ANALISIS USAHATANI LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR
RIZKY LUTFI SUPRABOWO
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Juni 2015 Rizky Lutfi Suprabowo NIM H34110070
ABSTRAK RIZKY LUTFI SUPRABOWO, Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor. Dibimbing oleh SITI JAHROH. Sebagai daerah yang pernah dicanangkan menjadi daerah pengembangan komoditas lidah buaya, perkembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor mengalami kemunduran sampai saat ini. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui performa keterkaitan ke depan dan ke belakang pada usahatani serta analisis pendapatan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor. Hasil penelitian ini dijabarkan dengan cara deskriptif dan dengan metode kuantitatif. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa performa keterkaitan ke belakang sudah baik, sedangkan performa keterkaitan ke depan sudah cukup baik karena saat ini sudah ada pasar dan pabrik pengolahan. Penyiangan gulma dalam usahatani lidah buaya ada dua metode yang digunakan petani yaitu metode herbisida dan metode manual. Rata-rata hasil panen petani responden per hektar per tahun sebesar 81 395.90 kg. Sedangkan per metode diketahui, pada metode herbisida sebesar 79 207.01 kg/ha/tahun dan 84 898.12 kg/ha/tahun pada metode manual. Nilai R/C atas biaya tunai petani metode herbisida dan manual sebesar 3.41 dan 3.39, sedangkan jika dilihat nilai R/C atas biaya tunai petani responden secara keseluruhan sebesar 3.40. Nilai R/C atas biaya total petani metode herbisida, manual serta metode secara keseluruhan yaitu sama, sebesar 2.82. Kata kunci : keterkaitan, metode herbisida, metode manual, nilai R/C
ABSTRACT RIZKY LUTFI SUPRABOWO. Farm Analysis of Aloe Vera in Bogor District. Supervised by SITI JAHROH. Although Bogor District has been launched as a development area of aloe vera, development of aloe vera is still declining at present. This study aims to describe the performance of forward linkage and backward linkage aloe vera farming and to analyze farm income of aloe vera farming in Bogor District. This study used descriptive and quantitative methods. The results showed performance of backward linkage was good, while the performance of forward linkage was also good due to the existing markets and processing plants. Aloe vera farmers, in terms of weeding, could be divided into two methods, using herbicides and manually. The average yield per hectare per year was 81 395.90 kg. Farmers using herbicides and manual method gained 79 207.01 kg/ha/year and 84 898.12 kg/ha/year, respectively. R/C ratio over cash costs of farmers using herbicides and manual methods was 3.41 and 3.39, respectively, whereas overall farmers was 3.40. Meanwhile, R/C ratio over total costs of farmers using herbicides, manual methods and overall farmers were the same, equal to 2.82. Keywords : herbicides methods, linkage, manual methods, ratio R/C
ANALISIS USAHATANI LIDAH BUAYA DI KABUPATEN BOGOR
RIZKY LUTFI SUPRABOWO
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Ekonomi pada Departemen Agribisnis
DEPARTEMEN AGRIBISNIS FAKULTAS EKONOMI DAN MANAJEMEN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta`ala atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini berhasil diselesaikan. Skripsi ini merupakan hasil penelitian yang telah dilaksanakan selama bulan Januari 2015 sampai Februari 2015 dengan judul penelitian Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor. Terima kasih penulis sampaikan kepada Siti Jahroh PhD, selaku dosen pembimbing yang selalu membantu penulis dalam penyusunan tugas akhir ini. Ungkapan terima kasih kepada petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dan semua pihak yang telah membantu selama pengumpulan data dalam penyelesaian tugas akhir ini. Ungkapan terima kasih dan penghargaan juga penulis sampaikan kepada kedua orang tua penulis, Bapak Eriyanto dan Ibu Roto Hartatik serta seluruh keluarga, atas segala doa dan kasih sayangnya. Selain itu penulis juga berterimakasih kepada pihak-pihak yang banyak membantu selama proses penyusunan skripsi, Oktarina Nur Widyanti, teman-teman Dramaga Cantik S-02, teman-teman fasttrack Agribisnis angkatan 48, seluruh teman Agribisnis angkatan 48 dan semua teman-teman yang tidak bisa disebutkan satu persatu oleh penulis. Terima kasih atas dukungan dan bantuan semua pihak selama ini. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat. Bogor, Juni 2015
Rizky Lutfi Suprabowo
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL xiii DAFTAR GAMBAR xiii PENDAHULUAN 1 Latar Belakang 1 Tujuan Penelitian 5 Manfaat Penelitian 5 Ruang Lingkup Penelitian 5 TINJAUAN PUSTAKA 5 Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward Linkage) Pengembangan Komoditas Pertanian 5 Analisis Usahatani Lidah Buaya 6 Penerapan Metode yang Berbeda dalam Usahatani 7 KERANGKA PEMIKIRAN 8 Kerangka Pemikiran Teoritis 8 Konsep Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan 8 Konsep Usahatani 9 Penerimaan Usahatani 10 Biaya Usahatani 10 Pendapatan Usahatani 11 Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya 11 Kerangka Pemikiran Operasional 12 METODE PENELITIAN 14 Lokasi dan Waktu Penelitian 14 Jenis dan Sumber Data 14 Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data 14 Metode Pengolahan dan Analisis Data 14 Deskripsi Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan 15 Biaya Usahatani Lidah Buaya 15 Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya 16 Uji Beda Mann-Whitney U Test 17 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN 18 Karakteristik Wilayah 18 Karakteristik Petani Responden 18 Pendidikan 19 Pengalaman Usahatani Lidah Buaya 20 Status Usahatani 20 Luas Lahan Garapan 21 Status Kepemilikan Lahan 21 HASIL DAN PEMBAHASAN 22 Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya 22 Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya 22 Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya 23 Keragaan Usahatani Lidah Buaya 25
Input Usahatani Lidah Buaya Teknik Budidaya Output Usahatani Lidah Buaya Rangkuman Input dan Output Usahatani Lidah Buaya Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor Penerimaan Usahatani Lidah Buaya Biaya Usahatani Lidah Buaya Uji Beda Mann-Whitney Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya Analisis Nilai Rasio R/C SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
26 31 35 36 37 37 39 45 45 46 47 47 47 48 50 54
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18
Lima besar kabupaten/kota produsen lidah buaya di Jawa Barat ( kg ) Sebaran responden berdasarkan desa dan metode penyiangan Usia petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Tingkat pendidikan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Karakteristik pengalaman usahatani lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Karakteristik status usahatani petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Karakteristik luas lahan garapan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Karakteristik status kepemilikan lahan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Penggunaan jarak tanam dan kebutuhan bibit lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Penggunaan tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Hasil panen pelepah lidah buaya petani responden di Kabupaten Bogor tahun 2014 Uji beda Mann-Whitney rata-rata penggunaan input dan hasil output usahatani lidah di Kabupaten Bogor tahun 2014 Penerimaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Biaya pupuk dan herbisida usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Biaya tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Biaya penyusutan peralatan pertanian pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Uji signifikasi biaya penggunaan input dan penerimaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan nilai R/C usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014
3 19 19 20 20 21 21 22 26 29 36 36 38 40 41 43 45 46
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4 5 6
Luas panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor Penggunaan pupuk kandang pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Penggunaan herbisida pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Penggunaan peralatan tambahan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014
4 10 13 27 28 30
DAFTAR LAMPIRAN 1 2 3
4
5
Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan nilai R/C usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Karakteristik petani responden usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata penggunaan input dan hasil output pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 (α = 5 %) Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata biaya penggunaan input dan penerimaan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 (α = 5 %) Dokumentasi saat penelitian
50 51
51
52 53
PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia sebagai negara agraris memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat melimpah, salah satu sektor yang memiliki potensi untuk dikembangkan adalah sektor pertanian. Salah satu potensi dalam bidang pertanian yang memiliki peluang yang bagus untuk dikembangkan adalah dalam sektor tanaman biofarmaka atau tanaman obat. Pemanfaatan tanaman obat di Indonesia telah banyak dilakukan baik secara tradisional sebagai ekstrak untuk obat atau jamu bubuk maupun sebagai bahan kosmetik. Tanaman obat memiliki potensi yang besar untuk pasar dalam negeri maupun di pasar internasional. Hal tersebut mengindikasikan tanaman obat mempunyai potensi yang sangat baik untuk dikembangkan. Kesadaran masyarakat saat ini akan pentingnya kesehatan serta kepedulian masyarakat untuk mengkonsumsi obat-obat yang berasal dari bahan alami berpengaruh pada potensi tanaman obat itu sendiri. Berdasarkan data riset kesehatan dasar (rikesdas) 2013, sekitar 30.40 persen penduduk Indonesia telah memanfaatkan obat tradisional, dan 49 persen diantaranya menggunakan ramuan jamu 1 . Disaat masyarakat mulai sadar akan pentingnya kesehatan dan adanya kecenderungan masyarakat untuk beralih ke obat yang berbahan alami, peluang tanaman obat sebagai komoditas perdagangan semakin besar. Semakin populernya tanaman biofarmaka saat ini dapat dilihat dari nilai omset jamu dan obat tradisional di pasar domestik yang mencapai angka Rp 15 triliun hingga akhir 2014, naik 7.14 persen dari tahun 2013 yang hanya sebesar Rp 14 triliun2. Penjelasan di atas mengindikasikan bahwa potensi dan peluang dari pengembangan produk pertanian khususnya biofarmaka di Indonesia sangat menjanjikan khususnya pertanian tanaman lidah buaya (Aloe Vera L). Keunggulan komparatif yang dimiliki Indonesia diharapkan mampu menjadikan komoditas tanaman lidah buaya sebagai komoditas yang dapat memperkuat perekonomian Indonesia sehingga dapat menambah devisa negara. Lidah buaya menurut sejarahnya berasal dari Kepulauan Canary di sebelah barat Afrika dan sejak dulu sudah dipercayai oleh masyarakat sebagai tanaman yang berkhasiat baik untuk kesehatan tubuh atau perawatan rambut. Arifin (2015) menjelaskan bahwa lidah buaya memiliki banyak khasiat di semua bagiannya dan memiliki banyak kandungan zat yang sangat bermanfaat bagi tubuh manusia. Nutrisi yang terkandung pada gel dan lendir lidah buaya diantaranya beberapa jenis mineral seperti Zn, K, Fe, dan beberapa macam vitamin seperti A, B1, B2, B12, C dan E, inositol, asam folat dan kholin. Selain itu, Arifin (2015) juga menyebutkan bahwa gel lidah buaya mengandung 18 asam amino yang penting dan sangat bermanfaat. Hal tersebut menunjukkan bahwa peluang diversifikasi produk dari 1
Kebijakan Kesehatan Indonesia. 2015. Kemkes Kembangkan Budaya Minum Jamu. [internet]. [diakses 2015 Maret 08]. Tersedia pada http://www.kebijakankesehatanindonesia. net/juli/25- berita/berita/2078-kemkes-kembangkan-budaya-minum-jamu. 2 Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2014. Omzet Jamu dan Obat Tradisional Menjacai 15T. [Internet]. [diakses 2014 Desember 15] Tersedia pada http://www.kemenperin.go.id/artikel/9889/Omzet-Jamu-dan-Obat-Tradisional-Capai-Rp15T/.
2 pengembangan olahan berbahan baku lidah buaya sangat banyak. Kompleksnya kandungan senyawa kimia dan zat aktif di dalam lidah buaya, memberikan efek penyembuhan yang luar biasa untuk berbagai macam penyakit. Beberapa penyakit yang dapat disembuhkan dengan bahan baku lidah buaya, antara lain menghambat infeksi HIV, nutrisi tambahan bagi pengidap HIV, menurunkan kadar gula dalam darah bagi penderita diabetes, mencegah radang sendi, menghambat sel kanker, membantu penyembuhan luka, antibakteri dan antijamur untuk membersihkan luka, kandungan saponin yang berkhasiat untuk antiseptik, mengatasi gangguan pencernaan, mencegah penuaan, serta penelitian terbaru menyebutkan bahwa kandungan emodin pada gel lidah buaya berkhasiat mencegah virus flu burung. Gel lidah buaya dalam industri kosmetik digunakan untuk membuat shampoo, kondisioner rambut dan pelembab karena gel lidah buaya yang mengandung polisakarida, tannin, asam amino, inositol, vitamin C, vitamin A, enzim dan mineral yang memberikan efek penyegar dan mencegah rambut rontok. Banyaknya khasiat yang terkandung dalam lidah buaya, saat ini lidah buaya tidak hanya digunakan untuk keperluan kesehatan dan kosmetik namun juga digunakan sebagai bahan baku pembuatan makanan ringan dan minuman. Adapun makanan ringan dan minuman yang berbahan baku lidah buaya yaitu minuman nata de aloe vera, jus, minuman ekstrak, krupuk, manisan, dodol, selai. Banyaknya manfaat yang terkandung dalam lidah buaya dan diversifikasi olahan yang bermacam-macam dari lidah buaya, lidah buaya termasuk kedalam salah satu dari sepuluh tanaman terlaris dalam perdagangan internasional 3 . Hal ini menunjukkan potensi pasar yang sangat bagus dari komoditas lidah buaya jika pengembangan komoditas lidah buaya diperhatikan. Peluang pasar yang menjanjikan tersebut ditangkap oleh Dirjen Hortikultura dan Aneka Tanaman dengan membuat strategi pengembangan komoditas unggulan lidah buaya di beberapa wilayah yang sesuai di Indonesia. Wilayah yang termasuk dalam pengembangan lidah buaya antara lain Sumatera Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Timur dan Sulawesi Selatan (Adhiana, 2005). Namun sampai saat ini, daerah yang masih menjadi tempat pengembangan lidah buaya dan mendapatkan dukungan dari Dirjen Hortikultura hanya tinggal tiga wilayah saja yaitu di Pontianak, Bali dan Kabupaten Bogor 4. Menurut Adhiana (2005), Kabupaten Bogor pernah dicanangkan untuk pengembangan tanaman lidah buaya di wilayah Jawa Barat. Sampai tahun 2013 Kabupaten Bogor menduduki peringkat kedua dalam hal jumlah produksi tanaman lidah buaya di daerah Jawa Barat setelah Kota Bogor. Data lima besar kabupaten atau kota terbanyak produksi lidah buaya di daerah Jawa Barat dapat dilihat pada Tabel 1.
3
Badan Litbang Pertanian. 2015. Lidah Buaya Khas Lahan Gambut Kalbar. [Internet]. [diakses pada 2015 April 9]. Tersedia pada http:// balittra.litbang.pertanian.go.id/index.php?option= com_content&view=article&id=1328: lidah-buaya-khas-lahan-gambut-kalbar&catid=13: info-aktual&Itemid. 4 Hasil wawancara dengan pegawai Dirjen Hortikultura Republik Indonesia bidang pasca panen tanaman biofarmaka dan Kepala Bidang Pasca Panen tanaman biofarmaka Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, tanggal 11 Desember 2014.
3 Tabel 1 Lima besar kabupaten/kota produsen lidah buaya di Jawa Barat ( kg ) No
Kabupaten/kota
Tahun 2008 2009 2010 1 Kota Bogor 6 800 253 403 115 450 2 Kabupaten Bogor 35 354 55 278 44 437 3 Kota Depok 5 932 16 435 1 332 4 Sukabumi 5 000 27 900 1 900 5 Ciamis 0 5 489 16 370 Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014).
2011 184 345 103 521 12 814 200 17 252
2012 124 505 29 672 17 583 2 000 92
2013 26 257 20 919 19 278 2 692
Selain faktor modal dan peran serta pemerintah, faktor lain yang mendukung berkembangnya tanaman lidah buaya adalah permintaan terhadap lidah buaya dari sektor industri pengolahan. Kenyataannya saat ini Kabupaten Bogor sebagai tempat pengembangan lidah buaya di Provinsi Jawa Barat jumlah petani yang masih relatif sedikit dan berdampak kepada pasokan lidah buaya yang masih sangat terbatas dan kontinuitasnya masih belum terjaga, maka perlu diadakan pengkajian mengenai keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya dan melihat peluang perkembangan lidah buaya dari sisi produsen yaitu petani. Tingkat pendapatan petani lidah buaya merupakan salah satu alasan petani mengusahakan lidah buaya. Diharapkan dari penelitian ini dapat mengetahui permasalahan yang mengakibatkan terhambatnya perkembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor serta peluang pengusahaan lidah buaya. Sehingga dengan penelitian ini dapat memberikan alternatif-alternatif yang dapat membantu untuk pengembangan komoditas tanaman lidah buaya yang lebih baik lagi, serta dapat mengetahui pendapatan petani yang saat ini telah melakukan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor. Perumusan Masalah Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang pernah ditunjuk oleh kementerian pertanian dalam pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat. Meskipun sampai tahun 2013 Kabupaten Bogor di Provinsi Jawa Barat menempati peringkat kedua dalam hal produksi lidah buaya, namun kenyataan di lapang jumlah petani lidah buaya di Kabupaten Bogor masih sangat sedikit. Masih sedikitnya petani yang mengusahakan lidah buaya dapat dilihat dari fluktuatifnya total produksi setiap tahunnya dan ada kecenderungan penurunan produksi lidah buaya pada dua tahun terakhir, hal ini dapat dilihat pada Tabel 1. Selain penurunan produksi pada dua tahun terakhir, indikasi penurunan jumlah dan minat petani dalam menanam lidah buaya terlihat dari jumlah luas panen yang mengalami penurunan pada tahun 2011 dan mengalami sedikit kenaikan pada tahun 2012 meskipun kenaikan tersebut tidak signifikan. Gambar 1 menunjukkan luas panen lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008 sampai 2012.
4
Luas panen
15000 10000
9788
9168
9825 5287
5000
6200 Luas panen (m²)
0 2008
2009
2010
2011
2012
Tahun Sumber : Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat (2014)
Gambar 1 Luas panen tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2008-2012 Penurunan jumlah produksi dan luas panen lidah buaya di Kabupaten Bogor yang ditunjukkan pada Tabel 1 dan Gambar 2 mengindikasikan bahwa komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor tidak berkembang dengan baik. Pengembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor kurang berjalan dengan baik, diduga ada beberapa penyebabnya. Penyebab yang pertama yaitu tidak ada keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahataninya. Keterkaitan ke belakang (backward linkage) maksudnya petani memiliki kemudahan dalam hal akses pemenuhan input-input atau sarana budidaya lidah buaya. Keterkaitan ke depan (forward linkage) maksudnya kegiatan usahatani lidah buaya memiliki hubungan dengan sektor pengolahan dan pemasaran yang baik, sehingga saat petani masuk masa panen petani tidak merasa kesulitan dalam hal pemasaran maupun pengolahan hasil panen. Jika pengembangan komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor memiliki keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) dengan baik maka akan mampu mempengaruhi para petani dalam mengusahakan tanaman lidah buaya. Gambar 1 menunjukkan adanya indikasi usahatani lidah buaya tidak berkembang dengan baik, maka ada kemungkinan keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tidak bekerja dengan baik sehingga berdampak kepada minat petani untuk membudidayakan berkurang. Prinsip petani salah satunya adalah akan membudidayakan suatu komoditas pertanian, jika mendapatkan kepastian pasar hasil panen dan pendapatan dari hasil usahataninya sesuai dengan yang diharapkan. Pasar dan besarnya pendapatan merupakan faktor utama dari suatu kegiatan bisnis, termasuk dalam sebuah kegiatan pertanian baik skala besar maupun skala kecil. Besarnya pendapatan dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, salah satunya adalah penggunaan metode yang berbeda juga dapat mempengaruhi besarnya pendapatan yang diperoleh oleh masing-masing petani. Petani lidah buaya yang ada di Kabupaten Bogor dalam proses penyiangan gulma ada dua cara atau metode, yang pertama petani melakukan metode penyiangan gulma dengan cara manual dan yang kedua dengan metode menyemprot menggunakan herbisida. Berdasarkan pada permasalahan yang telah dijelaskan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Bagaimana keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor? 2. Bagaimana keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor?
5 3. Bagaimana pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor? Tujuan Penelitian Berdasarkan dari uraian perumusan masalah yang telah dituliskan, maka tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mendiskripsikan keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor 2. Mengetahui keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor 3. Mengetahui pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi dan tambahan wawasan kepada para petani lidah buaya, pembaca, serta masyarakat yang hendak melakukan usahatani lidah buaya. Bagi petani lidah buaya diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan menjadi bahan pertimbangan dalam mengambil keputusan selama menjalankan usahatani lidah buaya. Bagi pembaca dan masyarakat diharapkan penelitian ini dapat memberikan informasi dan menambah wawasan tentang usahatani lidah buaya sehingga dapat memberikan gambaran tentang usahatani lidah buaya itu sendiri sehingga outpun dari membaca hasil penelitian ini dapat merencanakan dan menjalankan usahatani lidah buaya dengan baik. Ruang Lingkup Penelitian Penelitian ini menggunakan perhitungan usahatani untuk satu tahun berdasarkan biaya dan penerimaan pada tahun 2014. Petani yang menjadi responden merupakan petani yang memiliki lahan yang ditanami lidah buaya, dengan pertimbangan petani tersebut telah melakukan pemanenan selama minimal satu tahun yaitu sejak awal tahun 2014. Penerimaan usahatani dilakukan dengan cara menghitung produksi dikalikan dengan harga jual. Perhitungan modal petani yang dikeluarkan berasal dari total biaya tunai dan biaya tidak tunai yang dikeluarkan oleh petani.
TINJAUAN PUSTAKA Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward Linkage) Pengembangan Komoditas Pertanian Penelitian mengenai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pengembangan komoditas nenas bogor pernah dilakukan oleh Nadila (2014), perkembangan komoditas nenas bogor tidak berjalan dengan baik padahal rata-rata persentase peningkatan jumlah pohon per tahunnya mencapai 26 persen pada tahun 2007 sampai 2011. Peningkatan tersebut tidak
6 diimbangi dengan peningkatan persentase tanaman nenas itu sendiri, sehingga suplai nenas bogor sangat sedikit dan menyebabkan nenas bogor hilang dari pasaran. Dari hasil penelitian terlihat bahwa performa forward linkage dan backward linkage nenas bogor kurang baik, dimana pada subsistem budidaya tidak produktif, karena lahan yang tidak diperhatikan dan rendahnya penggunaan pupuk. Dilihat dari performa forward linkage, akses pasar bagi petani yang sulit dan posisi tawar petani yang rendah. Selain itu dari lembaga penunjang baik dari kelompok tani dan badan penyuluh kurang efektif dalam meningkatkan performa pengembangan komoditas nanas bagor. Selain itu penelitian mengenai keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada pengembangan komoditas pertanian juga pernah dilakukan oleh Santoso (2001), hasil penelitian menyebutkan bahwa secara umum performa backward linkage dan forward linkage tebu rakyat bebas lahan kering di Kabupaten Ngawi yang mencakup subsistem penyediaan sarana produksi, subsistem usahatani, subsistem pemasaran hasil tebu dan subsistem pengolahan hasil pada waktu dilakukan penelitian belum ada keterkaitan. Salah satu dampak dari tidak adanya keterkaitan yang baik yaitu petani harus memanen tebunya lebih awal dikarenakan pabrik pegolahan gula sudah mulai beroprasi, sehingga berpengaruh ke berat tebu yang dipanen petani rendah. Analisis Usahatani Lidah Buaya Penelitian mengenai tanaman lidah buaya di Kabupaten Bogor pernah dilakukan oleh Adhiana (2005). Pada tahun 2005 petani lidah buaya berjumlah 35 petani yang menyebar di tujuh desa di Kabupaten Bogor. Harga ditingkat petani pada tahun 2005 untuk mutu A sebesar Rp1 700/kg, mutu B sebesar Rp1 000/kg dan mutu C sebesar Rp500/kg, harga tersebut berlaku jika petani menjual hasil panennya melalui tengkulak. Pemupukan tanaman lidah buaya menggunakan kotoran ayam sebanyak 25 ton/ha, urea sebanyak 300 kg/ha dan kotoran kambing sebanyak 27 ton/ha. Lamanya pemanenan lidah buaya di lapang adalah 15 sampai 30 hari sekali panen yang dilakukan secara bergilir, selain itu juga ditentukan oleh ada tidaknya permintaan. Berdasarkan penelitian di Desa Cihujung, pemanenan pernah tidak dilakukan selama 3 bulan karena tidak ada permintaan. Selain itu di Desa Cibening, petani mengalami kesulitan dalam hal pemasaran sehingga petani melakukan pamanenan 1.5 bulan sekali. Di Desa Cijunjung pemanenan tidak dilakukan selama 6 bulan, dikarenakan tidak ada permintaan. Pada tahun 2005, petani yang sudah memperoleh pasar melakukan panen sebanyak 9 kali per tahun dengan interval panen rata-rata dua minggu hingga empat minggu sekali panen. Penelitian tentang lidah buaya juga pernah dilakukan oleh Nugraha (2008), permasalahan yang dihadapi pada usahatani lidah buaya adalah masalah kontinuitas dan mutu dari produksi lidah buaya yang kurang terjamin sehingga menyulitkan petani dalam melakukan pemasaran hasil panennya. Selain itu sikap pemerintah yang tidak peduli dengan kondisi para petani, sehingga petani kewalahan dalam memasarkan produk hasil panenannya. Saat dilakukan penelitian, produktivitas lidah buaya mencapai 10 ton/ha per bulan. Jumlah petani yang ada di Kabupaten Bogor pada tahun 2008 berjumlah 30 petani yang menyebar di 13 desa di Kabupaten Bogor. Diketahui sebanyak 82.61 persen petani mengalami kesulitan dalam hal pemasaran. Kesulitan yang dihadapi dikarenakan,
7 petani tidak memiliki informasi pasar dan jumlah pembeli yang masih terbatas. Saat dilakukan penelitian diketahui bahwa, petani yang saat itu mengusahakan tanaman lidah buaya tidak tergabung dalam sebuah kelompok tani. Penelitian tentang lidah buaya sudah banyak dilakukan khususnya dilakukan di daerah Kalimantan Barat, mengingat di daerah tersebut merupakan daerah sentra produksi lidah buaya di Indonesia. Menurut Sudiman dalam Yurisinthae et al (2012) menyebutkan biaya terbesar dalam usahatani lidah buaya adalah biaya tenaga kerja dan pengeluaran terbesar kedua pada komponen biaya pemakaian pupuk urea dan abu yang mencapai 21.91 persen. Penggunaan abu dilakukan untuk mengontrol keasaman tanah, karena lahan yang ditanami lidah buaya di daerah Pontianak dilakukan di tanah gambut. Selain itu berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Kurniawan (2010) menyatakan pada tahun 2001, produksi lidah buaya di Kecamatan Pontianak Utara mencapai 7 720 ton dan meningkat menjadi 16 156.8 ton pada tahun 2004. Namun, pada tahun berikutnya produksi lidah buaya justru mengalami penurunan menjadi 7 776 ton pada tahun 2006. Faktor utama yang membuat penurunan produksi yaitu yang faktor produksi dan pasca produksi, harga pupuk yang terlalau mahal, turunnya harga jual lidah buaya dan keterbatasan pemasaran. Penurunan produksi lidah buaya di daerah sentra diperkuat oleh penelitian yang dilakukan oleh Yurisinthae (2010), diketahui penurunan produksi lidah buaya di Kotamadya Pontianak berlangsung sejak tahun 2005 sampai 2009. Penurunan ini dipengaruhi oleh sistem distribusi pemasaran dan cakupan pemasaran yang dilakukan oleh petani terlalu sempit. Petani lidah buaya di Kotamadya Pontianak sejak tahun 2000 sampai tahun 2010 tidak mendapatkan kenaikan harga jual lidah buaya hasil panennya, hanya sebesar Rp900 per kilogram. Penurunan produksi dan rendahnya harga jual mempengaruhi R/C usahatani lidah buaya. Berdasarkan Muinet et al dalam Yurisinthae (2010) nilai R/C usahatani lidah buaya sebesar 1.99. Berdasarkan penelitian Burhansyah (2002), anjuran teknis dari Dinas Urusan Pangan Kota Pontianak merekomendasikan populasi tanaman 10 000 per hektar dengan jarak tanam dalam baris 1 meter dan antar baris 1 sampai 1.5 meter, namun petani lidah buaya di Kalimantan Barat menggunakan jarak tanam 200 x 100 cm ( populasi 5 000 per hektar) sampai 120 x 75 cm ( populasi tanaman 10 800 per hektar). Input pupuk yang digunakan petani di lokasi penelitian yaitu pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk kimia yang digunakan meliputi pupuk Urea, TSP dan KCL dan pupuk organik yang sering dipakai adalah pupuk abu. Penggunaan pupuk organik mencapai 16 602 kg/hektar/tahun dan pupuk kimia mencapai 951 kg/hektar/tahun. Dari hasil penelitian diketahui produksi maksimal pada umur 4 sampai 5 tahun, dengan nilai gross B/C 2.25. Penerapan Metode yang Berbeda dalam Usahatani Penggunaan metode yang berbeda pada suatu usahatani juga akan berdampak pada penerimaan dan pendapatan dari petani yang mengusahakannya. Penelitian Nugraha (2013) memperlihatkan banyaknya penggunaan HOK pada metode bercocok tanam metode padi sehat SRI dan metode konvensional. Perbedaan metode bercocok tanam tersebut mempengaruhi penggunaan inputinput sehingga berpengaruh pada biaya yang harus dikeluarkan oleh petani, selain itu perbedaan penggunaan metode akan mempengaruhi efisiensi usahatani. Total
8 biaya tunai yang dikeluarkan selama 1 musim tanam dengan luasan 1 ha untuk metode padi sehat SRI dan konvensional secara berturut-turut yaitu Rp8 567 707.79 dan Rp9 125 727.81. Perbedaan yang sangat signifikan terjadi pada hasil panen pada kedua metode bertani tersebut yaitu pada metode padi sehat SRI panen yang diperoleh sebesar 7 531 kg dan pada metode padi konvensional hanya sebesar 5 448 kg. Rata-rata harga jual GKP yang diterima oleh petani padi metode SRI sebesar Rp3 400/kg, sedangkan harga yang diperoleh oleh petani metode konvensional jika menjual GKP ke pasaran hanya sekitar Rp3 000/kg. Petani metode padi sehat SRI dalam semusim memperoleh pendapatan sebesar Rp25 606 305.95 sedangkan petani metode konvensional hanya memperoleh Rp16 344 070. Perhitungan R/C atas biaya total untuk petani metode SRI dan konvensional sebesar 2.60 dan 1.67. KERANGKA PEMIKIRAN Kerangka Pemikiran Teoritis Konsep Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Menurut Soeharjo (1987) dalam Hernanto (1996) pengertian agribisnis adalah kegiatan yang mencakup semua kegiatan mulai dari pengadaan sarana produksi pertanian sampai pada tataniaga produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya. Hernanto (1996) menjelaskan bahwa agribisnis merupakan sebuah sistem yang terdiri dari beberapa subsistem, yaitu : 1. Subsitem pembuatan dan penyaluran berbagai sarana produksi pertanian, seperti: bibit, pupuk, alat pertanian, bahan bakar, dan lainnya. Pelaku dalam subsistem ini adalah perusahaan swasta, koperasi, pemerintah, bank atau pun perorangan. 2. Subsistem kegiatan produksi dalam usahatani yang menghasilkan bermacam produk pertanian. Usahatani mencakup semua bentuk organisasi produksi, mulai dari skala kecil sampai skala besar dan termasuk juga budidaya pertanian yang menggunakan lahan secara intensif (akuakultur, florikultur). 3. Subsistem pengumpulan, pengolahan, penyimpanan, dan penyaluran produk pertanian yang dihasilkan usahatani atau hasil olahannya ke konsumen. 4. Subsistem penunjang (koperasi, bank, lembaga penelitian, angkutan pasar, peraturan pemerintah). Dalam sistem agribisnis terdapat keterkaitan antar subsistem dengan subsistem lainnya. Kinerja masing-masing subsistem akan sangat ditentukan oleh keterkaitan dengan subsistem lain, sehingga gangguan pada salah satu subsistem dapat menyebabkan keseluruhan sistem terganggu. Terdapat dua keterkaitan dalam sistem agribisnis yaitu : 1. Keterkaitan ke belakang (Backward Linkage) Dalam menjalankan kegiatan bisnis juga dapat mempunyai keterkaitan ke belakang dengan proses sebelumnya. Kegiatan pada subsistem usahatani memiliki keterkaitan dengan subsistem hulu seperti pengadaan input (benih, pupuk, tenaga kerja, alat-alat pertanian)
9 2. Keterkaitan ke Depan (Fordward Linkage) Dalam menjalankan kegiatan bisnis terdapat keterkaitan pada kegiatan bisnis dengan proses selanjutnya. Jika proses diarahkan pada kegiatan usaha maka Fordward Linkage pada kegiatan tersebut yaitu terdapat hubungan antara usahatani dengan pengolahan produk. Konsep Usahatani Menurut Suratiyah (2008) ilmu usahatani adalah ilmu yang mempelajari bagaimana seseorang mengusahakan dan mengordinasikan faktor-faktor produksi berupa lahan dan alam sekitarnya sebagai modal sehingga memberikan manfaat yang sebaik-baiknya. Sebagai ilmu pengetahuan, ilmu usahatani merupakan ilmu yang mempelajari cara-cara petani menentukan, mengorganisasikan, dan mengkoordinasikan penggunaan faktor-faktor produksi seefektif dan seefisien mungkin sehingga usaha tersebut memberikan pendapatan yang maksimal. Dimana bisa dikatakan sebuah usahatani efektif, jika petani atau produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang dimilikinya (yang dikuasainya) sebaik-baiknya untuk mencapai tujuan tertentu sedangkan dikatakan efisien, jika pemanfaatan atas sumberdaya yang dimilikinya menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input) (Soekartawi 2002). Hernanto (1996) menjelaskan bahwa ada empat unsur pokok faktor-faktor produksi dalam kegiatan usahatani, yaitu : 1. Tanah Tanah selalu memiliki hubungan yang kuat dengan pertanian dan pedesaan. Tanah memiliki beberapa sifat khusus yaitu relatif langka, distribusi penguasaan yang tidak merata di masyarakat, luasnya relatif tetap, tidak dapat dipindahpindahkan dan dapat diperjualbelikan. Menurut jenisnya tanah dibedakan menjadi kolam, tambak, sawah, perkarangan, perkebunan, tegalan dan lain sebagainya. 2. Tenaga Kerja Tenaga kerja usahatani dapat diperoleh dari dalam keluarga dan luar keluarga. Tenaga kerja dapat digolongkan menjadi tiga jenis, yaitu tenaga kerja manusi, ternak dan mekanik. Tenaga kerja manusia dibagi lagi menjadi tenaga kerja pria, wanita, dan anak. Menurut Yang (1995) dalam Hernanto (1996) menyatakan bahwa adanya konversi tenaga kerja dimana membandingkan tenaga kerja pria sebagai ukuran baku dan jenis tenega kerja lainnya dikonversikan, menjadi 1 pria = 1 hari kerja pria (HKP), 1 Wanita = 0.7 HKP, 1 ternak = 2 HKP, dan 1 anak = 0.5 HKP. 3. Modal Modal adalah barang atau uang bersama-sama dengan faktor produksi lain untuk menghasilkan produk pertanian. Modal dibedakan menurut sifatnya menjadi dua, yaitu modal tetap dan modal tidak tetap. Modal tetap diartikan modal yang tidak habis pada satu periode produksi, contohnya bangunan, tanah. Sedangkan modal tidak tetap diartikan sebagai modal yang habis dalam satu periode proses produksi, contohnya alat-alat pertanian, piutang, uang tunai, tanaman, ternak, ikan dikolam. Berdasarkan sumbernya modal dapat berasal dari modal sendiri, pinjaman, hasil sewa, maupun warisan. 4. Manajemen Manajemen usahatani merupakan kemampuan petani dalam menentukan, mengorganisir dan mengkoordinir faktor-faktor produksi yang dimilikanya
10 dengan sebaik-baiknya dan mampu memberikan produksi pertanian sesuai yang diharapkan. Penerimaan Usahatani Menurut Hernanto (1996) penerimaan usahatani adalah nilai dari perkalian antara total produksi dengan harga satuan produk usahatani. Total produksi dalam usahatani dapat berupa produk yang dijual maupun produk yang tidak dijual. Menurut Soekartawi (2011) produk yang tidak dijual misalnya digunakan untuk konsumsi rumah tangga, digunakan kembali dalam usahatani, produk yang digunakan untuk pembayaran dan produk yang disimpan digudang pada akhir tahun. sehingga dalam usahatani ada dua jenis penerimaan yaitu penerimaan tunai dan penerimaan total. Penerimaan tunai yaitu nilai yang dijual oleh petani sedangkan penerimaan total adalah nilai produk total usahatani dalam jangka waktu tertentu baik nilai produk yang dijual maupun nilai produk yang tidak dijual. Biaya Usahatani Biaya dalam usahatani diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap adalah biaya yang relatif sama jumlahnya, dan terus dikeluarkan walaupun produksi yang diperoleh banyak atau sedikit. Sehingga besar kecilnya biaya tidak dipengaruhi oleh besarnya produksi. Contohnya, pajak, sewa tanah. Biaya variabel adalah biaya yang besar-kecilnya dipengaruhi oleh besarnya produksi, sehingga biaya ini sifatnya berubah-ubah tergantung dari besar-kecilnya produksi yang diinginkan. Contoh biaya variabel adalah biaya untuk sarana produksi, karena jika petani menginginkan hasil produksi yang tingggi, maka pengeluaran untuk tenaga kerja, pupuk dan segala hal yang mempengaruhi peningkatan produksi akan ikut bertambah. Gambar 2 menunjukkan hubungan tingkat produksi dengan besaran biaya. C C TC C VC C FC
Keterangan : C = Biaya TC = Total Biaya VC = Biaya Variabel FC = Biaya Tetap Y = Tingkat Produksi
Y C Gambar 2 Kurva hubungan biaya dengan tingkat produksi Dalam penelitian ini perhitungan biaya dalam usahataninya dibedakan menjadi dua, yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Penggunaan biaya tunai dan tidak tunai didasarkan karena objek yang menjadi penelitian masih berskala kecil. Sedangkan penggunaan jenis biaya tetap dan bariabel digunakan untuk usaha yang sudah berskala besar dan diterapka di negara maju. Biaya tunai adalah biaya yang
11 harus dikeluarkan oleh petani secara tunai, biaya ini terdiri dari beberapa komponen kegiatan usahatani. Biaya tunai terdiri dari pembelian pupuk kandang, herbisida, upah tenaga kerja luar keluarga, pajak bagi petani pemilik lahan sendiri, sewa lahan, pembelian perlengkapan tambahan seperti koran dan karung untuk pemanenan. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) adalah biaya yang tidak termasuk ke dalam biaya tunai, akan tetapi biaya tersebut diperhitungkan dalam usahatani. Biaya tidak tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan yang diperhitungkan, biaya bibit yang dibebankan selama umur produktif dan penyusutan peralatan. Pendapatan Usahatani Menurut Soekartawi (2011) pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan usahatani mengukur imbalan yang diperoleh keluarga petani dari pengunaan faktor-faktor produksi kerja, pengelolaan, dan modal milik sendiri atau modal pinjaman yang diinvestasikan dalam kegiatan usahatani. Menurut Suratiyah (2008) ada faktor-faktor yang mempengaruhi besarnya biaya dan pendapatan, secara garis besar dapat dibagi kedalam dua golongan yaitu: Faktor internal dan faktor eksternal Faktor internal seperti umur petani, pendidikan, pengalaman, keterampilan, jumlah tenaga kerja keluarga, luas lahan dan modal. Faktor eksternal seperti input (ketersediaan dan harga) dan output (permintaan dan harga) Faktor manajemen Petani sebagai manajer harus dapat mengambil berbagai pertimbangan ekonomi sehingga dapat mendatangkan hasil yang maksimal. Mengingat faktor internal tertentu dan faktor eksternal yang selalu berubah-ubah, petani sebagai juru tani harus dapat melaksanakan usahataninya dengan sebaikbaiknya, yaitu menggunakan faktor produksi dan tenaga kerja secara efisien sehingga akan memperoleh manfaat yang setinggi-tingginya. Namun perlu diperhatikan bahwa pendapatan yang besar tidak selalu menunjukan usahatani berjalan efisien, karena bisa saja pendapatan usahatani yang besar juga diimbangi oleh biaya yang besar pula. Sehingga dalam proses pembandingan penampilan usahatani perlu digunakan ukuran efisiensi usahatani seperti R/C ratio. Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya Salah satu cara untuk mengukur kelayakan suatu usahatani dapat dilihat dari nilai Return cost ratio atau R/C ratio, Return cost ratio atau R/C ratio adalah perbandingan (nisbah) antara penerimaan dan biaya (Soekartawi, 2002). Jika nilai ratio R/C nya lebih besar dari satu maka usahatani dapat dikatakan layak untuk dijalankan. Apabila nilai R/C lebih kecil dari satu maka usahatani dikatakan tidak layak. Sedangkan jika nilai R/C sama dengan satu, maka kegiatan usahatani memperoleh keuntungan normal atau tidak untung dan tidak rugi. Nilai ratio R/C memperlihatkan besar-kecilnya penerimaan yang diperoleh sebagai manfaat dari setiap rupiah yang dikeluarkan oleh petani.
12 Kerangka Pemikiran Operasional Kabupaten Bogor merupakan salah satu tempat pengembangan lidah buaya di Indonesia. Sebagai tempat pengembangan lidah buaya, jumlah petani lidah buaya masih relatif sedikit dan produksinya cenderung mengalami penurunan di dua tahun terakhir. Hal ini mengindikasikan bahwa komoditas lidah buaya di Kabupaten Bogor belum berjalan dengan baik. Selain itu di lapangan juga diketahui ada dua metode pemeliharaan lidah buaya terutama dalam hal pengendalian gulma di lahan. Metode yang pertama dengan cara manual yaitu petani membersihkan rumput dengan cangkul atau koret dan metode yang kedua petani menggunakan penyemprotan herbisida untuk membersihkan rumput di lahan. Tidak seragamnya cara atau metode budidaya lidah buaya juga dapat menghambat keberhasilan usahatani yang dampaknya mempengaruhi biaya yang harus dikeluarkan oleh petani sehingga dapat berpengaruh ke pendapatan petani. Oleh sebab itu, perlu adanya penelitian mengenai komoditas lidah buaya untuk mengetahui performa keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya dan mengetahui pendapatan petani saat ini yang telah mengusahakan lidah buaya pada kedua metode, sehingga dengan penelitian ini dapat mengetahui penyebab terhambatnya perkembangan lidah buaya di Kabuapeten Bogor serta mengetahui pendapatan petani pada kedua metode tersebut. Untuk memperjelas dan mempermudah pemehaman mengenai gagasan penelitian diatas, maka penjabaran alur kerangka pemikiran operasional dapat dilihat di bawah ini :
13 Analisis Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor Kabupaten Bogor sebagai daerah pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat Produksi dan luas lahan yang ditanami lidah buaya mengalami penurunan pada dua tahun terakhir Perlu adanya penelitian mengenai performa backward linkage dan forward linkage pada usahatani dan segi pendapatan usahatani lidah buaya
1.
2. 3.
Bagaimana keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ? Bagaimana keragaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ? Bagaimana pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor ?
Keterkaitan ke belakang (backward linkage) dan ke depan (forward linkage) pada usahatani lidah buaya
Keragaan usahatani lidah buaya
Pendapatan dan efisiensi usahatani lidah buaya
Rekomendasi yang perlu diperbaiki dalam usahatani lidah buaya
Gambar 3 Kerangka pemikiran operasional analisis usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor
14
METODE PENELITIAN Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kabupaten Bogor Jawa Barat. Pemilihan Kabupaten Bogor sebagai lokasi penelitian dilakukan secara sengaja (purposive) dengan alasan bahwa Kabupaten Bogor merupakan daerah pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat. Kecamatan yang dijadikan tempat penelitian di Kabupaten Bogor ada tiga yaitu di Kecamatan Kemang, Ciseeng dan Ranca Bungur. Penentuan Ketiga kecamatan tersebut berdasarkan ketersedian petani lidah buaya yang telah melakukan pemanenan minimal satu tahun terakhir. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama bulan Januari sampai Februari 2015. Jenis dan Sumber Data Jenis data dalam penelitian ini berupa data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh secara langsung melalui pengamatan dan wawancara dengan 13 petani lidah buaya. Data primer yang digunakan dalam penelitian mencakup karakteristik responden, kegiatan petani yang mengindikasikan performa keterkaitan ke depan dan ke belakang pada usahatani dan keragaan usahatani lidah buaya. Data sekunder merupakan data pelengkap dari data primer serta mencakup data produktivitas lidah buaya, luas panen serta data-data yang mendukung untuk penelitian ini. Data sekunder diperoleh dari Direktorat Jenderal Hortikultura, Dinas Pertanian Provinsi Jawa Barat, Dinas Pertanian Kabupaten Bogor, dan Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor maupun pusat. Selain itu, dilakukan juga penelusuran melalui internet, buku serta penelitian-penelitian sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai bahan rujukan yang berhubungan dengan analisis usahatani lidah buaya. Metode Penarikan Sampel dan Pengumpulan Data Jumlah responden yang digunakan dalam penelitian ini sebanyak 13 petani lidah buaya dengan rincian 8 petani metode herbisida dan 5 petani metode manual. Jumlah tersebut berdasarkan hasil observasi dan data yang berasal dari Dinas Pertanin Kabupaten Bogor. Penentuan petani yang menjadi responden secara sengaja (purposive) dan merupakan petani yang telah melakukan proses pemanenan lidah buaya selama satu tahun terakhir. Pengumpulan data primer dengan cara memberikan pertanyaan kepada responden dengan acuan berupa kuesioner. Tujuan penggunaan kuesioner yaitu agar ada acuan pertanyaan dan pertanyaan yang diajukan sistematis serta untuk mendapatkan data kuantitatif mengenai segala hal yang menyangkut usahatani lidah buaya. Metode Pengolahan dan Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini dilakukan secara kualitatif dan kuantitatif. Pengolahan data secara kuantitatif menggunakan software Microsoft excel dan
15 SPSS. Pengolahan data secara kuantitatif nantinya akan dapat melihat struktur biaya dan pendapatan, serta nilai R/C dan uji beda Mann-Whitney U test. Sedangkan analisis data secara kualitatif nantinya akan dapat menjelaskan performa keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya dapat menjelaskan atau menjabarkan hasil perhitungan kuantitatif usahatani lidah buaya. Setelah data diolah maka disajikan dan dijelaskan secara kualitatif dan kuantitatif sesuai dengan analisis yang telah diuraikan dalam kerangka teoritis. Deskripsi Keterkaitan ke Belakang dan ke Depan Diskripsi keterkaitan ke belakang dan ke depan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor akan menjelaskan ketekaitan ke belakang sistem usahatani dengan sektor hulu seperti pengadaan input (bibit, pupuk, tenaga kerja, alat-alat pertanian). Keterkaitan ke depan akan menjelaskan keterkaitan ke depan sistem usahatani dengan sektor hulu yaitu pemasaran dan pengolahan. Diskripsi keterkaitan ke belakang dan ke depan akan dapat menjelaskan gambaran secara umun mengenai keterkaiatan sistem usahatani dengan sektor hulu dan hilir. Biaya Usahatani Lidah Buaya Analisis biaya usahatani lidah buaya digunakan untuk mengetahui jumlah biaya-biaya yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani lidah buaya baik petani metode herbisida maupun manual. Dalam analisis biaya usahatani lidah buaya ini menggunakan dua jenis biaya yaitu, biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya usahatani adalah hasil penjumlahan secara keseluruhan yang dikeluarkan oleh petani dalam kegiatan usahatani baik biaya tunai maupun biaya tidak tunai. Perhitungan biaya usahatani sebagai berikut :
Keterangan : TC = Total Biaya Usahatani C = Total Biaya Tunai NC = Total Biaya Tidak Tunai Biaya tunai terdiri dari pembelian pupuk kandang, herbisida, upah tenaga kerja luar keluarga, pajak bagi petani pemilik lahan sendiri, sewa lahan. pembelian perlengkapan tambahan seperti koran dan karung untuk pemanenan. Biaya tidak tunai terdiri dari tenaga kerja dalam keluarga, sewa lahan yang diperhitungkan, biaya bibit yang dibebankan selama umur produktif dan penyusutan peralatan. Menurut Suratiyah (2009) perhitungan penyusutan berdasarkan metode garis lurus (straight line method) adalah dengan membagi hasil antara nilai pembelian dengan nilai sisa yang selanjutnya dibagi oleh umur ekonomi dari alat tersebut. Penerimaan Usahatani Lidah Buaya Analisis penerimaan usahatani lidah buaya digunakan untuk mengetahui besaran penerimaan yang diperoleh oleh petani lidah buaya baik petani metode herbisida maupun manual. Penerimaan usahatani adalah perkalian antara produksi yang diperoleh dengan harga jual. Secara matematis dapat dituliskan (Soekartawi 1995) :
16
Keterangan : TR = Total Penerimaan (Rupiah) Y = Produksi yang diperoleh dalam usahatani (Kg) Py = Harga produk per unit (Rupiah/Kg) Penerimaan dalam kegiatan usahatani terdiri dari dua jenis sumber penerimaan, yaitu penerimaan tunai dan penerimaan tidak tunai. Penerimaan tunai adalah penerimaan yang didapatkan dari hasil kegiatan produksi usahatani yang dijual. Penerimaan tidak tunai adalah hasil produksi yang tidak dijual oleh petani, namun hasil tersebut digunakan untuk keperluan lain, seperti untuk konsumsi atau benih. Sehingga penerimaan total usahatani merupakan hasil keseluruhan nilai produksi yang usahatani yang dijual, dikonsumsi keluarga, serta yang dijadikan persediaan. Pendapatan Usahatani Lidah Buaya Menurut Soekartawi (2002) pendapatan usahatani adalah selisih antara penerimaan dan pengeluaran. Pendapatan usahatani adalah balas jasa yang didapatkan oleh petani atas penggunaan faktor produksi, seperti lahan, modal, serta tenaga kerja. Pendapatan usahatani terdiri dari pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total. Pendapatan atas biaya tunai merupakan biaya yang harus dikeluarkan langsung oleh petani. Perhitungan dari pendapatan atas biaya tunai adalah selisih antara total penerimaan dengan biaya tunai. Sementara pendapatan atas biaya total adalah total biaya yang harus dikeluarkan oleh petani termasuk dengan semua input yang dimiliki petani diperhitungkan sebagai biaya. Perhitungan dari pendapatan atas biaya total adalah selisih antara total penerimaan dengan total biaya. Secara matematis dapat dituliskan sebagai berikut :
Keterangan : = Pendapatan Usahatani = Penerimaan total usahatani = Total biaya Usahatani Analisis Rasio Penerimaan dan Biaya Analisis rasio penerimaan dan biaya bisa juga di tulis rasio R/C, kegunaan analisis ini ialah untuk melihat efisiensi dari sebuah usahatani jika dijalankan. Rasio R/C membandingkan antara penerimaan dengan biaya. Nilai rasio ada dua jenis yaitu nilai R/C atas biaya tunai dan nilai R/C atas biaya total, secara matimatis dapat dituliskan :
17 Analisis rasio imbangan penerimaan dan biaya digunakan untuk melihat berapa penerimaan yang diperoleh oleh petani dari setiap rupiah yang telah dikeluarkan untuk usahataninya sebagai manfaat. Terdapat beberapa kriteria keputusan yang digunakan untuk melihat hasil dari analisis R/C rasio adalah sebagai berikut (Soekartawi 2002) : R/C rasio > 1 : Usahatani menguntungkan, dikatakan efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan akan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih besar daripada tambahan biayanya. R/C rasio = 1 : Usahatani impas, dikatakan kegiatan usahatani berada pada kondisi impas (keuntungan normal). R/C rasio < 1 : Usahatani rugi, dikatakan tidak efisien karena setiap tambahan biaya yang dikeluarkan kan menghasilkan tambahan penerimaan yang lebih kecil. Uji Beda Mann-Whitney U Test Uji beda yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji Mann Whitney U test. Uji statistik ini berguna untuk melihat perbedaan penggunaan input fisik dan output panen usahatani lidah buaya antara petani yang menggunakan metode herbisida dan metode manual serta untuk melihat perbedaaan besaran biaya input dan penerimaan lidah buaya antara petani yang menggunakan metode herbisida dan metode manual. Dengan cara menguji perbedaan median input fisik, output panen, biaya input dan penerimaan dari dua sampel yang saling bebas atau tidak berhubungan. Penggunaan uji beda Mann-Whitney U Test dikarenakan ada komponen-komponen yang diuji tidak menyebar normal. Adapun uji U adalah sebagai berikut (Nazir, 2003) : ∑ ∑
Keterangan : n1 = Jumlah sampel metode herbisida n1 = Jumlah sampel metode manual R1 = Jumlah rank/peringkat untuk sampel metode herbisida R2 = Jumlah rank/peringkat untuk sampel metode manual Adapun hipotesis dapat dituliskan sebagai berikut: Ho = input fisik/output panen/biaya input/penerimaan petani metode herbisida = input fisik/output panen/biaya input/penerimaan petani metode manual H1 = input fisik/output panen/biaya input/penerimaan petani metode herbisida ≠ input fisik/output panen/biaya input/penerimaan petani metode manual Dikarenakan data populasi kurang dari 20, maka dilihat nilai U yang paling kecil dan dibandingkan dengan tabel Mann-Whitney. Kesimpulan terhadap hipotesis, tolak Ho bila nilai u hitung < u tabel atau saat P value < α sebaliknya terima Ho bila nilai u hitung > u tabel atau saat P value > α.
18 GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN Karakteristik Wilayah Penelitian dilakukan di wilayah Kabupaten Bogor. Kabupaten Bogor merupakan salah satu kabupaten yang berada di Provinsi Jawa Barat dengan pusat ibu kota yaitu Cibinong. Secara geografis Kabupaten Bogor terletak pada koordinat 6º18` sampai 6º47`10`` Lintang Selatan dan 106º23`45`` sampai 107º13`30`` Bujur Timur. Secara keseluruhan wilayah Kabupaten Bogor seluas 298 838.304 Ha. Kabupaten Bogor di sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Tangerang Selatan, Kota Depok, Kabupaten/Kota Bekasi. Berbatasan dengan Kabupaten Lebak (Banten) di sebelah Barat. Berbatasan dengan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Cianjur di sebelah Timur dan berbatasan dengan Kabupaten Sukabumi dan Kabupaten Cianjur di sebelah Selatan. Kabupaten Bogor memiliki ketinggian yang bervariasi, 29.28 persen berada pada ketinggian 15 sampai 100 meter di atas permukaan laut (dpl), 42.62 persen berada pada ketinggian 100 sampai 500 meter dpl, 19.93 persen berada pada ketinggian 500 sampai 1000 meter dpl, 8.43 persen berada pada ketinggian 1000 sampai 2000 meter dpl dan 0.22 persen berada pada ketinggian 2000 sampai 2500 meter dpl. Pada tahun 2013 di Kabupaten Bogor suhu maksimal mencapai 34.7º C dan suhu terendah pada 19 ºC dengan suhu rata-rata pada tahun tersebut berkisar antara 25.1 ºC sampai 26.4 ºC. Pada tahun 2013 curah hujan di Kabupaten Bogor tertinggi pada bulan Januari yang mencapai 509.2 mm dengan jumlah hari hujan 28, dan terendah pada bulan Agustus yaitu 258.3 mm dengan jumlah hari hujan 12 hari. Kabupaten Bogor merupakan wilayah administratif terluas keenam di Provinsi Jawa Barat yang terdiri dari 40 Kecamatan dengan jumlah desa sebanyak 430 desa dan 17 kelurahan, 3 770 RW dan 15 124 RT. Dari 40 Kecamatan yang berada di Kabupaten Bogor hanya ada tiga kecamatan yang mengembangkan usahatani lidah buaya dan sudah melakukan pamanenan sepanjang tahun 2014 yaitu Kecamatan Kemang, Ranca Bungur dan Ciseeng, dan ada satu kecamatan yang baru melakukan penanaman pada bulan Oktober tahun 2014 yaitu di Kecamatan Gunung Sindur. Karakteristik Petani Responden Petani responden dalam penelitian ini berjumlah 13 petani yang menyebar di lima desa dalam tiga kecamatan di Kabupaten Bogor. Sebanyak 13 petani responden lidah buaya dalam melakukan usahatani lidah buaya terbagi menjadi dua metode, khususnya dalam hal penyiangan gulma pada lahan usahatani lidah buaya. Sebanyak delapan petani menggunakan metode penyemprotan herbisida dan lima petani menggunakan metode manual. Karakteristik petani responden antara lain usia, pendidikan, pengalaman bertani lidah buaya, status usahatani, luas lahan garapan dan status kepemilikan lahan pada masing-masing petani pada kedua metode penyiangan. Mayoritas petani responden lidah buaya berada di Desa Tegal Kecamatan Kemang sebanyak 53.86 persen dari total petani responden, dengan rincian sebanyak 37.50 persen petani responden metode herbisida dan 80 persen petani responden metode manual. Tabel 2
19 memperlihatkan penyebaran petani responden pada masing-masing desa berdasarkan metode penyiangannya. Tabel 2 Sebaran responden berdasarkan desa dan metode penyiangan Desa
Herbisida
Semplak Barat (Kec. Kemang) Lumbung (Kec. Kemang) Bantar Kambing (Kec. Ranca Bungur) Jampang (Kec. Kemang) Tegal (Kec. Kemang) Kemang (Kec. Ciseeng) Total
Manual
Total Petani
Jumlah (orang) 2
Persentase (%) 25.00
Jumlah (orang) 0
Persentase (%) 0.00
Jumlah (orang) 2
Persentase (%) 15.38
0
0.00
1
20.00
1
7.69
1
12.50
0
0.00
1
7.69
1
12.50
0
0.00
1
7.69
3
37.50
4
80.00
7
53.86
1
12.50
0
0.00
1
7.69
8
100.00
5
100.00
13
100.00
Usia Petani Responden Usia berkaitan erat dengan semangat kerja, kondisi fisik seseorang dan tenaga dalam melakukan kegiatan usahatani. Rata-rata usia responden petani lidah buaya pada kedua metode adalah 51.84 tahun. Usia petani responden paling banyak berada pada kisaran usia 40 sampai 49 tahun dengan persentase 38.46 persen, dan paling sedikit pada kisaran usia 30 sampai 39 tahun dengan persentase 7.69 persen. Namun petani responden metode herbisida memiliki usia yang ratarata lebih tua dibanding petani metode manual. Rata-rata usia petani responden metode herbisida memiliki usia 53 tahun sedangkan petani metode manual memiliki rata-rata usia 50 tahun. Tabel 3 menunjukkan usia petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor. Tabel 3 Usia petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Usia (tahun) 30-39 40-49 50-59 60-69 Total
Herbisida Jumlah (orang) 0 4 1 3 8
Persentase (%) 0.00 50.00 12.50 37.50 100.00
Manual Jumlah (orang) 1 1 2 1 5
Persentase (%) 20.00 20.00 40.00 20.00 100.00
Total Petani Jumlah (orang) 1 5 3 4 13
Persentase (%) 7.69 38.46 23.08 30.77 100.00
Pendidikan Tingkat pendidikan yang diterima oleh petani merupakan salah satu faktor penunjang keberhasilan dalam melakukan usahatani, karena tingkat pendidikan sangat mempengaruhi kemampuan petani dalam mengusahakan usahatani dalam hal pengambilan keputusan dan metode yang digunakan. Kebanyakan petani responden memiliki tingkat pendidikan sampai tingkat SMA dengan persentase 38.46 persen. Pada petani responden metode herbisida sebanyak 50 persen
20 petaninya memiliki latar pendidikan sampai tingkat SMA, sedangkan pada petani responden metode manual sebanyak 40 persen petani responden memiliki latar pendidikan sampai tingkat perguruan tinggi. Tabel 4 memperlihatkan tingkat pendidikan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor. Tabel 4 Tingkat pendidikan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Pendidikan
Herbisida Jumlah (orang) 2 1 4 1 8
SD SMP SMA PT Total
Persentase (%) 25.00 12.50 50.00 12.50 100.00
Manual Jumlah (orang) 1 1 1 2 5
Persentase (%) 20.00 20.00 20.00 40.00 100.00
Total Petani Jumlah (orang) 3 2 5 3 13
Persentase (%) 23.08 15.38 38.46 23.08 100.00
Pengalaman Usahatani Lidah Buaya Pengalaman usahatani mempengaruhi tindakan atau manajemen petani dalam mengelola usahataninya. Rata-rata petani responden memiliki pengalaman usahatani lidah buaya selama 3.28 tahun. Rata-rata pengalaman petani dalam usahatani lidah buaya pada kedua metode berbeda, dimana pada petani metode herbisida rata-rata memiliki pengalaman usahatani lidah buaya selama 3.74 tahun dan pada petani metode manual memiliki pengalaman selama 2.56 tahun. Tabel 5 menampilkan pengalaman petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor dalam melakukan usahatani lidah buaya. Table 5 Karakteristik pengalaman usahatani lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Pengalaman usahatani lidah buaya (tahun) 1.10-2.00 2.10-3.00 3.10-4.00 >4.00 Total
Herbisida Jumlah (orang) 1 4 1 2 8
Persentase (%) 12.50 50.00 12.50 25.00 100.00
Manual Jumlah (orang) 3 1 1 0 5
Persentase (%) 60.00 20.00 20.00 0.00 100.00
Total Petani Jumlah (orang) 4 5 2 2 13
Persentase (%) 30.77 38.46 15.38 15.38 100.00
Status Usahatani Petani yang menjadi responden pada umumnya menjadikan usahatani lidah buaya tidak sebagai pekerjaan utama, terlihat dari persentasenya dimana sebesar 69.23 persen petani responden menjadikan usahatani lidah buaya sebagai pekerjaan sampingan. Sedangkan persentase pada masing-masing metode, pada metode herbisida sebesar 62.50 persen dari petani responden menjadikan usahatani lidah buaya sebagai pekerjaan sampingan, sedangkan pada petani metode manual sebesar 80 persen dari petani respondennya menjadikan usahatani lidah buaya sebagai pekerjaan sampingan. Tabel 6 menampilkan karakteristik status usahatani petani lidah buaya di Kabupaten Bogor.
21 Tabel 6 Karakteristik status usahatani petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Status Usahatani Utama Sampingan Total
Herbisida Jumlah (orang) 3 5 8
Persentase (%) 37.50 62.50 100.00
Manual Jumlah (orang) 1 4 5
Persentase (%) 20.00 80.00 100.00
Total Petani Jumlah (orang) 4 9 13
Persentase (%) 30.77 69.23 100.00
Luas Lahan Garapan Luas lahan yang dimiliki oleh petani responden beragam mulai dari luas lahan yang paling kecil 0.08 ha sampai terbesar 2 ha. Luas lahan yang dimiliki oleh petani responden lidah buaya metode herbisida dari luas lahan yang paling kecil 0.10 ha sampai terbesar 1 ha. Sedangkan untuk petani responden metode manual dari luas lahan paling kecil 0.08 ha sampai terbesar 0.50 ha. Rata-rata luas lahan garapan petani responden seluas 0.56 ha. Jika dirata-rata luas lahan garapan pada masing-masing metode penyiangan yaitu rata-rata luas lahan garapan pada petani metode herbisida seluas 0.79 ha dan pada petani metode manual seluas 0.21 ha. Luas lahan garapan paling banyak yang dimiliki per petani antara 0.10 sampai 1.00 ha, mencapai 61.54 persen dari total petani responden. Tabel 7 menunjukan sebaran petani responden berdasarkan luas lahan garapan. Tabel 7 Karakteristik luas lahan garapan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Luas Lahan Garapan (Ha) < 0.10 0.10-0.59 0.60-1.00 >1.00 Total
Herbisida Jumlah (orang) 0 4 2 2 8
Persentase (%) 0.00 50.00 25.00 25.00 100.00
Manual Jumlah (orang) 1 4 0 0 5
Persentase (%) 20.00 80.00 0.00 0.00 100.00
Total Petani Jumlah (orang) 1 8 2 2 13
Persentase (%) 7.69 61.54 15.38 15.38 100.00
Status Kepemilikan Lahan Status kepemilikan lahan petani responden pada kedua metode berdasarkan hasil wawancara menunjukkan ada dua kategori, yaitu petani pemilik lahan sendiri dan lahan sewa. Sebanyak 76.92 persen petani responden mengusahakan usahatani lidah buayanya pada lahan sewa. Berdasarkan observasi di lapang dan wawancara dengan petani, kebanyakan petani mengusahankan tanaman lidah buaya di lahan sewa karena usahatani lidah buaya dapat dilakukan pada lahan yang tidak ada saluran irigasinya, dan lahan-lahan yang tidak ada saluran irigasinya yang saat ini menjadi lahan usahatani lidah buaya sebelumnya tidak diusahakan petani lain untuk bercocok tanam. Tabel 8 menunjukan karakteristik responden berdasarkan status kepemilikan lahan.
22 Tabel 8 Karakteristik status kepemilikan lahan petani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Status Kepemilikan Lahan Sendiri Sewa Total
Herbisida Jumlah (orang) 1 7 8
Persentase (%) 15.50 87.50 100.00
Manual Jumlah (orang) 2 3 5
Persentase (%) 40.00 60.00 100.00
Total Petani Jumlah (orang) 3 10 13
Persentase (%) 23.08 76.92 100.00
HASIL DAN PEMBAHASAN Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) dan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya Keterkaitan ke Belakang (Backward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya Keterkaitan ke belakang (Backward Linkage) menjelaskan performa keterkaitan ke belakang (Backward Linkage) pada usahatani lidah buaya dengan pengadaan saran produksi atau input yang dibutuhkan dalam melakukan produksi. Beberapa input yang diperlukan dalam kegiatan usahatani lidah buaya diantaranya bibit, lahan, pupuk, obat-obatan, tenaga kerja, serta alat-alat pertanian untuk pengolahan, perawatan dan pemanenan. Backward Linkage akan memiliki performa yang baik jika petani dengan mudah dapat mengakses dan memperoleh input-input yang dibutukan. Lahan merupakan salah satu faktor produksi yang berfungsi sebagai tempat budidaya lidah buaya. Dari 13 petani responden lidah buaya, 10 petani melakukan usahatani lidah buaya di lahan sewa dan tiga petani melakukan dilahan milik pribadi. Biaya sewa atas lahan yang digarap petani memiliki besaran yang berbeda-beda tergantung harga yang berlaku di masing-masing wilayah dan akses untuk menjangkau lahan tersebut. Harga sewa lahan di wilayah Kecamatan Kemang khususnya di wilayah Perumahan Kahuripan sebesar Rp300/m2 per tahun, harga tersebut berlaku jika petani langsung melakukan transaksi dengan pihak pengelola perumahan. Harga sewa berbeda lagi jika petani melakukan transaksi dengan sesama petani harganya bisa mencapai Rp1 000/m2 per tahun. Selain itu petani juga memiliki perjanjian tertulis dengan pihak pengelola perumahan yaitu jika sewaktu-waktu pihak pengelola perumahan berencana membangun di atas tanah yang disewakan maka petani harus bersedia menyerahkan lahan sewaannya kepada pihak pengelola. Sedangkan petani yang menyewa di wilayah yang lain yaitu Kecamatan Ciseeng petani penyewa memiliki perjanjian dengan yang menyewakan mengenai lama waktu sewa lahan dan harganya. Bibit merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi lama atau tidaknya lidah buaya dapat dipanen. Bibit lidah buaya yang ditanam oleh semua petani lidah buaya di Kabupaten Bogor adalah jenis Aloe vera chinensi, alasan petani memilih menanam jenis Aloe vera chinensi karena peluang pasarnya yang bagus dan petani yang lainnya juga menanam jenis tersebut. Akses petani dalam mendapatkan bibit lidah buaya relatif mudah, karena setiap 2 bulan sekali petani
23 yang lidah buayanya sudah berproduksi akan melakukan penjarangan anakan. Harga bibit lidah buaya di pasaran tergantung dari ukuran bibit, jika ukuran bibit 25 cm, maka harga bibit sebesar Rp2 500. Tenaga kerja yang digunakan dalam usahatani lidah buaya dibagi menjadi dua jenis, yaitu Tenaga Kerja Dalam Keluarga (TKDK) dan Tenaga Kerja Luar Keluarga (TKLK). Berdasarkan hasil di lapang selama penelitian, petani menggunakan TKDK dan TKLK laki-laki. Penggunaan TKLK laki-laki dikarenakan, pekerja laki-laki dapat bekerja lebih lama dan dapat memperoleh hasil kerja yang banyak. Penggunaan TKLK laki-laki mulai dari penyiapan lahan, pengolahan lahan, penanaman, perawatan dan pemanenan. Pupuk dan obat-obatan merupakan input yang sangat penting dan dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan lidah buaya sehingga dapat berdampak kepada hasil panen. Petani lidah buaya di Kabupaten Bogor semuanya menggunakan pupuk kandang yang berupa kotoran domba dan sebagian petani menggunakan obat herbisida dengan merek dagang Round-Up untuk pengendalian gulma di lahan. Petani relatif mudah dalam mendapatkan pupuk kandang kotoran domba, petani dapat membeli ke penduduk yang memiliki peternakan domba di desa yang berada di sekitar lahan pembudidayaan lidah buaya. Petani lebih memilih penggunakan pupuk kandang dari kotoran domba daripada pupuk kimia dikarenakan pupuk kandang lebih tahan lama dalam menyuburkan tanah sehingga pertumbuhan lidah buaya bisa baik dan pada waktu musim kemarau penurunan berat pelepah lidah buaya tidak terlalu signifikan. Sedikit kendala yang dihadapi petani dalam pengadaan pupuk kandang yaitu petani harus selektif dalam membeli pupuk kandang kotoran domba, karena ada pedagang nakal yang mencampur pupuk kandang dengan tanah dan sampahsampah. Petani dalam penyiangan gulma di lahan ada dua jenis, yang pertama menggunakan herbisida dengan merek dagang Round-Up dan penyiangan dengan manual. Alat-alat pertanian yang umumnya digunakan petani dalam usahatani lidah buaya berupa cangkul, garbu, parang, semprotan (hand sprayer), ember, pisau, koret, ember besar/drum, batu asah, gerobak sorong, timbangan dan terpal. Daya tahan alat berbeda-beda tergantung dari jenis alatnya, perawatan dan intensitas penggunaan. Alat-alat yang sering digunakan antara lain cangkul, pisau, parang, koret memiliki daya tahan 2 sampai 5 tahun. Pada umumnya alat-alat pertanian dapat diperoleh di toko-toko alat pertanian. Tidak semua petani dapat mencukupi alat-alat yang diperlukan dalam usahatani lidah buaya, seperti cangkul, parang dan garpu. Pekerja yang dipekerjakan biasanya membawa alat sendiri untuk menunjang pekerjaan yang dilakukan. Secara keterkaiatan ke belakang (backward linkage) pada usahatani lidah buaya secara keseluruhan memiliki performa yang baik dimana petanai dengan mudah dapat mengakses dan memperoleh faktor-faktor produksi yang dibutuhkan dalam usahatani lidah buaya. Meskipun dalam hal akses dan cara mendapatkanya yang mudah untuk faktor-faktor prduksi, namun perlu adanya pengawasan dan standar mutu dan ukuran pupuk kandang kotoran domba. Keterkaitan ke Depan (Forward Linkage) pada Usahatani Lidah Buaya Keterkaitan ke depan (Forward Linkage) menjelaskan performa keterkaitan ke depan (Forward Linkage) sistem usahatani lidah buaya dengan kegiatan pasca
24 panen mencakup kegiatan pemasaran dan pengolahan. Petani lidah buaya di Kabupaten Bogor menjual hasil panennya ada beberapa saluran pemasaran. Petani ada yang menjual melalui tengkulak, langsung ke pabrik ada juga yang langsung ke pengolahan rumah tangga. Namun yang paling sering petani melakukan menjual hasil panennya melalui tengkulak. Hasil dari wawancara dengan masingmasing petani diketahui bahwa sebanyak sepuluh petani responden menjual hasil panennya kepada tengkulak. Sedangkan tiga petani lainnya langsung menjual ke pabrik tanpa perantara tengkulak. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden hanya sebanyak 41.15 persen petani (6 petani) yang selama tahun 2014 pernah menjual kepihak supermarket baik lewat tengkulak atau jaringan supermarket. Mekanisme penjualan ke supermarket, petani menunggu pesanan dari pihak tengkulak atau individu pembeli, serta jumlah yang dibutuhkan juga tidak pasti. Kendala yang dihadapi petani jika menjual ke tengkulak mendapatkan harga yang lebih rendah jika dibandingkan menjual langsung ke pihak supermarket atau pabrik, hal tersebut mengindikasikan petani tidak memiliki kekuatan tawar atau kekuatan tawar petani lemah. Berdasarkan hasil wawancara dengan beberapa tengkulak, kebutuhan pabrik pengolahan setiap bulannya bisa mencapai 100 ton, sedangkan saat ini kebutuhan pabrik hanya terpenuhi setiap bulannya sebesar 40 sampai 60 ton. Saat ini yang aktif membeli hasil panen pelepah lidah buaya petani di Kabupaten Bogor ada dua pabrik, salah satunya yaitu CV. Zio Nutri Prima yang bertempat di Jakarta. Hal tersebut mengindikasikan peluang pasar yang masih besar dan menjanjikan. Hasil penelian menunjukkan hal yang beberbeda dengan penelitian Nugraha (2008) dan Adhiana (2005) dimana pada saat diadakan penelitian petani kesulitan dalam hal pemasaran hasil panen yang berakibat petani tidak dapat memanen hasil panen secara teratur. Sulitnya memasarkan hasil panen lidah buaya juga dirasakan oleh petani lidah buaya yang berada di sentra lidah buaya di Pontianak, hal tersebut terlihat dari hasil penelitian Kurniawan (2010) dan Yurisinthae (2010), petani lidah buaya di Pontianak mengalami kesulitan pemasaran hasil panennya sehingga berdampak kepada penurunan produksi dan luas lahan sejak tahun 2005 sampai 2009. Sulitnya memasarkan hasil panen lidah buaya di Kabupaten Bogor pada waktu itu juga diperkuat oleh hasil wawancara dengan salah seorang petani, pada awal tahun 2007 sampai 2010 petani mengalami kesulitan pemasaran sehingga memaksa petani untuk mengganti sebagian lahan yang ditanami lidah buaya dengan komoditas lainya. Namun sejak pertengahan tahun 2010 permintaan lidah buaya mulai ada meskipun masih dalam jumlah kecil. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala UPT Pertanian Kecamatan Ciseeng dan diperkuat dengan hasil wawancara dengan salah satu petani lidah buaya bahwa pada tahun 2000 pernah ada pabrik dengan nama PT. Niramas yang beroprasi dalam pengolahan pelepah lidah buaya menjadi nata de aloe vera . Namun karena kekurangan bahan baku, pabrik tersebut pindah ke Pontianak untuk mendekati sentra produksi lidah buaya. Kepindahan pabrik tersebut mengakibatkan hasil panen pelepah lidah buaya tidak ada yang menampung karena petani belum mempunyai pasar yang jelas untuk menjual hasil panennya pada waktu itu. Dengan kejadian tersebut petani merasa kecewa dan membongkar tanaman lidah buaya dan menggantinya dengan komoditas yang lain. Berdasarkan hasil wawancara dengan Kepala UPT Pertanian Kecamatan Ciseeng, pengolahan lidah buaya di tingkat ibu-ibu KWT belum berjalan dengan
25 baik. Berdasarkan informasi dari beliau bahwa pernah diadakan pelatihan pembuatan aneka olahan dari lidah buaya kepada ibu-ibu KWT di Kecamatan Ciseeng, sempat berjalan usaha pembuatan minuman dari pelepah lidah buaya tetapi tidak bertahan lama. Olahan yang dapat dibuat oleh ibu-ibu KWT dari pemanfaatan pelepah lidah buaya sangat beragam, seperti yang dilakukan oleh ibu-ibu KWT Matahari yang berada di daerah Jakarta. Produk KWT Matahari yang berasal dari olahan lidah buaya antara lain krupuk lidah buaya, onde-onde lidah buaya, minuman ekstrak lidah buaya. KWT Matahari mengambil bahan baku pelepah lidah buaya dari salah satu petani metode herbisida di Kabupaten Bogor. Pengolahan pelepah lidah buaya yang ada saat ini di Kabupaten Bogor masih sangat sedikit, pada tahun 2015 ada produk minuman dari olahan pelepah lidah buaya dengan merek dagang Aloe Jr dan selain itu pengolahan rumah tangga hanya mengolah pelepah lidah buaya untuk campuran es cincau, informasi ini didapat dari petani yang mempunyai langganan pembeli yang mempunyai usaha es cincau. Keragaan Usahatani Lidah Buaya Kegiatan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor sebenarnya sudah dilakukan sejak lama hal tersebut terlihat dari hasil penelitian Adhiana (2005) dan Nugraha (2008), dimana Kabupaten Bogor pernah dicanangkan sebagai tempat pengembangan komoditas lidah buaya di Provinsi Jawa Barat. Namun yang terlihat di lapangan petani yang menanam lidah buaya saat ini merupakan petani baru, hal ini tercermin dari rata-rata umur tanaman lidah buaya yang dibudidayakan rata-rata berumur 3.28 tahun, dimana umur rata-rata lidah buaya petani responden metode herbisida sekitar 3.75 tahun sedangkan rata-rata umur tanaman lidah buaya petani responden metode manual sekitar 2.75 tahun. Keragaan usahatani lidah buaya dikaji untuk mengetahui gambaran tentang kegiatan usahatani lidah buaya di lokasi penelitian. Keragaan yang dijelaskan berupa penggunaan input, teknik budidaya dan hasil output dari kegiatan usahatani lidah buaya. Penelitian ini dilakukan pada petani yang melakukan panen minimal satu tahun, sehingga komponen input dan output dalam kegiatan persiapan lahan, penanaman dan pemeliharaan pada awal penanaman tidak dihitung. Penggunaan Input dan Output Input merupakan faktor produksi yang digunakan dalam usahatani. Input yang digunakan dalam usahatani lidah buaya antara lain bibit, pupuk, herbisida, tenaga kerja, peralatan usahatani dan peralatan lainnya. Perhitungan menggunakan input dilakukan berdasarakan pada penggunaan dalam luasan satu hektar per tahun (tahun 2014), karena tanaman lidah buaya merupakan tanaman tahunan dan saat melakukan penelitian rata-rata umur lidah buaya sudah 3.28 tahun maka input yang digunakan dalam tenaga kerja hanya saat perawatan dan pemanenan selama satu tahun atau pada tahun 2014. Output dalam usahatani lidah buaya meliputi pelepah lidah buaya hasil panen dan anakan. Namun dilapang petani hanya menghasilkan output pelepah lidah buaya dan petani tidak menjual anakan dikarenakan tidak ada permintaan. Output pelepah lidah buaya ada dua jenis yaitu ada pelepah grade A dan grade B. Tidak semua petani menjual hasil panen grade A dikarenakan tidak ada
26 permintaan, sehingga petani kebanyakan melakukan penjualan pelepah grade B. Pendekatan output hasil panen pelepah lidah buaya berdasarkan hasil panen terakhir pada tahun 2014 dan petani melakukan pemanenan berapa kali dalam setahun selain itu juga memperhatikan faktor musim yang dapat mempengaruhi hasil panan. Input Usahatani Lidah Buaya 1.
Bibit Bibit pada lidah buaya diambil dari anakan yang muncul dari tanaman induknya. Anakan yang layak dijadikan bibit berukuran rata-rata dengan panjang minimal 15 sampai 20 cm. Setiap batang induk dapat menghasilkan 5 sampai 8 anakan yang tumbuh di sekeliling tanaman induknya. Semua petani responden lidah buaya yang ada di Kabupaten Bogor menanam bibit lidah buaya jenis Aloe vera chinensi. Jumlah bibit yang ditanam menyesuaikan dengan luasan lahan dan jarak tanam yang dipakai oleh petani. Semakin luas lahan dan semakin rapat jarak tanam yang diterapkan maka akan semakin banyak kebutuhan bibitnya. Rata-rata petani responden menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 meter dan jarak dalam barisnya 0.8 sampai 1 meter, sehingga rata-rata bibit yang digunakan per hektarnya mencapai 10 686 tanaman. Jika berdasarkan metode penyiangannya, petani metode herbisida dalam penanamannya menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 meter dengan jarak dalam barisnya 0.7 sampai 1 meter sehingga per hektar menggunakan bibit rata-rata sebanyak 10 741 tanaman, sedangkan petani metode manual dalam penanamannya menggunakan jarak tanam antar baris atau bedeng 1 sampai 1.2 dengan jarak dalam barisnya 0.8 sampai 1 meter sehingga per hektarnya menggunakan rata-rata bibit sebanyak 10 600 tanaman. Terlihat dari penggunaan jarak tanam pada petani metode herbisida yang lebih rapat mengakibatkan ratarata penggunaan bibit pada petani herbisida lebih banyak dari petani manual. Tabel 9 memperlihatkan jumlah penggunaan bibit lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor. Tabel 9 Penggunaan jarak tanam dan kebutuhan bibit lidah buaya petani lidah buaya di Kabupaten Bogor Metode petani Herbisida Manual Rata-rata petani
2.
Jarak antar baris (meter) 1.00 – 1.20 1.00 – 1.20 1.00 – 1.20
Jarak dalam baris (meter) 0.70 - 1.00 0.80 – 1.00 0.70 – 1.00
Kebutuhan bibit/ ha (tanaman) 10 741 10 600 10 686
Pupuk Pupuk merupakan zat tambahan yang diberikan dengan tujuan meningkatkan kesuburan tanah dan meningkatkan unsur hara yang terkandung dalam tanah sehingga pertumbuhan vegetatif lidah buaya dapat subur sehingga pelepah lidah buaya yang dipanen bisa tebal dan besar. Pupuk yang digunakan dalam usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor menggunakan pupuk kandang yang berasal dari kotoran domba. Pupuk kandang berfungsi untuk menyuburkan tanah dan diberikan pada awal penanaman dan setelah tanam. Pemberian pupuk kandang dalam satu tahun mencapai 2 sampai 6 kali. Petani lebih memilih menggunakan pupuk kandang karena pupuk kandang dalam penyediaan hara
27 untuk tanah lebih awet dan pada saat musim kemarau penurunan bobot lidah buaya tidak terlalu banyak. Rata-rata pupuk kandang yang digunakan oleh seluruh petani lidah buaya per hektar per tahun di Kabupaten Bogor sebesar 43 272.73 kg. Sedangkan rata-rata penggunaan pupuk kandang berdasarkan masing-masing metode yaitu pada petani metode herbisida per hektar per tahun sebesar 40 943.18 kg, sedangkan pada petani metode manual rata-rata penggunaan pupuk kandang per hektar per tahun sebesar 47 000 kg. Gambar 4 memperlihatkan rata-rata penggunaan pupuk kandang pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun.
Dosis Penggunaan Pupuk Kandang (Kg/Ha/tahun)
48000 46000
47000
44000 43272.73
42000 40000
Metode Herbisida Metode Manual
40943.18
Rata-Rata Petani Responden
38000 36000 Pupuk Kandang
Gambar 4 Penggunaan pupuk kandang pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Terlihat pada penggunaan pupuk kandang pada petani lidah buaya metode manual lebih banyak daripada petani metode herbisida. Perbedaan jumlah pupuk total yang digunakan petani dikarenakan, petani dalam memberikan dosis pemupukan sesuai dengan ilmu yang petani dapatkan baik ilmu dari petani yang lainnya, buka maupun internet dan merupakan salah satu dampak dari tidak adanya pendampingan dari pihak penyuluh dalam hal budidaya tanaman lidah buaya kepada petani. Penggunaan pupuk pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor hanya menggunakan pupuk kandang dari kotoran domba, berbeda halnya dengan jenis pupuk yang digunakan oleh petani di daerah Pontianak, petani menggunakan pupuk organik dan pupuk kimia. Pupuk organik yang digunakan adalah pupuk abu yang digunakan untuk menetralkan tanah dan pupuk kimia Urea, KCL dan TSP (Burhansyah, 2002). Menurut Sudiman dalam Yurisinthae et al (2012) menyebutkan biaya terbesar dalam usahatani lidah buaya adalah biaya tenaga kerja dan pengeluaran terbesar kedua pada komponen biaya pemakaian pupuk urea dan abu yang mencapai 21.91 persen. Selain itu berdasarkan penelitian Adhiana (2005), saat diadakan penelitian petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dalam pemupukan menggunakan pupuk kandang dari kotoran ayam sekitar 25 ton per hektar per tahun atau menggunakan pupuk kotoran kambing sekitar 27 ton per hektar per tahun. 3.
Herbisida Herbisida merupakan komponen usahatani yang tidak semua petani responden menggunakan input ini. Herbisida berfungsi untuk penyiangan gulma
28 dengan cara menyemprotkan pada lahan usahatani lidah buaya yang ditumbuhi gulma, penyemprotan menggunakan hand sprayer. Penyemprotan dilakukan degan durasi dua bulan sekali. Jenis herbisida yang digunakan petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor menggunakan merek dagang Round-Up. Ratarata petani responden lidah buaya menggunakan herbisida per hektar per tahun untuk penyiangan gulma sebanyak 17.46 liter. Berdasarkan masing-masing metode, petani metode herbisida menggunakan herbisida per hektar per tahun untuk penyiangan gulma sebanyak 28.37 liter, sedangkan petani metode manual tidak menggunakan herbisida dalam proses penyiangan gulmanya.
Dosis Penggunaan Herbisida (liter/Ha/tahun)
30 25
28.37
20 Metode Herbisida 15
17.46
10
Metode Manual Rata-rata Petani Responden
5 0 0 Herbisida
Gambar 5 Penggunaan herbisida pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 4.
Tenaga Kerja Tenaga kerja merupakan input yang digunakan dalam proses kegiatan usahatani lidah buaya. Tenaga kerja melakukan kegiatan dari mulai pembersihan lahan, pengolahan lahan, pembuatan bedengan, pembuatan lubang tanam, pemupukan, penyulaman, pembubunan, perawatan dan pemanenan. Dalam penelitian ini yang dimasukkan dalam perhitungan tenaga kerja yang diperlukan dalam usahatani lidah buaya hanya tenaga kerja yang digunakan selama setahun dalam proses perawatan usahatani lidah buaya yang sudah berproduksi di wilayah penelitian. Klasifikasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani lidah buaya terbagi menjadi dua yaitu tenaga kerja dalam keluarga (TKDK) dan tenaga kerja luar keluarga (TKLK). Perhitungan tenaga kerja menggunakan standar hari orang kerja (HOK) yaitu 7 jam/HOK. Hari orang kerja dihitung pada setiap proses budidaya yang dilakukan oleh petani. Jam kerja yang digunakan petani dilahan khususnya untuk perawatan tanaman lidah buaya di lahan selama 7 jam kerja, dimana petani mulai kerja pukul 07.30 hingga pukul 11.30 dan dilanjut lagi mulai pukul 13.00 sampai pukul 16.00. Usahatani lidah buaya khususnya dalam hal perawatan dan pemanenan petani menggunakan TKLK laki-laki semuanya dan pada waktu pemanenan ada sebagian TKDK perempuan yang ikut dalam proses pemanenan. Dalam satu minggu, petani atau pekerja hanya bekerja selama 6 hari kerja, dan setiap hari jumat atau minggu pekerja libur. Sehingga dalam penelitian ini menggunakan perhitungan 1 HOK = 1 HKP, dengan 1 HKP = 7 jam kerja pria, sedangkan untuk penyetaraan HKW maka menggunakan asumsi 1 HKW = 0.7 HKP, sehingga 1 HKW = 0.7 HOK. Perhitungan ini sesuai dengan UU No.13
29 tentang ketenagakerjaan pasal 77 ayat 2. Rata-rata penggunaan tenaga kerja baik dari dalam maupun dari luar keluarga per hektar per tahun pada petani metode herbisida, petani metode manual dan rata-rata petani responden dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10 Penggunaan tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 No
Aktivitas
1 Penyiangan Gulma 2 Pemupukan 3 Pembubunan 4 Penjarangan Anakan 5 Pemanenan Total HOK/Ha/Thn
TKDK 0.00 12.54 15.61 7.52 43.72 79.39
HOK/Ha/Tahun Petani Metode Herbisida Manual TKLK TKDK TKLK 22.04 26.83 316.80 129.07 15.26 148.00 146.42 0.00 0.00 33.25 5.03 42.86 183.91 35.97 225.81 514.68 83.08 733.47
Rata-rata Petani Responden TKDK TKLK 10.32 135.41 13.58 136.35 9.61 90.10 6.56 36.94 40.74 200.03 80.81 598.83
Rata-rata penggunaan TKDK pada petani usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor per tahun per hektar sebesar 80.81 HOK dan 598.83 HOK dibutuhkan dari TKLK. Penggunaan HOK terbesar pada TKDK terdapat pada kegiatan pemanenan sebesar 40.74 HOK/ha/tahun, hal ini dikarenakan petani pemilik atau penggarap selain membantu memanen juga melakukan fungsi pengawasan dan penjualan. Sedangkan pada TKLK, HOK terbesar berada pada kegiatan pemanenan yaitu sebesar 200.03 HOK/ha/tahun. Hal ini dikarenakan petani lidah buaya melakukan pemanenan pelepah lidah buaya setiap bulan dan dalam setiap bulan tidak hanya memanen sebanyak satu kali saja, namun bisa mencapai dua sampai empat kali tergantung permintaan dari pembeli. Penggunaan metode yang berbeda berdampak kepada curahan tenaga kerja pada masing-masing aktivitas pada kedua metode tidak sama dan total penggunaan tenaga kerja baik TKDK dan TKLK juga tidak sama. Pada usahatani lidah buaya metode herbisida, rata-rata penggunaan TKDK dan TKLK yaitu 79.39 HOK/ha/tahun dan 514.68 HOK/ha/tahun. Penggunaan HOK terbesar pada TKDK maupun TKLK terdapat pada kegiatan pemanenan, kedua terbesar pada kegiatan pembubunan, ketiga terbesar pada kegiatan pemupukan, terbesar keempat pada kegiatan penjarangan anakan dan paling kecil penggunaan HOKnya pada kegiatan penyiangan gulma. Penggunaan HOK yang kecil pada kegiatan penyiangan gulma pada petani metode herbisida dikarenakan petani metode herbisida menggunakan cairan herbisida untuk mengendalikan gulma di lahan. Pada usahatani lidah buaya metode manual, rata-rata penggunaan tenaga kerja TKDK dan TKLK yaitu 83.08 HOK/ha/tahun dan 733.47 HOK/ha/tahun. Penggunaan HOK terbesar pada TKDK pada kegiatan pemanenan, sedangkan TKLK pada kegiatan penyiangan gulma. Terbesar kedua penggunaan TKDK pada kegiatan penyiangan gulma, sedangkan TKLK pada kegiatan pemupukan. Terbesar ketiga penggunaan TKDK maupun TKLK pada kegiatan pemupukan. Terbanyak keempat baik TKDK maupun TKLK pada kegiatan penjarangan anakan. Petani metode manual tidak melakukan kegiatan pembubunan karena sudah dilakukan bebarengan dengan proses penyiangan.
30 5.
Peralatan Usahatani Alat-alat pertanian yang sering digunakan dalam usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor antara lain cangkul, parang, garpu, koret, batu asah, daruk, hand spreyer, pisau, ember, gentong, timbangan atau dacin, terpal dan gerobak sorong. Namun tidak semua petani pada kedua metode tersebut mempunyai alat-alat pertanian tersebut seperti gentong. Tidak semua petani baik metode manual maupun herbisida menggunakan gentong. Gentong digunakan untuk mencacah lidah buaya yang cacat atau rusak untuk dijadikan pupuk cair organik atau digunakan untuk penampungan air di lahan garapan, hand spreyer hanya dimiliki oleh petani metode herbisida saja untuk melakukan penyiangan gulma. Petani tidak selalu membeli alat-alat pertanian tersebut pada setiap tahunnya, dikarenakan alat-alat tersebut masih dapat digunakan. 6.
Perlengkapan Tambahan Usahatani lidah buaya memerlukan beberapa perlengkapan tambahan pada proses pasca panen. Perlengkapan tambahan yang dibutuhkan adalah koran bekas dan karung. Koran bekas digunakan untuk membungkus pelepah lidah buaya yang akan di jual ke supermarket sedangkan karung digunakan untuk membawa hasil panen lidah buaya dari lahan ke pengumpulan. Karung masuk dapal perlengkapan dikarenakan penggunaan karung akan habis dalam waktu satu tahun. Karung perlu diganti setiap tahunnya karena karung digunakan untuk proses pemanenan, dan jika karung terus menerus terkena getah dari lidah buaya maka akan cepat rapuh Rata-rata penggunaan koran bekas (kg) dan karung (biji) per hektar per tahun dapat dilihat pada Gambar 6. 35 Kebutuhan Koran Pembungkus (Unit/ha/Tahun)
30
32.4
25
26.9
20
21.76
15 10
Metode Manual
17.72 12
Metode Herbisida
14.41
Rata-rata Petani Responden
5 0 Koran Pembungkus
Gambar 6
Karung
Penggunaan peralatan tambahan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014
Kebutuhan koran pembungkas yang berbeda pada kedua metode usahatani lidah buaya tersebut karena tidak semua petani bisa menjual lidah buaya grade A nya ke pihak supermarket. Sebanyak 6 orang dari total petani responden bisa menjual grade A ke pihak supermarket, dimana tiga petani dari metode herbisida dan tiga petani dari metode manual. Tujuh petani lainnya menjual hasil panennya ke pihak pabrik yang dalam proses pasca panennya tidak memerlukan koran untuk membungkus pelepah lidah buaya hasil panennya.
31 Teknik Budidaya Keragaan usahatani lidah buaya baik metode herbisida maupun manual di Kabupaten Bogor dijelaskan juga tentang teknik atau kegiatan budidaya yang dilakukan. Kegiatan budidaya merupakan aspek yang perlu diperhatikan agar dapat menghasilkan kualitas dan kuantitas hasil panen yang baik. Kegiatan budidaya lidah buaya yang dilakukan petani responden di Kabupaten Bogor secara umum sama, meliputi tahap pengolahan lahan, pembuatan lubang tanam, penanaman, pemeliharaan dan pemanenan. Hanya perbedaan yang sangat mencolok pada tahap perawatan tanaman lidah buaya, dimana dalam proses penyiangan gulma ada dua metode yang digunakan yaitu metode dengan menyemprotkan herbisida dan metode secara manual. Pada metode herbisida petani menggunakan obat herbisida untuk membersihkan lahannya dan pada petani manual menggunakan alat koret, cangkul dan daruk untuk membersihkan rumputnya. Dengan adanya perbedaan metode tersebut dalam kegiatan budidaya usahatani lidah buaya mengakibatkan perbedaan biaya yang harus di keluarkan oleh petani. Dari hasil pengamatan lapang dan wawancara dengan petani, selama ini petani tidak mendapatkan wawasan atau penyuluhan mengenai budidaya lidah buaya yang baik dan benar dari dinas terkait. Petani mendapatkan ilmu cara bercocok tanam lidah buaya melalui membaca buku, informasi internet dan petani yang terlebih dahulu telah menanam lidah buaya. 1.
Penyiapan Lahan Secara umun baik petani yang menggunakan metode herbisida maupun manual dalam penyiapan lahan harus memilih lahan yang subur, kaya akan bahan organik, gembur dan memiliki drainase yang baik. Tanah yang akan ditanami lidah buaya minimal harus memiliki lapisan tanah yang paling atas harus subur, dikarenakan perakaran tanaman lidah buaya yang pendek. Rata-rata pengusaan lahan petani responden metode herbisida seluas 0.79 ha sedangkan petani responden metode manual luas rata-rata lahannya seluas 0.21 ha. 2.
Pembersihan Lahan Pembersihan lahan merupakan proses yang paling pertama kali petani lakukan, yaitu dengan cara melakukan pembukaan lahan dengan cara menyemprot rumput-rumput liar yang ada dilahan dan pendongkelan tanaman liar yang ada di lahan. Penyemprotan rumput bertujuan untuk mempermudah pengolahan lahan dan perawatan tanaman nantinya. Baik petani responden metode herbisida maupun manual dalam pembersihan lahan pertama kali sebelum melakukan pengolahan lahan, mereka menggunakan obat semprot herbisida untuk mematikan rumput yang ada di lahan. Dalam melakukan proses penyemprotan, petani menggunakan herbisida dengan merek dagang Round-Up. Petani dalam melakukan penyemprotan dilakukan pada waktu sinar matahari bersinar cerah atau tidak mendung, tujuannya agar obat herbisida yang disemprotkan dapat bereaksi dengan maksimal. Dalam satu hektar lahan baik petani metode herbisida maupun manual menggunakan 6 sampai 10 liter cairan herbisida. Petani menunggu sekitar satu minggu baru dilanjutkan keproses pengolahan lahan.
32 3.
Pengolahan Tanah Proses selanjutnya yaitu mengolah tanah dengan cara membalikkan tanah dengan traktor atau cangkul. Tujuan pengolahan tanah yaitu untuk menggemburkan tanah agar mempermudah untuk pembuatan bedengan dan lubang tanam. Dalam pengerjaannnya, petani baik metode manual maupun herbisida menggunakan tenaga kerja borongan, dengan upah per 1 000 m2 sebesar Rp1 000 000 sampai Rp1 500 000. Harga tersebut sudah termasuk pembersihan lahan seperti pendongkelan dan penyemprotan. 4.
Pembuatan Bedengan Tujuan dari pembuatan bedengan yaitu untuk tempat menanam lidah buaya dan mengatur drainase di lahan saat musim penghujan agar tanaman lidah buaya tidak tergenang oleh air. Tinggi bedengan sekitar 20 sampai 25 cm dan lebar dan panjang bedengan disesuaikan dengan jarak tanam. Jarak tanam pada petani metode herbisida yaitu dalam barisan berjarak 0.70 sampai 1.00 meter dan jarak antar baris atau bedengan 1.00 sampai 1.20 meter, sedangkan pada petani metode manual jarak tanaman dalam baris 0.80 sampai 1.00 meter dan jarak antar baris atau bedeng 0.80 sampai 1.00 meter. 5.
Pembuatan Lubang Tanam dan Pemupukan Dasar Setelah bedengan selesai dibuat, petani membuat alur penanaman dan membuat lubang tanam dengan kedalaman 10 sampai 15 cm. Petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor dalam penanaman menggunakan jarak tanam yaitu antar baris 1 sampai 1.2 meter dan jarak dalam barisan 0.7 sampai 1 meter. Setelah pembuatan lubang tanam selesai selanjutnya petani memberikan pupuk pada masing-masing lubang. Sehingga populasi rata-rata per hektar bisa mencapai 10 686 tanaman. Berdasarkan penelitian Nugraha (2008) dan Adhiana (2005) petani menggunakan jarak tanam antar baris 1 x 1 meter dan jarak dalam baris 0.8 sampai 1 meter sehingga populasi tanaman per hektar pada waktu diadakan penelitian di Kabupaten Bogor mencapai 10 000 tanaman. Pemupukan dasar dilakukan oleh kedua petani responden metode herbisida maupun manual dengan tujuan untuk memberikan sumber makanan kepada bibit yang baru ditanam. Petani menggunakan pupuk kandang dari kotoran domba sebagai pupuk dasar. Satu lubang tanam diberi 1 kg pupuk kandang. Setelah pemberian pupuk, petani akan membiarkan selama kurang lebih 3 sampai 4 hari, selanjutnya petani melakukan penanaman bibit. Tujuan pupuk dibiarkan di lahan selama 3 sampai 4 hari, agar menetralisir suhu pupuk menjadi netral. 6.
Penanaman Penanaman bibit lidah buaya dengan cara memasukkan bibit ke lubang tanam yang telah dibuat dan diberi pupuk dasar. Jarak tanam yang diterapkan petani responden baik metode herbisida dan manual yang tidak terlalu jauh berbeda berdampak rata-rata jumlah populasi tanaman lidah buaya per hektar antar kedua metode juga tidak jauh berdeda meskipun petani lidah buaya metode herbisida lebih banyak. Rata-rata populasi tanaman dalam 1 ha pada petani metode herbisida sebanyak 10 741 tanaman, sedangkan pada petani metode manual rata-rata mencapai 10 600 tanaman. Secara keseluruhan petani responden, rata-rata populasi tanaman per hektar mencapai 10 686 tanaman.
33 7.
Penyulaman Setelah melakukan penanaman yang perlu diperhatikan adalah kondisi lahan dan pertumbuhan bibit yang baru ditanam. Jika penanaman dilakukan pada musim penghujan, petani perlu memperhatikan sistem drainase pada lahan dan merapikan lahan jika terdapat genangan air di sekitar bibit. Sedangkan jika penanaman dilakukan pada musim kemarau, petani harus menjaga ketersediaan air bagi bibit lidah buaya dengan cara melakukan penyiraman air. Selama dalam proses pemeliharaan, petani memantau pertumbuhan bibit lidah buaya. Petani melakukan penggantian bibit baru jika ada bibit yang mati atau terserang cendawan. Petani perlu segera melakukan pergantian bibit, dikarenakan jika bibit pengganti dengan segera ditanam maka akan dapat dengan cepat menyesuaikan pertumbuhan dengan bibit yang telah terlebih dahulu ditanam. Penyiangan Gulma Pemeliharaan yang rutin dilakukan petani setelah masa tanam maupun saat tanaman lidah buaya sudah berproduksi adalah penyiangan gulma. Penyiangan gulma perlu dilakukan karena pertumbuhan tanaman lidah buaya akan terganggu dengan adanya gulma, sehingga pertumbuhan pelepah lidah buaya tidak maksimal. Selain itu jika gulma pada tanaman lidah buaya terlalu lebat, akan menarik hama baru yaitu bekicot. Penyiangan gulma rutin dilakukan dua bulan sekali oleh petani pada kedua metode penyiangan baik herbisida maupun manual. Penggunaan pupuk kandang dari domba sedikit banyak membawa bibit rumput di lahan lidah buaya. Dalam melakukan proses penyiangan gulma, berdasarkan hasil wawancara dengan petani yang ada di Kabupaten Bogor diketahui bahwa dalam penyiangan gulma petani ada yang menggunakan metode menyemprotkan cairan herbisida dan ada yang menggunkan metode manual. Dalam pengaplikasiannya, petani dengan metode herbisida menggunakan obat herbisida dengan merek dagang Round-Up dan alat yang digunakan untuk melakukan penyemprotan adalah hand sprayer. Sedangkan bagi petani yang menggunakan metode manual, petani menggunakan alat-alat seperti cangkul, koret dan daruk untuk membersihkan rumput sekalian membersihkan baris antar bedengan dan merapikan bedengan dengan cara menaikkan tanah. Sebanyak delapan petani responden menggunakan metode penyemprotan dengan herbisida dan lima petani responden menggunakan metode manual. Pembersihan rumput dilakukan oleh petani pada kedua metode dengan durasi waktu dua bulan sekali, hal ini dengan pertimbangan supaya rumput tidak terlalu banyak dan masih dapat dikontrol. Alasan petani menggunakan metode manual karena kelima petani tersebut rata-rata penguasaan lahannya relatif sempit (luas rata-rata 0.21 ha) dan petani masih takut untuk melakukan penyemprotan herbisida, karena petani responden metode manual masih beranggapan penyemprotan herbisida dapat mengganggu pertumbuhan tanaman lidah buaya. 8.
Pemupukan Pemupukan rutin dilakukan oleh petani sebanyak 2 sampai 6 kali per tahun, tujuan dari pemupukan adalah pemberian nutrisi pada lidah buaya agar pertumbuhan lidah buaya dapat maksimal. Petani baik metode herbisida maupun petani manual dalam pemupukan menggunakan pupuk kandang kotoran domba. Pemilihan kotoran domba sebagai pupuk karena kotoran domba lebih awet dan
9.
34 saat tidak turun hujan penyusutan bobot pelepah lidah buaya tidak terlalu banyak dan warnanya juga tidak terlalu kemerahan. Petani lidah buaya metode manual rata-rata penggunaan pupuk dalam 1 ha lebih banyak dari petani herbisida, hal ini dikarenakan rata-rata penguasaan lahan garapan metode manual lebih sedikit dari petani metode herbisida, sehingga penggunaan petani metode manual yang sekarang jika di kalkulasikan ke dalam hitungan hektar akan lebih besar. Selain karena faktor kalkulasi ke ukuran hektar, juga pengaruh dari pengetahuan yang dimiliki oleh petani yang berbeda-beda. 10.
Penjarangan Anakan Penjarangan anakan perlu dilakukan oleh kedua metode penanaman baik herbisida maupun manual, karena jika anakan di sekitar tanaman induk tidak diambil akan menjadi beban bagi induknya dan menghambat pertumbuhan induknya. Dampak jika anakan tidak diambil, pertumbuhan pelepah lidah buaya tidak maksimal ditandai dengan pelepah lidah buaya cenderung kecil-kecil dan tipis. Anakan sudah mulai tumbuh sekitar 5 sampai 6 bulan setelah penanaman. Anakan yang diambil bisa digunakan untuk bibit, namun saat ini yang terjadi baik petani herbisida maupun manual mambuang anakan lidah buaya karena tidak ada permintaan untuk bibit. Setelah berproduksi, baik petani metode herbisida maupun manual melakukan penjarangan anakan dua bulan sekali. Rata-rata pada petani metode manual melakukan proses penjarangan anakan 5.2 kali dalam satu tahun sedangkan pada petani metode manual melakukan peroses penjarangan anakan 4.75 kali dalam satu tahun. 11.
Pembubunan Pembubunan dilakukan oleh petani responden kedua metode dengan tujuan untuk menaikkan tanah yang berada di sekitar bedengan dan menutupi batang lidah buaya agar merangsang pertumbuhan akar, menggemburkan tanah dan memperkokoh berdirinya tanaman. Pada petani metode manual pembubunan dilakukan bebarengan saat melakukan penyiangan gulma sedangkan pada petani metode herbisida petani melakukan pembubunan tiga bulan sekali, sehingga petani manual tidak memerlukan tambahan tenaga kerja dalam melakukan pembubunan karena sudah tergabung dalam proses penyiangan. 12.
Pemanenan Tanaman lidah buaya dapat dilakukan pemanenan pertama pada umur 9 sampai 12 bulan setelah tanam atau melihat perkembangan dan pertumbuhan tanaman, jika ukuran pelepah sudah sesuai dengan permintaan pasar pemanenan sudah dapat dilakukan. Pemanenan dapat dilakukan sebanyak 1 sampai 2 kali dalam 1 bulan. Pemanenan dilakukan dengan mengambil 1 sampai 2 pelepah lidah buaya yang paling bawah dengan cara melukai pinggir pelepah dengan pisau lalu disobek. Namun dalam satu tahun hanya bisa melakukan panen sebanyak 8 sampai 9 kali panen karena terkendala saat musim kemarau. Berdasarkan wawancara dengan para petani, saat musim kemarau yang berlangsung selama 3 sampai 4 bulan berdampak pada penurunan hasil panen, sehingga dalam waktu tersebut petani hanya dapat memanen sebanyak 1 kali panen dengan penurunan hasil panen mencapai 30 sampai 50 persen dari hasil panen saat musim penghujan. Saat musim hujan rata-rata hasil panen pelepah lidah buaya petani responden
35 dalam luasan 1 ha mencapai kurang lebih sebesar 9 679.46 kg, sedangkan jika berdasarkan metodenya, petani metode herbisida 9 523.37 kg dan 9 929.20 kg untuk petani metode manual. Petani melakukan proses grading pada hasil panenan pelepah lidah buaya, sebanyak 6 petani responden melakukan proses grading (3 petani metode herbisida, 3 petani metode manual). Grading pelepah hasil panen lidah buaya digolongkan menjadi dua kelompok yaitu grade A dan grade B. Pelepah yang masuk grade A yaitu pelapah yang memiliki bobot per pelapahnya diatas 0.6 kg. sedangkan pelepah yang masuk grade B yaitu pelepah yang bobot per pelepahnya antara 0.4 sampai 0.6 kg. Pelepah lidah buaya yang masuk garde A, sebelum di jual petani melakukan pembungkusan per pelepah dengan koran bekas. Tujuan pembungkusan koran yaitu agar pelepah tidak mengalami benturan dan goresan sehingga dapat melukai kulit luarnya saat proses pengangkutan. Peremajaan atau Penanaman Kembali Peremajaan pada tanaman lidah buaya dilakukan jika batang lidah buaya sudah terlalu panjang, jarak pangkal pelepah sudah terlalu jauh dengan permukaan tanah dan akar-akar yang ada di atas sudah banyak dan tidak tertutup oleh tanah. Peremajaan pada tanaman lidah buaya dilakukan dengan cara memotong batang untuk memperpendek jarak antar pelepah dengan pangkal akar, tujuannya agar pertumbuhan lidah buaya tidak stagnasi. Sebelum dilakukan pemotongan, tanaman lidah buaya perlu dilakukan pembubunan sampai tumbuh akar pada batang yang akan dipotong. Peremajaan rata-rata dilakukan saat tanaman lidah buaya sudah tidak memungkinkan untuk dilakukan pembubunan karena bedengan sudah terlalu tinggi, rata-rata tanaman lidah buaya sudah berumur lima tahun keatas. Petani lidah buaya di Kabupaten Bogor belum ada yang melakukan peremajaan pada tanaman lidah buayanya secara keseluruhan dengan alasan batang sudah terlalu tua. Secara keseluruhan kegiatan budidaya berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan di lapang, terlihat adanya pengetahuan yang berbeda-beda mengenai tatacara budidaya lidah buaya hal itu terlihat dari perbedaan dosis pupuk yang digunakan antar petani dan durasi pemupukan, cara penyiangan gulma, perbedaan jarak tanam yang berbeda-beda antar petani. Ketidak seragaman cara membudidayakan lidah buaya mempengaruhi penggunaan input dan hasil output petani. 13.
Output Usahatani Lidah Buaya Output usahatani lidah buaya adalah hasil panen pelepah lidah buaya dan anakan yang bisa dijual untuk kebutuhan bibit bagi petani yang akan melakukan usahatani lidah buaya yang masih pertama kali. Hasil wawancara dengan petani lidah buaya yang ada di Kabupaten Bogor, petani selama tahun 2014 tidak ada permintaan bibit lidah buaya sehingga output dari usahatani lidah buaya hanya dari hasil panen pelepah lidah buaya. Bobot per pelepah lidah buaya hasil panen berkisar antara 0.40 sampai 1.00 kg. Hasil panen pelepah lidah buaya digolongkan berdasarkan beratnya, penggolongan ini bertujuan untuk penjualan ke supermarket jika ada permintaan, namun dari 13 petani hanya 6 petani yang pada tahun 2014 melakukan penjualan ke supermarket dan jumlahnya juga tidak kontinyu. Kebanyakan petani menjual grade B yaitu dengan berat 0.40 sampai 0.60 kg untuk pasokan ke pabrik. Jika untuk grade A tidak ada permintaan, maka pelepah
36 yang memiliki berat 0.60 keatas juga dijual ke pabrik. Rata-rata hasil panen dan yang dijual petani lidah buaya di Kabupaten Bogor baik metode herbisida maupun metode manual per hektar per tahun dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11 Hasil panen pelepah lidah buaya petani responden di Kabupaten Bogor tahun 2014 Hasil Panen
Petani Metode Herbisida Manual 1 858.39 3 040.00 77 348.62 81 858.12 79 207.01 84 898.12
Grade A (kg/ha/tahun) Grade B (kg/ha/tahun) Total (kg/ha/tahun)
Rata-rata petani responden 2 312.86 79 083.04 81 395.90
Perbedaan output pada metode herbisida dan manual salah satunya di pengaruhi oleh perlakuan petani dalam perawatan tanaman. Dimana pada petani metode manual lebih banyak menggunakan pupuk kompos dan lebih sering melakukan penggemburan tanah bersamaan dengan penyiangan gulma, efek dari kegiatan tersebut yaitu tanah lebih gembur dan perakaran lidah buaya yang bersifat serabut pendek lebih mudah mendapatkan unsur hara dari tanah dan berdampak pada hasil pertumbuhan vegetatif lidah buaya yang lebih bagus dan berdampak pada hasil panen (Arifin, 2015). Selain itu petani metode herbisida yang penguasaan lahannya lebih luas dibandingkan petani metode manual dalam memanen hasilnya tidak dapat optimal jika dibandingkan petani metode manual. Ketidak optimalan pemanenan dikarenakan tidak semua lidah buaya pada petani metode herbisida pertumbuhannya seragam jika dibandingkan lidah buaya milik petani metode manual. Rangkuman Input dan Output Usahatani Lidah Buaya Ilmu petani dalam hal budidaya tanaman lidah buaya yang masih beragam berakibat pada teknik budidaya antar petani juga berfariasi, sehingga berdampak dipenggunaan input pada setiap kegiatan dan akhirnya berpengaruh pada output dari usahatani lidah buaya. Rata-rata penggunaan input dan hasil output pada usahatani lidah buaya akan dilihat signifikasi antara petani lidah buaya yang menggunakan metode penyiangan herbisida dan metode manual dengan menggunakan uji beda Mann-whitney dengan taraf nyata 5 persen. Tabel 12 memperlihatkan faktor-faktor input dan output yang berbeda nyata dan tidak pada petani metode herbisida dan metode manual. Tabel 12 Uji beda Mann-Whitney rata-rata penggunaan input dan hasil output usahatani lidah di Kabupaten Bogor tahun 2014 Komponen
Satuan
Petani Metode Herbisida
Input Bibit Pupuk Herbisida TKDK TKLK TK total 0utput Panen grade A
Tanaman Kg Liter HOK HOK HOK Kg
Signifikasi uji beda
Manual
10 741.07 40 943.18 28.37 79.39 514.68 594.07
10 600.00 47 000.00 0.00 83.08 733.47 816.55
Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata Berbeda nyata Tidak berbeda nyata Berbeda nyata Berbeda nyata
1 858.39
3 040.00
Tidak berbeda nyata
37 Lanjutan uji beda Mann-Whitney rata-rata penggunaan input dan hasil output usahatani lidah di Kabupaten Bogor tahun 2014 Komponen Panen grade B Total panen
Satuan Kg Kg
Petani Metode Herbisida 77 348.62 79 207.01
Manual 81 858.12 84 898.12
Signifikasi uji beda Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata
Terlihat pada Tabel 12 rata-rata penggunaan input dan output usahatani lidah buaya baik petani metode herbisida maupun manual dengan taraf nyata 5 persen dari segi input hanya penggunaan herbisida, tenaga kerja luar keluarga serta total tenaga kerja terlihat signifikan atau berbeda nyata. Artinya berbeda nyata yaitu ada perbedaan secara nyata penggunaan herbisida, tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja total dalam usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor antara petani metode herbisida dengan petani metode manual. Sedangkan penggunaan input bibit, pupuk dan tenaga kerja dalam keluarga tidak berbeda nyata pada taraf 5 persen. Pada hasil output dari hasil panen grade A, grade B dan total panen terlihat tidak berbeda nyata pada taraf nyata 5 persen. Hasil output SPSS dapat dilihat di Lampiran 3. Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya di Kabupaten Bogor Analisis pendapatan usahatani digunakan untuk mengetahui gambaran umum mengenai struktur biaya, penerimaan dan kegiatan usahatani yang sedang dijalankan. Metode yang digunakan dalam melakukan analisis pendapatan usahatani lidah buaya ini adalah dengan cara membandingkan antara pendapatan petani lidah buaya yang menggunakan penyiangan dengan metode manual, petani yang menggunakan metode herbisida serta rata-rata petani secara keseluruhan. Analisis pendapatan usahatani lidah buaya ini menggunakan hasil perhitungan rata-rata dari petani responden metode penyiangan herbisida dan manual serta rata-rata petani secara keseluruhan dengan luasan lahan satu hektar dalam periode satu tahun. Hasil dari analisis pendapatan lidah buaya ini diharapkan dapat menjadi pengetahuan performa usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor baik petani yang menggunakan metode penyiangan dengan metode manual maupun dengan metode herbisida. Penerimaan Usahatani Lidah Buaya Menurut Hernanto (1991) yang dimaksud penerimaan usahatani adalah nilai dari perkalian antara total produksi dengan harga satuan produk usahatani. Berikut ini akan dilakukan analisis terhadap penerimaan usahatani lidah buaya pada petani yang menggunakan metode herbisida dan metode manual. Pelepah lidah buaya yang dipanen oleh petani di lokasi penelitian adalah dua pelepah terbawah dari tanaman lidah buaya. Petani melakukan panen pelepah lidah buaya setiap bulan dengan durasi pengambilan dua minggu sekali atau satu bulan sekali, tergantung berat yang diminta konsumen baik itu dari pabrik atau supermarket. Namun petani dalam satu tahun tidak dapat melakukan panen sebanyak 12 kali, dikarenakan terkendala pada musim kemarau sehingga dalam satu tahun petani hanya melakukan panen sebanyak 8 sampai 9 kali panen. Hasil penen pelepah lidah buaya dibagi menjadi dua kelas (grade), yaitu grade A dan grade B. Pelepah yang termasuk grade A adalah pelepah yang memiliki berat lebih dari 0.6 kg dan
38 masuk penjualan ke supermarket. Pelepah yang masuk ke dalam grade B adalah pelepah yang memiliki berat antara 0.4 sampai 0.6 kg dan penjualannya ke pabrik. Dengan adanya grade pada hasil panen akan mempengaruhi harga hasil panen. Namun jika tidak ada permintaan grade A, petani akan menjual pelepah hasil panennya ke pabrik. Dari hasil wawancara dengan para petani responden pada kedua metode, kebanyakan petani menjual pelepah hasil panen ke pabrik. Penerimaan usahatani masing-masing berbeda. Hal ini dipengaruhi oleh jumlah produksi, saluran pemasaran, penjualan hasil lidah buaya berdasarkan grade, dan harga jual yang diterima. Hasil panen rata-rata grade B petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun sebesar 79 083.04 kg, sedangkan hasil panen lidah buaya jika dihitung berdasarkan metode penyiangannya didapatkan, metode herbisida rata-rata hasil panen grade B per tahun per hektar sebesar 77 348.62 kg, sedangkan pada petani metode manual sebesar 81 858.12 kg. Sedangkan hasil panen rata-rata grade A petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun sebesar 2 312.86 kg, sedangkan hasil panen lidah buaya jika dihitung berdasarkan metode penyiangannya didapatkan, petani metode herbisida rata-rata hasil panen grade A per tahun per hektar sebesar 1 858.39 kg, sedangkan pada petani metode manual sebesar 3 040.00 kg. Perbedaan penerimaan grade A pada kedua metode tersebut dikarenakan jumlah petani metode manual lebih banyak yang menjual hasil panen grade A (3 petani dari 5 petani) daripada petani metode manual (3 petani dari 8 petani). Penerimaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor berdasarkan metode dan rata-rata petani secara keseluruhan per hektar per tahun dapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Penerimaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Komponen Penerimaan Metode herbisida Grade A Grade B Total penerimaan Metode manual Grade A Grade B Total penerimaan Rata-rata petani responden Grade A Grade B Total penerimaan
Jumlah (kg/ha/tahun)
Harga (Rp/kg)
Penerimaan (Rp/ha/tahun)
1 858.39 77 348.62
2 833.33 2 125.00
6 154 375.00 165 763 596.43 171 917 971.43
3 040.00 81 858.12
2 833.33 2400.00
9 400 000.00 194 480 960.00 203 880 960.00
2 312.86 79 083.04
2 833.33 2 230.77
7 402 692.31 176 808 736. 26 184 211 428.57
Harga yang diterima oleh petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor berkisar antara Rp2 000 sampai Rp3 000 per kilogram untuk grade B dan Rp2 500 sampai Rp3 500 per kilogram untuk grade A. Perbedaan harga ini terjadi disebabkan oleh jalur pemasaran yang petani lalui. Rata-rata harga yang diterima petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor untuk grade A sebesar Rp2 833.33 per kilogram dan untuk grade B sebesar 2 230.77 per kilogram. Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden sebanyak 13 petani, diketahui petani yang menjual hasil panen grade A hanya 6 petani (3 petani metode herbisida dan 3 petani metode manual), dari 6 petani tersebut 4 petani
39 penjualannya melalui tengkulak, dan 2 petani menjual hasil panen grade A langsung ke jaringan supermarket. Sedangkan untuk penjualan hasil panen grade B, harga rata-rata yang diterima petani responden sebesar Rp2 230.77 per kilogram. Dari 13 petani responden, petani yang menjual grade B nya ke tengkulak sebanyak 10 petani dan hanya 3 petani yang menjual hasil panen grade B langsung ke pabrik pengolahan (1 petani metode herbisida dan 2 petani metode manual). Tabel 13 menunjukkan bahwa harga yang diterima petani metode manual lebih tinggi, dikarenakan kebanyakan petani metode manual menjual hasil panennya tanpa melewati tengkulak. Berdasarkan Tabel 13, didapatkan hasil bahwa penerimaan rata-rata petani lidah buaya di Kabupaten Bogor dengan luasan satu hektar selama satu tahun sebesar Rp184 211 428.57. Sedangkan penerimaan petani berdasarkan metode penyiangan per hektar per tahun yaitu, untuk metode herbisida sebesar Rp171 917 971.43 dan untuk metode manual sebesar Rp203 880 960.00. Biaya Usahatani Lidah Buaya Analisis biaya pada usahatani lidah buaya baik metode herbisida maupun manual dibagi menjadi dua bagian yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Pembagian jenis biaya tunai dan tidak tunai, dinilai penting karena analisis pendapatan yang digunakan pada penelitian ini juga melihat pendapatan atas biaya tunai dan pendapatan atas biaya total (biaya tunai dan biaya tidak tunai). Biaya tunai dalam usahatani lidah buaya terdiri dari biaya penggunaan sarana produksi seperti pupuk, biaya herbisida untuk petani metode herbisida, biaya pembungkus koran, biaya karung, biaya penggunaan tenaga kerja dari luar keluarga (TKLK), biaya sewa lahan serta biaya pajak bagi petani yang menanam di lahan sendiri. Sedangkan biaya yang termasuk biaya tidak tunai diantaranya adalah biaya penyusutan alat-alat pertanian, biaya tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga (TKDK) dan biaya bibit. Besarnya biaya baik biaya tunai maupun biaya tidak tunai tergantung dari jumlah pemakaian sarana produksi dan harga per satuan dari sarana produksi tersebut. Harga yang digunakan dalam analisis biaya usahatani adalah biaya rata-rata dari setiap responden baik metode manual dan herbisida. 1.
Biaya Pupuk dan Herbisida Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa biaya pupuk pada kedua metode baik manual maupun herbisida termasuk jenis biaya tunai. Selain itu biaya herbisida juga termasuk kedalam biaya tunai pada petani metode herbisida. Satu karung pupuk memiliki masa kurang lebih 20 kg dengan harga per karungnya Rp5 000 sampai Rp9 000. Sedangkan untuk harga Round-Up 1 liter sebesar Rp75 000. Pada Tabel 14 disajikan data biaya pupuk dan herbisida per hektar per tahun yang dibebankan kepada petani metode manual dan herbisida .
40 Tabel 14 Biaya pupuk dan herbisida usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Sarana Produksi (satuan pemakaian) Metode herbisida Pupuk kandang (kg) Round-Up (liter) Total Metode manual Pupuk kandang (kg) Round-Up (liter) Total Rata-rata petani responden Pupuk kandang (kg) Round-Up (liter) Total
Harga (Rp/satuan)
Jumlah(satuan/ha/ tahun)
Biaya(Rp/ha/tahun)
368.75 75 000.00
40 943.18 28.37
15 039 204.55 2 128 003.25 17 167 207.80
370 0
47 000 0
17 500 000 0 17 500 000
369.23 75 000.00
43 272.72 17.46
15 985 664.34 1 309 540.46 17 295 204.80
Total biaya pupuk kandang yang dikeluarkan oleh petani metode manual lebih besar dibandingkan dengan petani metode herbisida. Hal ini disebabkan karena total penggunaan pupuk petani metode manual yang lebih banyak dan tidak adanya anjuran atau pendampingan dari penyuluh mengenai anjuran dosis pupuk yang tepat pada petani, sehingga petani mengira-ngira dosis yang pas untuk tanaman usahatani lidah buayanya. Besarnya biaya yang harus dikeluarkan petani metode herbisida untuk sarana produksi pupuk kandang sebesar Rp15 039 204.55, sedangkan untuk petani metode manual sebesar Rp17 500 000 dan rata-rata biaya yang dikeluarkan petani responden secara keseluruhan sebesar Rp15 985 664.34. Sedangkan pada penggunaan Round-Up hanya digunakan oleh petani metode herbisida, dengan penggunaan selama satu tahun dengan luasan lahan satu hektar sebanyak 28.373 liter, jika diuangkan menghabiskan biaya sebesar Rp2 128 003.25. Sedangkan jika dirata-rata, pengeluaran biaya untuk penggunaan RoundUp petani responden secara keseluruhan sebesar Rp1 309 540.46 per hektar per tahun. 2.
Biaya Tenaga Kerja Biaya tenaga kerja diperoleh dari perkalian HOK dengan upah yang diterima oleh pekerja. Biaya yang dikeluarkan untuk tenaga kerja terbagi menjadi biaya tunai dan biaya tidak tunai. Penggunaan TKLK termasuk kedalam biaya tunai, karena menggunakan jasa atau tenaga dari luar keluarga. Penggunaan TKDK termasuk kedalam biaya tidak tunai, karena menggunakan tenaga yang berasal dari dalam keluarga yang tidak memerlukan upah secara tunai. Upah tenaga kerja laki-laki berkisar antara Rp50 000 sampai Rp80 000, dengan waktu kerja selama 7 jam. Pada Tabel 15 disajikan informasi mengenai penggunaan biaya TKDK dan TKLK per hektar per tahun pada petani metode herbisida maupun manual serta rata-rata petani responden secara keseluruhan.
41 Tabel 15 Biaya tenaga kerja pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Kegiatan Metode herbisida Penyiangan gulma Pemupukan Pembubunan Penjarangan anakan Pemanenan Total biaya Metode manual Penyiangan gulma Pemupukan Pembubunan Penjarangan anakan Pemanenan Total biaya Rata-rata petani responden Penyiangan gulma Pemupukan Pembubunan Penjarangan anakan Pemanenan Total biaya
TKDK (Rp/ha/tahun)
TKLK (Rp/ha/tahun)
Total (Rp/ha/tahun)
0.00 714 355.29 906 125.54 437 312.93 2 511 233.77 4 569 027.52
1 234 448.05 7 193 287.34 8 207 662.34 1 868 225.11 10 600 259.74 29 103 882.58
1 234 448.05 7 907 642.63 9 113 787.88 2 305 538.03 13 111 493.51 33 672 910.10
1 380 000.00 785 714.29 0.00 251 428.57 1 926 857.14 4 344 000.00
17 040 000.00 7 940 000.00 0.00 2 308 571.43 12 235 714.29 39 524 285.71
18 420 000.00 8 725 714.29 0.00 2 560 000.00 14 162 571.43 43 868 285.71
530 769.23 741 801.06 557 615.72 365 818.94 2 286 473.53 4 482 478.47
7 313 506.49 7 480 484.52 5 050 869.13 2 037 589.08 11 229 280.72 33 111 729.94
7 844 275.72 8 222 285.57 5 608 484.85 2 403 408.02 13 515 754.25 37 594 208.41
Rata-rata biaya terbesar pada petani responden secara keseluruhan pada kegiatan pemanenan. Hal ini disebabkan kegiatan pemanenan selalu di lakukan oleh petani responden secara keseluruhan hampir setiap bulan. Jika dilihat biaya yang dikeluarkan petani berdasarkan metode penyiangan, biaya yang dikeluarkan petani metode manual lebih banyak mengeluarkan biaya daripada petani metode herbisida karena pada petani manual lebih banyak mengeluarkan biaya dalam hal penyiangan karena masih menggunakan metode manual. Meskipun dalam kegiatan penyiangan petani metode herbisida mengeluarkan biaya yang relatif kecil, namun petani metode herbisida harus mengeluarkan biaya tambahan untuk melakukan kegiatan pembubunan. Besarnya biaya pembubunan pada petani metode herbisida tidak sebesar biaya yang dikeluarkan petani metode manual dalam kegiatan penyiangan, sehingga besaran biaya yang dikeluarkan petani manual masih lebih besar dari petani metode herbisida. Total biaya tenaga kerja yang digunakan pada usahatani lidah buaya ratarata petani secara keseluruhan per hektar per tahun di Kabupaten Bogor sebesar Rp37 594 208.41, dengan rincian biaya yang dikeluarkan untuk TKDK sebesar Rp4 482 478.47 dan Rp33 111 729.94 untuk biaya TKLK. Rata-rata upah tenaga kerja untuk usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor sebesar Rp55 384.61 per HOK. Jika dilihat pengeluaran biaya total tenaga kerja pada masing-masing metode penyiangan per hektar per tahun yaitu total biaya tenaga kerja yang dikeluarkan pada usahatani lidah buaya petani metode herbisida sebesar Rp33 672 910.10, dengan rincian biaya yang dikeluarkan untuk TKDK sebesar Rp4 569 027.52 dan Rp29 103 882.58 untuk biaya TKLK. Rata-rata upah kerja yang dikeluarkan petani metode herbisida sebesar Rp56 250 per HOK. Sedangkan pada usahatani lidah buaya metode manual, total biaya yang keluarkan sebesar Rp43 868 285.71, dengan rincian biaya yang dikeluarkan untuk TKDK sebesar Rp4 344
42 000.00 dan Rp39 524 285.71 untuk biaya TKLK. Rata-rata upah yang harus dikeluarkan petani metode manual sebesar Rp54 000 per HOK. 3.
Biaya Pajak dan Sewa Lahan Berdasarkan hasil wawancara dengan petani responden lidah buaya yang ada di Kabupaten Bogor diketahui lahan yang digunakan untuk kegiatan usahatani lidah buaya terbagi menjadi lahan milik sendiri dan lahan milik orang lain (sewa). Lahan milik sendiri akan dikenai pajak Rp180 000 sampai Rp250 000 per hektar per tahun. Sedangkan lahan milik orang lain dapat digarap petani dengan membayar sewa lahan kepada pemilik lahan sebesar Rp2 000 000 sampai Rp10 000 000 per hektar per tahun. Biaya pajak dan sewa lahan termasuk kedalam biaya tunai. Rata-rata petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor mengeluarkan biaya pajak sebesar Rp47 820.51 per hektar per tahun sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk sewa lahan sebesar Rp3 521 978.02 per hektar per tahun. Jika besaran biaya pajak dan biaya sewa lahan yang dikeluarkan berdasarkan metode penyiangannya diketahui rata-rata biaya pajak lahan yang dikeluarkan petani metode herbisida Rp23 333.33 per hektar per tahun, sedangkan biaya yang dikeluarkan untuk sewa lahan sebesar Rp3 973 214.29. Sedangkan pada petani metode manual biaya yang dikeluarkan untuk pajak sebesar Rp87 000 per hektar per tahun dan biaya yang dikeluarkan untuk sewa lahan sebesar Rp2 800 000 per hektar per tahun. Biaya lahan milik sendiri masuk kedalam biaya yang tidak tunai. Rata-rata biaya lahan milik sendiri yang dikeluarkan petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun sebesar Rp1 378 205.13. Sedangkan jika dilihat dari petani responden berdasarkan metode penyiangannya, petani metode herbisida mengeluarkan biaya sewa lahan milik sendiri sebesar Rp833 333.33 per hektar per tahun dan Rp2 250 000 per hektar per tahun untuk petani metode manual. 4.
Biaya Penyusutan Peralatan Peralatan yang digunakan seperti cangkul, parang, garbu, daruk, hand sprayer, pisau, ember, gentong, batu asah, koret, terpal, gembor, dacin/timbangan, gerobak sorong. Penyusutan ini dipengaruhi oleh umur teknis masing-masing peralatan. Biaya penyusutan diperoleh dari pembagian harga jual yang dikali jumlah alat yang dipakai dengan umur teknis yang dimiliki oleh setiap peralatan yang digunakan. Biaya penyusutan peralatan pertanian per hektar per tahun pada usahatani lidah buaya petani secara keseluruhan, dan petani berdasarkan metode penyiangan dapat dilihat pada Tabel 16. Pada usahatani lidah buaya yang dilakukan petani responden di Kabupaten Bogor, biaya penyusutan alat pertanian yang terbesar berada pada pemakaian hand sprayer dan pisau sebesar Rp332 891.11 dan Rp139 270.10. Tingginya biaya dikarenakan kebutuhan peralatan pada kegiatan pemanenan dan penyemprotan herbisida yang rutin dilakukan serta kedua alat tersebut memiliki umur ekonomis yang pendek. Jika dilihat besaran biaya penyusutan alat pertanian berdasarkan metode penyiangannya akan menunjukkan hal yang berbeda untuk biaya penyusutan yang terbesar. Biaya penyusutan terbesar pada metode herbisida pada pemakaian hand sprayer dan pisau sebesar Rp540 948.05 dan Rp94 208.37, sedangkan penyusutan terbesar pada metode manual pada pemakaian pisau dan terpal sebesar Rp209 863.64 dan Rp168 000.00. Total biaya penyusutan alat
43 pertanian petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun sebesar Rp1 077 624.33. Jika dilihat besaran biaya penyusutan alat pertanian per hektar per tahun berdasarkan metode penyiangan di Kabupaten Bogor diketahui pada petani metode herbisida sebesar Rp1 057 088.60 dan Rp1 087 588.27 pada petani metode manual. Penjabaran biaya penyusutan berdasarkan metode penyiangan dapat memperlihatkan bahwa biaya penyusutan alat pada metode herbisida lebih kecil dari petani metode manual, hal ini disebabkan usahatani yang luasannya lebih luas lebih efisien daripada luasan yang lebih sempit. Tabel 16 Biaya penyusutan peralatan pertanian pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Jenis Peralatan Metode herbisida Cangkul Parang Garbu Daruk Hand sprayer Pisau Ember Gentong Batu asah Koret Gembor Dacin Terpal Gerobak sorong Total penyusutan Metode manual Cangkul Parang Garbu Daruk Pisau Ember Gentong Batu asah Koret Dacin Terpal Total penyusutan Rata-rata petani responden Cangkul Parang Garbu Daruk Hand sprayer Pisau Ember Gentong Batu asah Koret Gembor Dacin
Jumlah (unit)
Harga per satuan
Umur Teknis (tahun)
Penyusutan per tahun (Rp)
5.66 7.29 0.95 0.97 2.94 10.68 10.10 0.76 2.54 3.02 0.25 0.49 0.73 0.18
76 250.00 45 000.00 92 500.00 78 750.00 575 000.00 18 750.00 13 687.50 176 000.00 25 833.33 32 500.00 40 000.00 483 333.33 341 666.67 350 000.00
4.75 4.13 9.50 5.75 3.13 2.13 1.50 6.80 9.00 3.50 6.00 10.00 5.00 10.00
90 908.45 79 533.65 9 244.20 13 288.04 540 948.05 94 208.37 92 185.71 19 719.89 7 302.51 28 068.18 1 666.67 23 735.12 50 029.76 6 250.00 1 057 088.60
10.10 13.40 1.20 1.60 24.30 17.00 0.40 7.70 13.90 2.40 2.80
73 000.00 36 000.00 100 000.00 80 000.00 19 000.00 14 600.00 175 000.00 30 000.00 28 333.33 485 000.00 300 000.00
4.60 4.00 8.00 6.00 2.20 2.00 8.00 9.20 3.33 10.00 5.00
160 282.61 120 600.00 15 000.00 21 333.33 209 863.64 124 100.00 8 750.00 25 108.70 118 150.00 116 400.00 168 000.00 1 087 588.27
7.37 9.64 1.05 1.21 1.81 15.92 12.76 0.62 4.53 7.12 0.15 1.23
75 000.00 41 538.46 94 000.00 79 166.67 575 000.00 18 846.15 14 038.46 175 833.33 27 727.22 30 000.00 40 000.00 484 000.00
4.69 4.08 9.20 5.83 3.13 2.15 1.69 7.00 9.09 3.40 6.00 10.00
117 793.27 98 222.53 10 685.22 16 454.74 332 891.11 139 270.10 105 811.93 15 641.90 13 807.78 63 584.94 1 025.64 59 303.30
44 Lanjutan biaya penyusutan peralatan pertanian pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Jenis Peralatan Terpal Gerobak sorong Total penyusutan
Jumlah (unit) 1.53 0.11
Harga per satuan 325 000.00 350 000.00
Umur Teknis (tahun) 5.00 10.00
Penyusutan per tahun (Rp) 99 285.71 3 846.15 1 077 624.33
5.
Perlengkapan Tambahan Perlengkapan tambahan masuk kedalam jenis biaya tunai. Perlengkapan tambahan digunakan untuk mendukung saat proses pasca panen dan penggunaannya langsung habis pada waktu proses pemanenan atau dalam waktu satu tahun. Perlengkapan yang dibutuhkan dalam proses pasca panen adalah koran pembungkus dan karung. Petani baik metode herbisida maupun manual juga mengeluarkan biaya untuk pembungkusan (koran) lidah buaya yang akan dijual ke supermarket serta karung. Dikarenakan pada tahun 2014 petani pada kedua metode tidak semuanya melakukan penjualan ke supermarket, maka biaya untuk pembungkus lidah buaya jika dirata-rata pada masing-masing metode akan menjadi kecil, yaitu pada petani metode manual menggunakan koran pembungkus sebesar 26.90 kg sedangkan pada petani metode herbisida menggunakan koran pembungkus sebesar 12 kg. Harga untuk 1 kg koran bekas sebagai pembungkus pelepah lidah buaya sebesar Rp3 000, sehingga biaya ratarata yang dikeluarkan oleh petani metode manual sebesar Rp80 700 dan pada petani metode herbisida sebesar Rp36 000. Sedangkan jika dirata-rata secara keseluruhan, pengeluaran biaya koran untuk membungkus lidah buaya yang digunakan petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun sebesar Rp53 192.31. Sedangkan untuk pengeluaran biaya karung pada masing-masing metode berbeda-beda. Besarannya biaya dipengaruhi oleh jumlah karung yang digunakan oleh petani. Harga per karung adalah sebesar Rp5 000, dan umur karung ekonomisnya selama satu tahun. Karung perlu diganti setiap tahunnya karena karung digunakan untuk proses pemanenan, dan jika karung terus menerus terkena getah dari lidah buaya maka akan cepat rapuh. Biaya yang dikeluarkan petani metode herbisida untuk karung per tahunnya sebesar Rp 72 072.51, sedangkan untuk petani metode manual sebesar Rp162 000.00. Jika dirata-rata secara keseluruhan petani responden mengeluarkan biaya karung per tahun sebesar Rp106 660.01. Biaya Bibit Biaya bibit lidah buaya dimasukkan kedalam biaya tidak tunai karena diperhitungkan sebagai investasi yang dikeluarkan dalam usahatani lidah buaya. Total biaya bibit yang dikeluarkan petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun sebesar Rp4 310 782.97. Jika dilihat pengeluaran biaya bibit pada masing-masing metode berdasarkan metode penyiangan per hektar per tahun, pada petani metode herbisida sebesar Rp4 208 147.32 dan pada petani metode manual sebesar Rp4 475 000.00. Perhitungan biaya bibit ini dengan menghitung harga beli pada waktu awal penanaman dikali dengan jumlah bibit yang diperlukan per hektar dan dibagi dengan umur produktif bibit lidah buaya, dalam perhitungan ini menggunakan umur produktif 8 tahun. 6.
45 Uji Beda Mann-Whitney Bardasarkan hasil uji beda pada komponen biaya rata-rata input dan penerimaan petani baik grade A, grade B dan penerimaan total pada taraf nyata 5 persen, diketahui faktor input yang mengindikasikan berbeda hanya biaya herbisida, biaya tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga dan biaya total tenaga kerja. Pada biaya penyusutan bibit, penggunaan pupuk, tenaga kerja dalam keluarga, biaya penyusatan peralatan, sewa lahan serta penerimaan baik dari grade A maupun grade B dan penerimaan total pada kedua metode tidak ada terindikasi berbeda nyata pada taraf nyata 5 persen. Tabel 17 Uji signifikasi biaya penggunaan input dan penerimaan usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Komponen Input Biaya bibit Biaya pupuk Biaya herbisida Biaya TKDK Biaya TKLK Biaya TK total Biaya penyusutan alat Biaya sewa lahan 0utput Panen grade A Panen grade B Total panen
Satuan
Petani Metode Herbisida Manual
Signifikasi uji beda
Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah Rupiah
4 208 147.32 15 039 204.55 2 128 003.25 4 569 027.52 29 103 882.58 33 672 910.10 1 154 161.11
4 475 000.00 17 500 000.00 0.00 4 344 000.00 39 524 285.71 43 868 285.71 1 249 588.27
Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata Berbeda nyata Tidak berbeda nyata Berbeda nyata Berbeda nyata Tidak berbeda nyata
Rupiah
4 806 547.62
5 050 000.00
Tidak berbeda nyata
Rupiah Rupiah Rupiah
6 154 375.00 165 763 596.43 171 917 971.43
9 400 000.00 194 480 960.00 203 880 960.00
Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata Tidak berbeda nyata
Analisis Pendapatan Usahatani Lidah Buaya Analisis pendapatan usahatani lidah buaya terdiri dari analisis pendapatan atas biaya tunai dan analisis pendapatan terhadap biaya total. Pendapatan usahatani lidah buaya didapat dari pengurangan penerimaan usahatani dengan pengeluaran usahatani. Komponen biaya pada analisis pendapatan ini dibagi menjadi dua kelompok, yaitu biaya tunai dan biaya tidak tunai. Biaya tunai terdiri dari biaya sarana produksi seperti pupuk dan pestisida, biaya pembungkus koran, karung, biaya tenaga kerja yang berasal dari luar keluarga (TKLK), biaya sewa lahan dan biaya pajak tanah. Sedangkan biaya yang termasuk kedalam komponen biaya tidak tunai antara lain biaya penyusutan alat-alat pertanian, biaya bibit, biaya tenaga kerja yang berasal dari dalam keluarga (TKDK) dan biaya sewa lahan milik sendiri. Pada akhir analisis pendapatan akan dilakukan perhitungkan terhadap nilai R/C atau nilai imbangan antara penerimaan dan biaya yang merupakan perbandingan antara penerimaan kotor yang diterima petani usahatani lidah buaya baik metode herbisida maupun manual dari setiap rupiah yang dikeluarkan dalam proses produksi. Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan nilai R/C usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 per hektar per tahun dapat dilihat pada Tabel 18.
46 Tabel 18 Penerimaan, pengeluaran, pendapatan dan nilai R/C usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 No
Uraian
Metode herbisida (Rp/ha/tahun)
Metode manual (Rp/ha/tahun)
A B C D E F G H I J
Penerimaan tunai Penerimaan tidak tunai Total peneriman Biaya tunai Biaya yang tidak tunai Total biaya Pendapatan atas biaya tunai Pendapatan atas biaya total R/C atas biaya tunai R/C atas biaya total
171 917 971.43 0.00 171 917 971.43 50 375 710.50 10 667 596.78 61 043 307.27 121 542 260.93 110 874 664.15 3.41 2.82
203 880 960.00 0.00 203 880 960.00 60 153 985.71 12 156 588.27 72 310 573.99 143 726 974.29 131 570 386.01 3.39 2.82
Rata-rata petani responden (Rp/ha/tahun) 184 211 428.57 0.00 184 211 428.57 54 136 585.58 11 249 090.90 65 385 676.48 130 074 842.99 118 825 752.09 3.40 2.82
Berdasarkan Tabel 18, pendapatan atas biaya tunai yang dihasilkan rata-rata petani lidah buaya di Kabupaten Bogor per hektar per tahun sebesar Rp130 074 842.99, sedangkan jika berdasarkan metode penyiangannya petani metode manual lebih besar pendapatannnya yaitu sebesar Rp143 726 974.29 dari pendapatan petani metode herbisida yang hanya sebesar Rp121 542 260.93. Pendapatan atas biaya total rata-rata petani responden lidah buaya di Kabupaten Bogor secara keseluruhan per hektar per tahun sebesar Rp118 825 752.09, jika dilihat berdasarkan metode penyiangannya pada petani metode herbisida sebesar Rp110 874 664.15 dan pada petani metode manual sebesar Rp131 570 386.01. Rendahnya pendapatan petani metode herbisida daripada petani metode manual dikarenakan total panen pelepah lidah buaya petani metode manual lebih banyak dari petani metode herbisida dan petani manual memperoleh harga jual yang lebih tinggi ketimbang harga jual petani metode herbsida. Analisis Nilai Rasio R/C Analisis nilai R/C merupakan hasil perbandingan dari penerimaan usahatani dengan pengeluaran usahatani. Kegunaan analisis ini ialah untuk melihat efisiensi dari sebuah usahatani jika dijalankan. Analisis ini dibagi menjadi dua yaitu nilai R/C atas biaya tunai dan nilai R/C biaya total. Nilai R/C diatas 1 menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan menguntungkan. Apabila nilai R/C sama dengan 1 berarti usahatani yang dijalankan berada pada kondisi impas dimana tidak memberikan kerugian dan keuntungan. Sedangkan jika nilai R/C kurang dari satu menunjukkan bahwa usahatani yang dijalankan tidak efisien dan menguntungkan. Nilai R/C atas biaya tunai maupun biaya total usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor menunjukkan diatas angka 1, sehingga mengindikasikan usahatani lidah buaya menguntungkan untuk diusahakan di Kabupaten Bogor. Nilai R/C atas biaya tunai rata-rata petani lidah buaya di Kabupaten Bogor sebesar 3.40, sedangkan jika berdasarkan metode penyiangan diketahui nilai R/C metode herbisida sebesar 3.41 dan pada metode manual sebesar 3.39. Nilai R/C atas biaya total petani metode herbisida, manual dan rata-rata petani secara keseluruhan di Kabupaten Bogor memiliki nilai yang sama, yaitu sebesar 2.82. Nilai R/C memiliki interpretasi jika terdapat penambahan biaya sebesar Rp1 maka penerimaan yang diperoleh akan bertambah sebesar nilai R/C.
47
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Keterkaitan ke belakang (backward linkage) sistem usahatani lidah buaya dengan pengadaan sarana produksi atau input-input produksi sudah baik dikarenakan petani sudah dapat mengakses dan memperoleh faktor-faktor produksi dengan mudah namun pengadaan pupuk kandang kotoran domba masih belum terkontrol. Keterkaitan ke depan (forward linkage) sistem usahatani lidah buaya memiliki performa yang baik juga, dimana saat ini sudah mulai kejelasan pasar untuk komoditas lidah buaya dan pabrik pengolahan di sekitar wilayah Kabupaten Bogor, namun kekuatan tawar petani rendah jika petani menjual ke pihak tengkulak. Keragaan usahatani lidah buaya dalam hal budidaya relatif sudah baik, berdasarkan hasil penelitian petani tidak memiliki kesulitan dalam hal budidaya namun masih beragamnya cara budidaya antar petani mulai dari jarak tanam yang berbeda-beda, penggunaan pupuk yang bervariasi serta cara penyiangan yang berbeda-beda mengakibatkan produktivitas panen lidah buaya yang tidak maksimal. Dalam hal penggunaan input dan output dalam usahatani lidah buaya ada beberapa yang berbeda nyata. Pada penggunaan input, komponen yang berbeda nyata pada taraf 5 persen adalah penggunaan herbisida, tenaga kerja luar keluarga dan tenaga kerja keseluruhan. Sedangkan pada outputnya tidak ada perbedaan secara signifikan pada uji beda dengan taraf nyata 5 persen baik pada hasil panen grade A, grade B dan hasil panen secara total pada kedua metode. Total hasil panen metode manual lebih besar dari metode herbisida. Besarnya penerimaan tunai yang diperoleh petani manual selain karena hasil panen yang lebih tinggi juga karena faktor harga yang diterima petani metode manual lebih tinggi. Secara keseluruhan kegiatan usahatani lidah buaya baik metode herbisida dan metode manual yang dilakukan petani di Kabupaten Bogor efisien dan menguntungkan dimana nilai R/C diatas 1. Nilai R/C atas biaya tunai petani lidah buaya di Kabupaten Bogor sebesar 3.40. Jika dilihat nilai R/C atas biaya tunai berdasarkan metode penyiangannya, metode herbisida sebesar 3.41 dan 3.39 pada petani metode manual. Sedangkan nilai R/C atas biaya total petani lidah buaya di Kabupaten Bogor baik metode manual, herbisida dan petani secara keseluruhan yaitu sama, sebesar 2.82. Meskipun kedua metode penyiangan dalam usahatani lidah buaya sama-sama menguntungkan, namun usahatani lidah buaya dengan menggunakan metode herbisida lebih efisien dimana terlihat dari nilai R/C atas biaya tunai lebih tinggi dari metode manual dan nilai R/C atas biaya total sama dengan metode manual. Saran Beberapa hal yang dapat dilakukan lebih lanjut dari usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor yaitu : 1. Masih beragamnya cara budidaya dapat disiasati dengan pembuatan SOP dan sosialisasi SOP mengenai budidaya lidah buaya yang baik sehingga cara budidaya menjadi seragam dan petani dapat menghasilkan panen yang optimal.
48 Selain itu pihak penyuluh diharapkan berperan aktif dalam melakukan pendampingan petani dalam budidaya lidah buaya, sehingga petani dapat memperoleh wawasan mengenai usahatani lidah buaya yang baik khususnya dalam hal budidaya. 2. Lemahnya kekuatan tawar petani jika menjual ke pihak tengkulak dapat disiasati dengan membentuk suatu lembaga yang menaungi para petani lidah buaya yang saat ini sudah mengusahakan lidah buaya atau petani yang akan menanam lidah buaya. Lembaga ini seperti kelompok tani atau koprasi, tujuannya untuk memberikan wadah para petani untuk saling tukar pikiran, memperkuat kekuatan tawar petani lidah buaya di Kabupaten Bogor serta dapat menjadi wadah untuk memperluas pasar hasil panen lidah buaya. DAFTAR PUSTAKA Adhiana. 2005. Analisis Efisiensi Ekonomi Usahatani Lidah Buaya (Aloe Vera) di Kabupaten Bogor [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Arifin J. 2015. Intensif Budidaya Lidah Buaya Usaha dengan Prospek yang Kian Berjaya. Yogyakarta (ID): Pustaka Baru Press. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2014. Letak Geografis Kabupaten Bogor. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2014. Kependudukan dan Ketenagakerjaan Kabupaten Bogor. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. [BPS] Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. 2014. Luas panen, Produksi dan Rata-rata Hasil Tanaman Pangan di Kabupaten Bogor. Bogor (ID): Badan Pusat Statistik Kabupaten Bogor. [BP5K] Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. 2014. Pola Penggunaan Tanah di Kabupaten Bogor. Bogor (ID): Badan Ketahanan Pangan dan Pelaksanaan Penyuluhan Pertanian Perikanan dan Kehutanan. Burhansyah R. 2002. Analisis Ekonomi Usahatani Lidah Buaya di Kota Pontianak [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. [Diperta] Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Provinsi Jawa Barat. 2014. Produksi Tanaman Obat di Jawa Barat Tahun 2008-2014. (Internet). [diunduh 2014 Desember 12] Tersedia pada http://diperta.jabarprov.go.id/. Direktorat Budidaya Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. 2009. SOP Budidaya Tanaman Lidah Buaya Pontianak. Jakarta (ID): Direktorat Jenderal Pertanian. Hernanto F. 1996. Ilmu Usahatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. [Kemenperin] Kementerian Perindustrian Republik Indonesia. 2014. Omzet Jamu dan Obat Tradiional Menjacai 15T [internet]. [ diakses 2014 Desember 15] Tersedia pada http://www.kemenperin.go.id/artikel/9889/Omzet-Jamu-danObat-Tradisional-Capai-Rp-15T/. Kurniawan D. 2010. Alternatif Pengembangan Ekonomi Lokal di Kota Pontianak Studi Pertanian Lidah Buaya [jurnal]. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota Vol 21 No 1 April 2010 halaman 19-36. Bandung (ID): Institut Teknologi Bandung.
49 Nazir M. 2003. Metode Penelitian. Jakarta (ID): Ghalia Indonesia. Nugraha AP. 2013. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Metode System Of Rice Intensification (SRI) dan Padi Konvensional di Desa Kebonpedes Sukabumi [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Nugraha S. 2008. Analisis Kinerja Usahatani dan Pengolahan Lidah Buaya di Kabupaten Bogor [skripsi]. Bogor (ID) : Institut Pertanian Bogor. Soekartawi. 2002. Analisis Usahatani. Jakarta (ID):UI Press. Soekartawi, Dillon JL, Hardaker JB, Soeharjo A. 2011. Ilmu Usahatani dan Penelitian untuk Pengembangan Petani Kecil. Jakarta (ID) :UI Press. Suratiyah K. 2008. Ilmu Usatani. Jakarta (ID): Penebar Swadaya. Santoso A. 2001. Kajian Agribisnis pada Usahatani Tebu Rakyat Bebas Lahan Kering dalam Upaya Pemberdayaan Petani Tebu di Kabupaten Ngawi Jawa Timur [tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor. Tim Karya Tani Mandiri. 2013. Pedoman Bertanam Lidah Buaya. Bandung (ID): CV Nuansa Aulia. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika. Jakarta (ID): Gramedia Pustaka Utama. Yurisinthae E, Eva D, Ani M. 2012. Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produksi Usahatani Lidah Buaya di Sentra Produksi Kota Pontianak Provinsi Kalimantan Barat [jurnal]. Jurnal Ilmu Pengetahuan Rekayasa Edisi Januari 2012. Pontianak (ID): Politeknik Negeri Pontianak. Yurisinthae E. 2010. Pola Pemanfaatan Lahan Gambut Oleh Petani Lidah Buaya di Kotamadya Pontianak [jurnal]. Jurnal Agri Peat Vol 12 No 2 September 2011. Kalimantan Tengah (ID): Universitas Palangkaraya Kalimantan Tengah.
50
LAMPIRAN Lampiran 1 Rincian penerimaan, biaya, pendapatan, dan nilai R/C usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 Nilai (Rp/ha/tahun) Uraian Herbisida Manual Rata-Rata Petani Penerimaan Grade A 6 154 375.00 9 400 000.00 7 402 692.31 Grade B 165 763 596.43 194 480 960.00 176 808 736.26 Total penerimaan 171 917 971.43 203 880 960.00 184 211 428.57 Pengeluaran Biaya tunai Pupuk kandang 15 039 204.55 17 500 000.00 15 985 664.34 Obat herbisida 2 128 003.25 0.00 1 309 540.46 Koran pembungkus 108 072.51 242 700.00 159 852.31 biaya sewa lahan 3 973 214.29 2 800 000.00 3 521 978.02 TKLK 29 103 882.58 39 524 285.71 33 111 729.94 biaya pajak lahan 23 333.33 87 000.00 47 820.51 Total biaya tunai 50 375 710.50 60 153 985.71 54 136 585.58 Biaya tidak tunai Bibit 4 208 147.32 4 475 000.00 4 310 782.97 TKDK 4 569 027.52 4 344 000.00 4 482 478.47 Penyusutan Alat 1 057 088.60 1 087 588.27 1 077 624.33 Sewa Lahan 833 333.33 2 250 000.00 1 378 205.13 Total biaya tidak tunai 10 667 596.78 12 156 588.27 11 249 090.90 Total Biaya 61 043 307.27 72 310 573.99 65 385 676.48 Pendapatan atas biaya tunai 121 542 260.93 143 726 974.29 130 074 842.99 Pendapatan atas biaya total 110 874 664.15 131 570 386.01 118 825 752.09 R/C tunai 3.41 3.39 3.40 R/C total 2.82 2.82 2.82
51 Lampiran 2 Karakteristik petani responden usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor No Kelamin Respon den 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13
L L L P L L L L L P L L L
Umur
Pendidikan Terakhir
Pengalaman Bertani lidah buaya (tahun)
64 61 46 46 60 49 48 50 62 52 35 49 52
SD SD SMA S1 SMP SMA SMA SMA SD D3 SMP D3 SMA
7.00 8.00 4.00 2.50 1.90 2.50 2.00 2.00 2.00 1.80 2.00 4.00 3.00
Luas garap an (Ha) 0.70 2.00 0.50 1.50 1.00 0.11 0.30 0.20 0.50 0.08 0.10 0.25 0.10
Metode
Herbisida Herbisida Herbisida Herbisida Herbisida Herbisida Herbisida Herbisida Manual Manual Manual Manual Manual
Status Kepemilikan Lahan Sewa Sewa Sewa Sewa Sewa Sewa Sendiri Sewa Sewa Sendiri Sewa Sewa Sendiri
Status Usahatani Lidah Buaya Utama Utama Sampingan Sampingan Utama Sampingan Sampingan Sampingan Utama Sampingan Sampingan Sampingan Sampingan
Lampiran 3 Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata penggunaan input dan hasil output pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 (α = 5 %) Bibit Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
Pupuk
Herbisida
TKDK
TKLK
TK Total
18.500
12.500
.000
18.000
.000
.000
33.500
48.500
15.000
33.000
36.000
36.000
-.232
-1.106
-3.034
-.293
-2.928
-2.928
Asymp. Sig. (2tailed)
.817
.269
.002
.770
.003
.003
Exact Sig. [2*(1tailed Sig.)]
.833b
.284b
.002b
.833b
.002b
.002b
Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata penggunaan input dan hasil output pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 (α = 5 %) Grade A Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
Grade B
Panen Total
15.000
16.000
16.000
51.000
52.000
52.000
-.796
-.586
-.586
Asymp. Sig. (2tailed)
.426
.558
.558
Exact Sig. [2*(1tailed Sig.)]
.524b
.622b
.622b
52 Lampiran 4 Output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata biaya penggunaan input dan penerimaan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 (α = 5 %) Biaya Bibit
Pupuk
herbisida
TKDK
TKLK
TK Total
Penyusutan alat
Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
16.500
12.000
.000
18.000
5.000
6.000
18.000
52.500
48.000
15.000
33.000
41.000
42.000
54.000
-.520
-1.174
-3.034
-.293
-2.196
-2.049
-.293
.603
.240
.002
.770
.028
.040
.770
.622b
.284b
.002b
.833b
.030b
.045b
.833b
Asymp. Sig. (2tailed) Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)]
Lanjutan output SPSS uji beda Mann-Whitney raat-rata biaya penggunaan input dan penerimaan pada usahatani lidah buaya di Kabupaten Bogor tahun 2014 (α = 5 %) Biaya
Penerimaan
Sewa lahan Mann-Whitney U Wilcoxon W Z
Grade A
Grade B
Total Panen
19.000
15.000
11.000
12.000
34.000
51.000
47.000
48.000
-.148
-.796
-1.317
-1.171
.883
.426
.188
.242
.943b
.524b
.222b
.284b
Asymp. Sig. (2tailed) Exact Sig. [2*(1tailed Sig.)]
54
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Rizky Lutfi Suprabowo, dilahirkan di Madiun pada tanggal 08 Juni 1993. Penulis merupakan anak pertama dari pasangan Eriyanto, Spd dan Ibu Roto Hartatik. Penulis menyelesaikan pendidikan menengah atas di SMA Negeri 2 Ngawi pada tahun 2011 dan pada tahun yang sama penulis diterima sebagai mahasiswa di Institut Pertanian Bogor melalui SNMPTN (Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri) jalur Undangan dan diterima di Departemen Agribisnis, Fakultas Ekonomi dan Manajemen. Selama menjadi mahasiswa, penulis aktif dalam organisasi HIPMA (Himpunan Profesi Mahasiswa Peminat Agribisnis) dan FORSMAWI Bogor (Forum Silaturahmi Mahasiswa Ngawi Bogor). Pada periode 2012-2013 penulis sebagai staff B’EXTION di HIPMA. Pada periode 2013-2014 penulis sebagai kepala bidang B’EXTION dan Ketua Umum FORSMAWI Bogor. Penulis juga aktif dalam beberapa kegiatan Agrifest (Agribusiness Festival), Politik Ceria, Masa Perkenalan Departemen Agribisnis (MPD Agribisnis), IGTF (IPB Goes To Field) dan POPMASEPI DPW II (Perhimpunan Organisasi Profesi Mahasiswa Sosial Ekonomi Pertanian Indonesia Dewan Perwakilan Wilayah 2). Penulis juga merupakan salah satu penerima beasiswa KSE (Karya Salemba Empat).