Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012 Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183 ISSN: 2089-9858 ® PS AGRONOMI PPs UNHALU
ANALISIS VARIABILITAS GENETIK DAN HERITABILITAS BERBAGAI KARAKTER AGRONOMI 30 KULTIVAR JAGUNG (Zea mays L.) Lokal Sulawesi Tenggara Genetic Variability and Heritability Analysis for some Agronomic Characters of 30 Local Maize (Zea mays L.) Cultivars in Southeast Sulawesi Oleh: Hijria1), Dirvamena Boer2*), dan Teguh Wijayanto2). 1)
Alumni Program Studi Agronomi PPs Universitas Haluoleo 2) Dosen Fakultas Pertanian Universitas Haluoleo *) Alamat surat-menyurat:
[email protected]
ABSTRACT. The research was aimed to determine the variability and heritability values of several characters of some local maize (Zea mays L.) cultivars in Southeast Sulawesi. This research was conducted at the Rahandouna Subdistrict, Kendari District, Southeast Sulawesi Province from July to September 2011. The experiment was arranged in a randomized complete block design with tree replications, using 30 cultivars. Observed plant characters were plant height, stem diameter, number of leaves, number of peduncle, length of peduncle, seed yield, ear diameter, cob length, number of kernel rows per ear, weight of 100 seeds and number of corn skin. Estimation of genetic variability was based on genetic variance and estimation of heritability was based on values of genetic and phenotypic variance. Results of the experiment indicated that local maize cultivars of Muna, Wakatobi, and Bombana had high genetic variability coefficience (GVC) for weight of dry kernel per cob (69.80%), weight of 100 seeds (52.36%) and number of corn skin (24.88%). The phenotypic coefficience (CV) for all characters observed was low to relatively high. Characters with relatively high phenotypic coefficience variability were dry kernel weight with per cob (72.26%) and weight of 100 seeds (52.77%). High genetic variability values were at ear diameter, number of leaves above ear, number of leaves, cob length, number of corn skin, weight of 100 seeds, plant height and number of kernel rows per ear, that is with value successively 0.02, 0.31, 1.07, 2.68, 5.25, 271.85, 311.01 dan 609.77. Their genetic variability were larger than 2Ϭσ2G and heritability (h2) ≥ 50. Characters with high heritability (h2) were weight of 100 seeds, seed yield, number of kernel rows per ear, plant height, number of peduncle, length of peduncle, steam diameter and diameter ear, with values successively 98, 92, 90, 83, 82, 79, 60, 56, dan 52%. This indicated that those characters are suitable for parameters selection. Key words: Heritability, maize, Southeast Sulawesi, variability.
ABSTRAK. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui nilai variabilitas dan heritabilitas beberapa kultivar jagung (Zea mays L.) lokal di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Rahandouna Kecamatan Poasia Provinsi Sulawesi Tenggara, selama 3 bulan (Juli-September 2011). Penelitian ini disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dengan tiga ulangan dengan 30 kultivar. Karakter yang diamati meliputi tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun per tanaman, panjang malai, jumlah cabang malai, panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol, jumlah kelobot, bobot panen kering per tongkol dan bobot 100 biji. Pendugaan nilai variabilitas dan heritabilitas terhadap karakter yang diamati melalui pendugaan komponen ragam, dimana nilai variabilitas genetik diperoleh dengan menentukan nilai ragam genetik terhadap simpangan bakunya, sedangkan nilai heritabilitas dilakukan berdasarkan nilai ragam genetik dan ragam fenotip. Hasil penelitian menunjukkan 30 kultivar jagung lokal Muna, Wakatobi, dan Bombana yang dievaluasi memiliki nilai koefisien keragaman genetik (KKG) tergolong tinggi yaitu bobot panen kering per tongkol (68,50%), bobot 100 biji (52,36%) dan jumlah kelobot (24,88%). Nilai koefisien keragaman fenotipe (KKF) pada setiap karakter yang diamati tergolong rendah sampai tinggi. Karakter yang memiliki koefisien keragaman fenotip tinggi adalah karakter bobot 100 biji dan bobot panen kering, yaitu dengan nilai berturut-turut 52,77 dan 72,26%. Karakter yang memiliki variabilitas genetik luas yaitu pada karakter diameter tongkol, jumlah cabang malai, jumlah daun, jumlah baris dalam tongkol, jumlah kelobot, bobot 100 biji, tinggi tanaman dan bobot panen kering per tongkol, yaitu dengan nilai masing–masing 0,02; 0,31; 1,07; 2,68; 5,25; 271,85; 311,01 dan 609,77. Karakter-karakter tersebut memiliki nilai ragam genetik lebih besar dari dua kali simpangan baku ragam genetiknya. Nilai heritabilitas tinggi, yaitu pada bobot 100 biji, jumlah daun, bobot panen kering per tongkol, jumlah baris dalam tongkol, tinggi tanaman, panjang malai, diameter batang, dan panjang tongkol, yaitu dengan nilai berturut–turut 98, 92, 90, 83, 82, 60, 56, dan 52%, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai karakter seleksi. Kata kunci : Heritabilitas, jagung, Sulawesi Tenggara, variabilitas.
174
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
PENDAHULUAN Sulawesi Tenggara merupakan salah satu daerah penghasil jagung yang cukup potensial. Daerah penanaman jagung di Sulawesi Tenggara adalah Kabupaten Buton, Muna, Bombana, Wakatobi, Konawe Selatan dan Konawe. Berdasarkan data dari Badan Statistik Sulawesi Tenggara (BPS, 2010), produksi tanaman jagung di Sulawesi -1 Tenggara hanya 1,638 t ha , padahal pada tahun -1 2009 produksi jagung mencapai 1,854 t ha . Di Kabupaten Muna, banyak penduduk masih menjadikan jagung sebagai makanan pokok, dan dikenal sebagai sentral produksi jagung. Berdasarkan data Badan Statistik di Kabupaten Muna produksi jagung mencapai 35.541 ton (BPS, 2009), sedangkan di Kabupaten Bombana produksi jagung mencapai 967.9 ton dan Wakatobi mencapai 1.466 ton (BPS, 2010). Di Sulawesi Tenggara, rendahnya produksi jagung disebabkan antara lain oleh masalah kesuburan tanah, rendahnya penggunaan varietas unggul, dan pengelolaan tanaman dengan lingkungan belum dilaksanakan secara intensif sesuai teknologi yang tersedia (Rauf dan Idris, 2005). Upaya untuk meningkatkan produktivitas jagung lokal diantaranya dengan memilih kultivar jagung lokal seperti yang memiliki umur pendek dan adaptasi luas. Selain hal tersebut dalam merakit varietas unggul perlu diketahui informasi genetik yang relevan dengan tujuan pemuliaan seperti variasi genetik, heritabilitas dan estimasi kemajuan genetik yang akan dicapai. Populasi dasar dengan variasi genetik yang tinggi merupakan bahan pemuliaan yang penting untuk perakitan varietas unggul (Suprapto dan Kairudin, 2007). Malvar et al. (1996) juga menyatakan, varietas lokal atau landraces sangat baik digunakan untuk memperbesar ragam genetik, karena sering memiliki sifat-sifat baik yang tidak dimiliki oleh plasma nutfah yang lain yaitu kemampuan beradaptasi dengan lingkungan. Pengadaan dan penggunaan varietas unggul merupakan salah satu cara untuk meningkatkan hasil jagung persatuan luas dan persatuan waktu. Dengan pengujian jagung dari segi pemuliaan genotipe pada suatu lingkungan tertentu sangat diperlukan untuk memberi informasi genetik. Keberhasilan seleksi ditentukaan oleh nilai duga heritabilitas dan variabilitas. Heritabilitas merupakan suatu tolak ukur yang bersifat kuantitatif untuk menentukan apakah perbedaan penampilan suatu karakter disebabkan oleh faktor genetik atau lingkungan, sehingga akan diketahui sejauh mana sifat tersebut akan diturunkan pada generasi selanjutnya dan
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
dapat memberikan petunjuk suatu sifat atau lebih dipengaruhi oleh faktor genetik atau faktor lingkungan (Bari et al., 1982). Menurut Pinaria et al. (1995), pemilihan atau seleksi pada suatu lingkungan akan berhasil bila karakter yang diamati menunjukkan nilai duga heritabilitas yang tinggi dan variabilitas yang luas. Keragaman genetik pada beberapa ekotipe jagung lokal Muna, Bombana dan Wakatobi belum diketahui dan belum adanya informasi mengenai nilai variabilitas dan heritabilitasnya. Oleh karena variasi genetik dan heritabilitas suatu sifat tergantung pada faktor lingkungan, maka pengukuran variasi genetik dan heritabilitas suatu sifat pada lingkungan tertentu sangat penting dilakukan sebagai langkah awal seleksi dalam pemilihan plasma nutfah yang baik. BAHAN DAN METODE Penelitian ini dilaksanakan di Kelurahan Rahandouna Kecamatan Poasia Kota Kendari Provinsi Sulawesi Tenggara pada ketinggian tempat 0 53 m dpl, dengan letak geografis 04 01’56” LS dan 0 122 33’23” BT, berlangsung selama 3 bulan mulai bulan Juli sampai September 2011. Bahan yang digunakan adalah benih jagung lokal Sulawesi Tenggara yang berasal dari Kabupaten Muna, Wakatobi, dan Bombana Sulawesi Tenggara (Tabel 1). Tabel 1. Kode dan Asal tempat dari 30 kultivar jagung lokal yang digunakan Kode Kode Daerah Asal No. Daerah Asal Aksesi Aksesi 1. W01 Binongko 16. B05 Teppoe matirowali 2. W04 Binongko 17. B06 Teppoe matirowali 3. W06 Kahianga 18. B07 Teppoe matirowali 4. W14 Sousu 19. B08 Tapuahi 5. W17 Sousu 20. B09 Poea 6. W21 Longga 21. B10 Poea 7. W24 Uya 22. B11 Poea 8. W27 Mandati 23. M01 Lapolea 9. W29 Lantoi 24. M02 Labone 10. W30 Wandora 25. M03 Wansorola 11. W36 Wandora 26. M04 Lapolea 12. B01 Waha 27. M05 Bikumuna 13. B02 Lantoi 28. M06 Parigi 14. B03 Topea 29. M07 Inabodo 15. B04 Topea 30. M08 Lambone Keterangan : W = Wakatobi; B = Bombana; M = Muna No.
Pupuk yang digunakan terdiri dari pupuk Urea, SP-36, KCl dan Kapur dengan dosis rekomen-1 dasi yang telah ditetapkan yaitu 60 g petak , 90 g -1 -1 -1 petak , 60 g petak , dan 600 g petak . Peralatan yang digunakan yaitu kantong plastik, parang, gunting, mistar, cangkul, skop, timbangan analitik,
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
175
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
alat tulis menulis, kamera, plat seng, kertas label, tugal, parang, jangka sorong, tali rafia, mesin air, meteran dan seperangkat komputer. Lahan dibersihkan dari gulma dan sisa tanaman yang tumbuh di lahan tersebut. Setelah itu, tanah diolah dengan cara mencangkul dan membajaknya agar tanah gembur kembali, serta perbaikan bendengan dan saluran drainase antara bendengan. Pembuatan lubang tanam dengan jarak antara lubang 75 x 25 cm, kegiatan ini dilakukan sebelum tanam. Penanaman dilakukan langsung di kebun tanpa disemai. Biji ditanam dalam lubang yang dibuat dengan tugal dan dipelihara sampai panen, tiap lubang tanam diisi 1 biji benih, kemudian setiap pinggir lubang dalam setiap petak ditaburi dengan pupuk Urea, Kalium dan TSP 36, kemudian setiap lubang ditutup dengan tanah. Setelah 1 minggu penanaman maka dilakukan pemotongan tanaman dan disisakan 1 tanaman untuk tiap lubang tanam. Pada perlakuan awal dilakukan pengapuran pada lahan jagung menggunakan kapur dengan -1 dosis 600 g petak . Satu (1) minggu setelah pengapuran, maka dilakukan penanaman jagung. Penanaman benih jagung dilakukan bersamaan dengan pemberian pupuk yang terdiri dari Urea, SP36, dan KCl dengan dosis rekomendasi yang telah -1 -1 ditetapkan yaitu 60 g petak , 90 g petak , 60 g -1 petak . Pemupukan dilakukan dengan cara menaburkan pupuk pada setiap petakan. Tumbuhan penganggu dicabut dan dibuang, penyiangan dilakukan sewaktu-waktu jika pertumbuhan gulma mulai terlihat. Pembumbunan dilakukan bersamaan dengan kegiatan penyiangan dikerjakan saat tanaman jagung berusia 6 minggu. Pembumbunan dilakukan dengan cara mencangkul tanah di bagian sisi kiri dan kanan tanaman jagung. Penyulaman dilakukan untuk mengganti benih yang tidak tumbuh atau mati, dan mengganti tanaman yang tumbuhnya kurang baik. Penyulaman dilakukan satu minggu setelah penanaman. Penyiraman dilakukan selama hujan tidak turun pada musim kemarau. Penelitian ini menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK), dengan tiga ulangan. Banyaknya jagung lokal asal Wakatobi 11 jenis, Bombana 11 jenis, dan Raha 8 jenis, sehingga total 30 jenis jagung lokal Sulawesi Tenggara. Setiap perlakuan diulang sebanyak 3 kali, sehingga terdapat 90 petak percobaan. Setiap petakan diambil 8 tanaman sebagai tanaman contoh. Model linear yang digunakan menggunakan rancangan di atas yaitu sebagai berikut: Yij = µ + βj + τi + εij
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
Keterangan: i = 1, 2, 3,....,30; j = 1, 2, 3 Yij = Nilai pengamatan suatu karakter pada jenis jagung lokal ke-i dan ulangan ke-j µ = Nilai tengah umum βj = Pengaruh aditif ulangan ke-j τi = Pengaruh aditif asesi ke-i εij = Galat sisa
Berdasarkan model akhir tersebut dapat digunakan daftar sidik ragam dan nilai harapan kuadrat tengah, seperti yang disajikan pada Tabel 2. Tabel 2. Sidik ragam serta nilai harapan kuadrat tengah Sumber Keragaman
Derajat Bebas
KT
E (KT)
Blok
n- 1
KTB
e2 + g b2
Kultivar
g -1
KTK
e2
Galat
(g -1) (n –1)
KTE
Total
ng – 1
+ n g
2
e2
Keterangan : n = ulangan, g = jumlah kultivar
Adapun persamaan yang digunakan dalam pendugaan ragam genetik, ragam lingkungan dan ragam fenotipe berdasarkan Tabel sidik ragam di atas, yaitu:
G g2
M1 M 2 n
P G2 E2 g2
e2 n
Keterangan: M1 = Kuadrat Tengah blok; M2 =Kuadrat Tengah Kultivar; M3 = Kuadrat Tengah galat
sehingga nilai heritabilitas dalam arti luas dapat dihitung berdasarkan persamaan berikut:
2 h G2 P 2 bs
g2 2 g2 g n
Kriteria nilai heritabilitas menurut Stansfield (1991) 2 dalam Kustiyana (2011), yaitu tinggi jika h > 0.5, 2 2 sedang jika 0.2 ≤ h ≤ 0.5, dan rendah jika h < 0.2. Variabilitas genetik suatu karakter ditentukan dengan cara membandingkan nilai ragam genetik dengan nilai simpangan baku ragam genetik, yang dihitung menurut cara Anderson dan Bacroft (1952) dalam Wahdah (1996) sebagai berikut:
2 g
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
2 n2
KTg2 KTe2 dbg 2 dbe 2 176
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
Menurut Pinaria et al. (1995) suatu karakter tergolong mempunyai variabilitas genetik yang luas jika ragam genetik lebih besar dari dua kali simpangan baku ragam genetiknya ( G 2
2 2 ) G
dan tergolong sempit jika ragam genetik lebih kecil atau sama dengan dua kali simpangan baku ragam genetiknya ( G 2
2 2 ). G
Ragam genetik untuk semua sifat yang diamati dihitung dari koefisien keragaman genetik dan koefisien keragaman fenotip menurut rumus Singh dan Chaudary (1979) sebagai berikut:
KKF
KKG Keterangan:
P2 x.100% X g2 x.100% X
ISSN: 2089-9858
waktu akan panen); (8) bobot panen kering per tongkol (g), ditimbang berdasarkan berat biji kering dari tiap tanaman sampel setiap petak dengan menggunakan timbangan analitik dan dilakukan setelah panen; (9) jumlah baris per tongkol (baris), dihitung semua jumlah baris tongkol per tanaman contoh; (10) bobot 100 biji per petak (g), dilakukan dengan menimbang 100 biji dari setiap plot secara acak dengan menggunakan timbangan analitik yang dilakukan setelah panen; (11) jumlah kelobot, yaitu dihitung semua helai pembungkus tongkol per tanaman contoh setelah panen. Analisis ragam pada karakter tinggi tanaman, jumlah daun per tanaman, diameter batang, panjang tongkol, diameter tongkol, panjang malai, jumlah cabang malai, bobot panen kering per tongkol, jumlah baris per tongkol, bobot 100 biji dan jumlah kelobot dianalisis menggunakan sidik ragam (ANOVA). Pendugaan nilai harapan komponen ragam dilakukan untuk menentukan nilai variabilitas dan heritabilitas.
g2 ragam genetik; P2 ragam fenotipe, dan
X = rata-rata umum.
Kriteria koefisien keragaman genetik digunakan pendekatan Alnopri (2004), luas dan sempitnya nilai koefisien keragaman genetik (KKG) dibagi menjadi 3 yakni: rendah (0-10%), sedang (1020%), dan tinggi (> 20%). Kriteria koefisien keragaman fenotipe digunakan pendekatan Qosim et al., (2000), yaitu: rendah (0 < X ≤ 25), sedang (25 < X ≤ 50), dan tinggi (> 50). Adapun variabel yang diamati pada penelitian meliputi: (1) tinggi tanaman (cm), diukur dari atas permukaan tanah hingga ujung malai, umur 58 HST (pada saat waktu akan panen); (2) jumlah daun per tanaman (helai), dihitung pada semua daun pada tanaman, dihitung umur 58 HST (pada saat waktu akan panen); (3) diameter batang (mm), diukur sekitar 5 cm dari permukaan tanah, dengan menggunakan jangka sorong umur 58 HST (pada saat waktu akan panen); (4) panjang tongkol (cm), diukur dari pangkal tongkol sampai ujung tongkol jagung dengan menggunakan mistar setelah panen; (5) diameter tongkol (mm), diukur pada lingkar tongkol terbesar dengan menggunakan jangka sorong setelah panen; (6) panjang malai (cm), diukur dari titik tertancapnya cabang malai terendah sampai ujung malai per tanaman contoh pada saat umur 58 hari (pada saat waktu akan panen); (7) jumlah cabang malai (tangkai), dihitung semua jumlah cabang malai (primer, sekunder, dan tersier) per tanaman contoh pada saat umur 58 hari (pada saat
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
PEMBAHASAN Hasil analisis ragam untuk semua karakter yang diamati menunjukkan perbedaan yang nyata tergantung waktu pengamatan. Perbedaan yang terjadi di dalam pertumbuhan tanaman jagung diakibatkan oleh adanya faktor genetik dan faktor lingkungan. Genotipe yang berbeda akan menunjukkan penampilan yang berbeda setelah berinteraksi dengan lingkungan tertentu. Tarjoko et al., (1996) mengatakan bahwa faktor lingkungan dapat mempengaruhi pertumbuhan tanaman sampai dengan pemasakan buah. Hal yang sama juga dikemukakan oleh Gardner et al. (1991) bahwa faktor lingkungan dapat menyebabkan gagalnya penyerbukan, serangan hama penyakit dan persaingan unsur hara, air, sinar matahari. Hal ini memberikan gambaran bahwa kultivar jagung lokal asal Kabupaten Muna, Wakatobi, dan Bombana Sulawesi Tenggara yang diteliti memiliki keragaman untuk sifat-sifat yang bersangkutan. Dengan demikian seleksi dapat diterapkan dalam meningkatkan nilai genetik dari karakterkarakter tersebut. Menurut Boer (2011), dalam pendugaan komponen ragam, nilai keragaman yang timbul akibat adanya pengelompokan berfungsi sebagai lokal kontrol dalam memperkecil galat percobaan atau memperkecil nilai keragaman yang terjadi akibat adanya kesalahan percobaan sehingga ragam akibat perbedaan kultivar menjadi tidak berbias.
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
177
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
Tabel 3. Sidik Ragam, Nilai Tengah, dan Pendugaan Karakater Ragam Karakter hasil Agronomi 30 Kultivar Jagung Lokal asal Muna, Wakatobi dan Bombana Sulawesi Tenggara Karakter
Kode
Rataan
Tinggi tanaman (58 HST) Diameter batang (58 HST) Jumlah daun (58 HST) Jumlah cabang malai (58 HST) Panjang malai (58 HST) Panjang tongkol Diameter tongkol Jumlah baris dalam tongkol Bobot panen kering per tongkol Bobot 100 biji Jumlah kelobot
TTM DBB JDD JCM PMA PTO DTO JBT BPK UBI JMK
131.390 1.800 11.810 10.770 38.890 24.640 2.130 10.380 36.050 31.490 9.210
Blok 1473.198* 0.053 0.212 2.242 27.099 3.534 0.066 1.417 134.318 0.169 8.801
Kuadrat Tengah Kultivar Galat 1224.501* 257.055 0.188* 0.058 7.293* 0.160 6.571* 3.528 53.934* 3.582 7.378* 19.215 0.190* 0.123 8.050* 3.623 2035.911* 206.599 828.512* 12.953 15.777* 4.242
29.585 0.000 0.002 0.071 0.000 0.019 0.000 0.001 67.297 0.000 0.000
159.170 0.000 0.000 0.098 0.000 0.944 0.000 0.000 0.000 0.375 1.709
8.059 0.001 0.006 0.112 0.646 0.123 0.798 0.119 4.932 0.415 0.150
Keterangan : * = secara statistik berbeda nyata pada taraf α = 5 %, , , berturut-turut adalah keragaman karena perbedaan blok, keragaman karena adanya perbedaan kultivar, keragaman karena adanya kesalahan percobaan; TTM = Tinggi tanaman, DBB = Diameter batang, JDD = Jumlah daun, JCM = Jumlah cabang malai, PMA = Panjang malai, PTO = Panjang tongkol, DTO = Diameter tongkol, JBT = Jumlah baris dalam tongkol, BPK = Bobot panen kering per tongkol, UBI = Bobot 100 biji dan JMK = Jumlah kelobot (Boer, 2011).
Tabel 4. Koefisien keragaman genetik (KKG), ragam genetik ( ), dan simpangan baku ragam genetik ( karakter-karakter agronomi 30 kultivar Jagung Lokal asal Muna, Wakatobi dan Bombana Sulawesi Tenggara
Tinggi tanaman Diameter batang Jumlah daun Jumlah cabang malai Panjang malai Panjang tongkol Diameter tongkol Jumlah baris per tongkol Bobot panen kering per tongkol Bobot 100 biji Jumlah kelobot Keterangan:
= ragam genetik;
Variabilitas Genetik
KKG (%)
Karakter
13.25 8.91 7.81 5.17 7.32 4.56 6.64 15.77 68.50 52.36 24.88
311.01 0.06 1.07 0.31 8.10 1.26 0.02 2.68 609.77 271.85 5.25
119.573 0.033 0.104 0.598 119.573 0.944 0.001 0.559 16.919 0.375 1.709
2 14297.702 0.0010 0.0108 0.357 239.146 0.891 0.0001 0.312 286.252 0.140 1.211
) dari
Kriteria Var.genetik Luas Sempit Luas Luas Luas Sempit Luas Luas Luas Luas Luas
= simpangan baku ragam genetik; Var.genetik = variabilitas genetik
Tabel 5. Nilai ragam genetik ( ), Ragam fenotip ( ), Koefisien keragaman genetik, (KKG), Koefisien keragaman fenotip (KKF) Jagung lokal asal Muna, Wakatobi dan Bombana Sulawesi Tenggara Karakter Tinggi tanaman Diameter batang Jumlah daun Jumlah cabang malai Panjang malai Panjang tongkol Diameter tongkol Jumlah baris per tongkol Bobot panen kering per tongkol Bobot 100 biji Jumlah kelobot
131.39 1.80 11.81 10.77 38.89 24.64 2.13 10.38 36.05 31.49 9.21
311.01 0.06 1.07 0.31 8.10 1.26 0.02 2.68 609.77 271.85 5.25
379.41 0.11 1.17 1.32 13.40 2.45 0.06 1.47 678.63 276.17 3.84
KKG (%) 13.25 8.91 7.81 5.17 7.32 4.56 6.64 15.77 68.50 52.36 24.88
KKF (%) 14.68 12.06 8.17 10.67 9.41 6.31 11.50 11.68 72.26 52.77 21.28
Kriteria KKG
Kriteria KKF
Sedang Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Sedang Tinggi Tinggi Tinggi
Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Rendah Tinggi Tinggi Rendah
Keterangan : KKG = Koefisien keragaman genetik; KKF = Koefisien keragaman fenotipe.
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
178
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
2
Tabel 6. Ragam genetik, ragam fenotip dan nilai heritabilitas (h bs) karakter agronomi 30 kultivar jagung lokal asal Muna, Wakatobi dan Bombana Sulawesi Tenggara 2 bs (%)
Karakter Tinggi tanaman Diameter batang Jumlah daun Jumlah cabang malai Panjang malai Panjang tongkol Diameter tongkol Jumlah baris dalam tongkol Bobot panen kering per tongkol Bobot 100 biji Jumlah kelobot
h 311.017 0.062 1.075 0.319 8.100 1.265 0.023 2.683 609.770 271.853 5.259
379.41 0.11 1.17 1.32 13.40 2.45 0.06 1.47 678.63 276.17 3.84
82 56 92 24 60 52 38 83 90 98 37
Kriteria Tinggi Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Sedang Tinggi Tinggi Tinggi Sedang
Keterangan : h2bs = Nilai heritabilitas dalam arti luas.
Hasil penguraian komponen ragam berdasarkan nilai kuadrat tengah pada setiap karakter pada penelitian ini disajikan pada Tabel 3. Terdapat 3 karakter dari 11 karakter yang memiliki ragam lingkungan ( e ) lebih besar dibandingkan ragam 2
genetik ( g ) yaitu diameter batang, jumlah daun, 2
jumlah cabang malai, diameter tongkol, jumlah baris dalam tongkol dan bobot panen kering per tongkol. Hal ini akan mempengaruhi nilai heritabilitas setiap karakter yang dievaluasi, sehingga diameter batang, jumlah daun, jumlah cabang malai, diameter tongkol, panjang malai, jumlah baris dalam tongkol, bobot panen kering per tongkol dan bobot 100 biji akan memiliki nilai heritabilitas tergolong rendah dan sedang. Menurut Meynilivia (2003), sejalan dengan adanya nilai ragam genetik yang meningkat dan berkurangnya cekaman lingkungan dan menurunnya nilai ragam fenotip, maka karakter yang diamati akan memiliki nilai heritabilitas tinggi pula. Dari Tabel 3 dalam perhitungan pendugaan ragam genetik terdapat ragam genetik bernilai nol (negatif). Menurut Allard (1960) dalam Unila (2009), penduga atau estimasi terbaik dari nilai negatif adalah nol. Karakter yang memiliki ragam genetik bernilai nol terdapat pada karakter, yaitu diameter batang, jumlah daun, panjang malai, diameter tongkol, jumlah baris dalam tongkol dan bobot panen kering per tongkol. Hal ini disebabkan karena nilai kuadrat tengah genotip lebih kecil dibandingkan dengan nilai kuadrat tengah interaksi genotip dan lingkungan, sehingga perhitungan ragam genetik tersebut merupakan hasil perhitungan pendugaan dari kuadrat nilai tengah harapan. Koefisien keragaman genetik (KKG) adalah nisbah besaran simpangan baku genetik dengan
nilai tengah populasi karakter yang bersangkutan. Menurut Bahar dan Zen (1993) menyatakan bahwa koefisien keragaman genetik digunakan untuk mengukur keragaman genetik suatu sifat tertentu dan untuk membandingkan keragaman genetik berbagai sifat tanaman. Tingginya nilai koefisien keragaman genetik menunjukkan peluang terhadap usaha-usaha perbaikan yang efektif melalui seleksi. Berdasarkan pada nilai parameter genetik tersebut dapat dilakukan seleksi terhadap karakter kuantitatif tanpa mengabaikan nilai tengah populasi yang bersangkutan. Koefisien keragaman merupakan tolak ukur keragaman karakter yang diamati dalam populasi yang dipelajari. Kriteria penilaian tinggi rendahnya keragaman populasi berdasarkan nilai koefisien keragaman genetik. Menurut Allard (1966) dalam Lestarina (2011), keragaman merupakan sumberdaya genetik yang sangat berharga karena dapat menyajikan material baru untuk perbaikan varietas terutama dalam memperoleh genotip yang baru. Keberhasilan suatu program pemuliaan tanaman pada hakekatnya sangat bergantung pada keragaman genetik yang diturunkan (Poehlman, 1983). Dengan demikian semakin tinggi keragaman genetik semakin tinggi pula peluang untuk mendapatkan sumber gen bagi karakter yang akan diperbaiki. Nilai koefisien keragaman genetik (KKG) dan variabilitas genetik dapat dilihat pada Tabel 4. Karakter yang diamati memiliki nilai koefisen keragaman genetik berkisar antara 4.56–68.50 %, yang berarti semua karakter yang diamati tergolong memiliki keragaman rendah sampai tinggi. Berdasarkan kriteria pengelompokan koefisien ragam genetik yang dikemukakan oleh Alnopri (2004), maka dari 11 karakter yang dievaluasi diperoleh 6 karakater yang memiliki KKG tergolong rendah yaitu panjang tongkol, jumlah cabang malai,
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
179
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
diameter tongkol, panjang malai, jumlah daun dan diameter batang, yaitu dengan nilai berturut–turut 4.56, 5.17, 6.64, 7.32, 7.81 dan 8.91 %. Sementara 2 karakter yang memiliki KKG tergolong sedang yaitu tinggi tanaman dan jumlah baris per tongkol, dengan nilai berturut–turut 13.25 dan 15.77 %, kecuali 3 karakter yang memiliki KKG tergolong tinggi yaitu jumlah kelobot, bobot 100 biji dan bobot panen kering per tongkol, yaitu dengan nilai berturut–turut 24.88, 52.36 dan 68.50 % (Tabel 5). Populasi yang memiliki keragaman rendah hingga sedang digolongkan sebagai populasi dengan variabilitas genetik sempit sedangkan populasi yang memiliki keragaman cukup tinggi dan tinggi termasuk bervariabilitas luas. Dengan demikian, terdapat 8 karakter bervariabilitas sempit dan 3 karakter bervariabilitas luas. Hal ini menunjukkan bahwa ada peluang perbaikan genetik melalui karakter jumlah kelobot, bobot 100 biji dan bobot panen kering per tongkol. Menurut Zen dan Bahar (2001), karakter yang memiliki nilai variabilitas luas dapat digunakan dalam perbaikan genotipe, mampu meningkatkan potensi genetik karakter pada generasi selanjutnya sehingga seleksi terhadap karakter tersebut dapat berlangsung secara efektif. Karakter yang memiliki nilai koefisien keragaman genetik rendah sampai sedang menunjukkan bahwa perbedaan genetik dari karakter tersebut masih memiliki keragaman kecil atau dapat dikatakan bahwa keragaman tersebut memiliki genetik yang hampir seragam. Ruchjaningsih et al. (2002) menyatakan bahwa bila suatu keragaman genetik yang dimiliki tanaman bervariabilitas sempit, maka setiap individu dalam populasi tersebut hampir seragam sehingga tidak mungkin dilakukan perbaikan keragaman genetik melalui seleksi. Keadaan seperti ini juga menggambarkan bahwa peluang seleksi dan rekombinasi untuk menghasilkan kombinasi genetik baru sangat terbatas (Rahmadi et al., 1990). Oleh karena itu dalam upaya perbaikan genetik karakter yang diinginkan melalui program pemuliaan perlu menambah plasma nutfah baru guna meningkatkan keragaman dalam populasi yang dipelajari. Tabel 4 menunjukkan nilai variabilitas genetik pada semua karakter yang diamati ditentukan dengan cara membandingkan nilai ragam genetik ( g ) dan nilai dua kali simpangan baku 2
ragam genetik (2 g ) . Nilai ragam genetik ( g ) 2
2
berkisar antara 0,02-609,77. Berdasarkan kriteria pengelompokan variabilitas genetik yang dikemukakan oleh Pinaria et al. (1995), maka dari 11 karakter yang dievaluasi diperoleh 2 karakter hasil yang memiliki variabilitas genetik sempit dengan nilai ragam
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
genetik sempit yaitu diameter batang dan panjang tongkol, yaitu dengan nilai berturut–turut 0,06 dan 1,26. Ada 9 karakter yang memiliki variabilitas genetik luas yaitu pada karakter diameter tongkol, jumlah cabang malai, jumlah daun, jumlah baris dalam tongkol, jumlah kelobot, bobot 100 biji, tinggi tanaman dan bobot panen kering per tong-kol, yaitu dengan nilai masing–masing 0,02; 0,31, 1,07; 2,68; 5,25; 271,85; 311,01 dan 609,77. Hal ini menunjukkan bahwa karakter yang memiliki variabilitas genetik sempit memiliki nilai ragam genetik lebih kecil atau sama dengan nilai dua kali simpangan baku ragam genetiknya. Sebaliknya pada karakter yang memiliki nilai variabilitas luas memiliki nilai ragam genetik lebih besar daripada nilai dua kali simpangan baku ragam genetiknya. Menurut Alnopri (2004), karakter yang memilki nilai ragam genetik yang tinggi mampu memberikan peluang untuk mendapatkan kombinasi persilangan yang tepat dengan gabungan sifat-sifat yang baik. Apabila nilai variabilitas sempit, maka kegiatan seleksi tidak dapat dilaksanakan karena individu dalam populasi relatif seragam sehingga perlu dilakukan upaya untuk memperbesar variabilitas genetik. Tabel 5 menunjukkan bahwa nilai koefisien keragaman fenotipe (KKF) pada jagung lokal asal Muna, Wakatobi dan Bombana diperoleh antara 6.31–72.26 %, yang berarti semua karakter yang diamati memiliki keragaman fenotip yang tergolong rendah sampai tinggi. Karakter yang memiliki nilai koefisien keragaman fenotipe tergolong rendah yaitu panjang tongkol, jumlah daun, panjang malai, jumlah cabang malai, diameter tongkol, jumlah baris dalam tongkol, diameter batang, tinggi tanaman dan jumlah kelobot yaitu dengan nilai berturut– turut 6.31, 8.17, 9.41, 10.67, 11.50, 11.68, 12.06, 14.68 dan 21.28 %. Karakter bobot 100 biji dan bobot panen kering tergolong memiliki nilai koefisien keragaman fenotip tergolong tinggi yaitu 52.77 dan 72.26 %. Hal ini menggambarkan bahwa peluang terhadap karakter tinggi tanaman, diameter batang, jumlah daun, jumlah cabang malai, panjang malai, jumlah daun atas tongkol, panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris per tongkol dan jumlah kelobot dalam usaha–usaha perbaikan genetik melalui seleksi dan rekombinasi untuk menghasilkan kombinasi genetik baru sangat terbatas (Rahmadi et al., 1990). Oleh karena itu dalam upaya perbaikan genetik karakter yang diinginkan melalui program pemuliaan perlu menambah plasma nutfah baru guna meningkatkan keragaman dalam populasi yang dipelajari, dan karakter yang memiliki nilai koefisien keragaman tinggi, yaitu karakter bobot kering per tongkol dan bobot 100 biji, menunjukkan bahwa dapat digunakan sebagai bahan dalam usaha perbaikan genetik tanaman.
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
180
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
Nilai ragam genetik, ragam fenotip dan nilai heritabilitas dari jagung lokal Muna, Wakatobi, dan Bombana Sulawesi Tenggara untuk masing-masing karakater yang dievaluasi dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai ragam genetik berkisar antara 0.02– 609.77. Ada 3 karakter yang memiliki ragam genetik tergolong tinggi yaitu karakter bobot 100 biji, tinggi tanaman dan bobot panen kering, yaitu dengan nilai berturut–turut 271.853, 311.017, dan 609.770. Seementara 8 karakter tergolong memiliki ragam genetik rendah, yaitu pada karakter diameter batang, jumlah daun, jumlah cabang malai, panjang malai, panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris dalam tongkol, dan jumlah kelobot masing–masing bernilai 0.062, 1.075, 0.319, 8.100, 1.265, 0.023, 2.683 dan 5.259. Hal ini menunjukkan bahwa karakter tinggi tanaman, bobot panen kering per tongkol, dan bobot 100 biji lebih dominan dipengaruhi faktor genetik dari pada faktor lingkungan. Dari Tabel 6 menunjukkan bahwa nilai ragam fenotip berkisar antara 0.06–678.63. Dari 11 karakter yang dievalusi terdapat 3 karakter yang memiliki ragam fenotip tergolong tinggi, yaitu pada karakter tinggi tanaman, bobot panen kering per tongkol, dan bobot 100 biji, dengan nilai masing– masing 379.41, 678.63 dan 276.17. Sementara 8 karakter yang memiliki ragam fenotip tergolong rendah, yaitu pada karakter diameter batang, jumlah daun, jumlah cabang malai, panjang malai, panjang tongkol, diameter tongkol, jumlah baris dalam tongkol dan jumlah kelobot, dengan nilai berturut–turut 0.11, 1.17, 1.32, 13.40, 0.57, 2.45, 0.06, 1.47 dan 3.84. 2 Nilai heritabilitas dalam arti luas (h bs) untuk karakter yang dievaluasi berkisar antara 24–98%. Berdasarkan kriteria pengelompokkan heritabilitas yang dikemukakan oleh Stansfield (1991) dalam Kustiyana (2011), maka dari 11 karakter yang dievaluasi terdapat 8 karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi, yaitu pada bobot 100 biji, jumlah daun, bobot panen kering per tongkol, jumlah baris dalam tongkol, tinggi tanaman, panjang malai, diameter batang, dan panjang tongkol, yaitu dengan nilai berturut–turut 98, 92, 90, 83, 82, 60, 56, dan 52 %. Sementara 3 karakter tergolong memiliki nilai heritabilitas sedang yaitu pada karakter diameter tongkol, jumlah kelobot dan jumlah cabang malai, dengan nilai berturut–turut 38, 37 dan 24 %. Hal ini menyatakan bahwa karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi, faktor genetik lebih berperan dibanding faktor lingkungan dalam penampilan suatu fenotip dan semakin besar pula peluang sifat karakter tersebut untuk dapat diwariskan ke keturunannya. Wicaksana 2001; Rachmadi et al. (1990), menyatakan bahwa karakter yang
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
mempunyai nilai heritabilitas tinggi menunjukkan bahwa faktor genetik lebih dominan terhadap karakter yang ditampilkan tanaman karena faktor genetiknya memberi sumbangan yang lebih besar daripada faktor lingkungan dan seleksi terhadap karakter tersebut dapat dimulai pada generasi awal. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan sebagai berikut: (1) Karakter yang memiliki variabilitas genetik luas yaitu pada karakter diameter tongkol, jumlah cabang malai, jumlah daun, jumlah baris dalam tongkol, jumlah kelobot, bobot 100 biji, tinggi tanaman dan bobot panen kering per tongkol, yaitu dengan nilai masing–masing 0.02, 0.31, 1.07, 2.68, 5.25, 271.85, 311.01 dan 609.77. Sementara karakter hasil yang memiliki variabilitas genetik sempit yaitu diameter batang dan panjang tongkol, yaitu dengan nilai berturut–turut 0.06 dan 1.26; (2) Karakter yang memiliki nilai heritabilitas tinggi, yaitu pada bobot 100 biji, jumlah daun, bobot panen kering per tongkol, jumlah baris dalam tongkol, tinggi tanaman, panjang malai, diameter batang dan panjang tongkol, yaitu dengan nilai berturut–turut 98, 92, 90, 83, 82, 60, 56, dan 52 %, dan karakter tergolong memiliki nilai heritabilitas sedang yaitu pada karakter diameter tongkol, jumlah kelobot dan jumlah cabang malai, dengan nilai berturut–turut 38, 37 dan 24 %.
KEPUSTAKAAN Alnopri. 2004. Variabilitas Genetik dan Heritabilitas Sifat-sifat Pertumbuhan Bibit Tujuh Genotipe Kopi Robusta-arabica. Jurnal Ilmu-ilmu Pertanian Indonesia 6(2):91-96. Akses tanggal 9 Oktober 2011 Azrai, M., H. Aswidinnoor, J. Koswara, dan M. Surahman, 2005. Pendugaan Model Genetik dan Heritabilitas Karakter Keta-hanan Terhadap Penyakit Bulai Pada Jagung. Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Serealia, Maros. Akses tanggal 9 Oktober 2011. Bahar, H. dan S. Zen. 1993. Parameter Genetik Pertumbuhan Tanaman, Hasil dan komponen hasil jagung. Zuriat. 4(1): 4-7. Bari, A., S. Musa, dan E. Sjamsudin, 1982. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor, Bogor. Boer, D., 2011. Analisis Variabilitas Genetika dan Koefisien Lintas Berbagai Karakter Agronomi dan Fisiologi Terhadap Hasil Biji dari Keragaman Genetik 54 Jagung Asal Indonesia Timur. Jurnal Agrotekno. Vol 1. Hal 3543.
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
181
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
Borojevic, S., 1990. Principle and Methods of Plant Breeding. Elsevier. Amsterdam.p.368. BPS Sulawesi Tenggara, 2010. Sulawesi Tenggara Dalam Angka, Balai Pusataka Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. BPS Sulawesi Tenggara, 2009. Produksi Tanaman Padi, Palawija, Sayuran dan Buah-Buahan di Sulawesi Tenggara. Balai Pusataka Statistik Provinsi Sulawesi Tenggara, Kendari. Crowder, L.,V., 1997. Pemuliaan Tanaman. Fakultas Pertanian. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. Dahlan, M. dan Sugiyatni, S., 1991. Pemuliaan Tanaman Jagung. Disampaikan pada simposium pemuliaan I. PPTI Komda Jawa Timur di Balitan Malang, 27- 28 Agustus. Hal : 38. Fischer, K.S. dan A.F.E. Palmer, 1992. Jagung Tropika. Dalam Fisiologi Tanaman Budidaya Tropika, editor P.R. Goldsworthy dan N.M. Fisher. Terjemahan Tohari. Gadjah Mada Univ. Press, Yogyakarta. Gradner, F.P., R.B. Peace dan R.L. Mitchell, 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya (Edisi Terjemahan oleh Herawati Susilo dan Subiyanto). Universitas Indonesia Press. Jakarta. 428 p. Goldsworthy, P.R. and N.M. Fisher, 1980. The Physiology of Tropical Field Crops. Terjemahan: Fisiologi Tanaman Budidaya Tropika, terjemahan oleh Tohari. UGM Press. Yogyakarta. Kertasapoetra, A.G., 1988. Teknologi Budidaya Tanaman di Daerah Tropik 2. Gramedia. Jakarta. Lestarina, L., 2001. Uji Daya Hasil Galur–Galur Harapan Kedelai Hitam (Glycine max (L.) Merr.) Pada Lahan Sawah di Kabupaten Sumedang, Jawa Barat. Departemen Agronomi dan Hortikultura. Fakultas Pertanian. ITB. Bogor. Akses tanggal 10 Oktober 2011 Loveless, A.R., 1989. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2. Gramedia. Jakarta. Nurmala, S.W.T., 1997. Serealia Sumber Karbohidrat Utama. Rhineka Cipta. Jakarta. Makmur, A. 1988. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Bina Aksara. Jakarta. Mangoendidjojo, W., 2007. Dasar-Dasar Pemuliaan Tanaman. Penerbit Kanisius. Yogyakarta. Malvar, R.A., A. Ordas, P. Revilla, and M.E. Cartea, 1996. Estimates of Genetic Variances in two Spanish Population of Maize. Crop Sci. 36: 291-295.
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
Mejaya, M.J., M. Dahlan, dan M. Pabendon, 2005. Pola Heterosis Dalam Pembentukan Varietas Unggul Jagung Bersari Bebas dan Hibrida. Balai Penelitian Serealia. Maros. Akses tanggal 10 Oktober 2011. Meynilivia, 2003. Evaluasi dan Seleksi 24 Genotipe Jagung Lokaldan Introduksi yang ditanam sebagai jagung semi. Junal Ilmu–Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 7, No. 1. Hal 35– 43. Oka, I., N., 1993. Epidemiologi Penyakit Tanaman Pengantar. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Hal 92. Universitas Sumatera Utara. Pinaria, A., A. Baihaki, R. Setiamihardja dan A.A. Dardjat, 1995. Variabilitas Genetic dan Heritabilitas Karakter-Karakter Biomasa 53 Genotipe Kedelai. Zuriat (2): 88-92. Polhman. J. M., 1983. Breeding Field Crops. Fourth Edition. Panima Publishing Corporation. New Delhi. Qosim, W.A., A. Karuniawan, B. Marwoto, D.S. Badriah, 2000. Stabilitas parameter genetik mutan-mutan krisan generasi VM3. Laporan Hasil Penelitian Lembaga Penelitian Universitas Padjajaran. Jatinangor. Akses tanggal 10 Januari 2012. Rubazky, E.V. dan Yamaguchi, M., 1998. Sayuran Dunia Jilid I. Terjemahan Heriston Catur . ITB. Press. Bandung. Rachmadi, M., N. Hermiati, A. Baihaki, dan R. Setamihardja, 1990. Variasi genetik dan heritabilitas komponen hasil dan hasil galur harapan kedelai. Zuriat 1 (1): 48–51. Ruchjaningsih, A. Imaraman, M. Thamrin dan M.Z. Kanro, 2000. Penampilan Fenotipik dari beberapa parameter genetic delapan kultivar kacang tanah pada lahan sawah. Zuriat Vol.11 No.1, Hal 110 Ruswandi, D., N. Wicaksana, M. Rachmadi, A. Ismail, D. Arif, and F. Kasim, 2005. Heritability and heterosis of grain yield on downy mildew resistance (DMR). In Maize. Zuriat vol.19 : 106 -112. Singh, J., 1987. Field Manual of Maize, Breding Prosedure. Food Agriculture Organitation of the United Nation. Rome. Sleper, D.A., 1995. Field Crops Fourth Edition. Iowa State University Press. Ames. Stanfield W. D., 1991. Genetik. Ed. Kedua, Erlangga. Jakarta. Subandi, 1988. Perbaikan Varietas. Dalam Subandi, Mahyudin Syam, dan Adi Widjono (eds) Jagung. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 81–100. Pusat Penelitian & Pengembangan Tanaman. Bogor.
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
182
Berkala PENELITIAN AGRONOMI Oktober 2012
Vol. 1 No. 2 Hal. 174-183
Subandi dan I. Manwan, 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia. PPPTP. Bogor. 1 – 45. Suprapto, H.S., 1991. Bertanam Jagung. Penebar Swadaya. Jakarta. Suprapto dan N. M. Kairudin, 2007. Variasi genetik, Heritabilitas, Tindak gen dan Kemajuan Genetik Kedelai (Glycine max Merrill) Pada Ultisol. Jurnal Ilmu- Ilmu Pertanian Indonesia 9(2):183-190. Akses tanggal 14 Oktober 2011. Suwarno, W., B. 2008. Perakitan Varietas Jagung Hibrida. hhtp//will.situshijau.co.id. Hal: 1 9. Akses tanggal 1 Januari 2011. Suwarno, Djasmi, Dasiran Purwanto, 1997. Pengembangan Jagung Komposit di Sulawesi Tenggara. Departemen Pertanian Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kendari. Sulawesi Tenggara. Syukur, M., 2005. Pendugaan Parameter Genetik Pada Tanaman. Pengantar Falsafah Sains. Program S3 Sekolah Pasca Sarjana. Institut Pertanian. Bogor. Syukur, M. dan R. Yunianti, 2005. Pendugaan Ragam Genetik dan Heritabilitas Beberapa Karakter Vegetatif dan Hasil Jagung Manis. Pusat Studi Pemuliaan Tanaman, Departemen Agronomi dan hortikultura, Faperta IPB. Bogor. Akses tanggal 10 Oktober 2011
ISSN: 2089-9858
® PS AGRONOMI PPsUNHALU
Takdir, A. M., S. Sunarti, M. J. Mejaya, 2007. Pembentukan Varietas Jagung Hibrida. Akses tanggal 2 Juli 2011. Tarjoko, Mujiono dan A. Suryanto. 1996. Respon Beberapa Galur Tanaman Kedelai Terhadap Serangan Hama Lalat Bibit (Ophymia phaseoli Tryon) Prosiding Seminar Nasional Kedelai. Lembaga Penelitian Universitas Jenderal Sudirman. Purwokerto. Akses tanggal 10 Oktober 2011. Unila, 2009. Uji Heritabilitas Tanaman Kacang Hijau (vigna sesquepedalis (L.) Koern). Seminar Hasil Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Jurusan Budidaya Prtanian. Fakultas Pertanian. Universitas Lampung. Lamapung. Akses tanggal 4 Maret 2012. Wahdah, R., A. Baihaki, R. Setiamihardja, dan G. Suryatmana, 1996. Variabilitas dan Heritabilitas Laju Akumulasi Bahan Kering Pada Biji Kedelai. Zuriat. 7(2): 92-98. Akses tanggal 4 Maret 2012. Wicaksana, N., 2001. Penampilan fenotipe dan beberapa parameter genetik 16 genotipe kentang pada lahansawah. Zuriat 12(1): 15 -20. Akses tanggal 4 Maret 2012 Welsh, J.R., 1991. Dasar-Dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Terjemahan: J.P. Mogea, Erlangga. Jakarta.
Hijria et al., 2012. Variabilitas dan Heritabilitas …………………………………………………………….
183