PENDIDIKAN HAM DI PERGURUAN TINGGI Urgensi dan Signifikansi1 Oleh : Saparinah Sadli
I. Nilai-Nilai Hak Asasi Manusia Hak Asasi Manusia yang dicanangkan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam tahun 1945 dan mulai tahun 1948 ditandatangi sejumlah negara, termasuk Indonesia, sehingga mengikat negara peserta tersebut secara moral pada prinsip-prinsip yang terkandung dalam Piagam Hak Asasi Manusia. Dengan demikian dianggap bahwa telah lahirlah budaya-budaya hak asasi manusia. Perangkat hak asasi manusia adalah kepedulian internasional, melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa, terhadap kemajuan dan perlindungan hak asasi manusia. Nilai –nilai hak asasi manusia yang tercantum dalam Deklarasi Hak Asasi Manusia (DUHAM; 1948 ) dan dua Kovenannya (1966):
Kovenan Sipil Politik dan Kovenan
Ekonomi, Sosial Budaya, bersama-sama disebut juga sebagai ‘Bill of Rights’. Dalam konferensi ke II tentang Hak Asasi Manusia di Wina (1993) dikukuhkan kembali HAM sebagai
universal, ‘inalienable, indivisible, interdependent’. Artinya:
mengingatkan negara peserta PBB akan kewajibannya untuk memenuhi setiap hak umum yang dimuat dalam DUHAM dan kedua Kovenan tanpa memandang ras, kelas dan gender. Juga bahwa memenuhi hak-hak sipil, politik, ekonomi, sosial, budaya sama pentingnya mengingat hak-hak tersebut saling terkait dan tidak bisa dipisahpisahkan. Hak-hak khusus dimuat dalam berbagai Konvensi HAM, seperti Konvensi Hak Politik Perempuan, Konvensi Hak Anak, Konvensi Penghapusan Diskriminasi Rasial, Konvensi Menentang Penyiksaan dan sebagainya. Nilai-nilai HAM sebagai nilai universal juga berarti bahwa adalah kewajiban setiap orang untuk menghormati:
martabat sesama manusia, kebebasan yang
bertanggungjawab, keadilan dan kesetaraan.
Perbedaan budaya dan masyarakat
mungkin saja mengekspresikan nilai-nilai hak asasi manusia sebagaimana disepakati 1
Makalah disampaikan dalam Semiloka tentang Perumusan Kurikulum Pengajaran HAM di Fakultas Hukum pada Perguruan Tinggi Negeri dan Swasta di Indonesia, yang diselenggarakan oleh Pusat Studi HAM Universitas Islam Indonesia, bekerjasama dengan NCHR University of Oslo Norway, Yogyakarta pada tanggal 30 Mei 2005 di Yogyakarta.
1
bersama secara internasional dalam bentuk yang berbeda-beda, tetapi perbedaan tersebut tidak berarti dapat melanggar atau mengasingkan nilai-nilai universal HAM. Prinsip-prinsip hak asasi manusia yang dihasilkan konferensi Wina telah menjadi acuan Pemerintah Indonesia dalam menyusun RANHAM (1998-2003; 20032009). Yang jarang disebut atau diperhatikan adalah bahwa konferensi Wina juga menegaskan : •
Hak asasi perempuan adalah hak asasi manusia;
•
Kekerasan terhadap perempuan adalah pelanggaran hak asasi manusia;
•
Negara-negara peserta PBB perlu menyelenggarakan pendidikan HAM dalam upaya mempromosikan prinsip-prinsip HAM.
Hak asasi perempuan ditegaskan kembali karena meskipun esensi dari DUHAM adalah non-diskriminasi, tetapi diskriminasi terhadap perempuan masih marak terjadi. Termasuk di Indonesia. Sedang perkembangan mutakhir di berbagai belahan dunia adalah bahwa kekerasan terhadap perempuan dialami oleh makin banyak perempuan. Nilai-nilai HAM merupakan aspirasi dan tujuan ideal komunitas manusia yang demokratis meskipun mungkin tidak pernah dicapai oleh masyarakat manapun. Namum mengupayakan mencapai ideal tersebut memberi makna pada kehidupan bersama.
II. Pendidikan Hak Asasi Manusia Konferensi Wina PBB telah menindaklanjuti pentingnya pendidikan HAM. Untuk memromosikan nilai-nilai HAM dicanangkan Dekade Pendidikan Ham 19952005. Tahun ini adalah akhir dari Dekade Pendidikan HAM. Konstitusi UNESCO menyatakan ‘….since wars begins in the mind of men, it is in the minds of men that the defenses of peace must be constructed’. Pengetahuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia diharapkan dapat juga menumbuhkan nilai-nilai
universal
tentang
perdamaian
yang
didambakan
bersama.
Dalam
pengertian tersebut hak asasi manusia dikonseptualisasi sebagai mempunyai tujuan ganda. Ialah menghormati nilai-nilai universal HAM dan perdamaian dengan membuka kemungkinan untuk mengkonstruksi budaya perdamaian. Artinya, mencapai tujuan ganda tersebut tidak cukup bila hanya menginginkan perdamaian dan menolak atau mengutuk perang. Yang perlu adalah upaya konkrit menkonstruksikan nilai-nilai hak
2
asasi manusia melalui kegiatan yang memungkinkan terjadinya internalisasi nilai hak asasi manusia. Salah satu caranya ialah mengikuti pendidikan hak asasi manusia. Pendidikan hak asasi manusia sebagaimana pendidikan pada umumnya adalah upaya meneruskan pengetahuan tentang hak asasi manusia sekaligus mengkonstruksi sikap dan perilaku sesuai nilai-nilai hak asasi manusia, (sebagaimana ditegaskan oleh almarhum Prof. Iman Slamet Santosa : pendidikan adalah membentuk watak).
III. Perkembangan Pendidikan Hak Asasi Manusia di Indonesia Shulamit Koening (dalam buku ‘Human Rights Education for the Twenty First Century’) menyatakan bahwa kegiatan pendidikan hak asasi manusia sebaiknya mengacu pada apa yang disepakati bersama dalam Konferensi HAM ke II di Wina (1993), ialah: HAM adalah universal, inalienable, indivisible dan interdependent’. Dapat dicatat bahwa Indonesia telah mengembangkan berbagai kegiatan baik yang
bersifat
pendidikan,
pelatihan
maupun
kampanye
HAM.
Kegiatannya
berlangsung di luar maupun di dalam institusi perguruan tinggi. Bila ditinjau dari sejarah perkembangannya, maka yang sudah cukup lama menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan HAM di Indonesia adalah organisasi LSM. Kebanyakan ditujukan kepada mereka yang mempunyai minat terhadap memahami prinsip dan isu-isu hak asasi manusia. Dalam perkembangan selanjutnya terjalin kerjasama dengan berbagai institusi di lingkungan perguruan tinggi. Dalam tahun 1998 Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Divisi Pendidikan dan Penyuluhan, mengambil inisiatif melakukan kegiatan Training for Trainers bidang HAM (TOT-HAM) untuk tiga kelompok strategis. Kelompok pertama terdiri dari masing-masing 5 wakil dari ABRI, Polisi, Pendidik, Wartawan dan LSM perempuan. Kelompok kedua terdiri dari wakil-wakil 5 agama formal ditambah dengan wakil KongHuChu. Sedang kelompok ketiga terdiri dari wakil-wakil unsur penegak hukum. Sesuai dengan prinsip pelatihan yang memakai metode partisipatoris (dan androgenic), maka setiap kelompok dibatasi pada 25 peserta, perempuan dan lakilaki dengan kriteria tertentu. Aspirasi Komnas HAM adalah menghasilkan
‘Human
Rights Educators’ yang tersebar di berbagai kelompok strategis dalam masyarakat. Dalam rangka pendidikan HAM, Komnas HAM juga telah memfasilitasi lokakarya pendidikan HAM yang diselenggarakan oleh ASEAN Human Rights Education dengan PUSDOK HAM UBAYA.
3
Sejak tahun 2000 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyelenggarakan pelatihan TOT- HAM dengan fokus pada hak perempuan dan berjudul ‘Pelatihan Hak asasi Manusia berperspektif Gender’. Untuk wakil-wakil dari akademisi, pemerintah dan LSM.
Komnas Perempuan juga
mengkoordinasi pendidikan HAM tingkat Asia Pasifik sebagai upaya mengembangkan bersama modul pelatihan hak asasi perempuan dengan memperhatikan perbedaan budaya dan kebutuhan masing-masing peserta. Pesertanya dari berbagai negara Asia Pasifik juga diwakili oleh tiga unsur: wakil pemerintah, akademisi dan LSM. Tujuannya: meningkatkan kerjasama di bidang pendidikan HAM berperspektif gender antara
tiga
unsur:
pejabat,
akademisi
dan
lembaga
swadaya
masyarakat.
Harapannya: kepedulian terhadap mencapai kesetaraan dan keadilan gender dapat difahami secara lebih luas (tidak hanya oleh kelompok gerakan perempuan) dan diskriminasi terhadap perempuan dapat diminimalisir/dihapus dalam kehidupan bersama. Dalam pelatihan tersebut telah disosialisasikan Deklarasi Anti Kekerasan terhadap Perempuan yang dicanangkan PBB dalam tahun 1994 dan ditandatangi oleh Indonesia. Baik Komnas HAM maupun Komnas Perempuan sekarang telah menghasilkan modul pelatihan TOT HAM. Kalau tidak salah berbagai LSM juga telah menghasilkan modul pelatihan atau pendidikan HAM. Juga telah terbit suatu ‘newsletter’ jaringan pendidikan HAM. Lima institusi yang mempunyai mandat melakukan pendidikan HAM adalah Komnas HAM, Komnas Perempuan, Pusat Studi HAM Universitas Surabaya, Pusat Studi dan Pengkajian HAM Universitas Hasanuddin dan Pusat Studi HAM Universitas Syah Kuala. Sedang pendidikan hak asasi manusia di lingkungan perguruan tinggi sebagai kegiatan kurikuler tetap dan wajib tetap sejak tiga tahun terakhir diberikan di program S2 Kajian Ilmu Kepolisian, UI. Sejak tahun 2000 kelompok kerja ‘Convention Watch’, Program Studi Kajian Wanita, Pasca Sarjana UI telah menyelenggarakan sejumlah lokakarya HAM dan Gender yang secara khusus ditujukan bagi dosen Fakultas Hukum Swasta dan Pemerintah.
Hasilnya: berbagai Fakultas Hukum (75 Fakultas Hukum) kini
menyediakan mata kuliah Hukum dan Gender sebagai mata kuliah pilihan atau sebagai bagian integral dari mata ajaran yang menjadi tanggungjawab seorang dosen. Mata kuliah Hukum dan Gender mengambil fokus bahasan instrumen internasional tentang hak asasi perempuan (Konvensi Wanita/CEDAW/UU no 7/84). Bentuk mata kuliah Hukum dan Gender disesuaikan dengan ketentuan struktural mengenai
4
kurikulum yang berlaku atau merupakan kebijakan Dekan Fakultas Hukum yang bersangkutan. Selain di Fakultas-Fakultas Hukum, Convention Watch bekerjasama dengan Kejaksaan Agung RI juga mengisi pendidikan Jaksa dengan fokus bahasan pada Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Wanita (Konvensi CEDAW). Konvensi ini telah ditetapkan dengan UU No. 7/84 tetapi hingga sekarang belum difahami secara baik oleh para penegak hukum. Sejak tahun 2002 Komnas Perempuan, Convention Watch, Derap Warapsari (organisasi Polisi Wanita Senior) dan LBH-APIK Jakarta (Asosiasi untuk Keadilan)
Perempuan --kebanyakan sarjana hukum-- Indonesia
bekerjasama dengan Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung,
Departemen Kepolisian dan Asosiasi Advokat mengadakan pelatihan Sistim Peradilan Pidana Terpadu berkeadilan Gender (SPPT-PKKTP). Sebagai bagian dari program pelatihan tersebut juga telah disusun buku panduan Moot Court (diterjemahkan sebagai ‘peradilan semu’) sebagai upaya mensosialisasikan nilai hak asasi manusia bagi sarjana hukum di beberapa Fakultas Hukum.
IV. Urgensi dan Signifikansi Pendidikan HAM di Perguruan Tinggi. Sampai sekarang fasilitas latihan dan penelitian tentang hak asasi manusia masih lebih banyak disediakan oleh institusi-institusi di luar pendidikan tinggi atau di pusat-pusat penelitian.
Sepengetahuan saya yang telah menyediakan kuliah HAM
sebagai kegiatan kurikuler tetap adalah program studi S2 Kajian Ilmu Kepolisian (KIK) UI. Kebanyakan kegiatan pendidikan hak asasi manusai dilakukan oleh institusi seperti Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan, Kelompok Kerja ‘Convention Watch’, Pusat Kajian Wanita dan Gender, UI, Pusat Dokumentasi HAM, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Ini berarti bahwa pendidikan dan pelatihan HAM sampai sekarang belum menyentuh kelompok penting dalam masyarakat, ialah mahasiswa pada umumnya. Bila bisa diterima bersama bahwa memahami nilai-nilai hak asasi manusia adalah bagian dari proses perubahan sosial-politik kearah negara yang demokratis, maka mahasiswa sebagai calon elit bangsa jelas merupakan kelompok penting yang masih terlupakan dalam upaya menanamkan nilai-nilai yang mendukung proses demokrasi. Sehingga jelas ada urgensi bagi lingkungan pendidikan tinggi untuk secepatnya menyelenggarakan pendidikan hak asasi manusia secara kurikuler. Karena perguruan tinggi, sesuai fungsi
5
dan misinya, jelas merupakan lingkungan pendidikan yang sangat strategis dalam upaya mengembangkan pendidikan hak asasi manusia secara kurikuler. Signifikansi melakukan pendidikan hak asasi manusia sebagai kegiatan kurikuler di perguruan tinggi adalah: -
Mahasiswa sebagai komunitas pendidikan tinggi merupakan kelompok yang terbiasa untuk secara sistematis diperkenalkan pada berbagai aliran, pemikiran, penerapan ilmu maupun hasil riset dan perkembangan berbagai cabang ilmu pengetahuan yang berasal dari luar maupun dalam negeri. Dalam era globalisasi pergaulan mahasiswa antar bangsa akan makin meningkat. Pendidikan hak asasi manusia secara kurikuler ditingkat perguruan tinggi merupakan cara yang baik untuk membekali mahasiswa sebagai calon elit bangsa dalam melaksanakan kegiatan intelektual dan profesionalnya di hari kemudian.
-
Peran strategis perguruan tinggi adalah karena
mahasiswa merupakan
kelompok yang berusia dewasa muda. Selain bahwa sesuai usianya mereka terbuka terhadap hal-hal baru, mereka juga merupakan kelompok yang akan secara kritis menyikapi nilai-nilai hak asasi manusia seperti:
kewajiban
menghormati martabat sesama manusia, mengembangkan toleransi terhadap perbedaan dan kesetaraan, termasuk kesetaraan gender. Mengingat bahwa mahasiswa perguruan tinggi adalah komunitas heterogin,
ditinjau dari
komposisi gender, suku dan kelas sosial, maka mahasiswa selain dapat diajak untuk membahas secara kognitif berbagai prinsip hak asasi manusia, peruruan tinggi juga dapat secara sistematis (kurikuler)
mengembangkan sikap dan
perilaku mahasiswa sesuai prinsip hak asasi manusia, dan mengembangkan minat mereka untuk memromosikan hak asasi manusia.
Dalam kaitan ini
pendidikan hak asasi manusia di pendidikan tinggi harus dilakukan dengan menerapkan ‘experiential learning’ yang diharapkan dapat memberi pengalaman bahwa perbedaan antara perempuan dan laki-laki, antar suku, antara kelas sosial-ekonomi justru harus diterima sebagai ke-unik-an masingmasing individu yang harus dihormati. Diharapkan bahwa kegiatan pendidikan hak asasi manusia di lingkungan perguruan tinggi secara kurikuler dapat merangsang pengertian mahasiswa bahwa mempromosikan hak asasi manusia
6
adalah kewajiban bersama, Pemerintah dan masyarakat, termasuk masyarakat akademik. -
Perguruan tinggi adalah rumah dari berbagai disiplin ilmu dan karenanya mempunyai peran strategis untuk mempromosikan hak asasi manusia sebagai suatu sistim nilai yang komprehensif dan holistik. Karena dapat dibahas dari sudut pandang berbagai disiplin ilmu dan adalah perguruan tinggi yang mempunyai potensi untuk menyelenggarakan pendidikan Ham dengan memakai pendekatan multidisiplin dengan tersedianya
dosen yang mengajar
dalam berbagai bidang ilmu. Pendidikan hak asasi manusia di perguruan tinggi dapat berkontribusi positif pada proses perubahan sosial-politik yang sedang berlangsung dan proses demokratisasi yang diinginkan. Karenanya pendidikan HAM yang terfokus pada Fakultas Hukum tidak cukup. Pendidikan hak asasi manusia perlu disediakan bagi mahasiswa yang sedang belajar berbagai disiplin ilmu. Juga perlu disediakan secara kurikuler agar pengetahuan hak asasi manusia dapat disajikan secara sistematis. -
Pengembangan kurikulum pendidikan hak asasi manusia di perguruan tinggi perlu mempertimbangkan beberapa hal : •
mementingkan cara pendidikan yang dapat meningkatkan kesadaran dan mempromosikan kemampuan
pemahaman
untuk
bahwa
setiap
manusia
mempunyai
mengembangkan norma-norma yang menghargai
martabat manusia tetapi juga untuk menghindari bertindak tidak manusiawi terhadap sesama manusia; •
Memperhatikan
pentingnya
pendidikan
hak
asasi
manusia
dengan
pendekatan multidisplin untuk membuka kesempatan bagi mahasiswa dengan
berbagai
latar
belakang
ilmu
membahas
bersama
makna
kebebasan dengan menghormati hukum. •
Mahasiswa memahami adanya interseksi antara budaya, hukum dan kebebasan dalam upaya menghormati martabat setiap manusia, tanpa membedakan ras, gender dan kelas sosial-ekonomi.
Ditinjau dari isi dan tujuannya pendidikan hak asasi manusia diharapkan dapat mencakup hal-hal sebagai berikut: •
Meningkatkan kesadaran tentang hak asasi manusia
7
•
Belajar tentang isu-isu hak asasi manusia
•
Belajar tentang sebab dan alasan terjadinya isu-isu hak asasi manusia
•
Belajar tentang solusi terbaik (ideal)
•
Belajar tentang solusi yang praktis dan dapat dicapai;
•
Komitmen mengenai promosi hak asasi manusia
•
Komitmen
mengenai
menyebar
luaskan
prinsip
hak
asasi
manusia;
komitmen terhadap promosi hak asasi manusia dalam konteks budaya, agama dan politik yang berlaku. V. Rangkuman Pendidikan HAM secara kurikuler di lingkungan perguruan tinggi adalah kebutuhan dalam mengisi proses demokratisasi yang sedang berlangsung. Beberapa langkah yang diperlukan adalah: 1. Menyusun TOT-HAM untuk dosen dari berbagai disiplin ilmu yang akan bertanggungjawab terhadap matakuliah HAM. 2. Mengingat bahwa tujuan pendidikan HAM tidak hanya pengetahuan kognitif tetapi juga dapat diinternalisasi sebagai nilai (HAM sebagai nilai ideal dalam kehidupan masyarakat demokratis). 3. Diterapkannya pendekatan pendidikan HAM secara kurikuler dengan metode pengajaran yang interaktif (dialog) yang memungkinkan mahasiswa untuk mendiskusikan bahan ajaran, lengkap dengan menyediakan studi kasus. Cara mengajar interaktif penting karena menyambung pada esensi dari HAM : ialah kewajiban menghormati orang lain (pendapatnya, siapapun dia) dan terbuka serta toleransi terhadap pandangan yang berbeda. 4. Membahas bersama prinsip-prinsip HAM sebagai bagian dari proses demokrasi yang sedang berjalan. 5. Pendidikan HAM di perguruan tinggi sebaiknya menjadi kuliah wajib dengan paling sedikit dua SKS dan diberikan oleh dosen yang meyakini pentingnya memahami dan menerapkan prinsip-prinsip HAM. 6. Memanfaatkan
kondisi
khas
perguruan
tinggi
sebagai
penyelenggara
pendidikan berbagai disiplin ilmu.
8
7. Kurikulum masing-masing disiplin ilmu dapat mengintegrasikan kurikulum pendidikan HAM untuk merangsang pemikiran kritis tentang esensi HAM dari sudut disiplin ilmu yang sedang ditekuni seorang mahasiswa. 8. Bahwa
setiap
kurikulum
pendidikan
Ham
di
perguruan
tinggi
harus
mengintegrasikan pemahaman hak asasi wanita sebagai hak asasi manusia (fs. 45 HAM No. 39/99) mengingat komunitas perguruan tinggi terdiri dari perempuan dan laki-laki. Dengan demikian klarifikasi nilai yang terkandung dalam hak asasi manusia dapat dilakukan secara komprehensif dan sesuai esensi HAM sebagai ‘universal, inalienable, indivisible and interconnected’. Juga agar pendidikan HAM secara kurikuler dapat berkontribusi pada perjuangan bersama menuju mencapai keadilan sosial, kesetaraan dan keadilan gender. 9. Kurikulum pendidikan HAM di perguruan tinggi yang secara sistematis mengintegrasikan Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia akan dapat menghasilkan suatu kondisi lingkungan hidup bersama yang kondusif untuk dapat meyakini bahwa ‘bila semua orang memahami ketidaksetaraan sosial, ekonomi, dan gender sebagai pelanggaran hak asasi manusia, maka dapat sekaligus diletakkan dasar-dasar kokoh yang mengarah pada keadilan sosial, terwujudnya kesetaraan dan keadilan gender. 10. Bahwa menyiapkan pendidikan hak asasi manusia sebagai mata kuliah dengan pendekatan multidisiplin dan cara mengajar interaktif bukan hal yang sederhana. Karena lingkungan perguruan tinggi kita tidak mempunyai sejarah panjang dalam bidang studi multidisiplin dan masih mementingkan kejelasan akar suatu disiplin ilmu tertentu. Kondisi ini masih diperkuat oleh adanya kebiasaan dari kebanyakan dosen untuk mengajar dengan metode ‘sistim banking’, terutama di tingkat sarjana I. 11. Sebagaimana setiap pendidikan di perguruan tinggi, pendidikan hak asasi manusia tidak bisa berkembang tanpa didukung oleh fasilitas penelitian dan penerapan ilmu, sehingga penelitian bidang hak asasi manusia dan hasilnya perlu dapat diakses oleh masyarakat pada umumnya, komunitas perguruan tinggi khususnya. Di luar negeri kebanyakan penelitian yang berbasis perguruan tinggi mulai dilakukan di Fakultas Hukum, Ilmu-ilmu Sosial, Departemn Filsafat atau di lembaga - lembaga interdisipliner seperti: di Insititute for Human Rights, Essex University; the Centre for Human Rights of
9
the University of Ottawa; the Human Rights Institute of the University of the Philippines. Khususnya sekitar tahun 70-an dan 80-an mulailah terbit beberapa jurnal yang secara khusus menerbitkan artikel dan hasil riset di bidang HAM, seperti: The Netherlands Quarterly of Human Rights (Universitry of Utrecht); the Human Rights Quarterly (univ. of Cincinnaty College of Law) dan the Harvard Journal on Human Rights. Hasil riset maupun jurnal-jurnal tersebut mulai terbit pada saat pendidikan hak asasi manusia menjadi mata ajaran formal di negara-negara Barat. Artikel-artikel dalam jurnal-jurnal tersebut seringkali menekankan pada pentingnya latihan guru-guru pendidikan HAM, sebelum dan selama menjadi pendidik HAM, perkembangan kurikulum, teks dan materi mata ajaran. Catatan: Berbagai materi pendidikan hak asasi manusia, termasuk dengan perspektif gender, telah tersedia dalam bahasa Indonesia. Juga telah tersedia modul-modul pelatihan HAM yang disusun bersama para peserta pelatihan yang berasal dari berbagai latarbelakang pengalaman dan keyakinan. Buku : ‘Kampanye Dunia untuk Hak Asasi Manusia’ yang terdiri dari Fakta HAM merupakan buku rujukan penting dan telah diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia dalam rangka Dekade Pendidikan HAM PBB.
10