenai rasialisme namun tidak menutupkemungkinan terhadap 7
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik, dan Analisis Framing, h. 48-49
21
objek penelitian atau teks berita lainnya untuk diteliti. Sama halnya, seperti objek penelitian terhadap teks berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini. Jika penelitian dalam skripsi ini memakai tokoh Teun A. van Dijk, maka harus diketahui terminologi analisis wacana dari van Dijk itu sendiri, yang dikutip dari buku “Aims of Critical Discourse Analysis.” Critical Discourse Analysis (CDA) has become the general label for a study of text and talk, emerging from critical linguistics, critical semiotics and in general from socio-politically conscious and oppositional way of investigating language, discourse and communication. As is the case many fields, approaches, and subdisciplines in language and discourse studies, however, it is not easy precisely delimit the special principles, practices, aims, theories or methods of CDA.8 Atau terminologi lainnya, yang terdapat dalam buku “Critical Discourse Analysis” dalam pembahasan mengenai “What is discouse?” yaitu: Discourse analysis are tic, “ked to define the concept of discourse.” Such a definition would have to consist of the whole discipline of discourse studies, in the same of way as linguistic provide many deminitions of the definition of „languages‟. In the may view, it hardly makes to define fundamental notions such as „discourse, languange, cognition, interaction, power, or society. To understand these notions, we need whole theories or discipline of the objects or phenomena we are dealing with. Thus, discourse is a multidimentional social phenomenon. It is at the same tune in linguistic (verbal gramatical), object (meaningful sequences of word or sentences), an action (as an assertion or a threat), a form of social interaction (like conversation), a social practice (such as a lecture), a mental representation (a meening, a mental model, an opinion, knowledge), an interactional communicative event or activity (like a parliementary debate), a cultural product (like a telenovela), or even an economic commodity that is being sold and bought (like a novel). In other words, a more or less complete „definition‟ of the notion of „discourse‟ would involve many dimentions of consists of many other fundamental notions that 8
hal. 17
Teun van Dijk, Aims of Critical Discours e Analysis, (Japan Discourse, 1995) Vol. 1,
22
need definition, that is, theory, such as meaning, interaction, and cognition.9 Studi wacana ini berasal dari analisis linguistik kritis. Merambah kepada ilmu sosial lainnya, seperti analisis semiotik kritis, bahasa, wacana, komunikasi, dan ilmu sosial lainnya. Meski awalnya berasal dari bahasan wacana linguistik, tapi tidak menutup kesempatan kepada ilmu sosial lainnya untuk diteliti. Van Dijk sendiri menyatakan dalam buku karangannya, Critical Discourse Analysis (CDA) bahwa ia lebih menyukai untuk berbicara mengenai Critical Discourse Studies (CDS) karena batasannya lebih umum, tidak hanya meliputi analisis kritis tapi juga teori kritis seperti penerapan kritis. Namun, dalam penelitian ini lebih tertuju kepada paradigma konstruktivis, bukan paradigma kritis atau Critical Discourse Analysis (CDA). Pengertian CDA dan wacana di atas hanya untuk menggambarkan apa itu wacana menurut tokoh van Dijk sendiri. Van Dijk juga memfokuskan kajiannya pada peranan strategis wacana dalam proses distribusi dan reproduksi pengaruh hegemoni atau kekuasaan tertentu. Salah satu elemen penting dalam proses analisa terhadap relasi kekuasaan atau hegemoni dengan wacana adalah pola-pola akses terhadap wacana publik yang tertuju pada kelompok-kelompok masyarakat. Secara teoritis bisa dikatakan, supaya relasi antara suatu hegemoni dengan wacana bisa terlihat dengan jelas, maka kita membutuhkan hubungan kognitif dari bentuk-bentuk masyarakat, ilmu pengetahuan, ideologi dan beragam representasi sosial lain yang terkait 9
Teun van Dijk, Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach, (London: Sage, 2002), h. 66-67
23
dengan pola pikir sosial, hal ini juga mengaitkan individu dengan masyarakat, serta struktur sosial mikro dengan makro.10 Menurut van Dijk, analisis wacana memiliki tujuan ganda: sebuah teoritis sistematis dan deskriptif yaitu struktur dan strategi di berbagai tingkatan dan wacana lisan tertulis, dilihat baik sebagai objek tekstual dan sebagai bentuk praktek sosial budaya, antar tindakan dan hubungan. Sifat teks ini berbicara dengan yang relevan pada struktur kognitif, sosial, budaya, dan sejarah konteks. Singkatnya, studi analisis teks dalam konteks. Momentum penting dari pendekatan tersebut terletak pada fokus khusus yang terkait pada isu sosial-politik, dan terutama membuat eksplisit cara penyalahgunaan kekuasaan kelompok dominan dan mengakibatkan ketidaksetaraan, legitimasi, atau ditantang dalam dan dengan wacana.11 Model yang dipakai van Dijk ini kerap disebut sebagai “kognisi sosial.” Istilah ini sebenarnya diadopsi dari pendekatan lapangan psikologi sosial, terutama untuk menjelaskan struktur dan proses terbentuknya teks.12 Wacana digambarkan mempunyai tiga dimensi yaitu teks, kognisi sosial dan konteks sosial. Inti analisis van Dijk adalah menggabungkan ketiga dimensi tersebut dalam satu kesatuan analisis. Dalam dimensi teks yang diteliti adalah bagaimana struktur teks dan strategi wacana yang dipakai untuk menegaskan suatu tema tertentu. Pada level kognisi sosial
10
Teun Van Djik,. Discourse and Society: Vol 4 (2). (London: Newbury Park and New Delhi: Sage, 1993), h. 249 11 Teun Van Dijk, Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui Beberapa Metodologi Reflektif, artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari http://www.discourse.com 12 Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar Untuk Analisis Wacana, Semiotik, dan Analisis Framing, h. 73
24
dipelajari proses produksi teks berita yang melibatkan kognisi individu penulis. Sementara itu aspek konteks sosial mempelajari bangunan wacana yang berkembang dalam masyarakat mengenai suatu masalah.13 Dapat digambarkan seperti di bawah ini: Gambar 1. Diagram Model Analisis Van Dijk14
Teks Teks Kognisi Sosial Kognisi Sosial Konteks Sosial
Sedangkan skema penelitian dan metode yang biasa dilakukan dalam kerangka van Dijk adalah sebagai berikut:15 Konteks Sosial
Tabel 1. Skema Penelitian dan Metode Van Dijk STRUKTUR Teks Menganalisis bagaimana strategi wacana yang digunakan untuk menggambarkan seseorang atau peristiwa tertentu. Bagaimana strategi tekstual yang dipakai untuk memarjinalkan suatu kelompok, gagasan atau peristiwa tertentu Kognisi Sosial Menganalisis bagaimana kognisi penulis dalam memahami seseorang atau peristiwa tertentu yang akan ditulis
13
METODE
Critical linguistic
Wawancara mendalam
Eriyanto, Analisis Wacana: Pengantar Ananlisis Teks Media, h. 224 Ibid, h. 225 15 Ibid, h. 275 14
25
Konteks Sosial Menganalisis bagaimana wacana yang berkembang dalam masyarakat, proses produksi dan reproduksi seseorang atau peristiwa digambarkan
Studi pustaka, penelusuran sejarah, dan wawancara
3. Kerangka Analisis Van Dijk a. Dimensi Teks Van Dijk membuat kerangka analisis wacana yang dapat digunakan, untuk melihat suatu wacana yang terdiri dari berbagai tingkatan atau struktur dari teks. Van Dijk membaginya kepada tiga tingkatan, yaitu. Tabel 2. Struktur Teks Van Dijk16 Struktur Makro Makna global dari suatu teks yang dapat diamati dari topik atau tema yang diangkat oleh suatu teks Superstruktur Kerangka suatu teks: bagaimana struktur dan elemen wacana itu disusun dalam teks secara utuh, seperti bagian pendahuluan, isi, penutup, dan kesimpulan Struktur Mikro Makna lokal dari suatu teks yang dapat diamati dari pilihan kata, kalimat, dan gaya yang dipakai oleh suatu teks
Sedangkan struktur atau elemen yang dikemukakan oleh van Dijk dapat digambarkan sebagai berikut: Tabel 3. Elemen Wacana Teks Van Dijk Struktur Wacana Struktur Makro 16
Ibid, h. 227
Hal yang diamati
Elemen
TEMATIK Tema atau topik yang
Topik
26
Superstruktur
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
Struktur Mikro
dikedepankan dalam suatu berita SKEMATIK Bagaimana bagian dan urutan berita diskemakan dalam teks berita utuh SEMANTIK Makna yang ingin ditekankan dalam teks berita. Misal, dengan memberi detil pada satu sisi atau membuat eksplisit satu sisi dan mengurangi sisi lain SINTAKSIS Bagaimana kalimat (bentuk, susunan) yang dipilih STILISTIK Bagaimana pilihan kata yang dipakai dalam teks berita RETORIS Bagaimana dan dengan cara penekanan dilakukan
Skema atau Alur
Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi
Bentuk kalimat, Koherensi, Kata ganti Leksikon
Grafis, Metafora, eskpresi
Berbagai elemen tersebut merupakan satu kesatuan, saling berhubungan dan mendukung satu sama lainnya. Untuk memperoleh gambaran dari elemen-elemen yang harus diamati tersebut, berikut adalah penjelasan singkatnya, yaitu: a) Tematik (Tema atau Topik) Elemen ini menunjuk kepada gambaran umum dari teks, disebut juga sebagai gagasan inti atau ringkasan. Topik menggambarkan apa yang ingin diungkapkan oleh wartawan dalam pemberitaannya. Topik menunjukkan konsep yang dominan, sentral, dan yang paling penting dalam sebuah berita. b) Skematik (Skema atau Alur) Teks umumnya mempunyai skema atau alur dari pendahuluan sampai akhir. Alur menunjukkan bagian-bagian dalam teks yang disusun dan diurutkan hingga membentuk kesatuan arti.
27
Menurut van Dijk, makna yang terpenting dari skematik adalah strategi wartawan untuk mendukung topik tertentu yang ingin disampaikan dengan urutan tertentu. c) Semantik (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Semantik dalam skema van Dijk dikategorikan sebagai makna lokal (local meaning), yakni makna yang muncul dari hubungan antarkalimat, hubungan antarproposisi, yang membangun makna tertentu dari suatu teks. Analisis wacana memusatkan perhatian pada dimensi teks, seperti makna yang eksplisit maupun implisit.17 Latar teks merupakan elemen yang berguna untuk membongkar apa maksud yang ingin disampaikan oleh wartawan. Latar peristiwa itu dipakai untuk menyediakan dasar hendak ke mana makna teks itu dibawa. Elemen detil berhubungan dengan kontrol informasi dari yang ingin ditampilkan oleh wartawan. Detil ini adalah strategi dari wartawan untuk menampilkan bagian mana yang harus diungkapkan secara detil lengkap dan panjang, dan bagian mana yang diuraikan dengan detil sedikit. Detil hampir mirip dengan elemen maksud, kalau detil itu mengekspresikan secara implisit sedangkan maksud yaitu secara eksplisit atau jelas atas maksud pengungkapan informasi dari wartawan. Kalau praanggapan (presuppotion) merupakan pernyataan yang digunakan untuk mendukung makna dari suatu teks. Dengan cara menampilkan narasumber yang dapat memberikan premis yang dipercaya kebenarannya. 17
Alex Sobur, Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framing, h. 78
28
d) Sintaksis (Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Ramlan (Pateda 1994:85) mengatakan, “Sintaksis ialah bagian atau cabang dari ilmu bahasa yang membicarakan seluk beluk wacana, kalimat, klausa, dan frase…”18 Dalam sintaksis terdapat koherensi, bentuk kalimat dan kata ganti. Di mana, keriga hal tersebut untuk memanipulasi politik dalam menampilkan diri sendiri secara positif dan lawan secara negatif, dengan cara penggunaan sintaksis (kalimat). e) Stilistik (Leksikon) Elemen
ini
menandakan
bagaimana
seseorang
melakukan
pemilihan kata atas berbagai kemungkinan kata yang tersedia. Seperti kata „meninggal‟ yang memiliki kata lain seperti wafat, mati, dan lain-lain. f) Retoris (Grafis, Metafora, Ekspresi) Retoris ini mempunyai daya persuasif, dan berhubungan dengan bagaimana pesan ini ingin disampaikan kepada khalayak. Grafis, penggunaan kata-kata yang metafora, serta ekspresi dalam teks tertulis adalah untuk menyakinkan kepada pembaca atas peristiwa yang dikonstruksi oleh wartawan.
b. Dimensi Kognisi Sosial Dalam kerangka analisis van Dijk, pentinya kognisi sosial yaitu kesadaran mental wartawan yang membentuk teks tersebut. Karena, setiap teks pada dasarnya dihasilkan lewat kesadaran, pengetahuan, prasangka, atau pengetahuan tertentu atas suatu peristiwa. Di sini, wartawan tidak
18
Ibid, h. 80
29
dianggap sebagai individu yang netral tapi individu yang memiliki beragam nilai, pengalaman, dan pengaruh ideologi yang didapatkan dari kehidupannya. Peristiwa dipahami berdasarkan skema atau model. Skema dikonseptualisasikan sebagai struktur mental di mana tercakup cara pandang terhadap manusia, peranan sosial dan peristiwa. Ada beberapa skema/model yang dapat digunakan dalam analisis kognisi sosial penulis, digambarkan sebagai berikut:19 Tabel 4. Skema/ Model Kognisi Sosial Van Dijk Skema Person (Person Schemas): Skema ini menggambarkan bagaimana seseorang menggambarkan dan memandang orang lain Skema Diri (Self Schemas): Skema ini berhubungan dengan bagaimana diri sendiri dipandang, dipahami, dan digambarkan oleh seseorang Skema Peran (Role Schemas): Skema ini berhubungan dengan bagaimana seseorang memandang dan menggambarkan peranan dan posisi seseorang dalam masyarakat Skema Peristiwa (Event Schemas): Skema ini yang paling sering dipakai, karena setiap peristiwa selalu ditafsirkan dan dimaknai dengan skema tertentu
c. Dimensi Konteks Sosial Dimensi ketiga dari analisis van Dijk ini adalah konteks sosial, yaitu bagaimana wacana komunikasi diproduksi dalam masyarakat. Titik pentingnya adalah untuk menunjukkan bagaimana makna dihayati bersama, kekuasaan sosial diproduksi lewat praktik diskursus dan legitimasi. Menurut van Dijk, ada dua poin yang penting, yakni praktik kekuasaan (power) dan akses (access). 19
Eriyanto, Analisis Wacana:Pengantar Analisis Teks Media, h. 262
30
Praktik kekuasaan didefinisikan sebagai kepemilikan oleh suatu kelompok atau anggota untuk mengontrol kelompok atau anggota lainnya. Hal ini disebut dengan dominasi, karena praktik seperti ini dapat memengaruhi di mana letak atau konteks sosial dari pemberitaan tersebut. Kedua, akses dalam mempengaruhi wacana. Akses ini maksudnya adalah bagaimana kaum mayoritas memiliki akses yang lebih besar dibandingkan kaum minoritas. Makanya, kaum mayoritas lebih punya akses kepada media dalam memengaruhi wacana.
B. KONSEPTUALISASI BERITA 1. Pengertian Berita Paul De Massener dalam buku Here‟s The News: Unesco Associate menyatakan, news atau berita adalah sebuah informasi yang penting dan menarik perhatian serta minat khalayak pendengar. Charnley dan James M. Neal menuturkan, berita adalah laporan tentang suatu peristiwa, opini, kecendrungan, situasi, kondisi, interpretasi yang penting, menarik, masih baru dan harus secepatnya disampaikan kepada khalayak (Errol Jonathans dalam Mirza, 2000:68-69).20 Berita dapat didefinisikan sebagai peristiwa yang dilaporkan. Segala yang didapat di lapangan dan sedang dipersiapkan untuk dilaporkan, belum dapat disebut berita. Wartawan yang menonton dan menyaksikan peristiwa, belum tentu telah menemukan peristiwa. Wartawan harus bisa menemukan peristiwa setelah memahami proses atau 20
AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature, (Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005), h. 64
31
jalan cerita, yaitu harus tahu Apa (what) yang terjadi, Siapa (who) yang terlibat, Bagaimana kejadian itu terjadi (how), Kapan (when) terjadi, Di mana (where) peristiwa itu terjadi, dan Mengapa (why) sampai terjadi. Keenam hal tersebut merupakan unsur berita.21 Secara ringkas dapat dikatakan bahwa berita adalah jalan cerita tentang peristiwa. Ini berarti bahwa suatu berita setidaknya mengandung dua hal, yaitu peristiwa dan jalan ceritanya. Jalan cerita tanpa peristiwa atau peristiwa tanpa jalan cerita tidak dapat disebut berita.22 Setelah merujuk kepada beberapa definisi tersebut, maka dapat didefinisikan berita sebagai berikut; Berita adalah laporan tercepat mengenai fakta atau ide terbaru yang benar, menarik dan atau penting bagi sebagian besar khalayak, melalui media berkala seperti surat kabar, radio, televisi, atau media online internet.23
2. Nilai-Nilai Berita Nilai berita atau news values merupakan elemen-elemen dari berita sebagai dasar patokan bagi wartawan untuk memutuskan berita mana yang panats untuk diliput, dan mana yang tidak. Meski menurut Downie JR dan Kaiser, istilah tersebut tidak mudah didefinisikan. Kriteria nilai umum berita, menurut Brian S.Brooks, George Kennedy, Darly M. Moen, dan Don Ranly dalam “News Reporting and Editing” (1980: 6-17) menunjuk kepada sembilan hal. Beberapa pakar lain menyebutkan, ketertarikan manusiawi (humanity) dan seks (sex) dalam 21
Eni Setiati, Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan, h. 18 Sudirman Tebba, Jurnalistik Baru, (Ciputat: Kalam Indonesia, 2005), h. 55 23 AS Haris Sumadiria, Jurnalistik Indonesia Teknik Menulis Berita dan Feature, h. 65 22
32
segala dimensi dan manifestasinya, juga termasuk ke dalam kriteria umum nilai berita yang harus diperhatikan dengan seksama oleh para reporter dan editor media massa. Sehingga terdapat 11 nilai berita, menurut AS Haris Sumadiria dalam bukunya “Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature,” yakni: a. Keluarbiasaan (unsualness) b. Kebaruan (newness) c. Akibat (impact) d. Aktual (timeliness) e. Kedekatan (proximity) f. Informasi (information) g. Konflik (conflict) h. Orang pentingg (prominence) i. Ketertarikan manusiawi (human interest) j. Kejutan (suprising) k. Seks (sex)24
3. Jurnalisme Naratif Menurut Sudirman Tebba dalam Jurnalistik Baru, berita dapat dibedakan dari bentuk penyajiannya, seperti berita langsung (straight news), berita komprehensif (comprehensive news), dan feature. Berita langsung dan feature, adalah dua jenis berita yang sering dipakai pada umumnya. Narasi hadir sebagai salah satu bentuk feature
24
Ibid, h. 80
33
karena narasi memaparkan adegan demi adegan dengan memanfaatkan deskrispi, karakterisasi, dan plot. Istilah jurnalisme naratif ini dikembangkan oleh Mark Kramer sejak tahun 1998 dalam The Nieman Fellowship di University Harvard. Jurnalisme ini masuk ke dalam genre nonfiksi, narrative nonfiction. Meski penulisannya menggunakan gaya bercerita atau story telling tapi tetap saja fakta adalah unsur utamanya. Bergaya seperti seorang story teller atau pendongeng yang melaporkan peristiwa dengan nilai dramatis yang kuat dan tingkat immersion yang tinggi. Narrative perkawinan
journalism
silang,
antara
merupakan keterampilan
bentuk
cangkokan,
mengisahkan
cerita
hasil dan
kemampuan jurnalis dalam mendramatisir hasil observasinya terhadap berbagai orang, tempat, dan kejadian nyata di dunia,” ungkap Robert Vare dalam diskusi dengan para jurnalis tentang narrative journalism yang dilaporkan Nieman Reports.25 Jurnalisme narasi lebih ringkas dan simpel dibandingkan dengan jurnalisme sastrawi, model laporannya pun lebih linier, dan tidak serumit pengisahan berita literary journalism. Pekerjaan dari narasi ini tidak hanya menyampaikan peristiwa yang terjadi namun juga harus pandai mengisahkannya dalam rangkaian fakta yang dikisahkan. Cara pengisahan naratif memperhatikan awal, tengah, dan akhir laporan serta plot yang dibangun oleh action dan dialog serta cerita pendek. Selain itu, keringkasan kisah. “Pembaca mengejar apa yang 25
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastra, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002), h. 148
34
dikisahkan,” tegas Woo, “dan reporter harus segera menyampaikannya.” Riset juga diperlukan, ini menolong wartawan yang kehilangan ide untuk mengawali serta mengakhiri laporannya. Bentuk awal narasi ini dari feature dan di dalam narrative journalism berkembang istilah teknis seperti jurnalisme sastrawi (literary journalism), creative nonfiction, extended digressive narrative nonfiction. Oleh karena itu, diperlukan untuk membahas tentang jurnalisme narasi pada bab ini. Jurnalisme ini memang menyediakan halaman yang besar bagi wartawannya untuk mengeksplorasi kemampuan dalam mempresentasikan kisahnya. Tapi, menurut Kramer, pelaporan naratif akan tercapai bila antara editor dan reporter telah mencapai kesepahaman mengenai:
Penggunaan teknik-teknik naratif dalam jenis kisah tertentu
Proses reportase untuk laporan naratif
Siapa yang seharusnya menulis dan menyunting laporan semacam itu26
Unsur-unsur dalam naratif ini memang menambahkan banyak hal, yang berbeda daripada straight news maupun feature pada umumnya, karena naratif lebih mengacu kepada bagaimana (How) bukan apa (What). Karena naratif ini bukan sekedar melaporkan peristiwa dengan gaya penulisan yang biasa tapi terkait mengenai melaporkan kisah, yang artinya seperti dikatakan oleh Tom Wolfe bahwa naratif harus diistilah sebagai details life. Penggambaran hidup secara detil dan menyeluruh ini dapat
26
Ibid, h. 153
35
digambarkan seperti elemen-elemen emosi, karakter, deskriptif tempat, serta kelas sosial mereka.
C. JURNALISME SASTRAWI “Ia (jurnalisme sastrawi) seratus persen jurnalisme. Hanya saja ditulis dengan gaya sastra. Ia juga seratus persen fakta, bukan fiksi. Jurnalisme sastrawi merupakan sebuah metode penulisan dalam jurnalistik di samping metode penulisan yang sudah ada. Pada teknik penulisan dalam jurnalistik lama, umpamanya, dikenal beberapa jenis artikel seperti berita lurus dan karangan khas.”27 Pulitzer Prize menyebutnya “eksplorative journalism.” Apapun nama yang diberikan, genre ini menukik sangat dalam. Lebih dalam daripada apa yang disebut sebagai in-depth reporting. Ia bukan saja melaporkan seseorang melakukan apa. Tapi ia masuk ke dalam psikologi yang bersangkutan dan menerangkan mengapa ia melakukan itu. Ada karakter, ada drama, ada babak, ada adegan, ada konflik. Laporannya panjang dan utuh-tidak dipecah-pecah ke dalam beberapa laporan. Sedangkan Roy Peter Clark, seorang guru menulis dari Poynter Institute Florida, mengembangkan pedoman standar 5W 1H adalah singkatan dari Who (siapa), What (Apa), Where (di mana), When (kapan), Why (mengapa), dan How (bagaimana). Pada narasi menurut Clark dalam satu esei Nieman Reports, who berubah menjadi karakter, what menjadi plot atau alur, where menjadi setting, when menjadi kronologi, why menjadi motif, dan how menjadi narasi. 28
27
Junarto Imam Prakoso, Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi, artikel diakses pada 23 Mei 2010 dari http://www.semesta.net 28 Andreas Harsono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, h. VIII
36
Jurnalis Amerika waktu itu memang mendekati sastra karena dipojokkan oleh dua hal. Pertama, bentuk dan gaya penulisan novel yang tengah menjadi trendsetter di dunia penulisan. Kedua, keinginan untuk mengungguli daya pikat media audio visual dan kecepatan siaran televisi.29 Karena perkembangan audio visual yang sangat signifikan, hal itu mengharuskan media cetak untuk membuat varian gaya penulisan yang terbaru. Meski para jurnalis kritis mengatakan, apanya yang baru? Namun, segi jurnalisme baru ini menuntut para wartawan untuk memerhatikan dan mengamati segala hal yang penting yang terjadi ketika peristiwa dramatis di lokasi. Seperti mengenai dialog orang-orang sekitar, sikap, ekspresi wajah, mimik, dan segala macam hal detil lainnya. Yang jelas, teknik penulisan ini memerlukan kedalaman informasi (depth information) yang lebih dibandingkan pelaporan biasa. Sebab dalam pekerjaan new journalism ada peliputan yang digarap di luar kebiasaan reporter koran atau penulis non-fiksi, yakni mengamati seluruh suasana, meluaskan dialog, memakai sudut pandang orang ketiga (point of view), dan mencari bentuk monolog interior yang bisa dipakai.30 Menurut Robert Vare dalam kumpulan buku antologi “Jurnalisme Sastrawi” Yayasan PANTAU, ada tujuh pertimbangan bila hendak menulis narasi atau jurnalisme sastra. Pertama, fakta. Jurnalisme menyucikan fakta. Walau memakai kata „sastra‟ tapi tetap saja harus
29 30
Septiawan Santana Kurnia, Jurnalisme Sastrawi, h. 4 Ibid, h. 5
37
berdasarkan fakta. Fakta tersebut harus diverifikasi, karena verifikasi adalah esensi dalam jurnalisme. Kedua, konflik. Bila ingin menulis laporan narasi, maka sebagai daya pikatnya adalah konflik. Konflik itu sendiri bisa bermacam-macam, entar konflik internal yang berada dalam diri maupun konflik eksternal yang berada di luar diri. Ketiga, karakter. Unsur karakter ini membantu untuk mengikat cerita. Karakter itu bisa sebagai peran utama dalam pengisahan tersebut, bisa juga peran pembantu. Baik peran utama dan pembantu memiliki fungsi yang penting dalam menghidupkan kisah. Keempat, akses. Akses ini dimaksudkan sebagai peluang untuk mendapatkan jaringan kepada narasumber supaya lebih mudah. Entah dengan cara wawancara, korespondensi, foto, catatan pribadi narasumber, kawan, dan sebagainya. Kelima, emosi. Unsur emosi ini untuk menghidupkan karakter dalam kisah tersebut. Emosi itu bisa saja dengan marah, tertawa, tersenyum, dan cinta. Keenam, perjalanan waktu atau series of time. Pada perjalanan waktu ini yang membedakan dari feature, jika feature itu sekali jepret foto dan narasi itu ibarat video. Terserah kepada si-penulis ingin menuliskannya yang mana lebih dahulu, apakah kronologis atau menggunakan alur flashback. Ketujuh, unsur kebaruan. Unsur kebaruan ini maksudnya adalah lebih mudah untuk mewawancarai narasumber dari orang biasa yang menjadi saksi mata bagi peristiwa besar. Dibandingkan mewawancarai
38
seorang panglima tinggi, yang pastinya hasil wawancara tersebut sudah dapat ditebak. Selain tujuh hal yang diutarakan oleh Robert Vare, jika ingin menulis narasi, maka Tom Wolfe juga membuat empat karakteristik jurnalisme baru yang membedakan dengan jurnalisme konvensional. Meski gaya dalam menulis narasi ini termasuk ke dalam jurnalisme baru. Empat alat atau karakteristik ini digunakan sebagai pegangan teori dalam penulisan gaya jurnalisme sastra, di antaranya yaitu pemakaian konstruksi adegan per adegan, pencatatan dialog secara utuh, dan pemakaian sudut pandang orang ketiga, dan mencatat secara detil. Jika diuraikan secara detil dari empat elemen dalam jurnalisme sastra, yakni: a. Konstruksi Adegan Demi Adegan Menurut kamus sastra yang disusun Dick Hartoko dan B. Rahmono, adegan ialah bagian dari suatu babak di dalam pementasan teater. Adegan berubah bila jumlah pelaku berubah atau latar berubah. Bagi pelaporan jurnalisme, hal itu berarti pembingkaian fakta-berita-yang mengilustrasikan pelbagai kejadian yang tengah berlangsung dan dicatat sebagai satu segmen pengisahan dari keseluruhan berita yang ingin dilaporkan.31 Laporan ini disusun dengan menggunakan teknik bercerita adegan demi adegan, atau suasana demi suasana. Menurut Wolfe, jurnalisme ini menggunakan kelebihan dari teknik novel realisme dan roman, sehingga berusahan mendalami “mengapa” dan “bagaimana”. Setelah tersusun fakta
31
Ibid, h. 46
39
maka dibentuk menjadi news story, yang meliputi unsur-unsur sosial dan pelbagai ciri kemasyarakatan lainnya. b. Pencatatan Dialog Secara Utuh “Encyclopaedia of Literature” menyatakan bahwa dialog berasal dari bahasa Latin (dialogus) atau bahasa Yunanri (di‟alogus). Dialog ini merupakan elemen sebagai penghidup dari kisah serta sebagai saluran untuk merepresentasikan perubahan topik kepada gagasan penulis. Unsur dialog ini menguatkan keutuhan adegan dan memberikan sentuhan riil pada laporan news strory. Dialog ini lebih menggunakan kutipan langsung dibandingkan kutipan tidak langsung. Karena dengan kutipan langsung ini, lebih mengukuhkan kekuatan dari lorong-lorong peristiwa dan saat pembaca membacanya akan terasa lebih renyah. c. Sudut Pandang Orang Ketiga Pada karakteristik ini, sebagai representasi dari setiap suasana peristiwa atau berita melalui pandangan mata orang ketiga yang dimunculkan dalam kisah tersebut. Sudut pandang (points of view) ini ditulis layaknya seperti kita ada di sana, melukiskan seperti novelis atau penulis memoar. d. Mencatat Secara Detil Dalam elemen mencatat secara detil ini, sebagai perbedaan dati teknik gaya penulisan jurnalisme sastra dengan feature pada umumnya. Di mana dengan pencatatan secara detil ini menyeleuruh kepada perilaku, adat istiadat, kebiasaan, gaya hidup, pakaian, dekorasi rumah, perjalanan
40
wisata, makanana, cara merawat rumah, serta hubungan kehidupan dengan orang sekitar. Perekaman secara detil ini akan memberikan kekuatan literer dalam pelaporannya. Secara otomatis, elemen terakhir ini memberi pembaca suatu deskripsi sosial, memotret latar belakang kehidupan seseorang, dan mencatat lambang-lambang sosial. Pengamatan terhadap sudut pandang penulis tersebut, bisa lewat kata “saya” atau “I”. Bisa juga melalui tokoh-tokoh lainnya (sudut pandang dari orang ketiga). Namun, yang terpenting dalam deskripsi mengenai pencatatan secara detil ini dapat ditampilkan lebih tajam, detil, lengkap, dan bermakna.
BAB III GAMBARAN UMUM
A. MAJALAH PANTAU 1. Sejarah Berdiri dan Perkembangannya Pasca lengsernya Presiden Soeharto pada tampuk pemerintahan di Indonesia, beragam media massa mulai bermunculan. Dari media berlingkup kecil sampai media bertaraf nasional atau media mainstream. Seakan-akan gaung kemerdekaan pers baru terasa “merdeka” pasca reformasi ini, apalagi dengan tidak diberlakukannya lagi Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari Departemen Penerangan. Perkembangan media massa yang signifikan ini bisa dilihat dari jumlah surat kabar yang dahulu berjumlah 200 penerbitan, kini naik menjadi 1500-2000 penerbitan setelah reformasi. 1 Penerbitan maupun dunia pers yang kian menjamurnya tersebut, membuat masyarakat Indonesia dapat mengekspresikan pendapat dan menerbitkan produk jurnalistik melalui media masing-masing. Salah satunya, Yayasan Pantau yang dahulunya bernama Majalah Pantau. Pada awal berdiri, Majalah Pantau adalah sebuah majalah yang diterbitkan di bawah naungan Institut Studi Arus Informasi (ISAI) pada Juli 1999.
ISAI dan Article XIX adalah organisasi nirlaba untuk
kebebasan berekspresi dari London yang juga ikut mengonsultani Rancangan Undang-Undang (UU) Pers No.40 Tahun 1999 dan bersama1
Yayasan Pantau, artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl 22.00 WIB dari http://www.lidahibu.com
41
42
sama memantau televisi serta menerbitkan penelitiannya lewat Pantau melalui sebuah newsletter. Pada Pemilu 1999, ISAI mengadakan program Pemantauan Televisi
yang
bekerjasama
dengan
Article
XIX
London.
Hasil
pemantauannya tersebut diterbitkan dalam bentuk newsletter yang bernama Pantau dan terbit setiap minggu selama masa kampanye Pemilu. Tujuannya, untuk memantau televisi-televisi Indonesia dalam meliput Pemilu pasca Orde Baru (Orba). Sesudah Pemilu, Pantau diubah menjadi majalah pemantauan media, dengan penekanan pada surat kabar dan analisis isi. Pada akhir 2000, muncul pemikiran untuk membuat newsletter lebih populer, tak hanya mengandalkan analisis isi. Pantau yang pada awalnya hanya berbentuk newsletter berubah menjadi majalah dan tidak hanya memantau permasalahan kampanye Pemilu belaka. Maka pada Maret 2001, Pantau diubah menjadi majalah bulanan. Partnership for Governance Reform in Indonesia dan Ford Foundation membantu pendanaan Pantau dengan hibah masing-masing sebesar US$65,000 (2001-2002) dan US$200,000 (2001-2003). Tujuannya, menjadikan Pantau sebagai majalah bulanan dengan liputan mendalam soal media dan jurnalisme. Beberapa perusahaan dan organisasi memberikan sumbangan sehingga total dana Pantau terpakai sekitar $350,000 dalam dua tahun (termasuk investasi awal). Majalah ini terbit tiap bulan dengan laporan-laporan panjang dan mendalam. Bisa soal media, wartawan, Aceh, terorisme, dan lain-lain.
43
Isinya, sekitar 60 persen mengenai media dan 40 persen non media. Majalah Pantau ini menjadi fenomena baru dalam jurnalisme Indonesia, karena untuk pertama kalinya media massa Indonesia diliput media lain dengan standar wajar-tanpa standar ganda karena khawatir saling mengganggu sesama wartawan. Andreas Harsono, seseorang yang aktif berkecimpung dari awal Majalah Pantau di bawah ISAI sampai diterbitkan oleh Yayasan Pantau, mengatakan bahwa di Indonesia Majalah Pantau adalah majalah pertama yang dengan sadar menggunakan teknik penulisan jurnalisme sastrawi, dengan menggunakan elemen-elemen yang dikemukakan oleh Tom Wolfe. “Kalau dilihat secara teoritis, dilakukan secara sadar dengan membaca Tom Wolfe, dengan memakai elemen-elemen yang diterangkan oleh Tom Wolfe dengan visi new journalismnya tampaknya yang muncul secara sadar dan dengan naratif yah baru Pantau.”2
Pantau terbit rutin pada setiap hari Senin pertama. Tiap bulan dicetak 3,000 eksemplar dan sirkulasi terjualnya naik hingga mencapai 2,500 pada Februari 2003. Menurut survei “Business Digest” pada Oktober 2002, sebuah majalah Pantau rata-rata dibaca enam orang dan 62 persen pembaca Pantau adalah wartawan (media cetak disusul wartawan televisi). Sisanya politisi, akademisi, orang public relation, dan mahasiswa. Contohnya seperti Ali Alatas, mantan Menteri Luar Negeri (Menlu) Indonesia, termasuk pelanggan Pantau dan menyukai majalah ini. Liem Sioe Liong dari organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) Tapol London menyebut majalah ini sebagai majalah terbaik di Indonesia. Muchtar Buchori, seorang legislator dari 2
Hasil wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB
44
Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan kolumnis Jakarta Post, menyebutnya "majalah investigasi."3 Seberapa pun banyak pembaca dari Majalah Pantau tersebut serta kekhasan jurnalisme sastrawi yang digunakan dalam teknik penulisannya, hal ini tidak membuat Pantau mempunyai nafas panjang dalam industri media. Pada tanggal 13 Februari 2003, melalui siaran pers ISAI kepada beberapa media melalui surat elektronik, Majalah Pantau resmi ditutup. Dirut ISAI Goenawan Mohamad mengatakan bahwa struktur pembiayaan majalah Pantau dengan liputan-liputan panjang, honor relatif tinggi, foto atau lukisan artistik, biaya liputan, sementara permintaan pasar tipis dan pemasukan iklan sedikit, mendorong manajemen ISAI untuk menutup majalah ini, setelah beroperasi selama dua tahun. "Saya berat sekali. Majalah ini bagus dan belum ada di Indonesia. Tapi majalah yang bagus kan butuh uang? Di Amerika, majalah seperti ini juga tidak hidup dari perdagangan, tapi harus disubsidi. Dan itu yang kita tak punya," papar Goenawan.4 Pantau edisi terakhir, Februari 2003 menurunkan laporan sepanjang 25 halaman tentang kehidupan tentara-tentara Indonesia di Aceh. "Kejarlah Daku Kau Kusekolahkan" dikerjakan Alfian Hamzah, seorang wartawan muda asal Kendari, yang tinggal selama dua bulan penuh bersama sebuah batalyon Indonesia di daerah Aceh Barat. Kata Andreas, setiap kali penerbitan, redaksi menyiapkan waktu yang panjang sebelum menurunkan sebuah laporan. Laporan Alfian itu, kata Andreas, disiapkan sejak Juli 2002. Kini, katanya, di meja redaksi masih tersimpan beberapa laporan untuk penerbitan tiga hingga empat bulan mendatang. Laporan-laporan itu akan diputuskan, apakah akan dimuat atau dikembalikan, pada rapat Kamis 13 Februari 2003. Pantau mengandalkan kontributor lepas untuk mengerjakan hampir 70 persen isi majalah; mulai dari laporan hingga kartun dan foto. Majalah ini memiliki sekitar 140 3
Anggar Septiadi, Laporan Jurnalistik yang Bercerita, artikel diakses pada Rabu, 3 November 2003 pkl 22.10 WIB dari http:www.kompas.com/kompasiana/media 4 Tma, ANT, Krisis Keuangan Majalah Pantau Berhenti Terbit, artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 pkl 22.00 WIB dari http:// www.gatra.com
45
kontributor, dari Banda Aceh hingga Jayapura.5 Sekitar 100 kontributor Pantau merasa misi mereka meningkatkan mutu jurnalisme Indonesia dan melayani publik lewat informasi-informasi yang independen dan bermutu, jadi terputus. Mereka menilai majalah ini harus diterbitkan lagi karena di Indonesia tidak ada media yang menyajikan informasi dengan bercerita atau story telling seperti “The New Yorker” atau “The Atlantic Monthly,” dengan menggunakan riset dalam, referensi banyak, dan enak dibaca. Oleh karena itu, dengan diprakarsai oleh awak redaksi yang tersisa, mereka mendirikan Yayasan Pantau untuk meneruskan cita-cita majalah pada Agustus 2003. Tadinya, yang hanya seputar analisis media, kini merambah kepada ranah seputar politik-cum-kebudayaan. Manajemen ISAI mendukung dan memberikan copy rights (hak cipta) Majalah Pantau kepada Yayasan Pantau dan tetap menggunakan nama Pantau. Seperti yang dijelaskan dalam wawancara dengan Imam Sofwan, dari Yayasan Pantau; “Yayasan PANTAU berdiri sendiri sejak dari tahun 2003, sebelumnya dia di bawah ISAI (Institut Arus Informasi). Jadi ISAI itu membawahi beberapa lembaga, ada Radio 68H, ada Pantau, ada Jaringan Islam Liberal (JIL), KALAM, dan macam-macam. Trus, tahun 2003 berdiri sendiri, kita bikin yayasan sendiri. Waktu itu, ada Andreas Harsono, Budi Setyono, Indarwati Aminuddin (sekarang di Belanda). Mereka mengajukan permohonan untuk bikin yayasan sendiri, juga ada notaris.”6 Produk terbitannya tetap dalam format majalah bulanan dan menggunakan penulisan genre jurnalisme sastrawi, hanya saja tidak lagi 5
Bagja Hidayat (Tempo-News Room), Majalah Pantau Berhenti Terbit, artikel diakses pada Rabu, 13 November 2010 pkl 22.30 WIB dari http://www.tempointeraktif.com 6 Hasil wawancara dengan Imam Sofwan di Kantor Yayasan PANTAU pada Rabu, 3 November 2010 pkl. 14.00 WIB
46
diterbitkan di bawah ISAI namun dibawahi langsung oleh Yayasan Pantau dengan pemimpinnya Andreas Harsono bukan lagi Goenawan Mohammad (ISAI). Tapi, lagi-lagi majalah ini mengalami krisis yang sama, yaitu permasalahan keuangan (cashflow) dan pemasaran (marketing). Sehingga membuat Majalah Pantau hanya bertahan sebanyak tiga edisi dan kembali gulung tikar. Meski, Pantau sempat terbit tiga edisi lagi namun dengan perwajahan yang sedikit berbeda antara Desember 2003 hingga Februari 2004. Majalah Pantau untuk kedua kalinya menelan pil pahit. Selain dua persoalan di atas, Andreas mengungkapkan ada salah seorang kawan dalam manajemen Yayasan Pantau yang menggelapkan uang iklan. “Selain dana, yah ada yang menggelapkan uang, oleh kawan kami sendiri sehingga membuat kami capek. Yah, itu saja. Kami capek, sudah ngumpulin uang susah-susah tapi malah dibawa lari. Shock banget kami.”7
The Ford Foundation mendukung dana awal untuk merombak desain dan meluncurkan ulang majalah ini pada Maret 2001. Suzanne Siskel dari The Ford Foundation pun mendukung tanpa syarat meski ia meragukan kemampuan di luar manajemen non-redaksinya. Awak majalah awalnya terdiri dari Ade Juniarti, Agus Sudibyo, Eriyanto, Heru Widhi Handayani, Eri Sutrisno, Irawan Saptono, Joko Sudarsono, Linda Chistanty, Veven SP. Wardhana, dan Wiratmo Probo. Joko pontang-panting mengurus desain, kartun, dan gambar. Dibyo dan 7
Hasil Wawancara by phone dengan Andreas Harsono, Penanggungjawab Yayasan Pantau pada Jumat, 4 Februari 2011 pukul 20.00 WIB
47
Eriyanto bikin riset media. Irawan, Linda, dan Veven menjaring para kontributor. Eri Sutrisno mengatur distribusi dan pemasaran.8 Saat Majalah Pantau di bawah ISAI, para perupa yang membantu dalam Pantau yaitu Agus Suwage, Suraji, Wara Anindyah, Augustin Surauni, M. Syaifuddin, Agus Kurniawan, Yuswantoro Adi, Bunga Jeruk, Zulfirmansyah, dan lain-lain. Serta para karikaturis, kartunis, hingga fotografer. Mereka membentuk citra Pantau sebagai medium yang memberikan perhatian kepada seni. Menurut Joko, “Mereka masih membekaskan kesan yang nomplok.” Ketika majalahnya tutup kembali untuk kedua kalinya, Yayasan Pantau tidak kehabisan cara guna menyosialisasikan genre jurnalisme sastrawi serta memperbaiki mutu jurnalisme di Indonesia, yaitu dengan memberikan pelatihan dan kursus-kursus bagi wartawan, mahasiswa serta pers kampus pada umumnya. Seperti yang diterangkan oleh Imam Sofwan bahwa Yayasan Pantau telah membuat sindikasi Pantau di Aceh dengan nama Aceh Feature Service. “Kita sempat juga bikin sindikasi Pantau, namanya Pantau Feature Service, itu khusus fokus bikin feature-feature bencana Aceh pasca tsunami, berupa penulis-penulis Pantau yang dulu nulis di majalah kemudian nulis di Pantau Feature Service. Kemudian, belakangan pada akhir 2006 penanggung jawabnya Linda dan editor Linda kemudian dari Desember akhir 2006 sampai akhir 2008. Kemudian itu, selain bikin Pantau Feature Service, kita juga bikin kegiatan yang konsen training, sudah ada 70 training yang sudah diadakan di seluruh Indonesia. Minimal ada sekali training. Yang rutin di Pantau memang cuma ada dua reguler kursus di Pantau. Yang pertama, kelas narasi dua kali setahun, yang jurnalisme sastrawi satu kali per tahun. Memang di situ lah yang kemudian kita mempromosikan jurnalisme sastrawi dengan cara 8
Andreas Hasono dan Budi Setiyono, ed., Jurnalisme Sastrawi Liputan Mendalam dan Memikat, (Jakarta: KPG, Cet Kedua Mei 2008), h.323
48
penulisan naratif. Dan rata-rata penulis-penulis Pantau alumni dari kelas-kelas itu. Yang jurnalisme sastrawi sudah angkatan yang ke19 dan yang narasi angkatan ke-10. Dari situ, praktis setelah majalah PANTAU tutup dan Aceh Feature Service selesai programnya, maka praktis kegiataannya cuma training dan beberapa riset, dan penerbitan beberapa buku, seperti jurnalisme sastrawi.”9 Ketika, pada akhirnya Majalah Pantau tutup kembali, beragam media massa nasional memberitakannya, respon dari para pembaca pun beragam. Majalah bagus yang berkualitas memang membutuhkan dana besar serta strategi marketing yang bagus. Media nasional yang memberitakan tutupnya Pantau tersebut di antaranya yaitu, media online www.gatra.com mengangkat judul “Majalah PANTAU Berhenti Terbit” pada Jakarta, 13 Februari 2003 pukul 18:18 WIB. Kedua, dari Bagja Hidayat- Tempo News Room (TNR) diambil pada www.tempointeraktif.com menulis dengan judul yang sama dengan Gatra.com yaitu “Majalah PANTAU Berhenti Terbit” pada Selasa, 13 Februari 2003. Serta yang ketiga, dengan secara khusus Wisnu T.Hanggoro, Direktur Lembaga Studi Pers & Informasi (LeSPI) menulis di kolom http://suaramerdeka.com tentang plus minusnya Majalah Pantau yang judul “Menyimak Tutupnya Majalah Pantau” pada Sabtu, 15 Februari 2003. Tutupnya Majalah Pantau ini, tidak membuat awak redaksi Yayasan Pantau reda semangatnya. Mereka membuat pelatihan, kursus, dan kerja sama lainnya seputar jurnalisme sastrawi. Kerjasama internasional yang sudah dikerjakan dan dirintis oleh Yayasan Pantau 9
Hasil wawancara dengan Imam Sofwan pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB di Kantor Yayasan Pantau
49
adalah dengan Bill Kovach, wartawan terkemuka dunia, ketua Committee of Concerned Journalist dan kurator Nieman Foundation, Harvard University. Di bawah pengorganisasian Yayasan Pantau, Kovach pada Desember 2003 lalu berdiskusi di sejumlah kota di Indonesia, sambil meluncurkan bukunya “The Elements of Journalism,” yang diterbitkan Yayasan Pantau dalam bahasa Indonesia. Kemudian, pada Desember 2004, Yayasan Pantau menggandeng Michael Cowan, pengajar pada Columbia Graduate School of Journalism, New York, yang juga produser acara "Today" NBC. Kerjasama internasional lainnya adalah dengan penulis buku “Covering Globalization,” Anya Schiffrin dari Initiative of Policy Dialogue, sebuah lembaga nirlaba yang dikembangkan penerima Nobel Joseph E. Stiglitz. Beberapa nama lain adalah Mila Rosenthal dari Columbia University dan Kevin Cassidy dan Carmen dari ILO, Noriel dan Agatha Schmaedick dari the Worker's Right's Consortium. Sejak April-Juni 2005, Pantau bekerjasama dengan Bisnis Indonesia untuk melakukan workshop terhadap 60 reporter dan redaktur Bisnis Indonesia yang berlangsung selama empat bulan sekaligus mempersiapkan mereka memasuki perubahan dalam bentuk penulisan byline dan etika pagar api (firewall), suatu kewajiban dalam media, yang tak banyak dipraktikkan di Indonesia. Pada Mei 2005, Pantau bekerjasama dengan PT. Freeport Indonesia melatih wartawan-wartawan di Papua. Pantau juga mengorganisir jadwal dan kunjungan US Jefferson Fellows di Indonesia dan pada Juli hingga
50
Desember 2005. Pantau terlibat dengan sejumlah riset dan training di Kupang, Ende, Aceh, Lampung, Pontianak, Jember dan sebagainya. Bulan Mei 2005 juga, Yayasan Pantau menjadi institusi resmi yang menjalankan program The East-West Center Jefferson Fellowships di Asia Pasifik. Program ini telah berlangsung selama 38 tahun di berbagai negara, yang menghimpun sedikitnya 400 jurnalis negara-negara maju. Dengan mata acara mulai dari seminar hingga studi lapangan dalam bidang politik, ekonomi, sosial dan kebudayaan. Pelatihan reguler yang biasa dilakukan Yayasan Pantau adalah Kursus Jurnalisme Sastrawi (Literary Journalism), yang kini sudah memasuki Angkatan ke-10. Kursus ini berlangsung satu semester sekali, tiap bulan Januari dan Juni. Pelatihan lainnya adalah workshop terprogram untuk para calon wartawan. Praktis Yayasan Pantau harus berkeliling dari satu kota ke kota lain. Fokus utamanya, adalah melatih para penggiat pers kampus (pers mahasiswa). Untuk kegiatan ini, Pantau mendapatkan dana dari Umverteilen, lembaga nirlaba dari Berlin, Jerman, yang antara lain mengkhususkan pelatihan untuk mahasiswa. Ada juga jenis inhouse training, beberapa portofolio yang sudah Yayasan Pantau lakukan adalah dengan melatih para wartawan di lingkungan Fajar Group, Makassar, pada September 2003, yang melibatkan sedikitnya sembilan surat kabar dari anak perusahaan Fajar Group. Pelatihan terhadap mereka adalah materi liputan investigatif. Di luar pelatihan, Pantau pun masih terus mengembangkan liputan,
51
walau tak memiliki majalah. Salah satu proyek liputan terakhir adalah kerjasama dengan Unesco dalam program liputan mendalam yang dianggap penting diketahui publik. Liputan ini, yang berlangsung mulai September 2005 sampai Januari 2006, diikuti oleh program seminar The Latest Development in Investigative Journalism in Indonesia untuk menjelaskan posisi liputan investigatif di Indonesia, yang sering disalah pahami banyak media. Program peliputan Pantau juga dikembangkan dalam bentuk sindikasi media. Yayasan Pantau mengundang kontributor Pantau untuk menulis aneka macam features, mulai indepht reporting, feature berita hingga kolom. Seluruh naskah akan disimpan dalam website Yayasan Pantau (www.pantau.or.id) yang sedang dalam pembangunan ulang. Untuk keperluan tersebut, Pantau bekerjasama dengan Open Society Institute (OSI) melalui Tifa Foundation dalam pendirian kantor Yayasan Pantau di Aceh, yang secara khusus melakukan pemantauan atas upaya rekonstruksi. Kerjasama dimulai sejak September 2005 hingga September 2006 mendatang. Mengenai penerbitan buku, Yayasan Pantau belum dapat berbuat banyak. Yayasan Pantau baru menerbitkan beberapa saja, yang dimulai dengan buku “Sembilan Elemen Jurnalisme” karya Bill Kovach dan Tom Rosenstiels, pada tahun 2003. Buku ini aslinya berjudul “The Elements of Journalism”, dianggap salah satu buku jurnalisme terbaik penutup pada akhir abad ke-20. Buku lain yang diterbitkan adalah “Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan
52
Mendalam dan Memikat,” pada 2005. Buku ini dikerjakan oleh para kontributor Pantau, dan isinya dianggap bisa menerangkan apa yang dimaksud dengan literary journalism, atau oleh Lembaga Pulitzer Prize disebut explorative journalism. Jika dapat dirangkum, maka terdapat beberapa keunggulan atau nilai plus dari Majalah Pantau baik itu versi ISAI maupun versi Yayasan Pantau, dibandingkan dengan media massa nasional lainnya di Indonesia, yaitu: a. Majalah Pantau difungsikan sebagai media-watch atau pemantau media bagi media massa lainnya di Indonesia b. Majalah Pantau menggunakan genre jurnalisme sastrawi yang pertama kali diadopsi oleh “The New Yorker” di Amerika dan mengaplikasikan elemen-elemen jurnalisme sastrawi dalam setiap tulisannya dari liputan panjang hingga tulisan kolom c. Majalah
Pantau
adalah
majalah
pertama
yang
secara
sadar
menggunakan jurnalisme sastrawi d. Manajemen Majalah Pantau menghargai kinerja seorang jurnalis dengan memberikan honor relatif tinggi, yaitu Rp 400/kata kepada reporter. Honor tinggi lainnya kepada foto atau lukisan artistik, serta biaya liputan bagi jurnalis e. Menyediakan kolom ombudsman sebagai seseorang yang dianggap kredibel oleh manajemen Majalah Pantau untuk memantau serta mengkritisi Majalah Pantau atau media massa f. Majalah Pantau berani menggunakan konsep majalah berkarakter
53
tulisan panjang g. Menggunakan reportase panjang, tanpa sidebar maupun tanya jawab h. Berani mengambil risiko dengan mengandalkan freelance untuk mengerjakan hampir dari 70% isi majalah dari laporan berita hingga kartun dan foto i. Memiliki 140 kontributor dari Banda Aceh hingga Jayapura, Papua j. Majalah Pantau konsisten menggunakan byline (menulis nama penulis) di bawah judul naskah berita dalam setiap laporan tulisannya sebagai bentuk tanggung jawab atau transparansi dari penulis yang menulis berita tersebut Selain dari segi plus yang telah dirangkum di atas, Majalah Pantau juga memiliki kekurangan akut dari awal penerbitan hingga tutupnya majalah tersebut. Kurangnya dana dan kedua strategi pemasaran serta kurangnya tenaga handal dalam bidang marketing. Tidak bisa dipungkiri, majalah mewah dengan karakter laporan penulisan panjang inilah, pastinya membutuhkan dana besar. Majalah Pantau mempunyai dana besar dari para penyokong seperti Ford Foundation dan pengiklan. Majalah ini dapat memperbaiki mutu jurnalisme Indonesia dan memiliki segmentasi yang jelas. Segmentasi Majalah Pantau adalah, wartawan, seniman, budayawan, akademisi, mahasiswa dan masyarakat yang tertarik pada dunia jurnalistik. Tapi, karena segmentasi yang tidak „merakyat‟ inilah membuatnya sulit untuk beredar di kalangan masyarakat awam atau toko buku seperti Gramedia, Gunung Agung, dan sebagainya.
54
Meski demikian, Majalah Pantau mendapatkan berbagai komentar pada penghujung usianya. Di antaranya: Maria Hartiningsih, wartawan harian Kompas, yang menerima Penghargaan Yap Thiam Hien 2003 mengatakan, "Prosa terbaik dan paling orisinal yang pernah ditulis jurnalis Indonesia saat ini." Endy Bayuni, Pemimpin Redaksi The Jakarta Post, yang menerima Nieman Fellowship dari Universitas Harvard 2003-2004: "The combination of the best in journalism and the best in literacy can produce potent and effective non-fiction writings. This Pantau collection is proof of that." Janet Steele, dosen Universitas George Washington, yang mengarang buku “Wars Within: A Story of Tempo, an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia” serta yang menulis disertasi mengenai Majalah TEMPO mengatakan, "These pieces, not only represent something new and appealing in Indonesian news writing, but they also represent the highest calling of journalists: to serve the citizens of Indonesia by reporting on some of the most important social issues of our time."10 Yayasan Pantau juga mengelola sebuah mailing list
[email protected] dengan anggota lebih dari 600 wartawan, produser,
dan
mahasiswa.
Ada
juga
[email protected]
yang
menjadi
mailing medium
list
pantau-
komunikasi
anggota Pantau. Sejumlah anggota Pantau telah memenangi beberapa penghargaan dalam bidang jurnalisme, fotografi, kartun, desain, dan karya fiksi.11 Tulisan dalam Majalah Pantau juga dapat diakses pada situs website Yayasan Pantau melalui www.pantau.or.id. Dalam situs ini juga masih menaruh laporan-laporan jurnalisme sastrawi dari para kontributor hingga kini. Namun, karena situs Yayasan Pantau ini telah dihack
10
Andreas Harsono dan Budi Setiyono. ed, Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat, h. cover belakang 11 Artikel diakses dari http://www.pantau.com, pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10:30 WIB
55
sebanyak 250 kali oleh para hacker, maka Andreas Harsono mengatakan hal utama yang dilakukan oleh manajemen Yayasan Pantau adalah membangun ulang dan memperbaharui situsnya. Dengan demikian, Yayasan Pantau tetap dapat menyosialisasikan tulisan jurnalisme sastrawi kepada khalayak dari para kontributor melalui medium website.
2. Visi dan Misi Majalah Pantau a.
Visi Majalah Pantau Visi Majalah Pantau adalah bertujuan untuk memperbaiki mutu
jurnalisme yang ada di Indonesia. “Kalau visi misinya itu sendiri mungkin memperbaiki jurnalisme di Indonesia. Karena Pantau sendiri didirikan dari keprihatinan kualitas jurnalisme di Indonesia yang buruk. Artinya, banyak hal yang menjadi kesimpulan kita di sini buruk. Terutama soal diversity (keberagaman) soal bagaimana meliput konflik dan segala macam. Kemudian, bagaimana kebanyakan media-media di Indonesia menyuarakan orang-orang terkenal, menyuarakan pejabat dan segala macam yang seharusnya tugas wartawan. Biasanya prinsip-prinsip jurnalisme yang perlu diperbaiki kemudian Pantau berusaha mulai memperbaiki jurnalisme di Indonesia, salah satunya adalah dengan mempromosikan cara penulisan naratif dan waktu itu kita bikin majalah untuk sarana promosi itu. Ini lho contoh cara penulisan yang baik, kemudian soal uang yang terbatas. Wartawan bisa nulis panjang dan segala macamnya, Pantau menyiapkan uang itu.”12 Andreas juga mengungkapkan visi misi dari Majalah Pantau, karena majalah ini adalah majalah media dan jurnalisme. Maka mandat Majalah Pantau yaitu memantau radio, televisi, media, dan wartawan. Tugas utamanya adalah meliput soal wartawan dan media.
12
Hasil wawancara dengan Imam Sofwan, pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB di Kantor Yayasan Pantau
56
Selain itu, Majalah Pantau juga secara fokus juga berkonsentrasi untuk mempromosikan cara penulisan naratif. Cara penulisan naratif yang panjang ini jarang digunakan pada media mainstream Indonesia. Pantau menggebraknya
dan
secara
khusus
dan
kontinu
(berkelanjutan)
menggunakan genre jurnalisme sastrawi ini, sama halnya seperti majalah ikon Amerika Serikat yaitu “The New Yorker.” b. Misi Majalah Pantau Untuk mengaplikasikan visi dari Majalah Pantau tersebut, maka Yayasan Pantau melakukan berbagai cara. Salah satunya, adalah dengan memakai sistem ombudsman untuk memantau Majalah Pantau itu sendiri. Ombudsman itu digunakan sebagai perangkat yaitu bagaimana jurnalisme yang baik. Ada seseorang yang secara independen mengawasi bagaimana praktik jurnalisme itu sudah benar atau belum. Dia mempunyai wewenang untuk memutuskan itu. Selain itu juga, secara kualitas juga dekat sekali, artinya untuk proses editing dan segala macam, chek rechek itu standar yang belum banyak dipraktikkan.Makanya, Yayasan Pantau memakai ombudsman, media pemantau dipantau pula oleh ombudsman. “Paling tidak mereka (ombudsman Majalah Pantau) punya record jurnalisme yang baik. Artinya mereka punya pengetahuan, wawasan jurnalisme yang baiklah.”13 Selain ombudsman, misi Majalah Pantau adalah dengan memakai byline dan sistem pagar api (firewall). Byline atau mencantumkan nama asli penulis laporan berita tersebut digunakan sebagai transparansi sikontributor dan dapat dipertanggung jawabkan jika ada permasalahan. 13
Hasil wawancara dengan Imam Sofwan, pada Rabu, 3 November 2010 pkl 14.00 WIB di Kantor Yayasan Pantau
57
Sedangkan sistem pagar api (firewall) ini juga digunakan sebagai pembeda atau pemisah untuk mengetahui mana yang opini dan mana yang berita.
3. Struktur Organisasi Majalah Pantau Susunan redaksi Majalah Pantau yang diterbitkan oleh Yayasan Pantau, yaitu:14 a. Penanggung jawab
: Andreas Harsono
b. Pemasaran dan Distribusi : Narliswandi Piliang c. Sidang Redaksi
:
Agus
Sopian,
Budi
Setiyono,
Mohamad Iqbal, Titarubi d. Desain
: Yusuf dari LeBoYe
e. Creative Director
: Hermawan Tanzil
f. Ombudsman Pantau
: Masmimar Mangiang
Sedangkan struktur organisasi pada Yayasan Pantau hingga kini, yaitu:
14 15
Ketua Yayasan
: Andreas Harsono
Sekretaris Yayasan
: Budi Setiyono
Bendahara Yayasan
: Artine Utomo15
Susunan Redaksi pada Majalah Pantau No.3/ Februari 2004, h.3 Yayasan Pantau, (Jakarta, Kebayoran Lama, 2009).
58
Gambar 2. Struktur Organisasi Yayasan Pantau BOARD RTS Masli Daniel Dhakidae Hamid Basyaib Artine Utomo
DIREKTUR Andreas Harsono
MANAGER PROGRAM Imam Shofwan
STAF KEUANGAN Widji Lestari
STAF UMUM Khoirudin
KONTRIBUTOR/ HONORER
STAF PROGRAM Siiti Nurrofiqoh
4.
WAKIL DIREKTUR Budi Setiyono
Rubrikasi Majalah Pantau Sejak Majalah Pantau terbit di bawah ISAI maupun di bawah naungan Yayasan Pantau rubrikasi majalahnya tidak jauh berbeda. Berdasarkan Majalah Pantau pada “periode kedua” di bawah naungan Yayasan Pantau (Edisi Desember 2003), maka rubrikasi Majalah Pantau, yaitu: a. Daftar Isi
: yaitu tentang daftar isi majalah dan sekilas judul di
dalamnya b. Kontributor tersebut
: berisi nama-nama kontributor pada edisi majalah
59
c. Catatan Kota : berisi ragam informasi mengenai agenda even film, musik, pertunjukan, tradisi, pameran, serta seminar atau diskusi d. Obrolan
: berisi empat hal yang sedang menjadi topik hangat
di tengah masyarakat. Obrolan kali ini terbagi menjadi sub rubrik, yaitu identitas diri, pusaran uang, sejarah, gastronomi, dan republik baru e. Berpolitiklah : mengenai isu politik yang sedang hangat di nasional f. Kisah Pribadi : mengenai kisah pribadi dari petinggi atau pejabat negara yang dituliskan dalam bentuk novel atau cerpen g. Reporter dari Lapangan: berisi kabar dari lapangan yang dilaporkan oleh para kontributor h. Portofolio
: berisi esai foto yang temanya dirapatkan saat
sidang redaksi i. Resensi
: resensi ini bisa mengenai film atau buku yang
sedang beredar di masyarakat j. Pilar Anjungan: berita mengenai gaya arsitektur suatu bangunan k. Sosok
: yaitu kisah tentang sosok pribadi seseorang
l. Puisi
: berisi kumpulan-kumpulan puisi
m. Ombudsman : berisi kritik atau saran kepada Majalah Pantau/ media massa n. Gambar Belakang
60
5. Alur Kinerja Redaksi Majalah Pantau Sistem keredaksian Majalah Pantau ini berbeda dari media massa lainnya di Indonesia karena Pantau mengandalkan sekitar 70% isi majalahnya dari para kontributor anggota Pantau. Berita-berita dalam Majalah Pantau maupun dalam situs Yayasan Pantau, juga bisa ditulis oleh manajemen redaksi Pantau serta kontributor Pantau. Prosedur keredaksiannya yaitu reporter atau kontributor Pantau mengajukan proposal liputan kepada pihak redaksi Majalah Pantau. Isi proposal tersebut yaitu mulai dari apa yang akan diliput, siapa saja yang akan dijadikan narasumber, tema liputan, outline tulisan, serta biaya operasional reportase sampai selesai yang akan ditanggung sepenuhnya oleh manajemen Majalah Pantau. Kemudian dari pihak redaksi Majalah Pantau akan mendiskusikan proposal tersebut. Dalam diskusinya, mereka akan menentukan layak atau tidaknya tema liputan tersebut diangkat di Majalah Pantau. Serta menentukan konsultan atau editor bagi reporter tersebut. Fungsi dari konsultan ini adalah sebagai pihak tempat diskusi maupun pemberi masukan bagi reporter sekaligus sebagai editor tulisan. Dahulu, editor Majalah Pantau yaitu Andreas Harsono, Budi Setiyono, Linda Christanty, dan Agus Sopian. Jika sudah fix, selanjutnya reporter akan diskusi kepada editor yang telah ditetapkan. Kemudian, reporter terjun reportase ke lapangan. Reportasenya pun bisa berbulan-bulan lamanya hingga liputan selesai. Karena narasumber yang diwawancarai pun bisa puluhan.
61
Setelah selesai reportase, reporter menuliskannya dengan teknik penulisan genre jurnalisme sastrawi dan langsung diserahkan kepada editor. Jika ada yang kurang, editor akan mencoret dengan tinta merah dan dikembalikan kembali kepada reporter untuk diperbaiki sampai editor menganggapnya selesai. Biasanya proses editing antara editor dengan reporter dilakukan melalui surat elektronik atau email. Begitulah seterusnya proses kinerja redaksi di Majalah Pantau. Tabel 5. Proses Keredaksian Majalah Pantau Reporter/kontributor mengajukan proposal liputan
Redaksi Majalah Pantau mendiskusikannya
Pemilihan konsultan atau editor bagi reporter/ kontributor
Reportase mendalam/ liputan
Reporter menuliskannya
Proses Chek dan Rechek
Proses Editing Tulisan
Tulisan dipublikasikan
62
B. BIOGRAFI
PENULIS
DAN
SINOPSIS
BERITA
“SEBUAH
KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” 1. Biografi Chik Rini Chik Rini adalah perempuan kelahiran Aceh. Usai dari SMA Negeri 3 Banda Aceh pada 1993, ia melanjutkan ke jenjang perguruan tinggi di Unsyiah pada Fakultas MIPA Jurusan Biologi. Selama di Unsyiah, perempuan yang dipanggil Rini ini mengaku tidak pernah bergiat mengikuti organisasi mana pun. Selepas sarjana, ia menjadi wartawan pada Harian Analisa di Medan, mengikuti jejak ayahnya pada media harian yang sama. Namun, karena ia merasa kerjanya di Harian Analisa terlalu mudah dan tidak menantang, akhirnya pada tahun 1999, ia pun keluar. Selama jenjang dari tahun 2000-2003, Rini pun bekerja freelance. Ia menjadi stringer foto untuk kantor berita Associated Press serta untuk Majalah Pantau. Belajar fotografi pun ia otodidak, begitu pun dengan menulis genre jurnalisme sastrawi. Sebelum ia menulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” itu, ia pernah mengirimkan beberapa tulisan pada kolom di Pantau. Namun, untuk tulisan panjangnya, “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” adalah tulisan pertamanya. Di sela-sela repotase Simpang Kraft tersebut, ia sempat menulis “Surat dari Geudong” yang juga dipublikasikan dalam Majalah Pantau. Pada tahun 2003, Rini juga pernah mengikuti kursus jurnalisme investigatif atau Fellowship Investigative Reporting
di Murdoch
63
University, Perth, Melbourne, Australia. Kursus jurnalisme investigatif mengenai ekonomi ini berdasarkan rekomendasi dari Andreas Harsono. Pada tahun yang sama pula, berdasarkan hasil wawancara penulis dengan Chik Rini pada 29 Januari 2011 di kawasan Blok M, Jakarta Selatan, ia mengaku saat itu berkeinginan untuk berhenti sementara menjadi wartawan. “Saat itu, saya sangat tertantang meliput perang atau konflik di Aceh. Anda bayangkan di Aceh, hanya ada dua wartawan perempuan yang mau terjun ke lapangan, saya dan Rayhan dari detik.com. Malam itu, saya melihat dengan mata kepala saya sendiri. Empat aktivis GAM dikepung oleh militer Indonesia. Mereka diserbu dan ditembak mati oleh tiga ratusan militer Indonesia. Mayatnya langsung dibuang begitu saja ke kebun pisang. Jadi, kita sebagai wartawan melihat orang nangis saja, kita senang memberitakannya. Malamnya, saya tidak bisa tidur. Muncul wajah-wajah orang yang mati itu. Paginya, saya langsung bangun dan melamun. Saya bertanya pada diri saya sendiri, “Apa yang saya cari?”16
Ia juga sempat menekuni penelitian mengenai orang utan di Taman Nasional Gunung Leuser. Saat ini, Rini bekerja sebagai Public Relation & Media Officer Leuser International Foundation, sebuah lembaga non pemerintah yang bekerja untuk perlindungan Ekosistem Leuser di Aceh dan Sumatera Utara. Pernah bekerja sebagai peneliti seusai kuliah pada Jurusan Biologi FMIPA Unsyiah (1998) Kini selain, bekerja untuk Yayasan Aswaja di Banda Aceh, ia membantu pendidikan anak-anak yatim piatu korban tsunami pada Desember 2004. Rini menjadi kontributor Majalah Pantau Jakarta selama
16
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
64
tahun 1999-2003. Laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini dimuat pada Majalah Pantau Tahun II-Mei 2002. “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini juga pernah dimuat di Kyoto Review pada 2005 yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh Lyndal Meehan. Meehan menulis deskripsi mengenai Chik Rini seperti di bawah ini: Chik Rini, a journalist based in Banda Aceh, originally reported this story in May 2002, drawing on five months‟ research in Banda Aceh, Medan, Jakarta, and Lhokseumawe, including a one-month stay near Krueng Geukeuh. It appeared in PANTAU, a website promoting journalistic excellence and freedom of the press in Indonesia. PANTAU was published by the Institut Studi Arus Informasi (ISAI) from May 1999 to January 2003. The original article can be found under the title “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” at http://www.pantau.or.id/txt/25/07.html. This version was translated and abridged by Lyndal Meehan.17 Selain bekerja sebagai communication of WWF di Banda Aceh, Rini juga aktif memberikan kursus jurnalisme sastrawi kepada 20 orang peserta pelatihan ETF yang diadakan oleh Eka Tjipta Foundation. Ia telah mengajar sebanyak tiga kali pertemuan pelatihan sejak tahun lalu. Ilmu jurnalisme sastrawi yang didapatnya dari Majalah Pantau pada kurun waktu 2000-2003 lalu hingga kini, ia akan selalu tularkan kepada mahasiswa yang tertarik dengan genre jurnalisme sastrawi ini.
2. Sinopsis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah salah satu peristiwa berdarah yang terjadi di Aceh. Banyak konflik dan peristiwa
17
Chik Rini, “Madness at Simpang Kraft How Indonesian Journalists Witnessed the Murder of Acehness Civilians”, artikel ini diakses pada Rabu, 26 Januari 2011 pkl 15.30 WIB pada Kyoto Review of Southeast Asia
65
yang terjadi sepanjang sejarah Aceh, dari konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan militer Indonesia, Perda Syariah yang diterapkan di sana, serta bencana alam tsunami pada 2004. Namun, peristiwa Simpang Kraft masih membekas di hati masyarakat Aceh, khususnya korban dari Simpang Kraft. Hingga kini, proses pengadilan para pelaku belum juga tuntas atau mungkin tidak mendapatkan keadilan dari segi hukum. Bahkan LSM Imparsial dalam terbitan buku “Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007” menuliskan bahwa peristiwa Simpang Kraft ini menduduki posisi pertama dari peristiwa lainnya. Dalam laporannya, dideskripsikan sebagai berikut; Simpang KKA (Kertas Kraft Aceh) aparat TNI menembaki masyarakat yang sedang berdemo di Kecamatan Dewantara. Tragedi KKA berawal dari sikap arogansi pasukan Rudal terhadap warga setempat. Detasemen rudal sebelumnya turun ke Cot Murong memukuli warga karna dituduh menyandera aparat militer. Warga datang ke Koramil meminta mereka menghentikan tindakannya. Namun Koraml tidak mneghiraukan tuntutan warga.
Bahkan
meminta
bantuan
pasukan
non
organik
untuk
menyingkirkan warga. 46 orang tewas tertembak aparat militer termasuk Saddam Husen yang berusia 6 tahun, sekitar 200 luka-luka. Upaya hukum Presiden B.J. Habibie mengeluarkan Keppres No.88/1999 tentang Komisi Independen Pengusutan Tindak Kekerasan di Aceh (KIPTKA).18
18
J. Budi Hernawan dan Poengky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007. (Jakarta: Imparsial, 2009), h.106
66
Simpang Kraft adalah nama sebuah pertigaan yang terletak di sebelah kiri jalan lintas Medan-Banda Aceh. Dari Lhokseumawe jaraknya sekitar 19 kilometer. Simpang itu adalah jalan masuk utama ke pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh, yang jaraknya 10,5 kilometer masuk ke dalam. Di lintasan jalan menuju pabrik KKA, ada markas Arhanud Rudal yang cuma berjarak dua setengah kilometer dari persimpangan. Markas ini menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini. Di Simpang Kraft ada traffic light, yang cuma punya satu lampu kuning, yang terus berkedap-kedip. Itu lampu peringatan, agar para pengendara kendaraan yang melaju di lintasan Banda Aceh-Medan berhati-hati. Simpang itu merupakan jalur keluar masuk truk-truk tronton besar yang membawa gulungan-gulungan kertas raksasa. Sekitar 10 meter dari Simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu, menjual barangbarang kelontong dan makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara toko dan warung ada bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga. Di sebelah kanan, berderet lima warung yang di antaranya berjualan rokok, warung kopi, bengkel, dan tukang jahit. Di depan deretan warung itu tumbuh beberapa pohon buah seri dan pohon ubi gadung. Lewat dari warung itu terdapat tanah kosong, kebun dan satu dua rumah
67
sederhana. Lima ratus meter kemudian terdapat hamparan sawah di kiri kanan jalan. Senin 3 Mei 1999, hari di mana peristiwa berdarah itu terjadi. Pada hari itu, ada dua demonstrasi besar-besaran. Pertama, di depan Koramil Dewantara dekat Krueng Geukeuh dan yang kedua di Simpang Kraft. Ada sekitar 10 ribu orang berkumpul di Simpang Kraft. Mulai dari para wanita, anak-anak, kaum laki-laki sampai yang tua renta ada di sana. Sebelumnya, ada beberapa isu yang beredar dan mengakibatkan masyarakat Aceh berkumpul di Simpang Kraft, di antaranya: a. Malam sebelumnya, para perempuan disuruh jaga malam karena tentara mau menyerang kampung b. Ada laki-laki yang mengumumkan di meunasah (masjid) kalau meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) sudah tewas dibunuh. c. Di Cot Murong (Pemukiman, empat km arah barat Krueng Geukeuh) warga menghentikan setiap kendaraan untuk mencari anggota ABRI karena ada yang mendengar bahwa warga desa Lanang Barat dipukuli dan ditangkap tentara. d. Dua hari sebelumnya, Kamis malam, 30 April 1999, tentara dari Satuan Artileri Pertahanan Udara (Arhanud) Peluru Kendali (Rudal) 001/Pulo Rungkom Aceh Utara, masuk ke Cut Murong. Ada satu anggota yang hilang, dan mengakibatkan tentara masuk kampung untuk mencarinya.
68
Masyarakat Aceh yang tidak senang militer masuk kampung, membuat mereka geram. Oleh karena itu, mereka demonstrasi kepada Camat Dewantara Cut Murong, Marzuki Muhammad. Kesepakatan yang tidak membuahkan hasil kepada masyarakat Aceh membuat mereka demo. Mereka meneriakkan Referendum, Merdeka, dan sebagainya. Pukul 12.00 siang pada Senin, 3 Mei 1999 ketika keadaan mulai memanas. Tiba-tiba sebuah truk datang dari arah Arhanud Rudal, mulailah senjata meletus dengan keras dan tentara menyuruh massa bubar. Tentara seperti kesetanan dan menembaki massa yang berkeliaran. Korban mencapai puluhan dan ratusan terluka. Sinopsis cerita di atas, hanya menjelaskan segelintir dari peristiwa Simpang Kraft. Chik Rini mampu menjelaskannya dengan sangat baik dan detil. Rini mengambil dan memaknai peristiwa ini dari sudut pandang wartawan. Justru karena angle atau newspeg-nya dari perspektif wartawan inilah, Rini ingin menunjukkan bagaimana wartawan menjadi saksi dari peristiwa pembunuhan orang Aceh. Sudut pandang inilah yang belum pernah ditulis oleh wartawan media mana pun. Ada wartawan yang trauma, wartawan pun manusia. Lantas, peristiwa itu juga fenomenal di Aceh. Korbannya cukup banyak dan juga memilukan. Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini pada wawancara via email: “Simpang Kraft adalah satu dari banyak peristiwa yang kebenarannya dan keadilannya tak pernah terselesaikan sampai saat ini. Simpang Kraft hanya bagian dari peristiwa konflik yang
69
memperlihatkan kekejaman militer di Aceh yang mau Kak Chik sampaikan kepada pembaca di luar Aceh.”19 Andreas Harsono pun menulis dalam grup Majalah Pantau untuk mempromosikan tulisan naskah Chik Rini ini. Rini menceritakan pengalaman beberapa wartawan, antara lain Umar HN, Imam Wahyudi dan Fipin Kurniawan dari RCTI, ketika menyaksikan dari jarak dekat pembantaian puluhan orang Aceh di depan pabrik kertas Kraft di Kreung Geukeuh, Lhokseumawe, pada 3 Mei 1999. Imam menyebutnya sebagai "Santa Cruz versi Aceh." Laporan Rini ini unik karena ia memakai genre jurnalisme sastrawi. Dari panjang tulisan, ia memang belum memecahkan rekor Pantau sepanjang 16 halaman yang dipegang oleh Coen Husain Pontoh dengan laporan majalah Tempo edisi Agustus 2001, tapi Rini yang pertama kali mengusung genre sastrawi ke dalam Pantau. Ini sebuah reputasi tersendiri. Ternyata Rini yang memakai gaya ini pertama kali di Pantau. Bravo untuk Rini! Linda ketika membaca naskah itu mengatakan introduksinya mirip "In Cold Blood" karya Truman Capote. Di sana Rini memakai deskripsi alam Lhokseumawe, dengan tower plus api menyala-nyala karena gas LNG, kemiskinan yang bikin sesak napas, dan terminal bis malam, sebagai pembukaannya. Ada kekeringan, ada becak mesin, ada kesunyian, bau kematian. Mirip dengan Capote yang membuka "In Cold Blood" dengan alam Midwest ala Kansas City di Amerika Serikat. Ternyata Rini meminjam gayanya John Hersey dalam "Hiroshima." Rini mengatakan pada saya bahwa ia bolak-balik membaca "Hiroshima" ketika menggarap "Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft." Mirip dengan Hersey, karena di sini Rini tak memakai referensi apa pun dalam naskahnya. Semua ditulis ibarat sebuah novel atau cerita pendek. Rini bekerja selama lima bulan, dari Medan, Jakarta, Lhokseumawe dan Banda Aceh, buat menyelesaikan naskah ini. Ia juga mempelajari rekaman video buat memperkaya paparannya tentang Simpang Kraft. Saya suka naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai memakai genre yang sulit ini di halaman-halamannya.20
19
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Rabu, 22 November 2010 pkl 21.22 WIB melalui surat elektonik dari
[email protected] kepada
[email protected] 20 Artikel ini diakses dari
[email protected] pada 22 Februari 2011
70
Perspektif wartawan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini dapat dilihat dari kacamata tiga orang wartawan RCTI yaitu Umar HN (koresponden RCTI di Lhokseumawe sejak 1995), Imam Wahyudi (Koordinator Liputan daerah RCTI Jakarta sejak 1994), Fipin Kurniawan (kameraman RCTI), Ali Raban (kamerawan yang bekerja untuk Umar HN), dan Azhari (wartawan ANTARA). Meski peristiwa Simpang Kraft telah berlalu dan sudah diberitakan namun sisanya tetaplah sejarah.
BAB IV HASIL PENELITIAN
A. TEMUAN DATA DAN HASIL PENELITIAN BERITA “SEBUAH KEGILAAN DI SIMPANG KRAFT” PADA MAJALAH PANTAU Pada bab ini, peneliti akan memaparkan temuan data dan analisis mengenai pemberitaan bergenre jurnalisme sastrawi yang berjudul “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” karya Chik Rini dan diterbitkan pada Majalah Pantau Tahun II Mei 2002 atau dalam buku Jurnalisme Sastrawi Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Diterbitkan pula oleh Yayasan Pantau. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode pisau analisis wacana model Teun van Dijk. Model van Dijk ini menganalisisis dari tiga elemen yaitu teks, kognisi sosial, serta konteks sosial. Maka hasil penelitiannya diuraikan sebagai berikut: 1. Analisis Teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” a. Struktur Makro (Tematik) Dalam struktur makro (makna global) hal yang diamati adalah tematik, berarti gagasan atau tema utama yang ada dalam berita tersebut. Maka, tema pada berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini adalah perspektif atau sudut pandang wartawan Indonesia dalam meliput dan menjadi saksi pembunuhan dari orang Aceh pada peristiwa Simpang Kraft 3 Mei 1999. b.
Super Struktur (Skematik) Seperti yang dijelaskan pada bab sebelumnya, dalam super struktur, hal
yang diamati adalah skematik, yaitu rangkaian pendapat itu disusun dan
71
72
dirangkai, seperti pendahuluan, isi, dan penutup. Van Dijk memasukkan skema atau alur yang sistematis dalam sebuah wacana, sama halnya seperti “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Dalam berita, terdapat dua skema besar yaitu summary (ringkasan) dan story (isi berita atau tulisan secara keseluruhan). Dalam summary terdapat dua hal yaitu judul dan lead. Judul berita ini adalah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft,” dengan subjudul Bagaimana wartawan-wartawan Indonesia meliput dan jadi saksi pembunuhan orang Aceh? Dalam naskah berita ini terdiri dari 11 adegan dan setiap adegannya memiliki lead atau teras masing-masing dari satu teks berita yang sama serta dikonstruksi oleh penulisnya. Karena berita ini menggunakan genre jurnalisme sastrawi, yang diharuskan menggunakan konstruksi adegan per adegan, maka berita ini terdiri dari 11 adegan termasuk epilog sebagai penutup. Unsur skematik yang kedua yaitu story. Pada awal naskah ini dimulai dari unsur situasi atau proses berjalannya peristiwa sebagai episode utama dari peristiwa bukan dari unsur komentar narasumber. Secara keseluruhan utuh, naskah berita ini diawali dengan situasi kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe pada dini hari, 3 Mei 1999 atau disebut sebagai pra-peristiwa. Sedangkan isi berita ini terletak pada hari di mana peristiwa Simpang Kraft tersebut berlangsung. Serta epilog atau penutupnya (adegan 11) dari “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” yang merupakan pasca peristiwa Simpang Kraft. Pada epilog ini, penulis mengkonstruksi cerita pasca tiga peristiwa Simpang Kraft.
73
Setelah elemen tematik dan skematik ditemukan oleh peneliti secara keseluruhan dalam “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” selanjutnya, peneliti akan membagi hasil penelitian ini kepada penelitian per adegan dari adegan 1 sampai adegan 11. Penelitian ini dimulai dari super struktur (skematik atau alur) dan struktur mikro (semantik, sintaksis, stilistik, dan retoris), yaitu:
a). Analisis Teks Adegan 1 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Skematik atau alur pada adegan 1 dimulai dari situasi Lhoseumawe pada Senin dini hari, 3 Mei 1999 dan menceritakan sejarah dari Lhokseumawe yang terdapat kekayaan gas alam. Isinya, tentang kedatangan tiga wartawan RCTI pada waktu itu juga guna meliput sisi lain kedamaian di Aceh. Media selama ini selalu memberitakan sisi kekerasan dan konflik yang ada di Aceh. Penutup pada adegan ini diakhiri dengan tiga wartawan RCTI beristirahat. Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Latar pada adegan 1, dimulai dari sejarah kota Lhokseumawe sebagai pusat industri Aceh tapi orang Aceh merasakan ketidakadilan karena hanya segelintir orang besar yang ada di Aceh dan Jakarta yang merasakan kenikmatan gas alam, orang Aceh tidak. Hal ini, salah satu hal yang akan memicu terjadinya peristiwa Simpang Kraft. Pada adegan 1, terdapat salah satu contoh detil dari deskripsi keadaan Lhokseumawe dini hari tersebut, yang dituliskan oleh Chik Rini, yaitu paragraf kedua adegan 1, “Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari
74
hamparan empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api. Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.” Elemen maksud yang terkandung pada adegan 1 terdapat pada adegan 5, “Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu.” Dalam kalimat tersebut, terdapat kata “untuk” yang digunakan sebagai penjelas yang jelas (eksplisit) dari keinginan GAM dalam rangka memerdekakan Aceh dari ketidakadilan. Praanggapan sebagai pendukung dari pernyataan yang ada di adegan 1 terdapat pada paragraf 3, “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh,” kalimat selanjutnya Chik Rini mampu memaparkan dengan detil bahwa di sana terdapat kekayaan gas alam terbesar di Indonesia dan perusahaan-perusahaan. Nominalisasi yang ditunjukkan pada kalimat ini adalah, “Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.” (paragraf 5). Serta pada, “Di tempat itu secara brutal, para tahanan dianiaya 50-an tentara Indonesia.. Empat tahanan tewas dan 22 luka-luka.” (paragraf 16). Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Dari segi sintaksis yaitu pengemasan suatu teks dengan menentukan bentuk kalimat, koherensi, kata ganti yang digunakan dalam kalimat. Bentuk kalimat yang terlihat adalah bentuk kalimat aktif, “Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf 13).
75
Dalam hal ini digunakan agar seseorang menjadi subjek dari tanggapannya. Kata „mereka‟ (organisasi massa di Aceh) menjadi subjek, dengan kata kerja „mencuatkan‟ yang berarti „mengeluarkan.‟ Koherensi atau hubungan antar kata atau kalimat yang digunakan pada adegan ini adalah proposisi “untuk memerdekaan Aceh dari ketidakadilan” dan „dominasi militer Indonesia‟ adalah dua prinsip yang berlainan dan dihubungkan dengan kata „tapi‟. Kalimatnya adalah, “Di sana juga mulai timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat,” (paragraf 5). Koherensi „atau‟, “Referendum untuk memilih merdeka atau tetap dalam negara Indonesia,” (paragraf 13). Koherensi pembeda juga terlihat pada kalimat, “Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya,” (paragraf 16). Sepanjang adegan 1, kata ganti orang ketiga jamak yaitu „mereka‟. Contoh, “Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh,” atau “Mereka mengungkapkannya lewat beberapa demonstrasi atau huru-hara.” Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Unsur leksikon atau pemilihan kata yang digunakan penulis adalah pemilihan kata „orang Aceh‟, “Orang Aceh banyak yang miskin, hidup di pinggiran pabrik-pabrik.” Kata yang kedua, „militer Indonesia‟ yaitu “Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat.” Kata ‘kelompok separatis‟ yaitu “GAM, kelompok separatis yang memproklamasikan kemerdekaan bangsa
76
Aceh sejak 4 Desember 1978, juga makin meningkatkan perang gerilya, dari kota maupun di daerah pedesaan.” Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora) Pemakaian grafis pada adegan 1 terdapat banyak kata kata „referendum‟ tapi hanya ada satu kata „referendum‟ yang diberikan tanda petik di atas yaitu, “Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata “referendum” di badan jalan. Grafiti-grafiti ini bertebaran tak hanya di jalan, tapi juga di tembok pasar dan papan reklame.” (paragraf 18) Sedangkan metafora atau kiasan terdapat pada kalimat, “…langit tampak merah membara oleh cahaya api.” “Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.”( paragraf 2) Tabel 6. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 1 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Elemen
Temuan
Kronologis awal mula kedatangan tiga wartawan RCTI ke Lhokseumawe Skema/ Alur Pembuka: Situasi Lhokseumawe pada pada dini hari, 3 Mei 1999 Isi: Kedatangan tiga wartawan RCTI ke
Topik/ Tema
Lhokseumawe dengan tujuan meliput sisi kedamaian dari Aceh Penutup adegan ini adalah ketiga wartawan RCTI beristirahat untuk memulihkan fisik ketika akan reportase esok pagi Struktur mikro (semantik)
Latar
Detil
Maksud
Latar situasi akan kota Lhokseumawe serta sejarah kota tersebut yang membawa kepada alasan perlawanan senjata oleh Gerakan Aceh Merdeka (GAM) kepada militer Indonesia yang ada di Aceh Pada paragraf kedua adegan 1, Chik Rini mampu mendeskripsikan keadaan kota Lhokseumawe pada dini hari Senin, 3 Mei 1999 Elemen maksud pada adegan 1 yaitu paragraf 5 mengenai keinginan GAM untuk memerdekakan
77
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat
Koherensi
Kata Ganti
Struktur mikro (stilistik)
Leksikon
Struktur mikro (Retoris)
Grafis
Metafora
orang Aceh dari ketidakadilan yang mereka rasakan. “Lhokseumawe memang pusat industri Aceh” (paragraf 3) selanjutnya, Chik Rini memaparkan kekayaan gas alam di Aceh yang tersebar di Indonesia serta perusahaan-perusahaan yang ada di sana untuk memperkuat premis yang ia sebutkan di awal pragraf Banyak nominalisasi pada adegan 1 salah satunya, “Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.” (paragraf 5) Salah satu bentuk kalimat aktif pada adegan 1 adalah,“Mereka lebih suka mencuatkan ide referendum untuk menentukan nasib Aceh,” (paragraf 13) Koherensi (konjungsi kata „tapi‟) “…untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat.” Koherensi pembeda: “Imam mengatakan di antara sisi kekerasan Aceh, seharusnya ada sisi damai dalam masyarakatnya.” Kata ganti yang digunakan pada adegan 1 adalah ata “mereka,” seakan-akan kata “mereka” itu memisahkan antara penulis dengan narasumber serta pembaca orang Aceh (paragraf 4), militer Indonesia, penganiayaan (paragraf 5), kelompok separatis, kekerasan (paragraf 14), kekejaman, mati, perlawanan bersenjata, kekejaman (paragraf 15) “Imam membaca beberapa grafiti bertuliskan kata “referendum” di badan jalan.”(paragraf 18) Dari keseluruhan kara referendum yang ada di adegan 1 hanya ada satu kalimat yang kata refendumnya menggunakan tanda petik di atasnya “semburan api raksasa”, “langit tampak merah membara oleh cahaya api,”(paragraf 2)
2). Analisis Teks Adegan 2 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Skematik atau alur dari adegan 2 pada dini hari juga, Senin 3 Mei 1999 di Kreung Geukeuh, Kecamatan Dewantara ada 300-an orang Aceh berkumpul di sebuah gardu jaga. Mereka berencana akan melakukan demonstrasi besarbesaran. Di tengah adegan diceritakan ada banyak isu yang berkembang di
78
masyarakat. Salah satu isu, hilangnya anggota Arhanud Rudal di wilayah Cot Murong, sekaligus sebagai penutup adegan. Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Latar di adegan ini adalah “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga,” (paragraf 1). Peristiwa inilah yang mengawali mulainya adegan dan membawa pembaca kepada konstruksi atau pembentukan rapat besar-besaran yang dilakukan oleh orang Aceh. Elemen detil dapat dilihat pada paragraf 2 yang menunjukkan posisi keberadaan bale-bale. “Bale-bale itu berdiri hanya 10 meter dari gerbang pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer. Di samping pabrik ada jalan masuk ke perkampungan Bangka Jaya. Keduanya dipisahkan oleh tembok setinggi satu meter.” Maksud yaitu; “Rencananya, mereka akan melakukan demonstrasi ke markas Komando Rayon Militer (Koramil) Krueng Geukeuh dekat pasar Krueng Geukeuh. Mereka perlu truk untuk mengangkut orang dari kampungkampung sekitar.” Dari kalimat di atas jelas sekali maksud yang akan disampaikan kepada pembaca. Praanggapan terdapat pada kalimat, “Mereka memang sedang resah,” (paragraf 6) dilanjutkan dengan argumen pendukung kalimat lainnya yang menunjukkan kuat alasan keresahan dari warga. “Tentara mau menyerang kampung,” kata seorang pria (paragraf 7). Dikuatkan juga pada kalimat, "Meunasah di Simpang Kraft sudah dibakar. Teungku Imeum Cik (ulama) kita
79
sudah tewas dibunuh." Kalimat yang mengungkapkan keresahan tersebut, diperkuat oleh kalimat-kalimat selanjutnya. Nominalisasi yang terdapat pada adegan 2 yaitu, “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga.” (paragraf 1) Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Bentuk kalimat yang terkandung lebih sering menggunakan kalimat aktif, “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga,” (paragraf 1). Kalimat ini sekaligus sebagai bentuk kalimat deduktif atau inti kalimat dari keseluruhan teks pada adegan 2. Elemen koherensi pembeda yang ada yaitu, “Mereka menghentikan setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nama resmi institusi militer Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata "ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim Orde Baru,” (paragraf 10). Koherensi kausal atau sebab akibat juga pada paragraf 12, “Selain dekat dengan perairan Selat Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga keamanannya.” Kata ganti yang digunakan tetap menggunakan kata ganti orang ketiga jamak „mereka‟ dan satu kata ganti orang pertama jamak „kita‟, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh,” (paragraf 8). Penggunaan kata „kita‟ ini seakan-akan menunjukkan penyamaan rasa yang juga dirasakan oleh sesama orang Aceh.
80
Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Pemilihan leksikon yang dipilih Chik Rini adalah kata, „mengangkut‟ pada kalimat, “Mereka perlu truk untuk mengangkut orang…” (paragraf 5). Kata „tewas dibunuh‟ bisa meninggal, dibunuh, terbunuh, wafat, terlihat pada kalimat, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh.” Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora) Elemen grafis yaitu kata „anggota ABRI‟ pada paragraf 10 diberi tanda petik di atas dibandingkan kata-kata lainnya. Hal ini menunjukkan penekanan kata „anggota ABRI‟ yang mempunyai reputasi buruk dibandingkan dengan paragraf 1 yang hanya menyebutkan kata „militer Indonesia.‟ Metafora ini terdapat dalam satu kalimat, “Seperti angin, informasi yang tak jelas kebenarannya itu, dengan cepat menyebar dari mulut ke mulut.” (paragraf 9) Tabel 7. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 2 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Elemen
Temuan
300-an orang Aceh berkumpul di gardu jaga Kreung Geukeuh pada dini hari Skema/ Alur Dimulai dengan adanya 300-an orang Aceh berkumpul di bale-bale Di tengah adegan dijelaskan bahwa mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran di markas Koramil Kreung Geukeuh Adegan ditutup dengan salah satu isu hilangnya anggota Arhanud Rudal di Cot Murong Latar peristiwanya adalah adanya 300-an orang Aceh Latar yang berkumpul itu Pada paragraf kedua adegan 2, penulis menjelaskan Detil posisi bale-bale tempat berkumpulnya 300-an orang Aceh tersebut Maksudnya, menjelaskan bahwa mereka akan Maksud demonstrasi besar-besaran atas ketidakadilan yang selama ini dirasakan orang Aceh (paragraf 5)
Topik/ Tema
81
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat
Koherensi
Kata Ganti
Struktur mikro (stilistik) Struktur mikro (Retoris)
Leksikon Grafis
Metafora
“Mereka memang sedang resah” (paragraf 6) selanjutnya, Chik Rini alasan keresahan yang dialami oleh orang Aceh, dengan adanya beragam isu yang berkembang di masyarakat tentang ketidakadilan tersebut Hanya ada satu nominalisasi pada adegan 2 yaitu, ““…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga.” (paragraf 1) Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat aktif ini sebagai inti dari keseluruhan teks pada adegan 2, “…ada sekitar 300-an orang Aceh berkumpul dekat sebuah gardu jaga,” (paragraf 1) Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟) “Selain dekat dengan perairan Selat Malaka, lokasi Krueng Geukeuh ini strategis karena di sana ada proyek-proyek vital yang perlu dijaga keamanannya.” (paragraf 12) Koherensi pembeda: “Mereka menghentikan setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI" -yang berasal dari singkatan Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, nama resmi institusi militer Indonesia, sebelum diganti jadi Tentara Nasional Indonesia karena kata "ABRI" dianggap punya reputasi buruk zaman rezim Orde Baru.” (paragraf 10) Kata ganti yang digunakan pada adegan 2 adalah ata “mereka,” dan hanya satu kata “kita” yang digunakan pada kalimat, “Tengku Imeum Cik (ulama) kita sudah tewas dibunuh.” (paragraf 8) Pemilihan kata: mengangkut (paragraf 5), tewas dibunuh (paragraf 8) “…setiap kendaraan untuk mencari "anggota ABRI" yang berasal…”(paragraf 10) Kata ini lebih menonjol di antara kata lainnya karena penyebutan kata ABRI ini sangat tidak disukai bagi orang Aceh, selain itu ABRI juga memiliki reputasi buruk pada rezim Orde Baru “seperti angin” dan “dari mulut ke mulut” (paragraf 9)
3). Analisis Teks Adegan 3 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Sruktur (Skematik) Skema adegan 3, diawali dengan kronologis kejadian hilangnya anggota Arhanud Rudal, Sersan Dua Aditia pada Kamis malam, 30 April 1999. Hingga pada keesokan harinya, Jumat 31 April 1999 puluhan tentara bersenjata masuk
82
ke Cot Murong untuk mencari Sersan Aditia. Sampai disepakati bahwa tentara dilarang masuk ke Cot Murong dan yang mencarinya adalah ulama setempat. Penutup adegan diakhiri dengan kabar karena tahu anggotanya belum juga ditemukan, Arhanud Rudal kembali masuk kampung dan ada isu penduduk desa yang ditangkap, Minggu 2 Mei 1999. Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Latar adegan diawali dengan kronologis peritiwa hilangnya Sersan Dua Aditia, anggota Arhanud Rudal. Detil adegan terletak pada paragraf keenam, “Si penceramah bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika berperang dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang makna jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah.” Detil ini menceritakan tiga hal yang biasa diceramahkan oleh GAM. Maksud dari adegan ini sudah jelas, bahwa dengan hilangnya Sersan Dua Aditia serta beragam isu tentara desa, memicu orang Aceh untuk berdemonstrasi. Terlihat pada paragraf terakhir adegan 3 yaitu, “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap.” Praanggapan adegan 3, Pada kalimat berikutnya, diterangkan apa saja isi dari dakwahnya tersebut, sebagai penguat argumen penulis. “Si penceramah bercerita sejarah Kesultanan Aceh, kisah heroik para pahlawan Aceh ketika berperang dengan Belanda pada periode 1884 hingga 1915, dan juga tentang makna jihad fisabilillah atau berjuang di jalan Allah.”
83
Nominalisasi ditunjukkan pada kalimat, “Tiga truk militer dan minibus Toyota Kijang dan Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong,” (paragraf 8). Super Struktur (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Elemen sintaksis, bentuk kalimat pasif sekaligus sebagai inti kalimat (deduktif) adegan 3 adalah, “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap.” Kata kerja direncanakan merupakan kalimat pasif, dalam hal ini van Dijk mengemukakan kalimat pasif ini digunakan sebagai objek. Kalimat bentuk deduktif (inti kalimat di awal) dapat dilihat dari satu kalimat di awal yang dipisahkan oleh kata „untuk.‟ “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap.” Dalam adegan 3 terdapat koherensi sebab akibat, “Tentara bahkan sempat menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit ikan), karena mengatakan tak tahu tentang penculikan Aditia.” Dari paragraf awal sampai paragraf akhir adegan 3 tetap menggunakan kata ganti “mereka.” Struktur Mikro (Leksikon) Elemen sintaksis yang diteliti yaitu leksikon, “Dakwah GAM” (paragraf 4), “Kabar penempelengan itu segera beredar,” (paragraf 16). Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora) Grafis dalam adegan 3, ada satu kalimat menonjol dengan tanda petik di atasnya dibandingkan kata atau kalimat lainnya, “….dan tak adil dari “pemerintah Indonesia Jawa” sehingga….” (paragraf 6). Metafora yaitu; “Isi
84
dakwah malam itu sangat panas”, “Dakwah itu berbau politik” (paragraf 4), “lari tunggang-langgang” (paragraf 13). Tabel 8. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 3 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Elemen
Temuan
Topik/ Tema
Peristiwa hilangnya Sersan Aditia membuat orang Aceh karena tentara masuk ke kampung Dimulai dengan kronologis awal hilangnya Sersan Dua Aditia pada Kamis malam, 30 April 1999 Isi adegan menjelaskan pencarian Sersan Adit oleh Arhanud Rudal hingga adanya kesepakatan bahwa tentara tidak akan masuk kampung lagi pada Sabtu, 1 Mei 1999 Adegan ditutup dengan kabar tentara masuk kampung lagi dan ada kabar penempelengan orang Aceh oleh tentara Latar peristiwanya dengan kronologis hilangnya anggota Arhanud Rudah, Sersan Aditia Paragraf 6 menjelaskan detil apa saja isi dari dakwah GAM kepada orang Aceh Kalimat terakhir adegan 3 menjelaskan maksud sekaligus menjadi inti kalimat adegan 3 bahwa mereka akan melakukan demonstrasi besar-besaran “Isi dakwahnya semacam pendidikan politik dan sejarah” (paragraf 6), kalimat ini diperkuat oleh kalimat berikutnya yang menjelaskan isi dari dakwah GAM “Tiga truk militer dan minibus Toyota Kijang dan Isuzu Panther, yang membawa puluhan tentara bersenjata lengkap, masuk ke Cot Murong” (paragfraf 8) Bentuk kalimat deduktif sekaligus kalimat pasif, “Senin direncanakan demonstrasi besar-besaran untuk menuntut pelepasan orang kampung yang ditangkap” Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟) “…menampar seorang pemuda yang sedang menghitung nener (bibit ikan), karena mengatakan tak tahu tentang…” (paragfraf 15) Kata ganti “mereka” Dakwah (paragraf 4), penempelengan (paragraf 6)
Skema/ Alur
Latar Detil Maksud
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat Koherensi
Struktur mikro (stilistik) Struktur mikro (Retoris)
Kata Ganti Leksikon Grafis
Metafora
“…Pemerintah Indonesia Jawa…” (paragraf 6) Hanya ada satu kalimat yang menonjol pada adegan 3, karena kalimat inilah yang digunakan saat dakwah GAM “sangat panas” dan “berbau politik” (paragraf 4), “lari tunggang-langgang (paragraf 13)
85
4). Analisis Teks Adegan 4 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Skematik adegan 4, sebagai pembuka yaitu kabar demonstrasi di Koramil Kreung Geukeuh yang didengar oleh Azhari, wartawan ANTARA di sebuah warkop pada pukul 9 pagi. Kabar serupa juga didengar oleh ketiga wartawan RCTI dan Ali Raban. Penutup adegan adalah, mereka tidak langsung ke lokasi kejadian tapi membeli makanan terlebih dahulu dan mengambil alat reportase. Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Elemen semantik, latar yang dipakai menggunakan latar profil Azhari sebagai wartawan ANTARA dan situasi warkop ketika ia berada. Latar inilah sebagai tempat di mana ia menerima informasi tersebut. Detil terletak pada kalimat, “Dari yang sekadar minum kopi, membaca koran gratis, nonton televisi, maupun mengobrol,” (paragraf 2). Maksud, “Jika tak segera mengambil momentum pertama, maka mereka tak akan pernah mendapat momentum kedua,” (paragraf 23). Maksud kalimat ini yang akan terjadi kepada wartawan RCTI, mereka kehilangan momen pertama untuk mengejar berita demonstrasi. Praanggapan adegan 4 terdapat pada perkataan narasumber di warkop yang didengar oleh Azhari, “Hai, kaa rame that ureueng di Krueng Geukeuh (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh)," (paragraf 3). Dari ucapan orang Aceh tersebutlah ia mendapatkan informasi, dan ucapan tersebut dibenarkan akan adanya demonstrasi besar-besaran di Kreung Geukeuh.
86
Sedangkan nominalisasi terdapat pada paragraf pertama, “Umurnya 32 tahun.” Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Elemen sintaksis, bentuk kalimat pasif, “Ada orang kita ditangkap si Pa'i” (paragraf 5). Koherensi konjungsi sebab akibat, “Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar karena dia lupa membawa kamera foto.” Sedangkan kata ganti yang digunakan, tetap memakai kata ganti orang ketiga „dia‟ dan „mereka‟ karena memang itu yang menjadi elemen jurnalisme sastrawi. Namun, penggunaan kata ganti orang pertama jamak yaitu „kita‟ digunakan pada ucapan narasumber, ““Ada orang kita ditangkap si Pa'i” (paragraf 5), “Ayo cepat kita ke sana," sambut Imam, bersemangat (paragraf 15). Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Leksikon yang ada yaitu bujangan (paragraf 1), ditangkap (paragraf 5), mengudara (paragraf 12), pemblokiran (paragraf 14), informan (paragraf 17), verifikasi (paragraf 18), merepet (paragraf 24). Struktur Mikro (Retoris; Grafis, Metafora) Elemen retoris, hanya ada satu kata yang menonjol atau grafis dan selalu dibubuhi tanda petik di atasnya yaitu kata “channel” atau sumber informasi yang terdapat pada paragraf 17. Metafora yang dipakai, kota gas (paragraf 1), bendera GAM berlambang bulan bintang (paragraf 10), waktu sudah terbuang (paragraf 23).
87
Tabel 9. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 4 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Struktur mikro (sintaksis)
Struktur mikro (stilistik)
Struktur mikro (Retoris)
Elemen Topik/ Tema
Temuan
Kabar akan adanya demonstrasi menyeruak ke masyarakat dan wartawan Skema/ Alur Pembuka adegan Senin, 3 Mei 1999 pada pukul 09.00, latar situasi di sebuah warkop Lhokseumawe Kabar serupa didengar oleh tiga wartawan RCTI dan Ali Raban dari informan mereka melalui penyeranta Azhari segera menuju ke sana tapi tidak dengan wartawan RCTI, mereka sibuk mengurusi makanan daripada langsung mengejar berita Latar diawali dengan profil Azhari wartawan Latar ANTARA dan situasi warkop di Lhoseumawe di mana ia berada Paragraf 2 menjelaskan detil fungsi warkop yang ada Detil di Aceh “Jika tak segera mengambil momentum pertama, Maksud maka mereka tak akan pernah mendapat momentum kedua,” (paragraf 23). Hal ini menunjukkan kinerja wartawan untuk segera mendapatkan berita eksklusif Praanggapan (Hei, ramai sekali orang di Krueng Geukeuh),” (paragraf 3). Ucapan narasumber tersebut diperkuat dengan benar adanya bahwa banyak massa yang berkumpul di Kreung Geukeuh Nominalisasi “Umurnya 32 tahun.”(paragraf 1) Bentuk kalimat pasif: Bentuk “Ada orang kita ditangkap di Pa’i” (paragraf 3) Kalimat Koherensi Koherensi (konjungsi kata „sebab akibat‟) “Mereka terpaksa pulang dulu ke rumah Umar karena dia lupa membawa kamera foto.” Kata ganti orang ketiga tunggal “dia” dan “mereka” Kata Ganti tapi ada satu kata ganti orang pertama jamak “kita”, “Ayo cepat kita ke sana,” sambut Imam, bersemangat (paragraf 15). bujangan (paragraf 1), ditangkap (paragraf 5), Leksikon mengudara (paragraf 12), pemblokiran (paragraf 14), informan (paragraf 17), verifikasi (paragraf 18), merepet (paragraf 24). “Channel” (paragraf 17) Grafis Penggunaan kata “channel” yang berarti informan atau sumber informasi menandakan bahwa wartawan haruslah memiliki channel dan karena hal inilah yang membawa Azhari dan wartawan RCTI kepada peristiwa tersebut kota gas (paragraf 1), bendera GAM berlambang Metafora bulan bintang (paragraf 10), waktu sudah terbuang (paragraf 23).
88
5). Analisis Teks Adegan 5 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Alur adegan kelima “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft ini hanya menceritakan perjalanan Azhari menuju lokasi demonstrasi di Kreung Geukeuh. Dimulai pada pukul 10.00, ia telah sampai dekat tugu depan PT. Pupuk Iskandar Muda. Azhari berjalan kaki menuju Kreung Geukeuh karena jalan telah diblokir. Pukul 11.00, ia sampai di simpang empat Kreung Geukeuh dan memerhatikan kondisi massa sekitar. Saat itu, ketika ada iringan mobil datang dari Lhokseumawe ingin lewat, dihadang oleh massa. Terjadi perdebatan. Adegan 5 ditutup dengan kaburnya iringan mobil tersebut disertai suasana massa yang kian memanas. Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Latar adegan berawal dari situasi pemblokiran jalan sepanjang lima kilometer dari depan pabrik hingga ke desa Bungkah, termasuk yang ingin menuju Simpang Kraft ditutup oleh massa, sehingga membuat orang Aceh termasuk Azhari berjalan kaki. Setiap adegan memiliki elemen detil masing-masing, sama halnya dengan adegan ini. Dengan dijelaskannya latar pemblokiran jalan pada adegan ini, terdapat kalimat yang memiliki unsur detil di dalamnya pada paragraf pertama, “Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat bandar udara Malikul Saleh.” Detil lainnya juga terdapat pada, “Pusat kota Krueng Geukeuh masuk
89
dari persimpangan jalan tersebut sekitar 500 meter ke arah dalam. Di sana terletak pasar, markas Koramil Krueng Geukeuh, kantor polisi, klinik kesehatan, kantor camat dan lapangan sepak bola. Bersebelahan berdiri pabrik pupuk PT Asean Aceh Fertilizer,” (paragraf 8). Elemen maksud terdapat di paragraf 13, “Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu.” Maksud pada kalimat di atas lebih tersurat (jelas) karena diperjelas oleh kalimat berikutnya yang dinyatakan sebagai argumentasi. “Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe…” (paragraf 5). Dari praanggapan lokasi Kreung Geukeuh itu dipertajam dan diperkuat dengan premis dari kalimat selanjutnya “…sebab di sana berdiri pabrik pupuk PT Pupuk Iskandar Muda dan PT Asean Aceh Fertilizer serta pabrik kertas PT Kertas Kraft Aceh.” Nominalisasi yang terdapat pada adegan 5 yaitu “Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter” (paragraf 1), “Beberapa pria, tak sampai 10 orang…” (paragraf 2). Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Bentuk kalimat adegan ini adalah “Azhari menemukan massa sudah menumpuk di simpang empat Krueng Geukeuh” (paragraf 11) sekaligus kalimat deduktif yang menjadi inti dari adegan 5. Koherensi dengan konjungsi „tapi‟ banyak terdapat pada adegan 5, “Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak menumpuk di persimpangan.” (paragraf 9). Sedangkan kata ganti tetap masih menggunakan kata „mereka.‟ Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon)
90
Pada adegan 5 yaitu pemblokiran (paragraf 1), pasukan elit (paragraf 4), barikade (paragraf 5), berseliweran (paragraf 6), berderet (paragraf 9), sweeping dan tentara Indonesia (paragraf 10), mengekor (paragraf 11). Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora) Tidak ada grafis dalam adegan 5 ini. Sedangkan metafora yang ada sangat banyak, yaitu “Mereka berseragam kaos hitam berlambang burung walet,” (paragraf 4), bercakap lama, kartu indentitas (paragraf 10), tentara berpakaian preman (paragraf 12). Tabel 10. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 5 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Elemen
Temuan
Kronologis peristiwa dari segala perspektif wartawan dan orang Aceh pada pukul 10.00 Skema/ Alur Adegan ini dibuka oleh perjalanan Azhari yang harus berjalan kaki sejauh 100 meter dari PT. Pupuk Iskandar Muda dari pukul 10.00 Pukul 11.00, Azhari telah sampai di simpang Kreung Geukeuh, tempat massa pertama demonstrasi berada Adegan ditutup dengan larangan iringan mobil Distrik Militer Aceh Utara yang ingin ke Simpang Kraft untuk lewat. Massa menghadangnya dengan parang Situasi pemblokiran jalan yang melewati Kreung Latar Geukeuh termasuk yang ingin ke Simpang Kraft diblokir oleh massa Detil pemblokiran terlihat pada kalimat; Detil “Pemblokiran jalan dilakukan massa sepanjang lima kilometer dari depan pabrik pupuk hingga ke desa Bungkah, dekat bandar udara Malikul Saleh.” (paragraf 1) “Penumpang mobil memaksa pergi ke Simpang Maksud Kraft. Alasannya, kedatangan mereka telah ditunggu.” (paragraf 13) Praanggapan “Kawasan itu termasuk salah satu pusat industri Lhokseumawe…” (paragraf 5) Kalimat selanjutnya dipertegas lagi bahwa di sana terdapat 3 pabrik besar sebagai tonggak utama Lhokseumawe Nominalisasi “Azhari berjalan kaki sejauh 100 meter” (paragraf 1) Topik/ Tema
91
Struktur mikro (sintaksis)
Struktur mikro (stilistik)
Struktur mikro (Retoris)
Bentuk kalimat deduktif: “Azhari menemukan massa sudah menumpuk di simpang empat Krueng Geukeuh” (paragraf 11) Koherensi Koherensi (konjungsi kata „tapi‟) “Massa berdiri di sepanjang emperan toko. Tapi lebih banyak menumpuk di persimpangan.” (paragraf 9) Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal Kata Ganti „mereka‟ pemblokiran (paragraf 1), pasukan elit (paragraf 4), Leksikon barikade (paragraf 5), berseliweran (paragraf 6), berderet (paragraf 9), sweeping dan tentara Indonesia (paragraf 10), mengekor (paragraf 11). Grafis berseragam kaos hitam berlambang burung walet,” Metafora (paragraf 4), bercakap lama, kartu indentitas (paragraf 10), tentara berpakaian preman (paragraf 12). Bentuk Kalimat
6). Analisis Teks Adegan 6 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super struktur (Skematik) Jika adegan 5 memiliki alur dari perspektif Azhari, wartawan ANTARA maka skematik pada adegan 6 dilihat dari kinerja perspektif tiga wartawan RCTI dan Ali Raban. Peristiwa diawali ketika mereka menuju Kreung Geukeuh pada pukul 11.00. Jika Azhari telah mencapai simpang Kreung Geukeuh pada pukul 11.00, tidak dengan mereka. Mereka berempat masih dalam perjalanan menuju Simpang Kraft. Di tengah adegan dijelaskan bahwa mereka dicegat oleh massa, yang menanyakan identitas mereka sekaligus orang Aceh bersikap stereotip terhadap suku Jawa. Sempat terjadi perdebatan, namun teman Umar HN datang dan menolog. Mereka pun bergegas menuju Simpang Kraft, lokasi kedua massa dan lebih banyak dibandingkan di simpang empat Kreung Geukeuh. Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi)
92
Latar adegan adalah latar peristiwa perjalanan mereka menuju simpang empat Kreung Geukeuh dan mendapat kendala karena jalan sudah diblokir. Pada paragraf 2, sangat dijelaskan latar peristiwa tersebut. Detil adegan 2 terlihat jelas pada paragraf 3, “Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang, kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.” Maksud terdapat pada paragraf 2 yang menunjukkan identitas profesi mereka, “Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan.” Praanggapan pada adegan ini pengungkapan satu sebutan bahasa Aceh kasar terhadap tentara atau polisi Indonesia yang notabene-nya adalah suku Jawa. “Itu Pa’i juga,” ada yang menyeletuk juga di belakang,”
(paragraf 11). Stereotipe “Pa‟i”
tersebut ditujukan kepada wartawan RCTI yang berasal dari Jakarta. Nominalisasi dalam kalimat ini sangat jelas, “Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak,” (paragraf 4). Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Sintaksis terdiri dari bentuk kalimat, koherensi, dan kata ganti. Terdapat bentuk kalimat aktif dan pasif pada adegan 6 tapi bentuk kalimat pasif inilah yang menonjol sebagai inti, “Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft dengan sepeda motor milik warga di situ,” (paragraf 27). Koherensi konjungsi „tapi‟, “Walau banyak yang senang aksi mereka diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada mereka,” (paragraf 10).
93
Elemen terakhir sintaksis yaitu kata ganti masih tetap menggunakan kata ganti ketiga jamak yaitu “mereka” tapi dalam ucapan dialog narasumber ada yang menggunakan kata ganti orang pertama “kami” pada paragraf ke-25 dan 26. “Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang kampung," katanya. "Mereka cari anggota dia. Kami tidak tahu," kata yang lain.” Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Pemilihan
kata
yang
dipilih
oleh
Chik
Rini
yaitu
merepet,
kedongkolannya (paragraf 1), senang (paragraf 4), overacting (paragraf 8), Pa’i (paragraf 11), mengamankan (paragraf 25). Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora) Grafis pada adegan 6 terlihat pada dialog narasumber yang meneriakkan, “Merdeka! Merdeka! Hidup Referendum! RCTI oke!” Hal ini menunjukkan betapa kerasnya merela meneriakkan untuk menuntut ketidakadilan dan mengekspresikannya di depan wartawan televisi. Grafis yang kedua pada paragraf 11, "Itu Pa'i juga," ada yang menyeletuk di belakang. Pa'i sebutan kasar dalam bahasa Aceh untuk tentara atau polisi Indonesia.” Kata pa‟i memiliki makna khusus bagi orang Aceh. Metafora adegan 6 yaitu kehilangan banyak waktu (paragraf 1), bersorak sambil meloncat-loncat, berteriak-teriak hingga memekakan telinga (paragraf 4), mencium gelagat tak bagus, jantungnya berdenyut keras (paragraf 9), sikap anti-orang Jawa di Aceh (paragraf 12), pengatur massa (paragraf 22), berjalan zigzag (paragraf 28).
94
Tabel 11. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 6 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Elemen
Temuan
Topik/ Tema
Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul 11.00 Adegan ini dibuka oleh perjalanan ketiga wartawan RCTI dan Ali Raban menuju Kreung Geukeuh dan sudah melewati pukul 11.00 Pertengahan adegan, mereka langsung meliput tapi dihadang oleh massa yang marah dengan aksi reportase mereka Mereka menuju lokasi massa kedua yaitu Simpang Kraft karena mendapatkan informasi dari warga. Di sana massa lebih banyak lagi dibandingkan dengan di simpang Kreung Geukeuh Latar peristiwa perjalanan dari perspektif tiga wartawan RCT dan Ali Raban Mereka melihat banyak laki-laki dengan parang, kayu dan batu besar di tangan. Wajah para laki-laki itu seperti marah, gusar dan tak sedikit yang beringas.” (paragraf 3) “Mereka dengan mudah dikenali sebagai wartawan.” (paragraf 2) kalimat di sini menunjukkan identitas profesi mereka “Itu Pa’i juga,” ada yang menyeletuk juga di belakang,” (paragraf 11) Anggapan orang Aceh terhadap wartawan RCTI yang datang dari Jakarta. Sebutan kasar bahasa Aceh tersebut beralasan, karena mereka memandang stereotip terhadap tentara Indonesia, yang notabene-nya adalah suku Jawa “Di simpang empat Krueng Geukeuh, massa sudah mencapai jumlah 1.000-an, memadati jalan dan emperan toko. Kebanyakan laki-laki dewasa dan anak-anak,” (paragraf 4). Bentuk kalimat pasif: “Keempat wartawan itu diantar ke Simpang Kraft dengan sepeda motor milik warga di situ.” (paragraf 27) Koherensi (konjungsi kata „tapi‟) “Walau banyak yang senang aksi mereka diliput wartawan televisi, tapi tak sedikit juga yang memandang curiga pada mereka,” (paragraf 10) Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal mereka” dan ada kata ganti orang pertama jamak yaitu „kami‟ yaitu; “Kami mau mengamankan kampung kami. Tentara mau serang kampung,” katanya.(paragraf 25) merepet, kedongkolannya (paragraf 1), senang
Skema/ Alur
Latar Detil
Maksud
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat
Koherensi
Kata Ganti
Struktur mikro
Leksikon
95
(stilistik) Struktur mikro (Retoris)
Grafis
Metafora
(paragraf 4), overacting (paragraf 8), Pa’i (paragraf 11), mengamankan (paragraf 25). “Merdeka! Merdeka! Hidup Referendum! RCTI oke!” Grafis ini terletak pada dialog narasumber yang dicantumkan oleh Chik Rini pada teks adegan 6 kehilangan banyak waktu (paragraf 1), bersorak sambil meloncat-loncat, berteriak-teriak hingga memekakan telinga (paragraf 4), mencium gelagat tak bagus, jantungnya berdenyut keras (paragraf 9), sikap anti-orang Jawa di Aceh (paragraf 12), pengatur massa (paragraf 22), berjalan zigzag (paragraf 28).
7). Analisis Teks Adegan 7 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Adegan 7 ini adalah deskripsi menjelang peristiwa berdarah di Simpang Kraft. Dari paragraf 1 sampai paragraf 5 adalah pembuka adegan dengan deskripsi detil lokasi Simpang Kraft. Di tengah adegan, menjelaskan kronologis rincian massa yang mulai berdatangan ke Simpang Kraft dari pukul 08.00. Hingga menjelang pukul 11.00 mencapai sekitar 10 ribu orang, diketahui bahwa konsentrasi massa terbagi dua, depan Koramil Kreung Geukeuh dan Simpang Kraft. Adegan ditutup dengan kedatangan keempat wartawan RCTI di Simpang Kraft. Struktur Mikro (Semantik) Latar awal adegan yang dipakai adalah latar situasi di mana deskripsi wilayah Simpang Kraft itu berada. Latar ini bisa terlihat dari paragraf awal adegan 7 sampai paragraf kelima. Detil situasi mengenai Simpang Kraft didapat dari paragraf 1 sampai paragraf 5 contohnya, “Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang,
96
terdapat deretan toko dan warung. Di kiri, ada tiga pintu toko bertingkat terbuat dari kayu, menjual barang-barang kelontong dan makanan ternak. Di sebelahnya ada tiga deret warung kecil, salah satunya warung kopi. Di antara toko dan warung ada bale-bale yang berfungsi sebagai gardu jaga,” (paragraf 3). Atau detil yang terdapat pada paragraf 12, “Pemandangan itu jadi hal menarik bagi anak-anak kecil, perempuan, dan pelajar yang bersekolah di sekitarnya.” Maksud pada adegan ini terdapat pada paragraf pertama, “Markas ini menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.” Maksud kalimat ini adalah bahwa jika semakin meledaknya demonstrasi massa orang Aceh ini dan menyerang markas ini, maka berakibat fatal. Bisa jadi akan banyak persenjataan tentara Indonesia hilang atau bahkan dibomnya markas ini. Praanggapan “Simpang Kraft bagai lautan manusia,” kalimat ini bukanlah metafora belaka, namun yang awalnya adalah anggapan awal penulis, diperkuat dengan data bahwa massa menumpuk dalam radius 300 meter. Nominalisasi yang ada yaitu “Massa menumpuk dalam radius 300 meter. Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Lakilaki, perempuan, dan anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak pagi,” (paragraf 11) Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Bentuk Kalimat aktif pada paragraf 7, “Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum.” Koherensi pembeda, “Jumlah tentara di Arhanud Rudal Cuma ada satu kompi. Mereka bersiaga di Simpang Kraft. Bersamaan masuknya tentara-
97
tentara itu, orang-orang di desa Lancang Barat, mengumandangkan azan di meunasah,” (paragraf 6). Koherensi konjungsi „kausal‟, “Rapat itu bubar, karena massa berdatangan ke kantor,” (paragraf 7). Koherensi kondisional, “Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di situ,” (paragraf 13). Kata Ganti yang digunakan tetap menggunakan kata ganti „mereka‟. Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Pemilihan kata atau leksikon yang digunakan pada adegan 7 di antaranya memeriksa, bersiaga (paragraf 6), bergerombol (paragraf 8), menumpuk (paragraf 10), spontanitas, pengerahan massa (paragraf 11). Struktur Mikro (Retoris; Grafis, metafora) Tidak ada kata atau angka yang menonjol secara grafis pada adegan ini. Sedangkan metafora antara lain lampu peringatan, gulungan-gulungan kertas raksasa (paragraf 2). Tabel 12. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 7 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Elemen
Temuan
Topik/ Tema
Adegan puncak dari keseluruhan perspektif orang Aceh dan wartawan Diawali dengan deskripsi panjang mengenai letak daerah Simpang Kraft dan urgensi pertigaan ini bagi kelancaran lintasan Banda Aceh-Medan Di bagian tengah adegan, dirincikan kronologis massa yang datang ke Simpang Kraft dari pukul 08.00 hingga menjelang pukul 12.00 Adegan ditutup dengan kedatangan keempat wartawan RCTI ke Simpang Kraft Latar deskripsi lokasi Simpang Kraft dari paragraf 1 hingga paragraf 5 Detil deskripsi dapat diambil contoh pada paragraf 3, “Sekitar 10 meter dari simpang, jalan dibuat melebar 10 meter dengan pembatas median, membagi jalan dalam dua jalur. Di sebelah kiri dan kanannya, sekitaran pojok simpang, terdapat deretan
Skema/ Alur
Latar Detil
98
Maksud
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat
Koherensi
toko dan warung.” “Markas ini menyimpan peluru kendali buat perlindungan daerah ini.” (paragraf 1) Dari kalimat ini jelas menandakan betapa pentingnya markas peluru kendali ini bagi Aceh “Simpang Kraft bagai lautan manusia.” (paragraf 10) Ditambahkan argumentatif atas kalimat di atas, penulis memasukkan data bahwa dalam radius 300 meter massa telah berkumpul di Simpang Kraft “Massa menumpuk dalam radius 300 meter. Jumlahnya terus bertambah dan tak kurang dari 10 ribu orang. Laki-laki, perempuan, dan anak-anak terus berdatangan secara bergelombang sejak pagi,” (paragraf 11) Bentuk kalimat aktif: “Di kantornya, Camat Marzuki Muhammad Amin sedang melakukan rapat persiapan pemilihan umum.” (paragraf 7) Koherensi pembeda: Bersamaan masuknya tentara-tentara itu, orangorang di desa Lancang Barat, mengumandangkan azan di meunasah,” (paragraf 6) Koherensi konjungsi „kausal‟: “Rapat itu bubar, karena massa berdatangan ke kantor,” (paragraf 7)
Kata Ganti Struktur mikro (stilistik)
Leksikon
Struktur mikro (Retoris)
Grafis Metafora
Koherensi kondisional: “Akhirnya, mereka hanya bisa menunggu, bergabung dengan massa di situ,” (paragraf 13) Tetap menggunakan kata ganti orang ketiga tunggal mereka” memeriksa, bersiaga (paragraf 6), bergerombol (paragraf 8), menumpuk (paragraf 10), spontanitas, pengerahan massa (paragraf 11) lampu peringatan, gulungan-gulungan kertas raksasa (paragraf 2), gelombang massa, mendinginkan suasana yang memanas (paragraf 7), lautan manusia (paragraf 10), panas hatinya (paragraf 11)
8). Analisis Teks Adegan 8 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Adegan kedelapan ini adalah elemen terpenting dari keseluruhan adegan, karena adegan ini letak dari peristiwa Simpang Kraft tersebut
99
berlangsung. Setting adegan di Simpang Kraft pada pukul 12.00 siang. Adegan dimulai dengan situasi massa makin tak terkendali dan memanas. Empat wartawan RCTI tetap merekam gambar, bahkan sempat mewawancarai koordinator lapangan (korlap) demonstrasi, Faisal. Tapi, tiba-tiba truk datang dari arah Arhanud Rudal, tentara langsung membentuk dua lapis barisan dan seperti kesetanan tentara menembaki massa. Tengah adegan ini, menceritakan detil bagaimana tampak emosi para tentara dan seperti tak mengenal kemanusiaan, mereka menembak dengan brutal. Azhari dan keempat wartawan RCTI menjadi saksi atas pembunuhan tersebut. Azhari berlari ke arah yang lebih aman. Sedangkan, wartawan RCTI menshot kejadian, meski mereka kehilangan moment awal selama 10 menit pertama. Adegan ditutup dengan evakuasi korban yang dilarikan ke rumah sakit sekitar. Super
Struktur
(Semantik;
Latar,
Detil,
Maksud,
Praanggapan, Nominalisasi) Latar adegan ini adalah latar peristiwa, di mana peristiwa ini menjadi latar utama dalam adegan 8. Detil adegan 8 terlihat pada kalimat, “Mereka berteriak-teriak sambil mengacungkan apa saja yang mereka bawa. Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul di antara ribuan kepala manusia.” (paragraf 3). Detil lainnya ”…sepeda kecil, sandal, kayu, batu, parang, berserakan di jalanan, ditinggal oleh pemiliknya yang tadi panik berlarian.” (paragraf 92)
100
Maksud terdapat pada kalimat, “Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak jalan” (paragraf 39). Maksudnya menerangkan situasi ketika peristiwa terjadi tapi naluri Azhari sebagai wartawan tidak berjalan. Ia sama sekali tidak mewawancarai atau memotret. “Imam merasa ajaib bahwa tentara-tentara itu tak merampas kaset rekaman mereka,” (paragraf 106) Ketika tentara mengancam keempat wartawan RCTI tapi mereka tidak mengambil kaset rekaman tersebut. Salah satu Praanggapan adegan 8 yaitu “Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara,” (paragraf 13) Alasannya Azhari tidak hanya masalah tentara tapi ia merasa lebih aman mengamati di kejauhan supaya identitas wartawannya tidak ketahuan. Sedangkan untuk nominalisasi yang ada adalah “…di bawah sebuah pohon asam dekat sawah, 500 meter dari simpang, ada 20 tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter,” (paragraf 1). “Lima orang wanita, ibu-ibu, dan anak gadis yang duduk di bale-bale, tertawa ceria…” (paragraf 10) Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Baik Bentuk kalimat aktif maupun pasif yang ada pada adegan 8 ini memang banyak tapi bisa diambil satu kalimat pasif sebagai contoh yang merupakan perkataan Imam dalam rekaman reportasenya, “Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini.”
101
Koherensi Pembeda, “Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter.” Kalimat ini menunjukkan perbedaan jarak antara keduanya. Jika kalimat di atas dari paragraf pertama, maka kalimat ini dari paragraf terakhir adegan 8. “Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini. Saya Imam Wahyudi, Fipin Kurniawan dan Umar HN melaporkan dari Lhokseumawe.” Koherensi pembeda kedua, ditandai dengan penegasan kata „seandainya‟ yang menunjukkan perbedaan antara dua situasi yang berbeda, konflik dan perdamaian. Koherensi konjungsi „tapi‟ terdapat pada, “Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera televisi merekam aksi mereka.” (paragraf 3) Kata Ganti yang digunakan menggunakan kata ganti orang ketiga jamak yaitu „mereka‟ serta kata ganti orang pertama jamak „kami‟. Penggunaan kata ganti „kami‟ terletak pada dialog narasumber, “Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu masalah itu," teriaknya dengan emosi dari megafone.” (paragraf 34) Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Leksikal yang dipilih pada adegan 8 di antaranya referendum (paragraf 6), berekerudung (paragraf 10), menyorot (paragraf 11), serombongan orang, kerumunan (paragraf 12), terkepung, menyemut (paragraf 14), dicopot, menanggalkan (paragraf 16), senyap (paragraf 25), rakyat bangsa Aceh, tentara Jawa, menganiaya (paragraf 26), provokator,
102
dituding (paragraf 27), gerah (paragraf 32), terjepit (paragraf 40), rebah (paragraf 64), dielu-elukan (paragraf 67), berjilbab (paragraf 68), tak bernyawa (paragraf 75), memotret, menjepret (paragraf 79), tewas (paragraf 92), mengerang (paragraf 101), labi-labi (paragraf 105), meninggal (paragraf 108), sok jagoan (paragraf 112). Struktur Mikro (Retoris; Grafis, Metafora) Sebutan kata kasar “pa‟i” kembali hadir pada adegan kedelapan ini, sebelumnya ada pada adegan 6. Pa’i menjadi salah satu elemen Grafis yang menonjol, karena berulang kali disebutkan dalam adegan ini. Grafis lainnya yaitu massa berkali-kali meneriakkan kata-kata Islam, seperti seruan Allah Akbar, Amin ya Allah, dan Inalillahi. Kata-kata ini baru ada dalam adegan 8, pada adegan-adegan sebelumnya tidak dimasukkan sama sekali oleh Chik Rini. “Allah Akbar, Allah Akbar, Allah Akbar," seruan itu bersahut-sahutan dari ujung ke ujun,” (paragraf 4). Elemen grafis ketiga adalah bunyi tembakan dari tentara. Bunyi ini dimasukkan oleh Chik Rini pada adegan ke-8, sebagai visualisasi atas peristiwa pembunuhan tersebut. “Tiba-tiba ... trat .... trat .... trat .... suara senjata meletus dengan keras. Trat, trat, trat .... dengan cepat suara senjata susulan terdengar bersahutsahutan,” (paragraf 46). Metafora di antaranya ketegangan serius (paragraf 1), melompat kegirangan (paragraf 3), gambar lautan massa, bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah (paragraf 7), matahari tepat di atas kepala, panasnya bagai membakar, memanaskan suasana, peluh mengucur deras (paragraf 8), seakan tenggelam (paragraf 12), berpikiran kalut, di luar
103
kendali (paragraf 21), memancing emosi (paragraf 30), matahari memancarkan sinar yang cukup panas (paragraf 33), massa makin tak terkendali (paragraf 40), suasana memanas (paragraf 42), suara itu bagaikan geledek yang menyambar, melepaskan peluru-peluru tajam (paragraf 46), seperti kesetanan (paragraf 48), jatuh terjengkang, secepat kilat (paragraf 39), tembakan bertubi-tubi (paragraf 64), Imam terkejut bagai disambar petir (paragraf 73), malaikat pencabut nyawa (paragraf 77), tentara itu bagai mengejar dirinya (paragraf 88), melindungi kameranya seperti melindungi bayinya (paragraf 94), mengaung-ngaung serasa menyayat hati (paragraf 110), melumuri dadanya dengan darah korban (paragraf 112). Tabel 13. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 8 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Elemen
Temuan
Topik/ Tema
Kronologis peristiwa Simpang Kraft pada pukul 12 siang hingga datangnya bala bantuan Adegan dimulai pada pukul 12.00 siang, wartawan RCTI menshot setiap adegan dari massa Di bagian tengah adegan, tentara menembaki massa seperti kesetanan dan tak mengenal kemanusiaan. Wartawan RCTI kehilangan moment pertamanya selama 10 menit pertama. Massa berhamburan menyelamatkan diri. Adegan ditutup dengan datangnya bantuan dan evakuasi korban pada pukul 13.05 Latar adegan 8 adalah latar peristiwa di mana pada adegan ini adalah inti cerita dari keseluruhan adegan yang ada “….Cangkul, tombak, kayu, dan parang menyembul di antara ribuan kepala manusia.” (paragraf 3) “Nalurinya sebagai wartawan sama sekali tak jalan” (paragraf 39) Maksud kalimat ini, Azhari hanyalah menjadi penonton dari keramaian massa dan tidak melakukan profesinya sebagai jurnalis “Selain itu, Azhari merasa lebih baik tak begitu masuk ke dalam arena. Di sana banyak tentara,” (paragraf 13)
Skema/ Alur
Latar
Detil Maksud
Praanggapan
104
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat
Koherensi
Anggapan kalimat seperti ini adalah demi keamanan dirinya menjadi wartawan “… 500 meter dari simpang, ada 20 tentara lain yang berjaga. Mereka dari Arhanud Rudal. Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20an meter” (paragraf 1) Bentuk kalimat pasif: Pemirsa, jatuhnya korban di Simpang Kraft ini barang kali bisa dihindari seandainya perdamaian di bumi Aceh bisa dilakukan lebih dini.” (paragraf 113) Koherensi pembeda: “Antara kelompok tentara ini dan massa hanya berjarak 20-an meter” (paragraf 1) Koherensi konjungsi „tapi‟: “Tadinya massa bersikap biasa saja. Tapi suasana berubah menjadi sangat riuh ketika tahu ada kamera televisi merekam aksi mereka.” (paragraf 3)
Kata Ganti
Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟ dan kata ganti orang pertama jamak „kami‟ yaitu “Kami dituduh awak AM (Aceh Merdeka). Kami dituduh menculik orang Rudal, sedangkan kami tidak tahu menahu masalah itu,” teriaknya dengan emosi dari megafone.” (paragraf 34)
Struktur mikro (stilistik)
Leksikon
referendum (paragraf 6), berekerudung (paragraf 10), menyorot (paragraf 11), serombongan orang, kerumunan (paragraf 12), terkepung, menyemut (paragraf 14), dicopot, menanggalkan (paragraf 16), senyap (paragraf 25), rakyat bangsa Aceh, tentara Jawa, menganiaya (paragraf 26), provokator, dituding (paragraf 27), gerah (paragraf 32), terjepit (paragraf 40), rebah (paragraf 64), dielu-elukan (paragraf 67), berjilbab (paragraf 68), tak bernyawa (paragraf 75), memotret, menjepret (paragraf 79), tewas (paragraf 92), mengerang (paragraf 101), labilabi (paragraf 105), meninggal (paragraf 108), sok jagoan (paragraf 112).
Struktur mikro (Retoris)
Grafis
Sebutan kasar kata pa‟I, seruan kata-kata Islam seperti Allah Akbar, Amin ya Allah, dan Innalillahi. Grafis ketiga, bunyi visualisasi dari suara tembakan pada paragraf 46 ketegangan serius (paragraf 1), melompat kegirangan (paragraf 3), gambar lautan massa, bunyinya bagai suara dengungan puluhan ribu lebah (paragraf 7), matahari tepat di atas kepala, panasnya bagai membakar, memanaskan suasana, peluh mengucur deras (paragraf 8), seakan tenggelam
Metafora
105
(paragraf 12), berpikiran kalut, di luar kendali (paragraf 21), memancing emosi (paragraf 30), matahari memancarkan sinar yang cukup panas (paragraf 33), massa makin tak terkendali (paragraf 40), suasana memanas (paragraf 42), suara itu bagaikan geledek yang menyambar, melepaskan peluru-peluru tajam (paragraf 46), seperti kesetanan (paragraf 48), jatuh terjengkang, secepat kilat (paragraf 39), tembakan bertubi-tubi (paragraf 64), Imam terkejut bagai disambar petir (paragraf 73), malaikat pencabut nyawa (paragraf 77), tentara itu bagai mengejar dirinya (paragraf 88), melindungi kameranya seperti melindungi bayinya (paragraf 94), mengaung-ngaung serasa menyayat hati (paragraf 110), melumuri dadanya dengan darah korban (paragraf 112).
9). Analisis Teks Adegan 9 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Adegan ini didahului dengan suasana korban Simpang Kraft yang dilarikan ke rumah sakit di sekitar Kreung Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe. Keempat wartawan itu berada di rumah sakit PT. Arun LNG, untuk melanjutkan reportase mereka. Azhari menaikkan berita pertamanya pada jam 3 siang. RCTI memunculkan berita pertamanya sebagai headline pukul 18.30. Pukul 21.00, RCTI dan semua televisi swasta merelai siaran Dunia Dalam Berita milik TVRI. Adegan diakhiri dengan pengiriman tiga kaset rekaman hasil reportase wartawan RCTI ke RCTI, Associated Press, dan Reuters pada pukul 21.00. Super Struktur (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Latar adegan 9 ini adalah latar peristiwa, di mana dari paragraf pertama hingga paragraf keempat menceritakan hal tersebut. Detil peristiwa terdapat pada kalimat, “Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan
106
kondisi mengenaskan,” (paragraf 3). Detil ini menrincikan kondisi korban di rumah sakit. Ada dua elemen maksud yang ada pada adegan 9 ini di antaranya, “Sampai di situ para petinggi militer di Lhokseumawe belum mengetahui bahwa ada wartawan RCTI jadi saksi mata peristiwa itu,” (paragraf 16). Maksud kedua, “Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita bohong,” (paragraf 18). Kalimat pertama menerangkan ketika semua stasiun televisi swasta merelai siaran dari TVRI, mereka belum mengetahui kalau ada wartawan yang menjadi saksi pembunuhan dari peristiwa tersebut. Sedangkan kalimat kedua menjelaskan anggapan dari masyarakat bahwa RCTI menyiarkan fakta bohong karena merelai siaran dari TVRI tersebut. Praanggapan adegan 9 terletak di dialog Imam Wahyudi kepada redaksi RCTI di Jakarta, “Imam menelepon RCTI Jakarta. Beritanya Cuma satu. “Ada kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up…” (paragraf 6). Peristiwa Simpang Kraft ini sama dengan Santa Cruz yang terjadi pada 12 November 1991, begitulah anggapan dari Imam. Nominalisasi, “Azhari menyebutkan, belasan orang meninggal dan puluhan lain luka-luka,” (paragraf 12), “Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi siang,” (paragraf 13). Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Bentuk kalimat pasif yang terdapat pada paragraf pertama, “Korbankorban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi ke beberapa rumah sakit dan klinik sekitar Krueng Geukeuh, Batuphat, dan Lhokseumawe.” Koherensi pembeda yang membedakan dua hal yang berbeda namun satu peristiwa yang sama, secara kontras terdapat pada paragraf 11, “Imam terus bergerak mencari
107
data korban ke rumah sakit Cut Mutia di Lhokseumawe. Di sana situasinya lebih dahsyat. Korban lebih banyak. Hampir tak bisa tertampung. Mereka ditidurkan di lantai lorong rumah sakit. Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi. Pintu pagarnya tertutup dan tampak beberapa pasukan marinir berjaga di gardu.” Koherensi dengan konjungsi „kausalitas‟ yaitu “Mereka merasa harus segera mengamankan kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan gambar yang ekslusif yang pasti jadi incaran militer.” Koherensi kausalitas lainnya, “Isi berita itu ditekankan pada pernyataan resmi militer Indonesia. Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan tentara terpaksa menembak karena massa hendak menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka bentrok dengan tentara yang berjaga,” (paragraf 17). Kata Ganti yang digunakan tetap kata ganti orang ketiga jamak „mereka‟, ditambah dengan kata ganti orang kedua tunggal „kau.‟ “Salah seorang anggota redaksi RCTI mengingatkan Imam, “Kau harus segera pergi dari Lhokseumawe.” (paragraf 9). Serta terdapat kata ganti kata ganti orang kedua jamak „kalian‟, “… kalian harus segera follow up…” (paragraf 6). Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Leksikal yang dipilih Chik Rini antara lain tak bernyawa, digeletakkan (paragraf 3), terpaku (paragraf 5). Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora) Tidak ada grafis. Metafora adegan 9 yaitu tercium sangat kuat (paragraf 3), Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis keluarga
108
korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit. Suasana agak kacau,” (paragraf 4), seperti orang linglung setelah kerja maraton (paragraf 14), malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam (paragraf 15). Tabel 14. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 9 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Struktur mikro (semantik)
Elemen
Temuan
Topik/ Tema
Para korban pembantaian dilarikan ke rumah sakit
Skema/ Alur
Di bagian awal adegan, para korban penembakan Simpang Kraft dibawa ke rumah sakit (paragraf 1) Pada bagian isi adegan diceritakan tentang reportase dari Azhari dan empat wartawan RCTI di rumah sakit serta persaingan akan berita eksklusif Simpang Kraft yang masuk ke dalam media nasional Adegan ditutup dengan adanya pengiriman kaset rekaman kepada pihak RCTI, Associated Press, dan Reuters Latar adegan 9 ini adalah latar peristiwa ketika korban-korban dilarikan ke rumah sakit “Perempuan, anak-anak, laki-laki tua, anak muda tewas dengan kondisi mengenaskan,” (paragraf 3) Dari latar tersebut, dijelaskan pula selanjutnya kondisi dari korban Simpang Kraft “Mereka menganggap RCTI mengeluarkan berita bohong,” (paragraf 18) RCTI telah merelai beritanya dari siaran TVRI tapi orang Aceh mengangganpnya itu adalah berita RCTI. Padahal wartawan RCTI menjadi saksi dari pembunuhan tersebut “…Ada kejadian mirip Santa Cruz di Aceh dan kalian harus segera follow-up…” (paragraf 6) Peristiwa Simpang Kraft ini dianggap oleh Imam Wahyudi sama seperti yang terjadi di Timor Timur pada 12 November 1991, di mana tentara Indonesia membubarkan massa dengan cara menembaki mereka “Paling tidak, sudah 24 orang diketahuinya tewas dan puluhan lainnya luka berat dalam peristiwa penembakan tadi siang,” (paragraf 13) Bentuk kalimat pasif: “Korban-korban penembakan di Simpang Kraft, dievakuasi ke beberapa rumah sakit….” (paragraf 1)
Latar Detil
Maksud
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat
109
Koherensi
Koherensi pembeda: “…Ironisnya, rumah sakit Kesrem milik Tentara Nasional Indonesia, yang bersebelahan dengan rumah sakit Cut Mutia, justru sunyi (paragraf
11)
Kata Ganti
Struktur mikro (stilistik) Struktur mikro (Retoris)
Leksikon Grafis Metafora
Koherensi konjungsi „kausalitas‟: “Mereka merasa harus segera mengamankan kaset rekaman Fipin dan Raban. Sebab itu merupakan gambar yang eksklusif yang pasti jadi incaran militer” (paragraf 11) Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟ dan kata ganti orang pertama kedua tunggal „kau‟, “… Kau harus segera pergi dari Lhokseumawe,” (paragraf 9) Kata ganti orang kedua jamak „kalian‟, ““… kalian harus segera follow up…” (paragraf 6) tak bernyawa, digeletakkan (paragraf 3), terpaku (paragraf 5) tercium sangat kuat (paragraf 3), Rintihan kesakitan terdengar di mana-mana, ditambah jerit tangis keluarga korban yang mulai berdatangan ke rumah sakit. Suasana agak kacau,” (paragraf 4), seperti orang linglung setelah kerja maraton (paragraf 14), malam itu suasana Lhokseumawe terasa mencekam (paragraf 15)
10). Analisis Teks Adegan 10 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Awal adegan dimulai dengan adanya penyiaran peristiwa Simpang Kraft di Nuansa Pagi RCTI pukul 06.00. Tapi karena pada malam sebelumnya, semua stasiun televisi swasta telah merelai siaran berita Dunia Dalam Berita dari TVRI, hal itu yang membuat orang Aceh tidak percaya kepada wartawan, khususnya terhadap RCTI dan Antara. Mereka pun mendapatkan ancaman dan terror baik itu dari orang Aceh, GAM, maupun militer Indonesia. Adegan ditutup dengan sampainya kaset rekaman Ali Raban yang disiarkan Reuters ke pelanggannya seluruh dunia dan gambar Fipin Kurniawan yang disiarkan di Seputar Indonesia pukul 18.30 pada Rabu, 5 Mei 1999.
110
Struktur Mikro (Semantik; Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Latar adegan 10 adalah latar peristiwa penyiaran berita di Nuansa Pagi RCTI pukul 06.00 pada Selasa, 4 Mei 1999. Detil peristiwa kecaman dari orang Aceh kepada wartawan terlihat pada kalimat, “Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban, dan Fipin berdiri memisah, menonton Imam yang mulai dikecam dengan berbagai tudingan,” (paragraf 6). Elemen Maksud adegan 10 yaitu “Bahwa wartawan itu harus berpijak
pada kebenaran, pada apa yang terjadi. Apa yang terjadi itulah kebenaran. Dan bagi saya menyuarakan kebenaran itu jihad,” (paragraf 20). Maksud dari pernyataan Imam Wahyudi ini merupakan elemen dasar dari seorang wartawan, seperti Sembilan Elemen Dasar yang dikemukakan oleh Bill Kovach bahwa seorang wartawan haruslah berpijak kepada kebenaran. Praanggapan adegan 10 adalah, “Jumlah korban masih simpang siur. Berbagai versi berkembang, baik di Simpang Kraft, maupun di rumah sakit,” (paragraf 22). Anggapan inilah yang faktanya terjadi di lapangan, baik pemberitaan dari media nasional maupun data dari rumah sakit. Nominalisasi sebagai kisaran dari jumlah korban Simpang Kraft serta lanjutan dari praanggapan di atas yaitu “Tapi data lengkap dari tim pencari fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang hilang,” (paragraf 22). Super Struktur (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti)
111
Bentuk kalimat pasif sekaligus menjadi bentuk kalimat induktif yang menjadi inti kalimat pada akhir paragraf dan adegan merupakan pon terpenting dari adegan 10. Kalimat tersebut yaitu, “Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft,” (paragraf 39). Elemen Koherensi kausalitas adegan 10 terdapat tiga antara lain “Dia
mengabarkan kepada Imam dan Fipin, bahwa orang-orang di Lhokseumawe marah pada RCTI karena pemberitaan semalam,” (paragraf 2). Kedua, Mereka protes karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang diberitakan media,” (paragraf 21). Ketiga, Orang itu mengancam akan membakar rumah, karena Umar dianggap membuat berita bohong di RCTI,” (paragraf 34). Koherensi konjungsi „tapi‟ terdapat paragraf akhir pada adegan 10, “Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh,” (paragraf 40). Adegan 10 memiliki tiga macam kata ganti. Pertama, kata ganti orang ketiga jamak „mereka‟, kata ganti orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang pertama tunggal „saya‟. Namun penggunaan kata saya tersebut, terdapat dalam dialog narasumber, “Itu bukan berita kami. Berita kami menyebutkan berapa korbannya. Saya punya data dari rumah sakit,” sahut Imam.( paragraf 14) Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Chik Rini sebagai penulis dari naskah ini memilih leksikal di antaranya tergopoh-gopoh (paragraf 2), mengekor, dicerca (paragraf 4), mengerubungi, dikeroyok, dikecam (paragraf 6), mencecar (paragraf 20), tewas (paragraf 21),
112
mengintrograsi (paragraf 25), menyodorkan (paragraf 27), terpelongo, mati (paragraf 30), argumentasi (paragraf 33), penembakan (paragraf 38), tragedi (paragraf 39). Struktur Mikro (Retoris; Grafis dan Metafora) Dalam adegan ini, tidak ada kata atau kalimat yang menggunakan tanda petik di atasnya seperti pada adegan-adegan sebelumnya tapi ada kalimat yang selalu ditekankan oleh penulis. Kalimat “RCTI pembohong” disebutkan sebanyak lima kali dalam satu kali adegan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”. Seakan-akan Chik Rini ingin menunjukkan kepada masyarakat bhwa dengan adanya beragam konflik di Aceh, khususnya peristiwa Simpang Kraft telah membuat orang Aceh stereotip terhadap media dan wartawan. Metafora adegan 10 yaitu seorang pemuda bertopi taliban (paragraf 3), bereaksi keras (paragraf 21), rasa takut yang tinggi (paragraf 37), membangkitkan emosi (paragraf 39), sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh, sisanya sejarah (paragraf 40). Tabel 14. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 10 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Elemen
Temuan/ Hasil Analisis
Topik/ Tema
Laporan berita pertama mengenai peristiwa Simpang Kraft dilaporkan oleh wartawan RCTI Penyiaran berita Simpang Kraft di Nuansa Pagi RCTI pukul 06.00, Selasa 4 Mei 1999 (paragraf 1) Pada bagian isi adegan menceritakan bagaimana orang Aceh memperlakukan wartawan pasca peristiwa Simpang Kraft. Orang Aceh menjadi stereotip terhadap pemberitaan yang disiarkan oleh media nasional Adegan ditutup dengan penayangan kaset rekaman yang telah dikirim oleh Umar HN pada hari sebelumnya serta ditayangkan pada Rabu, 5 Mei 1999. Meski RCTI telat satu setengah jam menayangkan gambar Fipin dibandingkan dengan gambar Ali Raban
Skema/ Alur
113
Struktur mikro (semantik)
Latar
Detil
Maksud
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat Koherensi
Kata Ganti
Struktur mikro (stilistik)
Leksikon
Struktur mikro (Retoris)
Grafis
Latar adegan 10 adalah latar peristiwa penayangan berita Simpang Kraft di media nasional maupun internasional “Imam seperti dikeroyok, oleh si gadis, pemuda bertopi taliban, dan seorang bapak. Umar, Raban, dan Fipin berdiri…” (paragraf 6) Pada kalimat di atas menceritakan bagaimana munculnya rasa ketidakpercayaan orang Aceh terhadap wartawan “Bahwa wartawan itu harus berpijak pada kebenaran, pada apa yang terjadi….” (paragraf 20) Seperti yang diungkapkan oleh Bill Kovach bahwa seorang wartawan haruslah berpijak kepada wartawan. (Sembilan Elemen Dasar Jurnalisme, Bill Kovach) Pada paragraf 22 diterangkan mengenai data korban Simpang Kraft yang masih simpang siur. Chik Rini menambahkan pula konstruksi korban penembakan Simpang Kraft dari tim pencari fakta “Tapi data lengkap dari tim pencari fakta menyebutkan 46 orang tewas, 156 orang luka, dan sepuluh orang hilang,” (paragraf 22) Bentuk kalimat pasif: “Tragedi ini kemudian lebih dikenal sebagai Peristiwa Simpang Kraft” (paragraf 39) Koherensi kausalitas: Mereka protes karena menganggap jumlah korban lebih banyak dari yang diberitakan media,” (paragraf 21) Koherensi konjungsi „tapi‟: Imam dan Fipin kecapekan di Jakarta tapi Indonesia melihat bagaimana sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh,” (paragraf 40) Kata ganti orang ketiga tunggal „mereka‟, kata ganti orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang pertama tunggal „saya‟ tergopoh-gopoh (paragraf 2), mengekor, dicerca (paragraf 4), mengerubungi, dikeroyok, dikecam (paragraf 6), mencecar (paragraf 20), tewas (paragraf 21), mengintrograsi (paragraf 25), menyodorkan (paragraf 27), terpelongo, mati (paragraf 30), argumentasi (paragraf 33), penembakan (paragraf 38), tragedi (paragraf 39) Kalimat “RCTI adalah pembohong” disebutkan sebanyak lima kali dalam adegan 10 ini
114
Metafora
seorang pemuda bertopi taliban (paragraf 3), bereaksi keras (paragraf 21), rasa takut yang tinggi (paragraf 37), membangkitkan emosi (paragraf 39), sebuah drama berdarah sekali lagi terkelupas dengan brutal dari Aceh, sisanya sejarah (paragraf 40)
11). Analisis Teks Adegan 11 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Super Struktur (Skematik) Adegan kesebelas ini disebut juga dengan epilog atau penutup. Disebut epilog karena adalah akhir dari adegan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”. Dalam teori elemen-elemen jurnalisme sastrawi Robert Vare diterangkan mengenai kebaruan maka epilog ini adalah konteks kekinian yaitu tiga tahun pasca peristiwa Simpang Kraft yaitu tahun 2002 (saat naskah ini pertama dipublikasikan di Majalah Pantau pada Mei 2002). Skematik adegan epilog ini diawali oleh tokoh Imam Wahyudi yang mengalami trauma pasca peristiwa tersebut. Berlanjut kepada tokoh-tokoh setelahnya yaitu Fipin Kurniawan, Ali Raban, dan Umar HN. Isi adegan 11 juga menceritakan proses pengadilan yang tak adil terhadap para korban Simpang Kraft. Chik Rini pun berhasil menemukan „man behind the scene‟ bahwa Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang memprovokasi massa dan melibatkan diri di balik peristiwa tersebut (terdapat pada pernyataan Camat Dewantara Marzuki Muhammad Amin ketika bertemu dengan Faisal, korlap dari demonstrasi di Simpang Kraft). Adegan diakhiri dengan masih adanya ketidakpercayaan orang Aceh (korban atau keluarga korban penembakan) kepada wartawan, meski peristiwa Simpang Kraft telah berlalu tiga tahun lalu.
115
Struktur Mikro (Latar, Detil, Maksud, Praanggapan, Nominalisasi) Latar adegan 10 adalah latar pacsa peristiwa tersebut dalam konteks kekinian yaitu tiga tahun setelahnya. Detil deskripsi Simpang Kraft pada epilog ini juga dijelaskan oleh Chik Rini, sama seperti tiga tahun lalu (pada paragraf 6). Elemen maksud terdapat pada kalimat, “Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita ini secara hati-hati,” (paragraf 5). Maksudnya adalah peristiwa ini adalah peristiwa sensitif dan banyak wartawana yang mendapatkan ancaman serta teror atas pemberitaan peristiwa Simpang Kraft, apalagi bagi seorang wartawan perempuan Aceh. Praanggapan ini adalah ekspresi atas kekecewaan mereka terhadap ketidakadilan yang dialami. “Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'ipa'i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh," (paragraf 18). Pernyataan ini hanyalah representatif dari salah satu korban saja, tapi hal inilah yang juga dirasakan oleh orang Aceh. Stereotif, lelah, serta kekecawaan tersebut tetap sama, baik itu pada Mei 1999 hingga tiga tahun setelahnya. Elemen nominalisasi pada adegan 11 terdapat dalam, “….ditembak mati tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat…” (paragraf 14) dan “…dengan tuntutan Rp 83 miliar…” (paragraf 15). Struktur Mikro (Sintaksis; Bentuk Kalimat, Koherensi, Kata Ganti) Bentuk kalimat aktif terlihat pada, “Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi
116
massa,” (paragraf 9). Koherensi pembeda, “Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru,” (paragraf 8). Koherensi kausalitas, “Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal,” (paragraf 10), “Peradilan itu belum pernah berlangsung karena pengadilan Banda Aceh beralasan ketiadaan hakim setelah hampir seluruh perangkat hukum di Aceh lumpuh total,” (paragraf 15). Adegan kesebelas ini memiliki keunikan dari segi elemen kata ganti karena dalam adegan ini penulis memasukkan dirinya ke dalam teks naskah dengan
penggunaan
kata
ganti
orang
pertama
tunggal
„saya.‟
Ia
mengkonstruksi dirinya seolah-olah berada di sana serta untuk menunjukkan konteks kekinian dari naskah. Penggunaan „saya‟ dimulai pada paragraf kedua dan disebutkan sebanyak 15 kali. “Tapi dia menolak bicara dengan saya. "Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh." (paragraf 18) Selain „saya‟, digunakan pula kata ganti „mereka‟, „kami‟, dan „dia‟. Struktur Mikro (Stilistik; Leksikon) Pemilihan kata atau leksikon yang dipilih oleh Chik Rini yaitu intimidasi, kekerasan, teror (paragraf 5), tewas, menerjang (paragraf 6), aksi
117
(paragraf 9), pembantaian, ditembak mati (paragraf 14), advokasi (paragraf 15), pesimis (paragraf 16). Struktur Mikro (Reoris; Grafis dan Metafora) Dilihat dari segi grafis, „senjata AK 47‟ lebih ditonjolkan oleh penulis. Dengan adanya penjelasan bahwa ada massa yang membawa jenis senjata ini, membuat militer Indonesia yakin bahwa GAM di balik aksi provokasi massa. Hal ini dijelaskan pada paragraf 9. Grafis kedua yaitu penyebutan kata‟pa‟i‟ diulang kembali pada akhir adegan epilog ini, sebagai pengenasan bahwa orang Aceh masih tidak menyukai pa‟i. Metafora adegan 11 terdiri atas dikejar-kejar bayangan (paragraf 1), menyembunyikan emosi (paragraf 2), gadis malang (paragraf 6), pada suatu siang berudara mendung, Mei berdarah (paragraf 7), wajah baru tak tesentuh hukum, tak ketahuan rimbanya (paragraf 8), suasana kacau dan memanas, kerumunan massa (paragraf 9), memakan korban (paragraf 10), pohon itu berlubang sembilan dihantam peluru tentara (paragraf 11), kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam (paragraf 14), lumpuh total (paragraf 15), peluru bersarang di punggungnya, tidak kena hukum (paragraf 18). Tabel 16. Kerangka Analisis Data Teks Adegan 11 Struktur Wacana Struktur Makro Super struktur (skematik)
Elemen
Temuan/ Hasil Analisis
Topik/ Tema
Topiknya adalah dua tahun pasca peristiwa tersebut yang menceritakan kondisi para tokoh Imam Wahyudi mengalami trauma pasca peristiwa Simpang Kraft. Jika ia kembali ke sana, ia selalu menyempatkan diri ke Simpang Kraft dan selalu mengenang peristiwa tersebut (paragraf 1) Pada bagian isi adegan dilanjutkan dengan pernyataan resmi militer yang menyatakan bahwa pihak GAMlah di balik aksi provokasi massa. Chik Rini membuktikannya dengan dimasukkannya dialog antara Camat Marzuki dan Faisal (korlap
Skema/ Alur
118
Struktur mikro (semantik)
Latar Detil
Maksud
Praanggapan
Nominalisasi
Struktur mikro (sintaksis)
Bentuk Kalimat
Koherensi
demonstrasi Simpang Kraft) saat itu. Faisal menunjukkan dirinya bahwa ia dari GAM Pasca peristiwa, NGO HAM Aceh dan para pihak yang peduli dengan peristiwa Simpang Kraft masih menuntut keadilan para korban, dengan tuntutan hukum perdata Rp 83 miliar tapi belum jua mendapatkan keadilan Stereotip, sikap anti Jawa (pa‟i), dan tidak lagi percaya dengan LSM serta wartawan ini masih ada pada orang Aceh meski peristiwa itu telah berlalu selama tiga tahun (penutup adegan 11) Latar adegan 11 adalah latar pasca peristiwa Simpang Kraft yaitu tiga tahun setelah peristiwa terjadi Detil kondisi dan deskripsi letak Simpang Kraft sama seperti tiga tahun setelahnya. Detil ini dijelaskan oleh Chik Rini pada paragraf 6 “Umar berkali-kali minta saya agar menulis cerita ini secara hati-hati,” (paragraf 5) Maksudnya, dalam menuliskan peristiwa ini sekaligus ditulis oleh wartawan Aceh harus secara hati-hati. Peristiwa ini masih membekas dalam hati orang Aceh “Kami sudah terlalu banyak bicara sama LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan wartawan. Tapi tak ada gunanya. Pa'i-pa'i itu tidak kena hukum. Padahal mereka sudah tembak kami orang Aceh," (paragraf 18) Anggapan inilah yang masih berkembang dalam orang Aceh, khususnya korban maupun keluarga korban dari peristiwa Simpang Kraft tersebut “….ditembak mati tentara bersama 51 murid pesantrennya pada Juli 1999. Walau banyak yang tak puas, 24 prajurit lapangan yang terlibat…” (paragraf 14) Bentuk kalimat aktif: “Pihak militer Indonesia secara resmi mengatakan Gerakan Aceh Merdeka berada di balik aksi provokasi massa,” (paragraf 9) Koherensi pembeda: “Pasca Peristiwa Simpang Kraft, hampir semua prajurit dan komandan di institusi militer setempat dipindahtugaskan dari Aceh. Kini prajurit-prajurit Arhanud Rudal dan Bataliyon 113 semuanya sudah wajah baru,” (paragraf 8) Koherensi konjungsi „kausalitas‟: “Tentara menganggap mereka sudah bertindak sesuai prosedur, karena ada upaya Aceh Merdeka memprovokasi massa untuk menyerang markas Detasemen Arhanud Rudal,” (paragraf10)
119
Kata Ganti
Struktur mikro (stilistik)
Leksikon
Struktur mikro (Retoris)
Grafis
Metafora
Kata ganti orang ketiga jamak „mereka‟, kata ganti orang pertama tunggal „saya‟, kata ganti orang pertama jamak „kami‟, dan kata ganti orang ketiga tunggal „dia‟ intimidasi, kekerasan, teror (paragraf 5), tewas, menerjang (paragraf 6), aksi (paragraf 9), pembantaian, ditembak mati (paragraf 14), advokasi (paragraf 15), pesimis (paragraf 16) Senjata AK 47 yaitu senjata yang sering digunakan oleh GAM disebutkan di dalam naskah sebagai pembukti bahwa GAMlah yang berada di balik peristiwa Simpang Kraft dan penggunaan kata pa‟i masih disebutkan meski peristiwa tekah berlalu tiga tahun setelahnya dikejar-kejar bayangan (paragraf 1), menyembunyikan emosi (paragraf 2), gadis malang (paragraf 6), pada suatu siang berudara mendung, Mei berdarah (paragraf 7), wajah baru tak tesentuh hukum, tak ketahuan rimbanya (paragraf 8), suasana kacau dan memanas, kerumunan massa (paragraf 9), memakan korban (paragraf 10), pohon itu berlubang sembilan dihantam peluru tentara (paragraf 11), kasus peristiwa Simpang Kraft bagai tenggelam (paragraf 14), lumpuh total (paragraf 15), peluru bersarang di punggungnya, tidak kena hukum (paragraf 18)
2. Analisis Kognisi Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Dalam memahami sebuah teks, kognisi sosial menjadi hal terpenting. Pada umumnya teks diasumsikan tidak mempunyai makna namun anggapan tersebut salah karena teks tersebut diberikan makna oleh si pemakai bahasa (penulis). Makna inilah yang dikonstruksi oleh penulis. Dalam menganalisa struktur kedua wacana van Dijk ini yaitu kesadaran mental pengarang. Sama halnya seperti naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft,” naskah ini tidak terlepas dari konstruksi teks serta mental dari penulis yaitu Chik Rini. Tentunya, Chik Rini memiliki memiliki nilai, pengaruh, dan ideologi dari kehidupannya yang memengaruhi terbentuknya teks tersebut.
120
Wacana tentang Aceh yang diangkat dalam Majalah Pantau Edisi Mei 2002 rubrik Reporter dari Lapangan merupakan peristiwa yang telah terlewati tiga tahun lamanya, sebelum naskah tersebut dipublikasikan. Majalah Pantau adalah majalah bergenre jurnalisme sastrawi yang diterbitkan oleh Institut Studi Arus Informasi atau ISAI (1999-2003) dan Yayasan Pantau (Desember 2003-Mei 2004) dengan mengandalkan 70% isinya dari kontributor. Kontributor tersebut bekerja secara freelance tergantung kepada berita yang mereka kirimkan kepada Pantau. Dikutip dari wawancara ketika peneliti bertanya mengenai bagaimana proses pra produksi sebelum berita diangkat, Imam Sofwan sebagai staf redaksi Yayasan Pantau menceritakan prosedur awal perencanaan liputan, “Biasanya mereka (kontributor) ngajuin liputan. Ngajuin rencana liputan, semacam proposal liputan. Apa yang akan dia liput, siapa saja yang akan dijadikan narasumber, temanya, outline tulisannya, dan biaya liputannya. Mereka bikin rencana singkat. Kemudian ada yang menjadi consultant-nya, yang akan ngedit itu nanti siapa. Nanti mereka langsung ketemu dengan editornya, mungkin ada diberikan masukan bacaan apa yang perlu dibaca, narasumber siapa saja yang perlu ditemui, dikasih masukan. Yah, diskusi langsung ke editornya.”1 Chik Rini, penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” juga mengakui bahwa pada mulanya ia berdiskusi kepada Andreas Harsono mengenai rencana liputannya. Awalnya, ia ingin meliput tentang komandan intelejen di Aceh yang membunuh empat aktivis GAM tapi karena aksesnya susah maka ia tidak jadi. Lalu temannya menceritakan tentang sosok Imam Wahyudi sebagai wartawan yang trauma. Ketika ia ke Jakarta, ia berkonsultasi dengan Andreas Harsono. 1
Hasil wawancara dengan Imam Sofwan di Kantor Yayasan PANTAU pada Rabu, 3 November 2010 pkl. 14.00 WIB
121
Wacana tema liputan ini menarik perhatian Andreas. Ia bilang, “Saya tertarik dengan Aceh karena kekejaman-kekejaman yang terjadi di sana.” Untuk mengetahui sejauh mana penulis mencampurkan pengetahuan yang ia miliki ke dalam tulisannya, dalam hal ini van Dijk mempunyai empat elemen untuk mengetahui strategi wartawan atau penulis dalam memahami peristiwa. a. Strategi dalam Memahami Peristiwa Strategi yang digunakan van Dijk untuk mengetahui model yang digunakan wartawan atau penulis naskah dalam memahami peristiwa Simpang Kraft di Aceh pada 3 Mei 1999 adalah dengan melakukan empat strategi. Strategi yang pertama itu adalah seleksi. Seleksi adalah strategi yang kompleks untuk menunjukkan bagaimana sumber, peristiwa, dan informasi diseleksi oleh wartawan kemudian ditampilkan ke dalam berita. Setiap media maupun wartawan memiliki ideologinuya masing-masing. Majalah Pantau merupakan majalah bulanan mengenai media dan jurnalisme. Dalam penentuan dan pemilihan tema liputan di Majalah Pantau didiskusikan oleh manajemen redaksi Pantau dengan kontributor Pantau. Setelah disetujui oleh semua redaksi Pantau, kontributor melanjutkan reportase. Tema liputan Chik Rini disetujui oleh Andreas Harsono mengenai Aceh tentang peristiwa apa pun namun tidak terlepas seputar media dan jurnalisme. Akhirnya, disepakati tentang peristiwa Simpang Kraft yaitu pembunuhan terhadap orang Aceh yang dilakukan oleh militer Indonesia. Untuk pemilihan narasumber, Chik Rini yang memilihnya sendiri Ia
122
mewawancarai sekitar 30 sampai 50 narasumber serta mencari data mengenai peristiwa tersebut dalam kurun waktu lima bulan, termasuk menuliskan naskah. Kedua yaitu reproduksi. Setelah menggunakan strategi pertama yaitu penyeleksian tema yang dipilih, reproduksi kisah yang berkaitan dengan perolehan informasi dari narasumber. Dalam hal ini, Chik Rini mencari
data
sebanyak-banyaknya
ketika
reportase
dan
mengkonfirmasikan kembali kepada narasumber. Selain itu juga, editor naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” (Andreas Harsono) mengkroscek setiap data, dialog narasumber, detil kejadian, serta hal-hal kecil lainnya untuk ditanyakan kembali kepada Chik Rini. Supaya informasi yang didapatkan Chik Rini benar-benar akurat dan harus dikroscek lagi kepada narasumber ketika editing berlangsung, sebelum sampai kepada publik. Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini karena ia sampai terkejut dengan proses editing Majalah Pantau. “Apa maksud ini? Benar nggak dia berkata seperti ini? Kalimat panjang jadi satu makanya luar biasa belajar editing di Pantau. Mas Andreas yang bolak-balikin naskahnya. Proses editing ini mulai Maret sampai April tapi bolak balik. Tapi itu hanya menceritakan dua atau tiga hari peristiwa. Ada empat dengan yang terbarukan itu.”2 Strategi ketiga adalah kesimpulan. Setelah penyeleksian tema serta narasumber dan reproduksi informasi dari narasumber, selanjutnya adalah 2
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
123
proses penyimpulan. Data seperti kliping koran dan, informasi narasumber dan lainnya dikemas dalam satu teks naskah utuh, yang didalamnya terbagi dalam adegan demi adegan. Konstruksi per adegan ini termasuk ke dalam elemen jurnalisme sastrawi. Dari banyaknya 50 narasumber tersebut, ia pilah kepada tokoh utama yaitu wartawan. Narasumber utama yaitu Imam Wahyudi sebagai pengikat, ia menuliskan siapa saja yang berada dalam lingkaran Imam (Umar HN, Fipin Kurniawan, Ali Raban), kemudian ada Azhari wartawan ANTARA, Camat Dewantara Marzuki Muhammad, dan tokoh pendukung lainnya. Mereka adalah para tokoh yang terpencar hingga Chik Rini harus mempertemukan mereka ke dalam satu titik. Tokoh-tokoh itu tidak dipertemukan secara langsung dan berinteraksi, hanya disebutkan “Azhari melihat Umar HN.” Mereka dipertemukan oleh satu lokasi yaitu Simpang Kraft. Pada strategi ini, Chik Rini tidak hanya memasukkan dialog narasumber ke dalam teks saja, tapi deskripsi situasi serta sense penglihatan dan pendengaran ketika mereportase juga dimasukkan olehnya. Seperti yang terdapat pada paragraf kedua adegan pertama, “Angin malam sekilas membawa bau amis yang berasal dari hamparan empang yang terletak di seberang terminal. Sejurus di kejauhan, di atas belukar hutan bakau, langit tampak merah membara oleh cahaya api. Semburan api raksasa itu keluar dari beberapa tower yang ada di ladang penyulingan gas alam cair milik PT Arun LNG.”
124
Sesuai dengan genre jurnalisme sastrawi yaang diusung oleh Majalah Pantau, naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” berhasil membawa Majalah Pantau sebagai majalah jurnalisme sastrawi layaknya The New Yorker, seperti yang dikatakn Andreas Harsono, “Saya suka naskah ini dan ikut bangga karena Pantau mulai memakai genre yang sulit ini di halaman-halamannya.” Strategi keempat, transformasi lokal. Strategi ini berhubungan dengan bagaimana peristiwa tersebut ditampilkan. Dalam naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” informasi atau data yang berkaitan dengan peristiwa tokoh dikemas dengan menarik. Meski peristiwa Simpang Kraft ini telah berlalu sejak tiga tahun yang lalu sebelum naskah ini dipublikasikan, dan detil peristiwa ini terasa begitu kejam namun Chik Rini mampu mengolahnya menjadi naskah yang menarik layaknya sebuah novel. b. Kognisi Penulis dalam Memahami Peristiwa Perihal pengetahuan penulis dalam memahami peristiwa Simpang Kraft yang diangkat ini bahwa peristiwa Simpang Kraft ini hanyalah awal dari konflik yang kian menumpuk di Aceh. Chik Rini lahir dan tinggal di Aceh tapi kedua orang tuanya bukan orang asli Aceh. Neneknya Padang, kakek berasal dari suku Sunda. Ayahnya orang Palembang. Keterikatan Chik Rini dalam memahami peristiwa Simpang Kraft ini sangat erat. Kelebihan dirinya dalam mereportase peristiwa Simpang Kraft yaitu ia tahu wilayah dan tahu beberapa akses narasumber.
125
Saat peristiwa itu berlangsung, ia pun masih duduk di SMA dan hanya mengetahui saja peristiwa tersebut dari orang Aceh lainnya. Namun, ia merasa sangat dekat dengan peristiwa Simpang Kraft, ibunya pun merasakan ketakutan ketika menjelang peristiwa tersebut. Seperti yang dikatakannya kepada peneliti melalui wawancara: “Ada isu orang kampung diambil tentara. Mereka itu kayak terakumulasi. Kak Chik juga dapat cerita, tapi itu juga nggak Kakak masukkan, hanya menjadi background. Kenapa Kakak bilang ada yang memobilisasi massa. Saat itu, di hari itu, di Kreung Geukeuh di kampung Lancang Barat dapat cerita kalau malam sudah dimobilisasi. Ibu Kak Chik ngumpet dengan saudara kami di dalam kamar. Pagi-pagi sudah dijemput suruh naik mobil pick up. Jaraknya sekitar 1 km. Ada mobilisasi massa. Semua perempuan disuruh keluar, bawa anak. Bawa anak-anak.”3 Konstruksi secara deskripsi tempat kejadian kultur orang Aceh serta alasan mengapa orang Aceh ingin referendum maupun alasan mengapa GAM memberontak dari pemerintah Indonesia, ia memahami itu semua. Secara geografis dan emosional, ia mengenal orang-orang Kreung Geukeuh karena di sana banyak saudaranya. Namun, yang menjadi titik utama dari angle yang diambil dalam naskahnya adalah bagaimana wartawan-wartawan Indonesia menjadi saksi dari pembunuhan orang Aceh oleh militer Indonesia, bagaimana tidak adanya sisi kemanusiaan ketika konflik pada Orde Baru dan reformasi itu berlangsung di Indonesia, khususnya kepada orang Aceh. Chik Rini mencoba melepaskan keberpihakannya meskipun ia adalah orang Aceh. Rini mencoba menulis sesuai dengan angle naskah serta memasukkan dari beragam fakta yang ia temukan di lapangan, tidak 3
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
126
hanya dari laporan pers Kodam I Bukit Barisan, Medan saja tapi Rini juga memasukkan data dari narasumber warga sipil (wartawan dan warga Kreung Geukeuh). Jika strategi media dalam memahami peristiwa dan kognisi penulis dalam memahami peristiwa tersebut, seperti yang diterangkan di atas maka dapat diambil kesimpulan dalam tabel empat skema atau model kognisi sosial van Dijk, sebagai berikut: Tabel 17. Skema/ Model Kognisi Sosial van Dijk Skema Person (Person Schemas): Chik Rini adalah mantan wartawan Harian Analisa, Medan dan wartawan freelance bagi Majalah Pantau. Ia mulai reportase dan menuliskan naskah laporan “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” pada Desember 2001 sampai April 2002. Naskah tersebut dipulikasikan pada Majalah Pantau pada Edisi Mei 2002. Rini lahir dan berdomisili di Aceh hingga sekarang Skema Diri (Self Schemas): Chik Rini menulis naskah ini pada rubrik Reporter dari Lapangan. Ia adalah kontributor Pantau. Ia mengambil angle atau sudut pandang peristiwa Simpang Kraft ini bukan dari peristiwa, keadilan, maupun dari dua versi (militer Indonesia atau orang Aceh) melainkan ia melihat sisi kemanusiaan yang diawali oleh empat wartawan RCTI dan ANTARA, bahwa mereka adalah manusia dan juga bisa mengalami trauma. Atas dasar keprihatinan inilah, ia menuliskannya dan dengan genre jurnalisme sastrawi. Skema Peran (Role Schemas): Skema ini berkaitan dengan peran dari media naungan naskah tersebut berada. Majalah Pantau sejak tahun 1999-2003 sebagai majalah media dan jurnalime yang selalu mengkritisi dua hal tersebut, sangat cocok dengan tema liputan yang diangkat oleh Chik Rini. Maka dari itu, Rini mengambil dari angle wartawan. Majalah Pantau menjembatani peran dari media dan wartawan yang ada di Indonesia Skema Peristiwa (Event Schemas): Seperti yang dikatakan oleh Chik Rini bahwa peristiwa ini hanyalah awal dari peristiwa yang kian menumpuk sejak Orde Baru (Orba). Reformasi di pemerintahan Indonesia, berdampak juga ke Aceh. Setelah peristiwa Simpang Kraft ini ragam peristiwa berdarah lainnya makin gencar terkuak oleh media nasional apalagi sejak Aceh mendapatkan perhatian khusus di mata media
127
nasional maupun internasional. Peristiwa Simpang Kraft ini terjadi kejam sekali, bagaimana militer Indonesia secara membabi buta menembaki massa dari perempuan hingga anak kecil. Kesannya peritiwa ini lewat begitu saja. Peristiwa ini terblow up karena RCTI dan Associated Press (AP) yang disiarkan di televisi nasional. 3. Analisis Konteks Sosial “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” Analisis sosial (konteks sosial) berkaitan dengan hal-hal yang memengaruhi pemakaian bahasa, dan terbentuknya sebuah wacana. Seperti latar, situasi, peristiwa, dan kondisi sosial yang sedang terjadi saat itu. Pada konteks sosial tertentu, sebuah wacana dapat diteliti, dianalisis, dan dimengerti. Konteks ini juga berkaitan dengan who atau siapa dalam hubungan komunikasi. Siapa yang menjadi komunikatornya, siapa komunikannya, dalam situasi bagaimana, apa mediumnya, dan mengapa ada peristiwa tersebut. Dalam analisis sosial ini, meneliti wacana yang sedang berkembang di masyarakat pada konteks terbentuknya sebuah wacana dalam masyarakat. Bagaimana masyarakat memproduksi dan mengkonstruksikan sebuah wacana. Dalam konteks peristiwa Simpang Kraft (naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft”) ini yang menjadi yang menjadi komunikator dan komunikannya adalah antara militer Indonesia dan orang Aceh, di dalam orang Aceh terdapat GAM. Indonesia waktu itu dalam keadaan reformasi dan segala macam kejahatan Soeharto ketika itu membuat GAM memberontak. Chik Rini dan Majalah Pantau menjadi medium di antara peristiwa tersebut untuk mempublikasikan naskah “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Peneliti menganalisis konteks sosial ini, terbagi ke dalam dua bagian, yaitu:
128
a. Praktik Kekuasaan Konstruksi praktik kekuasaan dalam peristiwa Simpang Kraft ini adalah antara militer Indonesia yang memiliki dominasi lebih besar terhadap kaum minoritas yaitu orang Aceh dan di dalamnya terdapat GAM. Hal inilah yang membuat orang-orang Aceh membentuk GAM dan memberontak terhadap pemerintah Indonesia. Seperti yang terdapat dalam adegan 1 paragraf 5 “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” “Di Lhokseumawe ada ketidakadilan. Di sana juga mulai timbul perlawanan bersenjata oleh Gerakan Aceh Merdeka, biasa disebut GAM, untuk memerdekakan Aceh dari ketidakadilan itu. Tapi dominasi militer Indonesia sangat kuat. Selama 10 tahun, antara 1989 dan 1998, daerah Lhokseumawe jadi sasaran utama operasi militer Indonesia, bersama Aceh Timur dan Pidie. Setidaknya 1.321 mati terbunuh, 1.958 hilang dan 3.430 mengalami penganiayaan.” Dari paragraf di atas, jelas sekali bagaimana praktik kekuasaan militer Indonesia selama 10 tahun. Aceh menjadi salah satu wilayah konflik berbahaya waktu itu oleh pemerintah Indonesia. Karena ketidakadilan
itulah,
dalam
dakwah
GAM
selalu
menyebutkan
“Pemerintah-Indonesia Jawa.” b. Akses Memengaruhi Wacana Dalam akses mempengaruhi wacana, tentu saja militer Indonesia mempunyai kekuatan yang dominan. Dari macam–macam akses yang van Dijk kemukakan, militer Indonesia memilki akses yang disebut dengan akses perencanaan (planning), akses wacana dalam hal setting, akses
129
wacana dalam hal mengontrol peristiwa komunikasi (communicative event), dan kontrol wacana atas khalayak. Hal ini dapat dilihat dari yang terlihat pada pemaparan peristiwa dalam “Sebuh Kegilaan di Simpang Kraft.” Pertama, peristiwa ketika seluruh stasiun televisi nasional termasuk RCTI merelai siaran Dunia Dalam Berita TVRI. Saat itu TVRI masih dalam bayang pengaruh pemerintah Indonesia. “Pukul 21.00 RCTI dan semua stasiun televisi merelai siaran Dunia Dalam Berita milik TVRI. Isi berita itu ditekankan pada pernyataan resmi militer Indonesia. Juru bicara militer Mayor Jenderal Syamsul Muarif mengatakan tentara terpaksa menembak karena massa hendak menyerang markas Arhanud Rudal, sehingga mereka bentrok dengan tentara yang berjaga.” (paragraf 17, adegan 9) Peristiwa kedua, setelah peristiwa tersebut berlangsung, secara resmi militer Indonesia Gerakan Aceh Merdeka (GAM) berada di balik aksi provokasi massa. Mereka menganggap sudah bertindak sesuai prosedur (pada paragraf 9 dan 10 di adegan 11 atau epilog). Tapi, wacana yang berkembang di masyarakat Indonesia termasuk pihak LSM dan Koalisi NGO HAM Aceh yaitu jika mereka bertindak sesuai prosedur mengapa para korban lebih banyak masyarakat sipil khususnya perempuan dan satu orang anak kecil berusia 6 tahun bernama Saddam Husen. Di sini, terdapat kejanggalan logika.
130
Peristiwa ketiga yaitu karena sangat besar akses militer Indonesia dalam memengaruhi wacana di masyarakat, hal ini membuat orang Aceh semakin tidak mempercayai pemerintah Indonesia, dan wartawan. Chik Rini pun menjelaskan bahwa kini orang Aceh sudah melupakan peristiwa Simpang Kraft tersebut, meski para korban atau keluarga korban tidak bisa melupakan peristiwa tersebut secara 100%. “Akhir-akhir ini, setelah damai, mereka membuat Ketua Asosiasi Korban Simpang Kraft. Amien Rais juga membaca naskah itu. Disuruh juga menjadi saksi. Tapi, Mas Andreas bilang, mana bisa wartawan itu jadi saksi. Baca saja naskah itu. Wartawan independen, punya kekebalan hukum. Dia tidak bisa menjadi saksi pengadilan. Dia nggak bisa. Itu ada dalam UU Pers No.40 Tahun 1999.”4 Setahun lalu, korban-korbaan Simpang Kraft membuat solidaritas untuk mengenang para korban. Mereka memperingatinya setiap tahun. Chik Rini pun pernah dipanggil oleh pengadilan perdata di Jakarta untuk menjadi saksi atas peristiwa tersebut. Namun, ia menolak. Dengan adanya akses memengaruhi wacana yang besar dari militer Indonesia tersebut, membuat militer Indonesia dapat memengaruhi dan menguasai segala macam situasi di Aceh, dengan dalih sebagai stabilitas pengamanan nasional.
4
Hasil wawancara dengan Chik Rini pada Sabtu, 29 Januari 2011 di kawasan Jalan Kertanegara No.41, Blok M, Jakarta Selatan
BAB V PENUTUP
A. KESIMPULAN Setelah menjelaskan dan menganalisa data pada bab-bab sebelumnya serta diperkuat dengan wawancara langsung kepada Chik Rini, penulis “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” dan narasumber lainnya, maka pada bab penutup ini peneliti mengambil kesimpulan dari rumusan masalah sebelumnya, yaitu: 1. Wacana teks dalam berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” di Majalah Pantau dikonstruksi dilihat dari dimensi teks Teun van Dijk, antara lain: a. Teks ini mampu memaparkan segi semantik atau makna yang ditekankan dengan baik, seperti pendeskripsian latar dan detil secara keseluruhan teks. Semantik ini sama halnya seperti elemen jurnalisme sastrawi (mencatat dengan detil) dengan komprehensif. b. Dalam pemilihan kata atau leksikon, penulis menggunakan kata-kata yang berkonotasi negatif terhadap pihak militer Indonesia maupun orang Jawa. Seperti penggunaan kata: militer Indonesia, rejim Soeharto, pemerintahan di Jakarta, dan sebagainya. c. Secara keseluruhan, teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini menerapkan empat elemen jurnalisme sastrawi yang dikemukakan Tom Wolfe dengan baik dan wacana model van Dijk ini membantu dalam konstruksi wacana teks.
131
132
2. Dimensi kognisi sosial dan konteks sosial yang terdapat dalam teks “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft.” Dari dimensi kognisi sosial, Chik Rini mencoba melepakan keberpihakannya dengan cara meletakkan narasumber dari kedua belah pihak (militer Indonesia dan orang Aceh khususnya GAM) dalam teksnya. Ia memiliki kekuatan dalam wilayah dan akses kepaada beberapa narasumber. Sedangkan wacana yang berkembang di masyarakat ketika itu (konteks sosial) ialah orang Aceh masih membenci militer Indonesia dan orang Jawa yang mereka rasa telah menjajah orang Aceh selama sepuluh tahun masa daerah operasi militer Aceh.
B. SARAN Dari penelitian mengenai naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini, peneliti mempunyai saran sebagai berikut: 1.
Saran untuk pembaca khususnya mahasiswa/i jurnalistik yang tertarik dengan genre jurnalisme sastrawi maka dianjurkan untuk membaca naskah berita “Sebuah Kegilaan di Simpang Kraft” ini. Empat elemen Tom Wolfe diaplikasikan dengan baik dalam wacana teks ini.
2.
Bagi Majalah Pantau meski kini tidak diterbitkan lagi dalam bentuk majalah namun seyogyanya Pantau tetap menyuarakan kekritisan seputar media dan wartawan dalam medium website.
DAFTAR PUSTAKA Ajidarma, Seno Gumira. Ketika Jurnalisme Dibungkam Sastra Harus Dibicara. Yogyakarta: Bentang. Edisi Kedua. September 2005. Arikunto, Suharsimi. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2002. Bungin, Burhan. Sosiologi Komunikasi. Jakarta: Kencana, 2007. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, Cet.Ke-1 1988. Depdiknas, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah. Bandung: M2S. Cetakan Kedua. Februari 2004. Djuroto, Totok Manajemen Penerbitan Pers. Bandung: Rosda, 2004. Eriyanto. Analisis Wacana Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta: LKiS, Cet VII Februari 2009. Harsono, Andreas dan Budi Setiyono, ed. Jurnalisme Sastrawi: Antologi Liputan Mendalam dan Memikat. Jakarta: KPG, 2008. Hernawan, J. Budi dan Poengky Indarti dkk, Laporan Praktek Penyiksaan di Aceh dan Papua 1998-2007. Jakarta: Imparsial, 2009. Hersey, John. Hiroshima: Ketika Bom Dijatuhkan. Jakarta: Komunitas Bambu. 2008. HM, Zaenuddin. The Journalist. Jakarta: Prestasi Pustaka, 2007. Ishwara, Luwi. Catatan-Catatan Jurnalisme Dasar. Jakarta: Kompas. Desember 2005. Kovach, Bill dan Tom Rosentiel. Sembilan Elemen Jurnalisme Apa yang Seharusnya Diketahui Wartawan dan Diharapkan Publik. Jakarta: Yayasan Pantau. Cetakan Ketiga. 2006. Kurnia, Septiawan Santana. Jurnalisme Sastra. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2002. Majalah Pantau Kajian Media dan Jurnalisme Tahun III No.025-Mei 2002. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi. 2002. Muhtadi, Asep Saeful. Jurnalistik Pendekatan Teori dan Praktik. Jakarta: Logos, 1999.
133
134
Mulyana, Deddy. Metodologi Penelitian Kualitatif: Paradigma Baru, Ilmu Komunikasi dan Ilmu Sosial Lainnya. Bandung: Rosdakarya, 2006. Mulyana, Deddy. Kajian Wacana: Teori, Metode Aplikasi, dan Prinsip-Prinsip Analisis Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2005. Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT Remaja Rosda Karya, Cetakan Kedelapan 1997. Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi, Tesis, dan Disertasi). Jakarta: CeQda UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Cetakan II. 2007. Nurudin. Jurnalisme Masa Kini. Jakarta: Rajawali Press, 2009. Oetomo, Dede. Kelahiran dan Perkembangan Analisis Wacana. Yogyakarta: Kanisius, 1993. Rani, Abdul. Analisis Wacana Sebuah Kajian. Malang: Bayu Media, 2004. Rivers, William L. dan Clevw Mathews. Etika Media Massa dan Kecendrungan untuk Melanggarnya. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. 1994. Salim, Peter dan Yenny Salim. Kamus Besar Bahasa Indonesia Kontemporer. Jakarta: Modern English Press, Edisi Ke-3 2002. Schiffrin, Deborah. Ancangan Kajian Wacana. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007. Setiati, Eni. Ragam Jurnalistik Baru dalam Pemberitaan. Yogyakarta: ANDI, 2005. Sobur, Alex. Analisis Teks Media Suatu Pengantar untuk Analisis Wacana, Semiotik, dan Analisis Framing. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2006. Sumadiria, AS Haris. Jurnalistik Indonesia Menulis Berita dan Feature. Bandung: Simbiosa Rekatama Media, 2005. Tebba, Sudirman. Jurnalistik Baru. Ciputat: Kalam Indonesia, 2005. Van Dijk, Teun. Aims of Critical Discourse Analysis. Japan Discourse, Vol.1 1995 Van Dijk, Teun. Critical Discourse Studies: A Sociocognitive Approach. London: Sage, 2002. Van Djik, Teun. Discourse and Society: Vol 4 (2). London: Newbury Park and New Delhi: Sage, 1993.
135
Internet: Prakoso, Junarto Imam. “Eksperimen dengan Jurnalisme Sastrawi.” Artikel diakses pada 23 Mei 2010 dari http://www.semesta.net Dijk, Teun Van. “Menganalisis Rasisme Melalui Analisis Wacana Melalui Beberapa Metodologi Reflektif.” Artikel diakses pada 15 Oktober 2010 dari http://www.discourse.com “Yayasan Pantau.” Artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 diakses pada pkl 22.00 WIB dari http://www.lidahibu.com Septiadi, Anggar. “Laporan Jurnalistik yang Bercerita.” Artikel diakses pada Rabu, 3 November 2010 pkl 22.10 WIB dari http://www.kompas.com/kompasiana/media. ANT, Tma. “Krisis Keuangan Majalah Pantau Berhenti Terbit.” Artikel diakses pada Rabu 3 November 2010 pkl 22.00 WIB dari http:// www.gatra.com Hidayat, Bagja (Tempo-News Room). “Majalah Pantau Berhenti Terbit.” Artikel diakses pada Rabu, 13 November 2010 pkl 22.30 WIB dari http://www.tempointeraktif.com “Profil Yayasan Pantau.” Artikel diakses pada tanggal 29 Mei 2009, pukul 10.30 WIB dari http://www.pantau.com. Chik, Rini. “Madness at Simpang Kraft How Indonesian Journalists Witnessed the Murder of Acehness Civilians.” Artikel diakses pada Rabu, 26 Januari 2011 pkl 15.30 WIB pada Kyoto Review of Southeast Asia