ANALISIS URGENSI SERTIFIKASI PUSTAKAWAN PERGURUAN TINGGI Kalarensi Naibaho1, Diao Ai Lien2 Abstrak Salah satu isu penting dalam UU No.43 tentang Perpustakaan adalah tentang kompetensi dan sertifikasi pustakawan. Persoalan ini dinilai semakin mendesak diaplikasikan di perguruan tinggi karena kulturnya yang kritis dan menuntut pelayanan dengan standar tinggi. Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: bagaimana urgensi sertifikasi pustakawan di pendidikan tinggi, bagimana pemahaman pustakawan perguruan tinggi tentang sertifikasi pustakawan, apa latar belakangnya, apa tujuannya, bagaimana prosesnya, pihak mana yang sebaiknya dilibatkan dalam proses sertifikasi tersebut, serta kompetensi apa yang sebaiknya diujikan dalam sertifikasi. Penelitian bertujuan menggali pemahaman pustakawan dan pihak-pihak terkait tentang urgensi sertifikasi pustakawan di pendidikan tinggi. Penelitian menggunakan pendekatan kualitatif dengan disain grounded theorymelalui tahapan: wawancara, transkrip, open coding, axial coding, selected coding, analisis serta interpretasi dan penarikan kesimpulan. Informan dalam penelitian ini berjumlah 21 orang, terdiri dari pustakawan perguruan tinggi, staf pengajar ilmu perpustakaan dan informasi, pengamat kepustakawanan, praktisi, penggiat asosiasi profesi, pihak Badan Standarisasi Nasional, dan dari Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI). Analisis terhadap hasil wawancara menyimpulkan bahwa pustakawan akademik sangat menyadari kompleksnya masalah-masalah mendasar yang dialami kepustakawanan Indonesia. Persoalan-persoalan ini membutuhkan penanganan yang sifatnya komprehensif dan mendasar, serta melibatkan semua pihak yang terkait dengan dunia kepustakawanan. Ide sertifikasi merupakan sebuah wacana yang disambut antusias walaupun disadari tidak dapat mengatasi semua persoalan. Temuan lainnya yang berbeda dengan yang dialami pustakawan di berbagai negara adalah persoalan lembaga pendidikan perpustakaan serta asosiasi profesi. Di negara lain, penerapan sertifikasi pustakawan tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan profesi secara nasional, serta fokus pada pengakuan profesi yang akhirnya berdampak pada penciptaan good governance. Ide sertifikasi bahkan berawal dari asosiasi profesi dan lembaga pendidikan. Berbeda dengan hasil temuan dalam penelitian ini, di mana sertifikasi diharapkan sebagai ‘alat’ untuk memperkuat eksistensi asosiasi profesi dan menjadi alat ukur output lulusannya sekaligus sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum. Hasil penelitian ini merekomendasikan pentingnya sosialisasi dari PNRI tentang program yang berkaitan dengan sertifikasi. PNRI juga harus melibatkan berbagai pihak yang terkait secara obyektif dan transparan.Kajian-kajian tentang sertifikasi juga masih menjadi suatu keharusan bagi kalangan pustakawan. Kata kunci: sertifikasi pustakawan, pustakawan akademik
Abstract One important issue in Law No.43 of the Library is about competence and certification of librarians. This issue is considered more urgent applied in college because of its culture are critical and demand high standards of service. The issue in this research are: how the urgency of the certification of librarians in higher education, how college librarians understanding about the certification of librarians, what is its purpose, how the process is, which party should be involved in the certification process, and what competencies should be tested in certification. The study aims to explore the understanding of librarians about the urgency of the certification of librarians in higher education. The study used a qualitative approach with of grounded theory design through the stages: interviews, transcripts, open coding, axial coding, selected coding, analysis and interpretation and inference. Informants in this study amounted to 21 peoples, comprised of university librarians, faculty library and information science, librarianship analysts, practitioners, activists 1
Pustakawan pada Perpustkaan UI Depok Peneliti di Pusat Kajian Pembangunan Masyarakat (PKPM) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya 2
1
professional associations, the National Standardization Agency, and from the National Library of Indonesia. Analysis of the interview concluded that academic librarians are well aware of the complexity of the underlying issues experienced by Indonesia librarianship. These issues require a comprehensive and fundamental nature, and involve all parties concerned with the world of librarianship. The idea of certification is a discourse which was greeted enthusiastically even realizing it can not resolve all the issues. Other findings that were different from those experienced by librarians in many countries is the question of educational institutions and professional associations library. In some countries, the application of librarian certification can not be separated from the management profession nationally, as well as focus on the recognition of a profession that ultimately have an impact on the creation of good governance. The idea of certification usually originated from professional associations and educational institutions. In contrast to the findings in this study, in which the certification is expected as a 'tool' to reinforce the existence of professional associations and to measure the output of graduates as well as reference for curriculum development. The results of this study recommended the importance of socialization of the National Library of Indonesia on programs related to certification. National Library of Indonesia also need to involve various stakeholders in an objective and transparent. Studies of the certification is still a must for the librarian. Keywords: certification of librarians, academic librarians
Pendahuluan Sertifikasi pustakawan telah lama menjadi polemik di kalangan pustakawan. Topik ini seringkali dikaitkan dengan citra buruk pustakawan di mata masyarakat, sedangkan citra buruk ditengarai berasal dari persoalan kompetensi. Ada anggapan bahwa kompetensi yang dimiliki seorang lulusan jurusan ilmu perpustakaan tidak mumpuni ketika terjun bekerja di lapangan, sehingga sulit sekali mendapat pengakuan apalagi apresiasi dari masyarakat, termasuk dari pemerintah. Di lingkungan pustakawan akademik sertifikasi tidak selalu dibicarakan secara terbuka, namun masalah-masalah yang dihadapi sesungguhnya bermuara ke persoalan sertifikasi juga. Di pendidikan tinggi, tuntutan kompetensi pustakawan akademik sering menjadi momok menakutkan bagi pustakawan itu sendiri. Kerap pustakawan akademik menganggap bahwa tuntutan dari sivitas akademika akan kinerja mereka tidak pernah berhenti dan tidak seimbang dengan penghargaan yang diterima. Bekerja di lingkungan akademis memang tidak selalu mudah bagi banyak kelompok, termasuk pustakawan. Seperti layaknya perpustakaan, yang menurut Ranganathan adalah sebuah organisme yang tumbuh (the library is a growing organism), perguruan tinggi pun demikian. John M. Budd (2005:4), dalam bukunya “The Changing Academic Library: Operations, Culture, Environments” telah mengingatkan kita bahwa: “Because the library is an integral component of the mission of every college or university, it is incumbent upon academic librarians to understand the changes that are taking place in higher education. Some of the changes have a direct impact on the library and its services” Apalagi jika dikaitkan dengan paradigma baru dalam hal metode pemelajaran di mana yang tadinya bersifat konvensional (teacher centered learning) menjadi student centered learning dengan mengandalkan resources based learning, peran pustakawan semakin penting sebagai penyedia informasi dan sumber-sumber
2
pembelajaran di pendidikan tinggi. Perguruan tinggi terus mengalami perubahan seiring dengan tuntutan perkembangan jaman dan teknologi. Menurut Diljit Singh (2006), transformasi fungsi universitas selalu terkait dengan pergeseran era atau jaman. Saat ini era informasi telah kita masuki, dengan ditandainya perkembangan teknologi yang luar biasa. Perkembangan ini sangat memengaruhi metode pemelajaran dan sekaligus juga menuntut perubahan peran pustakawan di perguruan tinggi. Maka selaras dengan perkembangan dan perubahan dunia di tiap jamannya, peran pustakawan juga terus menerus mengalami pergeseran dan penyesuaian sesuai fungsi perguruan tinggi tempatnya bernanung. Pustakawan harus terus menyesuaikan diri dengan tuntutan perkembangan jaman serta tuntutan pengguna dan kepentingan lembaga dalam mewujudkan visinya. Masih menurut Diljit Singh (2006), perubahan paradigma di dunia pendidikan tinggi otomatis juga merubah peran perpustakaan. Menurutnya, di abad 21 ini perpustakaan perguruan tinggi mengalami perubahan seperti terurai di bawah ini: Tabel 1. The academic library in the 21st century (Diljit Singh, 2006)
Yesterday
Today
Types of materials
Print publications
e-books, e-journals, online databases
Information in multimedia format
Location of materials
Resources in the library
Resources in and outside the library
Resources anywhere in the world
Acquisition
Resources purchased
Resources purchased, donated, exchanged
Commercial, personal, and open access
Organization
Resources cataloged and indexed
Metadata, controlled vocabulary
Social classification, folksonomy
Instruction
Library orientation
User instruction, information literacy
Personalized knowledge management program
Librarian
‘Stand alone’
Team member
Equal partner in learning
Dari uraian di atas jelas terlihat bahwa di abad 21 ini pustakawan perguruan tinggi adalah mitra atau partner dalam pemelajaran. Mitra ini dapat dilihat dari sudut si pengguna dan dari staf pengajar, karena itu pustakawan harus memiliki kompetensi yang sesuai dengan tuntutan pengguna. Pustakawan harus terus meningkatkan kualitas dan kemampuan akademisnya untuk dapat menempatkan diri sebagai ’equal partner’ baik bagi dosen maupun penggunanya. Pustakawan akademik harus memahami dan mampu menyesuaikan diri terhadap perubahanperubahan paradigma di perguruan tinggi dan harus mampu menempatkan diri. Pustakawan tidak hanya dituntut sebagai penyedia informasi yang harus melayani pengguna dengan optimal, namun juga sebagai mitra tenaga akademik dalam menyelenggarakan kegiatan pemelajaran dan penelitian.
3
Peter Jordan (1998) dalam bukunya ”The Academic Library and Its Users” mengupas banyak hal seputar pentingnya pustakawan akademik memahami kultur di pendidikan tinggi, antara lain: the academic environment, customers and quality management, staffing structure, customer expectations, standardization of tasks, service quality, dan banyak poin penting lainnya. Menurut Jordan (1998): ”It is essential that librarians analyse their situation in as systematic manner so that they can plan developments and adopt an effective leadership role.” Kepemimpinan, memang menjadi persoalan utama dalam kepustakawanan, apalagi di Indonesia. Keterpurukan kepustakawanan Indonesia diyakini berawal dari persoalan leadership yang tidak efektif. Jika dikaji lebih jauh, kelemahan di bidang leadership ini sangat mengakar karena kurikulum di jurusan ilmu perpustakaan tidak mendukung. Banyak kelemahan di bidang kurikulum yang perlu dibenahi dan hingga saat ini masih terus dalam perdebatan para penglola sekolah ilmu perpustakaan di Indonesia. Berbagai opini pun bermunculan, dan salah satunya adalah dengan sertifikasi. Perpustakaan Nasional Republik Indonesia (PNRI) sebagai lembaga Pembina perpustakaan berusaha mengakomodir dan mencari solusi untuk berbagai persoalan kepustakawanan dengan berbagai program pengembangan kompetensi pustakawan. Salah satunya adalah melalui program sertifikasi pustakawan. Langkah ini merupakan implementasi dari apa yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yang mengamanatkan supaya diadakan sertifikasi bagi pustakawan, sehingga mendapat pengakuan dari pemerintah maupun masyarakat. Setiap pustakawan harus mempunyai tingkatan keahlian tertentu sesuai hasil sertifikasi sehingga pustakawan dapat bekerja secara mandiri atau tidak hanya bergantung pada lembaga perpustakaan milik pemerintah. Secara garis besar UU No. 43 Th 2007 mengatur tentang cakupan standar nasional perpustakaan yang meliputi: a) standar koleksi perpustakaan; b) standar sarana dan prasarana; c) standar pelayanan perpustakaan; dan d) standar tenaga perpustakaan. Dalam kaitannya antara Rancangan Peraturan Pemerintah untuk pelaksanaan UU No. 43 Th 2007 dan PerMen DikNas No. 25 Th 2008, ada suatu isu yang sama diatur dalam ke dua dokumen tersebut, yaitu tentang standar tenaga perpustakaan. Dalam kedua dokumen tersebut diatur tentang kualifikasi tenaga perpustakaan yang akan dituangkan dalam standar tenaga perpustakaan dan pembuktian kualifikasi tenaga perpustakaan dalam bentuk sertifikasi tenaga perpustakaan. Maka penting sekali mengetahui berbagai opini para pustakawan atau dari pihak-pihak terkait tentang sertifikasi ini. Salah satu kelompok pustakawan yang sangat potensial diketahui pendapatnya adalah pustakawan perguruan tinggi.Selain memiliki posisi strategis sebagai pustakawan yang diharapkan mampu memperbaiki citra pustakawan secara umum, pustakawan di perguruan tinggi juga mengalami dan menghadapi berbagai konflik kepentingan kelompok profesi di tempat kerjanya. Rumusan Masalah / Pertanyaan Penelitian Pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah: 1) Bagaimana urgensi sertifikasi pustakawan perguruan tinggi. Dalam konteks apa pustakawan memahami sertifikasi, dan apa dasarnya, 2) Apa tujuan sertifikasi bagi pustakawan perguruan tinggi?
4
3) Bagaimana proses pelaksanaan sertifikasi yang diharapkan pustakawan perguruan tinggi? Siapa saja yang harus dilibatkan dalam proses sertifikasi? 4) Kompetensi apa saja yang perlu diujikan dalam sertifikasi? Sertifikasi pustakawan Mengacu kepada definisi sertifikat dan sertifikasi dalam PP 102 Th 2000, maka untuk bidang perpustakaan, dokumentasi dan informasi (pusdokinfo) pengertian sertifikat dan sertifikasi adalah sebagai berikut: Sertifikat perpustakaan, dokumentasi, informasi, yang dapat meliputi barang, jasa, proses, sistem atau personel pusdokinfo adalah jaminan tertulis yang diberikan oleh lembaga/institusi yang telah diakreditasi oleh Komite Akreditasi Nasional (KAN) untuk menyatakan bahwa barang, jasa, proses, sistem atau personel pusdokinfo telah memenuhi standar untuk bidang pusdokinfo sesuai dengan syaratsyarat yang telah ditentukan. Sertifikasi bidang pusdokinfo adalah rangkaian kegiatan penerbitan sertifikat terhadap perpustakaan, dokumentasi, informasi, atas barang, jasa, proses, sistem atau personel pusdokinfo yang telah memenuhui standar bidang pusdokinfo yang telah ditentukan. Berdasarkan definisi di atas, dapat dikatakan bahwa sertifikasi personel pusdokinfo adalah program penerapan standar kinerja atau kompetensi personel pusdokinfo melalui pemeriksaan kompetensi individu dalam bidang pusdokinfo. Sertifikat kesesuaian terhadap persyaratan kompetensi diterbitkan dengan cara melakukan asesmen terhadap kriteria kompetensi yang dimiliki oleh individu (personel perpustakaan) sebagai pengakuan formal atas kompetensi tersebut. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sertifikasi personel harus berbasis pada kriteria persyaratan yang tertuang dalam dokumen standar. Dasar-dasar sertifikasi pustakawan Peraturan terbaru yang dikeluarkan pemerintah yang menjadi acuan utama dalam menyelenggrakan program sertifikasi pustakawan adalah Undang-Undang No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan. Pasal 1 ayat (8) UU No.43 Tahun 2007 menyatakan bahwa pustakawan adalah seseorang yang memiliki kompetensi yang diperoleh melalui pendidikan dan/atau pelatihan kepustakawanan serta mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk melaksanakan pengelolaan dan pelayanan perpustakaan. Berbicara tentang sertifikasi tidak dapat dilepaskan dari persoalan profesi dan kompetensi. Menurut Putu Laxman Pendit (2001), sebuah masyarakat "menciptakan" sebuah profesi untuk memastikan tersedianya produk atau layanan yang tidak bisa disediakan oleh "orang biasa" karena prosesnya yang rumit. Masyarakat memberikan "mandat" kepada pihak lain untuk ini, antara lain kepada negara dan pemerintahan yang memiliki kekuasaan untuk bertindak atas nama masyarakatnya. Lebih jauh Pendit menjelaskan bahwa selain standar kompetensi, ukuran lain untuk menilai profesionalitas adalah keilmiahan profesi itu, dan etika dasar seseorang ketika berkiprah di masyarakatnya. Keilmiahan sebuah profesi ini tentu saja disandarkan pada ilmu pengetahuan, sementara etika dan leitmotif bersandarkan pada falsafat, ideologi, dan pasti juga pada sejarah serta konteks sosial di mana sebuah profesi lahir. Faktor lain yang tidak kalah pentingnya dalam 5
meningkatkan profesionalisme adalah kemandirian profesi itu berhadapan dengan negara dan korporasi. Sebuah profesi akan jadi "alat" industri belaka kalau tidak mandiri berhadapan dengan korporasi. Sebuah profesi akan jadi "aparat" belaka kalau tidak mandiri berhadapan dengan negara (Pendit, 2011). Carolyn H. Lindberg (1990) menegaskan bahwa ada beberapa argumen terhadap ide sertifikasi bagi pustakawan, yakni: 1) sebagai jaminan kompetensi melalui pengujian; 2) sebagai metode pemberian status professional; dan 3) sebagai sarana untuk mendefinisikan yang mana/atau apa pekerjaan professional dan mana yang tidak. Diana D. Shonrock (2007) menyatakan bahwa sertifikasi pustakawan merupakan cara mengenali karyawan yang telah mencapai tingkat tertentu dalam hal pengetahuan dan ketrampilan di bidang kepustakawanan. Program sertifikasi memiliki manfaat bagi individu, perpustakaan, dan masyarakat pengguna perpustakaan. Menurut Shonrock (2007), manfaat sertifikasi bagi individu adalah: 1) Mendorong pustakawan untuk meningkatkan pemahaman mereka tentang operasional perpustakaan. 2) Memotivasi pustakawan agar memenuhi syarat untuk kemajuan dalam struktur perpustakaan. 3) Memberi rasa percaya diri pada pustakawan bahwa kinerja mereka berperan dalam pelayanan publik yang berkualitas dan selalu ingin memberikan layanan yang terbaik. Untuk persoalan sertifikasi pustakawan, Indonesia boleh disebut sangat ketinggalan jika dibandingkan dengan negara lain. Negara tetangga seperti Philipina misalnya, telah memiliki sertifikasi pustakawan layaknya profesi lain. Demikian juga di negara-negara Eropa di mana isu sertifikasi pustakawan sudah bergulir sejak tahun 50-60an dan masih terus relevan dibahas. Sertifikasi pustakawan yang dapat dikatakan telah sangat mapan tentunya di Amerika. Persoalan sertifikasi di negeri Barack Obama ini bahkan telah ramai dibahas dan diteliti sejak tahun 1950-an. Dalam penelitiannya berupa survei opini, Irene M. Kavanaugh dan Elizabeth C. Wescott (1951) mendapatkan banyak masukan dari pustakawan di Amerika mengenai penyelenggaraan sertifikasi pustakawan, mulai dari proses, sampai ke persoalan materi. Sama halnya dengan di Philipina, pada dasarnya pelaksanaan sertifikasi pustakawan di AS juga ditujukan untuk menciptakan layanan publik berkualitas, profesional, demi mencapai tujuan nasional negara, yakni good governance. Rangkuman literatur dan kerangka berpikir Beberapa kajian yang pernah dilakukan terkait sertifikasi pustakawan, diantaranya kajian Ruth Kraemer (1948) tentang “Certification of Librarians: Implications Drawn from the Field of Teaching”; Marydee Ojala (2003) tentang “Certifying Information Professioanls”; Diana D. Shonrock (2007) tentang “ALAAPA Support Staff Certification: RUSA’s Role”; Irene M. Kavanaugh and Elizabeth C. Wescott tentang “A National Examination as a Basis for Library Certification: A Survey of Opinion”; Charles H. Stones (1936) tentang “Certification for College and University Librarians”; P. L. Windsor tentang “Standardization of Libraries and Certification of Librarians”; Margaret E. Vinton (1937) tentang “Certification of 6
Librarians”; Kent Slade dalam “Certification of Support Staff: What Is It, What Does It Do?”; William J. Maher dalam “Contexts for Understanding Professional Certification: Opening Pandora's Box?” Dari beberapa literatur di atas, ada beberapa poin yang dapat dijadikan catatan yakni: 1) Isu sertifikasi selalu mendapat pro dan kontra dari kalangan pustakawan. Pada awalnya banyak keraguan akan manfaat dari sertifikasi karena dianggap sebagai penyangkalan terhadap kualitas lulusan sekolah perpustakaan. Namun seiring perjalanan waktu, kebanyakan pustakawan setuju sertifikasi dengan harapan sertifikasi akan lebih menguatkan eksistensi profesi pustakawan di mata masyarakat luas, sekaligus sebagai perlindungan hukum bagi pustakawan professional. 2) Program sertifikasi selalu ada kaitannya dengan sejarah sekolah perpustakaan di suatu negara. Program-program yang ditawarkan sekolah-sekolah perpustakaan menjadi bagian dari pertimbangan dalam mengembangkan program sertifikasi. Usulan dan penyelenggaraan sertifikasi pun selalu melibatkan para pengelola sekolah perpustakaan. 3) Sertifikasi dimaknai pustakawan secara beragam. Ada yang melihatnya sebagai alat untuk mendapatkan pengakuan hukum, ada yang melihatnya sebagai peluang untuk mendapat jaminan akan profesi pustakawan, dan ada yang menilainya sebagai alat untuk menyaring staf yang bekerja di perpustakaan yang bukan profesional. Sebagian kecil mengaitkannya dengan peningkatan gaji. 4) Sertifikasi pustakawan di beberapa negara bukan program wajib, namun seiring dengan perjalanan program tersebut, pustakawan sendiri menganggap bahwa wajib bagi mereka untuk mendapatkan sertifikat. 5) Pemberlakuan sertifikasi di beberapa negara dibedakan atas dasar tingkat pendidikannya. Sarjana dan Magister di bidang ilmu perpustakaan dan informasi tidak sama perlakuannya dengan level dibawahnya dalam hal mendapatkan sertifikasi. Begitu pula dengan materi untuk sertifikasi, berbeda untuk tiap jenjang. 6) Penyelenggaraan sertifikasi selalu erat kaitannya dengan penetapan standar kompetensi pustakawan dan pihak-pihak yang akan melakukan assessmen. Penyusunan standar kompetensi pustakawan banyak melibatkan sekolah perpustakaan dan pustakawan sendiri, sedangkan penetapan asesor melibatkan banyak pihak, termasuk pemerintah. 7) Pola atau skema pelaksanaan sertifikasi di berbagai negara sangat tergantung kepada hubungan asosiasi profesi dengan pemerintah, sebab peraturan sertifikasi nasional harus dikeluarkan oleh pemerintah. Peran asosiasi profesi pustakawan dalam program sertifikasi sangat menentukan berjalan tidaknya sertifikasi. 8) Tujuan akhir sertifikasi pustakawan harus diarahkan pada penciptaan good governance dengan memberikan layanan berkualitas bagi masyarakat luas, sebab pustakawan memiliki peran penting keberlangsungan pendidikan berkelanjutan dan pembelajaran seumur hidup. Profesionalisme pustakawan sangat diperlukan karena mereka bekerja untuk publik, dan profesionalisme ini harus dipupuk melalui kualitas pendidikan dan program yang menjamin kualitas kompetensi SDM, seperti sertifikasi. Pustakawan sebagai profesi hanya akan mendapat pengakuan jika keberadaannya dirasakan manfaatnya oleh pengguna. Dan untuk menghasilkan itu,
7
perlu pustakawan yang kompeten mengetahui kebutuhan pengguna, sekaligus memenuhinya. Satu-satunya cara untuk mencapai itu adalah dengan mengembalikan pustakawan ke core business nya, yakni: ilmu. Bahwa pustakawan adalah ilmuwan, harus berpikir dan bertindak seperti ilmuwan, yang pada akhirnya akan mendapatkan pengakuan dan penghargaan sebagai professional. Penelitian ini berangkat dari pemikiran bahwa sebagai profesi, seharusnya pustakawan juga mendapat tempat yang tepat di organisasi pendidikan tinggi, dan juga mendapat penghargaan yang layak. Seperti halnya dosen, seharusnya pustakawan juga mendapatkan penataan dan perlakuan yang sama sebagai bagian dari sebuah universitas. Peran pustakawan tidak dapat dipandang remeh mengingat berbagai keberhasilan pendidikan tinggi di kancah nasional dan internasional banyak dicapai berkat dukungan dan kerja keras pustakawan dalam menyediakan dan mengelola sumber-sumber informasi yang dibutuhkan sivitas akademika universitas tersebut. Hadirnya Undang-Undang No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan, yang menjadi acuan bagi pengembangan perpustakaan di Indonesia dan ditindaklanjuti oleh Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dan pihak-pihak terkait untuk menyusun berbagai program peningkatan kompetensi pustakawan merupakan momentum yang tepat untuk mengkaji apakah program sertifikasi sudah saatnya dipikirkan dan diselenggarakan. Pemahaman tentang sertifikasi juga harus dibangun berdasarkan unsur-unsur keilmuan, manfaat, dan urgensinya bagi pengembangan profesi pustakawan, serta kegunaannya bagi pengguna. Pustakawan tidak seharusnya berfokus kepada penghargaan atau apresiasi dalam bentuk materi dalam menjalankan profesinya, namun lebih mengutamakan fungsi keberadaan mereka di tengah-tengah masyarakat sosial. Isu sertifikasi juga seharusnya dikaitkan dengan otonomi pustakawan sehingga fokus utama tidak semata-mata pada perolehan apresiasi dalam bentuk materi. Sebagai pemangku profesi, pustakawan harus terus aktif memberikan masukan dan pandangan dalam rangka meningkatkan eksistensinya di tengah-tengah masyarakat. Karena itu kajian tentang sertifikasi perlu diperbanyak sebagai bahan bagi para pengambil kebijakan (khususnya PNRI dan lembaga terkait) dalam menyusun program-program pengembangan kepustakawanan Indonesia. Gambar 1. Kerangka berpikir penelitian
PerguruanTinggi
UU No. 43 Tahun 2007
Sertifikasi Pustakawan
dosen peneliti
PNRI
Rancangan
mahasiswa pustakawan Profesionalisme
Otonomi Profesi
KAJIAN ILMIAH
8
Metode penelitian Mengacu kepada tujuan penelitian, yakni menggali atau mengeksplor pendapat mengenai sertifikasi pustakawan, maka metode penelitian yang tepat adalah pendekatan kualitatif. Sebagaimana dijelaskan oleh Pendit (2003: 192193), jika penelitian kuantitatif bertujuan untuk mengukur dengan menggunakan alat ukur yang terstandar dan universal, penelitian kualitatif bertujuan untuk menggali atau mengeksplor pemahaman akan suatu permasalahan, dengan mengandalkan deskripsi dalam bentuk narasi yang kaya nuansa. Penelitian ini menerapkan metode Grounded Theory. Sebagaimana diketahui, Grounded theory merupakan metode penelitian yang paling banyak dirujuk dan dianggap sebagai wakil dari metode kualitatif. Untuk mengikuti metode ini secara sepenuhnya, maka penelitian ini melaksanakan anjuran analisis grounded theory, sebagaimana diuraikan oleh Strauss, yaitu melalui kegiatan pemberian kode yang harus dilakukan dalam tiga tahap: 1) Pemberian kode pembuka (open coding), sebagai tahap awal ketika seorang peneliti memeriksa dengan seksama semua data penelitiannya (baik merupakan hasil observasi, wawancara, dokumen tertulis, dan sebagainya). 2) Pemberian kode di sekitar poros kategori (axial coding), sebagai kegiatan analisis yang lebih intensif terhadap data, indikator, konsep, dan kode yang dihasilkan oleh tahap pertama di atas. 3) Pemberian kode secara terpilih (selective coding), sebagai kegiatan analisis sistematis dan terpusat kepada apa yang disebut kategori inti (core category). Peneliti membatasi kegiatan pemberian kode dan analisis hanya pada hal-hal yang secara signifikan berkaitan dengan kategori-kategori inti. Metode pengumpulan data Pengumpulan data dari informan digunakan tiga tahap yaitu : Tahap I. Identifikasi calon informan Pada tahap ini peneliti menyebarkan kuesioner singkat kepada pustakawan berbagai perguruan tinggi untuk mengetahui apakah mereka memiliki pemahaman atau perhatian tentang sertifikasi pustakawan. Dari sekitar 200 pustakawan yang dikirim kuesioner, yang memberikan respon adalah 63 pustakawan (31%). Dan dari 63 orang tersebut, semuanya mengatakan pernah mendengar isu sertifikasi pustakawan melalui milis atau dari acara kepustakawanan. Namun yang memiliki pemahaman atau perhatian dengan topik ini dan sekaligus bersedia untuk diwawancarai hanya 15 orang. Untuk melengkapi data/informasi, peneliti menentukan informan dengan membaca dokumen atau berita terkait isu sertifikasi pustakawan dan siapa saja yang sering memberikan pendapat atau masukan tentang topik tersebut. Lalu mengidentifikasi pihak-pihak yang karena posisinya memang harus diwawancarai, antara lain: staf pengajar dari Jurusan Ilmu Informasi dan Perpustakaan, pengamat kepustakawanan, pihak Badan Standarisasi Nasional, pihak asosiasi profesi, pihak Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, serta orang-orang yang dirujuk oleh informan sebagai sumber informasi yang perlu diwawancarai. Tahap II. Wawancara mendalam Tahap ini adalah untuk menggali pendapat yang lebih mendalam dari informan. Pada tahap ini dilakukan wawancara (temu muka, melalui email, dan telepon) dengan semua informan sesuai dengan kisi-kisi pertanyaan yang telah disediakan. Pengecekan atau trustworthiness juga langsung dilakukan pada tahap ini melalui email. Interviu dilakukan sampai data-data yang didapatkan sudah 9
cukup mendetail, dan peneliti sudah merasakan tidak ada lagi data baru yang bisa didapatkan. Tahap III. Diskusi di jejaring sosial Untuk memperkaya informasi dari berbagai kalangan pustakawan tentang isu sertifikasi, bekerja sama dengan salah seorang informan (SA) peneliti merancang sebuah diskusi terbuka tentang sertifikasi di grup “SOLIDARITAS PUSTAKAWAN UNTUK PERUBAHAN” (http://www.facebook.com/groups/solidaritaspustakawan/). Jumlah pustakawan yang tergabung dalam grup ini adalah 948 orang dan yang ikut dalam diskusi adalah 20 orang. Diskusi dibuka selama 1 minggu dan mendapat respon dari 10 orang. Sumber informasi dan informan Berdasarkan kriteria informan yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah: No
Tabel 2. Profil informan penelitian Pendidikan Instansi
1
Sandi Nama AN
Jenis Kelamin Laki-laki
2 3 4 5
AW YS ES US
Perempuan Perempuan Perempuan Perempuan
S2 S2 S2 S1
6
AA
Laki-laki
S1
7
SA
Laki-laki
S1
8 9 10
SB LW SH
Laki-laki Perempuan Laki-laki
S3 S2 S1
11
HR
Perempuan
S3
12
MA
Laki-laki
S2
UK Petra Surabaya UNDIP Semarang UNPAD Bandung UKSW Salatiga UNIKOM Bandung UIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta Perpustakaan IRE Yogyakarta UI UI Depok Universitas Cendrawasih Universitas Tarumanegara Jakarta UI Depok
13 14 15
IS YA HK
Laki-laki Perempuan Perempuan
S2 S2 S1
UI Depok UNJ ISIPII
16
MW
Perempuan
S2
STIE Perbanas Surabaya
17 18 19
PL NS BS
Laki-laki Perempuan Laki-laki
S3 S2 S2
BSN PDII LIPI
20 21
LZ DR
Perempuan Laki-laki
S3 S2
UGM PNRI
S2
Profesi / Jabatan
Kepala Perpustakaan Kepala Perpustakaan Pustakawan fungsional Kepala Pustakawan Kepala Perpustakaan Mahasiswa Pascasarjana Jurusan Ilmu Perpustakaan Pustakawan non fungsional Dosen IP&I Pustakawan non fungsional Pustakawan fungsional Kepala Perpustakaan Dosen / non pustakawan Pustakawan fungsional Staf pengajar IP&I Pustakawan fungsional Pustakawan fungsional Pengamat perpustakaan Tim perumus RSKKNI Kepala Perpustakaan Pengamat kepustakawanan Pengambil kebijakan Pustakawan senior Anggota Komite RSKKNI Staf pengajar IP&I Pustakawan utama Mantan Kepala PNRI
10
Analisis data Analisis dilakukan dengan menerapkan tahap-tahap pengodean berbuka (open coding), diikuti oleh pengodean berporos (axial coding) dan diakhiri dengan pengodean berpilih (selected coding) (Strauss & Corbin, 2003, p.55-156). Dengan demikian analisis dilakukan sepanjang proses pengodean data. Berikut ini adalah tahapan pengumpulan data dan analisis. Gambar 2. Tahapan pengumpulan data dan analisis
Analisis dan Pembahasan Open coding Setelah melakukan open coding untuk setiap informan, maka dilakukan “normalisasi” untuk mendapatkan istilah-istilah serupa, lalu dikelompokkan lagi menjadi beberapa topik sebagai berikut: • • • • • • • • • • • • •
Kepustakawanan, masalah Konsep fungsional Sertifikasi, masalah Sertifikasi, alat Sertifikasi, proses Sertifikasi, pengakuan Otonomi Profesionalisme Perbaikan citra Apresiasi Objek Efisiensi Standar
• • • • • • • • • • •
Model Berjenjang Asosiasi profesi Pengelola ilmu perpustakaan Pustakawan Pihak terkait Independen Asesor Prosedur Kompetensi Pengembangan diri
Axial coding Pada tahap ini peneliti mencoba melihat kaitan antara berbagai kata kunci yang dianggap memberikan indikasi penting tentang informan dan konsep yang muncul dari ucapan atau interaksi peneliti-informan. Dari kegiatan inilah peneliti dapat membuat berbagai kategori konsep dan kaitan antara mereka sehingga terbentuk poros (axis) atau kelompok kategori. 11
1) Konteks urgensi sertifikasi Axial coding pertama yang dapat dilakukan adalah untuk melihat bagaimana informan memaknai urgensi sertifikasi pustakawan, latar belakangnya, dan masalah-masalah apa yang ada di lapangan. Persoalan kepustakawanan di Indonesia sangat kompleks, antara lain akibat kegagalan lembaga pendidikan perpustakaan dalam menjalankan perannya sebagai penghasil ilmuwan, relevansi kurikulum yang rendah, serta ketidakjelasan visi sehingga kepustakawanan tidak mengakar di tengah masyarakat. Ini mengakibatkan tidak berkembangnya perpustakaan di Indonesia sehingga tidak ada pengakuan bahwa profesi ini adalah profesional. Ketidakjelasan visi ini berkaitan dengan pekerjaan pustakawan yang dinilai amatiran, sehingga membuatnya kurang berwibawa, dan untuk itu perlu akuntabilitas. Akuntabilitas ini merupakan salah satu strategi untuk meningkatkan kewibawaan profesi pustakawan. Sementara kalau diurai lebih rinci lagi, kegagalan lembaga pendidikan perpustakaan juga berkaitan dengan beberapa ketidakjelasan tentang lulusan seperti apa yang ingin dihasilkan. Ini terjadi karena tidak adanya kerja sama antara pengelola lembaga pendidikan dengan kelompok pustakawan pustakawan dalam merumuskan kualitas lulusan sehingga dapat mengembangkan kurikulum yang relevan dengan kebutuhan masyarakat. Komunikasi ini sangat penting karena dengan dasar pemahaman perkembangan di lapangan, pengelola pendidikan perpustakaan dapat sekaligus menentukan kompetensi staf pengajarnya. Pentingnya akuntabilitas profesi pustakawan dapat dilakukan melalui proses sertifikasi. Namun ide sertifikasi ini pun tidak sepenuhnya diterima atau disepakati sebagai cara untuk mendapatkan status ‘akuntabel’. Sertifikasi berkaitan dengan konsep, proses, sistem, tujuan, pelaksana, prosedur, dan model. Sistem dianggap sebagai strategi untuk menentukan pelaksana sertifikasi dan penentuan model/skema yang akan digunakan. Konsep fungsional hanya berlaku untuk PNS dan tidak popular di masyarakat banyak khususnya yang bekerja di swasta. Konsep ‘jabatan fungsional’ hanya berupa portofolio atau laporan kinerja pustakawan. Artinya, proses verifikasinya hanya bersifat pemeriksaan portofolio, tanpa uji kompetensi. Beberapa informan memahami ini sebagai perbedaan mendasar antara fungsional dengan sertifikasi. Bahwa pustakawan fungsional tidak berarti pustakawan profesional merupakan fakta yang perlu dipahami sebagai penyebab munculnya kesan akan kinerja pustakawan PNS yang dinilai tidak optimal. Pada gambar berikut, dapat dilihat bahwa ide sertifikasi merupakan strategi mengatasi kondisi profesi perpustakaan yang ‘tidak berkembang’namun tidak berkaitan langsung dengan ‘kegagalan sekolah Ilmu Perpustakaan dan Informasi’. Demikian juga dengan axis ‘perlu akuntabilitas’ tidak berkaitan langsung dengan persoalan gagalnya sekolah Ilmu Perpustakaan. memberikan gambaran bahwa pustakawan pendidikan tinggi menyadari bahwa persoalan yang dialami dunia kepustakawanan sifatnya sangat mendasar dan menyangkut filosofi keilmuan, sedangkan sertifikasi hanya sebagai salah satu cara mendapatkan pengakuan sebagai profesi. Berikut ini adalah keterkaitan berbagai axial coding yang menggambarkan kompleksnya permasalahan kepustakawanan:
12
Gambar 3. Axial coding konteks urgensi sertifikasi
Persoalan kepustakawanan kompleks
Visi tidak jelas
kaitan
Tidak diakui
kaitan
Kegagalan sekolah IP&I
kaitan
Amatiran
konsekuensi
kaitan Tidak punya ilmuwan
kaitan
strategi konsekuensi
kaitan
Tidak berwibawa Output tidak jelas
Sertifikasi pustakawan?
Tidak profesional kaitan konsekuensi
kaitan strategi
Relevansi kurikulum strategi
Tidak berkembang
kaitan
kaitan
Fungsional
Rekap laporan Perlu akuntabilitas
Cara menggelola
13
2) Pemaknaan sertifikasi Antusiasme pustakawan akan sertifikasi dapat dianggap menjadi sebuah axis, di mana antusiasme ini masih dipertanyakan, apakah untuk alasan kualitas atau remunerasi. Namun antusiasme ini juga dianggap sebagai strategi bagi PNRI dan BSNP untuk menjalankan program sertifikasi bagi pustakawan. Ijazah pustakawan dinilai sama dengan sertifikat sehingga program ini bukanlah prioritas, hanya dianggap sebagai alasan normatif saja. Munculnya gagasan sertifikasi sebagai alasan normatif dapat dipahami sebagai akibat banyaknya pustakawan yang menjadikan sertifikasi guru sebagai acuan, serta pandangan bahwa yang namanya professional sebaiknya melalui tahapan pendidikan profesi, jika tidak proses sertifikasi. Sertifikasi dimaknai sebagai sebuah proses verifikasi yang berkaitan dengan peningkatan visibilitas dengan menggunakan startegi pengaturan profesi serta pengeluaran legalitas. Proses ini juga merupakan strategi untuk mendapatkan kesetaraan dengan profesi lain dengan menentukan standar kompetensi untuk peningkatan profesionalisme yang semuanya berujung pada pengakuan akan profesi pustakawan. Jika diperhatikan dalam gambar di atas, jelas sekali bahwa makna pokok dari sertifikasi adalah sebuah proses verifikasi untuk mendapatkan pengakuan. Dalam gambar di atas terlihat bahwa proses sertifikasi merupakan strategi dari pengaturan profesi dan upaya untuk mendapatkan kesetaraan dengan profesi lain, dan sebagai konsekuensinya adalah adanya pengakuan profesi. Pengakuan ini juga merupakan konsekuensi dari peningkatan profesionalisme. Hubungan antara axial coding di atas dapat digambarkan dalam coding berikut :
14
Gambar 4.Axial coding pemaknaan sertifikasi
Antusiasme pustakawan
kaitan
kaitan
Alasan normatif kaitan
Uji kompetensi
Konsep PNRI & BSNP
Profesionalisme
strategi
Pemberian pekerjaan
Pengaturan profesi
kaitan
Legalitas
kaitan
strategi
strategi kaitan
strategi kaitan
Kesetaraan dengan profesi lain strategi
Cara lumrah kaitan
Bukti kompetensi
strategi
strategi
Tools menigkatkan visibilitas
kaitan
konsekuensi konsekuensi
Proses penilaian
Pengakuan profesi
konsekuensi
Proses verifikasi
15
3) Pemahaman tentang tujuan sertifikasi Otonomi dan profesionalisme menjadi axis dalam hal tujuan sertifikasi. Otonomi berkaitan dengan perlindungan profesi dan merupakan strategi untuk bertindak layak, sedangkan perlindungan profesi merupakan strategi dari jaminan kualitas. Jaminan kualitas juga merupakan strategi dari profesionalisme yang berkaitan dengan bukti kompetensi. Profesionalisme berkaitan dengan penegasan fungsi dan perlindungan profesi. Axial coding lainnya dari tujuan sertifikasi adalah untuk perbaikan citra pustakawan di mana dengan sertifikasi identik dengan apresiasi atas status dan ini berkaitan dengan tunjangan yang diharapkan akan meningkat sebagai wujud legitimasi dan hak atas pembayaran. Peningkatan karier juga akan terjadi serta peningkatan minat masyarakat akan profesi pustakawan. Kurangnya minat masyarakat terhadap profesi pustakawan dipahami sebagai akibat dari minimnya apresiasi terhadap pustakawan itu sendiri. Kurangnya apresiasi ini didasari pada rendahnya tunjangan atau kesejahteraan yang diterima pustakawan selama ini. Kenaikan tunjangan atau kesejahteraan dimaknai sebagai strategi untuk peningkatan karier, di mana jenjang karier dianggap berbanding lurus dengan kesejahteraan. Selain untuk perbaikan citra pustakawan, manfaat atau tujuan lain dari sertifikasi dapat dirasakan oleh lembaga perpustakaan, lembaga pendidikan perpustakaan, asosiasi profesi, serta masyarakat pengguna perpustakaan. Efisiensi merupakan salah satu axis dalam hal manfaat sertifikasi. Efisiensi ini berkaitan dengan kemudahan dalam menilai dan mengevaluasi pustakawan yang akan menghasilkan kemajuan profesi tersebut. Kemajuan profesi ini berkaitan dengan eksistensi organisasi profesi dan menjadi strategi dalam mengukur relevansi kurikulum di sekolah perpustakaan. Efisiensi juga berkaitan dengan mengeliminir keragaman kompetensi yang dihasilkan berbagai lembaga pendidikan perpustakaan. Bagi lembaga perpustakaan, sertifikasi akan sangat membantu memangkas proses yang selama ini dilakukan jika ingin merekrut pustakawan. Tidak hanya mempermudah proses perekrutan karena dengan adanya sertifikasi dianggap sebagai bukti kompetensi sehingga lembaga tidak perlu mengadakan uji kompetensi lagi, namun juga menjadi alat untuk menilai atau mengevaluasi kinerja pustakawan berdasarkan standar kompetensi yang diacu dalam sertifikasi. Dari berbagai coding di atas terlihat bahwa walaupun pustakawan menyadari bahwa sertifikasi hanyalah salah satu cara untuk mendapatkan pengakuan profesi, namun pustakawan tetap menaruh banyak harapan terhadap program ini. Pustakawan memaknai bahwa sertifikasi akan memberikan manfaat bagi banyak pihak yang terkait dengan dunia kepustakawanan. Ini dapat dikatakan merupakan sikap bias akibat kekurangpahaman akan konsep sertifkasi yang akan dilaksanakan. Dapat juga dikatakan bahwa pemahaman pustakawan akan segala sesuatu tentang program sertifikasi tidak didasarkan pada informasi lengkap yang diperolehnya dari lembaga berwenang, namun lebih kepada persepsi pribadi dan informasi-informasi yang diperolehnya dalam kehidupan sehari-hari. Hubungan antar coding di bawah ini menunjukkan bahwa otonomi yang diharapkan menjadi tujuan akhir dari sertifikasi akan menjamin perlindungan profesi serta profesionalisme, membutuhkan adanya standar serta akan menghasilkan efisiensi. Berbagai konsep yang muncul dalam coding di bawah ini juga menggambarkan ketidakjelasan tentang ‘apa’ menghasilkan ‘apa’. Semua konsep saling terkait dan dapat menjadi ‘penyebab’ sekaligus juga sebagai ‘akibat’. Otonomi misalnya, diharapkan sebagai tujuan dari sertifikasi. Namun otonomi sendiri juga merupakan hal yang harus dimiliki jika ingin menjalankan sertifikasi serta meningkatkan profesionalisme. Demikian juga dengan eksistensi organisasi. Di negara lain, sertifikasi berjalan karena organisasi profesinya telah mapan dan eksis. Ini berbeda dengan pemahaman beberapa informan dalam penelitian ini di mana sertifikasi dianggap akan memperkuat eksistensi organisasi profesi. Berikut ini kaitan antar coding :
16
Gambar 5. Axial coding tujuan sertifikasi
Perlindungan profesi
Eksistensi organisasi
kaitan
konsekuensi
strategi
konsekuensi
Mempermudah penilaian & evaluasi
Standar
strategi
konsekuensi
strategi
Efisiensi
konsekuensi
kaitan
Kemajuan profesi
Otonomi
kaitan
kaitan
Mengeliminir keragaman kompetensi lulusan
strategi
Apresiasi
konsekuensi kaitan
Tunjangan
kaitan
Karier
Profesional
kaitan
kaitan
Jaminan kualitas
strategi
kaitan
Profesi makin diminati
17
4) Pemahaman tentang proses sertifikasi ‘Penetapan kriteria’ menjadi coding utama dalam penetapan proses sertifikasi. Kriteria ini berkaitan dengan status kepegawaian pustakawan (PNS atau swasta) dan merupakan konsekuensi dari adopsi sistem sertifikasi profesi lainnya (seperti sertifikasi guru/dosen yang direkomendasikan informan sebagai model yang layak dirujuk). Sistemnya dapat dilakukan berjenjang dan tidak wajib. Sistem ini berkaitan dengan ketentuan yang ada di SNI atau berkaitan dengan model yang diterapkan pustakawan di negara lain. ‘Penetapan kriteria’ ini maksudnya adalah penentuan kriteria pustakawan yang akan mengikuti sertifikasi, apakah berdasarkan latar belakang keilmuan, lama bekerja, status kepegawaian, atau faktor-faktor lainnya. Jika ingin mengadopsi model dari negara yang telah menerapkan sistem sertifikasi pustakawan, perlu dipastikan bahwa tujuan atau target yang ingin dicapai memang sama serta kultur atau kondisi organisasinya memang mirip. Ini untuk menghindari kesalahan mengadopsi model. Demikian juga dengan gagasan mengadopsi sistem sertifikasi dari profesi lain, seperti sistem yang diterapkan di profesi guru misalnya. Harus dipastikan bahwa karakter profesi memiliki persamaan serta adanya bukti-bukti kesuksesan atau efektifitas sistem tersebut. Skema yang jelas merupakan kata kunci utama berkaitan dengan prosedur dan pelaksana sertifikasi. Skema ini berkaitan dengan objektivitas dan transparansi. Konsep transparansi berkaitan dengan pemberlakuan sanksi, di mana setiap tahapan yang dilalui dalam proses sertifikasi harus jelas tujuannya dan segala penyimpangan harus dikenakan sanksi. Semua proses ini dilakukan secara terbuka/transparan. Pelaksana sertifikasi diharapkan melibatkan berbagai lembaga dan asesor. Ini merupakan strategi dalam menjalankan konsep indenpendensi. Hubungan antara coding yang berkaitan dengan pemahaman terhadap proses sertifikasi dapat dilihat dalam axial coding berikut : Gambar 6. Axial coding pemahaman tentang proses sertifikasi
Berbagai lembaga
Penetapan skema
strategi
Objektivitas
konsekuensi
strategi
Kriteria
kaitan
Independensi
konsekuensi
Status kepegawaian
kaitan
Model
kaitan
Sifat
19
5) Pemahaman terhadap kompetensi pustakawan Penetapan materi yang akan diujikan dalam sertifikasi pustakawan menjadi entry point penting sebagai strategi untuk mengukur apakah standar yang telah ditentukan tercapai serta sebagai strategi untuk melihat perkembangan pengetahuan peserta. Penetapan materi ini berkaitan juga dengan ketercapaian tujuan sertifikasi. Gambar 7. Axial coding pemahaman terhadap kompetensi pustakawan
Ukuran/standar kaitan
Ketercapaian tujuan
kaitan strategi kaitan
Update knowledge
strategi
Penetapan materi
Gagasan ‘update knowledge’ merupakan sesuatu yang bias dari pemahaman pustakawan tentang sertifikasi. Beberapa informan memaknai bahwa sertifikasi akan menjadi media untuk meningkatkan pengetahuan karena pustakawan dituntut untuk terus membarui wawasannya. Di lain pihak, informan lain menilai bahwa sertifikasi justru untuk mengukur apakah kompetensi dan wawasan pustakawan meningkat. Dalam konteks ini, sertifikasi dimaknai sebagai alat sekaligus sebagai tujuan. Kesimpulan Setelah melakukan analisis melalui proses coding di atas, maka pada bagian ini dilakukan pembahasan yang merangkum dan menyimpulkan keseluruhan hasil penelitian. Sebagaimana dianjurkan dalam penelitian grounded theory, keseluruhan langkah analisis adalah open codingà axial coding à interpretasi. Setelah itu, dilakukan selective coding dan analisis terhadap konteks. Dari sinilah diambil kesimpulan pertama. Langkah ini merupakan proses penyederhanaan informasi, untuk membantu peneliti menemukan titik-titik perhatian (fokus) analisis, agar akhirnya nanti dapat mencari makna utama yang utuh dari sebuah fenomena. Perlu ditegaskan, pembuatan coding bukan akhir dari analisis, dan coding bukan merupakan alat analisis satu-satunya. Coding hanya membantu proses menemukan fokus penelitian, bukan tujuan akhir dari analisis. Strauss dan Corbin (1998) menyatakan bahwa selective coding merupakan proses mengintegrasikan dan menghaluskan data. Proses integrasi itu sendiri merupakan bagian tak terpisahkan dari interaksi antara peneliti dengan data. Keseluruhan proses mulai dari pengumpulan data, penulisan data, open coding, sampai axial coding di atas, adalah proses interaksi antara peneliti dengan data. Strauss dan Corbin menganjurkan agar selective coding dilakukan tidak hanya untuk mereduksi informasi menjadi serangkaian topik atau tema, melainkan juga mengupayakan terciptanya konsep yang dapat menjelaskan fenomena yang diteliti. Untuk dapat melakukan ini, maka peneliti perlu mengenakan berbagai tingkatan 20
interpretasi terhadap data dan informasi yang diperlolehnya; bukan sekadar mencari isu pokok dari dalam data itu. Itu sebabnya, dalam selective coding dilakukan interpretasi teoritis sebagai bagian dari upaya peneliti memahami dan menemukan makna di dalam keseluruhan proses penelitian ini. Berikut ini hasil selective coding, perangkuman, dan penyimpulan penelitian ini. 1. Akuntabilitas dan pengakuan versus kegagalan lembaga pendidikan perpustakaan Di kalangan pustakawan yang menjadi sumber informasi (informan) dalam penelitian ini, tersirat bahwa kepustakawanan Indonesia mempunyai persoalan mendasar yang menjadi sumber keterpurukan profesi pustakawan. Pada coding di atas kita dapat melihat tiga hal yang menjadi pokok permasalahan kepustakawanan Indonesia, yakni: pengakuan profesi, kegagalan ilmu pendidikan dan informasi, fungsional versus sertifikasi. Persoalan-persoalan di bidang kepustakawanan ini dilatarbelakangi oleh banyak faktor, baik dari kalangan pustakawan sendiri maupun dari pihak luar pustakawan (seperti pihak pemerintah dan masyarakat umum). Kesadaran pustakawan akan tidak adanya pengakuan terhadap profesinya nampaknya didasari pada kenyataan bahwa di lembaga pendidikan tinggi, pekerjaan pustakawan cenderung dianggap sebagai pekerjaan teknis, dan bukan professional. Pendapat ‘tidak diakui’ ini juga didasari pada fakta lemahnya posisi tawar pustakawan di lingkungan pendidikan tinggi seperti dikatakan informan berikut: Posisi tawar kita itu sangat lemah di pendidikan tinggi, apalagi jika dibandingkan dengan dosen.Karenanya sulit mengharap pengakuan apalagi menuntut penghargaan dari lembaga.
Sedangkan kegagalan pendidikan ilmu perpustakaan didasari pada pengalaman bahwa di lapangan, kompetensi yang diperoleh dari lembaga pendidikan kurang relevan, serta tidak adanya ilmuwan di bidang ilmu perpustakaan dan informasi. Lalu masalah fungsional versus sertifikasi muncul akibat ketidakjelasan konsep sertifikasi yang tengah disiapkan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia. Munculnya ide sertifikasi tidak dapat dikatakan sebagai solusi tepat, melainkan hanya sebagai alternatif meningkatkan profesionalisme pustakawan.Ide ini pun masih mendapat pro dan kontra diantara pustakawan. Lagi-lagi, persoalannya adalah ketidakjelasan konsep sertifikasi tersebut. Pustakawan juga menyadari bahwa sertifikasi bukanlah jaminan untuk mendapatkan pengakuan sebagai professional. Persoalan utama yang mendesak adalah membenahi dan mengatasi berbagai persoalan yang telah mengakar, yakni cara mengelola pendidikan perpustakaan, seperti dikatakan informan berikut: Persoalan utama kepustakawanan Indonesia adalah bahwa profesi ini tidak punya kewibawaan. Perpustakaan itu belum mengakar di bumi Indonesia. Ini diakibatkan oleh beberapa hal, yakni: kegagalan ilmu perpustakaan dan pengelola perpustakaan meyakinkan masyarakat Indonesia atas fungsi perpustakaan. Ilmu perpustakaan tidak berkembang dan tidak punya ilmuwan di bidang perpustakaan. Kebanyakan pekerjaan pustakawan adalah pekerjaan pribadi, bukan pekerjaan profesi/ organisasi. Pustakawan adalah orang yang memiliki kompetensi, jadi seharusnya ada kesepakatan antara pustakawan dan sekolah perpustakaan. Setelah disepakati, lalu menyusun kurikulum supaya kompetensi yang telah disepakati itu dapat dicapai. Lalu dicari dosen yang bisa mengajar sesuai kurikulum itu. Persoalan kita adalah, sekolah perpustakaan di Indonesia tidak mempunyai tujuan yang jelas, mau menghasilkan lulusan yang seperti apa? Sehingga tidak dapat menentukan 21
kurikulum yang jelas dan kompetensi pengajar yang relevan. Nah, semua ini harus diatasi dengan melihat akar permasalahan, bukan dengan sertifikasi!
Interpretasi 1 Seorang pustakawan menganggap dirinya profesional jika mendapat pengakuan dan penghargaan dari lingkungannya, baik dari kelompok profesinya sendiri, dari lembaganya, dan dari masyarakat umum (pengguna perpustakaan). Di pendidikan tinggi, pustakawan cenderung membandingkan posisinya dengan kelompok dosen. Hal ini senada dengan kajian Ruth Kraemer (1948) yang mengatakan bahwa merujuk pada peran guru sebagai penyelenggara pendidikan, pustakawan juga berusaha membenarkan kebutuhan mereka akan perlunya perlindungan hukum melalui sertifikasi untuk menekankan posisi mereka sebagai anggota dari institusi pendidikan. Pustakawan sangat berkepentingan dalam perluasan layanan kepada kelompok masyarakat, meningkatkan bantuan dalam penelitian ilmiah, serta mengembangkan minat agar aktif dalam pendidikan orang dewasa sebagai bentuk tanggung jawabnya sebagai professional. Dari hasil kajiannya, Kraemer (1948) mengatakan bahwa sertifikasi akan memberikan rasa percaya diri bagi pustakawan dalam memberikan layanan yang baik, melindungi pustakawan yang kompeten, meningkatkan prestise profesi, dan ‘mengasuransikan’ pustakawan berkualitas. Namun profesionalisme tidak melulu soal sertifikasi. Seperti dikatakan Pendit (2001) bahwa penting sekali bagi sebuah profesi untuk memiliki otonomi, sebab seorang yang professional seharusnya juga seorang yang otonom. Otonomi pustakawan penting dipahami dari sisi posisi dan hubungan sosial, karena sangat relevan dengan kondisi yang dihadapi pustakawan Indonesia saat ini. Menurut Pendit (2001) ada dua alasan tentang ini. Pertama, karena saat ini para pustakawan Indonesia berhadapan dengan pertanyaan pokok tentang apa sebenarnya peran mereka dalam perubahan masyarakat yang sangat mendasar, termasuk khususnya ide tentang demokratisasi, masyarakat madani dan perubahan dalam pemerintahan daerah (otonomi daerah). Kedua, pustakawan berkegiatan di bidang informasi yang saat ini terus menerus berubah dengan cepat, sehingga ada pertanyaan tentang jati diri profesi ini di hadapan profesi-profesi lainnya. Berbeda dengan negara-negara yang telah menjalankan program sertifikasi, pendapat bahwa lembaga pendidikan ilmu perpustakaan dan informasi di Indonesia gagal, merupakan temuan dalam penelitian ini. Di negara lain, seperti Amerika, Inggris, Kanada, dan Philipine tidak menganggap bahwa kualitas lembaga pendidikan perpustakaan rendah atau tidak memenuhi kualifikasi untuk menghasilkan pustakawan professional. Sertifikasi di berbagai negara tersebut tidak berkaitan dengan kualitas pendidikan, hanya sebagai upaya mendapatkan pengakuan sebagai sebuah profesi. Persoalan status kepegawaian pustakawan di berbagai negara juga tidak terlalu menonjol, seperti halnya yang terjadi di Indonesia, yakni konsep ‘fungsional’ dan sertifikasi. Jadi, fokusnya bukan ke status kepegawaian, namun ke status telah bersertifikasi atau tidak. Kesimpulan 1: Pustakawan pendidikan tinggi menyadari masalah-masalah yang mendominasi kepustakawanan Indonesia bersifat mendasar, yakni: kurangnya pengakuan dan gagalnya lembaga pendidikan perpustakaan sebagai lembaga yang memproduksi pustakawan. Kondisi ini diakibatkan tidak adanya visi yang 22
jelas, serta pendidikan perpustakaan tidak mengakar di bumi pertiwi. Pemahaman ini didasari pada pengalaman tidak diakui sebagai profesi akibat kualitas pendidikan perpustakaan yang belum optimal. Masalah-masalah mendasar ini melibatkan banyak pihak, tidak hanya kelompok pustakawan namun juga dari pihak pemerintah dan masyarakat. Prioritas utama kepustakawanan Indonesia seharusnya merujuk kepada persoalan-persoalan yang telah mengakar, sedangkan sertifikasi dinilai sebagai salah satu cara saja dalam memastikan profesionalitas seseorang. Saran 1: Kompleksnya persoalan dunia kepustakawanan di Indonesia tidak melulu tanggung jawab PNRI sebagai lembaga pembina perpustakaan. Seluruh pihak yang terkait, khususnya pustakawan sendiri harus memiliki pemahaman yang jelas tentang persoalan yang ada dan bersama-sama dengan lembaga pendidikan dan asosiasi profesi. Namun sebagai lembaga yang memiliki posisi strategis dalam pengembangan perpustakaan di Indonesia, PNRI dapat proaktif menjadi wadah di mana segala persoalan kepustakawanan dikumpulkan, dianalisis, dan dipecahkan secara bersama-sama. Ini dapat diwujudkan dengan menciptakan program atau kegiatan yang sifatnya merangkul berbagai pihak untuk pengembangan kepustakawanan. Demikian juga dengan asosiasi profesi, perlu lebih proaktif menyuarakan persoalan-persoalan di lapangan, serta berani ‘menembus’ level pengambil kebijakan untuk menegakkan ‘wajah’ profesi pustakawan. Asosiasi profesi perlu lebih sering muncul di tengah-tengah masyarakat sebagai kelompok yang memiliki perhatian terhadap penegakan hak-hak masyarakat dalam mendapatkan informasi. Pustakawan sendiri tidak cukup hanya dengan menyadari bahwa ada masalah! Bagaimanapun juga masalah pustakawan harus dipecahkan oleh pustakawan juga. Kenyataan di lapangan bahwa minimnya minat pustakawan untuk bergabung ke organisasi profesi juga menandakan bahwa sebagian besar pustakawan hanya menyerahkan nasibnya kepada orang lain, hanya berharap orang lain lah yang mengatasi persoalannya. Pola pikir seperti ini harus dihilangkan dengan cara menunjukkan bahwa ada manfaat berarti jika bergabung ke organisasi profesi. Dan ini semua adalah tugas kolektif, bukan tanggung jawab pribadi. 2. Sertifikasi sebagai alat, sekaligus tujuan Sertifikasi dimaknai secara beragam oleh pustakawan, yakni sebagai alat untuk meningkatkan visibilitas dan kompetensi; sebagai proses verifikasi atau mekanisme untuk memastikan kualitas/kompetensi; serta sebagai pengakuan profesi dari berbagai pihak sekaligus untuk keseteraan dengan profesi lain. Sertifikasi juga dianggap sebagai legalitas untuk bertindak sebagai profesional sekaligus untuk menentukan ‘harga’ diri sendiri. Keragaman pemaknaan ini sangat tergantung kepada pengalaman sehari-hari pustakawan, dan posisinya sebagai bagian dari kelompok pustakawan.
23
Interpretasi 2 Pemahaman pustakawan terhadap sertifikasi bukan persoalan benar atau salah mengingat program ini masih dalam wacana. Pustakawan cenderung memaknai sertifikasi berdasarkan pengetahuan mereka tentang sertifikasi guru, di mana yang paling banyak diberitakan tentang sertifikasi guru adalah berujung pada tunjangan. Pemaknaan pustakawan tentang sertifikasi pun senada dengan pengertian sertifikasi yang diterapkan dalam sertifikasi guru, yakni sebagai proses pembuktian bahwa seorang guru telah memenuhi persyaratan yang ditentukan oleh peraturan perundangundangan. Proses pembuktian ini dapat saja melalui suatu uji kompetensi guru sebagaimana ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan tersebut. Sejalan pula dengan pernyataan Carolyn H. Lindberg (1990) yang mengatakan bahwa istilah sertifikasi adalah proses untuk memverifikasi bahwa seorang individu memiliki kualitas untuk melakukan praktek profesi yang ditekuninya. Jika dikaitkan dengan pendapat para informan yang tertuang dalam coding di atas, dan pendapat Pendit (2001) tentang otonomi, dapat dikatakan bahwa konsep pustakawan tentang pentingnya sertifikasi menjadi rancu dengan persoalan-persoalan kepustakawanan yang diungkapkan pustakawan sendiri. Persoalan kepustakawanan didominasi masalah pengakuan dan profesionalisme, dan sertifikasi dianggap sebagai salah satu jalan keluar. Di sisi lain, sertifikasi justru merupakan gambaran otonomi dan bukti pengakuan sebagai profesi. Dalam konteks ini, sertifikasi dapat sebagai alat, sekaligus sebagai tujuan. Yang menarik dalam penelitian ini adalah tidak ada pustakawan yang mendasarkan pendapatnya pada UU No.43 tahun 2007 tentang Perpustakaan, padahal UU ini merupakan payung hukum yang menjadi dasar atau acuan Perpustakaan Nasional Republik Indonesia dalam membenahi berbagai persoalan kepustakawanan. Fakta ini menggambarkan bahwa UU ini belum popular di kalangan pustakawan dan belum menjadi acuan pustakawan dalam menanggapi isu-isu seputar kepustakawanan.Berbeda dengan di negara yang telah menjalankan program sertifikasi, di mana dasar hukumnya adalah mengacu ke UU tentang kepustakawanan di negara tersebut. Kesimpulan 2: Sertifikasi dimaknai sebagai alat dan proses uji kompetensi atau verifikasi atas kualitas seorang pustakawan untuk mendapatkan pengakuan sebagai profesional. Walaupun diyakini sebagai salah satu cara untuk memastikan keprofesionalan pustakawan, konsep sertifikasi masih sesuatu yang rancu di kalangan pustakawan. Saran 2 : Disarankan agar dalam mempersiapkan program sertifikasi ini, prioritas utama Perpustakaan Nasional Republik Indonesia adalah melakukan sosialisasi awal terkait pelaksanaan program ini. Sosialisasi ini perlu dilakukan secara merata dan simultan dengan memanfaatkan segala macam jalur komunikasi, termasuk komunikasi interaktif di internet. 3. Peningkatan kompetensi dan eksistensi profesi Sebagaimana pustakawan memaknai sertifikasi, tujuan-tujuan yang diharapkan dari program ini berkaitan dengan pengakuan, perbaikan citra, peningkatan profesionalisme, peningkatan kompetensi, mendapatkan tunjangan, 24
apresiasi, dan pada akhirnya untuk otonomi. Tujuan ini juga tidak hanya terkait dengan pustakawan, namun juga berhubungan dengan pengembangan asosiasi profesi, pengembangan kualitas pendidikan perpustakaan, serta pemberian layanan terbaik bagi masyarakat, yang semuanya akan memungkinkan terciptanya good governance. Interpretasi 3 Harapan pustakawan akan sertifikasi tidak terlepas dari pengalamannya sehari-hari dalam menjalani profesi tersebut. Hal yang sama juga dialami oleh pustakawan di negara lain, seperti dikatakan Carolyn H. Lindberg (1990) yang menegaskan bahwa argumenterhadap ide sertifikasi bagi pustakawan, adalah: sebagai jaminan kompetensi melalui pengujian; sebagai metode pemberian status professional; dan sebagai sarana untuk mendefinisikan yang mana/atau apa pekerjaan professional dan mana yang tidak. Sedangkan Maria Conchelos (dalam Lindberg, 1990) mengatakan bahwa sertifikasi pustakawan akan memberikan peluang bagi pustakawan untuk lebih memperkenalkan profesi mereka pada masyarakat umum sekaligus juga menentukan standar tinggi untuk motivasi mereka melakukan peningkatan kegiatan pendidikan berkelanjutan. Poin lain dikatakan oleh Diana D. Shonrock (2007) di mana sertifikasi pustakawan dianggap sebagai cara untuk mengenali karyawan yang telah mencapai tingkat tertentu dalam hal pengetahuan dan ketrampilan di bidang kepustakawanan. Shonrock juga yakin bahwa program sertifikasi memiliki manfaat bagi individu, perpustakaan, dan masyarakat pengguna perpustakaan. Temuan berbeda dalam hal ini adalah bahwa pustakawan menganggap bahwa sertifikasi akan menguatkan eksistensi asosiasi profesi. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di negara lain, di mana program sertifikasi justru sangat mengandalkan asosiasi profesi yang sudah mapan. Kesimpulan 3: Pustakawan mengharapkan bahwa sertifikasi memberikan manfaat bagi pustakawan, lembaga perpustakaan, lembaga pendidikan, dan masyarakat.Pengharapan ini dimaknai sebagai salah satu solusi mengatasi berbagai persoalan kepustakawanan.Manfaat bagi pustakawan lebih mengacu kepada peningkatan kompetensi, sedangkan manfaat bagi lembaga berkaitan dengan eksistensi profesi. Dengan peningkatan kompetensi dan eksistensi profesi, diharapkan kesejahteraan juga akan meningkat. Saran 3 : Disarankan agar Perpustakaan Nasional Republik Indonesia sebagai lembaga pembina perpustakaan lebih proaktif dalam menjalin kerja sama dengan berbagai pihak terkait agar dalam pelaksanaan program sertifikasi ini sedapat mungkin dapat mengakomodir harapan pustakawan. Setidaknya memberi pemahaman kepada pustakawan apa tujuan pokok sertifikasi, dan bahwa pengembangan profesi ini harus menjadi tanggung jawab bersama, bukan hanya lembaga saja.
25
4. Sistem sukarela dan berjenjang Sama halnya dengan keragaman pemahaman tentang makna sertifikasi, pendapat tentang proses pelaksanaan sertifikasi pun demikian. Pustakawan tidak menjelaskan dengan rinci tahap demi tahap sertifikasi melainkan hanya sebatas mengajukan persyaratan pokok. Hal utama yang harus dipastikan adalah penetapan skema dan kriteria pustakawan yang akan disertifikasi. Pustakawan menyarankan beberapa alternatif pilihan, seperti mengadopsi sistem sertifikasi guru yang dianggap lebih mapan. Demikian juga halnya dengan pelaksana sertifikasi, di mana pustakawan merekomendasikan berbagai lembaga sebagai tim sertifikasi, antara lain: Perpustakaan Nasional Republik Indonesia, asosiasi profesi, lembaga pendidikan perpustakaan, perguruan tinggi terkait, Badan Standarisasi Nasional Pendidikan, masyarakat sebagai pengguna perpustakaan. Sedangkan untuk asesor diusulkan pustakawan senior, stake holders di universitas, dan tokoh masyarakat yang dianggap memiliki perhatian dan pemahaman terhadap pengembangan kepustakawanan. Berbeda dengan di Philipina misalnya di mana sertifikasi merupakan sesuatu yang wajib jika ingin mendapat status ‘pustakawan profesional’, pustakawan dalam penelitian ini mengatakan bahwa sistem sertifikasi sebaiknya sukarela, tidak dapat dipaksakan. Interpretasi 4 Proses sertifikasi yang berlaku di sebuah profesi tidak dapat diadopsi secara total untuk profesi lain karena masing-masing profesi memiliki karakter yang berbeda. Rekomendasi pustakawan untuk mengadopsi sistem sertifikasi guru/dosen didasarkan pada pemahamannya yang masih sangat terbatas tentang ide sertikasi pustakawan. Usulan mengenai pihak-pihak yang sebaiknya dilibatkan dalam pelaksanaan sertifikasi tidak jauh berbeda dengan yang dilakukan pustakawan di negara lain. Walaupun meragukan eksistensi dan kinerja asosiasi profesi, namun pustakawan tetap menilai bahwa asosiasi profesi merupakan lembaga yang terkait erat dengan program sertifikasi. Sedangkan PNRI dianggap sebagai lembaga utama yang memiliki dominasi kuat dalam pelaksanaan program tersebut. Kesimpulan 4: Penetapan prosedur atau skema sertifikasi yang jelas harus menjadi prioritas sebelum maju ke tahap berikutnya. Prosedur ini perlu mempertimbangkan berbagai status kepegawaian pustakawan di berbagai lembaga, serta karakter lulusan dari berbagai lembaga pendidikan tinggi. Harus jelas persyaratan untuk mengikuti sertifikasi serta sanksi-sanksi terkait pelanggaran persyaratan tersebut. Saran 4 : Disarankan agar penyusunan materi, skema, prosedur dan segala sesuatunya terkait sertifikasi betul-betul melibatkan pihak-pihak berkompeten tanpa mengusung kepentingan lain selain fokus pada pengembangan pustakawan. Untuk itu PNRI harus membuka diri terhadap segala masukan dan harus mampu meyakinkan pihak-pihak yang akan terlibat bahwa fokus PNRI adalah pada pengembangan kepustakawanan. Melakukan dialog interaktif dan membuka saluran komunikasi online merupakan salah satu cara efektif yang dapat ditempuh dan dilaksanakan sesegera mungkin.
26
5. Kompetensi hard skills, soft skills, social skills Pada coding sebelumnya kita dapat melihat bahwa penetapan materi yang diujikan dalam sertifikasi merupakan strategi untuk mengukur apakah target dalam standar tercapai. Pustakawan berpendapat bahwa kompetensi yang harus ada menyangkut kompetensi teknis dan non teknis. Khusus di lingkungan pendidikan tinggi, kemampuan manajerial dan negosiasi merupakan kebutuhan mendesak agar dapat meningkatkan posisi tawarnya di kalangan sivitas akademika. Interpretasi 5 Standar kompetensi pustakawan harus dibangun berdasarkan prinsip-prinsip keilmuan dan relevansinya dengan kebutuhan pengguna. Ini dicapai melalui kerja sama antara pengelola pendidikan ilmu perpustakaan dengan pustakawan. Dalam SKKNI 2011 pengetahuan dan keterampilan yang dicakup dalam standar kompetensi PUSDOKINFO terdiri dari tiga kelompok unit kompetensi, yaitu Kelompok Kompetensi Umum, Kelompok Kompetensi Inti dan Kelompok Kompetensi Khusus. Kompetensi Umum adalah kompetensi dasar umum yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan, diperlukan untuk melakukan tugas-tugas perpustakaan. Kompetensi Inti adalah kompetensi dasar keahlian yang harus dimiliki oleh setiap pustakawan dalam menjalankan tugas-tugas perpustakaan. Sedangkan Kompetensi Khusus merupakan kompetensi tingkat lanjut yang bersifat spesifik. Dalam uraian poin-poin yang dicakup dalam 3 kompetensi tersebut, tidak terlihat poin yang mengacu kepada kemampuan manajerial dan leadership. Ke tiga kategori kompetensi dalam SKKNI 2011 cenderung mengacu ke kompetensi teknis dengan tingkat kesulitan yang berbeda. Artinya, jika standar kompetensi pustakawan hanya terfokus kepada ketrampilan teknis, sementara persoalan besar yang dihadapi di lapangan lebih terkait dengan kemampuan manajerial dan leadership, maka tujuan sertifikasi tidak akan relevan dengan permasalahan di lapangan. Kesimpulan 5: Penetapan standar kompetensi menjadi langkah awal yang sangat menentukan jika ingin melaksanakan program sertifikasi. Standar ini akan menjadi acuan dalam mengukur kompetensi pustakawan. Penyusunan standar diharapkan mencakup kompetensi hard skills, soft skills, dan social skills.Khusus untuk pustakawan di pendidikan tinggi, kompetensi manajerial dan leadership merupakan tuntutan utama. Saran 5 Penting sekali melibatkan pustakawan, lembaga pendidikan perpustakaan, serta pengguna perpustakaan dalam menetapkan standar kompetensi pustakawan. Ini untuk memastikan bahwa alat ukur yang digunakan adalah sesuai dengan tujuan pengukuran. Harus dipastikan bahwa materi yang tercantum dalam standar kompetensi sesuai dengan perkembangan masyarakat dan kebutuhan pengguna perpustakaan.Materi ini pun harus diintegrasikan dengan pengembangan kurikulum di lembaga pendidikan perpustakaan. Penutup Dari hasil wawancara, lalu analisis terhadap hasil disimpulkan bahwa pustakawan akademik sangat menyadari kompleksnya masalah-masalah mendasar yang dialami kepustakawanan Indonesia. Persoalan-persoalan ini membutuhkan penanganan yang sifatnya komprehensif dan mendasar, serta melibatkan semua pihak 27
yang terkait dengan dunia kepustakawanan. Ide sertifikasi merupakan sebuah wacana yang disambut antusias walaupun disadari tidak dapat mengatasi semua persoalan. Yang menarik dari hasil penelitian ini adalah, hanya satu orang informan yang menyinggung tentang UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Padahal UU inilah yang menjadi payung hokum pokok dunia kepustakawanan Indonesia, termasuk dalam hal rencana implementasi sertifikasi bagi pustakawan. Temuan lainnya yang berbeda dengan yang dialami pustakawan di berbagai negara adalah persoalan lembaga pendidikan perpustakaan serta asosiasi profesi. Di negara-negara yang telah menerapkan sertifikasi pustakawan, peran asosiasi profesi dan lembaga pendidikan perpustakaan sangat penting. Ide sertifikasi bahkan berawal dari ke dua lembaga itu, namun bukan berarti sebagai perwujudan akan lemahnya kualitas atau posisi keduanya di kalangan profesi. Sertifikasi pustakawan di negara lain tidak dapat dipisahkan dari pengelolaan profesi secara nasional, lebih difokuskan pada pengakuan profesi yang akhirnya berdampak pada penciptaan good governance. Berbeda dengan hasil temuan dalam penelitian ini, di mana sertifikasi diharapkan sebagai ‘alat’ untuk memperkuat eksistensi asosiasi profesi dan menjadi alat ukur output lulusannya sekaligus sebagai acuan untuk pengembangan kurikulum. Hasil penelitian ini merekomendasikan pentingnya sosialisasi dari PNRI tentang program yang berkaitan dengan rencana sertifikasi, untuk meminimalisir keragaman pemahaman akan tujuan dari program ini. PNRI juga harus melibatkan berbagai pihak yang terkait secara obyektif dan transparan.Kajian-kajian tentang sertifikasi juga masih menjadi suatu keharusan bagi kalangan pustakawan. ********* Daftar Pustaka Budd, John M. (2001), “The Changing Academic Library. Operations, Culture, Environemnts.” Chicago: ACRL Publications in Librarianship No.56 Desrochers, Edmond E. (1960), “Canadian Library Education and Certification”. ALA Bulletin, Vol. 54, No. 4 (April 1960), pp. 310-312. Published by: American Library Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25695842. Accessed: 06/10/2011 03:10 Diana D Shonrock. (2007). ALA-APA Support Staff Certification: RUSA's Role. Reference & User Services Quarterly, 46(3), 9-12. Retrieved October 1, 2011, from Academic Research Library. (Document ID: 1259611941). Equating Professional Library Qualifications Source: Journal of Education for Librarianship, Vol. 1, No. 1 (Summer, 1960), pp. 22-32. Published by: Association for Library and Information Science Education (ALISE). Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40321357.Accessed: 06/10/2011 03:18 Harmawan. (2008). ”Kompetensi Pustakawan: antara harapan dan kerisauan.” Seminar Nasional tentang Kompetensi dan Sertifikasi Profesi Pustakawan: Implikasi UU No. 43 Tahun 2007 tentang Perpustakaan. Surakarta, UPT Perpustakaan, 14 Oktober 2008 Jordan, Peter. (1998), “The Academic Library and Its Users.” England: Gower Publishing Limited.
28
Kavanaugh, Irene M. and Wescott, Elizabeth C. (July, 1951), “A National Examination as a Basis for Library Certification: A Survey of Opinion.” The Library Quarterly, Vol.21 No.3 form URL: http://www.jstor.org/stable/4304024 Accessed: 01/08/2011 22:12 Kismiyati, Titik (2011), “Kesiapan Sertifikasi Pustakawan” Disampaikan dalam seminar tentang sertifikasi pustakawan di Perpustakaan Institut Pertanian Bogor, Juli 2011. Kraemer, Ruth. (1948), “Certification of Librarians: Implications Drawn from the Field of Teaching” The Library Quarterly, Vol. 18, No. 3 (Jul., 1948), pp. 157-170 Published by: The University of Chicago Press. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/4303681.Accessed: 06/10/2011 03:07 Langley, Anne. Et.all. (2006), “Building Bridges: Collaboration Within and Beyond the Academic Library.” Oxford: Chandos Publishing. Levy, Philippa and Sue Roberts. (2005), “Developing the New Learning Environment. Tha Changing Role of the Academic Librarian”. London: Facet Publishing. Lindberg, Carolyn H. (1990), “Certification, Status, and Salaries” Source: Journal of Education for Library and Information Science, Vol. 31, No. 2, 1990 Conference Issue (Fall, 1990), pp. 157-161 Published by: Association for Library and Information Science Education (ALISE). Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40323401.Accessed: 06/10/2011 03:04 Pendit, Putu Laxman. (2003), “Penelitian Ilmu Perpustakaan dan Informasi. Sebuah Pengantar Diskusi Epistemologi dan Metodologi.” Jakarta: JIP-FSUI Pendit, Putu Laxman. (2001), Makalah untuk Rapat Kerja Pusat XI, Ikatan Pustakawan Indonesia XI dan Seminar Ilmiah, Jakarta 5- 7 November 2001 PerMen Diknas No. 25 Th 2008 tentang Standar Tenaga Perpustakaan Sekolah /Madrasah Peraturan Pemerintah 102 th 2000 tentang Standardisasi Powell, Ronald R. (2004), “Basic Research Methods for Librarians. 4th ed.” London: Libraries Unlimited. Suwahyono, Nurasih (2010), ”Sistem Standardisasi Nasional Bidang Perpustakaan. Kerangka kerja Implementasi UU Perpustakaan”. Undang-Undang No. 43 Th 2007 tentang Perpustakaan. Bahan Bacaan Certification - A Summary Source: Bulletin of the American Library Association, Vol. 30, No. 9 (SEPTEMBER, 1936), p. 886 Published by: American Library Association. 29
Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25688893.Accessed: 06/10/2011 03:20 Certification for College and University Librarians Author(s): CHARLES H. STONE Source: Bulletin of the American Library Association, Vol. 30, No. 9 (SEPTEMBER, 1936), pp. 879-882 Published by: American Library Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25688891.Accessed: 06/10/2011 02:54 Certification of Librarians—1937 Author(s): Margaret E. Vinton Source: Bulletin of the American Library Association, Vol. 31, No. 10 (OCTOBER 1, 1937), p. 640 Published by: American Library Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25689187.Accessed: 05/10/2011 23:30 Certification of Public Librarians in the United States Author(s): Bernard Schein Source: ALA Bulletin, Vol. 50, No. 10 (NOVEMBER 1956), pp. 659-663 Published by: American Library Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25694868. Accessed: 06/10/2011 00:54 Certification of Support Staff: What Is It, What Does It Do? Author(s): Kent Slade Source: Journal of Education for Library and Information Science, Vol. 36, No. 1, Special Issue: Educating Support Staff (Winter, 1995), pp. 12-15 Published by: Association for Library and Information Science Education (ALISE). Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40322969.Accessed: 06/10/2011 03:11 Contexts for Understanding Professional Certification: Opening Pandora's Box? Author(s): William J. Maher Source: The American Archivist, Vol. 51, No. 4 (Fall, 1988), pp. 408-427 Published by: Society of American Archivists. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/40293256.Accessed: 06/10/2011 01:15 Standardization of Libraries and Certification of Librarians. Author(s): P. L. Windsor Source: Bulletin of the American Library Association, Vol. 11, No. 4, Papers and Proceedings of the Thirty-Ninth Annual Meeting of the American Librari Association (July 1917), pp. 135-140 Published by: American Library Association. Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25685536.Accessed: 06/10/2011 02:55 Why Certification? Source: Bulletin of the American Library Association, Vol. 30, No. 3 (MARCH, 1936), pp. 183- 185 Published by: American Library Association Stable URL: http://www.jstor.org/stable/25688725.Accessed: 06/10/2011 03:19 ********
30